P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ......
Transcript of P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ......
1
1 | P a g e
PENGAKUAN DESA ASAL USUL (MASYARAKAT HUKUM ADAT) SEBAGAI
SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM NASIONAL
Oleh : Nurul Firmansyah., SH
(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang)
ABSTRAK
Desa telah lama dikenal sebagai unit sosial - politik dan ekonomi masyarakat hukum adat di seluruh
Indonesia. Desa bertumbuh seiring-sejalan dengan perkembangan masyarakat hukum adat. Sebagai contoh,
Nagari di masyarakat adat Minangkabau. Nagari muncul dalam tahapan-tahapannya sebagai unit sosial
politik yang dimulai dari manaruko (pembukaan hutan), manaratak (persiapan lahan pertanian dan
pemukiman), dusun (pemukiman sederhana), koto (kumpulan pemukiman) dan Nagari (kumpulan koto-
koto). Nagari-nagari kemudian hidup dengan otonom atas wilayah dan susunan pemerintahannya. Kehadiran
organisasi supra struktur seperti kerajaan (kerajaan pagaruyung) dan Negara (Pemerintahan Hindia
Belanda) tidak mengurangi otonomi tersebut.
Desa memang hidup dari masa kemasa dalam serial kehidupan sosial politik bangsa Indonesia, baik sejak
masa Hindu-Buddha, Islam, Kolonial Belanda dan masa kemerdekaan. Pemerintah kolonial Belanda
menyadari hal itu, sehingga melalui Inlandse Gemeente Ordonansi tahun 1906 mengakui desa sebagai
rechtspersoon yang otonom dan punya legal standing (Wignjosoebroto, 2012).
Oleh sebab itu, memang beralasan kiranya, Pendiri Republik Indonesia (founding father) menyadari bahwa
desa sebagai “Roh” kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya itu telah dimulai sejak sidang-sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan sidang-sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebagaimana tercatat dalam risalah yang dirujuk (Sekretariat Negara
Republik Indonesia, 1995). Moh Yamin secara gamblang menyebutkan ; “… Kesanggupan dan kecakapan
Bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak tanah yang semenjak beribu-ribu tahun menjadi dasar
negara dan rakyat murba, dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau
Jawa, 700 nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di
Ambon, di Minahasa, dan lain-lain sebagainya. …” Hasilnya, pasal 18 UUD 1945 sebelum Amandemen adalah
dasar konstitusional pengakuan desa sekaligus hak – hak masyarakat hukum adat yang melekat terhadapnya
(baca : volksgemeenschappen ).
Pengakuan tidak bersyarat dan otomatis dalam konstitusi ini terputus sejak lahirnya UUPA tahun 1960
melalui persyaratan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat, yang kemudian diikuti dengan persyaratan
administratif pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dalam berbagai peraturan perundang-undangan
2
2 | P a g e
(Bahar, 2012). Kondisi ini diperparah lagi dengan intervensi berlebihan Negara terhadap desa melalui UU
Pemerintahan Desa tahun 1979 yang mereduksi desa sekedar administrasi pemerintahan dalam lingkungan
sentralistik (Zakaria, 2000). Hal-hal tersebut berdampak pada kaburnya desa / masyarakat hukum adat
sebagai subjek hukum yang mempunyai hak (Bahar, 2012). Akibatnya, berbagai tindakan-tindakan
perampasan hak-hak desa masif terjadi sampai saat ini, terutama terkait dengan hak ulayat dan sumber daya
alam.
Makalah ini mencoba menelaah posisi hukum desa sebagai subjek hukum dengan hak-haknya yang melekat
dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Metode kajian yang digunakan adalah Yuridis
Normatif dengan menelaah norma-norma peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kajian ini
secara sistematis dan logis. Secara teoritis, kajian ini diharapkan berguna bagi penguatan konsep hak-hak
desa / masyarakat hukum adat dalam hukum nasional, dan selanjutnya, secara praktis juga diharapkan bisa
menyumbang masukan dalam proses legislasi pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat terutama terkait
dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
Kata Kunci : Desa, Pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat
A. Pendahuluan
Jaminan hukum terhadap masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang
mempunyai hak asal-usul adalah bentuk perlindungan hukum terhadap keberadaan hak-
hak masyarakat hukum adat. Berbagai persoalan-persoalan pelanggaran hak-hak
masyarakat hukum adat selama ini terkait dengan reduksi otonomi masyarakat hukum
adat dan hak asal usulnya oleh hukum nasional.
