p-ISSN 2354-8568
Transcript of p-ISSN 2354-8568
p-ISSN 2354-8568 e-ISSN 2527-6565
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
Vol.6 No.2, Desember 2018
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Hutan (BP2TPTH). Jurnal ini mempublikasikan hasil-hasil penelitian dari berbagai aspek perbenihan tanaman hutan,
meliputi pembangunan dan pengelolaan sumber benih, biologi reproduksi, ekologi dan biologi benih, teknologi penanganan
benih, teknologi perbanyakan vegetative, kesehatan benih, teknik persemaian, pengujian mutu benih dan bibit, social, ekonomi
dan kebijakan perbenihan. Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan terbit dua kali setahun pada Bulan Agustus dan Desember, dan
telah terakreditasi oleh LIPI (Nomor akreditasi: 789/Akred/P2MI-LIPI/11/2017). Akreditasi berlaku dari Oktober 2017 hingga Oktober 2022.
Penanggung Jawab
Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Wakil Penanggung Jawab
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Dewan Redaksi Ketua Merangkap Anggota
Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si (Silvikultur) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Anggota
Dr. Dra. Dida Syamsuwida, M.Sc (Silvikultur / Produksi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Dr. Dede Jajat Sudrajat, S.Hut, MT (Silvikultur / Teknologi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Dr. Drs. Agus Astho Pramono, M.Si (Silvikultur / Ekologi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Prof. Riset. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si (Silvikultur) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Prof. Riset. Dr. Ir. Budi Leksono, MP (Pemuliaan) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknogi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Mitra Bestari
Dato’ Dr. Marzalina Hj.Mansor (Genetik) Forest Research Institute Malaysia, Kepong, Malaysia
Dr. Ir. Supriyanto (Fisiologi Pohon) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.Sc.F.Trop (Genetik) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Dr. Ir. Muhdin, M.Sc (Statistika) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Dr. Ir. Trimuji Ermayanti (Biotek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indonesia
Prof. Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS (Silvikultur) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Dr. Darwo (Biometrika) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Indonesia Dr.Ir. Nurul Khumaida, M.Si (Silvikultur) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Prof.Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS (Ilmu Agroforestri) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Dr.Ir. Arum Sekar Wulandari, MS (Mikrobiologi, Kultur Jaringan dan Bioteknologi Hutan) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Dr. Dede Rohadi (Ilmu Sosial) Center for International Forestry Research, Indonesia
Copyeditor
Ir. Danu, M.Si (Produksi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Ratna Uli Damayanti, S.Hut, M.Si (Kultur jaringan, Bioteknologi) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Fifi Gus Dwiyanti, S.Hut, M.Agr., Ph. D (Genetik) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Layout Editor
Tri Astuti Wisudayati, S.E, M.S.E
Sekretariat Dewan Redaksi
Redaksi Pelaksana Ketua Merangkap Anggota
Rudy Suryadi, S.Hut
Anggota
Wahyuni Munasri, A.Md
Diterbitkan oleh
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan,
Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Terbit Pertama kali Agustus 1996 dengan judul Tekno Benih (ISSN 1410-1157), sejak Agustus 2003 berganti judul menjadi Info Benih (ISSN 1693-5314),
dan sejak Agustus 2013 berganti judul menjadi Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan (ISSN 2354-8568)
Alamat
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Jl. Pakuan Ciheuleut P0 Box 105 Bogor, Telp./fax : (0251)8327768 Website : benih-bogor.litbang.menlhk.go.id
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
Vol. 6 No. 2, Desember 2018
DAFTAR ISI
1. PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.)
Domke DENGAN METODE WATER ROOTING
(Hormones Effect on Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke Shoots Cutting using
Water Rooting Method)
Y.M.M. Anita Nugraheni dan/and Kurniawati Purwaka Putri .............................. 85-92
2. PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN
SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)
(The Effect of Growth Regulator Substance on Shoot Cutting of Jamblang
(Syzygium cumini (L.) Skeels)
Aris Sudomo dan/and Maman Turjaman ................................................................ 93-105
3. PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN
UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba
L. Persoon)
(The Use of Some Growing Media and Shading Level to Increase the Growth of
Litsea cubeba’s Seedling)
Yetti Heryati dan/and Retno Agustarini ................................................................. 107-120
4. PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma
asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.
(Oil Palm Seed Coating with Enriched Trichoderma asperellum (T13) to Suppress
Infection of Ganoderma boninense Pat.)
Ganik Jawak, Eni Widajati, Endah Retno Palupi dan/and Nutrita Toruan Mathius . 121-132
5. PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King)
BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN
(Fruit and Seed Production of Mahoni (Swietenia macrophylla King) at Various
Crown Dimention and Leaf Stomata Condition
Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono, dan/and Dida Syamsuwida ........ 133-144
6. PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN 4,5
TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
(The Improving Vigor of White Jabon Seeds after Storage for 4.5 Years Using
Gamma Ray Irradiation)
Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan/and Dede J.
Sudrajat ................................................................................................................. 145-158
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
p-ISSN 2354-8568 Vol.6 No.2, Desember 2018
e-ISSN 2527-6565
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya
UDC/ODC 630*232.5
Y.M.M. Anita Nugraheni dan/and Kurniawati Purwaka Putri (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan) PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke DENGAN METODE
WATER ROOTING
J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 85-92
Gyrinops versteegii merupakan salah satu spesies yang dilindungi keberadaannya karena sudah mulai langka.
Salah satu upaya untuk menjaga kelestariannya yaitu dengan melakukan budidaya. Teknik budidaya secara generatif sudah cukup banyak dilakukan. Teknik perbanyakan G. versteegii secara generatif memiliki beberapa
keterbatasan yaitu benihnya tergolong rekalsitran dan sifat tanaman baru yang diperoleh belum tentu sama
dengan induknya, sedangkan dengan teknik vegetatif, individu baru yang diperoleh akan memiliki sifat sama
dengan induknya. Kendala yang dihadapi teknik vegetatif G. versteegii adalah lebih sulit untuk dilakukan, membutuhkan biaya yang lebih mahal dibanding teknik generatif karena tingkat keberhasilannya yang lebih
rendah. Media air dijadikan alternatif karena murah dan mudah didapat, untuk meningkatkan keberhasilannya
perlu adanya tambahan hormon. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi hormon NAA yang optimal untuk pertumbuhan setek G. versteegii. Metode penelitian dilakukan dengan cara memotong tunas G.
versteegii sebagai bahan setek, selanjutnya ditanam pada posisi tegak di air dibantu dengan sterofoam sebagai
penyangga. Media yang digunakan adalah air tanpa hormon (sebagai kontrol), air dengan hormon NAA 100,
200,dan 300 ppm. Pengamatan dilakukan selama 10 kali, pada akhir pengamatan dilakukan pengukuran terhadap persen akar, persen hidup, persen tunas, berat kering batang, berat kering akar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan hormon NAA berpengaruh terhadap pertumbuhan akar, persen hidup, berat
kering batang dan berat kering akar G. versteegii. Metode water rooting dengan penambahan hormon NAA 300 ppm merupakan komposisi terbaik sebagai media awal untuk memicu perakaran. Kata kunci : gaharu, perbanyakan vegetatif, media tanam
UDC/ODC 630*232.5
Aris Sudomo1) dan/and Maman Turjaman2) (1)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry, 2)Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan)
PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK PUCUK
JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels) J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 93-105 Pengembangan tanaman obat jenis jamblang Syzygium cumini saat ini terkendala dari aspek teknologi budidaya
(perbanyakan vegetatif), sehingga pemanfaatan tanaman obat untuk skala massal sangat sulit. Tujuan penelitian
ini adalah evaluasi pengaruh lima dosis zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan setek pucuk S. cumini. Rancangan penelitian yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Komposisi bahan aktif Zat
Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam penelitian ini adalah Naphthalene Acetic Acid (NAA) 3 persen dan
Naphthalene Acetamide (NAAm) 0,75 persen. Perlakuan 5 dosis ZPT yang diaplikasikan adalah kontrol (0g.10 ml-1), 2g.10 ml-1, 4g.10 ml-1, 10g.10ml-1 dan powder/dioles. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis
4g.10ml-1 menghasilkan pertumbuhan tinggi tertinggi sebesar 29,84 cm (peningkatan 21,74 persen
dibandingkan dengan kontrol), jumlah daun terbanyak sebesar 23,72 buah (peningkatan 4,63 persen dibandingkan dengan kontrol), berat kering batang dan daun terbesar sebesar 3,36 gram (peningkatan 43,5
persen dibandingkan dengan kontrol) dan top-root ratio tertinggi sebesar 6,55 (peningkatan 10,08 persen
dibandingkan dengan kontrol). Persentase hidup tertinggi dihasilkan pada pemberian ZPT dioles sebesar 80
persen (peningkatan 18,81 persen dibandingkan dengan kontrol) dan tidak berbeda nyata dengan pemberian ZPT 4g.10 ml-1 (77,33 persen). Rekomendasi dari penelitian ini adalah penggunaan ZPT 4g.10 ml-1 untuk
menghasilkan pertumbuhan setek pucuk diatas tanah terbaik dengan persentase hidup yang tidak berbeda nyata
dengan ZPT dioles/powder. Kata kunci : budidaya, dosis, hormon, Syzygium cumini
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
p-ISSN 2354-8568 Vol.6 No.2, Desember 2018
e-ISSN 2527-6565
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya
UDC/ODC 630*232.315 Yetti Heryati dan/and Retno Agustarini (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, )
PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)
J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 107-120 Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) merupakan salah satu penghasil minyak atsiri potensial ekonomi karena
semua bagian tanaman dapat menghasilkan minyak atsiri. Pengembangannya terkendala minimnya informasi
teknologi budidayanya. Penelitian mengenai pembibitan kilemo sudah pernah dilakukan, namun belum memberikan informasi yang lengkap terutama yang berkaitan dengan naungan dan media. Oleh karena itu
penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai respon pertumbuhan bibit kilemo terhadap
naungan dan media yang digunakan. Penelitian dilakukan selama 6 bulan di rumah kaca Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Bogor. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan pola faktorial, yang terdiri dari 2 faktor dengan 10 kali ulangan. Faktor pertama adalah media
yang terdiri dari 5 jenis media yaitu: tanah, arang kompos, campuran tanah+arang kompos 3:1 (v/v),
tanah+arang sekam padi 3:1 (v/v) dan tanah+arang kompos:arang sekam padi 3:1:1 (v/v/v). Faktor kedua adalah naungan yang terdiri dari 4 intensitas naungan yaitu: 0 persen, 25 persen, 50 persen, 75 persen. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bibit kilemo umur 5 bulan yang ditanam pada media campuran tanah dan arang
sekam padi 3:1 (v/v) dengan naungan 25 persen menghasilkan pertumbuhan yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan lain dengan pertumbuhan tinggi bibit (12,64 cm), jumlah daun (5,56), berat kering (0,82),
indeks mutu bibit (0,021) dan nisbah pucuk akar (1.967).
Kata kunci: kilemo, Litsea cubeba, media tanam, naungan, pertumbuhan UDC/ODC 630*232.3.176.1
Ganik Jawak1), Eni Widajati2), Endah Retno Palupi2) dan/and Nutrita Toruan Mathius3) (1)Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, Pascasarjana Departemen Agronami dan Hortikultura, IPB dan/and 3)PT. Smart
Biotechnology)
PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum
(T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT. J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 121-132
Serangan Ganoderma boninense penyebab penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit dapat
terjadi pada semua tahapan pertumbuhan tanaman. Trichoderma asperellum jenis endofit dapat menekan
serangan G. boninense mulai dari pembibitan dengan memanfaatkan teknologi seed coating. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh formula pelapis benih kelapa sawit terbaik yang kompatibel dengan T.
asperellum (T13). Percobaan pertama terdiri atas dua tahapan yaitu, tahap pertama menguji efektivitas dan
kompatibilitas T. asperellum melalui teknik pencampuran suspensi T. asperellum dengan bahan pelapis. Tiga hasil terbaik pada tahap pertama (arabic gum 25 persen, CMC 1 persen, dan arabic gum 3 persen + gipsum 1
persen) digunakan dalam percobaan tahap kedua, yaitu menguji efektivitas dan kompatibilitas T. asperellum
melalui teknik perendaman dalam suspensi T. asperellum yang dilanjutkan dengan pelapisan. Tiga jenis
formula terbaik dari percobaan pertama tahap kedua (CMC 1 persen, CMC 1.5 persen, dan arabic gum 4,5 persen + gipsum 1,5 persen) digunakan untuk percoban kedua, yaitu menguji ketahanan bibit kelapa sawit
terhadap G. boninense. Hasil menunjukkan bahwa Arabic gum 25 persen, carboxy methyl cellulose (CMC) 1
persen, arabic gum 3 persen + gipsum 1 persen berpotensi sebagai bahan pelapis. Perendaman dengan T. asperellum + pelapisan CMC 1 persen, CMC 1,5 persen dan arabic gum 4,5 persen + gipsum 1,5 persen
merupakan formula terbaik untuk pelapisan benih kelapa sawit. Perendaman benih dengan T. asperellum +
CMC 1,5 persen dapat meningkatkan daya tumbuh benih16,67 persen dibandingkan kontrol, namun tidak
efektif menekan infeksi G. boninense selama di pre nurseri.
Kata kunci : Arabic gum, biokontrol, busuk pangkal batang, CMC, gipsum
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
p-ISSN 2354-8568 Vol.6 No.2, Desember 2018
e-ISSN 2527-6565
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya
UDC/ODC 630*232.311
Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono, dan/and Dida Syamsuwida (Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan)
PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER
TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 133-144
Produksi buah dan benih berkaitan erat dengan proses fotosintesis tanaman. Daun adalah organ utama dalam proses fotosintesis. Semua karakteristik daun baik morfologi (luas permukaan daun), antomi (kerapatan dan
indeks stomata) maupun fisiologisnya sangat mempengaruhi senyawa organik (asimilat) yang dihasilkan dari
proses fotosintesis. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh lebar tajuk, kerapatan dan indeks stomata
serta luas daun terhadap tingkat produksi buah dan benih mahoni (Swietenia macrophylla). Penelitian dilakukan pada tegakan benih mahoni umur 21 tahun di Hutan Penelitian Parungpanjang, Bogor. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan diameter tajuk, luas daun, kerapatan
stomata dan indeks stomata sebagai perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari 5 (lima) tingkat klasifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi buah dan benih mahoni dipengaruhi oleh diameter tajuk pohon. Luas
daun, kerapatan stomata dan indeks stomata tidak mempengaruhi produksi buah yang dihasilkan.
Kata kunci : daun, fotosintesis, indeks stomata, kerapatan stomata, sumber benih bersertifikat
UDC/ODC 630*232.315
Rahmad Suhartanto1), Tatiek K. Suharsi1), Evayusvita Rustam2) dan/and Dede J. Sudrajat2)
(1)Departemen Agronomi dan Holtikultura, Fakultas Pertanian IPB dan/and 2)Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan)
PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN 4,5 TAHUN
MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 145-158
Iradiasi sinar gamma dengan dosis rendah berpotensi untuk memperbaiki viabilitas dan vigor benih dan bibit melalui peningkatan aktivitas enzim, pembelahan sel,gen-gen yang responsif terhadap auksin dan perbaikan
metabolisme. Tujuan penelitian adalahmengetahui daya simpan benih jabon putih (Neolamarckia cadamba)
dan mendapatkan dosis iradiasi sinar gamma yang efektif untuk meningkatkan vigor benihnya.Benih yang
digunakan berasal dari 4 populasi (Alas Puwo, Kampar, Batu Hijau, dan Pomalaa) dan telah disimpan selama 4,5 tahun. Rancangan acak lengkap digunakan untuk menguji daya simpan dan pengaruh dosis iradiasi (0, 10,
20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100 Gy) terhadap parameter perkecambahan dan pertumbuhan bibit. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan benih selama 4,5 tahun secara umum mengakibat penurunan viabilitas dan vigor benih dari beberapa asal benih (populasi), kecuali untuk asal benih Batu Hijau.
Penyimpanan juga mengakibatkan kadar air benih menurun secara nyata hingga 4,08 persen−4,87 persen.
Iradiasi sinar gamma memberikan respon yang berbeda-beda pada setiap asal benih. Iradiasi sinar gamma efektif meningkatkan perkecambahan benih dengan daya berkecambah awal lebih dari 40 persen. Secara
keseluruhan dosis iradiasi 40 Gy mampu memperbaiki perkecambahan benih dan meningkatkan pertumbuhan
bibit sehingga bisa diaplikasikan untuk meningkatkan vigor benih jabon putih.
Kata kunci : benih, bibit, daya simpan, perkecambahan, pertumbuhan
PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke
DENGAN METODE WATER ROOTING
Y.M.M. Anita Nugraheni dan Kurniawati Purwaka Putri
© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.85-92 85
PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke
DENGAN METODE WATER ROOTING (Hormones Effect on Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke Shoots Cutting using Water Rooting Method)
Y.M.M. Anita Nugraheni dan/and Kurniawati Purwaka Putri
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Indonesia
e-mail: [email protected] Naskah masuk: 3 Januari 2018; Naskah direvisi: 23 April 2018; Naskah diterima: 23 Oktober 2018
ABSTRACT
Gyrinops versteegii is one of protected species because of the rare existence. One of the efforts to keep the
preserved is by cultivation. Cultivation techniques using generative basis has already done a lot. However, this technique has several limitations, due to the recalcitrant character of the seeds and the inequality of the
characteristics of the progeny with their parent. Meanwhile, vegetative techniques will produce a new
individual that have the same characteristics as the parent. The alternative-promising vegetative techniques of G. versteegii are using media because it is cheap and easy to obtain, and increase the achievement if
additional hormones were used. The purpose of this research is to determine the optimum concentration of
the NAA hormone for G. versteegii cuttings. The research method is done by cutting the saplings of G. versteegii on the shoots. The medium used are water without hormones (as control), water with hormones of
NAA 100, 200, and 300 ppm. Observations 10 times, at the end of the observation carried out measurements
on the root, percent of life, buds, dry stem weight, and dry root weight. The result showed that NAA hormone
treatment influenced significantly on the growth of the roots, percent of life, dry stem weight and dry weight of roots of G. versteegii. Medium of water with the addition of NAA 300 ppm was the composition that can
be used as a medium to trigger initial rooting.
Keywords: agarwood, planting media, vegetative reproduction
ABSTRAK
Gyrinops versteegii merupakan salah satu spesies yang dilindungi keberadaannya karena sudah mulai langka.
Salah satu upaya untuk menjaga kelestariannya yaitu dengan melakukan budidaya. Teknik budidaya secara
generatif sudah cukup banyak dilakukan. Teknik perbanyakan G. versteegii secara generatif memiliki beberapa keterbatasan yaitu benihnya tergolong rekalsitran dan sifat tanaman baru yang diperoleh belum
tentu sama dengan induknya, sedangkan dengan teknik vegetatif, individu baru yang diperoleh akan
memiliki sifat sama dengan induknya. Kendala yang dihadapi teknik vegetatif G. versteegii adalah lebih sulit
untuk dilakukan, membutuhkan biaya yang lebih mahal dibanding teknik generatif karena tingkat keberhasilannya yang lebih rendah. Media air dijadikan alternatif karena murah dan mudah didapat, untuk
meningkatkan keberhasilannya perlu adanya tambahan hormon. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui konsentrasi hormon NAA yang optimal untuk pertumbuhan setek G. versteegii. Metode penelitian dilakukan dengan cara memotong tunas G. versteegii sebagai bahan setek, selanjutnya ditanam
pada posisi tegak di air dibantu dengan sterofoam sebagai penyangga. Media yang digunakan adalah air
tanpa hormon (sebagai kontrol), air dengan hormon NAA 100, 200,dan 300 ppm. Pengamatan dilakukan selama 10 kali, pada akhir pengamatan dilakukan pengukuran terhadap persen akar, persen hidup, persen
tunas, berat kering batang, berat kering akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan hormon NAA
berpengaruh terhadap pertumbuhan akar, persen hidup, berat kering batang dan berat kering akar G.
versteegii. Metode water rooting dengan penambahan hormon NAA 300 ppm merupakan komposisi terbaik sebagai media awal untuk memicu perakaran. Kata kunci: gaharu, perbanyakan vegetatif, media tanam
I. PENDAHULUAN
Gyrinops versteegii merupakan salah satu
jenis pohon penghasil gaharu yang memiliki
nilai jual tinggi, namun meningkatnya
perdagangan jenis ini sejak tiga dasawarsa
terakhir telah menimbulkan kelangkaan
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 85-92
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
86
produksi gubal gaharu dari alam (Sumarna,
2012; Siran & Turjaman, 2010). Untuk itu
Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES) di tahun 1994 menggolongkan genus
Gyrinops sp. ke dalam Apendix II yang
memperlakukan pembatasan perdagangan
karena populasi yang menyusut oleh
perburuan di hutan alam. Untuk mencegah
berkurangnya populasi di alam, perbanyakan
budidaya Gyrinops memiliki prospek menarik.
Perbanyakan G. versteegii secara generatif
telah banyak dilakukan karena relatif mudah
dilakukan (Surata & Soenarno, 2016). Benih
G. versteegii tergolong rekalsitran, memiliki
kadar air sekitar 40 persen, sehingga bila
terjadi penurunan kadar air, daya
tumbuh/viabilitasnya akan menurun (Sumarna,
2008), sehingga teknik perbanyakannya secara
generatif harus dilakukan sesegera mungkin
setelah benih diperoleh. Teknik perbanyakan
secara vegetatif dapat dilakukan untuk
membantu memperbanyak tanaman yang
benihnya tergolong rekalsitran dan memiliki
kesulitan dalam memperoleh buah dan biji
(Danu, Subiakto, & Putri, 2016). Selain itu
metode perbanyakan G. versteegii secara
vegetatif penting untuk diketahui terutama
agar mendapatkan individu baru yang
memiliki sifat yang identik dengan induknya.
Keberhasilan perbanyakan vegetatif
dengan setek dipengaruhi banyak faktor, salah
satunya adalah kandungan hormon auksin.
Salah satu hormon auksin yang dapat
meningkatkan keberhasilan perbanyakan
tanaman adalah NAA (Naphthalene Acetic
Acid). NAA terbukti berhasil untuk
perbanyakan setek pada jenis
Grammatophylum scriptum var. citrinum
(Isda, & Fatonah, 2014), Centella asiatica (L.)
Urb. (Sudrajad & Suharto, 2015).
Selain hormon, media semai juga
mempengaruhi keberhasilan perbanyakan
setek. Media perakaran setek umumnya
menggunakan media padat seperti pasir atau
sekam padi. Beberapa jenis tanaman juga
terbukti mampu tumbuh pada media air seperti
Hygrophila polysperma, Bacopa sp, Rotala
machandra, Ludwigia sp, Cryptocorine,
Anubias, Wallisneria spiralis, dan Ganggang
air (Karataş, Aasim, Cnar, & Dogan, 2013;
Gupta, Tiwari, Saikia, Shukla, Singh, Singh &
Pandey, 2015).
Air merupakan media yang murah dan
sangat mudah diperoleh untuk digunakan
sebagai media pemicu perakaran sebelum
dipindahkan pada media tanah. Penggunaan
metode water rooting dengan penambahan
hormon NAA untuk perbanyakan setek G.
versteegii belum banyak diinformasikan.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
konsentrasi hormon NAA yang optimal untuk
pertumbuhan setek G. versteegii pada media
air.
PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke
DENGAN METODE WATER ROOTING
Y.M.M. Anita Nugraheni dan Kurniawati Purwaka Putri
87
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Penelitian dilakukan dari bulan Maret
2017 sampai dengan bulan Juni 2017 di rumah
kaca dengan sistem KOFFCO (Komatsu-
FORDA Fog Cooling) Pusat Penelitian
Pengembangan Kehutanan dan Rehabilitasi
(PPPKR) Gunung Batu, Bogor, Jawa Barat
yang terletak pada koordinat Lintang:
─6.596565, Bujur: 106.781581, dengan suhu
rata-rata 28°C, dan kelembaban rata-rata
sebesar 96 persen. Bahan dan alat yang
diperlukan untuk penelitian ini antara lain
adalah tunas Gyrinops versteegii yang berasal
dari Lombok Tengah, air, hormon NAA
(Naphthalene Acetic Acid), sterofoam, bak air,
pisau, gunting setek, alat tulis.
B. Prosedur Penelitian
Tahapan kegiatan dimulai dengan
mengambil setek dari bibit yang berumur 3
bulan. Setek dipotong sepanjang 4 cm, daun
dipotong dengan menyisakan 3 helai masing-
masing sepanjang 1 cm (setelah dipotong dua
pertiga bagian). Air dimasukkan ke dalam bak
berukuran 30 cm x 40 cm, styrofoam dipasang
pada permukaan bak dan dijaga agar tidak
tergenang oleh air. Setek ditanam dengan
menancap pada styrofoam sedalam ½ bagian
air, bagian bawah dibiarkan tenggelam,
sedangkan bagian atas tetap kering (tidak
tergenang). Bak dimasukkan ke dalam box
propagasi dan ditutup rapat. Atap
menggunakan paranet rangkap 2 untuk
mengurangi penguapan, dan diletakkan di
dalam rumah kaca. Pengamatan dilakukan
selama 10 kali, dan pada akhir pengamatan
dilakukan pengukuran terhadap persen akar,
persen hidup, persen tunas, berat kering
batang, dan berat kering akar.
Rancangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Acak Lengkap (RAL).
Materi yang digunakan berupa setek bagian
pucuk yang ditanam pada media air dengan
metode water rooting. Perlakuan yang
diberikan yaitu penambahan hormon NAA 100
ppm, 200 ppm, dan 300 ppm, serta kontrol
(tanpa hormon). Masing-masing setek yang
diamati berjumlah 10 dengan 3 ulangan pada
setiap perlakuan.
Variabel yang diamati adalah:
1. Persen akar
Persen berakar diukur dengan menghitung
persentase setek yang berakar pada akhir
penelitian. Rumus yang digunakan :
.................. (1)
2. Persen hidup
Persen hidup diukur dengan menghitung
persentase setek yang hidup pada akhir
penelitian. Rumus yang digunakan :
…......................... (2)
3. Persen tunas
Persen bertunas diukur dengan menghitung
persentase setek yang bertunas pada akhir
penelitian. Rumus yang digunakan :
.......... (3)
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 85-92
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
88
4. Jumlah daun
Jumlah daun/tunas diukur dengan
menghitung daun yang terbentuk pada
akhir pengamatan
5. Panjang tunas
Panjang tunas diukur dari ujung setek awal
sampai ujung terluar dari tunas,
pengukuran dilakukan pada akhir
pengamatan.
6. Berat kering batang
Berat kering batang dihitung dengan
menimbang berat kering batang setek
setelah dioven selama 18 jam
7. Berat kering akar
Berat kering akar dihitung dengan
menimbang berat kering akar setek setelah
dioven selama 18 jam.
C. Analisis Data
Data pengamatan yang telah terkumpul
dianalisis menggunakan uji sidik ragam
dengan model linier:
………..........….………….. (4)
Keterangan :
: nilai respon pada perlakuan ke-i, dan
ulangan ke-j
µ : rataan umum;
: pengaruh perlakuan hormon ke-i;
: pengaruh acak pada perlakuan ke-i,
dan ulangan ke-j.
Apabila hasil analisis menunjukkan hasil
yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan
uji Duncan dengan taraf signifikan 95 persen.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil analisis ragam (Tabel 1)
menunjukkan bahwa pemberian hormon NAA
pada setek G. versteegii berpengaruh nyata
terhadap persentase setek berakar, persentase
setek hidup, jumlah akar, berat kering batang
dan berat kering akar setek G. versteegii,
namun tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah daun dan panjang tunas.
Tabel (Table) 1. Analisis keragaman pengaruh hormon pada setek G. versteegii (Summary of G.
versteegii Variance Analysis)
Db
(df)
Jumlah kuadrat
(Sum square)
Rerata kuadrat
(Mean square)
Nilai P
(P value)
Persentase setek berakar (Percentage of rooted cuttings) 3 3987 1329** 0,0001
Persentase setek hidup (Percentage of live cuttings) 3 5624,25 1874,75** 0,0001
Jumlah akar (Number of roots) 3 120,66 40,22ns 0,089
Jumlah daun (Number of leaves) 3 10,25 3,41ns 0,282
Panjang tunas (Shoot length) 3 2,98 0,99 ns 0,174
Berat kering batang/tunas (Dry stem / shoot weight) 3 0,00036 0,00012* 0,033
Berat kering akar (Dry root weight) 3 0,00050 0,00016 * 0,037
Keterangan (Remarks): ** = berbeda nyata pada taraf uji 1% ; * = berbeda nyata pada taraf uji 5%; ns = berbeda tidak
nyata pada taraf uji 5% (** = significantly different at the test level of 1%; * = significantly
different at the test level of 5%; ns = different not significant at test level 5%)
PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke
DENGAN METODE WATER ROOTING
Y.M.M. Anita Nugraheni dan Kurniawati Purwaka Putri
89
Berdasarkan hasil uji lanjut (Tabel 2)
diketahui bahwa rata-rata persentase setek
berakar dan setek hidup, berat kering
batang/tunas, dan berat kering akar tertinggi
ditunjukkan oleh setek dengan penambahan
NAA 300 ppm yaitu persen berakar sebesar 63
persen, persen hidup 63 persen, jumlah akar 14
lembar, berat kering batang/tunas 0,015 gram,
dan berat kering akar 0,023 gram.
Tabel (Table) 2. Rata-rata pengaruh hormon terhadap pertumbuhan setek G. versteegii (Growth
average of G. versteegii cutting)
Variabel (Variable) Konsentrasi NAA (NAA concentration) (ppm)
Kontrol (Control) 100 200 300
Persentase setek berakar
(Rooted cuttings percentage) (%)
20,00c 20,00c 23,00 b 63,00a
Persentase setek hidup
(Percent percentage of life)(%)
10,00d 13c 17b 63a
Berat kering batang/tunas
(Stem / shoot dry weight )(g)
0,0089ab 0,001b 0,003b 0,015a
Berat kering akar
(Root dry weight )(g)
0,005b 0,016ab 0,015ab 0,023a
Keterangan (Remarks) :a,bnilai rataan dalam kolom yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (P<0,05)( the average value in the column followed by the
same letter shows not significantly different based on the Duncan test (P <0.05))
Gambar (Figure) 1. Pengaruh hormon pada perakaran setek G. versteegii ((a) NAA 100 ppm, (b)
NAA 200 ppm, and (c) NAA 300 ppm) (The roots of G. versteegii (a) NAA 100
ppm, (b) NAA 200 ppm, and (c) NAA 300 ppm))
Jumlah daun dan panjang tunas yang
dihasilkan setek G. versteegii relatif sama
untuk semua perlakuan hormon yang
diberikan yaitu rata-rata jumah daun
sebanyak 3 buah, dan rata-rata panjang tunas
1 cm.
(a) (b) (c)
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 85-92
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
90
B. Pembahasan
Faktor yang menentukan keberhasilan
setek terdiri dari faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal antara lain adalah
genotipe suatu tanaman, pemilihan jaringan
tanaman (Ramadan, Kendarini, & Ashari,
2016), dan umur fisiologi bahan setek
(Pramono & Siregar, 2015). Faktor eksternal
meliputi kelembaban (mempengaruhi tingkat
respirasi jaringan), suhu (mempengaruhi level
energi tanaman), jika suhu terlalu tinggi
tanaman akan dehidrasi, jika terlalu rendah
energi tanaman untuk tumbuh menjadi
terbatas, dan intensitas cahaya. Selain itu,
penambahan hormon seperti auksin dengan
kadar yang sesuai juga mendukung
keberhasilan setek. Pemberian hormon NAA
pada setek G. versteegii berpengaruh nyata
terhadap persentase setek berakar, persentase
setek hidup, jumlah akar, berat kering batang
dan berat kering akar setek G. versteegii,
namun tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah daun dan panjang tunas. Hal ini
mungkin terjadi karena hormon NAA yang
diberikan tergolong auksin yang memiliki
peran utama memacu pembentukan akar,
sedangkan pertumbuhan tunas/daun biasanya
lebih dipengaruhi oleh hormon sitokinin
(Pamungkas, Darmanti, & Raharjo, 2009).
Menurut Putra dan Shofi (2015) pemberian
NAA yang tergolong auksin sintetis pada setek
terbukti mampu meningkatkan perakaran.
Menurut Pamungkas et al. (2009) auksin
mampu mendorong pertumbuhan akar karena
auksin memicu mobilisasi karbohidrat dan
boron dari daun ke akar. Menurut Zakaria,
Rugayah dan Karyanto (2018) penambahan
BA yang tergolong sitokinin sebanyak 20 ppm
mampu memicu pertumbuhan panjang daun
pada bibit manggis.
Pembentukan akar merupakan proses awal
yang utama karena dengan adanya akar, setek
akan mampu menyerap air dan nutrisi yang
menjadi syarat dasar tanaman untuk tumbuh
dan berkembang. Menurut Zhang, Fan, Tan,
Zhao, Zhou, dan Cao (2017) pembentukan akar
adventif merupakan proses yang rumit,
melibatkan aspek morfologi, fisiologis, dan
perubahan biologis. Pembentukan akar
adventif menjadi faktor kunci keberhasilan
perbanyakan setek (Setyayudi, 2016).
Keberadaan akar menyebabkan penyerapan
hara berlangsung lebih optimal sehingga
pembentukan tunas pada bahan setek dapat
tumbuh dengan baik (Andiani, 2012).
Tumbuhnya akar berpengaruh pada asupan
hara yang dapat terserap yang memiliki fungsi
sebagai penyerap air, garam mineral dan O2
dari dalam tanah (Putra & Shofi, 2015). Hasil
penelitian menujukkan bahwa perbanyakan
vegetatif setek G. versteegii terbaik adalah
setek yang diberi penambahan hormon NAA
300 ppm yaitu mencapai 63 persen untuk
persentase setek hidup dan berat akar, dengan
PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke
DENGAN METODE WATER ROOTING
Y.M.M. Anita Nugraheni dan Kurniawati Purwaka Putri
91
berat kering tunas dan berat kering akar
masing-masing 0,015 gram dan 0,023 gram.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa
setek G. versteegii membutuhkan tambahan
hormon auksin eksternal untuk merangsang
perakarannya, terbukti setek yang tidak diberi
tambahan hormon (kontrol) tidak tumbuh
akarnya. Penelitian sebelumnya juga
menunjukkan bahwa keberhasilan setek gaharu
yang lebih baik dengan pemberian hormon
auksin sebesar 84, 17 persen dengan
konsentrasi ZPT yang optimal sebesar 200
ppm (Setyayudi, 2016).
Hasil penelitian lainnya menunjukkan
bahwa Gyrinops sp. perlu penambahan
hormon untuk merangsang perakaran
dilaporkan oleh Auri dan Dimara (2016) yang
menyatakan bahwa konsentrasi auksin 300
ppm memberikan respon terbaik untuk
pertumbuhan akar setek Gyrinops. Pengaruh
hormon auksin terhadap jaringan tanaman
berbeda-beda. Respon terkuat terdapat pada
sel-sel meristem apikal batang dan koleoptil.
