Paper Visi Komputer Klasifikasi Kanker Paru Paru - 5110100018 5110100084 5110100087
Paper Paru.
description
Transcript of Paper Paru.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Paru mempunyai fungsi utama untuk melakukan pertukaran gas, yaitu mengambil
O2 dari udara luar dan mengeluarkan CO2 dari badan ke udara luar. Apabila paru
berfungsi secara normal, tekanan parsial O2 dan CO2 di dalam darah akan
dipertahankan seimbang, sesuai dengan kebutuhan tubuh. Pemeriksaan analisis gas
darah merupakan pemeriksaan laboratorium yang penting sekali di dalam
penatalaksanaan penderita akut maupun kronis, terutama penderita penyakit paru.
Pemeriksaan analisis gas darah penting baik untuk menegakkan diagnosis,
menentukan terapi, maupun untuk mengikuti perjalanan penyakit setelah mendapat
terapi. Sama halnya dengan pemeriksaan EKG pada penderita jantung dan
pemeriksaan gula darah penderita diabetes millitus. Dengan majunya ilmu
pengetahuan, terutama setelah ditemukan alat astrup, tekanan parsial O2 dan CO2 serta
pH darah dapat diukur dengan mudah.
Pemeriksaan gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan
pasien-pasien penyakit berat dan menahun. Pemeriksaan analisa gas darah dikenal
juga pemeriksaan ASTRUP yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan
melalui darah arteri. Gas darah arteri memungkinkan untuk pengukuran pH (dan juga
keseimbagan asam basa), oksigenasi, kadar karbondioksida, kadar biokarbonat,
saturasi oksigen, dan kelebihan atau kekurangan basa. Pemeriksaan gas darah arteri
dan pH sudah secara luas digunakan sebagai pegangan dalam penatalaksanaan pasien-
pasien penyakit berat yang akut dan mlenahun. Pemeriksaan gas darah juga dapat
menggambarkan hasil berbagai tindakan penunjang yang dilakukan, tetapi kita tidak
dapat Hmenegakkan suatu diagnosa hanya dari penelitian analisa gas darah dan
keseimbangan asam-basa saja, kita harus menghubungkan dengan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, dan data-data laboratorium lainnya.
1
Gas darah memberikan informasi tentang oksigenasi,homeostasis CO2,dan
keseimbangan asam basa,dank arena itu merupakan alat terpenting yang digunakan
dalam mengevaluasi adekuasi fungsi paru.
Pada pemeriksaan Analisa Gas Darah ( AGD), cara pengambilan sample darah
arteri harus diperhatikan, sebab pada pengambilan darah arteri resiko komplikasi
lebih berbahaya daripada pengambilan darah vena. Oleh sebab itu seorang analis
harus mengerti tentang indikasi pengambilan darah arteri, persiapan alat yang akan
digunakan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi
Analisa gas darah adalah suatu pemeriksaan melalui darah arteri dengan tujuan
mengetahui keseimbangan asam basa dalam tubuh, mengetahui kadar oksigen dalam
tubuh dan mengetahui kadar karbon oksida dalam tubuh.
Prosedur memerlukan beberapa keterampilan tetapi bila dikerjakan dengan tepat
akan hanya sedikit berisiko. Komplikasi, terjadi 0,58% dari waktu termasuk episode
vasovagal, nyeri lokal, dan hematoma kecil. Pemeriksaan gas darah arteri dan pH
sudah secara luas digunakan sebagai pegangan dalam penatalaksanaan pasien-pasien
penyakit berat yang akut dan menahun. Meskipun biasanya pemeriksaan ini
menggunakan spesimen dari darah arteri,jika sampel darah arteri tidak dapat
diperoleh suatu sampel vena campuran dapat digunakan.Pemeriksaan analisa gas
darah (AGD) penting untuk menilai keadaan fungsi paru-paru.
Ukuran-ukuran dalam analisa gas darah:
1. PH normal 7,35-7,45
2. Pa CO2 normal 35-45 mmHg
3. Pa O2 normal 80-100 mmHg
4. Total CO2 dalam plasma normal 24-31 mEq/l
5. HCO3 normal 21-30 mEq/l
6. Base Ekses normal -2,4 s.d +2,3
7. Saturasi O2 lebih dari 90%.
Pemeriksaan analisa gas darah dikenal juga dengan nama pemeriksaan
“ASTRUP”, yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui darah arteri.