Perubahan pasal 18 UUD 1945 berpengaruh besar terhadap kedudukan masyarakat
hukum adat sebagai subjek hukum yang diakui oleh UUD 1945. Perubahan tersebut
berakibat pada pengakuan masyarakat hukum adat dengan hak asal usulnya harus melalui
rezim hukum pemerintah daerah. Pengakuan tersebut adalah penyerahan kewenangan
pemerintah daerah yang otonom kepada persekutuan masyarakat hukum adat melalui
Peraturan Daerah. Artinya, pengakuan kewenangan-kewenangan masyarakat hukum adat,
baik yang berdimensi hukum publik maupun hukum privat adalah hasil keputusan politik
pemerintah daerah.
Di lapangan, dampak ketidakpastian hak asal usul masyarakat hukum adat terlihat
dari maraknya berbagai konflik agraria. Banyak sekali contoh kasus dapat dikemukakan,
mulai dari “sabang sampai merauke”, seperti kasus tanah Hanock Obe Ohee di Papua, Kasus
3
3 | P a g e
tanah perkebunan di Lampung, Kasus tanah perkebunan di Pasaman Barat, Provinsi
Sumatera Barat dan lain-lain (Kurniawarman 2007 :10).
Makalah ini mencoba untuk melacak kembali posisi masyarakat hukum adat sebagai
subjek hukum dan hak asal usulnya dalam hukum nasional. Harapannya, makalah ini dapat
memberi gambaran awal posisi masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dan melihat
peluang-peluang untuk memperkuat pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dalam
hukum nasional.
B. Konsep Masyarakat Hukum Adat
Pengertian mendalam tentang masyarakat hukum adat perlu dihayati pada dua faktor,
yaitu : teritorial dan genealogis yang menjadi dasar pembentukan dan kesinambungan
hidup masyarakat hukum adat (Syahmunir, 2005 : 6). Selanjutnya, pengertian tentang
masyarakat hukum adat disampaikan oleh Kurniawarman mengutip Ter Haar yang
mengemukakan :
Persekutuan itu dapat diartikan sebagai kelompok manusia yang teratur, bersifat tetap
dengan mempunyai kekuasaan tersendiri berupa benda (kekayaan) baik yang kelihatan
maupun yang tidak kelihatan. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai
pikiran untuk membubarkan kelompok tersebut. Di situlah terdapat hukum adatsebagai
endapan dari kenyataan social yang didukung dan dipelihara oleh dan dalam keputusan
pemegang kekuasaan atau penghulu rakyat dan rapat yang dijatuhkan atas sesuatu
tindakan hukum atau atas suatu perselisihan (beslisingenleer). Menurutnya, masyarakat
hukum itu terbentuk baik karena faktor teritorial (daerah) maupun faktor genealogis
(keturunan), (Kurniawarman, 2006 : 43).
Masyarakat hukum adat secara territorial adalah persekutuan hukum yang terikat oleh
teritorial. Sebagaimana dijelaskan oleh syahmunir, bahwa :
Sarjana hukum adat, baik itu Ter Haar, Soepomo dan lainnya berpendapat Desa di Jawa,
Madura dan Bali merupakan contoh dari struktur masyarakat hukum adat yang
berdasarkan teritorial, khususnya Dorpsgemeenschap (….). Desa dalam pengetian
masyarakat hukum adat secara territorial ini adalah kesatuan hukum sebagai tempat
4
4 | P a g e
tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri (Syahmunir,
2005 : 6)—autonom.
