PAMMULA - repository.iainpare.ac.id
Transcript of PAMMULA - repository.iainpare.ac.id
1
PAMMULA
Sastra lisan merupakan bagian dari jenis
karya yang menjadi wadah penyampaian
ide/gagasan kesusastraan warga dalam sebuah
kebudayaan yang diturunkan secara turun
temurun secara lisan. Setiap daerah di Indonesia
tentu memiliki sastra lisan sebagai khasanah
budaya/ ciri khas daerah tersebut. Namun, sebagai
suatu karya yang dihasilkan dari mulut ke mulut,
sastra lisan sulit untuk dikuasai oleh semua
masyarakat. Padahal setiap budaya daerah (sastra
lisan) dapat menambah eratnya ikatan solidaritas
masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Boscom budaya daerah mempunyai
empat peran yakni sebagai: (1) sistem proyeksi,
maksudnya sebagai cerminan pemikiran secara
kolektif dalam suatu masyarakat; (2) bukti autentik
pranata-pranata dalam lembaga-lembaga
kebudayaan; (3) alat pendidikan untuk anak
2
(pedagogical device), dan (4) alat kontrol agar
norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota
kolektifnya (Widianti, 2008)
Meskipun memiliki peran yang cukup penting,
sastra lisan dipandang sebelah mata. Kedudukan
sastra lisan dipisahkan dari pembicaraan resmi
karena dipandang tidak sesuai dengan ciri formal
dan kualitas yang biasanya diterima dalam
pembicaraan sastra Indonesia. Hal tersebut
menurut (Yoseph, 2011), dipengaruhi oleh
dominasi tata sastra modern, dominasi estetika
humanisme universal, dan hegemoni bahasa
Indonesia.
Menilik kondisi tersebut, maka perlu ada
upaya untuk menginventarisir kebudayaan
tersebut. Salah satu upaya menginventalisir
kebudayaan yang telah dilakukan adalah dengan
menjadikan sastra lisan tersebut menjadi seni
pertunjukan. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan
Sudewa dengan judul Transformasi Sastra Lisan ke
Dalam Seni Pertunjukan di Bali: Perspektif
3
Pendidikan (Sudewa, 2014). Selain hal tersebut,
menginventalisir juga bisa dilakukan dengan cara
membukukan sastra lisan tersebut (Sukihana and
Kurniawan, 2018). Dengan membukukan sasra
lisan, maka karya tersebut akan mudah
diperkenalkan ke masyarakat luas dan menjaga
agar karya sastra tersebut abadi. Selain itu,
membukukan sastra lisan dapat memperkaya
media penyebaran bahasa daerah.
Di Sulawesi Selatan terdapat berbagai jenis
bahasa daerah. Salah satu bahasa yang menjadi
sorotan Balai Bahasa adalah bahasa Konjo. Bahasa
Konjo oleh pusat bahasa dimasukkan ke dalam
kategori hampir punah. Tentu saja ada berbagai
faktor yang menyebabkan bahasa tersebut
dikategorikan sebagai bahasa yang hampir punah,
salah satunya adalah pergeseran bahasa.
Bulukumba sendiri merupakan kawasan yang
maejmuk, masyarakatnya memiliki tingkat
pendidikan dan penguasaan bahasa yang berbeda-
beda, apalagi di Bulukumba terdapat dua bahasa
4
ibu, yakni bahasa Bugis, dan bahasa Konjo.
Bahasa Konjo pada dasarnya adalah bahasa yang
digunakan oleh masyarakat di Kabupaten
Bulukumba, khususnya pada kawasan Bulukumba
bagian Timur.
Sastra lisan di Bulukumba biasa digunakan
untuk mantra, pemanggil pengantin, nyanyian
pengiring mainan tradisional, kegiatan-kegiatan
adat, ataupun lagu pengantar tidur. Di
Bulukumba, khususnya pada pengguna bahasa
Konjo; sastra lisan ini, cenderung tidak lagi
digunakan. Orang tua lebih suka memutarkan lagu
atau musik untuk menidurkan anak, ketimbang
menyanyikan dojong yang memiliki makna dan
nilai-nilai yang mendalam, serta sebagai media
pengenalan bahasa daerah kepada anak.
Salah satu, penyebab utama kepunahan
bahasa-bahasa di dunia adalah karena para orang
tua tak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-
anaknya dan tidak lagi secara aktif
menggunakannya di rumah dalam berbagai
5
ranah komunikasi sehari-hari (F. Grimes B (ed.),
2000). Kedua sebab ini terkait dengan sikap dan
pemertahanan bahasa (language maintenance)
masyarakat tuturnya. Jika pilihan untuk
tidak menggunakan dan kebiasaan orang tua
untuk tidak mentransmisikan bahasa ibu kepada
anak-anaknya lemah, maka kepunahan akan lebih
cepat lagi. Oleh karena itu, upaya yang harus
dilakukan untuk mempertahankan bahasa daerah
adalah memperkenalkan budaya dan tata krama
berbahasa itu sejak dini (Wilian, 2010).
Budaya dan tata krama berbahasa bisa
diperkenalkan lewat sastra lisan. Untuk
mewujudkan hal tersebut maka perlu diketahui
jenis sastra lisan apa saja yang masih ada di
masyarakat pengguna bahasa Konjo. Selain itu,
perlu pendeskripsian tentang wujud dari sastra
lisan tersebut. Buku ini hadir untuk menjawab
pertanyaan tentang sastra lisan yang ada di
masyarakat pengguna bahasa Konjo utamanya
pada masyarakat Bontobahari dan Bontotiro.
6
PANGISENGANTA
A. Sastra Lisan
Sastra adalah cerminan masyarakat yang
digambarkan oleh penciptanya dengan
menambahkan imajinasi (Nafiyah and
Mardikantoro, 2016). Pendapat lain
mengungkapkan bahwa sastra merupakan sebuah
ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah
imitasi langsung dari kehidupan. Hal ini terkait
dengan proses penciptaan seniman yang
memerlukan perjuangan mencari dan menuliskan
ide untuk menciptakan dunia baru (karya
sastra)(Jan Van Luxemburg dan Miekel Bal, 1984)
Apabila suatu karya sastra menulis secara
langsung dan persis suatu peristiwa yang terjadi di
dalam kehidupan nyata, maka karya sastra
bukanlah karya sastra melainkan suatu berita atau
sejarah. Selanjutnya Luxemburg mengatakan
7
bahwa sastra bukanlah sebuah benda yang kita
jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan
alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil
tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan (Jan
Van Luxemburg dan Miekel Bal, 1984). Konsep ini
secara umum memberi penekanan pada
kesepakatan, pemberian nama dan penggolongan
oleh masyarakat kepada hasil cipta seseorang
yang berkaitan dengan kebudayaan.
Karya sastra merupakan karya imajinasi
penulis, baik lisan maupun tulis (Rondiyah,
Wardani and Saddhono, 2017). Sastra menjadi alat
perekam berbagai peristiwa yang ditulis oleh
pengarang sehingga dapat menggambarkan
sejarah pada masa tersebut. Sastra lisan maupun
tulis, yang memberikan informasi, layak dijadikan
sebagai bahan-bahan dokumenter bagi studi
sejarah (Sugihastuti, 2011).
Vansina mendefiniskan sastra lisan sebagai
berbagai tuturan yang ciri-cirinya sama dengan
8
karya sastra. Sastra lisan meliputi prosa, puisi,
drama lisan, dan nyanyian. Sastra lisan adalah
bagian dari tradisi lisan (oral tradition) atau yang
biasanya dikembangkan dalam kebudayaan lisan
(oral culture) berupa cerita, pesan-pesan, atau
kesaksian-kesaksian ataupun yang diwariskan
secara turun temurun melalui lisan(Yoseph, 2011).
Sastra lisan merupakan salah satu bagian dari
sastra daerah yang menjadi identitas kebudayaan
yang dimiliki oleh suatu daerah. Adanya sastra
lisan, suatu daerah memiliki nilai tradisi yang
ditinggalkan oleh para leluhur kepada generasi
pewaris budaya (Purnani and Malang, 2017).
Sastra lisan merupakan karya sastra yang ada
dalam masyarakat, yang beredar dan diwariskan
turun-temurun secara lisan. Dalam hal ini, sastra
lisan merupakan folklor. Menurut Dundes
folk merupakan suatu masyarakat yang memiliki
ciri-ciri yang sama dan budaya yang sama yang
tinggal dalam daerah tertentu, sedangkan
lore merupakan sebagian dari kebudayaan yang
9
disampaikan secara temurun dari mulut ke mulut
(Danandjaja, 2002). Sastra lisan sebagai folklor
dibedakan menjadi folklor lisan, dan folklor
sebagian lisan. Folklor lisan adalah sastra lisan
yang disampaikan dari mulut ke mulut. Sedangkan,
folklor sebagian lisan adalah perpaduan sastra lisan
yang disampaikan dari mulut kemulut dengan
musik, suara, gabungan seni kata, dan pertunjukan
(Anwar, 2011).
