p-ISSN 2354-8568

90

Transcript of p-ISSN 2354-8568

Page 1: p-ISSN 2354-8568
Page 2: p-ISSN 2354-8568

p-ISSN 2354-8568 e-ISSN 2527-6565

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

Vol.6 No.2, Desember 2018

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Hutan (BP2TPTH). Jurnal ini mempublikasikan hasil-hasil penelitian dari berbagai aspek perbenihan tanaman hutan,

meliputi pembangunan dan pengelolaan sumber benih, biologi reproduksi, ekologi dan biologi benih, teknologi penanganan

benih, teknologi perbanyakan vegetative, kesehatan benih, teknik persemaian, pengujian mutu benih dan bibit, social, ekonomi

dan kebijakan perbenihan. Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan terbit dua kali setahun pada Bulan Agustus dan Desember, dan

telah terakreditasi oleh LIPI (Nomor akreditasi: 789/Akred/P2MI-LIPI/11/2017). Akreditasi berlaku dari Oktober 2017 hingga Oktober 2022.

Penanggung Jawab

Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Wakil Penanggung Jawab

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Dewan Redaksi Ketua Merangkap Anggota

Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si (Silvikultur) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Anggota

Dr. Dra. Dida Syamsuwida, M.Sc (Silvikultur / Produksi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Dr. Dede Jajat Sudrajat, S.Hut, MT (Silvikultur / Teknologi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Dr. Drs. Agus Astho Pramono, M.Si (Silvikultur / Ekologi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Prof. Riset. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si (Silvikultur) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Prof. Riset. Dr. Ir. Budi Leksono, MP (Pemuliaan) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknogi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Mitra Bestari

Dato’ Dr. Marzalina Hj.Mansor (Genetik) Forest Research Institute Malaysia, Kepong, Malaysia

Dr. Ir. Supriyanto (Fisiologi Pohon) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.Sc.F.Trop (Genetik) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Ir. Muhdin, M.Sc (Statistika) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Ir. Trimuji Ermayanti (Biotek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indonesia

Prof. Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS (Silvikultur) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Darwo (Biometrika) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan, Indonesia Dr.Ir. Nurul Khumaida, M.Si (Silvikultur) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Prof.Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS (Ilmu Agroforestri) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr.Ir. Arum Sekar Wulandari, MS (Mikrobiologi, Kultur Jaringan dan Bioteknologi Hutan) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Dede Rohadi (Ilmu Sosial) Center for International Forestry Research, Indonesia

Copyeditor

Ir. Danu, M.Si (Produksi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Ratna Uli Damayanti, S.Hut, M.Si (Kultur jaringan, Bioteknologi) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Fifi Gus Dwiyanti, S.Hut, M.Agr., Ph. D (Genetik) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Layout Editor

Tri Astuti Wisudayati, S.E, M.S.E

Sekretariat Dewan Redaksi

Redaksi Pelaksana Ketua Merangkap Anggota

Rudy Suryadi, S.Hut

Anggota

Wahyuni Munasri, A.Md

Diterbitkan oleh

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan,

Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Terbit Pertama kali Agustus 1996 dengan judul Tekno Benih (ISSN 1410-1157), sejak Agustus 2003 berganti judul menjadi Info Benih (ISSN 1693-5314),

dan sejak Agustus 2013 berganti judul menjadi Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan (ISSN 2354-8568)

Alamat

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut P0 Box 105 Bogor, Telp./fax : (0251)8327768 Website : benih-bogor.litbang.menlhk.go.id

Page 3: p-ISSN 2354-8568

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

Vol. 6 No. 2, Desember 2018

DAFTAR ISI

1. PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.)

Domke DENGAN METODE WATER ROOTING

(Hormones Effect on Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke Shoots Cutting using

Water Rooting Method)

Y.M.M. Anita Nugraheni dan/and Kurniawati Purwaka Putri .............................. 85-92

2. PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN

SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)

(The Effect of Growth Regulator Substance on Shoot Cutting of Jamblang

(Syzygium cumini (L.) Skeels)

Aris Sudomo dan/and Maman Turjaman ................................................................ 93-105

3. PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN

UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba

L. Persoon)

(The Use of Some Growing Media and Shading Level to Increase the Growth of

Litsea cubeba’s Seedling)

Yetti Heryati dan/and Retno Agustarini ................................................................. 107-120

4. PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma

asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.

(Oil Palm Seed Coating with Enriched Trichoderma asperellum (T13) to Suppress

Infection of Ganoderma boninense Pat.)

Ganik Jawak, Eni Widajati, Endah Retno Palupi dan/and Nutrita Toruan Mathius . 121-132

5. PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King)

BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN

(Fruit and Seed Production of Mahoni (Swietenia macrophylla King) at Various

Crown Dimention and Leaf Stomata Condition

Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono, dan/and Dida Syamsuwida ........ 133-144

6. PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN 4,5

TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA

(The Improving Vigor of White Jabon Seeds after Storage for 4.5 Years Using

Gamma Ray Irradiation)

Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan/and Dede J.

Sudrajat ................................................................................................................. 145-158

Page 4: p-ISSN 2354-8568

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

p-ISSN 2354-8568 Vol.6 No.2, Desember 2018

e-ISSN 2527-6565

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*232.5

Y.M.M. Anita Nugraheni dan/and Kurniawati Purwaka Putri (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Perbenihan Tanaman Hutan) PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke DENGAN METODE

WATER ROOTING

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 85-92

Gyrinops versteegii merupakan salah satu spesies yang dilindungi keberadaannya karena sudah mulai langka.

Salah satu upaya untuk menjaga kelestariannya yaitu dengan melakukan budidaya. Teknik budidaya secara generatif sudah cukup banyak dilakukan. Teknik perbanyakan G. versteegii secara generatif memiliki beberapa

keterbatasan yaitu benihnya tergolong rekalsitran dan sifat tanaman baru yang diperoleh belum tentu sama

dengan induknya, sedangkan dengan teknik vegetatif, individu baru yang diperoleh akan memiliki sifat sama

dengan induknya. Kendala yang dihadapi teknik vegetatif G. versteegii adalah lebih sulit untuk dilakukan, membutuhkan biaya yang lebih mahal dibanding teknik generatif karena tingkat keberhasilannya yang lebih

rendah. Media air dijadikan alternatif karena murah dan mudah didapat, untuk meningkatkan keberhasilannya

perlu adanya tambahan hormon. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi hormon NAA yang optimal untuk pertumbuhan setek G. versteegii. Metode penelitian dilakukan dengan cara memotong tunas G.

versteegii sebagai bahan setek, selanjutnya ditanam pada posisi tegak di air dibantu dengan sterofoam sebagai

penyangga. Media yang digunakan adalah air tanpa hormon (sebagai kontrol), air dengan hormon NAA 100,

200,dan 300 ppm. Pengamatan dilakukan selama 10 kali, pada akhir pengamatan dilakukan pengukuran terhadap persen akar, persen hidup, persen tunas, berat kering batang, berat kering akar. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perlakuan hormon NAA berpengaruh terhadap pertumbuhan akar, persen hidup, berat

kering batang dan berat kering akar G. versteegii. Metode water rooting dengan penambahan hormon NAA 300 ppm merupakan komposisi terbaik sebagai media awal untuk memicu perakaran. Kata kunci : gaharu, perbanyakan vegetatif, media tanam

UDC/ODC 630*232.5

Aris Sudomo1) dan/and Maman Turjaman2) (1)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Agroforestry, 2)Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan)

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK PUCUK

JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels) J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 93-105 Pengembangan tanaman obat jenis jamblang Syzygium cumini saat ini terkendala dari aspek teknologi budidaya

(perbanyakan vegetatif), sehingga pemanfaatan tanaman obat untuk skala massal sangat sulit. Tujuan penelitian

ini adalah evaluasi pengaruh lima dosis zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan setek pucuk S. cumini. Rancangan penelitian yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Komposisi bahan aktif Zat

Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam penelitian ini adalah Naphthalene Acetic Acid (NAA) 3 persen dan

Naphthalene Acetamide (NAAm) 0,75 persen. Perlakuan 5 dosis ZPT yang diaplikasikan adalah kontrol (0g.10 ml-1), 2g.10 ml-1, 4g.10 ml-1, 10g.10ml-1 dan powder/dioles. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis

4g.10ml-1 menghasilkan pertumbuhan tinggi tertinggi sebesar 29,84 cm (peningkatan 21,74 persen

dibandingkan dengan kontrol), jumlah daun terbanyak sebesar 23,72 buah (peningkatan 4,63 persen dibandingkan dengan kontrol), berat kering batang dan daun terbesar sebesar 3,36 gram (peningkatan 43,5

persen dibandingkan dengan kontrol) dan top-root ratio tertinggi sebesar 6,55 (peningkatan 10,08 persen

dibandingkan dengan kontrol). Persentase hidup tertinggi dihasilkan pada pemberian ZPT dioles sebesar 80

persen (peningkatan 18,81 persen dibandingkan dengan kontrol) dan tidak berbeda nyata dengan pemberian ZPT 4g.10 ml-1 (77,33 persen). Rekomendasi dari penelitian ini adalah penggunaan ZPT 4g.10 ml-1 untuk

menghasilkan pertumbuhan setek pucuk diatas tanah terbaik dengan persentase hidup yang tidak berbeda nyata

dengan ZPT dioles/powder. Kata kunci : budidaya, dosis, hormon, Syzygium cumini

Page 5: p-ISSN 2354-8568

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

p-ISSN 2354-8568 Vol.6 No.2, Desember 2018

e-ISSN 2527-6565

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*232.315 Yetti Heryati dan/and Retno Agustarini (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, )

PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 107-120 Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) merupakan salah satu penghasil minyak atsiri potensial ekonomi karena

semua bagian tanaman dapat menghasilkan minyak atsiri. Pengembangannya terkendala minimnya informasi

teknologi budidayanya. Penelitian mengenai pembibitan kilemo sudah pernah dilakukan, namun belum memberikan informasi yang lengkap terutama yang berkaitan dengan naungan dan media. Oleh karena itu

penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai respon pertumbuhan bibit kilemo terhadap

naungan dan media yang digunakan. Penelitian dilakukan selama 6 bulan di rumah kaca Balai Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Bogor. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan pola faktorial, yang terdiri dari 2 faktor dengan 10 kali ulangan. Faktor pertama adalah media

yang terdiri dari 5 jenis media yaitu: tanah, arang kompos, campuran tanah+arang kompos 3:1 (v/v),

tanah+arang sekam padi 3:1 (v/v) dan tanah+arang kompos:arang sekam padi 3:1:1 (v/v/v). Faktor kedua adalah naungan yang terdiri dari 4 intensitas naungan yaitu: 0 persen, 25 persen, 50 persen, 75 persen. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa bibit kilemo umur 5 bulan yang ditanam pada media campuran tanah dan arang

sekam padi 3:1 (v/v) dengan naungan 25 persen menghasilkan pertumbuhan yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan lain dengan pertumbuhan tinggi bibit (12,64 cm), jumlah daun (5,56), berat kering (0,82),

indeks mutu bibit (0,021) dan nisbah pucuk akar (1.967).

Kata kunci: kilemo, Litsea cubeba, media tanam, naungan, pertumbuhan UDC/ODC 630*232.3.176.1

Ganik Jawak1), Eni Widajati2), Endah Retno Palupi2) dan/and Nutrita Toruan Mathius3) (1)Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, Pascasarjana Departemen Agronami dan Hortikultura, IPB dan/and 3)PT. Smart

Biotechnology)

PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum

(T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT. J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 121-132

Serangan Ganoderma boninense penyebab penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit dapat

terjadi pada semua tahapan pertumbuhan tanaman. Trichoderma asperellum jenis endofit dapat menekan

serangan G. boninense mulai dari pembibitan dengan memanfaatkan teknologi seed coating. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh formula pelapis benih kelapa sawit terbaik yang kompatibel dengan T.

asperellum (T13). Percobaan pertama terdiri atas dua tahapan yaitu, tahap pertama menguji efektivitas dan

kompatibilitas T. asperellum melalui teknik pencampuran suspensi T. asperellum dengan bahan pelapis. Tiga hasil terbaik pada tahap pertama (arabic gum 25 persen, CMC 1 persen, dan arabic gum 3 persen + gipsum 1

persen) digunakan dalam percobaan tahap kedua, yaitu menguji efektivitas dan kompatibilitas T. asperellum

melalui teknik perendaman dalam suspensi T. asperellum yang dilanjutkan dengan pelapisan. Tiga jenis

formula terbaik dari percobaan pertama tahap kedua (CMC 1 persen, CMC 1.5 persen, dan arabic gum 4,5 persen + gipsum 1,5 persen) digunakan untuk percoban kedua, yaitu menguji ketahanan bibit kelapa sawit

terhadap G. boninense. Hasil menunjukkan bahwa Arabic gum 25 persen, carboxy methyl cellulose (CMC) 1

persen, arabic gum 3 persen + gipsum 1 persen berpotensi sebagai bahan pelapis. Perendaman dengan T. asperellum + pelapisan CMC 1 persen, CMC 1,5 persen dan arabic gum 4,5 persen + gipsum 1,5 persen

merupakan formula terbaik untuk pelapisan benih kelapa sawit. Perendaman benih dengan T. asperellum +

CMC 1,5 persen dapat meningkatkan daya tumbuh benih16,67 persen dibandingkan kontrol, namun tidak

efektif menekan infeksi G. boninense selama di pre nurseri.

Kata kunci : Arabic gum, biokontrol, busuk pangkal batang, CMC, gipsum

Page 6: p-ISSN 2354-8568

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

p-ISSN 2354-8568 Vol.6 No.2, Desember 2018

e-ISSN 2527-6565

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*232.311

Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono, dan/and Dida Syamsuwida (Balai Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan)

PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER

TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 133-144

Produksi buah dan benih berkaitan erat dengan proses fotosintesis tanaman. Daun adalah organ utama dalam proses fotosintesis. Semua karakteristik daun baik morfologi (luas permukaan daun), antomi (kerapatan dan

indeks stomata) maupun fisiologisnya sangat mempengaruhi senyawa organik (asimilat) yang dihasilkan dari

proses fotosintesis. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh lebar tajuk, kerapatan dan indeks stomata

serta luas daun terhadap tingkat produksi buah dan benih mahoni (Swietenia macrophylla). Penelitian dilakukan pada tegakan benih mahoni umur 21 tahun di Hutan Penelitian Parungpanjang, Bogor. Rancangan

percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan diameter tajuk, luas daun, kerapatan

stomata dan indeks stomata sebagai perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari 5 (lima) tingkat klasifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi buah dan benih mahoni dipengaruhi oleh diameter tajuk pohon. Luas

daun, kerapatan stomata dan indeks stomata tidak mempengaruhi produksi buah yang dihasilkan.

Kata kunci : daun, fotosintesis, indeks stomata, kerapatan stomata, sumber benih bersertifikat

UDC/ODC 630*232.315

Rahmad Suhartanto1), Tatiek K. Suharsi1), Evayusvita Rustam2) dan/and Dede J. Sudrajat2)

(1)Departemen Agronomi dan Holtikultura, Fakultas Pertanian IPB dan/and 2)Balai Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan)

PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN 4,5 TAHUN

MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No.2 p. 145-158

Iradiasi sinar gamma dengan dosis rendah berpotensi untuk memperbaiki viabilitas dan vigor benih dan bibit melalui peningkatan aktivitas enzim, pembelahan sel,gen-gen yang responsif terhadap auksin dan perbaikan

metabolisme. Tujuan penelitian adalahmengetahui daya simpan benih jabon putih (Neolamarckia cadamba)

dan mendapatkan dosis iradiasi sinar gamma yang efektif untuk meningkatkan vigor benihnya.Benih yang

digunakan berasal dari 4 populasi (Alas Puwo, Kampar, Batu Hijau, dan Pomalaa) dan telah disimpan selama 4,5 tahun. Rancangan acak lengkap digunakan untuk menguji daya simpan dan pengaruh dosis iradiasi (0, 10,

20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100 Gy) terhadap parameter perkecambahan dan pertumbuhan bibit. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan benih selama 4,5 tahun secara umum mengakibat penurunan viabilitas dan vigor benih dari beberapa asal benih (populasi), kecuali untuk asal benih Batu Hijau.

Penyimpanan juga mengakibatkan kadar air benih menurun secara nyata hingga 4,08 persen−4,87 persen.

Iradiasi sinar gamma memberikan respon yang berbeda-beda pada setiap asal benih. Iradiasi sinar gamma efektif meningkatkan perkecambahan benih dengan daya berkecambah awal lebih dari 40 persen. Secara

keseluruhan dosis iradiasi 40 Gy mampu memperbaiki perkecambahan benih dan meningkatkan pertumbuhan

bibit sehingga bisa diaplikasikan untuk meningkatkan vigor benih jabon putih.

Kata kunci : benih, bibit, daya simpan, perkecambahan, pertumbuhan

Page 7: p-ISSN 2354-8568

PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke

DENGAN METODE WATER ROOTING

Y.M.M. Anita Nugraheni dan Kurniawati Purwaka Putri

© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.85-92 85

PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke

DENGAN METODE WATER ROOTING (Hormones Effect on Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke Shoots Cutting using Water Rooting Method)

Y.M.M. Anita Nugraheni dan/and Kurniawati Purwaka Putri

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Indonesia

e-mail: [email protected] Naskah masuk: 3 Januari 2018; Naskah direvisi: 23 April 2018; Naskah diterima: 23 Oktober 2018

ABSTRACT

Gyrinops versteegii is one of protected species because of the rare existence. One of the efforts to keep the

preserved is by cultivation. Cultivation techniques using generative basis has already done a lot. However, this technique has several limitations, due to the recalcitrant character of the seeds and the inequality of the

characteristics of the progeny with their parent. Meanwhile, vegetative techniques will produce a new

individual that have the same characteristics as the parent. The alternative-promising vegetative techniques of G. versteegii are using media because it is cheap and easy to obtain, and increase the achievement if

additional hormones were used. The purpose of this research is to determine the optimum concentration of

the NAA hormone for G. versteegii cuttings. The research method is done by cutting the saplings of G. versteegii on the shoots. The medium used are water without hormones (as control), water with hormones of

NAA 100, 200, and 300 ppm. Observations 10 times, at the end of the observation carried out measurements

on the root, percent of life, buds, dry stem weight, and dry root weight. The result showed that NAA hormone

treatment influenced significantly on the growth of the roots, percent of life, dry stem weight and dry weight of roots of G. versteegii. Medium of water with the addition of NAA 300 ppm was the composition that can

be used as a medium to trigger initial rooting.

Keywords: agarwood, planting media, vegetative reproduction

ABSTRAK

Gyrinops versteegii merupakan salah satu spesies yang dilindungi keberadaannya karena sudah mulai langka.

Salah satu upaya untuk menjaga kelestariannya yaitu dengan melakukan budidaya. Teknik budidaya secara

generatif sudah cukup banyak dilakukan. Teknik perbanyakan G. versteegii secara generatif memiliki beberapa keterbatasan yaitu benihnya tergolong rekalsitran dan sifat tanaman baru yang diperoleh belum

tentu sama dengan induknya, sedangkan dengan teknik vegetatif, individu baru yang diperoleh akan

memiliki sifat sama dengan induknya. Kendala yang dihadapi teknik vegetatif G. versteegii adalah lebih sulit

untuk dilakukan, membutuhkan biaya yang lebih mahal dibanding teknik generatif karena tingkat keberhasilannya yang lebih rendah. Media air dijadikan alternatif karena murah dan mudah didapat, untuk

meningkatkan keberhasilannya perlu adanya tambahan hormon. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui konsentrasi hormon NAA yang optimal untuk pertumbuhan setek G. versteegii. Metode penelitian dilakukan dengan cara memotong tunas G. versteegii sebagai bahan setek, selanjutnya ditanam

pada posisi tegak di air dibantu dengan sterofoam sebagai penyangga. Media yang digunakan adalah air

tanpa hormon (sebagai kontrol), air dengan hormon NAA 100, 200,dan 300 ppm. Pengamatan dilakukan selama 10 kali, pada akhir pengamatan dilakukan pengukuran terhadap persen akar, persen hidup, persen

tunas, berat kering batang, berat kering akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan hormon NAA

berpengaruh terhadap pertumbuhan akar, persen hidup, berat kering batang dan berat kering akar G.

versteegii. Metode water rooting dengan penambahan hormon NAA 300 ppm merupakan komposisi terbaik sebagai media awal untuk memicu perakaran. Kata kunci: gaharu, perbanyakan vegetatif, media tanam

I. PENDAHULUAN

Gyrinops versteegii merupakan salah satu

jenis pohon penghasil gaharu yang memiliki

nilai jual tinggi, namun meningkatnya

perdagangan jenis ini sejak tiga dasawarsa

terakhir telah menimbulkan kelangkaan

Page 8: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 85-92

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

86

produksi gubal gaharu dari alam (Sumarna,

2012; Siran & Turjaman, 2010). Untuk itu

Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora

(CITES) di tahun 1994 menggolongkan genus

Gyrinops sp. ke dalam Apendix II yang

memperlakukan pembatasan perdagangan

karena populasi yang menyusut oleh

perburuan di hutan alam. Untuk mencegah

berkurangnya populasi di alam, perbanyakan

budidaya Gyrinops memiliki prospek menarik.

Perbanyakan G. versteegii secara generatif

telah banyak dilakukan karena relatif mudah

dilakukan (Surata & Soenarno, 2016). Benih

G. versteegii tergolong rekalsitran, memiliki

kadar air sekitar 40 persen, sehingga bila

terjadi penurunan kadar air, daya

tumbuh/viabilitasnya akan menurun (Sumarna,

2008), sehingga teknik perbanyakannya secara

generatif harus dilakukan sesegera mungkin

setelah benih diperoleh. Teknik perbanyakan

secara vegetatif dapat dilakukan untuk

membantu memperbanyak tanaman yang

benihnya tergolong rekalsitran dan memiliki

kesulitan dalam memperoleh buah dan biji

(Danu, Subiakto, & Putri, 2016). Selain itu

metode perbanyakan G. versteegii secara

vegetatif penting untuk diketahui terutama

agar mendapatkan individu baru yang

memiliki sifat yang identik dengan induknya.

Keberhasilan perbanyakan vegetatif

dengan setek dipengaruhi banyak faktor, salah

satunya adalah kandungan hormon auksin.

Salah satu hormon auksin yang dapat

meningkatkan keberhasilan perbanyakan

tanaman adalah NAA (Naphthalene Acetic

Acid). NAA terbukti berhasil untuk

perbanyakan setek pada jenis

Grammatophylum scriptum var. citrinum

(Isda, & Fatonah, 2014), Centella asiatica (L.)

Urb. (Sudrajad & Suharto, 2015).

Selain hormon, media semai juga

mempengaruhi keberhasilan perbanyakan

setek. Media perakaran setek umumnya

menggunakan media padat seperti pasir atau

sekam padi. Beberapa jenis tanaman juga

terbukti mampu tumbuh pada media air seperti

Hygrophila polysperma, Bacopa sp, Rotala

machandra, Ludwigia sp, Cryptocorine,

Anubias, Wallisneria spiralis, dan Ganggang

air (Karataş, Aasim, Cnar, & Dogan, 2013;

Gupta, Tiwari, Saikia, Shukla, Singh, Singh &

Pandey, 2015).

Air merupakan media yang murah dan

sangat mudah diperoleh untuk digunakan

sebagai media pemicu perakaran sebelum

dipindahkan pada media tanah. Penggunaan

metode water rooting dengan penambahan

hormon NAA untuk perbanyakan setek G.

versteegii belum banyak diinformasikan.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui

konsentrasi hormon NAA yang optimal untuk

pertumbuhan setek G. versteegii pada media

air.

Page 9: p-ISSN 2354-8568

PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke

DENGAN METODE WATER ROOTING

Y.M.M. Anita Nugraheni dan Kurniawati Purwaka Putri

87

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Penelitian dilakukan dari bulan Maret

2017 sampai dengan bulan Juni 2017 di rumah

kaca dengan sistem KOFFCO (Komatsu-

FORDA Fog Cooling) Pusat Penelitian

Pengembangan Kehutanan dan Rehabilitasi

(PPPKR) Gunung Batu, Bogor, Jawa Barat

yang terletak pada koordinat Lintang:

─6.596565, Bujur: 106.781581, dengan suhu

rata-rata 28°C, dan kelembaban rata-rata

sebesar 96 persen. Bahan dan alat yang

diperlukan untuk penelitian ini antara lain

adalah tunas Gyrinops versteegii yang berasal

dari Lombok Tengah, air, hormon NAA

(Naphthalene Acetic Acid), sterofoam, bak air,

pisau, gunting setek, alat tulis.

B. Prosedur Penelitian

Tahapan kegiatan dimulai dengan

mengambil setek dari bibit yang berumur 3

bulan. Setek dipotong sepanjang 4 cm, daun

dipotong dengan menyisakan 3 helai masing-

masing sepanjang 1 cm (setelah dipotong dua

pertiga bagian). Air dimasukkan ke dalam bak

berukuran 30 cm x 40 cm, styrofoam dipasang

pada permukaan bak dan dijaga agar tidak

tergenang oleh air. Setek ditanam dengan

menancap pada styrofoam sedalam ½ bagian

air, bagian bawah dibiarkan tenggelam,

sedangkan bagian atas tetap kering (tidak

tergenang). Bak dimasukkan ke dalam box

propagasi dan ditutup rapat. Atap

menggunakan paranet rangkap 2 untuk

mengurangi penguapan, dan diletakkan di

dalam rumah kaca. Pengamatan dilakukan

selama 10 kali, dan pada akhir pengamatan

dilakukan pengukuran terhadap persen akar,

persen hidup, persen tunas, berat kering

batang, dan berat kering akar.

Rancangan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Acak Lengkap (RAL).

Materi yang digunakan berupa setek bagian

pucuk yang ditanam pada media air dengan

metode water rooting. Perlakuan yang

diberikan yaitu penambahan hormon NAA 100

ppm, 200 ppm, dan 300 ppm, serta kontrol

(tanpa hormon). Masing-masing setek yang

diamati berjumlah 10 dengan 3 ulangan pada

setiap perlakuan.

Variabel yang diamati adalah:

1. Persen akar

Persen berakar diukur dengan menghitung

persentase setek yang berakar pada akhir

penelitian. Rumus yang digunakan :

.................. (1)

2. Persen hidup

Persen hidup diukur dengan menghitung

persentase setek yang hidup pada akhir

penelitian. Rumus yang digunakan :

…......................... (2)

3. Persen tunas

Persen bertunas diukur dengan menghitung

persentase setek yang bertunas pada akhir

penelitian. Rumus yang digunakan :

.......... (3)

Page 10: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 85-92

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

88

4. Jumlah daun

Jumlah daun/tunas diukur dengan

menghitung daun yang terbentuk pada

akhir pengamatan

5. Panjang tunas

Panjang tunas diukur dari ujung setek awal

sampai ujung terluar dari tunas,

pengukuran dilakukan pada akhir

pengamatan.

6. Berat kering batang

Berat kering batang dihitung dengan

menimbang berat kering batang setek

setelah dioven selama 18 jam

7. Berat kering akar

Berat kering akar dihitung dengan

menimbang berat kering akar setek setelah

dioven selama 18 jam.

C. Analisis Data

Data pengamatan yang telah terkumpul

dianalisis menggunakan uji sidik ragam

dengan model linier:

………..........….………….. (4)

Keterangan :

: nilai respon pada perlakuan ke-i, dan

ulangan ke-j

µ : rataan umum;

: pengaruh perlakuan hormon ke-i;

: pengaruh acak pada perlakuan ke-i,

dan ulangan ke-j.

Apabila hasil analisis menunjukkan hasil

yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan

uji Duncan dengan taraf signifikan 95 persen.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil analisis ragam (Tabel 1)

menunjukkan bahwa pemberian hormon NAA

pada setek G. versteegii berpengaruh nyata

terhadap persentase setek berakar, persentase

setek hidup, jumlah akar, berat kering batang

dan berat kering akar setek G. versteegii,

namun tidak berpengaruh nyata terhadap

jumlah daun dan panjang tunas.

Tabel (Table) 1. Analisis keragaman pengaruh hormon pada setek G. versteegii (Summary of G.

versteegii Variance Analysis)

Db

(df)

Jumlah kuadrat

(Sum square)

Rerata kuadrat

(Mean square)

Nilai P

(P value)

Persentase setek berakar (Percentage of rooted cuttings) 3 3987 1329** 0,0001

Persentase setek hidup (Percentage of live cuttings) 3 5624,25 1874,75** 0,0001

Jumlah akar (Number of roots) 3 120,66 40,22ns 0,089

Jumlah daun (Number of leaves) 3 10,25 3,41ns 0,282

Panjang tunas (Shoot length) 3 2,98 0,99 ns 0,174

Berat kering batang/tunas (Dry stem / shoot weight) 3 0,00036 0,00012* 0,033

Berat kering akar (Dry root weight) 3 0,00050 0,00016 * 0,037

Keterangan (Remarks): ** = berbeda nyata pada taraf uji 1% ; * = berbeda nyata pada taraf uji 5%; ns = berbeda tidak

nyata pada taraf uji 5% (** = significantly different at the test level of 1%; * = significantly

different at the test level of 5%; ns = different not significant at test level 5%)

Page 11: p-ISSN 2354-8568

PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke

DENGAN METODE WATER ROOTING

Y.M.M. Anita Nugraheni dan Kurniawati Purwaka Putri

89

Berdasarkan hasil uji lanjut (Tabel 2)

diketahui bahwa rata-rata persentase setek

berakar dan setek hidup, berat kering

batang/tunas, dan berat kering akar tertinggi

ditunjukkan oleh setek dengan penambahan

NAA 300 ppm yaitu persen berakar sebesar 63

persen, persen hidup 63 persen, jumlah akar 14

lembar, berat kering batang/tunas 0,015 gram,

dan berat kering akar 0,023 gram.

Tabel (Table) 2. Rata-rata pengaruh hormon terhadap pertumbuhan setek G. versteegii (Growth

average of G. versteegii cutting)

Variabel (Variable) Konsentrasi NAA (NAA concentration) (ppm)

Kontrol (Control) 100 200 300

Persentase setek berakar

(Rooted cuttings percentage) (%)

20,00c 20,00c 23,00 b 63,00a

Persentase setek hidup

(Percent percentage of life)(%)

10,00d 13c 17b 63a

Berat kering batang/tunas

(Stem / shoot dry weight )(g)

0,0089ab 0,001b 0,003b 0,015a

Berat kering akar

(Root dry weight )(g)

0,005b 0,016ab 0,015ab 0,023a

Keterangan (Remarks) :a,bnilai rataan dalam kolom yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (P<0,05)( the average value in the column followed by the

same letter shows not significantly different based on the Duncan test (P <0.05))

Gambar (Figure) 1. Pengaruh hormon pada perakaran setek G. versteegii ((a) NAA 100 ppm, (b)

NAA 200 ppm, and (c) NAA 300 ppm) (The roots of G. versteegii (a) NAA 100

ppm, (b) NAA 200 ppm, and (c) NAA 300 ppm))

Jumlah daun dan panjang tunas yang

dihasilkan setek G. versteegii relatif sama

untuk semua perlakuan hormon yang

diberikan yaitu rata-rata jumah daun

sebanyak 3 buah, dan rata-rata panjang tunas

1 cm.

(a) (b) (c)

Page 12: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 85-92

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

90

B. Pembahasan

Faktor yang menentukan keberhasilan

setek terdiri dari faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal antara lain adalah

genotipe suatu tanaman, pemilihan jaringan

tanaman (Ramadan, Kendarini, & Ashari,

2016), dan umur fisiologi bahan setek

(Pramono & Siregar, 2015). Faktor eksternal

meliputi kelembaban (mempengaruhi tingkat

respirasi jaringan), suhu (mempengaruhi level

energi tanaman), jika suhu terlalu tinggi

tanaman akan dehidrasi, jika terlalu rendah

energi tanaman untuk tumbuh menjadi

terbatas, dan intensitas cahaya. Selain itu,

penambahan hormon seperti auksin dengan

kadar yang sesuai juga mendukung

keberhasilan setek. Pemberian hormon NAA

pada setek G. versteegii berpengaruh nyata

terhadap persentase setek berakar, persentase

setek hidup, jumlah akar, berat kering batang

dan berat kering akar setek G. versteegii,

namun tidak berpengaruh nyata terhadap

jumlah daun dan panjang tunas. Hal ini

mungkin terjadi karena hormon NAA yang

diberikan tergolong auksin yang memiliki

peran utama memacu pembentukan akar,

sedangkan pertumbuhan tunas/daun biasanya

lebih dipengaruhi oleh hormon sitokinin

(Pamungkas, Darmanti, & Raharjo, 2009).

Menurut Putra dan Shofi (2015) pemberian

NAA yang tergolong auksin sintetis pada setek

terbukti mampu meningkatkan perakaran.

Menurut Pamungkas et al. (2009) auksin

mampu mendorong pertumbuhan akar karena

auksin memicu mobilisasi karbohidrat dan

boron dari daun ke akar. Menurut Zakaria,

Rugayah dan Karyanto (2018) penambahan

BA yang tergolong sitokinin sebanyak 20 ppm

mampu memicu pertumbuhan panjang daun

pada bibit manggis.

Pembentukan akar merupakan proses awal

yang utama karena dengan adanya akar, setek

akan mampu menyerap air dan nutrisi yang

menjadi syarat dasar tanaman untuk tumbuh

dan berkembang. Menurut Zhang, Fan, Tan,

Zhao, Zhou, dan Cao (2017) pembentukan akar

adventif merupakan proses yang rumit,

melibatkan aspek morfologi, fisiologis, dan

perubahan biologis. Pembentukan akar

adventif menjadi faktor kunci keberhasilan

perbanyakan setek (Setyayudi, 2016).

Keberadaan akar menyebabkan penyerapan

hara berlangsung lebih optimal sehingga

pembentukan tunas pada bahan setek dapat

tumbuh dengan baik (Andiani, 2012).

Tumbuhnya akar berpengaruh pada asupan

hara yang dapat terserap yang memiliki fungsi

sebagai penyerap air, garam mineral dan O2

dari dalam tanah (Putra & Shofi, 2015). Hasil

penelitian menujukkan bahwa perbanyakan

vegetatif setek G. versteegii terbaik adalah

setek yang diberi penambahan hormon NAA

300 ppm yaitu mencapai 63 persen untuk

persentase setek hidup dan berat akar, dengan

Page 13: p-ISSN 2354-8568

PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke

DENGAN METODE WATER ROOTING

Y.M.M. Anita Nugraheni dan Kurniawati Purwaka Putri

91

berat kering tunas dan berat kering akar

masing-masing 0,015 gram dan 0,023 gram.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa

setek G. versteegii membutuhkan tambahan

hormon auksin eksternal untuk merangsang

perakarannya, terbukti setek yang tidak diberi

tambahan hormon (kontrol) tidak tumbuh

akarnya. Penelitian sebelumnya juga

menunjukkan bahwa keberhasilan setek gaharu

yang lebih baik dengan pemberian hormon

auksin sebesar 84, 17 persen dengan

konsentrasi ZPT yang optimal sebesar 200

ppm (Setyayudi, 2016).

Hasil penelitian lainnya menunjukkan

bahwa Gyrinops sp. perlu penambahan

hormon untuk merangsang perakaran

dilaporkan oleh Auri dan Dimara (2016) yang

menyatakan bahwa konsentrasi auksin 300

ppm memberikan respon terbaik untuk

pertumbuhan akar setek Gyrinops. Pengaruh

hormon auksin terhadap jaringan tanaman

berbeda-beda. Respon terkuat terdapat pada

sel-sel meristem apikal batang dan koleoptil.

Kadar auksin yang terlalu tinggi bersifat

menghambat bahkan meracuni tanaman

(Suprapto, 2013). Hal tersebut mungkin

berhubungan dengan kadar nitrogen pada

masing masing tanaman, nitrogen yang

berlebihan pada media mengakibatkan

terhambatnya pertumbuhan akar karena jumlah

asam amino yang terlalu banyak (Putra &

Shofi, 2015) .

