OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA...
Transcript of OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA...
OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
(Studi Komparatif Antara Hukum Islam dan Hukum Pidana Indonesia)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu (S. 1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
Muh Wahib Muslim
NIM. 062211009
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
S E M A R A N G
2 0 11
ii
KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH
PENGESAHAN
Nama : Muh Wahib Muslim
NIM : 062211009
Jurusan : Jinayah Siyasah (JS)
Judul Skripsi : OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
(Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan
Hukum Pidana Indonesia)
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, pada hari/tanggal:
Rabu, 22 Juni 2011
Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan Studi Program Sarjana Strata 1 (S.1) tahun akademik 2010/2011, guna
memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Syari‟ah.
Semarang, 5 Juli 2011
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Drs. H. Musahadi, M. Ag. Maria Anna Muryani, S.H. M.H.
NIP:19690709 199405 1 003 NIP: 19620601 199303 2 001
Penguji I Penguji II
Drs. H. Johan Masruhan, M.M. Rustam D.K.A.H., M.Ag.
NIP:19690709 199405 1 003 NIP: 19690723 199803 1 005
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Rokhmadi, M. Ag Maria Anna Muryani, S.H. M.H. NIP:19660518 199403 1 002 NIP: 19620601 199303 2 001
Alamat : Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2 (Kampus III) Telp/Fax : 024-7614454 Semarang 50185
iii
Drs.Rokhmadi, M.Ag.
Jln. Jati Luhur 318 RT.01 RW.V Ngresep Banyumanik Semarang
Maria Ana Muryani, SH. MH.
Jln.Ganesha Raya 299B Pedurungan Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Muh Wahib Muslim
Kepada: Yth. Dekan Fakultas Syari‟ah
IAIN Walisongo
Di tempat.
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya
kirimkan naskah skripsi Saudara :
Nama : Muh Wahib Muslim
Nim : 062211009
Jurusana : Jinayah Siyasah
Judul Skripsi: OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
(Studi Komparatif antara Hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana Indonesia)
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Semarang, 10 Juni 2011
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Rokhmadi,M.Ag Maria Anna Muryani, SH. MH
NIP. 19660518 199403 1 002 NIP. 19620601 199303 2 004
iv
MOTTO
ا تعارض مفسدتان روعى أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهماإ
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang
lebih besar mudharatnya dengan mengerjakan yang lebih ringan
mudharatnya”.
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan sepenuhnya untuk:
1. Ayahanda Sugiyo al-Aziz Muslim dan Ibunda Saripah tercinta yang telah
mengenalkanku pada sebuah kehidupan dengan sebuah kasih sayang yang
tak bertepi. Ridhamu adalah semangat hidupku, doamu adalah penjaga
langkahku, serta adik-adikku Umi Nur Azizah dan Lu‟lu‟ Nurul Hidayati.
2. KH Sirodj Khudhori, KH Ahmad Izzuddin, M. Ag beserta keluarga.
3. teman-teman kamar “Al-Hilal”,dan segenap keluarga besar PP Daarun
Najaah Jerakah Tugu Semarang
4. Teman-temanku jurusan Jinayah Siyasah angkatan 2006, teman-temanku
group “al-Chemophat” Kimia UNNES 2004, teman-teman “al-Mahboeb
2006”, (Gus Labib, Muttaqin, Huda Darno, Akmadi, Suleman, Ulin Albab,
Anam Alkend, Karim Faiz, Jacky Ahmad, Dedi Asfia, Hudam, Wartono,
Munir Kudus) Termakasih atas semangat yang telah kalian berikan.
5. Mas Rosikhan, Mbak Ofa Mamah Zita, Zita Balqis Aulia, Mas Rizal, Mas
Akrom, Lek Anip Jamil, Mas Choy, Seniman Robby Zidni „Ilman Nafi‟a.
Terimakasih atas kopi, teh dan “uba rampene” yang selalu menemani
penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Teman-teman “KOBOI Community“, IKSANI NURIS se-Indonesia.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini
tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang
lain, kecuali informasi yang terdapat dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 10 Juni 2011
Deklarator
Muh Wahib Muslim
NIM. 062211009
vii
ABSTRAKS
Terwujudnya suatu tindak pidana, tidak selalu dijatuhkan hukuman atas
pelakunya. Pertanggungjawaban pidana dapat hapus karena hal-hal yang bertalian
dengan perbuatan atau karena hal-hal yang bertalian dengan pelaku. Dalam
hukum pidana Indonesia, paksaan (overmacht) merupakan salah satu alasan yang
dapat menghapuskan hukuman. Hapusnya hukuman karena adanya overmacht ini
berlaku bagi semua tindak pidana, termasuk tindak pidana pembunuhan, sehingga
pelaku yang terbukti melakukan pembunuhan karena adanya paksaan, maka
pelaku lepas dari segala tuntutan hukum.