Oleh Chairul Anwar diperkuat lagi, bahwa ;
Masyarakat hukum adat yang merupakan persekutuan hukum yang terikat oleh daerah
(teritorial) sebagai unsur pokok tali pengikat persekutuan hukum tersebut, seperti di
Jawa, sedangkan persekutuan hukum yang terikat oleh daerah (teritorial) sekaligus
genealogi, seperti di minangkabau (nagari) (….). Dan juga terdapat persekutuan hukum
yang hanya terikat oleh geneologis saja yang tentunya sangat sukar untuk menentukan
batas-batas kediamannya (Chairul Anwar, 1997 : 8).
Sedangkan, persekutuan hukum yang terikat pada teritorial dan genelogis salah
satunya terlihat pada contoh masyarakat hukum adat minangkabau (Nagari). Nagari
terbentuk dari tatanan masyarakat berdasarkan garis keturunan genelogis matrilineal.
Tatanan tersebut dimulai dari paruik yang merupakan keluarga luas yang terdiri dari
beberapa keluarga inti, pengembangan paruik-paruik yang menjadi kaum dan gabungan
dari kaum-kaum akan menjadi suku (Kurniawarman, 2012 : 41). Suku merupakan ikatan
pertalian darah (genelogis) yang tidak mesti terikat, dan dibatasi oleh teritorial.
Masyarakat hukum adat minangkabau mempunyai empat (4) suku utama, yaitu ; Koto,
Piliang, Bodi, dan Caniago (Kurniawarman, 2012 : 41). Himpunan beberapa suku akan
membentuk satu nagari dalam bentuk satuan organisasi pemukinan. Pembentukan
tersebut menunjukkan adanya ikatan territorial yang mengikat semua anggota dari
beberapa suku dan suku hanya menunjukkan adanya ikatan genealogis (Kurniawarman,
2012 : 42).
Selanjutnya, Kurniawarman menyebutkan dengan mengutip Soerjono Soerkanto dan
Taneko (1986 : 107108) yang mengemukakan pendapat Hazairin bahwa:
Masyarakat hukum adat, seperti desa di jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di
Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan-kesatuan
masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri.
5
5 | P a g e
Mereka mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan
hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya
(Kurniawarman, 2006 : 43).
Namun kenyataannya, masyarakat hukum adat tidak sepenuhnya otonom setelah
bersinggungan dengan Negara. Reduksi otonomi masyarakat hukum adat tersebut oleh
Kurniawarman dinyatakan sebagai :
Secara faktual kondisi ini membuat setiap persekutuan hukum adat
(Rechtsgemeenschappen) menjadi tidak sepenuhnya otonom seperti sebelumnya. Secara
teori, menurut Moore, dalam perspektif hukum dan perubahan sosial (Law and Social
Change) gambaran ketidakmutlakan autonomi suatu kelompok itu disebut dengan
istilah semi-autonomous social field (Kurniawarman, 2007 : 4).
Kondisi diatas adalah konsekuensi dari peleburan masyarakat hukum adat dalam entitas
Negara, sehingga masyarakat hukum adat berada pada kondisi semi-autonom terhadap
negara (Kurniawarman, 2007 : 4). Peleburan yang mengakibatkan berkurangnya autonomi
masyarakat hukum adat berlaku bagi entitas yang terikat pokok secara territorial seperti di
jawa, terikat secara genelogis dan terikat secara genelogis – territorial seperti di nagari.
Proses itu telah dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda sampai dengan zaman
kemerdekaan hari ini.
Selanjutnya, untuk melacak bagaimana persekutuan-persekutuan masyarakat hukum
adat tersebut dalam kerangka negera Indonesia, maka dilihat dalam penyusunan UUD
1945. Dalam penyusunan tersebut, pendiri bangsa mempunyai perhatian khusus terhadap
persekutuan-persekutuan masyarakat hukum adat. Perhatian tersebut kemudian
dicurahkan dalam pasal 18 UUD 1945 yang dijelaskan dengan sebutan susunan asli1
masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Negara dan penyelenggara Negara.