Kadar auksin yang terlalu tinggi bersifat
menghambat bahkan meracuni tanaman
(Suprapto, 2013). Hal tersebut mungkin
berhubungan dengan kadar nitrogen pada
masing masing tanaman, nitrogen yang
berlebihan pada media mengakibatkan
terhambatnya pertumbuhan akar karena jumlah
asam amino yang terlalu banyak (Putra &
Shofi, 2015) .
IV. KESIMPULAN
Penambahan hormon tumbuh auksin NAA
300 ppm meningkatkan keberhasilan
pembiakan vegetatif (setek) G. versteegii
dengan setek hidup, setek berakar, berat kering
tunas dan akar setek berturut-turut sebesar 63
persen, p 63 persen, 0,015 gram, dan 0,023
gram.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Rina Kurniaty, Ibu Nurmawati Siregar,
Pak Maas, Pak Ateng, Pak Trisno, Pak Wahyu,
Pak Nana, Pak Irfa, atas bantuannya.
DAFTAR PUSTAKA
A. A., Pramono dan Siregar, N. (2015). Pengaruh
naungan, zat pengatur tumbuh dan tanaman
induk terhadap perakaran setek jabon (. Jurnal
Perbenihan Tanaman Hutan, 3(2), 71–79.
Andiani, N. (2012). Pengaruh Komposisi Media
Tanam dan Konsentrasi GA3 terhadap Inisiasi
dan Pertumbuhan Tunas, 2012.
Auri, A., & Dimara, P. A. (2016). Respon
Pertumbuhan Setek Gyrinops verstegii
terhadap Pemberian Berbagai Tingkat Konsentrasi Hormon IBA ( Indole Butyric
Acid ) Growth Response of Gyrinops verstegii
Cuttings on Various Concentration Level of IBA ( Indole Butyric Acid ) Hormone. Jurnal
Silvikultur Tropika, 6(2), 133–136.
Danu, D., Subiakto, A., & Putri, K. P. (2016). Uji
setek pucuk damar.
Gupta, R., Tiwari, S., Saikia, S. K., Shukla, V.,
Singh, R., Singh, S. P., ... & Pandey, R.
(2015). Exploitation of microbes for enhancing bacoside content and reduction of
Meloidogyne incognita infestation in Bacopa
monnieri L. Protoplasma, 252(1), 53–61.
Isda, M. N., & Fatonah, S. (2014). Induksi Akar
pada Eksplan Tunas Anggrek
Grammatophylum scriptum var. citrinum secara In Vitro pada Media MS dengan
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 85-92
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
92
Penambahan NAA Dan BAP. Al-Kauniyah:
Jurnal Biologi, 7(2), 53–57.
Karataş, M., Aasim, M., Cnar, A., & Dogan, M. (2013). Adventitious shoot regeneration from
leaf explant of dwarf hygro (Hygrophila
polysperma (Roxb.) T. Anderson). The
Scientific World Journal, 2013.
https://doi.org/10.1155/2013/680425
Pamungkas, F. T., Darmanti, S., Raharjo, B., .
(2009). Pengaruh konsentrasi dan lama perendaman dalam supernatan kultur Bacillus
sp.2 DUCC-BR-K1.2 terhadap pertumbuhan
setek horisontal batang jarak pagar (Jatropa curcas). Jurnal Sains Dan Matematika, 17(3),
131–140. Retrieved from
http://download.portalgaruda.org/article.php?a
rticle=22763&val=1293
Putra, R. R., & Shofi, M. (2015). Pengaruh
Hormon Napthalen Acetic Acid Terhadap
Inisiasi Akar Tanaman Kangkung Air (Ipomes aquatica Forssk.). Jurnal Wiyata, 2(2), 108–
113.
Ramadan, V. R., Kendarini, N., & Ashari, S.
(2016). Kajian Pemberian Zat Pengatur Tumbuh terhadap Pertumbuhan Setek
Tanaman Buah Naga (Hylocereus
costaricensis ). Jurnal Produksi Tanaman,
4(3), 180–186.
Setyayudi, A. (2016). Ujicoba Perbanyakan Setek
Pucuk Tanaman Gyrinops versteegii.
Mataram.
Siran, S.A., & M. Turjaman. (2010).
Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Sekitar
Hutan. P3HKA. Bogor
Sudrajad, H., & Suharto, D. (2015). Pengaruh
NAA dan BAP terhadap eksplan Pegagan
(Centella asiatica (L.) Urb.). Agrovigor, 8(1),
26–31.
Sumarna, Y. (2008). Pengaruh Kondisi Kemasakan
Benih Dan Jenis Media Terhadap
Pertumbuhan Semai Tanaman Penghasil Gaharu Jenis Karas (Aquilaria malaccensis
Lamk.). Jurnal Penelitian Hutan Dan
Konservasi Alam, v(2), 129–135. https://doi.org/https://doi.org/10.20886/jphka.
2008.5.2.129-135
Sumarna, Y. (2012). Pembudidayaan Pohon Penghasil Gaharu. Departemen Kehutanan,
Badan Litbang Kehutanan.
Suprapto, A. (2013). Auksin: Zat Pengatur
Tumbuh Penting Meningkatkan Mutu Setek
Tanaman.
Surata, K., dan Soenarno, S. (2016). Penanaman
Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) dengan Sistem Tumpangsari di Rarung,
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal
Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 8(4),
349–361.
Zakaria, M.R., Rugayah & Karyanto, A., . (2018).
Respons Pertumbuhan Seedling Manggis
(Garcinia mangostana L .) terhadap Penambahan Indole Butyric Acid. Jurnal
Agrotek Tropika, 6(2), 67–71.
Zhang, W., Fan, J., Tan, Q., Zhao, M., Zhou, T., & Cao, F. (2017). The effects of exogenous
hormones on rooting process and the activities
of key enzymes of Malus hupehensis stem
cuttings. PLoS ONE, 12(2), 1–13.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0172320
PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP
PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)
Aris Sudomo dan Maman Turjaman
© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.93-105 93
PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK PUCUK
JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)
(The Effect of Growth Regulator Substance on Shoot Cutting of Jamblang
(Syzygium cumini (L.) Skeels)
Aris Sudomo1 dan/and Maman Turjaman2
1)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry
Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 04 Kode Pos 46201, Ciamis, Indonesia 2)Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Jl. Gunung Batu No. 5, Po. Box 331, Kode Pos 16118, Bogor, Indonesia
e-mail: [email protected] Naskah masuk: 3 Januari 2018; Naskah direvisi: 20 Mei 2018; Naskah diterima: 10 Juli 2018
ABSTRACT
Development of jamblang (Syzygium cumini) as medicinal plant currently constrained by the aspects of
cultivation technology (vegetative propagation), so the provision of medicinal plants for the mass scale was
very difficult. The objective of this research was to evaluate the effect of five doses of growth regulator substance on growth of S. cumini’s shoot cuttings. The active ingredient composition of hormone/ Growth
Regulator Substance (GRS) in this study were Naphthalene Acetic Acid (NAA) 3 percent and Naphthalene
Acetamide (NAAm) 0.75percent. The experiment was arranged in Completely Random Design using 5 concentrations of growth regulator substance namely 0g.10ml-1 (control), 2g.10 ml-1, 4g.10ml-1, 10g.10ml-1
and powder (not dissolved). The results of this experiment proved that 4g.10 ml-1of growth regulator
substance produce the highest height growth (29.84 cm or 21.74 percent increment), the highest number of
leaves (23.72 pieces or 4.63 percent increment), the heaviest dry weight of stem and leaves (3.36 gram or 43.59 percent increment) and the highest top-root ratio (6.55 or 10.08 percent increment). The highest
survival percentage was resulted from GRS powder treatment (80 percent or 18.81 percent increment), but
did not significantly different to GRS treatment of 4g.10 ml-1 (77.33 percent). The application of 4g.10 ml-1 is recommended to use to produce the better growth of cuttings planted on soil. Keywords: cultivation, doses, hormone , Syzygium cumini
ABSTRAK
Pengembangan tanaman obat jenis jamblang Syzygium cumini saat ini terkendala dari aspek teknologi
budidaya (perbanyakan vegetatif), sehingga pemanfaatan tanaman obat untuk skala massal sangat sulit. Tujuan penelitian ini adalah evaluasi pengaruh lima dosis zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan setek
pucuk S. cumini. Rancangan penelitian yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Komposisi
bahan aktif Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam penelitian ini adalah Naphthalene Acetic Acid (NAA) 3 persen dan Naphthalene Acetamide (NAAm) 0,75 persen. Perlakuan 5 dosis ZPT yang diaplikasikan adalah
kontrol (0g.10 ml-1), 2g.10 ml-1, 4g.10 ml-1, 10g.10ml-1 dan powder/dioles. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dosis 4g.10ml-1 menghasilkan pertumbuhan tinggi tertinggi sebesar 29,84 cm (peningkatan 21,74 persen dibandingkan dengan kontrol), jumlah daun terbanyak sebesar 23,72 buah (peningkatan 4,63 persen
dibandingkan dengan kontrol), berat kering batang dan daun terbesar sebesar 3,36 gram (peningkatan 43,5
persen dibandingkan dengan kontrol) dan top-root ratio tertinggi sebesar 6,55 (peningkatan 10,08 persen
dibandingkan dengan kontrol). Persentase hidup tertinggi dihasilkan pada pemberian ZPT dioles sebesar 80 persen (peningkatan 18,81 persen dibandingkan dengan kontrol) dan tidak berbeda nyata dengan pemberian
ZPT 4g.10 ml-1 (77,33 persen). Rekomendasi dari penelitian ini adalah penggunaan ZPT 4g.10 ml-1 untuk
menghasilkan pertumbuhan setek pucuk diatas tanah terbaik dengan persentase hidup yang tidak berbeda nyata dengan ZPT dioles/powder. Kata kunci : budidaya, dosis, hormon, Syzygium cumini
I. PENDAHULUAN
Syzygium cumini (L.) Skeels (Family
Myrtaceae) termasuk tanaman asli dari India
dan Asia Tenggara serta menyebar di daerah
tropis. Nama lainnya adalah Duwet, Jamblang,
Jambe, Jambolan, Black Plum, Java Pulm,
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
94
Indian Blackberry, Jamun dan lain-lain
(Ayyanar & Babu, 2012). Pertumbuhan pohon
duwet relatif lambat dengan batang cenderung
bengkok, perakaran dan kanopi menyebar
(evergreen) serta buah masak berwarna ungu
kehitaman. S. cumini merupakan salah satu
jenis tanaman yang bermanfaat sebagai
tanaman obat. Bagian biji buah berfungsi obat
diabetes, hypoglycemic, antiinflamantory,
antioxidant, dan kemoprefentif terhadap stres
dan kerusakan genom serta menunda
komplikasi (saraf dan kataraks) (Swami,
Thakor, Patil, & Haldankar, 2012) (Prince &
Venon, 2008) (Helmstadter, 2008). Ekstrak
buah ini menghasilkan antioksidan dan
antikanker tertinggi serta antidiabetes (Afify,
Fayed,Shalaby & El-shemy, 2011). Kulit
batang tanaman S. cumini mengandung tannin
dan karbohidrat sebagai astringen untuk
mengobati disentri (Namasivaan,
Ramachandran & Decharaman, 2008).
Terbatasnya pengetahuan masyarakat
tentang manfaat obat dari S. cumini dan
kurangnya pembudidayaan menjadi salah satu
faktor utama semakin sulit ditemukan
keberadaannya (langka) di Indonesia.
Jamblang (Syzygium cumini (L.) Skeels)
merupakan salah satu jenis tanaman
konservasi yang dapat tumbuh pada tanah
marjinal yang terjal dan berbatu (Hutan Adat
Wonosadi Gunungkidul, Hutan Rakyat Bantul
dan Hutan Rakyat Majalengka). Menurut
Anonim (2010) persyaratan tempat tumbuh
jamblang adalah ideal pada ketinggian 600
m.dpl (walaupun dijumpai juga pada
ketinggian sampai 1.800 m.dpl), curah hujan
di atas 1.000 mm.tahun-1 dengan bulan kering
tegas. Duwet dapat tumbuh subur pada
berbagai tipe tanah, di lahan basah dan rendah
dan lahan yang lebih tinggi dengan sistem
pengaliran air yang baik (tanah liat, campuran
tanah liat dan kapur, tanah berpasir, tanah
berkapur) (Anonim, 2010).
Hama yang potensi menyerang walaupun
tidak berbahaya karena tidak melebihi ambang
ekonomi adalah ulat pemakan daun, lalat, kutu
perisai, kutu bubuk, dan lalat buah kadang-
kadang mencapai tingkat yang merusak.
Musim berbuah tanaman jamblang di hutan
rakyat Bantul dan Majalengka sekitar bulan
Oktober─Februari pada setiap tahunnya.
Jamur penyebab busuk buah adalah Gilbertella
persicaria (Pinho, Pereira & Soares, 2014).
Hasil buahnya sangat bervariasi; pohon yang
berbuah lebat bisa menghasilkan sampai
sebanyak 100 kg per pohon (Anonim, 2010).
Dalam rangka pengembangan tanaman S.
cumini untuk penghasil obat-obatan diperlukan
teknik perbanyakan vegetatif. Pertimbangan
pentingnya perbanyakan vegetatif dengan
setek pucuk dalam pembangunan hutan
tanaman S. cumini adalah (1) tidak
mengurangi produk utama S. cumini yaitu biji,
(2) benih S. cumini merupakan jenis
PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP
PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)
Aris Sudomo dan Maman Turjaman
95
rekalsitran (tidak dapat disimpan lama) (3)
teknik perbanyakan vegetatif setek pucuk
diperlukan untuk pemuliaan tanaman, (4)
mempercepat waktu berbuah, (5) relatif lebih
mudah diadopsi masyarakat. Setek pucuk
dengan aplikasi Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
yang relatif mudah, murah, sederhana dan
aplikable bagi masyarakat.
ZPT yang tergolong auksin adalah Indole-
3-acetie Acid (IAA), Indoloe Butyrie Acid
(IBA) dan Nepthalene Acetie Acid (NAA).
IBA dan NAA bersifat lebih efektif
dibandingkan dengan IAA yang merupakan
auksin alami. Komposisi bahan aktif Zat
Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam penelitian ini
adalah Naphthalene Acetic Acid (NAA) 3
persen dan Naphthalene Acetamide (NAAm)
0,75 persen. ZPT yang digunakan dalam
penelitian ini formula berbentuk
tepung/serbuk, berwarna abu-abu putih
berguna dalam pembibitan (stump, setek,
cangkok) dengan kemampuan merangsang
tumbuh akar, tunas tanaman dan menyuburkan
tanaman (Handriyano, 2007; Watijo, 2007).
Penelitian tentang penggunaan ZPT
auksin dalam perbanyakan vegetatif telah
dilakukan pada beberapa spesies diantaranya
adalah stump Rosa x odorata “viridiflora”
(Siregar, Suendra & Siregar, 2005), stump
Santalam album (Surata, 2008), setek pucuk
Cannophyllum innophyllum (Danu, Subiakto
& Abidin, 2011), setek batang Jatrophus
curcas L (Handriyano, 2007), setek Piper
nigrum L (Yuliandawati, 2016), setek pucuk
Magnolia champaca (Sudomo, Rohandi &
Mindawati, 2013), setek pucuk Tectona
grandis (Salim & Na’iem, 2001) (Ristawati,
2008), setek batang Manihot esculenta (Lubis,
Rahmawati & Irmansyah, 2017), setek batang
Macaranga triloba Muell. Arg (Setyowati,
Indarto & Sumiarsri, 1998), setek pucuk
Camelia japonica (Nurlaeni & Surya, 2015),
setek batang Hylocereus costaricensis
(Nuryana, Armaini & Ardian, 2012),
(Hermansyah, Armaini & Ariani, 2014).
Sedangkan penelitian penggunaan hormon
IBA dalam perbanyakan vegetatif telah
dilakukan pada setek pucuk Gonystylus
bancanus (Nor Aini, Veronica & Ismail,
2010), setek Tylophora indica (Rani & Rana,
2010), setek pucuk Aesculus indica (Majeed,
Khan & Mughal, 2009), setek Bienertia
sinuspersici (Northmore, Leung & Xung,
2015), setek pucuk Tectona grandis (Husen &
Pal, 2007), setek batang Dalbergia
melanoxylon Guill. & Perr (Amri,Lyaruu,
Nyomora & Kanyeka, 2009a) dan stum Hevea
brasilliensis (Shiddiqi, Murniati & Saputra
2012) (Mulyani, Yukri & Fachriza, 2016).
Penelitian yang relatif berbeda dihasilkan oleh
(Azad, Alam, Mollick & Matin, 2016) dengan
tidak merekomendasikan penggunaan IBA
dalam perakaran setek batang Santalum album
L. Sementara itu penelitian tentang
perbanyakan vegetatif setek pucuk S. cumini
belum ada dilaporkan, sehingga penting untuk
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
96
meneliti efektivas pemberian ZPT pada
perbanyakan setek pucuk tanaman tersebut.
Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari
Setyowati et al. (1998) bahwa laju serapan
tanaman terhadap zat pengatur tumbuh
tergantung oleh beberapa faktor antara lain
spesies tanaman, organ tanaman, sifat kimia
dan solubitas dari zat pengatur tumbuh, pelarut
dan kondisi lingkungan. Konsentrasi hormon
auksin yang terlalu tinggi mampu merusak
bagian tanaman dan konsentrasi hormon di
bawah optimum menjadi tidak efektif.
Penelitian Hermansyah et al. (2014)
menghasilkan konsentrasi ZPT optimal 6
g.10 ml-1 air pada sistem pembibitan langsung
buah naga (Hylocereus costaricencis) dengan
pertumbuhan panjang tunas terbaik
dibandingkan 0g.10ml-1 air, 9 g.10ml-1 air dan
12g.10ml-1air. Tujuan dari penelitian ini
adalah mendapatkan dosis optimal dalam
penggunaan zat pengatur tumbuh auxin jenis
Naphthalene Acetic Acid (NAA) ditambah
Naphthalene Acetamide (NAAm) untuk
perbanyakan dengan teknik setek pucuk S.
cumini di persemaian.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Penelitian ini telah dilakukan di
persemaian Sekolah Menengah Kehutanan
Rimba Bahari, Desa Jatimekar, Kecamatan
Situraja, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa
Barat, Indonesia (titik koordinat 6051’11.2”. S;
108001’35.8” E). Lokasi tersebut
berketinggian sekitar 725 m dpl, bersuhu rata
rata harian 22°C dan kelembapan rata-rata
78,9 persen. Curah hujan rata-rata 2.198
mm.th-1 dengan jumlah hari hujan sekitar 156
hari.tahun-1. Kondisi di dalam sungkup plastik
setek pucuk S. cumini dengan kelembaban
mencapai rentang 80 persen ─ 85 persen dan
suhu antara 26°C─32°C. Penelitian pemberian
ZPT pada setek pucuk S. cumini mulai dari
bulan Februari─Agustus 2016. Bahan yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan
setek tanaman dari bibit S. cumini, Zat
Pengatur Tumbuh (ZPT), pupuk kandang,
pasir, bambu, plastik sungkup, karung,
polybag dan lain-lain. Alat yang diperlukan
adalah handsprayer, gembor, pisau, tali,
meteran, kaliper, GPS, kamera, ayakan,
cangkul, gunting setek, gelas ukur, pisau,
termohigrometer, oven, timbangan, sprayer,
ice box, ember, alat tulis dan alat lainnya.
B. Prosedur Penelitian
ZPT yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ZPT yang mengandung bahan aktif
Naphthalene Acetic Acid (NAA) 3 persen dan
Naphthalene Acetamide (NAAm) 0,75 persen.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Rancangan acak lengkap (RAL).
Perlakuan dosis konsentrasi ZPT yang
digunakan yaitu kontrol (tanpa ZPT), 2g.10ml-
1, 4g.10ml-1, 10g.10ml-1 dan ZPT secara
dioles/bubuk. Masing-masing pangkal setek
PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP
PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)
Aris Sudomo dan Maman Turjaman
97
pucuk direndam dalam larutan ZPT selama
±15 menit. Setiap perlakuan terdiri atas 3
ulangan dan pada setiap ulangan terdiri atas 50
setek. Total setek dalam uji coba ini adalah 5 x
3 x 50 = 750 setek. Langkah–langkah yang
telah dilakukan dalam perbanyakan vegetatif
dengan setek pucuk adalah sebagai berikut:
1. Persiapan Media Setek Pucuk
Media setek pucuk yang digunakan adalah
campuran pasir halus ditambah pupuk kandang
(3:1, v/v). Untuk tempat media digunakan
polybag dengan ukuran 10 cm x 15 cm. Media
pasir yang memiliki aerasi dan porositas baik
tetapi relatif miskin unsur hara. Campuran
dengan pupuk kandang mampu meningkatkan
bahan organik sehingga tersedia unsur hara
dan menyimpan air dengan baik. Campuran
media untuk perakaran tersebut terlebih dahulu
disemprot fungisida agar steril dan tidak
menyebabkan busuk setek. Setek pucuk pada
media pasir memiliki kelembapan yang cukup
dan setek yang ditanam dapat berdiri
kokoh/tidak mudah goyah (Adinugraha,
Pudjiono & Yudistiro., 2007).
2. Penyediaan Materi Setek Pucuk
Bahan setek berasal dari pangkasan
bagian pucuk karena bagian pucuk
menghasilkan persentase hidup lebih tinggi
dibanding tengah dan pangkal pada jenis
Gonystylus bancanus dan Tectona grandis
(Nor Aini et al., 2010) (Husen & Pal, 2007).
Bahan setek yang diambil harus memenuhi
kriteria sebagai berikut: (1) pucuk autotrop, (2)
pucuk masih muda (juvenil) (Danu et al.,
2011) (3) pucuk bebas hama dan penyakit, dan
(4) panjang pucuk ± 10 cm atau terdiri atas
2─3 ruas (masing masing ruas rata-rata 2─3
daun). Bagian tunas S. cumini yang relatif
masih muda dipotong dengan mengambil 3
nodul dan menyisakan 4 helai daun. Setiap
helai daun dipotong 2 per 3 bagian sehingga
tersisa 1 per 3 bagian luas daun. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi penguapan sinar
matahari dan mendorong terbentuk tunas baru.
3. Penanaman Setek Pucuk ke Media
Pucuk yang telah di potong dicelupkan
pada zat pengatur tumbuh akar. Perendaman
pada setek pucuk pada larutan hormon/ ZPT
dilakukan sampai meresap dalam bagian tunas
untuk setek (± 15 menit). Kemudian ditanam
pada media tanam yang sebelumnya sudah
disiram air sampai jenuh dan sudah dilubangi.
Hal ini dilakukan dengan terlebih dahulu
melubangi media menggunakan batang sedikit
lebih besar dari batang bahan setek pucuk.
Bahan setek pucuk dimasukkan dalam media
yang telah dilubangi tersebut dan
memampatkan dengan tangan sehingga
tertutup dengan rapat
4. Pemasangan Sungkup Plastik Pada
Setek Pucuk
Penyungkupan setek pucuk dilakukan
untuk menghindari sinar matahari secara
langsung dan mengurangi penguapan. Dengan
disungkup kondisi lingkungan didalam
sungkup plastik transparan dengan suhu relatif
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
98
hangat 26°C─32°C dengan kelembapan yang
relatif tinggi (80 persen─85 persen) sehingga
metabolisme tanaman terdorong untuk
pertumbuhan akar dan tunas baru. Selain
penyungkupan dilakukan pula penaungan
dengan shading net (intensitas naungan 60
persen) diatas setek pucuk S. cumini setinggi
± 160 cm. Fungsi shading net adalah untuk
mengurangi intensitas sinar matahari yang
masuk dan melindungi sungkup yang berisi
setek pucuk.
5. Pemeliharaan Setek Pucuk
Penyiraman dengan sistem kabut
menggunakan handsprayer dilakukan dengan
memperhatikan kelembapan media tanam
sekali sehari. Kegiatan pemeliharaan setiap
seminggu sekali antara lain: (1) penyiangan
terhadap gulma yang tumbuh, (2) pengambilan
pucuk-pucuk yang busuk dan layu, (3)
penyemprotan fungisida, dan (4)
penyemprotan pupuk daun. Pembukaan
sungkup plastik dilakukan sampai setek pucuk
telah tumbuh daun-daun baru.
C. Analisis Data
Pengamatan pertumbuhan dilakukan
sampai setek pucuk S. cumini berumur 6
bulan. Parameter yang diamati adalah
persentase hidup, tinggi setek, jumlah daun,
berat basah total, berat basah batang dan daun,
berat basah akar, berat kering total, berat
kering batang dan daun, berat kering akar,
nisbah pucuk akar dan indeks mutu bibit.
Analisis yang digunakan untuk menguji ragam
parameter yang diamati adalah analisis ragam
menggunakan uji F. Selanjutnya apabila
perlakuan berpengaruh nyata terhadap
parameter yang diukur maka dilanjutkan
dengan menggunakan uji Duncan
(Sastrosupadi, 2000).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Berdasarkan hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa pengaruh pemberian ZPT
berbeda nyata terhadap pertumbuhan tinggi,
diameter, jumlah daun, berat kering batang dan
daun, berat kering akar dan nisbah pucuk akar
setek pucuk S. cumini. Meskipun demikian
pemberian ZPT tidak berpengaruh nyata
terhadap persentase hidup, pertumbuhan berat
basah dan berat kering total tanaman, berat
kering batang + daun, berat basah akar dan
indeks mutu bibit setek pucuk S. cumini
sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Untuk
mengetahui beda rata-rata antar perlakuan
dilakukan uji beda nyata terkecil Duncan.
Berdasarkan hasil Uji Lanjut Duncan
menunjukkan bahwa pemberian ZPT 4g. 10
ml-1 menghasilkan hasil tertinggi pada
parameter tinggi, jumlah daun, berat kering
batang dan daun dan nisbah pucuk akar setek
pucuk S. cumini. Sedangkan parameter
pertumbuhan akar (berat kering akar) tertinggi
dihasilkan dengan pemberian ZPT 10g. 10 ml-1
sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP
PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)
Aris Sudomo dan Maman Turjaman
99
Tabel(Table) 1. Hasil analisis ragam pengaruh pemberian ZPT terhadap persentase hidup,
pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah daun, berat basah total tanaman, berat basah
batang dan daun, berat basah akar, berat kering total tanaman, berat kering batang
+ daun, berat kering akar, nisbah pucuk akar dan indek mutu bibit setek pucuk S.
cumini umur 6 bulan. (The result of varians analysis the effect of growth regulator
substance on survival, growth of height, diameter, number of leaves, total wet
weight of cutting, wet weight of stem and leaves, wet weight of root, total dry
weight of cutting, dry weight of stem and leaves, dry weight of root, top-root ratio
and seedling quality indexs of S. cumini cutiing at 6 months old)
Parameter F Hit (F Cal) Signifikasi (Signification)
Persentase Hidup(Survival )(%) 2,012 0,169 Ns
Tinggi (Height) 3,437 0,009 *
Diameter 15.797 0,000 *
Jumlah daun (Number of leaves) 2,521 0,041 *
Berat basah total tanaman (Total Wet weight of cutting) 1,848 0,123 Ns
Berat basah batang+daun (Wet weight stem and leaves) 1,135 0,343 Ns
Berat basah akar (Wet weight of root) 2,447 0,49 Ns
Berat kering total tanaman (Total dry weight of cutting ) 2,406 0,053 Ns
Berat kering batang+daun (Dry weight of stem and leaves) 3,056 0,019 *
Berat kering akar (Dry weight of root) 3,149 0,016 *
Nisbah pucuk akar (Top-root ratio) 7,674 0,000 *
Indeks Mutu Bibit (The quality indexs of seedling) 1,634 0,169 Ns
Keterangan (Remark) : * = berbeda nyata pada taraf uji 95% dan ns = tidak berbeda nyata pada taraf uji 95%
((Significant in 95% level and insignificant in 95% level)
Tabel (Table)2. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian ZPT terhadap persentase hidup, tinggi,
diameter, jumlah daun, berat kering batang + daun, berat kering akar dan nisbah
pucuk akar setek pucuk S. cumini umur 6 bulan (Duncan test of the effect of
growth regulator substance doses on survival and growth of S. cumini cutting at 6
months old) Perlakuan/ Sumber variasi
(Treatment / Variation source)
Persentase hidup
(Survival) (%)
Persentase hidup
(Survival) (Arsin (√x)
Tinggi (Heigth)
(cm)
Diameter (mm)
Jumlah daun
(Number of leaves)
Berat kering akar (Dry
weigth of root) (gram)
Berat kering
batang + daun (Dry weight of stem and leaves) (gram)
Nisbah pucuk akar (Top-Root
Ratio)
Kontrol ( ZPT 0g. 10 ml-1) 67,33 55,34 a 24,51 a 3,38 d 22,67 ab 0,46 a 2,34 A 5,95 bc
ZPT dioles (powder) 80,00 63,66 a 26,30 a 2,51 a 21,01 ab 0,50 a 2,13 A 4,78 ab
ZPT 2g.10 ml-1 77,33 62,31 a 25,21 a 2,79 bc 19,48 a 0,51 a 2,69 Ab 5,57 b
ZPT 4g.10 ml-1 77,33 62,31 a 29,84 ab 3,01 c 23,72 b 0,54 a 3,36 B 6,55 c
ZPT 10g.10 ml-1 56,67 48,87 a 26,02 a 2,56 ab 21,62 ab 0,78 a 2,48 A 3,81 a
Keterangan (Remarks): Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama dalam suatu kolom menunjukkan tidak berbeda
nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Value followed by same letter on column indicated not different at level 95% on Duncan Test)
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian ZPT secara dioles/bubuk
menghasilkan persentase hidup tertinggi
sebesar 80 persen (peningkatan 13,33 persen
dibandingkan dengan kontrol). Rincian
persentase hidup setek pucuk mulai dari yang
tertinggi adalah ZPT dioles (80 persen), ZPT
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
100
4g.10ml-1 (77,33 persen), ZPT 2g.10ml-1
(77,33 persen), kontrol (67,33 persen) dan
ZPT 10g.10ml-1 (56,67 persen). Hal ini
disebabkan oleh pengaruh pemberian ZPT
mengandung hormon auksin (IBA+NAA)
yang mampu merangsang pertumbuhan akar
(Gustini, 2013). Pemberian auksin pada awal
penanaman dapat merangsang pertumbuhan
sel ujung mata tunas, pertumbuhan akar lateral
dan akar serabut serta merangsang
pembentukan tunas dan daun dengan cepat.
Selanjutnya diperkuat hasil penelitian (Siregar
et al., 2005) yang menyatakan bahwa
kandungan NAA+IBA dalam hormon auksin
mempunyai pengaruh paling besar terhadap
pertumbuhan akar green rose (Rosa x odorata
“viridiflora”). Auksin sebagai salah satu zat
pengatur tumbuh bagi tanaman mempunyai
pengaruh terhadap pengembangan sel,
fototropisme, geotropisme, apikal dominansi,
pertumbuhan akar partenokarpi, absission,
pembentukan kalus dan respirasi (Abidin,
1994). Kandungan IBA (Indolebutyric acid),
NAA (Naphthaleneacetic acid) dan 2,4-D
(Dichloro Phenoxy Acetic Acid) dapat
mempercepat dan memperbanyak keluarnya
akar karena mengandung bahan aktif dari
formulasi beberapa hormon tumbuh akar
(Rismunandar, 2007).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
persentase hidup setek pucuk S. cumini dengan
pemberian ZPT dioles relatif lebih tinggi
dibanding lainnya dan sejalan dengan
beberapa hasil penelitian lainnya. Penelitian
Yuliandawati (2016) menyatakan bahwa
pemberian ZPT auksin mengandung
NAA+IBA meningkatkan persentase tumbuh
setek lebih baik dibandingkan tanpa ZPT pada
tanaman lada (Piper ningrum L). Selanjutnya
setek pucuk manglid (Magnolia champaca)
dan Acacia crassicarpa dengan ZPT auksin
(campuran NAA dan IBA) dengan cara dioles
menghasilkan persentase hidup terbesar
dibandingkan dilarutkan dan tanpa ZPT
(Sudomo et al., 2013).
Data setek pucuk S. cumini menunjukkan
bahwa pemberian ZPT dioles menghasilkan
persentase hidup terbesar tetapi tidak berbeda
nyata dengan perlakuan lainnya (termasuk
dengan ZPT dari 4g.10ml-1). Peningkatan
konsentrasi ZPT dari 4g.10 ml-1 menjadi
10g.10ml-1air menyebabkan penurunan
persentase hidup. Konsentrasi ZPT sehingga
melebihi dosis optimal akan menghambat
pertumbuhan setek. Sejalan penelitian
Setyowati et al., (1998) menyatakan bahwa
pada setek batang Macaranga triloba Muell.
Arg dengan ZPT auksin dengan kandungan
IBA dan NAA pada dosis lebih rendah 25 mg
per setek menghasilkan persentase hidup lebih
besar dibandingkan dosis 50 mg per setek dan
75 mg per setek. Kandungan auksin pada
konsentrasi yang tepat sangat berperan dalam
deferensiasi sel, namun pada konsentrasi di
PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP
PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)
Aris Sudomo dan Maman Turjaman
101
atas optimum dapat bersifat racun yang dapat
menurunkan hasil yang diinginkan (Surata,
2008).
Meskipun aplikasi ZPT 10g.10ml-1
menghasilkan berat kering akar tertinggi tetapi
persentase hidup, diameter, jumlah daun, berat
kering batang dan daun dan top root ratio
lebih rendah dibandingkan ZPT 4g.10ml-1. Hal
ini sejalan dengan penelitian Northmore et al.
(2015) meskipun penambahan 5.0 mg.l-1 α-
Naphthalene Acetic Acid (NAA) pada media
setek pucuk Bienertia sinuspersici
menghasilkan jumlah akar adventif lebih
banyak tetapi persentase hidup yang lebih
kecil dibandingkan penambahan 1.0 mg.l-1
Indole-3-Butyric Acid (IBA). Secara umum,
konsentrasi auxins yang tinggi diperlukan
untuk inisiasi akar, namun mungkin juga
menghambat perkembangannya (De Klerk,
Krieken & Jong, 1999).
Secara keseluruhan perlakuan ZPT
menghasilkan persentase hidup yang cukup
tinggi (>56 persen). Bahkan penggunaan ZPT
dioles dalam pembibitan setek pucuk
menghasilkan persentase hidup terbesar
mencapai 80 persen tidak berbedanyata
dengan ZPT 4g.10 ml-1 (77,33 persen). Bahan
setek S. cumini merupakan pangkasan berupa
tunas juvenile. Tunas juvenil akan lebih
mudah berakar dibandingkan dengan pada
tahap dewasa (mature) (Amri et al., 2009). Hal
ini juga sesuai dengan penelitian Danu et al.
(2011) yang menyebutkan bahwa bahan setek
pucuk nyamplung (Calophyllum inophyllum L)
yang berasal dari anakan (seedling)
menghasilkan persen hidup terbaik dan
berbeda nyata dibandingkan berasal dari
pohon muda dan pohon dewasa. Diperkuat
Surata (2008) pemberian zat pengatur tumbuh
yang diberikan pada tanaman ditujukan untuk
merangsang keluar akar, jika diberikan pada
tanaman yang terlalu tua hanya akan
merangsang pembelahan sel yaitu yang
ditandai oleh munculnya kalus pada luka bekas
potongan. Pada kasus stump Santalum album
L, kemungkinan lain dengan makin tuanya
bahan stump akan terjadi proses pengayuan
dan penebalan batang (Surata, 2008). Terlebih
lagi ketinggian pangkasan untuk bahan setek
kurang dari 60 cm dari permukaan tanah. Hal
ini positif bagi kemampuan berakar dari setek
pucuk yang ditanam sehingga persentase
keberhasilannnya relatif tinggi. Sebab menurut
(Pramono, 2008) jika bahan setek yang
diambil dari indukan /kebun pangkas lebih dari
90 cm dari permukaan tanah maka
kecenderungan persen hidup dan panjang akar
akan menurun. Secara keseluruhan
penggunaan bahan setek juvenil, kondisi
lingkungan yang baik dan pemberian hormon
IBA membuat kapasitas perakarannya tinggi
(Majada, Celia Martinez-Alonso, Feito,
Kidelman, Aranda & Alia, 2011).
