Panduan KKR (Radioterapi Updated)

download Panduan KKR (Radioterapi Updated)

of 62

Transcript of Panduan KKR (Radioterapi Updated)

Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia

Pengelolaan Karsinoma KolorektalSuatu Panduan Klinis Nasional

Kata PengantarPenyusunan Panduan Klinis Nasional Pengelolaan Karsinoma Kolorektal ini diprakarsai oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI). Sejak dimulainya penyusunan ini pada pertengahan tahun 2003, Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) sudah diikutsertakan. Dengan demikian, maka kelompok yang menyusun Panduan ini selengkapnya terdiri atas para dokter spesialis dalam berbagai bidang yang melakukan pengelolaan kanker kolorektal sesuai bidang masing-masing. Tujuan utama Panduan ini adalah sebagai acuan kerja yang dianjurkan untuk diikuti oleh semua pihak yang menerima pasien dengan dugaan kanker kolorektal, tidak terkecuali para dokter umum. Salah satu tujuan lain yang ingin dicapai adalah agar secepat mungkin para pasien dengan kanker kolorektal dapat dilakukan tindakan definitif. Dengan demikian maka keterlambatan yang disebabkan oleh para dokter dapat dipersingkat waktunya. Tujuan lain adalah agar pengelolaan karsinoma kolorektal pada semua tahap menjadi lebih profesional sesuai dengan bukti yang dapat ditemukan dalam kepustakaan tahun 2004. Panduan ini akan ditinjau ulang secara berkala sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi dalam pengelolaan karsinoma kolorektal. Dari para pengguna Panduan ini juga diharapkan untuk turut memberikan anjuran yang berguna untuk perbaikan Panduan ini. Kelompok Penyusun November 2004

Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia

Ketua: Wakil: Sekretaris:

Prof. Dr. R. Sjamsuhidajat, SpB-KBD Dr. Warko Karnadihardja, SpB-KBD Dr. Reno Rudiman, MSc, SpB-KBD

Komisi Diagnostik Ketua: Dr. Kiki Lukman, MSc SpB-KBD Anggota Dr. Yayat Ruchiyat, SpB-KBD Dr. C. Prabani, SpB-KBD Dr. Ali Djumhana, SpPD-KGEH Dr. Murdani Abdullah, SpPD-KGEH Dr. Tony Sudarmo, SpRad Dr. Ening, SpPA Dr. Bethy S Hernowo, SpPA, PhD Dr. Tan Siauw Koan, SpRad Dr. Sutamto Wibowo, SpB-KBD Komisi Surveilens Ketua: Prof Dr. I Riwanto, SpB-KBD Anggota Dr. C Suharti, SpPD-KHOM, PhD Dr. Basrul Hanafi, SpB-KBD Dr. F. Sumanto,MSc, SpPD-KGEH Dr. Reno Rudiman, MSc SpB-KBD Dr. Sutrisno Alibasyah, SpB-KBD Komisi Terapi Bedah Ketua: Dr. Ibrahim Basir, SpB-KBD Anggota: Dr. Hendro Wartatmo, SpB-KBD Dr. Sudjatmiko, SpB-KBD Dr. Asril Zahari, SpB-KBD Dr. Hermansyur Kartowisastro, SpB-KBD Dr. Nurhayat Usman, SpB-KBD Komisi Terapi Adjuvan Ketua: Dr. Aru Sudoyo, SpPD-KHOM Anggota: Prof Dr. Nusyirwan Acang Dr. Djohan Kurnanda Dr. C. Suharti, SpPD-KHOM, PhD DR. Dr. Suhartati Gondhowiardjo, SpRad Dr. Haryono Yarman, SpB-KBD Dr. Ami Ashariati, SpPD-KHOM Dr. Pandji Irani Fianza, SpPD

Daftar Isi1. Pendahuluan................................................................................................1 2. Insidensi dan Pencegahan Karsinoma Kolorektal...................................5 3. Deteksi dini dan Diagnosis ......................................................................11 4. Terapi..........................................................................................................23 5. Surveilens KKR Pasca Pembedahan Kuratif..........................................47 6. Informasi Dan Edukasi Penderita KKR dan Keluarganya.....................52

Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia

Pengelolaan Karsinoma KolorektalSuatu Panduan Klinis Nasional

1. Pendahuluan1.1. Latar BelakangKarsinoma kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak di dunia dan penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari gender) di Amerika Serikat.1 Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi belum ada angka yang pasti berapa insiden karsinoma kolorektal. Sjamsuhidajat (1986) dari evaluasi data-data di Departemen Kesehatan mendapatkan 1,8 per 100.000 penduduk.2 Meskipun perkembangan pengobatan adjuvan akhir-akhir ini berkembang secara cepat dan sangat maju, akan tetapi hanya sedikit saja meningkatkan survival pasien karsinoma kolorektal dalam stadium lanjut. Kunci utama keberhasilan penanganan karsinoma kolorektal adalah ditemukannya karsinoma dalam stadium dini, sehingga terapi dapat dilaksanakan secara bedah kuratif. Namun sayang sebagian besar penderita di Indonesia datang dalam stadium lanjut sehingga angka survival rendah, terlepas dari terapi yang diberikan. Penderita datang ke rumah sakit sering dalam stadium lanjut karena tidak jelasnya gejala awal dan tidak menganggap penting gejala dini yang terjadi. Terapi bedah paling efektif bila dilakukan pada penyakit yang masih terlokalisir. Bila sudah terjadi metastasis, prognosis menjadi buruk, karena pilihan terapi mungkin hanya paliatif saja. Berkembangnya kemoterapi dan radioterapi pada saat ini memungkinkan kesempatan untuk terapi adjuvan untuk penderita stadium lanjut atau pada kejadian kekambuhan. Skrining karsinoma kolorektal memegang peranan yang sangat penting. Pengalaman di berbagai negara memperlihatkan bahwa skrining yang adekuat terbukti menurunkan angka kematian akibat dari karsinoma kolorektal, karena dengan program skrining yang baik akan lebih banyak ditemukan kasus dini sehingga terapi dapat secara kuratif. Karsinoma kolorektal memerlukan penanganan multimodalitas dan belum terdapat keseragaman secara nasional dalam pendekatan terapinya. Selain terdapat kesenjangan dalam hal fasilitas skrining dan terapi dari berbagai daerah di Indonesia, juga belum adanya panduan terapi karsinoma kolorektal yang aplikatif untuk keadaan di Indonesia.

1

1.2. TujuanBerdasarkan kenyataan diatas, Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia membuat Panduan Nasional Pengelolaan Adenokarsinoma Kolorektal dengan tujuan: - mendukung usaha-usaha menurunkan insidensi karsinoma kolorektal pada masyarakat umum dan pada kelompok risiko tinggi, - mendukung usaha diagnosis dini pada masyarakat umum dan pada kelompok risiko tinggi, - meningkatkan usaha rujukan, pencatatan dan pelaporan yang konsisten, - meningkatkan seluruh aspek pengelolaan karsinoma kolorektal sehingga dapat meningkatkan angka survival keseluruhan, angka survival bebas penyakit dan peningkatan kualitas hidup.

1.3. Sasaran penggunaPengelolaan kanker kolorektal memerlukan penanganan multidisiplin yang melibatkan spesialis bedah, spesialis penyakit dalam bidang onkologi, spesialis patologi anatomi, spesialis radiologi, dan perawat. Secara lebih luas, tim tersebut dapat melibatkan spesialis penyakit dalam bidang gastroenterologi, spesialis asuhan keperawatan paliatif, dan dokter umum. Panduan nasional ini dapat dipakai oleh para tenaga medis profesional diatas, para penderita, dan para penentu kebijakan yang terkait.

1.4. Pernyataan kebijakanPanduan nasional ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan standar pelayanan medis yang sudah ada. Standar pelayanan dibuat dari pengalaman klinis, sumber daya manusia dan fasilitas yang tersedia. Penerapan untuk tiap individu selalu disesuaikan dengan keadaan klinis dan mungkin berubah sesuai perkembangan ilmu dan teknologi, dan standar pengelolaan yang baik. Parameter yang dipakai dalam panduan nasional ini hanya merupakan petunjuk umum. Mengikuti semua petunjuk didalam panduan ini tidak merupakan jaminan kesembuhan pada setiap kasus. Evaluasi perencanaan pengelolaan yang sesuai hendaknya didapat dari tim dokter yang menangani penderita, setelah mendiskusikan pilihan pengelolaan dengan penderita dan keluarganya, yang sesuai untuk keadaan klinis penderita.

1.5. Peninjauan ulang dan pembaruanPanduan nasional ini dibuat pada tahun 2004 dan secara berkala akan ditinjau ulang untuk disesuaikan dengan bukti ilmiah terbaru. Panduan ini terbuka untuk perubahan. Masukan dapat ditampung melalui email [email protected], fax 022-2034574, atau SMS +62 811 222074.