1 Dalam terminologi Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Amandemen), susunan asli terdiri dari dua bentuk : (1)
Zelfbesturende landschappen yaitu kerajaan-kerajaan, dan (2) volksgemeenschappen, yaitu : desa atau nama lain
seperti nagari, marga, dusun dan lain-lain. Susunan asli dalam makalah ini memfokuskan pada konteks desa atau
nama lain dalam konsep UUD 1945 (selanjutnya lihat, Yando Zakaria, (2012) makalah : Menggagas Arah Kebijakan
6
6 | P a g e
Susunan asli masyarakat hukum adat tersebut adalah desa atau nama lain yang dalam
konsep UUD 1945 disebut dengan volksgemeenschappen. Desa atau nama lain merupakan
susunan asli masyarakat hukum adat yang terikat secara territorial, genelogis dan
territorial genelogis seperti yang dibahas sebelumnya. Untuk melihat kedudukan desa atau
nama lain dalam UUD 1945 berikut akan dibahas dibawah ini.
C. Masyarakat Hukum Adat, Susunan Asli dan Desa dalam UUD 1945.
Memang, hubungan masyarakat hukum adat dengan Negara menjadi isu sentral
kualitas autonomi masyarakat hukum adat terutama terhadap wilayahnya (hak ulayat),
yaitu susunan asli yang bernama desa, nagari, marga dan nama-nama lainnya. Oleh sebab
itu, UUD 1945 yang lahir dari buah pikir pendiri bangsa memperhatikan secara serius
hubungan Negara dengan susunan-susunan asli masyarakat hukum adat tersebut. Saldi
Isra menulis, bahwa Soepomo dalam Rapat Besar BPUPK tanggal 14 Juli 1945 menyatakan :
….Jadi rancangan undang-undang dasar memberi kemungkinan untuk mengadakan
pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah yang besar dan untuk membagi
daerah-daerah besar itu atas daerah-daerah yang kecil. Dengan memandang dan
mengingat “dasar permusyawaratan,” artinya bagaimana bentuknya pemerintah daerah,
pemerintahan itu harus berdasarkan atas musyawarah, jadi misalnya dengan
mengadakan Dewan Perwakilan Daerah. Hak asal usul dalam daerah yang bersifat
istimewa harus diperhatikan juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah
pertama daerah Kerajaan (Kooti), baik Djawa maupun diluar Djawa, daerah-daerah yang
dalam bahasa Belanda dinamakan Zelfbesturende landschappen. Kedua, daerah-daerah
kecil yang mempunyai susunan asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang
mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di jawa, negeri di Minangkabau, dusun dan
marga di Palembang, Huta di Tapanuli, Gampong di Aceh. Maksud panitia ialah
hendaknya adanya daerah-daerah istimewa tadi. Ialah daerah kerajaan (Zelfbesturende
dan Regulasi tentang Desa yang Menyembuhkan Indonesia, Disampaikan pada Simposium Konsolidasi Jaringan
Advokasi RUU Desa yang diselenggarakan oleh Pengembangan Pembaruan Desa.
7
7 | P a g e
landschappen) dan desa-desa itu menghormati dan memperbaiki susunan aslinya (Saldi
Isra, 2012 :3).
Selanjutnya, pendapat Soepomo tersebut menjadi dasar pembentukan penjelasan pasal
18 UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menyebutkan ;
I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu een heidsstaat, maka Indonesia tak akan
mempunyai daerah didalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah
Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula
dalam daerah yang lebih kecil.
Didaerah-daerah yang bersifat autonom (streek dan Locale reschtgemeenschappen)
atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan
ditetapkan dengan undang-undang. Didaerah-daerah yang bersifat autonom akan
diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintahan akan
bersendi atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende
landschappen” dan “Volksgemeenschappen”. Seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah – daerah ini
mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-
daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu
akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.
Berdasarkan pasal 18 tersebut. Saldi Isra menjelaskan susunan Negara Republik Indonesia
dalam tiga bentuk, yaitu :
1. Daerah yang berstatus daerah otonom, yang terdiri dari propinsi dan
kabupaten/kota.