IV. KESIMPULAN

Penambahan hormon tumbuh auksin NAA

300 ppm meningkatkan keberhasilan

pembiakan vegetatif (setek) G. versteegii

dengan setek hidup, setek berakar, berat kering

tunas dan akar setek berturut-turut sebesar 63

persen, p 63 persen, 0,015 gram, dan 0,023

gram.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

Ibu Rina Kurniaty, Ibu Nurmawati Siregar,

Pak Maas, Pak Ateng, Pak Trisno, Pak Wahyu,

Pak Nana, Pak Irfa, atas bantuannya.

DAFTAR PUSTAKA

A. A., Pramono dan Siregar, N. (2015). Pengaruh

naungan, zat pengatur tumbuh dan tanaman

induk terhadap perakaran setek jabon (. Jurnal

Perbenihan Tanaman Hutan, 3(2), 71–79.

Andiani, N. (2012). Pengaruh Komposisi Media

Tanam dan Konsentrasi GA3 terhadap Inisiasi

dan Pertumbuhan Tunas, 2012.

Auri, A., & Dimara, P. A. (2016). Respon

Pertumbuhan Setek Gyrinops verstegii

terhadap Pemberian Berbagai Tingkat Konsentrasi Hormon IBA ( Indole Butyric

Acid ) Growth Response of Gyrinops verstegii

Cuttings on Various Concentration Level of IBA ( Indole Butyric Acid ) Hormone. Jurnal

Silvikultur Tropika, 6(2), 133–136.

Danu, D., Subiakto, A., & Putri, K. P. (2016). Uji

setek pucuk damar.

Gupta, R., Tiwari, S., Saikia, S. K., Shukla, V.,

Singh, R., Singh, S. P., ... & Pandey, R.

(2015). Exploitation of microbes for enhancing bacoside content and reduction of

Meloidogyne incognita infestation in Bacopa

monnieri L. Protoplasma, 252(1), 53–61.

Isda, M. N., & Fatonah, S. (2014). Induksi Akar

pada Eksplan Tunas Anggrek

Grammatophylum scriptum var. citrinum secara In Vitro pada Media MS dengan

Page 14: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 85-92

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

92

Penambahan NAA Dan BAP. Al-Kauniyah:

Jurnal Biologi, 7(2), 53–57.

Karataş, M., Aasim, M., Cnar, A., & Dogan, M. (2013). Adventitious shoot regeneration from

leaf explant of dwarf hygro (Hygrophila

polysperma (Roxb.) T. Anderson). The

Scientific World Journal, 2013.

https://doi.org/10.1155/2013/680425

Pamungkas, F. T., Darmanti, S., Raharjo, B., .

(2009). Pengaruh konsentrasi dan lama perendaman dalam supernatan kultur Bacillus

sp.2 DUCC-BR-K1.2 terhadap pertumbuhan

setek horisontal batang jarak pagar (Jatropa curcas). Jurnal Sains Dan Matematika, 17(3),

131–140. Retrieved from

http://download.portalgaruda.org/article.php?a

rticle=22763&val=1293

Putra, R. R., & Shofi, M. (2015). Pengaruh

Hormon Napthalen Acetic Acid Terhadap

Inisiasi Akar Tanaman Kangkung Air (Ipomes aquatica Forssk.). Jurnal Wiyata, 2(2), 108–

113.

Ramadan, V. R., Kendarini, N., & Ashari, S.

(2016). Kajian Pemberian Zat Pengatur Tumbuh terhadap Pertumbuhan Setek

Tanaman Buah Naga (Hylocereus

costaricensis ). Jurnal Produksi Tanaman,

4(3), 180–186.

Setyayudi, A. (2016). Ujicoba Perbanyakan Setek

Pucuk Tanaman Gyrinops versteegii.

Mataram.

Siran, S.A., & M. Turjaman. (2010).

Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu

Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Sekitar

Hutan. P3HKA. Bogor

Sudrajad, H., & Suharto, D. (2015). Pengaruh

NAA dan BAP terhadap eksplan Pegagan

(Centella asiatica (L.) Urb.). Agrovigor, 8(1),

26–31.

Sumarna, Y. (2008). Pengaruh Kondisi Kemasakan

Benih Dan Jenis Media Terhadap

Pertumbuhan Semai Tanaman Penghasil Gaharu Jenis Karas (Aquilaria malaccensis

Lamk.). Jurnal Penelitian Hutan Dan

Konservasi Alam, v(2), 129–135. https://doi.org/https://doi.org/10.20886/jphka.

2008.5.2.129-135

Sumarna, Y. (2012). Pembudidayaan Pohon Penghasil Gaharu. Departemen Kehutanan,

Badan Litbang Kehutanan.

Suprapto, A. (2013). Auksin: Zat Pengatur

Tumbuh Penting Meningkatkan Mutu Setek

Tanaman.

Surata, K., dan Soenarno, S. (2016). Penanaman

Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) dengan Sistem Tumpangsari di Rarung,

Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal

Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 8(4),

349–361.

Zakaria, M.R., Rugayah & Karyanto, A., . (2018).

Respons Pertumbuhan Seedling Manggis

(Garcinia mangostana L .) terhadap Penambahan Indole Butyric Acid. Jurnal

Agrotek Tropika, 6(2), 67–71.

Zhang, W., Fan, J., Tan, Q., Zhao, M., Zhou, T., & Cao, F. (2017). The effects of exogenous

hormones on rooting process and the activities

of key enzymes of Malus hupehensis stem

cuttings. PLoS ONE, 12(2), 1–13.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0172320

Page 15: p-ISSN 2354-8568

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP

PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)

Aris Sudomo dan Maman Turjaman

© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.93-105 93

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK PUCUK

JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)

(The Effect of Growth Regulator Substance on Shoot Cutting of Jamblang

(Syzygium cumini (L.) Skeels)

Aris Sudomo1 dan/and Maman Turjaman2

1)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry

Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 04 Kode Pos 46201, Ciamis, Indonesia 2)Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Jl. Gunung Batu No. 5, Po. Box 331, Kode Pos 16118, Bogor, Indonesia

e-mail: [email protected] Naskah masuk: 3 Januari 2018; Naskah direvisi: 20 Mei 2018; Naskah diterima: 10 Juli 2018

ABSTRACT

Development of jamblang (Syzygium cumini) as medicinal plant currently constrained by the aspects of

cultivation technology (vegetative propagation), so the provision of medicinal plants for the mass scale was

very difficult. The objective of this research was to evaluate the effect of five doses of growth regulator substance on growth of S. cumini’s shoot cuttings. The active ingredient composition of hormone/ Growth

Regulator Substance (GRS) in this study were Naphthalene Acetic Acid (NAA) 3 percent and Naphthalene

Acetamide (NAAm) 0.75percent. The experiment was arranged in Completely Random Design using 5 concentrations of growth regulator substance namely 0g.10ml-1 (control), 2g.10 ml-1, 4g.10ml-1, 10g.10ml-1

and powder (not dissolved). The results of this experiment proved that 4g.10 ml-1of growth regulator

substance produce the highest height growth (29.84 cm or 21.74 percent increment), the highest number of

leaves (23.72 pieces or 4.63 percent increment), the heaviest dry weight of stem and leaves (3.36 gram or 43.59 percent increment) and the highest top-root ratio (6.55 or 10.08 percent increment). The highest

survival percentage was resulted from GRS powder treatment (80 percent or 18.81 percent increment), but

did not significantly different to GRS treatment of 4g.10 ml-1 (77.33 percent). The application of 4g.10 ml-1 is recommended to use to produce the better growth of cuttings planted on soil. Keywords: cultivation, doses, hormone , Syzygium cumini

ABSTRAK

Pengembangan tanaman obat jenis jamblang Syzygium cumini saat ini terkendala dari aspek teknologi

budidaya (perbanyakan vegetatif), sehingga pemanfaatan tanaman obat untuk skala massal sangat sulit. Tujuan penelitian ini adalah evaluasi pengaruh lima dosis zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan setek

pucuk S. cumini. Rancangan penelitian yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Komposisi

bahan aktif Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam penelitian ini adalah Naphthalene Acetic Acid (NAA) 3 persen dan Naphthalene Acetamide (NAAm) 0,75 persen. Perlakuan 5 dosis ZPT yang diaplikasikan adalah

kontrol (0g.10 ml-1), 2g.10 ml-1, 4g.10 ml-1, 10g.10ml-1 dan powder/dioles. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa dosis 4g.10ml-1 menghasilkan pertumbuhan tinggi tertinggi sebesar 29,84 cm (peningkatan 21,74 persen dibandingkan dengan kontrol), jumlah daun terbanyak sebesar 23,72 buah (peningkatan 4,63 persen

dibandingkan dengan kontrol), berat kering batang dan daun terbesar sebesar 3,36 gram (peningkatan 43,5

persen dibandingkan dengan kontrol) dan top-root ratio tertinggi sebesar 6,55 (peningkatan 10,08 persen

dibandingkan dengan kontrol). Persentase hidup tertinggi dihasilkan pada pemberian ZPT dioles sebesar 80 persen (peningkatan 18,81 persen dibandingkan dengan kontrol) dan tidak berbeda nyata dengan pemberian

ZPT 4g.10 ml-1 (77,33 persen). Rekomendasi dari penelitian ini adalah penggunaan ZPT 4g.10 ml-1 untuk

menghasilkan pertumbuhan setek pucuk diatas tanah terbaik dengan persentase hidup yang tidak berbeda nyata dengan ZPT dioles/powder. Kata kunci : budidaya, dosis, hormon, Syzygium cumini

I. PENDAHULUAN

Syzygium cumini (L.) Skeels (Family

Myrtaceae) termasuk tanaman asli dari India

dan Asia Tenggara serta menyebar di daerah

tropis. Nama lainnya adalah Duwet, Jamblang,

Jambe, Jambolan, Black Plum, Java Pulm,

Page 16: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

94

Indian Blackberry, Jamun dan lain-lain

(Ayyanar & Babu, 2012). Pertumbuhan pohon

duwet relatif lambat dengan batang cenderung

bengkok, perakaran dan kanopi menyebar

(evergreen) serta buah masak berwarna ungu

kehitaman. S. cumini merupakan salah satu

jenis tanaman yang bermanfaat sebagai

tanaman obat. Bagian biji buah berfungsi obat

diabetes, hypoglycemic, antiinflamantory,

antioxidant, dan kemoprefentif terhadap stres

dan kerusakan genom serta menunda

komplikasi (saraf dan kataraks) (Swami,

Thakor, Patil, & Haldankar, 2012) (Prince &

Venon, 2008) (Helmstadter, 2008). Ekstrak

buah ini menghasilkan antioksidan dan

antikanker tertinggi serta antidiabetes (Afify,

Fayed,Shalaby & El-shemy, 2011). Kulit

batang tanaman S. cumini mengandung tannin

dan karbohidrat sebagai astringen untuk

mengobati disentri (Namasivaan,

Ramachandran & Decharaman, 2008).

Terbatasnya pengetahuan masyarakat

tentang manfaat obat dari S. cumini dan

kurangnya pembudidayaan menjadi salah satu

faktor utama semakin sulit ditemukan

keberadaannya (langka) di Indonesia.

Jamblang (Syzygium cumini (L.) Skeels)

merupakan salah satu jenis tanaman

konservasi yang dapat tumbuh pada tanah

marjinal yang terjal dan berbatu (Hutan Adat

Wonosadi Gunungkidul, Hutan Rakyat Bantul

dan Hutan Rakyat Majalengka). Menurut

Anonim (2010) persyaratan tempat tumbuh

jamblang adalah ideal pada ketinggian 600

m.dpl (walaupun dijumpai juga pada

ketinggian sampai 1.800 m.dpl), curah hujan

di atas 1.000 mm.tahun-1 dengan bulan kering

tegas. Duwet dapat tumbuh subur pada

berbagai tipe tanah, di lahan basah dan rendah

dan lahan yang lebih tinggi dengan sistem

pengaliran air yang baik (tanah liat, campuran

tanah liat dan kapur, tanah berpasir, tanah

berkapur) (Anonim, 2010).

Hama yang potensi menyerang walaupun

tidak berbahaya karena tidak melebihi ambang

ekonomi adalah ulat pemakan daun, lalat, kutu

perisai, kutu bubuk, dan lalat buah kadang-

kadang mencapai tingkat yang merusak.

Musim berbuah tanaman jamblang di hutan

rakyat Bantul dan Majalengka sekitar bulan

Oktober─Februari pada setiap tahunnya.

Jamur penyebab busuk buah adalah Gilbertella

persicaria (Pinho, Pereira & Soares, 2014).

Hasil buahnya sangat bervariasi; pohon yang

berbuah lebat bisa menghasilkan sampai

sebanyak 100 kg per pohon (Anonim, 2010).

Dalam rangka pengembangan tanaman S.

cumini untuk penghasil obat-obatan diperlukan

teknik perbanyakan vegetatif. Pertimbangan

pentingnya perbanyakan vegetatif dengan

setek pucuk dalam pembangunan hutan

tanaman S. cumini adalah (1) tidak

mengurangi produk utama S. cumini yaitu biji,

(2) benih S. cumini merupakan jenis

Page 17: p-ISSN 2354-8568

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP

PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)

Aris Sudomo dan Maman Turjaman

95

rekalsitran (tidak dapat disimpan lama) (3)

teknik perbanyakan vegetatif setek pucuk

diperlukan untuk pemuliaan tanaman, (4)

mempercepat waktu berbuah, (5) relatif lebih

mudah diadopsi masyarakat. Setek pucuk

dengan aplikasi Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

yang relatif mudah, murah, sederhana dan

aplikable bagi masyarakat.

ZPT yang tergolong auksin adalah Indole-

3-acetie Acid (IAA), Indoloe Butyrie Acid

(IBA) dan Nepthalene Acetie Acid (NAA).

IBA dan NAA bersifat lebih efektif

dibandingkan dengan IAA yang merupakan

auksin alami. Komposisi bahan aktif Zat

Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam penelitian ini

adalah Naphthalene Acetic Acid (NAA) 3

persen dan Naphthalene Acetamide (NAAm)

0,75 persen. ZPT yang digunakan dalam

penelitian ini formula berbentuk

tepung/serbuk, berwarna abu-abu putih

berguna dalam pembibitan (stump, setek,

cangkok) dengan kemampuan merangsang

tumbuh akar, tunas tanaman dan menyuburkan

tanaman (Handriyano, 2007; Watijo, 2007).

Penelitian tentang penggunaan ZPT

auksin dalam perbanyakan vegetatif telah

dilakukan pada beberapa spesies diantaranya

adalah stump Rosa x odorata “viridiflora”

(Siregar, Suendra & Siregar, 2005), stump

Santalam album (Surata, 2008), setek pucuk

Cannophyllum innophyllum (Danu, Subiakto

& Abidin, 2011), setek batang Jatrophus

curcas L (Handriyano, 2007), setek Piper

nigrum L (Yuliandawati, 2016), setek pucuk

Magnolia champaca (Sudomo, Rohandi &

Mindawati, 2013), setek pucuk Tectona

grandis (Salim & Na’iem, 2001) (Ristawati,

2008), setek batang Manihot esculenta (Lubis,

Rahmawati & Irmansyah, 2017), setek batang

Macaranga triloba Muell. Arg (Setyowati,

Indarto & Sumiarsri, 1998), setek pucuk

Camelia japonica (Nurlaeni & Surya, 2015),

setek batang Hylocereus costaricensis

(Nuryana, Armaini & Ardian, 2012),

(Hermansyah, Armaini & Ariani, 2014).

Sedangkan penelitian penggunaan hormon

IBA dalam perbanyakan vegetatif telah

dilakukan pada setek pucuk Gonystylus

bancanus (Nor Aini, Veronica & Ismail,

2010), setek Tylophora indica (Rani & Rana,

2010), setek pucuk Aesculus indica (Majeed,

Khan & Mughal, 2009), setek Bienertia

sinuspersici (Northmore, Leung & Xung,

2015), setek pucuk Tectona grandis (Husen &

Pal, 2007), setek batang Dalbergia

melanoxylon Guill. & Perr (Amri,Lyaruu,

Nyomora & Kanyeka, 2009a) dan stum Hevea

brasilliensis (Shiddiqi, Murniati & Saputra

2012) (Mulyani, Yukri & Fachriza, 2016).

Penelitian yang relatif berbeda dihasilkan oleh

(Azad, Alam, Mollick & Matin, 2016) dengan

tidak merekomendasikan penggunaan IBA

dalam perakaran setek batang Santalum album

L. Sementara itu penelitian tentang

perbanyakan vegetatif setek pucuk S. cumini

belum ada dilaporkan, sehingga penting untuk

Page 18: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

96

meneliti efektivas pemberian ZPT pada

perbanyakan setek pucuk tanaman tersebut.

Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari

Setyowati et al. (1998) bahwa laju serapan

tanaman terhadap zat pengatur tumbuh

tergantung oleh beberapa faktor antara lain

spesies tanaman, organ tanaman, sifat kimia

dan solubitas dari zat pengatur tumbuh, pelarut

dan kondisi lingkungan. Konsentrasi hormon

auksin yang terlalu tinggi mampu merusak

bagian tanaman dan konsentrasi hormon di

bawah optimum menjadi tidak efektif.

Penelitian Hermansyah et al. (2014)

menghasilkan konsentrasi ZPT optimal 6

g.10 ml-1 air pada sistem pembibitan langsung

buah naga (Hylocereus costaricencis) dengan

pertumbuhan panjang tunas terbaik

dibandingkan 0g.10ml-1 air, 9 g.10ml-1 air dan

12g.10ml-1air. Tujuan dari penelitian ini

adalah mendapatkan dosis optimal dalam

penggunaan zat pengatur tumbuh auxin jenis

Naphthalene Acetic Acid (NAA) ditambah

Naphthalene Acetamide (NAAm) untuk

perbanyakan dengan teknik setek pucuk S.

cumini di persemaian.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Penelitian ini telah dilakukan di

persemaian Sekolah Menengah Kehutanan

Rimba Bahari, Desa Jatimekar, Kecamatan

Situraja, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa

Barat, Indonesia (titik koordinat 6051’11.2”. S;

108001’35.8” E). Lokasi tersebut

berketinggian sekitar 725 m dpl, bersuhu rata

rata harian 22°C dan kelembapan rata-rata

78,9 persen. Curah hujan rata-rata 2.198

mm.th-1 dengan jumlah hari hujan sekitar 156

hari.tahun-1. Kondisi di dalam sungkup plastik

setek pucuk S. cumini dengan kelembaban

mencapai rentang 80 persen ─ 85 persen dan

suhu antara 26°C─32°C. Penelitian pemberian

ZPT pada setek pucuk S. cumini mulai dari

bulan Februari─Agustus 2016. Bahan yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan

setek tanaman dari bibit S. cumini, Zat

Pengatur Tumbuh (ZPT), pupuk kandang,

pasir, bambu, plastik sungkup, karung,

polybag dan lain-lain. Alat yang diperlukan

adalah handsprayer, gembor, pisau, tali,

meteran, kaliper, GPS, kamera, ayakan,

cangkul, gunting setek, gelas ukur, pisau,

termohigrometer, oven, timbangan, sprayer,

ice box, ember, alat tulis dan alat lainnya.

B. Prosedur Penelitian

ZPT yang digunakan dalam penelitian ini

adalah ZPT yang mengandung bahan aktif

Naphthalene Acetic Acid (NAA) 3 persen dan

Naphthalene Acetamide (NAAm) 0,75 persen.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Rancangan acak lengkap (RAL).

Perlakuan dosis konsentrasi ZPT yang

digunakan yaitu kontrol (tanpa ZPT), 2g.10ml-

1, 4g.10ml-1, 10g.10ml-1 dan ZPT secara

dioles/bubuk. Masing-masing pangkal setek

Page 19: p-ISSN 2354-8568

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP

PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)

Aris Sudomo dan Maman Turjaman

97

pucuk direndam dalam larutan ZPT selama

±15 menit. Setiap perlakuan terdiri atas 3

ulangan dan pada setiap ulangan terdiri atas 50

setek. Total setek dalam uji coba ini adalah 5 x

3 x 50 = 750 setek. Langkah–langkah yang

telah dilakukan dalam perbanyakan vegetatif

dengan setek pucuk adalah sebagai berikut:

1. Persiapan Media Setek Pucuk

Media setek pucuk yang digunakan adalah

campuran pasir halus ditambah pupuk kandang

(3:1, v/v). Untuk tempat media digunakan

polybag dengan ukuran 10 cm x 15 cm. Media

pasir yang memiliki aerasi dan porositas baik

tetapi relatif miskin unsur hara. Campuran

dengan pupuk kandang mampu meningkatkan

bahan organik sehingga tersedia unsur hara

dan menyimpan air dengan baik. Campuran

media untuk perakaran tersebut terlebih dahulu

disemprot fungisida agar steril dan tidak

menyebabkan busuk setek. Setek pucuk pada

media pasir memiliki kelembapan yang cukup

dan setek yang ditanam dapat berdiri

kokoh/tidak mudah goyah (Adinugraha,

Pudjiono & Yudistiro., 2007).

2. Penyediaan Materi Setek Pucuk

Bahan setek berasal dari pangkasan

bagian pucuk karena bagian pucuk

menghasilkan persentase hidup lebih tinggi

dibanding tengah dan pangkal pada jenis

Gonystylus bancanus dan Tectona grandis

(Nor Aini et al., 2010) (Husen & Pal, 2007).

Bahan setek yang diambil harus memenuhi

kriteria sebagai berikut: (1) pucuk autotrop, (2)

pucuk masih muda (juvenil) (Danu et al.,

2011) (3) pucuk bebas hama dan penyakit, dan

(4) panjang pucuk ± 10 cm atau terdiri atas

2─3 ruas (masing masing ruas rata-rata 2─3

daun). Bagian tunas S. cumini yang relatif

masih muda dipotong dengan mengambil 3

nodul dan menyisakan 4 helai daun. Setiap

helai daun dipotong 2 per 3 bagian sehingga

tersisa 1 per 3 bagian luas daun. Hal ini

dilakukan untuk mengurangi penguapan sinar

matahari dan mendorong terbentuk tunas baru.

3. Penanaman Setek Pucuk ke Media

Pucuk yang telah di potong dicelupkan

pada zat pengatur tumbuh akar. Perendaman

pada setek pucuk pada larutan hormon/ ZPT

dilakukan sampai meresap dalam bagian tunas

untuk setek (± 15 menit). Kemudian ditanam

pada media tanam yang sebelumnya sudah

disiram air sampai jenuh dan sudah dilubangi.

Hal ini dilakukan dengan terlebih dahulu

melubangi media menggunakan batang sedikit

lebih besar dari batang bahan setek pucuk.

Bahan setek pucuk dimasukkan dalam media

yang telah dilubangi tersebut dan

memampatkan dengan tangan sehingga

tertutup dengan rapat

4. Pemasangan Sungkup Plastik Pada

Setek Pucuk

Penyungkupan setek pucuk dilakukan

untuk menghindari sinar matahari secara

langsung dan mengurangi penguapan. Dengan

disungkup kondisi lingkungan didalam

sungkup plastik transparan dengan suhu relatif

Page 20: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

98

hangat 26°C─32°C dengan kelembapan yang

relatif tinggi (80 persen─85 persen) sehingga

metabolisme tanaman terdorong untuk

pertumbuhan akar dan tunas baru. Selain

penyungkupan dilakukan pula penaungan

dengan shading net (intensitas naungan 60

persen) diatas setek pucuk S. cumini setinggi

± 160 cm. Fungsi shading net adalah untuk

mengurangi intensitas sinar matahari yang

masuk dan melindungi sungkup yang berisi

setek pucuk.

5. Pemeliharaan Setek Pucuk

Penyiraman dengan sistem kabut

menggunakan handsprayer dilakukan dengan

memperhatikan kelembapan media tanam

sekali sehari. Kegiatan pemeliharaan setiap

seminggu sekali antara lain: (1) penyiangan

terhadap gulma yang tumbuh, (2) pengambilan

pucuk-pucuk yang busuk dan layu, (3)

penyemprotan fungisida, dan (4)

penyemprotan pupuk daun. Pembukaan

sungkup plastik dilakukan sampai setek pucuk

telah tumbuh daun-daun baru.

C. Analisis Data

Pengamatan pertumbuhan dilakukan

sampai setek pucuk S. cumini berumur 6

bulan. Parameter yang diamati adalah

persentase hidup, tinggi setek, jumlah daun,

berat basah total, berat basah batang dan daun,

berat basah akar, berat kering total, berat

kering batang dan daun, berat kering akar,

nisbah pucuk akar dan indeks mutu bibit.

Analisis yang digunakan untuk menguji ragam

parameter yang diamati adalah analisis ragam

menggunakan uji F. Selanjutnya apabila

perlakuan berpengaruh nyata terhadap

parameter yang diukur maka dilanjutkan

dengan menggunakan uji Duncan

(Sastrosupadi, 2000).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Berdasarkan hasil analisis ragam

menunjukkan bahwa pengaruh pemberian ZPT

berbeda nyata terhadap pertumbuhan tinggi,

diameter, jumlah daun, berat kering batang dan

daun, berat kering akar dan nisbah pucuk akar

setek pucuk S. cumini. Meskipun demikian

pemberian ZPT tidak berpengaruh nyata

terhadap persentase hidup, pertumbuhan berat

basah dan berat kering total tanaman, berat

kering batang + daun, berat basah akar dan

indeks mutu bibit setek pucuk S. cumini

sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Untuk

mengetahui beda rata-rata antar perlakuan

dilakukan uji beda nyata terkecil Duncan.

Berdasarkan hasil Uji Lanjut Duncan

menunjukkan bahwa pemberian ZPT 4g. 10

ml-1 menghasilkan hasil tertinggi pada

parameter tinggi, jumlah daun, berat kering

batang dan daun dan nisbah pucuk akar setek

pucuk S. cumini. Sedangkan parameter

pertumbuhan akar (berat kering akar) tertinggi

dihasilkan dengan pemberian ZPT 10g. 10 ml-1

sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Page 21: p-ISSN 2354-8568

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP

PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)

Aris Sudomo dan Maman Turjaman

99

Tabel(Table) 1. Hasil analisis ragam pengaruh pemberian ZPT terhadap persentase hidup,

pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah daun, berat basah total tanaman, berat basah

batang dan daun, berat basah akar, berat kering total tanaman, berat kering batang

+ daun, berat kering akar, nisbah pucuk akar dan indek mutu bibit setek pucuk S.

cumini umur 6 bulan. (The result of varians analysis the effect of growth regulator

substance on survival, growth of height, diameter, number of leaves, total wet

weight of cutting, wet weight of stem and leaves, wet weight of root, total dry

weight of cutting, dry weight of stem and leaves, dry weight of root, top-root ratio

and seedling quality indexs of S. cumini cutiing at 6 months old)

Parameter F Hit (F Cal) Signifikasi (Signification)

Persentase Hidup(Survival )(%) 2,012 0,169 Ns

Tinggi (Height) 3,437 0,009 *

Diameter 15.797 0,000 *

Jumlah daun (Number of leaves) 2,521 0,041 *

Berat basah total tanaman (Total Wet weight of cutting) 1,848 0,123 Ns

Berat basah batang+daun (Wet weight stem and leaves) 1,135 0,343 Ns

Berat basah akar (Wet weight of root) 2,447 0,49 Ns

Berat kering total tanaman (Total dry weight of cutting ) 2,406 0,053 Ns

Berat kering batang+daun (Dry weight of stem and leaves) 3,056 0,019 *

Berat kering akar (Dry weight of root) 3,149 0,016 *

Nisbah pucuk akar (Top-root ratio) 7,674 0,000 *

Indeks Mutu Bibit (The quality indexs of seedling) 1,634 0,169 Ns

Keterangan (Remark) : * = berbeda nyata pada taraf uji 95% dan ns = tidak berbeda nyata pada taraf uji 95%

((Significant in 95% level and insignificant in 95% level)

Tabel (Table)2. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian ZPT terhadap persentase hidup, tinggi,

diameter, jumlah daun, berat kering batang + daun, berat kering akar dan nisbah

pucuk akar setek pucuk S. cumini umur 6 bulan (Duncan test of the effect of

growth regulator substance doses on survival and growth of S. cumini cutting at 6

months old) Perlakuan/ Sumber variasi

(Treatment / Variation source)

Persentase hidup

(Survival) (%)

Persentase hidup

(Survival) (Arsin (√x)

Tinggi (Heigth)

(cm)

Diameter (mm)

Jumlah daun

(Number of leaves)

Berat kering akar (Dry

weigth of root) (gram)

Berat kering

batang + daun (Dry weight of stem and leaves) (gram)

Nisbah pucuk akar (Top-Root

Ratio)

Kontrol ( ZPT 0g. 10 ml-1) 67,33 55,34 a 24,51 a 3,38 d 22,67 ab 0,46 a 2,34 A 5,95 bc

ZPT dioles (powder) 80,00 63,66 a 26,30 a 2,51 a 21,01 ab 0,50 a 2,13 A 4,78 ab

ZPT 2g.10 ml-1 77,33 62,31 a 25,21 a 2,79 bc 19,48 a 0,51 a 2,69 Ab 5,57 b

ZPT 4g.10 ml-1 77,33 62,31 a 29,84 ab 3,01 c 23,72 b 0,54 a 3,36 B 6,55 c

ZPT 10g.10 ml-1 56,67 48,87 a 26,02 a 2,56 ab 21,62 ab 0,78 a 2,48 A 3,81 a

Keterangan (Remarks): Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama dalam suatu kolom menunjukkan tidak berbeda

nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Value followed by same letter on column indicated not different at level 95% on Duncan Test)

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan

bahwa pemberian ZPT secara dioles/bubuk

menghasilkan persentase hidup tertinggi

sebesar 80 persen (peningkatan 13,33 persen

dibandingkan dengan kontrol). Rincian

persentase hidup setek pucuk mulai dari yang

tertinggi adalah ZPT dioles (80 persen), ZPT

Page 22: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

100

4g.10ml-1 (77,33 persen), ZPT 2g.10ml-1

(77,33 persen), kontrol (67,33 persen) dan

ZPT 10g.10ml-1 (56,67 persen). Hal ini

disebabkan oleh pengaruh pemberian ZPT

mengandung hormon auksin (IBA+NAA)

yang mampu merangsang pertumbuhan akar

(Gustini, 2013). Pemberian auksin pada awal

penanaman dapat merangsang pertumbuhan

sel ujung mata tunas, pertumbuhan akar lateral

dan akar serabut serta merangsang

pembentukan tunas dan daun dengan cepat.

Selanjutnya diperkuat hasil penelitian (Siregar

et al., 2005) yang menyatakan bahwa

kandungan NAA+IBA dalam hormon auksin

mempunyai pengaruh paling besar terhadap

pertumbuhan akar green rose (Rosa x odorata

“viridiflora”). Auksin sebagai salah satu zat

pengatur tumbuh bagi tanaman mempunyai

pengaruh terhadap pengembangan sel,

fototropisme, geotropisme, apikal dominansi,

pertumbuhan akar partenokarpi, absission,

pembentukan kalus dan respirasi (Abidin,

1994). Kandungan IBA (Indolebutyric acid),

NAA (Naphthaleneacetic acid) dan 2,4-D

(Dichloro Phenoxy Acetic Acid) dapat

mempercepat dan memperbanyak keluarnya

akar karena mengandung bahan aktif dari

formulasi beberapa hormon tumbuh akar

(Rismunandar, 2007).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

persentase hidup setek pucuk S. cumini dengan

pemberian ZPT dioles relatif lebih tinggi

dibanding lainnya dan sejalan dengan

beberapa hasil penelitian lainnya. Penelitian

Yuliandawati (2016) menyatakan bahwa

pemberian ZPT auksin mengandung

NAA+IBA meningkatkan persentase tumbuh

setek lebih baik dibandingkan tanpa ZPT pada

tanaman lada (Piper ningrum L). Selanjutnya

setek pucuk manglid (Magnolia champaca)

dan Acacia crassicarpa dengan ZPT auksin

(campuran NAA dan IBA) dengan cara dioles

menghasilkan persentase hidup terbesar

dibandingkan dilarutkan dan tanpa ZPT

(Sudomo et al., 2013).

Data setek pucuk S. cumini menunjukkan

bahwa pemberian ZPT dioles menghasilkan

persentase hidup terbesar tetapi tidak berbeda

nyata dengan perlakuan lainnya (termasuk

dengan ZPT dari 4g.10ml-1). Peningkatan

konsentrasi ZPT dari 4g.10 ml-1 menjadi

10g.10ml-1air menyebabkan penurunan

persentase hidup. Konsentrasi ZPT sehingga

melebihi dosis optimal akan menghambat

pertumbuhan setek. Sejalan penelitian

Setyowati et al., (1998) menyatakan bahwa

pada setek batang Macaranga triloba Muell.

Arg dengan ZPT auksin dengan kandungan

IBA dan NAA pada dosis lebih rendah 25 mg

per setek menghasilkan persentase hidup lebih

besar dibandingkan dosis 50 mg per setek dan

75 mg per setek. Kandungan auksin pada

konsentrasi yang tepat sangat berperan dalam

deferensiasi sel, namun pada konsentrasi di

Page 23: p-ISSN 2354-8568

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP

PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)

Aris Sudomo dan Maman Turjaman

101

atas optimum dapat bersifat racun yang dapat

menurunkan hasil yang diinginkan (Surata,

2008).

Meskipun aplikasi ZPT 10g.10ml-1

menghasilkan berat kering akar tertinggi tetapi

persentase hidup, diameter, jumlah daun, berat

kering batang dan daun dan top root ratio

lebih rendah dibandingkan ZPT 4g.10ml-1. Hal

ini sejalan dengan penelitian Northmore et al.

(2015) meskipun penambahan 5.0 mg.l-1 α-

Naphthalene Acetic Acid (NAA) pada media

setek pucuk Bienertia sinuspersici

menghasilkan jumlah akar adventif lebih

banyak tetapi persentase hidup yang lebih

kecil dibandingkan penambahan 1.0 mg.l-1

Indole-3-Butyric Acid (IBA). Secara umum,

konsentrasi auxins yang tinggi diperlukan

untuk inisiasi akar, namun mungkin juga

menghambat perkembangannya (De Klerk,

Krieken & Jong, 1999).

Secara keseluruhan perlakuan ZPT

menghasilkan persentase hidup yang cukup

tinggi (>56 persen). Bahkan penggunaan ZPT

dioles dalam pembibitan setek pucuk

menghasilkan persentase hidup terbesar

mencapai 80 persen tidak berbedanyata

dengan ZPT 4g.10 ml-1 (77,33 persen). Bahan

setek S. cumini merupakan pangkasan berupa

tunas juvenile. Tunas juvenil akan lebih

mudah berakar dibandingkan dengan pada

tahap dewasa (mature) (Amri et al., 2009). Hal

ini juga sesuai dengan penelitian Danu et al.

(2011) yang menyebutkan bahwa bahan setek

pucuk nyamplung (Calophyllum inophyllum L)

yang berasal dari anakan (seedling)

menghasilkan persen hidup terbaik dan

berbeda nyata dibandingkan berasal dari

pohon muda dan pohon dewasa. Diperkuat

Surata (2008) pemberian zat pengatur tumbuh

yang diberikan pada tanaman ditujukan untuk

merangsang keluar akar, jika diberikan pada

tanaman yang terlalu tua hanya akan

merangsang pembelahan sel yaitu yang

ditandai oleh munculnya kalus pada luka bekas

potongan. Pada kasus stump Santalum album

L, kemungkinan lain dengan makin tuanya

bahan stump akan terjadi proses pengayuan

dan penebalan batang (Surata, 2008). Terlebih

lagi ketinggian pangkasan untuk bahan setek

kurang dari 60 cm dari permukaan tanah. Hal

ini positif bagi kemampuan berakar dari setek

pucuk yang ditanam sehingga persentase

keberhasilannnya relatif tinggi. Sebab menurut

(Pramono, 2008) jika bahan setek yang

diambil dari indukan /kebun pangkas lebih dari

90 cm dari permukaan tanah maka

kecenderungan persen hidup dan panjang akar

akan menurun. Secara keseluruhan

penggunaan bahan setek juvenil, kondisi

lingkungan yang baik dan pemberian hormon

IBA membuat kapasitas perakarannya tinggi

(Majada, Celia Martinez-Alonso, Feito,

Kidelman, Aranda & Alia, 2011).