Penggunaan ZPT 4g.10ml-1 tidak hanya
menghasilkan persentase hidup yang relatif
tinggi tetapi juga menghasilkan tinggi, jumlah
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
102
daun, berat kering batang dan daun dan top
root ratio tertinggi dibanding dengan
konsentrasi lainnya. Hasilnya adalah
pertumbuhan tinggi setek tertinggi yaitu 29,84
cm (peningkatan sebesar 21,74 persen
dibandingkan dengan kontrol), jumlah daun
terbanyak sebesar 23,72 buah (peningkatan
4,63 persen dibandingkan dengan kontrol),
berat kering batang dan daun terberat sebesar
3,36 gram (peningkatan 43,59 persen
dibandingkan dengan kontrol) dan top ratio
tertinggi sebesar 6,55 (peningkatan 10,08
persen dibandingkan dengan kontrol). Hal ini
sejalan dengan penelitian Handriyano (2007)
yang menyatakan bahwa pemberian ZPT
sejenis dengan konsentrasi 10 mg per bibit
secara oles atau perendaman pada 0,8g l-1
berpengaruh nyata positif terhadap
pertumbuhan setek batang tanaman jarak
pagar. Penggunaan ZPT sejenis juga dapat
mempercepat waktu bertunas okulasi ubi kayu
(Lubis et al., 2017). Pemberian ZPT sejenis
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
panjang tunas, diameter tunas, jumlah daun,
luas daun dan bobot akar lateral pada stum
karet (Hevea Brasilliensis) (Mulyani et al.,
2016). Menurut Shiddiqi et al. (2012) setek
Hevea brasilensis yang diberi ZPT sejenis
lebih baik pertumbuhannya dibandingkan
dengan tanpa pemberian zat pengatur tumbuh.
Pemberian auksin NAA tidak hanya
memperbaiki persentase berakar tetapi juga
memperbaiki pertumbuhan dan tingkat
kelangsungan hidup plantlet G. biloba
dibandingkan dengan kontrol/ tanpa auksin
(Pandey, Tamta & Giri, 2011). Peningkatan
konsentrasi ZPT dari 4 g.10 ml-1 menjadi 10
g.10 ml-1 hanya meningkatkan berat kering
akar tetapi tidak meningkatkan pertumbuhan
setek diatas tanah (tinggi setek, jumlah daun,
berat kering batang dan daun). Hal ini
berakibat pada konsentrasi 10 g.10 ml-1
menghasilkan top-root ratio lebih rendah
dibandingkan dengan konsentrasi 4 g. 10 ml-1.
Hal ini sejalan dengan penelitian Salim dan
Na’iem (2001) pertumbuhan panjang akar dan
jumlah akar setek pucuk Tectona grandis L.F
akan semakin besar dengan semakin besarnya
konsentrasi hormon (campuran NAA+IBA).
Meskipun demikian semakin besar konsentrasi
zat pengatur tumbuh yang digunakan akan
menghasilkan persentase bertunas yang makin
rendah (Adinugraha et al., 2007). Diperkuat
dengan hasil penelitian (Hermansyah et al.,
2014) yang menyatakan bahwa konsentrasi
ZPT sejenis dengan konsentrasi 6 g.10 ml-1air
pada sistem pembibitan langsung buah naga
(Hylocereus costaricencis) menghasilkan
pertumbuhan panjang tunas terbaik
dibandingkan 0g.10ml-1 air, 9 g.10ml-1 air dan
12g.10ml-1air. Hormon tumbuh dalam jumlah
tertentu (optimal) akan aktif mengatur reaksi-
reaksi metabolik penting dan salah satunya
untuk memacu pertumbuhan akar. Menurut
PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP
PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)
Aris Sudomo dan Maman Turjaman
103
Surata (2008) pemberian ZPT yang
mengandung IBA dan NAA melebihi dosis
optimal akan menghambat pertumbuhan stump
S. Album L sehingga dapat merusak dan
meracuni tanaman. Penggunaan ZPT auksin
pada dosis yang tepat dapat meningkatkan
pertumbuhan setek, sedangkan pada dosis
yang tidak tepat dapat mengakibatkan
pertumbuhan terhambat atau abnormal
(Abidin, 1994).
IV. KESIMPULAN
Teknik perendaman dengan konsentrasi
ZPT 4g.10ml-1air menghasilkan pertumbuhan
tinggi (29,84 cm) jumlah daun (23,72 buah),
berat kering batang dan daun (3,36 gram),
dan top-root ratio (6,55) setek pucuk S. cumini
terbaik dibanding perlakuan lainnya.
Penggunaan ZPT auksin 4g.10ml-1air
menghasilkan persentase jadi setek pucuk S.
cumini ( 77,33 persen) dan tidak berbeda nyata
dengan ZPT dioles (80 persen). Penggunaan
tunas juvenil, media pasir ditambah pupuk
kandang (3:1;v/v), penggunaan ZPT NAA, dan
penyungkupan menentukan keberhasilan setek
pucuk S. cumini. Dalam teknik perbanyakan
setek pucuk S. cumini disarankan
menggunakan ZPT 4 g.10 ml-1air untuk
memperoleh pertumbuhan di atas tanah yang
lebih baik. Perbanyakan vegetatif setek pucuk
S. cumini sebaiknya menggunakan bahan setek
yang berasal dari kebun pangkas hasil
pemuliaan dan teknik juvenilisasi dalam
populasi produksi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah menyutujui kegiatan
penelitian Penerapan Agroforestri Tanaman
Hutan Penghasil Obat Jenis S. cumini periode
2015─2019 di Balai Litbang Agroforestry
Ciamis. Terima kasih kepada SMK Kehutanan
Rimba Bahari di Sumedang yang telah
memfasilitasi tempat dan sarana penelitian,
kepada Edi Nurrohman dan Srita Farida yang
telah membantu penelitian ini. Terima kasih
pada Yonky Indrajaya dan Dila Swestiani yang
telah memberi akses referensi jurnal
internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. (1994). Dasar-Dasar Pengetahuan
Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Penerbit
Angkasa. Bandung.
Adinugraha, H. ., Pudjiono, S., & D.Yudistiro.
(2007). Pertumbuhan Setek Pucuk Dari Tunas Hasil Pemangkasan Semai Jenis Euchalyptus
Pellita F. Muell Di Persemaian. Jurnal
Pemuliaan Tanaman Hutan , Juli 2007. Balai Besar Penelitian Bioteknologi Dan Pemuliaan
Tanaman Hutan.
Purwobinangun.Yogyakarta., 1(1–6).
Afify, A. E. M. R., Fayed, S. A., Shalaby, E. A., & El-shemy, H. A. (2011). Syzygium cumini
(pomposia) Active Principles Exhibit Potent
Anticancer and Antioxidant Activities. African Journal of Pharmacy and
Pharmacology, 5, 948–956.
Amri, E., Lyaruu, H. V. M., Nyomora, A. S., & Kanyeka, Z. L. (2009a). Evaluation of
Provenances and Rooting Media for Rooting
Ability of African Blackwood (Dalbergia
melanoxylon Guill. & Perr.) Stem Cuttings. Research Journal of Agriculture and
Biological Sciences, 5(4), 524–532.
Amri, E., Lyaruu, H. V. M., Nyomora, A. S., & Kanyeka, Z. L. (2009b). Vegetative
Propagation of African Blackwood
(Dalbergia melanoxylon Guill. & Perr.):
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
104
Effects of Age of Donor Plant, IBA Treatment
and Cutting Position on Rooting Ability of
Stem Cuttings. New Forests International Journal on the Biology, Biotechnology, and
Management of Afforestation and
Reforestation, 39(2), 183–194.
Anonim. (2010). Jamblang.
“http://juli.sttbandung.web.id/id1/2520-
2416/Jamblang_102575_juli-sttbandung.html.”Tanggal Akses 10
Desember 2014.
Ayyanar, & Babu. (2012). Sysygium cumini (L)
Skeels : A Review Of Phytochemical Constituens And Traditional Uses. Asian
Pacific Journal Of Tropical Biomedicine.,
2(3), 240–246.
Azad, S., Alam, J., Mollick, A. S., & Matin, A.
(2016). Responses of IBA on Rooting ,
Biomass Production and Survival of Branch Cuttings of Santalum album L, a Wild
Threatened Tropical Medicinal Tree Species,
3(2), 195–205.
Danu, Subiakto, & Abidin, A. Z. (2011). Pengaruh Umur Pohon Induk Terhadap Perakaran Setek
Nyamplung (Cannophyllum inophyllum (L)).
Jurnal Hutan Tanaman Bogor., 8(1), 41–49.
De Klerk, G. ., Krieken, W. V. ., & Jong, J. (1999).
The Formation of Adventitious Roots: New
Concepts, New Possibilities. In In Vitro
Cellular & Developmental Biology-Plant. 35,
189–199
Gustini D. (2013). Pengaruh Rootone F dan
Pemberian Bayfolan Terhadap Pembentukan Akar Dan Pertumbuhan Salak. Biospecies .,
6(2), 8–13.
Handriyano, A. (2007). Pengaruh Panjang Setek dan Lama Perendaman Dalam Zat Pengatur
Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Setek Jarak
Pagar (Jatrophus curcas L). http. /skripsi.
www. go. id/files/disdik/201/jiptummpp-gal-
S1- Tanggal Akses 12 Maret 2018.
Helmstadter. (2008). Syzygium cumini (L) Skelels
(Myrtaceae) Agains Diabetes. 125 Years Of
Research. Pharmazie, 3(2), 91–101.
Hermansyah, A., Armaini, & Ariani., E. (2014).
Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh Dan Sistem Pembibitan Terhadap
Pertumbuhan Bibit Buah Naga (Hylocereus
Costaricensis). Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Husen, A., & Pal, M. (2007). Effect of Branch
Position and Auxin Treatment On Clonal Propagation of Tectona grandis Linn. f. New
Forests International Journal on the Biology,
Biotechnology, and Management of Afforestation and Reforestation, 34(3), 223–
233.
Lubis, S. T., Rahmawati, N., & Irmansyah, T. (2017). Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh dan
Komposisi Media Tanam Terhadap
Pertumbuhan Okulasi Ubi Kayu. Jurnal
Agroekoteknologi FP USU., 5(1), 195–201.
Majada, J., Celia Martínez-Alonso, Feito, I.,
Kidelman, A., Aranda, I., & Alía, R. (2011).
Mini-Cuttings: an Effective Technique for The Propagation of Pinus Pinaster Ait. New
Forests International Journal on the Biology,
Biotechnology, and Management of Afforestation and Reforestation, 41(3), 399–
412.
Majeed, M., Khan., M. A., & Mughal, A. H.
(2009). Vegetative Propagation of Aesculus indica Through Stem Cuttings Treated With
Plant Growth Regulators. Journal of Forestry
Research, 20(2), 171–180.
Mulyani, C., Yukri, & Fachriza, D. (2016).
Pengaruh Jenis Zat Pengatur Tumbuh Dan
Pupuk Hayati Terhadap Pertumbuhan Bibit
Karet Stum Mata Tidur (Hevea Brasilliensis Muell, Arg). Jurnal Penelitian
AGROSAMUDRA, 4(2), 19–27.
Namasivaan, R., Ramachandran, B., & Decharaman, M. (2008). Effect of Aqueous
Extract of Syzygium cumini Pulp on
Antioxidant Defense System in Streptozotocin Induced Diabetic Rats. Internasional Journal
Of Post Harvest Techonolgy, 7(2), 137–145.
Nor Aini, A., Veronica, S., & Ismail, P. (2010).
Effect of Cutting Positions and Growth Regulators on Rooting Ability of Gonystylus
bancanus. Journal of Plant Science, 4(1),
290–295.
Northmore, J. A., Leung, M., & Xung, S. D.
(2015). Effects of Media Composition and
Auxins on Adventitious Rooting of Bienertia sinuspersici Cuttings. Advances in Bioscience
and Biotechnology, 6(10), 10.
Nurlaeni, Y., & Surya, M. I. (2015). Respon Setek
PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP
PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)
Aris Sudomo dan Maman Turjaman
105
Pucuk Camelia japonica Terhadap Pemberian
Zat Pengatur Tumbuh Organik. In
http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/M/M0105/
M010543.pdf. 1, 1211–1215).
Nuryana, A., Armaini, & Ardian. (2012). Kajian
Komposisi Media Dan Panjang Setek Terhadap Pertumbuhan Bibit Tanamna Buah
Naga (Hylocereus costaricensis). Buletin
Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Riau .Riau, 108, 12–20.
Pandey, A., Tamta, S., & Giri, D. (2011). Role Of
Auxin On Adventitious Root Formation And
Subsequent Growth Of Cutting Raised Plantlets Of Ginkgo biloba L. International
Journal Of Biodivesity And Conservation,
3(4), 142–146.
Pinho, D. B., Pereira, O. L., & Soares, D. J. (2014).
First Report Of Gilbertella Persicaria As The
Cause Of Soft Rot Of Fruit Of Syzygium
cumini. Australasian Plant Disease Notes,
9(1), 143.
Pramono A.A. (2008). Pengaruh Tinggi Pangkasan
Pohon Induk Dan Diameter Pucuk Terhadap Perakaran Setek Benuang Bini. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman. Pusat Litbang
Hutan, 5(1), 29–36.
Prince. P, & Venon. M. (2008). Efecct Of
Syzygium cumini In Plasma Antioxidant On
Alloxant Induced Diabetes in Rats. Journal Of
Clinical Biochemistry And Nutrition, 25, 81–
86.
Rani, S., & Rana, J. S. (2010). In Vitro
Propagation Of Tylophora Indica-Influence Of Explanting Season , Growth Regulator
Synergy , Culture Passage And Planting
Substrate. Journal of American Science,
6(12), 385–392.
Rismunandar. (2007). Budidaya Lada dan Tata
Niaga. Penebar Swadaya. Jakarta, 53–57.
Ristawati, V. (2008). Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh (Rootone-F) Terhadap Pertumbuhan
Akar Jati (Tectona Grandis) Dalam
Perbanyakan Secara Setek Pucuk. SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna
Mencapai Derajad Sarjana-1 Pendidikan
Biologi Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Salim, M. A., & Na’iem, M. (2001). Rhizogenesis
Adventif Setek Pucuk Jati (Tectona grandis
L.f.). Agrosains. Fakultas Kehutanan UGM,
14(1), 11–20.
Sastrosupadi A. (2000). Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Setyowati, N., Indarto, & Sumiarsri, N. (1998). Respon Pertumbuhan Tiga Macam Setek
(Macaranga Triloba Muell. Arg) Pada
Pemakaian Dosis Rooton-F Yang Berbeda.
Buletin Kehutanan. 37, 20–29.
Shiddiqi, U. A., Murniati, & Saputra, S. I. (2012).
Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh
Terhadap Pertumbuhan Bibit Stum Mata Tidur Tanaman Karet (Hevea Brasilliensis).
Jurnal. Fakultas Pertanian Universitas Riau,
1(1), 1–11.
Siregar, H.-M., Suendra, I. P., & Siregar, M.
(2005). Rosa x odorata “viridiflora” (Green
rose) in Bali Botanical Garden: Biological
Phenology and Its Propagation. Biodiversitas, Journal of Biological Diversity, 6(3), 181–
184.
Sudomo, A., Rohandi, A. and, & Mindawati, N. (2013). Penggunaan Zat Pengatur Rootone-F
Tumbuh Pada Setek Pucuk Manglid B I
(Manglietia Glauca), Jurnal Hutan Tanaman
Bogor. 10(2), 57–63.
Surata, K. (2008). Penggunaan Zat Pengatur
Tumbuh Rootone-F Pada Stump Cendana
Santalum album Linn). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. September 2008., 5
(Suplemen 1), 11–20.
Swami, S. B., Thakor, N. S. J., Patil, M. M., & Haldankar, P. M. (2012). Jamun (Syzygium
cumini) : A Review of Its Food and Medicinal
Uses. Food and Nutrition Sciences, 3(8),
1100–1117.
Watijo. (2007). Uji Beberapa Jenis Zat Pengatur
Tumbuh pada Setek Lada (Piper nigrum L.)
Asal Sulur Panjat dan Sulur Gantung. Skripsi
STIPER Dharma Wacana Metro Lampung.
Yuliandawati. (2016). Pengaruh Perlakuan
Berbagai Jenis Zat Pengatur Tumbuh Dan Jumlah Ruas Terhadap Pertumbuhan Bibit
Lada (Piper Nigrum L.). Skripsi (Tidak
Dipublikasikan). Jurusan Agroteknologi
Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Dharma
Wacana Metro Metro-Lampung.
PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)
Yetti Heryati dan Retno Agustarini
© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.93-105 107
PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)
(The Use of Some Growing Media and Shading Level to Increase the Growth of Litsea cubeba's Seedling)
Yetti Heryati dan/and Retno Agustarini Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Litbang dan Inovasi, KLHK
Jl. Gunung Batu No. 5, Po. Box. 165, Kode Pos 16610, Telp. 0251- 8633234, 520067, Fax. 0251 - 8638111, Bogor, Indonesia
e-mail: [email protected] Naskah masuk: 20 Oktober 2017; Naskah direvisi: 25 Juli 2018; Naskah diterima: 12 Desember 2018
ABSTRACT Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) is one of the potential economic producing essential oils, because all body part of kilemo’s trees can produce essential oil. The development of kilemo is constrained by the lack of information on cultivation technology. Research on kilemo nursery has been carried out, however the information was not completely provided especially those related to shading and media. Therefore the purpose of the study is to get information on the response of kilemo seedlings on the use of shade and media in the nursery. The study was conducted in a Greenhouse of Forest Tree Seed Technology Research & Development Center (FTSTRDC) Bogor. The experiment used Completely Randomized Design with Factorial Pattern, consisted of 2 factors and 10 replications. The first factor is media consisting of 5 types of media: soil; compost charcoal;soil + compost charcoal 3:1 (v/v); soil + paddy husk charcoal 3:1 (v/v); and soil + charcoal compost + paddy husk charcoal 3: 1: 1 (v/v/v). The second factor is shade consisting of 4 shade intensity that is: 0 percent, 25 percent, 50 percent, 75 percent. The results showed that Media of soil + paddy husk charcoal 3:1 (v:v) with shade 25 percent gives the best growth to Litsea cubeba’s seedlings 5 months after weaning on the parameters of height (12.64 cm), number of leaves (5.56), dry weight (0.182), seed quality index (0.021) and TR ratio (1.967). Keywords: growing media, growth, Litsea cubeba, shade, seedling
ABSTRAK
Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) merupakan salah satu penghasil minyak atsiri potensial ekonomi karena semua bagian tanaman dapat menghasilkan minyak atsiri. Pengembangannya terkendala minimnya informasi teknologi budidayanya. Penelitian mengenai pembibitan kilemo sudah pernah dilakukan, namun belum memberikan informasi yang lengkap terutama yang berkaitan dengan naungan dan media. Oleh karena itu penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai respon pertumbuhan bibit kilemo terhadap naungan dan media yang digunakan. Penelitian dilakukan selama 6 bulan di rumah kaca Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Bogor. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan pola faktorial, yang terdiri dari 2 faktor dengan 10 kali ulangan. Faktor pertama adalah media yang terdiri dari 5 jenis media yaitu: tanah, arang kompos, campuran tanah+arang kompos 3:1 (v/v), tanah+arang sekam padi 3:1 (v/v) dan tanah+arang kompos:arang sekam padi 3:1:1 (v/v/v). Faktor kedua adalah naungan yang terdiri dari 4 intensitas naungan yaitu: 0 persen, 25 persen, 50 persen, 75 persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit kilemo umur 5 bulan yang ditanam pada media campuran tanah dan arang sekam padi 3:1 (v/v) dengan naungan 25 persen menghasilkan pertumbuhan yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan lain dengan pertumbuhan tinggi bibit (12,64 cm), jumlah daun (5,56), berat kering (0,82), indeks mutu bibit (0,021) dan nisbah pucuk akar (1.967). Kata kunci: kilemo, Litsea cubeba, media tanam, naungan, pertumbuhan
I. PENDAHULUAN
Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) adalah
tanaman penghasil minyak atsiri bernilai
ekonomi tinggi. Minyak atsiri yang dihasilkan
mempunyai nama dagang Maychang oil atau
cubeba oil, dengan produsen utama adalah
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
108
China. Pasar minyak atsiri dari keluarga
Lauraceae ini masih menjanjikan, karena
kebutuhan dalam negeri China sendiri masih
tinggi (Rostiwati & Putri, 2012). Tanaman ini
merupakan tanaman endemik Indonesia,
terlihat dari sebarannya di dataran tinggi
Indonesia (diantaranya Gunung Papandayan,
Gunung Patuha, Gunung Tangkuban Perahu,
Gunung Ciremai). Berdasarkan potensi pasar
dan sebarannya tersebut, membuat Indonesia
berpeluang sebagai produsen minyak atsiri
kilemo.
Minyak kilemo dapat diekstrak dari semua
bagian tanaman baik buah, kayu, kulit, akar,
bunga maupun daunnya (Bhuinya, Singh, &
Mukherjee, 2010; Si, Chen, Han, Zhan, Tian,
Cui & Wang, 2012). Namun yang paling
banyak ditemukan pada kulit, daun dan buah
(Rostiwati, Kurniaty, Heryati, & Winarni,
2009). Umumnya digunakan pada industri
farmasi, parfum, aditif makanan dan minuman,
bahan sabun dan bahan pencampuran dalam
vitamin yang larut dalam lemak. Banyak hasil-
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
minyak atsiri kilemo memiliki antimikroba,
antibakteri, antioksidan, aktivitas antiparasit,
toksisitas akut dan genetik, sitotoksisitas serta
menjadi agen pencegahan kanker potensial
(Ho, Jie-ping, Liu, Hung, Tsai, Wang & Su,
2010) dan juga berpotensi sebagai fumigasi
dan repellent alami untuk menghindari gigitan
serangga (Yang, Fang, Xue, Feng, Shan &
Shan 2014). Di Indonesia, kilemo dikenal
dengan nama krangean (Jawa Tengah), kilemo
(Jawa Barat), antarasa (Sumatera) dan
apokayan (Kalimantan) (Heryati, Mindawati,
& Kosasih, 2009; Kurniaty, Syamsuwida,
Putri, & Aminah, 2014) dan dimanfaatkan
sebagai tambahan komposisi dalam industri
jamu (Sylviani & Elvida, 2010).
Kandungan minyak atsiri kilemo adalah
citral, sineol dan sitronellal, yang merupakan
senyawa metabolit sekunder. menyatakan
bahwa buah kilemo mengandung 75 persen
citral sedangkan daun mengandung minyak
essensial citral 1,8 kali lebih banyak dibanding
buahnya (Agrawal, Choudhary, Sharma, &
Dobhal, 2011). Produksi kedua senyawa
metabolit sekunder dipengaruhi berbagai
faktor, antara lain: tempat tumbuh seperti
iklim dan jenis tanah (Si et al., 2012).
Hal ini diperkuat oleh Mariska (2013)
bahwa kandungan metabolit sekunder
ditentukan oleh formulasi/komposisi media,
faktor fisik (suhu, cahaya, kelembapan dll.),
faktor genetik (genotipe sel) dan faktor stres
lingkungan. Lebih lanjut (Suwandhi,
Kusmana, Suryani, & Tiryana, 2014)
menyimpulkan bahwa ada 4 (empat) faktor
habitat yang berpengaruh terhadap rendemen
minyak atsiri kilemo yaitu kelembapan udara,
intensitas cahaya, lereng dan rasio CN,
sedangkan yang berpengaruh terhadap
komposisi senyawa ada 3 faktor yaitu
PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)
Yetti Heryati dan Retno Agustarini
109
kapasitas tukar kation (KTK), porsi liat tanah
dan volume tajuk.
Penelitian kilemo saat ini banyak
mengkaji aspek biofarmaka terutama studi
tentang kandungan senyawa kimia dan
kegunaannya, namun belum banyak penelitian
mengenai aspek budidayanya. Sementara di
sisi lainnya, masyarakat Indonesia cenderung
memanfaatkan kilemo dengan menebang
pohonnya tanpa ada upaya penanaman lagi.
Sehingga potensi alami tanaman kilemo di
alam cenderung menurun (Ali, 2008). Oleh
sebab itu upaya untuk mempelajari teknik
budidaya tanaman kilemo menjadi modal
utama bagi pengembangan kilemo di masa
depan, terutama upaya pembibitan yang
dilakukan diluar habitatnya yaitu di kondisi
lingkungan yang berbeda.
Ketersediaan bibit yang cukup, bermutu
baik dan dalam waktu yang tepat sangat
diperlukan dalam upaya pengembangan suatu
jenis tanaman. Untuk menghasilkan bibit yang
bermutu baik dibutuhkan media tumbuh yang
kaya akan bahan organik dan mempunyai
unsur hara yang diperlukan tanaman. Selama
periode pertumbuhan, media harus dapat
memasok akar tanaman dengan unsur hara
makro dan mikro yang diperlukan serta air dan
udara (Borowski & Nurzynski, 2012).
Umumnya media tumbuh yang digunakan
untuk pembibitan di persemaian adalah media
top soil, namun pengambilan top soil dalam
skala besar dapat berdampak negatif bagi
ekosistem di sekitarnya. Oleh sebab itu, untuk
mengurangi penggunaan top soil sebagai
media tumbuh, maka diperlukan alternatif
penggunaan media lain untuk pertumbuhan
bibit di persemaian. Selain media tumbuh
merupakan faktor penting untuk keberhasilan
pembibitan, faktor lainnya adalah intensitas
cahaya matahari yang dibutuhkan oleh
tanaman, dan setiap jenis tanaman
membutuhkan intensitas cahaya yang berbeda.
Beberapa jenis tanaman membutuhkan
naungan untuk pertumbuhannya, namun
beberapa jenis tanaman lainya akan terhambat
pertumbuhannya apabila diberi naungan.
Untuk jenis tanaman yang toleran terhadap
naungan, naungan diperlukan untuk
mengurangi transpirasi dan menjaga
kelembapan tanaman selama di persemaian
(Danu & Kurniaty, 2013). Ditambah lagi target
penanaman kilemo untuk menghasilkan
kandungan senyawa citral, sineol dan
sitronellal yang tinggi salah satunya
dipengaruhi oleh kedua faktor ini yaitu media
tumbuh dan intensitas cahaya.
Upaya pembibitan kilemo telah dilakukan
dan menghasilkan pertumbuhan yang baik
pada kombinasi perlakuan campuran media
tanah dan kokopit (v/v, 1:1) naungan 75 persen
(Kurniaty et al., 2014). Namun tidak ada
informasi pada umur berapa pada kondisi
tersebut bibit siap ditanam. Oleh karena itu
penelitian ini dilakukan sebagai lanjutan
penelitian tersebut. Penelitian ini bertujuan
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
110
untuk memperoleh informasi mengenai respon
pertumbuhan bibit kilemo terhadap naungan
dan media yang digunakan, sehingga diperoleh
kondisi yang paling sesuai bagi pertumbuhan
bibit kilemo di persemaian.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan
mulai Februari―Juli 2016. Penelitian
dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan, Bogor.Bahan-bahan yang
digunakan adalah buah kilemo yang berasal
dari Ciwidey, Bandung, (Jawa Barat): tanah,
pasir, arang kompos, arang sekam padi. Alat
yang digunakan berupa bak kecambah,
polybag, rak persemaian, shading net, alat
ukur bibit, oven, dan timbangan analitik.
B. Prosedur Penelitian
1. Perkecambahan benih dan penyapihan
bibit
Kegiatan penelitian meliputi
perkecambahan, penyapihan bibit pada
beberapa jenis media dan menempatkan bibit
pada beberapa tingkat naungan. Kegiatan
perkecambahan dimulai dengan skarifikasi
yaitu merendam benih kilemo dalam air kelapa
selama 30 menit kemudian ditiriskan. Benih
kemudian ditabur pada bak kecambah yang
berisi media yang sudah disterilkan (campuran
tanah dan pasir 1:1, v/v). Setiap bak kecambah
berisi 100 benih. Ketika benih sudah
berkecambah dan sudah mengeluarkan
sepasang daun, benih disapih pada polybag
yang berisi beberapa macam media dan
ditempatkan pada naungan dengan intensitas
cahaya yang berbeda. Kegiatan
perkecambahan ini berlangsung sekitar 1
bulan.
2. Rancangan penelitian
Rancangan yang digunakan pada
penelitian ini adalah Acak Lengkap dengan
pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor, yaitu:
1) Media dan 2) Naungan. Faktor pertama
terdiri dari 5 jenis yaitu M0 = tanah (sebagai
kontrol), M1 = arang kompos, M2 = campuran
tanah ditambah arang kompos 3:1 (v/v), M3 =
campuran tanah ditambah arang sekam padi
3:1 (v/v), M4 = campuran tanah ditambah
arang kompos ditambah arang sekam padi
3:1:1 (v/v/v). Faktor kedua dengan 4 tingkat
naungan dengan menggunakan paranet
(shading net) yang berbeda kerapatannya
berdasarkan persen kerapatan (25, 50 dan 75
persen). Faktor kedua ini diukur intensitas
cahayanya menggunakan lux meter, yaitu: N0
= 0 persen sebagai kontrol (rata-rata 16.502,5
lux), N1=25 persen (rata-rata 12.379,9 lux),
N2=50 persen (rata-rata 5.968,4l lux), dan
N3=75 persen (2.276,6 lux). Setiap unit
percobaan (kombinasi perlakuan) terdiri dari
10 ulangan dan setiap unit amatan berisi 10
bibit.
PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)
Yetti Heryati dan Retno Agustarini
111
Obyek yang teliti adalah bibit kilemo
umur 5 bulan setelah disapih. Parameter yang
diukur dan parameter yang dihitung adalah
pertumbuhan tinggi dan diameter; persen
hidup; berat kering bibit, jumlah daun, Nisbah
Pucuk Akar (NPA)/Top Root Ratio (TR ratio),
dan indeks mutu bibit (IMB).
Berat kering bibit diukur dengan cara
mengambil semua bagian tanaman (akar dan
tajuk/batang) kemudian membersihkan akar
dari tanah dengan cara merendam akar dalam
wadah yang berisi air agar akar mudah
dibersihkan. Akar dipisahkan dengan
batang/tajuk, kemudian semua bagian tanaman
dioven dengan suhu 85°C sampai mencapai
berat kering konstan (sekitar 4 hari). Total
berat kering bibit dihitung berdasarkan berat
kering seluruh komponen (berat kering
batang/tajuk dan akar), sementara untuk
menghitung Nisbah Pucuk Akar (NPA) atau
Rasio TR yaitu perbandingan berat kering
batang/tajuk (Top dry weight) dan berat kering
akar (Root dry weight) dengan rumus:
Top dry weightTR ratio
Root dry weight ........................(1)
Mutu bibit dilakukan dengan cara
menghitung indeks mutu bibit (IMB) yang
dihitung berdasarkan rumus Dickson
(Krishnan, Kalia, Tewari, & Roy, 2014)
dengan menggunakan formula sebagai
berikut:
Berat kering batang (g) +Berat kering akar (g)Indeks Mutu Bibit
Tinggi (cm) Berat kering batang (g)Diameter (mm) Berat kering akar (g)
…..(2)
C. Analisa Data
Seluruh parameter dihitung secara statistik
dengan analisis varian menggunakan software
SAS 9.4. Jika hasil analisis memperlihatkan
berbeda nyata terhadap pertumbuhan bibit
kilemo umur 5 bulan, maka untuk mengetahui
perlakuan yang menunjukkan perbedaan nyata
dilakukan uji jarak berganda Duncan (DMRT).
Model linier yang digunakan dalam penelitian
adalah sebagai berikut:
i j ij ijkijkY µ M N MN ......................(3)
Keterangan: Yijk = Nilai pengamatan pada perlakuan
faktor media tanam level ke-i, faktor intensitas cahaya level ke-j, pada ulangan ke-k
µ = Nilai tengah umum Mi = Pengaruh faktor media tanam pada
level ke-i Nj = Pengaruh faktor intensitas cahaya
pada level ke-j MNij = Interaksi antara faktor media tanam
dan intensitas cahaya pada faktor media tanam level ke-i, faktor intensitas cahaya level ke-j
Ɛijk = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan media tanam level ke-i dan intensitas cahaya level ke-j pada ulangan ke-k
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil analisis varian memperlihatkan
bahwa perlakuan baik secara tunggal maupun
interaksi memberikan hasil yang berbeda nyata
pada hampir semua parameter yang diuji,
kecuali pada parameter diameter, di mana
perlakuan yang memberikan pengaruh yang
nyata adalah perlakuan naungan (Tabel 1).
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
112
Table (Table) 1. Hasil analisis varian pengaruh beberapa jenis media dan tingkat naungan terhadap pertumbuhan dan mutu bibit kilemo umur 5 bulan (The effect of some growing media and shade level on growth and quality of kilemo’s seedling at 5 months old)
Perlakuan (Treatments)
Tinggi (Height)
Diameter (Diameter)
Jumlah daun
(Number of leaf)
Persen hidup (Survival
Percentage)
Berat kering (Dry
weight)
NPA (TR
ratio)
IMB (Seedling
quality index)
Naungan (Shades) <,0001** 0,0821* <,0001** <,0001** <,0001** 0,0035** <,0001**Media (Media) <,0001** 0,4110tn <,0001** <,0001** <,0001** 0,0044** <,0001**Interaksi (Interaction) <,0001** 0,1433 tn <,0001** <,0001** <,0001** 0,0201** <,0001**
Keterangan (remark): * berbeda nyata pada taraf P <0,05; **berbeda sangat nyata pada taraf P<0,001; tn: tidak berbeda nyata (significant different at P<0,05; highly sgnificant different at P<0.001; not significant different); NPA= Nisbah Pucuk Akar; TR = Top Root.; IMB = Indeks Mutu Bibit
Dari Tabel 1 terlihat bahwa secara tunggal
naungan memberikan pengaruh yang sangat
nyata (P < 0,001) terhadap parameter tinggi
dan jumlah daun, persen hidup, berat kering,
NPA dan IMB, serta memberikan nilai P <
0,05 pada parameter diameter. Demikian juga
secara tunggal media memberikan pengaruh
yang sangat nyata (P < 0,001) terhadap
parameter tinggi, jumlah daun, persen hidup
dan berat kering bibit kilemo, nisbah pucuk
akar (NPA) dan indeks mutu bibit (IMB),
namun tidak berbeda nyata pada parameter
diameter bibit. Sedangkan berdasarkan hasil
analisis terlihat adanya interaksi yang sangat
nyata (P < 0,001) antara perlakuan media dan
naungan terhadap parameter tinggi, jumlah
daun, persen hidup, berat kering, NPA dan
IMB, sedangkan terhadap diemeter tidak
terjadi interaksi yang signifikan. Terjadinya
interaksi kedua faktor tersebut terhadap
parameter tinggi bibit, jumlah daun dan
persen hidup, dapat dilihat pada Gambar 1
berikut ini. Dari Gambar 1 terlihat adanya
interaksi kombinasi perlakuan naungan dan
media terhadap parameter pertmbuhan tinggi,
jumlah daun dan persen hidup bibit kilemo
umur 5 bulan. Untuk melihat kombinasi
perlakuan mana yang memberikan hasil yang
terbaik pada parameter tinggi dan jumlah daun
bibit kilemo, maka telah dilakukan uji beda
Duncan yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Data yang disajikan pada Gambar 1 dan
Tabel 1 memperlihatkan bahwa bibit kilemo
yang mendapat kombinasi perlakuan media
campuran tanah ditambah arang sekam padi
3:1 (v/v) (M3) dan naungan 25 persen (N1)
menghasilkan pertumbuhan tinggi (12,64 cm)
dan jumlah daun (5,60 helai) paling tinggi dan
berbeda nyata dibandingkan dengan kombinasi
perlakuan media dan naungan lainnya.