2

1.6. Tingkatan Bukti dan Gradasi RekomendasiDalam menetapkan rekomendasi untuk pengelolaan, sejauh mungkin dipakai tingkatan bukti ilmiah tertinggi. Gradasi rekomendasi ini didasarkan kepada tingkatan bukti yang sesuai, tidak menggambarkan kepentingan klinis.

1.6.1. Tingkatan Bukti1++ 1+ 12++ Meta-analisis berkualitas tinggi, review sistematik penelitian acak terkontrol (randomized controlled trials) atau penelitian acak terkontrol dengan risiko bias yang sangat kecil Meta-analisis yang baik, review sistematik penelitian acak terkontrol atau penelitian acak terkontrol dengan risiko bias yang kecil Meta-analisis, review sistematik penelitian acak terkontrol atau penelitian acak terkontrol dengan risiko bias yang besar. Review sistematik berkualitas tinggi dari suatu penelitian kohort atau uji kasus kelola, atau penelitian kohort atau uji kasus kelola dengan risiko bias yang sangat kecil, atau mempunyai probabilitas yang tinggi bahwa hubungan tersebut kausal. Uji kasus-kelola atau uji kohort yang dilakukan dengan baik dengan risiko bias yang kecil dan mempunyai probabilitas yang sedang bahwa hubungan tersebut kausal. Uji kasus-kelola atau uji kohort dengan risiko bias yang besar dan terdapat risiko bermakna bahwa hubungan tersebut tidak kausal. Studi non-analitik seperti laporan kasus, laporan serial. Pendapat ahli

2+ 23 4

3

1.6.2. Gradasi Rekomendasi

A

B C D E

Paling tidak didukung oleh satu meta-analisis, review sistematik penelitian acak terkontrol, atau penelitian acak terkontrol dengan tingkatan 1++, dan dapat diterapkan pada populasi sasaran, atau; Sejumlah bukti dari sejumlah penelitian tingkat 1+, dapat diterapkan pada populasi sasaran, dan memperlihatkan hasil yang konsisten. Sejumlah bukti dari beberapa studi tingkat 1- atau 2++, dapat diterapkan pada populasi sasaran, dan memperlihatkan hasil yang konsisten Sejumlah bukti dari beberapa studi tingkat 2+, dapat diterapkan pada populasi sasaran, dan memperlihatkan hasil yang konsisten Bukti ilmiah tingkat 3 atau 4 Rekomendasi yang didasarkan pengalaman klinik terbaik dari penyusun panduan

1.7. Teknik penyusunanKelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia beranggotakan panelis para pakar multidisiplin yang bekerja dalam jangka waktu tertentu, mengumpulkan data terbaru dari journal dan menerapkan prinsip-prinsip kedokteran berbasis bukti (Evidence Based Medicine) dalam menulis Panduan Nasional.

4

2. Insidensi dan Pencegahan Karsinoma Kolorektal2.1. InsidensiKarsinoma kolorektal (KKR) merupakan keganasan ketiga terbanyak didunia dan penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari gender) di Amerika Serikat. Diperkirakan dalam tahun 2002 akan ditemukan kasus baru sebanyak 148.300 dengan kematian 56.600. Antara tahun 1973 sampai 1995 di Amerika Serikat. kematian akibat KKR menurun 20,8% dan insiden juga menurun 7,4%. Angka survival 5 tahun adalah 62,1%. Sekitar 6% penduduk Amerika diperkirakan bisa berkembang KKR dalam hidupnya. Risiko untuk mendapatkan KKR mulai meningkat setelah umur 40 tahun dan meningkat tajam pada umur 50 sampai 55 tahun, risiko meningkat dua kali lipat setiap dekade berikutnya.3 Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi belum ada angka yang pasti berapa insiden KKR. Sjamsuhidajat (1986) dari evaluasi data-data di Departemen Kesehatan mendapatkan 1,8 per 100.000 penduduk.2 Tirtosugondo (1986) untuk Kodya Semarang, melaporkan peningkatan KKR, dimana Age Standardized Rate (ASR) per 100.000 penduduk untuk laki-laki tahun 1970-1974: 2,5; tahun 1980-1981: 3,2; sementara untuk wanita tahun 1970-1974: 2,2; tahun 1982: 3,4 dan menduduki urutan kelima diantara keganasan yang lain. Angka ini agaknya insiden minimal, karena tidak jarang ada kasus yang tidak dilaporkan atau pasien tidak berobat ke rumah sakit.4 Meskipun perkembangan pengobatan adjuvan akhir-akhir ini berkembang secara cepat dan sangat maju, akan tetapi hanya sedikit saja meningkatkan survival pasien KKR dalam stadium lanjut. Atas dasar itu pencegahan primer, dalam arti mencegah terjadinya KKR dan pencegahan sekunder, dalam arti menemukan kasus dalam stadium dini harus dikembangkan dalam rangka menekan morbiditas dan mortalitas pasien KKR.

2.2. Etiologi dan Pencegahan KKRSecara umum dinyatakan bahwa untuk perkembangan KKR merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan multipel beraksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi KKR.5 Terdapat 3 kelompok KKR berdasarkan perkembangannya yaitu: 1. kelompok yang diturunkan (inherited) yang mencakup kurang dari 10% dari kasus KKR; 2. kelompok sporadik, yang mencakup sekitar 70%; 3. kelompok familial, mencakup 20%. 6 Kelompok diturunkan adalah mereka yang dilahirkan sudah dengan mutasi germline (germline mutation) pada salah satu allele dan terjadi mutasi somatik pada allele yang lain. Contohnya adalah FAP (Familial Adenomatous Polyposis) dan HNPCC (Hereditary Non-Polyposis Colorectal Cancer.

5

HNPCC terdapat pada sekitar 5% dari KKR. Kelompok sporadik membutuhkan dua mutasi somatik, satu pada masing masing allele-nya. Kelompok familial tidak sesuai kedalam salah satu dari dominantly inherited syndromes diatas (FAP & HNPCC) dan lebih dari 35% terjadi pada umur muda. Meskipun kelompok familial dari KKR dapat terjadi karena kebetulan saja, akan tetapi faktor lingkungan, penetrant mutations yang lemah atau currently germline mutations dapat berperan.6 Terdapat 2 model perjalanan perkembangan KKR (karsinogenesis) yaitu LOH (Loss of Heterozygocity) dan RER (Replication Error). Model LOH mencakup mutasi tumor gen supresor meliputi gen APC, DCC dan p-53 serta aktifasi onkogen yaitu K-ras. Model ini contohnya adalah perkembangan polip adenoma menjadi karsinoma. Sementara model RER karena adanya mutasi gen hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2. Model terakhir ini contohnya adalah perkembangan HNPCC. Pada bentuk sporadik, 80% berkembang lewat model LOH dan 20% berkembang lewat model RER.7

2.2.1. Lemak, protein, kalori, daging.Masih terdapat kontroversi hasil penelitian epidemiologi, eksperimental pada binatang dan penelitian klinik hubungan antara diet tinggi lemak, protein, kalori, dan daging (baik daging putih maupun merah) dengan peningkatan insiden KKR. Disatu kelompok menunjukkan bahwa faktor tersebut berperan secara bermakna, sementara kelompok lain tidak menunjukkan peran yang bermakna. Akan tetapi yang jelas faktor-faktor tersebut diatas tidak ada yang berefek protektif. Atas dasar itu disimpulkan bahwa: Penelitian epidemiologik, eksperimental pada binatang dan penelitian klinik memberikan kesan bahwa diet tinggi lemak, protein, kalori, dan daging merah dan putih adalah berhubungan dengan kenaikan insiden KKR.3 Rekomendasi tingkat C Hindari makan tinggi lemak, protein, kalori, daging merah dan putih. Cukupkan makanan dengan kalsium dan asam folat untuk menekan kejadian KKR.