Penggunaan ZPT 4g.10ml-1 tidak hanya

menghasilkan persentase hidup yang relatif

tinggi tetapi juga menghasilkan tinggi, jumlah

Page 24: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

102

daun, berat kering batang dan daun dan top

root ratio tertinggi dibanding dengan

konsentrasi lainnya. Hasilnya adalah

pertumbuhan tinggi setek tertinggi yaitu 29,84

cm (peningkatan sebesar 21,74 persen

dibandingkan dengan kontrol), jumlah daun

terbanyak sebesar 23,72 buah (peningkatan

4,63 persen dibandingkan dengan kontrol),

berat kering batang dan daun terberat sebesar

3,36 gram (peningkatan 43,59 persen

dibandingkan dengan kontrol) dan top ratio

tertinggi sebesar 6,55 (peningkatan 10,08

persen dibandingkan dengan kontrol). Hal ini

sejalan dengan penelitian Handriyano (2007)

yang menyatakan bahwa pemberian ZPT

sejenis dengan konsentrasi 10 mg per bibit

secara oles atau perendaman pada 0,8g l-1

berpengaruh nyata positif terhadap

pertumbuhan setek batang tanaman jarak

pagar. Penggunaan ZPT sejenis juga dapat

mempercepat waktu bertunas okulasi ubi kayu

(Lubis et al., 2017). Pemberian ZPT sejenis

berpengaruh positif terhadap pertumbuhan

panjang tunas, diameter tunas, jumlah daun,

luas daun dan bobot akar lateral pada stum

karet (Hevea Brasilliensis) (Mulyani et al.,

2016). Menurut Shiddiqi et al. (2012) setek

Hevea brasilensis yang diberi ZPT sejenis

lebih baik pertumbuhannya dibandingkan

dengan tanpa pemberian zat pengatur tumbuh.

Pemberian auksin NAA tidak hanya

memperbaiki persentase berakar tetapi juga

memperbaiki pertumbuhan dan tingkat

kelangsungan hidup plantlet G. biloba

dibandingkan dengan kontrol/ tanpa auksin

(Pandey, Tamta & Giri, 2011). Peningkatan

konsentrasi ZPT dari 4 g.10 ml-1 menjadi 10

g.10 ml-1 hanya meningkatkan berat kering

akar tetapi tidak meningkatkan pertumbuhan

setek diatas tanah (tinggi setek, jumlah daun,

berat kering batang dan daun). Hal ini

berakibat pada konsentrasi 10 g.10 ml-1

menghasilkan top-root ratio lebih rendah

dibandingkan dengan konsentrasi 4 g. 10 ml-1.

Hal ini sejalan dengan penelitian Salim dan

Na’iem (2001) pertumbuhan panjang akar dan

jumlah akar setek pucuk Tectona grandis L.F

akan semakin besar dengan semakin besarnya

konsentrasi hormon (campuran NAA+IBA).

Meskipun demikian semakin besar konsentrasi

zat pengatur tumbuh yang digunakan akan

menghasilkan persentase bertunas yang makin

rendah (Adinugraha et al., 2007). Diperkuat

dengan hasil penelitian (Hermansyah et al.,

2014) yang menyatakan bahwa konsentrasi

ZPT sejenis dengan konsentrasi 6 g.10 ml-1air

pada sistem pembibitan langsung buah naga

(Hylocereus costaricencis) menghasilkan

pertumbuhan panjang tunas terbaik

dibandingkan 0g.10ml-1 air, 9 g.10ml-1 air dan

12g.10ml-1air. Hormon tumbuh dalam jumlah

tertentu (optimal) akan aktif mengatur reaksi-

reaksi metabolik penting dan salah satunya

untuk memacu pertumbuhan akar. Menurut

Page 25: p-ISSN 2354-8568

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP

PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)

Aris Sudomo dan Maman Turjaman

103

Surata (2008) pemberian ZPT yang

mengandung IBA dan NAA melebihi dosis

optimal akan menghambat pertumbuhan stump

S. Album L sehingga dapat merusak dan

meracuni tanaman. Penggunaan ZPT auksin

pada dosis yang tepat dapat meningkatkan

pertumbuhan setek, sedangkan pada dosis

yang tidak tepat dapat mengakibatkan

pertumbuhan terhambat atau abnormal

(Abidin, 1994).

IV. KESIMPULAN

Teknik perendaman dengan konsentrasi

ZPT 4g.10ml-1air menghasilkan pertumbuhan

tinggi (29,84 cm) jumlah daun (23,72 buah),

berat kering batang dan daun (3,36 gram),

dan top-root ratio (6,55) setek pucuk S. cumini

terbaik dibanding perlakuan lainnya.

Penggunaan ZPT auksin 4g.10ml-1air

menghasilkan persentase jadi setek pucuk S.

cumini ( 77,33 persen) dan tidak berbeda nyata

dengan ZPT dioles (80 persen). Penggunaan

tunas juvenil, media pasir ditambah pupuk

kandang (3:1;v/v), penggunaan ZPT NAA, dan

penyungkupan menentukan keberhasilan setek

pucuk S. cumini. Dalam teknik perbanyakan

setek pucuk S. cumini disarankan

menggunakan ZPT 4 g.10 ml-1air untuk

memperoleh pertumbuhan di atas tanah yang

lebih baik. Perbanyakan vegetatif setek pucuk

S. cumini sebaiknya menggunakan bahan setek

yang berasal dari kebun pangkas hasil

pemuliaan dan teknik juvenilisasi dalam

populasi produksi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah menyutujui kegiatan

penelitian Penerapan Agroforestri Tanaman

Hutan Penghasil Obat Jenis S. cumini periode

2015─2019 di Balai Litbang Agroforestry

Ciamis. Terima kasih kepada SMK Kehutanan

Rimba Bahari di Sumedang yang telah

memfasilitasi tempat dan sarana penelitian,

kepada Edi Nurrohman dan Srita Farida yang

telah membantu penelitian ini. Terima kasih

pada Yonky Indrajaya dan Dila Swestiani yang

telah memberi akses referensi jurnal

internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (1994). Dasar-Dasar Pengetahuan

Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Penerbit

Angkasa. Bandung.

Adinugraha, H. ., Pudjiono, S., & D.Yudistiro.

(2007). Pertumbuhan Setek Pucuk Dari Tunas Hasil Pemangkasan Semai Jenis Euchalyptus

Pellita F. Muell Di Persemaian. Jurnal

Pemuliaan Tanaman Hutan , Juli 2007. Balai Besar Penelitian Bioteknologi Dan Pemuliaan

Tanaman Hutan.

Purwobinangun.Yogyakarta., 1(1–6).

Afify, A. E. M. R., Fayed, S. A., Shalaby, E. A., & El-shemy, H. A. (2011). Syzygium cumini

(pomposia) Active Principles Exhibit Potent

Anticancer and Antioxidant Activities. African Journal of Pharmacy and

Pharmacology, 5, 948–956.

Amri, E., Lyaruu, H. V. M., Nyomora, A. S., & Kanyeka, Z. L. (2009a). Evaluation of

Provenances and Rooting Media for Rooting

Ability of African Blackwood (Dalbergia

melanoxylon Guill. & Perr.) Stem Cuttings. Research Journal of Agriculture and

Biological Sciences, 5(4), 524–532.

Amri, E., Lyaruu, H. V. M., Nyomora, A. S., & Kanyeka, Z. L. (2009b). Vegetative

Propagation of African Blackwood

(Dalbergia melanoxylon Guill. & Perr.):

Page 26: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 93-105

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

104

Effects of Age of Donor Plant, IBA Treatment

and Cutting Position on Rooting Ability of

Stem Cuttings. New Forests International Journal on the Biology, Biotechnology, and

Management of Afforestation and

Reforestation, 39(2), 183–194.

Anonim. (2010). Jamblang.

“http://juli.sttbandung.web.id/id1/2520-

2416/Jamblang_102575_juli-sttbandung.html.”Tanggal Akses 10

Desember 2014.

Ayyanar, & Babu. (2012). Sysygium cumini (L)

Skeels : A Review Of Phytochemical Constituens And Traditional Uses. Asian

Pacific Journal Of Tropical Biomedicine.,

2(3), 240–246.

Azad, S., Alam, J., Mollick, A. S., & Matin, A.

(2016). Responses of IBA on Rooting ,

Biomass Production and Survival of Branch Cuttings of Santalum album L, a Wild

Threatened Tropical Medicinal Tree Species,

3(2), 195–205.

Danu, Subiakto, & Abidin, A. Z. (2011). Pengaruh Umur Pohon Induk Terhadap Perakaran Setek

Nyamplung (Cannophyllum inophyllum (L)).

Jurnal Hutan Tanaman Bogor., 8(1), 41–49.

De Klerk, G. ., Krieken, W. V. ., & Jong, J. (1999).

The Formation of Adventitious Roots: New

Concepts, New Possibilities. In In Vitro

Cellular & Developmental Biology-Plant. 35,

189–199

Gustini D. (2013). Pengaruh Rootone F dan

Pemberian Bayfolan Terhadap Pembentukan Akar Dan Pertumbuhan Salak. Biospecies .,

6(2), 8–13.

Handriyano, A. (2007). Pengaruh Panjang Setek dan Lama Perendaman Dalam Zat Pengatur

Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Setek Jarak

Pagar (Jatrophus curcas L). http. /skripsi.

www. go. id/files/disdik/201/jiptummpp-gal-

S1- Tanggal Akses 12 Maret 2018.

Helmstadter. (2008). Syzygium cumini (L) Skelels

(Myrtaceae) Agains Diabetes. 125 Years Of

Research. Pharmazie, 3(2), 91–101.

Hermansyah, A., Armaini, & Ariani., E. (2014).

Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh Dan Sistem Pembibitan Terhadap

Pertumbuhan Bibit Buah Naga (Hylocereus

Costaricensis). Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Riau.

Husen, A., & Pal, M. (2007). Effect of Branch

Position and Auxin Treatment On Clonal Propagation of Tectona grandis Linn. f. New

Forests International Journal on the Biology,

Biotechnology, and Management of Afforestation and Reforestation, 34(3), 223–

233.

Lubis, S. T., Rahmawati, N., & Irmansyah, T. (2017). Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh dan

Komposisi Media Tanam Terhadap

Pertumbuhan Okulasi Ubi Kayu. Jurnal

Agroekoteknologi FP USU., 5(1), 195–201.

Majada, J., Celia Martínez-Alonso, Feito, I.,

Kidelman, A., Aranda, I., & Alía, R. (2011).

Mini-Cuttings: an Effective Technique for The Propagation of Pinus Pinaster Ait. New

Forests International Journal on the Biology,

Biotechnology, and Management of Afforestation and Reforestation, 41(3), 399–

412.

Majeed, M., Khan., M. A., & Mughal, A. H.

(2009). Vegetative Propagation of Aesculus indica Through Stem Cuttings Treated With

Plant Growth Regulators. Journal of Forestry

Research, 20(2), 171–180.

Mulyani, C., Yukri, & Fachriza, D. (2016).

Pengaruh Jenis Zat Pengatur Tumbuh Dan

Pupuk Hayati Terhadap Pertumbuhan Bibit

Karet Stum Mata Tidur (Hevea Brasilliensis Muell, Arg). Jurnal Penelitian

AGROSAMUDRA, 4(2), 19–27.

Namasivaan, R., Ramachandran, B., & Decharaman, M. (2008). Effect of Aqueous

Extract of Syzygium cumini Pulp on

Antioxidant Defense System in Streptozotocin Induced Diabetic Rats. Internasional Journal

Of Post Harvest Techonolgy, 7(2), 137–145.

Nor Aini, A., Veronica, S., & Ismail, P. (2010).

Effect of Cutting Positions and Growth Regulators on Rooting Ability of Gonystylus

bancanus. Journal of Plant Science, 4(1),

290–295.

Northmore, J. A., Leung, M., & Xung, S. D.

(2015). Effects of Media Composition and

Auxins on Adventitious Rooting of Bienertia sinuspersici Cuttings. Advances in Bioscience

and Biotechnology, 6(10), 10.

Nurlaeni, Y., & Surya, M. I. (2015). Respon Setek

Page 27: p-ISSN 2354-8568

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP

PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)

Aris Sudomo dan Maman Turjaman

105

Pucuk Camelia japonica Terhadap Pemberian

Zat Pengatur Tumbuh Organik. In

http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/M/M0105/

M010543.pdf. 1, 1211–1215).

Nuryana, A., Armaini, & Ardian. (2012). Kajian

Komposisi Media Dan Panjang Setek Terhadap Pertumbuhan Bibit Tanamna Buah

Naga (Hylocereus costaricensis). Buletin

Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas

Riau .Riau, 108, 12–20.

Pandey, A., Tamta, S., & Giri, D. (2011). Role Of

Auxin On Adventitious Root Formation And

Subsequent Growth Of Cutting Raised Plantlets Of Ginkgo biloba L. International

Journal Of Biodivesity And Conservation,

3(4), 142–146.

Pinho, D. B., Pereira, O. L., & Soares, D. J. (2014).

First Report Of Gilbertella Persicaria As The

Cause Of Soft Rot Of Fruit Of Syzygium

cumini. Australasian Plant Disease Notes,

9(1), 143.

Pramono A.A. (2008). Pengaruh Tinggi Pangkasan

Pohon Induk Dan Diameter Pucuk Terhadap Perakaran Setek Benuang Bini. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman. Pusat Litbang

Hutan, 5(1), 29–36.

Prince. P, & Venon. M. (2008). Efecct Of

Syzygium cumini In Plasma Antioxidant On

Alloxant Induced Diabetes in Rats. Journal Of

Clinical Biochemistry And Nutrition, 25, 81–

86.

Rani, S., & Rana, J. S. (2010). In Vitro

Propagation Of Tylophora Indica-Influence Of Explanting Season , Growth Regulator

Synergy , Culture Passage And Planting

Substrate. Journal of American Science,

6(12), 385–392.

Rismunandar. (2007). Budidaya Lada dan Tata

Niaga. Penebar Swadaya. Jakarta, 53–57.

Ristawati, V. (2008). Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh (Rootone-F) Terhadap Pertumbuhan

Akar Jati (Tectona Grandis) Dalam

Perbanyakan Secara Setek Pucuk. SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Mencapai Derajad Sarjana-1 Pendidikan

Biologi Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Salim, M. A., & Na’iem, M. (2001). Rhizogenesis

Adventif Setek Pucuk Jati (Tectona grandis

L.f.). Agrosains. Fakultas Kehutanan UGM,

14(1), 11–20.

Sastrosupadi A. (2000). Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Penerbit Kanisius,

Yogyakarta.

Setyowati, N., Indarto, & Sumiarsri, N. (1998). Respon Pertumbuhan Tiga Macam Setek

(Macaranga Triloba Muell. Arg) Pada

Pemakaian Dosis Rooton-F Yang Berbeda.

Buletin Kehutanan. 37, 20–29.

Shiddiqi, U. A., Murniati, & Saputra, S. I. (2012).

Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh

Terhadap Pertumbuhan Bibit Stum Mata Tidur Tanaman Karet (Hevea Brasilliensis).

Jurnal. Fakultas Pertanian Universitas Riau,

1(1), 1–11.

Siregar, H.-M., Suendra, I. P., & Siregar, M.

(2005). Rosa x odorata “viridiflora” (Green

rose) in Bali Botanical Garden: Biological

Phenology and Its Propagation. Biodiversitas, Journal of Biological Diversity, 6(3), 181–

184.

Sudomo, A., Rohandi, A. and, & Mindawati, N. (2013). Penggunaan Zat Pengatur Rootone-F

Tumbuh Pada Setek Pucuk Manglid B I

(Manglietia Glauca), Jurnal Hutan Tanaman

Bogor. 10(2), 57–63.

Surata, K. (2008). Penggunaan Zat Pengatur

Tumbuh Rootone-F Pada Stump Cendana

Santalum album Linn). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. September 2008., 5

(Suplemen 1), 11–20.

Swami, S. B., Thakor, N. S. J., Patil, M. M., & Haldankar, P. M. (2012). Jamun (Syzygium

cumini) : A Review of Its Food and Medicinal

Uses. Food and Nutrition Sciences, 3(8),

1100–1117.

Watijo. (2007). Uji Beberapa Jenis Zat Pengatur

Tumbuh pada Setek Lada (Piper nigrum L.)

Asal Sulur Panjat dan Sulur Gantung. Skripsi

STIPER Dharma Wacana Metro Lampung.

Yuliandawati. (2016). Pengaruh Perlakuan

Berbagai Jenis Zat Pengatur Tumbuh Dan Jumlah Ruas Terhadap Pertumbuhan Bibit

Lada (Piper Nigrum L.). Skripsi (Tidak

Dipublikasikan). Jurusan Agroteknologi

Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Dharma

Wacana Metro Metro-Lampung.

Page 28: p-ISSN 2354-8568

PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)

Yetti Heryati dan Retno Agustarini

© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.93-105 107

PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)

(The Use of Some Growing Media and Shading Level to Increase the Growth of Litsea cubeba's Seedling)

Yetti Heryati dan/and Retno Agustarini Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Litbang dan Inovasi, KLHK

Jl. Gunung Batu No. 5, Po. Box. 165, Kode Pos 16610, Telp. 0251- 8633234, 520067, Fax. 0251 - 8638111, Bogor, Indonesia

e-mail: [email protected] Naskah masuk: 20 Oktober 2017; Naskah direvisi: 25 Juli 2018; Naskah diterima: 12 Desember 2018

ABSTRACT Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) is one of the potential economic producing essential oils, because all body part of kilemo’s trees can produce essential oil. The development of kilemo is constrained by the lack of information on cultivation technology. Research on kilemo nursery has been carried out, however the information was not completely provided especially those related to shading and media. Therefore the purpose of the study is to get information on the response of kilemo seedlings on the use of shade and media in the nursery. The study was conducted in a Greenhouse of Forest Tree Seed Technology Research & Development Center (FTSTRDC) Bogor. The experiment used Completely Randomized Design with Factorial Pattern, consisted of 2 factors and 10 replications. The first factor is media consisting of 5 types of media: soil; compost charcoal;soil + compost charcoal 3:1 (v/v); soil + paddy husk charcoal 3:1 (v/v); and soil + charcoal compost + paddy husk charcoal 3: 1: 1 (v/v/v). The second factor is shade consisting of 4 shade intensity that is: 0 percent, 25 percent, 50 percent, 75 percent. The results showed that Media of soil + paddy husk charcoal 3:1 (v:v) with shade 25 percent gives the best growth to Litsea cubeba’s seedlings 5 months after weaning on the parameters of height (12.64 cm), number of leaves (5.56), dry weight (0.182), seed quality index (0.021) and TR ratio (1.967). Keywords: growing media, growth, Litsea cubeba, shade, seedling

ABSTRAK

Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) merupakan salah satu penghasil minyak atsiri potensial ekonomi karena semua bagian tanaman dapat menghasilkan minyak atsiri. Pengembangannya terkendala minimnya informasi teknologi budidayanya. Penelitian mengenai pembibitan kilemo sudah pernah dilakukan, namun belum memberikan informasi yang lengkap terutama yang berkaitan dengan naungan dan media. Oleh karena itu penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai respon pertumbuhan bibit kilemo terhadap naungan dan media yang digunakan. Penelitian dilakukan selama 6 bulan di rumah kaca Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Bogor. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan pola faktorial, yang terdiri dari 2 faktor dengan 10 kali ulangan. Faktor pertama adalah media yang terdiri dari 5 jenis media yaitu: tanah, arang kompos, campuran tanah+arang kompos 3:1 (v/v), tanah+arang sekam padi 3:1 (v/v) dan tanah+arang kompos:arang sekam padi 3:1:1 (v/v/v). Faktor kedua adalah naungan yang terdiri dari 4 intensitas naungan yaitu: 0 persen, 25 persen, 50 persen, 75 persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit kilemo umur 5 bulan yang ditanam pada media campuran tanah dan arang sekam padi 3:1 (v/v) dengan naungan 25 persen menghasilkan pertumbuhan yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan lain dengan pertumbuhan tinggi bibit (12,64 cm), jumlah daun (5,56), berat kering (0,82), indeks mutu bibit (0,021) dan nisbah pucuk akar (1.967). Kata kunci: kilemo, Litsea cubeba, media tanam, naungan, pertumbuhan

I. PENDAHULUAN

Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) adalah

tanaman penghasil minyak atsiri bernilai

ekonomi tinggi. Minyak atsiri yang dihasilkan

mempunyai nama dagang Maychang oil atau

cubeba oil, dengan produsen utama adalah

Page 29: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

108

China. Pasar minyak atsiri dari keluarga

Lauraceae ini masih menjanjikan, karena

kebutuhan dalam negeri China sendiri masih

tinggi (Rostiwati & Putri, 2012). Tanaman ini

merupakan tanaman endemik Indonesia,

terlihat dari sebarannya di dataran tinggi

Indonesia (diantaranya Gunung Papandayan,

Gunung Patuha, Gunung Tangkuban Perahu,

Gunung Ciremai). Berdasarkan potensi pasar

dan sebarannya tersebut, membuat Indonesia

berpeluang sebagai produsen minyak atsiri

kilemo.

Minyak kilemo dapat diekstrak dari semua

bagian tanaman baik buah, kayu, kulit, akar,

bunga maupun daunnya (Bhuinya, Singh, &

Mukherjee, 2010; Si, Chen, Han, Zhan, Tian,

Cui & Wang, 2012). Namun yang paling

banyak ditemukan pada kulit, daun dan buah

(Rostiwati, Kurniaty, Heryati, & Winarni,

2009). Umumnya digunakan pada industri

farmasi, parfum, aditif makanan dan minuman,

bahan sabun dan bahan pencampuran dalam

vitamin yang larut dalam lemak. Banyak hasil-

hasil penelitian yang menunjukkan bahwa

minyak atsiri kilemo memiliki antimikroba,

antibakteri, antioksidan, aktivitas antiparasit,

toksisitas akut dan genetik, sitotoksisitas serta

menjadi agen pencegahan kanker potensial

(Ho, Jie-ping, Liu, Hung, Tsai, Wang & Su,

2010) dan juga berpotensi sebagai fumigasi

dan repellent alami untuk menghindari gigitan

serangga (Yang, Fang, Xue, Feng, Shan &

Shan 2014). Di Indonesia, kilemo dikenal

dengan nama krangean (Jawa Tengah), kilemo

(Jawa Barat), antarasa (Sumatera) dan

apokayan (Kalimantan) (Heryati, Mindawati,

& Kosasih, 2009; Kurniaty, Syamsuwida,

Putri, & Aminah, 2014) dan dimanfaatkan

sebagai tambahan komposisi dalam industri

jamu (Sylviani & Elvida, 2010).

Kandungan minyak atsiri kilemo adalah

citral, sineol dan sitronellal, yang merupakan

senyawa metabolit sekunder. menyatakan

bahwa buah kilemo mengandung 75 persen

citral sedangkan daun mengandung minyak

essensial citral 1,8 kali lebih banyak dibanding

buahnya (Agrawal, Choudhary, Sharma, &

Dobhal, 2011). Produksi kedua senyawa

metabolit sekunder dipengaruhi berbagai

faktor, antara lain: tempat tumbuh seperti

iklim dan jenis tanah (Si et al., 2012).

Hal ini diperkuat oleh Mariska (2013)

bahwa kandungan metabolit sekunder

ditentukan oleh formulasi/komposisi media,

faktor fisik (suhu, cahaya, kelembapan dll.),

faktor genetik (genotipe sel) dan faktor stres

lingkungan. Lebih lanjut (Suwandhi,

Kusmana, Suryani, & Tiryana, 2014)

menyimpulkan bahwa ada 4 (empat) faktor

habitat yang berpengaruh terhadap rendemen

minyak atsiri kilemo yaitu kelembapan udara,

intensitas cahaya, lereng dan rasio CN,

sedangkan yang berpengaruh terhadap

komposisi senyawa ada 3 faktor yaitu

Page 30: p-ISSN 2354-8568

PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)

Yetti Heryati dan Retno Agustarini

109

kapasitas tukar kation (KTK), porsi liat tanah

dan volume tajuk.

Penelitian kilemo saat ini banyak

mengkaji aspek biofarmaka terutama studi

tentang kandungan senyawa kimia dan

kegunaannya, namun belum banyak penelitian

mengenai aspek budidayanya. Sementara di

sisi lainnya, masyarakat Indonesia cenderung

memanfaatkan kilemo dengan menebang

pohonnya tanpa ada upaya penanaman lagi.

Sehingga potensi alami tanaman kilemo di

alam cenderung menurun (Ali, 2008). Oleh

sebab itu upaya untuk mempelajari teknik

budidaya tanaman kilemo menjadi modal

utama bagi pengembangan kilemo di masa

depan, terutama upaya pembibitan yang

dilakukan diluar habitatnya yaitu di kondisi

lingkungan yang berbeda.

Ketersediaan bibit yang cukup, bermutu

baik dan dalam waktu yang tepat sangat

diperlukan dalam upaya pengembangan suatu

jenis tanaman. Untuk menghasilkan bibit yang

bermutu baik dibutuhkan media tumbuh yang

kaya akan bahan organik dan mempunyai

unsur hara yang diperlukan tanaman. Selama

periode pertumbuhan, media harus dapat

memasok akar tanaman dengan unsur hara

makro dan mikro yang diperlukan serta air dan

udara (Borowski & Nurzynski, 2012).

Umumnya media tumbuh yang digunakan

untuk pembibitan di persemaian adalah media

top soil, namun pengambilan top soil dalam

skala besar dapat berdampak negatif bagi

ekosistem di sekitarnya. Oleh sebab itu, untuk

mengurangi penggunaan top soil sebagai

media tumbuh, maka diperlukan alternatif

penggunaan media lain untuk pertumbuhan

bibit di persemaian. Selain media tumbuh

merupakan faktor penting untuk keberhasilan

pembibitan, faktor lainnya adalah intensitas

cahaya matahari yang dibutuhkan oleh

tanaman, dan setiap jenis tanaman

membutuhkan intensitas cahaya yang berbeda.

Beberapa jenis tanaman membutuhkan

naungan untuk pertumbuhannya, namun

beberapa jenis tanaman lainya akan terhambat

pertumbuhannya apabila diberi naungan.

Untuk jenis tanaman yang toleran terhadap

naungan, naungan diperlukan untuk

mengurangi transpirasi dan menjaga

kelembapan tanaman selama di persemaian

(Danu & Kurniaty, 2013). Ditambah lagi target

penanaman kilemo untuk menghasilkan

kandungan senyawa citral, sineol dan

sitronellal yang tinggi salah satunya

dipengaruhi oleh kedua faktor ini yaitu media

tumbuh dan intensitas cahaya.

Upaya pembibitan kilemo telah dilakukan

dan menghasilkan pertumbuhan yang baik

pada kombinasi perlakuan campuran media

tanah dan kokopit (v/v, 1:1) naungan 75 persen

(Kurniaty et al., 2014). Namun tidak ada

informasi pada umur berapa pada kondisi

tersebut bibit siap ditanam. Oleh karena itu

penelitian ini dilakukan sebagai lanjutan

penelitian tersebut. Penelitian ini bertujuan

Page 31: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

110

untuk memperoleh informasi mengenai respon

pertumbuhan bibit kilemo terhadap naungan

dan media yang digunakan, sehingga diperoleh

kondisi yang paling sesuai bagi pertumbuhan

bibit kilemo di persemaian.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan

mulai Februari―Juli 2016. Penelitian

dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian

dan Pengembangan Teknologi Perbenihan

Tanaman Hutan, Bogor.Bahan-bahan yang

digunakan adalah buah kilemo yang berasal

dari Ciwidey, Bandung, (Jawa Barat): tanah,

pasir, arang kompos, arang sekam padi. Alat

yang digunakan berupa bak kecambah,

polybag, rak persemaian, shading net, alat

ukur bibit, oven, dan timbangan analitik.

B. Prosedur Penelitian

1. Perkecambahan benih dan penyapihan

bibit

Kegiatan penelitian meliputi

perkecambahan, penyapihan bibit pada

beberapa jenis media dan menempatkan bibit

pada beberapa tingkat naungan. Kegiatan

perkecambahan dimulai dengan skarifikasi

yaitu merendam benih kilemo dalam air kelapa

selama 30 menit kemudian ditiriskan. Benih

kemudian ditabur pada bak kecambah yang

berisi media yang sudah disterilkan (campuran

tanah dan pasir 1:1, v/v). Setiap bak kecambah

berisi 100 benih. Ketika benih sudah

berkecambah dan sudah mengeluarkan

sepasang daun, benih disapih pada polybag

yang berisi beberapa macam media dan

ditempatkan pada naungan dengan intensitas

cahaya yang berbeda. Kegiatan

perkecambahan ini berlangsung sekitar 1

bulan.

2. Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan pada

penelitian ini adalah Acak Lengkap dengan

pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor, yaitu:

1) Media dan 2) Naungan. Faktor pertama

terdiri dari 5 jenis yaitu M0 = tanah (sebagai

kontrol), M1 = arang kompos, M2 = campuran

tanah ditambah arang kompos 3:1 (v/v), M3 =

campuran tanah ditambah arang sekam padi

3:1 (v/v), M4 = campuran tanah ditambah

arang kompos ditambah arang sekam padi

3:1:1 (v/v/v). Faktor kedua dengan 4 tingkat

naungan dengan menggunakan paranet

(shading net) yang berbeda kerapatannya

berdasarkan persen kerapatan (25, 50 dan 75

persen). Faktor kedua ini diukur intensitas

cahayanya menggunakan lux meter, yaitu: N0

= 0 persen sebagai kontrol (rata-rata 16.502,5

lux), N1=25 persen (rata-rata 12.379,9 lux),

N2=50 persen (rata-rata 5.968,4l lux), dan

N3=75 persen (2.276,6 lux). Setiap unit

percobaan (kombinasi perlakuan) terdiri dari

10 ulangan dan setiap unit amatan berisi 10

bibit.

Page 32: p-ISSN 2354-8568

PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)

Yetti Heryati dan Retno Agustarini

111

Obyek yang teliti adalah bibit kilemo

umur 5 bulan setelah disapih. Parameter yang

diukur dan parameter yang dihitung adalah

pertumbuhan tinggi dan diameter; persen

hidup; berat kering bibit, jumlah daun, Nisbah

Pucuk Akar (NPA)/Top Root Ratio (TR ratio),

dan indeks mutu bibit (IMB).

Berat kering bibit diukur dengan cara

mengambil semua bagian tanaman (akar dan

tajuk/batang) kemudian membersihkan akar

dari tanah dengan cara merendam akar dalam

wadah yang berisi air agar akar mudah

dibersihkan. Akar dipisahkan dengan

batang/tajuk, kemudian semua bagian tanaman

dioven dengan suhu 85°C sampai mencapai

berat kering konstan (sekitar 4 hari). Total

berat kering bibit dihitung berdasarkan berat

kering seluruh komponen (berat kering

batang/tajuk dan akar), sementara untuk

menghitung Nisbah Pucuk Akar (NPA) atau

Rasio TR yaitu perbandingan berat kering

batang/tajuk (Top dry weight) dan berat kering

akar (Root dry weight) dengan rumus:

Top dry weightTR ratio

Root dry weight ........................(1)

Mutu bibit dilakukan dengan cara

menghitung indeks mutu bibit (IMB) yang

dihitung berdasarkan rumus Dickson

(Krishnan, Kalia, Tewari, & Roy, 2014)

dengan menggunakan formula sebagai

berikut:

Berat kering batang (g) +Berat kering akar (g)Indeks Mutu Bibit

Tinggi (cm) Berat kering batang (g)Diameter (mm) Berat kering akar (g)

…..(2)

C. Analisa Data

Seluruh parameter dihitung secara statistik

dengan analisis varian menggunakan software

SAS 9.4. Jika hasil analisis memperlihatkan

berbeda nyata terhadap pertumbuhan bibit

kilemo umur 5 bulan, maka untuk mengetahui

perlakuan yang menunjukkan perbedaan nyata

dilakukan uji jarak berganda Duncan (DMRT).

Model linier yang digunakan dalam penelitian

adalah sebagai berikut:

i j ij ijkijkY µ M N MN ......................(3)

Keterangan: Yijk = Nilai pengamatan pada perlakuan

faktor media tanam level ke-i, faktor intensitas cahaya level ke-j, pada ulangan ke-k

µ = Nilai tengah umum Mi = Pengaruh faktor media tanam pada

level ke-i Nj = Pengaruh faktor intensitas cahaya

pada level ke-j MNij = Interaksi antara faktor media tanam

dan intensitas cahaya pada faktor media tanam level ke-i, faktor intensitas cahaya level ke-j

Ɛijk = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan media tanam level ke-i dan intensitas cahaya level ke-j pada ulangan ke-k

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil analisis varian memperlihatkan

bahwa perlakuan baik secara tunggal maupun

interaksi memberikan hasil yang berbeda nyata

pada hampir semua parameter yang diuji,

kecuali pada parameter diameter, di mana

perlakuan yang memberikan pengaruh yang

nyata adalah perlakuan naungan (Tabel 1).

Page 33: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

112

Table (Table) 1. Hasil analisis varian pengaruh beberapa jenis media dan tingkat naungan terhadap pertumbuhan dan mutu bibit kilemo umur 5 bulan (The effect of some growing media and shade level on growth and quality of kilemo’s seedling at 5 months old)

Perlakuan (Treatments)

Tinggi (Height)

Diameter (Diameter)

Jumlah daun

(Number of leaf)

Persen hidup (Survival

Percentage)

Berat kering (Dry

weight)

NPA (TR

ratio)

IMB (Seedling

quality index)

Naungan (Shades) <,0001** 0,0821* <,0001** <,0001** <,0001** 0,0035** <,0001**Media (Media) <,0001** 0,4110tn <,0001** <,0001** <,0001** 0,0044** <,0001**Interaksi (Interaction) <,0001** 0,1433 tn <,0001** <,0001** <,0001** 0,0201** <,0001**

Keterangan (remark): * berbeda nyata pada taraf P <0,05; **berbeda sangat nyata pada taraf P<0,001; tn: tidak berbeda nyata (significant different at P<0,05; highly sgnificant different at P<0.001; not significant different); NPA= Nisbah Pucuk Akar; TR = Top Root.; IMB = Indeks Mutu Bibit

Dari Tabel 1 terlihat bahwa secara tunggal

naungan memberikan pengaruh yang sangat

nyata (P < 0,001) terhadap parameter tinggi

dan jumlah daun, persen hidup, berat kering,

NPA dan IMB, serta memberikan nilai P <

0,05 pada parameter diameter. Demikian juga

secara tunggal media memberikan pengaruh

yang sangat nyata (P < 0,001) terhadap

parameter tinggi, jumlah daun, persen hidup

dan berat kering bibit kilemo, nisbah pucuk

akar (NPA) dan indeks mutu bibit (IMB),

namun tidak berbeda nyata pada parameter

diameter bibit. Sedangkan berdasarkan hasil

analisis terlihat adanya interaksi yang sangat

nyata (P < 0,001) antara perlakuan media dan

naungan terhadap parameter tinggi, jumlah

daun, persen hidup, berat kering, NPA dan

IMB, sedangkan terhadap diemeter tidak

terjadi interaksi yang signifikan. Terjadinya

interaksi kedua faktor tersebut terhadap

parameter tinggi bibit, jumlah daun dan

persen hidup, dapat dilihat pada Gambar 1

berikut ini. Dari Gambar 1 terlihat adanya

interaksi kombinasi perlakuan naungan dan

media terhadap parameter pertmbuhan tinggi,

jumlah daun dan persen hidup bibit kilemo

umur 5 bulan. Untuk melihat kombinasi

perlakuan mana yang memberikan hasil yang

terbaik pada parameter tinggi dan jumlah daun

bibit kilemo, maka telah dilakukan uji beda

Duncan yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Data yang disajikan pada Gambar 1 dan

Tabel 1 memperlihatkan bahwa bibit kilemo

yang mendapat kombinasi perlakuan media

campuran tanah ditambah arang sekam padi

3:1 (v/v) (M3) dan naungan 25 persen (N1)

menghasilkan pertumbuhan tinggi (12,64 cm)

dan jumlah daun (5,60 helai) paling tinggi dan

berbeda nyata dibandingkan dengan kombinasi

perlakuan media dan naungan lainnya.

