P O L I C Y P A P E R - Pusat Penelitian Ekonomi LIPI...dijual di e-commerce Indonesia merupakan...
Transcript of P O L I C Y P A P E R - Pusat Penelitian Ekonomi LIPI...dijual di e-commerce Indonesia merupakan...
SERBUAN PRODUK IMPOR DAN PENJUAL ASING PADAE-COMMERCE INDONESIA:PERMASALAHAN DAN UPAYA PENYELESAIAANNYA
P O L I C Y P A P E R
T IM PENEL IT INika Pranata, Zamroni Salim, Endang Sri Soesilowati, Carunia Mulya Firdausi, Yani Mulyaningsih, Achsanah Hidayatina, Nur Firdaus, Erla Mychelisda, Reninta Dewi Nugrahaeni
PUSAT PENEL IT IAN EKONOMILEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
1
Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan e-commerce memberikan kontribusi signifikan
bagi perekonomian Indonesia. Untuk e-commerce formal0F1 saja, Bank Indonesia mencatat
bahwa nilai transaksinya mencapai lebih dari Rp 77 triliun pada tahun 2018 dimana capaian
tersebut meningkat 151% dari tahun sebelumnya (Daniel, 2019). Menariknya, nilai transaksi
tersebut hanya 2,4% dari total transaksi penjualan ritel (Poller, 2018). Hal tersebut
membuat McKinsey & Company (2018), dalam laporan mereka, memproyeksikan bahwa
pada tahun 2022 nilai transaksi e-commerce akan meningkat lebih dari delapan kali
lipat hingga mencapai Rp 778-920 triliun.
Selain itu, dari sisi penyerapan tenaga kerja, e-commerce mampu menyerap 4 juta pekerja
dan diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 26 juta pada tahun 2022. Meskipun e-
commerce memiliki kontribusi signifikan dan potensi besar bagi perekonomian negara,
namun, e-commerce di Indonesia juga menghadapi beberapa tantangan, terutama dalam
kaitannya dengan perdagangan lintas batas (cross border e-commerce).
Maraknya Produk Impor Melalui E-Commerce
Di era perdagangan tanpa batas ini, pergerakan barang dan jasa menjadi mudah dan tak
terhindarkan. Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa sekitar 90% dari produk yang
dijual di e-commerce Indonesia merupakan barang yang diimpor dari negara
lain (Pebrianto, 2018). Tentu saja, kondisi ini menjadi kendala besar bagi produsen
Indonesia. Tidak hanya mengancam produsen, e-commerce di era lintas batas saat ini
menimbulkan ancaman baru bagi para penjual online di Indonesia. Bahkan, konsumen
individupun dapat menjadi importir dan membeli produk atau layanan dari luar negeri
secara langsung.
Saat ini, setidaknya ada tiga marketplace besar di Indonesia yang menyediakan fasilitas
bagi penjual dari Tiongkok untuk menjual barangnya melalui platform mereka. Sebagai
contoh Lazada memiliki platform khusus yang memungkinkan pembeli untuk membeli
langsung dari e-commerce terbesar di Cina, Taobao. Fasilitas serupa juga disediakan oleh
Shopee dengan platform globalnya dan JD.ID yang bekerjasama dengan Jingdong. Selain
itu, salah marketplace milik BUMN yaitu Blanja.com juga memfasilitasi pembeli Indonesia
1 E-commerce formal adalah transaksi jual beli yang dilakukan melalui marketplace resmi seperti Tokopedia, Bukalapak, dll. Sedangkan e-commerce informal umumnya transaksi dilakukan dengan menggunakan media sosial seperti Facebook, Instagram, Whatsapp, dll.
2
untuk berbelanja di E-Bay Amerika Serikat melalui platform mereka. Tidak hanya itu,
bahkan tanpa fasilitas dari marketplace Indonesia pun, pembeli individu Indonesia dapat
mengimpor produk asing secara langsung dari platform e-commerce asing
seperti AliExpress, Taobao, dan Banggood dari Tiongkok, Amazon dan E-Bay dari Amerika
Serikat, Rakuten dan Amazon dari Jepang, serta beberapa platform e-commerce dari
negara lain.