Menurut Semi, sastra lisan yang ada di
masyarakat Indonesia sudah lama ada. Bahkan,
setelah tradisi tulis berkembang, sastra lisan masih
bisa ditemukan, baik dari segi kualitas maupun
dari segi kuantitas. Ada berbagai macam sastra
lisan di Indonesia. Melalui sastra lisan, masyarakat
dengan kreativitas yang tinggi menyatakan diri
dengan menggunakan bahasa yang indah
(Gasong, 2014).
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik
simpulan bahwa sastra lisan adalah sebuah
ungkapan perasaan yang diungkapkan secara lisan
10
melalui bahasa yang indah, dalam sebuah tradisi
atau kegiatan-kegiatan tertentu yang diwariskan
secara turun temurun.
Ciri sastra lisan adalah 1) sastra lisan
bergantung pada penutur, mitra tutur, tempat, dan
waktu, 2) terjadi kontak fisik antara penutur
dengan mitra tutur, sarana komunikasi dilengkapi
dengan paralinguistik, 3) pencipta sastra lisan tidak
diketahui (bersifat anonim) (Muslim, 2011).
Ciri-ciri lain sastra lisan; 1) karya sastra
tersebut merupakan ide dari masyarakat tradisional
dengan pemikiran mereka yang polos dan rata-rata
dihasilkan sebelum masyarakat tersebut mengenal
aksara, 2) karya sastranya menggambarkan
kebudayaan tertentu dengan penulis anonim,
3) biasanya karya yang dihasilkan berceritakan hal-
hal khayalan, dan 4) kata-kata yang digunakan
dalam karya sastra tersebut lebih sering
menggunakan nada-nada memengaruhi dengan
perumpamaan(Endraswara, 2009).
11
Sastra lisan memiliki fungsi sebagai berikut
sebagai alat pendidikan, sistem proyeksi dan
sebagai pengesah kebudayaan(Sorayah, no date)
Fungsi lainnya menurut Boscom sastra lisan
memiliki empat fungsi yakni, sebagai bentuk
hiburan, sebagai alat pengesah, dan pengawas
dalam norma masyarakat, alat pendidikan, dan alat
proyeksi dan pengesah kebudayaan (Rukesi, 2017)
Hasil kajian lain menunjukkan bahwa fungsi sastra
lisan sebagai adalah sebagai alat pendidikan,
budaya hiburan, dan sosiologi(Rukesi, 2017).
Sama halnya dengan sastra tulis sastra lisan
juga dikalsifikasikan menjadi prosa, puisi dan
drama. Setiap daerah di Indonesia memiliki sastra
lisan yang berbeda-beda, misal di Jawa sastra lisan
yang terkenal ada cerita babad, epik, dongeng,
lelembut, cerita panji, dll. Sementara sastra lisan
berbentuk puisi seperti tembang, parikan, dsb.
Sastra lisan tersebut tentulah menggunakan bahasa
12
daerah sebagai media. Hal ini tentu menjadi
keunikan tersendiri untuk sastra lisan.
B. Sikap Bahasa
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan
sikap bahasa yakni teori Lambert, Garvin dan
Mathiot. Lambert (1967: 91) menyatakan bahwa
sikap bahasa tersebut terdiri dari tiga komponen
atau aspek yaitu komponen kognitif, komponen
afektif, dan komponen konatif.
Komponen kognitif berhubungan dengan
pengetahuan bahasa. Komponen afektif mengacu
pada sikap terhadap suatu bahasa (suka atau tidak
menyukai bahasanya). Komponen konatif
berhubungan dengan keterampilan seseorang
dalam menggunakan bahasa. Ketiga komponen ini
saling terkait dan untuk menentukan sikap bahasa
seseorang dapat dianalisis ketiga komponen
tersebut (Adnyana, 2018).
Menurut Garvin dan Mathiot (1968) ada tiga
karakteristik untuk mengetahui sikap bahasa tutur
13
suatu bahasa yaitu: (1) kesetiaan bahasa yang
mendorong orang mempertahankan bahasanya dan
jika perlu untuk mencegah pengaruh bahasa lain;
(2) kebanggaan bahasa yang mendorong
seseorang untuk mengembangkan bahasa dan
menggunakannya sebagai simbol identitas;
(3) kesadaran akan norma yang mendorong orang
untuk menggunakan bahasa berdasarkan
konteksnya. Seseorang dituntut menggunakan
bahasanya (situasi formal) sesuai dengan kaidah
yang berlaku pada bahasa tersebut (Adnyana,
2018). Pada kajian ini, teori yang dipakai untuk
menentukan sikap bahasa masyarakat pengguna
bahasa Konjo adalah teori yang dikemukakan oleh
Lambert.
C. Pemertahanan Bahasa Daerah
Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan
secara turun temurun untuk berinteraksi dalam
suatu daerah (Azhar, 2009). Pada pasal 42 ayat 1
dijelaskan bahwa pemerintah wajib
14
mengembangkan, membina, dan melindungi
bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi
fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai
perkembangan zaman, dan agar tetap menjadi
bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Pemertahanan bahasa sebagaimana yang
ditunjukkan dari hasil kajian yang dilakukan para
pakar pemeliharaan bahasa merupakan upaya
agar suatu bahasa tetap dipakai dan dihargai
terutama sebagai jati diri suatu kelompok dalam
masyarakat bahasa yang bersangkutan
(Kridalaksana, 2001).
Pemertahanan bahasa adalah kondisi ketika
sebuah kelompok dapat memertahankan, atau
melanjutkan penggunaan bahasa mereka dari
generasi ke generasi, meskipun ada kondisi yang
dapat memengaruhi mereka untuk beralih ke
bahasa lain (Jendra, 2012).
Pemertahanan bahasa diartikan sebagai
keputusan untuk tetap menggunakan bahasa
15
secara kolektif oleh sebuah kelompok yang telah
menggunakan bahasa tersebut sebelumnya. Lebih
lanjut, Fasold juga menyatakan bahwa
pemertahanan bahasa ini merupakan kebalikan
atau sisi yang berlainan dari pergeseran bahasa;
yaitu di mana sebuah komunitas memutuskan
untuk mengganti bahasa yang telah digunakannya
atau memilih bahasa lain sebagai ganti bahasa
yang telah digunakannya (Fasold, 1991).
Sumarsono dan Partana mengungkapkan bahwa
dalam pemertahanan bahasa suatu komunitas
secara kolektif menentukan untuk melanjutkan
memakai bahasa yang sudah biasa dipakai
(Sumarsono dan Paina Partana, 2010).
Berdasarkan kajian sebelumnya, diperlukan
sebuah stategi untuk menghindari kepunahan
bahasa. Hal tersebut tentu berhubungan dengan
sikap pemertahanan bahasa oleh masyarakat
penuturnya. Pemertahanan bahasa merupakan
kesetiaan terhadap suatu bahasa untuk tetap
menuturkan bahasa khususnya, bahasa ibu
16
(daerah) di tengah-tengah gempuran bahasa lain
yang kian populer. Pengkajian pemertahanan
bahasa biasanya mengarah kepada hubungan
kemantapan yang terjadi pada kebiasaan
berbahasa dengan proses psikologis, sosial, dan
budaya yang sedang berlangsung pada saat
masyarakat bahasa yang berbeda berhubungan
satu sama lain (Selvia, 2009).
17
SASTRA LISAN BERBAHASA KONJO
Di Indonesia terdapat 742 bahasa daerah.
Semua bahasa tersebut dilindungi oleh negara
sebagai bagian dari kebudayaan bangsa.
Sayangnya, meskipun dilindungi, banyak dari
bahasa daerah di Indonesia yang nyaris punah.
Bahkan ada yang sudah punah karena
penggunanya tidak lagi menggunakan bahasa
tersebut sebagai bahasa pertama. Data dari
Ethnologue: Language of The Word (2005)
menunjukkan bahwa dari sekian banyaknya
bahasa daerah di Indonesia, hanya 737 bahasa
yang masih digunakan oleh penuturnya.
Di Sulawesi Selatan terdapat 14 bahasa
daerah, yakni bahasa Makassar, Bugis, Bajo, Bone
Rate, Bugis De, Laiyolo, Lemolang, Mandar,
Masserengpulu, Rampi, Seko, Toraja, dan Wotur
(Pusat Bahasa). Dari 14 bahasa daerah tersebut,
bahasa Konjo digolongkan ke dalam bahasa yang
nyaris punah. Bahasa Konjo terdiri atas tiga dialek,
18
yaitu dialek Bira, dialek Ara, dan dialek Kajang
dengan persentase perbedaan antardialek tersebut
berkisar antara 61%—67%. Perbedan dialek
tersebut tentu menjadi satu khasanah tersendiri,
dalam penggunaan bahasa daerah di masyarakat
pengguna bahasa Konjo.
Berdasarkan penghitungan dialektometri,
isolek Konjo merupakan sebuah bahasa dengan
persentase antara 81%—100% jika dibandingkan
dengan bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi
Selatan. Meskipun kadang dianggap mirip dengan
bahasa Makssar, tetapi berdasarkan perhitungan
dialektometri bahasa Konjo dan Bahasa Makassar
memiliki persentase perbedaan sebesar 88%.
Wilayah pengguna bahasa Konjo memang
tidak sebanyak bahasa lain yang ada di Sulawesi
Selatan. Bahasa Konjo hanya digunakan oleh
sebagian masyarakat Bulukumba, khususnya
Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, Herlang, dan
Desa Possi Tanah, Kecamatan Kajang. Sementara
di wilayah Bulukumba yang lain, menggunakan
19
bahasa Bugis sebagai bahasa pertamanya.