Kombinasi perlakuan media dan naungan

juga memberikan respon yang nyata terhadap

berat kering, nisbah pucuk akar (NPA), indeks

mutu bibit (IMB) serta persen hidup Hal

tersebut dapat dilihat pada Grafik interaksi

yang disajikan pada Gambar 2.

Page 34: p-ISSN 2354-8568

PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)

Yetti Heryati dan Retno Agustarini

113

Gambar (Figure)1. (a) Grafik interaksi pengaruh kombinasi perlakuan naungan dan media terhadap pertumbuhan tinggi bibit, dan (b) jumlah daun bibit kilemo umur 5 bulan ((a) Interaction graph of the combination treatment effect of shading level and growing media on height, and (b) number of leaf of kilemo’s seedling at 5 months old)

Tabel (Table) 2. Rata-rata pertumbuhan bibit kilemo umur 5 (lima) bulan terhadap media tumbuh

dan tingkat naungan (Meas test of kilemo’s seedling growth on media and shade level at 5 monmths old)

Kombinasi perlakuan

(Treatment combinations) Tinggi (Height)

(cm)

Jumlah daun (Number of leaf)

Naungan (Shades) Media

(Media)

N0 (tanpa naungan) ( no shading net)

M0 4.35 hij 3.17 hi

M1 4.26 hij 3.26 hi

M2 4.31 hij 3.19 hi

M3 5.27 fg 3.97 bcde

M4 4.66 hij 4.02 bcd

N1 (naungan 25%) (Shading net 25%) M0 10.18b 4.35 bc

M1 4.52 ghij 3.57efg

M2 5.89 ef 3.77 defg

M3 12.64 a 5.56 a

M4 4.43 hij 3.80 defg

N2 (naungan 50%) (Shading net 50%) M0 3.70 j 3.90 cdef

M1 3.97 ij 4.24 bc

M2 5.08 gh 3.46 ghi

M3 4.73 ghi 4.15 bcd

M4 4.62 ghi 3.91 cdef

N3 (naungan 75%) (Shading net 75%) M0 6.49 cde 3.55 fgh

M1 7.24c 4.09 bcd

M2 6.87 cd 4.16 bcd M3 6.21 de 4.38 b M4 10,62 b 3,13 i

(a) (b)

Page 35: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

114

(a) (b)

(c) (d)

Gambar (Figure) 2. Grafik interaksi pengaruh kombinasi perlakuan naungan dan media terhadap: (a) biomasa/berat kering, (b) Nisbah Pucuk Akar (NPA), (c) Indeks Mutu Bibit (IMB), dan (d) persen hidup (Interaction graph of the treatment combination effect of growing media and shading level on: (a)biomassa/dry weight, (b)top and root ratio, (c) seedling quality index, and (d) survival percentage)

Dari Gambar 2 terlihat bahwa adanya

interaksi kombinasi perlakuan naungan dan

media terhadap parameter biomassa/berat

kering, nisbah pucuk akar (NPA) dan indeks

mutu bibit (IMB). Untuk mengetahui

kombinasi perlakuan mana yang memberikan

hasil terbaik pada parameter berat kering, NPA

dan IMB, maka dilakukan uji beda Duncan

pada ketiga parameter tersebut dan disajikan

pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis

terlihat bahwa bibit kilemo yang ditanam pada

media campuran tanah+arang sekam padi 3:1

(v/v) (M3) dan ditempatkan pada naungan 25

persen (N1) menghasilkan berat kering (0,182

gr) dan IMB (0,021) lebih tinggi dan berbeda

nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Page 36: p-ISSN 2354-8568

PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)

Yetti Heryati dan Retno Agustarini

115

Nilai IMB tersebut tidak berbeda nyata dan

menghasilkan nilai yang sama dengan yang

ditanam pada kombinasi perlakuan media

campuran tanah+arang kompos+arang sekam

padi 3:1:1 (v/v/v)(M4) yang ditempatkan pada

naungan 75 persen (N3) (0,021) (lihat Tabel

3). Sementara itu bibit kilemo yang ditanam

pada media campuran tanah+arang kompos

3:1 (v/v) (M2) dan ditempatkan pada tempat

tanpa naungan (N0) menghasilkan nilai NPA

6,46 (lihat Tabel 3 dan Gambar 6), paling

tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan

perlakuan lain, namun menghasilkan IMB

sangat rendah (0,001) (lihat Tabel 3).

Tabel (Table)3. Rata – rata Pengaruh kombinasi perlakuan media dan naungan terhadap Berat

Kering, Nisbah Pucuk Akar (NPA), Indeks Mutu Bibit (IMB) dan Persen Hidup kilemo umur 5 (lima) bulan (Means of media and shade level treatment on dry weight, TR ratio, seedling quality index and survival rate of kilemo,s seedling at 5 months old)

Perlakuan

Berat kering (Dry weight)

(gr)

NPA (TR ratio)

IMB (Seedling quality index)

Persen hidup (Survival

percentage) (%)

(Treatment)

Naungan (Shades)

Media (Media)

N0 (tanpa naungan) M0 0.014 e 4.030 ab 0.001 b 96 b

(no shading net) M1 0.027 cde 2.904 ab 0.002 b 92 e

M2 0.024 de 6.46 2a 0.001 b 88e

M3 0.043 cde 1.640 b 0.004 b 99 a

M4 0.053 cde 2.433 b 0.002 b 99 a

N1 (naungan 25%) M0 0.051 cde 1.608 b 0.004 b 82 g

(shading net 25%) M1 0.023 de 1.327 b 0.003 b 49 j M2 0.045 cde 2.171 b 0.005 b 76 i M3 0.182 a 1.967 b 0.021 a 93 cde M4 0.052 cde 2.093 b 0.005 b 94 bcde

N2 (naungan 50%) M0 0.033 cde 2.203 b 0.004 b 78 h

(shading net 50%) M1 0.052 cde 2.963 ab 0.005 b 95bcd

M2 0.064 cd 2.891 ab 0.006 b 77 hi

M3 0.047 cde 2.905 ab 0.005 b 93 de

M4 0.034 cde 1.612 b 0.004 b 95 bcd

N3 (naungan 75%) M0 0.034 cde 2.516 b 0.003 b 96 bc

(shading net 75%) M1 0.044 cde 4.290 ab 0.001 b 100 a

M2 0.073 c 3.431 ab 0.005 b 100 a

M3 0.052 cde 2.384 b 0.004 b 99 a M4 0.134 b 1.431 b 0.021 a 99a

Keterangan (Remark): angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Means followed by the same letter in the same column are not significantly different at 5%) Media: M0=tanah (soil), M1= arang kompos (compost charcoal), M2 = campuran tanah+arang kompos (soil+compost charcoal) 3:1 (v/v), M3=campuran tanah+arang sekam padi (soil+paddy husk charcoal) 3:1 (v/v), M4=campuran tanah+arang kompos+arang sekam padi (soil+compost charcoal+paddy husk charcoal) 3:1:1 (v/v/v), NPA=Nisbah Pucuk Akar/Top Root ratio, IMB=Indeks Nilai Penting.

Page 37: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

116

Persentase hidup bibit kilemo yang paling

tinggi adalah bibit yang ditempatkan pada

kombinasi perlakuan naungan 75 persen (N3)

dan 4 macam media perlakuan yaitu media M1

(100 persen), M2 (100 persen), M3 (100

persen) dan M4 (99 persen), namun tidak

berbeda nyata dengan bibit yang ditempatkan

pada kombinasi perlakuan tanpa naungan (N0)

dengan media M3 (99 persen) dan M4 (99

persen).

B. Pembahasan

Keberhasilan pembibitan tanaman hutan

dipengaruhi berbagai faktor lingkungan

diantaranya adalah media tumbuh,

ketersediaan unsur hara dan intensitas cahaya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kombinasi perlakuan jenis media dan tingkat

naungan memberikan respon yang berbeda

terhadap pertumbuhan bibit kilemo umur 5

bulan di persemaian (Tabel 2, Tabel 3).

Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa

kombinasi perlakuan media dan naungan

memperlihatkan adanya interaksi terhadap

hampir semua karakter dan parameter yang

diukur. Hasil uji DMRT terlihat bahwa bibit

kilemo yang ditanam pada media campuran

tanah ditambah arang sekam padi 3:1 (v/v)

(M3) dan ditempatkan pada naungan 25 persen

(N1) menghasilkan pertumbuhan yang lebih

baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Penempatan bibit kilemo pada naungan ringan

(25 persen) dan didukung dengan pemberian

media campuran media tanah ditambah arang

sekam padi 3:1 (v/v (M3) merupakan

kombinasi yang ideal bagi pertumbuhan bibit

kilemo di persemaian. Media campuran tanah

ditambah arang sekam padi 3:1 mampu

menyediakan nutrisi yang cukup dan

komposisi tekstur yang sesuai bagi

pertumbuhan bibit kilemo. Penambahan arang

sekam pada media tumbuh dapat memperbaiki

sifat fisik dan kimia tanah serta melindungi

media dari pathogen atau organisme-

organisme yang dapat menghambat

pertumbuhan bibit (Gustia, 2013). Hasil

analisis media (Lampiran 1) menunjukkan

bahwa tanah yang dicampur dengan arang

sekam padi 3:1 (M3) menghasilkan pH agak

masam (5,9), nilai pH tersebut mendukung

pertumbuhan akar kilemo, karena umumnya

pertumbuhan akar menyukai tanah sedikit

masam (Ördög, 2011). Selain itu, kombinasi

media tersebut menghasilkan bahan organik

yang tinggi (C: 5,11 persen), N termasuk

tinggi (0,73 persen) serta C/N rasio yang

rendah (7). Nitrogen dibutuhkan tanaman

dalam jumlah yang besar karena nitrogen

berfungsi sebagai penyusun banyak komponen

sel tumbuhan, termasuk asam amino, protein

dan asam nukleat (Ördög, 2011). Rasio C/N

yang rendah menunjukkan bahwa kandungan

bahan organik yang tersedia dalam media M3

sudah terurai dan siap diserap oleh tanaman

secara optimal. Ketersediaan unsur P (posfor)

Page 38: p-ISSN 2354-8568

PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)

Yetti Heryati dan Retno Agustarini

117

pada semua media tergolong tinggi, namun

pada media M3 ketersediaan unsur P paling

tinggi (209 mg). Kandungan unsur Ca, Mg, K,

dan Na pada media M3 tergolong paling tinggi

dibandingkan yang terdapat pada media lain.

Selain itu media M3 juga memiliki nilai KTK

yang tinggi (53,73). Penambahan arang sekam

pada media tanam terbukti dapat

meningkatkan pertumbuhan pada tanaman

hutan seperti pada bibit jabon (Anthocephalus

cadamba) (Supriyanto & Fiona, 2010) dan

gerunggang (Cratoxylom arborescens) ( Danu

& Kurniaty, 2013) maupun tanaman pertanian

seperti tomat (Onggo, Kusumiyati, &

Nurfitriana, 2017) dan tanaman sawi (Gustia,

2013).

Pertumbuhan tanaman juga erat kaitannya

dengan kebutuhan cahaya. Pemberian naungan

pada bibit tanaman adalah upaya untuk

memanipulasi lingkungan di sekitar bibit,

karena setiap tanaman membutuhkan cahaya

yang berbeda-beda dalam masa

pertumbuhannya. Dari hasil penelitian terlihat

bahwa bibit kilemo yang ditanam pada

berbagai media rata-rata menghasilkan persen

tumbuh yang baik pada hampir semua kondisi

naungan. Pada habitat alaminya seperti di

Gunung Papandayan, kilemo banyak

ditemukan di areal bekas gangguan yang di

dalamnya banyak semak belukar dan pohon-

pohon pionir dengan intensitas cahaya 300 lux

– 85.600 lux ( Suwandhi, Kusmana, Suryani &

Tiryana, 2014). Namun pada naungan 25

persen dengan rata-rata intensitas cahaya

12.379,9 lux, bibit kilemo yang ditanam pada

media tanah ditambah arang sekam (3:1)

menghasilkan tinggi, jumlah daun, berat

kering dan IMB lebih baik dibandingkan

dengan tanpa naungan (0 persen) dengan

intensitas cahaya 16.502,5 lux, naungan 50

persen (5.968,4 Lux) dan naungan 75 persen

(2.276,6 Lux). Hal ini menunjukkan bahwa

bibit kilemo menghasilkan pertumbuhan yang

lebih baik pada naungan ringan (25 persen).

Perbedaan kebutuhan cahaya pada tanaman

terlihat pada tanaman kelor (Moringa oleifera)

dan cempaka wasian (Magnolia tsiampaca),

kedua jenis tersebut menghasilkan

pertumbuhan terbaik pada naungan sedang (50

persen) (Ahmed, Warrag, & Abdelgadir, 2014;

Irawan & Hidayah, 2017), sedangkan bibit

rosella tumbuh baik pada tempat tanpa

naungan (0 persen) (Setyowati, 2011)

Salah satu faktor penting dalam

menentukan kualitas bibit sebelum ditanam di

lapangan adalah nilai nisbah pucuk akar

(NPA). Mengacu pada SNI 01-5005.1-1999,

NPA yang baik berkisar 2 – 3 (Adman, 2011).

Dalam penelitian ini kombinasi perlakuan

M3N1 memberikan nilai NPA 1.967. Nilai ini

menunjukkan bahwa NPA yang diperoleh

perlakuan ini merupakan nilai yang seimbang

sehingga penggunaan media campuran tanah

ditambah arang sekam padi 3:1 (v:v)

menghasilkan bibit tumbuh dengan normal.

Dengan NPA yang seimbang menyebabkan

Page 39: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

118

proses penyerapan air dan hara oleh akar akan

ditranslokasikan ke pucuk seimbang dengan

luasan fotosintesis yang cukup untuk

melakukan transpirasi, sehingga akan

menghasilkan karbohidrat yang dibutuhkan

untuk pertumbuhan akar (Kurniaty, 2017).

Salah satu indikator siap tidaknya bibit

dipindah ke lapangan adalah nilai indeks mutu

bibit (IMB). Bibit mempunyai nilai indeks

mutu yang baik jika mempunyai nilai lebih

dari 0,09 (Bogidarmanti & Darwo, 2016).

Dalam penelitian ini nilai IMB kilemo umur 5

bulan dalam berbagai kombinasi perlakuan

jenis media dan tingkat naungan belum

mencapai nilai 0,09. Nilai IMB tertinggi

(0,021) diperoleh bibit yang ditanam pada

media campuran tanah ditambah arang sekam

(3:1) dan ditempatkan pada naungan 25 persen

(M3 N1). Nilai IMB tersebut sama dengan

bibit yang mendapat kombinasi perlakuan

media tanah ditambah arang kompos ditambah

arang sekam padi (3:1:1) dan naungan 75

persen (M4N3), namun pada kombinasi

perlakuan tersebut parameter pertumbuhan

bibit yang lain mempunyai nilai lebih rendah

dibandingkan dengan kombinasi perlakuan

N1M3 Dengan demikian kombinasi naungan

ringan (25 persen) dan media campuran tanah

ditambah arang sekam (3:1) merupakan

kombinasi yang ideal bagi pertumbuhan bibit

kilemo di persemaian. Namun demikian hasil

ini menunjukkan bahwa bibit kilemo umur 5

bulan tersebut belum siap dipindah ke

lapangan karena menghasilkan IMB di bawah

0,09.

IV. KESIMPULAN

Media tumbuh dan tingkat naungan pada

persemaian, memberikan pengaruh terhadap

pertumbuhan bibit kilemo di persemaian.

Kombinasi media tanah ditambah arang sekam

padi 3 : 1 (v/v) dengan naungan 25 persen

memberikan pertumbuhan terbaik pada bibit

kilemo umur 5 bulan setelah disapih.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih saya ucapkan kepada Ibu Ir

Rina Kurniaty yang telah memberikan

semangat dalam penyusunan tulisan ini dan

Bapak Ateng Rahmat Hidayat yang membantu

koleksi data di lapangan dan laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Adman, B. (2011). Pertumbuhan tiga kelas mutu bibit meranti merah pada tiga iuphhk di Kalimantan. Jurnal Penelitian Dipterocarpa, 5(2), 47–60.

Agrawal, N., Choudhary, A. S., Sharma, M. C., & Dobhal, M. P. (2011). Chemical Constituents of Plants from the Genus Litsea. CHEMISTRY & BIODIVERSITY, 8, 223–243.

Ahmed, L. T., Warrag, E. I., & Abdelgadir, A. Y. (2014). Effect of Shade on Seed Germination and Early Seedling Growth of Moringa Oleifera Lam . Journal of Forest Product & Industries, 3(1), 20–26.

Ali, C. (2008). Teknik Silvikultur Jenis Lemo dan Peningkatan Produktivitas Jenis Kemenyan (Laporan Hasil Penelitian).

Bhuinya, T., Singh, P., & Mukherjee, S. K. (2010). Litsea Cubeba - Medicinal Values - Brief

Page 40: p-ISSN 2354-8568

PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon)

Yetti Heryati dan Retno Agustarini

119

Summary. J. Trop. Med. Plants., 11(2), 179–183.

Bogidarmanti, R., & Darwo. (2016). Pengaruh variasi media sapih terhadap pertumbuhan dan kualitas bibit cabutan Alnus nepalensis The effect of variation weaning media on growth and quality of Alnus nepalensis seeds weaning. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon, 2, 263–266. https://doi.org/10.13057/psnmbi/m020224

Borowski, E., & Nurzynski, J. (2012). Effect of different of growing substrates on the photosynthesis parameters and fruit yield of greenhouse_ grown tomato. Acta Sci. Pol. Hortorum Cultus, 11(6), 95–105.

Danu, & Kurniaty, R. (2013). Pengaruh media dan naungan terhadap pertumbuhan pembibitan gerunggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan, 1(1), 43–50.

Gustia, H. (2013). Pengaruh penambahan sekam bakar pada media tanam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan, 1(1), 12–17.

Heryati, Y., Mindawati, N., & Kosasih, A. S. (2009). Prospek Pengembangan Lemo (Litsea cubeba L . Persoon ) di Indonesia. Tekno Hutan Tanaman, 2(1), 9–17.

Ho, C., Jie-ping, O., Liu, Y., Hung, C., Tsai, M., Wang, E. I., … Su, Y. (2010). Compositions and in vitro Anticancer activities of the Leaf. Natural Product Communication, 5(0), 1–4.

Irawan, A., & Hidayah, H. . (2017). Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan mutu bibit cempaka wasian (Magnolia tsiampaca (Miq) Dandy) di persemaian. Jurnal Wasian, 4(1), 11–16.

Krishnan, P. R., Kalia, R. K., Tewari, J. C., & M.M. Roy. (2014). Plant Nursery Management : Principles and Practices. Central Arid Zone Research Institute, Jodhpur.

Kurniaty, R. (2017). Penggunaan mikoriza dan Rhizobium dalam pertumbuhan bibit saga ( Adenanthera pavonina ) umur 3 bulan. In Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity Indonesia (Vol. 3, pp. 6–9). https://doi.org/10.13057/psnmbi/m030102

Kurniaty, R., Syamsuwida, D., Putri, K. P., & Aminah, A. (2014). Kilemo (Litsea cubeba L Persoon). Balai Peneliitian Teknologi Tanaman Hutan.

Mariska, Ika. 2013. Metabolit Sekunder: Jalur pembentukan dan kegunaannya.(Online).(http://biogen.litbang.deptan.go.id, diakses 30 Maret 2018)

Onggo, T., Kusumiyati, & Nurfitriana, A. (2017). Pengaruh penambahan arang sekam dan ukuran polybag terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman tomat kultivar ‘ Valouro ’ hasil sambung batang. Jurnal Kultivasi, 16(1), 298–304.

Ördög, V. (2011). Plant physiology. In XML mind XSL-FO Converter (p. 115).

Rostiwati, T., Kurniaty, R., Heryati, Y., & Winarni, I. (2009). Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Kilemo (Litsea cubeba) Sebagai Bahan Baku Minyak Atsiri Potensial. In Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia (pp. 306–303).

Rostiwati, T., & Putri, K. P. (2012). Review Status Litbang Tanaman. In Seminar Nasional POKJANAS TOI XLII (pp. 1–14).

Setyowati, N. (2011). Pengaruh Intensitas Cahaya dan Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Bibit Rosella. J. Agrivigor, 10(April), 218–227.

Si, L., Chen, Y., Han, X., Zhan, Z., Tian, S., Cui, Q., & Wang, Y. (2012). Chemical Composition of Essential Oils of Litsea cubeba Harvested from Its Distribution Areas in China. Journal Molecules, 17, 7057–7066. https://doi.org/10.3390/molecules17067057

Supriyanto, & Fiona, F. (2010). Pemanfaatan Arang Sekam untuk Memperbaiki Pertumbuhan Semai Jabon ( Anthocephalus cadamba ( Roxb .) Miq ) pada Media Subsoil. Jurnal Silvikultur Tropika, 1(1), 24–28.

Suwandhi, I., Kusmana, C., Suryani, A., & Tiryana, T. (2014). Rendemen Dan Komposisi Minyak Atsiri Daun Ki Lemo ( Litsea cubeba ) Dari Gunung Papandayan, Kaitannya Dengan Variasi Tipe Dan Faktor-Faktor Habitat. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 24(3), 200–208.

Page 41: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 107-120 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

120

Sylviani, & Elvida, Y. (2010). Kajian potensi, tata niaga dan kelayakan usaha budi daya tumbuhan Litsea. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 7(1), 73–91.

Yang, K., Fang, C., Xue, C., Feng, Z., Qi, R., Shan, S., & Shan, S. (2014). Bioactivity of

essential oil of Litsea cubeba from China and its main compounds against two stored product insects. Journal of Asia-Pacific Entomology, 17(3), 459–466. https://doi.org/10.1016/j.aspen.2014.03.011

Lampiran (Appendix)1. Hasil analisa fisik dan kimia media tanam (Physico-chemical properties of

growing media)

M0 kriteria M1 kriteria M2 kriteria M3 kriteria M4 kriteria

Tekstur (%)

Pasir 6 - 5 37 33

Debu 62 - 58 49 56

Liat 32 - 37 14 11

pH (H2O) 5,6 5,9 5,1 5,9 5,8

Bahan Organik (%)

C 3,36 tinggi 35,03 Sangat tinggi 4,71 tinggi 5,11 tinggi 4,69 tinggi

N 0,33 sedang 1,93 Sangat tinggi 0,24 sedang 0,73 tinggi 0,34 sedang

C/N 10 rendah 18 tinggi 8 rendah 7 rendah 12 sedang

Ekstrak HCL 25%

(mg per 100 gr)

P2O5 137 Sangat tinggi 41 Sangat tinggi 129 Sangat tinggi 209 Sangat tinggi 136 Sangat tinggi

K2O 19 sedang 182 Sangat tinggi 31 sedang 106 Sangat tinggi 78 Sangat tinggi

Ekstrak Olsen P2O5

ppm21,0 rendah 33,3 sedang 17,3 rendah 122,6 Sangat tinggi 59,0 tinggi

Nilai Tukar Kation

(m,e. per 100 gr contoh kering)

Susunan Kation Tukar

Ca 4,15 sedang 23 Sangat tinggi 6,78 sedang 14,82 tinggi 12,32 tinggi

Mg 1,62 sedang 7,88 tinggi 1,94 sedang 3,21 tinggi 2,53 tinggi

K 0,72 tinggi 4,88 Sangat tinggi 1,09 Sangat tinggi 3,48 Sangat tinggi 2,70 Sangat tinggi

Na 0,41 sedang 3,20 Sangat tinggi 0,50 sedang 1,05 Sangat tinggi 0,71 tinggi

Jumlah 6,90 38,96 10,31 22,54 18,26

KTK 29,37 tinggi 68,22 Sangat tinggi 37,06 tinggi 53,73 Sangat tinggi 43,33 Sangat tinggi

KB% 24 rendah 57 tinggi 30 rendah 42 sedang 42 sedang

Ekstrak KCl 1N

(m,e. per 100 gr contoh kering)

Al 3+ 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

H- 1,80 2,15 3,73 3,63 1,40

Sifat TanahMedia

Keterangan (Remark) : Analisis tanah dilakukan di laboratorium tanah di Biotrop (Soil analysis was done at Biotrop)

Page 42: p-ISSN 2354-8568

PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.

Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius

© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.121-132 121 

PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.

(Oil Palm Seed Coating with Enriched Trichoderma asperellum (T13) to Suppress Infection of

Ganoderma boninense Pat.)

Gani Jawak1, Eny Widajati1, Endah Retno Palupi1 dan/and Nutrita Toruan Mathius2

1) Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih Pascasarjana,Departemen Agronomi dan Hortikultura, Kampus Institut Pertanian Bogor Darmaga, Jl. Meranti, Babakan, Dramaga, Kode Pos 16680, Bogor, Indonesia

2)PT. Smart Biotechnology, Cijayanti, Babakan Madang, Kode Pos 16810, Bogor, Indonesia e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 3 Maret 2018; Naskah direvisi: 30 April 2018; Naskah diterima: 12 Desember 2018

ABSTRACK

The attack Ganoderma boninense can caused stem rot of oil palms that occur at all stage of plant growth. Trichoderma asperellum endophytic can suppressed the attack of Ganoderma in a nursery by utilizing seed coating technology. The aim of this study was to determine the best formula of seed coating materials which is compatible with T. asperellum (T13). The first experiment consisted of two phases, namely, the first phase was testing the effectiveness and compatibility of T. asperellum through a mixing technique of T. asperellum suspension with coating material. The best three result on the first phase (25 percent arabic gum, 1 percent CMC, and 3percent arabic gum + 1 percent gypsum) were used in the second phase of the experiment, which was testing the effectiveness and compatibility of T. asperellum through soaking technique in T. asperellum suspension that continued by coating. The three best result types of formulas from the second phase (1 percent CMC, 1.5 percent CMC, and 4,5 percent arabic gum + 1,5 percent gypsum) were used for the second experiment, namely testing the resistance of oil palm seed on Ganoderma. The results show that 25 percent arabic gum, 1 percent carboxy methyl cellulose (CMC), 1 percent arabic gum + 1 percent gypsum have a potency as coating of materials. The best formula for seed coating is soaking with T. asperellum + coating 1 percent CMC, 1.5 percent CMC and arabic gum 4.5 percent + gypsum 1.5 percent. In addition, soaking seeds with T. asperellum + coating 1.5 percent CMC can enhance the ability of seed to grow up to 16.67 percent compared to the control, but did not effective in suppressing G. boninense infection during pre-nursery stage.

Keywords: Arabic gum, basal stem rot, biocontrol, CMC, gypsum

ABSTRAK

Serangan Ganoderma boninense penyebab penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit dapat terjadi pada semua tahapan pertumbuhan tanaman. Trichoderma asperellum jenis endofit dapat menekan serangan G. boninense mulai dari pembibitan dengan memanfaatkan teknologi seed coating. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh formula pelapis benih kelapa sawit terbaik yang kompatibel dengan T. asperellum (T13). Percobaan pertama terdiri atas dua tahapan yaitu, tahap pertama menguji efektivitas dan kompatibilitas T. asperellum melalui teknik pencampuran suspensi T. asperellum dengan bahan pelapis. Tiga hasil terbaik pada tahap pertama (arabic gum 25 persen, CMC 1 persen, dan arabic gum 3 persen + gipsum 1 persen) digunakan dalam percobaan tahap kedua, yaitu menguji efektivitas dan kompatibilitas T. asperellum melalui teknik perendaman dalam suspensi T. asperellum yang dilanjutkan dengan pelapisan. Tiga jenis formula terbaik dari percobaan pertama tahap kedua (CMC 1 persen, CMC 1.5 persen, dan arabic gum 4,5 persen + gipsum 1,5 persen) digunakan untuk percoban kedua, yaitu menguji ketahanan bibit kelapa sawit terhadap G. boninense. Hasil menunjukkan bahwa Arabic gum 25 persen, carboxy methyl cellulose (CMC) 1 persen, arabic gum 3 persen + gipsum 1 persen berpotensi sebagai bahan pelapis. Perendaman dengan T. asperellum + pelapisan CMC 1 persen, CMC 1,5 persen dan arabic gum 4,5 persen + gipsum 1,5 persen merupakan formula terbaik untuk pelapisan benih kelapa sawit. Perendaman benih dengan T. asperellum + CMC 1,5 persen dapat meningkatkan daya tumbuh benih16,67 persen dibandingkan kontrol, namun tidak efektif menekan infeksi G. boninense selama di pre nurseri.

Kata kunci: Arabic gum, biokontrol, busuk pangkal batang, CMC, gipsum

Page 43: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

122

I. PENDAHULUAN 

Ganoderma boninense Pat. merupakan

patogen penyebab penyakit busuk pangkal

batang (BPB) pada kelapa sawit (Elaeis

guineensis Jacq.). G. boninense merupakan

patogen tular tanah yang bersifat sistemik

(Paterson, 2007). BPB menyebabkan

Indonesia dan Malaysia kehilangan secara

ekonomis sekitar US$ 500 juta per tahun

(Ommelna, Jennifer & Chong, 2012).

Trichoderma spp. merupakan cendawan

indigenous yang berpotensi sebagai biokontrol

dalam menekan pertumbuhan Ganoderma

penyebab BPB. Nur Ain Izzati dan Abdullah

(2008) dan Naher, Tan, Yusuf, Ho dan Abdullah

(2012) menyatakan bahwa T. harzianum dapat

meningkatkan resistensi tanaman terhadap

penyakit BPB dan meningkatkan pertumbuhan

bibit kelapa sawit. Menurut Bailey, Bae, Strem,

Crozier, Thomas, Samuels, Vinyard, dan Holmes

(2008), T. asperellum mampu berkembang

secara endofit dalam jaringan akar tanaman

cokelat (Theobroma cacao L.) dan memiliki

kemampuan sebagai agen biokontrol terhadap

cendawan patogen. Aplikasi Trichoderma

pada lubang tanam pada pembibitan tahap

awal (pre nurseri), pembibitan tahap utama

(main nursery) atau lubang tanam di lapangan

dinilai kurang efektif dan efisien terutama di

areal perkebunan yang jauh dari sentra benih.

Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi lain

yang lebih praktis untuk pengiriman dan

penggunaan skala luas. Industri benih kelapa

sawit dapat memanfaatkan teknologi pelapisan

benih dengan T. asperellum dalam upaya

menekan penyakit BPB pada daerah endemik.

Hal ini akan meningkatkan efisiensi

penanganan, nilai tambah terhadap benih, dan

memudahkan pemberian mikroba antagonis

yang menekan perkembangan Ganoderma

pada daerah akar.

Nur Ain Izzati et.al (2008) menyatakan

bahwa T. harzianum dapat menurunkan

insidensi penyakit BPB hingga 65 persen pada

kelapa sawit. Saipulloh, Palupi, Widajati dan

Toruan-Mathius (2017) menyatakan bahwa

pelapisan benih kelapa sawit hanya mampu

mempertahankan mutu benih selama tiga hari

penyimpanan dan formula terbaik untuk

melindungi, meningkatkan pertumbuhan dan

penyerapan fosfat pada benih kelapa sawit

yang telah diperkaya Burkholderia sp. adalah

CMC 1.5 persen, CMC 2 persen ditambah

gipsum 1.5 persen, dan CMC 1.5 persen

ditambah talk 1 persen. Mukhtar, Hannan, Atiq,

dan Nawaz (2012) menyatakan bahwa benih

kedelai yang dilapisi dengan tapioka 2 persen

ditambah T. harzianum dapat meningkatkan

nilai indeks vigor dan daya berkecambah

benih. Penelitian ini bertujuan untuk

mendapatkan formula bahan pelapis benih

kelapa sawit terbaik sebagai bahan pembawa

T. asperellum (T13) untuk menekan infeksi G.

boninense di pre nurseri.

Page 44: p-ISSN 2354-8568

PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.

Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius  

123

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Benih kelapa sawit yang digunakan adalah

kecambah Tenera (DXP) berumur ± 21 hari,

produksi PT Dami Mas Sejahtera, Pekanbaru.

Isolat cendawan T. asperellum (T13) dan G.

boninense merupakan koleksi Laboratorium

Microbiome Technology PT SMART Tbk.,

Sentul. T. asperellum yang digunakan

(umur 7 hari) mengandung 107 konidia m.L-1.

Bahan pelapis yang digunakan adalah talk,

carboxy methyl cellulose (CMC), tapioka,

arabic gum, natrium alginat, dan gipsum.

Penelitian dilakukan di Laboratorium

Microbiome Technology PT SMART Tbk.,

Sentul dan Laboratorium Ilmu Teknologi

Benih, Institut Pertanian Bogor mulai bulan

Juli 2014─Agustus 2015.

B. Prosedur Penelitian

Penelitian terdiri atas dua percobaan, yaitu

(1) viabilitas dan efektivitas T. asperellum

dengan berbagai bahan pelapis dan (2) uji

efektitivitas formula bahan pelapis dengan T.

asperellum untuk menekan infeksi G.

boninense di pre nurseri kelapa sawit.

1. Viabilitas dan efektivitas T. asperellum

dengan berbagai bahan pelapis

a. Teknik pencampuran suspensi T.

asperellum dengan bahan pelapis

Cendawan T. asperellum diperbanyak

dengan membiakan 10 μL suspensi koleksi ke

dalam petridis berisi 15 mL media patato

dextrose agar (PDA). Kemudian petridis

disimpan dalam inkubator suhu 28±1ºC

selama 7 hari. Cendawan yang digunakan

adalah yang sudah menghasilkan spora dan

berwarna hijau tua.

Percobaan disusun menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 9

perlakuan dan diulang tiga kali (Tabel 1).

Sebanyak dua petridis T. asperellum yang

telah tumbuh dan menghasilkan spora

dilarutkan dalam 100 mL akuades steril.

Kemudian dikocok selama 1 jam

menggunakan mesin pengocok (150 rpm).

Suspensi disaring dengan kain kasa agar sisa-

sisa media PDA tidak tercampur ke dalam

larutan. Populasi cendawan dihitung dengan

membuat preparat hemasitometer dengan

diamati dibawah mikroskop cahaya. Populasi

spora dalam larutan yang digunakan dalam

perlakuan adalah 107. Larutan suspensi

digunakan sebagai pelarut bahan pelapis

sesuai dengan perbadingan bahan pelapis dan

pelarut masing-masing perlakuan.

Pelapisan benih dilakukan setelah seleksi

dan sterilisasi benih dalam larutan NaOCl

0,85 persen selama 5─10 menit dan dibilas

dua kali dengan akuades steril. Pelapisan

benih dilakukan secara manual selama 3─5

menit. Kemudian benih dikering-anginkan

selama ±3 jam, selanjutnya ditanam di pre

nurseri yang diberi naungan paranet 50

persen. Jumlah benih masing-masing satuan

percobaan sebanyak tiga buah. Media tanam

yang digunakan untuk penanaman benih

Page 45: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

124

berupa top soil tanah mineral dari Desa

Cijayanti-Bogor, bertekstur lempung dan

tidak terserang Ganoderma. Penanaman,

penyiraman, pemupukan, dan pemeliharaan

sesuai dengan Standard Operasional Prosedur

Sinarmas Agibisnis and Food (2007).