Akibat dari berbagai kemudahan akses produk luar negeri masuk ke Indonesia melalui e-
commerce tersebut, Direktorat Jenderal Bea Cukai mencatat terjadinya perkembangan
signifikan barang kiriman dari luat negeri melalui e-commerce. Pada 2018, Lebih dari 96%
transaksi impor consignment goods (CG) dilakukan melalui e-commerce. Lebih jauh,
pertumbuhan jumlah CG melalui e-commerce tumbuh rata – rata 10,5% per bulan,
sedangkan dari sisi nilai transaksi tumbuh 21,9% per tahun (PKN STAN, 2018).
Pesatnya impor produk melalui e-commerce disebabkan oleh berbagai faktor. Dari sisi
permintaan, berdasarkan survey online yang kami lakukan kepada 1626 responden di
seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari 806 penjual online dan 820 pembeli online,
terdapat dua pertimbangan utama mengapa mereka membeli produk dari luar negeri.
Pertama adalah karena produk tersebut tidak ada atau langka di dalam negeri, dan kedua
adalah karena harga barang di luar negeri lebih murah.
Dari sisi supply, selain lengkapnya produk yang ditawarkan, khusus barang – barang dari
marketplace Tiongkok, mayoritas penjual tidak mengenakan ongkos kirim atau gratis. Di
Indonesia, ongkos kirim gratis umumnya hanya ketika ada promosi. Keberhasilan Tiongkok
dalam menekan ongkos kirim adalah berkat peran pemerintahnya yang sangat
mendukung perkembangan e-commerce seperti menjalin kerjasama dengan ekspedisi
global seperti Sing Post, memberikan subsidi ongkos kirim, membangun Kawasan khusus
perdagangan lintas batas untuk e-commerce, dan meningkatkan jaringan logistik.
Terakhir, dari sisi regulasi, terdapat suatu praktik ketidakadilan antara perdagangan dalam
negeri dengan impor barang dari e-commerce. Di dalam negeri, umumnya segala bentuk
transaksi jual beli dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% terlepas dari harga
barangnya. Sedangkan, pada transaksi impor barang dari e-commerce global atau yang
dikenal Dirjen Bea Cukai dengan istilah barang kiriman, berdasarkan Peraturan Menteri
3
Keuangan (PMK) Nomor 112 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas PMK 182 Tahun 2016
tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman, produk dengan nilai dibawah 75 Dolar AS tidak
dikenakan bea masuk dan pajak apapun, termasuk PPN. Hanya produk dengan nilai setara
75 Dolar AS yang dikenakan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI). Hal ini tentu
menciptakan ketidaksetaraan dalam menjalankan bisnis antara penjual online dalam
negeri dengan luar negeri. Dengan harga yang sama, ketentuan ini akan membuat produk
impor menjadi lebih murah, apalagi jika produk tersebut bebas dari ongkos kirim.
Longgarnya regulasi tersebut juga menciptakan ketidaksetaraan antara penjual yang
mengimpor secara resmi dengan praktik ‘jasa titip’ atau yang dikenal dengan jastip. Jastip
merupakan layanan perantara yang dilakukan oleh individu yang berperan membeli barang
– barang dari luar negeri bagi pemesan dengan membawa langsung (hand-carry) dengan
menggunakan pesawat terbang atau moda transportasi lainnya dengan imbalan tertentu.
Dengan membawa langsung secara individu, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh
Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut, maka barang bawaan tersebut tidak dikenakan
pajak dalam rangka impor jika nilainya dibawah 500 dollar AS per orang. Sedangkan
penjual yang melakukan impor secara resmi dikenakan pajak dalam rangka impor sesuai
dengan aturan yang berlaku.
Lebih lanjut, terkait dengan fakta – fakta tersebut, kami menginvestigasi dampaknya
kepada penjual online dalam negeri. Berdasarkan hasil survey, kami menemukan bahwa
para penjual online merasa persaingan di e-commerce Indonesia saat ini sangat ketat
dengan nilai dengan nilai rata-rata 4,3 (1 = tidak ketat sama sekali, 5 = sangat
ketat). Menurut mereka, di tengah sangat kompetitifnya persaingan saat ini, dengan
adanya persaingan global dari penjual asing membuat persaingan menjadi semakin sengit
dan dapat mengancam keberlangsungan bisnis mereka. Sebagian dari mereka bahkan
mengaku mengalami penurunan omset. Secara lengkap, beberapa hal yang membuat
persaingan semakin ketat menurut jawaban para penjual adalah akibat dari persaingan
harga (87,6%), jumlah penjual yang sangat banyak (63,4%), persaingan dengan produk
bermerek (54,8%), persaingan dengan produk impor (44,8%), dan aspek lainnya (0,9%).