2. Daerah yang berstatus daerah administratif.
8
8 | P a g e
3. Daerah yang berstatus sebagai daerah istimewa, seperti negeri di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang, kerajaan seperti di Yogyakarta, dan lain-lain (Saldi
Isra, 2012 : 5).
Daerah istimewa seperti yang disebutkan diatas, melekat hak asal usul, dibagi atas dua
bentuk, yaitu : pertama, kerajaan-kerajan atau Zelfbesturende landschappen dan kedua,
Desa / nama lainnya / susunan asli / Volksgemenschappen. Volksgemenschappen atau Desa
atau nama lainnya dalam pengertian pasal 18 inilah yang disebut juga dengan susunan asli
masyarakat hukum adat, baik yang terikat secara territorial, genelogis dan territorial
genelogis dalam pengertian konstitusionalnya.
Sejak amandemen UUD 1945 yang juga merubah pasal 18 berimplikasi pada
kedudukan Desa dan atau susunan asli masyarakat hukum adat. Susunan asli masyarakat
hukum adat tidak lagi diakui secara jelas pada pasal 18 hasil perubahan tersebut. Saldi Isra
menyebutkan bahwa perubahan pasal 18 UUD 1945 berakibat pada :
1. Ketentuan pasal 18 B ayat (2) UUD dihubungkan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 dapat dipahami bahwa keberadaan masyarakat adat diakui secara
konstitusional, namun eksistensi daerah-daerah yang mempunyai susunan asli
yang dihuni masyarakat hukum adat tidak mendapatkan jaminan. Atau dengan kata
lain : subjeknya diakui, namun daerah tempat tinggalnya tidak mendapatkan
pengakuan.
2. Pengaturan tentang masyarakat hukum adat masuk dalam rezim pemerintahan
daerah, namun kedudukan masyarakat hukum adat dengan susunan asli yang
mempunyai hak asal usul dalam penyelenggaran Negara tidak lagi diakui.
3. Pengakuan konstitusi terhadap masyarakat hukum adat sebagai subjek bersyarat
pada pasal 18B ayat 2, yaitu “sepanjang masih hidup,” “sesuai dengan
perkembangan masyarakat,” dan “prinsip Negara kesatuan.”
9
9 | P a g e
D. Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek Hukum
Pengakuan masyarakat hukum adat dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 tidak
otomatis menyelesaikan persoalan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, baik
dalam ranah hukum publik maupun dalam ranah hukum privat yang mempunyai hak-hak
tradisional / hak asal usul, terutama hak-hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya
(Hak ulayat). Pentingnya membahas masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum terkait
dengan jaminan hukum terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, sehingga terlindungi
secara hukum. Adapun Masyarakat hukum adat dalam konteks subjek hukum adalah
sebagai Badan Hukum2 yang merupakan Persekutuan hukum yang terbentuk karena
perkembangan faktor-faktor sosial dan politik dalam sejarah (Gemeenschap), bukan Badan
Hukum dalam artian perhimpunan yang dibentuk dengan sengaja dan sukarela oleh orang-
orang bermaksud untuk memperkuat kedudukan ekonomis mereka,atau kegiatan-
kegiatan lain (verenigingen). Masyarakat hukum adat sebagai badan hukum mempunyai
kewenangan / hak dalam dimensi hukum publik maupun dimensi hukum privat.
1. Masyarakat Hukum Adat sebagai Badan Hukum Dalam Dimensi Hukum Publik
Bagian ini akan membahas posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan
Hukum yang mempunyai hak (kewenangan) publik (kemudian disebut Badan Hukum
Publik). Pengakuan hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik terkait
dalam pasal 18 UUD 1945. Dalam pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, jelas bahwa
susunan asli masyarakat hukum adat dalam bentuk desa, nagari atau nama lain
mempunyai kewenangan publik berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa,
termasuk kewenangannya terhadap wilayah dan sumber daya alam yang terkandung
didalamnya.