Dalam hukum pidana Islam, paksaan dikenal dengan istilah ikrah dan
dharurah. Dalam masalah tindak pidana pembunuhan, menurut hukum pidana
Islam overmacht tidak dapat mempengaruhi hukuman terhadap tindak pidana
tersebut, dalam artian tidak dapat membolehkan atau menghapuskan hukuman.
Sedangkan Para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukuman bagi pelaku
pembunuhan karena terpaksa. Sebagian fuqaha berpendapat hukumannya adalah
qisas, dan sebagian yang lain berpendapat hukumannya adalah diyat atau ta‟zir.
Yang menjadi perumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana dasar
hukum dan alasan overmacht dalam tindak pidana pembunuhan menurut hukum
pidana Islam dan hukum pidana Indonesia Bagaimana penerapan sanksi bagi
pelaku tindak pidana pembunuhan karena overmacht menurut hukum pidana
Islam dan hukum pidana Indonesia. Penelitian ini bersifat kepustakaan (library
research). Data-data dikumpulkan dan diperoleh dari sumber primer dan skunder
kemudian dianalisis. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis
deskriptif dan komparatif. Dalam penelitian ini penulis mencoba menggali serta
meneliti data dengan menggunakan beberapa pendekatan diantaranya pendekatan
normatif. Pendekatan ini dilakukan dalam rangka membahas suatu permasalahan
dengan menitikberatkan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan hukum Islam,
serta melihat dan membahas suatu permasalahan yang menitikberatkan pada
aspek-aspek hukum pidana seperti KUHP dan juga dengan penerapan kaidah-
kaidah hukum. Selain itu penulis juga menggunakan pendekatan hermeneutik.
Pendekatan ini diperlukan untuk memahami makna yangn terkandung dalam ayat-
ayat al qur‟an maupun rumusan KUHP.
Kesimpulan akhir dari skripsi ini adalah dalam hukum pidana Islam,
overmacht tidak dapat menghapuskn hukuman terhadap tindak pidana
pembunuhan dan penjatuhan sanksi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan
dari pelaku overmacht dalam tindak pidana pembunuhan. Sedangkan menurut
hukum pidana Indonesia, pembunuhan yang dilakukan karena overmacht dapat
menghapuskan hukuman. Dengan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf,
pelaku dinyatakan lepas dari tuntutan hukum.
Keyword: overmacht, pembunuhan, sanksi.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabil’alamin, segala puji kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis berupa kekuatan,
kesabaran dan kemampuan berfikir sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini tanpa ada hambatan yang berarti. Sholawat serta salam penulis haturkan
kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan keluarga-Nya. Berkat limpahan
rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya serta usaha yang sungguh-sungguh,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul "OVERMACHT
DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Komparatif Antara
Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia)”.
Selanjutnya penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang Bpk Dr. Imam
Yahya, M.Ag dan Pembantu-Pembantu Dekan yang telah memberikan izin
kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas
untuk belajar dari awal hingga akhir.
2. Ketua & Sekretaris Jurusan yang telah memberikan berbagai motifasi dan
arahan, mulai dari proses awal hingga proses berikutnya.
3. Bapak Drs. Rokhmadi, M.Ag, dan Ibu Maria Ana Muryani SH, MH.
selaku dosen pembimbing yang dengan tulus ikhlas dan meluangkan
waktu untuk mengarahkan dan memberi petunjuk dalam penyusunan
skripsi ini.
ix
4. Bapak dan Ibu serta adik-adikku tercinta yang senantiasa memberikan
semangat dan do‟a demi tercapainya karya ilmiah ini.
5. Sahabat-sahabatku di Jurusan Jinayah Siyasah (JS) dan teman- teman dan
sahabat, serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dan semangat
serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga amal baik mereka diterima oleh Allah SWT dan semoga
mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT baik di dunia
maupun kelak di akhirat. Amiin.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik yang konstruktif dan inovatif dari pihak manapun
sangatlah penulis harapkan sebagai bahan penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya
hanya kepada Allah SWT tempat kembali, disertai harapan semoga skripsi ini
dapat menambah khasanah keilmuan umat Islam dan memberikan manfaat bagi
penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amiin.