4
Belajar dari Tiongkok
Berkaitan dengan perlindungan dalam negeri, Tiongkok, yang notabene merupakan
negara dengan keunggulan komparatif pada perdagangan internasional pun tetap
melakukan proteksi pada penjual lokalnya dengan menerapkan batasan impor. Bahkan
ketika Pemerintah Tiongkok mengubah kebijakan ekonomi negaranya dari pertumbuhan
ekonomi berbasis ekspor menjadi berbasis konsumsi domestik dimana mereka
mempermudah impor, mereka hanya meningkatkan batasan impor dari 2.000 yuan (~Rp4
juta) per satu kali transaksi menjadi 5.000 yuan (~Rp 10juta) per satu kali transaksi dan
batas akumulasi tahunan dari 20.000 yuan per tahun (~Rp42 juta) menjadi 26.000 yuan
per tahun (~Rp52 juta).
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, di Indonesia juga terdapat batasan
pengenaan pajak dalam rangka impor yaitu, 75 dollar AS per satu transaksi/invoice. Namun,
tidak seperti di Tiongkok, di Indonesia tidak ada batasan akumulasi nilai transaksi tahunan.
Hal ini menyebabkan praktik – praktik penyalahgunaan aturan dimana pelaku import
memecah transaksi menjadi beberapa invoice (split shipment) dengan masing – masing
invoice dibawah 75 Dollar AS.
Kemudian, jika di Indonesia transaksi impor dengan nilai dibawah 75 Dollar AS tidak
dikenakan pajak dalam rangka impor, termasuk PPN, di Tiongkok sekecil apapun nilai
transaksinya, akan tetap dikenakan PPN atau VAT sebesar 9% atau 13%. Umumnya PPN yang
dikenakan adalah 13%, sedangkan tarif 9% dikenakan pada produk – produk pertanian. Oleh
karena itu, dalam hal ini terdapat perbedaan penerapan nilai ambang batas. Jika di
Indonesia, transaksi impor dengan nilai dibawah ambang batas dibebaskan dari segala
jenis pungutan, sedangkan di Tiongkok transaksi impor dengan nilai dibawah ambang
batas hanya dibebaskan dari bea masuk dan tetap dikenakan PPN dan pajak konsumsi.
Berikutnya, terkait jastip, di Tiongkok praktik ini telah berjalan dengan cukup lama dan
berkembang dengan sangat pesat. Di negara tersebut praktik ini dikenal dengan sebutan
daigou atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘membeli atas nama’. Umumnya yang
berperan sebagai daigou adalah para pelajar yang kuliah di luar negeri, diaspora, dan turis
yang sedang berwisata ke luar negeri. Pesatnya perkembangan daigou adalah berkat
pemesenan barang yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan harga barang yang lebih
5
murah 20-40% daripada barang yang dijual didalam negeri. Murahnya harga barang
tersebut salah satu faktor utamanya adalah karena para daigou tersebut tidak membayar
bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
Transaksi yang dilakukan oleh daigou di Tiongkok tergolong signifikan. Pada 2016,
Lembaga Konsultan Bain memperkirakan terdapat sekitar 1 juta daigou yang tersebar di
berbagai belahan dunia dengan total nilai transaksi berkisar 43 milyar yuan (Rp Mengingat
banyaknya potensi pemasukan yang hilang dari praktik yang tergolong dalam area abu-
abu ini, pemerintah Tiongkok mulai bertindak tegas dengan mengeluarkan regulasi yang
mewajibkan daigou untuk mendaftar dan mempunyai izin resmi baik dari pemerintah
Tiongkok maupun dari negara asal barang.
Mereka juga diwajibkan untuk melaporkan pembayaran pajaknya. Pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut termasuk kedalam tindakan kriminal, para pelanggar baik platform e-
commerce maupun daigounya terancam hukuman penjara dan masing – masing akan
dikenakan denda hingga 2 juta yuan (~Rp4 Miliar) bagi platformnya dan 500 ribu yuan (~Rp
1 Miliar) bagi daigou. Belum lama ini, terdapat seorang daigou yang menyelundupkan jam
tangan bermerk dengan nilai total mencapai 2,75 juta yuan (~ Rp5,5 miliar). Diperkirakan
orang tersebut akan didenda hingga 200 ribu yuan (~ Rp400 juta) dan terancam hukuman
penjara hingga 10 tahun (Pan, 2019).