Lokasi pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A. Femoralis
Lokasi pengambilan darah untuk AGD :
3
1. Arteri Radialis, merupakan pilihan pertama yang paling aman dipakai untuk
fungsi arteri kecuali terdapat banyak bekas tusukan atau haematoem juga
apabila Allen test negatif.
2. Arteri Dorsalis Pedis, merupakan pilihan kedua.
3. Arteri Brachialis, merupakan pilihan ketiga karena lebih banyak resikonya
bila terjadi obstruksi pembuluh darah.
4. Arteri Femoralis, merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri diatas
tidak dapat diambil. Bila terdapat obstruksi pembuluh darah akan
menghambat aliran darah ke seluruh tubuh / tungkai bawah dan bila yang
dapat mengakibatkan berlangsung lama dapat menyebabkan kematian
jaringan. Arteri femoralis berdekatan dengan vena besar, sehingga dapat
terjadi percampuran antara darah vena dan arteri.
2.2 Kontraindikasi dan Indikasi
1. Denyut arteri tidak terasa, pada pasien yang mengalami koma.
2. Modifikasi Allen tes negatif , apabila test Allen negative tetapi tetap dipaksa
untuk dilakukan pengambilan darah arteri lewat arteri radialis, maka akan terjadi
thrombosis dan beresiko mengganggu viabilitas tangan.
3. Selulitis atau adanya infeksi terbuka atau penyakit pembuluh darah perifer pada
tempat yang akan diperiksa
4. Adanya koagulopati (gangguang pembekuan) atau pengobatan dengan
antikoagulan dosis sedang dan tinggi merupakan kontraindikasi relatif.
Indikasi dilakukannya pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) yaitu :
1. Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik
Penyakit paru obstruktif kronis yang ditandai dengan adanya hambatan
aliran udarah pada saluran napas yang bersifat progresif non reversible ataupun
4
Hreversible parsial. Terdiri dari 2 macam jenis yaitu bronchitis kronis dan
emfisema, tetapi bisa juga gabungan antar keduanya.
2. Pasien dengan edema pulmo
Pulmonary edema terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan
yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai
gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran
gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan
pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai "air
dalam paru-paru" ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien.
Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda.
Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema,
atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic
pulmonary edema.
3. Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS)
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar
kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar
dan perubahan dalarn jaring- jaring kapiler , terdapat ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi yang jelas akibat-akibat kerusakan pertukaran gas dan
pengalihan ekstansif darah dalam paru-.paru. ARDS menyebabkan penurunan
dalam pembentukan surfaktan , yang mengarah pada kolaps alveolar .
Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru- paru menjadi kaku
akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional,
hipoksia berat dan hipokapnia ( Brunner & Suddart 616).
4. Infark miokard
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
(Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan
5
mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan (Santoso,
2005).
5. Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem dimana
alveoli(mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang bertanggung jawab
untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi radang dan dengan penimbunan
cairan.Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam sebab,meliputi infeksi
karena bakteri,virus,jamur atau parasit. Pneumonia juga dapat terjadi karena
bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, atau secara tak langsung dari
penyakit lain seperti kanker paru atau penggunaan alkohol
6. Pasien syok
Syok merupakan suatu sindrom klinik yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung
pada 3 faktor utama, yaitu curah jantung, volume darah, dan pembuluh darah. Jika salah
satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan
kompensasi maka akan terjadi syok. Pada syok juga terjadi hipoperfusi jaringan yang
menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism sel sehingga seringkali menyebabkan
kematian pada pasien.
7. Post pembedahan coronary arteri baypass
Coronary Artery Bypass Graft adalah terjadinya suatu respon inflamasi
sistemik pada derajat tertentu dimana hal tersebut ditandai dengan hipotensi
yang menetap, demam yang bukan disebabkan karena infeksi, DIC, oedem
jaringan yang luas, dan kegagalan beberapa organ tubuh. Penyebab inflamasi
sistemik ini dapat disebabkan oleh suatu respon banyak hal, antara lain oleh
karena penggunaan Cardiopulmonary Bypass (Surahman, 2010).