Semarang, 10 Juni 2011
Penulis
Muh Wahib Musslim
NIM :062211009
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
DEKLARASI ................................................................................................ vi
ABSTRAK .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pokok Permasalahan .................................................................... 9
C. Tujuan Penulisan .......................................................................... 10
D. Telaah Pustaka ............................................................................. 10
E. Metode Penelitian ........................................................................ 13
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 15
BAB II : KETENTUAN OVERMACHT MENURUT HUKUM PIDANA
ISLAM DAN HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Ketentuan Overmacht Menurut Hukum Pidana Islam.................. 17
B. Ketentuan Overmacht Menurut Hukum Pidana Indonesia.......... 30
BAB III : OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan............................ ........... 46
xi
B. Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut
Hukum Pidana Islam ............................................................... 58
C. Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut
Hukum Pidana Indonesia......................................................... 75
BAB IV : ANALISIS OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN
A. Analisis Dasar Hukum dan Alasan Overmacht Dalam Tindak
Pidana Pembunuhan .............................................................. 84
B. Analisis Penerapan Sanksi Bagi Pelaku Overmacht Dalam
Tindak Pidana Pembunuhan.................................................. 94
BAB V : PENUTUP
Kesimpulan ......................................................................... 108
DAFATAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat merupakan ketentuan yang ditetapkan Allah Swt. yang
dijelaskan oleh rasul-Nya tentang pengaturan semua aspek kehidupan
manusia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat.
Ketentuan syariat ini terbatas dalam firman Allah dan sabda Rasulullah Saw.1
Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman
manusia atas nas al-Qur‟an maupun al-Sunnah untuk mengatur kehidupan
manusia.2 Sebagaimana diketahui bahwa hukum Islam merupakan istilah
khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islamiy atau dalam istilah
barat dikenal dengan Islamic Law. Aspek penting dalam hukum Islam adalah
mengutamakan keadilan dan kemaslahatan. Prinsip ini menjadi rujukan dalam
penetapan dan penerapan hukum Islam.
Dalam Islam, keadilan yang muncul dari hasil kreasi nalar adalah
keadilan relatif sebagaimana terbatasnya kemampuan nalar manusia. Menurut
Islam, keadilan sejati adalah keadilan mutlak yang didasarkan pada wahyu
Tuhan dan diimplementasikan melalui hukum Islam. Keadilan demikian
bukan hanya sebagai acuan ideal bagi manusia, tetapi merupakan suatu
keyakinan yang wajib dilakukan manusia dan akan dipertanggungjawabkan
kelak di hadapan Tuhan.
1 Ismail Muhammad Syah, FilsafatHukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hlm 16.
2 Said Agil al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004,
hlm. 6.
2
Hukum Islam disyariatkan oleh Allah dengan tujuan utama
melindungi kemaslahatan manusia, baik untuk kemaslahatan individu
maupun masyarakat. Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam ‘Ilmu Ushul al-
Fiqh-nya menjelaskan bahwa produk hukum apa pun dalam Islam harus
mempertimbangkan unsur maslahat yang tercakup dalam al-dharuriyat al-
khamsah yang terdiri dari hifź al-nafs (menjaga jiwa), hifź al-‘aql (menjaga
akal), hifź al-din (menjaga agama), hifź al-mal (menjaga harta) dan hifź al-
nasl (menjaga keturunan).3
Kejahatan atau tindak pidana dalam Islam merupakan larangan-
larangan syariat yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah. Pakar
fikih telah mendefinisikan jarimah dengan perbuatan-perbuatan tertentu yang
apabila dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman hudud atau ta’zir.4
Adapun istilah jinayah kebanyakan para fuqaha memaknai kata tersebut
hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti
membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya.5
Pembunuhan merupakan tindak pidana yang berakibat pada
hilangnya nyawa manusia. Menurut jumhur fuqaha, pembunuhan dibedakan
menjadi tiga; pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang mirip dengan
sengaja, dan pembunuhan karena keliru.6 Konsekuensi dari pembunuhan
3 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo: Da‟wah Islamiyah al-Azhar, tt, hlm.
200. 4 Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah, Beirut: Dar al-Fikr al- Arabi, tt, hlm.2.
5 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm.2.
6 Abdul Qadir Awdah, Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy, Jilid 2, Beirut: Muassasah al-Risalah,
tt., hlm.7.
3
disengaja adalah qisas atau diyat sebagaimana Allah Swt berfirman dalam
surat al-Baqarah ayat 178:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.”.7
Permasalahanya adalah bagaimana jika pembunuhan sengaja
tersebut dilakukan karena dalam keadaan terpaksa (overmacht), baik paksaan
tersebut berupa paksaan dari orang lain, maupun paksaan yang disebabkan
karena keadaan darurat.
Paksaan dalam Islam dikenal dengan istilah al-ikrah. Pada dasarnya
paksaan dalam tindak pidana dapat menghapus suatu hukuman. Dalam Islam,
alasan atau keadaan yang menghapus hukuman tersebut yaitu; paksaan,
mabuk, gila dan anak kecil (di bawah umur). Sebagaimana pernyataan Abdul
Qadir Awdah:
7 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,Bandung: Diponegoro, 2010, hlm.
27.
4
Artinya: “Hukuman dihapuskan terhadap pelaku dalam empat perkara yaitu
paksaan, mabuk, gila, dan anak kecil”
Dalam al-Qur‟an dijelaskan:
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,
Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar..9
(Q.S. al-Nahl 106)
Dan firman Allah Swt yang berbunyi:
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal)
yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya, dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar
benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka
tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang melampaui batas. 10
(Q.S. al-An‟am:
119)
8 Abdul Qadir Awdah, op.cit, Jilid 1, hlm.562.
9 Departemen Agama RI, op. cit, hlm.279
10 Departemen Agama RI, Ibid, hlm. . 143
5
Dalam Q.S. al-Baqarah ayat 173 dijelaskan;
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama)
selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 11
(Q.S. al-Baqarah:
173)
Dalam hadiś juga disebutkan:
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu „anhu berkata bahwa sesungguhnya
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengampuni
beberapa perilaku umatku, yakni keliru, lupa dan apa yang
dipaksakan terhadapnya.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam tindak pidana pembunuhan yang disebabkan adanya paksaan
(ikrah), paksaan tersebut tidak dapat menghapus hukuman. Para fuqaha
sepakat bahwa overmacht tidak bisa menghapus hukuman dari orang yang
dipaksa apabila tindak pidana yang dilakukannya adalah pembunuhan,
pemotongan anggota badan, atau pemukulan yang membinasakan.13
Dalil
mereka adalah firman Allah Swt.:
11
Departemen Agama RI, Op, Cit, hlm. 32. 12
Abi „Abdillah Muhammad Ibn Zaid al-Qazwainy, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1, Beirut:
Dar al-Fikr, tt. hlm. 69. 13
Ibnu Nujaim, al-Bahru al-Raiq , dalam Abdul Qadir Awdah, Tasyri’ al-Jina’i al-
Islamiy, Beirut: Muassasah al-Risalah, tt. Jilid 1, hlm. 568.
6
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.14
(Q.S. al-An‟am 151)
Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan
mukminat, tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata”.15
(Q.S. al-Ahzab: 58)
Tindak pidana pembunuhan yang disebabkan adanya paksaan
dilarang karena orang yang dipaksa melakukan pembunuhan terhadap
korbannya itu dengan cara disengaja dan melawan hukum, secara zalim
disertai keyakinan bahwa membunuh korban menyebabkan jiwanya selamat
dan terhindar dari kejahatan pemaksa atau bahaya.16
Adapun kaidah fikih yang dipakai adalah:
الضرر ال يزال بالضرر
“Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi.”
ا تعارض مفسدتان روعى أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهماإ
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih
besar mudharatnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudharatnya”.
Hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang dipaksa membunuh
menurut Imam Malik dan Imam Hambali hukumanya adalah qisas, ulama‟
14
Departemen Agama RI, op. cit, hlm. 148. 15
Ibid, hlm. 426. 16
Abdul Qadir Awdah, op.cit, Jilid 1, hlm.568. 17
Jalal al-Din „Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair,
Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyah, tt, hlm. 86. 18
Ibid., hlm. 87.
7
Syafiiyah dalam pendapatnya yang kuat menyatakan bahwa hukumanya
adalah qisas. Adapun dalam mazhab Hanafi, menurut Zufar hukumanya
adalah qisas sedang menurut Abu Yusuf hukumanya adalah diyat, sedangkan
Abu Hanifah hukumanya adalah diyat.19
Dalam hukum pidana Indonesia, overmacht diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 48 yang berbunyi: “Barang
siapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak
dipidana”.20
Kata “daya paksa” ini adalah salinan dari kata overmacht yang
berasal dari bahasa Belanda yang artinya kekuatan atau daya yang lebih
besar.21
Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang
daya paksa. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) terdapat keterangan
mengenai daya paksa yang mengatakan sebagai “setiap kekuatan, setiap
dorongan, setiap paksaan yang orang tidak dapat memberikan perlawanan”.22
Overmacht dibedakan menjadi tiga, yaitu paksaan absolut (vis
absoluta), paksaan relatif (vis compulsiva), dan keadaan darurat
(noodtostand). Paksaan yang dimaksud dalam pasal 48 KUHP adalah paksaan
relatif, yaitu suatu tekanan yang sedemikian kuatnya sehingga seseorang
berada dalam keadaan yang mengharuskannya melakukan tindak pidana,
19
Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, hlm 546. 20
Andi Hamzah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2006,
hlm. 25. 21
Moeljatno. Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 139. 22
Andi Hamzah, Azas-azas Hukum Pidana , Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 152.