2 Badan hukum dalam ilmu hukum adalah entitas pembawa hak dan yang tak berjiwa dapat melakukan sebagai
pembawa hak manusia, misalnya : dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali
terlepas dari kekayaan anggotanya, (Kansil, 2002 : 86). Selanjutnya, Kansil juga menyebutkan jenis-jenis Badan
hukum, yaitu Badan Hukum Publik seperti Negara sampai dengan Desa dan Badan Hukum Privat yang Badan
Hukum Privat Eropa dan Badan Hukum Privat Indonesia (Kansil, 2002 : 86).
10
10 | P a g e
Namun, sejak Perubahan Pasal 18 UUD 1945 berakibat pada kaburnya posisi hukum
masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik dalam penyelenggaran Negara yang
mempunyai hak asal usul, karena : (1) hanya mengenal pembagian wilayah Negara dalam
daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi di bagi dalam daerah-daerah kabupaten
dalam asas otonomi daerah dan (2) tidak mengenal lagi wilayah susunan asli masyarakat
hukum adat yang mempunyai hak asal usul (Saldi Isra, 2012 : 13). Walaupun demikian,
Pasal 18 B Ayat 2 hasil perubahan, sebagaimana disebutkan oleh Saldi Isra menjelaskan:
Pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya dalam Pasal
18 B Ayat 2 merupakan pengakuan atas ikatan bathin dan ikatan kebendaan antara
masyarakat hukum adat dengan wilayahnya. Berdasarkan ikatan tersebut, masyarakat
hukum adat mempunyai hak atas penetapan wilayah dan batas wilayahnya. Namun hak
tradisional itu tidak otomatis bisa dilaksanakan karena tidak ada lagi pengakuan
wilayah berdasarkan susunan asli masyarakat hukum adat dalam Pasal 18 dan wilayah
masyarakat hukum adat tersebut masuk dalam rezim pemerintahan daerah (Saldi Isra,
2012 : 13-14).
Artinya, Pasal 18 hasil perubahan mengakui masyarakat hukum sebagai Subjek Hukum,
khususnya Badan Hukum publik yang juga mempunyai hak-hak dan kewenangan atas
wilayah melalui Undang-Undang dalam rezim hukum pemerintah daerah.
Bila ditelusuri lebih lanjut dalam rezim hukum pemerintah daerah. Terdapat peluang
pengakuan masyarakat hukum adat sebagai badan hukum publik, yaitu dalam PP 72/2005
tentang Desa (Kurniawarman, 2007 : 12), selanjutnya Kurniawarman menjelaskan :
Penjelasan pasal 7 huruf a dab b, memberikan uraian tentang apa yang dimaksud
dengan hak asal usul desa, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan asal usul, adat istiadat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti subak, jogoboyo, jogotirto,
sasi, mapalus, kaolatan, kajaroan, dan lain-lain (…) … pelaksanaan hak asal usul oleh
desa dilaksanakan dengan terlebih dahulu diidentifikasi hak asal usul yang hidup di desa
tersebut. Selanjutnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah ditingkat kabupaten / kota,
11
11 | P a g e
adapun jenis-jenis kewenangan yang diserahkan ke desa, seperti kewenangan dibidang
pertanian, pertambangan dan energy, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan
perdagangan, perkoperasian, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
social, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, perikanan, politik dalam
negeri dan administrasi publik, otonomi desa, perimbangan keuangan, tugas
pembantuan, pariwisata, pertanahan, kependudukan, kesatuan bangsa dan
perlindungan masyarakat, perencanaan, penerangan/informasi dan komunikasi
(Kurniawarman, 2007 : 14).
Pengakuan masyarakat hukum adat sebagai badan hukum publik, memang tidak
sekuat sebelum perubahan pasal 18 UUD 1945. Pengakuan masyarakat hukum adat
sebagai badan hukum publik itu kini terikat oleh kemauan politik pemerintah daerah untuk
mengakui hak-hak asal usul tersebut melalui Peraturan Daerah. Kondisi tersebut terkait
dengan pengakuan masyarakat hukum adat sebagai badan hukum publik yang
menjalankan penyelenggaraan Negara sebagai penyerahan kewenangan pemerintah
daerah kepada desa dalam rezim otonomi daerah, bukan pada pengakuan konstitusional
yang utuh terhadap susunan asli masyarakat hukum adat / desa berdasarkan hak asal usul.