6
8. Resusitasi cardiac arrest
Penyebab utama dari cardiac arrest adalah aritmia, yang dicetuskan oleh
beberapa faktor,diantaranya penyakit jantung koroner, stress fisik (perdarahan
yang banyak, sengatan listrik,kekurangan oksigen akibat tersedak, tenggelam
ataupun serangan asma yang berat), kelainan bawaan, perubahan struktur jantung
(akibat penyakit katup atau otot jantung) dan obat-obatan.Penyebab lain cardiac
arrest adalah tamponade jantung dan tension pneumothorax. Sebagai akibat dari
henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran
darahmencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh
akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.
Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban
kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.Kerusakan otak mungkin
terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnyaakan
terjadi kematian dalam 10 menit. Jika cardiac arrest dapat dideteksi dan
ditangani dengansegera, kerusakan organ yang serius seperti kerusakan otak,
ataupun kematian mungkin bisa dicegah.
2.2 Tujuan
Analisa gas darah memiliki tujuan sebagai berikut
1. Mengetahui keseimbangan asam dan basa dalam tubuh.
2. Mengevaluasi ventilasi melalui pengukuran pH, tekanan parsial oksigen arteri
(PaO2), dan tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2).
3. Mengetahui jumlah oksigen yang diedarkan oleh paru-paru melalui darah yang
ditunjukkan melalui PaO2.
4. Mengetahui kapasitas paru-paru dalam mengeliminasikan karbon dioksida yang
ditunjukkan oleh PaCO2.
5. Menganalisa isi oksigen dan pemenuhannya, serta untuk mengetahui jumlah
bikarbonat.
7
2.4 Sistem Buffer
Untuk mencegah terjadinya fluktuasi dari [H+], tubuh kita memiliki 3 sistem utama
yang akan mengatur konsentrasi H+ dalam cairan tubuh yaitu :
1. Sistem buffer asam-basa kimiawi dalam cairan tubuh yang akan segera
bergabung dengan asam dan basa untuk mencegah perubahan konsentrasi H+
yang berlebihan
2. Pusat pernapasan yang mengatur pembuangan CO2 dari cairan ekstrasel
3. Ginjal yang dapat mengeksresikan urine asam ataupun basa sehingga
menyesuaikan kembali konsentrasi H+ cairan ekstrasel menuju normal
selama asidosis atau alkalosis
Sistem buffer merupakan garis pertama pertahanan tubuh dalam menghadapi
perubahan konsentrasi H+. Jika terjadi perubahan dalam konsentrasi H+, dalam
sepersekian detik sistem buffer cairan tubuh akan bekerja untuk memperkecil perubahan
ini. Sistem ini tidak mengeluarkan H+ dari tubuh ataupun menambahkan H+ ke dalam
tubuh namun hanya menjaga agar ion H+ tetap terikat sampai keseimbangan tercapai
kembali.
Garis pertahanan kedua adalah sistem pernapasan yang juga bekerja dengan cukup
cepat. Sistem penapasan akan bekerja dalam beberapa menit untuk mngeluarkan
karbondioksida (CO2) dari dalam tubuh yang berarti mengeluarkan H2CO3 dari tubuh.
Kedua garis pertahanan tadi bekerja menjaga konsentrasi H+ dari perubahan yang
terlalu banyak sampai garis pertahanan ketiga yang bekerja lebih lambat yaitu ginjal
mengeluarkan kelebihan asam atau basa dari dalam tubuh. Walaupun ginjal memberikan
respons yang relatif lambat dibandingkan garis pertahanan lainnya, beberapa jam sampai
beberapa hari, ginjal merupakan sistem pengatur asam-basa yang paling kuat dalam
tubuh.