Tabel (Table)1. Perlakuan benih melalui teknik pencampuran suspensi T. asperellum dengan bahan

pelapis. (Seed treatment through the mixing technique of T. asperellum suspension with coating material).

Kode (Code) Perlakuan benih (Seed treatment)P1 Suspensi T. asperellum dicampur talk 1% (T. asperellum suspension mixing with talk 1%) P2 Suspensi T. asperellum dicampur CMC 1% (T. asperellum suspension mixing with CMC 1%)

P3 Suspensi T. asperellum dicampur tapioka 5% (T. asperellum suspension mixing with tapioca 1%) P4 Suspensi T. asperellum dicampur arabic gum 25% (T. asperellum suspension mixing with gum

arabic 25%) P5 Suspensi T. asperellum dicampur Na. alginat 8,3% (T. asperellum suspension mixing with Na.

alginat 8,3%) P6 Suspensi T. asperellum dicampur arabic gum 3% + gipsum 1% (T. asperellum suspension mixing

with gum arabic 3% + gypsum 1%)P7 Suspensi T. asperellum dicampur CMC 1,5% + gipsum 1% (T. asperellum suspension mixing

with CMC 1,5% + gypsum 1%)P8 Suspensi T. asperellum dicampur CMC 1,5% + talk 1% (T. asperellum suspension mixing with

CMC 1,5% + talk 1% P9 Kontrol (tanpa pelapisan dan tanpa T. Asperellum/ Control (without coating and T. asperellum)

b. Teknik perendaman dalam suspensi T.

asperellum dilanjutkan dengan pelapisan benih Percobaan disusun menggunakan nested

design dengan tiga ulangan. Tiga bahan

pelapis terbaik dari percobaan viabilitas dan

efektivitas T. asperellum melalui teknik

pencampuran suspensi T. asperellum dengan

bahan pelapis, yaitu arabic gum 25 persen,

CMC 1 persen, dan arabic gum 3 persen

ditambah gipsum 1 persen digunakan untuk

dasar formulasi bahan pelapis pada percobaan

ini sehingga diperoleh 11 perlakuan seperti

pada Tabel 2. Jumlah satuan percobaan yang

digunakan adalah 165. Setiap satuan

percobaan terdiri atas 10 buah benih.

Sebelum dilapisi dengan bahan pelapis

benih lebih dulu direndam dalam suspensi T.

asperellum selama 1 jam. Bahan pelapis

dihomogenkan dengan menambahkan akuades

sebagai pelarut. Pelapisan benih dilakukan

sesuai percobaan sebelumnya. Benih yang

telah dilapisi sesuai perlakuan disimpan dalam

ruangan dengan suhu 18±2°C selama 0, 3, 6, 9,

dan 12 hari sebelum ditanam. Penanaman

dilakukan sesuai dengan Standard Operasional

Prosedur Sinarmas Agibisnis and Food (2007).

Pengamatan dilakukan terhadap peubah:

1) daya tumbuh (%) pada 40 hari setelah

tanam (HST) dengan kriteria minimal satu

daun membuka penuh; 2) bobot kering total

(akar dan tajuk) setelah dioven selama 3 jam

pada suhu 105°C; 3) jumlah T. asperellum

dalam akar dengan metode pour plate sesuai

Enumeration (1989), dimana 0.1 mL suspensi

Page 46: p-ISSN 2354-8568

PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.

Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius  

125

akar dipipet ke dalam petridis kemudian

ditambahkan 15 mL media PDA dan

diinkubasi selama 7 hari pada suhu 28±1 ºC;

4) tinggi tajuk (cm); dan 5) panjang akar (cm).

Tabel (Table) 2. Perlakuan benih melalui teknik perendaman dalam suspensi T. asperellum

dilanjutkan dengan pelapisan benih. (Seed treatment through soaking techniques in the suspension of T. asperellum followed by seed coating).

Kode (Code)

Faktor (Factor) I: Perendaman + pelapisan T. asperellum (Soaking + coating with T. asperellum)

Kode (Code)

Faktor (Factor) II: Periode simpan/hari setelah pelapisan (storage period/ day after coating)

A1 Benih tanpa perlakuan (Non treatment seed) S0 0 hari (day) A2 perendaman dan tanpa pelapisan (with soaking, without coating) S3 3 hari (days)

A3 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 10% (soaking + coating with gum Arabic 10%)

S6 6 hari (days)

A4 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 25% (soaking + coating with gum arabic 25%)

S9 9 hari (days)

A5 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 40%/ soaking + coating with gum arabic 40%

S12 12 hari (days)

A6 Perendaman dilanjutkan pelapisan CMC 0,5% (soaking + coating with CMC 0,5%)

A7 Perendaman dilanjutkan pelapisan CMC 1% (soaking + coating with CMC 1%)

A8 Perendaman dilanjutkan pelapisan CMC 1,5%/ soaking + coating with CMC 1,5%

A9 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 1,5% + gipsum 0,5% (soaking + coating with gum arabic 1,5% + gypsum 0,5%)

A10 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 3% + gipsum 1% (soaking + coating with gum arabic 3% + gypsum 1%)

A11 Perendaman dilanjutkan pelapisan arabic gum 4,5% + gipsum 1,5% (soaking + coating with gum arabic 4,5% + gypsum 1,5%)

2. Uji efektitivitas formula bahan pelapis

dengan T. asperellum untuk menekan infeksi G. boninense di pre nurseri.

Percobaan disusun menggunakan

rancangan acak kelompok (RAK) dengan 9

(sembilan) perlakuan yang diulang 3 (tiga) kali

(Tabel 3), sehingga terdapat 27 satuan

percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas

10 benih. Bahan pelapis yang digunakan

adalah 3 jenis formula terbaik dari percobaan

viabilitas dan efektivitas T. asperellum melalui

teknik perendaman dalam suspensi T.

asperellum dilanjutkan dengan pelapisan

benih, yaitu CMC 1 persen, CMC 1.5 persen,

dan arabic gum 4,5 persen ditambah gipsum

1,5 persen.

Isolat Ganoderma diperbanyak dalam

petridis dengan media PDA dan diinkubasi

dalam inkubator selama tujuh hari (28±2 ºC).

Spora Ganoderma dipanen dan dibiakkan

dalam media patato sukrosa agar (PSA).

Sebanyak 100 mL media PSA yang

mengandung Ganoderma diinokulasi pada

rakis kelapa sawit berukuran 3 cm x 3 cm x 12

cm yang sudah terlebih dahulu disterilisasi

dalam plastik polietilen dengan autoclave (1

jam). Rakis kemudian diinkubasi dalam

Page 47: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

126

inkubator dengan suhu 28±2°C selama 10

minggu (Sinarmas Agibisnis and Food, 2007).

Pelapisan benih dilakukan dengan terlebih

dahulu merendam benih selama 1 jam dalam

suspensi T. asperellum. Kemudian bahan

pelapis disiapkan sesuai dengan perlakuan.

Pelarut yang digunakan untuk

menghomogenkan bahan pelapis adalah

akuades. Pelapisan benih dan media tanam

sesuai dengan percobaan sebelumnya.

Penanaman sesuai dengan Sinarmas Agibisnis

and Food (2007) dengan prosedur

menambahkan rakis yang telah diinokulasi

dengan G. boninense di tengah polibag. Tabel (Table) 3. Perlakuan benih pada uji efektitivitas formula bahan pelapis dengan T. asperellum

untuk menekan infeksi G. boninense di pre nurseri. (Seed treatment on effectiveness test of coating material formula with T. asperellum to suppress infection of G. boninense in pre nursery).

Kode (Code)

Perlakuan benih (Seed treatment)

C1 tanpa perendaman, tanpa pelapisan, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (without soaking, without coating, planted on medium Ganoderma inoculated)

C2 tanpa perendaman, pelapisan dengan CMC 1%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (without soaking, coating with CMC1%, planted on medium Ganoderma inoculated)

C3 tanpa perendaman, pelapisan dengan CMC 1,5%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (without soaking, coating with CMC 1,5%, planted on medium Ganoderma inoculated)

C4 tanpa perendaman, pelapisan dengan arabic gum 4,5% + gipsum 1,5%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (without soaking, coating with gum arabic 4,5% + gypsum 1,5%, planted on medium Ganoderma inoculated)

C5 perendaman, tanpa pelapisan, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (with soaking, without coating, planted on medium Ganoderma inoculated)

C6 perendaman, pelapisan dengan CMC 1%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (with soaking, coating with CMC 1%, planted on medium Ganoderma inoculated)

C7 perendaman, pelapisan dengan CMC 1,5%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (with soaking, coating with CMC 1,5%, planted on medium Ganoderma inoculated)

C8 perendaman, pelapisan dengan Arabic gum 4,5% + gipsum 1,5%, ditanam pada media yang diinokulasi Ganoderma (with soaking, coating with gum Arabic 4,5%+ gypsum 1,5%, planted on medium Ganoderma inoculated)

C9 tanpa perendaman, tanpa pelapisan, ditanam pada media yang tidak diinokulasi Ganoderma (without soaking, without coating, planted on medium uninoculated Ganoderma)

Pengamatan meliputi daya tumbuh,

insidensi penyakit dan tingkat keparahan

penyakit. Insidensi penyakit (IP) diamati setiap

minggu dan dihitung pada 12 minggu setelah

tanam (MST) dengan rumus:

…………………..(1)

Keterangan : IP : Insidensi penyakit (%)

n : Jumlah tanaman yang terserang G. boninense

N : Jumlah seluruh tanaman

Indeks keparahan penyakit (Desease

Severity Indeks/DSI) dihitung dan diamati

secara destruktif pada 12 MST. Pengamatan

terhadap gejala akar dengan memodifikasi

pengamatan Abdullah, Ilias, Nelson, Nur Ain

Izzati dan Yusuf (2003) dimana akar dibagi ke

dalam empat kuadran. Setiap kuadran

Page 48: p-ISSN 2354-8568

PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.

Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius  

127

mewakili tingkat keparahan penyakit 25

persen. Tingkat keparahan penyakit dibagi

dalam 5 skala, yaitu 0= tidak terdapat

cendawan Ganoderma pada akar (tanaman

sehat), 1= terdapat cendawan Ganoderma pada

1 kuadran, 2= terdapat cendawan Ganoderma

pada 2 kuadran, 3= terdapat cendawan

Ganoderma pada 3 kuadran, 4= terdapat

cendawan Ganoderma pada 4 kuadran atau

tanaman mati.

C. Analisis Data

Semua data dianalisis dengan analisis

ragam (ANOVA). Bila perlakuan menunjukan

perbedaan yang nyata maka akan dilanjutkan

dengan uji beda nyata Duncan Multiple Range

Test (DMRT) pada taraf 5 persen.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Viabilitas dan efektivitas T. asperellum dengan berbagai bahan pelapis

a. Teknik pencampuran suspensi T.

asperellum dengan bahan pelapis

T. asperellum tidak berhasil diisolasi

kembali dari akar tanaman pada semua

perlakuan pencampuran T. asperellum dengan

bahan pelapis. Teknik pencampuran tidak

berpengaruh nyata pada daya berkecambah

dengan tingkat perkecambahan 100 persen.

Pencampuran T. asperellum dengan bahan

pelapis berpengaruh nyata terhadap bobot

kering total (Tabel 4).

Tabel (Table) 3. Berat kering, panjang akar, tinggi tajuk bibit kelapa sawit dan jumlah T.

asperellum setelah 13 MST pada perlakuan pencampuran T. asperellum dengan bahan pelapis (Dry weight, root length, height canopy of oil palm seedlings and number of T. asperellum after 13 MST on mixing treatment of T. asperellum with coating material)

Pencampuran T. asperellum dengan bahan pelapis

(Mixing T. asperellum with coating material)

Tolok ukur (Benchmarks)Bobot kering

total(Total dry weight) (g)

Panjang akar(root

length) (cm)

Tinggi tajuk (plant height)

(cm)

Jumlah T. Asperellum (Number of T.

asperellum) (cfu/g)P1 9,13cd 18,39a 20,09a - P2 10,95abc 16,91a 19,38a - P3 9,49cd 18,23a 19,83a - P4 11,89abc 19,09a 22,31a - P5 9,89bcd 18,26a 21,30a - P6 11,97ab 19,20a 21,28a - P7 7,94d 17,38a 18,84a - P8 9,53bcd 19,21a 21,58a - P9 13,09a 17,48a 23,00a -

Keterangan (Remarks): Keterangan untuk P1 s.d P9 lihat Tabel 1; angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α=5%, (-): tidak terdeteksi (Remarks of P1-P9 refer to Table 1; The numbers followed by the same small letters in the same column are not significantly different in the DMRT α = 5% (*), - : undetectable)

b. Teknik perendaman T. asperellum

dilanjutkan dengan pelapisan benih

T. asperellum berhasil diisolasi kembali

dari akar tanaman melalui teknik perendaman

ditambah pelapisan. Interaksi periode simpan

dan perendaman ditambah pelapisan benih

tidak nyata terhadap daya tumbuh, bobot

kering total, panjang akar, tinggi tajuk, dan

Page 49: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

128

jumlah T. asperellum dalam akar. Periode

simpan hanya berpengaruh nyata terhadap

bobot kering tanaman dan tinggi tajuk.

Perendaman ditambah pelapisan benih hanya

berpengaruh nyata terhadap panjang akar dan

tinggi tajuk (Tabel 5). Tabel (Table) 5. Daya tumbuh, bobot kering, panjang akar, tinggi tajuk bibit kelapa sawit dan

jumlah T. asperellum (T13) setelah perendaman dilanjutkan dengan pelapisan dan penyimpanan pada umur 12 MST (Seedling germination, dry weight, root length, height canopy of oil palm seedlings and amount of T. asperellum (T13) after soaking continued coating and storage at age 12 MST)

Perlakuan (Treatment)

Tolok ukur (Benchmark)

Daya tumbuh (seed

germination) (%)

Bobot kering total (Total

dry weight) (g)

Panjang akar (Root

length) (cm)

Tinggi tajuk (Plant height)

(cm)

Rerata jumlah T .asperellum (Average of number T. asperellum)

(cfu/g)*

Periode simpan (Storage period) S0 97,57 8,56b 15,85 17,72b 93,31 S3 99,09 10,47a 15,49 17,73b S6 98,18 8,48b 15,86 18,49b 20,51 S9 97,27 11,18a 15,79 19,29a S12 97,57 11,10a 16,04 19,20a 10,30

Perlakuan perendaman + pelapisan (soaking + coating treatment)A1 98,67 10,27 16,43bc 19,34ab - A2 99,33 9,80 18,18a 20,34a 11,10 A3 98,00 10,03 15,43bc 17,94bcd - A4 98,67 9,63 14,76c 17,13d 16,70 A5 96.67 9,93 14,91bc 17,71cd 33,30 A6 97,33 10,53 15,82bc 18,79bc 366,70 A7 98,00 10,52 15,88bc 18,61bc 44,40 A8 97,33 10,50 15,51bc 18,50bcd 27,80 A9 98,00 9,96 15,04bc 18,42bcd - A10 98,67 8,43 15,16bc 18,24bcd 27,80 A11 96,67 7,72 16,74ab 18,37bcd 5,60

Keterangan (Remarks): Keterangan untuk S0, S3, S6, S9, S12, dan A1 s.d A11 lihat Tabel 2; angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α=5%, *; data ditransformasi dengan (x+1)-0.5; - : tidak terdeteksi (Remarks of S0, S3, S6, S9, S12, and A1 to A12 refer to Table 2; The numbers followed by the same small letters in the same column are not significantly different in the DMRT α = 5%, *: the data is transformed by (x + 1) -0.5; - : undetectable)

2. Uji efektitivitas formula bahan pelapis dengan T. asperellum untuk menekan infeksi G. boninense di pre nurseri

Perendaman benih dengan T. asperellum

ditambah pelapisan dapat meningkatkan daya

tumbuh dan mempertahankan bibit tetap hidup

pada media yang diinokulasi Ganoderma

(Tabel 6). Insidensi Penyakit (IP) pada media

yang diinokulasi G. boninense nyata sangat

tinggi (>93,33 persen) dibandingkan tanpa

inokulasi G. boninense (Tabel 6). Desease

severity indeks (DSI) berbeda nyata untuk

semua perlakuan. DSI tertinggi diperoleh pada

perlakuan T. asperellum ditambah CMC 1,5

persen dan T. asperellum ditambah CMC 1

persen, dan yang terendah pada perlakuan T.

Page 50: p-ISSN 2354-8568

PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.

Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius  

129

asperellum ditambah CMC 1,5 persen (Tabel

6). Uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa

perlakuan perendaman nyata meningkatkan

daya tumbuh bibit kelapa sawit (P-value =

0,01) namun tidak berpengaruh nyata terhadap

IP (P-value = 0,44) dan DSI (P-value = 0,09).

Tabel (Table) 6. Efektitivitas perendaman benih dalam T. asperellum dilanjutkan dengan pelapisan benih untuk menekan infeksi G. boninense di pre nurseri (The effectiveness of seed soaking in T. asperellum is continued by seeds coating to suppress G. boninense infection in pre nursery)

Perlakuan (Treatment) Daya tumbuh (Seed germination )(%) IP (%) DSI (%)C1 30,00bc 100,00a 91,67abcC2 13,33c 96,67a 95,83abC3 26,67bc 100,00a 100,00a C4 33,33bc 96,67a 89,17bcC5 40,00bc 100,00a 93,33abcC6 40,00bc 100,00a 94,17abcC7 46,67b 93,33a 84,17c C8 46,67b 93,33a 90,00abcC9 96,67a 0,00b 0,00d

Keterangan (Remarks) : Keterangan untuk C1 s.d C9 lihat pada Tabel 3; IP = Insidensi penyakit (desease incidence), DSI = Desease severity indeks; Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α=5%, (Remarks of C1- C9 refer to Table 3; The numbers followed by the same small letters in the same column are not significantly different in the DMRT α = 5%)

B. Pembahasan

Pada pengujian viabilitas dan efektivitas

T. asperellum dengan berbagai bahan pelapis

melalui pencampuran suspensi T. asperellum

dengan bahan pelapis, pengeringan setelah

proses pelapisan diduga menyebabkan spora

cendawan sulit berkembang sehingga T.

asperellum tidak berhasil diisolasi kembali

dari akar tanaman sehingga metode

pencampuran bahan pelapis dengan suspensi

Tricoderma tidak dianjurkan untuk penelitian

selanjutnya. Namun pada percobaan pengujian

viabilitas dan efektivitas T. asperellum dengan

berbagai bahan pelapis melalui perendaman

benih dalam suspensi T. asperellum

dilanjutkan dengan pelapisan benih, T.

asperellum dapat diisolasi kembali dari akar.

Keberhasilan metode ini diduga karena T.

asperellum dapat melakukan penetrasi dalam

jaringan benih dan bahan pelapis dapat

melindungi cendawan di permukaan benih dari

kematian akibat pengeringan. Keberhasilan

reisolasi T. asperellum dari metode

perendaman ditambah pelapisan

memungkinkan cendawan ini melakukan

perannya sebagai cendawan endofit. Naher,

Yusuf, Ismail, dan Hossain (2014) menyatakan

bahwa sifat endofit T. asperellum dapat

berperan sebagai agen biokontrol melalui

mekanisme mikoparasit, produksi antibiotik,

kompetisi ruang dan nutrisi, kolonisasi akar,

dan induksi resistensi sistemik dan memacu

pertumbuhan. de Santiago, García-López,

Quintero, Avilés, dan Delgado (2013)

menyatakan bahwa T. asperellum dapat

meningkatkan efisiensi penyerapan hara

Page 51: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

130

dengan melarutkan nutrisi anorganik seperti Fe

dan Cu sehingga tersedia bagi pertumbuhan

tanaman. Namun pada percobaan viabilitas

dan efektivitas T. asperellum melalui teknik

perendaman dalam suspensi T. asperellum

dilanjutkan dengan pelapisan benih, apa yang

dikatakan oleh de Santiago et al. (2013) dan

Naher et al. (2014) tidak sepenuhnya benar

dimana dalam percobaan ini jumlah

Trichoderma yang lebih banyak dari reisolasi

tidak sepenuhnya menyebabkan pertumbuhan

tanaman menjadi lebih baik.

Pada percobaan pengujian viabilitas dan

efektivitas T. asperellum melalui perendaman

benih dalam suspensi T. asperellum

dilanjutkan dengan pelapisan benih

menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman di

pre nurseri dipengaruhi oleh umur kecambah

yang ditanam dimana terdapat kecenderungan

semakin tua kecambah yang ditanam semakin

baik pertumbuhannya. Selain itu komposisi

bahan pelapis juga mempengaruhi performa

pertumbuhan di pre nurseri. Bahan pelapis

yang memiliki pertumbuhan tanaman yang

baik umumnya ditunjukkan oleh bahan CMC

dan campuran arabic gum dengan gipsum. Hal

ini sejalan dengan penelitian Saipulloh et al.

(2017) dimana CMC baik digunakan sebagai

bahan pelapis kecambah kelapa sawit. Bahan

pelapis ini sifatnya tidak beracun bagi

kecambah dan mengandung zat yang

merupakan sumber makanan bagi cendawan.

Arabic gum mengandung karbon, kalsium,

magnesium, dan kalium yang bersifat mudah

larut dalam air (Dauqan & Abdullah, 2013),

CMC mudah larut dan mengandung karbon

dan selulosa (Boruvkova & Wiener, 2011) dan

gipsum yang mengandung kalsium dan

mineral (Walworth, 2012) diduga dapat

menjadi sumber nutrisi bagi pertumbuhan

tanaman. Oleh karena itu, pada percobaan uji

efektitivitas formula bahan pelapis dengan T.

asperellum untuk menekan infeksi G.

boninense di pre nurseri digunakan bahan

pelapis yang mengandung CMC dan campuran

arabic gum ditambah gipsum sebagai bahan

pelapis benih.

Perpaduan sifat bahan pelapis dan endofit

T. asperellum diduga dapat meningkatkan

pertumbuhan tanaman di lapangan walaupun

benih disimpan hingga 12 hari setelah dilapisi.

Hal ini dapat dilihat dari bobot kering, tinggi

tajuk, dan panjang akar yang trennya

meningkat seiring bertambahnya waktu

simpan kecambah.

Pengaruh Trichoderma terhadap

pertumbuhan tanaman berbeda untuk setiap

jenis tanaman. T. harzianum pada kelapa sawit

dapat meningkatkan bobot kering, laju

pertumbuhan, dan resistensi terhadap penyakit

(Naher et al., 2012) sedangkan pada cokelat

(Theobroma cacao L.) tidak berpengaruh

nyata terhadap bobot basah dan kering

tanaman (Tchameni, Ngonkeu, Begoude, Wakam

Page 52: p-ISSN 2354-8568

PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT.

Gani Jawak, Eny Widajati, Endah Retno Palupi, dan Nutrita Toruan Mathius  

131

Nana, Fokom, Owona, Mbarga, Tchana, Tondje,

Etoa, & Kuaté, 2011). López-Mondéjar, Blaya,

Obiol, Ros, dan Pascual (2012) melaporkan

bahwa sifat endofit T. asperellum dapat

meningkatkan sistem resistensi tanaman

terhadap Ganoderma dimana Glukanase dan

β-1,3 glukanase yang dihasilkan T. asperellum

mampu mendegradasi dinding sel fungi.

Perlakuan perendaman ditambah pelapisan

benih dinilai belum efektif dalam

meningkatkan ketahanan terhadap infeksi

Ganoderma selama di pre nurseri. Hal ini

diduga karena T. asperellum yang belum

berkembang sudah tertekan oleh Ganoderma.

Dimana IP dan DSI masih tinggi baik dengan

atau tanpa perlakuan perendaman dalam

suspensei T. asperellum. G. boninense mampu

mendegradasi selulosa menjadi air dan karbon

untuk sumber nutrisinya (Paterson, 2007). de

los Santos-Villalobos, Hernández-Rodríguez,

Villaseñor-Ortega dan Peña-Cabriales (2012)

menyatakan bahwa selulosa dan karbon

merupakan sumber nutrisi bagi cendawan. Hal

ini memungkinkan bahan pelapis yang

digunakan juga dapat menjadi sumber nutrisi

cendawan.

IV. KESIMPULAN

Aplikasi T. asperellum dengan teknik

perendaman dilanjutkan dengan pelapisan

CMC 1 persen, CMC 1,5 persen dan arabic

gum 4,5 persen ditambah gipsum 1,5 persen

dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa

sawit di pre nurseri. Aplikasi perendaman T.

asperellum ditambah pelapisan CMC 1,5

persen dapat meningkatkan daya tumbuh benih

kelapa sawit namun belum efektif menekan

infeksi Ganoderma di pre nurseri.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada PT SMART Tbk,

Sentul-Bogor yang telah membiayai dan

menyediakan fasilitas untuk penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, F., Ilias, G. N. M., Nelson, M., Nur Ain Izzati, M. Z., & Yusuf, U. K. (2003). Disease assessment and the efficacy of Trichoderma as biocontrol agent of basal stem rot of oil palms. Research Bulletin Science Putra,1(2013), 31-33.

Bailey, B. A., Bae, H., Strem, M. D., Crozier, J., Thomas, S. E., Samuels, G. J., Vinyard, B. T., Holmes, K. A. (2008). Antibiosis, mycoparasitism, and colonization success for endophytic Trichoderma isolates with biological control potential in Theobroma cacao. Biological Control, 46(1), 24–35. https://doi.org/10.1016/j.biocontrol.2008.01.003

Boruvkova, K., & Wiener, J. (2011). Water absorption in carboxymethyl cellulose. Autex Research Journal, 11(4), 110–113.

Dauqan, E., and Abdullah, A. (2013). Utilization of gum arabic for industries and human health. American Journal of Applied Sciences, 10(10), 1270–1279. https://doi.org/10.3844/ajassp.2013.1270.1279

de los Santos-Villalobos, S., Hernández-Rodríguez, L. E., Villaseñor-Ortega, F., & Peña-Cabriales, J. J. (2012). Production of Trichoderma asperellum T8a spores by a “home-made” solid-state fermentation of mango industrial wastes. BioResources, 7(4), 4938–4951. https://doi.org/10.15376/biores.7.4.4938-4951

de Santiago, A., García-López, A. M., Quintero, J. M., Avilés, M., & Delgado, A. (2013).

Page 53: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 121-132 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

132

Effect of Trichoderma asperellum strain T34 and glucose addition on iron nutrition in cucumber grown on calcareous soils. Soil Biology and Biochemistry, 57, 598–605.https://doi.org/10.1016/j.soilbio.2012.06.020

Enumeration, F. O. R. B. (1989). Pour Plate Technique, (July), 8–9.

López-Mondéjar, R., Blaya, J., Obiol, M., Ros, M., & Pascual, J. A. (2012). Evaluation of the effect of chitin-rich residues on the chitinolytic activity of Trichoderma harzianum: In vitro and greenhouse nursery experiments. Pesticide Biochemistry and Physiology, 103(1), 1–8. https://doi.org/10.1016/j.pestbp.2012.02.001

Mukhtar, I., Hannan, A., Atiq, M., & Nawaz, A. (2012). Impact of Trichoderma species on seed germination in soybean, 24(2), 159–162.

Naher, L., Tan, S. G., Yusuf, U. K., Ho, C. L., & Abdullah, F. (2012). Biocontrol agent Trichoderma harzianum strain FA 1132 as an enhancer of oil palm growth. Pertanika Journal of Tropical Agricultural Science, 35(1), 173–182.

Naher, L., Yusuf, U. K., Ismail, A., & Hossain, K. (2014). Trichoderma spp.: a biocontrol agent for sustainable management of plant diseases. Pak. J. Bot, 46(4), 1489–1493.

Nur Ain Izzati, M. Z., & Abdullah, F. (2008). Disease suppression in Ganoderma-infected oil palm seedlings treated with Trichoderma harzianum. Plant Protection Science, 44(3), 101–107.

https://doi.org/10.17221/23/2008-PPS

Ommelna, B. G., Jennifer, A. N., & Chong, K. P. (2012). The potential of chitosan in suppressing Ganoderma boninense infection in oil-palm seedlings. Journal of Sustainability Science and Management, 7(2), 186–192. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Paterson, R. R. M. (2007). Ganoderma disease of oil palm-a white rot perspective necessary for integrated control. Crop Protection, 26(9), 1369–1376. https://doi.org/10.1016/j.cropro.2006.11.009

Saipulloh, Palupi, E. R., Widajati, E., & Toruan-Mathius, N. (2017). Efektivitas bahan pelapis benih terhadap penyerapan fosfat dan pertumbuhan bibit kelapa sawit, Jurnal Agronomi Indonesia, 45(1), 86–92.

Tchameni, S. N., Ngonkeu, M. E. L., Begoude, B. A. D., Wakam Nana, L., Fokom, R., Owona, A. D., Mbarga, J. B., Tchana, T., Tondje, P. R., Etoa, F. X., Kuaté, J. (2011). Effect of Trichoderma asperellum and arbuscular mycorrhizal fungi on cacao growth and resistance against black pod disease. Crop Protection, 30(10), 1321–1327.https://doi.org/10.1016/j.cropro.2011.05.003

Walworth, J. (2012). Using gypsum and other calcium amendments in Southwestern soils, 1–5. retrieved from http://extension.arizona.edu/sites/extension.arizona.edu/files/pubs/az1413.pdf

Page 54: p-ISSN 2354-8568

PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida

© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.133-144 133

PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN

(Fruit and Seed Production of Mahoni (Swietenia macrophylla King) at Various Crown Dimention

and Leaf Stomata Condition)

Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan/and Dida Syamsuwida Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Indonesia e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 21 Juni 2018; Naskah direvisi: 24 September 2018; Naskah diterima: 19 Desember 2018

ABSTRACT

Seed and fruit production are strong related to the process of plant photosynthesis and leaves are the main organ in the photosynthesis process. All leaves characteristics such as morphology (leaf surface area), anatomy (stomata index and density) and physiology greatly influence organic compounds (assimilates) produced from photosynthesis. The aim of the study was to determine the effect of canopy width, stomata index and density, and leaf area on the production of fruit and seed of mahogany (Swietenia macrophylla). The study was carried out on a 21-years-old mahogany seed stand in Forest Research of Parungpanjang. The experimental design used was a completely randomized design with canopy diameter, leaf area, stomata density and stomata index as a treatments. Each treatment consists of 5 (five) classification levels. The result showed that fruit and seed production were affected by canopy diameter of the tree. Leaf area, stomata density and stomata index did not influence the production of produced fruit. Keywords: leaf, photosynthesis,stomata index, stomata density, certified seed sources

ABSTRAK

Produksi buah dan benih berkaitan erat dengan proses fotosintesis tanaman. Daun adalah organ utama dalam proses fotosintesis. Semua karakteristik daun baik morfologi (luas permukaan daun), antomi (kerapatan dan indeks stomata) maupun fisiologisnya sangat mempengaruhi senyawa organik (asimilat) yang dihasilkan dari proses fotosintesis. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh lebar tajuk, kerapatan dan indeks stomata serta luas daun terhadap tingkat produksi buah dan benih mahoni (Swietenia macrophylla). Penelitian dilakukan pada tegakan benih mahoni umur 21 tahun di Hutan Penelitian Parungpanjang, Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan diameter tajuk, luas daun, kerapatan stomata dan indeks stomata sebagai perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari 5 (lima) tingkat klasifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi buah dan benih mahoni dipengaruhi oleh diameter tajuk pohon. Luas daun, kerapatan stomata dan indeks stomata tidak mempengaruhi produksi buah yang dihasilkan. Kata kunci: daun, fotosintesis, indeks stomata, kerapatan stomata, sumber benih bersertifikat

I. PENDAHULUAN

Mahoni daun lebar (Swietenia

macrophylla King) termasuk keluarga Famili

Meliaceae yang bernilai ekonomi tinggi. Saat

ini keberadaan mahoni di hutan alam sudah

masuk ke dalam daftar Apendix II CITES

(Blundell, 2007). Dengan demikian, untuk

mencegah ancaman kepunahannya maka

produksi kayu lestari mahoni berasal dari

hutan tanaman baik milik negara maupun

masyarakat harus dioptimalkan.

Produktivitas hutan dapat ditingkatkan

melalui penggunaan benih unggul.

Pembangunan hutan tanaman mahoni telah

Page 55: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

134

diwajibkan menggunakan benih unggul yang

berasal dari sumber benih bersertifikat sesuai

Keputusan Menteri Kehutanan

No.707/Menhut-II/2013. Sumber benih

bersertifikat merupakan sumber benih yang

kondisi dan pengelolaannya telah memenuhi

persyaratan standar sumber benih yang

ditetapkan guna menghasilkan benih tanaman

hutan yang bermutu genetik tinggi. Salah satu

syarat standar sumber benih adalah tegakan

harus sudah berbunga dan berbuah serta

mampu menghasilkan benih secara optimal

(PDASHL, 2016). Produksi benih yang

optimal sangat penting diperoleh untuk

mengantisipasi terbatasnya keberadaan sumber

benih berseritifikat di Indonesia (Santoso,

2011).

Tegakan mahoni yang berada di lokasi

Hutan Penelitian Parungpanjang, Kabupaten

Bogor merupakan salah satu kandidat sumber

benih bersertifikat potensial. Keunggulan

genetik dari tegakan mahoni tersebut adalah

merupakan hasil uji progeni yang berasal dari

berbagai populasi di Pulau Jawa (Bramasto,

Sudrajat, Pujiastuti, & Danu, 2017). Rata-rata

produksi benih yang dihasilkan dari sumber

benih ini relatif masih rendah yaitu kurang dari

1,5 kg.pohon-1 (Syamsuwida, Pramono, Putri,

Djam’an, & Pujiastuti, 2017). Mindawati dan

Megawati 2013) menyatakan bahwa produksi

benih dari pohon mahoni dewasa sekitar 2,5─4

kg. Untuk itu perlu upaya optimalisasi

produksi benih dari tegakan mahoni yang

berada di Hutan Penelitian Parungpanjang

dalam rangka memenuhi kebutuhan

pembangunan hutan tanaman mahoni.

Produksi buah/benih terkait erat dengan

proses fotosintesis tanaman yaitu suatu proses

konversi energi matahari menjadi energi kimia

yang menghasilkan senyawa-senyawa organik

yang kompleks sebagai bahan baku bagi

pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta

produksi biomasa (Pantilu, Mantiri, Ai, &

Pandiangan, 2012). Daun adalah organ utama

penghasil senyawa organik tersebut (Mastur,

2015; Terashima, Hanba, Tholen, &

Niinemets, 2011). Untuk dapat

memaksimalkan produktivitas senyawa

organik yang dihasilkan, maka semua

karakteristik daun baik morfologi (luas

permukaan daun), antomi (kerapatan dan

indeks stomata), fisiologis hingga susunannya

dalam arsitektur kanopi harus optimal  (Luo,

Que, Zhang, & Xu, 2013; Mastur, 2015;

Pompelli, Martins, Celin, Ventrella, &

DaMatta, 2010).

Salah satu komponen pada daun yang

berperan langsung dalam proses fotosintesis

adalah stomata. Stomata berfungsi sebagai

pintu masuk CO2 dari udara untuk proses

fotosintesis dan sebagai pintu keluar O2 dalam

proses transpirasi. Peningkatan jumlah stomata

berdampak terhadap peningkatanan laju

pertukaran gas CO2 dan O2 serta transpirasi

Page 56: p-ISSN 2354-8568

PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida

135

(Marenco, Camargo, Antezana-Vera, &

Oliveira, 2017; Sundari & Atmaja, 2011;

Tanaka, Sugano, Shimada, & Hara-Nishimura,

2013), yang selanjutnya berpengaruh terhadap

produksi tanaman. Kusumi, Hirotsuka,

Kumamaru dan Iba (2012) melaporkan bahwa

stomata pada tanaman padi (Oryza sativa),

sangat mempengaruhi proses fotosintesa.