2.2.2. AlkoholHubungan KKR dengan konsumsi alkohol tidak jelas. Meskipun kebanyakan hasil penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara konsumsi alkohol dengan kejadian KKR, namun proporsi cukup besar penelitian tidak menunjukkan hubungan. Meta-analisis terakhir menujukkan heterogenitas hasil yang bermakna antara penelitian kohort dan kasus-kelola pada kejadian karsinoma kolon, sementara untuk karsinoma rektum terdapat heterogenitas yang bermakna antara kualitas metodologi dan jenis kelamin. Atas dasar hal tersebut rekomendasi menghentikan minum alkohol untuk mencegah kejadian KKR belum bisa diberikan.8

6

2.2.3. KalsiumCukup banyak (meskipun tidak semua) penelitian epidemiologik menunjukkan hubungan yang negatif antara jumlah asupan kalsium dengan risiko kejadian KKR. Uji acak terkontrol menunjukkan bahwa pemberian kalsium menekan kekambuhan adenoma secara bermakna. Dosis yang dipakai dalam penelitian antara 1250-2000mg.3 Rekomendasi Tingkat A Pasca polipektomi adenoma disarankan pemberian suplementasi kalsium

2.2.4. VitaminPenelitian kohort prospektif pada lebih dari 35 wanita, menunjukkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara risiko karsinoma kolon dengan suplementasi vitamin E. Penelitian kasus-kontrol menunjukkan juga hubungan terbalik antara suplementasi vitamin D dengan kejadian karsinoma kolon. Demikian juga suplementasi asam folat 400mg/hari juga berperan dalam menurunkan kejadian KKR.3 Rekomendasi Tingkat C Disarankan suplementasi vitamin E, vitamin D serta asam folat dalam upaya menekan kejadian KKR

2.2.5. Konsumsi buah dan sayurDua puluh dua penelitian kasus dan kelola, mencakup 6000 kasus secara konsisten mendukung bahwa terdapat hubungan terbalik antara jumlah konsumsi sayur dengan jumlah kejadian KKR. Enam kohort mencakup lebih dari 2600 kasus, terutama publikasi terakhir kurang mendukung hubungan konsumsi sayuran dengan kejadian KKR. Hubungan konsumsi makanan yang berserat dengan kejadian KKR tidak jelas pada penelitian kohort, sementara penelitian kasus-kelola hasilnya tidak konsisten. Uji acak terkontrol sampel kecil menunjukkan suplemen dengan wheat bran memberikan dukungan yang kecil dalam efek protektif terhadap kejadian adenoma kolorektal.8 Rekomendasi Tingkat C Disarankan lebih banyak mengkonsumsi buah dan sayuran setiap harinya.

7

2.2.6. Kelebihan berat badanLebih dari 20 penelitian, mencakup lebih dari 3000 kasus secara konsisten mendukung bahwa terdapat hubungan yang positif antara obesitas dan kejadian KKR. Satu meta-analisis dari penelitian kohort dan kasus-kelola menunjukkan kenaikan risiko 15% karsinoma kolon pada orang yang overweight (BMI>25,0kg/m2) dibanding berat badan normal (BMI 18,5-25,0 kg/m2) dan risiko meningkat menjadi 33% pada obesitas (BMI>30 kg/m2) dibanding berat badan normal.8 Rekomendasi Tingkat B Disarankan mempertahankan BMI antara 18,5-25,0 kg/m2 sepanjang hidup

2.2.7. Aktifitas fisikSekitar 50 studi kasus-kelola atau kohort, mencakup 13.000 kasus menunjukkan hasil yang konsisten bahwa aktifitas fisik menekan risiko (pengurangan risiko sampai 50%) kejadian karsinoma kolon. Hubungan ini kuat pada laki-laki dan karsinoma kolon, tetapi pengaruhnya hanya sedikit pada karsinoma rektum baik laki-laki maupun perempuan.8 Rekomendasi Tingkat B Disarankan melakukan aktifitas fisik (misalnya jalan) paling tidak untuk 30 menit dalam sehari

2.2.8. NSAIDNSAIDs akan menghambat produksi prostaglandin, melalui hambatan pada COX. COX akan merangsang angiogenesis pada KKR. Beberapa penelitian kohort dan kasus-kontrol dengan disain baik menunjukkan bahwa golongan NSAID yaitu piroksikam, sulindak dan aspirin dapat mencegah terbentuknya adenoma atau menyebabkan regresi polip adenoma pada FAP.3 Rekomendasi Tingkat C Pada pasien FAP bisa diberikan NSAID yaitu piroksikam, sulindak atau aspirin untuk mencegah terbentuknya adenoma dan menekan kekambuhan

2.2.9. MerokokMeskipun penelitian awal tidak menunjukkan hubungan merokok dengan kejadian KKR, tetapi penelitian terbaru perokok jangka lama (periode induksi 30-40 tahun) mempunyai risiko relatif berkisar 1,5-3 kali. Diestimasikan bahwa satu dari lima KKR di Amerika bisa diatributkan kepada merokok [SIGN 2003]. Penelitian kohort dan kasus-kontrol dengan disain yang baik menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan kenaikan risiko

8

terbentuknya adenoma dan juga kenaikan risiko perubahan adenoma menjadi KKR. 3 Rekomendasi Tingkat C Untuk mencegah kejadian KKR dianjurkan tidak merokok

2.2.10. Pengobatan sulih hormon wanitaTerdapat hubungan terbalik antara estrogen replacement therapy (ERT) dengan kejadian KKR. Dari 4 meta-analisis yang ada terdapat heterogenitas yang bermakna dalam besaran efek dari penelitian Satu uji acak terkontrol menunjukkan ERT menurunkan risiko KKR dan fraktur pelvis, akan tetapi manfaat ini diikuti efek yang tidak baik yaitu meningkatnya penyakit jantung koroner, strokes, emboli paru dan kanker payudara invasif.8 Rekomendasi Tingkat B Penggunaan estrogen replacement therapy khususnya untuk mencegah KKR tidak direkomendasikan.

2.2.11. KolonoskopiPenelitian kohort dan kasus-kontrol dengan disain baik menunjukkan bahwa kolonoskopi dan pengangkatan polip adenomatosa dapat mengurangi risiko kejadian KKR.3 Rekomendasi Tingkat C Kolonoskopi dan polipektomi pada pasien yang ditemukan adanya polip

2.2.12. Test darah samarSkrining dengan test darah samar, bila hasilnya positif diikuti pemeriksaan kolonoskopi atau kolonografi kontras ganda dan sigmoidoskopi fleksibel setiap tahun, dalam follow-up 18 tahun, menurunkan insiden KKR sebesar 20% sementara yang setiap 2 tahun menurunkan 17%.3 Rekomendasi Tingkat D Disarankan untuk skrining dengan test darah samar sejak usia 40 tahun. 9

10

3. Deteksi dini dan DiagnosisDeteksi dini (skrining) dan diagnosis pada pengelolaan KKR memiliki peranan penting di dalam memperoleh hasil yang optimal yaitu meningkatnya survival, dan menurunnya tingkat morbiditas dan mortalitas para penderita KKR. Pada bagian ini akan diuraikan panduan di dalam melaksanakan deteksi dini dan diagnosis.

3.1. Deteksi diniDeteksi dini adalah investigasi pada individu asimtomatik yang bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.

3.1.1. IndikasiSecara umum deteksi dini dilakukan pada dua kelompok yaitu populasi umum dan kelompok risiko tinggi. Deteksi dini pada populasi dilakukan kepada individu yang berusia di atas 40 tahun. Deteksi dini dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi menderita KKR yaitu : o Penderita yang telah menderita kolitis ulserativa atau Crohn > 10 tahun,9,10 o Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal,11,12,13 o Individu dengan adanya riwayat keluarga penderita KKR. Individu dengan riwayat keluarga memiliki risiko menderita KKR 5 kali lebih tinggi dari pada individu pada kelompok usia yang sama tanpa riwayat penyakit tersebut.14,15 Terdapat dua kelompok pada individu dengan keluarga penderita KKR, yaitu: o individu yang memiliki riwayat keluarga dengan Hereditary NonPolyposis Colorectal Cancer (HNPCC), o individu yang didiagnosis secara klinis menderita Familial Adenomatous Polyposis (FAP) Pada kelompok HNPCC terdapat tiga tingkat risiko terhadap kemungkinan seseorang individu menderita KKR dan kriteria untuk masing-masing risiko dapat dilihat pada tabel dibawah ini

11

Kriteria tingkat risiko pada individu dengan riwayat keluarga penderita KKR. (Kriteria Amsterdam)16 Tingkat Risiko Tinggi Kriteria Paling sedikit tiga anggota keluarga menderita KKR atau paling sedikit dua dengan KKR dan satu dengan karsinoma endometrial pada paling sedikit dua generasi. Satu dari anggota keluarga telah menderita di bawah usia 50 tahun dan salah satu anggota yang didiagnosis adalah silsilah pertama dari keluarga. Ditemukannya pembawa (carrier) gen HNPCC Anggota keluarga yang tidak diuji genetik Seorang anggota keluarga silsilah pertama menderita KKR pada usia < 45 tahun, atau Dua anggota keluarga silsilah pertama menderita KKR (Seorang pada usia < 55 tahun), atau Dua atau tiga anggota keluarga (salah seorang pada usia < 55 tahun) dengan KKR atau karsinoma endometrial yang merupakan silsilah pertama. Seorang yang tidak memenuhi kriteria tinggi dan sedang.