8
2.4.1 Sistem Buffer Ion Hidrogen dalam Cairan Tubuh
Sistem Buffer adalah campuran dua zat kimia dalam larutan yang dapat
meminimalisasi perubahan pH saat asam atau basa ditambahkan atau dikeluarkan dari
larutan tersebut. Sistem buffer ini terdiri dari pasangan substansi yang bekerja dalam
reaksi reversibel. Substansi pertama dapat melepaskan H+ bebas saat [H+] menurun dan
substansi lainnya dapat mengikat H+ saat [H+] meningkat. Tubuh kita memiliki 4 sistem
buffer yaitu :
a. Sistem buffer bikarbonat
b. Sistem buffer fosfat
c. Sistem buffer protein
1. Sistem buffer bikarbonat
Sistem buffer bikarbonat merupakan sistem buffer yang paling penting pada cairan
eksraseluler yang terdiri dari larutan air yang mengandung dua unsur yaitu asam lemah
H2CO3 dan garam bikarbonat seperti NaHCO3.
H2CO3 dibentuk dari reaksi CO2 dengan H2O dengan bantuan enzim karbonik
anhidrase. Enzim ini sangat banyak terutama di dinding alveoli paru tempat CO2
dilepaskan. Karbonik anhidrase juga terdapat di sel epitel tubulus ginjal tempat CO2
bereaksi dengan H2O untuk membentuk H2CO3.
Garam bikarbonat terdapat secara dominan sebagai natrium bikarbonat (NaHCO3)
dalam cairan ekstrasel. NaHCO3 berionisasi hampir secara lengkap membentuk ion
bikarbonat dan ion natrium dengan reaksi :
Jika dimasukkan bersama-sama akan didapatkan reaksi:
9
Bila asam kuat seperti HCl ditambahkan ke dalam larutan penyangga bikarbonat,
peningkatan ion hidrogen yang dilepaskan oleh asam akan disangga oleh HCO3-
Sebagai hasilnya lebih banyak H2CO3 yang terbentuk menyebabkan peningkatan
produksi CO2 dan H2O. CO2 yang berlebihan akan merangsang pernapasan yang akhirnya
mengeluarkan CO2 dai cairan ekstrasel.
Reaksi berlawanan terjadi jika suatu basa kuat seperti natrium hidroksida (NaOH)
ditambahkan ke larutan buffer bikarbonat.
Dalam reaksi ini OH- dari NaOH bergabung dengan H2CO3 membentuk HCO3-
tambahan. Jadi basa lemah NaHCO3 menggantikan basa kuat NaOH. Pada waktu yang
sama konsentrasi H2CO3 turun menyebabkan lebih banyak CO2 bergabung dengan H2O
untuk menggantikan H2CO3.
Hasil akhirnya adalah kecenderungan penurunan kadar CO2 dalam darah tetapi
penurunan CO2 dalam darah menghambat pernapasan dan menurunkan laju eksiprasi
CO2. Peningkatan HCO3- yang terjadi dalam darah dikompensasi dengan peningkatan
eksresi HCO3- oleh ginjal.
2. Sistem buffer fosfat
Sistem buffer fosfat berperan penting pada cairan tubulus ginjal dan cairan intrasel.
Elemen utama dari sistem buffer fosfat adalah H2PO4- dan HPO4
-. Bila asam kuat seperti
HCl ditambahkan dalam campuran kedua zat ini maka hidrogen akan diterima oleh
HPO42- dan diubah menjadi H2PO4
-.
Hasil dari reaksi ini adalah HCl digantikan asam lemah NaH2PO4 sehingga
penurunan pH minimal. Bila suatu basa kuat seperti NaOH yang ditambahkan ke dalam
sistem buffer, OH- akan disangga oleh H2PO4- untuk membentuk HPO4
2- dengan air.
10
Dalam keadaan ini basa kuat NaOH ditukar dengan suatu basa lemah Na2HPO4
sehingga pH hanya meningkat sedikit.
3. Sistem buffer protein
Sistem buffer protein merupakan salah satu sistem buffer paling kuat dalam tubuh
karena konsentrasinya yang tinggi terutama dalam sel. pH sel memiliki perubahan yang
kira-kira sebanding dengan pH cairan ekstrasel meskipun pH sel sedikit lebih rendah dari
cairan ekstrasel. Terdapat sedikit H+ dan HCO3- yang berdifusi melalui membran sel
walaupun ion-ion ini membutuhkan waktu beberapa jam untuk menjadi seimbang dengan
cairan ekstrasel. Akan tetapi CO2 dapat dengan cepat berdifusi melalui semua membran
sel.