Kombinasi perlakuan media dan naungan
juga memberikan respon yang nyata terhadap
berat kering, nisbah pucuk akar (NPA), indeks
mutu bibit (IMB) serta persen hidup Hal
tersebut dapat dilihat pada Grafik interaksi
yang disajikan pada Gambar 2.
PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)
Yetti Heryati dan Retno Agustarini
113
Gambar (Figure)1. (a) Grafik interaksi pengaruh kombinasi perlakuan naungan dan media terhadap pertumbuhan tinggi bibit, dan (b) jumlah daun bibit kilemo umur 5 bulan ((a) Interaction graph of the combination treatment effect of shading level and growing media on height, and (b) number of leaf of kilemo’s seedling at 5 months old)
Tabel (Table) 2. Rata-rata pertumbuhan bibit kilemo umur 5 (lima) bulan terhadap media tumbuh
dan tingkat naungan (Meas test of kilemo’s seedling growth on media and shade level at 5 monmths old)
Kombinasi perlakuan
(Treatment combinations) Tinggi (Height)
(cm)
Jumlah daun (Number of leaf)
Naungan (Shades) Media
(Media)
N0 (tanpa naungan) ( no shading net)
M0 4.35 hij 3.17 hi
M1 4.26 hij 3.26 hi
M2 4.31 hij 3.19 hi
M3 5.27 fg 3.97 bcde
M4 4.66 hij 4.02 bcd
N1 (naungan 25%) (Shading net 25%) M0 10.18b 4.35 bc
M1 4.52 ghij 3.57efg
M2 5.89 ef 3.77 defg
M3 12.64 a 5.56 a
M4 4.43 hij 3.80 defg
N2 (naungan 50%) (Shading net 50%) M0 3.70 j 3.90 cdef
M1 3.97 ij 4.24 bc
M2 5.08 gh 3.46 ghi
M3 4.73 ghi 4.15 bcd
M4 4.62 ghi 3.91 cdef
N3 (naungan 75%) (Shading net 75%) M0 6.49 cde 3.55 fgh
M1 7.24c 4.09 bcd
M2 6.87 cd 4.16 bcd M3 6.21 de 4.38 b M4 10,62 b 3,13 i
(a) (b)
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
114
(a) (b)
(c) (d)
Gambar (Figure) 2. Grafik interaksi pengaruh kombinasi perlakuan naungan dan media terhadap: (a) biomasa/berat kering, (b) Nisbah Pucuk Akar (NPA), (c) Indeks Mutu Bibit (IMB), dan (d) persen hidup (Interaction graph of the treatment combination effect of growing media and shading level on: (a)biomassa/dry weight, (b)top and root ratio, (c) seedling quality index, and (d) survival percentage)
Dari Gambar 2 terlihat bahwa adanya
interaksi kombinasi perlakuan naungan dan
media terhadap parameter biomassa/berat
kering, nisbah pucuk akar (NPA) dan indeks
mutu bibit (IMB). Untuk mengetahui
kombinasi perlakuan mana yang memberikan
hasil terbaik pada parameter berat kering, NPA
dan IMB, maka dilakukan uji beda Duncan
pada ketiga parameter tersebut dan disajikan
pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis
terlihat bahwa bibit kilemo yang ditanam pada
media campuran tanah+arang sekam padi 3:1
(v/v) (M3) dan ditempatkan pada naungan 25
persen (N1) menghasilkan berat kering (0,182
gr) dan IMB (0,021) lebih tinggi dan berbeda
nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)
Yetti Heryati dan Retno Agustarini
115
Nilai IMB tersebut tidak berbeda nyata dan
menghasilkan nilai yang sama dengan yang
ditanam pada kombinasi perlakuan media
campuran tanah+arang kompos+arang sekam
padi 3:1:1 (v/v/v)(M4) yang ditempatkan pada
naungan 75 persen (N3) (0,021) (lihat Tabel
3). Sementara itu bibit kilemo yang ditanam
pada media campuran tanah+arang kompos
3:1 (v/v) (M2) dan ditempatkan pada tempat
tanpa naungan (N0) menghasilkan nilai NPA
6,46 (lihat Tabel 3 dan Gambar 6), paling
tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan
perlakuan lain, namun menghasilkan IMB
sangat rendah (0,001) (lihat Tabel 3).
Tabel (Table)3. Rata – rata Pengaruh kombinasi perlakuan media dan naungan terhadap Berat
Kering, Nisbah Pucuk Akar (NPA), Indeks Mutu Bibit (IMB) dan Persen Hidup kilemo umur 5 (lima) bulan (Means of media and shade level treatment on dry weight, TR ratio, seedling quality index and survival rate of kilemo,s seedling at 5 months old)
Perlakuan
Berat kering (Dry weight)
(gr)
NPA (TR ratio)
IMB (Seedling quality index)
Persen hidup (Survival
percentage) (%)
(Treatment)
Naungan (Shades)
Media (Media)
N0 (tanpa naungan) M0 0.014 e 4.030 ab 0.001 b 96 b
(no shading net) M1 0.027 cde 2.904 ab 0.002 b 92 e
M2 0.024 de 6.46 2a 0.001 b 88e
M3 0.043 cde 1.640 b 0.004 b 99 a
M4 0.053 cde 2.433 b 0.002 b 99 a
N1 (naungan 25%) M0 0.051 cde 1.608 b 0.004 b 82 g
(shading net 25%) M1 0.023 de 1.327 b 0.003 b 49 j M2 0.045 cde 2.171 b 0.005 b 76 i M3 0.182 a 1.967 b 0.021 a 93 cde M4 0.052 cde 2.093 b 0.005 b 94 bcde
N2 (naungan 50%) M0 0.033 cde 2.203 b 0.004 b 78 h
(shading net 50%) M1 0.052 cde 2.963 ab 0.005 b 95bcd
M2 0.064 cd 2.891 ab 0.006 b 77 hi
M3 0.047 cde 2.905 ab 0.005 b 93 de
M4 0.034 cde 1.612 b 0.004 b 95 bcd
N3 (naungan 75%) M0 0.034 cde 2.516 b 0.003 b 96 bc
(shading net 75%) M1 0.044 cde 4.290 ab 0.001 b 100 a
M2 0.073 c 3.431 ab 0.005 b 100 a
M3 0.052 cde 2.384 b 0.004 b 99 a M4 0.134 b 1.431 b 0.021 a 99a
Keterangan (Remark): angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Means followed by the same letter in the same column are not significantly different at 5%) Media: M0=tanah (soil), M1= arang kompos (compost charcoal), M2 = campuran tanah+arang kompos (soil+compost charcoal) 3:1 (v/v), M3=campuran tanah+arang sekam padi (soil+paddy husk charcoal) 3:1 (v/v), M4=campuran tanah+arang kompos+arang sekam padi (soil+compost charcoal+paddy husk charcoal) 3:1:1 (v/v/v), NPA=Nisbah Pucuk Akar/Top Root ratio, IMB=Indeks Nilai Penting.
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
116
Persentase hidup bibit kilemo yang paling
tinggi adalah bibit yang ditempatkan pada
kombinasi perlakuan naungan 75 persen (N3)
dan 4 macam media perlakuan yaitu media M1
(100 persen), M2 (100 persen), M3 (100
persen) dan M4 (99 persen), namun tidak
berbeda nyata dengan bibit yang ditempatkan
pada kombinasi perlakuan tanpa naungan (N0)
dengan media M3 (99 persen) dan M4 (99
persen).
B. Pembahasan
Keberhasilan pembibitan tanaman hutan
dipengaruhi berbagai faktor lingkungan
diantaranya adalah media tumbuh,
ketersediaan unsur hara dan intensitas cahaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kombinasi perlakuan jenis media dan tingkat
naungan memberikan respon yang berbeda
terhadap pertumbuhan bibit kilemo umur 5
bulan di persemaian (Tabel 2, Tabel 3).
Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa
kombinasi perlakuan media dan naungan
memperlihatkan adanya interaksi terhadap
hampir semua karakter dan parameter yang
diukur. Hasil uji DMRT terlihat bahwa bibit
kilemo yang ditanam pada media campuran
tanah ditambah arang sekam padi 3:1 (v/v)
(M3) dan ditempatkan pada naungan 25 persen
(N1) menghasilkan pertumbuhan yang lebih
baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Penempatan bibit kilemo pada naungan ringan
(25 persen) dan didukung dengan pemberian
media campuran media tanah ditambah arang
sekam padi 3:1 (v/v (M3) merupakan
kombinasi yang ideal bagi pertumbuhan bibit
kilemo di persemaian. Media campuran tanah
ditambah arang sekam padi 3:1 mampu
menyediakan nutrisi yang cukup dan
komposisi tekstur yang sesuai bagi
pertumbuhan bibit kilemo. Penambahan arang
sekam pada media tumbuh dapat memperbaiki
sifat fisik dan kimia tanah serta melindungi
media dari pathogen atau organisme-
organisme yang dapat menghambat
pertumbuhan bibit (Gustia, 2013). Hasil
analisis media (Lampiran 1) menunjukkan
bahwa tanah yang dicampur dengan arang
sekam padi 3:1 (M3) menghasilkan pH agak
masam (5,9), nilai pH tersebut mendukung
pertumbuhan akar kilemo, karena umumnya
pertumbuhan akar menyukai tanah sedikit
masam (Ördög, 2011). Selain itu, kombinasi
media tersebut menghasilkan bahan organik
yang tinggi (C: 5,11 persen), N termasuk
tinggi (0,73 persen) serta C/N rasio yang
rendah (7). Nitrogen dibutuhkan tanaman
dalam jumlah yang besar karena nitrogen
berfungsi sebagai penyusun banyak komponen
sel tumbuhan, termasuk asam amino, protein
dan asam nukleat (Ördög, 2011). Rasio C/N
yang rendah menunjukkan bahwa kandungan
bahan organik yang tersedia dalam media M3
sudah terurai dan siap diserap oleh tanaman
secara optimal. Ketersediaan unsur P (posfor)
PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)
Yetti Heryati dan Retno Agustarini
117
pada semua media tergolong tinggi, namun
pada media M3 ketersediaan unsur P paling
tinggi (209 mg). Kandungan unsur Ca, Mg, K,
dan Na pada media M3 tergolong paling tinggi
dibandingkan yang terdapat pada media lain.
Selain itu media M3 juga memiliki nilai KTK
yang tinggi (53,73). Penambahan arang sekam
pada media tanam terbukti dapat
meningkatkan pertumbuhan pada tanaman
hutan seperti pada bibit jabon (Anthocephalus
cadamba) (Supriyanto & Fiona, 2010) dan
gerunggang (Cratoxylom arborescens) ( Danu
& Kurniaty, 2013) maupun tanaman pertanian
seperti tomat (Onggo, Kusumiyati, &
Nurfitriana, 2017) dan tanaman sawi (Gustia,
2013).
Pertumbuhan tanaman juga erat kaitannya
dengan kebutuhan cahaya. Pemberian naungan
pada bibit tanaman adalah upaya untuk
memanipulasi lingkungan di sekitar bibit,
karena setiap tanaman membutuhkan cahaya
yang berbeda-beda dalam masa
pertumbuhannya. Dari hasil penelitian terlihat
bahwa bibit kilemo yang ditanam pada
berbagai media rata-rata menghasilkan persen
tumbuh yang baik pada hampir semua kondisi
naungan. Pada habitat alaminya seperti di
Gunung Papandayan, kilemo banyak
ditemukan di areal bekas gangguan yang di
dalamnya banyak semak belukar dan pohon-
pohon pionir dengan intensitas cahaya 300 lux
– 85.600 lux ( Suwandhi, Kusmana, Suryani &
Tiryana, 2014). Namun pada naungan 25
persen dengan rata-rata intensitas cahaya
12.379,9 lux, bibit kilemo yang ditanam pada
media tanah ditambah arang sekam (3:1)
menghasilkan tinggi, jumlah daun, berat
kering dan IMB lebih baik dibandingkan
dengan tanpa naungan (0 persen) dengan
intensitas cahaya 16.502,5 lux, naungan 50
persen (5.968,4 Lux) dan naungan 75 persen
(2.276,6 Lux). Hal ini menunjukkan bahwa
bibit kilemo menghasilkan pertumbuhan yang
lebih baik pada naungan ringan (25 persen).
Perbedaan kebutuhan cahaya pada tanaman
terlihat pada tanaman kelor (Moringa oleifera)
dan cempaka wasian (Magnolia tsiampaca),
kedua jenis tersebut menghasilkan
pertumbuhan terbaik pada naungan sedang (50
persen) (Ahmed, Warrag, & Abdelgadir, 2014;
Irawan & Hidayah, 2017), sedangkan bibit
rosella tumbuh baik pada tempat tanpa
naungan (0 persen) (Setyowati, 2011)
Salah satu faktor penting dalam
menentukan kualitas bibit sebelum ditanam di
lapangan adalah nilai nisbah pucuk akar
(NPA). Mengacu pada SNI 01-5005.1-1999,
NPA yang baik berkisar 2 – 3 (Adman, 2011).
Dalam penelitian ini kombinasi perlakuan
M3N1 memberikan nilai NPA 1.967. Nilai ini
menunjukkan bahwa NPA yang diperoleh
perlakuan ini merupakan nilai yang seimbang
sehingga penggunaan media campuran tanah
ditambah arang sekam padi 3:1 (v:v)
menghasilkan bibit tumbuh dengan normal.
Dengan NPA yang seimbang menyebabkan
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
118
proses penyerapan air dan hara oleh akar akan
ditranslokasikan ke pucuk seimbang dengan
luasan fotosintesis yang cukup untuk
melakukan transpirasi, sehingga akan
menghasilkan karbohidrat yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan akar (Kurniaty, 2017).
Salah satu indikator siap tidaknya bibit
dipindah ke lapangan adalah nilai indeks mutu
bibit (IMB). Bibit mempunyai nilai indeks
mutu yang baik jika mempunyai nilai lebih
dari 0,09 (Bogidarmanti & Darwo, 2016).
Dalam penelitian ini nilai IMB kilemo umur 5
bulan dalam berbagai kombinasi perlakuan
jenis media dan tingkat naungan belum
mencapai nilai 0,09. Nilai IMB tertinggi
(0,021) diperoleh bibit yang ditanam pada
media campuran tanah ditambah arang sekam
(3:1) dan ditempatkan pada naungan 25 persen
(M3 N1). Nilai IMB tersebut sama dengan
bibit yang mendapat kombinasi perlakuan
media tanah ditambah arang kompos ditambah
arang sekam padi (3:1:1) dan naungan 75
persen (M4N3), namun pada kombinasi
perlakuan tersebut parameter pertumbuhan
bibit yang lain mempunyai nilai lebih rendah
dibandingkan dengan kombinasi perlakuan
N1M3 Dengan demikian kombinasi naungan
ringan (25 persen) dan media campuran tanah
ditambah arang sekam (3:1) merupakan
kombinasi yang ideal bagi pertumbuhan bibit
kilemo di persemaian. Namun demikian hasil
ini menunjukkan bahwa bibit kilemo umur 5
bulan tersebut belum siap dipindah ke
lapangan karena menghasilkan IMB di bawah
0,09.
IV. KESIMPULAN
Media tumbuh dan tingkat naungan pada
persemaian, memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan bibit kilemo di persemaian.
Kombinasi media tanah ditambah arang sekam
padi 3 : 1 (v/v) dengan naungan 25 persen
memberikan pertumbuhan terbaik pada bibit
kilemo umur 5 bulan setelah disapih.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih saya ucapkan kepada Ibu Ir
Rina Kurniaty yang telah memberikan
semangat dalam penyusunan tulisan ini dan
Bapak Ateng Rahmat Hidayat yang membantu
koleksi data di lapangan dan laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA
Adman, B. (2011). Pertumbuhan tiga kelas mutu bibit meranti merah pada tiga iuphhk di Kalimantan. Jurnal Penelitian Dipterocarpa, 5(2), 47–60.
Agrawal, N., Choudhary, A. S., Sharma, M. C., & Dobhal, M. P. (2011). Chemical Constituents of Plants from the Genus Litsea. CHEMISTRY & BIODIVERSITY, 8, 223–243.
Ahmed, L. T., Warrag, E. I., & Abdelgadir, A. Y. (2014). Effect of Shade on Seed Germination and Early Seedling Growth of Moringa Oleifera Lam . Journal of Forest Product & Industries, 3(1), 20–26.
Ali, C. (2008). Teknik Silvikultur Jenis Lemo dan Peningkatan Produktivitas Jenis Kemenyan (Laporan Hasil Penelitian).
Bhuinya, T., Singh, P., & Mukherjee, S. K. (2010). Litsea Cubeba - Medicinal Values - Brief
PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)
Yetti Heryati dan Retno Agustarini
119
Summary. J. Trop. Med. Plants., 11(2), 179–183.
Bogidarmanti, R., & Darwo. (2016). Pengaruh variasi media sapih terhadap pertumbuhan dan kualitas bibit cabutan Alnus nepalensis The effect of variation weaning media on growth and quality of Alnus nepalensis seeds weaning. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon, 2, 263–266. https://doi.org/10.13057/psnmbi/m020224
Borowski, E., & Nurzynski, J. (2012). Effect of different of growing substrates on the photosynthesis parameters and fruit yield of greenhouse_ grown tomato. Acta Sci. Pol. Hortorum Cultus, 11(6), 95–105.
Danu, & Kurniaty, R. (2013). Pengaruh media dan naungan terhadap pertumbuhan pembibitan gerunggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan, 1(1), 43–50.
Gustia, H. (2013). Pengaruh penambahan sekam bakar pada media tanam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan, 1(1), 12–17.
Heryati, Y., Mindawati, N., & Kosasih, A. S. (2009). Prospek Pengembangan Lemo (Litsea cubeba L . Persoon ) di Indonesia. Tekno Hutan Tanaman, 2(1), 9–17.
Ho, C., Jie-ping, O., Liu, Y., Hung, C., Tsai, M., Wang, E. I., … Su, Y. (2010). Compositions and in vitro Anticancer activities of the Leaf. Natural Product Communication, 5(0), 1–4.
Irawan, A., & Hidayah, H. . (2017). Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan mutu bibit cempaka wasian (Magnolia tsiampaca (Miq) Dandy) di persemaian. Jurnal Wasian, 4(1), 11–16.
Krishnan, P. R., Kalia, R. K., Tewari, J. C., & M.M. Roy. (2014). Plant Nursery Management : Principles and Practices. Central Arid Zone Research Institute, Jodhpur.
Kurniaty, R. (2017). Penggunaan mikoriza dan Rhizobium dalam pertumbuhan bibit saga ( Adenanthera pavonina ) umur 3 bulan. In Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity Indonesia (Vol. 3, pp. 6–9). https://doi.org/10.13057/psnmbi/m030102
Kurniaty, R., Syamsuwida, D., Putri, K. P., & Aminah, A. (2014). Kilemo (Litsea cubeba L Persoon). Balai Peneliitian Teknologi Tanaman Hutan.
Mariska, Ika. 2013. Metabolit Sekunder: Jalur pembentukan dan kegunaannya.(Online).(http://biogen.litbang.deptan.go.id, diakses 30 Maret 2018)
Onggo, T., Kusumiyati, & Nurfitriana, A. (2017). Pengaruh penambahan arang sekam dan ukuran polybag terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman tomat kultivar ‘ Valouro ’ hasil sambung batang. Jurnal Kultivasi, 16(1), 298–304.
Ördög, V. (2011). Plant physiology. In XML mind XSL-FO Converter (p. 115).
Rostiwati, T., Kurniaty, R., Heryati, Y., & Winarni, I. (2009). Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Kilemo (Litsea cubeba) Sebagai Bahan Baku Minyak Atsiri Potensial. In Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia (pp. 306–303).
Rostiwati, T., & Putri, K. P. (2012). Review Status Litbang Tanaman. In Seminar Nasional POKJANAS TOI XLII (pp. 1–14).
Setyowati, N. (2011). Pengaruh Intensitas Cahaya dan Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Bibit Rosella. J. Agrivigor, 10(April), 218–227.
Si, L., Chen, Y., Han, X., Zhan, Z., Tian, S., Cui, Q., & Wang, Y. (2012). Chemical Composition of Essential Oils of Litsea cubeba Harvested from Its Distribution Areas in China. Journal Molecules, 17, 7057–7066. https://doi.org/10.3390/molecules17067057
Supriyanto, & Fiona, F. (2010). Pemanfaatan Arang Sekam untuk Memperbaiki Pertumbuhan Semai Jabon ( Anthocephalus cadamba ( Roxb .) Miq ) pada Media Subsoil. Jurnal Silvikultur Tropika, 1(1), 24–28.
Suwandhi, I., Kusmana, C., Suryani, A., & Tiryana, T. (2014). Rendemen Dan Komposisi Minyak Atsiri Daun Ki Lemo ( Litsea cubeba ) Dari Gunung Papandayan, Kaitannya Dengan Variasi Tipe Dan Faktor-Faktor Habitat. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 24(3), 200–208.
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
120
Sylviani, & Elvida, Y. (2010). Kajian potensi, tata niaga dan kelayakan usaha budi daya tumbuhan Litsea. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 7(1), 73–91.
Yang, K., Fang, C., Xue, C., Feng, Z., Qi, R., Shan, S., & Shan, S. (2014). Bioactivity of
essential oil of Litsea cubeba from China and its main compounds against two stored product insects. Journal of Asia-Pacific Entomology, 17(3), 459–466. https://doi.org/10.1016/j.aspen.2014.03.011
Lampiran (Appendix)1. Hasil analisa fisik dan kimia media tanam (Physico-chemical properties of
growing media)
M0 kriteria M1 kriteria M2 kriteria M3 kriteria M4 kriteria
Tekstur (%)
Pasir 6 - 5 37 33
Debu 62 - 58 49 56
Liat 32 - 37 14 11
pH (H2O) 5,6 5,9 5,1 5,9 5,8
Bahan Organik (%)
C 3,36 tinggi 35,03 Sangat tinggi 4,71 tinggi 5,11 tinggi 4,69 tinggi
N 0,33 sedang 1,93 Sangat tinggi 0,24 sedang 0,73 tinggi 0,34 sedang
C/N 10 rendah 18 tinggi 8 rendah 7 rendah 12 sedang
Ekstrak HCL 25%
(mg per 100 gr)
P2O5 137 Sangat tinggi 41 Sangat tinggi 129 Sangat tinggi 209 Sangat tinggi 136 Sangat tinggi
K2O 19 sedang 182 Sangat tinggi 31 sedang 106 Sangat tinggi 78 Sangat tinggi
Ekstrak Olsen P2O5
ppm21,0 rendah 33,3 sedang 17,3 rendah 122,6 Sangat tinggi 59,0 tinggi
Nilai Tukar Kation
(m,e. per 100 gr contoh kering)
Susunan Kation Tukar
Ca 4,15 sedang 23 Sangat tinggi 6,78 sedang 14,82 tinggi 12,32 tinggi
Mg 1,62 sedang 7,88 tinggi 1,94 sedang 3,21 tinggi 2,53 tinggi
K 0,72 tinggi 4,88 Sangat tinggi 1,09 Sangat tinggi 3,48 Sangat tinggi 2,70 Sangat tinggi
Na 0,41 sedang 3,20 Sangat tinggi 0,50 sedang 1,05 Sangat tinggi 0,71 tinggi
Jumlah 6,90 38,96 10,31 22,54 18,26
KTK 29,37 tinggi 68,22 Sangat tinggi 37,06 tinggi 53,73 Sangat tinggi 43,33 Sangat tinggi
KB% 24 rendah 57 tinggi 30 rendah 42 sedang 42 sedang
Ekstrak KCl 1N
(m,e. per 100 gr contoh kering)
Al 3+ 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
H- 1,80 2,15 3,73 3,63 1,40
Sifat TanahMedia
Keterangan (Remark) : Analisis tanah dilakukan di laboratorium tanah di Biotrop (Soil analysis was done at Biotrop)
PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.
Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius
© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.121-132 121
PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.
(Oil Palm Seed Coating with Enriched Trichoderma asperellum (T13) to Suppress Infection of
Ganoderma boninense Pat.)
Gani Jawak1, Eny Widajati1, Endah Retno Palupi1 dan/and Nutrita Toruan Mathius2
1) Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih Pascasarjana,Departemen Agronomi dan Hortikultura, Kampus Institut Pertanian Bogor Darmaga, Jl. Meranti, Babakan, Dramaga, Kode Pos 16680, Bogor, Indonesia
2)PT. Smart Biotechnology, Cijayanti, Babakan Madang, Kode Pos 16810, Bogor, Indonesia e-mail: [email protected]
Naskah masuk: 3 Maret 2018; Naskah direvisi: 30 April 2018; Naskah diterima: 12 Desember 2018
ABSTRACK
The attack Ganoderma boninense can caused stem rot of oil palms that occur at all stage of plant growth. Trichoderma asperellum endophytic can suppressed the attack of Ganoderma in a nursery by utilizing seed coating technology. The aim of this study was to determine the best formula of seed coating materials which is compatible with T. asperellum (T13). The first experiment consisted of two phases, namely, the first phase was testing the effectiveness and compatibility of T. asperellum through a mixing technique of T. asperellum suspension with coating material. The best three result on the first phase (25 percent arabic gum, 1 percent CMC, and 3percent arabic gum + 1 percent gypsum) were used in the second phase of the experiment, which was testing the effectiveness and compatibility of T. asperellum through soaking technique in T. asperellum suspension that continued by coating. The three best result types of formulas from the second phase (1 percent CMC, 1.5 percent CMC, and 4,5 percent arabic gum + 1,5 percent gypsum) were used for the second experiment, namely testing the resistance of oil palm seed on Ganoderma. The results show that 25 percent arabic gum, 1 percent carboxy methyl cellulose (CMC), 1 percent arabic gum + 1 percent gypsum have a potency as coating of materials. The best formula for seed coating is soaking with T. asperellum + coating 1 percent CMC, 1.5 percent CMC and arabic gum 4.5 percent + gypsum 1.5 percent. In addition, soaking seeds with T. asperellum + coating 1.5 percent CMC can enhance the ability of seed to grow up to 16.67 percent compared to the control, but did not effective in suppressing G. boninense infection during pre-nursery stage.
Keywords: Arabic gum, basal stem rot, biocontrol, CMC, gypsum
ABSTRAK
Serangan Ganoderma boninense penyebab penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit dapat terjadi pada semua tahapan pertumbuhan tanaman. Trichoderma asperellum jenis endofit dapat menekan serangan G. boninense mulai dari pembibitan dengan memanfaatkan teknologi seed coating. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh formula pelapis benih kelapa sawit terbaik yang kompatibel dengan T. asperellum (T13). Percobaan pertama terdiri atas dua tahapan yaitu, tahap pertama menguji efektivitas dan kompatibilitas T. asperellum melalui teknik pencampuran suspensi T. asperellum dengan bahan pelapis. Tiga hasil terbaik pada tahap pertama (arabic gum 25 persen, CMC 1 persen, dan arabic gum 3 persen + gipsum 1 persen) digunakan dalam percobaan tahap kedua, yaitu menguji efektivitas dan kompatibilitas T. asperellum melalui teknik perendaman dalam suspensi T. asperellum yang dilanjutkan dengan pelapisan. Tiga jenis formula terbaik dari percobaan pertama tahap kedua (CMC 1 persen, CMC 1.5 persen, dan arabic gum 4,5 persen + gipsum 1,5 persen) digunakan untuk percoban kedua, yaitu menguji ketahanan bibit kelapa sawit terhadap G. boninense. Hasil menunjukkan bahwa Arabic gum 25 persen, carboxy methyl cellulose (CMC) 1 persen, arabic gum 3 persen + gipsum 1 persen berpotensi sebagai bahan pelapis. Perendaman dengan T. asperellum + pelapisan CMC 1 persen, CMC 1,5 persen dan arabic gum 4,5 persen + gipsum 1,5 persen merupakan formula terbaik untuk pelapisan benih kelapa sawit. Perendaman benih dengan T. asperellum + CMC 1,5 persen dapat meningkatkan daya tumbuh benih16,67 persen dibandingkan kontrol, namun tidak efektif menekan infeksi G. boninense selama di pre nurseri.
Kata kunci: Arabic gum, biokontrol, busuk pangkal batang, CMC, gipsum
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
122
I. PENDAHULUAN
Ganoderma boninense Pat. merupakan
patogen penyebab penyakit busuk pangkal
batang (BPB) pada kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.). G. boninense merupakan
patogen tular tanah yang bersifat sistemik
(Paterson, 2007). BPB menyebabkan
Indonesia dan Malaysia kehilangan secara
ekonomis sekitar US$ 500 juta per tahun
(Ommelna, Jennifer & Chong, 2012).
Trichoderma spp. merupakan cendawan
indigenous yang berpotensi sebagai biokontrol
dalam menekan pertumbuhan Ganoderma
penyebab BPB. Nur Ain Izzati dan Abdullah
(2008) dan Naher, Tan, Yusuf, Ho dan Abdullah
(2012) menyatakan bahwa T. harzianum dapat
meningkatkan resistensi tanaman terhadap
penyakit BPB dan meningkatkan pertumbuhan
bibit kelapa sawit. Menurut Bailey, Bae, Strem,
Crozier, Thomas, Samuels, Vinyard, dan Holmes
(2008), T. asperellum mampu berkembang
secara endofit dalam jaringan akar tanaman
cokelat (Theobroma cacao L.) dan memiliki
kemampuan sebagai agen biokontrol terhadap
cendawan patogen. Aplikasi Trichoderma
pada lubang tanam pada pembibitan tahap
awal (pre nurseri), pembibitan tahap utama
(main nursery) atau lubang tanam di lapangan
dinilai kurang efektif dan efisien terutama di
areal perkebunan yang jauh dari sentra benih.
Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi lain
yang lebih praktis untuk pengiriman dan
penggunaan skala luas. Industri benih kelapa
sawit dapat memanfaatkan teknologi pelapisan
benih dengan T. asperellum dalam upaya
menekan penyakit BPB pada daerah endemik.
Hal ini akan meningkatkan efisiensi
penanganan, nilai tambah terhadap benih, dan
memudahkan pemberian mikroba antagonis
yang menekan perkembangan Ganoderma
pada daerah akar.
Nur Ain Izzati et.al (2008) menyatakan
bahwa T. harzianum dapat menurunkan
insidensi penyakit BPB hingga 65 persen pada
kelapa sawit. Saipulloh, Palupi, Widajati dan
Toruan-Mathius (2017) menyatakan bahwa
pelapisan benih kelapa sawit hanya mampu
mempertahankan mutu benih selama tiga hari
penyimpanan dan formula terbaik untuk
melindungi, meningkatkan pertumbuhan dan
penyerapan fosfat pada benih kelapa sawit
yang telah diperkaya Burkholderia sp. adalah
CMC 1.5 persen, CMC 2 persen ditambah
gipsum 1.5 persen, dan CMC 1.5 persen
ditambah talk 1 persen. Mukhtar, Hannan, Atiq,
dan Nawaz (2012) menyatakan bahwa benih
kedelai yang dilapisi dengan tapioka 2 persen
ditambah T. harzianum dapat meningkatkan
nilai indeks vigor dan daya berkecambah
benih. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan formula bahan pelapis benih
kelapa sawit terbaik sebagai bahan pembawa
T. asperellum (T13) untuk menekan infeksi G.
boninense di pre nurseri.
PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.
Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius
123
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Benih kelapa sawit yang digunakan adalah
kecambah Tenera (DXP) berumur ± 21 hari,
produksi PT Dami Mas Sejahtera, Pekanbaru.
Isolat cendawan T. asperellum (T13) dan G.
boninense merupakan koleksi Laboratorium
Microbiome Technology PT SMART Tbk.,
Sentul. T. asperellum yang digunakan
(umur 7 hari) mengandung 107 konidia m.L-1.
Bahan pelapis yang digunakan adalah talk,
carboxy methyl cellulose (CMC), tapioka,
arabic gum, natrium alginat, dan gipsum.
Penelitian dilakukan di Laboratorium
Microbiome Technology PT SMART Tbk.,
Sentul dan Laboratorium Ilmu Teknologi
Benih, Institut Pertanian Bogor mulai bulan
Juli 2014─Agustus 2015.
B. Prosedur Penelitian
Penelitian terdiri atas dua percobaan, yaitu
(1) viabilitas dan efektivitas T. asperellum
dengan berbagai bahan pelapis dan (2) uji
efektitivitas formula bahan pelapis dengan T.
asperellum untuk menekan infeksi G.
boninense di pre nurseri kelapa sawit.
1. Viabilitas dan efektivitas T. asperellum
dengan berbagai bahan pelapis
a. Teknik pencampuran suspensi T.
asperellum dengan bahan pelapis
Cendawan T. asperellum diperbanyak
dengan membiakan 10 μL suspensi koleksi ke
dalam petridis berisi 15 mL media patato
dextrose agar (PDA). Kemudian petridis
disimpan dalam inkubator suhu 28±1ºC
selama 7 hari. Cendawan yang digunakan
adalah yang sudah menghasilkan spora dan
berwarna hijau tua.
Percobaan disusun menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 9
perlakuan dan diulang tiga kali (Tabel 1).
Sebanyak dua petridis T. asperellum yang
telah tumbuh dan menghasilkan spora
dilarutkan dalam 100 mL akuades steril.
Kemudian dikocok selama 1 jam
menggunakan mesin pengocok (150 rpm).
Suspensi disaring dengan kain kasa agar sisa-
sisa media PDA tidak tercampur ke dalam
larutan. Populasi cendawan dihitung dengan
membuat preparat hemasitometer dengan
diamati dibawah mikroskop cahaya. Populasi
spora dalam larutan yang digunakan dalam
perlakuan adalah 107. Larutan suspensi
digunakan sebagai pelarut bahan pelapis
sesuai dengan perbadingan bahan pelapis dan
pelarut masing-masing perlakuan.
Pelapisan benih dilakukan setelah seleksi
dan sterilisasi benih dalam larutan NaOCl
0,85 persen selama 5─10 menit dan dibilas
dua kali dengan akuades steril. Pelapisan
benih dilakukan secara manual selama 3─5
menit. Kemudian benih dikering-anginkan
selama ±3 jam, selanjutnya ditanam di pre
nurseri yang diberi naungan paranet 50
persen. Jumlah benih masing-masing satuan
percobaan sebanyak tiga buah. Media tanam
yang digunakan untuk penanaman benih
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
124
berupa top soil tanah mineral dari Desa
Cijayanti-Bogor, bertekstur lempung dan
tidak terserang Ganoderma. Penanaman,
penyiraman, pemupukan, dan pemeliharaan
sesuai dengan Standard Operasional Prosedur
Sinarmas Agibisnis and Food (2007).
Tabel (Table)1. Perlakuan benih melalui teknik pencampuran suspensi T. asperellum dengan bahan
pelapis. (Seed treatment through the mixing technique of T. asperellum suspension with coating material).
Kode (Code) Perlakuan benih (Seed treatment)P1 Suspensi T. asperellum dicampur talk 1% (T. asperellum suspension mixing with talk 1%) P2 Suspensi T. asperellum dicampur CMC 1% (T. asperellum suspension mixing with CMC 1%)
P3 Suspensi T. asperellum dicampur tapioka 5% (T. asperellum suspension mixing with tapioca 1%) P4 Suspensi T. asperellum dicampur arabic gum 25% (T. asperellum suspension mixing with gum
arabic 25%) P5 Suspensi T. asperellum dicampur Na. alginat 8,3% (T. asperellum suspension mixing with Na.
alginat 8,3%) P6 Suspensi T. asperellum dicampur arabic gum 3% + gipsum 1% (T. asperellum suspension mixing
with gum arabic 3% + gypsum 1%)P7 Suspensi T. asperellum dicampur CMC 1,5% + gipsum 1% (T. asperellum suspension mixing
with CMC 1,5% + gypsum 1%)P8 Suspensi T. asperellum dicampur CMC 1,5% + talk 1% (T. asperellum suspension mixing with
CMC 1,5% + talk 1% P9 Kontrol (tanpa pelapisan dan tanpa T. Asperellum/ Control (without coating and T. asperellum)
b. Teknik perendaman dalam suspensi T.
asperellum dilanjutkan dengan pelapisan benih Percobaan disusun menggunakan nested
design dengan tiga ulangan. Tiga bahan
pelapis terbaik dari percobaan viabilitas dan
efektivitas T. asperellum melalui teknik
pencampuran suspensi T. asperellum dengan
bahan pelapis, yaitu arabic gum 25 persen,
CMC 1 persen, dan arabic gum 3 persen
ditambah gipsum 1 persen digunakan untuk
dasar formulasi bahan pelapis pada percobaan
ini sehingga diperoleh 11 perlakuan seperti
pada Tabel 2. Jumlah satuan percobaan yang
digunakan adalah 165. Setiap satuan
percobaan terdiri atas 10 buah benih.
Sebelum dilapisi dengan bahan pelapis
benih lebih dulu direndam dalam suspensi T.
asperellum selama 1 jam. Bahan pelapis
dihomogenkan dengan menambahkan akuades
sebagai pelarut. Pelapisan benih dilakukan
sesuai percobaan sebelumnya. Benih yang
telah dilapisi sesuai perlakuan disimpan dalam
ruangan dengan suhu 18±2°C selama 0, 3, 6, 9,
dan 12 hari sebelum ditanam. Penanaman
dilakukan sesuai dengan Standard Operasional
Prosedur Sinarmas Agibisnis and Food (2007).
Pengamatan dilakukan terhadap peubah:
1) daya tumbuh (%) pada 40 hari setelah
tanam (HST) dengan kriteria minimal satu
daun membuka penuh; 2) bobot kering total
(akar dan tajuk) setelah dioven selama 3 jam
pada suhu 105°C; 3) jumlah T. asperellum
dalam akar dengan metode pour plate sesuai
Enumeration (1989), dimana 0.1 mL suspensi
PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.
Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius
125
akar dipipet ke dalam petridis kemudian
ditambahkan 15 mL media PDA dan
diinkubasi selama 7 hari pada suhu 28±1 ºC;
4) tinggi tajuk (cm); dan 5) panjang akar (cm).
Tabel (Table) 2. Perlakuan benih melalui teknik perendaman dalam suspensi T. asperellum
dilanjutkan dengan pelapisan benih. (Seed treatment through soaking techniques in the suspension of T. asperellum followed by seed coating).
Kode (Code)
Faktor (Factor) I: Perendaman + pelapisan T. asperellum (Soaking + coating with T. asperellum)
Kode (Code)
Faktor (Factor) II: Periode simpan/hari setelah pelapisan (storage period/ day after coating)
A1 Benih tanpa perlakuan (Non treatment seed) S0 0 hari (day) A2 perendaman dan tanpa pelapisan (with soaking, without coating) S3 3 hari (days)
A3 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 10% (soaking + coating with gum Arabic 10%)
S6 6 hari (days)
A4 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 25% (soaking + coating with gum arabic 25%)
S9 9 hari (days)
A5 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 40%/ soaking + coating with gum arabic 40%
S12 12 hari (days)
A6 Perendaman dilanjutkan pelapisan CMC 0,5% (soaking + coating with CMC 0,5%)
A7 Perendaman dilanjutkan pelapisan CMC 1% (soaking + coating with CMC 1%)
A8 Perendaman dilanjutkan pelapisan CMC 1,5%/ soaking + coating with CMC 1,5%
A9 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 1,5% + gipsum 0,5% (soaking + coating with gum arabic 1,5% + gypsum 0,5%)
A10 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 3% + gipsum 1% (soaking + coating with gum arabic 3% + gypsum 1%)
A11 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 4,5% + gipsum 1,5% (soaking + coating with gum arabic 4,5% + gypsum 1,5%)
2. Uji efektitivitas formula bahan pelapis
dengan T. asperellum untuk menekan infeksi G. boninense di pre nurseri.
Percobaan disusun menggunakan
rancangan acak kelompok (RAK) dengan 9
(sembilan) perlakuan yang diulang 3 (tiga) kali
(Tabel 3), sehingga terdapat 27 satuan
percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas
10 benih. Bahan pelapis yang digunakan
adalah 3 jenis formula terbaik dari percobaan
viabilitas dan efektivitas T. asperellum melalui
teknik perendaman dalam suspensi T.
asperellum dilanjutkan dengan pelapisan
benih, yaitu CMC 1 persen, CMC 1.5 persen,
dan arabic gum 4,5 persen ditambah gipsum
1,5 persen.
Isolat Ganoderma diperbanyak dalam
petridis dengan media PDA dan diinkubasi
dalam inkubator selama tujuh hari (28±2 ºC).
Spora Ganoderma dipanen dan dibiakkan
dalam media patato sukrosa agar (PSA).
Sebanyak 100 mL media PSA yang
mengandung Ganoderma diinokulasi pada
rakis kelapa sawit berukuran 3 cm x 3 cm x 12
cm yang sudah terlebih dahulu disterilisasi
dalam plastik polietilen dengan autoclave (1
jam). Rakis kemudian diinkubasi dalam
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
126
inkubator dengan suhu 28±2°C selama 10
minggu (Sinarmas Agibisnis and Food, 2007).
Pelapisan benih dilakukan dengan terlebih
dahulu merendam benih selama 1 jam dalam
suspensi T. asperellum. Kemudian bahan
pelapis disiapkan sesuai dengan perlakuan.
Pelarut yang digunakan untuk
menghomogenkan bahan pelapis adalah
akuades. Pelapisan benih dan media tanam
sesuai dengan percobaan sebelumnya.
Penanaman sesuai dengan Sinarmas Agibisnis
and Food (2007) dengan prosedur
menambahkan rakis yang telah diinokulasi
dengan G. boninense di tengah polibag. Tabel (Table) 3. Perlakuan benih pada uji efektitivitas formula bahan pelapis dengan T. asperellum
untuk menekan infeksi G. boninense di pre nurseri. (Seed treatment on effectiveness test of coating material formula with T. asperellum to suppress infection of G. boninense in pre nursery).
Kode (Code)
Perlakuan benih (Seed treatment)
C1 tanpa perendaman, tanpa pelapisan, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (without soaking, without coating, planted on medium Ganoderma inoculated)
C2 tanpa perendaman, pelapisan dengan CMC 1%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (without soaking, coating with CMC1%, planted on medium Ganoderma inoculated)
C3 tanpa perendaman, pelapisan dengan CMC 1,5%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (without soaking, coating with CMC 1,5%, planted on medium Ganoderma inoculated)
C4 tanpa perendaman, pelapisan dengan arabic gum 4,5% + gipsum 1,5%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (without soaking, coating with gum arabic 4,5% + gypsum 1,5%, planted on medium Ganoderma inoculated)
C5 perendaman, tanpa pelapisan, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (with soaking, without coating, planted on medium Ganoderma inoculated)
C6 perendaman, pelapisan dengan CMC 1%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (with soaking, coating with CMC 1%, planted on medium Ganoderma inoculated)
C7 perendaman, pelapisan dengan CMC 1,5%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (with soaking, coating with CMC 1,5%, planted on medium Ganoderma inoculated)
C8 perendaman, pelapisan dengan Arabic gum 4,5% + gipsum 1,5%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (with soaking, coating with gum Arabic 4,5%+ gypsum 1,5%, planted on medium Ganoderma inoculated)
C9 tanpa perendaman, tanpa pelapisan, ditanam pada media yang tidak diinokulasi Ganoderma (without soaking, without coating, planted on medium uninoculated Ganoderma)
Pengamatan meliputi daya tumbuh,
insidensi penyakit dan tingkat keparahan
penyakit. Insidensi penyakit (IP) diamati setiap
minggu dan dihitung pada 12 minggu setelah
tanam (MST) dengan rumus:
…………………..(1)
Keterangan : IP : Insidensi penyakit (%)
n : Jumlah tanaman yang terserang G. boninense
N : Jumlah seluruh tanaman
Indeks keparahan penyakit (Desease
Severity Indeks/DSI) dihitung dan diamati
secara destruktif pada 12 MST. Pengamatan
terhadap gejala akar dengan memodifikasi
pengamatan Abdullah, Ilias, Nelson, Nur Ain
Izzati dan Yusuf (2003) dimana akar dibagi ke
dalam empat kuadran. Setiap kuadran
PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.
Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius
127
mewakili tingkat keparahan penyakit 25
persen. Tingkat keparahan penyakit dibagi
dalam 5 skala, yaitu 0= tidak terdapat
cendawan Ganoderma pada akar (tanaman
sehat), 1= terdapat cendawan Ganoderma pada
1 kuadran, 2= terdapat cendawan Ganoderma
pada 2 kuadran, 3= terdapat cendawan
Ganoderma pada 3 kuadran, 4= terdapat
cendawan Ganoderma pada 4 kuadran atau
tanaman mati.
C. Analisis Data
Semua data dianalisis dengan analisis
ragam (ANOVA). Bila perlakuan menunjukan
perbedaan yang nyata maka akan dilanjutkan
dengan uji beda nyata Duncan Multiple Range
Test (DMRT) pada taraf 5 persen.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Viabilitas dan efektivitas T. asperellum dengan berbagai bahan pelapis
a. Teknik pencampuran suspensi T.
asperellum dengan bahan pelapis
T. asperellum tidak berhasil diisolasi
kembali dari akar tanaman pada semua
perlakuan pencampuran T. asperellum dengan
bahan pelapis. Teknik pencampuran tidak
berpengaruh nyata pada daya berkecambah
dengan tingkat perkecambahan 100 persen.
Pencampuran T. asperellum dengan bahan
pelapis berpengaruh nyata terhadap bobot
kering total (Tabel 4).
Tabel (Table) 3. Berat kering, panjang akar, tinggi tajuk bibit kelapa sawit dan jumlah T.
asperellum setelah 13 MST pada perlakuan pencampuran T. asperellum dengan bahan pelapis (Dry weight, root length, height canopy of oil palm seedlings and number of T. asperellum after 13 MST on mixing treatment of T. asperellum with coating material)
Pencampuran T. asperellum dengan bahan pelapis
(Mixing T. asperellum with coating material)
Tolok ukur (Benchmarks)Bobot kering
total(Total dry weight) (g)
Panjang akar(root
length) (cm)
Tinggi tajuk (plant height)
(cm)
Jumlah T. Asperellum (Number of T.
asperellum) (cfu/g)P1 9,13cd 18,39a 20,09a - P2 10,95abc 16,91a 19,38a - P3 9,49cd 18,23a 19,83a - P4 11,89abc 19,09a 22,31a - P5 9,89bcd 18,26a 21,30a - P6 11,97ab 19,20a 21,28a - P7 7,94d 17,38a 18,84a - P8 9,53bcd 19,21a 21,58a - P9 13,09a 17,48a 23,00a -
Keterangan (Remarks): Keterangan untuk P1 s.d P9 lihat Tabel 1; angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α=5%, (-): tidak terdeteksi (Remarks of P1-P9 refer to Table 1; The numbers followed by the same small letters in the same column are not significantly different in the DMRT α = 5% (*), - : undetectable)
b. Teknik perendaman T. asperellum
dilanjutkan dengan pelapisan benih
T. asperellum berhasil diisolasi kembali
dari akar tanaman melalui teknik perendaman
ditambah pelapisan. Interaksi periode simpan
dan perendaman ditambah pelapisan benih
tidak nyata terhadap daya tumbuh, bobot
kering total, panjang akar, tinggi tajuk, dan
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
128
jumlah T. asperellum dalam akar. Periode
simpan hanya berpengaruh nyata terhadap
bobot kering tanaman dan tinggi tajuk.
Perendaman ditambah pelapisan benih hanya
berpengaruh nyata terhadap panjang akar dan
tinggi tajuk (Tabel 5). Tabel (Table) 5. Daya tumbuh, bobot kering, panjang akar, tinggi tajuk bibit kelapa sawit dan
jumlah T. asperellum (T13) setelah perendaman dilanjutkan dengan pelapisan dan penyimpanan pada umur 12 MST (Seedling germination, dry weight, root length, height canopy of oil palm seedlings and amount of T. asperellum (T13) after soaking continued coating and storage at age 12 MST)
Perlakuan (Treatment)
Tolok ukur (Benchmark)
Daya tumbuh (seed
germination) (%)
Bobot kering total (Total
dry weight) (g)
Panjang akar (Root
length) (cm)
Tinggi tajuk (Plant height)
(cm)
Rerata jumlah T .asperellum (Average of number T. asperellum)
(cfu/g)*
Periode simpan (Storage period) S0 97,57 8,56b 15,85 17,72b 93,31 S3 99,09 10,47a 15,49 17,73b S6 98,18 8,48b 15,86 18,49b 20,51 S9 97,27 11,18a 15,79 19,29a S12 97,57 11,10a 16,04 19,20a 10,30
Perlakuan perendaman + pelapisan (soaking + coating treatment)A1 98,67 10,27 16,43bc 19,34ab - A2 99,33 9,80 18,18a 20,34a 11,10 A3 98,00 10,03 15,43bc 17,94bcd - A4 98,67 9,63 14,76c 17,13d 16,70 A5 96.67 9,93 14,91bc 17,71cd 33,30 A6 97,33 10,53 15,82bc 18,79bc 366,70 A7 98,00 10,52 15,88bc 18,61bc 44,40 A8 97,33 10,50 15,51bc 18,50bcd 27,80 A9 98,00 9,96 15,04bc 18,42bcd - A10 98,67 8,43 15,16bc 18,24bcd 27,80 A11 96,67 7,72 16,74ab 18,37bcd 5,60
Keterangan (Remarks): Keterangan untuk S0, S3, S6, S9, S12, dan A1 s.d A11 lihat Tabel 2; angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α=5%, *; data ditransformasi dengan (x+1)-0.5; - : tidak terdeteksi (Remarks of S0, S3, S6, S9, S12, and A1 to A12 refer to Table 2; The numbers followed by the same small letters in the same column are not significantly different in the DMRT α = 5%, *: the data is transformed by (x + 1) -0.5; - : undetectable)
2. Uji efektitivitas formula bahan pelapis dengan T. asperellum untuk menekan infeksi G. boninense di pre nurseri
Perendaman benih dengan T. asperellum
ditambah pelapisan dapat meningkatkan daya
tumbuh dan mempertahankan bibit tetap hidup
pada media yang diinokulasi Ganoderma
(Tabel 6). Insidensi Penyakit (IP) pada media
yang diinokulasi G. boninense nyata sangat
tinggi (>93,33 persen) dibandingkan tanpa
inokulasi G. boninense (Tabel 6). Desease
severity indeks (DSI) berbeda nyata untuk
semua perlakuan. DSI tertinggi diperoleh pada
perlakuan T. asperellum ditambah CMC 1,5
persen dan T. asperellum ditambah CMC 1
persen, dan yang terendah pada perlakuan T.
PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.
Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius
129
asperellum ditambah CMC 1,5 persen (Tabel
6). Uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa
perlakuan perendaman nyata meningkatkan
daya tumbuh bibit kelapa sawit (P-value =
0,01) namun tidak berpengaruh nyata terhadap
IP (P-value = 0,44) dan DSI (P-value = 0,09).
Tabel (Table) 6. Efektitivitas perendaman benih dalam T. asperellum dilanjutkan dengan pelapisan benih untuk menekan infeksi G. boninense di pre nurseri (The effectiveness of seed soaking in T. asperellum is continued by seeds coating to suppress G. boninense infection in pre nursery)
Perlakuan (Treatment) Daya tumbuh (Seed germination )(%) IP (%) DSI (%)C1 30,00bc 100,00a 91,67abcC2 13,33c 96,67a 95,83abC3 26,67bc 100,00a 100,00a C4 33,33bc 96,67a 89,17bcC5 40,00bc 100,00a 93,33abcC6 40,00bc 100,00a 94,17abcC7 46,67b 93,33a 84,17c C8 46,67b 93,33a 90,00abcC9 96,67a 0,00b 0,00d
Keterangan (Remarks) : Keterangan untuk C1 s.d C9 lihat pada Tabel 3; IP = Insidensi penyakit (desease incidence), DSI = Desease severity indeks; Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α=5%, (Remarks of C1- C9 refer to Table 3; The numbers followed by the same small letters in the same column are not significantly different in the DMRT α = 5%)
B. Pembahasan
Pada pengujian viabilitas dan efektivitas
T. asperellum dengan berbagai bahan pelapis
melalui pencampuran suspensi T. asperellum
dengan bahan pelapis, pengeringan setelah
proses pelapisan diduga menyebabkan spora
cendawan sulit berkembang sehingga T.
asperellum tidak berhasil diisolasi kembali
dari akar tanaman sehingga metode
pencampuran bahan pelapis dengan suspensi
Tricoderma tidak dianjurkan untuk penelitian
selanjutnya. Namun pada percobaan pengujian
viabilitas dan efektivitas T. asperellum dengan
berbagai bahan pelapis melalui perendaman
benih dalam suspensi T. asperellum
dilanjutkan dengan pelapisan benih, T.
asperellum dapat diisolasi kembali dari akar.
Keberhasilan metode ini diduga karena T.
asperellum dapat melakukan penetrasi dalam
jaringan benih dan bahan pelapis dapat
melindungi cendawan di permukaan benih dari
kematian akibat pengeringan. Keberhasilan
reisolasi T. asperellum dari metode
perendaman ditambah pelapisan
memungkinkan cendawan ini melakukan
perannya sebagai cendawan endofit. Naher,
Yusuf, Ismail, dan Hossain (2014) menyatakan
bahwa sifat endofit T. asperellum dapat
berperan sebagai agen biokontrol melalui
mekanisme mikoparasit, produksi antibiotik,
kompetisi ruang dan nutrisi, kolonisasi akar,
dan induksi resistensi sistemik dan memacu
pertumbuhan. de Santiago, García-López,
Quintero, Avilés, dan Delgado (2013)
menyatakan bahwa T. asperellum dapat
meningkatkan efisiensi penyerapan hara
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
130
dengan melarutkan nutrisi anorganik seperti Fe
dan Cu sehingga tersedia bagi pertumbuhan
tanaman. Namun pada percobaan viabilitas
dan efektivitas T. asperellum melalui teknik
perendaman dalam suspensi T. asperellum
dilanjutkan dengan pelapisan benih, apa yang
dikatakan oleh de Santiago et al. (2013) dan
Naher et al. (2014) tidak sepenuhnya benar
dimana dalam percobaan ini jumlah
Trichoderma yang lebih banyak dari reisolasi
tidak sepenuhnya menyebabkan pertumbuhan
tanaman menjadi lebih baik.
Pada percobaan pengujian viabilitas dan
efektivitas T. asperellum melalui perendaman
benih dalam suspensi T. asperellum
dilanjutkan dengan pelapisan benih
menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman di
pre nurseri dipengaruhi oleh umur kecambah
yang ditanam dimana terdapat kecenderungan
semakin tua kecambah yang ditanam semakin
baik pertumbuhannya. Selain itu komposisi
bahan pelapis juga mempengaruhi performa
pertumbuhan di pre nurseri. Bahan pelapis
yang memiliki pertumbuhan tanaman yang
baik umumnya ditunjukkan oleh bahan CMC
dan campuran arabic gum dengan gipsum. Hal
ini sejalan dengan penelitian Saipulloh et al.
(2017) dimana CMC baik digunakan sebagai
bahan pelapis kecambah kelapa sawit. Bahan
pelapis ini sifatnya tidak beracun bagi
kecambah dan mengandung zat yang
merupakan sumber makanan bagi cendawan.
Arabic gum mengandung karbon, kalsium,
magnesium, dan kalium yang bersifat mudah
larut dalam air (Dauqan & Abdullah, 2013),
CMC mudah larut dan mengandung karbon
dan selulosa (Boruvkova & Wiener, 2011) dan
gipsum yang mengandung kalsium dan
mineral (Walworth, 2012) diduga dapat
menjadi sumber nutrisi bagi pertumbuhan
tanaman. Oleh karena itu, pada percobaan uji
efektitivitas formula bahan pelapis dengan T.
asperellum untuk menekan infeksi G.
boninense di pre nurseri digunakan bahan
pelapis yang mengandung CMC dan campuran
arabic gum ditambah gipsum sebagai bahan
pelapis benih.
Perpaduan sifat bahan pelapis dan endofit
T. asperellum diduga dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman di lapangan walaupun
benih disimpan hingga 12 hari setelah dilapisi.
Hal ini dapat dilihat dari bobot kering, tinggi
tajuk, dan panjang akar yang trennya
meningkat seiring bertambahnya waktu
simpan kecambah.
Pengaruh Trichoderma terhadap
pertumbuhan tanaman berbeda untuk setiap
jenis tanaman. T. harzianum pada kelapa sawit
dapat meningkatkan bobot kering, laju
pertumbuhan, dan resistensi terhadap penyakit
(Naher et al., 2012) sedangkan pada cokelat
(Theobroma cacao L.) tidak berpengaruh
nyata terhadap bobot basah dan kering
tanaman (Tchameni, Ngonkeu, Begoude, Wakam
PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.
Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius
131
Nana, Fokom, Owona, Mbarga, Tchana, Tondje,
Etoa, & Kuaté, 2011). López-Mondéjar, Blaya,
Obiol, Ros, dan Pascual (2012) melaporkan
bahwa sifat endofit T. asperellum dapat
meningkatkan sistem resistensi tanaman
terhadap Ganoderma dimana Glukanase dan
β-1,3 glukanase yang dihasilkan T. asperellum
mampu mendegradasi dinding sel fungi.
Perlakuan perendaman ditambah pelapisan
benih dinilai belum efektif dalam
meningkatkan ketahanan terhadap infeksi
Ganoderma selama di pre nurseri. Hal ini
diduga karena T. asperellum yang belum
berkembang sudah tertekan oleh Ganoderma.
Dimana IP dan DSI masih tinggi baik dengan
atau tanpa perlakuan perendaman dalam
suspensei T. asperellum. G. boninense mampu
mendegradasi selulosa menjadi air dan karbon
untuk sumber nutrisinya (Paterson, 2007). de
los Santos-Villalobos, Hernández-Rodríguez,
Villaseñor-Ortega dan Peña-Cabriales (2012)
menyatakan bahwa selulosa dan karbon
merupakan sumber nutrisi bagi cendawan. Hal
ini memungkinkan bahan pelapis yang
digunakan juga dapat menjadi sumber nutrisi
cendawan.
IV. KESIMPULAN
Aplikasi T. asperellum dengan teknik
perendaman dilanjutkan dengan pelapisan
CMC 1 persen, CMC 1,5 persen dan arabic
gum 4,5 persen ditambah gipsum 1,5 persen
dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa
sawit di pre nurseri. Aplikasi perendaman T.
asperellum ditambah pelapisan CMC 1,5
persen dapat meningkatkan daya tumbuh benih
kelapa sawit namun belum efektif menekan
infeksi Ganoderma di pre nurseri.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada PT SMART Tbk,
Sentul-Bogor yang telah membiayai dan
menyediakan fasilitas untuk penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, F., Ilias, G. N. M., Nelson, M., Nur Ain Izzati, M. Z., & Yusuf, U. K. (2003). Disease assessment and the efficacy of Trichoderma as biocontrol agent of basal stem rot of oil palms. Research Bulletin Science Putra,1(2013), 31-33.
Bailey, B. A., Bae, H., Strem, M. D., Crozier, J., Thomas, S. E., Samuels, G. J., Vinyard, B. T., Holmes, K. A. (2008). Antibiosis, mycoparasitism, and colonization success for endophytic Trichoderma isolates with biological control potential in Theobroma cacao. Biological Control, 46(1), 24–35. https://doi.org/10.1016/j.biocontrol.2008.01.003
Boruvkova, K., & Wiener, J. (2011). Water absorption in carboxymethyl cellulose. Autex Research Journal, 11(4), 110–113.
Dauqan, E., and Abdullah, A. (2013). Utilization of gum arabic for industries and human health. American Journal of Applied Sciences, 10(10), 1270–1279. https://doi.org/10.3844/ajassp.2013.1270.1279
de los Santos-Villalobos, S., Hernández-Rodríguez, L. E., Villaseñor-Ortega, F., & Peña-Cabriales, J. J. (2012). Production of Trichoderma asperellum T8a spores by a “home-made” solid-state fermentation of mango industrial wastes. BioResources, 7(4), 4938–4951. https://doi.org/10.15376/biores.7.4.4938-4951
de Santiago, A., García-López, A. M., Quintero, J. M., Avilés, M., & Delgado, A. (2013).
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
132
Effect of Trichoderma asperellum strain T34 and glucose addition on iron nutrition in cucumber grown on calcareous soils. Soil Biology and Biochemistry, 57, 598–605.https://doi.org/10.1016/j.soilbio.2012.06.020
Enumeration, F. O. R. B. (1989). Pour Plate Technique, (July), 8–9.
López-Mondéjar, R., Blaya, J., Obiol, M., Ros, M., & Pascual, J. A. (2012). Evaluation of the effect of chitin-rich residues on the chitinolytic activity of Trichoderma harzianum: In vitro and greenhouse nursery experiments. Pesticide Biochemistry and Physiology, 103(1), 1–8. https://doi.org/10.1016/j.pestbp.2012.02.001
Mukhtar, I., Hannan, A., Atiq, M., & Nawaz, A. (2012). Impact of Trichoderma species on seed germination in soybean, 24(2), 159–162.
Naher, L., Tan, S. G., Yusuf, U. K., Ho, C. L., & Abdullah, F. (2012). Biocontrol agent Trichoderma harzianum strain FA 1132 as an enhancer of oil palm growth. Pertanika Journal of Tropical Agricultural Science, 35(1), 173–182.
Naher, L., Yusuf, U. K., Ismail, A., & Hossain, K. (2014). Trichoderma spp.: a biocontrol agent for sustainable management of plant diseases. Pak. J. Bot, 46(4), 1489–1493.
Nur Ain Izzati, M. Z., & Abdullah, F. (2008). Disease suppression in Ganoderma-infected oil palm seedlings treated with Trichoderma harzianum. Plant Protection Science, 44(3), 101–107.
https://doi.org/10.17221/23/2008-PPS
Ommelna, B. G., Jennifer, A. N., & Chong, K. P. (2012). The potential of chitosan in suppressing Ganoderma boninense infection in oil-palm seedlings. Journal of Sustainability Science and Management, 7(2), 186–192. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Paterson, R. R. M. (2007). Ganoderma disease of oil palm-a white rot perspective necessary for integrated control. Crop Protection, 26(9), 1369–1376. https://doi.org/10.1016/j.cropro.2006.11.009
Saipulloh, Palupi, E. R., Widajati, E., & Toruan-Mathius, N. (2017). Efektivitas bahan pelapis benih terhadap penyerapan fosfat dan pertumbuhan bibit kelapa sawit, Jurnal Agronomi Indonesia, 45(1), 86–92.
Tchameni, S. N., Ngonkeu, M. E. L., Begoude, B. A. D., Wakam Nana, L., Fokom, R., Owona, A. D., Mbarga, J. B., Tchana, T., Tondje, P. R., Etoa, F. X., Kuaté, J. (2011). Effect of Trichoderma asperellum and arbuscular mycorrhizal fungi on cacao growth and resistance against black pod disease. Crop Protection, 30(10), 1321–1327.https://doi.org/10.1016/j.cropro.2011.05.003
Walworth, J. (2012). Using gypsum and other calcium amendments in Southwestern soils, 1–5. retrieved from http://extension.arizona.edu/sites/extension.arizona.edu/files/pubs/az1413.pdf
PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida
© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.133-144 133
PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN
(Fruit and Seed Production of Mahoni (Swietenia macrophylla King) at Various Crown Dimention
and Leaf Stomata Condition)
Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan/and Dida Syamsuwida Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Indonesia e-mail: [email protected]
Naskah masuk: 21 Juni 2018; Naskah direvisi: 24 September 2018; Naskah diterima: 19 Desember 2018
ABSTRACT
Seed and fruit production are strong related to the process of plant photosynthesis and leaves are the main organ in the photosynthesis process. All leaves characteristics such as morphology (leaf surface area), anatomy (stomata index and density) and physiology greatly influence organic compounds (assimilates) produced from photosynthesis. The aim of the study was to determine the effect of canopy width, stomata index and density, and leaf area on the production of fruit and seed of mahogany (Swietenia macrophylla). The study was carried out on a 21-years-old mahogany seed stand in Forest Research of Parungpanjang. The experimental design used was a completely randomized design with canopy diameter, leaf area, stomata density and stomata index as a treatments. Each treatment consists of 5 (five) classification levels. The result showed that fruit and seed production were affected by canopy diameter of the tree. Leaf area, stomata density and stomata index did not influence the production of produced fruit. Keywords: leaf, photosynthesis,stomata index, stomata density, certified seed sources
ABSTRAK
Produksi buah dan benih berkaitan erat dengan proses fotosintesis tanaman. Daun adalah organ utama dalam proses fotosintesis. Semua karakteristik daun baik morfologi (luas permukaan daun), antomi (kerapatan dan indeks stomata) maupun fisiologisnya sangat mempengaruhi senyawa organik (asimilat) yang dihasilkan dari proses fotosintesis. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh lebar tajuk, kerapatan dan indeks stomata serta luas daun terhadap tingkat produksi buah dan benih mahoni (Swietenia macrophylla). Penelitian dilakukan pada tegakan benih mahoni umur 21 tahun di Hutan Penelitian Parungpanjang, Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan diameter tajuk, luas daun, kerapatan stomata dan indeks stomata sebagai perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari 5 (lima) tingkat klasifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi buah dan benih mahoni dipengaruhi oleh diameter tajuk pohon. Luas daun, kerapatan stomata dan indeks stomata tidak mempengaruhi produksi buah yang dihasilkan. Kata kunci: daun, fotosintesis, indeks stomata, kerapatan stomata, sumber benih bersertifikat
I. PENDAHULUAN
Mahoni daun lebar (Swietenia
macrophylla King) termasuk keluarga Famili
Meliaceae yang bernilai ekonomi tinggi. Saat
ini keberadaan mahoni di hutan alam sudah
masuk ke dalam daftar Apendix II CITES
(Blundell, 2007). Dengan demikian, untuk
mencegah ancaman kepunahannya maka
produksi kayu lestari mahoni berasal dari
hutan tanaman baik milik negara maupun
masyarakat harus dioptimalkan.
Produktivitas hutan dapat ditingkatkan
melalui penggunaan benih unggul.
Pembangunan hutan tanaman mahoni telah
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
134
diwajibkan menggunakan benih unggul yang
berasal dari sumber benih bersertifikat sesuai
Keputusan Menteri Kehutanan
No.707/Menhut-II/2013. Sumber benih
bersertifikat merupakan sumber benih yang
kondisi dan pengelolaannya telah memenuhi
persyaratan standar sumber benih yang
ditetapkan guna menghasilkan benih tanaman
hutan yang bermutu genetik tinggi. Salah satu
syarat standar sumber benih adalah tegakan
harus sudah berbunga dan berbuah serta
mampu menghasilkan benih secara optimal
(PDASHL, 2016). Produksi benih yang
optimal sangat penting diperoleh untuk
mengantisipasi terbatasnya keberadaan sumber
benih berseritifikat di Indonesia (Santoso,
2011).
Tegakan mahoni yang berada di lokasi
Hutan Penelitian Parungpanjang, Kabupaten
Bogor merupakan salah satu kandidat sumber
benih bersertifikat potensial. Keunggulan
genetik dari tegakan mahoni tersebut adalah
merupakan hasil uji progeni yang berasal dari
berbagai populasi di Pulau Jawa (Bramasto,
Sudrajat, Pujiastuti, & Danu, 2017). Rata-rata
produksi benih yang dihasilkan dari sumber
benih ini relatif masih rendah yaitu kurang dari
1,5 kg.pohon-1 (Syamsuwida, Pramono, Putri,
Djam’an, & Pujiastuti, 2017). Mindawati dan
Megawati 2013) menyatakan bahwa produksi
benih dari pohon mahoni dewasa sekitar 2,5─4
kg. Untuk itu perlu upaya optimalisasi
produksi benih dari tegakan mahoni yang
berada di Hutan Penelitian Parungpanjang
dalam rangka memenuhi kebutuhan
pembangunan hutan tanaman mahoni.
Produksi buah/benih terkait erat dengan
proses fotosintesis tanaman yaitu suatu proses
konversi energi matahari menjadi energi kimia
yang menghasilkan senyawa-senyawa organik
yang kompleks sebagai bahan baku bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta
produksi biomasa (Pantilu, Mantiri, Ai, &
Pandiangan, 2012). Daun adalah organ utama
penghasil senyawa organik tersebut (Mastur,
2015; Terashima, Hanba, Tholen, &
Niinemets, 2011). Untuk dapat
memaksimalkan produktivitas senyawa
organik yang dihasilkan, maka semua
karakteristik daun baik morfologi (luas
permukaan daun), antomi (kerapatan dan
indeks stomata), fisiologis hingga susunannya
dalam arsitektur kanopi harus optimal (Luo,
Que, Zhang, & Xu, 2013; Mastur, 2015;
Pompelli, Martins, Celin, Ventrella, &
DaMatta, 2010).
Salah satu komponen pada daun yang
berperan langsung dalam proses fotosintesis
adalah stomata. Stomata berfungsi sebagai
pintu masuk CO2 dari udara untuk proses
fotosintesis dan sebagai pintu keluar O2 dalam
proses transpirasi. Peningkatan jumlah stomata
berdampak terhadap peningkatanan laju
pertukaran gas CO2 dan O2 serta transpirasi
PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida
135
(Marenco, Camargo, Antezana-Vera, &
Oliveira, 2017; Sundari & Atmaja, 2011;
Tanaka, Sugano, Shimada, & Hara-Nishimura,
2013), yang selanjutnya berpengaruh terhadap
produksi tanaman. Kusumi, Hirotsuka,
Kumamaru dan Iba (2012) melaporkan bahwa
stomata pada tanaman padi (Oryza sativa),
sangat mempengaruhi proses fotosintesa.
Namun pada Amorphophallus muelleri
(porang) dan A. variabilis (iles-iles), bobot
umbi yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh
kerapatan stomatanya (Khoiroh, Harijati, &
Mastuti, 2014). Untuk itu perlu dikaji
bagaimana pengaruh kerapatan dan indeks
stomata, luas permukaan daun, serta luas tajuk
mahoni terhadap produksi buah/benih yang
dihasilkan. Informasi yang diperoleh dapat
menjadi acuan sebagai upaya optimalisasi
potensi produksi benih melalui tindakan
silvikultur dalam pengelolaan suatu sumber
benih. Dengan demikian, tujuan penelitian ini
adalah mengetahui pengaruh lebar tajuk,
kerapatan dan indeks stomata serta luas daun
terhadap produksi buah dan benih mahoni (S.
macrophylla).
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat Lokasi penelitian terletak di Petak 40 dan
41 Hutan Penelitian Parungpanjang, Bogor.
Lokasi ini masuk dalam wilayah kerja BKPH
Parungpanjang, KPH Bogor, Perum Perhutani
Divisi Regional Jawa Barat dan Banten.
Secara administrasi pemerintahan, lokasi
tersebut berada dalam 2 wilayah yaitu
Kecamatan Parungpanjang dan Kecamatan
Tenjo, Kabupaten Bogor. Tegakan di Hutan
Penelitan Parungpanjang berada pada posisi
106º30’52,29” BT dan 6º22’53,53” LS, pada
ketinggian tanah 313 m dpl. Penelitian
dilaksanakan pada tahun 2015-2016.
Bahan penelitian yang digunakan adalah
tegakan mahoni umur 21.tahun. Alat-alat yang
digunakan adalah mikroskop Olympus CX 41,
leaf area meter Systronics 211, galah berkait,
timbangan, slide glass, kantong plastik, label,
dan alat tulis menulis.
B. Prosedur Penelitian
Pohon sampel produksi buah ditentukan
secara sengaja (purposive sampling) dengan
dasar pemilihannya adalah pohon yang sedang
berbuah Pada setiap pohon terpilih dilakukan
pengunduhan untuk semua buah pada pohon
melalui teknik pemanjatan. Pohon yang
kondisinya tidak memungkinkan untuk
diunduh seluruhnya maka pengunduhan
dilakukan minimal 1/3 dari jumlah total buah
yang ada. Data yang diperoleh kemudian
dikonversi menjadi data produksi total
(Pramono, Syamsuwida, & Djam’an, 2017).
Buah yang telah diunduh kemudian ditimbang
bobot dan dihitung jumlahnya. Selanjutnya
dilakukan proses ekstraksi benih kemudian
benih hasil ekstraksi ditimbang.
Setiap pohon terpilih juga dilakukan
pengukuran diameter tajuk dengan cara
mengukur proyeksi bentuk tajuk yang diukur
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
136
dalam dua bagian pada proyeksi tersebut
dengan menggunakan pita meter (Hardjana,
2013). Pengukuran juga dilakukan terhadap
karakter morfologi dan anatomi daun yaitu
luas daun serta jumlah stomata dan epidermis.
Untuk pengukuran luas daun, setiap pohon
sampel diambil 5 lembar daun yang diukur
dengan menggunakan alat Leaf Area Meter
merk Systronics 211 dengan menggunakan
satuan cm2. Daun mahoni berupa daun
majemuk (Mindawati & Megawati, 2013).
Pengamatan stomata daun dilakukan di bawah
mikroskop biokamera merk Olympus CX 41
dengan pembesaran 400 kali dan luas pandang
diukur dengan micrometer yang telah tersedia
pada mikroskop yaitu sebesar 0,65 ům.
Pengamatan stomata hanya dilakukan pada
permukaan adaksial daun karena tanaman
mahoni hanya memiliki stomata pada
permukaan adaksial daun (Tambaru, 2017). Pengambilan sampel stomata dilakukan
dengan membuat sayatan pada permukaan
daun, dengan cara mengoleskan cat kuku
(kuteks) transparan pada bagian permukaan
daun yang sehat dan tidak cacat/utuh. Setelah
kering atau kira-kira 3─5 menit, bagian daun
yang telah dioleskan cat kuku tersebut ditutup
dengan solatip. Selotip bening yang melekat
pada lapisan kuteks kemudian ditarik dari daun
dan ditempelkan pada slide glass untuk
diamati dibawah mikroskop (Khoiroh et al.,
2014). Anatomi stomata yang diamati adalah
kerapatan dan indeks stomata. Kerapatan
stomata dihitung dengan mengunakan rumus
sebagai berikut (Mutaqin, Budiono, Setiawati,
Nurzaman, & Fauzia, 2016) :
2( )
jumlahstomatakerapatanstomata
satuluasbidang pandang mm
...…....(1)
Selain jumlah sel stomata juga diukur
jumlah sel epidermis untuk mengetahui indeks
stomata. Indeks stomata adalah perbandingan
jumlah stomata dengan total jumlah stomata
dan epidermis (Pompelli et al., 2010).
Penghitungan jumlah stomata dan sel
epidermis dilakukan sebanyak lima kali untuk
setiap pohon sampel.
Rancangan percobaan yang digunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk
mengetahui pengaruh diameter tajuk, luas
daun, kerapatan dan indeks stomata daun
terhadap keragaman produksi buah dan benih
mahoni (Jiang, Yu, Sanmei, & Wang, 2011).
Data diameter tajuk, luas daun kerapatan
stomata dan indeks stomata yang diperoleh
diklasifikasikan dalam 5 (lima) kelas yang
selanjutnya menjadi taraf perlakuan yaitu
sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan
sangat tinggi. Penentuan jumlah kelas dan
interval antar kelas menggunakan rumus
Sturgess (Saputro, 2013) yang tersaji pada
Tabel 1. Untuk melihat adanya hubungan
antara produksi buah dan benih mahoni
dengan diameter tajuk, luas daun, kerapatan
dan indeks stomata maka dilakukan uji
korelasi Pearson dengan taraf 0,05.
PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida
137
Tabel (Table) 1. Klasifikasi diameter tajuk, morfologi dan anatomi daun mahoni (Classification of crown width, morphology and anatomy of mahoni leaf).
Perlakuam (treatment)
Kelas (Class)
Sangat rendah (Very low)
Rendah (Low)
Sedang (Moderate)
Tinggi (High)
Sangat tinggi (Very high)
Diameter tajuk (Crown width) (m) 3,5 - 5,3 5,4 – 7,2 7,3 – 9,1 9,2 - 11,0 >11,0Luas daun (Leaf area) (cm2) 104,5 – 238,9 239,0 – 373,4 373,5 – 507,9 508 – 642,4 >642,4Kerapatan stomata (Stomata density) (mm2) 333 – 389 390 - 446 447 - 503 504 – 560 >560Indeks stomata (Stomata index) (%) 18,5 – 21,1 21,2 – 23,8 23,9 – 26,5 26,6 – 29,2 >29,2 C. Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh diameter
tajuk, morfologi dan anatomi daun terhadap
produksi buah dan benih maka dilakukan
analisis varian. Apabila hasil analisis ragam
menunjukkan perbedaan yang nyata, maka
analisis dilanjutkan dengan uji signifikansi
dari Duncan (DMRT). Selain itu juga
dilakukan analisis korelasi Pearson untuk
mengetahui tingkat keeratan hubungan antara
dimensi dan fisiologis pohon dengan produksi
buah dan benih (Sugiyono, 2013).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil
Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang
dihasilkan (Tabel 2) diketahui adanya korelasi
positif dan signifikan (r = 49,2 persen) antara
diameter tajuk pohon dengan luas permukaan
daun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
sampai diameter tajuk berukuran 13 m,
semakin besar diameter tajuk pohon semakin
meningkat luas permukaan daunnya.
Kerapatan stomata daun menunjukkan korelasi
positif dan signifikan (r = 38,6 persen) dengan
indeks stomata daun. Jumlah buah per pohon
berkorelasi positif dan signifikan dengan bobot
benih per pohon (r = 73,3 persen). Semakin
banyak jumlah buah per pohon maka semakin
besar bobot benih per pohonnya. Demikian
juga bobot benih per pohon berkorelasi positif
dengan bobot buah per pohon (r = 74,2
persen). Bobot buah mahoni dipengaruhi oleh
bobot benih per-buah dengan koefisien
korelasi 36,7 persen. Semakin besar bobot
buah semakin besar juga benihnya.
Hasil analisis ragam (Tabel 3)
menunjukkan bahwa lebar tajuk pohon mahoni
berpengaruh nyata terhadap produksi buah dan
benih mahoni yaitu jumlah buah per pohon,
bobot buah per pohon dan bobot benih per
pohon. Sedangkan luas daun, kerapatan
stomata dan indeks stomata tidak
mempengaruhi produksi buah dan benih
mahoni. Hasil uji Duncan (Tabel 4)
menunjukkan bahwa diameter tajuk pohon
lebih dari 11 m menghasilkan jumlah buah
per pohon bobot buah per pohon dan bobot
benih per pohon terbesar (49,10 gram). Daun
dengan tingkat kerapatan stomata antara 6.000
mm sampai dengan kurang dari 7.000 mm
menghasilkan jumlah buah/pohon terbanyak
yaitu 32 buah/pohon.
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
138
Tabel (Table) 2. Koefisien korelasi Pearson antara diameter tajuk, morfologi daun, anatomi daun dan produksi buah dan benih mahoni (Pearson correlation coefficient between crown diameter, leaf morphology, leaf anatomy and seed yield of mahogany).
Perlakuan (treatment) Bobot buah per- pohon (fruit
weight per tree)
Bobot benih per- pohon (seed
weight per tree)
Lebar tajuk (Crown width)
Luas daun (Leaf area)
Kerapatan stomata (stomata density)
Indeks stomata (Stomata index)
Jumlah buah per-pohon (fruit number per tree) 0.826** 0.733** 0.147 0.272 0.177 0.111
Bobot buah per- pohon (fruit weight per tree) 1 0.742** 0.075 0.044 0.238 0.031
Bobot benih per- pohon (seed weight per tree) - 1 -0.023 -0.008 0.122 0.189
Lebar tajuk (Crown width) - - 1 0.492** 0.103 -0.156
Luas daun (Leaf area) - - - 1 0.244 0.086
Kerapatan stomata (stomata density) - - - - 1 0.386*
Indeks stomata(Stomata index) - - - - - 1
Keterangan (Remarks):* = Korelasi nyata pada taraf 5% (significant correlation at level of 5%). ** =Korelasi nyata pada taraf 1% (significant correlation at level of 1%)
Tabel (Table) 3. F-hit pengaruh dimensi pohon, morfologi dan anatomi daun terhadap keragaman variabel jumlah buah per pohon, bobot buah per pohon dan bobot benih per pohon (F-cal influence of tree dimensions, morphology and anatomy of leaves on a variety of variables, number of fruits per tree, fruit weight per tree and seed weight per tree)
Perlakuan (Treatment)
Variabel (Variables)Jumlah buah per-pohon (Fruit number per tree)
Bobot buah per- pohon (Fruit weight per tree)
Bobot benih per- pohon (Seed weight per tree)
Lebar tajuk (Crown width) 3,368 ** 2,756 ** 1,430 * Luas daun (Leaf area) 0,616 ns 0,244 ns 0,216 ns Kerapatan stomata (stomata density) 1,267 ns 0,844 ns 0,986 ns Indeks stomata (Stomata index) 0,198 ns 0,985 ns 1,061 ns Keterangan (Remarks) : * : berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% (significance at 95% confident level), ** :
berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99% (significance at 99% confident level).ns : tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 % (not significance at 95% confident level)
Tabel (Table) 4. Rata-rata produksi buah dan benih pada berbagai variasi diameter tajuk, luas daun, kerapatan stomata dan indeks stomata (The average of fruit and seed production at various crown width, leaf area, stomata density and stomata index)
Perlakuan (treatment)
Taraf Variabel (Variables)
Jumlah buah per-pohon (Fruit number per tree) (butir)
Bobot buah per- pohon (Fruit weight per tree)(kg)
Bobot benih per- pohon (Seed weight per tree)(g)
Lebar tajuk (Crown width)
Sangat rendah (very low)
24.1 a 8.8 a 0.9 ab
Rendah (low) 25.6 a 9.6 a 1.0 abSedang (moderate 25.8 a 8.3 a 0.7 aTinggi (high) 22.5 a 8.6 a 0.9 abSangat tinggi (very high) 38.3 b 14.1 b 1.3 b
Luas daun (Leaf area)
Sangat rendah (very low)
24.3 a 9.2 a 1.0 a
Rendah (low) 27.4 a 10.0 a 1.0 aSedang (moderate 30.5 a 11.0 a 1.2 aTinggi (high) 32.8 a 11.3 a 0.9 aSangat tinggi (very high) 29.9 a 9.4 a 1.1 a
Kerapatan stomata (stomata density)
Sangat rendah (very low)
27.7 a 9.6 a 1.2 a
Rendah (low) 23.6 a 8.3 a 0.8 aSedang (moderate 24.7 a 9.6 a 0.9 aTinggi (high) 26.5 a 9.9 a 0.9 aSangat tinggi (very high) 32.7 a 11.8 a 1.2 a
Indeks stomata (Stomata index)
Sangat rendah (very low)
26.6 a 10.8 a 1.1 a
Rendah (low) 24.7 a 9.1 a 0.9 aSedang (moderate 26.2 a 8.3 a 0.8 aTinggi (high) 27.9 a 10.9 a 1.0 aSangat tinggi (very high) 28.6 a 10.4 a 1.3 a
Keterangan (Remarks) : Angka yang diikuti oleh huruf pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (Means in the same column followed by the same letter are not significantly different at 95% confident level)
PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida
139
B. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ukuran tajuk pohon mahoni (S. macrophylla)
mempengaruhi produksi buah yang dihasilkan.
Pohon mahoni dengan ukuran diameter tajuk
lebih besar dari 11 m memproduksi buah lebih
banyak dibandingkan dengan pohon diameter
tajuk 3,5 m─11,0 m (Tabel 4). Kondisi ini
berkaitan dengan adanya kompetensi antar
pohon dalam memperebutkan faktor
lingkungan seperti cahaya, unsur hara dan air.
Pohon dengan tajuk (kanopi) besar memiliki
kemampuan yang lebih baik untuk
mendapatkan cahaya matahari dibandingkan
dengan pohon bertajuk (kanopi) kecil,
sehingga dapat mendorong peningkatan laju
fotosintesis dan selanjutnya berdampak
meningkatnya asimilat yang dihasilkan.
Pengaruh positif diameter tajuk terhadap
produksi buah juga ditunjukkan pada jenis
Pinus halepensis Mill., Sclerocarya birrea,
Toona sinensis dan Jatropha (Andrew, 2014;
Ayari, Zubizarreta-Gerendiain, Tome, Tome,
Garchi & Henchi, 2012; Pereira, Evangelista,
laviola, Portes, Junior & Casaroli, 2017;
Pramono, Siregar, Palupi, & Kusmana, 2015).
Demikian juga dengan tanaman kelapa sawit,
Almatholib, Rachmadi dan Suherman (2017)
menyatakan bahwa morfologi tajuk yaitu
jumlah dan panjang anak daun berpengaruh
positif terhadap komponen hasil seperti bobot
cangkang, bobot kernel, jumlah buah per-
spikelet. Ukuran tajuk menjadi komponen
penting dalam pertumbuhan dan produksi
tanaman (Raharjo & Sadono, 2008).
Ukuran dan bentuk tajuk secara langsung
mempengaruhi produksi tanaman melalui
pengaruh faktor-faktor dominan dalam
lingkungan (iklim) mikro seperti intensitas
cahaya, suhu dan kelembapan relatif yang
ditimbulkannya (Luo et al., 2013). Pengaruh
iklim mikro tajuk terhadap produksi dan
kualitas buah telah terbukti pada tanaman
Camellia oleifera (Wen, Su, Ma, Yang, Wang,
Wang & Wang, 2018). Produksi buah
berkorelasi positif dengan intensitas cahaya
dan suhu rata-rata tahunan, tetapi berbanding
terbalik dengan kelembapan relatif rata-rata
tahunan (Wen et al., 2018).
Pengaruh tajuk terhadap produksi buah
juga berkaitan dengan kandungan nutrisi/hara
pada daun. Sebagaimana pada tanaman sawit,
produksi buah dipengaruhi nutrisi tajuk
melalui morfologi tajuk (Almatholib et al.,
2017). Beberapa hasil penelitian menunjukkan
keterkaitan antara status nutrisi daun dengan
pembungaan dan pembuahan. Pada mahoni,
perbedaan produksi buah dan benih berkaitan
langsung dengan perbedaan kandungan P pada
daun (Pramono et al., 2017). Untuk zaitun,
kandungan N pada daun mempengaruhi
intensitas pembungaan dan fruit set.
Peningkatan N pada daun dapat meningkatkan
intensitas pembungaan dan fruit set zaitun
selama kadar N masih dibawah 1,4 persen
(Erel, Yermiyahu, Van Opstal, Ben-Gal,
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
140
Schwartz & Dag, 2013), sedangkan bobot
buah zaitun maksimum akan tercapai pada
kondisi nutrisi P sekitar 0,2 persen (Erel, Dag,
Ben-Gal, & Yermiyahu, 2011). Untuk
tanaman jeruk, disamping nutrisi N, nutrisi P
dan Ca pada daun juga mempengaruhi
kualitas pembungaan dan pembuahan yang
dihasilkan (Raveh, 2013).
Daun merupakan tempat berlangsungnya
proses fotosintesis dan respirasi yang
menghasilkan bahan organik dan energi yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (Jiang et al., 2011).
Lytovchenko et al. (2011) menyatakan bahwa
lebih dari 80 persen gula yang terkandung di
dalam buah diproduksi langsung oleh
fotosintesis pada daun. Dalam penelitian ini
morfologi (luas permukaan) dan anatomi
(kerapatan dan indeks stomata) daun mahoni
tidak mempengaruhi produksi buah/benih
(P>0,05) (Tabel 4). Hal ini mengindikasikan
intensitas cahaya yang diserap relatif sama
untuk semua ukuran luas daun mahoni.
Kasiman, Ramadhani dan Syamsudin (2017)
menyatakan bahwa perbedaan intensitas
cahaya yang diterima daun mahoni (S.
mahagoni) akan mempengaruhi sifat
morfologis daun. Ukuran daun mahoni yang
berada pada tempat terbuka lebih besar
dibandingkan dengan tempat yang ternaungi.
Demikian juga pada jenis ki baceta (Clausena
excavata) tingkat kerapatan stomata daunnya
dipengaruhi oleh intensitas cahaya (Budiono,
Sugiarti, Nurzaman, Setiawati, Supriatun &
Mutaqin, 2016). Adanya korelasi kerapatan
stomata dengan intensitas cahaya tersebut
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
upaya meningkatkan kapasitas fotosintesis
(Marenco et al., 2017; Tanaka et al., 2013).
Kerapatan stomata mahoni berdasarkan hasil
penelitian ini berkisar antara 300.mm-2 hingga
lebih dari 560.mm-2. Hasil yang sama
dilaporkan (Tambaru, Latunra, & Suhadiyah,
2013) yaitu kerapatan stomata daun mahoni
termasuk kategori kerapatan rendah hingga
tinggi yang bervariasi pada rentang 300
stomata.mm-2 hingga lebih dari 500
stomata.mm-2.
Tidak adanya perbedaan serapan cahaya
matahari untuk berbagai kondisi morfologi
daun mahoni tersebut kemungkinan berkaitan
dengan tajuk pohon mahoni di Hutan
Penelitian Parungpanjang yang cenderung
padat (rimbun). Dalam penelitian ini sampel
daun yang diamati diperoleh dari 1/3 bagian
tajuk ke bawah. Pada tajuk yang padat, daun
yang berada di bagian bawah cenderung
memiliki luas permukaannya yang lebih besar
sebagai akibat terhambat atau kurang
maksimal cahaya matahari menembus masuk
ke lapisan tajuk yang lebih dalam (Noviyanti,
Ratnasari, & Ashari, 2014). Laju fotosintesis
pada daun ternaungi cenderung lebih lambat
daripada daun pada tempat terbuka dan
PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida
141
memanfaatkan fotosintat yang dihasilkan daun
bagian atas, sehingga fotosintat tidak
terdistribusi secara merata ke seluruh bagian
tanaman (Yulianto, Susilo, & Juanda, 2008).
Hal ini kemungkinan salah satu faktor
penyebab produksi buah/benih mahoni tidak
dipengaruhi luas permukaan daun, walaupun
luas permukaan daun berkorelasi positif
dengan lebar tajuk (P< 0,001). Zakariyya
(2016) menyebutkan bahwa bentuk tajuk yang
baik adalah bagian atas tajuk melebar dan
semakin vertikal ke bawah, karena dapat
mencegah tumpang tindih antar tajuk.
Proses pembentukan dan perkembangan
bunga dan buah sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan unsur hara tanah sebagai suplai
energinya. Pohon dengan tajuk lebar memiliki
peluang memperoleh hara mineral dalam tanah
yang lebih banyak, karena terdapat korelasi
positif antara lebar tajuk dengan kemampuan
akar untuk menyerap unsur hara mineral di
dalam tanah (Raharjo & Sadono, 2008).
Tanaman mahoni mempunyai sistem
perakaran dalam dengan panjang perakaran
secara horizontal sekitar 1,0 m―3,0 m
(Wijayanto & Nurunnajah, 2012), sehingga
cenderung mampu menyerap unsur hara dalam
tanah secara maksimal. Pada jarak tanam
yang sempit, kondisi akar pada beberapa
pohon saling tumpang tindih yang akan
berdampak menurunnya fotosintesis sehingga
proses pembentukan bunga dan buah kurang
optimal. Selain kompetensi mendapatkan
unsur hara, jarak tanam yang lebar juga
menyebabkan tingginya sebaran sinar matahari
dalam tajuk tanaman, sehingga merangsang
percepatan fase generatif yang selanjutnya
akan mengoptimalkan produksi buah.
Semakin jarang jarak pohon semakin besar
persentase pohon yang berbuah pada periode
satu tahun (Syamsuwida et al., 2017). Untuk
itu jarak tanam menjadi salah satu faktor
pembatas terhadap peluang pohon mahoni
untuk berbuah. Implikasinya adalah untuk
pengelolaan tegakan mahoni yang ditujukan
untuk produksi benih hendaknya tegakan
dirancang dengan jarak tanam yang lebar.
Diharapkan kerapatan tegakan yang optimal
akan mengurangi persaingan pohon,
meningkatkan produksi biji per pohon, tetapi
pada saat yang sama, tidak mengorbankan
total produksi buah/benih.
IV. KESIMPULAN Secara keseluruhan produksi buah dan
benih mahoni di Parungpanjang dipengaruhi
kuat oleh diameter tajuk pohon. Produksi buah
dan benih terbesar dihasilkan pohon dengan
diameter tajuk lebih besar dari 11 m.
Morfologi daun yaitu luas permukaan daun
berkorelasi positif dengan diameter tajuk.
Morfologi dan anatomi (kerapatan dan indeks
stomata) daun bukan sebagai faktor pembeda
dalam produksi buah dan benih mahoni.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis haturkan
kepada Dra Dharmawati F.D., Endang
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
142
Pujiastuti, S.Hut., MSi., Hasan Royani, R.
Agus Setiawan dan Anggi D. Savitri Hasibuan
atas bantuan dan kerjasamanya sehingga
penelitian ini dapat terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Almatholib, S. A., Rachmadi, M., & Suherman, C. (2017). Pola hubungan nutrisi tajuk, morfologi tajuk, komponen tandan dan komponen hasil kelapa sawit pada lahan gambut di Kalimantan Tengah. Jurnal Agrikultura, 28(1), 1–8.
Andrew, W. D. (2014). Comparative analysis of selected factors affecting fruit phenotype and yield of Sclerocarya birrea in Tanzania. Tanzania Journal of Agricultural Sciences, 13(2), 27–39.
Ayari, A., Zubizarreta-Gerendiain, A., Tome, M., Tome, J., Garchi, S., & Henchi, B. (2012). Stand, tree and crown variables affecting cone crop and seed yield of Aleppo pine forests in different bioclimatic regions of Tunisia. Forest Systems, 21(1), 128–140. http://doi.org/10.5424/fs/2112211-11463
Blundell, A. G. (2007). Implementing CITES regulations for timber. Journal Ecological Applications, 17(2), 323–330. http://doi.org/10.1890/06-0127
Bramasto, Y., Sudrajat, D. J., Pujiastuti, E., & Danu. (2017). Towards a sustainable future for Acacia plantations. In Genetic diversity in seedling seed orchard of Mahogany (Swietenia macrophylla) at Parung Panjang , Bogor assessed by RAPD (pp. 1–6). Yogyakarta, Indonesia: IUFRO-INAFOR.
Budiono, R., Sugiarti, D., Nurzaman, M., Setiawati, T., Supriatun, T., & Mutaqin, Z. A. (2016). Kerapatan stomata dan kadar klorofil tumbuhan Clausena excavata berdasarkan perbedaan intensitas cahaya. In Seminar Nasional Pendidikan dan Saintek 2016 (pp. 61–65).
Erel, R., Dag, A., Ben-Gal, A., & Yermiyahu, U. (2011). The roles of nitrogen, phosphorus and potassium on olive tree productivity. Acta Hort., 888, 259–268.
http://doi.org/10.17660/ ActaHortic.2011.888.29
Erel, R., Yermiyahu, U., Van Opstal, J., Ben-Gal, A., Schwartz, A., & Dag, A. (2013). The importance of olive (Olea europaea L.) tree nutritional status on its productivity. Scientia Horticulturae, 159, 8–18. http://doi.org/10.1016/j.scienta.2013.04.036
Hardjana, A. . (2013). Model hubungan tinggi dan diameter tajuk dengan diameter etinggi dada pada tegakan tengkawang tungkul putih (Shorea macrophylla (de Vriese) P.S.Ashton) dan tungkul merah (Shorea stenoptera Burck.) di Semboja, Kabupaten Sanggau. Jurnal Penelitian Dipterokarpa, 7(1), 7–18.
Jiang, Z., Yu, J., Sanmei, M., & Wang, Y. (2011). Dynamic changes of stomatal characteristics during the flower, fruit and leaf developments of Zephyranthes candida (Lindl.) Herb. African Journal of Biotechnology, 10(62), 13470–13475. http://doi.org/10.5897/AJB10.2248
Kasiman, K., Ramadhani, D. S., & Syafrudin, M. (2017). Karakteristik morfologis dan anatomis daun tumbuhan tingkat semai pada paparan cahaya berbeda di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. J Hut Trop, I(1), 29–38.
Khoiroh, Y., Harijati, N., & Mastuti, R. (2014). Pertumbuhan serta hubungan kerapatan stomata dan berat umbi pada Amorphophallus muelleri Blume dan Amorphophallus variabilis Blume. J. Biotrop., 2(5), 249–253.
Kusumi, K., Hirotsuka, S., T, K., & Iba, K. (2012). Increased leaf photosynthesis caused by elevated stomatal conductancein a rice mutant deficient in SLAC1, a guard cell anion channel protein. Journal of Experimental Botany, 63(15), 5635–5644. http://doi.org/10.1093/jxb/err313
Luo, J., Que, Y., Zhang, H., & Xu, L. (2013). Seasonal variation of the canopy structure parameters and its correlation with yield-related traits in sugarcane. The Scientific World Journal, 2013, 1–12. http://doi.org/10.1155/2013/801486
Lytovchenko, A., Eickmeier, I., Pons, C., Osorio,
PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida
143
S., Szecowka, M., Lehmberg, K., … Fernie, A. R. (2011). Tomato fruit photosynthesis is seemingly unimportant in primary metabolism and ripening but plays a considerable role in seed development. Plant Physiol., 157, 1650–1663. http://doi.org/10.1104/pp.111.186874
Marenco, R. A., Camargo, M. A. B., Antezana-Vera, S. A., & Oliveira, M. F. (2017). Leaf trait plasticity in six forest tree species of central Amazonia. Photosynthetica, 55(4), 679–688. http://doi.org/10.1007/s11099-017-0703-6
Mastur. (2015). Sinkronisasi source dan sink untuk penigkatan produktivitas biji pada tanaman jarak pagar. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri, 7(1), 52–68.
Mindawati, N., & Megawati. (2013). Manual budidaya Mahoni (Swietenia macrophylla King.) (1st ed.). Bogor: Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan.
Mutaqin, A. Z., Budiono, R., Setiawati, T., Nurzaman, M., & Fauzia, R. S. (2016). Studi anatomi stomata daun mangga (Mangifera indica) berdasarkan perbedaan lingkungan. Jurnal Biodjati, 1(1), 13–18.
Noviyanti, R., Ratnasari, E., & Ashari, H. (2014). Pengaruh pemberian naungan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman stroberi varietas Dorit dan varietas Lokal Berastagi. LenteraBio, 3(3), 242–247.
Pantilu, L. I., Mantiri, F. R., Ai, N. S., & Pandiangan, D. (2012). Respons morfologi dan anatomi kecambah kacang kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap intensitas cahaya yang berbeda. Jurnal Bioslogos, 2(2), 79–87.
PDASHL, D. (2016). Petunjuk pelaksanaan standar sumber benih (2nd ed.). Jakarta: Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.
Pereira, J. C., Evangelista, A. W. P., Laviola, B. G., Portes, T. d. A., Junior, J. A., & Casaroli, D. (2017). Canopy growth and productivity of Jatropha genotypes. Semina:Ciencias Agrarias Landrina, 38(1), 135–141. http://doi.org/10.5433/1679-0359.2017v38n1p135
Pompelli, M., Martins, S., Celin, E., Ventrella, M., & DaMatta, F. (2010). What is the influence
of ordinary epidermal cells and stomata on the leaf plasticity of coffee plants grown under full-sun and shady conditions? Brazilian Journal of Biology, 70(4), 1083–1088. http://doi.org/10.1590/S1519-69842010000500025
Pramono, A. A., Siregar, I. Z., Palupi, E. R., & Kusmana, C. (2015). Hubungan antara status nutrisi dengan produksi buah dan benih surian (Toona sinensis (A.Juss.) M.Roem.) di Hutan Rakyat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 12(3), 189–200.
Pramono, A. A., Syamsueida, D., & Djam’an, D. (2017). Produksi buah dan benih mahoni (Swietenia macrophylla) di Parung Panjang dan Jonggol (Bogor , Jawa Barat) serta kaitannya dengan status kesuburan tanah. In Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon (Vol. 3, pp. 381–389). http://doi.org/10.13057/psnmbi/m030315
Raharjo, J. ., & Sadono, R. (2008). Model tajuk jati (Tectona grandis L.F) dari berbagai famili pada Uji Keturunan umur 9 tahun. Jurnal Ilmu Kehutanan, II(2), 89–95. http://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Raveh, E. (2013). Citrus leaf nutrient status: A critical evaluation of guidelines for optimal yield in Israel. J. Plant Nutr Soil Sci, 176(May), 420–428. http://doi.org/10.1360/zd-2013-43-6-1064
Santoso, H. (2011). Kebijakan sumber benih dan potensi kebutuhan benih untuk mendukung penanaman satu milyar pohon. In A. Rimbawanto, B. Leksono, & A. Y. P. B. C. Widyatmoko (Eds.), Prosiding Seminar Nasional Pembangunan Sumber Benih ; Peran Sumber Benih Unggul dalam mendukung Keberhasilan Penanaman Satu Milyar Pohon (pp. 67–78). Yogyakarta: Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Saputro, B. . (2013). Pengaruh persepsi kemudahan penggunaan, kepercayaan, kecemasan berkomputer dan kualitas layanan terhadap minat menggunakan internet banking. Jurnal Nominal, II(1), 36–63.
Sugiyono, P. D. (2013). Statistik untuk penelitian. CV. Alvabeta Bandung, 10(1), 403. http://doi.org/2011
Sundari, T., & Atmaja, R. P. (2011). Bentuk sel
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565
144
epidermis, tipe dan indeks stomata 5 genotipe kedelai pada tingkat naungan berbeda. Jurnal Biologi Indonesia, 7(1), 67–80.
Syamsuwida, D., Pramono, A. A., Putri, K. ., Djam’an, D. F., & Pujiastuti, E. (2017). Laporan Hasil Penelitian Tahun 2016. Bogor: Tidak di[publikasikan.
Tambaru, E. (2017). Comparative analysis of stomatal type Swietenia macrophylla King and Polyalthia longifolia Bent and Hook.var. Pendula in Makassar, South Sulawesi, Indonesia. International Journal of Current Research and Academic Review, 5(3), 31–34. http://doi.org/10.20546/ijcrar.2017.503.005
Tambaru, E., Latunra, A. I., & Suhadiyah, S. (2013). Peranan morfologi dan tipe stomata daun dalam mengabsorpsi karbon dioksida pada pohon hutan kota Unhas Makassar. In N. . Soekanto, P. Taba, & M. Zakir (Eds.), Simposium Nasional Kimia Bahan Alam ke XXI (pp. 12–17). Makassar: Himpunan Kimia Bahan Alam INdonesia (HKBAI).
Tanaka, Y., Sugano, S. S., Shimada, T., & Hara-Nishimura, I. (2013). Enhancement of leaf photosynthetic capacity through increased stomatal density in Arabidopsis. New Phytologist, 198, 757–764.
http://doi.org/10.1111/nph.12186
Terashima, I., Hanba, Y. T., Tholen, D., & Niinemets, U. (2011). Leaf functional anatomy in relation to photosynthesis. Plant Physiol, 155(January), 108–116. http://doi.org/10.1104/pp.110.165472
Wen, Y., Su, S., Ma, L. yi, Yang, S., Wang, Y., Wang, X., & Wang, X. nan. (2018). Effects of canopy microclimate on fruit yield and quality of Camellia oleifera. Scientia Horticulturae, 235, 132–141. http://doi.org/10.1016/j.scienta.2017.12.042
Wijayanto, N., & Nurunnajah. (2012). Intensitas cahaya, suhu, kelembapan dan sistem perakaran mahoni (Swietenia macrophylla King.) di RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor. Jurnal Silvikultur Tropika, 3(1), 8–13.
Yulianto, Susilo, J., & Juanda, D. (2008). Keefektifan Teknik Perangsangan Pembungaan pada Kelengkeng. Jurnal Hortikultura, 18(2), 148–154.
Zakariyya, F. (2016). Menimbang indeks luas daun sebagai variabel penting pertumbuhan tanaman kakao|. Warta Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia, 28(3), 8–12.
PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN
4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat
© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.145-158 145
PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN 4,5 TAHUN
MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
(The Improving Vigor of White Jabon Seeds after Storage for 4.5 Years Using Gamma Ray Irradiation)
Rahmad Suhartanto1, Tatiek K. Suharsi,
1 Evayusvita Rustam
2 dan/and Dede J. Sudrajat
2
1) Departemen Agronomi dan Hortikultura, Kampus Institut Pertanian Bogor
Jl. Meranti, Babakan, Dramaga, Kode Pos 16680, Bogor, Indonesia 2)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Indonesia
e-mail: [email protected]
Naskah masuk: 25 Juni 2018; Naskah direvisi: 11 Oktober 2018; Naskah diterima: 19 Desember 2018
ABSTRACT
Low dosage gamma ray iradiation has a potency to improve the seed germination by increasing of enzimatic
activities, cell division, stimulating of responsive genes to auksin and improving of seed metabolism. The aim
of the research was to identify seed storability of white jabon (Neolamarckia cadamba) and to find out the effective gamma ray irradiation dosages to increase the seed vigor. Seeds were collected from 4 populations
(Alas Puwo, Kampar, Batu Hijau, dan Pomalaa) and were stored for 4,5 years. Randomized completely
design was used to analysis seed storability and the effect of irradiation dosages ((0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100 Gy) on the parameters of seed germination and seedling growth. The result showed that seed
storage for 4.5 years generally caused the decrease of seed viability and vigor, except for seeds from Batu
Hijau.Seed moisture content decreased significantly to 4.08-4.87percent. Gamma ray irradiation provided
different responses on the seed origin.Irradiation was only effetive to improve germination with an initial seed germination more than 40 percent. Overall, dose of 40 Gy was able to improve seed vigor and seedling
growth so that it can be applied to increase vigor of white jabon seeds. Keywords: germination, growth, seed, seedling, storability
ABSTRAK
Iradiasi sinar gamma dengan dosis rendah berpotensi untuk memperbaiki viabilitas dan vigor benih dan bibit
melalui peningkatan aktivitas enzim, pembelahan sel,gen-gen yang responsif terhadap auksin dan perbaikan metabolisme. Tujuan penelitian adalahmengetahui daya simpan benih jabon putih (Neolamarckia cadamba)
dan mendapatkan dosis iradiasi sinar gamma yang efektif untuk meningkatkan vigor benihnya.Benih yang
digunakan berasal dari 4 populasi (Alas Puwo, Kampar, Batu Hijau, dan Pomalaa) dan telah disimpan selama
4,5 tahun. Rancangan acak lengkap digunakan untuk menguji daya simpan dan pengaruh dosis iradiasi (0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100 Gy) terhadap parameter perkecambahan dan pertumbuhan bibit. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan benih selama 4,5 tahun secara umum mengakibat penurunan
viabilitas dan vigor benih dari beberapa asal benih (populasi), kecuali untuk asal benih Batu Hijau. Penyimpanan juga mengakibatkan kadar air benih menurun secara nyata hingga 4,08 persen−4,87 persen.
Iradiasi sinar gamma memberikan respon yang berbeda-beda pada setiap asal benih. Iradiasi sinar gamma
efektif meningkatkan perkecambahan benih dengan daya berkecambah awal lebih dari 40 persen. Secara
keseluruhan dosis iradiasi 40 Gy mampu memperbaiki perkecambahan benih dan meningkatkan pertumbuhan bibit sehingga bisa diaplikasikan untuk meningkatkan vigor benih jabon putih. Kata kunci : benih, bibit, daya simpan, perkecambahan, pertumbuhan.
I. PENDAHULUAN
Jabon putih [Neolamarckia cadamba
(Roxb.) Bosser, sinonim Anthocephallus
cadamba (Roxb.) Miq] merupakan tumbuhan
asli Indonesia yang cepat tumbuh sehingga
potensial untuk dikembangkan sebagai hutan
tanaman dan hutan rakyat. Jabon putih
menghasilkan kayu yang dapat dimanfaatkan
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
146
sebagai kayu lapis, konstruksi, pulp, papan
serat, dan papan partikel (Sudrajat, 2016).Saat
ini jabon putih sudah banyak dibudidayakan
baik dalam skala kecil dalam bentuk hutan
rakyat terutama di Jawa dan Kalimantan
Selatan, maupun skala besar di beberapa
daerah seperti Sumatera Utara, Riau dan
Kalimantan Tengah (Kallio, Krisnawati,
Rohadi, & Kanninen, 2011; Krisnawati,
Kallio, & Kanninen, 2011;Irawan & Purwanto,
2014).
Salah satu kendala dalam budidaya jabon
putih adalah sulitnya untuk mendapatkan
benih bermutu tinggi dan teknik penanganan
benih yang relatif lebih sulit karena benihnya
berukuran sangat kecil (benih halus) (Irawan
& Purwanto, 2014; Sudrajat, 2015). Selain itu,
daya simpan benihpun masih belum diketahui
dengan pasti. Menurut Mansur (2012), benih
jabon putih tidak disarankan untuk disimpan
dalam kurun waktu yang lama karena setelah
disimpan selama 2-3 bulan,benih mengalami
penurunan daya berkecambah. Di lain pihak
Yuniarti dan Nurhasybi (2015) menyatakan
bahwa benih jabon putih dikategorikan sebagai
benih ortodoks, dimana memungkinkan
memiliki daya simpan lama dalam kondisi
suhu dan kadar air rendah (<5 persen).
Daya simpan benih dipengaruhi oleh
berbagai faktor diantaranya struktur benih,
komposisi biokimia, mutu fisiologis awal
benih dan dormansi(Yuniarti & Nurhasybi,
2015;Sudrajat & Nurhasybi, 2017), proses
penanganan benih (Shelar, Shaikh, & Nikam,
2008;Khatun, Kabir, & Bhuiyan, 2009),
ekologi tempat tumbuh (Yasaka, Takiya,
Watanabe, Oono, & Mizui, 2008), kondisi dan
lama penyimpanan (Suszka, Plitta, Michalak,
Bujarska-Borkowska, Tylkowski &
Chmielarz, 2014)serta faktor genetik (Sudrajat
& Nurhasybi, 2017).Secara umum,
penyimpanan benih bertujuan untuk
mempertahankan viabilitas sehingga masih
bisa digunakan pada masa tanam berikutnya.
Lamanya waktu penyimpanan benih dapat
menyebabkan terjadinya kemunduran
mutu,baik fisik, fisiologi maupun biokimia
yang mengakibatkan penurunan viabilitas dan
vigorbenih (Mustika, Suhartanto, & Qodir,
2014). Peningkatan mutu benih yang
mengalami penurunan dapat dilakukan dengan
memberi perlakuan sebelum tanam dengan
perlakuan invigorasi melalui metode priming
(Ilyas, 2012)dan iradiasi sinar gamma (Araújo,
Paparella, Dondi, Bentivoglio, Carbonera &
Belestrazzi, 2016; Zanzibar, Megawati,
Pujiastuti, & Sudrajat, 2015; Zanzibar &
Sudrajat, 2016). Penggunaan iradiasi sinar
gamma dapat menghasilkan pengaruh
stimulasi awal perkecambahan melalui
peningkatan aktivitas enzim, peningkatan
pembelahan sel,perbaikan perkecambahan dan
pertumbuhan bibit (Ikram, Dawar, Abbas, &
Javed, 2010; Piri, Babayan, Tavassoli, &
PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN
4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat
147
Javaheri, 2011;Iglesias-Andreu, Octavio-
Aguilar, & Bello-Bello, 2012; Araújo et al.,
2016).Penggunaan iradiasi untuk memperbaiki
vigor benih telah banyak dilakukan pada jenis-
jenis tanaman pertanian (Piri et al., 2011),
namun untuk jenis-jenis tanaman hutan,
khususnya jenis-jenis tropis masih sangat
terbatas (Iglesias-Andreu et al., 2012).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat penurunan viabilitas dan vigor benih
jabon putih dari 4 populasi (Alas Purwo,
Kampar, Batu Hijau dan Pomalaa) setelah
penyimpanan 4.5 tahun dan menentukan dosis
iradiasi sinar gamma yang efektif untuk
meningkatkan vigor benih dan bibit jabon
putih.Informasi ini diharapkan memberikan
gambaran dan panduan untuk memperbaiki
viabilitas dan vigor benih jabon putih dengan
metode invigorasi fisik menggunakan radiasi
sinar gamma.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Benih jabon putih yang digunakan dalam
penelitian ini berasal dari 4 populasi, yaitu
Alas Purwo-Jawa Timur (08°38’ LS, 114°21’
BT, 33 m dpl), Kampar-Riau (00°18’ LU,
100°57’ BT, 50 m dpl), Batu Hijau-Sumbawa
(08°58’ LS, 116°48’ BT, 53 m dpl), dan
Pomalaa-Sulawesi Tenggara (04°03’ LS,
121°39’ BT, 210 m dpl). Bahan lain yang
digunakan adalah pasir, tanah, kompos arang
sekam, polibag, dan shading net. Alat-alat
yang digunakan adalah timbangan analitik,
box mika ukuran 15 cm x 10 cm, kaliper
digital, penggaris, oven, dan alat lainnya.
B. Prosedur Penelitian
1. Penanganan benih
Benih dikumpulkan dari 10 pohon induk
untuk setiap provenan. Benih diekstraksi
dengan metode ekstraksi basah, kemudian
benih tersebut dikeringanginkan selama 3 hari
(Sudrajat, 2015). Benih tersebut kemudian
kompositkan dengan mencampurkan benih
dari setiap pohon induk dengan proporsi yang
sama. Setiap kelompok benih yang telah
dikompositkan dikemas dalam plastik klip dan
diberi identitas sesuai dengan lokasi tempat
pengumpulannya.
2. Pengujian perkecambahan dan vigor
benih awal
Kadar air benih sebelum dan setelah
penyimpanan diukur dengan metode oven
pada suhu (103±2)°C selama 17 jam. Contoh
kerja untuk kadar air dalam penelitian ini
adalah 5 g yang diulang sebanyak empat kali.
Penghitungan kadar air benih mengacu pada
ketentuan ISTA (2010).
Pengujian viabilitas dan vigor benih
menggunakan metode uji di atas pasir (UDP)
(Sudrajat, Nurhasybi, & Bramasto, 2017).
Media tanam terlebih dahulu dijemur sampai
kering, kemudian media diayak untuk
mendapatkan media yang halus. Media
dimasukkan ke dalam bak perkecambahan dan
disiram sampai jenuh. Jumlah benih yang
ditabur sebanyak 100 butir masing-masing 4
ulangan untuk setiap provenan. Benih jabon
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
148
putih berukuran sangat kecil sehingga
penaburan dilakukan dengan mencampur
benih dengan pasir halus dengan perbandingan
1:10 (v/v). Pencampuran bertujuan agar benih
tersebar merata di permukaan media,
selanjutnya ditutup dengan plastik untuk
mempertahankan kelembaban selama proses
perkecambahan. Tutup plastik dibuka setelah
kecambah mulai muncul, bertujuan agar
cahaya dan udara luar bisa masuk.
Kriteria kecambah normal jabon putih
adalah munculnya sepasang daun secara
sempurna.Pengamatan dilakukan setiap hari
hingga tidak ada lagi benih yang berkecambah
(±40 hari). Parameter yang diamati meliputi
daya berkecambah, keserempakan tumbuh,
kecepatan tumbuh, dan nilai perkecambahan
dengan rumus sebagai berikut:
a. Daya berkecambah (Gairola, Nautiyal,
Sharma, & Dwivedi, 2011):
………(1)
b. Kecepatan tumbuh (Sadjad, 1993):
…..........(2)
c. Nilai perkecambahan(Gairola et al., 2011):
……………………………..(3)
………………….(4)
…………..(5)
Keterangan:
PV = peak value (puncak perkecambahan)
MDG= mean daily germination 3. Penyimpanan benih
Benih masing-masing provenan disimpan
dalam plastik klip berukuran 10 cm x 15 cm
sebanyak 50g. Plastik tersebut diberi identitas
asal provenan dan tanggal penyimpanan.
Penyimpanan dilakukan di refrigrator pada
suhu 0 ºC − 4ºC dan kelembapan nisbi 40
persen−50 persen. Benih tersebut disimpan
selama 4,5 tahun (52 bulan).
4. Perlakuan iradiasi sinar gamma dan
pengujian mutu benihnya
Benih yang telah mengalami penyimpanan
diberi perlakuan radiasi dengan menggunakan
gammacell 220 dengan sumber radiasi 60Co
[Cobalt-60] dan laju 6645.7 Gy/jam. Dosis
iradiasi 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90
dan 100 Gy (Bodele, 2013).Benih yang
diiradiasi sebanyak 100 butir dimasukkan ke
dalam plastik klip. Setiap perlakuan terdiri dari
4 ulangan sehingga terdapat 44 satuan
percobaan. Pengujian perkecambahan dan
vigor benih dilakukan seperti pada pengujian
mutu benih awal (sebelum disimpan) dengan
parameter perkecambahan yang diamati adalah
daya berkecambah (Gairola et al., 2011),
kecepatan berkecambah (Sadjad, 1993), dan
nilai perkecambahan (Gairola et al., 2011).
5. Persemaian dan pengamatan performa
bibit
Selain perkecambahan pengamatan
dilanjutkan pada tingkat bibit. Penyapihan
dilakukan terhadap semai berumur 2 bulan
setelah tabur dengan ukuran tinggi semai 2 cm
−3 cm (Sudrajat, 2015). Penyapihan dilakukan
pada media campuran tanah, kompos dan
sekam (3:2:1 v/v/v) dalam polibag 10 cm x 15
cm. Parameter pertumbuhan tinggi, diameter
PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN
4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat
149
dan jumlah daun bibit dilakukan pada akhir
pengamatan (bibit umur 5 bulan setelah sapih)
sebanyak 3 ulangan, masing-masing ulangan
terdiri dari 20 bibit, sedangkan berat kering
total, indek kekokohan dan rasio pucuk akar
bibit sebanyak 3 ulangan dan masing-masing
ulangan menggunakan 3 bibit. Parameter yang
diamati adalah (Sudrajat, 2015):
a. Tinggi dan diameter bibit
Tinggi bibit diukur menggunakan
penggaris dari batas awal pertumbuhan batang
sampai akhir titik tumbuh. Diameter batang
diukur dengan menggunakan kaliper digital
pada bagian pangkal batang.
b. Berat kering total bibit
Pengukuran berat kering total bibit
dilakukan dengan cara mengeringkan semua
bagian bibit (akar, batang dan daun) dengan
oven suhu 70°C selama 48 jam.
c. Indeks kekokohan bibit
Indeks kekokohan bibit memberi indikasi
kemampuan bibit untuk berhasil tumbuh di
lapangan. Indeks kekokohan bibit merupakan
rasio tinggi dengan diameter bibit.
C. Analisis Data
Rancangan penelitian yang digunakan
adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan
dosis radiasi sebagai perlakuan. Analisis
ragam digunakan untuk menganalisis pengaruh
perlakuan terhadap parameter viabilitas dan
vigor benih dan bibit. Bila hasil analisis ragam
berpengaruh nyata, maka dilanjutkan uji
Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada
taraf 5 persen.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Perkecambahan dan vigor benih
sebelum dan setelah penyimpanan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
asal benih (provenan) berpengaruh nyata
terhadap semua parameter perkecambahan
benih sebelum dan setelah penyimpanan,
kecuali untuk parameter kadar air setelah
penyimpanan (Tabel 1).
Tabel (Table)1. Rata-rata dan Uji-t kadar air (KA), daya berkecambah (DB), kecepatan tumbuh
(KCT), dan nilai perkecambahan (NP) benih jabon putih sebelum dan setelah (4,5
Tahun) penyimpanan (Moisture content (KA), germination capacity (DB), germination
speed (KCT), and germination value (NP) of white jabon seed before and after storage
(4.5 years)).
Asal benih
(Seed origin)
KA
(Moisture content) (%)
DB
(Germination capacity) (%)
Kct
Germination speed) (% etmal-1)
NP
(Germination value)
DMRT t-test DMRT t-test DMRT t-test DMRT t-test
0 tahun
(year)
4.5 tahun
(years)
0 tahun
(year)
4.5 tahun
(years)
0 tahun
(year)
4.5 tahun
(years)
0 tahun
(year)
4.5 tahun
(years)
Alas Purwo 7,29 ab 4,49 * 53,25 e 40,75 c ** 4,28 d 2,57 c * 3,78 c 1,16 c ns
Kampar 7,52 a 4,87 * 69,00 c 26,50 d * 5,62 b 1,61 d ns 6,45 b 0,41 de ns
Batu Hijau 6,88 b 4,08 * 63,00 b 67,50 b ** 4,20 d 4,48 b ** 3,66 c 1,90 b *
Pomalaa 5,58 c 4,48 ** 82,75 a 79,00 a ** 6,71 a 5,39 a ** 8,72 a 4,52 a *
F-hitung(F-test) ** ns ** ** ** ** ** **
Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (P≤0,05) berdasarkan uji selang berganda Duncan,
**=berpengaruh sangat nyata pada 1%, *=berpengaruh nyata pada5% ns = tidak berpengaruh
nyata pada 5% (Values followed by different letters in the same column indicate significant differences at P
≤ 0.05 based on Duncan multiple range test).
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
150
Penurunan nyata terhadap parameter
perkecambahan benih sebelum dan setelah
disimpan semua provenan kecuali parameter
kecepatan tumbuh (Kampar) dan nilai
perkecambahan (Alas Purwo dan Kampar).
Penyimpanan benih selama 4,5 tahun
menghasilkan kadar air yang mencapai
kesetimbangan dengan kisaran 4,08
persen−4,87 persen atau mengalami penurunan
19,71 persen − 40,70 persen dan menurun
secara nyata dari kadar air awal (benih
sebelum disimpan) (Tabel 1). Penurunan kadar
air diikuti penurunan daya berkecambah benih,
kecuali benih asal Batu Hijau yang
menunjukkan peningkatan daya berkecambah
sekitar 3,50 persen (dari 63,00 persen menjadi
67,50 persen). Penyimpanan benih juga
mengakibatkan perubahan vigor benih, yang
digambarkan dengan perubahan kecepatan
tumbuh dan nilai perkecambahan benih. Benih
asal Pomalaa memiliki vigor tertinggi dengan
kecepatan tumbuh 5,39 persen etmal-1dan nilai
perkecambahan 4,52, sedangkan benih asal
Kampar memiliki vigor benih terendah setelah
penyimpanan dengan nilai kecepatan tumbuh
1,61 persen.etmal-1 dan nilai perkecambahan
0,41.
2. Pengaruh iradiasi sinar gamma
terhadap perkecambahan dan vigor
benih
Analisis ragam menunjukkan bahwa
perlakuan iradiasi sinar gamma berpengaruh
nyata terhadap daya berkecambah benih
(Tabel 2). Perlakuan iradiasi dengan dosis 10
Gy – 50 Gy memberi kecenderungan
peningkatan daya berkecambah, namun
responnya berbeda-beda untuk setiap asal
benih. Selanjutnya peningkatan dosis iradiasi
sampai 100 Gy daya berkecambah benih
cenderung mengalami penurunan pada semua
asal benih. Tabel(Table) 2. Daya berkecambah benih jabon putih pada beberapa dosis iradiasi sinar gamma
setelah penyimpanan (Germination capacity of white jabon seeds on the several
gamma irradiation dosages after storage)
Dosis iradiasi
(irradiation dosages)
(Gy)
Daya berkecambah dari 5 asal benih
(Germination capacity of the 5 seed origins) (%)
Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa
0 40,75 ab 26,50 ab 67,50 bcd 79,00 abc
10 40,75 ab 26,50 ab 64,75 bcd 88,25 a
20 38,75abc 13,00 d 73,25 abc 88,00 a
30 26,75 c 24,25 abc 82,25 a 75,00 abc
40 46,75 a 15,25 cd 76,75 ab 82,00 abc
50 43,00 ab 27,00 a 72,75 abc 84,00 ab
60 39,25 ab 19,75 bcd 75,00 abc 84,50 ab
70 38,50 abc 25,25 abc 71,75 abc 64,00 c
80 43,00 ab 19,00 a-d 64,25 cd 65,75 abc
90 32,50 bc 21,75 a-d 65,00 bcd 86,25 a
100 33,00 bc 16,00 bcd 58,75 d 64,25c
F-hitung (F-test) * * ** *
Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang samapadakolomyang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbedanyata pada taraf 5% berdasarkan uji selang berganda Duncan, ns = tidak berpengaruh nyata,*= berpengaruh nyata pada 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada 1% (Values followed by different letters in the same column indicate significant differences at P≤0.05 based on Duncan multiple range tes, ns=no significant, *=significant at P < 0.05, **=significant at P > 0.01)
PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN
4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat
151
Kecepatan tumbuh dipengaruhi oleh
iradiasi sinar gamma. Setelah iradiasi sinar
gamma, benih mempunyai kecepatan tumbuh
yang cenderung lebih lambat dibandingkan
dengan benih tanpa iradiasi (kontrol), kecuali
pada beberapa perlakuan dosis iradiasi, seperti
pada dosis 40 Gy pada benih dari Alas Purwo
dan Batu Hijau (Tabel 3). Tabel(Table) 3 Kecepatan tumbuh (KCT) benih jabon putih pada beberapa dosis iradiasi sinar
gamma (Germination speed (KCT) of white jabon seeds on the several gamma rays
irradiation dosages) Dosis iradiasi (Irradiation
dosages) (Gy)
KCT (Germination speed) (%KN etmal-1)
Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa
0 2,57 ab 1,61 a 4,48 a 5,39 a
10 1,85 bc 1,26 abc 3,58 ab 5,40 a
20 2,07 abc 0,69 d 4,04 ab 5,40 a
30 1,59 c 1,25 abc 4,38 a 4,18 bc
40 2,65 a 0,74 cd 4,48 a 4,69 ab
50 2,37 ab 1,45 bc 4,32 a 4,76 ab
60 2,18 abc 0,98 bcd 4,36 a 4,68 ab
70 1,97 abc 1,21 a-d 4,33 a 3,34 c
80 2,42 ab 0,90 bcd 3,87 ab 3,57 c
90 1,95 abc 1,11 a-d 3,65 ab 4,80 ab
100 1,84 bc 0,76 cd 3,30 b 3,44 c
Fhitung (F-test) * ** * **
Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang samapadakolomyang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbedanyata pada taraf 5% berdasarkan uji selang berganda Duncan, ns = tidak berpengaruh nyata,*= berpengaruh nyata pada 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada 1% (Values followed by different letters in the same column indicate significant differences at P≤0.05 based on Duncan multiple range tes, ns=no significant, *=significant at P < 0.05, **=significant at P > 0.01)
Nilai perkecambahan hanya berpengaruh
pada benih asal Pomala setelah perlakuan
iradiasi sinar gamma (Tabel 4) yang
menunjukkan kecenderungan nilai
perkecambahan meningkat pada dosis iradiasi
hingga 60 Gy dan kemudian menurun.
Peningkatan tertinggi terjadi setelah diiradiasi
dengan dosis 10 Gy dengan nilai
perkecambahan 8,22 (Tabel 4).
Tabel(Table) 4. Nilai perkecambahan benih jabon putih pada beberapa dosis iradiasi sinar gamma
(Gemination values of white jabon seeds on the several gamma rays irradiation
dosages) Dosis iradiasi (Irradiation dosages)
(Gy) Nilai perkecambahan (Germination value)
Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa
0 1,16 0,41 1,90 4,52 bcd 10 0,76 0,42 3,76 8,22 a 20 0,91 0,16 3,14 6,78 ab 30 0,55 0,36 3,38 5,14 bc 40 1,53 0,23 3,52 4,79 bcd 50 1,31 0,46 4,72 3,64 cde 60 0,95 0,19 4,10 5,48 bc
70 0,94 0,32 4,51 1,58 e 80 1,35 0,16 4,22 2,22 de 90 1,14 0,41 2,92 5,03 bc
100 0,60 0,12 2,99 1,97 e
Fhitung (F-test) ns ns ns **
Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolomyang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji selang berganda Duncan, ns = tidak berpengaruh nyata,*= berpengaruh nyata pada 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada 1% (Values followed by different letters
in the same column indicate significant differences at P≤0.05 based on Duncan multiple range tes, ns=no significant, *=significant at P < 0.05, **=significant at P > 0.01)
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
152
3. Pengaruh iradiasi sinar gamma
terhadap pertumbuhan bibit Perlakuan iradiasi sinar gamma terhadap
benih hasil analisis ragam menunjukkan
pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi dan
diameter bibits semua asal benih (Tabel 5).
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa semua
asal benih mengalami peningkatan tinggi pada
rentang dosis 10 Gy sampai 70 Gy. Dosis
iradiasi 40 Gy merupakan dosis yang efektif
untuk meningkat tinggi bibit pada semua asal
benih. Selanjutnya peningkatan dosis sampai
100 Gy menyebabkan pertumbuhan bibit lebih
pendek. Perlakuan iradiasi hanya
meningkatkan ukuran diameter bibit pada asal
benih Kampar dengan dosis iradasi 40 Gy
(Tabel 5). Sementara untuk asal benih lain
perlakuan iradiasi menyebabkan diameter
lebih kecil. Berat kering total bibit dan indek
kekokohan bibit semua asal benih dipengaruhi
oleh iradiasi sinar gamma (Tabel 6). Berat
kering total bibit semua asal benih meningkat
pada rentang dosis 30 Gy−50 Gy. Dosis
iradiasi yang efektif untuk meningkatkan berat
kering bibit semua asal benih adalah dosis 40
Gy (3,83 gram sampai 9,85 gram).
Tabel (Table) 5.Tinggi dan diameter bibit jabon putih pada beberapa dosis iradiasi sinar gamma
(Height and diameter of white jabon seedlings on the several gamma rays
irradiation dosages)
Dosis iradiasi
(Irradiation dosages) (Gy)
Tinggi (Height) (cm) Diameter (Diameter) (mm)
Alas Purwo
Kampar Batu Hijau
Pomalaa Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa
0 15,37 cd 10,67 bc 17,01 e 13,62 d 2,77 ab 2,79
bcd 2,90 a 2,87 ab
10 9,62 e 6,47 d 23,83 b 25,22 b 1,73 cd 1,78 e 2,56 ab 3,13 a 20 15,00 cd 15,84 a 20,27 cd 19,70 c 1,98 cd 3,17 ab 2,50 ab 2,70 bc
30 25,63 ab 11,47 b 24,86 b 19,47 c 2,87 ab 2,39 d 2,74 ab 2,53 cd
40 27,49 a 17,88 a 28,89 a 28,70 a 3,05 a 3,43 a 2,92 a 2,98 ab 50 13,10 d 16,47 a 23,06 bc 28,64 a 2,13 c 3,00 b 2,71 ab 3,12 a
60 17,87 c 7,79 d 19,84 cd 15,35 d 2,88 ab 2,50 cd 2,47 b 2,29 d
70 22,59 b 11,98 b 23,87 b 18,57 c 2,65 ab 2,86 bc 2,60 ab 2,55 cd
80 9,00 e 8,68 cd 10,58 f 9,87 e 2,56 b 2,77
bcd 2,70 ab 2,55 cd
90 5,17 f 3,11 e 7,74 f 15,34 d 1,62 d 1,39 f 1,52 d 2,29 d
100 7,68 ef 7,17 d 15,10 e 10,42 e 1,79 cd 1,99e 2,09 c 1,85 e
Fhitung (F-test) ** ** ** ** ** ** ** ** Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji selang berganda Duncan, ns = tidak
berpengaruh nyata,*= berpengaruh nyata pada 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada 1%
(Values followed by different letters in the same column indicate significant differences at
P≤0.05 based on Duncan multiple range tes, ns=no significant, *=significant at P < 0.05,
**=significant at P > 0.01)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebelum perlakuan, indek kekokohan bibit
untuk asal benih Alas Purwo dan Batu Hijau
memenuhi standar indek yang ditentukan yaitu
PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN
4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat
153
5.1-12 (SNI 01-5006-1-1999), sedangkan asal
benih Kampar dan Pomalaa indek
kekokohannya masih dibawah standar yaitu
3.86 dan 4.84. Perlakuan iradiasi sinar gamma
mampu meningkatkan nilai indek menjadi 5,00
– 5,66 untuk bibit Kampar pada dosis 20-30
Gy dan menjadi 6,60 – 9,64 untuk bibit asal
Pomalaa pada dosis 10 – 90 Gy (Tabel 6).
Peningkatan nilai indek juga terjadi pada asal
benih yang sudah memenuhi standar dan
bahkan pada beberapa asal benih nilai
indeknya melebihi standar yang
ditentukan.Bibit dengan nilai indek
kekokohannya di bawah atau/dan di atas
standar mengindikasikan bahwa bibit tersebut
tidak mampu tumbuh baik pada saat di
lapangan, karena terjadi ketidakseimbangan
antara tinggi dengan diameter bibit.
Tabel (Table) 6. Berat kering total dan indek kekokohan bibit jabon putih perlakuan iradiasi sinar
gamma (Biomass and sturdiness quotient of white jabon seedlings on the several gamma
rays irradiation dosages)
Dosis iradiasi (Irradiation dosages) (Gy)
Berat kering total (Total biomass) (g) Indeks kekokohan (Sturdiness quotient)
Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa
0 3,03 b 2,01 bc 5,47 c 3,25 b 5,72 c 3,86 cd 6,06 bc 4,84 e 10 1,15 b 0,62 cd 3,42 c 3,72 bc 5,86 c 3,91cd 13,28 a 8,01 b 20 2,80 b 3,13 ab 1,68 c 3,40 bcd 7,87 b 5,17 a 11,41 ab 7,29 bc 30 3,58 a 1,33 cd 2,62 c 1,12 de 8,84 a 5,00 ab 11,15 ab 7,89 b 40 3,85 a 3,83 a 9,85 b 3,70 bc 8,98 a 5,66 a 11,69 ab 9,64 a 50 3,23 a 1,38 cd 14,11 a 12,00 a 6,84 bc 3,19 cde 12,79 bc 9,45 a 60 1,96 b 0,58 cd 2,51 c 1,96 b-e 6,37 c 3,82 de 11,61 ab 6,60 cd
70 1,23 b 1,31 cd 1,79 c 1,39 cde 8,92 a 3,38 bc 13,25 a 7,39 bc 80 1,00 b 1,22 cd 2,04 c 3,22 bcd 3,74 de 3,24 cde 6,51 bc 3,82 f 90 1,29 b 0,27 d 1,02 c 2,25 b-e 3,35 e 2,38 e 4,37 c 6,83 c
100 0,98 b 0,75 cd 0,77 c 0,52 e 4,51 d 3,63 cd 10,25 abc 5,72 de
F-hitung * ** ** ** ** ** * **
Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolomyang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji selang berganda Duncan, ns = tidak
berpengaruh nyata,*= berpengaruh nyata pada 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada 1%
(Values followed by different letters in the same column indicate significant differences at
P≤0.05 based on Duncan multiple range tes, ns=no significant, *=significant at P < 0.05,
**=significant at P > 0.01) B. Pembahasan
1. Perkecambahan dan vigor benih
sebelum dan setelah penyimpanan
Penyimpanan benih merupakan salah satu
upaya untuk mempertahan mutu benih agar
dapat digunakan pada masa tanam berikutnya.
Selama penyimpanan proses metabolisme akan
terus berlangsung sehingga mutu fisiologisnya
akan terus menurun. Penurunan viabilitas dan
vigor benih terjadi hampir pada semua asal
benih dengan kecenderungan berbeda-beda
pada setiap asal benih. Kemampuan benih
disimpan atau daya simpan benih dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti genetik dan
ekologi tempat tumbuh (Yasaka et al., 2008).
Sudrajat (2016) menyatakan bahwa jabon
putih dari populasi yang berbeda memiliki
keragaman genetik yang cukup luas. Pada
penelitian ini, asal benih jabon putih berasal
dari beberapa populasi berbeda yang
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
154
mempunyai keragaman genetik antar populasi
yang luas (Sudrajat, Siregar, Khumaida,
Siregar, & Mansur, 2014;Sudrajat, 2016) dan
diduga berpengaruh terhadap daya simpan
benihnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
benih yang berasal dari kondisi tempat tumbuh
lebih basah (Kampar curah hujan 3000
mm/tahun) memiliki daya simpan lebih
singkat dibandingkan dengan benih berasal
dari kondisi tumbuh yang kering (Batu Hijau
curah hujan 2290 mm/tahun dan Pomalaa 1780
mm/tahun). Hal ini terlihat dari daya
berkecambah benih setelah penyimpanan asal
benih Kampar hanya mampu mempertahan
viabilitas sebesar 26,50 persen, sedangkan
asal benih Batu Hijau dan Pomalaa daya
berkecambahnya benih masih tinggi, yaitu di
atas 60 persen. Hal ini sejalan dengan Joker
(2002) menyatakan bahwa periode
penyimpanan benih akan lebih singkat pada
daerah yang lebih basah.
Vigor benih merupakan sejumlah sifat
yang menggambarkan beberapa karakteristik
yang berhubugan dengan penampilan suatu lot
benih, diantaranya kecepatan tumbuh dan
kemampuan benih untuk berkecambah setelah
mengalami penyimpanan(Marcos Filho, 2015).
Benih yang berasal dari Batu Hijau dan
Pomalaa merupakan asal benih yang memiliki
vigor tinggi setelah penyimpanan yang
ditandai dengan kecepatan berkecambah dan
nilai perkecambahan yang cukup tinggi serta
rata-rata waktu berkecambah yang relatif lebih
cepat dibandingkan dengan asal benih lain.
2. Pengaruh iradiasi sinar gamma
terhadap perkecambahan dan vigor
benih
Benih yang telah mengalami kemunduran
secara biokimia diindikasikan dengan terjadi
perubahan aktivitas enzim, perubahan laju
respirasi, perubahan cadangan makanan,
perubahan membran sel, dan kerusakan
kromosom (Shaban, 2013). Kondisi tersebut
berdampak pada menurunnya viabilitas dan
vigor benih. Pemaparan benih terhadap iradiasi
sinar gamma dengan dosis rendah dapat
merangsang proses biokimia dan fisiologis
dalam benih sehingga berpotensi untuk
memperbaiki proses perkecambahan (Sudrajat
& Zanzibar, 2009). Pada penelitian ini,
beberapa dosis iradiasi sinar gamma (< 50 Gy)
mampu meningkatkan perkecambahan benih
jabon putih.
Kepekaan benih terhadap dosis iradiasi
sinar gamma berbeda-beda yang diduga
disebabkan viabilitas awal benih dan karakter
genetik setiap asal benih yang berbeda.
Perlakuan iradiasi terhadap benih jabon putih
dalam hubungannya dengan tujuan
peningkatan viabilitas benih potensial dapat
diterapkan pada benih yang memiliki rentang
daya berkecambah awal (sebelum perlakuan)
60 persen sampai 70 persen, sedangkan untuk
viabilitas di bawahnya menghasilkan
PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN
4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat
155
perbedaan daya berkecambah yang tidak
berbeda nyata dengan kontrol.
Vigor benih merupakan sifat-sifat untuk
menentukan tingkat potensi aktivitas dan
kinerja benih atau lot benih selama
perkecambahan atau pemunculan kecambah
(Marcos Filho, 2015). Ciri-ciri benih vigor
salah satunya dapat ditandai dengan kecepatan
tumbuh benih. Iradiasi sinar gamma sampai
dosis 100 Gy menyebabkan kecepatan tumbuh
benih lebih lama dibanding dengan benih
tanpa perlakuan. Kecepatan tumbuh benih
berkaitan dengan kemampuan benih untuk
mengimbibisi air ke dalam benih. Air yang
masuk ke benih membantu dalam proses
aktivitas enzim yang sebelumnya telah
terstimulasi dari iradiasi sinar gamma. Namun
pada penelitian ini setelah iradisi dan imbibisi
tidak mampu mempercepat kecepatan tumbuh
benih. Sementara, nilai perkecambahan untuk
asal benih Pomalaa meningkat sampai 81,86
persen pada dosis iradiasi 10 Gy. Ranal dan
Santana (2006) menyatakan nilai
perkecambahan merupakan indeks untuk
menyatakan kecepatan dan kesempurnaan
benih untuk berkecambah.
3. Pengaruh iradiasi sinar gamma
terhadap pertumbuhan bibit
Tinggi tanaman merupakan karakter
penting sebagai indikator pertumbuhan
tanaman dan merupakan indikator bibit siap
tanam (Sudrajat, 2010). Rentang dosis 10 Gy
−70 Gy meningkatkan pertumbuhan tinggi dan
diameter bibit. Pada dosis ini diduga dapat
memberi pengaruh hormosis yang mampu
merangsang pertumbuhan tinggi dan diameter
bibit dibandingkan dengan kontrol. Pengaruh
stimulasi sinar gamma terhadap pertumbuhan
bibit diduga disebabkan adanya percepatan
pembelahan sel atau stimulasi langsung/tidak
langsung gen-gen yang responsif terhadap
auksin. Perubahan biokimia akibat radiasi
sinar gamma mempengaruhi proses
metabolisme sel yang pada tingkat tertentu
dapat menguraikan bahan kimia penghambat
perkecambahan dan juga meningkatkan
pembelahan sel sehingga akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan bibit (Piri et al., 2011).
Parameter pertumbuhan bibit yang juga
mempengaruhi persen hidup dan pertumbuhan
bibit di lapangan adalah berat kering total bibit
dan indek kekokohan bibit (Budiman,
Sudrajat, Lee, & Kim, 2015). Dosis iradiasi
yang efektif untuk meningkatkan berat kering
total bibit semua asal benih adalah dosis 40
Gy. Berat kering total mencerminkan
akumulasi senyawa organik yang berhasil
disintesis tanaman dari senyawa anorganik
seperti unsur hara, air dan karbondioksida
(Sudrajat, 2015). Berat kering total
berhubungan erat dengan pertumbuhan tinggi
dan diameter. Apabila pertumbuhan tanaman
berlangsung cepat, maka berat kering totalnya
akan semakin tinggi. Penelitian yang sama
pada bibit Terminalia arjuna (Akshantha,
Chandrashekar, Somashekarappa, &
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
156
Souframanien, 2013) iradiasi sinar gamma
juga mampu meningkatkan berat kering total
benih pada dosis 25 Gy sampai 50 Gy.
Indek kekokohan bibit merupakan
perbandingan antara tigggi dengan diameter
bibit yang dilakukan pada akhir pengamatan.
Standar untuk indek kekokohan bibit adalah
5.1-12 (SNI 01-5006-1-1999).Bibit dengan
indek kekokohan di atas 12 menunjukkan
bibit yang memiliki ukuran yang tinggi dengan
diameter yang kecil sedangkan bibit dengan
indek kekokohan di bawah 5.1 berarti ukuran
bibit rendah dengan diameter yang
besar.Iradiasi sinar gamma meningkatkan
indek kekokohan bibit pada asal benih Kampar
dan Pomalaa. Menurut Budiman et al. (2015),
indeks kekokohan yang tinggi untuk jabon
putih menghasilkan kinerja bibit yanng kurang
baik setelah penanaman. Indek kekokohan
hingga dosis iradiasi 40 Gy masih berada di
bawah standar (rata-rata < 12), namun pada
dosis >50 Gy khususnya untuk benih asal Batu
Hijau memiliki indek kekokohan di atas 12
yang menunjukkan bibit tersebut tidak mampu
untuk tumbuh baik pada saat penanaman di
lapangan, karena antara tinggi dengan
diameter bibit terjadi ketidakseimbang. Secara
umum pertumbuhan dan vigor bibit terbaik
dihasilkan dari perlakuan iradiasi sinar gamma
pada dosis 40 Gy.
IV. KESIMPULAN
Penyimpanan benih jabon putih selama
4.5 tahun secara umum mengakibat penurunan
viabilitas dan vigor benih dari beberapa asal
benih(provenan), kecuali asal benih Batu Hijau
(63,00 persen−67,50 persen). Penyimpanan
juga mengakibatkan kadar air benih menurun
hingga 4,08 persen−4,87 persen atau dapat
dinyatakan sebagai kadar air kesetimbangan.
Iradiasi sinar gamma memberikan respon yang
berbeda-beda pada setiap asal benih. Iradiasi
hanya mampu meningkatkan perkecambahan
benih dengan daya berkecambah awal lebih
dari 40. Secara keseluruhan dosis iradiasi 40
Gy mampu memperbaiki perkecambahan
benih dan meningkatkan pertumbuhan bibit
sehingga bisa diaplikasikan untuk
meningkatkan viabilitas dan vigor benih jabon.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada Pusat
Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi
(PATIR) Batan, Jakarta yang telah membantu
dalam perlakuan iradiasi benih jabon putih.
Terima kasih juga diucapkan kepada Balai
Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan Bogor atas
bantuan fasilitas laboratorium pengujian benih
dan bibit.
DAFTAR PUSTAKA
Akshantha, Chandrashekar, K. R.,
Somashekarappa, H. M., & Souframanien, J. (2013). Effect of gamma irradiation on
germination, growth, and biochemical
parameters of Terminalia arjuna Roxb.
Radiation Protection and Environment, 36(1), 38–44. https://doi.org/10.4103/0972-
0464.121826
PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN
4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat
157
Araújo, S. de S., Paparella, S., Dondi, D.,
Bentivoglio, A., Carbonera, D., & Balestrazzi, A. (2016). Physical methods
for seed invigoration: Advantages and
challenges in seed technology. Frontiers in
Plant Science, 7(May), 1–12.
https://doi.org/10.3389/fpls.2016.00646
Bodele, S. K. (2013). Effect of gamma radiation
on morphological and growth parameters of Andrographis paniculata. Indian Journal
of Applied Research, 3(6), 55–57.
Budiman, B., Sudrajat, D. J., Lee, D. K., & Kim, Y. S. (2015). Effect of initial morphology
on field performance in white jabon
seedlings at Bogor, Indonesia. Forest
Science and Technology, 11(4). https://doi.org/10.1080/21580103.2015.100
7897
Gairola, K. C., Nautiyal, A. R., Sharma, G., & Dwivedi, A. K. (2011). Variability in seed
characteristics of Jatropha curcas Linn.
from hill region of Uttarakhand. Bulletin of
Enviroment, Pharmacology & Life
Sciences, 1(1), 64–69.
Iglesias-Andreu, L., Octavio-Aguilar, P., & Bello-
Bello, J. (2012). Current importance and potential use of low doses of gamma
radiation in forest species. In F. Adrovic
(Ed.), Gamma Radiation (pp. 265–280). Rijeka, Croatia: In Technology Europe.
https://doi.org/10.5772/36950
Ikram, N., Dawar, S., Abbas, Z., & Javed, Z.
(2010). Effect of (60 cobalt) gamma rays on growth and root rot diseases in
mungbean (Vigna radiata l.). Pakistan
Journal of Botany, 42(3), 2165–2170.
Ilyas, S. (2012). Ilmu dan Teknologi Benih Teori
dan Hasil-Hasil Penelitian. Bogor: IPB
Press.
Irawan, U. S., & Purwanto, E. (2014). White jabon (Anthocephalus cadamba) and red jabon
(Anthocephalus macrophyllus) for
community land rehabilitation: Improving local propagation efforts. Agricultural
Science, 2(3), 36–45.
https://doi.org/10.12735/as.v2i3p36
ISTA. (2010). International rules for seed testing
Edition 2010. Bassersdorf (CH): The
International Seed Testing Association.
Joker, D. (2002). Shorea leprosula Miq. In
Informasi Singkat Benih (p. 2). Bandung.
Kallio, M. H., Krisnawati, H., Rohadi, D., & Kanninen, M. (2011). Mahogany and
kadam planting farmers in South
Kalimantan: The link between silvicultural
activity and stand quality. Small-Scale Forestry, 10(1), 115–132.
https://doi.org/10.1007/s11842-010-9137-8
Khatun, A., Kabir, G., & Bhuiyan, M. A. H. (2009). Effect of harvesting stages on the
seed quality of lentil (Lens culinaris L.)
during storage. Bangladesh Journal of
Agricultural Research, 34(4), 565–576.
Krisnawati, H., Kallio, M., & Kanninen, M.
(2011). Anthocephalus cadamba Miq.:
ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor: Center for International Forestry
Research.
Mansur, I. (2012). Prospek pengembangan jabon untuk mendukung pengembangan hutan
tanaman. In M. Langi, J. S. Tasirin, H.
Walangitan, & L. Asir (Eds.), Prospek
Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan (pp. 1–
14). Menado: IPB Press.
Marcos Filho, J. (2015). Seed vigor testing: an overview of the past, present and future
perspective. Scientia Agricola, 72(4), 363–
374. https://doi.org/10.1590/0103-9016-
2015-0007
Mustika, S., Suhartanto, M. R., & Qodir, A.
(2014). Kemunduran benih kedelai akibat
pengusangan cepat menggunakan alat IPB 77-1 MM dan penyimpanan alami. Buletin
Agrohortikultur, 2(1), 1–10.
Piri, I., Babayan, M., Tavassoli, A., & Javaheri, M. (2011). The use of gamma irradiation in
agriculture. African Journal of
Microbiology Research, 5(32), 5806–5811.
https://doi.org/10.5897/AJMR11.949
Ranal, M. A., & Santana, D. G. de. (2006). How
and why to measure the germination
process? Revista Brasileira de Botânica, 29(1), 1–11. https://doi.org/10.1590/S0100-
84042006000100002
Sadjad, S. (1993). Dari Benih Kepada Benih.
Jakarta: Grasindo.
Shaban, M. (2013). Review on physiological
aspects of seed deterioration. International
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
158
Journal of Agriculture and Crop Sciences
IJACS, 11(6), 627–631. Retrieved from
www.ijagcs.com
Shelar, V. R., Shaikh, R. S., & Nikam, A. S.
(2008). Soybean seed quality during
storage : a review. Agricultural Reviews, 29(2), 125–131. Retrieved from
http://www.arccjournals.com/uploads/articl
es/ar292006.pdf
Sudrajat, D. J. (2010). Tinjauan standar mutu bibit
tanaman hutan dan penerapannya di
Indonesia. Tekno Hutan Tanaman, 3(3),
85–97.
Sudrajat, D. J. (2015). Keragaman populasi, uji
provenansi dan adaptasi jabon
(Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser)S.
Institut Pertanian Bogor.
Sudrajat, D. J. (2016). Genetic variation of fruit,
seed, and seedling characteristics among 11 populations of white jabon in Indonesia.
Forest Science and Technology, 12(1).
https://doi.org/10.1080/21580103.2015.100
7896
Sudrajat, D. J. (2016). Genetic variation of fruit,
seed, and seedling characteristics among 11
populations of white jabon in Indonesia. Forest Science and Technology, 12(1), 9–
15.
https://doi.org/https://doi.org/10.1080/2158
0103.2015.1007896
Sudrajat, D. J., & Nurhasybi. (2017). Daya simpan
benih suren (Toona sinensis) dalam
hubungannya dengan karakteristik tempat tumbuh dan morfo-biokimia benih. In R.
Diana, Y. B. Sulistioadi, Karyati, S.
Sarminah, K. Y. Widiati, H. Kuspradini, … Tata (Eds.), Seminar Nasional Silvikultur
IV Mengatasi Perubahan Iklim Terhadap
Kelestarian Sumberdaya Hutan dan
Ekonomi Sumberdaya Hayati (pp. 379–
389). Samarinda: Universitas Mulawarman.
Sudrajat, D. J., Nurhasybi, & Bramasto, Y. (2017).
Standar Pengujian dan Mutu Benih Tanaman Hutan. (D. Iriantono & M.
Zanzibar, Eds.). Bogor: IPB Press.
Sudrajat, D. J., Siregar, I. Z., Khumaida, N.,
Siregar, U. J., & Mansur, I. (2014). Genetic diversity in white jabon (Anthocephalus
cadamba (Roxb.) Miq.) based on AFLP
markers. Asia-Pacific Journal of Molecular
Biology and Biotechnology, 22(3).
Sudrajat, D. J., & Zanzibar, M. (2009). Prospek
teknologi radiasi sinar gamma dalam peningkatan mutu benih tanaman hutan.
Info Benih, 13(1), 158–163.
Suszka, J., Plitta, B. P., Michalak, M., Bujarska-
Borkowska, B., Tylkowski, T., & Chmielarz, P. (2014). Optimal seed water
content and storage temperature for
preservation of Populus nigra L. germplasm. Annals of Forest Science,
71(5), 543–549.
https://doi.org/10.1007/s13595-014-0368-2
Yasaka, M., Takiya, A. M., Watanabe, A. I., Oono,
Y., & Mizui, N. (2008). Variation in seed
production among years and among
individuals in 11 broadleaf tree species in northern Japan. Journal of Forest
Research, 13, 83–88.
https://doi.org/10.1007/s10310-007-0052-6
Yuniarti, N., & Nurhasybi. (2015). Viability and
biochemical content changes in seed
storage of jabon putih ( Anthocephalus
Cadamba ( Roxb ) Miq .). Jurnal Manajemen Hutan Tropis, 21(August), 92–
98. https://doi.org/10.7226/jtfm.21.2.92
Zanzibar, M., Megawati, Pujiastuti, E., & Sudrajat, D. . (2015). Iradiasi sinar gamma
(6xb.)0Co) untuk meningkatkan
perkecambahan dan pertumbuhan bibit tembesu (Fagrae fragrans). Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 12(3), 165–
174.
Zanzibar, M., & Sudrajat, D. J. (2016). Effect of gamma irradiation on seed germination,
storage, and seedling growth of Magnolia
champaca L . Indonesian Forestry
Research Journal, 3(2), 95–106.
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN ISI VOLUME 6 Nomor 1 Toni Herawan dan/and Budi Leksono REGENERASI IN VITRO Eucalyptus pellita F. Muell MENGGUNAKAN KULTUR MATA TUNAS 1-13
Rina Laksmi Hendrati dan/and Nur Hidayati SEMBILAN POPULASI Leucaena leucochepala (Lam.) de Wit. ASAL INDONESIA UNTUK PEMULIAAN KAYU ENERGI VERSUS VAR. TARRAMBA 15-30 Danu, Dede J. Sudrajat dan/and Nurmawati Siregar PENGARUH BAHAN SETEK DAN ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK TREMA (Trema orientalis L.) 31-40 Tati Suharti, Yulianti Bramasto dan/and Naning Yuniarti PENGARUH PEMBERIAN Trichoderma sp. DI MEDIA TANAM DAN MANKOZEB TERHADAP PERSENTASE TUMBUH DAN PERTUMBUHAN BIBIT JABON MERAH (Anthocepalus macrophyllus) 41-48 Dede J. Sudrajat dan/and Yulianti Bramasto PERKECAMBAHAN BENIH TISUK (Hibiscus macrophyllus Roxb.) PADA BEBERAPA PERLAKUAN PERIODE PENCAHAYAAN, PERLAKUAN PENDAHULUAN DAN PENYIMPANAN 49-60
Desmiwati, Mirna Aulia Pribadi, dan/and Kun Estri Maharani MODAL SOSIAL PETANI PENGGARAP DALAM TATA KELOLA HUTAN PENELITIAN PARUNGPANJANG 61-83 Nomor 2 Y.M.M. Anita Nugraheni dan/and Kurniawati Purwaka Putri PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke DENGAN METODE WATER ROOTING 85-92
Aris Sudomo dan/and Maman Turjaman PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels) 93-105 Yetti Heryati dan/and Retno Agustarini PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon) 107-120 Ganik Jawak, Eni Widajati, Endah Retno Palupi dan/and Nutrita Toruan Mathius PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT. 121-132 Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono, dan/and Dida Syamsuwida PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN 133-144
Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan/and Dede J. Sudrajat PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN 4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA 145-158
INDEX KATA KUNCI VOLUME 6
Anthocepalus macrophyllus
Arabic gum
benih
bibit
Biocontrol
budidaya
busuk pangkal batang
CMC
Daun
daya berkecambah
daya simpan
dormansi benih
dosis
Eucalyptus pellita
Fotosintesis
gaharu
gypsum
Hibiscus macrophyllus
hormone
hutan penelitian Parungpanjang
in vitro
indeks stomata
kayu energi
kerapatan stomata
Kilemo
klon unggul
41
131
173
173
131
145
131
131
159
49
49, 173
49
145
1
159
119
131
49
145
61
1
159
15
159
103
1
Kompos
kultur mata tunas
Leucaena leucochepala
Litsea cubeba
media tanam
Mancozeb
materi genetic
media tanam
modal social
naungan
pemberdayaan masyarakat
pemuliaan
perbanyakan vegetatif
perkecambahan
pertumbuhan
petani penggarap
rotary shaker
Sekam
setek pucuk
sumber benih bersertifikat
Syzygium cumini
Trema orientalis L.
Trichoderma sp.
variasi
zat pengatur tumbuh
41
1
15
103
103
41
15
119
61
103
61
15
119
173
103, 173
61
1
41
31
159
145
31
41
15
31
INDEX PENULIS VOLUME 6
Agus Astho Pramono
Aris Sudomo
Budi Leksono
Danu
Dede J. Sudrajat
Desmiwati
Dida Syamsuwida
Endah Retno Palupi
Eni Widajati
Evayusvita Rustam
Ganik Jawak
Kun Esti Maharani
Kurniawati Purwaka Putri
Maman Turjaman
159
145
1
31
31, 173
61
159
131
131
173
131
61
119, 159
145
Mirna Aulia Pribadi
Naning Yuniarti
Nur Hidayati
Nurmawati Siregar
Nutrita Toruan Mathius
Rahmad Suhartanto
Retno Agustarini
Rina Laksmi Hendrati
Tati Suharti
Tatiek K. Suharsi
Toni Herawan
Y.M.M. Anita Nugraheni
Yetti Heryati
Yulianti Bramasto
61
49
15
31
131
173
103
15
49
173
1
119
103
49
JUDUL
Penulis
© 2017 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2017.5.2.95-102 95
Times New Roman 9, italic, huruf kecil
Times New Roman 8, Bold, huruf kapital
JUDUL
( Title)
Penulis Pertama1, Penulis Kedua2, dan/and Penulis Ketiga3
1)Institusi asal penulis 2)Institusi asal penulis 3)Institusi asal penulis
Alamat; Telp/Fax, Kota, Negara
e-mail: salah satu penulis sebagai koresponden
Naskah masuk: ....; Naskah direvisi: ...........; Naskah diterima: ..........(diisi oleh sekretariat redaksi)
ABSTRACT
Abstract should be written in Indonesia and English using Time New Roman font, size 11 pt, italic, single space. Abstract is not a merger of several paragraphs, but it is a full and complete summary that describe
content of the paper it should contain background, objective, paragraph and should be no more than 200 words
in English.
Keyword: 3-5 keywords
ABSTRAK
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 11 pt, spasi tunggal. Abstrak bukanlah penggabungan beberapa paragraf, tetapi merupakan ringkasan yang
utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan,
metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak tidak berisi acuan atau tidak menampilkan
persamaan matematika dan singkatan yang tidak umum. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 250 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Kata kunci : 3-5 kata kunci
I. PENDAHULUAN
Pendahuluan mencakup hal-hal berikut ini: Latar Belakang, berisi uraian permasalahan dan
alasan pentingnya masalah tersebut diteliti. Permasalahan dirumuskan secara jelas, penjelasan
ditekankan pada rencana pemecahan masalah dan keterkaitan dengan pencapaian luaran yang
telah ditetepkan. Tujuan, berisi pernyataan secara jelas dan singkat tentang hasil yang ingin
dicapai dari serangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Sasaran atau luaran
menjelaskan secara spesifik yang merupakan hasil antara dalam rangka mencapai tujuan penelitian.
Hasil yang dicapai, dijelaskan kaitannya dengan kegiatan yang dilaksanakan (khusus untuk
kegiatan penelitian lanjutan).
Kosong satu spasi tunggal
Kosong 2 (dua) spasi tunggal
Kosong satu spasi tunggal
Kosong 1 (satu )spasi tunggal
Kosong 1 (satu) spasi tunggal
Kosong 1 (satu) spasi tunggal
Kosong 2 (dua) spasi tunggal
Kosong 1 (satu) spasi tunggal
Kosong 1 (satu) spasi tunggal
Kosong 2 (dua) spasi tunggal
Commented [U1]: Times New Roman 12, bold, centered, huruf kapital, spasi tunggal, maksimum dua baris, ≤ 15kata
Commented [U2]: Times New Roman 12, italic, centered, huruf kecil diawali huruf kapital tiap kata, spasi tunggal,tanda buka dan tutup kurung
Commented [U3]: Times New Roman 11, tegak, centered, huruf kecil,spasi tunggal, tanda 1) 2) dst digunakan hanya jika penulis satu dengan yang lainnya berbeda asal instasi, jika masih satu instansi tidak perlu menggunakan tanda 1) 2) dst
Commented [U4]: Times New Roman11, huruf kapital, italic,bold
Commented [U5]: Times New Roman 11, spasi tunggal, italic, apabila ada nama ilmiah menjadi tegak & underline
Commented [U6]: Times New roman 11, bold, italic, urutkan sesuai abjad
Commented [U7]: Times New Roman 11,huruf kapital,tegak, bold
Commented [U8]: Times New Roman 11, bold, tegak, urutkan sesuai abjad
Commented [U9]: Times New Roman 12, tegak, bold, centered
Commented [U10]: Times New Roman 12, spasi 1,5 fist line 0,75 cm
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
96
II. BAHAN DAN METODE
Metode Penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional,
empiris dan sistematis. Tanaman dan binatang ditulis lengkap dengan nama ilmiah.
Menggunakan tolak ukur internasional, system matrix dan standar nomenklatur. Metode
penelitian dijelaskan sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Jika metode merupakan kutipan
harus dicantumkan dalam referansi. Jika dilakukan perubahan terhadap metode kutipan atau
standar harus disebutkan perubahannya. Bila diperlukan dengan disajikan dalam tabel..
Untuk Bab dan Sub Bab secara konsisten ditulis rata di batas kiri tulisan, sebagaimana berikut:
A. Bahan dan Alat
Mengemukakan semua bahan yang digunakan seperti tumbuhan kayu, bahan kimia, alat dan
lokasi penelitian, waktu penelitian.
B. Prosedur Penelitian
Mengemukakan tahapan kerja dan beberapa pengujian yang dilakukan. Pelaksanaan penelitian
disusun berurutan menurut waktu, ukuran dan kepentingan. Untuk Sub Sub Bab secara konsisten
ditulis rata di batas kiri tulisan, sebagaimana berikut:
1. Penyiapan contoh kerja
2. Pengujian perkecambahan benih standar di laboratorium
Untuk Sub Sub Sub Bab secara konsisten ditulis, sebagaimana berikut:
a. Indeks perkecambahan (Gi)
b. Uji tetrazolium
C. Analisis Data
Metode statistik (bila ada) harus disebutkan dengan singkat.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil disajikan dalam bentuk uraian umum. Disusun secara berurutan sesuai dengan tujuan
penelitian. Jika tujuan penelitian tidak tercapai perlu dikemukakan alasan dan penyebabnya.
Tabulasi, grafik, analisis statistik dilengkapi dengan tafsiran yang benar. Judul, keterangan tabel
dan gambar dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris dengan huruf miring atau sebaliknya.
Angka yang tercantum dalam tabel tidak perlu diuraikan lagi, tetapi cukup dikemukakan makna
atau tafsiran masalah yang diteliti; dalam bagian ini juga dapat disajikan ilustrasi dalam bentuk
grafik bagan, pictogram dan sebagainya. Dapat mengemukakan perbandingan hasil yang
Kosong 2 (dua) spasi tunggal
Commented [U11]: Times New Roman12, tegak bold, centered
Commented [U12]: Times New Roman 12, spasi 1,5 fist line 0,75 cm
Commented [U13]: Times New Roman 12, bold, huruf kecil, awal huruf besar kecuali kata hubung
Commented [U14]: Times New Roman 12, huruf kecil semua, hanya awal kalimat huruf besar, bold
Commented [U15]: Times New Roman 12, huruf kecil semua, hanya awal kalimat huruf besar
JUDUL
Penulis
97
berlainan dan beberapa perlakuan. Metode statistik yang digunakan dalam pengolahan data harus
dikemukakan, sehingga tingkat kebenaran harus dapat ditelusuri. Prinsip dasar metode
harus diterangkan dengan mengacu pada referensi atau keterangan lain mengenai masalah ini.
Penulis mengemukakan pendapatnya secara objektif dengan dilengkapi data kuantitatif.
TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia
dan Inggris. Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 12 pt dan berjarak satu spasi di
bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 12 pt, rata kiri dan ditempatkan di
atas tabel. Penomoran tabel menggunakan angka (1, 2, ......). Apabila tabel memiliki lajur/kolom
cukup banyak, dapat digunakan format satu kolom atau satu halaman penuh. Apabila judul pada
lajur tabel terlalu panjang, maka lajur diberi nomor dan keterangannya di bawah tabel.
Keterangan (Remarks) dan sumber (Source) ditulis di kiri bawah tabel ditulis dengan Times New
Roman ukuran 10 pt dan berjarak satu spasi. Tabel diletakkan segera setelah disebutkan dalam
naskah.
GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras (hitam
putih atau arsir), masing-masing harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam
bahasa Indonesia dan Inggris. Gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari
setiap halaman. Gambar diletakkan simetris dalam kolom. Apabila gambar cukup besar, bisa
digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan huruf Times New Roman ukuran
12 pt dan berjarak satu spasi rata kiri dan ditempatkan di bagian bawah, seperti pada contoh di
bawah. Gambar diletakkan segera setelah disebutkan dalam naskah.
Tabel (Table) 1. Hasil uji beda Duncan pengaruh lama pengeringan terhadap kadar air polong,
kadar air benih dan daya berkecambah sengon laut (The results of Duncan test of
the effect drying treatment on the pod, seed moisture content and germination
percentage of sengon laut)
Perlakuan pengeringan(Drying treatment)
Kadar air
polong(Pod
moisture content
%
Kadar air
benih(Seed
moisture content)
%
Daya
berkecambah/%
(Germination percentage)
%
Kontrol (Control) (7,76 + 0,13 )a (7,93 + 0,36) a (77,00+4,36) Penjemuran 1 hari (Sun drying for 1 day) (7,78+0,65) a (7,95 + 0,29) a (78,66+ 4,16)
Penjemuran 2 hari (Sun drying for 2 days) (5,72+ 0,69) b (5,98 + 0,10) b (73,66 + 1,53)
Penjemuran 3 hari (Sun drying for 3 days) (5,52 + 0,47 ) b (5,77 + 0,09) b (76,00 + 1,00)
Penjemuran 4 hari (Sun drying for 4 days) (5,53+0,19) b (5,77 + 0,19) b (77,33+2,31) Penjemuran 5 hari (Sun drying for 5 days) (5,53 + 0,23) b (5,59 + 0,51) b (78,66+ 1,53)
Alat pengering 4 jam (Seed drier for 4 hours) (7,70+ 0,09) a (7,94 + 0,05) a (76,33+9,07)
Alat pengering 8 jam (Seed drier for 8 hours) (7,43 + 0,35) a (7,52 +0,03) a (81,66+3,21)
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
98
Alat pengering 12 jam (Seed drierfor 12 hours) (7,46+ 0,14) a (7,56 + 0,11) a (74,44+ 3,21)
Alat pengering 16 jam (Seed drier for 16 hours) (7,47 + 0,41) a (7,49+ 0,29) a (79,00+ 6,24)
Alat pengering 20 jam (Seed drier for 20 hours) (7,51+ 0,44) a (7,56 + 0,12) a (77,66 + 6,81)
Alat pengering 24 jam (Seed drier for 24 hours) (7,52 + 0,42) a (7,53 + 0,21) a (78,00+ 7,21) Alat pengering 28 jam (Seed drier for 28 hours) (7,44 + 0,11) a (7,59 + 0,08) a (77,33+ 4,04)
Alat pengering 32 jam (Seed drier for 32 hours) (5,73 + 0,38) b (6,04 +0,03) b (78,66+ 4,62)
Alat pengering 36 jam (Seed drier for 36 hours) (5,79+ 0,16) b (6,05+ 0,07) b (78,66+ 3,06) Alat pengering 40 jam (Seed drier for 40 hours) (5,75+ 0,43) b (6,11+0,14) b (77,00+ 1,53)
Alat pengering 44 jam (Seed drier for 44 hours) (5,77+ 0,45) b (6,07 + 0,09) b (77,66+ 4,62)
Alat pengering 48 jam (Seed drier for 48 hours) (5,74+ 0,69) b (6,09 +0,11) b (76,66+ 9,07)
Rata-rata (average) 6,70 6,79 77,50
SD 0,95 0,89 4,44
Nilai F hitung (F test) 25,48** 74,14** 0,39
Keterangan (Remarks): Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
selang kepercayaan 99% (Values followed by the same letters on the same colm are not
significantly different : a > b > c < d, etc.P = 99%). ** berbeda sangat nyata pada selang
kepercayaan 99% (significant effect, P = 99%)
Gambar (Figure) 1. Pengaruh skarifikasi benih terhadap waktu berkecambah, kecepatan
berkecambah dan daya berkecambah pada benih kayu kuku (Effect of seed scarification to
germination time, germination speed and germination rate of P. mooniana seeds)
B. Pembahasan
Pembahasan dapat menjawab apa arti hasil yang dicapai dan apa implikasinya. Dapat
menafsirkan hasil dan menjabarkannya, sehingga dapat dimengerti pembaca. Mengemukakan
hubungan dengan hasil penelitian sebelumnya. Bila berbeda tunjukkan, bahas dan jelaskan
penyebab perbedaan tersebut. Hasil penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan hipotesis dan
tujuan penelitian. Mengemukakan fakta yang ditemukan dan alasan mengapa hal tersebut terjadi.
Menjelaskan kemajuan penelitian dan kemungkinan pengembangan selanjutnya. Simbol/lambang
ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus
dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu dapat ditulis kata
Kosong 1 (satu) spasi tunggal
JUDUL
Penulis
99
singkatannya.
Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simestris pada kolom.
Nomor persamaan diletakkan diujung kanan dalam tanda kurung dan penomoran dilakukan secara
berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu baris, maka penulisan
nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk
singkatan, seperti persamaan berikut.
).................................................(1)
Keterangan:
Gt = persen kecambah hari ke-n
Tt = hari uji perkecambahan
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan memuat hasil yang telah dibahas. Hal yang perlu diperhatikan adalah segitiga
konsistensi (masalah-tujuan-kesimpulan harus konsisten). Saran dapat dikemukakan untuk
dipertimbangkan pembaca.
UCAPAN TERIMA KASIH
Merupakan bagian yang wajib ada dalam sistematika karya tulis ilmiah. Suatu penelitian
tidak akan berhasil tanpa melibatkan pihak- pihak yang telah membantu, baik berperan secara
finansial, teknis, maupun substantif. Ucapan terima kasih merupakan sebuah kewajiban, bukan
pilihan (opsional).
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah. Format penulisan Daftar
Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style. Referensi terdiri dari
acuan primer dan/atau acuan skunder. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung
merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer
dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional
terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertai, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook), termasuk
dalam sumber acuan sekunder. Semua karya yang dikutip dalam penulisan karya tulis harus
dimuat dalam daftar pustaka (dan sebaliknya).
Pustaka minimal 15,80% dari pustaka merupakan acuan primer, dan 80% dari acuan primer
Commented [A16]: Times New Roman12, spasi 1
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
100
merupakan publikasi 10 tahun terakhir. Pengelolaan pustaka dalam Jurnal Perbenihan Tanaman
Hutan menggunakan aplikasi software Mendeley, untuk itu disarankan agar penulis menggunakan
software yang sama. Jarak antar pustaka (after spacing) adalah 6 pt. Inden (hanging) pada baris
kedua dengan jarak 0,75 cm. Daftar pustaka harus disusun berdasarkan alphabet nama
pengarang. Penulisan situasi dan daftar pustaka diharuskan menggunakan aplikasi referensi
seperti Mendeley. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Berdasarkan APA style:
1. Paper dalam jurnal
a. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (1 penulis)
Bonner, F. T. (1998). Testing tree seeds for vigor: A review. Seed Tehcnology, 20(1), 5–17.
b. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (2-6 penulis)
Vieira, R. D., Paiva, A. J. A., & Perecin, D. (1999). Electrical conductivity and field performance of soybean
seeds. Seed Technology, 21, 15–24.
2. Buku
Chakraverty, A., & Singh, R. (2001). Postharvest Technology Cereals, Pulses, Fruit, and Vegetables. New
Hampshire (US): Science Publishers, Inc.
3. Prosiding
Gill, N. S., & Delouche, J. (1973). Proceedings of the Association of Official Seed Analysts 63. In
Deterioration of seed corn during storage. (pp. 35–50).
4. Makalah Seminar dan Lokakarya
DBPTH. (2014). Lokakarya penyusunan Standar Mutu Benih dan Mutu Bibit Tanarnan Hutan. In Kebijakan
pengujian benih. Solo, 4-7 November 2014: Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan. Jakarta.
5. Skripsi, tesis dan disertasi
Sudrajat, D. J. (2014). Keragaman populasi, uji provenansi dan adaptasi jabon (Neolamarckia cadamba
(Roxb.) Bosser). Disertasi. Sekolah Pascasrjana. Bogor: Insitut Pertanian Bogor.
6. Laporan penelitian
Aminah, A., & Budiman, B. (2009). Teknik penanganan benih kranji (Pongamia pinnata) sebagai sumber energi terbarukan. Laporan Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor
(ID): Kementerian Kehutanan.
7. Artikel dari internet
Graham, P., Reedman, L., Rodriguez, L., Raison, J., Braid, A., Haritos, V., Adams, P. (2011). Sustainable aviation fuels road map: Data assumptions and modelling, (May), 1–104. Retrieved from
http://www.csiro.au/en/Outcomes/Energy/Powering-Transport/Sustainable-Aviation-Fuels.aspx#
CATATAN:
1. Petunjuk penulisan ini dibuat untuk keseragaman format penulisan dan kemudahan bagi penulis dapat diakses di http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/BPTPTH.
2. Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mmx 297 mm) dengan margin atas 2,5 cm,
margin bawah 2,5 cm, margin kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom
dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 12 halaman, termasuk
lampiran Times New Roman, font 12, kecuali Abstrak, kata kunci dan daftar Pustaka font 11.
Pengutipan pustaka di dalam naskah berdasarkan sistem penulisan referensi APA Style,
sebagai berikut :
JUDUL
Penulis
101
· Karya dengan dua pengarang. ....seperti yang dilakukan oleh Gill dan Delouche (1973)..... atau (Gill & Delouche, 1973)
· Karya tiga sampai lima pengarang. (Kernis, Cornel, Sun, Berry, & Harlow, 1993) atau Kernis, Cornel, Sun, Berry, & Harlow (1993) menjelaskan... Dalam kutipan berikutnya, (Kernis et al., 1993) atau Kernis et al. (1993) argued...
· Enam pengarang atau lebih. Harris et al. (2001) mengasumsikan... atau (Harris et al., 2001)
3. Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka : Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan.
4. Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis wajib Authorship Ethical Statement dan Copyright Agreement Form.