Sedang

Rendah

Apabila tidak dilakukan terapi, 7 % penderita FAP akan menderita adenoma pada usia 21 tahun, 50 % pada usia 39 tahun, dan 90% pada usia 45 tahun.17 Individu yang didiagnosis secara klinis menderita Familial Adenomatous Polyposis (FAP)

12

Rekomendasi Tingkat C Deteksi dini pada populasi dilakukan kepada individu yang berusia di atas 40 tahun. Deteksi dini dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi menderita KKR yaitu : o penderita yang telah menderita kolitis ulserativa atau Crohn > 10 tahun, o penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal, o individu dengan adanya riwayat keluarga penderita KKR

3.1.2. Metoda3.1.2.1. Deteksi dini pada populasi a. test darah tersamar pada feses (Fecal Occult Blood Test = FOBT) setiap tahun FOBT menurunkan tingkat mortalitas KKR sebesar 16%, dan bila dilakukan penyesuaian pada tingkat kehadiran, mencapai reduksi tingkat mortalitas sampai dengan 23%.18 FOBT menurunkan insidensi KKR, disebabkan oleh deteksi dan polipektomi pada adenoma yang ditemukan.12 b. sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi Kebanyakan KKR berasal dari polip adenoma sehingga setiap lesi harus diangkat. Tindakan polipektomi telah terbukti secara bermakna menurunkan risiko KKR.13 3.1.2.2. Deteksi dini pada kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi a. Penderita yang telah menderita kolitis ulserativa atau Crohn > 10 tahun Apabila telah berjalan selama 20 tahun atau ditemukan adanya displasia, maka kolonoskopi harus dilakukan setiap tahun.13 Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal:14 o Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma harus selalu ditawarkan untuk menjalani follow-up kolonoskopi. o Apabila ditemukan polip berukuran < 1 cm pada follow-up maka selanjutnya dilakukan kolonoskopi setiap 5 tahun. o Apabila ditemukan lebih dari 3 adenoma, atau paling sedikit satu berukuran > 1 cm, atau adanya displasia berat, maka dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun. Apabila pada kolonoskopi selanjutnya tidak ditemukan polip, maka kolonoskopi dapat dihentikan.

13

b. Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal8 Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma harus selalu ditawarkan untuk menjalani follow-up kolonoskopi. Apabila ditemukan polip berukuran < 1 cm pada follow-up maka selanjutnya dilakukan kolonoskopi setiap 5 tahun. Apabila ditemukan lebih dari 3 adenoma, atau paling sedikit satu berukuran > 1 cm, atau adanya displasia berat, maka dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun. Apabila pada kolonoskopi selanjutnya tidak ditemukan polip, maka kolonoskopi dapat dihentikan

14

c. Individu dengan adanya riwayat keluarga penderita KKR: Tingkat Risiko Tinggi Skrining Kolonoskopi setiap dua tahun Tawarkan skrining tumor ginekologi Tawarkan upper GI endoskopi setiap 2 tahun. Pertimbangkan deteksi dini untuk kanker lainnya yang mungkin berhubungan dengan HNPCC Kolonoskopi tunggal Kolonoskopi ulang satu kali jika kolonoskopi sebelumnya normal Penyuluhan pada penderita untuk mendorong gaya hidup sehat. Usia skrining Usia 30 70 tahun Untuk Ca Gaster antara usia 50 70 tahun.

Sedang

Usia 30 35 tahun dan 55 tahun

Rendah

Tidak diperlukan

c. Individu yang memiliki risiko tinggi menderita Familial Adenomatosis Polyposis (FAP) berdasarkan riwayat keluarga dengan FAP. Bila fasilitas tersedia dilakukan pemeriksaan genetik adanya mutasi gen APC. Ditawarkan kolonoskopi setiap dua tahun dan sigmoidoskopi setiap tahun. .

Rekomendasi tingkat A Deteksi dini pada populasi umum dilakukan dengan cara test darah samar Rekomendasi tingkat E Deteksi dini pada populasi umum dapat dilakukan dengan sigmoidoskopi fleksibel atau kolonoskopi bila fasilitas tersedia Rekomendasi tingkat B Deteksi dini pada kelompok risiko tinggi selalu dianjurkan untuk menjalani follow-up kolonoskopi

15

3.2. Diagnosis3.2.1. Kriteria diagnosis3.2.1.1. Anatomi Kolon adalah usus besar proksimal dari rektum. Pada orang dewasa, yang dimaksud dengan rektum intra-operatif adalah batas fusi dua taenia mesenterik dengan area amorfus rektum (true rectum); sedangkan pada pemeriksaan sigmoidoskop kaku, rektum disepakati berjarak 15 cm dari anal verge (UKCCR) atau 12 cm dari anal verge (USA). Pilihan penanganan karsinoma rekti memerlukan ketepatan lokalisasi tumor, karena itu untuk tujuan terapi rektum dibagi dalam 3 bagian, yaitu 1/3 atas, 1/3 tengah dan 1/3 bawah. Bagian 1/3 atas dibungkus oleh peritoneum pada bagian anterior dan lateral, bagian 1/3 tengah dibungkus peritoneum hanya di bagian anterior saja, dan bagian 1/3 bawah tidak dibungkus peritoneum. Lipatan transversal rektum bagian tengah terletak + 11cm dari garis anokutan dan merupakan tanda patokan adanya peritoneum. Bagian rektum di bawah katub media disebut ampula rekti, di mana bila bagian ampula ini direseksi maka frekuensi defekasi secara tajam akan meningkat. Hal ini merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam memilih tindakan pembedahan. Bagian posterior rektum tidak ditutup peritoneum tetapi dibungkus oleh lapisan tipis fascia pelvis yang disebut fascia propria. Pada setiap sisi rektum di bawah peritoneum terdapat pengumpulan fascia yang dikenal sebagai ligamen lateral, yang menghubungkan rektum dengan fascia pelvis parietal . Letak ujung bawah tumor pada karsinoma rekti biasanya dihitung dari berapa cm jarak tumor tersebut dari garis anokutan. Pada hasil-hasil yang dilaporkan harus disebutkan apakah pembagian tersebut dibuat dengan endoskopi yang kaku atau fleksibel dan apakah patokannya dari garis anokutan, linea dentata, atau cincin anorektal. Bagian utama saluran limfatik rektum melewati sepanjang trunkus a. hemoroidalis superior menuju a. mesenterika inferior. Hanya beberapa saluran limfe yang melewati sepanjang v. mesenterika inferior. Kelenjar getah bening pararektal di atas pertengahan katup rektum mengalir sepanjang cincin limfatik hemoroidalis superior. Di bawahnya (yaitu 7-8 cm di atas garis anokutan), beberapa saluran limfe menuju ke lateral. Saluransaluran limfe ini berhubungan dengan kelenjar getah bening sepanjang a. hemoroidalis media, fossa obturator dan a. hipogastrika serta a. iliaka komunis. Perjalanan saluran limfatik utama pada karsinoma rekti adalah mengikuti pembuluh darah rektum bagian atas menuju kelenjar getah bening mesenterika inferior. Aliran limfatik rektum bagian tengah dan bawah juga mengikuti pembuluh darah rektum bagian tengah dan berakhir di kelenjar 16

getah bening iliaka interna. Karsinoma rekti bagian bawah yang menjalar ke anus kadang-kadang dapat bermetastase ke kelenjar inguinal superfisial karena adanya hubungan dengan saluran limfatik eferen yang menuju ke anus bagian bawah. 3.2.1.2. Nilai prediksi tinggi KKR Berikut ini adalah gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi akan adanya KKR:12,13 a. Keluhan utama dan pemeriksaan klinis: Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan/atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur)14 Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun) Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6 minggu (di atas 60 tahun) Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur) Massa intra-luminal di dalam rektum Tanda-tanda obstruksi mekanik usus. Setiap penderita dengan anemia defisiensi Fe (Hb < 11g% pada pria dan Hb < 10g% pada wanita pasca menopause) b. Pemeriksaan colok dubur: Dilakukan pada setiap penderita dengan gejala ano-rektal Menetapkan keutuhan sfingter ani Menetapkan ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal. Rekomendasi Tingkat A Setiap penderita yang secara klinik dicurigai menderita KKR, seluruh kolon dan rektum harus dinilai dan dilakukan investigasi. Penilaian rektum melibatkan pemeriksaan colok dubur

Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan adanya suatu penonjolan tepi, dapat berupa :

17

a. suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu suatu plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas. b. suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi c. suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang menonjol dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering) d. suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin

Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah: a. keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis. Pada penderita perempuan sebaiknya juga dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui apakah mukosa vagina di atas tumor tersebut licin dan dapat digerakkan atau apakah ada perlekatan dan ulserasi, juga untuk menilai batas atas dari lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok dubur. b. mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus. c. ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi. 3.2.2. Pemeriksaan Penunjang Berdasarkan basis bukti sampai dengan saat ini, terdapat tiga macam pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif di dalam diagnosis KKR, yaitu enema barium, endoskopi dan CT-pneumokolon. Tingkat akurasi pemeriksaanpemeriksaan tersebut sangat tergantung pada persiapan kolon yang baik. 3.2.2.1. Enema barium dengan kontras ganda: Pemeriksaan enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda karena memberikan keuntungan sebagai berikut : sensitivitasnya untuk mendiagnosis KKR: 65 95 %, aman, tingkat keberhasilan prosedur sangat tinggi, tidak memerlukan sedasi, telah tersedia di hampir seluruh rumah sakit. Terdapat kelemahan pemeriksaan enema barium yaitu: lesi T1 sering tak terdeteksi,

18

rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi di rekto-sigmoid dengan divertikulosis dan di sekum, rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi tipe datar, rendahnya sensitivitas (7095 %) di dalam mendiagnosis polip < 1 cm, mendapat paparan radiasi.

