Panduan Shalat Berdasarkan Kitab Muktabar

download Panduan Shalat Berdasarkan Kitab Muktabar

of 5

description

panduan shalat dari kitab muktabar,kitab yang berisi semua tentang tata cara shalat bagi uma islam

Transcript of Panduan Shalat Berdasarkan Kitab Muktabar

Panduan Shalat Berdasarkan Kitab Muktabar (Bag

Panduan Shalat Berdasarkan Kitab Muktabar (Bag.1 - Niat dan Takbiratul Ihram)ShareSaturday, February 27, 2010 at 5:02pm

Alhamdulillah wash shalatu was salamu 'alaa Rasulillah, atas permintaan sahabat kami yang sangat mulya agar membahas mengenai shalat, maka kami mengusahakan untuk membahas shalat berdasarkan apa yang diketahui dari kitab-kitab ulama muktabar (madzhab Syafiiyyah) dan berdasarkan penjelasan-penjelasan yang pernah kami terima dari Asatidz dan pak Kiayi yang mulya alladzi samina wa athana-. Semula ana sempat menolak dengan alasan ana menyadari bahwa ana masih sangat awam. Akhirnya ana memenuhi pemintaan Ashabina dan mengusahakan menulisnya dengan senantiasa memohon petunjuk kepada Allah. Pembahasan ini tentu saja hanya pembahasan singkat sesuai dengan kapasitas keilmuan penulis yang faqir al-faqir ini dan akan diuraikan secara bertahap. InsyaAllah.

Sebelum membahas, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu mengetahui rukun shalat secara singkat. Kami kutipkan dari kitabSafinatun Naja (Asy-Syaikh Al-Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafii), kitab ulama madzhab syafiiiyah yang biasa dipelajari sebagai panduan shalat bagi pemula, dimana biasanya disertakan juga dengan kitab Safinatush Shalat dan penjelasan yang berasal dari guru/ustadz/kiayi mereka.

( ) : :

Rukun shalat ada 17 :1. Niat2. Takbiratul ihram3. Berdiri bagi yang mampu dalam shalat fardhu4. Membaca al-Fatihah5. Rukuk6. Tumaninah diwaktu rukuk7. Itidah8. Tumaninah diwaktu Itidal9. Sujud10. Tumaninah diwaktu sujud11. Duduk diantara dua sujud12. Tumaninah diwaktu duduk diantara dua sujud13. Tasyahud akhir14. Duduk untuk membaca tasyahud15. Membaca shalawat Nabi16. Salam17. Tertib

PENJABARAN RUKUN SHALAT1. Niat2. Takbiratul Ihram

Contoh shalat Dluhur, maka bacaannya sebagai berikut :

.... () \ () Ushalli fadlod-dhuhri arbaa rakaatin mustaqbilal qiblati ada-an ..(mamuman/imaman) lillahi taalaaArtinya, Sengaja aku shalat dhuhur 4 rakaat menghadap kiblat karena Allah taalaa.

Kemudian melakukan Takbiratul Ihram ( ) harus bersamaan dengan Niat shalat yang dilakukan didalam hati. Jika tidak bersamaan, maka shalatnya tidak sah. Niat tidak boleh mendahului takbir dan tidak (pula dilakukan) sesudah Takbir.

Penjelasan seputar Niat Shalat :

Pengertian niat adalah menyengaja melakukan sesuatu atau memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya. Niat dilakukan didalam hati, sebab merupakan amalan hati dan bersamaan dengan takbiratul Ihram. Takbiratul Ihram ( ) dilakukan dengan lisan (diucapkan).

Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafii, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat mengatakan ;

) niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.

Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab Al-Imam asy-Syafi'i, pada pembahasan Arkanush Shalat ;

. " ""(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan, tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; (" ")"

Al-Imam Syafii dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat ( )

: ..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.