Difusi elemen sistem buffer bikarbonat ini menyebabkan pH dalam cairan intrasel
berubah ketika terjadi perubahan pH cairan ekstrasel. Karena alasan ini sistem buffer
intrasel akan membantu mencegah perubahan pH cairan ekstrasel namun dibutuhkan
waktu beberapa jam untuk menjadi efektif secara maksimal.
Mekanisme kerja buffer protein :
a. Bila terjadi peningkatan pH, COOH akan berdisosiasi menjadi asam lemah
sebagai donor H+
b. Bila terjadi penurunan pH, NH2 (gugus amino) bertindak sebagai basa lemah ®
akseptor H+ ® NH3+ (ion amino)
2.4.2 Pengaturan Pernapasan Terhadap Keseimbangan Asam-Basa
Garis pertahanan kedua terhadap gangguan asam-basa adalah pengaturan konsentrasi
CO2 ekstrasel oleh paru. Berdasarkan persamaan Henderson-Hasselbach, pembentukan
CO2 berbanding terbalik dengan pH akibatnya jika CO2 meningkat akan menurunkan pH.
Jika pembentukan CO2 metabolik (asidosis metabolik) meningkat, paru – paru akan
mengimbanginya dengan meningkatkan ventilasi alveolus yang akan mempercepat
pengeluaran CO2 dari tubuh. Peningkatan ventilasi akan mengeluarkan CO2 dari cairan
ekstrasel yang melalui kerja secara besar-besaran akan mengurangi konsentrasi H+. Dan
11
sebaliknya jika pembentukan CO2 metabolik menurun akan menurunkan ventilasi
alveolus. Penurunan ventilasi akan meningkatkan CO2 yang berefek pada peningkatan
konsentrasi H+ dalam cairan ekstrasel.
2.4.3 Pengaturan Keseimbangan Asam-Basa oleh Ginjal
Ginjal mengatur keseimbangan asam basa dengan mengekskresikan urine yang asam
atau basa. Mekanisme ekskresi urine asam atau basa oleh ginjal adalah sebagai berikut :
a. Sejumlah besar HCO3- difiltrasi secara terus menerus ke dalam tubulus. Bila
HCO3- ini diekskresikan ke dalam urine, keadaan ini menghilangkan basa dari
dalam darah
b. Sejumlah besar H+ juga disekresikan ke dalam lumen tubulus oleh sel epitel
tubulus sehingga menghilangkan asam dari darah.
Bila lebih banyak H+ yang disekresikan daripada HCO3- yang difiltrasi, akan terjadi
kehilangan asam dari cairan ekstrasel, sedangkan bila lebih banyak HCO3- yang difiltrasi
daripada H+ yang disekresikan, akan terjadi kehilangan basa.
Bila terjadi pengurangan konsentrasi H+ cairan ekstrasel (alkalosis), ginjal gagal
mengabsorbsi semua bikarbonat yang difiltrasi sehingga meningkatkan ekskresi
bikarbonat. Karena HCO3- ini normalnya menyangga hidrogen dalam cairan ekstrasel,
kehilangan bikarbonat ini sama dengan penambahan satu H+ ke dalam cairan ekstrasel.
12
Pada asidosis, ginjal tidak mengekskresikan bikarbonat ke dalam urine tetapi
mereabsorbsi semua bikarbonat yang difiltrasi dan menghasilkan bikarbonat baru yang
kemudian ditambahkan ke cairan ekstrasel. Hal ini mengurangi konsentrasi H+ cairan
ekstrasel kembali menuju normal.
Sehingga disimpulkan ginjal mengatur konsentrasi H+ dengan 3 mekanisme dasar
yaitu :
1. Sekresi ion H+
2. Reabsorbsi HCO3-
3. Produksi HCO3-
2.5 Cara Pemeriksaan Analisa Gas Darah
1. Arteri Radialis dan Arteri Ulnaris (sebelumnya dilakukan allen’s test)
Test Allen’s merupakan uji penilaian terhadap sirkulasi darah di tangan, hal ini
dilakukan dengan cara yaitu: pasien diminta untuk mengepalkan tangannya,
kemudian berikan tekanan pada arteri radialis dan arteri ulnaris selama beberapa
menit, setelah itu minta pasien unutk membuka tangannya, lepaskan tekanan pada
arteri, observasi warna jari-jari, ibu jari dan tangan. Jari-jari dan tangan harus
memerah dalam 15 detik, warnamerah menunjukkan test allen’s positif. Apabila
tekanan dilepas, tangan tetap pucat, menunjukkan test allen’s negatif. Jika
pemeriksaan negative, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang lain.