2. Masyarakat Hukum Adat sebagai Badan Hukum Dalam Dimensi Hukum Privat
Masyarakat hukum adat selain mempunyai kewenangan publik, juga melekat
kewenangan-kewenangan yang bersifat keperdataan (privat), yaitu kewenangan untuk
mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga tentang pemanfaatan bagian-bagian dari
ulayat (Kurniawarman, 2005 : 414). Kewenangan Badan Hukum Masyarakat hukum adat
dalam dimensi hukum privat terkait erat tersebut dengan hak atas tanah (Hak Ulayat).
Pengakuan masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Privat ini terkait hak Pertuanan
(Beschikkingsrecht) atau tanah komunal dalam Pasal 3 UUPA. Hak pertuanan ini tidak
dijelaskan secara rinci oleh UUPA namun merujuk pada kepustakaan adat. Oleh Ter Haar,
yang dikutip oleh Kurniawarman menyebutkan bahwa :
12
12 | P a g e
Sebagai badan hukum (Persekutuan Hukum); masyarakat hukum adat memiliki
kewenangan terhadap tanah ulayat (Beschikkingsrecht) dapat dibagi dua ; pertama,
berlakunya kedalam, bahwa masyarakat atau anggota-anggotanya berwenang
menggunakan hak pertuanan itu dengan jalan memungut hasil tanah beserta binatang-
binatang dan tanaman-tanaman yang terdapat diwilayah kekuasaannya, kedua,
kewenangan yang berlaku keluar. Bahwa orang luar dari masyarakat yang bersangkutan
boleh memungut hasil pertuanannya, setelah mendapat izin dari persekutuan
bersangkutan, orang luar tersebut juga harus membayar uang pengakuan di muka, serta
uang penggantian kebelakang. Hak yang diberikan itu adalah hak menikmati hasil
(genotrecht) dan itu hanya berlaku sekali panen.
Dalam hal berlaku kedalam, setiap anggota masyarakat hukum adat sebagai individu
(natuurlijk person) diperbolehkan mendapatkan hak atas sebagian tanah komunal (tanah
ulayat) (Kurniawarman, 2012 : 18)—hubungan hukum antara anggota masyarakat hukum
adat dengan tanahnya kemudian disebut hak privat. Hubungan hak privat dan tanah
komunal dalam persekutuan hukum masayarakat hukum adat digambarkan oleh Herman
Soesangobeng yang dikutip oleh Kurniawarman sebagai berikut :
Ketika proses pemilikan tanah menurut hukum adat, yang terjadi pada saat hubungan
hak atas tanah mulai dijalin, pengaruh kewenangan masyarakat hukum adat masih kuat
dan penuh, tetapi setelah intensitas penggunaan tanah berlangsung cukup lama,
kewenangan subyek hak (individu) menjadi lebih kuat dan pada saat bersamaan
kewenangan masyarakat hukum adat menjadi semakin lemah, sekalipun tidak lenyap
sama sekali.
Dalam hal berlaku keluar, Kurniawarman dengan merujuk pada Van Vollenhoven
menyebutkan :
Pemberian izin pemanfaatan oleh “orang asing” diluar persekutuan hukum mesti
membayar uang pengakuan (recognitie) dan hak ulayat tersebut tidak dapat dilepaskan
walaupun dimanfaatkan oleh “orang asing” diluar persekutuan hukum. Jika dilepaskan
13
13 | P a g e
sementara untuk orang asing dan berakibat kerugian, maka orang asing tersebut harus
membayar ganti kerugian kepada persekutuan hukum yang memiliki tanah
(Kurniawarman, 2012 :18).
E. Kesimpulan
1. Pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik
terkait dengan konsep susunan asli dalam bentuk desa, nagari, marga dan atau
nama lainnya dalam pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan. Di sini masyarakat
hukum adat adalah badan hukum publik yang mempunyai kewenangan
penyelenggaraan Negara dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia
dengan menjalankaman hak asal usulnya yang bersifat istimewa, seperti ;
menentukan sendiri sistem pemerintahan desa, nagari atau nama lain berdasarkan
hak asal usul, menentukan wilayah persekutuan hukumnya dan lain-lain.
2. Sejak perubahan Pasal 18 UUD 1945, posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai
Badan Hukum Publik menjadi kabur karena tidak lagi dikenal susunan asli
berdasarkan hak asal usul, terutama terkait wilayah persekutuan hukum adat.
Kewenangan-kewenangan publik masyarakat hukum adat berada dalam kerangka
hukum pemerintah daerah yang diserahkan Pemerintah Daerah ke desa sehingga
otonomi desa berdasarkan hak asal usul tidak lagi sekuat sebelum perubahan pasal
18 UUD 1945.
3. Kewenangan – kewenangan masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum dalam
dimensi hukum privat terkait dengan penguasaan atas tanah (hak ulayat).
Masyarakat hukum adat mempunyai kekuasaan penuh atas tanahnya sebagai bagian
dari kekayaan masyarakat hukum adat yang melekat. Penguasaan itu bersifat
komunal dan dapat di serahkan pada individu-individu dari anggota persekutuan
hukum untuk digunakan. Pengguanaan tanah ulayat oleh “orang asing” / subjek
hukum diluar persekutuan hukum melalui mekanisme pengakuan (recognitie)
dengan tidak menghilangkan hak ulayat tersebut atau pelepasan sementara.
14
14 | P a g e
F. Saran
Untuk memperkuat masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang mempunyai
hak dalam hukum nasional adalah melalui “pengakuan”. “Pengakuan” tersebut secara
konstruksi hukum nasional hanya bisa dilakukan dalam rezim hukum pemerintah daerah,
yaitu melalui Peraturan Daerah dengan mengembalikan lagi susunan asli / desa / nagari /
nama lain yang mempunyai hak asal usul, termasuk hak atas tanah (wilayah) sehingga
terdapat kepastian atau jaminan hak-hak masyarakat hukum adat, baik yang bersifat
dimensi hukum publik, maupun yang lebih berdimensi hukum privat.
Daftar Pustaka
Anwar, Chairul, 1997, ”Hukum adat Indonesia, meninjau hukum adat minangkabau,” Rineka Cipta,
Jakarta
Harsono, Boedi, 2003, ” Hukum Agraria Indoensia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,” Djambatan, Jakarta.
Hutagalung, Arie, 2005, ”Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah,” Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta
Isra, Saldi, 2012, ” Makalah : Perubahan Pasal 18 UUD 1945 : Otonomi Daerah, Otonomi Desa dan
Keberadaan Masyarakat Adat,” Disampaikan dalam Simposium Masyarakat Adat di Epistema
Institute, Jakarta.
Kansil,C.S.T, 2002, ”Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia : Jilid I,” Balai Pustaka,
Jakarta
Kurniawarman, 2006, “Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik : Penyimpangan Hak Atas Tanah di
Sumatera Barat, Andalas University Press, Padang
Kurniawarman, 2007, “ Nasib Tenurial Data Atas Kawasan Hutan : Tumpang Tindih Klaim Data dan
Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat,” HuMa, Jakarta.
Kurniawarman (ed), 2012, “ Studi Kebijakan : Penguatan Tenurial Masyarakat Dalam Penguasaan
Hutan,” World Agroforestry Centre, Bogor
Soemarman, Anto, 2003, “ Hukum Adat : Perspektif Sekarang dan Mendatang,” Adi Cipta,
Yogyakarta
Syahmunir, 2005,” Eksistensi tanah ulayat dalam perundang-undangan di Indonesia,” Pusat
pengkajian Islam dan Minangkabau, Padang
15
15 | P a g e
Zakaria, Yando, 2012, “Makalah : Menggagas Arah Kebijakan dan Regulasi tentang Desa yang
Menyembuhkan Indonesia,” disampaikan Simposium Konsolidasi Advokasi RUU Desa,
Yogyakarta