Penjelasan-penjelasan seperti diatas bisa didapati dalam kitab-kitab ulama pada pembahasan shalat. MisalAl-Imam An-Nawawi didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal ( ), Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada pembahasan ( ), al-Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy asy-Syafii dalam Fathul Muin Hal 16, Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i (1/30), Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, pada pembahasan ( ), Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43), Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab ( ), Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj ( ) [II/12], Al-Allamah Al-Mahalli, didalam Syarah Mahalli Ala Minhaj Juz I (163), Al-Hujjatul Islam Al-'Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi'i, Juz I, Kitabus Shalat pada al-Bab ar-Rabi' fi Kaifiyatis Shalat, Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj ( )dan lain sebagainya.

Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;

Qashdul fili ( ) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti ( /ushalli/aku menyengaja) Tayin () maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh. Fardliyah () maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah ().

Jadi berniat, semisal ( /Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah) saja sudah cukup.

Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan bersamaan atau biasa disebut Muqaranah () mengadung pengertian sebagai berikut (Fathul Muin Bisyarhi Qurratu Ayn),

. Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafii. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir.

: Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa bersamaan itu cukup dengan kebiasaan umum (Urfiyyah/ ), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat (al-Istihdar al-Urfiyyah)

Imam Ibnu Rifah dan Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini bahwa praktek seperti atas (Muqaranah Urfiyyah ( )) tidak cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus kepada kewas-wasan.

Pada dasarnya bersamaan atau biasa disebut Muqaranah () adalah berniat yang bersamaan dengan takbiratul Ihram mulai dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ).

Namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan (Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan Muqaranah Urfiyyah ( ).

Menurut pendapat Imam Madzhab selain Imam Syafii, diperbolehkan mendahulukan niat atas takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek.

Penjelasan seputar Takbiratul Ihram :

Takbiratul Ihram didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari,

Apabila kamu hendak berdiri melakjukan shalat, maka bertakbirlah

Dinamakan takbiratul Ihram sebab orang yang mengerjakan shalat diharamkan melakukan sesuatu yang sebelumnya halal dilakukan. Contohnya, semua hal semisal makan, minum, dan lainnya adalah halal, namun ketika sudah takbiratul Ihram (shalat) semua itu diharamkan dilakukan dan bisa menjadi pembatal shalat.

Maksud dari takbir dilakukan pada awal shalat yang bersamaan dengan niat, mengandung pengertianagar orang yang mengerjakan shalat menghayati maknanya, yang menunjukkan keagungan Dzat yang kita siap mengabdi kepada-Nya, sehingga kita akan menyadari bahwa diri kita sangat lemah dan hanya Dia-lah Dzat yang Maha Besar, dengan begitu akan sempurnalah rasa takut dan kekhusuannya. Oleh karena itulah, dalam shalat takbir selalu diulang-ulang dalam setiap perpindahan rukun satu ke rukun yang lain.

Bacaan takbiratul Ihram adalah dengan lafadz( /Allahu Akbar) sebagai bentuk ittiba kepada Nabi () atau boleh dengan ( /Allahul Akbar). Selain itu, tidak boleh dan tidak disebut takbir. Contohnya seperti ; ( /Allahu Kabir), ( /Allah uAdham), ( /Ar-rahmanu Akbar) atau yang lainnya, semua itu bukan takbiratul Ihram. Penambahan Alif Lam/AL/ pada lafadz takbir () adalah tidak masalah, hal ini dijelaskan dalam kitabMughniy Muhtaj:

) ( )

Dan tidak akan merusak adanya penambahan juga tidak mencegah penamaannya yaitu tetap dinamakan takbir seperti lafadz ( ) dengan tambahan lam karena sesungguhnya lafadz tersebut tetap menunjukkan pada takbir dan atas penambahan yang berlebihan dalam hal pengagungan dan itu adalah sebuah isyarat dengan takhshish, maka jadilah seperti perkataan ( ) jika maksud ( ) adalah (maha mesar) dari segela sesuatu