8
tetapi di samping perbuatan yang telah dilakukanya itu ada pilihan perbuatan
lain sebagai alternatifnya.23
Dari segi sebab timbulnya paksaan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Paksaan dalam arti sempit adalah paksaan yang disebabkan karena
orang lain.
2. Paksaan yang disebabkan karena keadaan darurat (selain manusia).24
Prinsip yang dipakai dalam pasal 48 KUHP ini adalah
mengorbankan kepentingan hukum yang lebih kecil demi melindungi atau
mempertahankan kepentingan hukum yang lebih besar.25
Apabila
kepentingan yang dikorbankan lebih berat dari kepentingan yang
diselamatkan, maka tidak ada hal yang memaksa (overmacht), maka pelaku
dalam hal ini harus dihukum. Apabila kepentingan yang dikorbankan , hanya
sedikit lebih berat dari kepentingan yang diselamatkan, atau kepentingan itu
sama beratnya, maka ada hal yang memaksa dan pelaku tidak dikenai
hukuman pidana.26
Dalam hal pembunuhan contohnya ketika terjadi kecelakaan laut,
yakni tenggelamnya sebuah kapal, ada dua orang penumpang yang dalam
usahanya hendak menyelamatkan nyawanya berpegang pada sebuah papan
yang mana papan tersebut hanya dapat menahan satu orang saja. Apabila
kedua orang itu tetap berpegangan pada papan, maka kedua orang itu akan
23
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2002,
hlm.33. 24
Andi Hamzah, op.cit,, hlm. 155-156. 25
Adami Chazawi, op cit. hlm. 32. 26
Wiryono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Eresco, 1981,
hlm.77.
9
tenggelam dan mati. Maka dalam usaha untuk meyelamatkan diri dari
ancaman kematian, maka salah satu dari keduanya mendorong yang lain dan
orang yang didorong tersebut mati.27
Dari contoh itu menurut hukum pidana Indonesia, walaupun
perbuatan tersebut pada kenyataannya telah memenuhi unsur pasal 338
KUHP tentang pembunuhan, namun dalam konsep overmacht dalam hukum
pidana Indonesia ini berlaku untuk semua tindak pidana, termasuk dalam
tindak pidana pembunuhan. Berbeda dengan hukum pidana Islam yang tidak
memberlakukan overmacht pada tindak pidana pembunuhan, pemotongan
anggota badan, dan penganiayaan berat. Secara mendalam masalah ini akan
penulis jelaskan dalam skripsi yang berjudul : “OVERMACHT DALAM
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Komparatif Antara Hukum
Islam dan Hukum Positif Indonesia)”
B. Rumusan Masalah
Untuk membuat permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai
dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar
fokus. Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam karya tulis ini, tidak melebar
dari apa yang dikehendaki. Dari latar belakang yang telah disampaikan di
atas, ada beberapa pokok masalah yang akan dikaji yaitu;
1. Bagaimana dasar hukum dan alasan overmacht dalam tindak pidana
pembunuhan menurut hukum Islam dan hukum pidana Indonesia?
27
Adami Chazawi, Op. Cit hlm. 34
10
2. Bagaimana penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana pembunuhan
karena overmacht menurut hukum Islam dan hukum pidana Indonesia?
C. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dasar hukum dan alasan tindak pidana pembunuhan
karena overmacht menurut hukum Islam dan hukum pidana Indonesia.
2. Untuk mengetahui penerapan sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku
tindak pidana pembunuhan karena overmacht menurut hukum Islam
dan hulum pidana Indonesia.
D. Telaah Pustaka
Penelitian seputar overmacht dalam hukum pidana telah banyak
dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun dengan pendekatan yang berbeda
dalam pengujian datanya. Untuk itu penulis akan menyebutkan beberapa
literatur yang akan penulis jadikan sebagai previous finding (penelitian
maupun penemuan sebelumya).