3.2.2.2. Endoskopi Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidoskopi rigid, sigmoidoskopi fleksibel, dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi fleksibel lebih efektif dibandingkan dengan sigmoidoskopi rigid untuk visualisasi kolon dan rektum. Tidak terdapat perbedaan akurasi yang bermakna antara pemeriksaan kolonoskopi dibandingkan dengan kombinasi enema barium kontras ganda dan sigmoidoskopi fleksibel di dalam mendeteksi KKR atau polip yang berukuran 9 mm.19,20

Kolonoskopi adalah pemeriksaan endoskopi yang sangat efektif dan sensitif di dalam mendiagnosis KKR, namun tingkat kualitas dan kesempurnaan prosedur bergantung pada persiapan kolon, sedasi dan kompetensi operator. Kolonoskopi memberikan keuntungan sebagai berikut: tingkat sensitivitas di dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal adalah 95 %, kolonoskopi berfungsi sebagai alat diagnostik melalui biopsi dan terapi pada polipektomi, kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan melakukan reseksi synchronous polyp, tidak ada paparan radiasi. Kerugian kolonoskopi adalah : pada 5 30 % pemeriksaan tidak dapat mencapai sekum, sedasi intravena selalu diperlukan, lokalisasi tumor dapat tidak akurat, tingkat mortalitas adalah 1 : 5000 kolonoskopi. Rekomendasi Tingkat B Pada semua kasus yang dicurigai KKR, dilakukan kolonoskopi. Jika tidak dapat dilakukan kolonoskopi, sigmoidoskopi dilanjutkan dengan pemeriksaan barium enema kontras ganda.

19

3.2.2.3. Pneumocolon Computed Tomography (PCT) Apabila terdapat spesialis radiologi yang berkompeten pada pemeriksaan ini, maka pemeriksaan ini akan memberikan keuntungan sebagai berikut: memiliki sensitivitas tinggi di dalam mendiagnosis KKR, toleransi penderita baik, dapat memberikan informasi keadaan di luar kolon, termasuk untuk menentukan stadium melalui penilaian invasi lokal, metastasis hepar, dan kelenjar getah bening. Sedangkan kerugiannya adalah : tidak dapat mendiagnosis polip < 10 mm, memerlukan radiasi yang lebih tinggi, tidak dapat menetapkan adanya metastasis pada kelenjar getah bening apabila kelenjar getah bening tidak mengalami pembesaran, jumlah spesialis radiologi yang berkompeten masih terbatas, tidak dapat dilakukan biopsi atau polipektomi.

3.2.3. Penetapan stadium pre-operatif Penetapan stadium pre-operatif harus dilakukan, karena strategi terapi untuk setiap stadium berbeda. Prosedur yang dilakukan untuk penetapan stadium pre-operatif adalah: deteksi perluasan tumor primer dan infiltrasinya, deteksi kelenjar getah bening regional dan para-aorta, deteksi metastasis ke hepar dan paru-paru, deteksi metastasis ke cairan intraperitoneal. 3.2.3.1. Penetapan stadium pre-operatif pada karsinoma kolon Deteksi perluasan tumor primer dan infiltrasinya pada karsinoma kolon secara ultrasonografik endoskopi belum berkembang. Untuk menetapkan stadium tumor primer (T), adanya metastasis ke kelenjar getah bening (N), dan adanya metastasis ke dalam hepar dan paru-paru (M), diperlukan pemeriksaan Abdomino-pelvic CT-scanning, MRI, ultrasonografi transabdominal Tingkat A Rekomendasi dan foto thoraks. Seluruh penderita karsinoma kolon yang akan menjalani pembedahan Untuk pemeriksaan metastasis hepar,pencitraan hepar dan paru-paru elektif, harus menjalani pemeriksaan pemeriksaan pre-operatif CT Scan atau MRI lebih sensitif dari pada ultrasonografi trans-abdominal. Metoda pre-operatif dengan CT scan atau MRI, dan foto thoraks. yang paling sensitif untuk mendiagnosis adanya metastasis hepar adalah Pada penderita yang harus menjalani bedah emergensi, pemeriksaan kombinasi ultrasonografi intra-operatif dan palpasi pada saat scan atau ultrasonografi intra-operatif dan pemeriksaan pencitraan CT pembedahan. MRI post-operatif. Rekomendasi Tingkat C Apabila fasilitas CT scan atau MRI tidak tersedia, maka ultrasonografi trans-abdominal dapat digunakan untuk mendeteksi metastasis ke hepar. 20

3.2.3.2. Penetapan stadium pre-operatif pada karsinoma rekti a. Pemeriksaan colok dubur: bermanfaat terutama pada tumor rektum distal, akurasi stadium yang ditentukan oleh pemeriksaan colok dubur sangat tergantung kepada pengalaman dokter pemeriksa, pemeriksaan colok dubur lebih akurat dalam penetapan stadium lokal lanjut daripada stadium tumor dini, sehingga nilainya untuk kriteria pemilihan pasien yang akan mendapat terapi lokal adalah terbatas. b. Ultrasonografi endoluminal trans-rektal: menetapkan tingkat infiltrasi peri-rektal tumor primer: akurasi 81 96 %, menetapkan metastasis kelenjar getah bening peri-rektal: akurasi 60 83 %, dilakukan oleh spesialis bedah kolorektal (operator dependent), digunakan terutama pada T1 yang akan dilakukan eksisi trans-anal, digunakan pada T3-4 yang dipertimbangkan untuk terapi neo-adjuvan, digunakan apabila direncanakan reseksi trans-anal atau kemoradioterapi c. CT-scan dan MRI: memperlihatkan invasi ekstra-rektal dan invasi organ sekitar rektum, tetapi tidak dapat membedakan lapisan-lapisan dinding usus, akurasi tidak setinggi ultrasonografi endoluminal untuk mendiagnosis metastasis ke kelenjar getah bening, berguna untuk mendeteksi metastasis ke kelenjar getah bening retroperitoneal dan metastasis ke hepar, berguna untuk menentukan suatu tumor stadium lanjut apakah akan menjalani terapi adjuvan pre-operatif untuk mengevaluasi keadaan ureter dan buli-buli. akurasi pembagian stadium dengan menggunakan CT-scan adalah 80% dibanding MRI 59%. Untuk menilai metastase kelenjar getah bening akurasi CT-scan adalah 65%, sedang MRI 39%. Spesifisitas pemeriksaan CT-scan pelvis 90%, sedang sensitivitasnya adalah 40%, dibanding MRI 13%. 21

Rekomendasi Tingkat A Seluruh penderita karsinoma rektum harus menjalani pemeriksaan ultrasonografi endoluminal trans-rektal. Seluruh penderita karsinoma rektum yang akan menjalani pembedahan elektif, harus menjalani pemeriksaan pencitraan hepar dan paru-paru preoperatif dengan CT scan atau MRI, dan foto thoraks. Pada penderita yang harus menjalani bedah emergensi, pemeriksaan ultrasonografi intra-operatif dan pemeriksaan pencitraan CT scan atau MRI post-operatif. Rekomendasi Tingkat C Apabila fasilitas ultrasonografi endoluminal tidak tersedia, pemeriksaan colok dubur dapat dilakukan untuk menentukan kurabilitas tumor. Apabila fasilitas CT scan atau MRI tidak tersedia, maka ultrasonografi transabdominal dapat digunakan untuk mendeteksi metastasis ke hepar.