Mengeraskan bacaan Takbir adalah wajib hingga bisa terdengar diri sendiri,

( ) () . ( ) . Wajib memperdengarkan takbir terhadap dirinya sendiri jika orang tersebut pendengarannya sehat, dan juga tidak ada yang menghalangi seumpama kegaduhan (suara), demikian juga (wajib mengeraskan) pada seluruh rukun-rukun yang bersifat qauliyah (ucapan), semisal Al-Fatihah, Tasyahud dan salam. (hendaknya dibaca keras sekiranya dapat didengar dirinya sendiri) pada bacaan yang dihukmi mandub (sunnah) sepaya bisa mendapatkan kesunnahan (shalat) [Fathul Muin]

Disunnahkan mengangkat kedua telapak tangan pada saat takbiratul Ihram atau salah satunya, jika memang sulit untuk mengangkat keduanya atau ada sebab lainnya dan harus dalam keadaan terbukan jika tertutup hokumnya makruh-, jari-jari renggang antara satu dengan yang lainnya, tingginya sejajar dengan dua pundak ().

Prakteknya sebagai berikut, dijelaskan dalam kitab Fathul Muin,

. Ujung jari sejajar dengan ujung telinga, ibu jari sejajar dengan putik telinga, dan kedua tapak tangan sejajar dengan kedua pundak, karena Ittiba (mengikuti) Rasulullah. Cara seperti inilah yang disunnahkan.

Dijelaskan dalam Kitab Ianah Thalibin tentang Ittaba yang dimaksud pada keterangan diatas, sebagai berikut ;

(: ) :

(Dan mengenai perkataan lilittaba) dalil untuk kesunnahan mengangkat tangan sejajar pundak, adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar ; bahwa sesungguhnya Nabi Shalallahu alayhi wa sallam mengangkat tangan sejajar dengan pundak ketika memulai shalat

Disunnahkan juga meletakkan kedua tangan dibawah dada dan diatas pusat, sebagai bentuk Ittiba kepada Nabi, serta pergelangan kiri dipegang oleh tangan kanan. Berikut redaksinya,

( ) . ( ) ()

Mengenai Lil-ittiba/karena mengikuti (Rasul) diatas, dijabarkan dalam Ianah Thalibin sebagai berikut ;

(: ) : Mengenai () adalah sebagaimana diriwayatkan Ibnu Khuzaimah didalam kitab Shahihnya, dari Wail bin Hajar mengatakan, aku shalat bersama Nabi, kemudian meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri dan dibawah dada.

Didalam Nihayatuz Zain, karangan Al-Imam An-Nawawi Ats-Tsaniy, juga dijelaskan hal yang sama ;

() ( ) :

Terjemahan bebas : (disunnahkan) meletakkan kedua tangan dibawah dadanya, tangan kanan memegang tangan kiri yaitu pergelangan tangan kiri dipegang dengan telapak tangan kanan dan diletakkan dibawah dada serta diatas pusat agak condong (geser) kearah (sebelah) kiri sedikit, berdasarkan hadits Imam Muslim dari Wail ; sesungguhnya Nabi memasuki shalat mengangkat tangannya kemudian meletakkan tangan kanannya diatas tangan kiri

DidalamAl-Majmu' Syarah Al-Muhadzab karangan Al-Imam Hujjatul Islam An-Nawawi, 4/114,didalam kitab tersebut dijelaskan ;