Dalam buku karya Adami Chazawi yang berjudul Pelajaran Hukum
Pidana 1 terdapat beberapa penjelasan mengenai overmacht menurut hukum
pidana Indonesia yang diatur dalam pasal 48 KUHP. Menurut penulis buku
ini, prinsip yang digunakan dalam pasal tersebut adalah mengorbankan
kepentingan hukum yang lebih kecil demi untuk melindungi atau
mempertahankan kepentingan hukum yang lebih besar.
11
Buku yang berjudul Konsep Darurat dalam Hukum Islam yang
merupakan terjemahan dari Nazhariyah al-Dharurah al-Syar’iyah karya
Wahbah Zuhaili menjelaskan tentang pengertian, batasan-batasan, dan
penerapan kaidah-kaidah dharurah dalam Islam. Buku ini juga menerangkan
bahwa tidak diperbolehkanya membunuh yang disebabkan karena
dharurah.28
Skripsi buah karya M. Eko Wahyudi (NIM: 2199184) tahun 2004
dengan judul: Analisis Atas Pemikiran Muhammad Abu Zahrah tentang
Pembunuhan sebagai Upaya dalam Mempertahankan Harta. Kesimpulan
yang dapat diperoleh dari penelitian ini bahwa menurut Imam Abu Zahrah
seseorang yang membunuh dengan alasan mempertahankan harta dibolehkan,
pelakunya digugurkan dari perbuatannya dan tidak ada hukuman baginya.
Skripsi buah karya oleh Syarifudin (NIM: 2198007) tahun
2003dengan judul: Studi Hukum Islam Tentang Pembunuhan Sengaja oleh
Wanita Karena Mempertahankan Diri dari Pemerkosaan (Studi Analisis
Pandangan Mashab Syafi’i. Penulis skripsi in menyatakan bahwa seorang
wanita yang membunuh dengan sengaja karena mempertahankan diri menurut
pandangan madzhab Syafi‟i pelakunya digugurkan dari perbuatanya dan tidak
ada hukuman baginya, baik qisas, diyat, maupun kafarat.
Skripsi buah karya Imron (NIM: 2100094) tahun 2006 dengan judul:
Qisas dan Upaya Pencapaian Maslahah dalam Surat al-Baqarah Ayat 17.
Dalam skripsi ini disimpulkan bahwa hukum qisas sebenarnya sudah berlaku
28
Wahbah Zuhaili, Nazhariyah al-Dharurah al-Syar’iyah, terj. Said Agil al-Munawar
dan M. Hadri Hasan, “Konsep Darurat dalam Hukum Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
12
pada masyarakat Arab dari agama Yahudi dan Nasrani. yang membedakan
antara keduanya dengan Islam adalah adanya prinsip musawah (persamaan),
karena hukum qisas yang berlaku sebelum Islam adalah pembalasan yang
tidak seimbang, misalnya budak dibalas dengan orang merdeka, perempuan
dibalas laki-laki. Islam telah mensyari‟atkan hukum qisas -diyat terhadap
pelaku tindak pidana pembunuhan dengan melakukan sanksi sepadan dengan
perbuatan pelaku atau diserahkan kepada ahli waris untuk memilih diantara
dua alternatif sanksi tersebut.
Skripsi buah karya Hardianto Siagian (NIM: 05360085) tahun 2010
dengan judul Overmacth Menurut Hukum Islam dan Hukum Pidana
Indonesia.29
Penulis skripsi ini menjelaskan tentang konsep dan batasan-
batasan overmacht menurut hukum pidana dan perdata Indonesia yang
dikomparasikan dengan hukum pidana Islam. Penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang akan penulis teliti, karena dalam penelitian ini penulis
mencoba untuk menganalisis bagaimana penerapan dan sanksi terhadap
pelaku overmacht dalam tindak pidana pembunuhan.
E. Metode penelitian
Setiap penulisan karya ilmiah harus memakai suatu metode, karena
metode merupakan suatu instrumen yang penting agar suatu penelitian dapat
terlaksana dengan terarah sehingga tercapai hasil yang maksimal. Dalam
penyusunan skripsi ini digunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
29
Hardianto Siagian, “Overmacth Menurut Hukum Islam dan Hukum Pidana
Indonesia”,Skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2010.
13
Jenis penelitian ini termasuk penelitian pustaka (library research), yaitu
penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya30
.
Penulis akan mengumpulkan karangan ilmiah, pendapat para ahli, maupun
teori-teori yang ada dalam buku atau kitab yang ada relevansinya dengan
skripsi ini.