Namun pada Amorphophallus muelleri

(porang) dan A. variabilis (iles-iles), bobot

umbi yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh

kerapatan stomatanya (Khoiroh, Harijati, &

Mastuti, 2014). Untuk itu perlu dikaji

bagaimana pengaruh kerapatan dan indeks

stomata, luas permukaan daun, serta luas tajuk

mahoni terhadap produksi buah/benih yang

dihasilkan. Informasi yang diperoleh dapat

menjadi acuan sebagai upaya optimalisasi

potensi produksi benih melalui tindakan

silvikultur dalam pengelolaan suatu sumber

benih. Dengan demikian, tujuan penelitian ini

adalah mengetahui pengaruh lebar tajuk,

kerapatan dan indeks stomata serta luas daun

terhadap produksi buah dan benih mahoni (S.

macrophylla).

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat Lokasi penelitian terletak di Petak 40 dan

41 Hutan Penelitian Parungpanjang, Bogor.

Lokasi ini masuk dalam wilayah kerja BKPH

Parungpanjang, KPH Bogor, Perum Perhutani

Divisi Regional Jawa Barat dan Banten.

Secara administrasi pemerintahan, lokasi

tersebut berada dalam 2 wilayah yaitu

Kecamatan Parungpanjang dan Kecamatan

Tenjo, Kabupaten Bogor. Tegakan di Hutan

Penelitan Parungpanjang berada pada posisi

106º30’52,29” BT dan 6º22’53,53” LS, pada

ketinggian tanah 313 m dpl. Penelitian

dilaksanakan pada tahun 2015-2016.

Bahan penelitian yang digunakan adalah

tegakan mahoni umur 21.tahun. Alat-alat yang

digunakan adalah mikroskop Olympus CX 41,

leaf area meter Systronics 211, galah berkait,

timbangan, slide glass, kantong plastik, label,

dan alat tulis menulis.

B. Prosedur Penelitian

Pohon sampel produksi buah ditentukan

secara sengaja (purposive sampling) dengan

dasar pemilihannya adalah pohon yang sedang

berbuah Pada setiap pohon terpilih dilakukan

pengunduhan untuk semua buah pada pohon

melalui teknik pemanjatan. Pohon yang

kondisinya tidak memungkinkan untuk

diunduh seluruhnya maka pengunduhan

dilakukan minimal 1/3 dari jumlah total buah

yang ada. Data yang diperoleh kemudian

dikonversi menjadi data produksi total

(Pramono, Syamsuwida, & Djam’an, 2017).

Buah yang telah diunduh kemudian ditimbang

bobot dan dihitung jumlahnya. Selanjutnya

dilakukan proses ekstraksi benih kemudian

benih hasil ekstraksi ditimbang.

Setiap pohon terpilih juga dilakukan

pengukuran diameter tajuk dengan cara

mengukur proyeksi bentuk tajuk yang diukur

Page 57: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

136

dalam dua bagian pada proyeksi tersebut

dengan menggunakan pita meter (Hardjana,

2013). Pengukuran juga dilakukan terhadap

karakter morfologi dan anatomi daun yaitu

luas daun serta jumlah stomata dan epidermis.

Untuk pengukuran luas daun, setiap pohon

sampel diambil 5 lembar daun yang diukur

dengan menggunakan alat Leaf Area Meter

merk Systronics 211 dengan menggunakan

satuan cm2. Daun mahoni berupa daun

majemuk (Mindawati & Megawati, 2013).

Pengamatan stomata daun dilakukan di bawah

mikroskop biokamera merk Olympus CX 41

dengan pembesaran 400 kali dan luas pandang

diukur dengan micrometer yang telah tersedia

pada mikroskop yaitu sebesar 0,65 ům.

Pengamatan stomata hanya dilakukan pada

permukaan adaksial daun karena tanaman

mahoni hanya memiliki stomata pada

permukaan adaksial daun (Tambaru, 2017). Pengambilan sampel stomata dilakukan

dengan membuat sayatan pada permukaan

daun, dengan cara mengoleskan cat kuku

(kuteks) transparan pada bagian permukaan

daun yang sehat dan tidak cacat/utuh. Setelah

kering atau kira-kira 3─5 menit, bagian daun

yang telah dioleskan cat kuku tersebut ditutup

dengan solatip. Selotip bening yang melekat

pada lapisan kuteks kemudian ditarik dari daun

dan ditempelkan pada slide glass untuk

diamati dibawah mikroskop (Khoiroh et al.,

2014). Anatomi stomata yang diamati adalah

kerapatan dan indeks stomata. Kerapatan

stomata dihitung dengan mengunakan rumus

sebagai berikut (Mutaqin, Budiono, Setiawati,

Nurzaman, & Fauzia, 2016) :

2( )

jumlahstomatakerapatanstomata

satuluasbidang pandang mm

...…....(1)

Selain jumlah sel stomata juga diukur

jumlah sel epidermis untuk mengetahui indeks

stomata. Indeks stomata adalah perbandingan

jumlah stomata dengan total jumlah stomata

dan epidermis (Pompelli et al., 2010).

Penghitungan jumlah stomata dan sel

epidermis dilakukan sebanyak lima kali untuk

setiap pohon sampel.

Rancangan percobaan yang digunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk

mengetahui pengaruh diameter tajuk, luas

daun, kerapatan dan indeks stomata daun

terhadap keragaman produksi buah dan benih

mahoni (Jiang, Yu, Sanmei, & Wang, 2011).

Data diameter tajuk, luas daun kerapatan

stomata dan indeks stomata yang diperoleh

diklasifikasikan dalam 5 (lima) kelas yang

selanjutnya menjadi taraf perlakuan yaitu

sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan

sangat tinggi. Penentuan jumlah kelas dan

interval antar kelas menggunakan rumus

Sturgess (Saputro, 2013) yang tersaji pada

Tabel 1. Untuk melihat adanya hubungan

antara produksi buah dan benih mahoni

dengan diameter tajuk, luas daun, kerapatan

dan indeks stomata maka dilakukan uji

korelasi Pearson dengan taraf 0,05.

Page 58: p-ISSN 2354-8568

PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida

137

Tabel (Table) 1. Klasifikasi diameter tajuk, morfologi dan anatomi daun mahoni (Classification of crown width, morphology and anatomy of mahoni leaf).

Perlakuam (treatment)

Kelas (Class)

Sangat rendah (Very low)

Rendah (Low)

Sedang (Moderate)

Tinggi (High)

Sangat tinggi (Very high)

Diameter tajuk (Crown width) (m) 3,5 - 5,3 5,4 – 7,2 7,3 – 9,1 9,2 - 11,0 >11,0Luas daun (Leaf area) (cm2) 104,5 – 238,9 239,0 – 373,4 373,5 – 507,9 508 – 642,4 >642,4Kerapatan stomata (Stomata density) (mm2) 333 – 389 390 - 446 447 - 503 504 – 560 >560Indeks stomata (Stomata index) (%) 18,5 – 21,1 21,2 – 23,8 23,9 – 26,5 26,6 – 29,2 >29,2 C. Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh diameter

tajuk, morfologi dan anatomi daun terhadap

produksi buah dan benih maka dilakukan

analisis varian. Apabila hasil analisis ragam

menunjukkan perbedaan yang nyata, maka

analisis dilanjutkan dengan uji signifikansi

dari Duncan (DMRT). Selain itu juga

dilakukan analisis korelasi Pearson untuk

mengetahui tingkat keeratan hubungan antara

dimensi dan fisiologis pohon dengan produksi

buah dan benih (Sugiyono, 2013).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil

Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang

dihasilkan (Tabel 2) diketahui adanya korelasi

positif dan signifikan (r = 49,2 persen) antara

diameter tajuk pohon dengan luas permukaan

daun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

sampai diameter tajuk berukuran 13 m,

semakin besar diameter tajuk pohon semakin

meningkat luas permukaan daunnya.

Kerapatan stomata daun menunjukkan korelasi

positif dan signifikan (r = 38,6 persen) dengan

indeks stomata daun. Jumlah buah per pohon

berkorelasi positif dan signifikan dengan bobot

benih per pohon (r = 73,3 persen). Semakin

banyak jumlah buah per pohon maka semakin

besar bobot benih per pohonnya. Demikian

juga bobot benih per pohon berkorelasi positif

dengan bobot buah per pohon (r = 74,2

persen). Bobot buah mahoni dipengaruhi oleh

bobot benih per-buah dengan koefisien

korelasi 36,7 persen. Semakin besar bobot

buah semakin besar juga benihnya.

Hasil analisis ragam (Tabel 3)

menunjukkan bahwa lebar tajuk pohon mahoni

berpengaruh nyata terhadap produksi buah dan

benih mahoni yaitu jumlah buah per pohon,

bobot buah per pohon dan bobot benih per

pohon. Sedangkan luas daun, kerapatan

stomata dan indeks stomata tidak

mempengaruhi produksi buah dan benih

mahoni. Hasil uji Duncan (Tabel 4)

menunjukkan bahwa diameter tajuk pohon

lebih dari 11 m menghasilkan jumlah buah

per pohon bobot buah per pohon dan bobot

benih per pohon terbesar (49,10 gram). Daun

dengan tingkat kerapatan stomata antara 6.000

mm sampai dengan kurang dari 7.000 mm

menghasilkan jumlah buah/pohon terbanyak

yaitu 32 buah/pohon.

Page 59: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

138

Tabel (Table) 2. Koefisien korelasi Pearson antara diameter tajuk, morfologi daun, anatomi daun dan produksi buah dan benih mahoni (Pearson correlation coefficient between crown diameter, leaf morphology, leaf anatomy and seed yield of mahogany).

Perlakuan (treatment) Bobot buah per- pohon (fruit

weight per tree)

Bobot benih per- pohon (seed

weight per tree)

Lebar tajuk (Crown width)

Luas daun (Leaf area)

Kerapatan stomata (stomata density)

Indeks stomata (Stomata index)

Jumlah buah per-pohon (fruit number per tree) 0.826** 0.733** 0.147 0.272 0.177 0.111

Bobot buah per- pohon (fruit weight per tree) 1 0.742** 0.075 0.044 0.238 0.031

Bobot benih per- pohon (seed weight per tree) - 1 -0.023 -0.008 0.122 0.189

Lebar tajuk (Crown width) - - 1 0.492** 0.103 -0.156

Luas daun (Leaf area) - - - 1 0.244 0.086

Kerapatan stomata (stomata density) - - - - 1 0.386*

Indeks stomata(Stomata index) - - - - - 1

Keterangan (Remarks):* = Korelasi nyata pada taraf 5% (significant correlation at level of 5%). ** =Korelasi nyata pada taraf 1% (significant correlation at level of 1%)

Tabel (Table) 3. F-hit pengaruh dimensi pohon, morfologi dan anatomi daun terhadap keragaman variabel jumlah buah per pohon, bobot buah per pohon dan bobot benih per pohon (F-cal influence of tree dimensions, morphology and anatomy of leaves on a variety of variables, number of fruits per tree, fruit weight per tree and seed weight per tree)

Perlakuan (Treatment)

Variabel (Variables)Jumlah buah per-pohon (Fruit number per tree)

Bobot buah per- pohon (Fruit weight per tree)

Bobot benih per- pohon (Seed weight per tree)

Lebar tajuk (Crown width) 3,368 ** 2,756 ** 1,430 * Luas daun (Leaf area) 0,616 ns 0,244 ns 0,216 ns Kerapatan stomata (stomata density) 1,267 ns 0,844 ns 0,986 ns Indeks stomata (Stomata index) 0,198 ns 0,985 ns 1,061 ns Keterangan (Remarks) : * : berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% (significance at 95% confident level), ** :

berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99% (significance at 99% confident level).ns : tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 % (not significance at 95% confident level)

Tabel (Table) 4. Rata-rata produksi buah dan benih pada berbagai variasi diameter tajuk, luas daun, kerapatan stomata dan indeks stomata (The average of fruit and seed production at various crown width, leaf area, stomata density and stomata index)

Perlakuan (treatment)

Taraf Variabel (Variables)

Jumlah buah per-pohon (Fruit number per tree) (butir)

Bobot buah per- pohon (Fruit weight per tree)(kg)

Bobot benih per- pohon (Seed weight per tree)(g)

Lebar tajuk (Crown width)

Sangat rendah (very low)

24.1 a 8.8 a 0.9 ab

Rendah (low) 25.6 a 9.6 a 1.0 abSedang (moderate 25.8 a 8.3 a 0.7 aTinggi (high) 22.5 a 8.6 a 0.9 abSangat tinggi (very high) 38.3 b 14.1 b 1.3 b

Luas daun (Leaf area)

Sangat rendah (very low)

24.3 a 9.2 a 1.0 a

Rendah (low) 27.4 a 10.0 a 1.0 aSedang (moderate 30.5 a 11.0 a 1.2 aTinggi (high) 32.8 a 11.3 a 0.9 aSangat tinggi (very high) 29.9 a 9.4 a 1.1 a

Kerapatan stomata (stomata density)

Sangat rendah (very low)

27.7 a 9.6 a 1.2 a

Rendah (low) 23.6 a 8.3 a 0.8 aSedang (moderate 24.7 a 9.6 a 0.9 aTinggi (high) 26.5 a 9.9 a 0.9 aSangat tinggi (very high) 32.7 a 11.8 a 1.2 a

Indeks stomata (Stomata index)

Sangat rendah (very low)

26.6 a 10.8 a 1.1 a

Rendah (low) 24.7 a 9.1 a 0.9 aSedang (moderate 26.2 a 8.3 a 0.8 aTinggi (high) 27.9 a 10.9 a 1.0 aSangat tinggi (very high) 28.6 a 10.4 a 1.3 a

Keterangan (Remarks) : Angka yang diikuti oleh huruf pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (Means in the same column followed by the same letter are not significantly different at 95% confident level)

Page 60: p-ISSN 2354-8568

PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida

139

B. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

ukuran tajuk pohon mahoni (S. macrophylla)

mempengaruhi produksi buah yang dihasilkan.

Pohon mahoni dengan ukuran diameter tajuk

lebih besar dari 11 m memproduksi buah lebih

banyak dibandingkan dengan pohon diameter

tajuk 3,5 m─11,0 m (Tabel 4). Kondisi ini

berkaitan dengan adanya kompetensi antar

pohon dalam memperebutkan faktor

lingkungan seperti cahaya, unsur hara dan air.

Pohon dengan tajuk (kanopi) besar memiliki

kemampuan yang lebih baik untuk

mendapatkan cahaya matahari dibandingkan

dengan pohon bertajuk (kanopi) kecil,

sehingga dapat mendorong peningkatan laju

fotosintesis dan selanjutnya berdampak

meningkatnya asimilat yang dihasilkan.

Pengaruh positif diameter tajuk terhadap

produksi buah juga ditunjukkan pada jenis

Pinus halepensis Mill., Sclerocarya birrea,

Toona sinensis dan Jatropha (Andrew, 2014;

Ayari, Zubizarreta-Gerendiain, Tome, Tome,

Garchi & Henchi, 2012; Pereira, Evangelista,

laviola, Portes, Junior & Casaroli, 2017;

Pramono, Siregar, Palupi, & Kusmana, 2015).

Demikian juga dengan tanaman kelapa sawit,

Almatholib, Rachmadi dan Suherman (2017)

menyatakan bahwa morfologi tajuk yaitu

jumlah dan panjang anak daun berpengaruh

positif terhadap komponen hasil seperti bobot

cangkang, bobot kernel, jumlah buah per-

spikelet. Ukuran tajuk menjadi komponen

penting dalam pertumbuhan dan produksi

tanaman (Raharjo & Sadono, 2008).

Ukuran dan bentuk tajuk secara langsung

mempengaruhi produksi tanaman melalui

pengaruh faktor-faktor dominan dalam

lingkungan (iklim) mikro seperti intensitas

cahaya, suhu dan kelembapan relatif yang

ditimbulkannya (Luo et al., 2013). Pengaruh

iklim mikro tajuk terhadap produksi dan

kualitas buah telah terbukti pada tanaman

Camellia oleifera (Wen, Su, Ma, Yang, Wang,

Wang & Wang, 2018). Produksi buah

berkorelasi positif dengan intensitas cahaya

dan suhu rata-rata tahunan, tetapi berbanding

terbalik dengan kelembapan relatif rata-rata

tahunan (Wen et al., 2018).

Pengaruh tajuk terhadap produksi buah

juga berkaitan dengan kandungan nutrisi/hara

pada daun. Sebagaimana pada tanaman sawit,

produksi buah dipengaruhi nutrisi tajuk

melalui morfologi tajuk (Almatholib et al.,

2017). Beberapa hasil penelitian menunjukkan

keterkaitan antara status nutrisi daun dengan

pembungaan dan pembuahan. Pada mahoni,

perbedaan produksi buah dan benih berkaitan

langsung dengan perbedaan kandungan P pada

daun (Pramono et al., 2017). Untuk zaitun,

kandungan N pada daun mempengaruhi

intensitas pembungaan dan fruit set.

Peningkatan N pada daun dapat meningkatkan

intensitas pembungaan dan fruit set zaitun

selama kadar N masih dibawah 1,4 persen

(Erel, Yermiyahu, Van Opstal, Ben-Gal,

Page 61: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

140

Schwartz & Dag, 2013), sedangkan bobot

buah zaitun maksimum akan tercapai pada

kondisi nutrisi P sekitar 0,2 persen (Erel, Dag,

Ben-Gal, & Yermiyahu, 2011). Untuk

tanaman jeruk, disamping nutrisi N, nutrisi P

dan Ca pada daun juga mempengaruhi

kualitas pembungaan dan pembuahan yang

dihasilkan (Raveh, 2013).

Daun merupakan tempat berlangsungnya

proses fotosintesis dan respirasi yang

menghasilkan bahan organik dan energi yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

perkembangan tanaman (Jiang et al., 2011).

Lytovchenko et al. (2011) menyatakan bahwa

lebih dari 80 persen gula yang terkandung di

dalam buah diproduksi langsung oleh

fotosintesis pada daun. Dalam penelitian ini

morfologi (luas permukaan) dan anatomi

(kerapatan dan indeks stomata) daun mahoni

tidak mempengaruhi produksi buah/benih

(P>0,05) (Tabel 4). Hal ini mengindikasikan

intensitas cahaya yang diserap relatif sama

untuk semua ukuran luas daun mahoni.

Kasiman, Ramadhani dan Syamsudin (2017)

menyatakan bahwa perbedaan intensitas

cahaya yang diterima daun mahoni (S.

mahagoni) akan mempengaruhi sifat

morfologis daun. Ukuran daun mahoni yang

berada pada tempat terbuka lebih besar

dibandingkan dengan tempat yang ternaungi.

Demikian juga pada jenis ki baceta (Clausena

excavata) tingkat kerapatan stomata daunnya

dipengaruhi oleh intensitas cahaya (Budiono,

Sugiarti, Nurzaman, Setiawati, Supriatun &

Mutaqin, 2016). Adanya korelasi kerapatan

stomata dengan intensitas cahaya tersebut

dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

upaya meningkatkan kapasitas fotosintesis

(Marenco et al., 2017; Tanaka et al., 2013).

Kerapatan stomata mahoni berdasarkan hasil

penelitian ini berkisar antara 300.mm-2 hingga

lebih dari 560.mm-2. Hasil yang sama

dilaporkan (Tambaru, Latunra, & Suhadiyah,

2013) yaitu kerapatan stomata daun mahoni

termasuk kategori kerapatan rendah hingga

tinggi yang bervariasi pada rentang 300

stomata.mm-2 hingga lebih dari 500

stomata.mm-2.

Tidak adanya perbedaan serapan cahaya

matahari untuk berbagai kondisi morfologi

daun mahoni tersebut kemungkinan berkaitan

dengan tajuk pohon mahoni di Hutan

Penelitian Parungpanjang yang cenderung

padat (rimbun). Dalam penelitian ini sampel

daun yang diamati diperoleh dari 1/3 bagian

tajuk ke bawah. Pada tajuk yang padat, daun

yang berada di bagian bawah cenderung

memiliki luas permukaannya yang lebih besar

sebagai akibat terhambat atau kurang

maksimal cahaya matahari menembus masuk

ke lapisan tajuk yang lebih dalam (Noviyanti,

Ratnasari, & Ashari, 2014). Laju fotosintesis

pada daun ternaungi cenderung lebih lambat

daripada daun pada tempat terbuka dan

Page 62: p-ISSN 2354-8568

PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida

141

memanfaatkan fotosintat yang dihasilkan daun

bagian atas, sehingga fotosintat tidak

terdistribusi secara merata ke seluruh bagian

tanaman (Yulianto, Susilo, & Juanda, 2008).

Hal ini kemungkinan salah satu faktor

penyebab produksi buah/benih mahoni tidak

dipengaruhi luas permukaan daun, walaupun

luas permukaan daun berkorelasi positif

dengan lebar tajuk (P< 0,001). Zakariyya

(2016) menyebutkan bahwa bentuk tajuk yang

baik adalah bagian atas tajuk melebar dan

semakin vertikal ke bawah, karena dapat

mencegah tumpang tindih antar tajuk.

Proses pembentukan dan perkembangan

bunga dan buah sangat dipengaruhi oleh

ketersediaan unsur hara tanah sebagai suplai

energinya. Pohon dengan tajuk lebar memiliki

peluang memperoleh hara mineral dalam tanah

yang lebih banyak, karena terdapat korelasi

positif antara lebar tajuk dengan kemampuan

akar untuk menyerap unsur hara mineral di

dalam tanah (Raharjo & Sadono, 2008).

Tanaman mahoni mempunyai sistem

perakaran dalam dengan panjang perakaran

secara horizontal sekitar 1,0 m―3,0 m

(Wijayanto & Nurunnajah, 2012), sehingga

cenderung mampu menyerap unsur hara dalam

tanah secara maksimal. Pada jarak tanam

yang sempit, kondisi akar pada beberapa

pohon saling tumpang tindih yang akan

berdampak menurunnya fotosintesis sehingga

proses pembentukan bunga dan buah kurang

optimal. Selain kompetensi mendapatkan

unsur hara, jarak tanam yang lebar juga

menyebabkan tingginya sebaran sinar matahari

dalam tajuk tanaman, sehingga merangsang

percepatan fase generatif yang selanjutnya

akan mengoptimalkan produksi buah.

Semakin jarang jarak pohon semakin besar

persentase pohon yang berbuah pada periode

satu tahun (Syamsuwida et al., 2017). Untuk

itu jarak tanam menjadi salah satu faktor

pembatas terhadap peluang pohon mahoni

untuk berbuah. Implikasinya adalah untuk

pengelolaan tegakan mahoni yang ditujukan

untuk produksi benih hendaknya tegakan

dirancang dengan jarak tanam yang lebar.

Diharapkan kerapatan tegakan yang optimal

akan mengurangi persaingan pohon,

meningkatkan produksi biji per pohon, tetapi

pada saat yang sama, tidak mengorbankan

total produksi buah/benih.

IV. KESIMPULAN Secara keseluruhan produksi buah dan

benih mahoni di Parungpanjang dipengaruhi

kuat oleh diameter tajuk pohon. Produksi buah

dan benih terbesar dihasilkan pohon dengan

diameter tajuk lebih besar dari 11 m.

Morfologi daun yaitu luas permukaan daun

berkorelasi positif dengan diameter tajuk.

Morfologi dan anatomi (kerapatan dan indeks

stomata) daun bukan sebagai faktor pembeda

dalam produksi buah dan benih mahoni.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis haturkan

kepada Dra Dharmawati F.D., Endang

Page 63: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

142

Pujiastuti, S.Hut., MSi., Hasan Royani, R.

Agus Setiawan dan Anggi D. Savitri Hasibuan

atas bantuan dan kerjasamanya sehingga

penelitian ini dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA

Almatholib, S. A., Rachmadi, M., & Suherman, C. (2017). Pola hubungan nutrisi tajuk, morfologi tajuk, komponen tandan dan komponen hasil kelapa sawit pada lahan gambut di Kalimantan Tengah. Jurnal Agrikultura, 28(1), 1–8.

Andrew, W. D. (2014). Comparative analysis of selected factors affecting fruit phenotype and yield of Sclerocarya birrea in Tanzania. Tanzania Journal of Agricultural Sciences, 13(2), 27–39.

Ayari, A., Zubizarreta-Gerendiain, A., Tome, M., Tome, J., Garchi, S., & Henchi, B. (2012). Stand, tree and crown variables affecting cone crop and seed yield of Aleppo pine forests in different bioclimatic regions of Tunisia. Forest Systems, 21(1), 128–140. http://doi.org/10.5424/fs/2112211-11463

Blundell, A. G. (2007). Implementing CITES regulations for timber. Journal Ecological Applications, 17(2), 323–330. http://doi.org/10.1890/06-0127

Bramasto, Y., Sudrajat, D. J., Pujiastuti, E., & Danu. (2017). Towards a sustainable future for Acacia plantations. In Genetic diversity in seedling seed orchard of Mahogany (Swietenia macrophylla) at Parung Panjang , Bogor assessed by RAPD (pp. 1–6). Yogyakarta, Indonesia: IUFRO-INAFOR.

Budiono, R., Sugiarti, D., Nurzaman, M., Setiawati, T., Supriatun, T., & Mutaqin, Z. A. (2016). Kerapatan stomata dan kadar klorofil tumbuhan Clausena excavata berdasarkan perbedaan intensitas cahaya. In Seminar Nasional Pendidikan dan Saintek 2016 (pp. 61–65).

Erel, R., Dag, A., Ben-Gal, A., & Yermiyahu, U. (2011). The roles of nitrogen, phosphorus and potassium on olive tree productivity. Acta Hort., 888, 259–268.

http://doi.org/10.17660/ ActaHortic.2011.888.29

Erel, R., Yermiyahu, U., Van Opstal, J., Ben-Gal, A., Schwartz, A., & Dag, A. (2013). The importance of olive (Olea europaea L.) tree nutritional status on its productivity. Scientia Horticulturae, 159, 8–18. http://doi.org/10.1016/j.scienta.2013.04.036

Hardjana, A. . (2013). Model hubungan tinggi dan diameter tajuk dengan diameter etinggi dada pada tegakan tengkawang tungkul putih (Shorea macrophylla (de Vriese) P.S.Ashton) dan tungkul merah (Shorea stenoptera Burck.) di Semboja, Kabupaten Sanggau. Jurnal Penelitian Dipterokarpa, 7(1), 7–18.

Jiang, Z., Yu, J., Sanmei, M., & Wang, Y. (2011). Dynamic changes of stomatal characteristics during the flower, fruit and leaf developments of Zephyranthes candida (Lindl.) Herb. African Journal of Biotechnology, 10(62), 13470–13475. http://doi.org/10.5897/AJB10.2248

Kasiman, K., Ramadhani, D. S., & Syafrudin, M. (2017). Karakteristik morfologis dan anatomis daun tumbuhan tingkat semai pada paparan cahaya berbeda di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. J Hut Trop, I(1), 29–38.

Khoiroh, Y., Harijati, N., & Mastuti, R. (2014). Pertumbuhan serta hubungan kerapatan stomata dan berat umbi pada Amorphophallus muelleri Blume dan Amorphophallus variabilis Blume. J. Biotrop., 2(5), 249–253.

Kusumi, K., Hirotsuka, S., T, K., & Iba, K. (2012). Increased leaf photosynthesis caused by elevated stomatal conductancein a rice mutant deficient in SLAC1, a guard cell anion channel protein. Journal of Experimental Botany, 63(15), 5635–5644. http://doi.org/10.1093/jxb/err313

Luo, J., Que, Y., Zhang, H., & Xu, L. (2013). Seasonal variation of the canopy structure parameters and its correlation with yield-related traits in sugarcane. The Scientific World Journal, 2013, 1–12. http://doi.org/10.1155/2013/801486

Lytovchenko, A., Eickmeier, I., Pons, C., Osorio,

Page 64: p-ISSN 2354-8568

PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono dan Dida Syamsuwida

143

S., Szecowka, M., Lehmberg, K., … Fernie, A. R. (2011). Tomato fruit photosynthesis is seemingly unimportant in primary metabolism and ripening but plays a considerable role in seed development. Plant Physiol., 157, 1650–1663. http://doi.org/10.1104/pp.111.186874

Marenco, R. A., Camargo, M. A. B., Antezana-Vera, S. A., & Oliveira, M. F. (2017). Leaf trait plasticity in six forest tree species of central Amazonia. Photosynthetica, 55(4), 679–688. http://doi.org/10.1007/s11099-017-0703-6

Mastur. (2015). Sinkronisasi source dan sink untuk penigkatan produktivitas biji pada tanaman jarak pagar. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri, 7(1), 52–68.

Mindawati, N., & Megawati. (2013). Manual budidaya Mahoni (Swietenia macrophylla King.) (1st ed.). Bogor: Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan.

Mutaqin, A. Z., Budiono, R., Setiawati, T., Nurzaman, M., & Fauzia, R. S. (2016). Studi anatomi stomata daun mangga (Mangifera indica) berdasarkan perbedaan lingkungan. Jurnal Biodjati, 1(1), 13–18.

Noviyanti, R., Ratnasari, E., & Ashari, H. (2014). Pengaruh pemberian naungan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman stroberi varietas Dorit dan varietas Lokal Berastagi. LenteraBio, 3(3), 242–247.

Pantilu, L. I., Mantiri, F. R., Ai, N. S., & Pandiangan, D. (2012). Respons morfologi dan anatomi kecambah kacang kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap intensitas cahaya yang berbeda. Jurnal Bioslogos, 2(2), 79–87.

PDASHL, D. (2016). Petunjuk pelaksanaan standar sumber benih (2nd ed.). Jakarta: Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

Pereira, J. C., Evangelista, A. W. P., Laviola, B. G., Portes, T. d. A., Junior, J. A., & Casaroli, D. (2017). Canopy growth and productivity of Jatropha genotypes. Semina:Ciencias Agrarias Landrina, 38(1), 135–141. http://doi.org/10.5433/1679-0359.2017v38n1p135

Pompelli, M., Martins, S., Celin, E., Ventrella, M., & DaMatta, F. (2010). What is the influence

of ordinary epidermal cells and stomata on the leaf plasticity of coffee plants grown under full-sun and shady conditions? Brazilian Journal of Biology, 70(4), 1083–1088. http://doi.org/10.1590/S1519-69842010000500025

Pramono, A. A., Siregar, I. Z., Palupi, E. R., & Kusmana, C. (2015). Hubungan antara status nutrisi dengan produksi buah dan benih surian (Toona sinensis (A.Juss.) M.Roem.) di Hutan Rakyat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 12(3), 189–200.

Pramono, A. A., Syamsueida, D., & Djam’an, D. (2017). Produksi buah dan benih mahoni (Swietenia macrophylla) di Parung Panjang dan Jonggol (Bogor , Jawa Barat) serta kaitannya dengan status kesuburan tanah. In Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon (Vol. 3, pp. 381–389). http://doi.org/10.13057/psnmbi/m030315

Raharjo, J. ., & Sadono, R. (2008). Model tajuk jati (Tectona grandis L.F) dari berbagai famili pada Uji Keturunan umur 9 tahun. Jurnal Ilmu Kehutanan, II(2), 89–95. http://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2

Raveh, E. (2013). Citrus leaf nutrient status: A critical evaluation of guidelines for optimal yield in Israel. J. Plant Nutr Soil Sci, 176(May), 420–428. http://doi.org/10.1360/zd-2013-43-6-1064

Santoso, H. (2011). Kebijakan sumber benih dan potensi kebutuhan benih untuk mendukung penanaman satu milyar pohon. In A. Rimbawanto, B. Leksono, & A. Y. P. B. C. Widyatmoko (Eds.), Prosiding Seminar Nasional Pembangunan Sumber Benih ; Peran Sumber Benih Unggul dalam mendukung Keberhasilan Penanaman Satu Milyar Pohon (pp. 67–78). Yogyakarta: Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Saputro, B. . (2013). Pengaruh persepsi kemudahan penggunaan, kepercayaan, kecemasan berkomputer dan kualitas layanan terhadap minat menggunakan internet banking. Jurnal Nominal, II(1), 36–63.

Sugiyono, P. D. (2013). Statistik untuk penelitian. CV. Alvabeta Bandung, 10(1), 403. http://doi.org/2011

Sundari, T., & Atmaja, R. P. (2011). Bentuk sel

Page 65: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.6 No 2 Desember 2018: 133-144 p-ISSN : 2354-8568 e-ISSN : 2527-6565

144

epidermis, tipe dan indeks stomata 5 genotipe kedelai pada tingkat naungan berbeda. Jurnal Biologi Indonesia, 7(1), 67–80.

Syamsuwida, D., Pramono, A. A., Putri, K. ., Djam’an, D. F., & Pujiastuti, E. (2017). Laporan Hasil Penelitian Tahun 2016. Bogor: Tidak di[publikasikan.

Tambaru, E. (2017). Comparative analysis of stomatal type Swietenia macrophylla King and Polyalthia longifolia Bent and Hook.var. Pendula in Makassar, South Sulawesi, Indonesia. International Journal of Current Research and Academic Review, 5(3), 31–34. http://doi.org/10.20546/ijcrar.2017.503.005

Tambaru, E., Latunra, A. I., & Suhadiyah, S. (2013). Peranan morfologi dan tipe stomata daun dalam mengabsorpsi karbon dioksida pada pohon hutan kota Unhas Makassar. In N. . Soekanto, P. Taba, & M. Zakir (Eds.), Simposium Nasional Kimia Bahan Alam ke XXI (pp. 12–17). Makassar: Himpunan Kimia Bahan Alam INdonesia (HKBAI).

Tanaka, Y., Sugano, S. S., Shimada, T., & Hara-Nishimura, I. (2013). Enhancement of leaf photosynthetic capacity through increased stomatal density in Arabidopsis. New Phytologist, 198, 757–764.

http://doi.org/10.1111/nph.12186

Terashima, I., Hanba, Y. T., Tholen, D., & Niinemets, U. (2011). Leaf functional anatomy in relation to photosynthesis. Plant Physiol, 155(January), 108–116. http://doi.org/10.1104/pp.110.165472

Wen, Y., Su, S., Ma, L. yi, Yang, S., Wang, Y., Wang, X., & Wang, X. nan. (2018). Effects of canopy microclimate on fruit yield and quality of Camellia oleifera. Scientia Horticulturae, 235, 132–141. http://doi.org/10.1016/j.scienta.2017.12.042

Wijayanto, N., & Nurunnajah. (2012). Intensitas cahaya, suhu, kelembapan dan sistem perakaran mahoni (Swietenia macrophylla King.) di RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor. Jurnal Silvikultur Tropika, 3(1), 8–13.

Yulianto, Susilo, J., & Juanda, D. (2008). Keefektifan Teknik Perangsangan Pembungaan pada Kelengkeng. Jurnal Hortikultura, 18(2), 148–154.

Zakariyya, F. (2016). Menimbang indeks luas daun sebagai variabel penting pertumbuhan tanaman kakao|. Warta Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia, 28(3), 8–12.