22

4. Terapi4.1. Latar BelakangKarsinoma rektum adalah karsinoma saluran cerna yang sering didapatkan di Indonesia terutama di kota besar, insiden tertinggi adalah pada usia yang masih produktif yaitu dekade ke 4 dan 5. Sebagian besar penderita datang berobat dalam stadium lanjut atau bila telah terjadi komplikasi sehingga hasil akhir dari penatalaksanaan yang kita lakukan jauh dari yang di harapkan. Tingginya angka kekambuhan lokal, serta gangguan fungsi seksual dan kandung kencing yang merupakan akibat langsung dari penatalaksanaan secara menyeluruh dari penyakit ini telah banyak dilaporkan. Masalah lain yang ada pada negara berkembang adalah lemahnya pencatatan, pelaporan dan pemantauan penderita yang berakibat tidak adanya angka kekambuhan dan komplikasi akibat penatalaksanaan dari penyakit ini. Telah banyak dilaporkan upaya untuk menurunkan angka kekambuhan lokal dengan menggunakan modalitas terapi yang ada, dua faktor utama yang berperan adalah pembedahan dengan tehnik eksisi total mesorektum atau yang lebih dikenal dengan TME (Total Mesorectal Excision) dan kemoradiasi. Dengan dasar rendahnya angka kekambuhan yang dikemukakan oleh Heald dkk, serta telah diterimanya diseluruh dunia konsep TME21,22,23 maka tim penyusun menganjurkan tehnik tersebut dalam penyusunan panduan penatalaksanaan karsinoma rektum di Indonesia. Keganasan saluran cerna yang sering dijumpai di Indonesia ini dan insiden nya cenderung meningkat dengan berubahnya pola diet dari masyarakat. Distribusi lebih tinggi pada wanita, dan frekuensi tertinggi pada dekade ke lima. Di Indonesia dikatakan bahwa antara 70 - 80 % dari penderita tidak dapat dioperasi karena buruknya keadaan umum atau datang sudah dalam stadium lanjut, bedasarkan data dari Dep Kes 1984, maka kita dapat menangani kirakira 150 penderita pertahun dengan baik.2

4.2. Pembagian Stadium dan Histopatologi4.2.1. Pembagian StadiumSistim pembagian stadium berdasarkan patologi tidak dapat diterapkan jika terapi yang digunakan adalah prosedur yang menggunakan terapi neoadjuvan atau radioterapi kontak. Oleh karena itu dipertimbangkan sistim pembagian stadium secara klinis. Abrams mencoba menghubungkan ukuran tumor, ada atau tidaknya ulserasi dan derajat differensiasi dengan stadium akhir berdasarkan pembagian Dukes. Ulserasi keseluruhan tumor merupakan faktor penentu prognostik yang penting, di mana 63% karsinoma nonulserasi secara patologis terbatas 23

hanya pada dinding usus, dibanding dengan hanya 28% pada karsinoma dengan lesi ulserasi. Sistim pembagian stadium berdasarkan klinis lainnya dibuat oleh suatu kelompok dari RS Princess Margaret di Toronto berdasarkan beberapa variabel prognostik, misalnya: ada atau tidak adanya metastasis, apakah tumor tersebut melekat atau mobil, apakah bentuknya anular dan apakah terdapat gejala klinis seperti penurunan berat badan, anoreksia, lemah dan anemia. Variabel-variabel ini digunakan untuk menentukan 4 kelas secara klinis : Kelas I : tidak ada satupun variabel-variabel tersebut di atas Kelas II : tumor berbentuk anular atau adanya gejala sistemik Kelas III : tumor sudah melekat Kelas IV : sudah terdapat metastasis Angka kelangsungan hidup 5 tahun penderita sangat berhubungan dengan pembagian kelas-kelas ini dan pembagian stadium berdasarkan Dukes, tetapi tidak ada hubungan antara stadium klinis dengan sistim Dukes. Mobilitas tumor merupakan faktor preoperasi yang paling penting yang berhubungan dengan reseksi kuratif. Pembagian stadium secara klinikopatologi di Australia menggabungkan baik gambaran sistemik, stadium patologi dan stadium klinis, berdasarkan hanya pada karakteristik tumor lokal. York-Mason mengusulkan penggunaan sistim stadium klinis berdasarkan mobilitas tumor primer, yaitu: Stadium Klinis I : tumor bergerak bebas Stadium Klinis II : tumor masih mobil Stadium Klinis III : tumor dengan gerakan yang terbatas Stadium IV : tumor yang sudah terfiksasi Stadium klinis I-II meliputi pasien-pasien yang masih dapat dilakukan eksisi lokal kuratif. Hasil terapi pembedahan pada karsinoma rekti dinilai dari ekstensi penyebarannya. Klasifikasi berdasarkan penyebaran ini pertama kali diajukan oleh Dukes pada tahun 1930, di mana dinilai berdasarkan ekstensi penyebaran langsung dan adanya metastasis ke sistim limfatik. Dibagi menjadi 3 kategori : Stadium A : pertumbuhan ke arah dinding rektum di mana tidak mengarah ke Jaringan di luar rektum dan sistim limfatik Stadium B : pertumbuhan menye-bar ke arah jaringan di luar rektum, tetapi tidak mengenai sistim limfatik Stadium C : pertumbuhan sudah mengenai sistim limfatik Pada tahun 1967 Turnbull dan kawan-kawan menambahkan stadium D untuk adanya metastasis jauh. Sistim klasifikasi yang kemudian digunakan adalah sistim Astler-Coller yang diperkenalkan pada tahun 1954 dan kemudian

24

direvisi tahun 1978, berdasarkan atas kedalaman invasi tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, adanya metastasis jauh, yaitu : Stadium A : hanya terbatas pada lapisan mukosa Stadium B : sudah masuk dalam lapisan muskularis propria (B1), masuk dalam lapisan subserosa (B2), masuk sampai ke struktur-struktur yang berdekatan (B3) Stadium C : bila sudah ada keterlibatan kelenjar (C1 sampai C3) Stadium D : bila sudah ada metastasis baik secara limfatik atau hematogen Pada tahun 1987 American Joint Committee on Cancer24 dan International Union against Cancer memperkenalkan sistim klasifikasi TNM, di mana ekstensi tumor (T) dibagi atas T1 s/d T4; adanya keterlibatan kelenjar (N) dibagi atas : N1 bila < 4 kelenjar, N2 bila > 4 kelenjar, N3 bila terdapat kelenjar sepanjang pembuluh darah; adanya metastasis jauh (M1). 4.2.1.1. Definisi TNM Tumor Primer (T) TX : Tumor primer tak dapat ditentukan TO : Tidak ditemukan tumor primer Tis : Carcinoma in situ : invasi intraepithelial ke lamina propria T1 : Tumor menyebuk submucosa T2 : Tumor menyebuk muscularis propria T3 : Tumor menembus muscularis propria ke subserosa atau perikolika atau Jaringan perirektal T4 : Tumor menginfiltrasi organ atau struktur atau ke peritoneum visceral Kelenjar Limfe Regional (N) NX : KGB Regional tidak dapat ditentukan N0 : Tak terdapat keterlibatan KGB regional N1 : Metastasis ke 1-3 KGB regional N2 : Metastasis ke 4 atau lebih KGB regional Metastasis jauh (M) MX : Tidak dapat ditentukan adanya metastasis jauh M0 : Tidak ditemukan metastasis jauh M1 : Ditemukan metastasis jauh 4.2.1.2. Definisi Stadium Stadium 0 Tis, N0, M0 Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV T1, N0, M0 T2, N0, M0 T3, N0, M0 T4, N0, M0 Semua T, N1, M0 Semua T, N2, M0 Semua T, Semua N, M1 25

4.2.2. Derajat histopatologiAdenokarsinoma kolorektal sangat berbeda secara gambaran histologi, beberapa tumbuh relatif berdifferensiasi baik, lainnya menjadi lebih anaplastik. Secara umum pertumbuhan papiliferous cenderung berdifferensiasi lebih baik daripada lesi dengan ulserasi dan infiltrasi dalam. Broders (1925), Grinnell (1939) dan Dukes (1940) memperkenalkan suatu modifikasi sistim penderajatan secara histologis, di mana terlihat bahwa ada hubungan erat antara ekstensi penyebaran lesi dengan prognosis akhir setelah terapi pembedahan.25 Dukes membedakannya menjadi 5 derajat , yaitu : Derajat I : tumor sangat menyerupai adenoma dengan tanda-tanda adanya proliferasi aktif epitel, tapi dapat dikenali sebagai malignansi karena adanya infiltrasi ke lapisan muskularis mukosa. Derajat II : tumor dengan sel-sel karsinoma yang ramai berkelompok tetapi tetap terbatas dalam bentuk yang cukup rata pada satu atau 2 lapisan lebih dalam di sekitar ruang glandula. Umum terlihat adanya nukleus yang berwarna dan bentuk-bentuk mitosis yang tidak teratur. Derajat III : Sel-sel lebih sedikit berdifferensiasi dan diatur dalam suatu cincin yang tidak rata, seringkali 2 atau 3 baris lebih dalam di sekitar ruang glomerular. Gambaran mitosis tidak sebanyak pada derajat II. Derajat IV : Sel-sel tumor makin anaplastik dan tidak membentuk struktur glandular sama sekali tetapi meliputi satu per satu jaringan atau dalam kelompok atau kolom kecil yang tidak teratur. Tumor Koloid (atau mukoid) mempunyai sistim pengelompokan sendiri dan juga bervariasi tergantung pada derajat differensiasinya. Dukes (1946) memodifikasi sistimnya menjadi 4 kategori, yaitu : Derajat keganasan rendah (sama dengan derajat I sebelumnya) Derajat keganasan sedang (sama dengan derajat II sebelumnya) Derajat keganasan tinggi (sama dengan derajat III dan IV sebelumnya) Karsinoma Koloid

4.3. Terapi4.3.1. PembedahanPembedahan tetap merupakan pilihan utama pada penatalaksanaan kanker kolorektal yang localized. Bab ini memberikan rekomendasi persiapan operasi, tekhnik operasi dan operasi dalam keadaan darurat serta penyakit KKR lanjut. Selain hal diatas dikemukakan pula rekomendasi perlunya spesialisasi dan beban kerja dalam penatalaksanaan KKR.