Terjemahan bebas, Disunnahkan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri setelah takbiratul Ihram dan meletakkan keduanya dibawah dada dan diatas pusat, inilah yang Masyhur dari Madzhab kami (madzhab Syafiiyyah), dan demikian juga Jumhur ulama dan Imam Abu Hanifah, dan Imam Sufyan Ats-Tsauriy, Imam Ishaq bin Rohawaih, Imam Abu Ishaq Al-Marwazi dari kalangan ashab kami (ulama syafiiiyah) meletakkan keduanya (tangan kanan dan kiri) dibawah pusat, dan dari Ali bin Abi Thalib ada dua riwayat sebagaimana dua pendapat, dan Imam Ahmad ada dua riwayat/pendapat, dan ada riwayat ketiga yang memilih diantara dua keduanya dan tidak melakukan tarjih dan dalam hal ini berkata Imam Auzaiy dan Ibnu Mundzir , dan dari Imam Malik ada dua riwayat/pendapat salah satunya meletakkan keduanya (tangan kiri dan kanan) dibawah dada, dan yang kedua yaitu melepaskan (kebawah) dan tidak meletakkan pada salah satunya, inilah riwayat/pendapat jumhur ulama dalam madzhabnya dan yang masyhur dalam madzhab mereka yaitu madzhab Laits bin Said dan juga dari Imam Malik rahimahullah

DidalamAl-Lubab Fil Fiqh Asy-SyafiI, Al-Imam Al-Qadhi Abu Al-Hasan al-Mahamili,

..dan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri, serta menaruhnya dibawah dadanya

DidalamKifayatul Akhyar (1/113),

dan disunnahkan untuk meletakkan telapak tangan kanan diatas tangan kiri, dan telapak tangan kanan menggenggam pergelangan tangan kiri, penetapan yang demikian berdasarkan pada perbuatan Rasulullah

Demikian mengenai meletakkan tangan setelah takbiratul Ihram, jika terjadi perbedaan masalah ini hanya masalah khilafiyah diantara ulama dan pendapat apapun yang dipegang kita harus menghormati selama berpegang pendapat yang benar.

Penjelasan Tambahan ;

Dari penjelasan diatas, kita sudah tahu bahwa shalat sudah dimulai manakala kita sudah ber-Takbir (Takbiratul Ihram) yang bersamaan dengan Niat. Adapun sebelum itu, belum masuk pada bagian shalat. Jadi melafadzkan niat atau mengucapkan Ushalli fadlod-dhuhri arbaa rakaatin mustaqbilal qiblati ada-an ..(mamuman/imaman) lillahi taalaa itu dilakukan sebelum masuk shalat. Mengucapkan yang demikian dihukumi sebagai sunnah, apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila tidak dikerjakan tidak apa-apa. Tidak termasuk menambah-nambah rukun shalat, sebab mengucapkan niat/melafadzkan niat bukan bagian dari rukun shalat dan dilakukan sebelum shalat. Pahamilah, bahwa dinyatakan telah memasuki shalat jika sudah takbiratul Ihram yang bersamaan dengan niat, sebelum itu bukan.

Kesunnahan mengucapkan niat/melafadzkan niat bisa dilihat dalam keterangan dalam kitabSafinatun Naja, Asy-Syaikh Al-Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafii, Kasyfuh As-Saja karangan Al-Imam Nawawi Al-Bantani (Ats-Tsaniy), al-Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami ( ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12), Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafiiiyah), dalam kitab Fathul Muin bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 , Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli (Imam Ramli) terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [ ] dalam kitab Nihayatul Muhtaj ( ), juz I : 437 , Asy-Syeikhul Islam Al-Imam Al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab ( ) [I/38] , Hasyiyatul Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal, Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150), Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj ( ) pada pembahasan tentang Shalat, Al-Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab Ianatut Thalibin ( ) [I/153], Al-Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin ( ) Juz I (163),dan berbagai kitab ulama madzhab lainnya.

Kami kutipkan salah satu keterangan kesunnahan tersebut dari sekian banyak kitab ulama yang disebutkan diatas, dari al-Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami ( ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;

) ( )

Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji

_____________Demikian uraian awal mengenai Shifatush Shalah, InsyaAllah pada kesempatan berikutnya akan membahas rukun shalat yang ketiga dan keempat, disertai dengan sunnah-sunnah yang dilakukan.

Wallahu subhanahu wa ta'alaa 'alamAbdurrohim Ats-Tsauriy