Rekomendasi Kebijakan
Untuk mengatasi beberapa permasalahan diatas, berdasarkan beberapa temuan
penelitian dan pembelajaran dari kasus Tiongkok, maka kami merumuskan empat
kebijakan spesifik dimana keempat rekomendasi tersebut ditujukan utamanya kepada
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Pertama, demi menciptakan keadilan antara transaksi jual beli dalam negeri dan transaksi
impor serta melindungi penjual lokal, maka seharusnya pemerintah mengenakan PPN
sebesar 10% untuk semua nilai transaksi tanpa ada batas minimum. Kedua, untuk
mengerem laju impor melalui e-commerce yang tumbuh dengan pesat dalam rangka
memproteksi penjual dalam negeri, maka sudah selayaknya pemerintah menerapkan
6
kuota atau batas akumulasi nilai impor dalam setahun sebagaimana yang diterapkan di
Tiongkok. Hal ini juga untuk menghindari praktik memecah transaksi menjadi beberapa
invoice (split shipment) dengan masing – masing invoice dibawah 75 Dollar AS untuk
menghindari pajak dalam rangka impor. Kedua rekomendasi tersebut, bisa diterapkan
dengan merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112 Tahun 2018 tentang
Perubahan Atas PMK 182 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman.
Ketiga, dalam rangka untuk menciptakan perlakuan bisnis yang setara antara penjual
online yang melakukan impor secara resmi dengan penyedia jastip serta menghindari
potensi kehilangan penerimaan negara dari bea masuk dan pajak dalam rangka impor,
maka sudah waktunya pemerintah untuk melegalkan jastip dan mewajibkan mereka
memiliki NPWP, terdaftar secara resmi, dan melaporkan pembayaran pajaknya seperti
yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok. Untuk meningkatkan efektifitas penerapan
regulasi, maka pemerintah juga sebaiknya memberikan sanksi (pidana dan/atau perdata)
bagi para pelanggar.
Keempat, guna meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak dalam rangka impor,
menghindari praktik – praktik penghindaran pajak (tax evasion), dan meningkatkan waktu
pemrosesan pembayaran serta pemeriksaan barang, maka sebaiknya Dirjen Bea Cukai
menerapkan penghitungan dan pembayaran pajak dalam rangka impor secara real time
dan terintegrasi dengan beberapa marketplace global yang menjadi tujuan utama para
konsumen dari Indonesia seperti Alibaba, Aliexpress, Amazon, dan E-Bay. Ketika pembeli
dari Indonesia berbelanja dari marketplace – marketplace tersebut, sistem yang
diintegrasikan harus mampu untuk langsung menghitung pajak dalam rangka impornya
dan memasukan total pajak yang harus dibayar tersebut kedalam tagihan konsumen. Jika
sistem ini diterapkan, maka diharpkan tingkat kepatuhan dan jumlah penerimaan negara
akan meningkat.
7
PENUTUP
Untuk menerapkan rekomendasi – rekomendasi kebijakan tersebut diperlukan diplomasi
ekonomi internasional dan diplomasi ekonomi domestik. Diplomasi ekonomi internasional
diperlukan untuk menerapkan keempat kebijakan tersebut. Untuk penerapan kebijakan –
kebijakan protektif pada kebijakan pertama, kedua, dan ketiga diperlukan diplomasi
dengan The World Trade Organization (WTO). Sedangkan, untuk rekomendasi kebijakan
keempat diperlukan diplomasi ekonomi dengan marketplace global dan otoritas bea cukai
negara asal marketplace tersebut. Kemudian, diplomasi domestik diperlukan untuk
bersinergi antara Kementerian/Lembaga terkait khususnya antara Dirjen Bea Cukai dan
Kementerian Perdagangan.
Daftar Pustaka
Daniel, W. (2019). Wow! Transaksi e-Commerce RI 2018 Capai Rp 77 T, Lompat 151%. Retrieved April 11, 2019, from CNBC Indonesia website: https://www.cnbcindonesia.com/fintech/20190311101823-37-59800/wow-transaksi-e-commerce-ri-2018-capai-rp-77-t-lompat-151
McKinsey & Company. (2018). The digital archipelago: How online commerce is driving Indonesia’s economic development. (August), 1–72. Retrieved from www.mckinsey.com/featured-insights/asia-pacific/the-digital-archipelago-how-online-
Pan, Y. (2019). A Daigou Arrested for Smuggling $400K Patek Philippe Watch | Jing Daily. Retrieved October 13, 2019, from Jing Daily website: https://jingdaily.com/daigou-patek-philippe/
Pebrianto, F. (2018). Kemenperin: 90 Persen Produk E-Commerce Indonesia Barang Impor - Bisnis Tempo.co. Retrieved February 21, 2019, from Tempo.Co website: https://bisnis.tempo.co/read/1123536/kemenperin-90-persen-produk-e-commerce-indonesia-barang-impor
PKN STAN. (2018). Sharing Information on Customs Policy on E-Commerce. Jakarta.