26

4.3.1.1. Persiapan Preoperatif Dua hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan pembedahan pada penderita KKR yaitu terjadinya trombosis vena dan infeksi luka. Berdasarkan hal tersebut sangat direkomendasikan melakukan tindakan profilaksis berupa pencegahan tromboemboli vena dan antibiotika profilaksis.26,27 Persiapan kolon secara mekanis juga dilakukan, walaupun kurang didukung penelitian yang baik. Semua pasien yang akan atau perlu dibuatkan stoma, baik permanen maupun sementara, harus diperiksa secara pra-bedah oleh stoma therapist.28

Rekomendasi Tingkat A Penderita KKR yang akan dilakukan pembedahan harus diberikan: profilaksis tromboemboli vena profilaksis antibiotika dosis tunggal yang mencakup kuman aerobik dan anaerobik, diberikan sekitar 30 menit sebelum induksi anestesi Walaupun tidak ada bukti bahwa persiapan usus memberikan keuntungan, tidak ada bukti juga yang mengatakan bahwa hal ini tidak memberikan keuntungan, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa persiapan usus tidak penting dilakukan.

Rekomendasi Tingkat E Keputusan untuk menggunakan persiapan usus harus dilakukan secara individual tergantung dari kebutuhan pasien dan pengalaman dokter bedah. 4.3.1.2. Transfusi Darah Perioperatif Hubungan antara transfusi darah dengan meningkatnya resiko kekambuhan masih terus diperdebatkan. Penelitian meta-analisis mengenai hal ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam kekambuhan KKR. Karena kecilnya jumlah pasien yang mengambil bagian dalam percobaan, maka meta-analisis ini dianggap tidak mencukupi untuk dapat mendeteksi perbedaan risiko yang kurang dari 20%, menjadi semakin tidak signifikan setelah semakin umumnya transfusi darah leucodepletion di Inggris.29,30

Rekomendasi Tingkat B Jika pasien pembedahan kanker kolorektal dianggap memerlukan transfusi darah, jangan ditunda atas dasar hubungan dengan risiko meningkatnya kekambuhan.

27

4.3.1.3. Tekhnik Pembedahan Kanker Kolorektal a. Kanker Kolon Berbeda dengan pembedahan kanker rektum hanya ada sedikit bukti yang berhubungan pada pembedahan kanker kolon yang radikal. Dua penelitian yang yang adaternyata tidak dapat membuktikan efek menguntungkan dari teknik no touch atau hemikolektomi kiri yang formal, dan tidak ada bukti bahwa reseksi yang radikal memiliki efek pada outcome pada penatalaksanaan kanker kolon. Rekomendasi Tingkat E Jika organ resektabel (ginjal, ureter, duodenum, hati, kandung kemih, uterus, vagina, atau perut) terkena tumor, harus dilakukan pertimbangan dengan hati-hati untuk reseksi (baik sebagian maupun total) organ tersebut.

b. Kanker Rektum Saat ini banyak bukti dari penelitian studi kohort skala besar bahwa penggunaan tehnik total mesorectal excision (TME) dalam penatalaksanaan kanker rektum dapat mengurangi rekurensi lokal memperbaiki angka survival. Hal ini dikarenakan oleh circumferential clearance tumor yang dilakukan dengan baik. TME pada rectum atas dilakukan sesuai dengan prosedur TME yaitu diseksi secara tajam under direct vision pada holy plane diluar mesorektum sampai 5 cm dibawah tumor.Sedang pada rektum bagian tengah dan bawah masalahnya adalah anastomosis rendah mengkibatkan fungsi rektum yang kurang baik dibandingkan dengan anastomosisi yang lebih tinggi. Satu hal yang juga penting adalah untuk preservasi syaraf otonom daerah pelvis agar meminimalisasi terjadinya disfungsi seksual dan kandung kemih.21,22,23

Rekomendasi Tingkat B TME sangat direkomendasikan bagi kebanyakan kanker rektum bagi penderita yang dapat dilakukan pembedahan. TME harus dilakukan secara total untuk tumor di sepertiga tengah dan bawah rektum, dan preservasi syaraf-syaraf otonom di daerah pelvis, dengan mengutamakan reseksi en-bloc dari tumor.

c. Anastomosis Kebocoran anastomosis adalah komplikasi yang sering terjadi dan dapat berakibat fatal pada pembedahan kanker kolorektal, sehingga harus dilakukan langkah-langkah untuk meminimalisasi hal ini. Tidak ada bukti bagus yang mendukung sebuah teknik secara spesifik, tetapi hasil meta-

28

analisis baru-baru ini mengindikasikan bahwa satu-satunya perbedaan antara jahitan tangan dengan Stapling adalah sedikit peningkatan risiko terjadinya striktur dengan menggunakan stapling.32 Faktor risiko untuk dehisensi anastomosis sudah diketahui dengan baik, seperti jenis kelamin laki-laki, peningkatan umur, dan obesitas. Namun pada reseksi anterior kebocoran meningkat dengan anastomosis rendah (kurang dari 5cm dari linea dentata). Untuk hal ini telah dibuktikan penggunaan defunction stoma berfungsi mengurangi risiko kebocoran pada anastomosis kolorektal rendah. Kerugian anastomosis rendah lainnya adalah fungsi yang jelek, dan ini dapat diatasi dengan pembuatan colopouch.31 Rekomendasi Tingkat C Untuk anastomosis rektal rendah, pertimbangkan untuk memberikan defunctioning stoma. Rekomendasi Tingkat C Untuk anastomosis rektal rendah setelah TME, pertimbangkan penggunaan colopouch. Rekomendasi Tingkat E Tidak semua penderita dapat dilakukan anastomosis rendah, jika pasien tersebut memiliki risiko kebocoran anastomosis atau fungsi yang jelek, maka sebaiknya dilakukan kolostomi permanen dengan prosedur Hartmann.

29

d. Eksisi lokal di Kanker Kolorektal Beberapa kanker rektum lokal dapat disembuhkan dengan eksisi lokal, terdapat bukti dari uji acak terkontrol yang menyatakan bahwa prosedur ini mempunyai morbiditas yang rendah dibandingkan dengan operasi yang radikal. Ada juga bukti yang menyatakan bahwa eksisi lokal berhubungan dengan rekurensi lokal yang lebih tinggi daripada operasi radikal, hal ini mungkin disebabkan residu tumor di kelenjar getah bening.8 Adjuvan radioterapi dan kemoterapi dikatakan dapat angka rekurensi lokal dari KKR, tetapi regimen yang dapat diandalkan dan diterima secara luas masih belum dikembangkan. Tumor T1 (yang memiliki penyebaran lokal yang kecil) sering dilihat cocok untuk eksisi lokal, tetapi harus ditekankan bahwa keterlibatan ekstensif submukosa berhubungan dengan keterlibatan kelenjar getah bening hingga 17 %. Berbeda bila kita dapatkan minimal submukosa (tumor T1 sm1) biasanya sering mempunyai risiko minimal dari keterlibatan kelenjar getah bening. Kanker kolon dan kadang-kadang rektum bisa dieksisi oleh polipektomi pada saat kolonoskopi dan umumnya tidak memerlukan pembedahan lebih lanjut bila kita dapatkan tepi sayatan atau dasar sayatan tidak bebas tumor.8 Untuk saat ini Tumor T1 sm1 yang dapat dilakukan prosedur ini . Rekomendasi Tingkat C Penjelasan kepada penderita tentang morbiditas operasi dan kemungkinan kambuh kembali harus dilakukan sebelum melakukan prosedur ini. Pembedahan selanjutnya untuk polip pedunculated dilakukan jika: Pada pemeriksaan histopatologi terdapat tumor dalam radius 1mm dari tepi sayatan Terdapat invasi lymphovascular; Tumor jenis poorly differentiated.