Page 66: p-ISSN 2354-8568

PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN

4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA

Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat

© 2018 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2018.6.2.145-158 145

PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN 4,5 TAHUN

MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA

(The Improving Vigor of White Jabon Seeds after Storage for 4.5 Years Using Gamma Ray Irradiation)

Rahmad Suhartanto1, Tatiek K. Suharsi,

1 Evayusvita Rustam

2 dan/and Dede J. Sudrajat

2

1) Departemen Agronomi dan Hortikultura, Kampus Institut Pertanian Bogor

Jl. Meranti, Babakan, Dramaga, Kode Pos 16680, Bogor, Indonesia 2)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Indonesia

e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 25 Juni 2018; Naskah direvisi: 11 Oktober 2018; Naskah diterima: 19 Desember 2018

ABSTRACT

Low dosage gamma ray iradiation has a potency to improve the seed germination by increasing of enzimatic

activities, cell division, stimulating of responsive genes to auksin and improving of seed metabolism. The aim

of the research was to identify seed storability of white jabon (Neolamarckia cadamba) and to find out the effective gamma ray irradiation dosages to increase the seed vigor. Seeds were collected from 4 populations

(Alas Puwo, Kampar, Batu Hijau, dan Pomalaa) and were stored for 4,5 years. Randomized completely

design was used to analysis seed storability and the effect of irradiation dosages ((0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100 Gy) on the parameters of seed germination and seedling growth. The result showed that seed

storage for 4.5 years generally caused the decrease of seed viability and vigor, except for seeds from Batu

Hijau.Seed moisture content decreased significantly to 4.08-4.87percent. Gamma ray irradiation provided

different responses on the seed origin.Irradiation was only effetive to improve germination with an initial seed germination more than 40 percent. Overall, dose of 40 Gy was able to improve seed vigor and seedling

growth so that it can be applied to increase vigor of white jabon seeds. Keywords: germination, growth, seed, seedling, storability

ABSTRAK

Iradiasi sinar gamma dengan dosis rendah berpotensi untuk memperbaiki viabilitas dan vigor benih dan bibit

melalui peningkatan aktivitas enzim, pembelahan sel,gen-gen yang responsif terhadap auksin dan perbaikan metabolisme. Tujuan penelitian adalahmengetahui daya simpan benih jabon putih (Neolamarckia cadamba)

dan mendapatkan dosis iradiasi sinar gamma yang efektif untuk meningkatkan vigor benihnya.Benih yang

digunakan berasal dari 4 populasi (Alas Puwo, Kampar, Batu Hijau, dan Pomalaa) dan telah disimpan selama

4,5 tahun. Rancangan acak lengkap digunakan untuk menguji daya simpan dan pengaruh dosis iradiasi (0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100 Gy) terhadap parameter perkecambahan dan pertumbuhan bibit. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan benih selama 4,5 tahun secara umum mengakibat penurunan

viabilitas dan vigor benih dari beberapa asal benih (populasi), kecuali untuk asal benih Batu Hijau. Penyimpanan juga mengakibatkan kadar air benih menurun secara nyata hingga 4,08 persen−4,87 persen.

Iradiasi sinar gamma memberikan respon yang berbeda-beda pada setiap asal benih. Iradiasi sinar gamma

efektif meningkatkan perkecambahan benih dengan daya berkecambah awal lebih dari 40 persen. Secara

keseluruhan dosis iradiasi 40 Gy mampu memperbaiki perkecambahan benih dan meningkatkan pertumbuhan bibit sehingga bisa diaplikasikan untuk meningkatkan vigor benih jabon putih. Kata kunci : benih, bibit, daya simpan, perkecambahan, pertumbuhan.

I. PENDAHULUAN

Jabon putih [Neolamarckia cadamba

(Roxb.) Bosser, sinonim Anthocephallus

cadamba (Roxb.) Miq] merupakan tumbuhan

asli Indonesia yang cepat tumbuh sehingga

potensial untuk dikembangkan sebagai hutan

tanaman dan hutan rakyat. Jabon putih

menghasilkan kayu yang dapat dimanfaatkan

Page 67: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

146

sebagai kayu lapis, konstruksi, pulp, papan

serat, dan papan partikel (Sudrajat, 2016).Saat

ini jabon putih sudah banyak dibudidayakan

baik dalam skala kecil dalam bentuk hutan

rakyat terutama di Jawa dan Kalimantan

Selatan, maupun skala besar di beberapa

daerah seperti Sumatera Utara, Riau dan

Kalimantan Tengah (Kallio, Krisnawati,

Rohadi, & Kanninen, 2011; Krisnawati,

Kallio, & Kanninen, 2011;Irawan & Purwanto,

2014).

Salah satu kendala dalam budidaya jabon

putih adalah sulitnya untuk mendapatkan

benih bermutu tinggi dan teknik penanganan

benih yang relatif lebih sulit karena benihnya

berukuran sangat kecil (benih halus) (Irawan

& Purwanto, 2014; Sudrajat, 2015). Selain itu,

daya simpan benihpun masih belum diketahui

dengan pasti. Menurut Mansur (2012), benih

jabon putih tidak disarankan untuk disimpan

dalam kurun waktu yang lama karena setelah

disimpan selama 2-3 bulan,benih mengalami

penurunan daya berkecambah. Di lain pihak

Yuniarti dan Nurhasybi (2015) menyatakan

bahwa benih jabon putih dikategorikan sebagai

benih ortodoks, dimana memungkinkan

memiliki daya simpan lama dalam kondisi

suhu dan kadar air rendah (<5 persen).

Daya simpan benih dipengaruhi oleh

berbagai faktor diantaranya struktur benih,

komposisi biokimia, mutu fisiologis awal

benih dan dormansi(Yuniarti & Nurhasybi,

2015;Sudrajat & Nurhasybi, 2017), proses

penanganan benih (Shelar, Shaikh, & Nikam,

2008;Khatun, Kabir, & Bhuiyan, 2009),

ekologi tempat tumbuh (Yasaka, Takiya,

Watanabe, Oono, & Mizui, 2008), kondisi dan

lama penyimpanan (Suszka, Plitta, Michalak,

Bujarska-Borkowska, Tylkowski &

Chmielarz, 2014)serta faktor genetik (Sudrajat

& Nurhasybi, 2017).Secara umum,

penyimpanan benih bertujuan untuk

mempertahankan viabilitas sehingga masih

bisa digunakan pada masa tanam berikutnya.

Lamanya waktu penyimpanan benih dapat

menyebabkan terjadinya kemunduran

mutu,baik fisik, fisiologi maupun biokimia

yang mengakibatkan penurunan viabilitas dan

vigorbenih (Mustika, Suhartanto, & Qodir,

2014). Peningkatan mutu benih yang

mengalami penurunan dapat dilakukan dengan

memberi perlakuan sebelum tanam dengan

perlakuan invigorasi melalui metode priming

(Ilyas, 2012)dan iradiasi sinar gamma (Araújo,

Paparella, Dondi, Bentivoglio, Carbonera &

Belestrazzi, 2016; Zanzibar, Megawati,

Pujiastuti, & Sudrajat, 2015; Zanzibar &

Sudrajat, 2016). Penggunaan iradiasi sinar

gamma dapat menghasilkan pengaruh

stimulasi awal perkecambahan melalui

peningkatan aktivitas enzim, peningkatan

pembelahan sel,perbaikan perkecambahan dan

pertumbuhan bibit (Ikram, Dawar, Abbas, &

Javed, 2010; Piri, Babayan, Tavassoli, &

Page 68: p-ISSN 2354-8568

PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN

4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA

Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat

147

Javaheri, 2011;Iglesias-Andreu, Octavio-

Aguilar, & Bello-Bello, 2012; Araújo et al.,

2016).Penggunaan iradiasi untuk memperbaiki

vigor benih telah banyak dilakukan pada jenis-

jenis tanaman pertanian (Piri et al., 2011),

namun untuk jenis-jenis tanaman hutan,

khususnya jenis-jenis tropis masih sangat

terbatas (Iglesias-Andreu et al., 2012).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

tingkat penurunan viabilitas dan vigor benih

jabon putih dari 4 populasi (Alas Purwo,

Kampar, Batu Hijau dan Pomalaa) setelah

penyimpanan 4.5 tahun dan menentukan dosis

iradiasi sinar gamma yang efektif untuk

meningkatkan vigor benih dan bibit jabon

putih.Informasi ini diharapkan memberikan

gambaran dan panduan untuk memperbaiki

viabilitas dan vigor benih jabon putih dengan

metode invigorasi fisik menggunakan radiasi

sinar gamma.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Benih jabon putih yang digunakan dalam

penelitian ini berasal dari 4 populasi, yaitu

Alas Purwo-Jawa Timur (08°38’ LS, 114°21’

BT, 33 m dpl), Kampar-Riau (00°18’ LU,

100°57’ BT, 50 m dpl), Batu Hijau-Sumbawa

(08°58’ LS, 116°48’ BT, 53 m dpl), dan

Pomalaa-Sulawesi Tenggara (04°03’ LS,

121°39’ BT, 210 m dpl). Bahan lain yang

digunakan adalah pasir, tanah, kompos arang

sekam, polibag, dan shading net. Alat-alat

yang digunakan adalah timbangan analitik,

box mika ukuran 15 cm x 10 cm, kaliper

digital, penggaris, oven, dan alat lainnya.

B. Prosedur Penelitian

1. Penanganan benih

Benih dikumpulkan dari 10 pohon induk

untuk setiap provenan. Benih diekstraksi

dengan metode ekstraksi basah, kemudian

benih tersebut dikeringanginkan selama 3 hari

(Sudrajat, 2015). Benih tersebut kemudian

kompositkan dengan mencampurkan benih

dari setiap pohon induk dengan proporsi yang

sama. Setiap kelompok benih yang telah

dikompositkan dikemas dalam plastik klip dan

diberi identitas sesuai dengan lokasi tempat

pengumpulannya.

2. Pengujian perkecambahan dan vigor

benih awal

Kadar air benih sebelum dan setelah

penyimpanan diukur dengan metode oven

pada suhu (103±2)°C selama 17 jam. Contoh

kerja untuk kadar air dalam penelitian ini

adalah 5 g yang diulang sebanyak empat kali.

Penghitungan kadar air benih mengacu pada

ketentuan ISTA (2010).

Pengujian viabilitas dan vigor benih

menggunakan metode uji di atas pasir (UDP)

(Sudrajat, Nurhasybi, & Bramasto, 2017).

Media tanam terlebih dahulu dijemur sampai

kering, kemudian media diayak untuk

mendapatkan media yang halus. Media

dimasukkan ke dalam bak perkecambahan dan

disiram sampai jenuh. Jumlah benih yang

ditabur sebanyak 100 butir masing-masing 4

ulangan untuk setiap provenan. Benih jabon

Page 69: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

148

putih berukuran sangat kecil sehingga

penaburan dilakukan dengan mencampur

benih dengan pasir halus dengan perbandingan

1:10 (v/v). Pencampuran bertujuan agar benih

tersebar merata di permukaan media,

selanjutnya ditutup dengan plastik untuk

mempertahankan kelembaban selama proses

perkecambahan. Tutup plastik dibuka setelah

kecambah mulai muncul, bertujuan agar

cahaya dan udara luar bisa masuk.

Kriteria kecambah normal jabon putih

adalah munculnya sepasang daun secara

sempurna.Pengamatan dilakukan setiap hari

hingga tidak ada lagi benih yang berkecambah

(±40 hari). Parameter yang diamati meliputi

daya berkecambah, keserempakan tumbuh,

kecepatan tumbuh, dan nilai perkecambahan

dengan rumus sebagai berikut:

a. Daya berkecambah (Gairola, Nautiyal,

Sharma, & Dwivedi, 2011):

………(1)

b. Kecepatan tumbuh (Sadjad, 1993):

…..........(2)

c. Nilai perkecambahan(Gairola et al., 2011):

……………………………..(3)

………………….(4)

…………..(5)

Keterangan:

PV = peak value (puncak perkecambahan)

MDG= mean daily germination 3. Penyimpanan benih

Benih masing-masing provenan disimpan

dalam plastik klip berukuran 10 cm x 15 cm

sebanyak 50g. Plastik tersebut diberi identitas

asal provenan dan tanggal penyimpanan.

Penyimpanan dilakukan di refrigrator pada

suhu 0 ºC − 4ºC dan kelembapan nisbi 40

persen−50 persen. Benih tersebut disimpan

selama 4,5 tahun (52 bulan).

4. Perlakuan iradiasi sinar gamma dan

pengujian mutu benihnya

Benih yang telah mengalami penyimpanan

diberi perlakuan radiasi dengan menggunakan

gammacell 220 dengan sumber radiasi 60Co

[Cobalt-60] dan laju 6645.7 Gy/jam. Dosis

iradiasi 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90

dan 100 Gy (Bodele, 2013).Benih yang

diiradiasi sebanyak 100 butir dimasukkan ke

dalam plastik klip. Setiap perlakuan terdiri dari

4 ulangan sehingga terdapat 44 satuan

percobaan. Pengujian perkecambahan dan

vigor benih dilakukan seperti pada pengujian

mutu benih awal (sebelum disimpan) dengan

parameter perkecambahan yang diamati adalah

daya berkecambah (Gairola et al., 2011),

kecepatan berkecambah (Sadjad, 1993), dan

nilai perkecambahan (Gairola et al., 2011).

5. Persemaian dan pengamatan performa

bibit

Selain perkecambahan pengamatan

dilanjutkan pada tingkat bibit. Penyapihan

dilakukan terhadap semai berumur 2 bulan

setelah tabur dengan ukuran tinggi semai 2 cm

−3 cm (Sudrajat, 2015). Penyapihan dilakukan

pada media campuran tanah, kompos dan

sekam (3:2:1 v/v/v) dalam polibag 10 cm x 15

cm. Parameter pertumbuhan tinggi, diameter

Page 70: p-ISSN 2354-8568

PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN

4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA

Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat

149

dan jumlah daun bibit dilakukan pada akhir

pengamatan (bibit umur 5 bulan setelah sapih)

sebanyak 3 ulangan, masing-masing ulangan

terdiri dari 20 bibit, sedangkan berat kering

total, indek kekokohan dan rasio pucuk akar

bibit sebanyak 3 ulangan dan masing-masing

ulangan menggunakan 3 bibit. Parameter yang

diamati adalah (Sudrajat, 2015):

a. Tinggi dan diameter bibit

Tinggi bibit diukur menggunakan

penggaris dari batas awal pertumbuhan batang

sampai akhir titik tumbuh. Diameter batang

diukur dengan menggunakan kaliper digital

pada bagian pangkal batang.

b. Berat kering total bibit

Pengukuran berat kering total bibit

dilakukan dengan cara mengeringkan semua

bagian bibit (akar, batang dan daun) dengan

oven suhu 70°C selama 48 jam.

c. Indeks kekokohan bibit

Indeks kekokohan bibit memberi indikasi

kemampuan bibit untuk berhasil tumbuh di

lapangan. Indeks kekokohan bibit merupakan

rasio tinggi dengan diameter bibit.

C. Analisis Data

Rancangan penelitian yang digunakan

adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan

dosis radiasi sebagai perlakuan. Analisis

ragam digunakan untuk menganalisis pengaruh

perlakuan terhadap parameter viabilitas dan

vigor benih dan bibit. Bila hasil analisis ragam

berpengaruh nyata, maka dilanjutkan uji

Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada

taraf 5 persen.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Perkecambahan dan vigor benih

sebelum dan setelah penyimpanan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

asal benih (provenan) berpengaruh nyata

terhadap semua parameter perkecambahan

benih sebelum dan setelah penyimpanan,

kecuali untuk parameter kadar air setelah

penyimpanan (Tabel 1).

Tabel (Table)1. Rata-rata dan Uji-t kadar air (KA), daya berkecambah (DB), kecepatan tumbuh

(KCT), dan nilai perkecambahan (NP) benih jabon putih sebelum dan setelah (4,5

Tahun) penyimpanan (Moisture content (KA), germination capacity (DB), germination

speed (KCT), and germination value (NP) of white jabon seed before and after storage

(4.5 years)).

Asal benih

(Seed origin)

KA

(Moisture content) (%)

DB

(Germination capacity) (%)

Kct

Germination speed) (% etmal-1)

NP

(Germination value)

DMRT t-test DMRT t-test DMRT t-test DMRT t-test

0 tahun

(year)

4.5 tahun

(years)

0 tahun

(year)

4.5 tahun

(years)

0 tahun

(year)

4.5 tahun

(years)

0 tahun

(year)

4.5 tahun

(years)

Alas Purwo 7,29 ab 4,49 * 53,25 e 40,75 c ** 4,28 d 2,57 c * 3,78 c 1,16 c ns

Kampar 7,52 a 4,87 * 69,00 c 26,50 d * 5,62 b 1,61 d ns 6,45 b 0,41 de ns

Batu Hijau 6,88 b 4,08 * 63,00 b 67,50 b ** 4,20 d 4,48 b ** 3,66 c 1,90 b *

Pomalaa 5,58 c 4,48 ** 82,75 a 79,00 a ** 6,71 a 5,39 a ** 8,72 a 4,52 a *

F-hitung(F-test) ** ns ** ** ** ** ** **

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak

berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (P≤0,05) berdasarkan uji selang berganda Duncan,

**=berpengaruh sangat nyata pada 1%, *=berpengaruh nyata pada5% ns = tidak berpengaruh

nyata pada 5% (Values followed by different letters in the same column indicate significant differences at P

≤ 0.05 based on Duncan multiple range test).

Page 71: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

150

Penurunan nyata terhadap parameter

perkecambahan benih sebelum dan setelah

disimpan semua provenan kecuali parameter

kecepatan tumbuh (Kampar) dan nilai

perkecambahan (Alas Purwo dan Kampar).

Penyimpanan benih selama 4,5 tahun

menghasilkan kadar air yang mencapai

kesetimbangan dengan kisaran 4,08

persen−4,87 persen atau mengalami penurunan

19,71 persen − 40,70 persen dan menurun

secara nyata dari kadar air awal (benih

sebelum disimpan) (Tabel 1). Penurunan kadar

air diikuti penurunan daya berkecambah benih,

kecuali benih asal Batu Hijau yang

menunjukkan peningkatan daya berkecambah

sekitar 3,50 persen (dari 63,00 persen menjadi

67,50 persen). Penyimpanan benih juga

mengakibatkan perubahan vigor benih, yang

digambarkan dengan perubahan kecepatan

tumbuh dan nilai perkecambahan benih. Benih

asal Pomalaa memiliki vigor tertinggi dengan

kecepatan tumbuh 5,39 persen etmal-1dan nilai

perkecambahan 4,52, sedangkan benih asal

Kampar memiliki vigor benih terendah setelah

penyimpanan dengan nilai kecepatan tumbuh

1,61 persen.etmal-1 dan nilai perkecambahan

0,41.

2. Pengaruh iradiasi sinar gamma

terhadap perkecambahan dan vigor

benih

Analisis ragam menunjukkan bahwa

perlakuan iradiasi sinar gamma berpengaruh

nyata terhadap daya berkecambah benih

(Tabel 2). Perlakuan iradiasi dengan dosis 10

Gy – 50 Gy memberi kecenderungan

peningkatan daya berkecambah, namun

responnya berbeda-beda untuk setiap asal

benih. Selanjutnya peningkatan dosis iradiasi

sampai 100 Gy daya berkecambah benih

cenderung mengalami penurunan pada semua

asal benih. Tabel(Table) 2. Daya berkecambah benih jabon putih pada beberapa dosis iradiasi sinar gamma

setelah penyimpanan (Germination capacity of white jabon seeds on the several

gamma irradiation dosages after storage)

Dosis iradiasi

(irradiation dosages)

(Gy)

Daya berkecambah dari 5 asal benih

(Germination capacity of the 5 seed origins) (%)

Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa

0 40,75 ab 26,50 ab 67,50 bcd 79,00 abc

10 40,75 ab 26,50 ab 64,75 bcd 88,25 a

20 38,75abc 13,00 d 73,25 abc 88,00 a

30 26,75 c 24,25 abc 82,25 a 75,00 abc

40 46,75 a 15,25 cd 76,75 ab 82,00 abc

50 43,00 ab 27,00 a 72,75 abc 84,00 ab

60 39,25 ab 19,75 bcd 75,00 abc 84,50 ab

70 38,50 abc 25,25 abc 71,75 abc 64,00 c

80 43,00 ab 19,00 a-d 64,25 cd 65,75 abc

90 32,50 bc 21,75 a-d 65,00 bcd 86,25 a

100 33,00 bc 16,00 bcd 58,75 d 64,25c

F-hitung (F-test) * * ** *

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang samapadakolomyang sama menunjukkan hasil yang tidak

berbedanyata pada taraf 5% berdasarkan uji selang berganda Duncan, ns = tidak berpengaruh nyata,*= berpengaruh nyata pada 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada 1% (Values followed by different letters in the same column indicate significant differences at P≤0.05 based on Duncan multiple range tes, ns=no significant, *=significant at P < 0.05, **=significant at P > 0.01)

Page 72: p-ISSN 2354-8568

PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN

4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA

Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat

151

Kecepatan tumbuh dipengaruhi oleh

iradiasi sinar gamma. Setelah iradiasi sinar

gamma, benih mempunyai kecepatan tumbuh

yang cenderung lebih lambat dibandingkan

dengan benih tanpa iradiasi (kontrol), kecuali

pada beberapa perlakuan dosis iradiasi, seperti

pada dosis 40 Gy pada benih dari Alas Purwo

dan Batu Hijau (Tabel 3). Tabel(Table) 3 Kecepatan tumbuh (KCT) benih jabon putih pada beberapa dosis iradiasi sinar

gamma (Germination speed (KCT) of white jabon seeds on the several gamma rays

irradiation dosages) Dosis iradiasi (Irradiation

dosages) (Gy)

KCT (Germination speed) (%KN etmal-1)

Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa

0 2,57 ab 1,61 a 4,48 a 5,39 a

10 1,85 bc 1,26 abc 3,58 ab 5,40 a

20 2,07 abc 0,69 d 4,04 ab 5,40 a

30 1,59 c 1,25 abc 4,38 a 4,18 bc

40 2,65 a 0,74 cd 4,48 a 4,69 ab

50 2,37 ab 1,45 bc 4,32 a 4,76 ab

60 2,18 abc 0,98 bcd 4,36 a 4,68 ab

70 1,97 abc 1,21 a-d 4,33 a 3,34 c

80 2,42 ab 0,90 bcd 3,87 ab 3,57 c

90 1,95 abc 1,11 a-d 3,65 ab 4,80 ab

100 1,84 bc 0,76 cd 3,30 b 3,44 c

Fhitung (F-test) * ** * **

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang samapadakolomyang sama menunjukkan hasil yang tidak

berbedanyata pada taraf 5% berdasarkan uji selang berganda Duncan, ns = tidak berpengaruh nyata,*= berpengaruh nyata pada 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada 1% (Values followed by different letters in the same column indicate significant differences at P≤0.05 based on Duncan multiple range tes, ns=no significant, *=significant at P < 0.05, **=significant at P > 0.01)

Nilai perkecambahan hanya berpengaruh

pada benih asal Pomala setelah perlakuan

iradiasi sinar gamma (Tabel 4) yang

menunjukkan kecenderungan nilai

perkecambahan meningkat pada dosis iradiasi

hingga 60 Gy dan kemudian menurun.

Peningkatan tertinggi terjadi setelah diiradiasi

dengan dosis 10 Gy dengan nilai

perkecambahan 8,22 (Tabel 4).

Tabel(Table) 4. Nilai perkecambahan benih jabon putih pada beberapa dosis iradiasi sinar gamma

(Gemination values of white jabon seeds on the several gamma rays irradiation

dosages) Dosis iradiasi (Irradiation dosages)

(Gy) Nilai perkecambahan (Germination value)

Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa

0 1,16 0,41 1,90 4,52 bcd 10 0,76 0,42 3,76 8,22 a 20 0,91 0,16 3,14 6,78 ab 30 0,55 0,36 3,38 5,14 bc 40 1,53 0,23 3,52 4,79 bcd 50 1,31 0,46 4,72 3,64 cde 60 0,95 0,19 4,10 5,48 bc

70 0,94 0,32 4,51 1,58 e 80 1,35 0,16 4,22 2,22 de 90 1,14 0,41 2,92 5,03 bc

100 0,60 0,12 2,99 1,97 e

Fhitung (F-test) ns ns ns **

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolomyang sama menunjukkan hasil yang tidak

berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji selang berganda Duncan, ns = tidak berpengaruh nyata,*= berpengaruh nyata pada 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada 1% (Values followed by different letters

in the same column indicate significant differences at P≤0.05 based on Duncan multiple range tes, ns=no significant, *=significant at P < 0.05, **=significant at P > 0.01)

Page 73: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

152

3. Pengaruh iradiasi sinar gamma

terhadap pertumbuhan bibit Perlakuan iradiasi sinar gamma terhadap

benih hasil analisis ragam menunjukkan

pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi dan

diameter bibits semua asal benih (Tabel 5).

Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa semua

asal benih mengalami peningkatan tinggi pada

rentang dosis 10 Gy sampai 70 Gy. Dosis

iradiasi 40 Gy merupakan dosis yang efektif

untuk meningkat tinggi bibit pada semua asal

benih. Selanjutnya peningkatan dosis sampai

100 Gy menyebabkan pertumbuhan bibit lebih

pendek. Perlakuan iradiasi hanya

meningkatkan ukuran diameter bibit pada asal

benih Kampar dengan dosis iradasi 40 Gy

(Tabel 5). Sementara untuk asal benih lain

perlakuan iradiasi menyebabkan diameter

lebih kecil. Berat kering total bibit dan indek

kekokohan bibit semua asal benih dipengaruhi

oleh iradiasi sinar gamma (Tabel 6). Berat

kering total bibit semua asal benih meningkat

pada rentang dosis 30 Gy−50 Gy. Dosis

iradiasi yang efektif untuk meningkatkan berat

kering bibit semua asal benih adalah dosis 40

Gy (3,83 gram sampai 9,85 gram).

Tabel (Table) 5.Tinggi dan diameter bibit jabon putih pada beberapa dosis iradiasi sinar gamma

(Height and diameter of white jabon seedlings on the several gamma rays

irradiation dosages)

Dosis iradiasi

(Irradiation dosages) (Gy)

Tinggi (Height) (cm) Diameter (Diameter) (mm)

Alas Purwo

Kampar Batu Hijau

Pomalaa Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa

0 15,37 cd 10,67 bc 17,01 e 13,62 d 2,77 ab 2,79

bcd 2,90 a 2,87 ab

10 9,62 e 6,47 d 23,83 b 25,22 b 1,73 cd 1,78 e 2,56 ab 3,13 a 20 15,00 cd 15,84 a 20,27 cd 19,70 c 1,98 cd 3,17 ab 2,50 ab 2,70 bc

30 25,63 ab 11,47 b 24,86 b 19,47 c 2,87 ab 2,39 d 2,74 ab 2,53 cd

40 27,49 a 17,88 a 28,89 a 28,70 a 3,05 a 3,43 a 2,92 a 2,98 ab 50 13,10 d 16,47 a 23,06 bc 28,64 a 2,13 c 3,00 b 2,71 ab 3,12 a

60 17,87 c 7,79 d 19,84 cd 15,35 d 2,88 ab 2,50 cd 2,47 b 2,29 d

70 22,59 b 11,98 b 23,87 b 18,57 c 2,65 ab 2,86 bc 2,60 ab 2,55 cd

80 9,00 e 8,68 cd 10,58 f 9,87 e 2,56 b 2,77

bcd 2,70 ab 2,55 cd

90 5,17 f 3,11 e 7,74 f 15,34 d 1,62 d 1,39 f 1,52 d 2,29 d

100 7,68 ef 7,17 d 15,10 e 10,42 e 1,79 cd 1,99e 2,09 c 1,85 e

Fhitung (F-test) ** ** ** ** ** ** ** ** Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji selang berganda Duncan, ns = tidak

berpengaruh nyata,*= berpengaruh nyata pada 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada 1%

(Values followed by different letters in the same column indicate significant differences at

P≤0.05 based on Duncan multiple range tes, ns=no significant, *=significant at P < 0.05,

**=significant at P > 0.01)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

sebelum perlakuan, indek kekokohan bibit

untuk asal benih Alas Purwo dan Batu Hijau

memenuhi standar indek yang ditentukan yaitu

Page 74: p-ISSN 2354-8568

PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN

4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA

Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat

153

5.1-12 (SNI 01-5006-1-1999), sedangkan asal

benih Kampar dan Pomalaa indek

kekokohannya masih dibawah standar yaitu

3.86 dan 4.84. Perlakuan iradiasi sinar gamma

mampu meningkatkan nilai indek menjadi 5,00

– 5,66 untuk bibit Kampar pada dosis 20-30

Gy dan menjadi 6,60 – 9,64 untuk bibit asal

Pomalaa pada dosis 10 – 90 Gy (Tabel 6).

Peningkatan nilai indek juga terjadi pada asal

benih yang sudah memenuhi standar dan

bahkan pada beberapa asal benih nilai

indeknya melebihi standar yang

ditentukan.Bibit dengan nilai indek

kekokohannya di bawah atau/dan di atas

standar mengindikasikan bahwa bibit tersebut

tidak mampu tumbuh baik pada saat di

lapangan, karena terjadi ketidakseimbangan

antara tinggi dengan diameter bibit.

Tabel (Table) 6. Berat kering total dan indek kekokohan bibit jabon putih perlakuan iradiasi sinar

gamma (Biomass and sturdiness quotient of white jabon seedlings on the several gamma

rays irradiation dosages)

Dosis iradiasi (Irradiation dosages) (Gy)

Berat kering total (Total biomass) (g) Indeks kekokohan (Sturdiness quotient)

Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa Alas Purwo Kampar Batu Hijau Pomalaa

0 3,03 b 2,01 bc 5,47 c 3,25 b 5,72 c 3,86 cd 6,06 bc 4,84 e 10 1,15 b 0,62 cd 3,42 c 3,72 bc 5,86 c 3,91cd 13,28 a 8,01 b 20 2,80 b 3,13 ab 1,68 c 3,40 bcd 7,87 b 5,17 a 11,41 ab 7,29 bc 30 3,58 a 1,33 cd 2,62 c 1,12 de 8,84 a 5,00 ab 11,15 ab 7,89 b 40 3,85 a 3,83 a 9,85 b 3,70 bc 8,98 a 5,66 a 11,69 ab 9,64 a 50 3,23 a 1,38 cd 14,11 a 12,00 a 6,84 bc 3,19 cde 12,79 bc 9,45 a 60 1,96 b 0,58 cd 2,51 c 1,96 b-e 6,37 c 3,82 de 11,61 ab 6,60 cd

70 1,23 b 1,31 cd 1,79 c 1,39 cde 8,92 a 3,38 bc 13,25 a 7,39 bc 80 1,00 b 1,22 cd 2,04 c 3,22 bcd 3,74 de 3,24 cde 6,51 bc 3,82 f 90 1,29 b 0,27 d 1,02 c 2,25 b-e 3,35 e 2,38 e 4,37 c 6,83 c

100 0,98 b 0,75 cd 0,77 c 0,52 e 4,51 d 3,63 cd 10,25 abc 5,72 de

F-hitung * ** ** ** ** ** * **

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolomyang sama menunjukkan hasil yang

tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji selang berganda Duncan, ns = tidak

berpengaruh nyata,*= berpengaruh nyata pada 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada 1%

(Values followed by different letters in the same column indicate significant differences at

P≤0.05 based on Duncan multiple range tes, ns=no significant, *=significant at P < 0.05,

**=significant at P > 0.01) B. Pembahasan

1. Perkecambahan dan vigor benih

sebelum dan setelah penyimpanan

Penyimpanan benih merupakan salah satu

upaya untuk mempertahan mutu benih agar

dapat digunakan pada masa tanam berikutnya.

Selama penyimpanan proses metabolisme akan

terus berlangsung sehingga mutu fisiologisnya

akan terus menurun. Penurunan viabilitas dan

vigor benih terjadi hampir pada semua asal

benih dengan kecenderungan berbeda-beda

pada setiap asal benih. Kemampuan benih

disimpan atau daya simpan benih dipengaruhi

oleh beberapa faktor, seperti genetik dan

ekologi tempat tumbuh (Yasaka et al., 2008).

Sudrajat (2016) menyatakan bahwa jabon

putih dari populasi yang berbeda memiliki

keragaman genetik yang cukup luas. Pada

penelitian ini, asal benih jabon putih berasal

dari beberapa populasi berbeda yang

Page 75: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

154

mempunyai keragaman genetik antar populasi

yang luas (Sudrajat, Siregar, Khumaida,

Siregar, & Mansur, 2014;Sudrajat, 2016) dan

diduga berpengaruh terhadap daya simpan

benihnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

benih yang berasal dari kondisi tempat tumbuh

lebih basah (Kampar curah hujan 3000

mm/tahun) memiliki daya simpan lebih

singkat dibandingkan dengan benih berasal

dari kondisi tumbuh yang kering (Batu Hijau

curah hujan 2290 mm/tahun dan Pomalaa 1780

mm/tahun). Hal ini terlihat dari daya

berkecambah benih setelah penyimpanan asal

benih Kampar hanya mampu mempertahan

viabilitas sebesar 26,50 persen, sedangkan

asal benih Batu Hijau dan Pomalaa daya

berkecambahnya benih masih tinggi, yaitu di

atas 60 persen. Hal ini sejalan dengan Joker

(2002) menyatakan bahwa periode

penyimpanan benih akan lebih singkat pada

daerah yang lebih basah.

Vigor benih merupakan sejumlah sifat

yang menggambarkan beberapa karakteristik

yang berhubugan dengan penampilan suatu lot

benih, diantaranya kecepatan tumbuh dan

kemampuan benih untuk berkecambah setelah

mengalami penyimpanan(Marcos Filho, 2015).

Benih yang berasal dari Batu Hijau dan

Pomalaa merupakan asal benih yang memiliki

vigor tinggi setelah penyimpanan yang

ditandai dengan kecepatan berkecambah dan

nilai perkecambahan yang cukup tinggi serta

rata-rata waktu berkecambah yang relatif lebih

cepat dibandingkan dengan asal benih lain.

2. Pengaruh iradiasi sinar gamma

terhadap perkecambahan dan vigor

benih

Benih yang telah mengalami kemunduran

secara biokimia diindikasikan dengan terjadi

perubahan aktivitas enzim, perubahan laju

respirasi, perubahan cadangan makanan,

perubahan membran sel, dan kerusakan

kromosom (Shaban, 2013). Kondisi tersebut

berdampak pada menurunnya viabilitas dan

vigor benih. Pemaparan benih terhadap iradiasi

sinar gamma dengan dosis rendah dapat

merangsang proses biokimia dan fisiologis

dalam benih sehingga berpotensi untuk

memperbaiki proses perkecambahan (Sudrajat

& Zanzibar, 2009). Pada penelitian ini,

beberapa dosis iradiasi sinar gamma (< 50 Gy)

mampu meningkatkan perkecambahan benih

jabon putih.

Kepekaan benih terhadap dosis iradiasi

sinar gamma berbeda-beda yang diduga

disebabkan viabilitas awal benih dan karakter

genetik setiap asal benih yang berbeda.

Perlakuan iradiasi terhadap benih jabon putih

dalam hubungannya dengan tujuan

peningkatan viabilitas benih potensial dapat

diterapkan pada benih yang memiliki rentang

daya berkecambah awal (sebelum perlakuan)

60 persen sampai 70 persen, sedangkan untuk

viabilitas di bawahnya menghasilkan

Page 76: p-ISSN 2354-8568

PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN

4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA

Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat

155

perbedaan daya berkecambah yang tidak

berbeda nyata dengan kontrol.

Vigor benih merupakan sifat-sifat untuk

menentukan tingkat potensi aktivitas dan

kinerja benih atau lot benih selama

perkecambahan atau pemunculan kecambah

(Marcos Filho, 2015). Ciri-ciri benih vigor

salah satunya dapat ditandai dengan kecepatan

tumbuh benih. Iradiasi sinar gamma sampai

dosis 100 Gy menyebabkan kecepatan tumbuh

benih lebih lama dibanding dengan benih

tanpa perlakuan. Kecepatan tumbuh benih

berkaitan dengan kemampuan benih untuk

mengimbibisi air ke dalam benih. Air yang

masuk ke benih membantu dalam proses

aktivitas enzim yang sebelumnya telah

terstimulasi dari iradiasi sinar gamma. Namun

pada penelitian ini setelah iradisi dan imbibisi

tidak mampu mempercepat kecepatan tumbuh

benih. Sementara, nilai perkecambahan untuk

asal benih Pomalaa meningkat sampai 81,86

persen pada dosis iradiasi 10 Gy. Ranal dan

Santana (2006) menyatakan nilai

perkecambahan merupakan indeks untuk

menyatakan kecepatan dan kesempurnaan

benih untuk berkecambah.