Terdapatnya dua bahasa daerah di Bulukumba,
menjadi salah satu indikasi adanya pergeseran
bahasa yang di wilayah tersebut. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Kridalaksana (1993)
bahwa kontak bahasa dapat menyebabkan
pergeseran bahasa. Pergeseran bahasa inilah yang
akan menjadi potensi kepunahan sebuah bahasa.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh
pemerintah untuk tetap melestarikan bahasa
daerah, seperti menjadikan bahasa daerah sebagai
matapelajaran di sekolah dasar, seminar bahasa
daerah, dan sosialisasi penggunaan bahasa daerah.
Sementara untuk melestarikan sastra yang berada
di daerah, pemerintah dan perguruan tinggi juga
telah mengadakan banyak seminar-seminar tentang
kesusastraan, khususnya sastra daerah.
Melestarikan bahasa dan sastra memang
menjadi tugas pemerintah. Hal ini sesuai dengan
amanat UU pasal 42 ayat 1 yang menjelaskan
bahwa pemerintah wajib mengembangkan,
20
membina, dan melindungi bahasa, dan sastra
daerah agar tetap memenuhi fungsinya dalam
kehidupan bermasyarakat sesuai perkembangan
zaman, dan agar tetap menjadi bagian dari
kekayaan budaya Indonesia.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk tetap
mempertahankan bahasa daerah adalah melalui
proses inventarisasi sastra lisan, sebagai wujud
produk dari bahasa daerah tersebut. Sastra lisan
mengandung nilai-nilai budaya, dan bisa menjadi
pemantik untuk seseorang untuk tetap
mempelajari bahasa daerah.
Sastra lisan sejatinya mulai diperkenalkan
sejak dini. Sebagai wujud dari bagian
mempertahankan budaya, dan bahasa.
Berdasarkan medianya, sastra dapat dibedakan
menjadi sastra lisan, dan sastra tulisan.
Dibandingkan sastra tulisan, periodisasi sastra lisan
tentu lebih lama karena sastra ini hadir jauh
sebelum orang mengenal tulisan. Keberadaan
Sastra lisan di Sulawesi Selatan sudah menjadi
21
perhatian pemerintah maupun peneliti. Terbukti
dengan banyaknya penelitian-penelitian tentang
sastra lisan. Hal tersebut tentu menjadi bagian dari
pelestarian kebudayaan yang ada di Sulawesi
Selatan.
Sayangnya, pada masyarakat pengguna
bahasa Konjo, satra lisan pun tidak lagi
dilestarikan. Hal tersebut berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan penulis bahwa perubahan
pola hidup masyarakat pengguna bahasa Konjo,
telah mereduksi pemahaman masyarakat terhadap
sastra lisan. Dahulu masyarakat senang berkumpul
bersama untuk menanam kacang, mencabut
kacang, menanam jagung, memanen jagung,
mengupas kulit jagung, dsb. Dalam kegiatan
tersebut mereka sering bernyanyi bersama
(akkelong) untuk menghindari kebosanan. Begitu
pun dengan acara penyambutan tamu pernikahan;
banyaknya pernikahan lintas daerah dengan bahasa
dan budaya yang berbeda, membuat orang
perlahan meninggalkan tradisi tersebut.
22
Tradisi-tradisi yang ada pada masyarakat
Konjo tersebut seiring berjalannya waktu, mulai
terkikis. Masyarakat saat berkumpul bersama, lebih
sering membahas tentang sinetron, atau pun
bergosip. Tradisi “ Akkelong” di kebun tidak lagi
dilakukan. Orang sekarang membawa radio atau hp
untuk memutar musik di kebun. Begitu pun, saat
menidurkan bayi, berkembangnya teknologi
memberi andil yang besar terhadap tidak
digunakannya lagi, “Paddojong’ saat menidurkan
anak. Orang tua lebih suka memutarkan anaknya
musik, dibandingkan menyanyikannya sendiri
sambil mengayun, bahkan sekarang telah tersedia
ayun listrik, sepaket dengan musiknya. Si anak
diayun secara otomatis, orang tua bisa melakukan
pekerjaan yang lain. Begitupun jika ada orang yang
sakit, masyarakat pengguna bahasa Konjo sering
memanggil “sanro” untuk membacakan mantra
‘baca-baca’ yang berisi doa-doa agar orang yang
sakit segera sembuh. Sekarang, jika sakit selain
23
beriktihar, masyarakat lebih memilih pergi ke
pustu/ puskesmas jika dibandingkan harus
memanggil sandro.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
penulis,“akkelong’, “a’dojong”, “ a’baca-baca’ tidak
lagi dilakukan oleh penerus (kaum muda) karena
mereka memang tidak menghafal sastra lisan
tersebut. Narasumber mejelaskan bahwa mereka
dulu sering mendengarkan orang tua mereka
menyanyi, menidurkan anak, atau pun membaca
mantra tetapi mereka tidak memiliki waktu untuk
menghafalkannya karena punya kegiatan lain.
Sementara, narasumber yang lain mengatakan
bahwa orang tua mereka tidak pernah
mengajarkan tentang sastra lisan tersebut. Ada
pula narasumber yang mengaku tidak paham
dengan makna sastra lisan yang orang tua
nyanyikan sehingga tidak tertarik untuk
mempelajarinya, dan mewariskannya ke anak, dan
cucu. Hal tersebut menunjukkan bahwa sikap
bahasa masyarakat pengguna bahasa Konjo
24
terhadap sastra lisan cenderung negatif. Hal
tersebut sesuai teori Lambert komponen kognitif
berhubungan dengan pengetahuan bahasa.
Komponen afektif mengacu pada sikap terhadap
suatu bahasa (suka atau tidak menyukai
bahasanya). Komponen konatif berhubungan
dengan keterampilan seseorang dalam
menggunakan bahasa. Ketiga komponen ini saling
terkait dan untuk menentukan sikap bahasa
seseorang dapat dianalisis ketiga komponen
tersebut.
Pada aspek kognitif masyarakat pengguna
bahasa Konjo, khususnya kerabat responden yang
masih menguasai sastra lisan tidak memiliki
pengetahuan yang mumpuni terhadap sastra lisan.
Selanjutnya dari aspek afektif atau sikap; indikator
suka dapat dilihat jika seseorang sering
menggunakannya. Namun fakta bahwa mereka
tidak mengetahui isi dari sastra tersebut, menjadi
dasar bahwa mereka tidak memiliki ketertarikan
yang besar terhadap sastra lisan. Begitupun
25
dengan aspek konatif, para responden sekunder
tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk
mendendangkan/membaca kelong, dojong, dan
baca-baca.
Lebih lanjut menurut teori Garvin dan Mathiot
(1968) ada tiga karakteristik untuk mengetahui
sikap bahasa tutur suatu bahasa yaitu: (1)
kesetiaan bahasa yang mendorong orang
mempertahankan bahasanya dan jika perlu untuk
mencegah pengaruh bahasa lain; (2) kebanggaan
bahasa yang mendorong seseorang untuk
mengembangkan bahasa dan menggunakannya
sebagai simbol identitas; (3) kesadaran akan
norma yang mendorong orang untuk
menggunakan bahasa berdasarkan konteksnya.
Pada dasarnya sebagian besar keturunan
masyarakat yang masih menguasai sastra lisan
memiliki kebanggaan terhadap sastra lisan, dan
menginginkan agar sastra lisan bisa berkembang.
Namun, faktanya mereka tidak menguasai dan
26
memiliki kesadaran untuk menggunakan sastra
lisan tersebut dalam kegiatan-kegiatan tertentu.
Pada hakikatnya sastra lisan bahasa Konjo
tidak hanya sekadar sebagai bagian dari tradisi
masyarakat, ataupun juga sebagai ajang hiburan,
dan obat, tetapi sastra lisan bahasa Konjo memiliki
makna yang dalam terhadap nilai-nilai lokal,
budaya, dan agama. Nilai-nilai tersebut
termanipestasi dalam kelong, dojong, dan baca-
baca. Sebut saja pada “baca-baca” pada salah satu
mantra tersebu disebutkan tentang, bagaimana
jika ingin disukai oleh orang lain, kita harus saling
menghargai (rampea golla, nakurampeko kaluku).
Golla dan Kaluku adalah dua hal yang manis, yang
akan menjadi perpaduan yang lezat jika
digabungkan. Tidak hanya itu, hampir dari semua
mantra selalu menampilkan nama nabi Muhammad
yang menunjukkan bahwa masyarakat Konjo
memang beragama Islam. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sastra lisan memiliki fungsi
yang sangat fundamental dalam masyarakat.
27
Selain berfungsi sebagai hiburan sastra lisan
bahasa Konjo berfungsi sebagai budaya,
pendidikan, sosiologis, dan agama.
Pada bagian selanjutnya akan dibahas
tentang wujud sastra lisan berbahasa Konjo yang
masih dikuasai oleh beberapa masyarakat
pengguna bahasa Konjo. Pepatah mengatakan tak
kenal maka tak sayang; setelah mengenal wujud,
fungsi sastra lisan maka semoga akan tumbuh rasa
sayang terhadap sastra lisan, terutama sastra lisan
bahasa Konjo. Rasa sayang tersebut pun semoga
bisa diwujudkan dengan implementasi untuk tetap
melestarikan sastra lisan tersebut, dan tentunya
memupuk kecintaan kita terhadap bahasa daerah
(bahasa Konjo)
28
Kelong
Kelong adalah salah satu sastra lisan yang
berada di masyarakat pengguna bahasa Konjo.
Kelong ini dinyanyikan sebagai penyemangat,
penghibur diri, dan juga dipakai pada kegiatan-
kegiatan tertentu. Lagu ini biasa dinyanyikan
sendiri ataupun bersama-sama. Berikut kelong
yang diperoleh dari informan
Manna bosi manna rimbu
Cakodo-kodo, cakumba-kumba
Lampajayya assikola
Lanribajina nikanayya pangissengan deng dandeng
(1)
Artinya : Walau hujan, walau gerimis, aku tetap
pergi sekolah, saking pentingnya yang
namanya pengetahuan.
Lagu ini bercerita tentang keteguhan hati
seseorang untuk tetap pergi ke sekolah, apa pun
rintangannya karena ia tahu betapa pentingnya
29
pengetahuan. Lagu ini, dinyanyikan saat akan
pergi ke sekolah untuk memberikan semangat.
Kadang dinyanyikan sendiri saat masih di rumah,
saat bersiap- siap ke sekolah, atau saat berjalan
bersama teman ke sekolah. Dahulu belum banyak
kendaraan seperti sekarang. Orang jika pergi
sekolah harus berjalan kaki, atau naik sepeda.
Berjalan kaki dengan menempuh jarak berkilo-
kilometer, tidak terlalu terasa jika dilakukan
bersama-sama, apalagi jika sambil bernyanyi.
Kelong selain dinyanyikan saat pergi
sekolah, juga kadang dinyanyikan pada saat di
kebun (menanam jagung/kacang, atau pun saat
panen). Bernyanyi sambil bekerja membuat tidak
jenuh, dan tidak mengantuk.
“Biasaa akkelong ri koko, punna anyappea
batara, punna mi’bi batara. Iyapa tanni sarring
hambang alloa. Rurungan biasa Jaju, nakke
akkelong, Jaju aggambusu, biasa todo sibali-balia
akkelong. Mingka panra’mi gambusuna Jaju, jari
talamaimma akkelong rurung. Nene’ Mammanuji
30
biasa nguranga akkelong punna mi’bia batara,
akkelongmakinjomae” (SR: 75)
Berikut kelong yang dinyanyikan saat
berkebun, atau pun berkumpul bersama (lagu ini
biasa dinyanyikan sendiri ataupun bersama-sama)
Tala bojama maraeng
Pantarangan naikau
Saba ikau
Narosso cinna matangku (2)
Artinya : Saya tidak mencari lagi yang lain, selain
dirimu sebab engkau telah membuat
mataku tertarik.
Lagu ini menjelaskan tentang perasaan yang
dalam kepada seseorang. Ia telah mengikrarkan
dirinya untuk orang tersebut dengan tidak mencari
orang lain lagi. Lagu berikut juga bercerita tentang
perasaan.
Tala bojaa tuballo
Bojayya ri panreakkan
Nia’ kuboja
31
Pa’mae tammaminrayya
Tala bojaa tuballo
Bojaa ri panreakkan
Nia’ kuboja
Pa’mae tammaminrayya (3)
Artinya : Saya tidak mencari yang tampan, saya
mencari ketentraman, mencari
seseorang yang tidak akan berubah 2x
Lagu ini menceritakan tentang pilihan
seseorang dalam memilih pasangan hidup, bukan
karena wajah tetapi seseorang yang bisa
memberikan ketentraman atau kebahagiaan.
Kedde nakke tau lolo
Teaja bunting tantara
Lampai bundu
Jari jandaa riboko (4)
Artinya : Seandainya saya gadis. Saya tidak ingin
menikah dengan tentara. Jika ia pergi
berperang. Saya akan menjadi janda.
32
Lagu ini menceritakan tentang pilihan untuk
tidak menikah dengan tentara karena berisiko
menjadi janda, jika tentara pergi berperang. Pada
saat itu, mereka yang menyanyikan pernah melihat
tentara yang bergerilya. Mereka melihat banyak
dari tentara yang pergi tapi tidak kembali.
Pa’risi’ku lalang sura’
Limpungku lalang tulisang
Je’ne matangku
Kamma daha’ pa’lampana
Pa’risi’ku lalang sura’
Limpungku lalang tulisang
Je’ne matangku, kamma daha’ pa’lampana
(5)
Artinya : Sakitku tertuang dalam surat. Pusingku
tertuang dalam tulisan. Air mataku
seperti lendir hilangnya.
Lagu ini berkisah tentang isi hati seseorang
yang sedang merindukan seseorang yang berada
33
jauh darinya. Ungkapan kerinduan seseorang yang
diungkapkannya dalam secarik surat karena ia
tidak berdaya dengan keadaan.
Jangan-janganji nummolong
Nakuare mo daengku
Suka’demi
Nakupinawang bokoanna (6)
(Hanya burung yang lewat. Saya kira
kakakku (orang yang dipuja) Hampir aku
mengikutinya)
Lagu ini bercerita tentang seseorang yang
sedang merasakan kerinduan. Hingga ia mulai
berhalusinasi. Untung ia masih bias mawas diri
Barang nakkeji ngurangi
Nakkeji lamate pacce
I kau kapang
Tenaja pangguranginnu (6)
34
Artinya : Jangan-jangan tinggal aku yang
mengingat. Aku akan mati dalam rindu.
Kamu mungkin tidak mengingatku lagi.
Lagu ini menceritakan tentang perasaan seseorang
yang mulai meragu terhadap pasangannya yang
berada jauh darinya. Ia mulai berpikir bahwa
hanya tinggal dia yang merasakan kerinduan,
sementara pasangannya tidak.
Cobasaki tansingai
Sililiang tallung taung
Bombang ni tete
Tamparang nipassittei (7)
Artinya : Ayo coba saling melupakan. Saling
menghindar selama tiga tahun. Maka
ombakpun akan kita lewati, kita
bertemu di laut.
Manna malling pa,mallingna
Mana tuju pattaunna
Nitajangijia, sipela’na buru’nenna (8)
35
Artinya : Meskipun lama, selama-lamanya. Biar
tujuh tahun. Tetap kutunggu dia
bercerai dengan suaminya.
Lagu ini bercerita tentang seseorang yang
menaruh hati terhadap seorang perempuan yang
telah bersuami. Ia bersedia menunggu,
meskipun lama.
Injo nai bulangia
Janjangnana jimambani
Sombalianganna
Kira-kira tana ambong (9)
Artinya: Bulan itu hanya kelihatannya dekat.
Ibarat berlayar ke tanah Ambon.
Lagu ini menceritakan tentang angan-angan
terhadap seseorang yang tampaknya dekat, dapat
diraih. Namun, hal tersebut hanyalah khayalan.
Nampa memangko kucini’
Na kukana memang
Ri kau mintu
Ta’kimbolang pa’risi’ku (10)
36
Artinya: Baru melihatmu. Kukatakan memang.
Bahwa engkaulah, penawar rasa sakitku.
Kelong ini menceritakan tentang keyakinan
seseorang terhadap perasaannya terhadap orang
lain. Ia yakin orang tersebut akan menyembuhkan
lukanya. Lagu ini biasanya dinyanyikan bersama
pasangan/ atau pun untuk menggoda lawan jenis.
Kelong lain yang sering dinyanyikan untuk
pasangan
Pungkusi’ra lampammuko
Boneko ere ri mangko’
Punna ta’kembong
Assami tangnga minroku (11)
Artinya: Jika besok aku jadi pergi. Simpanlah air di
mangkuk. Jika tertumpah, berarti aku takkan
kembali.
Kelong ini berisi tentang seseorang yang
meminta ikrar pasangannya karena ia akan pergi
jauh, ia meminta pasangannya untuk setia. Ia
berkata kepada pasangannya kalau kelak ia pergi
ia berharap sang pasangan tetap setia karena jika
37
tidak yakin untuk setia, maka ia takkan kembali
untuk orang tersebut.
Sura’ mami lakukiring
Dawa’ mami labicara
Batang kalengku
Kana simbangi la’dolangeng (12)
Artinya: Tinggal surat yang akan kukirim. Tinta
yang akan berbicara. Tubuhku,
sepertinya belum bisa bertemu (?)
Lagu ini tentang seseorang yang berada
jauh dari orang yang disayanginya. Ia belum bisa
kembali, sehingga hanya suratlah yang bisa
menjadi media untuk menyampaikan perasaannya.
Teako lanre mattajang
Ri silajarami bedeng
Lonna tareppe
Sombala siallo mami (13)
38
Artinya: Janganlah lelah menunggu. Dia sudah di
Selayar (sudah dekat). Tinggal sehari lagi
berlayar)
Lagu ini berisi tentang sugesti/hiburan
kepada seseorang/diri sendiri agar tetap bertahan
untuk menunggu. Memberikan harapan bahwa
yang ditunggu akan segera tiba.
Jika dilihat dari struktur lirik kelong bahasa
Konjo, lagu berbahasa Konjo tidaklah panjang,
kebanyakan tersusun dari 3-4 baris. Hal tersebut
senada dengan yang disampaikan informan bahwa
kelong yang sering mereka nyanyikan tidak
panjang, hanya saja kadang diulang dua kali.
Kelong bahasa Konjo, tidak hanya
mengisahkan tentang asmara tetapi juga
memberikan kritik, prinsip atau pun membahas
kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat. Hal
tersebut dapat dilihat pada lagu berikut
Nai tommi tala pacce Tala parasi nyahana Nibokoinna Tanni pahang passabankkeng
39
Nai tommi tala pacce Tala parasi nyahana Nibokoinna Tanni pahang passabankkeng (14)
Artinya: Siapa yang tidak kecewa, tidak terluka
hatinya. Dibelakangi. Tanpa tahu apa
sebabnya.
Lagu ini bercerita tentang perasaan kecewa
karena merasa diabaikan/ dibenci tanpa ada
penjelasan.
Siganra mate parea Mate pucu biralle Ka purinanna....... Siganra mate parea Mate pucu biralle Ka purinanna Ero’ ri kamanakanna (15)
Artinya : Pantas padi mati. Mati pucuk jagung. Karena seorang paman menyukai
keponakannya.
Lagu ini bercerita tentang bencana yang
terjadi ketika seseorang melanggar hukum adat
40
dan agama (seorang paman menyukai/ menikahi
keponakannya).
Lambusuang rie sirina
Tapi anre pangalina
Manna nikobi
Lambusuang sirina
Tapi anre pangalina
Manna nikobi
Tannipau ri aronna (16)
Lagu ini mengisahkan tentang seseorang
yang biasanya pemalu, tapi ternyata tidak dapat
menjaga nama baik (tahu bahwa seseorang
melakukan perbuatan melanggar adat
terhadapnya) Ia membiarkannya dan tidak
memberitahukan pada orang tuanya.
Batara kalukua
Toatompi nanialle
Bansa taua
Rikalo loloanna
41
Kalukua batarayya
Toatompi nanialle
Bansa taua
Rikalo loloanna (17) Artinya: Jagung, kelapa. Nanti tua baru diambil.
Seperti manusia. Nanti Dewasa.
Lagu ini mengumpamakan jagung dan
kelapa dengan perempuan. Jagung dan kelapa
bisa dipetik jika sudah waktunya. Begitu pun
dengan perempuan, ada waktu dan fase yang
harus dilalui untuk mendapatkannya.
Bukkurua mannna kukang
Jannajia dongkokannna
Bansa taua
Tangi raja tangi lau’ (18)
Lagu ini menjelaskan tentang seseorang
yang seperti burung yang meski terjadi apa pun
tetap tidak bisa melakukan apa pun/ tidak bisa
mengambil keputusan.
A’ra tonja nidalleang Tanna tajang-tajangmama Nare’ki ganna
42
Dalle tea mammminawa A’ra tonja nidalleang Tanna tajang-tangmama Nareki ganna Dalle tea mammminawa (19)
Artinya : Saya juga ingin dipuja/dinanti, tapi tidak
ditunggu/diharapkan. Dia mungkin
mengira, tidak ada keberuntungan untukku.
Kelong ini dapat digolongkan ke dalam lagu
pelipur lara. Tersirat dalam lagu bahwa nasib si
penyanyi tidaklah sesuai yang ia harapkan.
Manna bulaeng tuka’nu
Manna intang pa’ladannu
Teaja nai’
Ka papaui anronnu (20)
Artinya: Meski tanggamu terbuat dari emas. Intan
tempatmu beristirahat. Saya tidak akan
naik. Karena ibumu sering mengkritik.
Lagu ini menceritakan tentang seseorang
yang sakit hati, dan berikrar untuk tidak lagi
menjalin hubungan dengan seseorang yang ibunya
selalu mengkritik/mencela.
43
Cangkiri apa bunganna
Dulang apa tulisina
Nasarro kamma
Nanipa’matematei
Cangkiri apa bunganna
Dulang apa tulisina
Nasarro kamma
Nanipa’matematei (21)
Artinya : Cangkir apa motifnya? Nampan apa
tulisannya? Mengapa begitu berlebihan?
Hingga melakukannya ibarat mau mati.
Lagu ini bercerita tentang keingintahuan
seseorang terhadap perilaku seseorang yang
terlihat berlebih-lebihan. Lagu ini semacam kritikan
terhadap orang lain.
Rua sombala kutannang Rua guling kupattaja Rua balango kubuang Makkanre ngase Rua sombala kutannang Rua guling kupattaja Rua balango kubuang Makkanre ngase (22)
44
Lagu ini mengisahkan tentang upaya atau
kegiatan yang dilakukan tidak sia-sia. Lagu ini
semacam ungkapan kesyukuran atas segala
nikmat yang diperoleh.
Lanu pallei sekko Injo didia Burinti sala-salayya Sombala ke’ke Lanu pallei sekko Injo didia Burinti sala-salayya Sombala ke’ke (23)
Lagu ini berkisah tentang perbuatan sepeleh
yang dilakukan seseorang yang justru berakibat
fatal, dan merugikan.
Manna tinggi kalukua
Manna pada lajang-lajaang
Kuambi’jia
Punna siri’ latappela (24)
Artinya : Biar tinggi pohon kelapa. Biar setinggi
layang-layang, tetap akan kupanjat. Jika
itu akan membuatku terhina.
45
Kelong ini memiliki makna bahwa demi harga diri
meskipun rintangan begitu besar/ tinggi tetap akan
dihadapi.
Inakke anreja pole
Anre tankuturuki
Turukii jammeng
Turuki lingka rianja (25)
Artinya: Kalau saya tidak ada masalah. Semua
kuturuti. Mengikuti kesedihan. Mengikuti langka
ke akhirat.
Kelong ini berkisah tentang seseorang yang
pasrah dalam mengarungi hidup.
Jangang-jangang rate kaju
Mattangke kalekalenna
Eroi iturunna
Nadeppammempoanna (26)
Artinya: Burung di atas pohon. Bertengger sendirian. Ingin turun, tetapi tidak
punya tempat.
Kelong ini mengisahkan tentang seseorang
yang kesepian, ia ingin bergabung/ berteman
46
dengan yang lain tetapi tidak ada yang ingin
menerimanya.
Selain berkisah tentang perasaan dan kritik
sosial, kelong berbahasa Konjo juga banyak
berkisah tentang kematian dan kehidupan
selanjutnya. Hal tersebut dapat dilihat pada kelong
berikut
Ngurapi kumate dara
Kuni ahang bosi-bosi
Kunikerrokkan je’nea ri kuburukku (27)
Artinya: Kapan aku meninggal muda? Dikubur saat
hujan. Diambilkan air dalam kuburku.
Inakke kunni-kunnina
Se’remami taggalakku
Mateamami
Lingkayya mami rianja (28)
Artinya : Saat ini saya tinggal satu prioritasku. Kematian dan perjalananan di akhirat
Kedde linoji simata
47
Kulleji allongjorengan
Manna nisanging paccea
Langura toi (29)
Artinya: Seandainya hanya kehidupan hanya
tentang dunia, maka aku takkan gusar (?). Biar
kumiliki sendiri duka, dia mau apa.
Lagu tentang kematian dan akhirat ini
menurut HN (80) sebagai pengingat bahwa semua
orang pasti akan kembali kepada-Nya.
Lamakelong-kelongkinni
Lamananro pangurangi
Pasiu’rangi ri lino sanging lajammeng (30)
Artinya : Aku ingin menyanyi. Menyimpan ingatan.
Saling mengingatkan. Di dunia penuh
kesedihan.
Lagu ini merupakan lagu pelipur lara.
Ungkapan perasaan seseorang tentang kehidupan
yang penuh dengan kesedihan. Kelong pelipur lara
ini, lebih sering dinyanyikan seorang diri.
48
Sumbanjangko nujunnu
Pakajai amala'nu
Bambangi bede
passissaya ri naraka
Artinya: Salat dan wudhulah, serta perbaiki amalmu
karena katanya panas neraka sangat
menyiksa.
Selanjutnya berikut kelong yang diketahui oleh
HN (80), menurutnya lagu ini biasa dinyanyikan
bersama saat di kebun atau saat sendiri di rumah
melakukan aktivitas seperti, mengupas. Akkelong
dilakukan agar tidak mengantuk. Berikut Kelong
yang sering dinyanyikan HN
Leko lelengjai nakke
Kumanaija ritingja
I kau tarring
Numanrampa laminjaha (31)
(Lagu ini bercerita tentang seseorang yang merendah diri dengan mengumpamakan dirinya
seperti daun sirih yang telah berwarna hitam; tidak berharga )
49
Tuniaji magguliling
Ia sunggua
Empo tojji ribori'na
Kabori'na taua
Kapatanna parrasangen
Siratang tongki
Inakke Tamalanrea
Naempoi tukapetta
Nata'rampei
tutassala ribori'na
Iyamminni ballasana
Parasangen mabellayya
Manta la'kiring kuraggeljinallante
Je'ne matang laniari
Teami tantang ritana, pinjeng toppa piring
panata'lembai (kelong)
50
Lagu ini bercerita tentang seseorang yang
merasakan betapa tidak menyenangkannya tinggal
berjauhan dengan orang yang dikasihi
Inni mae kamma tojeng
Kamma bombong si palapa
Konni-konnina
kamma langi nabuttayya
Inni mae kamma tojeng
Tallang batu pammaekku
Konni-konnina
kammma bente pammohena
Iyaji kukana memang
Mappijngangko riolo
Bajji riboko
Nanassala kalenna
Nassassalimi kalenna
Natunrai pa'maena
Naturukiang pamae rongo-rongona
51
Taba susa taba simpung
Punna kau lanatajang
Bajikan tojji nisombalang pa'risia
Parrrisia pamaekku
Nananroangki taua
Tammatetoki
Talingka tongki riangja
Inakke kunni-kunnina sere mami ta'galaku
Mateammi
Anjayya kunaha-naha
Bajikko mapparua kampong
Mappatallu pa'rasangeng
Kodi sere,ruapi kajangengannna
Apa minni lanikana
Punna battu lamatea
Manna sahada
52
bismillah tanniasseang (kelong)
Apa nibokong rianja
nika'do ripadatari
Sumbajangia
puasa tallungbangia
(kelong)
Innimae kamma tojeng
Tallang batu pammaeku
Kunni-kunnina
Kamma bente pammohana (kelong)
Kelong toa mangku manna sarro kamaseku
Nia' patuna nasangka bonena lino
Tallino tang anja moni ta suragamanu..ni...
Alla'na mami pada tari' niempoi
Pada tari' alle to'ma suragapa
Alle toang, malanre toppi parisegarayya
53
Pa'rasangeng tenangsitte
Bosi tujang silabaki
Tolong si cini nasikasomberi memang
Sombereajia ma'la'ba
Tuneaji magguliling
Ia sunggua empo toji ri bori'na
Kabori'na ritaua kapatanna parasanga siruntu'na
Natirunna palleteang
Pa’risi’ku lalang sura’
limpungku lalang tulisang
je’ne matangku
kamma daha’ pa’lampana
Sementara itu JW mengungkapkan bahwa ia
kadang masih sering menyanyi saat sendiri untuk
menghibur dirinya. Meskipun begitu ia tidak
memperdengarkannya ke orang lain. Berikut wujud
kelong yang lain menurut JW
Manna bosi
54
Manna rimbu
Battuja a’la’ba-la’ba
Ta’ kukullena kusa’bipanranglakkennu
Artinya: Biar hujan, biar angin. Saya tetap datang
untuk mencari nafkah.Karena tidak bisa di
tinggalkan/di saksikan.
Kelong lainnya yang masih dapat
diinventarisasi sebagai berikut:
Tere mae pandang-pandang Natimboi bunga roti Nabao kamma Rasana mae ri kaming Tere mae pandang-pandang Natimboi bunga roti Nabao kamma Rasana mae ri kaming (31)
Malla-mallai baleang
Tonda-tonda buhungana
Leko ata'na
Narako didi daserena (32)
55
Remba-rembaki kalau’
Ri kampongnna Balandayya
Cinde tappanging
Caulu ta’rimba-rimba (33)
Coba sai ado’-ado’
Kalorona balanmpieng
Punna malantang
Sokko mannaha-naha (34)
Coba sai adu’adu
Kaloro’na balantia
Punna malantang
Soho’ko mannawa-nawa
Coba sai adu’adu
Kaloro’na balantia
Punna malantang
Soho’ko mannawa-nawa
Tutonnaya tusarroa
56
Kamasena
Tuti dei iyya
Bajina talangerang
Coba sai adu’adu
Kaloro’na balantia
Punna malantang
Soho’ko mannawa-nawa
Coba sai adu’adu
Kaloro’na balantia
Punna malantang
Soho’ko mannawa-nawa
Punna nia kuleanna
Sa’ra dalle sa’ra tongki
Sa’ra bintoeng
Tena tommo kacinikang
Artinya: Seandainya bisa. Surut rezeki, kurang (?)
Hilang bintang, tidak terlihat juga
Raja-rajapi alloa
57
Bo’dongpi raung ta’bua
Raung barua
Kukellaingi la’bu-la’bu Artinya : Raja-rajapi matahari . Nanti bundar daun
tebu. Pucuk daun kubiarkan Panjang-
panjang.
Lagu ini bercerita tentang seseorang yang belum
membiarkan anaknya/ dirinya dipinang
oleh orang lain. Menurutnya hal tersebut
belum tepat (waktunya)
Batturatemaka ri bulang
Soro bintangi limangku
Lima Pajaai
Karameng pa’dawa-dawaang
Artinya: Saya sudah dari bulan. Meminta untuk
menerawang tanganku. Tangan yang kumiliki,
jari-jarinya jago membuat sesuatu.
Malla-mallai baleang
58
Tonda-tonda buhungana
Leko ata'na
Narako didi daserena
Nalisa tintoonja
Nilanggatonja pa'mae
Nakonni-konni
Pariajan pai' mami
Nurinore apa
Parusana
Nakubuang panrannuang
Sikalipali kanu nia ria tinnu
Mannatonnia
Bunga tanco nacampaga
nasirilebu bunga ballonna leo
Kunrinmae
Ininimae nilangga pammaemmae
Nakunni-nakunni
59
Pariajang pai mami
Pa'rasangeng tingang sitte
Bori tingang sila'bakki
Tingang sicini nasikasombere memang
Sombereaji ma'laba
60
Rarangko mae allo Ka burung-burangi cabillo
Artinya : Cerahlah matahari karena Cabillo di
kerumuni hewan sejenis serangga.
Lagu ini dinyanyikan saat menjemur kacang, jagung atau pun hasil panen lainnya saat langit terlihat mulai mendung.
61
Dojong
Dojong dalam bahasa Indonesia artinya lagu
pengantar tidur untuk bayi. Dojong ini, dinyanyikan
pada saat mengayun bayi. Bayi yang dinyanyikan
dojong lebih cepat tidur dibandingkan tidak,
kadang pula si penyanyi ikut tertidur saat
menyanyikan lagu ini.
“Nikelongangi punna patinroki ana’-ana’,
biasa attoengki, tinroto’maki’ (JW) (Dinyanyikan
saat mengayun anak-anak, kalau mengayung biasa
juga si pengayung tertidur). Berikut dojong yang
diketahui oleh JW (59)
Tinro- tinroko nu cokmo
Nu makkale rodeng-rodeng
Nubakka naik
nungerang tekne’-tekne’ pakmae (1)
Artinya: Tidurlah agar gemuk
Agar badanmu seperti rodeng-rodeng.
Supaya besar membawa kebaikan.
62
Laku dojong-dojong sai
Laku tarinti baji’ sai
Anakna nambia
Cucuna nambi Muhammad (2)
Artinya : Mau saya nyanyikan
Mau saya jaga lagi
Anaknya nabi kita
Cucunya nabi muhammad(2)
Tinro-tinroko nu cokmo
numakkalerondeng rodeng
Nanubakka nai nungerang tekne’-te,ne’
pakmae
Nuppakjai amala’nu sannakki bedeng
passissaya ri noraka (3)
Artinya:
Tidurlah supaya kamu gemuk
Supaya cantik
Supaya besar nanti membawa kebaikan
63
Memperbanyak amal supaya tidak siksa di
neraka(3)
Pakimburu dokkongkontu
malaja’bumbera kontu
Kalebakkanu kama mami rojong-rojong. (4)
Artinya: Orang yang cemburu akan menjadi kurus
Pada akhirnya akan menjadi semut(4)
Badan besarnya seperti laba-laba
Laku tarinti baji sai
Laku dojong-dojong sako
Kutarinti baji sai
Ana’na cucunna nambi Muhammad (6)
Artinya: Akan kujaga dengan baik
Akan kutidurkan
Akan kuajaga dengan baik
Anak cucu nabi muhammad
Bulang sumarakko nai’
Nanaseoro’ balla’ku
64
Nakacinikang sombere kasi-asiku
Bintoeng mumbani pole (7)
Ampasiar’ kalenna
Mattayang langi’
Majannang makkilo-kilo
Bintoeng paleng mammumba
Kukana wari-waria
Kutuju mata
Kupare’ panyeleori (8)
Cinna cinikku ri kau
Tenamo naganna rua
Rikau mintu
Takkimbong tallasakku (9)
Cinna cinikku rikau
Erang soso’ ri kali’bong
Nakukalimbu’
La’limbang padatari (10)
65
Cinna cinikku ri kau
Manna la,busu assingku
Ammantang tonja
Dakka di buku-bukunnu (11)
Cinna cinikku ri kau
Tenamo naganna rua
Tokkekka cini jarre’na
Patta’gala’na (12)
Cinna ciniku inakke
Tenamo naganna rua
Harangi naung
Punna nia, ri maraeng (13)
Menurut HN (80) ia menyanyikan dojong
untuk anak, hingga cucunya. Dojong tersebut
diketahuinya secara turun temurun dari nenek dan
orang tuanya. Dulu saat orang tua menyanyi, ia
juga ikut menyanyi. Menurutnya, di masa muda ia
mengetahui banyak kelong dan dojong.
66
“Ana’ na ampu biasa nidojong, punna
lanipatinroi, nitoyeng nidojong to’mi’’ (Anak dan
cucu sering dinina bobokan, jika sedang
mengayun. Mengayun sambil menyanyi) Lebih
lanjut ia mengatakan,
“Kulangereji tutoaayya a’dojong,
minahangma adojong. Lohe riolo kuisse’ mingka
kohemi kukaluppai’ (Saya hanya mendengar lagu
pengantar tidur ini dari orang tua saat menidurkan
bayi, saya juga ikut menyanyi. Dulu banyak lagu
yang saya hafal, tetapi sekarang sudah banyak
yang saya lupa)
67
Berikut dojong yang diketahui oleh HN (80)
Tea to'ma
la'ma to'ma
Kamma to'ma erea
Ma'lo’llona tangmali-malianna
Ia..ia ko combong
Parisi apamo ganna combonna
nananroangki taua
Tammate tongki
talingka tongki rianja (14)
Pamaeng tunruko naung
panaung
Nyaha teako ta'bembang
Empoko naung ritudangeng ribiasanu
Ia..ia ko ri combong (15)
Kubanja-banja nujantu conbong
68
Kukellaengko biasa
Biasakontu nanasemi kalenna
Ia-ia ko combong (16)
Iya iya ko (nama anak)
Punna numolongi sunggua
Tongko sama a i nakke
Numolongtoppi kupettaya
Nutimbaa (17)
Tunikammami nakke
Tunigentung ripasseya
Tunipasai', rialla' sia-siayya (18)
Kukamasekumini nakke
Nakunia' rinnimae
Nairi anging kuta'rampe kunnimae
(19)
Tannangai pela mama
Buang pakaleremama
69
Sitambangae tannulangere sarrangku
(20)
Lampaki pale atuna
Natunaiki taua
Napppapadata atabatummi
sombalang (21)
Sementara itu BT (50) mengungkapkan
bahwa dojong ini juga ia dengar dari orang tua.
Ia tidak terlalu banyak menghafal kelong atau
dojong karena saat itu banyak kesibukan.
Meskipun begitu, ia masih mengingat beberapa
dojong. Berikut dojong yang dimaksud;
Tea mami
Lingkayya mami rianja
Rianja bede mappasa
Tulinona pappasangi
Naungko bede lonjokiangi nitopena
(22)
70
Nakukurapako pole
lakusompoko nanutea
lakukalahing
nanudodasa kalennu (22)
Manna bulang bura tongji
Bintoeng kaballe tongji
Matanna allo nia tongja taggilingna
Kobbiii (23)
Sementara it SN (50) menjelaskan bahwa
ia mengetahui beberapa kelong dan dojong dari
ibu dan mertuanya. Meskipun tidak banyak yang
dia hafal, karena menjaga anak lebih banyak
dilakukan oleh orang tuanya. Hal tersebut
dikarenakan ia bekerja sebagai seorang guru. Ia
mengaku sering mendengarkan ibu atau mertuanya
menyanyikan lagu pengantar tidur untuk anak-
anaknya saat diayun. Jadi dojong tersebut
71
dihafalnya bukan karena diajarkan, tetapi hanya
dari proses menyimak.
“Biasanjomae punna minroma battu
angajara, kulangeremi neneknu akkelong
attoeng. Gassing nilangerei jari niisse toi’
(Biasa sepulang dari mengajar saya
mendengar nenekmu (Ibunya) menyanyi
sambil mengayun. Sering didengar akhirnya
dihafal)
”
Berikut dojong yang diketahui SN
Ia iako (nama anak)
Teako ngaruki
Ngarrukjakoyya
Punna nia anrong dokkongnu
Ammataggeleng-gelengnnu (24)
Sementara itu SD mengungkapkan bahwa
dulu dia menguasai banyak pa’dojong waktu
72
anaknya masih kecil, tetapi karena anaknya sudah
besar, ia tidak lagi menyanyikannya.
“Lohentu keddeng kelongku, wattunna lohe
ana’-ana’ mingka bakkami, tala maingmaki
akkelong paknjo” (Banyak sebenarnya laguku
waktunya banyak anak-anak, tetapi mereka
sekarang sudah besar, jadi saya tidak pernah
menyanyi lagi) . Berikut dojong yang diketahui SD
Tarang bunga maliaade
Natompolangko anrongnu
Napute kamma
Nabo’dong camere-mere (25)
Punna numolongi sunggua
Tongko sama a i nakke
Numolongtoppi kupettaya
Nutimbaa (26)
73
Cinna cinikku ri kau
Tenamo naganna rua
Rikau mintu
Takkimbong tallasakku
Cinna cinikku rikau
Erang soso’ ri kali’bong
Nakukalimbu’
La’limbang padatari
Kucininu rawa je’ne
Kamma ulang pa’bo’dongnu
Kamma bintoeng
Peda-peda matannu (27)
Artinya: Kulihat engkau dalam air. Seperti bulan
lingkar wajahmu. Seperti bintang terangnya
matamu.
74
Baca-baca
Mantra ‘baca-baca’ adalah sastra lisan yang
sering digunakan masyarakat pengguna bahasa
Konjo, saat ingin menyembuhkan penyakit
seseorang, atau pun berikhtihar terhadap sesuatu.
Baca-baca ini tentu hanya dianggap sebagai bagian
dari ikhtihar, penyembuhannya tentu tetap atas
kuasa yang Mahakuasa. Berbeda dengan kelong,
dan dojong, baca-baca itu tidak didendangkan.
JW ( 59) menyebutkan ada beberapa mantra
yang dia ketahui sesuai dengan penyakit yang akan
disembuhkan. Berikut mantra tersebut
“Nisapui battanga, nampa nibaca
pintallung”(Tangan diletakkan diperut dan
dibacakan mantra 3x)
Ucupang ucupang
anta’leko
alle lappa lipa’nu
ri silajara ri bondeng (Mantra ketika sakit perut)
75
Laku taro bangbangna
laku dudasa’
dinginna Nabi Muhammad
ampantengi tallasa’na ya Rasulullah (Mantra
ketika demam
Sementara itu MJ (57) mengatakan bahwa
mantra ini diperoleh dari omnya yang dulu adalah
sandro di kampungnya. Menurut MJ mantra ini
tidak lagi digunakannya, ia lebih memilih membaca
ayat kursi atau surah pendek dibanding mantra
tersebut. Lebih lanjut menurutnya baca-baca
tersebut hanyalah sebuah tradisi. Ia pun mengaku
sudah banyak lupa tentang mantra yang dulu
dihafalnya.
Kau setang kau longga
Pali'palilingi kalennu
Kauji angittea, nakke talakutteko
Nakke rinanggabng kau rahanggang
Kau rinanggang, nakke rahanggang
76
Kau laukang nakke rajangang
Kau ranjangngang nakke laukang
Saba' alla taala
Kumpayakun
MJ mengungkapkan bahwa mantra atau
baca-baca ini dulu dibaca saat merasa kalau ada
hantu/ jin di sekitarnya . Mantra lain pengusir
jin sebagai berikut
Tambaga sussaya
Marakatiya
Barakka lailaha illallah (pengusir jin)
Selanjutnya untuk baca-baca agar disukai
banyak orang adalah sebagai berikut
Punna sira lampammuko
Teako sirampe kodi
Rampea golla
Nakurampeko kaluku (Mantra untuk
disukai)
77
Kau nabi Ibrahim
Paka dingingi nubambanga (Saat
terkena panas)
Dabbung toppi kamuruku
Nakudabbung todo rimotoroku (Saat
naik motor)
Mirua’pi banna otoa
Nakummirua’ todo
Nasaba Allah taala (Saat naik mobil
agar tidak muntah)
Yakkung lakurappakang
Ribanoanna bassia
Kullungkumpayakum
Barakka lailaha illalah (Agar berani)
78
Pa’risi’nu par’risikku
Rua pa’risi nijuku
Lantang bangngia
Nanumbangun tassunge’nge’
Artinya: Sakitmu adalah sakitku. Dua sakit
bertautan. Tengah malam kamu bangun
menangis terisak-isak.
79
Fungsi Sastra Lisan Bahasa Konjo
Pada hakikatnya sebuah karya sastra, baik
itu lisan maupun tulisan tidak bisa dimaknai secara
harfiah. Hal tersebut disebabkan oleh sastra
mengandung makna kias. Hal tersebut sesuai
pendapat BT (50) bahwa kelong, maupun dojong
itu punya makna yang mendalam, berisi tentang
ajaran-ajaran ataupun pengharapan.
“Nisseji battuanna, mingka susa punna
laniartikangi se’re-se’re. Inni kelongan, pa’dojonga
rie’ pangajara’na rie’ todo pangerang”
Lebih lanjut menurut BT (50) kelong ini
memiliki fungsi budaya, misalnya dinyanyikan pada
kegiatan-kegiatan berkebun, memanen, atau juga
pada acara pernikahan (menjemput pengantin)
Nai’ko mae Kupassandiangko ana’ bungaku Nalakusareko sipoko kaluku Na sitangke loka
80
Kelong ini menggambarkan bahwa jika ada
seseorang yang datang dengan maksud baik, maka
tuan rumah akan menjamukan sesuatu yang lebih
baik lagi. Hal tersebut terwakili dari baris 1,2,3.
Budaya menghargai tamu sudah mendara daging
dalam masyarakat pengguna bahasa Konjo. Orang
percaya bahwa memuliakan tamu adalah bagian
dari pembuka pintu rezeki. Selanjutnya fungsi
budaya juga dapat dilihat pada lagu berikut
Tala bojama maraeng Pantarangan naikau Saba ikau Narosso cinna matangku
Kelong ini menggambarkan tentang
seseorang, jika sudah tertarik atau jatuh hati pada
seseorang, maka orang tersebut tidak akan
berpaling lagi ke yang lain. Setia kepada pasangan
adalah salah satu budaya yang ada dalam
masyarakat pengguna bahasa Konjo.
Nilai budaya juga tercermin dari kelong
berikut ini
81
Manna tinggi kalukua
Manna pada lajang-lajaang
Kuambi’jia
Punna siri’ latappela
Kelong ini mengandung makna bahwa demi
harga diri meskipun rintangan begitu besar/ tinggi
tetap akan dihadapi. Hal ini menunjukkan bahwa
nilai budaya menuntun seseorang dalam
berperilaku. Budaya mempertahankan harga diri
merupakan budaya orang Konjo yang masih
dipertahankan hingga saat ini.
Selain memiliki fungsi budaya, sastra lisan
bahasa Konjo juga mengandung fungsi sosiologis.
Dalam hal ini sastra lisan bahasa Konjo
mengandung pedoman-pedoman hidup yang harus
diikuti masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat pada
dojong berikut ini
Pakimburu dokkongkontu
Malaja’bumbera kontu
Kalebakkanu
Kamma mami rojong-rojong
82
Dojong tersebut bermakna bahwa memiliki
sifat cemburu itu tidak baik, memiliki banyak
mudarat. Hal tersebut diwakili dengan baris
Malaja’bumbera kontu, Kalebakkanu, Kamma mami
rojong-rojong. Perumpamaan tersebut bukanlah hal
yang baik.
Manna bulaeng tuka’nu
Manna intang pa’ladannu
Teaja nai’
Ka papaui anronnu (Kelong)
Kelong tersebut memiliki makna bahwa
meskipun seseorang anak begitu kaya (tangga
emas, intan tempat tinggal) tidak ada yang mau
bergaul/ dekat dengannya jika orang tuanya sering
menjelekkan orang lain. Dalam bermasyarakat
sikap menjelekkan atau suka mengkritik orang lain
adalah perilaku yang sangat tidak disukai karena
dapat mengganggu keharmonisan.
83
Nai tommi tala pacce Tala parasi nyahana Nibokoinna Tanni pahang passabankkeng
Kelong ini menjelaskan bahwa setiap orang
pasti akan merasakan kecewa, sakit hati jika
diabaikan tanpa tahu apa sebabnya. Dalam
kehidupan sosial komunikasi menjadi pilar yang
fundamental untuk menjaga tatanan masyarakat.
Kesalahpahaman bisa saja membuat perpecahan.
Selanjutnya fungsi sosiologi juga dapat dilihat pada
kelong berikut
Siganra mate parea
Mate pucu biralle
Ka purinanna
Siganra mate parea
Mate pucu biralle
Ka purinanna
Ero’ ri kamanakanna
Kelong ini menjelaskan tentang larangan
untuk menikahi keponakan karena akan
84
menimbulkan bencana. Bencana tersebut diwakili
oleh bait “siganra mate parea, mate pucu biralle”
maksudnya pantas padi mati, jagung mati.
Perumpamaan tersebut menunjukkan bahwa
bencana yang ditimbukan cukup besar jika
melanggar aturan adat.
Sementara fungsi pendidikan dapat dilihat
dari kelong, dojong, baca-baca yang mengandung
banyak nasihat/ petuah-petuah yang dapat
dijadikan pedoman hidup.
Selanjutnya fungsi agama/moral dapat
dilihat pada kelong, dojong, dan baca-baca dapat
dilihat pada sastra lisan “mantra “ berikut
Kau laukang nakke rajangang
Kau ranjangngang nakke laukang
Saba' alla taala
Kumpayakum
Kau setang kau longga
Pali'palilingi kalennu
Kauji angittea, nakke talakutteko
Nakke rinanggabng kau rahanggang
Kau rinanggang, nakke rahanggang
85
Pada dua baris terakhir “ Saba’ Allla taala”
dan kumpayakum” menunjukkan tentang
kepasrahan terhadap Allah. Kepasrahan terhadap
Sang pencipta adalah bentuk keyakinan tertinggi
seorang manusia. Selanjutnya fungsi agama bisa
dilihat dari sastra lisan berikut
Apa minni lanikana Punna battu lamatea Manna sahada bismillah tanniasseang
Kelong ini menggambarkan tentang
seseorang yang sedang gundah/menyesal,
memikirkan apa yang akan terjadi jika kematian
menghampirinya sementara mengucap sahadat dan
basmalah saja tidak tahu. Nilai agama yang terisrat
dalam kelong ini adalah sikap sadar seseorang/
tobat sebelum ajal menjemput.
Hal serupa juga bisa dimaknai dari kelong
berikut ini
86
Apa nibokong rianja nika'do ripadatari Sumbajangia Puasa tallungbangia
Kelong ini juga menggambarkan tentang
keresahan seseorang tentang bekal yang akan
dibawa di alam penghisapan. Orang tersebut tahu
bahwa salat dan puasalah amalan yang akan
menyelamatkannya. Sebenarnya hampir bisa
dikatakan bahwa semua mantra berbahasa Konjo
mengandung unsur fungsi agama, karena mantra
tersebut tetaplah menyebut nama Sang pencipta
sebagai Maha Pengabul segala keinginan.
87
88
Pannongko’
5.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan, dapat
disimpulkan bahwa terdapat tiga jenis wujud
sastra lisan yang memiliki fungsi dengan indikasi
sebagai berikut,
1. Wujud Sastra lisan bahasa Konjo di
Kabupaten Bulukumba adalah dojong,
kelong, dan baca-baca. Kelong adalah lagu
yang dinyanyikan untuk memberikan
semangat, penyambutan, ataupun petuah.
Dojong adalah agu pengantar tidur untuk
bayi. Sementara baca-baca adalah mantra
yang dinyanyikan/dibacakan saat seseorang
sakit.
89
2. Fungsi sastra lisan bahasa Konjo di
Kabupaten Bulukumba adalah fungsi
hiburan, pendidikan, sosiologis, dan agama.
3. Sikap bahasa masyarakat pengguna bahasa
Konjo terhadap sastra lisan berbahasa
Konjo adalah cenderung negatif.
4. Inventarisasi sastra lisan adalah bagian dari
upaya pemertahanan bahasa; dengan
menginventarisasi sastra lisan maka
penyebaran pengetahuan tentang sastra
lisan bahasa Konjo akan semakin mudah.
Sastra lisan bisa menjadi media untuk
menarik masyarakat untuk tetap
mempertahankan bahasanya.
5.2 Saran
Penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan dalam teori sastra lisan. Setelah
90
penelitian dilaksanakan, peneliti memberikan
saran sebagai berikut
5.2.1 Bagi masyarakat: diharapakan tetap
melestarikan sastra lisan bahasa Konjo
sebagai bagian dari budaya daerah
5.2.2 Bagi pusat bahasa: diharapkan dapat
meningkatkan sosialisasi terhadap
pemahaman pelestarian budaya daerah,
terutama sastra lisan.
5.2.3 Bagi peneliti lanjut; agar bisa melakukan
penelitian tentang sastra lisan dalam
cakupan yang lebih luas.
91
92
Nene’
Nene’ku apami kihaju
Anre’maki rilino
Lantemaki rianja
Angerang sambajanta
Nene’ talakurapikki a’lampa
Tangkuitte sumara’ta
Tala kurakakki
Simpada wattungku caddi
Nene’ sannangjaki kuntu
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia Ilmu
Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:
Grafiti.
93
Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of
Society. Cambridge: Cambridge University
Press.
Grimes, B.F. (ed.) 2000. Ethnologue: Languages of
the World. Dallas, Texas: Summer Institute
of Linguistics, Inc.
Jendra, Made Iwan Indrawan. 2012. Sosiolinguistics
The Study Of Societies Language.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kridalaksana, Harimurti (Ed). 1986. Pengembangan
Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bahasa. Flores.
Nusa Indah.
Luxemburg, Jan Van dan Miekel Bal.
1982. Pengantar Ilmu Sastra.
Dialihbahasakan oleh Dick Hartoko. 1984.
Jakarta: Gramedia.
94
Sumarsono dan Paina Partana. 2002.
Sosiolinguistik. Yogyakarta: Penerbit Sabda.
Ras, J.J.1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir.
Jakarta: Grafiti Press.
Sugihastuti.(2011). Teori Apresiasi
Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra
Lisan. Yogyakarta. Lamalera.
Wilian, Sudirman.2010. Pemertahanan Bahasa dan
Kestabilan Kedwibahasaan pada Penutur
Bahasa Sasak di Lombok. Linguistik
Indonesia, Vol 8 No.1.Hal.23-29.
95
LAMPIRAN DOKUMENTASI FOTO
96
97