e. Pembedahan Laparoskopi pada Kanker Kolorektal Bukti dari beberapa uji acak terkontrol dan uji kohort mengatakan bahwa pembedahan laparoskopi untuk kanker kolorektal memungkinkan untuk dilakukan dan kelebihannya dibandingkan dengan konvensional adalah berkurangnya nyeri pasca-operasi, penggunaan analgetika, perawatan di rumah sakit, dan perdarahan.33

Rekomendasi Tingkat A Pembedahan laparoskopi dapat dipertimbangkan untuk

30

f. Penatalaksanaan Obstruksi usus karena KKR Jika ada kecurigaan obstruksi mekanis usus besar, maka harus dibuktikan dengan enema barium yang larut dalam air untuk membedakan dengan pseudo-obstruction.8 Obstruksi mekanis kolon harus bisa dibedakan dari colonic pseudoobstruction sebelum pembedahan. Sudah ada bukti-bukti bahwa pada penderita yang memungkinkan dan pengalaman pembedahan yang cukup, reseksi tumor dan anastomosis langsung dapat dikerjakan reseksu segmental memberikan hasil yang lebih baik dalam hal fungsi dibanding dengan kolektomi subtotal. Bila ada fasilitas Colonic stenting dapat dikerjakan sebagai tindakan paliatif pada penderita dengan tumor yang tidak resektabel dengan obstruksi.8

Rekomendasi Tingkat C Pasien yang memiliki obstruksi malignan di usus besar harus segera dilakukan reseksi. Rekomendasi Tingkat A Jika rekonstruksi setelah mungkin dilakukan, maka reseksi segmental merupakan pilihan pada lesi di kolon kiri. Rekomendasi Tingkat D Jika ada fasilitas dan kemampuan yang memungkinkan, colonic stenting harus dipertimbangkan sebagai tindakan paliatif.

31

g. Pembedahan untuk Penyakit KKR lanjut Pada penyakit KKR lanjut dengan metastasis hati dan atau paru reseksi merupakan pilihan yang terbaik. In situ ablation untuk metastases hati yang tidak bisa direseksi juga memungkinkan, tetapi keuntungannya belum jelas.8 Bagi pasien yang memiliki tumor primer lokal lanjut atau rekuren, harus diingat bahwa reseksi tumor dengan pembedahan adalah satu-satunya harapan untuk sembuh, tetapi harus diingat bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh hal tersebut. Untuk penyakit yang sudah jelas tidak dapat dioperasi, intervensi seperti stenting atau laser ablation dapat dijadikan pilihan terapi paliatif yang berguna.8

Rekomendasi Tingkat D Pasien dengan metatasis di hati dan paru-paru harus dipertimbangkan untuk melakukan reseksi, atau dalam kasus penyakit hati in situ ablation Bagi pasien dengan advanced local atau rekuren, harus diberikan pertimbangan secara hati-hati untuk eksisi bedah atau prosedur palliative intraluminal.

4.3.1.4. Spesialisasi dan beban kerja pada Pembedahan Kanker KolorektalBukti dari studi kohort dan kohort historikal memperlihatkan bahwa morbiditas dan survival dipengaruhi oleh spesialisasi dokter bedah dan rumah sakit, tetapi bukti yang ada tidak cukup untuk merekomendasikan volume tahunan secara spesifik. Bukti dari Amerika dimana terdapat akreditasi kolorektal spesifik, mengindikasikan hasil yang lebih baik dari spesialis, dan bukti dari Eropa secara meyakinkan membuktikan hasil yang jauh lebih baik setelah pelatihan spesialis dalam pembedahan kanker rektum.8

Rekomendasi Tingkat B Pembedahan untuk kanker kolorektal hanya boleh dilakukan oleh dokter bedah yang sudah dilatih dan diakui. Pembedahan kanker rektum letak rendah hanya boleh dilakukan oleh mereka yang sudah dilatih untuk melakukan TME.

4.3.2. Terapi ajuvan4.3.2.1 Radiasi

32

Pada umumnya terapi pada keganasan rectal lebih kompleks dari keganasan kolon karena dibutuhkannya pemikiran untuk dilakukan operasi penyelamatan organ atau pun fungsi. Kekambuhan akibat operasi sangat dihubungkan dengan dalam penetrasi tumor pada dinding usus dan adanya keterlibatan kelenjar getah bening.34 Lavery34 mengatakan bahwa terjadinya kekambuhan post operasi pada kasus keganasan rektum dengan kelenjar getah bening positif adalah mencapai 60%. Sehingga berbagai penelitian jelas memperlihatkan bahwa penambahan radiasi pada kasus keganasan rekti akan memperbaiki keberhasilan terapi pada keganasan kolorektal. Kekambuhan sering terjadi dalam 2 tahun pertama setelah pembedahan, yang menurut Mendenhall angka kekambuhan mencapai + 20-30%. Perez menyatakan kegagalan lokal pada penderita dengan ekstensi menembus dinding usus atau dengan keterlibatan kelenjar adalah 20-70%.38-47 Untuk memperbaiki hasil terapi dan mengurangi kekambuhan lokal diberikan adjuvan berupa radiasi pra dan pasca bedah serta kemoterapi. 38-47 Radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan baik pada kasus yang resektabel maupun yang tidak resektabel, dengan tujuan: 35,38,43,45,48,49 mengurangi risiko rekurensi lokal, terutama pada pasien yang hasil PA menunjukkan prognosis yang buruk (Stadium Astler-Coller B2, C1, C2 ) meningkatkan kemungkinan prosedur preservasi sfingter meningkatkan tingkat resektabilitas pada tumor yang lokal jauh atau tidak resektabel mengurangi jumlah sel tumor yang viable sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi sel tumor dan penyebaran melalui aliran darah pada saat operasi Radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan berupa : a. Radiasi eksterna o Postoperatif Berkembang berbagai penelitian pemberian radiasi maupun tanpa kemoterapi postoperasi misalnya yang dilakukan di USA dalam bentuk penelitian GITSG 7175, NSABP-R-01 dan NCCGT. Diperlihatkan bahwa pemberian radiasi postoperatif disertai pemberian kemoterapi akan meningkatkan baik angka survival bebas penyakit, kontrol lokal maupun survival keseluruhan.34 Saat ini banyak dianut bahwa pemberian 5-FU infus bersama leucovorin bersamaan dengan radiasi postoperatif merupakan terapi pilihan pada T3N0 keganasan rektal. Saat ini berkembang pemberian radiasi bersamaan dengan capecitabine yang merupakan derivat 5-FU bersifat oral dan lebih targeted terhadap sel tumor dengan efektifitas yang lebih baik. Penggunaan Capecitabine oral sebagai dengan dosis 825 mg/m2, 2 kali sehari bersamaan dengan radioterapi sebagai radiosensitizer juga 33

mulai diteliti oleh Dunst pada 46 pasien karsinoma rekti lanjut lokal. Didapatkan angka respons klinis pada 72% kasus, 89% diantaranya dapat menjalani operasi.55 Rekomendasi Tingkat B pemberian radiasi postoperatif disertai pemberian kemoterapi akan meningkatkan baik angka survival bebas penyakit, kontrol lokal maupun survival keseluruhan pemberian 5-FU infus bersama leucovorin bersamaan dengan radiasi postoperatif merupakan terapi pilihan pada T3N0 keganasan rektal Rekomendasi Tingkat C pemberian radiasi bersamaan dengan capecitabine 825 mg/m2, 2 kali sehari, akan meningkatkan angka respons terapi hingga 72%

o Preoperatif Tindakan ini lebih banyak berkembang di Eropa. Penelitian EORTC memperlihatkan bahwa pemberian radiasi preoperatif meningkatkan kontrol lokal dan pada kelompok pasien usia kurang dari 55 tahun akan meningkatkan survival dari 48% menjadi 80%.34 Penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa pemberian radiasi 5 X 5 Gy akan meningkatkan angka survival menjadi 58% (vs 48%) dengan kegagalan lokal yang menurun menjadi 11% (vs 27%). Rullier31 mengatakan dengan pemberian radiasi preoperatif pada kasus keganasan rektal T3 letak rendah yang seyogyanya diperlakukan dengan tindakan kolostomi permanen (lokasi rata-rata 95% dari masa tumor Gradasi II : sel tumor berstruktur kelenjar 50-95% dari masa tumor Gradasi III : sel tumor berstruktur kelenjar 5-50%, adenokarsinoma musinosum dan signet ring cell carcinoma. Gradasi IV : sel tumor berstruktur kelenjar