3. Pengaruh iradiasi sinar gamma

terhadap pertumbuhan bibit

Tinggi tanaman merupakan karakter

penting sebagai indikator pertumbuhan

tanaman dan merupakan indikator bibit siap

tanam (Sudrajat, 2010). Rentang dosis 10 Gy

−70 Gy meningkatkan pertumbuhan tinggi dan

diameter bibit. Pada dosis ini diduga dapat

memberi pengaruh hormosis yang mampu

merangsang pertumbuhan tinggi dan diameter

bibit dibandingkan dengan kontrol. Pengaruh

stimulasi sinar gamma terhadap pertumbuhan

bibit diduga disebabkan adanya percepatan

pembelahan sel atau stimulasi langsung/tidak

langsung gen-gen yang responsif terhadap

auksin. Perubahan biokimia akibat radiasi

sinar gamma mempengaruhi proses

metabolisme sel yang pada tingkat tertentu

dapat menguraikan bahan kimia penghambat

perkecambahan dan juga meningkatkan

pembelahan sel sehingga akan berpengaruh

terhadap pertumbuhan bibit (Piri et al., 2011).

Parameter pertumbuhan bibit yang juga

mempengaruhi persen hidup dan pertumbuhan

bibit di lapangan adalah berat kering total bibit

dan indek kekokohan bibit (Budiman,

Sudrajat, Lee, & Kim, 2015). Dosis iradiasi

yang efektif untuk meningkatkan berat kering

total bibit semua asal benih adalah dosis 40

Gy. Berat kering total mencerminkan

akumulasi senyawa organik yang berhasil

disintesis tanaman dari senyawa anorganik

seperti unsur hara, air dan karbondioksida

(Sudrajat, 2015). Berat kering total

berhubungan erat dengan pertumbuhan tinggi

dan diameter. Apabila pertumbuhan tanaman

berlangsung cepat, maka berat kering totalnya

akan semakin tinggi. Penelitian yang sama

pada bibit Terminalia arjuna (Akshantha,

Chandrashekar, Somashekarappa, &

Page 77: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

156

Souframanien, 2013) iradiasi sinar gamma

juga mampu meningkatkan berat kering total

benih pada dosis 25 Gy sampai 50 Gy.

Indek kekokohan bibit merupakan

perbandingan antara tigggi dengan diameter

bibit yang dilakukan pada akhir pengamatan.

Standar untuk indek kekokohan bibit adalah

5.1-12 (SNI 01-5006-1-1999).Bibit dengan

indek kekokohan di atas 12 menunjukkan

bibit yang memiliki ukuran yang tinggi dengan

diameter yang kecil sedangkan bibit dengan

indek kekokohan di bawah 5.1 berarti ukuran

bibit rendah dengan diameter yang

besar.Iradiasi sinar gamma meningkatkan

indek kekokohan bibit pada asal benih Kampar

dan Pomalaa. Menurut Budiman et al. (2015),

indeks kekokohan yang tinggi untuk jabon

putih menghasilkan kinerja bibit yanng kurang

baik setelah penanaman. Indek kekokohan

hingga dosis iradiasi 40 Gy masih berada di

bawah standar (rata-rata < 12), namun pada

dosis >50 Gy khususnya untuk benih asal Batu

Hijau memiliki indek kekokohan di atas 12

yang menunjukkan bibit tersebut tidak mampu

untuk tumbuh baik pada saat penanaman di

lapangan, karena antara tinggi dengan

diameter bibit terjadi ketidakseimbang. Secara

umum pertumbuhan dan vigor bibit terbaik

dihasilkan dari perlakuan iradiasi sinar gamma

pada dosis 40 Gy.

IV. KESIMPULAN

Penyimpanan benih jabon putih selama

4.5 tahun secara umum mengakibat penurunan

viabilitas dan vigor benih dari beberapa asal

benih(provenan), kecuali asal benih Batu Hijau

(63,00 persen−67,50 persen). Penyimpanan

juga mengakibatkan kadar air benih menurun

hingga 4,08 persen−4,87 persen atau dapat

dinyatakan sebagai kadar air kesetimbangan.

Iradiasi sinar gamma memberikan respon yang

berbeda-beda pada setiap asal benih. Iradiasi

hanya mampu meningkatkan perkecambahan

benih dengan daya berkecambah awal lebih

dari 40. Secara keseluruhan dosis iradiasi 40

Gy mampu memperbaiki perkecambahan

benih dan meningkatkan pertumbuhan bibit

sehingga bisa diaplikasikan untuk

meningkatkan viabilitas dan vigor benih jabon.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Pusat

Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi

(PATIR) Batan, Jakarta yang telah membantu

dalam perlakuan iradiasi benih jabon putih.

Terima kasih juga diucapkan kepada Balai

Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Perbenihan Tanaman Hutan Bogor atas

bantuan fasilitas laboratorium pengujian benih

dan bibit.

DAFTAR PUSTAKA

Akshantha, Chandrashekar, K. R.,

Somashekarappa, H. M., & Souframanien, J. (2013). Effect of gamma irradiation on

germination, growth, and biochemical

parameters of Terminalia arjuna Roxb.

Radiation Protection and Environment, 36(1), 38–44. https://doi.org/10.4103/0972-

0464.121826

Page 78: p-ISSN 2354-8568

PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN

4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA

Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan Dede J. Sudrajat

157

Araújo, S. de S., Paparella, S., Dondi, D.,

Bentivoglio, A., Carbonera, D., & Balestrazzi, A. (2016). Physical methods

for seed invigoration: Advantages and

challenges in seed technology. Frontiers in

Plant Science, 7(May), 1–12.

https://doi.org/10.3389/fpls.2016.00646

Bodele, S. K. (2013). Effect of gamma radiation

on morphological and growth parameters of Andrographis paniculata. Indian Journal

of Applied Research, 3(6), 55–57.

Budiman, B., Sudrajat, D. J., Lee, D. K., & Kim, Y. S. (2015). Effect of initial morphology

on field performance in white jabon

seedlings at Bogor, Indonesia. Forest

Science and Technology, 11(4). https://doi.org/10.1080/21580103.2015.100

7897

Gairola, K. C., Nautiyal, A. R., Sharma, G., & Dwivedi, A. K. (2011). Variability in seed

characteristics of Jatropha curcas Linn.

from hill region of Uttarakhand. Bulletin of

Enviroment, Pharmacology & Life

Sciences, 1(1), 64–69.

Iglesias-Andreu, L., Octavio-Aguilar, P., & Bello-

Bello, J. (2012). Current importance and potential use of low doses of gamma

radiation in forest species. In F. Adrovic

(Ed.), Gamma Radiation (pp. 265–280). Rijeka, Croatia: In Technology Europe.

https://doi.org/10.5772/36950

Ikram, N., Dawar, S., Abbas, Z., & Javed, Z.

(2010). Effect of (60 cobalt) gamma rays on growth and root rot diseases in

mungbean (Vigna radiata l.). Pakistan

Journal of Botany, 42(3), 2165–2170.

Ilyas, S. (2012). Ilmu dan Teknologi Benih Teori

dan Hasil-Hasil Penelitian. Bogor: IPB

Press.

Irawan, U. S., & Purwanto, E. (2014). White jabon (Anthocephalus cadamba) and red jabon

(Anthocephalus macrophyllus) for

community land rehabilitation: Improving local propagation efforts. Agricultural

Science, 2(3), 36–45.

https://doi.org/10.12735/as.v2i3p36

ISTA. (2010). International rules for seed testing

Edition 2010. Bassersdorf (CH): The

International Seed Testing Association.

Joker, D. (2002). Shorea leprosula Miq. In

Informasi Singkat Benih (p. 2). Bandung.

Kallio, M. H., Krisnawati, H., Rohadi, D., & Kanninen, M. (2011). Mahogany and

kadam planting farmers in South

Kalimantan: The link between silvicultural

activity and stand quality. Small-Scale Forestry, 10(1), 115–132.

https://doi.org/10.1007/s11842-010-9137-8

Khatun, A., Kabir, G., & Bhuiyan, M. A. H. (2009). Effect of harvesting stages on the

seed quality of lentil (Lens culinaris L.)

during storage. Bangladesh Journal of

Agricultural Research, 34(4), 565–576.

Krisnawati, H., Kallio, M., & Kanninen, M.

(2011). Anthocephalus cadamba Miq.:

ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor: Center for International Forestry

Research.

Mansur, I. (2012). Prospek pengembangan jabon untuk mendukung pengembangan hutan

tanaman. In M. Langi, J. S. Tasirin, H.

Walangitan, & L. Asir (Eds.), Prospek

Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi dan Rehabilitasi Hutan (pp. 1–

14). Menado: IPB Press.

Marcos Filho, J. (2015). Seed vigor testing: an overview of the past, present and future

perspective. Scientia Agricola, 72(4), 363–

374. https://doi.org/10.1590/0103-9016-

2015-0007

Mustika, S., Suhartanto, M. R., & Qodir, A.

(2014). Kemunduran benih kedelai akibat

pengusangan cepat menggunakan alat IPB 77-1 MM dan penyimpanan alami. Buletin

Agrohortikultur, 2(1), 1–10.

Piri, I., Babayan, M., Tavassoli, A., & Javaheri, M. (2011). The use of gamma irradiation in

agriculture. African Journal of

Microbiology Research, 5(32), 5806–5811.

https://doi.org/10.5897/AJMR11.949

Ranal, M. A., & Santana, D. G. de. (2006). How

and why to measure the germination

process? Revista Brasileira de Botânica, 29(1), 1–11. https://doi.org/10.1590/S0100-

84042006000100002

Sadjad, S. (1993). Dari Benih Kepada Benih.

Jakarta: Grasindo.

Shaban, M. (2013). Review on physiological

aspects of seed deterioration. International

Page 79: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.6 No 2 Desember 2018: 145-158

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

158

Journal of Agriculture and Crop Sciences

IJACS, 11(6), 627–631. Retrieved from

www.ijagcs.com

Shelar, V. R., Shaikh, R. S., & Nikam, A. S.

(2008). Soybean seed quality during

storage : a review. Agricultural Reviews, 29(2), 125–131. Retrieved from

http://www.arccjournals.com/uploads/articl

es/ar292006.pdf

Sudrajat, D. J. (2010). Tinjauan standar mutu bibit

tanaman hutan dan penerapannya di

Indonesia. Tekno Hutan Tanaman, 3(3),

85–97.

Sudrajat, D. J. (2015). Keragaman populasi, uji

provenansi dan adaptasi jabon

(Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser)S.

Institut Pertanian Bogor.

Sudrajat, D. J. (2016). Genetic variation of fruit,

seed, and seedling characteristics among 11 populations of white jabon in Indonesia.

Forest Science and Technology, 12(1).

https://doi.org/10.1080/21580103.2015.100

7896

Sudrajat, D. J. (2016). Genetic variation of fruit,

seed, and seedling characteristics among 11

populations of white jabon in Indonesia. Forest Science and Technology, 12(1), 9–

15.

https://doi.org/https://doi.org/10.1080/2158

0103.2015.1007896

Sudrajat, D. J., & Nurhasybi. (2017). Daya simpan

benih suren (Toona sinensis) dalam

hubungannya dengan karakteristik tempat tumbuh dan morfo-biokimia benih. In R.

Diana, Y. B. Sulistioadi, Karyati, S.

Sarminah, K. Y. Widiati, H. Kuspradini, … Tata (Eds.), Seminar Nasional Silvikultur

IV Mengatasi Perubahan Iklim Terhadap

Kelestarian Sumberdaya Hutan dan

Ekonomi Sumberdaya Hayati (pp. 379–

389). Samarinda: Universitas Mulawarman.

Sudrajat, D. J., Nurhasybi, & Bramasto, Y. (2017).

Standar Pengujian dan Mutu Benih Tanaman Hutan. (D. Iriantono & M.

Zanzibar, Eds.). Bogor: IPB Press.

Sudrajat, D. J., Siregar, I. Z., Khumaida, N.,

Siregar, U. J., & Mansur, I. (2014). Genetic diversity in white jabon (Anthocephalus

cadamba (Roxb.) Miq.) based on AFLP

markers. Asia-Pacific Journal of Molecular

Biology and Biotechnology, 22(3).

Sudrajat, D. J., & Zanzibar, M. (2009). Prospek

teknologi radiasi sinar gamma dalam peningkatan mutu benih tanaman hutan.

Info Benih, 13(1), 158–163.

Suszka, J., Plitta, B. P., Michalak, M., Bujarska-

Borkowska, B., Tylkowski, T., & Chmielarz, P. (2014). Optimal seed water

content and storage temperature for

preservation of Populus nigra L. germplasm. Annals of Forest Science,

71(5), 543–549.

https://doi.org/10.1007/s13595-014-0368-2

Yasaka, M., Takiya, A. M., Watanabe, A. I., Oono,

Y., & Mizui, N. (2008). Variation in seed

production among years and among

individuals in 11 broadleaf tree species in northern Japan. Journal of Forest

Research, 13, 83–88.

https://doi.org/10.1007/s10310-007-0052-6

Yuniarti, N., & Nurhasybi. (2015). Viability and

biochemical content changes in seed

storage of jabon putih ( Anthocephalus

Cadamba ( Roxb ) Miq .). Jurnal Manajemen Hutan Tropis, 21(August), 92–

98. https://doi.org/10.7226/jtfm.21.2.92

Zanzibar, M., Megawati, Pujiastuti, E., & Sudrajat, D. . (2015). Iradiasi sinar gamma

(6xb.)0Co) untuk meningkatkan

perkecambahan dan pertumbuhan bibit tembesu (Fagrae fragrans). Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 12(3), 165–

174.

Zanzibar, M., & Sudrajat, D. J. (2016). Effect of gamma irradiation on seed germination,

storage, and seedling growth of Magnolia

champaca L . Indonesian Forestry

Research Journal, 3(2), 95–106.

Page 80: p-ISSN 2354-8568

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN ISI VOLUME 6 Nomor 1 Toni Herawan dan/and Budi Leksono REGENERASI IN VITRO Eucalyptus pellita F. Muell MENGGUNAKAN KULTUR MATA TUNAS 1-13

Rina Laksmi Hendrati dan/and Nur Hidayati SEMBILAN POPULASI Leucaena leucochepala (Lam.) de Wit. ASAL INDONESIA UNTUK PEMULIAAN KAYU ENERGI VERSUS VAR. TARRAMBA 15-30 Danu, Dede J. Sudrajat dan/and Nurmawati Siregar PENGARUH BAHAN SETEK DAN ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK TREMA (Trema orientalis L.) 31-40 Tati Suharti, Yulianti Bramasto dan/and Naning Yuniarti PENGARUH PEMBERIAN Trichoderma sp. DI MEDIA TANAM DAN MANKOZEB TERHADAP PERSENTASE TUMBUH DAN PERTUMBUHAN BIBIT JABON MERAH (Anthocepalus macrophyllus) 41-48 Dede J. Sudrajat dan/and Yulianti Bramasto PERKECAMBAHAN BENIH TISUK (Hibiscus macrophyllus Roxb.) PADA BEBERAPA PERLAKUAN PERIODE PENCAHAYAAN, PERLAKUAN PENDAHULUAN DAN PENYIMPANAN 49-60

Desmiwati, Mirna Aulia Pribadi, dan/and Kun Estri Maharani MODAL SOSIAL PETANI PENGGARAP DALAM TATA KELOLA HUTAN PENELITIAN PARUNGPANJANG 61-83 Nomor 2 Y.M.M. Anita Nugraheni dan/and Kurniawati Purwaka Putri PENGARUH HORMON PADA SETEK PUCUK Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke DENGAN METODE WATER ROOTING 85-92

Aris Sudomo dan/and Maman Turjaman PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK PUCUK JAMBLANG (Syzygium cumini (L.) Skeels) 93-105 Yetti Heryati dan/and Retno Agustarini PENGGUNAAN BEBERAPA MACAM MEDIA DAN TINGKAT NAUNGAN UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KILEMO (Litsea cubeba L. Persoon) 107-120 Ganik Jawak, Eni Widajati, Endah Retno Palupi dan/and Nutrita Toruan Mathius PELAPISAN BENIH KELAPA SAWIT DENGAN PENGAYAAN Trichoderma asperellum (T13) UNTUK MENEKAN INFEKSI Ganoderma boninense PAT. 121-132 Kurniawati Purwaka Putri, Agus Astho Pramono, dan/and Dida Syamsuwida PRODUKSI BUAH DAN BENIH MAHONI (Swietenia macrophylla King) BERDASARKAN DIAMETER TAJUK DAN KONDISI STOMATA DAUN 133-144

Rahmad Suhartanto, Tatiek K. Suharsi, Evayusvita Rustam dan/and Dede J. Sudrajat PERBAIKAN VIGOR BENIH JABON PUTIH SETELAH PENYIMPANAN 4,5 TAHUN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA 145-158

Page 81: p-ISSN 2354-8568

INDEX KATA KUNCI VOLUME 6

Anthocepalus macrophyllus

Arabic gum

benih

bibit

Biocontrol

budidaya

busuk pangkal batang

CMC

Daun

daya berkecambah

daya simpan

dormansi benih

dosis

Eucalyptus pellita

Fotosintesis

gaharu

gypsum

Hibiscus macrophyllus

hormone

hutan penelitian Parungpanjang

in vitro

indeks stomata

kayu energi

kerapatan stomata

Kilemo

klon unggul

41

131

173

173

131

145

131

131

159

49

49, 173

49

145

1

159

119

131

49

145

61

1

159

15

159

103

1

Kompos

kultur mata tunas

Leucaena leucochepala

Litsea cubeba

media tanam

Mancozeb

materi genetic

media tanam

modal social

naungan

pemberdayaan masyarakat

pemuliaan

perbanyakan vegetatif

perkecambahan

pertumbuhan

petani penggarap

rotary shaker

Sekam

setek pucuk

sumber benih bersertifikat

Syzygium cumini

Trema orientalis L.

Trichoderma sp.

variasi

zat pengatur tumbuh

41

1

15

103

103

41

15

119

61

103

61

15

119

173

103, 173

61

1

41

31

159

145

31

41

15

31

Page 82: p-ISSN 2354-8568

INDEX PENULIS VOLUME 6

Agus Astho Pramono

Aris Sudomo

Budi Leksono

Danu

Dede J. Sudrajat

Desmiwati

Dida Syamsuwida

Endah Retno Palupi

Eni Widajati

Evayusvita Rustam

Ganik Jawak

Kun Esti Maharani

Kurniawati Purwaka Putri

Maman Turjaman

159

145

1

31

31, 173

61

159

131

131

173

131

61

119, 159

145

Mirna Aulia Pribadi

Naning Yuniarti

Nur Hidayati

Nurmawati Siregar

Nutrita Toruan Mathius

Rahmad Suhartanto

Retno Agustarini

Rina Laksmi Hendrati

Tati Suharti

Tatiek K. Suharsi

Toni Herawan

Y.M.M. Anita Nugraheni

Yetti Heryati

Yulianti Bramasto

61

49

15

31

131

173

103

15

49

173

1

119

103

49

Page 83: p-ISSN 2354-8568

JUDUL

Penulis

© 2017 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2017.5.2.95-102 95

Times New Roman 9, italic, huruf kecil

Times New Roman 8, Bold, huruf kapital

JUDUL

( Title)

Penulis Pertama1, Penulis Kedua2, dan/and Penulis Ketiga3

1)Institusi asal penulis 2)Institusi asal penulis 3)Institusi asal penulis

Alamat; Telp/Fax, Kota, Negara

e-mail: salah satu penulis sebagai koresponden

Naskah masuk: ....; Naskah direvisi: ...........; Naskah diterima: ..........(diisi oleh sekretariat redaksi)

ABSTRACT

Abstract should be written in Indonesia and English using Time New Roman font, size 11 pt, italic, single space. Abstract is not a merger of several paragraphs, but it is a full and complete summary that describe

content of the paper it should contain background, objective, paragraph and should be no more than 200 words

in English.

Keyword: 3-5 keywords

ABSTRAK

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 11 pt, spasi tunggal. Abstrak bukanlah penggabungan beberapa paragraf, tetapi merupakan ringkasan yang

utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan,

metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak tidak berisi acuan atau tidak menampilkan

persamaan matematika dan singkatan yang tidak umum. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 250 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Kata kunci : 3-5 kata kunci

I. PENDAHULUAN

Pendahuluan mencakup hal-hal berikut ini: Latar Belakang, berisi uraian permasalahan dan

alasan pentingnya masalah tersebut diteliti. Permasalahan dirumuskan secara jelas, penjelasan

ditekankan pada rencana pemecahan masalah dan keterkaitan dengan pencapaian luaran yang

telah ditetepkan. Tujuan, berisi pernyataan secara jelas dan singkat tentang hasil yang ingin

dicapai dari serangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Sasaran atau luaran

menjelaskan secara spesifik yang merupakan hasil antara dalam rangka mencapai tujuan penelitian.

Hasil yang dicapai, dijelaskan kaitannya dengan kegiatan yang dilaksanakan (khusus untuk

kegiatan penelitian lanjutan).

Kosong satu spasi tunggal

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Kosong satu spasi tunggal

Kosong 1 (satu )spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Commented [U1]: Times New Roman 12, bold, centered, huruf kapital, spasi tunggal, maksimum dua baris, ≤ 15kata

Commented [U2]: Times New Roman 12, italic, centered, huruf kecil diawali huruf kapital tiap kata, spasi tunggal,tanda buka dan tutup kurung

Commented [U3]: Times New Roman 11, tegak, centered, huruf kecil,spasi tunggal, tanda 1) 2) dst digunakan hanya jika penulis satu dengan yang lainnya berbeda asal instasi, jika masih satu instansi tidak perlu menggunakan tanda 1) 2) dst

Commented [U4]: Times New Roman11, huruf kapital, italic,bold

Commented [U5]: Times New Roman 11, spasi tunggal, italic, apabila ada nama ilmiah menjadi tegak & underline

Commented [U6]: Times New roman 11, bold, italic, urutkan sesuai abjad

Commented [U7]: Times New Roman 11,huruf kapital,tegak, bold

Commented [U8]: Times New Roman 11, bold, tegak, urutkan sesuai abjad

Commented [U9]: Times New Roman 12, tegak, bold, centered

Commented [U10]: Times New Roman 12, spasi 1,5 fist line 0,75 cm

Page 84: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

96

II. BAHAN DAN METODE

Metode Penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional,

empiris dan sistematis. Tanaman dan binatang ditulis lengkap dengan nama ilmiah.

Menggunakan tolak ukur internasional, system matrix dan standar nomenklatur. Metode

penelitian dijelaskan sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Jika metode merupakan kutipan

harus dicantumkan dalam referansi. Jika dilakukan perubahan terhadap metode kutipan atau

standar harus disebutkan perubahannya. Bila diperlukan dengan disajikan dalam tabel..

Untuk Bab dan Sub Bab secara konsisten ditulis rata di batas kiri tulisan, sebagaimana berikut:

A. Bahan dan Alat

Mengemukakan semua bahan yang digunakan seperti tumbuhan kayu, bahan kimia, alat dan

lokasi penelitian, waktu penelitian.

B. Prosedur Penelitian

Mengemukakan tahapan kerja dan beberapa pengujian yang dilakukan. Pelaksanaan penelitian

disusun berurutan menurut waktu, ukuran dan kepentingan. Untuk Sub Sub Bab secara konsisten

ditulis rata di batas kiri tulisan, sebagaimana berikut:

1. Penyiapan contoh kerja

2. Pengujian perkecambahan benih standar di laboratorium

Untuk Sub Sub Sub Bab secara konsisten ditulis, sebagaimana berikut:

a. Indeks perkecambahan (Gi)

b. Uji tetrazolium

C. Analisis Data

Metode statistik (bila ada) harus disebutkan dengan singkat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil disajikan dalam bentuk uraian umum. Disusun secara berurutan sesuai dengan tujuan

penelitian. Jika tujuan penelitian tidak tercapai perlu dikemukakan alasan dan penyebabnya.

Tabulasi, grafik, analisis statistik dilengkapi dengan tafsiran yang benar. Judul, keterangan tabel

dan gambar dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris dengan huruf miring atau sebaliknya.

Angka yang tercantum dalam tabel tidak perlu diuraikan lagi, tetapi cukup dikemukakan makna

atau tafsiran masalah yang diteliti; dalam bagian ini juga dapat disajikan ilustrasi dalam bentuk

grafik bagan, pictogram dan sebagainya. Dapat mengemukakan perbandingan hasil yang

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Commented [U11]: Times New Roman12, tegak bold, centered

Commented [U12]: Times New Roman 12, spasi 1,5 fist line 0,75 cm

Commented [U13]: Times New Roman 12, bold, huruf kecil, awal huruf besar kecuali kata hubung

Commented [U14]: Times New Roman 12, huruf kecil semua, hanya awal kalimat huruf besar, bold

Commented [U15]: Times New Roman 12, huruf kecil semua, hanya awal kalimat huruf besar

Page 85: p-ISSN 2354-8568

JUDUL

Penulis

97

berlainan dan beberapa perlakuan. Metode statistik yang digunakan dalam pengolahan data harus

dikemukakan, sehingga tingkat kebenaran harus dapat ditelusuri. Prinsip dasar metode

harus diterangkan dengan mengacu pada referensi atau keterangan lain mengenai masalah ini.

Penulis mengemukakan pendapatnya secara objektif dengan dilengkapi data kuantitatif.

TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia

dan Inggris. Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 12 pt dan berjarak satu spasi di

bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 12 pt, rata kiri dan ditempatkan di

atas tabel. Penomoran tabel menggunakan angka (1, 2, ......). Apabila tabel memiliki lajur/kolom

cukup banyak, dapat digunakan format satu kolom atau satu halaman penuh. Apabila judul pada

lajur tabel terlalu panjang, maka lajur diberi nomor dan keterangannya di bawah tabel.

Keterangan (Remarks) dan sumber (Source) ditulis di kiri bawah tabel ditulis dengan Times New

Roman ukuran 10 pt dan berjarak satu spasi. Tabel diletakkan segera setelah disebutkan dalam

naskah.

GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras (hitam

putih atau arsir), masing-masing harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam

bahasa Indonesia dan Inggris. Gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari

setiap halaman. Gambar diletakkan simetris dalam kolom. Apabila gambar cukup besar, bisa

digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan huruf Times New Roman ukuran

12 pt dan berjarak satu spasi rata kiri dan ditempatkan di bagian bawah, seperti pada contoh di

bawah. Gambar diletakkan segera setelah disebutkan dalam naskah.

Tabel (Table) 1. Hasil uji beda Duncan pengaruh lama pengeringan terhadap kadar air polong,

kadar air benih dan daya berkecambah sengon laut (The results of Duncan test of

the effect drying treatment on the pod, seed moisture content and germination

percentage of sengon laut)

Perlakuan pengeringan(Drying treatment)

Kadar air

polong(Pod

moisture content

%

Kadar air

benih(Seed

moisture content)

%

Daya

berkecambah/%

(Germination percentage)

%

Kontrol (Control) (7,76 + 0,13 )a (7,93 + 0,36) a (77,00+4,36) Penjemuran 1 hari (Sun drying for 1 day) (7,78+0,65) a (7,95 + 0,29) a (78,66+ 4,16)

Penjemuran 2 hari (Sun drying for 2 days) (5,72+ 0,69) b (5,98 + 0,10) b (73,66 + 1,53)

Penjemuran 3 hari (Sun drying for 3 days) (5,52 + 0,47 ) b (5,77 + 0,09) b (76,00 + 1,00)

Penjemuran 4 hari (Sun drying for 4 days) (5,53+0,19) b (5,77 + 0,19) b (77,33+2,31) Penjemuran 5 hari (Sun drying for 5 days) (5,53 + 0,23) b (5,59 + 0,51) b (78,66+ 1,53)

Alat pengering 4 jam (Seed drier for 4 hours) (7,70+ 0,09) a (7,94 + 0,05) a (76,33+9,07)

Alat pengering 8 jam (Seed drier for 8 hours) (7,43 + 0,35) a (7,52 +0,03) a (81,66+3,21)

Page 86: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

98

Alat pengering 12 jam (Seed drierfor 12 hours) (7,46+ 0,14) a (7,56 + 0,11) a (74,44+ 3,21)

Alat pengering 16 jam (Seed drier for 16 hours) (7,47 + 0,41) a (7,49+ 0,29) a (79,00+ 6,24)

Alat pengering 20 jam (Seed drier for 20 hours) (7,51+ 0,44) a (7,56 + 0,12) a (77,66 + 6,81)

Alat pengering 24 jam (Seed drier for 24 hours) (7,52 + 0,42) a (7,53 + 0,21) a (78,00+ 7,21) Alat pengering 28 jam (Seed drier for 28 hours) (7,44 + 0,11) a (7,59 + 0,08) a (77,33+ 4,04)

Alat pengering 32 jam (Seed drier for 32 hours) (5,73 + 0,38) b (6,04 +0,03) b (78,66+ 4,62)

Alat pengering 36 jam (Seed drier for 36 hours) (5,79+ 0,16) b (6,05+ 0,07) b (78,66+ 3,06) Alat pengering 40 jam (Seed drier for 40 hours) (5,75+ 0,43) b (6,11+0,14) b (77,00+ 1,53)

Alat pengering 44 jam (Seed drier for 44 hours) (5,77+ 0,45) b (6,07 + 0,09) b (77,66+ 4,62)

Alat pengering 48 jam (Seed drier for 48 hours) (5,74+ 0,69) b (6,09 +0,11) b (76,66+ 9,07)

Rata-rata (average) 6,70 6,79 77,50

SD 0,95 0,89 4,44

Nilai F hitung (F test) 25,48** 74,14** 0,39

Keterangan (Remarks): Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada

selang kepercayaan 99% (Values followed by the same letters on the same colm are not

significantly different : a > b > c < d, etc.P = 99%). ** berbeda sangat nyata pada selang

kepercayaan 99% (significant effect, P = 99%)

Gambar (Figure) 1. Pengaruh skarifikasi benih terhadap waktu berkecambah, kecepatan

berkecambah dan daya berkecambah pada benih kayu kuku (Effect of seed scarification to

germination time, germination speed and germination rate of P. mooniana seeds)

B. Pembahasan

Pembahasan dapat menjawab apa arti hasil yang dicapai dan apa implikasinya. Dapat

menafsirkan hasil dan menjabarkannya, sehingga dapat dimengerti pembaca. Mengemukakan

hubungan dengan hasil penelitian sebelumnya. Bila berbeda tunjukkan, bahas dan jelaskan

penyebab perbedaan tersebut. Hasil penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan hipotesis dan

tujuan penelitian. Mengemukakan fakta yang ditemukan dan alasan mengapa hal tersebut terjadi.

Menjelaskan kemajuan penelitian dan kemungkinan pengembangan selanjutnya. Simbol/lambang

ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus

dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu dapat ditulis kata

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Page 87: p-ISSN 2354-8568

JUDUL

Penulis

99

singkatannya.

Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simestris pada kolom.

Nomor persamaan diletakkan diujung kanan dalam tanda kurung dan penomoran dilakukan secara

berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu baris, maka penulisan

nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk

singkatan, seperti persamaan berikut.

).................................................(1)

Keterangan:

Gt = persen kecambah hari ke-n

Tt = hari uji perkecambahan

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan memuat hasil yang telah dibahas. Hal yang perlu diperhatikan adalah segitiga

konsistensi (masalah-tujuan-kesimpulan harus konsisten). Saran dapat dikemukakan untuk

dipertimbangkan pembaca.

UCAPAN TERIMA KASIH

Merupakan bagian yang wajib ada dalam sistematika karya tulis ilmiah. Suatu penelitian

tidak akan berhasil tanpa melibatkan pihak- pihak yang telah membantu, baik berperan secara

finansial, teknis, maupun substantif. Ucapan terima kasih merupakan sebuah kewajiban, bukan

pilihan (opsional).

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah. Format penulisan Daftar

Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style. Referensi terdiri dari

acuan primer dan/atau acuan skunder. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung

merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer

dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional

terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertai, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook), termasuk

dalam sumber acuan sekunder. Semua karya yang dikutip dalam penulisan karya tulis harus

dimuat dalam daftar pustaka (dan sebaliknya).

Pustaka minimal 15,80% dari pustaka merupakan acuan primer, dan 80% dari acuan primer

Commented [A16]: Times New Roman12, spasi 1

Page 88: p-ISSN 2354-8568

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

100

merupakan publikasi 10 tahun terakhir. Pengelolaan pustaka dalam Jurnal Perbenihan Tanaman

Hutan menggunakan aplikasi software Mendeley, untuk itu disarankan agar penulis menggunakan

software yang sama. Jarak antar pustaka (after spacing) adalah 6 pt. Inden (hanging) pada baris

kedua dengan jarak 0,75 cm. Daftar pustaka harus disusun berdasarkan alphabet nama

pengarang. Penulisan situasi dan daftar pustaka diharuskan menggunakan aplikasi referensi

seperti Mendeley. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Berdasarkan APA style:

1. Paper dalam jurnal

a. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (1 penulis)

Bonner, F. T. (1998). Testing tree seeds for vigor: A review. Seed Tehcnology, 20(1), 5–17.

b. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (2-6 penulis)

Vieira, R. D., Paiva, A. J. A., & Perecin, D. (1999). Electrical conductivity and field performance of soybean

seeds. Seed Technology, 21, 15–24.

2. Buku

Chakraverty, A., & Singh, R. (2001). Postharvest Technology Cereals, Pulses, Fruit, and Vegetables. New

Hampshire (US): Science Publishers, Inc.

3. Prosiding

Gill, N. S., & Delouche, J. (1973). Proceedings of the Association of Official Seed Analysts 63. In

Deterioration of seed corn during storage. (pp. 35–50).

4. Makalah Seminar dan Lokakarya

DBPTH. (2014). Lokakarya penyusunan Standar Mutu Benih dan Mutu Bibit Tanarnan Hutan. In Kebijakan

pengujian benih. Solo, 4-7 November 2014: Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan. Jakarta.

5. Skripsi, tesis dan disertasi

Sudrajat, D. J. (2014). Keragaman populasi, uji provenansi dan adaptasi jabon (Neolamarckia cadamba

(Roxb.) Bosser). Disertasi. Sekolah Pascasrjana. Bogor: Insitut Pertanian Bogor.

6. Laporan penelitian

Aminah, A., & Budiman, B. (2009). Teknik penanganan benih kranji (Pongamia pinnata) sebagai sumber energi terbarukan. Laporan Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor

(ID): Kementerian Kehutanan.

7. Artikel dari internet

Graham, P., Reedman, L., Rodriguez, L., Raison, J., Braid, A., Haritos, V., Adams, P. (2011). Sustainable aviation fuels road map: Data assumptions and modelling, (May), 1–104. Retrieved from

http://www.csiro.au/en/Outcomes/Energy/Powering-Transport/Sustainable-Aviation-Fuels.aspx#

CATATAN:

1. Petunjuk penulisan ini dibuat untuk keseragaman format penulisan dan kemudahan bagi penulis dapat diakses di http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/BPTPTH.

2. Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mmx 297 mm) dengan margin atas 2,5 cm,

margin bawah 2,5 cm, margin kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom

dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 12 halaman, termasuk

lampiran Times New Roman, font 12, kecuali Abstrak, kata kunci dan daftar Pustaka font 11.

Pengutipan pustaka di dalam naskah berdasarkan sistem penulisan referensi APA Style,

sebagai berikut :

Page 89: p-ISSN 2354-8568

JUDUL

Penulis

101

· Karya dengan dua pengarang. ....seperti yang dilakukan oleh Gill dan Delouche (1973)..... atau (Gill & Delouche, 1973)

· Karya tiga sampai lima pengarang. (Kernis, Cornel, Sun, Berry, & Harlow, 1993) atau Kernis, Cornel, Sun, Berry, & Harlow (1993) menjelaskan... Dalam kutipan berikutnya, (Kernis et al., 1993) atau Kernis et al. (1993) argued...

· Enam pengarang atau lebih. Harris et al. (2001) mengasumsikan... atau (Harris et al., 2001)

3. Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka : Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan.

4. Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis wajib Authorship Ethical Statement dan Copyright Agreement Form.

Page 90: p-ISSN 2354-8568