Pancasila-Persepsi Dan Kekerasan

3
Pancasila, Persepsi, dan Kekerasan Oleh Musa Asy’arie Ketika firman Tuhan diturunkan melalui seseorang yang dipilih-Nya, kemudian diikuti sekelompok orang dalam kehidupan masyarakat, firman itu melembaga menjadi agama. Ia kemudian berkembang menjadi institusi sosial yang hidupnya bertumpu pada kekuatan solidaritas sosial para pemeluknya. Pada saat telah menjaid institusi social, agama dengan sendirinya melibatkan diri dalam dinamika pluralitas, konflik, dan perubahan yang terus-menerus. Akibatnya, agama sebagai institusi sosial terlibat dalam konflik kepentingan politik dan kekuasaan yang sering kali mengambil bentuk kekerasan, baik secara internal dalam kehidupan agamanya sendiri maupun secara eksternal dalam kehidupan berbagai agama yang ada dalam masyarakat. Karena itu, dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan yang tajam, radikalisme keagamaan sebenarnya muncul sebagai wujud solidaritas sosial melawan kesenjangan ekonomi dan politik yang ada. Di sinilah kemutlakan agama dijadikan landasan melakukan perlawanan sosial terhadap kesenjangan ekonomi dan politik yang memicu kekerasan sosial. Teologi dan kekerasan. Tuhan fundamental dalam kehidupan agama. Agama tanpa Tuhan bukan agama lagi, tapi Tuhan bukan agama lagi tapi Tuhan bukan agama itu sendiri karena Tuhan tak pernah beragama yang mana pun juga. Dalam konteks kebertuhanan, peran persepsi sangat besar karena setiap orang yang beragama akan selalu memersepsikan Tuhannya yang jadi sandaran agama yang dianut. Jikalau orang itu berbeda-beda tentang Tuhan, apakah bisa diartikan bahwa Tuhan itu berbeda-beda, 1 Selain radikalisme / kekerasan , apakah ada kemungkinan lain, menggunakan kemutlakan agama untuk mengatasi kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan yang tajam ?

Transcript of Pancasila-Persepsi Dan Kekerasan

Page 1: Pancasila-Persepsi Dan Kekerasan

Pancasila, Persepsi, dan KekerasanOleh Musa Asy’arie

Ketika firman Tuhan diturunkan melalui seseorang yang dipilih-Nya, kemudian diikuti sekelompok orang dalam kehidupan masyarakat, firman itu melembaga menjadi agama. Ia kemudian berkembang menjadi institusi sosial yang hidupnya bertumpu pada kekuatan solidaritas sosial para pemeluknya.

Pada saat telah menjaid institusi social, agama dengan sendirinya melibatkan diri dalam dinamika pluralitas, konflik, dan perubahan yang terus-menerus. Akibatnya, agama sebagai institusi sosial terlibat dalam konflik kepentingan politik dan kekuasaan yang sering kali mengambil bentuk kekerasan, baik secara internal dalam kehidupan agamanya sendiri maupun secara eksternal dalam kehidupan berbagai agama yang ada dalam masyarakat.

Karena itu, dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan yang tajam, radikalisme keagamaan sebenarnya muncul sebagai wujud solidaritas sosial melawan kesenjangan ekonomi dan politik yang ada. Di sinilah kemutlakan agama dijadikan landasan melakukan perlawanan sosial terhadap kesenjangan ekonomi dan politik yang

memicu kekerasan sosial.

Teologi dan kekerasan.

Tuhan fundamental dalam kehidupan agama. Agama tanpa Tuhan bukan agama lagi, tapi Tuhan bukan agama lagi tapi Tuhan bukan agama itu sendiri karena Tuhan tak pernah beragama yang mana pun juga.

Dalam konteks kebertuhanan, peran persepsi sangat besar karena setiap orang yang beragama akan selalu memersepsikan Tuhannya yang jadi sandaran agama yang dianut. Jikalau orang itu berbeda-beda tentang Tuhan, apakah bisa diartikan bahwa Tuhan itu berbeda-beda, dan dengan demikian, dapatkah dikatakan bahwa apakah Tuhan itu banyak ?

Meski suatu keniscayaan, persepsi sebenarnya relatif karena sangat subyektif : tergantung darimana melihatnya dan kapan.

Persepsi seseorang terhadap realitas bukanlah realitas itu sendiri. Hanya realitas artifisial : realitas itu sendiri yang otonom dan realitas yang dibangun dalam persepsi seseorang terhadap realitas.

1

Selain radikalisme / kekerasan , apakah ada kemungkinan lain, menggunakan kemutlakan agama untuk mengatasi kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan yang tajam ?

Page 2: Pancasila-Persepsi Dan Kekerasan

Dalam realitas kehidupan sosial keagamaan, persepsi tentang Tuhan itu menjadi realitas fenomenal yang meluas. Setiap orang beragama dan komunitas agama memersepsikan Tuhannya sendiri-sendiri. Akibatnya, persepsi tentang Tuhannya berbeda-beda. Nama Tuhannya bisa sama, tetapi isi kesadaran yang dibentuk oleh persepsinya tentang Tuhan sebenarnya berbeda satu sama lain.

Adanya persepsi tentang Tuhan boleh dan sangat wajar. Namun, menganggap bahwa persepsinya tentang Tuhan itu patut dipertanyakan kebenarannya. Tuhan sesungguhnya berbeda dengan Tuhan yang dipersepsikannya. Persepsi tentang Tuhan bukan Tuhan karena sesungguhnya Tuhan itu tak terbatas, sedangkan persepsi bersifat terbatas. Keterbatasan persepsi seseorang membuat keterbatasan mengontruksi kedidakterbatasan menjadi terbatas.

Hal yang kemudian jadi masalah : ketika persepsi seseorang tentang Tuhan itu dianggap Tuhan dan dimutlakkan kebenarannya. Sesungguhnya Tuhan tak bisa dimonopoli oleh siapa pun : kiai, pendeta, pastor, atau siapapun. Dalam kenyataan sejarah, perang dan kekerasan dalam kehidupan internal agama ataupun dalam kehidupan eksternal agama terjadi karena masing-masing memperebutkan Tuhan persepsi yang ia mutlakan. Mereka sesungguhnya berperang bukan untuk Tuhan, melainkan untuk persepsi mereka saja.

Dalam Pancasila

Ketuhanan Yang Maha Esa sebenarnya berada di atas Tuhan Persepsi karena Tuhan Yang Maha Esa telah melintasi batas-batas Tuhan dalam suatu agama. Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan yang ada dalam semua agama dan diakui oleh semua agama. Bukan lagi Tuhan persepsi, tetapi sudah menjadi pengalaman kebertuhanan dalam

kehidupan bernegara dan berbangsa.

Akan tetapi, Ketuhanan Yang Maha Esa itu kehilangan makna dan kekuatannya ketika terjatuh dalam Tuhan Persepsi. Yang lalu mempengaruhi dan membentguk perilaku keagamaan seseorang dalam hidup berbangsa dan bernegara : orang lain yang berbeda persepsi tentang Tuhan dianggap salah dan sesat.

Radikalisme keagamaan yang memicu dan memacu konflik kekerasan melawan kesenjangan ekonomi politik dalam kehidupan berbangsa dan

2

Mengapa Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama Pancasila) dapat melintasi batas-batas Tuhan dalam agama-agama di Indonesia ? Dan bagaimana mewujudkan ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam rangka mengusahakan ”Child well being” dan penaganan kemiskinan di wilayah layanan ADP ?

Page 3: Pancasila-Persepsi Dan Kekerasan

bernegara sesungguhnya bermula dari Tuhan persepsi ini. Harus ada ketegasan negara meletakkan sila pertama Pancasila bukan sebagai Tuhan persepsi, melainkan sebagai Tuhan empirik yang menjadi praktik hidup nyata dalam berkemanusiaan yang adil dan beradab, mewujudkan persatuan Indonesia, dan melaksanakan permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, serta dalam perilaku berkeadilan sosial.

Jika tak mampu tegas, negara akan terseret dalam konflik Tuhan persepsi yang berdarah-darah dan kian sulit menjadikan sila-sila berikutnya dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara secara aktual dan kongkrit.

Musa Asy’arie – Rektor UIN Sunan Kalijaga – Yokyakarta.

3