Poller, D. (2018). Opportunities in the Indonesian E-Commerce Sector. Retrieved from https://israel-trade.net/event-indonesia2018/wp-content/themes/indonesia/files/05-Daniel-Poller.pdf
8
Lampiran 1. Matriks Pemetaan Masalah, Dampak, Pembelajaran dari Tiongkok, dan Rekomendasi Kebijakan
No Masalah Penyebab Dampak Pembelajaran dari Tiongkok Rekomendasi Kebijakan 1 Mudahnya pembeli
Indonesia untuk berbelanja langsung dari luar negeri melalui e-commerce
Berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh marketplace global seperti jenis barang yang lebih lengkap dan bervariasi dan harga barang yang lebih murah
Impor barang melalui e-commerce meningkat dengan pesat yang menjadi ancaman bagi produsen dan penjual online di Indonesia
- 1. Mengenakan PPN sebesar 10% untuk semua nilai transaksi tanpa ada batas minimum* 2. Menerapkan kuota atau batas akumulasi nilai impor dalam setahun* 3. Menerapkan penghitungan dan pembayaran pajak dalam rangka impor secara real time dan terintegrasi dengan beberapa marketplace global
Terdapat setidaknya empat platform e-commerce besar di Indonesia yang menyediakan fasilitas bagi penjual online asing untuk berjualan langsung di marketplace Indonesia Tidak adanya kuota atau batas akumulasi nilai impor dalam setahun
Terjadinya praktik pelanggaran memecah transaksi menjadi beberapa invoice (split shipment) dengan masing – masing invoice dibawah 75 Dollar AS untuk menghindari pajak dalam rangka impor
Menerapkan batas akumulasi impor tahunan per individu sebesar 26.000 yuan per tahun (~Rp52 juta)
2 Ketidaksetaraan perlakuan bisnis dalam hal pengenaan pajak antara transaksi dalam negeri dengan transaksi impor
Dalam transaksi di Indonesia, secara aturan segala jenis transaksi jual beli dikenakan PPN 10% terlepas dari nilai barang/transaksinya. Sedangkan, pada kasus impor, nilai transaksi dibawah 75 dollar AS tidak dikenakan pajak apapun, termasuk PPN
Untuk barang dengan harga yang sama dengan nilai dibawah 75 dollar AS, harga barang didalam negeri akan menjadi lebih mahal daripada dengan barang impor dari luar negeri
Mengenakan PPN sebesar 9 atau 13% untuk segala jenis transaksi, dan mengenakan pajak konsumsi
9
3 Ketidaksetaraan perlakuan bisnis antara penjual yang melakukan impor secara resmi dengan layanan jasa penitipan ('jastip')
Dari sisi regulasi, secara spesifik praktik 'jastip' belum diwajibkan untuk mendaftar dan melaporkan pembayaran pajak secara resmi
Harga barang dari jastip menjadi lebih murah dan penjual yang secara resmi melakukan impor akan kalah bersaing
Mewajibkan penyedia jastip (daigou) untuk mendaftar dan mempunyai izin resmi baik dari pemerintah Tiongkok maupun dari negara asal barang, serta diwajibkan untuk melaporkan pembayaran pajaknya. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut termasuk kedalam tindakan kriminal, para pelanggar baik platform e-commerce maupun daigounya terancam hukuman penjara dan masing – masing akan dikenakan denda hingga 2 juta yuan (~Rp4 Miliar) bagi platformnya dan 500 ribu yuan (~Rp 1 Miliar) bagi daigou.
4. Melegalkan jastip dan mewajibkan mereka memiliki NPWP, terdaftar secara resmi, dan melaporkan pembayaran pajaknya, serta memberikan sanksi (pidana dan/atau perdata) bagi para pelanggar.
Menurunnya potensi penerimaan negara dari pajak dalam rangka impor
Keterangan: * Rekomendasi nomor 1 dan 2 bisa diterapkan dengan merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas PMK
182 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman.