PADA PERUNDINGAN UNFCCC |ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen/Bunga... · dalam...

92
BUNGA RA MPAI PERUN DIN GAN PERUBAH AN IKLIM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM 2017 PADA PERUNDINGAN UNFCCC

Transcript of PADA PERUNDINGAN UNFCCC |ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen/Bunga... · dalam...

BUNGA RAMPAI PERUNDINGAN

PERUBAHAN IKLIM

  KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM 2017

PADA PERUNDINGAN UNFCCC

POTRET 3 TAHUN

PERJUANGAN INDONESIA

ii

Penyusun:

Radian Bagiyono, S.Hut., M.For.

Wukir Amintari Rukmi, S.IP., M.IDEA

Saptuti Gamayanti, S.Hut., M. Sc.

Fona Lengkana, S.Hut., M.E.

Citra Fitriyani, S.IP

Hatif Hawari Saputra, S.H.Int.

Rizki Maulana Rachman, S.H.Int.

Desain Sampul:

Hatif Hawari Saputra, S.H.Int.

Foto Sampul:

Foto oleh: IISD/Kiara Worth

Editor:

Ir. Achmad Gunawan Widjaksono, MAS, Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional

Pengarah:

Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim

ISBN: 978-602-50932-4-1

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang menggunakan isi maupun memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam

bentuk fotocopy, cetak, microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk

keperluan pendidikan atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai

berikut:

Direktorat Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional (2017). Bunga Rampai Perundingan

Perubahan Iklim: Potret 3 Tahun Perjuangan Indonesia pada Perundingan UNFCCC.

Diterbitkan oleh:

Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim – Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan

Kontak:

Direktorat Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional

Jl. Jend. Gatot Subroto, Gd. Manggala Wanabhakti Blok VII Lt. 12 Jakarta 10270, Indonesia Telp/Fax: 021 5746724, Ext. 809, website: http://ditjenppi.menlhk.go.id/

iii

SAMBUTAN

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Perubahan Iklim merupakan isu multidimensi dan kompleks yang

dalam beberapa dekade terakhir menjadi perhatian serius dari

masyarakat global. Dampak dari perubahan iklim akibat kenaikan

temperatur bumi sudah sangat nyata dirasakan oleh banyak

negara khususnya negara berkembang di berbagai tempat di

belahan bumi dan telah menyadarkan masyarakat global untuk

mengambil tindakan nyata untuk mengurangi dampak tersebut. Sejak disepakatinya

Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention

on Climate Change—UNFCCC) pada tahun 1992, semua negara pihak (Parties)

sepakat untuk bekerja sama untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK)

di atmosfir pada level yang tidak membahayakan kehidupan manusia.

Dengan diadopsinya Kyoto Protocol (KP) pada tahun 2005, negara maju yang

merupakan negara pihak KP berkewajiban untuk menurunkan emisi GRK, sedangkan

negara berkembang berkewajiban untuk melaporkan hasil inventarisasi GRKnya.

Mengingat implementasi KP telah berakhir pada tahun 2012 dan meskipun

diperpanjang sampai dengan tahun 2020 melalui Doha Amandment, akan tetapi

belum semua Negara Pihak meratifikasinya.

Indonesia sebagai negara kepulauan, merupakan negara yang rentan terhadap

dampak perubahan iklim, sehingga Indonesia sangat berkepentingan untuk terlibat

aktif dalam upaya global penanganan perubahan iklim melalui perundingan di

bawah kerangka UNFCCC. Sejak digabungnya 4 (empat) kementerian/ lembaga

(Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, DNPI dan BP REDD+)

menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Perpres

Nomor 16 Tahun 2015, maka penanganan perubahan iklim merupakan mandat dan

tugas KLHK yang dilaksanakan oleh Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim selaku

National Focal Point (NFP) for UNFCCCC.

Dalam kurun 3 (tiga) tahun sejak tahun 2015 sampai tahun 2017), KLHK berhasil

memperjuangkan kepentingan Indonesia dan berperan aktif dalam upaya global

penanganan dampak perubahan iklim melalui rangkaian panjang proses negosiasi

perubahan iklim. Sejak sebelum COP21 tahun 2015 sampai dengan COP23 tahun

2017, KLHK telah menunjukkan kepemimpinannya dalam mengkoordinasikan

pengelolaan perundingan, penyiapan substansi perundingan, dan pengelolaan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

iv

Delegasi Republik Indonesia (DELRI). KLHK berhasil menjawab keraguan publik

dalam memperjuangkan misi dan kepentingan Indonesia dalam setiap sesi

perundingan perubahan iklim, baik melalui jalur negosiasi maupun melalui jalur

outreach dan campaign.

Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya diberikan kepada para

anggota DELRI baik yang berjuang di meja negosiasi maupun melalui outreach dan

campaign atas kontribusi dan dedikasinya dalam memperjuangkan misi dan

kepentingan Indonesia.

Jakarta, Desember 2017

Dr. Siti Nurbaya

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

v

K ATA PENGANTAR

Sebagai saksi sekaligus pelaku sejarah perundingan perubahan

iklim sejak COP11 UNFCCC di Montreal pada tahun 2005, tiga

tahun terakhir merupakan mutiara pengalaman dalam

perundingan perubahan iklim di tengah konstelasi politis

penanganan perubahan iklim di nasional yang berubah dengan

dibentuknya struktur baru Direktorat Jenderal Pengendalian

Perubahan Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai

konsekuensi penggabungan 4 (empat) instansi.

Estafet rezim pengendalian iklim global di Protokol Kyoto ke rezim baru di bawah

Paris Agreement menjadi pembuktian berjalannya Direktorat Jenderal Pengendalian

Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. COP 21

merupakan milestone dalam sejarah UNFCCC dengan berhasil disepakatinya the

Adoption of Paris Agreement menjadi era baru dimana semua Negara Pihak

memiliki kewajiban yang sama sesuai dengan kapasitas dan kondisi nasional

masing-masing.

Tantangan datang silih berganti dalam setiap COP selanjutnya, baik di COP22 (COP

of implementation) dan di COP23 (Transitional COP), dalam pengelolaan

perundingan, pengelolaan substansi, dan pengelolaan DELRI. Buku Bunga Rampai

ini memberikan gambaran perjuangan Indonesia selama 3 (tiga) tahun dalam 7

(tujuh) sesi perundingan dalam kerangka UNFCCC dan beberapa pertemuan

sebelum COP (pre-COP) serta pertemuan setingkat Menteri. Persiapan substansi,

pengelolaan DELRI dan perjuangan di meja perundingan merupakan kunci

keberhasilan dalam memperjuangkan misi dan kepentingan Indonesia. Namun

demikian, tantangan kedepan semakin berat khususnya untuk mempersiapkan sesi

perundingan COP24 tahun 2018 di Katowice, Polandia, mengingat masih banyaknya

elemen dari Paris Agreement Work Programme (PAWP) yang perlu disepakati.

Suksesnya implementasi Paris Agreement akan sangat ditentukan oleh hasil

kesepakatan pada COP24 ini.

Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat.

Jakarta, Desember 2017

Dr. Nur Masripatin

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim/National Focal Point for UNFCCC

vi

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN iii

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL vii

DAFTAR BOX ix

DAFTAR ISTILAH x

BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Keanggotaan Indonesia sebagai Negara Pihak UNFCCC, Protokol

Kyoto, dan Paris Agreement 1

1.1.1 Keanggotaan Indonesia dalam Konvensi UNFCCC 1

1.1.2 Keanggotaan Indonesia dalam Kyoto Protocol 2

1.1.3 Keanggotaan Indonesia dalam Paris Agreement 3

1.2 Institutional Arrangement dan Peran National Focal Point for UNFCCC 5

1.2.1 Institutional Arrangement 5

1.2.2 Peran National Focal Point for UNFCCC 6

1.2.3 Focal Point/Pumpunan Kegiatan Lain yang terkait 8

1.3 Sekretariat NFP for UNFCCC 8

BAGIAN 2 PERUNDINGAN UNFCCC 11

2.1 Struktur Perundingan di Bawah UNFCCC 11

2.2 Sesi Perundingan UNFCCC (Periode Agustus 2015 – Desember 2017) 12

2.3 Pertemuan Non-Perundingan 16

2.4 Pengorganisasian Kerja oleh NFP for UNFCCC 19

BAGIAN 3 PENGELOLAAN SUBSTANSI DAN PERJUANGAN INDONESIA 26

3.1 Perjalanan Menuju COP21 di Tahun 2015: A Milestone COP 26

3.2 Dari Paris ke Marakesh: COP22 as A COP for Implementation 32

3.3 Dari Marakesh ke Fiji-Bonn: COP23 as Transition COP 43

3.4 Output Dokumen yang Dihasilkan 54

BAGIAN 4 PENGELOLAAN DELEGASI 57

4.1 Komposisi Delegasi RI 57

4.2 Pembagian Peran 58

4.2.1 Pembentukan Tim Negosiasi dan Tim Sekretariat Delegasi RI 61

4.2.2 Registrasi 61

4.2.3 Badge sebagai Cerminan Peran 61

4.3 Perimbangan Gender 65

4.4 Kantor Delegasi Republik Indonesia 69

4.5 Paviliun Indonesia 70

BAGIAN 5 PENUTUP 74

LAMPIRAN 76

DAFTAR ISI

vii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 1.1 Logo UNFCCC 1

Gambar 1.2 Presiden Joko Widodo pada Pertemuan Kepala Negara/Kepala

Pemerintahan Mengawali COP21 3

Gambar 1.3 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan padaHigh Level Signature

Ceremony of Paris Agreement, New York, 22 April 2016 4

Gambar 1.4 Institutional Arrangement National Focal Point for UNFCCC 6

Gambar 2.1 Suasana Sesi Perundingan pada COP21 13

Gambar 2.2 Suasana Opening Plenary COP22 14

Gambar 2.3 Suasana Opening Plenary COP23 15

Gambar 2.4 Rangkaian 7 (Tujuh) Sesi Perundingan Agustus 2015 – Desember 2017 16

Gambar 2.5 Side Event Indonesia dengan tema “Building Resilience for Climate

Change Adaptation: Challenges and Progress for Archipelagic and

Small Island Countries pada COP22

18

Gambar 2.6 Side Event Indonesia dengan tema “Good Peatland Governance to

Strengthen Economic, Social and Ecosystem Resillience” pada COP23 18

Gambar 2.7 Suasana Pertemuan Penyusunan Posisi DELRI pada COP22 sebagai

bagian tahap Formulation 20

Gambar 2.8 Suasana Koordinasi Internal DELRI sebagai bagian persiapan COP23,

November 2017 22

Gambar 2.9 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Pertemuan Evaluasi

Keterlibatan DELRI sebagai bagian Evaluasi DELRI pada COP21,

Desember 2015

24

Gambar 2.10 Suasana Pertemuan Komunikasi Stakeholder Hasil COP23 sebagai

bagian tahap Evaluation 24

Gambar 3.1 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Sesi Closing Plenary

COP21 31

Gambar 3.2 Pertemuan Koordinasi Tim Negosiasi DELRI pada COP21 32

Gambar 3.3 Tim Negosiasi DELRI COP22 pada Pertemuan Koordinasi Harian Tim

Negosiasi 36

Gambar 3.4 Delegasi Indonesia bersama Sekretaris Eksekutif UNFCCC pada

COP22 37

Gambar 3.5 Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan

Nasional (BPN) bersama Direktur Jenderal PPI dan Duta Besar RI untuk

Kerajaan Maroko pada Opening Plenary COP22

37

Gambar 3.6 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada High-Level Segment

COP22 38

Gambar 3.7 Ikhtisar Pengelolaan Substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC Tahun

2016 43

Gambar 3.8 Direktur Jenderal PPI pada Sesi Opening Plenary APA1.3 di COP23 48

Gambar 3.9 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada High-Level Segment

COP23 50

Gambar 3.10 Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim pada 51

viii

Closing Plenary COP23

Gambar 3.11 Tim Negosiasi DELRI pada Bonn Climate Change Conference, Mei

2017 52

Gambar 3.12 Tim Negosiasi DELRI setelah Penutupan COP23 52

Gambar 3.13 Ikhtisar Pengelolaan Substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC Tahun

2017 53

Gambar 3.14 Statistik Pertemuan Persiapan DELRI Menuju Perundingan UNFCCC 53

Gambar 3.15 Dokumen Pedoman DELRI , Matriks Posisi, dan Laporan DELRI pada

Sesi Perundingan UNFCCC 2015 - 2017 55

Gambar 4.1 Tim Negosiasi DELRI pada COP21, Desember 2015 59

Gambar 4.2 Tim Negosiasi DELRI pada Bonn Session Mei 2016 59

Gambar 4.3 Tim Negosiasi DELRI pada COP23, November 2017 59

Gambar 4.4 Pengelolaan DELRI pada COP21/CMP11 berdasarkan badge 63

Gambar 4.5 Gambar 4.5 Pengelolaan DELRI pada COP22/CMP12 berdasarkan

badge 63

Gambar 4.6 Pengelolaan DELRI pada COP23/CMP13/CMA1.3 berdasarkan badge 64

Gambar 4.7 Pengelolaan DELRI pada COP21/CMP11 berdasarkan Jenis Kelamin 65

Gambar 4.8 Pengelolaan DELRI pada COP22/CMP12 berdasarkan Jenis Kelamin 66

Gambar 4.9 Pengelolaan DELRI pada COP23/CMP13/CMA1.3 berdasarkan Jenis

Kelamin 67

Gambar 4.10 Pengelolaan DELRI pada ADP2.10 berdasarkan Jenis Kelamin 67

Gambar 4.11 Pengelolaan DELRI pada ADP2.11 berdasarkan Jenis Kelamin 68

Gambar 4.12 Pengelolaan DELRI pada SBI44/SBSTA44/APA1.2 berdasarkan Jenis

Kelamin 69

Gambar 4.13 Pengelolaan DELRI pada SBI46/SBSTA46/APA1.3 berdasarkan Jenis

Kelamin 70

Gambar 4.14 Pembukaan Paviliun Indonesia pada COP23 71

Gambar 4.15 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Salah Satu Sesi

Pavilion COP23 71

Gambar 4.16 Acara Penutupan Paviliun Indonesia pada COP23 71

Tabel 4.1 Delegasi Republik Indonesia pada 7 Sesi Perundingan UNFCCC (2015

– 2017) 63

ix

DAFTAR BOX

Box 1 National Statement Indonesia yang disampaikan Presiden Joko

Widodo pada Pertemuan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan

Mengawali COP21

4

Box 2 Dokumen UNFCCC sebagai referensi tugas NFP for UNFCCC 7

Box 3 Sekilas Sejarah Ad-hoc Working Group Durban Platform for

Enhanced Action (ADP) 12

Box 4 Misi Indonesia pada dalam Sesi Perundingan COP-21/CMP-11

(Paris, Perancis, 30 November – 11 Desember 2015) 28

Box 5 Butir-butir Penting Rangkuman Masukan Indonesia dalam Sesi

Perundingan COP-21/CMP-11 (Paris, Perancis, 30 November – 11

Desember 2015)

30

Box 6 National Statement Indonesia yang disampaikan oleh

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Closing Plenary

COP21

31

Box 7 Misi Indonesia pada Sesi Perundingan COP22/CMP12

(Marakesh, Maroko, 7 – 18 November 2016) 33

Box 8 National Statement Indonesia yang disampaikan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada

High-Level Segment COP22

38

Box 9 Butir-butir Penting Rangkuman Masukan Indonesia dalam

Sesi Perundingan COP22/CMP12

(Marakesh, Maroko, 7 – 18 November 2016)

40

Box 10 National Statement Indonesia yang disampaikan

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim pada High-Level

Segment COP22

42

Box 11 Misi Indonesia pada COP23/CMP13/CMA1.2 (Bonn, Jerman, 6 – 17

November 2017) 45

Box 12 National Statement Indonesia yang disampaikan Direktur Jenderal

Pengendalian Perubahan Iklim pada Opening Plenary APA1.3 pada

COP23

48

Box 13 National Statement Indonesia yang disampaikan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada High-Level Segment COP23 50

Box 14 National Statement Indonesia yang disampaikan Direktur Jenderal

Pengendalian Perubahan Iklim pada Closing Plenary COP23 51

x

DAFTAR ISTILAH

ADP : Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action

APA : Ad-Hoc Working Group on the Paris Agreement

BAU : business as usual

BRG : Badan Restorasi Gambut

BUR : Biennieal Update Report

COP : Conference of the Parties

CMA : Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the

Paris Agreement

DELRI : Delegasi Republik Indonesia

Ditjen. PPI : Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim

DNPI : Dewan Nasional Perubahan Iklim

GCAA : Global Climate Action Agenda

GRK : Gas Rumah Kaca

KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

LPAA : Lima Paris Action Agenda

MoI : Means of Implementation

NAZCA : Non-State Actor Zone for Climate Action

NDC : Nationally Determined Contribution

NFP : National Focal Point

NPS : Non-Party Stakeholder

NSA : Non-State Actor

ORS : Online Registration System

PAWP : Paris Agreement Work Programme

PD : Party Delegate

PO : Party Overflow

PPI : Pengendalian Perubahan Iklim

REDD+ : Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation

SBI : Subsidiary Bodies for Implementation

SBSTA : Subsidiary Bodies for Scientific and Technological Advice

SEORS : Side Event and Exhibit Online Registration System

xi

1

BAGIAN 1

PENDAHULUAN

1.1 Keanggotaan Indonesia sebagai Negara Pihak UNFCCC, Protokol

Kyoto, dan Paris Agreement

1.1.1 Keanggotaan Indonesia dalam UNFCCC

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)

Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada

tahun 1992 melahirkan beberapa

deklarasi dan kesepakatan

internasional di antaranya United

Nations Framework Convention on

Climate Change (UNFCCC) atau

Konvensi Kerangka Kerja PBB

mengenai Perubahan Iklim yang

bertujuan menstabilkan

konsentrasi gas-gas rumah kaca di

atmosfer pada tingkat yang tidak

membahayakan kelangsungan

sistem kehidupan mahluk di bumi.

Indonesia turut meratifikasi UNFCCC melalui instrumen Undang-Undang

Republik Indonesia No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations

Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim)1. Dengan

meratifikasi Konvensi tersebut, Indonesia secara resmi telah menjadi

Negara Pihak (Party) dan terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk

memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan UNFCCC

dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut. Sebagai negara non-

1 Tanggal Penandatanganan UNFCCC: 5 Agustus 1994, tanggal ratifikasi: 23 Agustus 1994, dan tanggal entry into force: 21 November 1994 (http://unfccc.int/tools_xml/country_ID.html)

Gambar 1.1 Logo UNFCCC

Sumber: UNFCCC (UNFCCC, 2018)

2

Annex I, pada dasarnya Indonesia tidak wajib menurunkan emisi GRK

nasional. Akan tetapi, konsekuensi dari ratifikasi konvensi perubahan iklim

tersebut, Indonesia harus turut serta dalam upaya menstabilkan

konsentrasi GRK serta melaporkan sumber-sumber utama (termasuk

besarnya) emisi GRK dan kegiatan-kegiatan yang terkait perubahan iklim

ke UNFCCC.

Target rinci penurunan emisi gas rumah kaca sebagai kewajiban secara

legally binding dari setiap Negara Pihak yang dikategorikan pada Annex-I

dari UNFCCC ditetapkan melalui Protokol Kyoto atau Kyoto Protocol to the

United Nations Framework Convention on Climate Change.

1.1.2 Keanggotaan Indonesia dalam Kyoto Protocol

Meskipun Indonesia tidak termasuk sebagai Annex-I Party yang memiliki

kewajiban di dalam Protokol Kyoto, Indonesia turut meratifikasi Protokol

Kyoto melalui instrumen Undang-Undang Republik Indonesia No. 17

Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations

Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi

Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim)2.

Selanjutnya, para Negara Pihak UNFCCC dan Protokol Kyoto bersepakat

mengadopsi Doha Amendment to the Kyoto Protocol yang dihasilkan

melalui Dec 1/CP.18 untuk melanjutkan target penurunan emisi grk tahap

berikutnya bagi Annex I countries dari rezim Protokol Kyoto. Komitmen

Periode I (2008-2012) dikenal dengan rezim Protokol Kyoto, dan Komitmen

Periode II adalah 2012-2020 dimana Negara Pihak Annex I diminta untuk

mengurangi total emisi GRK minimal sebesar 18% dari tingkat tahun 1990

untuk dilaksanakan tahun 2013-2020.

Indonesia melakukan penerimaan (acceptance) terhadap Amandemen

Doha melalui instrumen Piagam Penerimaan Doha Amendment to the

2 Tanggal Penandatanganan: 13 Juli 1998, tanggal ratifikasi: 3 Desember 2004, tanggal entry into force: 3 Maret 2005 (http://unfccc.int/tools_xml/country_ID.html)

3

Kyoto Protocol pada 6 Agustus 2014 yang disampaikan ke Sekretariat

UNFCCC pada 30 September 20143.

1.1.3 Keanggotaan Indonesia dalam Paris Agreement

Pada COP21 di Paris tahun 2015, seluruh Negara Pihak UNFCCC

mengadopsi Paris Agreement melalui Dec 1/CP.21 untuk membangun

rezim baru pengelolaan perubahan iklim melalui target penurunan emisi

GRK oleh seluruh Negara Pihak, baik Negara Maju maupun Negara

Berkembang yang dikenal sebagai Nationally Determined Contributions

(NDCs).

Presiden Indonesia Joko Widodo hadir memenuhi undangan Presiden

Perancis pada pembukaan COP21 bersama pimpinan

negara/pemerintahan di seluruh dunia. Pada kesempatan tersebut,

Presiden menyampaikan komitmen Indonesia untuk menjadi bagian dari

solusi atas permasalahan perubahan iklim global.

3 Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri, http://treaty.kemlu.go.id/index.php/treaty/index?fullPage=1&sort=treaty_title, diakses pada 28 Juli 2016; dan UNFCCC, 2016

Gambar 1.2 Presiden Joko Widodo pada

Pertemuan Kepala Negara/Kepala Pemerintahanan Mengawali COP21

Sumber: IISD/Kiara Worth (IISD, 2015)

4

Indonesia turut menjadi Negara

Penandatangan Paris Agreement

yang dilakukan oleh Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan

pada High Level Signature

Ceremony of Paris Agreement,

New York, 22 April 2016.

Pemerintah Indonesia memulai

proses menuju ratifikasi melalui

penyusunan Rancangan Undang-

Undang (RUU) disertai Naskah

Akademis dan surat Usulan

Pemrakarsa sejak awal tahun 2016.

Gambar 1.3 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

padaHigh Level Signature Ceremony of Paris Agreement

New York, 22 April 2016

Sumber: UNFCCC (UNFCCC, 2018)

Box 1

National Statement Indonesia yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada

Pertemuan Kepala Negara/Kepala Pemerintahanan Mengawali COP21

Our deepest condolence for the act of terror on the 13th of November that claimed innocent lives. As the biggest Moslem

population, Indonesia affirms that Islam teaches peace and tolerance. These acts of terror are not related to any relifgion, nation

or race whatsoever.

I am here to convey our strong political support to a successful COP 21. As a country with one of the largest forest areas that

serves as the lungs od the world, Indonesia has chosen to be part of solution. Under the leadership, the government will take into

consideration environmental aspects in out development.

Indonesia has geographic conditions that are vulnerable to climate change, 2/3 of our territory consists of sea, there are 17.000

islands, 60% of the population lives in costal area, and 80% of disaster that has taken place are climate-related.

Just recently, Indonesia suffered from forest and peat fires. The Hot and Dry El Nino have caused mitigation efforst difficult, but it

has been addressed (wehave managed to). Law has been robustly enforced (Bahasa Indonesia version does not use verb that

indicates “has” or “will”), we are preparing preventive measures – some of which we have started to implement, (for example) peat

ecosystem restoration with establishment of Peat Restoration Agency.

Above-mentioned vulnerabelities and challenges would not stop us from committing to contribute to global action in reducing

emission. Indonesia commits to

Reduce by 29% from BAU level by 2030 and by 41% with international assistance.

Emission reduction would be done through several measures:

On Energy: Reallocation of fuel subsidy to productive sectors; Increase share of renewable energy up to 23% from national energy

consumption by 2025; Waste management for energy.

On Forest and governance: Implementation of One Map Policy; Putting in place moratorium and review of utilization permits/

concession on peat; Sustainable Land and Forest Management.

On Maritime affairs: Addressing illegal unregulated and unregisterd fishing; Protection of marine biodiversity.

Paris agreement must relflect balance, fairness, as well as national priorities and ccapacities. (It must also be) legally binding,

long term, ambitious but not restrictive to development of developing nations.

To reach agreement in Paris, all parties, I repeat, all parties, particularly developed nations, must contribute more to mitigation

and adaptation aictions.

Resources mobilization (climate financing) of US$ 100 Billion by 2020, and improvement (of the amount) in the yeas to

follow

Transfer of envirionmentally friendly friendly thecnology and capacity development.

Reaching a Paris Agreemnt is necessary. I hope all of us would be part of solution to make the earth a good place for our children

and grandchildren – and to make the earth a prosperous living place for them.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)

5

Pada 24 Oktober 2016, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement

melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris

Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate

Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

Bangsa-Bangsa Perubahan Iklim). Dengan demikian, Pemerintah Indonesia

juga telah menjadi Negara Pihak PA ketika menghadiri

COP22/CMP12/CMA1 di Marakesh, Maroko pada 7 – 18 November 2016.

1.2 Institutional Arrangement dan Peran National Focal Point for UNFCCC

1.2.1 Institutional Arrangement

Sesuai kebijakan Pemerintah dalam streamlining Kementerian/ Lembaga

dan berdasarkan Peraturan Presiden No. 16/2015 tentang Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka dalam Kabinet Kerja Presiden Joko

Widodo terjadi peleburan 4 (empat) institusi kementerian/ lembaga yang

terdiri atas Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup,

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), dan Badan Pengelola REDD+

menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Berdasarkan Perpres tersebut pelaksanaan Pengendalian Perubahan Iklim

dikoordinasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI).

Gambar 1.4 Institutional Arrangement National Focal Point for UNFCCC

Sumber: Ditjen PPI (KLHK, 2017)

6

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan No. P.18/MenLHK-II/2015 tentang Struktur Organisasi dan

Administrasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ditjen PPI

memiliki serangkaian tugas dan fungsi dalam perumusan dan pelaksanaan

kebijakan pengendalian perubahan iklim. Mengingat perjanjian global

mengenai perubahan iklim berada didalam kerangka United Nations

Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), maka seluruh

pengertian dan uraian dalam buku ini mengacu pada kerangka perjanjian

tersebut.

Dalam pelaksanaan mandat sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan tersebut, Direktorat Jenderal Pengendalian

Perubahan Iklim telah menyusun target dan program kerja sampai dengan

tahun 2019 seperti pada Gambar 1.3 di atas.

1.2.2 Peran National Focal Point for UNFCCC

Dasar penunjukkan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim selaku

National Focal Point for United Nations Framework Convention on Climate

Change (NFP for UNFCCC)4 melalui:

1. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. SK.

465/Menlhk-Setjen/2015 Tanggal 28 Oktober 2015 tentang

Penunjukan Focal Point (Pumpunan Kegiatan) Kerja Sama Luar Negeri;

2. Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI kepada Executive

Secretary of UNFCCC No. S.210/MenLHK-II/2015 Tanggal 18 Mei 2015.

Pengertian NFP for UNFCCC adalah person yang ditunjuk negara sebagai

perwakilan negara untuk bertanggung jawab dan berkomunikasi terhadap

seluruh kegiatan terkait UNFCCC di tingkat nasional Negara Pihak masing-

masing. Tugas NFP secara lengkap sesuai dengan keputusan COP maupun

subsidiary bodies di bawah UNFCCC dapat dilihat pada Box 1 berikut.

4 http://unfccc.int/tools_xml/country_ID.html

7

Singkatnya, NFP memiliki tugas utama untuk:

a. Menerima dokumen dari dan komunikasi dengan UNFCCC terkait

aspek penganggaran dari Sekretariat UNFCCC,

b. Penyusunan Laporan Komunikasi Nasional (National Communication);

c. Menginformasikan mengenai pelaksanaan Konvensi di tingkat

nasional;

d. serta menerima, menyetujui, dan mengetahui seluruh kegiatan yang

dilaksanakan bersama dengan pihak lain dan melaporkannya kepada

Pertemuan Para Pihak (Conference of the Parties/COP) melalui

Sekretariat UNFCCC.

Dalam menjalankan tugasnya, NFP for UNFCCC melakukan fungsi antara

lain:

a. Mempersiapkan Delegasi Republik Indonesai untuk sesi-sesi

perundingan di bawah UNFCCC;

Box 2

Dokumen UNFCCC sebagai referensi tugas NFP for UNFCCC

1. Decision 14/CP.2 - Establishment of the permanent secretariat and

arrangements for its functioning

V. Focal points and liaison arrangements Paragraph 9

9. Requests Parties that have not yet done so to communicate to the

secretariat their decision on the designation of focal points, as well as any

need for liaison arrangements between their focal point and the

secretariat in Bonn, so as to enable the Executive Secretary, in conjunction

with other Convention secretariats and United Nations bodies, to explore

the availability, cost, and funding of suitable liaison arrangements in

Geneva and/or New York, and to report thereon to the Subsidiary Body

for Implementation at its fifth session;

2. FCCC/SBI/1996/9 Paragraph 29

29. The SBI invited non-Annex I Parties to nominate national focal points for

facilitating assistance for the preparation of the initial communications;

3. FCCC/SBSTA/1996/8 Paragraph 74

74. The SBSTA invited Parties to identify the relevant governmental

authority/ministry authorized to accept, approve or endorse activities

implemented jointly and to report them to the COP through the

secretariat.

Sumber: UNFCCC (UNFCCC, 2017)

8

b. Bekerja sama dengan Kementerian/Lembaga serta pemangku

kepentingan terkait lainnya dalam menyusun substansi posisi negosiasi

maupun submisi Indonesia;

c. Menyampaikan submisi Indonesia baik berupa posisi, dokumen

pelaporan dan dokumen lainnya ke Sekretariat UNFCCC;

d. Mengelola kesekretariatan Delegasi selama sesi perundingan

berlangsung;

e. Mengkoordinasikan pelaporan hasil persidangan dan komunikasi

tindak lanjut/implementasi oleh berbagai pihak.

1.2.3 Focal Point/Pumpunan Kegiatan Lain yang terkait

Selain sebagai NFP for UNFCCC, Dirjen PPI juga menjadi Focal

Point/Pumpunan kegiatan untuk beberapa isu substantif lainnya yang

masih terkait dalam kerangka UNFCCC, yaitu;

1. NFP for Article 6 of the Convention;

2. Designation Authority for Adaptation Fund;

3. Designation National Authority for Clean Development Mechanism;

4. National Focal Point for IPCC

Komunikasi yang dilakukan antara Sekretariat UNFCCC dengan NFP for

UNFCCC setiap Negara Pihak adalah melalui berbagai media komunikasi

termasuk melalui akun email. Sebagai NFP for UNFCCC, Indonesia selalu

menerima update atau dari Sekretariat UNFCCC untuk kemudian

dilanjutkan penyampaian informasi tersebut kepada para pemangku

kepentingan baik di tingkat nasional maupun subnasional.

1.3 Sekretariat NFP for UNFCCC

Dalam hal menjalankan serta untuk membantu pelaksanaan fungsi dan

tugas selaku NFP for UNFCCC, Direktur Jenderal PPI didukung oleh

Sekretariat National Focal Point for UNFCCC5. Pengertian Sekretariat NFP

for UNFCCC adalah sekretariat yang mendukung pelaksanaan tugas dan

fungsi Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHk dalam rangka

mengemban peran selaku NFP for UNFCCC

5 Sekretariat NFP berada di bawah Direktorat Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional. Email: [email protected].

9

Tugas dan fungsi Sekretariat NFP for UNFCCC, selain mendukung

pelaksanaan tugas dan fungsi NFP for UNFCCC, secara eksternal kepada

Sekretariat UNFCCC dan pihak asing lainnya, secara internal di tingkat

nasional juga mencakup kegiatan-kegiatan berupa sosialisasi, diseminasi,

dan internalisasi hasil-hasil perundingan perubahan iklim tingkat global ke

berbagai pemangku kepentingan terkait di tingkat nasional dengan

pemahaman yang lebih mudah untuk dicerna bagi para pemangku

kepentingan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat.

Dengan demikian komunikasi Sekretariat NFP for UNFCCC tidak hanya

bersifat eksternal ke pihak luar, juga ke para pemangku kepentingan di

dalam negeri, baik nasional maupun sub-nasional, serta menjembatani

komunikasi dan penyampaian informasi antara Sekretariat UNFCCC dengan

para pemangku kepentingan perubahan iklim di Indonesia.

10

11

BAGIAN 2

PERUNDINGAN UNFCCC

2.1 Struktur Perundingan UNFCCC

Perundingan dalam kerangka UNFCCC setiap tahunnya biasa terdiri atas 2

(dua) sesi/ periode6, yaitu:

a. Sesi/ periode perundingan pertengahan tahun, dimana forum

perundingan adalah tingkat Subsidiary Bodies (SBs) yaitu Subsidiary

Body for Implementation (SBI), Subsidiary Body for Scientific and

Technological Advice (SBSTA), dan ad hoc working group. Sesi

perundingan tengah tahun secara rutin diselenggarakan sekitar bulan

Mei atau Juni dan selalu berlokasi di kompleks United Nations Campus

dan World Convention Center Bonn (WCCB)7 di Kota Bonn, lokasi

dimana markas UNFCCC berada. Namun demikian pada periode

tahun-tahun sebelumnya sesi perundingan pertengahan tahun juga

diselenggarakan di Hotel Maritime, Bonn;

b. Sesi/periode perundingan akhir tahun berupa Conference of the

Parties to the United Nations Framework Convention on Climate

Change (COP), dan/atau Conference of the Parties serving as the

meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP), dan/atau

Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to The

Paris Agreement (CMA). Penyelenggaraan COP/CMP juga disertai

penyelenggaraan perundingan Subsidiary Bodies (SBs). Host country

atau lokasi negara penyelenggaraan COP adalah Negara Pihak

6 Jika dilihat secara utuh sesi perundingan UNFCCC pada tahun 2015, mengingat target penyelesaian

mandat ADP untuk menghasilkan suatu perjanjian baru pada COP-21, UNFCCC telah menyelenggarakan 5

(lima) kali perundingan yang terdiri dari: ADP 2.8 (Februari 2015), SBI-42/SBSTA-42/ADP 2.9 (Juni 2015),

ADP2.10 (Agustus-September 2015), ADP2.11 (Oktober 2015), dan COP-21/CMP-

11/SBI43/SBSTA43/ADP2.12 (Desember 2015).

7 History of World Conference Center Bonn, http://www.worldccbonn.com/en/history.html

12

UNFCCC yang dilaksanakan secara bergiliran 5 (lima) region: Eropa

Barat, Afrika, Asia Pasifik, Eropa Timur, Amerika Latin dan Karibia.

Dalam penyelenggaraan COP/CMP, upcoming COP Presidency yakni

Presiden COP berikutnya selalu menyelenggarakan suatu pertemuan yang

disebut Pre COP yang ditujukan untuk tingkat chief negotiator dan bersifat

koordinasi politis. Pertemuan Pre COP bertujuan untuk menyampaikan

target yang hendak dicapai pada setiap COP dan harapan COP Presidency

terhadap COP tersebut serta kesepakatan politis yang hendak ditempuh

guna mencapai target tersebut. Mengingat arti penting Pre COP maka

menjadi rangkaian tak terpisahkan dalam mengawali COP.

Untuk informasi rinci dan lebih jelas terkait periode perundingan UNFCCC,

dapat dilihat pada laman UNFCCC: http//www.unfccc.int.

2.2 Sesi Perundingan UNFCCC Periode Agustus 2015 – Desember 2017

Dalam kurun waktu dari Agustus 2015 hingga Desember 2015, UNFCCC

telah menyelenggarakan 7 (tujuh) kali sesi perundingan, yang terdiri dari 4

(empat) pertemuan subsidiary bodies dan 3 (tiga) kali COP. Ketujuh sesi

perundingan UNFCCC yang dikelola oleh Ditjen PPI sejak terbentuk pada

Juni 2015 hingga Desember 2017 sebagaimana uraian berikut.

Box 3

Sekilas Sejarah Ad-hoc Working Group on Durban Platform for Enhanced Action

(ADP)

Pembentukan ADP sebagai hasil keputusan pada COP17 di Durban, Afrika Selatan,

28 November – 9 Desember 2011 (Decision 1/CP.17 on the Establishment of an Ad

Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action).

Sesuai mandatnya untuk menyusun suatu perangkat legal (protocol, another legal

instrument or an agreed outcome with legal force under the Convention),

pembahasan Ad-hoc Working Group Durban Platform for Enhanced Action (ADP)

dibagi dalam 2 workstream yaitu:

1. Workstream I (2015 Agreement) membahas perjanjian 2015 yang harus

diadopsi pada pertemuan COP21/CMP11 di Paris, Perancis pada Desember

2015, yang secara legal akan berlaku tahun 2020; dan

2. Workstream II (pre-2020 Ambition) untuk mengidentifikasi opsi yang dapat

dilakukan untuk mengisi kesenjangan (gap) yang terjadi dalam hal pencapaian

target mitigasi yang dilakukan oleh negara maju sampai dengan tahun 2020,

dimana akan berlaku secepatnya sampai tahun 2020 dimana 2015 Agreement

akan berlaku. Sumber: UNFCCC (UNFCCC, 2017)

13

A. Tahun 2015

(1) the Tenth Part of the Second Session of the Ad Hoc Working Group

on the Durban Platform for Enhanced Action (ADP 2.10), Bonn,

Jerman, 31 Agustus - 4 September 2015;

(2) the Eleventh Part of the Second Session of the Ad Hoc Working Group

on the Durban Platform for Enhanced Action (ADP 2.11), Bonn,

Jerman, 19 – 23 Oktober 2015;

(3) the Twenty-first session of the Conference of the Parties to the United

Nations Framework Convention on Climate Change (COP21), the

eleventh session of the Conference of the Parties serving as the

meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP11), the Forty-third

Session of the Subsidiary Body for Implementation (SBI43), and the

Forty-third Session of the Subsidiary Body for Scientific and

Technological Advice (SBSTA43), Paris, Perancis, 30 November – 12

Desember 2015;

Gambar 2.1 Suasana Sesi Perundingan pada COP21

Sumber: IISD/Kiara Worth (IISD, 2015)

14

B. Tahun 2016

(4) Bonn Climate Change Conference 2016 - the Forty-fourth Session of

the Subsidiary Body for Implementation (SBI44), the Forty-fourth

Session of the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice

(SBSTA44) and the First Session of the Ad- Hoc Working Group on the

Paris Agreement (APA-1), Bonn, Jerman, 16 – 26 Mei 2016;

(5) Marrakech Climate Change Conference 2016 - the Twenty-second

session of the Conference of the Parties (COP22), the twelfth session

of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties

to the Kyoto Protocol (CMP12), the first session of the Conference of

the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris

Agreement (CMA-1), the Forty-fifth Session of the Subsidiary Body for

Implementation (SBI45), the Forty-fifth Session of the Subsidiary Body

for Scientific and Technological Advice (SBSTA45) and the Second Part

of the First Session of the Ad-Hoc Working Group on the Paris

Agreement (APA1.2), Marakesh, Maroko, 7-18 November 2016.

Sumber: IISD/Kiara Worth (IISD, 2016)

Gambar 2.2 Suasana Opening Plenary COP22

15

C. Tahun 2017

(6) Bonn Climate Change Conference 2017 - the Forty-sixth Session of

Subsidiary Body for Implementation (SBI46), the Forty-sixth Session of

Subsidiary Body of Scientific and Technological Advice (SBSTA46), and

the Third Part of the first Session of Ad-hoc Working Group on the

Paris Agreement (APA1.3), Bonn, Jerman, 8 – 18 Mei 2017;

(7) the Twenty-third meeting of the Conference of the Parties (COP23),

the thirteenth session of the Conference of the Parties serving as the

meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP 13); the second part

of the first session of the Conference of the Parties serving as the

meeting of the Parties to the Paris Agreement (CMA 1-2), the Forty-

seventh Session of the Subsidiary Body for Implementation (SBI47),

the Forty-seventh Session of the Subsidiary Body for Scientific and

Technological Advice (SBSTA47) and the Fourth Part of the First

Session of the Ad-Hoc Working Group on the Paris Agreement

(APA1.4) Bonn, Jerman, 6 – 17 Mei 2017.

Sumber: IISD/Kiara Worth (IISD, 2017)

Gambar 2.3 Suasana Opening Plenary COP23

16

Sesi perundingan UNFCCC selama periode Agustus 2015 – Desember 2017

dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut:

Ketujuh sesi perundingan tersebut yang selanjutnya dikelola oleh Ditjen

Pengendalian Perubahan Iklim selama kurun waktu Agustus 2015 hingga

Desember 2017. Sesi perundingan COP21/CMP11 yang diselenggarakan

pada 30 November hingga 12 Desember 2015 telah menghasilkan salah

satunya keputusan penting yakni Decision I/CP.21 – the Adoption of Paris

Agreement yang menandai lahirnya rezim baru pengelolaan perubahan

iklim global.

2.3 Pertemuan Non Perundingan

Dalam setiap pertemuan COP, selain forum negosiasi sebagai main event,

Sekretariat UNFCCC juga menyelenggarakan pertemuan non-perundingan

sebagai rangkaiannya. Pertemuan non perundingan ini terdiri dari

beberapa jenis event yakni:

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

Gambar 2.4 Rangkaian 7 (tujuh) Sesi Perundingan Agustus 2015 – Desember 2017

ADP2.10 (2015) ADP2.11 (2015)

COP21

CMP11

SBI43

SBSTA43

ADP2.12 (2015)

SBI44

SBSTA44

APA1 (2016)

COP22

CMP12

SBI45

SBSTA45

APA1.2 (2016)

SBI46

SBSTA46

APA1.3 (2017)

COP23

CMP13

SBI47

SBSTA47

APA1.4 (2017)

Decision I/CP.21:

The Adoption of Paris Agreement

17

a. Mandated Events

Mandated Events merupakan pertemuan yang dimandatkan oleh COP

untuk diselenggarakan di luar agenda resmi Subsidiary Bodies, dan

berasal dari keputusan sesi-sesi perundingan sebelumnya. Mandated

event biasa berbentuk workshop, diselenggarakan sebagai pre sessional

event ataupun in-session, tidak bersifat negosiasi namun memberikan

semacam input langsung ke agenda SBs terkait.

b. Side Events dan Pameran

Side events dan pameran merupakan platform yang dikelola Sekretariat

UNFCCC bagi Parties maupun observers dan sebagai agenda resmi

UNFCCC. Melalui event ini berbagai pihak yang memiliki izin dalam

UNFCCC, namun memiliki kesempatan berbicara yang terbatas dalam

negosiasi formal, dapat terlibat dengan Negara Pihak dan juga peserta

lain dalam berbagi pengetahuan, peningkatan kapasitas, membangun

jaringan serta mengeksplorasi pilihan bersama dalam tindakan

pengendalian perubahan ikilm. Para Negara Pihak dan observer yang

akan mengikuti side event yang dikelola UNFCCC diwajibkan untuk

mendaftar melalui Side Event and Exhibition Online Registrations

System (SEORS) pada laman https://seors.unfccc.int/.

c. Parallel Events

Paralel Events merupakan serangkaian pertemuan yang

diselenggarakan oleh negara ataupun organisasi, dan bukan termasuk

agenda Sekretariat UNFCCC, baik di dalam maupun di luar area

penyelenggaraan konferensi. Salah satu agenda Parallel Events adalah

Paviliun Delegasi, yang diselenggarakan oleh berbagai Negara Pihak.

18

d. Platform untuk Non-Party Stakeholders/Non-State Actors

Kegiatan ini merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh COP-

Presidencies. Khususnya sebagai platform komunikasi bagi pihak-pihak

di luar negara pihak. Platform ini telah diadakan sejak COP-20 tahun

2014 di Lima, Peru. Platform khusus ini disebut dengan Non-State Actor

Zone for Climate Action (NAZCA) dengan laman

climateaction.unfccc.int/.

Sumber: Biro Humas (KLHK, 2017)

Gambar 2.6 Side Event Indonesia dengan tema “Good Peatland Governance to

Strengthen Economic, Social and Ecosystem Resillience” pada COP23

Gambar 2.5Side Event Indonesia dengan tema “Building Resilience for Climate Change Adaptation:

Challenges and Progress for Archipelagic and Small Island Countries” pada COP22

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

19

e. Agenda COP-Presidencies (Action Agenda)

Action Agenda merupakan agenda yang diselenggarakan oleh COP-

Presidencies dengan tujuan mendorong peningkatan aksi global dalam

pencapaian komitmen Paris Agreement. Pada tahun 2015 dalam COP21,

agenda ini disebut dengan Lima-Paris Action Agenda (LPAA), dan untuk

tahun 2016 di Marakesh disebut dengan Marrakech Global Climate

Action Agenda.

2.4 Pengorganisasian Kerja oleh NFP for UNFCCC

Dalam setiap siklus pengelolaan perundingan pada prinsipnya terdiri dari 4

(empat) tahapan:

a. Tahap 1: Stocktaking – tahap persiapan guna pengumpulan data dan

informasi berupa progres atau kemajuan positif terkait pengendalian

perubahan iklim di tingkat nasional dan berbagai perkembangan

global terkait yang menjadi dasar penyusunan submisi maupun Posisi

Indonesia;

b. Tahap 2: Formulation – penyusunan submisi, Kertas Posisi, dan berbagai

dokumen terkait lainnya, serta pembentukan Delegasi RI;

c. Tahap 3: Facilitation – fasilitasi bagi Delegasi Republik Indonesia baik

sebelum maupun pada saat mengikuti perundingan;

d. Tahap 4: Evaluation and Communication to the Stakeholders – evaluasi

keikutsertaan Delegasi Indonesia dalam setiap sesi perundingan dan

sebagai sarana mengkomunikasikan hasil-hasil perundingan kepada

para pemangku kepentingan.

Tahap 1 dan 2 merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum keberangkatan

Delegasi RI dalam suatu sesi perundingan. Tahap 3 merupakan tahap

pelaksanaan yaitu ketika Delegasi RI mengikuti suatu sesi perundingan, dan

Tahap 4 merupakan tahap paska sesi perundingan ketika Delegasi RI telah

kembali ke Tanah Air.

Tahap 1 merupakan tahap persiapan, dimana prinsip tahap ini berupa

pengumpulan data dan informasi mengenai progres atau kemajuan positif

terkait pengendalian perubahan iklim di Indonesia dan berbagai

perkembangan global terkait yang menjadi dasar penyusunan submisi

maupun Posisi Indonesia.

20

Dalam Tahap 1, Sekretariat NFP for UNFCCC melakukan serangkaian

kegiatan berupa:

a. Identifikasi call for submission

Identifikasi dilakukan pada permintaan submisi yang telah dihasilkan

dari sesi perundingan sebelumnya. Meskipun pemenuhan call for

submission bersifat voluntary, namun proses penyusunan submisi

hingga dihasilkannya suatu submisi untuk disampaikan ke Sekretariat

UNFCCC merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dari proses

penyusunan Posisi Indonesia secara keseluruhan. Pemenuhan submisi

tersebut dilakukan sedini mungkin dari batas waktu yang ditetapkan

dan juga memperhatikan keterkaitan submisi tersebut dengan agenda

lanjutan yang dimandatkan dalam keputusan seperti technical

workshop, roundtable discussion dan technical paper;

b. Penelaahan agenda perundingan

Dalam menuju suatu sesi perundingan penting sekali untuk

memperoleh agenda sesi perundingan secara lengkap sebagai bahan

untuk menyusun strategi negosiasi. Biasanya agenda perundingan akan

disampaikan/ dimuat Sekretariat UNFCCC yang meliputi berbagai

informasi baik aspek substansi maupun aspek logistik kepada seluruh

Negara Pihak dan publik melalui email maupun penayangan dalam

laman www.unfccc.int. Agenda perundingan atau yang dikenal dengan

sebutan provisional and annotations agenda menjadi basis penyusunan

Posisi Indonesia untuk setiap sesi perundingan;

Gambar 2.7 Suasana Pertemuan Penyusunan Posisi DELRI pada COP-22

sebagai bagian tahap Formulation

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

21

c. Identifikasi Pemangku Kepentingan (Kementerian /Lembaga)

Sesuai dengan agenda dan substansi sesi perundingan yang diterima,

selanjutnya perlu dilakukan identifikasi para pemangku kepentingan

(K/L) terkait untuk dilibatkan dalam mengawal agenda perundingan

dimaksud. Untuk itu, NFP akan mengundang perwakilan K/L terkait

dalam rangka penyusunan submisi dan Kertas Posisi Indonesia serta

menjadi Delegasi RI;

d. Identifikasi progres baik di Tingkat Nasional dan Proses Terkait di

Tingkat Global

Dalam mempersiapkan bahan submisi dan kertas posisi Indonesia, NFP

juga perlu mengidentifikasi progres serta hambatan di tingkat nasional

serta proses pertemuan di tingkat global yang relevan. Identifikasi

progres dan hambatan di tingkat nasional penting sebagai modalitas

dalam perundingan untuk meningkatkan progress dan mendapatkan

solusi untuk hambatan yang dihadapi. Sedangkan identifikasi proses di

tingkat global berguna untuk memprediksi dan mengantisipasi arah

perundingan dan hasil perundingan yang ingin dicapai.

Dalam Tahap 2, Ditjen PPI KLHK melalui Sekretariat NFP for UNFCCC

melakukan serangkaian kegiatan baik bersifat sekuen maupun paralel

berupa:

a. Penyelenggaran serangkaian pertemuan guna penyusunan Submisi dan

Kertas Posisi, dimana pertemuan penyusunan submisi dan Kertas Posisi

dilakukan secara terpisah;

b. Pembentukan Tim Negosiasi sebagai bagian inti dari Delegasi RI;

c. Pembentukan Sekretariat Delegasi RI (Sekdelri);

d. Penyampaian nama-nama Delegasi RI kepada Sekretariat UNFCCC

melalui Online Registration System (ORS) untuk mendapatkan

Acknowledgement Letter of Nomination dan/atau Visa Support Letter

bagi para calon Delegasi;

e. Penyusunan dokumen Pedoman Delegasi Republik Indonesia;

f. Penyelenggaraan pertemuan Koordinasi Delegasi Republik Indonesia,

yang bertujuan penyampaian pengarahan dari Menteri Lingkungan

Hidup dan eminent person terkait kepada seluruh Delegasi RI.

22

Kegiatan dalam tahap 2 di atas adalah kegiatan dasar yang dilakukan untuk

persiapan setiap sesi perundingan, baik SBs maupun COP. Mengingat sesi

COP jenis pertemuan yang diadakan oleh Sekretariat UNFCCC bersifat lebih

kompleks dengan adanya pelibatan Non-Party Stakeholders (NPS),

terdapat kegiatan lain yang juga perlu dilakukan dalam menjelang setiap

sesi perundingan COP:

a. Penyampaian registrasi dan/atau persetujuan dari NFP for UNFCCC

terhadap 1 (satu) usulan kegiatan dari Negara Pihaknya untuk Side

Event yang diselenggarakan oleh UNFCCC melalui Side Event and

Exhibits Online Registration System (SEORS)8;

b. Koordinasi dengan pihak Event Organizer yang ditunjuk oleh Host

Country lokasi penyelenggaraan COP terkait Pengadaan Kantor

Sekretariat Delegasi RI;

c. Koordinasi dengan Sekretariat Paviliun Indonesia, dalam rangka

soliditas Delegasi Republik Indonesia;

d. Koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri terkait penerbitan

Credential Letter.

Tahap 3 merupakan tahap pelaksanaan perundingan. Dalam tahap ini, NFP

for UNFCCC melalui Sekretariat Delegasi RI memfasilitasi Delegasi RI dalam

8 https://seors.unfccc.int/

Gambar 2.8 Suasana Koordinasi Internal DELRI sebagai

bagian persiapan COP23, November 2017

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

23

melakukan perundingan dan kegiatan non-perundingan yang terkait.

Kegiatan fasilitasi yang dilakukan pada dasarnya berupa:

a. Koordinasi harian Delegasi RI khususnya menyangkut perkembangan

negosiasi di seluruh forum perundingan;

b. Pengaturan deployment anggota Delegasi RI pada agenda

perundingan maupun agenda non perundingan;

c. Penyelenggaraan Kantor Delegasi RI;

d. Penyelenggaraan forum komunikasi melalui email maupun whatsapp

group;

e. Penyampaian berbagai informasi terkini baik aspek negosiasi maupun

non-negosiasi dari Sekretariat UNFCCC ke seluruh Delegasi RI;

f. Penghubung protokol bagi kehadiran Menteri kaitannya dengan

protokol UNFCCC, misalnya pengambilan badge dimana hal ini berlaku

hanya untuk Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, Menteri, dan Head

of Delegation;

g. Koordinasi penyusunan Laporan Mingguan dan Berita Faksimil.

Terakhir Tahap 4 yang dilaksanakan setelah Delegasi RI menyelesaikan

tugas dan kembali ke Tanah Air. Adapun kegiatan utama yang

diselenggarakan berupa:

a. Penyusunan Laporan Delegasi RI secara komprehensif, disertai distribusi

ke tiap Kementerian/lembaga yang terlibat;

b. Penyelenggaraan Pertemuan Komunikasi Stakeholders Hasil-hasil COP

sebagai sarana evaluasi pencapaian misi Delegasi RI dan penyampaian

hasil konferensi dan tindak lanjut yang diperlukan oleh seluruh

pemangku kepentingan terkait.

24

Gambar 2.10 Suasana Pertemuan Komunikasi Stakeholder

Hasil COP23 sebagai bagian tahap Evaluation

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

Gambar 2.9 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada

Pertemuan Evaluasi Keterlibatan DELRI sebagai bagian Evaluasi pada COP21,

Desember 2015

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)

25

26

BAGIAN 3

PENGELOLAAN SUSBTANSI DAN PERJUANGAN INDONESIA

UNFCCC merupakan salah satu konferensi multilateral yang kompleks dari segi

cakupan substansi maupun teknis manajerial penyelenggaraan. Pendekatan sebab

dan akibat perubahan Iklim serta dampaknya berbasiskan sains multi disiplin.

Fokus utama negosiasi sepanjang 25 (dua puluh lima) tahun sejarah UNFCCC

(1992-2017) tetap terpusat pada status emisi gas rumah kaca nasional dan global,

aksi mitigasi dan adaptasi, serta mobilisasi dukungan finansial, peningkatan

kapasitas, dan transfer teknologi. Disertai dengan berbagai isu strategis yang

timbul silih berganti secara dinamis kontekstual.

Target dari tiap sesi perundingan merupakan basis dalam penetapan arah misi

Delegasi RI sekaligus acuan bagi Delegasi RI dalam mengelola substansi yang

diterjemahkan ke dalam pengorganisasi kerja Tim Negosiasi DELRI.

3.1 Perjalanan Menuju COP21 di Tahun 2015: A Milestone COP

Sepanjang tahun 2015, negosiasi UNFCCC mengerucut pada kebutuhan

menghasilkan suatu kesepakatan baru guna meneruskan rezim Protokol Kyoto

Periode II yang akan berakhir pada tahun 2020. Frekuensi sesi perundingan

meningkat yang secara rutin digelar 2 (dua) kali dalam setahun menjadi 5 (lima)

kali pada tahun tersebut dimana 3 (tiga) sesi perundingan dikhususkan untuk

memenuhi tuntutan mandat COP terhadap Ad Hoc Working Group on the Durban

Platform for Enhanced Action (ADP). ADP pada awal tahun 2015 telah memasuki

sesi kedua dan mencapai bagian kedelapan (ADP2.8) pada 8-13 Februari 2015 di

Genewa, Swiss.

Debut peran Ditjen PPI KLHK dalam pengelolaan perundingan UNFCCC beserta

Delegasi RI dimulai pada ADP2.10 yang berlangsung pada 31 Agustus hingga 4

September 2015 di Bonn. Atmosfer perundingan sepanjang 2015 hinngga

menjelang COP21 adalah seluruh Negara Pihak mencurahkan konsentrasinya

untuk penyusunan draft kesepakatan legal yang baru.

27

Hingga menjelang ADP2.11 yang diselenggarakan di Bonn, Jerman pada 19-23

Oktober 2015, terdapat sejumlah dokumen terkait teks draft untuk negosiasi,

mencakup:

a. Geneva Negotiating Text/GNT (FCCC/ADP/2015/1), sebagai dokumen

resmi yang dipergunakan dalam proses negosiasi yang hasil

pembahasan sesi ADP 2.8 di Jenewa, Swiss;

b. Serangkaian Non-Paper document dari Sekretariat UNFCCC pada 5

Oktober 2015, yang terdiri dari: Scenario Note ADP2.11, Draft

Agreement dan Decision Workstream 1, dan Draft Decision Workstream

2;

c. Negotiation Text, tercantum dalam Lampiran Decision 1/CP.17 atau

Lima Call for Climate Action, sebagai hasil negosiasi COP-20/CMP-10 di

Lima, Peru pada tahun 2014;

d. A revised, streamlined and consolidated text (SCT) dan a working

document per 11 Juni 2015 sebagai hasil pembahasan ADP 2.9, di Bonn,

Jerman pada 1-11 Juni 2015.

e. Co-Chairs’ Scenario Note atau juga disebut Co-Chairs’ Tool yang

disusun berdasarkan mandat yang diberikan oleh Negara Pihak pada

saat penyelenggaraan sesi ADP 2.9 di Bonn-Jerman di Bulan Juni.

COP21/CMP11 yang diselenggarakan di Paris, Perancis, 30 November – 11

Desember 2015 merupakan milestone dalam sejarah UNFCCC, yang

menyepakati lahirnya perjanjian baru yang legally binding melalui Decision

1/CP.21 on the Adoption of the Paris Agreement. Paris Agreement menjadi

salah satu milestone penting pula dalam pembangunan berkelanjutan, di

samping Sustainable Development Goals (SDGs) yang juga dihasilkan di

tahun 2015. Hal ini tak lepas dari kepemimpinan Perancis sebagai COP

Presidency telah proaktif melakukan berbagai pendekatan diplomatis di

semua level dari tingkat bilateral dengan sesama Negara Pihak UNFCCC,

forum regional seperti ASEAN, hingga UN General Assembly sepanjang

tahun 2015.

28

Secara substansial, isu-isu utama yang secara umum mengemuka hingga

pembahasan COP21 meliputi:

a. Prinsip-prinsip Common But Differentiated Responsibilites (CBDR),

Respective Capabilities (RC), Equity, Applied to All;

b. Mitigation, dengan fokus pembahasan Intended Nationally Determined

Contributions (INDC), collective long term goals, individual efforts,

differentiated efforts, progression, ambition, information, features,

timing, housing, transparency and reporting, accounting, methods and

guidance, long term strategies, response measures, unilateral measures,

cooperative approaches, support, framing, international transport

emissions, article on REDD+, dan article to support sustainable

development;

c. Adaptation, dengan pembahasan pengertian umum mengenai

adaptation and loss and damage serta langkah Negara Pihak ke depan

guna menyikapi isu-isu tersebut, tujuan/visi jangka panjang adaptasi

(global goal on adaptation), kontibusi/aksi negara pihak, pengaturan

loss and damage;

d. Finance, dengan fokus isu kesepakatan terkait mekanisme pendanaan

yang telah ada/ berlaku yang akan dipergunakan dalam implementasi

Paris Agreement, dan perdebatan terkait skala pendanaan dan

adaptation finance;

e. Technology Development and Transfer, dengan fokus pada aksi

bersama dan pengaturan institusi untuk dimasukkan ke dalam

Box 4

Misi Indonesia pada Sesi Perundingan COP-21/CMP-11

(Paris, Perancis, 30 November – 11 Desember 2015)

Memperjuangkan kepentingan nasional:

- Low Carbon and Climate Resilient Development/Climate Resilient

Development (post 2020) yang masuk dalam agenda negosiasi ADP

Work Stream I

- NAWACITA (pre 2020) yang masuk dalam agenda negosiasi ADP

Work Stream II, SBI/SBSTA.

Kontribusi terhadap upaya global dalam mencapai tujuan konvensi (ADP

WS I - WS II, SBI, SBSTA).

INDC merupakan cerminan/bagian posisi Indonesia.

Dinegosiasikan melalui frame negosiasi sesuai elements negosiasi yaitu:

Adaptasi, Mitigasi, means of implementation-MoI (Finance, Technology

Development and Transfer, Capacity Building), Loss and Damage,

Transparency, Facilitating Implementation, aspek institusi dan aspek legal

lainnya.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)

29

Agreement dan Technology Need Assessment, penguatan institusi, dan

Periodic Assessment of Institutional Arrangement untuk menjadi bagian

draft Decision;

f. Capacity Building, dengan isu utama perdebatan antara

mempertahankan mekanisme pelaksanaan capacity building yang

sudah ada melalui Durban Forum (posisi umum negara maju) dengan

pembentukan suatu lembaga baru mengingat mandat Durban Forum

dipandang terbatas dan bersifat sharing information saja (posisi umum

negara berkembang);

g. Transparency of Action and Support, dengan isu utama unified,

robustness, flexibility, dan diferensiasi, mitigasi oleh Party, tingkat

global, adaptasi, dan comparability, clarity, support dari negara maju ke

negara berkembang, pelaporan, inventory, informasi terkait mitigasi-

adaptasi- means of implementasi, review oleh technical expert,

keterkaitan dengan global stock take, modalitas, prosedur sistem

transparansi, dan hak negara berkembang untuk menerima support dari

Negara maju;

h. Legal, mencakup: Preamble (antara lain pengakuan hak indigenous

people, hak asasi, gender, kesehatan dalam kaitannya dengan isu

perubahan iklim, isu REDD+), Objective, Facilitating implementation

and compliance, Procedural and instutional Provisions (proses

persetujuan, ratifikasi, entry into force, amandement, depository,

governing body of the new agreement, imunitas, pengambilan

keputusan dan voting, dan persyaratan komitmen mitigasi bagi Negara

Pihak untuk dapat terlibat dalam pengambilan keputusan).

Pengorganisasian Tim Negosiasi Delegasi RI pada ADP2.10 hingga COP21

didasarkan pada kombinasi agenda item perundingan tiap forum (COP/CMP, SBI,

SBSTA, dan ADP) dan substansi Workstream 1 dan Workstream 2 sebagaimana

isu-isu utama seperti di atas9, terbadi ke dalam 10 (sepuluh) kelompok yakni:

a. Tim Mitigation,

b. Tim Adaptation,

c. Tim Finance,

d. Tim Technology Development and Transfer,

9 Pedoman Delegasi Republik Indonesia, the Twenty-first session of the Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (COP-21), the eleventh session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP-11) (Ditjen PPI, KLHK, 2015)

30

e. Tim Capacity Building,

f. Tim Transparency of Action and Support,

g. Tim Legal,

h. Tim Workstream 2,

i. Tim Agriculture

j. Tim Gender and Climate Change.

Dengan Presiden RI selaku Ketua Delegasi RI dan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan selaku Alternate-1 dan kehadiran beberapa Menteri lainnya pada

COP21/CMP11, para negosiator Delegasi RI telah berpartisipasi aktif dengan

menyampaikan beberapa butir penting (lihat Box 5) dalam berbagai kesempatan.

Catatan penting dalam periode ini adalah butir-butir masukan Indonesia yang

disampaikan dapat terakomodasi dan terrefleksikan dalam Paris Agreement,

khususnya pengakuan local communities dan penekanan pentingnya sektor lahan

khususnya REDD+ menjadi bagian dari kesepakatan sebagai referensi untuk

implementasi pada periode paska 2020 dengan berbagai modalitas dan

pengaturan yang telah dibuat hingga 2015 (Lihat Box 5).

Box 5

Butir-butir Penting Rangkuman Masukan Indonesia dalam Sesi Perundingan COP21/CMP11

(Paris, Perancis, 30 November – 11 Desember 2015)

Selama pembahasan draft Agreement dalam COP-21/CMP-11, Indonesia telah menyampaikan

beberapa poin penting pada berbagai kesempatan di antaranya:

a. Mendukung perlunya mencapai kesepakatan yang mengikat, ambisius dan adil dan tidak

menghambat pembangunan di Negara berkembang;

b. Kesepakatan harus menghormati hak-hak dan memastikan peran local communities:

c. Kesepakatan harus mencakup pentingnya pelestarian hutan, keanekaragaman hayati dan laut;

d. Perlunya akselerasi implementasi aksi untuk periode sebelum 2020;

e. Upaya mitigai Negara maju harus lebih besar dari Negara berkebang karena historical

responsibility yang berbeda

f. Perlunya memberi dukungan upaya adaptasi terkait situasi Indonesia yang rentan terhadap

dampak perubahan iklim

g. Pencerminan Prinsip Common But Differentiated Responsibilities (CBDR) dan Respective

Capabilities (RC) berbasis science dan prinsip Kesetaraan terhadap akses dan pembangunan

berkelanjutan

h. Pentingnya Political Signal di dalam agreement terkait Reducing Emission from Deforestation

and Forest Degradation (REDD) serta pengelolaan hutan berkelanjutan (REDD Plus);

i. Perlunya pendanaan sebelum dan sesudah 2020 yang predictable dan berkelanjutan dengan

peningkatan dari waktu ke waktu dibandingkan komitmen yang ada saat ini (USD 100 Milyar

hingga 2020)

j. Mendukung perlunya robust transparency framework baik untuk aksi maupun dukungan

(support).

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)

31

Gambar 3.1 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada

Sesi Closing Plenary COP21

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)

Box 6

National Statement Indonesia yang disampaikan oleh

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Closing Plenary COP21

Let me once again extend my sincere appreciation to the hard work done by the COP Presidency and their team in ensuring that an

ambitious, legally binding, durable and differentiated Agreement is reached in Paris to be applicable to all Parties starting from 2020.

I would also like to thank the Chairs of the G77 and China for leading our Group throughout these past years in the process. I also

thank our developed country Partners for working with us, so that this important Agreement could be reached.

It is no doubt that the historic Agreement we reach today is a result of a long hard work, and I am pleased to say that we have followed

an open, inclusive, and party-driven approach.

Being a result of a hard-earned, arduous work, and delicate compromise, I am aware that the Agreement is most probably not as

ideal as each Party may have wished. However, we all need to see beyond the national boundaries, we ought to see its common vision

to avert the grim consequences of climate change.

This Agreement laid out a solid basis for further actions by all Parties in the future. The Agreement also reflects the importance of

developed country Parties to continue taking the lead in their actions and supports, while developing countries will contribute more

depending on their capacities.

Now we are entering a new page and what is more important is how each Party internalizes the Agreement and translates it into

policies and approaches at home that will make significant differences to the achievement of the global goal of both the Agreement

and the Convention. Bearing that in mind, I would call upon all of us, to bring home the Agreement and to implement what we have

agreed upon with progression or improvement over time.

Mr. President, Ladies, Gentlemen,

We have just created a history. A history that would give us the opportunity to change the world. A history that would create a safer

and more sustainable planet for our future generations. A history that will enable resilient development for humankind. Let us be

faithful to this agreement and materialized the goals and objectives it contained. I believe it is important so that all Parties to be

bound by this Agreement have a strong sense of ownership to implement it.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)

32

3.2 Dari Paris ke Marakesh: COP22 as A COP for Implementation

Tugas lanjutan Negara Pihak adalah mengelaborasi Decision 1/CP.21 untuk

menjadi kerangka Modality-Procedure-Guidelines (MPGs) implementasi kerja

Paris Agreement tahun 2020 ke depan. Untuk itulah suatu ad hoc working group

baru terbentuk, Ad Hoc Working Group on Paris Agreement (APA)10 yang

menggantikan ADP yang telah menyelesaikan mandatnya11 karena telah

menghasilkan perjanjian baru. Mandat APA adalah menyiapkan entry into force of

the PA dan sesi perundingan pertama Conference of the Parties serving as the

meeting of the Parties to the Paris Agreement12. Hal ini yang menjadi target utama

sesi perundingan sepanjang tahun 2016.

Jika pada tahun 2015, Ditjen PPI KLHK jump in di tengah-tengah siklus sesi

perundingan UNFCCC, tahun 2016 merupakan tahun kedua Ditjen PPI KLHK

mempersiapkan sesi perundingan UNFCCC secara utuh dari awal siklus

perundingan UNFCCC termasuk memenuhi undangan COP Presidencies (Perancis

– Maroko) untuk mengikuti beberapa Informal Meetings sebelum COP22, baik di

Paris maupun Rabat.

10 Decsion 1/CP.21 paragraph 7 11 Decision 1/CP.21 paragraph 6 12 Decision 1/CP.21 paragraph 8

Gambar 3.2 Pertemuan Koordinasi Tim Negosiasi DELRI pada COP21

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)

33

Sebagai COP pertama sejak disepakatinya Paris Agreement, sesi perundingan di

tahun 2016 dilaksanakan dengan tujuan dalam rangka penjabaran lebih lanjut

hasil keputusan COP21 UNFCCC, dengan proses perundingan yang lebih

mengarah ke aspek-aspek teknis dan implementatif di masing-masing Negara

Pihak.

Sehubungan dengan hal tersebut, arah kebijakan pengelolaan substansi di tahun

2016 adalah memfasilitasi implementasi dari hasil keputusan COP21 dan COP

UNFCCC sebelumnya, dan terbagi ke dalam tiga tahapan penting:

1. Tindak lanjut COP21/CMP11, dan terutama ratifikasi Paris Agreement

sebagai produk utama COP21;

2. Koordinasi Delegasi RI pada sesi perundingan the Forty-fourth Session of

UNFCCC Subsidiary Bodies (SBI44, SBSTA44, APA1), 16-26 Mei 2016, di Bonn,

Jerman;

3. Koordinasi Delegasi RI pada sesi perundingan COP22/CMP12.CMA-1, SBI45,

dan SBSTA45, 7 – 18 November 2016, Marakesh, Maroko.

Dalam menghadapi sesi SBI44, SBSTA44, APA1 yang diselenggarakan di Bonn,

Jerman 16-26 Mei 2016, Ditjen PPI KLHK menerapkan strategi untuk memulai

koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait khususnya

Kementerian/Lembaga lain dan LSM/CSO sedini mungkin sejak Januari 2016.

Pertemuan para negosiator dilaksanakan dengan fokus bahasan “Tindak Lanjut

COP21/CMP11 UNFCCC”. Pertemuan membahas hal-hal penting terkait mandat-

Box 7

Misi Indonesia pada Sesi Perundingan COP22/CMP12

(Marakesh, Maroko, 7 – 18 November 2016)

Memperjuangkan kepentingan nasional, berkontribusi pada pencapaian upaya global:

Mendukung bahwa COP-22 merupakan COP implementasi, tidak lagi hanya berisi deklarasi atau

pernyataan politis.

Mendorong agar arah perundingan COP-22 dapat membahas berbagai elemen Paris

Agreement sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan tetap berdasar prinsip Common

but Differentiated Responsibilities (CBDR) and Respective Capabilities (RC) dengan hasil konkrit.

Mengantisipasi implikasi hukum pada Negara Pihak yang memiliki komitmen tinggi

melaksanakan Paris Agreement namun belum dapat menyelesaikan ratifikasi pada saat CMA-1

dimulai.

Mendukung dan berkontribusi dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca dengan tetap

meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Mendorong proses perundingan pada COP-22/CMP-12/CMA-1 untuk berfokus pada penyiapan

dan penyampaian modalitas dan guidance yang dapat memfasilitasi aksi, memastikan bahwa

tidak hanya pencapaian target, tetapi juga mempertimbangkan keberagaman tahap-tahap

perkembangan dari Negara Pihak, terutama negara berkembang.

Menyampaikan gambaran-gambaran kegiatan nyata implementasi dari inovasi masyarakat

serta dukungan dan kekuatan modal sosial Indonesia sebagai suatu keunikan yang berbeda

dari banyak negara di dunia.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

34

mandat yang harus dijalankan Negara Pihak pasca diadopsinya Paris Agreement,

dengan beberapa bahasan utama mengenai hasil keputusan dan kesepakatan

COP21 dan melihat kesesuaiannya dengan COP sebelumnya, perumusan time line

kegiatan tindak lanjut hasil keputusan COP21 sesuai dengan peran dan tugas pada

masing-masing isu, serta perencanaan persiapan sesi perundingan (submisi dan

posisi) sebagai tindak lanjut Paris Agreement. Pertemuan di awal Tahun 2016

menjadi pijakan penting bagi DELRI, khususnya bagi Tim Negosiasi dalam

memperhitungkan langkah ke depan pencapaian misi Indonesia melalui sesi

perundingan UNFCCC ke depannya.

Selain itu, strategi lain yang dilakukan adalah penyelenggaraan pertemuan

dengan tematik tertentu untuk menindaklanjuti Hasil COP21. Mengingat Paris

Agreement telah mengakui (recognition) peran Aktor Bukan Negara (Non State

Actor/NSA)13 dan Non party Stakeholders/NPS14 dalam berkontribusi aksi mitigasi

dan adaptasi perubahan iklim, Ditjen PPI KLHK memandang perlunya merangkul

NSA/NPS dengan langkah pertama adalah penyelenggaraan workshop khusus

untuk LSM/CSO guna sosialisasi hasil COP21 sekaligus menghimpun urun rembug

berbagai inisiatif dan pemikiran mereka untuk pengendalian perubahan iklim

nasional dan global.

Menanggapi permintaan submisi dari Sekretariat UNFCCC yang perlu

disampaikan sebelum Februari 2016, pertemuan penyusunan submisi Indonesia

sebagai tahapan utama Koordinasi Delegasi RI pada sesi perundingan the Forty-

fourth Session of UNFCCC Subsidiary Bodies (SBI44, SBSTA44, APA1) telah dimulai

pada pertengahan Januari 2016. Penyusunan submisi merupakan upaya

pemenuhan dari call for submission dengan sumber: (a) seluruh call for submission

yang dihasilkan oleh decision dan adoption dari COP21/CMP11, SBI43, SBSTA43

dan ADP2.12 khususnya yang memiliki due date sebelum penyelenggaraan SBs-

44 dan yang akan dibahas pada sesi tersebut. Substansi call for submission

tersebut mencerminkan isu-isu krusial untuk sesi perundingan berikutnya dan

akan menjadi elemen penting dari Posisi Indonesia secara keseluruhan; dan (b)

call for submission yang berasal dari sesi perundingan sebelumnya yang akan

dibahas pada sesi tersebut juga.

13 Decision 1/CP.21 IV. Enhanced Action Prior to 2020 paragraph 118 14 Decision 1/CP.21 V. Non Party Stakeholders paragraph 134 s/d 137

35

Lebih lanjut, segera setelah Sekretariat UNFCCC menyampaikan informasi terkait

provisional agenda dan annotations agenda dari seluruh forum yang menjadi

rangkaian sesi perundingan (kurang lebih 2 hingga 3 bulan sebelum waktu

penyelenggaraan SBs.), Ditjen PPI KLHK memulai penyelenggaraan penyusunan

Kertas Posisi Indonesia dan pembentukan Tim Negosiasi Delegasi RI.

Dalam rentang waktu 4 bulan (Januari – April), secara efektif National Focal Point

melalui Sekretariat DELRI telah menyelenggarakan 7 (tujuh) pertemuan Koordinasi

Delegasi RI sebagai berikut:

1. Satu Pertemuan Penyusunan Submisi, yang terbagi dalam kelompok isu:

Technical Examination Process on Adaptation, Capacity Building and Article 6

of the Convention / Action for Climate Empowerment, Gender and Climate

Change, dan Issue relating to Agriculture.

2. Satu Pertemuan Penyusunan Posisi, yang terbagi dalam 14 kelompok.

3. Stock-taking pandangan Non-Party Stakeholder terhadap tindak lanjut

implementasi hasil COP21 khususnya Paris Agreement guna peningkatan

pelibatan Non State Actors atau Non-Party Stakeholders, melalui Work-shop

Non-Party Stakeholder.

4. Disamping kedua pertemuan utama dari tahapan koordinasi DELRI pada Sesi

Subsidiary Bodies tersebut, Sekretariat DELRI juga telah melaksanakan

serangkaian koordinasi internal/diskusi terbatas dengan beberapa pihak

secara khusus untuk memantapkan draft submisi/posisi yang telah

teridentifikasi sebelumnya pada pertemuan pleno.

Selama tahun 2016 sampai menjelang COP22, Indonesia telah menyampaikan

sebanyak 15 dokumen submisi ke Sekretariat UNFCCC, yang terdiri dari

penyampaian dokumen 1st Biennial Update Reports (BUR), submisi mengenai isu

Adaptation Communication, Gender, Finance, global-stocktake, transparency

framework, dan isu-isu lainnya. 15

Pengorganisasian Tim Negosiasi Delegasi RI pada sesi SBI44, SBSTA44, APA1 juga

tidak terlepas dari isu-isu menonjol secara kontekstual, dan kombinasinya dengan

pembagian agenda perundingan masing-masing forum ke tiap negosiator

15 Daftar dokumen submisi dapat dilihat pada Lampiran, dan dapat diakses melalui: http://www4.unfccc.int/sites/submissionportal/Pages/Home.aspx

36

sehingga menghasilkan 14 (empat belas) pengelompokkan/klustering sebagai

berikut16:

a. Tim Mitigation, Nationally Determined Contributions (NDC), dan Market

Mechanism

b. Tim Adaptation, termasuk Nairobi Work ProgrammeTim entry into force of

Paris Agreement, Facilitation for Implementation and Compliance

c. Tim Transparency for Actions and Supports, Reporting, Methodology

d. Tim Capacity Building

e. Tim Technology Transfer and Development

f. Tim Finance

g. Tim Gender and Climate Change

h. Tim Science and Review

i. Tim Review of the Long-term Global Goal

j. Tim Agriculture

k. Tim Framework for Various Approaches (FVA), Non-Market-based Approaches

(NMA) and the New Market-based Mechanism (NMM)

l. Tim Response Measure.

m. TimLoss and Damage

16 Pedoman Delegasi Indonesia mengikuti Pertemuan Bonn Climate Conference, 44TH SBI, 44TH SBSTA,

1ST APA, Bonn, Jerman, 16 Mei – 26 Mei 2016

Gambar 3.3 Tim Negosiasi DELRI COP22 pada Pertemuan Koordinasi Harian Tim Negosiasi

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)

37

Tepat pada pertengahan Juni 2016, sebulan setelah pelaksanaan the Forty-fourth

Session of UNFCCC Subsidiary Bodies (SBI44, SBSTA44, APA1), tahapan Koordinasi

Delegasi RI pada sesi perundingan COP22/CMP12.CMA-1 UNFCCC dimulai.

Pertemuan dimulai dengan pertemuan Non-Party Stakeholders guna membahas

Tindaklanjut COP21: The Road Map for Global Climate Action, sebagai rangkaian

pertemuan sebelumnya yang bertujuan meningkatan pelibatan NPS dalam aksi

perubahan iklim.

Dengan karakternya sebagai COP for Implementation, COP22 memberikan cukup

banyak permintaan submisi yang harus disiapkan oleh Negara Pihak. Submisi yang

perlu disampaikan oleh Negara Pihak berjumlah 13 dokumen, yang berasal dari

mandat keputusan di COP21, dan juga hasil perundingan sesi sebelumnya di Bonn,

Mei 2016.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

Gambar 3.4 Delegasi Indonesia bersama Sekretaris Eksekutif UNFCCC pada COP22

Gambar 3.5 Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)beserta

Direktur Jenderal PPI dan Duta Besar RI untuk Maroko pada Opening Plenary COP22

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

38

Selain jumlah permintaan submisi yang semakin bertambah, proses perundingan

pada COP22 juga berkembang menjadi semakin kompleks dan spesifik. Melalui

identifikasi provisional agenda yang disediakan oleh Sekretariat UNFCCC, sesi

perundingan di COP22 dapat dibagi kedalam 12 (dua belas) kelompok isu.

Box 8

National Statement Indonesia yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada

High-Level Segment COP22

First, I would like to express my sincere gratitude to His Majesty the King Mohammed VI and the people of the Kingdom of Morocco for hosting

this conference and to the UNFCCC Secretariat for organizing the conference. I would like also to congratulate of us for the entry into force of the

Paris Agreement on 04 November 2016. Indonesia has ratified the Agreement on 31 October 2016 and has submitted our First NDC on 6 November

2016.

As mandated by Indonesia’s constitution to protect the right of all citizens for a safe, dignified, decent life, and healthy environment, we are

committed to enhance pre 2020 actions and implement our post 2020 commitment.

We have implemented a number of policies, such as: (i) strengthening one map policy; (ii) enforcing moratorium on primary natural forest

conversion; (iii) reviewing existing licenses on peatland; (iv) restoring degraded peatland and its ecosystem; and (v) allocating 12.7 million ha for

social forestry program.

The government has been working closely with all stakeholders including scientists and civil societies to enhance prosperity of the people in and

surrounding the forest areas.

Our NDC consists of many important commitments, including:

In the land sector: reducing emissions from deforestation and forest degradation, sustainable management of forest, conservation and

enhancement of carbon stocks (REDD+);

In the energy sector: development of clean energy sources and an ambitious energy mix policy that targets: the use of new and renewable

energy of at least 23% in 2025 and 31% in 2050, and the use of coal of minimum 30% in 2025 and 25% in 2050.

Indonesia’s NDC also emphasizes the need for a comprehensive climate change adaptation and mitigation strategy, taking into account its unique

geographical condition and location. Transparency, enforcement, and compliance remain fundamental for successful implementation of our

commitment. Thus, we have established an integrated ‘National Registry System’, finance institution, and funding instruments.

Indonesia also believes that beyond sectoral dimension, moral and ethical values as well as social dimensions play a significant role in sustainable

development, climate change, and enhancing national resilience. Finally, Indonesia is of the view that in preparing the rulebook for implementing

Paris Agreement, it is important for all Parties to maintain the understanding on its delicate balance to prevent from renegotiating the agreement.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

Gambar 3.6 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada

High-Level Segment COP22

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

39

Guna menjawab tantangan yang cukup berat dalam sesi perundingan, National

Focal Point telah menyelenggarakan serangkaian pertemuan dalam rentang waktu

5 bulan (Juni – Oktober) sebagai berikut:

1. Tiga pertemuan Kick-off/Pertemuan pendahuluan, yang terdiri dari

persiapan Side Event Indonesia pada COP22, Pertemuan Pendahuluan

Negosiator Ditjen PPI, Pertemuan NPS Tindaklanjut COP21: The Road Map

for Global Climate Action.

2. Dua pertemuan penyusunan submisi, yang membahas 14 draft submisi yang

terbagi kedalam 8 (delapan) kelompok isu sebagai berikut: Adaptation and

Loss & Damage; Mitigation (NDC) and Response Measure; Market and Non-

Market/Article 6 of the Paris Agreement; Transparency, Global Stocktake,

Science and Review, and International Assessment and Review (IAR); Finance;

Technology, and Capacity Building; serta Gender and Climate Change;

Information, Views, and Proposal on Any Work of the APA.

3. Dua pertemuan penyusunan posisi, dengan pembagian 12 (dua belas)

kelompok isu sebagai berikut: (i) Mitigasi, (ii) Adaptasi, (iii) Transparansy,

Global-stock take, dan MRV, (iv) Capacity Building; (v) Technology Transfer;

(vi) Finance; (vii) Article 6 of the PA; (viii) Agrikultur; (ix) Compliance; (x) Entry

into Force of the Paris Agreement; (xi) Gender; dan (xii) Response Measure.

4. Satu Pertemuan Pleno DELRI, yang berasal dari Tim Negosiasi dan Tim

Outreach/Campaign (Paviliun Indonesia dan event lainnya), guna

membahas: Agenda Persidangan dari COP 22 (ii) Isu penting di COP 22

terkait dengan kepentingan Indonesia dalam sesi perundingan UNFCCC; (iii)

Misi Indonesia secara garis besar dan strategi pencapaian misi dalam COP

22/CMP 12; (iv) Persiapan Logistik, substansi, side event, perkembangan

keanggotaan Delegasi RI; (v) serta persiapan Paviliun Indonesia.

5. Serta tiga Koordinasi Internal/ Diskusi Terbatas yang bertujuan sebagai

pemantapan draft submisi dan posisi Indonesia yang telah teridentifikasi

pada pertemuan sebelumnya, dengan mengundang sejumlah perwakilan

Kementerian/Lembaga yang terkait dengan substansi submisi/posisi, serta

koordinasi internal DELRI lingkup Ditjen. PPI.

40

Box 9

Butir-butir Penting Rangkuman Masukan Indonesia dalam

COP22/CMP12/CMA1 (Marakesh, Maroko, 7 – 18 November 2016)

a. Persidangan terkait mitigasi membahas isu Nationally Determined Contributions (NDC), Clean

Development Mechanism (CDM), dan Joint Implementation (JI). Persidangan menghasilkan drafting teks

conclusion NDC registry yang telah mengakomodir posisi Indonesia agar konsisten dengan mandat

Dec1/CP.21 sebagaimana tertulis dalam Article 4.

b. Persidangan terkait adaptasi membahas Adaptation Committee, Article 4 of the Convention, Adaptation

Fund, Adaptation Communication, Nairobi Work Program, dan Warsaw International Mechanism on Loss

and Damage. Indonesia menyampaikan pentingnya pengembangan mekanisme dan prosedur

Adaptation Communication sebagai persiapan implementasi Paris Agreement (artikel 7, paragraf 10),

dan pentingnya membangun kesepahaman terkait isu Adaptasi dan Loss and Damage.

c. Persidangan terkait transparency framework membahas isu modalitas, prosedur dan guideline (MPG).

Indonesia telah menyampaikan: (i) usulan untuk komponen utama pengembangan MPG meliputi

“prinsip, scope dan approach”, (ii) keseimbangan transparansi untuk aksi dan support, keterkaitan isu

transparansi dengan isu lainnya seperti finance, capacity building, technology transfer, serta (iii) flexibility

dari MPG. Untuk isu metodologi dibawah Kyoto Protokol Kyoto, khususnya agenda LULUCF terkait

revegetation, pembahasan akan dilanjutkan pada persidangan SBSTA–46.

d. Persidangan terkait global stocktake telah membahas identifikasi sumber-sumber input dan

pengembangan modalitas. Indonesia telah menyampaikan perlunya pembahasan lebih lanjut terhadap

struktur dan flow of assessment terkait input dan modalitas global stocktake, dan telah tertampung

dalam kesepakatan persidangan.

e. Pada persidangan terkait pengembangan dan alih teknologi, Indonesia menyampaikan perlunya

peningkatan efisiensi dan efektifitas dukungan Climate Technology Centre and Network (CTCN),

cakupan tujuan pemberian dukungan technology framework ke negara-negara berkembang,

keterkaitan antara technology mechanism dan financial mechanism, serta pedoman bagi identifikasi

teknologi inovatif, dan mekanisme pendanaan. Hal tersebut sudah tercantum di dalam dokumen draft

Decision;

f. Pada persidangan terkait peningkatan kapasitas, Indonesia menyampaikan masukan tentang butir-butir

dan prinsip peningkatan kapasitas di negara berkembang dalam kerangka Third Comprehensive Review,

serta perwakilan organisasi yang diundang dalam Paris Committee on Capacity Building (PCCB).

Persidangan telah mensahkan keanggotaan Indonesia dalam PCCB mewakili kelompok Negara-Negara

Asia Pasifik.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

41

(Lanjutan Box 9)

g. Persidangan terkait pendanaan membahas modalitas untuk akuntansi sumberdaya pendanaan yang sangat

terkait dengan transparency of support. Posisi dan submisi Indonesia telah diakomodir dalam draft decision

yaitu pada SBSTA – Agenda Item 13 tentang pengembangan modalities for the accounting of financial

resources provided and mobilized through public interventions, yaitu antara lain pentingnya mendefinisikan

pendanaan perubahan iklim secara jelas, dan isu pada SBI – Agenda Item 13 tentang TOR for the Review

of the Function of Standing Committee on Finance;

h. Persidangan terkait Article 6 of the Paris Agreement telah membahas panduan mengendai cooperative

approaches, rules, modalities and procedures, dan work programme dibawah kerangka non-market

approaches. Posisi Indonesia sebagaimana tercantum dalam submisi Indonesia telah masuk dalam

pembahasan COP-22, yaitu tentang pentingnya kejelasan mengenai environmental integrity, substainable

development, dan governance.

i. Persidangan terkait Facilitating Implementation and Compliance membahas elemen purpose and nature of

mechanism, scope and function, structure and composition serta measures and output yang diharapkan

dihasilkan Komite ini. Indonesia menyampaikan agar implementasi dan compliance suatu negara, perlu

mempertimbangkan kapabilitas dan situasi national negara tersebut. Elemen lain yang perlu

dipertimbangkan adalah triggers yang dapat memicu proses review implementation and compliance. Para

pihak juga mendiskusikan hubungan antara proses/mekanisme dengan mekanisme lainnya di bawah Paris

Agreement, seperti mekanisme transparansi dan global stocktake dan proses pelaporan kepada CMA.

j. Pada persidangan terkait entry into force of the Paris Agreement, Indonesia menyampaikan pentingnya

segera memajukan implementasi dan agar proses pembahasan modalitas, prosedur dan panduan dilakukan

secara inklusif dan transparan, memperlakukan semua aspek kesepakatan secara balanced dan koheren,

dengan roadmap dan timeframe yang jelas.

k. Persidangan terkait pertanian membahas peran pertanian terhadap adaptasi dan food security, bantuan

alih teknologi dan peningkatan kapasitas untuk negara berkembang yang telah di sampaikan pada SBSTA

44. Indonesia menyampaikan posisi tentang masih diperlukannya peningkatan kapasitas dan teknologi

bidang pertanian di negara berkembang serta menekankan bahwa pertanian berada dalam koridor adaptasi

dan co- benefit adaptasi. Persidangan telah menghasilkan draft conclusion yang menyepakati untuk

melanjutkan pembahasan pada persidangan SBSTA46.

l. Pada persidangan terkait isu gender and climate change, Indonesia telah menyampaikan posisi agar isu

gender terus dimajukan dalam persidangan melalui implementasi Lima Work Programme, terutama untuk

mendorong kebijakan dan aksi lingkungan yang responsif gender.

m. Untuk isu response measure, usulan Indonesia terkait kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan telah

diakomodir dalam draft conclusion yang menyebutkan bahwa “economic diversification and transformation,

and on just transition of the work force and the creation of decent work and quality jobs”.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

42

Box 10

National Statement Indonesia yang disampaikan

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim pada Closing Plenary of COP22

First of all, we welcome some progress of the negotiation under SBI agenda, which defines further work on shaping our common endeavor for the implementation phase, as we expect from this Implementation-COP in Marrakech. Please allow me to address our view on some agenda items.

1. The public registry referred to in Article 4 and Article 7 of the PA should be simple which allows the developing country parties with different capacity to manage its operationalization as well as provides link to national systems for information provision. Taking into account our past experiences in determining some vague and indefinableyet issues, we believe that a submission will help parties in understanding the outstanding issues, and eventually will lead us to outline further arrangement regarding the public registry referred to Article 4 of the PA. Further discussion on the public registry should have linkages with other relevant agenda items under APA. Moreover, we would also like to emphasis that the continuation our work on registry development should be made in an effective and efficient manner.

2. In relation to public registry for adaptation, we would like to highlight some general principle that should be taken into consideration in developing the registry system. We believe that it should be user friendly in terms of its operationalization, provide link to national system for information provision and synergize with the existing data base on information system.

3. Indonesia appreciates the Board of GCF that approved support to the NAPs proses in order to advance the NAPs formulation, and Indonesia looks forward to the subsequent implementation. We also believe that access to funding should be cleared up and expedited.

4. Our delegation welcomes the report of the WIM and acknowledges the importance of having a strategic work-stream to guide the implementation of the Warsaw International Mechanism’s function of enhancing action and support, including finance, technology and capacity building, to address loss and damage associated with the adverse effects of climate change, as guided by decision 2/CP.19, on its five years rolling work-plan. We believe that the review of the WIM should have a balance of backward looking and forward looking components, to enable the WIM in continuing and strengthening the deliverables of its mandate and function as contained in the Dec.2/CP.19. Having a periodic review of the Mechanism is crucial to ensure the sustainability of the WIM to deliver its mandate, which might facilitate a specific focus for each review in addition to its over-arching review on its mandate, structure and effectiveness. I would also like to recall that the WIM was established under the COP and still remains under the guidance of the COP, which will and should continue under its existing composition and procedures until the CMA provides further guidance.

5. On the ToR of the SCF, Indonesia is of the view that the ToR to review the SCF should cover the continuation of the SCF work on MRV of support framework, especially with regard to provision of financial information by the developed country parties and also to enhance its function to serve the Paris Agreement. The review should also accommodate the work of the SCF on the review of financial mechanisms to serve Paris Agreement.

6. Indonesia recommends enhance the synergy of capacity building efforts within UNFCCC bodies, as well as with other entities outside of the Convention, which have the capacity of conducting climate change capacity building activities. Support for developing countries is really important in order to implement the NDC in the context of Paris Agreement, and we believe that the PCCB can play an important role for that starting from its first year of activities. We also believe that the implementation of capacity building in developing countries needs to fill the emerging gaps and is based on their own needs.

7. Access for support to transfer of technology and development in developing countries is a crucial issue. The implementation of the program as a continuation from the technical assistant need to be considered as part of the support. This will give significant impact to the effectiveness of the whole program.

8. We welcome the draft conclusion resulted from serial meetings of negotiation on the impact of the implementation of response measures and look forward to the implementations phase, in particular on the issue of poverty eradication and sustainable development which has been accommodated in “economic diversification and transformation, and on just transition of the work force and the creation of decent work and quality jobs”.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

43

Ikhtisar pengelolaan substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC tahun 2016

dapat diringkas dalam infografis berikut ini:

3.3 Dari Marrakech ke Fiji-Bonn: COP23 as Transition COP

Sebagai tindak lanjut Marrakech Climate Change Conference

(COP22/CMP12/CMA-1 to the UNFCCC) di Marakesh, Morocco, 7 - 18 November

2016, sesi Perundingan UNFCCC pada tahun 2017 terdiri dari Bonn Climate

Change Conference/BCCC (SBI46, SBSTA46, APA1.3) di Bonn, Jerman, 8 – 18 Mei

2017, dan pertemuan COP23/CMP13/CMA1 dengan Fiji selaku COP Presidency

berlokasi di Bonn, Jerman, pada 6 – 17 November 2017.

Sebelum memasuki Sesi Perundingan COP23/CMP13/CMA1.2, Fiji sebagai

Presiden COP23 menyelenggarakan Pre-COP di Nadi, Fiji, pada tanggal 17 – 18

Oktober 2017 yang melahirkan butir-butir penting sebagai berikut:

Negara Pihak mendiskusikan guideline pelaksanaan untuk Paris Agreement

yang dikenal dengan nama Paris Agreement Work Program, yang akan

diselesaikan pada tahun 2018. Negara Pihak bertekad untuk menghasilkan

teks pada COP-23 sebagai bahan negosiasi lebih lanjut. Teks harus dihasilkan

dari proses yang transparan, inklusif, country driven dan tidak ada negara

yang ditinggalkan.

Gambar 3.7 Ikhtisar Pengelolaan Substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC Tahun 2016

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

44

Dalam kaitannya dengan climate finance, peserta pertemuan

menggarisbawahi perlu adanya kemajuan di COP23 bahwa komitmen negara

maju dalam penyediaan pendanaan sebesar 100 billion USD kepada negara

berkembang harus direalisasikan per tahun mulai tahun 2020.

Peserta pertemuan juga menekankan agar COP23 menghasilkan suatu desain

dialog global yang menggambarkan posisi dunia saat ini, arah kemajuan, dan

bagaimana tahapan yang dapat dilakukan secara kolektif untuk mencapai

tujuan dalam Paris Agreement.

Negara Pihak menekankan bahwa Nationally Determined Contribution dan

National Adaptation Plans harus mendukung perencanaan investasi yang

memerlukan pendanaan yang memadai. Untuk itu, adaptation fund

merupakan sarana yang sangat penting khususnya bagi populasi yang rentan

terhadap dampak perubahan iklim.

Peserta pertemuan menekankan pentingnya pembahasan tentang ocean

pada COP23.

Peserta pertemuan menekankan pentingnya dimensi gender dalam

pembangunan ketahanan iklim.

Peserta pertemuan menekankan kebutuhan untuk dukungan secara penuh

terhadap adanya suatu mekanisme yang perlu dibangun terkait loss and

damage di COP23.

Sebagai pertemuan utama dalam mempersiapkan Facilitative Dialogue di tahun

2018 yang digunakan untuk stock-take upaya-upaya kolektif, sesi Perundingan

UNFCCC pada tahun 2017 menjadi bagian penting dalam perjalanan menuju

pencapaian tujuan jangka panjang sebagaimana disebutkan dalam Paris

Agreement, dan mendukung proses implementasi Paris Agreement di masing-

masing Negara Pihak. Sesi pada tahun 2017, terutama pada COP23 yang dikenal

dengan Transitional COP menuju COP24 dimana mandat APA diharapkan akan

berakhir, diwarnai dengan sesi perundingan yang membahas teks teknis Modality,

Procedure, and Guidelines (MPGs) khususnya mengenai Nationally Determined

Contributions (NDCs), Adaptation Communication, Transparency of Action and

Support, Global Stocktake, dan Compliance.

45

COP22/CMP12/CMA-1 di Marakesh, November 2016, telah menghasilkan 31 (tiga

puluh satu) permintaan kepada Negara Pihak untuk menyampaikan submisi yang

dikelompokkan dalam isu Mitigasi, Adaptasi, Transparansi dan MPV, Teknologi

dan Peningkatan Kapasitas, Art. 6 of the Paris Agreement, Entry into force of the

Paris Agreement, Compliance, dan Research and Scientific Observation. Dari

sejumlah permintaan submisi tersebut, terdapat beberapa submisi yang perlu

disampaikan sebelum penyelenggaraan Sesi Subsidiary Bodies di tahun 2017.

Utamanya sebagai persiapan sesi tersebut, dalam rentang waktu 4 bulan (Januari

– April) NFP for UNFCCC melalui Sekretariat DELRI telah menyelenggerakan

sejumlah pertemuan Koordinasi Delegasi RI sebagai berikut:

1. Tiga pertemuan penyusunan submisi, yang terbagi ke dalam 8 Kelompok Isu

dan menghasilkan 11 dokumen Submisi.

2. Dua pertemuan penyusunan posisi, dengan pembagian 12 Kelompok Isu

sebagai berikut: (i). Mitigasi, (ii). Adaptasi, (iii). Transparansi, (iv). Capacity

Building, (v). Teknologi, (vi). Climate Finance, (vii). Article 6 of the Paris

Agreement, (viii). Compliance, (ix). Response Measure, (x). Further Matter of

the Implementation of Paris Agreement, (xi). Agriculture, (xii). Research and

Systematic Observation.

3. Satu pertemuan pleno DELRI yang dilaksanakan dalam rangka finalisasi

persiapan Delegasi RI (DELRI) sebagai Negosiator pada pada Bonn Climate

Box 11

Misi Indonesia pada COP23/CMP13/CMA1.2

(Bonn, Jerman, 6 – 17 November 2017)

Memperjuangkan kepentingan Indonesia dan berkontribusi pada upaya global

termasuk dalam pembahasan pengaturan rinci Modality, Procedure, and

Guidelines (MPGs) untuk pelaksanaan Paris Agreement (disebut Rules Book of

Paris Agreement).

Mendorong proses perundingan untuk berfokus pada penyiapan dan

penyampaian modalitas dan guidance yang dapat memfasilitasi aksi, memastikan

bahwa tidak hanya pencapaian target, tetapi juga mempertimbangkan

keberagaman tahap-tahap perkembangan dari Negara Pihak, terutama negara

berkembang.

Mendorong peningkatan komitmen (peningkatan ambisi) Negara maju baik dalam

mengisi gaps dalam pencapaian target di bawah 2 derajat maupun dalam

penyediaan supports.

Dari jalur soft diplomasi, outreach dan campaign, melakukan pendekatan informal

dalam menggalang posisi bersama, serta menyampaikan gambaran-gambaran

kegiatan nyata implementasi dari inovasi masyarakat serta dukungan dan modal

terhadap aksi perubahan iklim di Indonesia sebagai suatu keunikan yang berbeda

dari banyak negara di dunia.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

46

Change Conference in May 2017, dan menindaklanjuti Pertemuan

Penyusunan Posisi Indonesia.

Sesi perundingan SBs-46 pada Mei 2017 tercatat merupakan sesi perundingan

tengah tahun yang paling padat agenda tidak hanya perundingan namun juga

agenda perundingan. Selain agenda perundingan 3 subsidairy bodies, tercatat ada

20 (dua puluh) mandated events dan workshop, dan 24 (dua puluh empat)

UNFCCC and special events17.

Proses pengelolaan substansi COP23 dimulai dengan Kick-Off Meeting yang

diselenggarakan pada bulan Juli 2017, dengan mengundang berbagai perwakilan

Kementerian/Lembaga, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga

Penelitian/Penggiat Perubahan Iklim, Sektor Swasta, serta pihak-pihak terkait yang

akan menjadi DELRI baik untuk sesi negosiasi maupun outreach/campaign

(Paviliun dan event lainnya). Pertemuan bertujuan sebagai penjaringan masukan

awal submisi Indonesia yang perlu disampaikan sebelum pelaksanaan COP23,

penyampaian persiapan awal Paviliun Indonesia pada COP22, serta penjaringan

harapan pemangku kepentingan pada pencapaian misi Indonesia melalui COP23.

Tak lama berselang, proses pengelolaan substansi COP22 dilanjutkan dengan

pertemuan penyusunan submisi Indonesia dan pertemuan posisi Indonesia, yang

diselenggarakan dalam kurun waktu tiga bulan (Agustus – Oktober).

Secara rinci, rangkaian pengelolaan substansi DELRI pada COP23 dilaksanakan

sebagai berikut:

1. Tiga pertemuan penyusunan Submisi Indonesia, yang terbagi ke dalam 9

Kelompok Isu: (i). Kelompok Mitigasi; (ii). Kelompok Adaptasi; (iii). Kelompok

Peningkatan Kapasitas; (iv). Kelompok Transparency of Action and Support,

(v). Kelompok Finance; (vi). Kelompok Response Measure; (vii). Kelompok Art.

6 of the Paris Agreement; (viii). Kelompok Compliance; (ix). Kelompok Gender

and Climate Change, dan menghasilkan 15 dokumen submisi.

2. Dua pertemuan penyusunan posisi Indonesia, dengan 13 pembagian

kelompok isu sebagai berikut: (i). Kelompok Mitigasi; (ii). Kelompok Adaptasi;

(iii). Kelompok Transparency of Action and Support, (iv). Kelompok

Peningkatan Kapasitas; (v). Kelompok Teknologi, (vi). Kelompok Climate

17 Pedoman Delegasi Ri pada dalam mengikuti Pertemuan Bonn Climate Change Conference (SBI46,

SBSTA46, APA1.3) and Its Preparatory Meetings, Bonn, Jerman, 5 – 18 Mei 2017 (KLHK 2017)

47

Finance; (vii). Kelompok Response Measure; (viii). Kelompok Art. 6 of the Paris

Agreement; (ix). Kelompok Compliance; (x). Kelompok Gender and Climate

Change, (xi). Kelompok Agriculture, (xii). Kelompok Research and Systematic

Observation, (xiii). Kelompok Local Communities and Indigenous People

Platform.

3. Lima Koordinasi Internal/ Diskusi Terbatas antara Tim Negosiasi dalam

beberapa kelompok isu, antara Lead Negotiator dan Chief Negotiator, serta

antara DELRI lingkup Ditjen. PPI, mengingat masih perlunya penelaahan lebih

lanjut dari draft-draft submisi dan posisi yang telah disusun dan koordinasi

terhadap cross-cutting issues pada COP23.

4. Satu pertemuan Pleno DELRI yang berasal dari Tim Negosiasi dan yang terlibat

pada event outreach/campaign (Paviliun Indonesia dan event lainnya), guna

membahas persiapan terakhir dari Tim Negosiasi dan Tim Paviliun Indonesia,

koordinasi pencapaian misi Indonesia melalui sesi perundingan dan

outreach/campaign, serta arahan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

selaku Ketua DELRI pada COP23.

48

Box 12

National Statement Indonesia yang disampaikan

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim pada Opening Plenary APA1.3 pada COP23

As our activities continue to impact the planet at an increasingly rapid rate, the need to make further progress has become ever

more urgent and critical. Recognizing this urgency, and consistent with the theme of “Working Together on Solution” of this

COP23, Indonesia believes that the process here in Bonn is an important step to find a global solution in combating climate change,

by delivering some critical concrete actions in terms of moving forward from commitment to implementation of the Paris

Agreement.

The process under the APA agenda will also be significant to discuss some of crucial points in PA’s implementation, through the

design of the complete Paris Agreement Work Program, as well as the 2018 Facilitative Dialogue, which we expect to endorse at

COP23.

We thank the Co-Chairs for delivering the Reflection Note on the third part of the first session of the APA, which is very useful as

a basis for further negotiation.

Madam Co-Chairs,

My delegation would like to start by associating ourselves with the statement made by the G77 and China.

Please allow me to address some expected outcomes of COP23 in relations to APA agenda items:

On agenda item 3, and in response to the Non-Paper by the Co-Facilitator, we welcome some outstanding points that have been

raised and wish to make some further comments:

With reference to the elements of NDC that are already set out in Article 4 of the PA, we are of the view that no new features will

need to be introduced, as it would imply renegotiation of the PA. Nonetheless, we are open for the elaboration of some additional

features, bearing in mind consideration of national capacity.

The guidance should be concise, flexible, pragmatic and facilitative, as well as avoid any additional unnecessary burdens placed

on developing countries, particularly in view of the capacity of countries to respond to and apply the guidance.

In regards to reporting format for NDCs, the guidance should be far-reaching and comprehensive, by taking into consideration

Party’s different capacity, which will lead to gain a better understanding of some outstanding issues, for example, of the aggregate

effect of NDCs

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

Gambar 3.8 Direktur Jenderal PPI pada sesi Opening Plenary APA1.3 di COP23

49

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

(Lanjutan Box 12)

We support the concept of ‘applicability’ of which Parties will determine individually which parts of the guidance would be applied

to, which will be aligned with the concept of flexibility.

With regard to agenda item 4 on further guidance in relations to the adaptation communication,

We are of the view that some progress made by Parties on this issue can be beneficial for us to facilitate better understanding on

how adaptation could be communicated. We would like to highlight our view that adaptation communication is important to raise

adaptation profile, including gaps and needs of developing countries and support provided by developed countries.

Some key areas and aspects that have been identified during the roundtable discussion should clearly reflect the needs of

developing countries in strengthening their capacity in responding to the impacts of climate change.

We recognize the importance of flexibility for countries to communicate their adaptation actions and priority. However, in relations

to GST, common elements and communication frequency should be further defined and elaborated in the guidance.

On the issue of Transparency Framework, Agenda Item 5,

We appreciate excellent works made by co-facilitators in capturing a number of important issues, by providing questions for each

notable issue during the round table meeting.

We see that a constructive roundtable meeting, taking consideration of submissions made by party, is helpful to get reflection of

the party’s views on important components of the Transparency Framework.

Those components consist of support, specifically on support provided and mobilized, as well as support needed and received.

Other components are technical expert review, adaptation, tracking progress of NDC and GHG inventory.

On the issue of support, we would also like to echo the intervention made by G-77+China that all financial flows provided and

mobilized should take into account the needs and priorities of developing country parties.

We are of the view that further consideration on the base of information made through round-table meeting is a good starting

point, valuable for the development of modalities, procedure and guidelines for the transparency framework for action and support

referred to in Art. 13 of the PA.

Yet, we are of the view that the cross cutting matters have not been elaborated sufficiently by parties during the round-table

meeting. In this matter, we expect that the cross cutting matters would be discussed further.

On the issue of Global Stock-Take, we encourage all Parties to step up works in finding converging views, based on Article 14 of

the Paris Agreement as well as relevant provisions of decision 1/CP21, to make the global stock-take operational towards achieving

the outcome of the global stock-take

I thank you.

50

Box 13

National Statement Indonesia yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada High-Level

Segment COP23

The Paris Agreement came into a rapid entry into force in November 2016. As of today, 170 parties have ratified the

agreement, and we welcome countries that have recently declared their intentions to sign or ratify.

Challenges, however, remain. We must therefore strive in unity to maintain the momentum of the landmark agreement.

The adverse impact of climate change can never be tackled by one country alone! The global commitments to the Paris

Agreement must be strengthened as it is irreversible. It must stay irreversible and non-negotiable, because climate

change is a global responsibility.

In our part, Indonesia reaffirms its strong commitment to the Paris Agreement and other environmental agreements

by conducting the following: (i) Established a National Transparency Framework in accordance to the Paris Agreement;

(ii) State recognition for customary forest; (iii) Restored 680.000 hectares of peatland from the target of 2 million

hectares by 2020; (iv) Ratified the Minamata Convention; (v) Committed to reducing 70% of plastic debris by 2025 from

2017 level; (vi) Continued assistance for other developing countries’ efforts on climate action through South-South and

Triangular Cooperation in agriculture, forestry and coastal area management.

We urge parties to make best efforts in demonstrating significant progress to achieve an early operationalization of

the Paris Agreement by adopting the Paris Agreement implementation guidelines in 2018. Furthermore, the guidelines

should take into consideration a balance between mitigation, adaptation, finance and capacity building as well as

technology development and transfer. The process in developing the Paris Agreement implementation guidelines will

also be crucial to gain inputs and necessary information for the Facilitative Dialogue in upcoming year.

Developed countries must continue to lead the global efforts in tackling climate change, while ensuring access to

means of implementation for developing countries, especially those most prone to the adverse effects of climate

change. Developing countries, on the other hand, must show their concrete contributions to these global efforts.

As an archipelagic state, Indonesia faces the same threats from climate change to that of our brothers and sisters living

in island states, among them: changing weather patterns, abrasion of coastal areas and rising sea levels.

In relation to this, Indonesia stands ready to support Fiji for its COP Presidency.

Furthermore, Indonesia believe that the “Talanoa Dialogue” proposed by Fiji, which promotes inclusiveness,

participation, transparency, and building empathy will be an important modality for the upcoming Facilitative Dialogue

in 2018. Last but not least, we also support Fiji’s initiative to strengthen the role of ocean in tackling climate change. It

is imperative for the world to protect the ocean, as it is the world’s largest active carbon sink.

I thank you Mr. President.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

Gambar 3.9 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada

High-Level Segment COP23

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

51

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

Gambar 3.10 Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim

pada Closing Plenary COP23

Box 14

National Statement Indonesia yang disampaikan

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim pada Closing Plenary COP23

Indonesia associate ourselves with the statement made by the G77 and China.

On behalf of my delegation, I would like to express our thanks to you, Mr. President, for your leadership

during this Bonn Session. We appreciate all parties’ hard work in providing constructive views towards

the implementation phase of the Paris Agreement. Despite the challenging deliberation on the issues

relating to finance, this session has nonetheless generated a number of substantive documents which are

crucial for the continuation of our work at the next meeting. Moreover, we whole-heartedly embrace a

clear direction on matters which are dear to us such as agriculture and IPLC Platform.

Indonesia recognizes the urgency of having a set of operational manuals to implement Paris Agreement.

We welcome the set of possible elements within the “Bula Momentum for Implementation” provided by you,

Mr. President, which will be very instrumental in guiding our future works for the completion of the Paris

Agreement Work Program, as well as for preparing the Facilitative Dialogue in 2018, to fulfil the mandate in

taking stock of the collective efforts of Parties in relation to progress towards the long-term goal and

informing the preparation of NDC.

Please let me reiterate our support to the wisdom of “Talanoa Dialogue”, which shall be inclusive,

participatory, and transparent. This dialogue will be an opportunity for us to present the expected outcomes

at the upcoming COP24, taking into consideration the works during our session (s) in 2018.

To conclude, let me reiterate Indonesia’s commitment to supporting your works, along with the Chairs, Co-

Chairs, and co-facilitators, which are instrumental toward agreeable options for further deliberation during

the 2018 sessions, and be adopted at COP24.

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

52

Gambar 3.12 Tim Negosiasi DELRI setelah Penutupan COP23

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

Gambar 3.11 Tim Negosiasi DELRI pada Sesi Bonn Climate Change

Conference, Mei 2017

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

53

Ikhtisar pengelolaan substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC tahun 2017

dapat diringkas dalam infogragik berikut ini:

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

Gambar 3.13 Ikhtisar Pengelolaan Substansi pada Sesi Perundingan UNFCCC Tahun 2017

2

3

2

1

2

3 3

4

1

2

1

2 2 2

1

2

1

2

11 1

2 2

3 3

5

1

3

2 2

1 1

0

1

2

3

4

5

6

ADP2.10, Agustus 2015

ADP2.11, Oktober 2015

COP-21 UNFCCC,

Desember 2015

Bonn Climate Change

Conference, Mei 2016

COP-22 UNFCCC,

November 2016

Bonn Climate Change

Conference, Mei 2017

COP-23 UNFCCC,

November 2017

STATISTIK PERTEMUAN PERSIAPAN DELRI MENUJU PERUNDINGAN UNFCCC

Kick-Off Meeting/Pertemuan Pendahuluan Pertemuan Penyusunan Submisi

Pertemuan Penyusunan Posisi Pertemuan Pleno DELRI

Koordinasi Internal/Diskusi Terbatas Pertemuan Komunikasi Tindak Lanjut Sesi Perundingan

Gambar 3.14 Statistik Pertemuan Persiapan DELRI Menuju Perundingan UNFCCC

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

54

3.4 Output Dokumen yang Dihasilkan

Dengan pengorganisasi kerja sebagaimana telah diuraikan pada bagian

sebelumnya, Ditjen PPI KLHK untuk setiap sesi perundingan menghasilkan

output berupa:

a. Submisi: dokumen berisikan pokok-pokok / prinsip posisi Indonesia

terhadap suatu permasalahan berdasarkan call for submission yang

dihasilkan dari sesi perundingan. Submisi ini merupakan elemen

penting yang akan menjadi bagian utama posisi Indonesia. Menurut

laman UNFCCC, submisi merupakan elemen sangat penting untuk

berbagi informasi, membangun pemahaman antar Negara Pihak, dan

memperluas kerja antar sesi perundingan secara terbuka, transparan,

dan inklusif18. Berdasarkan catatan Sekretariat UNFCCC, Indonesia telah

menyampaikan 45 (empat puluh lima) submisi semenjak Desember

2015 hingga Desember 2017.

b. Statement (pernyataan): merupakan pokok-pokok posisi Indonesia

yang disampaikan dalam suatu pembukaan forum (opening) atau

penutupan (closing).

c. Kertas Posisi: dokumen Kertas Posisi merupakan panduan bagi setiap

Delegasi RI dalam melakukan perundingan yang berisikan prinsip posisi

Indonesia yang harus dipertahankan ataupun yang tidak dapat

dilanggar terhadap setiap agenda item pada setiap forum baik SBs

maupun COP/CMP. Mengingat posisi suatu party adalah politis, untuk

itu dokumen Kertas Posisi bersifat confidential, diperuntukkan hanya

bagi Ketua Delegasi RI dan Tim Negosiator.

d. Pedoman Delegasi RI.

Pedoman DELRI merupakan panduan umum informasi terkait berbagai

agenda perundingan dan non perundingan, komposisi dan peran

Delegasi RI, tata tertib, dan logistik. Penyusunan dokumen Pedoman

Delegasi RI untuk sesi perundingan COP/CMP berisikan materi yang

lebih beragam meliputi: misi Delegasi RI, metode pencapaian, informasi

agenda non perundingan, high-level events, berbagai pertemuan dan

perkembangan global penting yang terjadi setelah sesi perundingan

SBs hingga menjelang COP, agenda Paviliun Indonesia, serba-serbi

terkait lokasi penyelenggaraan COP antara lain akomodasi, transportasi

18 http://unfccc.int/documentation/submissions_and_statements/items/5900.php#gc_1

55

lokal, cuaca, currency, dan alamat Kedutaan Besar RI dan kantor

perwakilan RI terdekat

e. Berita Faksimil (Brafax): melalui koordinasi dengan anggota Delegasi RI

yang berasal dari Kementerian Luar Negeri termasuk Kedutaan Besar RI

setempat, Delegasi RI wajib menyampaikan draft Berita Faksimil sebagai

bentuk pertanggungjawaban birokrasi. Pokok-pokok isi Brafax

mencakup: (i) title, tanggal dan lokasi pertemuan, (ii) Delegasi RI, (iii)

Hasil utama pertemuan, dan (iv) pandangan terhadap jalannya dan hasil

pertemuan, serta satan tindak lanjut.

f. Laporan Delegasi RI: yaitu laporan mengenai partisipasi aktif Delegasi

RI dalam berbagai forum sebagai bentuk pertanggungjawaban publik.

Laporan Delegasi RI secara umum berisikan mengenai agenda dan hasil

perundingan maupun non-perundingan, komposisi delegasi dan tindak

lanjut dalam negeri, termasuk di dalamnya permintaan submisi dari

Sekretariat UNFCCC.

Gambar 3.15 Dokumen Pedoman DELRI , Matriks Posisi, dan Laporan DELRI pada

Sesi Perundingan UNFCCC 2015 - 2017

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

56

57

BAGIAN 4

PENGELOLAAN DELEGASI RI

Sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, selama kurun waktu dari

Agustus 2015 hingga Desember 2015, telah terdapat 7 (tujuh) sesi perundingan

dalam kerangka UNFCCC. Sebanyak itu pula, KLHK telah tujuh kali mengelola

Delegasi RI. Bagian ini menguraikan rangkaian pelaksanaan pengelolaan Delegasi

RI meliputi Komposisi delegasi RI, prosedur registrasi dan pembagian peran.

4.1 Komposisi Delegasi RI

Komposisi Delegasi RI untuk COP21, COP22, dan COP23 terdiri dari

perwakilan:

a. Kementerian / Lembaga di tingkat Pusat;

b. Pemerintah Daerah;

c. Parlemen, baik tingkat pusat dan daerah;

d. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Civil Society Organization (CSO) ;

e. Swasta, termasuk asosiasi pengusaha;

f. Perguruan Tinggi / Akademisi / Lembaga Riset;

g. Media cetak maupun elektronik;

h. Proyek kerjasama / kemitraan;

i. Praktisi / individu;

j. Kelompok youth / pelajar SD/SMP/SMA;

k. Komunitas seniman (penyanyi, penari, pemusik, dan sebagainya).

Dari segi jumlah, peserta yang menjadi Delegasi RI untuk sesi perundingan

khusus Subsidiary Bodies semakin lama semakin bertambah dari waktu ke

waktu. Hal ini terlihat dari jumlah Delegasi RI pada sesi perundingan Ad

Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action (ADP)

yang ke-10 (2015), ADP ke-11 (2015), dan Subsidiary Bodies sesi

pertengahan tahun yakni SBs-44 pada tahun 2016 dan SBs-46 pada tahun

2017.

58

Namun, tren kenaikan tidak tercermin dalam jumlah Delegasi RI pada 3

(tiga) COP, bahkan dalam perbandingan tiga COP, jumlah Delegasi RI pada

COP21 tahun 2015 merupakan jumlah yang tertinggi (630 orang)

dibandingkan dua COP berikutnya (COP22 berjumlah 490 orang dan

COP23 berjumlah 577 orang). Hal ini mudah dipahami mengingat COP21

merupakan salah satu milestones dalam sejarah global perundingan

perubahan iklim dengan target dan hasilnya berupa Paris Agremeent to the

UNFCCC, ditambah dengan kehadiran kepala negara dan/atau kepala

pemerintahan. Banyak pihak ingin hadir dan menjadi saksi peristiwa

bersejarah diadopsinya Paris Agreement.

4.2 Pembagian Peran

4.2.1 Pembentukan Tim Negosiasi dan Tim Sekretariat Delegasi RI

Sebagaimana dalam setiap pertemuan perundingan baik bilateral maupun

konferensi multilateral seperti United Nations, prinsip susunan Delegasi RI

terdiri dari: (a) Ketua Delegasi RI atau Head of Delegation (HoD) dan/atau

Chief Negotiator; (b) Alternate(s) of HoD; dan (c) Anggota.

Lebih lanjut, secara umum peran setiap delegasi terbagi menjadi:

a. Negosiator

Pembentukan Tim Negosiasi sebagai bagian inti dari Delegasi RI. Ditjen

PPI KLHK mengundang keterlibatan perwakilan Kementerian/Lembaga

sebagai Tim Negosiasi yang juga disesuaikan disesuaikan antara

substansi submisi dengan kompetensi K/L. Para wakil K/L yang telah

diajukan oleh instansi masing-masing untuk menjadi Tim Negosiasi

Delegasi RI kemudian diundang secara rutin dalam pertemuan

penyusunan Kertas Posisi.

59

Gambar 4.1 Tim Negosiasi DELRI pada COP21, Desember 2015

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2015)

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2016)

Gambar 4.2 Tim Negosiasi DELRI pada Bonn Session Mei 2016

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

Gambar 4.3 Tim Negosiasi DELRI pada COP23, November 2017

60

Ditjen PPI KLHK mengembangkan tim negosiasi RI secara lebih

terperinci yakni Chief Negotiator, Lead Negotiator, dan anggota,

dengan tanggung jawab:

(i) Chief Negotiator: mengkoordinasikan penyiapan posisi Indonesia,

pelaksanaan tugas Tim Negosiasi selama sesi perundingan dan

penyiapan Laporan Delegasi RI, serta koordinasi dan komunikasi

posisi dengan Parties lain dan organisasi/komunitas terkait.

(ii) Lead Negotiator: Bertanggung jawab dalam penyusunan posisi

Indonesia (mengacu pada guidance yang tertuang dalam

dokumen kertas posisi) terkait isu-isu yang dirundingkan, serta

penyiapan laporan, sesuai bidang penugasan/isu yang menjadi

tanggung jawabnya.

b. Non-negosiator

Adalah anggota delegasi RI yang berkegiatan pada pertemuan non-

perundingan.

c. Sekretariat Delegasi RI

Pembentukan Sekretariat Delegasi RI (Sekdelri) dilakukan untuk

mengkoordinasi kebutuhan logistik DELRI. Tim Sekdelri beranggotakan

staf dari lingkungan Ditjen PPI KLHK dan di luar unit Ditjen PPI KLHK jika

dipandang perlu. Penyelenggaraan Sekretariat Delegasi RI19 dilakukan

menjelang dimulainya sesi perundingan yakni ketika pembentukan

Delegasi RI, selama fasilitasi Delegasi RI, dan paska pelaksanaan

perundingan hingga terlaksananya pertemuan evaluasi partisipasi

Delegasi RI dan komunikasi hasil-hasil perundingan.

Karakteristik pertemuan yang berbeda telah memberi konsekuensi

penugasan peran yang berbeda pula:

a. Untuk perundingan Subsidiary Bodies (SBs):

Mengingat jenis pertemuan yang diselenggarakan dalam setiap sesi

perundingan SB adalah negosiasi, komposisi DelRI merupakan

perwakilan berbagai Kementerian / Lembaga di tingkat pusat dan

beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang ditunjuk sebagai

negosiator. Meski dalam perkembangannya terdapat pertemuan yang

19 Email: [email protected]

61

bersifat non-negosiasi seperti sesi perundingan SBs46 di Mei 2017,

namun secara substansial tetap terkait dengan agendan perundingan.

b. Untuk perundingan COP/CMP/CMA:

Sebagaimana telah disampaikan bahwa dalam setiap penyelenggaraan

COP UNFCCC, jenis pertemuan berupa perundingan (main events) dan

non-perundingan (side events) yang melibatkan elemen-elemen aktor

non-negara (non-state actor) atau Non-Party Stakeholders. Dengan

adanya side event yang melibatkan para pemangku kepentingan dari

berbagai elemen masyarakat, Delegasi RI yang disusun terdiri dari

negosiator dan non-negosiator.

4.2.2 Registrasi

Sifat perundingan UNFCCC adalah tertutup untuk publik (closed). Hal ini

mempersyaratkan bahwa setiap orang yang masuk ke area perundingan

UNFCCC (compound) dalam kapasitas apapun harus mengenakan tanda

atau badge yang diterbitkan oleh Sekretariat UNFCCC.

Sekretariat UNFCCC menetapkan prosedur untuk memperoleh badge

adalah bahwa setiap calon peserta Delegasi harus didaftarkan,

dinominasikan, dan dan dikonfirmasikan (confirmed) melalui NFP for

UNFCCC masing-masing Negara Pihak atau Designated Contac Person

(DCP) ke Sekretariat UNFCCC. Registrasi nama-nama Delegasi RI kepada

Sekretariat UNFCCC dilakukan melalui Online Registration System (ORS)20

untuk mendapatkan Acknowledgement Letter of Nomination dan/atau Visa

Support Letter bagi para calon Delegasi. ORS ini diterapkan mulai tahun

2010 dan data setiap peserta yang telah masuk tersimpan dalam database

ORS Sekretariat UNFCCC. Selanjutnya, tanda masuk atau badge tersebut

dapat diperoleh dengan menukarkan Acknowledgement Letter of

Nomination tersebut di registration desk di lokasi COP.

4.2.3 Badge sebagai Cerminan Peran

UNFCCC berusaha mengakomodasi kehadiran dan keterlibatan non-state

actor yang semakin meningkat pada setiap pertemuan melalui pemberian

badge, yang mencerminkan pembagian peran yakni:

a. Party Delegate (PD), dimaksudkan untuk negosiator;

b. Party Overflow (PO), dimaksudkan untuk non-negosiator.

20 https://onlinereg.unfccc.int/

62

Hingga COP22 tahun 2016, Sekretariat UNFCCC memberikan 2 (dua) jenis

badge yaitu Party Delegate dan Party Overflow.

Pada COP23 tahun 2017, Sekretariat UNFCCC memberikan tambahan

badge berupa Zone Bonn Only (ZBO) dengan pengertian untuk non-

negosiator dan hanya berlaku pada area Bonn Zone. Hal ini mengacu pada

konsep penyelenggaraan COP23 yakni One Conference, Two Zones.

Sebagaimana diketahui, tuan rumah COP23 adalah Fiji yang menjabat COP

Presidency. Mengingat faktor anggaran sebagai kendala, lokasi

penyelenggaraan COP23 (venue) bertempat di Kota Bonn, Jerman sebagai

lokasi markas UNFCCC. Selama COP23, wilayah konferensi (disebut sebagai

compound) diselenggarakan di dua zona, Bula Zone (Zona Bula) dan Bonn

Zone (Zona Bonn). Pendekatan ini berfokus pada integrasi zona yang dekat

untuk memastikan bahwa negosiasi, acara dan pameran dapat terintegrasi

ke dalam satu konferensi. Zona Bula memfasilitasi sesi perundingan, terdiri

dari plenary halls dan juga ruangan pertemuan di World Conference Centre

Bonn (WCCB), UN Campus, dan juga area tambahan di belakang Deutsche

Welle di Kota Bonn. Zona Bonn yang berlokasi di kawasan Taman Rheinaue,

Bonn, mengakomodasi acara yang menampilkan aksi-aksi perubahan iklim,

termasuk high-level events, side events, dan juga pameran yang

diselenggarakan oleh UNFCCC dan Pemerintah Jerman. Zona Bula juga

memfasilitasi beberapa kegiatan media dan juga agenda Paviliun Negara

Pihak. Dengan demikian badge Bonn Zone Only diperuntukkan bagi

peserta untuk berkegiatan di Zona Bonn saja, dan tidak dapat memasuki

Zona Bula.

63

Berikut perimbangan peserta Delegasi Indonesia berdasarkan badge dalam tiga

COP UNFCCC:

Party Delegate35%

Party Overflow65%

DELRI PADA COP21/CMP11 (TAHUN 2015) BERDASARKAN BADGE

Party Delegate28%

Party Overflow72%

DELRI PADA COP22/CMP12 (TAHUN 2016) BERDASARKAN BADGE

Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)

Gambar 4.4 Pengelolaan DELRI pada COP21/CMP11 berdasarkan badge

Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)

Gambar 4.5 Pengelolaan DELRI pada COP22/CMP12 berdasarkan badge

64

Mengingat 4 (empat) sesi perundingan lainnya merupakan sesi Subsidiary Bodies

dan kegiatan bersifat perundingan dengan tidak terdapat penyelenggaraan forum

untuk Non-Party Stakeholders, seluruh Delegasi Negara Pihak termasuk Indonesia

adalah negosiator. Untuk itu, badge adalah Party Delegate.

No. Sesi Perundingan

UNFCCC

Tempat dan Tanggal

Pertemuan

Peserta

DELRI

(terdaftar

dalam ORS)

Party

Delegate

Party

Overflow

Bonn

Zone

Only

1 ADP 2.10 Bonn, Jerman, 31 Agustus

- 4 September 2015

27 27 - -

2 ADP 2.11 Bonn, Jerman, 19 - 23

Oktober 2015

30 30 - -

3 COP-21/CMP-11/SBI-

43/SBSTA-43 (Paris

Climate Change

Conference –

November 2015)

Paris, Perancis, 30

November - 11 Desember

2015

630 220 410 -

4 SBI-44/SBSTA-

44/APA1 (Bonn

Climate Change

Conference in May

2016)

Bonn, Jerman, 16 - 26 Mei

2016

49 49 - -

5 COP-22/CMP-12/SBI-

45/SBSTA-45/APA1.2

(Marrakech Climate

Marakesh, Maroko, 7 - 18

November 2016

490 139 351 -

Party Delegate29%

Party Overflow22%

Bonn Zone Only49%

DELRI PADA COP23/CMP13/CMA1.2 (TAHUN 2017) BERDASARKAN BADGE

Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)

Gambar 4.6 Pengelolaan DELRI pada COP23/CMP13/CMA1.3 berdasarkan badge

65

Change Conference-

November 2016)

6 SBI-46/SBSTA-

46/APA1.3

(Bonn Climate Change

Conference in May

2017)

Bonn, Jerman, 8 - 18 Mei

2017

67 67 - -

7 COP-23/CMP-1/SBI-

47/SBSTA-47/APA1.4

(United Nations

Climate Change

Conference –

November 2017)

Bonn, Jerman, 6 - 17

November 2017

577 165 130 282

4.3 Perimbangan Gender

Dengan masuknya gender sebagai salah satu agenda resmi COP UNFCCC

yang dimulai di COP21, dorongan terhadap gender balance, khususnya

dorongan perempuan untuk menjadi negosiator di delegasi tiap Negara

Pihak dan yang menduduki posisi pada jabatan-jabatan kunci pada

Subsidiary Bodies serta organisasi terkait semakin besar.

Untuk Indonesia, jumlah perempuan dalam Delegasi Indonesia dalam tiga

COP masih sekitar sepertiga dari total jumlah Delegasi Indonesia.

Sementara untuk sesi perundingan subsidiary bodies, jumlah negosiator

perempuan adalah hampir separuh dari jumlah total Delegasi Indonesia.

Adalah hal yang membanggakan untuk Indonesia bahwa posisi decision

maker utama terkait pengendalian perubahan iklim di Indonesia, yaitu

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Direktur Jenderal

Pengendalian Perubahan Iklim selaku NFP for UNFCCC dan selaku chief

negotiator, keduanya adalah perempuan.

Berikut adalah profil perimbangan laki-laki dan perempuan dalam sesi

perundingan tiga COP:

Tabel 4.1 Delegasi Republik Indonesia pada 7 Sesi Perundingan UNFCCC (2015 – 2017)

Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015 – 2017))

66

Laki-laki70%

Perempuan30%

DELRI PADA COP21/CMP11 (2015) BERDASARKAN JENIS KELAMIN

Laki-laki68%

Perempuan32%

DELRI PADA COP22/CMP12 (TAHUN 2016) BERDASARKAN JENIS KELAMIN

Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)

Gambar 4.7 Pengelolaan DELRI pada COP21/CMP11 berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2016)

Gambar 4.8 Pengelolaan DELRI pada COP22/CMP12 berdasarkan Jenis Kelamin

67

Berikutnya adalah profil perimbangan laki-laki dan perempuan dalam sesi

perundingan empat pertemuan subsidiary bodies selama rentang waktu

2,5 tahun:

Laki-laki64%

Perempuan36%

DELEGASI RI PADA COP23/CMP13/CMA1.2 (TAHUN 2017) BERDASARKAN JENIS

KELAMIN

Laki-Laki56%

Perempuan44%

DELEGASI RI PADA ADP2.10 (31 AUG - 4 SEPT 2015)

BERDASARKAN JENIS KELAMIN

Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2017)

Gambar 4.9 Pengelolaan DELRI pada COP23/CMP13/CMA1.3 berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)

Gambar 4.10 Pengelolaan DELRI pada ADP2.10 berdasarkan Jenis Kelamin

68

Laki-laki57%

Perempuan43%

DELEGASI RI PADA ADP2.11 (19-23 OKT 2015) BERDASARKAN JENIS KELAMIN

Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2015)

Gambar 4.11 Pengelolaan DELRI pada ADP2.11 berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2016)

Gambar 4.12 Pengelolaan DELRI pada SBI44/SBSTA44/APA1.2 berdasarkan Jenis Kelamin

Laki-laki57%

Perempuan43%

DELEGASI RI PADA SBI44/SBSTA44 (16-26 MEI 2016) BERDASARKAN JENIS KELAMIN

69

4.4 Kantor Delegasi Republik Indonesia

Dalam setiap sesi perundingan baik COP maupun Subsidiary Bodies,

Sekretariat UNFCCC penyediakan fasilitas penyewaan area kantor delegasi

bagi semua Negara Pihak. Indonesia selalu memanfaatkan fasilitas

penyewaan tersebut pada setiap penyelenggaraan COP. Dalam tiga kali COP,

Indonesia menyelenggarakan Kantor Delegasi RI pada COP21, COP22 dan

COP23. Penyelenggaraan Kantor Delegasi RI bertujuan sebagai penyediaan

sarana fisik ruang interaktif seluruh Delegasi RI. Penyediaan ruang kantor

Delegasi RI pada setiap COP melalui event organizer (EO) yang ditunjuk

langsung oleh Sekretariat UNFCCC.

Penyelenggaraan kantor delegasi terdiri dari:

a. Pengadaan space (ruang dan pendirian dinding bangunan non-

permanen);

b. Pengadaan amenities, yaitu perlengkapan seperti furnitur mencakup

meja, kursi, almari, pencahayaan (lighting), perlistrikkan (electricity),

jaringan internet termasuk wi-fi, tata suara (sound system), peralatan

kantor dari mesin fotokopi/fax/scanner, laptop/PC, projector, printer

Laki-laki42%

Perempuan58%

DELEGASI RI PADA SBI46/SBSTA46 (8-18 MEI 2017) BERDASARKAN JENIS KELAMIN

Sumber: ORS UNFCCC – Indonesia (KLHK, 2016)

Gambar 4.13 Pengelolaan DELRI pada SBI46/SBSTA46/APA1.3 berdasarkan Jenis Kelamin

70

hingga stationery seperti spidol, ballpoint, pensil dan lainnya, juga lemari

es/kulkas, dan dekorasi (tanaman pot).

Kebijakan yang dilakukan dalam penyelenggaraan tiga kali COP yang telah

dilalui, pendanaan untuk penyelenggaraan Kantor Delegasi Republik

Indonesia adalah bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara

(APBN). Prosedur pembayaran yang dilaksanakan selama ini adalah melalui

sistem pembayaran langsung (LS) ataupun dengan Non-LS.

4.5 Paviliun Indonesia

Dalam pencapaian misi yang diemban oleh Delegasi Indonesia pada setiap

sesi COP selalu didasarkan pada 2 (dua) jalur:

a. Hard diplomacy – diplomasi di forum resmi perundingan

b. Soft diplomacy – diplomasi melalui kampanye dan outreach.

Strategi soft diplomacy ini diwujudkan melalui penyelenggaraan Paviliun

Indonesia, memanfaatkan fasilitas alokasi parallel events untuk party dan

observer yang disediakan oleh Sekretariat UNFCCC dalam rangka

mengakomodasi keterlibatan Non-State Actor dan NonParty Stakeholder

untuk terlibat dalam COP.

Melanjutkan dari COP sebelumnya, Pemerintah Indonesia juga

menyelenggarakan Paviliun Indonesia dalam COP21, COP22, dan COP23.

Mengingat penyelenggaraan Paviliun Indonesia menyerap resources

tersendiri yang besar baik dari aspek SDM, dukungan finansial, dan waktu,

pengelolaan Paviliun Indonesia dalam COP21, COP22, dan COP23

sepenuhnya berada dalam koordinasi Sekretariat Jenderal KLHK, dengan

Sekretaris Jenderal KLHK selaku Koordinator penyelenggaraan Paviliun

Indonesia melalui Staf Ahli MENLHK Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam

selaku Penanggung Jawab penyelenggaraan Paviliun Indonesia.

71

Sumber: Tim Paviliun Indonesia (KLHK, 2017)

Gambar 4.16 Acara Penutupan Paviliun Indonesia pada COP23

Sumber: Ditjen. PPI (KLHK, 2017)

Gambar 4.14 Pembukaan Paviliun Indonesia pada COP23

Gambar 4.15 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada

Salah Satu Sesi di Pavilion COP23

Sumber: Tim Paviliun Indonesia (KLHK, 2017)

72

Guna menjaga kesinambungan misi Delegasi Indonesia yang diperjuangkan

dalam forum negosiasi dengan materi substansi yang digelar di Paviliun Indonesia,

tema maupun sub tema Paviliun Indonesia selalu disesuaikan dengan isu

substansial yang mengemuka untuk setiap COP:

1. COP21

Pemerintah Indonesia telah menetapkan tema utama Paviliun Indonesia pada

COP21 yaitu Solutions to Climate Change, dengan sub tema: Sustainable

Landscape Management, Renewable Energy and Energy Efficiency, Smart

Cities & Green Industries, Climate Resilience (food, energy, water). Informasi

rinci terkait kegiatan komprehensif Paviliun Indonesia pada COP21 dapat

dilihat pada laman: http://indonesiaunfccc.com/COP21-CMP11-paris-france-

2015/

2. COP22

Paviliun Indonesia pada COP22 mengambil tema Empowering Innovation and

Enhancing Climate Change Actions for Sustainable Development. Untuk lebih

lengkapnya, dapat dilihat pada laman http://indonesiaunfccc.com/indonesia-

pavilion-venue/

3. COP23

Penyelenggaraan Paviliun Indonesia dalam rangkaian COP23 bertema A

Smarter World: Collective Actions for Changing Climate. Tema ini memiliki 4

(empat) alur utama, yaitu: Policy Works, Operational Works, Societal Works,

dan juga Collaborative Works. Keterangan lebih rinci dapat dilihat pada laman

http://indonesiaunfccc.com/event-schedule-2017/

Dalam rangka mengakomodasi berbagai inisiatif mitigasi dan adaptasi yang telah

dilakukan oleh Pemerintah dan berbagai unsur masyarakat, berbagai jenis

kegiatan Paviliun Indonesia meliputi: sesi seminar/workshop, sesi dialog dengan

eminent person tingkat global dan nasional, multimedia interaktif, pertunjukan

seni budaya tari dan musik, dan ekshibisi kuliner dan cindera mata.

73

74

BAGIAN 5

PENUTUP

Sejarah telah mencatat bahwa tiga tahun dari 2015 hingga 2017 merupakan tahun

signifikan dalam pengendalian perubahan iklim, khususnya aspek negosiasi

global, mengingat perubahan dan perkembangan signifikan yang terjadi tidak

hanya di tingkat nasional namun juga tingkat global.

Dalam kurun waktu tiga tahun tersebut, Ditjen PPI KLHK selaku NFP For UNFCCC

telah melakukan pengelolaan terhadap 7 (tujuh) perundingan UNFCCC yang

terdiri 3 (tiga) sesi perundingan Conference of the Parties (COP) dan 4 (empat) sesi

perundingan Subsidiary Bodies (SBs).

Pengertian pengelolaan perundingan UNFCCC mencakup 2 (dua) aspek:

(a) pengelolaan substansi,

(b) pengelolaan delegasi.

Dalam pengelolaan substansi, penekanan dilakukan dengan kombinasi pada isu-

isu tematik sesuai agenda perundingan dan isu-isu tematik yang strategis serta

krusial bagi posisi Indonesia. Output pengelolaan substansi yang dihasilkan untuk

satu siklus perundingan meliputi: (a) submisi dan statement, (b) Kertas Posisi

Indonesia, (c) Pedoman Delegasi, (d) Berita Faksimil, dan (e) Laporan Delegasi RI.

Dalam pengelolaan delegasi, prinsip yang diterapkan adalah (a) membuka

partisipasi dari berbagai elemen para pemangku kepentingan seluas-luasnya, dan

(b) mengakomodasi seluruh anggota delegasi agar dapat berperan dan

berkontribusi dalam pencapaian misi Delegasi RI pada setiap sesi perundingan

melalui jalur diplomasi di meja perundingan maupun soft diplomacy pada acara-

acara outreach dan kampanye.

Fokus substansi perubahan iklim, sebagaimana tujuan Kerangka Konvensi

Perubahan Iklim untuk menjaga kestabilan temperatur global pada tingkat yang

mentolerir untuk kehidupan mahluk hidup, tetap pada tingkat emisi gas rumah

75

kaca nasional dan global, aksi mitigasi dan adaptasi, serta berbagai dukungan

implementasi mitigasi-adaptasi berupa finansial, peningkatan kapasitas dan

pengembangan dan transfer teknologi. Namun pembahasan dalam perundingan

dari waktu ke waktu mengalami perkembangan titik penekanan antara lain akibat

keterkaitan perubahan iklim dengan berbagai isu-isu baik lingkungan maupun

non-lingkungan yang mengglobal. Hal ini berimplikasi salah satunya pada

cakupan substansi yang masuk ke agenda perundingan juga semakin beragam.

Pada gilirannya membawa konsekuensi bahwa pengelolaan substansi dan

delegasi ke depan perlu lebih mempertimbangkan resources yang ada dan

memerlukan perubahan strategi pengelolaan yang fleksibel dalam mengantisipasi

berbagai perkembangan tersebut.

Tantangan lain adalah internalisasi hasil-hasil perundingan di tingkat nasional dan

sub-nasional, serta ke berbagai unsur pemangku kepentingan. Tren peningkatan

jumlah negosiator dengan keragaman asal Kementerian/Lembaga yang terlibat

dalam Delegasi RI selama kurun tiga tahun tersebut dapat menjadi indikasi bahwa

internalisasi substansi perundingan perubahan iklim telah memperlihatkan hasil.

Akan tetapi tantangan yang lebih besar adalah pengarusutamaan keputusan-

keputusan perundingan yang bersifat mengikat dan jelas-jelas berdampak

terhadap pembangunan nasional ke depan. Penanganan perubahan iklim dapat

sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana spirit penyelenggaraan One

Planet Summit di Paris pada Desember 2017.

76

LAMPIRAN

Tabel 1 – Daftar Penyampaian Statement Indonesia pada Sesi Perundingan UNFCCC

Tahun No. Penyampaian Statement

Sesi Perundingan

UNFCCC Tahun 2015

1 Statement of Indonesia at Opening Plenary COP21

2 Statement of Indonesia at Opening Plenary ADP2.12

3 Statement of Indonesia at High-Level Segment

4 Statement of Indonesia at Closing Plenary of COP21

5 Statement Indonesia pada Pertemuan Kepala Negara / Kepala Pemerintahan

yang mengawali COP21

Sesi Perundingan

UNFCCC Tahun 2016

6 Statement of Indonesia at 1st APA Contact Group on Agenda Item 3

7 Statement of Indonesia at 1st APA Contact Group on Agenda Item 5

8 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 3

9 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 4

10 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 5

11 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 6

12 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 7

13 Statement of Indonesia at 1st APA Informal Consultation on Agenda Item 8

14 Statement of Indonesia at Closing of the 1st APA

15 Statement of Indonesia at Opening Plenary COP22

16 Statement of Indonesia at Opening Plenary SBSTA 45

17 Statement of Indonesia at Opening Plenary APA 1.2

18 Statement of Indonesia at Closing Plenary SBI45

19 Statement of Indonesia at Closing Plenary APA 1.2

20 Statement of Indonesia at High-Level Segment COP22

Sesi Perundingan

UNFCCC Tahun 2017

21 Statement of Indonesia at Opening Plenary APA1.3

22 Statement of Indonesia at 2nd Contact Group of APA1.3

23 Statement of Indonesia at Open-Ended Informal Consultation on the 2018

Facilitative Dialogue

24 Statement of Indonesia at Closing Plenary SBSTA46

25 Statement of Indonesia at Joint Plenary of47th SBI and SBSTA

26 Statement of Indonesia at Opening Plenary of APA1.4

27 Statement of Indonesia at Contact Group of APA1.4

28 Statement of Indonesia at High-Level Segment of COP23

29 Statement of Indonesia at Closing Plenary of COP23

No. Penyampaian Submisi

Sesi

Perundingan

UNFCCC Tahun

2015

1 Input for Reflection Note of ADP Contact Group

2 Dokumen INDC

3 Dokumen FREL – REDD+

Sesi

Perundingan

UNFCCC Tahun

2016

4 Dokumen 1st BUR

5 Dokumen 1st NDC

6 Views on matters to be addressed at the in-session workshops on gender-responsive

climate policy with a focus on adaptation and capacity-building, and training for

delegates on gender issues

7 Views on the development of modalities for the accounting of financial resources

provided and mobilized through public interventions in accordance with Article 9,

paragraph 7, of the Paris Agreement

8 Views on the annual focus area or theme for the Paris Committee on Capacity-

building for 2017

9 Information on recent work in the area of climate impacts on human health, including

changes in the geographical distribution of diseases; new and emerging health issues,

including tropical diseases and their impacts on social and economic structures, as

well as the issues of malnutrition, waterborne diseases, vector-borne diseases and

disaster impacts; and the effects of climate change on health and productivity in the

workplace, with implications for occupational helath, safety and social protection

10 Views on advice on how the assessments of the IPCC can inform the global stocktake,

bearing in mind the time frame of the sixth IPCC assessment cycle

11 Elaboration of the Technology Framework

12 Views on the terms of reference for the review of the functions of the Standing

Committee on Finance.

13 Matters relating to the global stocktake referred to in Article 14 of the Paris

Agreement

14 Views on guidance on cooperative approaches referred to in Article 6, paragraph 2, of

the Paris Agreement

15 Views on the work programme under the framework for non-market approaches

referred to in Article 6, paragraph 8, of the Paris Agreement

16 Views on rules, modalities and procedures for the mechanism established by Article 6,

paragraph 4, of the Paris Agreement

17 Further guidance in relation to the mitigation section of decision 1/CP.21

18 Further guidance in relation to the adaptation communication, including, inter alia, as

a component of nationally determined contributions

19 Modalities, procedures and guidelines for the transparency framework for action and

support referred to in Article 13 of the Paris Agreement

Sesi

Perundingan

20 Views on the scope and modalities for the periodic assessment of the Technology

Mechanism

21 Dialogue on Action for Climate Empowerment

Tabel 2 – Daftar Penyampaian Submisi Indonesia pada Sesi Perundingan UNFCCC

78

UNFCCC Tahun

2017

22 Information in relation to adaptation planning processes that address ecosystems and

interrelated areas such as water resources; lessons learned and good practices in

monitoring and evaluating the implementation of ecosystem-based adaptation; and

tools for assessing the benefits of mitigation and adaptation to enhancing resilience

and emission reductions that ecosystem-based adaptation provides.

23 Views on the questions identified for item 5. See document FCCC/APA/2016/L.4,

paragraph 15 a-d

24 Views on opportunities to further enhance the effective engagement of non-Party

stakeholders with a view to strengthening the implementation of the provisions of

decision 1/CP.21

25 Views on the review of the functions of the Standing Committee on Finance based on

the terms of reference contained in the annex to decision 9/CP.22

26 Views on guidance on cooperative approaches referred to in Article 6, paragraph 2, of

the Paris Agreement

27 Views on the work programme under the framework for non-market approaches

referred to in Article 6, paragraph 8, of the Paris Agreement

28 Item 4, Further guidance in relation to the adaptation communication, including, inter

alia, as a component of nationally determined contributions, referred to in Article 7,

paragraphs 10 and 11, of the PA

29 Item 7: Modalities and procedures for the effective operation of the committee to

facilitate implementation and promote compliance referred to in Article 15, paragraph

2, of the Paris Agreement

30 Item 3: Further guidance in relation to the mitigation section of decision 1/CP.21

31 Views on the third review of the Adaptation Fund, based on the terms of reference in

the annex decision 1/CMP.12

32 Views on issues discussed under agenda item 6, taking into consideration the

questions identified by Parties as relevant for this item. For the questions see

document FCCC/APA/2016/L.4, paragraph 17 a-h.

33 Views and recommendations on the elements to be taken into account in developing

guidance to the Global Environment Facility

34 Views and recommendations on the elements to be taken into account in developing

guidance to the Green Climate Fund

35 Item 3: Further guidance in relation to the mitigation section of decision 1/CP.21

36 Item 4: Further guidance in relation to the adaptation communication, including, inter

alia, as a component of nationally determined contributions, referred to in Article 7,

paragraphs 10 and 11, of the PA

37 Views on issues under agenda item 7: Modalities and procedures for the effective

operation of the committee to facilitate implementation and promote compliance

referred to in Article 15, paragraph 2, of the Paris Agreement

38 Information on topics such as good practices, lessons learned and available tools and

methods, based on recent work in the area of human settlements and adaptation

39 Information on lessons learned and good practices in relation to adaptation actions

and plans that could enhance economic diversification and have mitigation co-

benefits.

40 Development of modalities and procedures for the operation and use of a public

registry referred to in Article 4, paragraph 12, of the Paris Agreement

79

41 Views on the modalities and procedures of a public registry referred to in Article 7,

paragraph 12, of the Paris Agreement, including on possible linkages.

42 Views, based on the discussion and the reflections note, on concrete elements of the

modalities, work programme and functions under the Paris Agreement of the forum

on the impact of the implementation of response measures.

43 Views on issues under agenda item 5:Modalities, procedures and guidelines for the

transparency framework for action and support referred to in Article 13 of the Paris

Agreement

44 Item 6: Matters relating to the global stocktake referred to in Article 14 of the Paris

Agreement: (a) identification of the sources of input for the global stocktake; and (b)

development of the modalities of the global stocktake

45 Voluntary submissions on all SBI matters

KEMENTER I AN L I NGKUNGAN H IDUP DAN KEHUTANAN

D IREK TORAT J ENDERA L PENGENDA L I AN PERUBAHAN I K L IM

GEDUNG MANGGA LA WANABAKT I B LOK V I I L T . 1 2

J L . J END . GATOT SUBROTO - J AKARTA PUSA T 1 0 2 7 0

T E L P . 02 1 - 5 7 3 0 1 4 4 , FAX . 02 1 - 5 7 2 0 1 9 4

WWW .D I T J ENPP I .MENLHK .GO . I D

Ema i l : s e t d i t j e n pp i@gma i l . c om a t a u

s e t d i t j e n pp i@men l h k .g o . i d