2. Arteri Dorsalis pedis
Merupakan arteri pilihan ketiga jika arteri radialis dan ulnaris tidak bisa
digunakan.
13
3. Arteri Brakialis
Merupakan arteri pilihan keempat karena lebih banyak resikonya bila terjadi
obstruksi pembuluh darah. Selain itu arteri femoralis terletak sangat dalam dan
merupakan salah satu pembuluh utama yang memperdarahi ekstremitas bawah.
4. Arteri Femoralis
Merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri diatas tidak dapat diambil.
Bila terdapat obstruksi pembuluh darah akan menghambat aliran darah ke seluruh
tubuh / tungkai bawah dan bila yang dapat mengakibatkan berlangsung lama dapat
menyebabkan kematian jaringan. Arteri femoralis berdekatan dengan vena besar,
sehingga dapat terjadi percampuran antara darah vena dan arteri.
Selain itu arteri femoralis terletak sangat dalam dan merupakan salah satu
pembuluh utama yang memperdarahi ekstremitas bawah.
Arteri Femoralis atau Brakialis sebaiknya jangan digunakan jika masih ada
alternative lain karena tidak memiliki sirkulasi kolateral yang cukup untuk mengatasi
bila terjadi spasme atau thrombosis. Sedangkan arteri temporalis atau axillaris
sebaiknya tidak digunakan karena adanya resiko emboli ke otak.
Prosedur pada tindakan analisa gas darah ini adalah sebagai berikut (McCann, 2004):
1. Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan sebelum memasuki
ruangan pasien.
2. Cuci tangan dengan menggunakan tujuh langkah benar.
3. Bila menggunakan peralatan AGD yang sudah siap, buka peralatan
tersebut serta pindahkan label contoh dan tas plastik (plastic bag).
4. Catat label nama pasien, nomor ruangan, temperatur suhu pasien,
tanggal dan waktu pengambilan, metode pemberian oksigen, dan nama
perawat yang bertugas pada tindakan tersebut.
14
5. Beritahu pasien alasan dalam melakukan tindakan tersebut dan jelaskan
prosedur ke pasien untuk membantu mengurangi kecemasan dan
meningkatkan kooperatif pasien dalam melancarkan tindakan tersebut.
6. Cuci tangan dan setelah itu gunakan sarung tangan.
7. Lakukan pengkajian melalui metode tes Allen.Cara allen’s tes. Minta
klien untuk mengepalkan tangan dengan kuat, berikan tekanan langsung
pada arteri radialis dan ulnaris, minta klien untuk membuka tangannya,
lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jari-jari, ibu jari dan
tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15 detik, warna
merah menunjukkan test allen’s positif. Apabila tekanan dilepas, tangan
tetap pucat, menunjukkan test allen’s negatif. Jika pemeriksaan negatif,
hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang lain.
8. Bersihkan daerah yang akan di injeksi dengan alkohol atau
povidoneiodine pad.
9. Gunakan gerakan memutar (circular) dalam membersihkan area injeksi,
dimulai dengan bagian tengah lalu ke bagian luar.
10. Palpasi arterti dengan jari telunjuk dan tengah satu tangan ketika tangan
satunya lagi memegang syringe.
11. Pegang alat pengukur sudut jarum hingga menunjukkan 30-45 derajat.
Ketika area injeksi arteri brankhial, posisikan jarum 60 derajat.
12. Injeksi kulit dan dinding arterial dalam satu kali langkah.
13. Perhatikan untuk blood backflow di syringe.
14. Setelah mengambil contoh, tekan gauze pad pada area injeksi hingga
pedarahan berhenti yaitu sekitar 5 menit.
15. Periksa syringe dari gelembung udara. Jika muncul gelembung udara,
pindahkan gelembung tersebut dengan memegang syringe ke atas dan
secara perlahan mengeluarkan beberapa darah ke gauze pad.
16. Masukan jarum ke dalam penutup jarum atau pindahkan jarum dan
tempatkan tutup jarum pada jarum yang telah digunakan tersebut.
17. Letakkan label pada sampel yang diambil yang sudah diletakkan pada
ice-filled plastic bag.
15
18. Ketika pedarahan berhenti, area yang di injeksi diberikan balutan kecil
dan direkatkan.
19. Pantau tanda vital pasien, dan observasi tanda dari sirkulasi. Pantau atau
perhatikan risiko adanya pedarahan di area injeksi.
2.6 Hasil Analisa Gas Drah
1. Interpretasi Hasil Pemeriksaan pH
Serum pH menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber ion
hidrogen dalam tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam (seperti asam laktat
dan asam keto).
Nilai normal pH serum :
Nilai normal : 7.35 - 7.45
Nilai kritis : < 7.25 - 7.55
Implikasi Klinik
1. Umumnya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia (peningkatan
pembentukan asam)
2. Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia (kehilangan asam)
3. Bila melakukan evaluasi nilai pH, sebaiknya PaCO2 dan HCO3 diketahui
juga untuk memperkirakan komponen pernafasan atau metabolik yang
mempengaruhi status asam basa
2. Interpretasi Hasil Tekanan Parsial Karbon Dioksida (PaCO2 )
PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 kyang terlarut dalam
plasma. Dapat digunakan untuk menetukan efektifitas ventilasi dan keadaan asam
basa dalam darah.
Nilai Normal : 35 - 45 mmHg SI : 4.7 - 6.0 kPa
16
Implikasi Klinik :
1. Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/ nervousness dan
emboli paru. Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapatkan perhatiaan
khusus.
2. Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada gangguan paru atau penurunan
fungsi pusat pernafasan. Nilai PaCO2 > 60 mmHg perlu mendapat perhatian
khusus.
3. Umumnya peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi sedangkan
penurunan nilai menunjukkan hiperventilasi.
4. Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2 sebesar
1.3 mmHg.
3. Interpretasi Hasil Tekanan Parsial Oksigen (PaO2 )
PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah oksigen yang
terlarut dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan paru-paru dalam
menyediakan oksigen bagi darah.
Nilai Normal (suhu kamar, tergantung umur) ; 75 - 100 mmHg SI : 10 - 13.3 kPa
Implikasi Klinik
1. Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK), penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat gangguan fisik
atau neoromuskular dan gangguan fungsi jantung. Nilai PaO2 kurang dari 40
mmHg perlu mendapatkan perhatian khusus.
2. Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2 oleh
alat bantu (contoh; nasal prongs, alat ventilasi mekanik) hiperventilasi dan
polisitemia (peningkatan sel darah merah dan daya angkut oksigen)
17
4. Interpretasi Hasil Saturasi Oksigen (SaO2)
Jumlah oksigen yang diangkut oleh hemoglobin, ditulis sebagai persentasi total
oksigen yang terikat pada hemoglobin.
Nilai Normal : 95 - 99 % O2
Implikasi Klinik
1. Saturasi oksigen digunakan untuk mengevaluasi kadar hemoglobin dan
kecakupan oksigen pada jaringan
2. Tekanan parsial oksigen yang terlarut di plasma menggambarkan jumlah
oksigen yang terikat pada hemoglobin sebagai ion bikarbonat
5. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Karbon Dioksida (CO2)
Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion bikarbonat, 5%
sebagai larutan gas CO2 terlarut dan asam karbonat. Kandungan CO2 plasma
terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa dan diatur oleh ginjal.
Gas CO2 yanhg larut ini terutama bersifat asam dan diatur oleh paru-paru. Oleh
karena itu nilai CO2 plasma menunjukkan konsentrasi bikarbonat.
Nilai Normal Karbon Dioksida (CO2) : 22 - 32 mEq/L SI : 22 - 32 mmol/L
Kandungan CO2 plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang bersifat
basa dan diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini terutama yang bersifat asam dan
diatur oleh paru-paru. oleh karena itu nilai CO2 plasma menunjukkan konsentrasi
bikarbonat.
Implikasi Klinik :
1. Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah, emfisema, dan
aldosteronisme
2. Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik asidosis
dan hiperventilasi
3. Peningkatan dan penurunan dapat terjadi pada penggunaan nitrofurantoihn.
18
2.7 Gangguan Keseimbangan Asam-Basa
2.7.1. Asidosis,
Asidosis merupakan suatu keadaan pada saat dara mengandung terlalu banyak asam
dan mengakibatkan menurunnya PH darah.
a. Asidosis Respiratorik
Asidosis respiratori
k terjadi akibat penurunan ventilasi pulmonal melalui pengeluaran sedikit
karbon dioksida oleh paru-paru. Peningkatan selanjutnya dalam pCO2
arteri dan asam karbonat akan meningkatkan kadar ion hydrogen dalam
darah.
Penyebab : Kondisi klinis yang dapat menyebabkan rertensi karbon
dioksida dalam darah,meliputi pneumonia, emfisema, penyakit paru
obstruktif kronis, stroke, trauma. Obat obatan tertentu atau
penyalahgunaan obat akan menekan frekuensi pernafasan mengakibatkan
asidosis respiratorik.
b. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolic merujuk pada setiap asidosis selain asidosis yang
disebabkan peningkatan kadar co2 pada cairan tubuh.
Penyebab : Asidosis metabolik paling umum terjadi akibat ketoasidosis
diabetic, akumulasi asam laktat akibat aktivitas otot rangka akibat
konvulsi, atau penyakit ginjal. Diare berat dan berkepanjangan juga dapat
menyebabkan asidosis.
2.7.2 Alkalosis
Alkalosis adalah suatu keadaan dimana darah mengandung terlalu banyak basa
sehngga mengakibatkan naiknya pH darah.
a. Alkalosis Respiratorik
19
Alkalosis Respiratorik merujuk pada kondisi saat CO2 dikeluarkan
terlalu cepat dari paru-paru sehingga kadar CO2 darah juga menurun.
Penyebab : Hiperventilasi dapat disebabkan oleh kecemasan overdosis
dari aspirin pada pusat pernafasan, akibat hipoksia karena tekanan udara
yang rendah di dataran tinggi.
b. Alkalosis Metabolik
Alkalosis Metabolik adala suatu kondisi dimana tubuh mengalami
kelebihan bikarbonat. Hal ini terjadi akibat pengeluaran berlebih ion
hydrogen atau peningkatan berlebih ion bikarbonat dalam cairan tubuh.
Penyebab : Muntah berkepanjangan, disfungsi ginjal, pengobatan diuretic
yang menyebabkan hipokalemi dan pemakaian antasida yang berlebihan.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan tujuan yang ada dapat disimpulkan bahwa, Pemeriksaan Analisa
Gas Darah (Astrup) adalah salah satu tindakan pemeriksaan laboratorium yang ditujukan
ketika dibutuhkan informasi yang berhubungan dengan keseimbangan asam basa (Ph),
jumlah oksigen, dan karbondioksida dalam darah pasien. Pemeriksaan ini digunakan
untuk menilai fungsi kerja paru-paru dalam menghantarkan oksigen kedalam sirkulasi
darah dan mengambil karbondioksida dalam darah. Analisa gas darah meliputi PO2, Ph,
HCO3, dan seturasi O2. Analisa Gas Darah ( AGD ) atau sering disebut Blood Gas
Analisa (BGA) merupakan pemeriksaan penting untuk penderita sakit kritis yang
bertujuan untuk mengetahui atau mengevaluasi pertukaran Oksigen (O2),Karbondiosida (
CO2) dan status asam-basa dalam darah arteri.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sloane, Ethel. Anatomi dan Fisiologi untuk pemula. Jakarta : EGC.2003. Hal :
338-342
2. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC 2012 Hal : 401-
420
3. Horne, Mima. Pamela L. Keseimbangan Cairan, Elektrolit, Asam Basa.Jakarta :
EGC 2001.135-151
4. Irwin S. Richard. James M. Rippe. Procedures, Tehnique and minimally Insasive
Monitoring in Intensive Care Unit. Philadelphia : 2008. 108-111
22
23