2. Sumber Data
Data yang dikumpulkan adalah jenis data kualitatif31
, karena yang menjadi
objek penelitian merupakan konsepsi-konsepsi dalam pemikiran seseorang
atau banyak orang.
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan literatur yang langsung berhubungan
dengan permasalahan penelitian, yaitu: Kitab at-Tasyri’ al-Jinaiy al-
Islamy karya Abdul Qadir Awdah, Kitab al-Jarimah karangan
Muhammad Abu Zahra, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), buku Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana dan
Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana buku karangan
Roeslan Saleh.
b. Sumber data sekunder
Untuk melakukan analisa terhadap konsep yang sudah ada
sebagaimana dideskripsikan di atas, penulis mencari sumber dari buku-
30
Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, Yogyakarta: Andi Offset, 1990, hlm. 9 31
Adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan
dalam keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah
dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan
data dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan / diinterpretasikan sesuai
ketentuan statistik / matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta:
Gajahmada University Press, 1996, hlm. 174.
14
buku yang mempunyai keterkaitan, baik buku atau kitab seperti ; Asas-
Asas Hukum Pidana Islam oleh Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum
Pidana Indonesia oleh Moeljatno, al-Asybah wa al-Nadhair, karya
Jalal al-Din „Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Hukum
Pidana Islam, karya Ahmad Wardi Muslih dan buku-buku lain yang
relevan.
3. Analisis Data
a. Metode Analisis
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis data
deduktif, yaitu menganalisis litelatur-litelatur yang bersifat umum,
kemudian diolah untuk mendapatkan kesimpulan yang khusus.32
Metode ini digunakan oleh penulis untuk mengekplorasi data yang
terdapat pada bab II dan III.
Penulis juga menggunakan metode analisis komparatif, yaitu
menganalisa data yang berbeda dengan jalamn membandingkan untuk
diketahui kelebihan, kelemahan, mana yang benar dan mana yang lebih
kuat. Metode ini digunakan untuk menguraikan pokok permasalahan
pada bab IV.
b. Pendekatan
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif yaitu
dalam menganalisis data didasarkan pada asas-asas hukum dan
32
Sutrisno Hadi, op.cit, hlm. 23
15
perbandingan-perbandingan hukum yang ada dalam masyarakat.33 Dalam
skripsi ini pendekatan masalah dengan melihat dan membahas suatu
permasalahan dengan menitikberatkan pada aspek-aspek yang berkaitan
dengan hukum Islam, serta melihat dan membahas suatu permasalahan
yang menitikberatkan pada aspek-aspek hukum pidana seperti KUHP
dan juga dengan penerapan kaidah-kaidah hukum.
Pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan hermeunetik.34
Pendekatan ini diperlukan untuk memahami makna yangn terkandung
dalam ayat-ayat al qur‟an maupun rumusan KUHP.
F. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini dapat mengarah pada suatu tujuan penelitian,
maka di susun sistematika terdiri dari lima bab yang mempunyai karakteristik
yang berbeda namun dalam kesatuan yang berkaitan dan saling melengkapi.
Bab Pertama merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar
belakang, rumusan masalah beserta tujuan dilakukannya penelitian, telaah
pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua berisikan bahasan mengenai ketentuan pidana yang
menyajikan landasan yuridis dan beberapa penjelasan para fuqaha‟ terdahulu
terkait dengan overmacht. Detailnya, dalam bab dua ini meliputi; dasar
33
Soerdjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 6.
34 Adalah pendekatan yang menggunakan cara penafsiran terhadap makna-makna yang
terdapat dalam isi tulisan dari objek penelitian yang didapat dari analisis konteksnya. Lihat
Sumaryoto E., Hermeunetik; Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,1993, hlm, 25.
16
peniadan pidana, macam-macam overmacht, syarat-syarat berlakunya
overmacht,baik menurut hukum Islam maupun hukum pidana Indonesia.
Bab Ketiga dalam bab ini memuat dasar hukum, alasan, dan
penerapan sanksi bagi pelaku overmcht dalam tindak pidana pembunuhan
menurut hukum Islam dan hukum pidana Indonesia..
Bab Keempat berupa analisis terhadap bab-bab sebelumnya, yaitu
analisis mengenai dasar hukum, alasan, serta penerapan sanksi overmacht
dalam tindak pidana pembunuhan.
Bab Kelima merupakan proses akhir dari semua bab sehingga dapat
ditarik kesimpulan mengenai hipotesa penulis yang berkaitan dengan
overmacht dalam tindak pidana pembunuhan dan dalam bab ini terdiri dari
kesimpulan, saran-saran dan diakhiri dengan penutup.
17
BAB II
KETENTUAN OVERMACHT MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM
PIDANA INDONESIA
A. Ketentuan Overmacht Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Overmacht Menurut Hukum Islam
a. Pengertian Ikrah dan Dharurah
Secara leksikal (bahasa) ikrah berasal dari kata اكراهإ - يكره - أكره
yang artinya memaksa.1 Secara terminologis, terdapat beberapa pendapat
yang berbeda tentang pengertian ikrah seperti dibawah ini:
Abdul Qadir Audah memberikan pengertian ikrah sebagai
berikut2:
فعم يجد مه انمكزي يحدث ف انمحم أ انمكزي معى يصيز ب مدفعا إن انفعم
انذ طهب مى
Artinya: “Suatu perbuatan yang ditimbulkan dari pemaksa dan
menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang
mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dituntut
(oleh pemaksa) darinya”.
Sedangkan Muhammad Abu Zahrah adalah sebagai berikut3:
حمم انشخص عه فعم شء يكز
Artinya: “menyuruh seseorang melakukan sesuatu yang dibencinya”
1 Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif,
1999, hlm.433. 2 Abdul al-Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy Jilid I, Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi, tth, hlm. 563. 3 Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, Beirut: Daar al-Fikr al-‟Araby, tt. hlm. 355
18
Apabila kita perhatikan dari beberapa pengertian tersebut di atas,
maka yang berbeda hanya dalam susunan kalimatnya, namun intinya
sama yaitu suatu ancaman dari orang yang memaksa terhadap orang yang
dipaksa yang membuatnya harus melakukan suatu perbuatan yang
dipaksakan padanya. Paksaan biasanya disertai dengan ancaman dapat
berupa penyiksaan, ancaman pembunuhan, pemukulan, dan lain-lain.
Dharurat dapat dipersamakan dengan ikrah. Perbedaanya hanya
pada sebab timbulnya perbuatan di mana dalam ikrah seseorang
mendapatkan ancaman yang berasal dari orang lain (manusia), sedang
dalam dharurat seseorang tidak diancam oleh orang lain melainkan ia
mendapat dorongan dalam suatu keadaan yang mengharuskan ia
melakukan perbuatan yang terlarang.4
Dharurah menurut makna leksikal berasal dari kata يضر - ضر -
.yang artinya bahaya ضر 5 Secara terminologis Muhammad Abu Zahrah
memberikan pengertian dharurat sebagai:
تشيم انمحضرات انت حزمت ألوا مست انضزريا
Artinya: “menghilangkan sesuatu yang diharamkan karena bisa
menyebabkan bahaya”
Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan dharurat sebagai;
“datangnya bahaya atau kesulitan (masaqqah) yang amat berat pada
manusia yang membuat dia khawatir akan terjadinya mudarat atau
4 Ahmad Hanafi, Asas-asas HukumPidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 364-
365. 5 Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Op.Cit, hlm. 633
6 Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, hlm 43.
19
sesuatu yang menyakitkan atas jiwa, anggota tubuh, akal, harta dan
bertalian denganya."7
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa dharurat
adalah situasi yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian atau
mendekati kematian. Dengan kata lain, pengertian tersebut mengarah
kepada tujuan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs). Wahbah Zuhaili menilai
pengertian-pengertian tersebut kurang lengkap, karena dharurat
mencakup semua yang berakibat dibolehkannya yang haram atau
ditinggalkannya yang wajib. Maka ia menambahkan selain memelihara
jiwa, dharurat juga memelihara akal, kehormatan dan memelihara harta.
b. Dasar Hukum Overmacht
Dalam al-Qur‟an dijelaskan:
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
azab yang besar.8 (Q.S al-Nahl: 106)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah murka terhadap orang
yang kafir kepada-Nya, namun bagi orang yang dipaksa orang lain untuk
7 Wahbah al-Zuhaily, Nazariyyah al-darurah al Syar’iyah ma’a al Qanun al-Wad’i, terj.
Said Agil al-Munawar dan M. Hadri Hasan, “Konsep Darurat dalam Hukum Islam”, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1997, hlm. 72. 8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2010, hlm.
279
20
mengucapkan kafir terhadap Allah, sedangkan hatinya tetap beriman,
maka tidak ada dosa bagi orang tersebut.
Dalam Q.S. al-An‟am ayat 119 dijelaskan:
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang
halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu
apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa
kamu memakannya, dan sesungguhnya kebanyakan (dari
manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan
hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang
melampaui batas.9
Dalam Q.S. al-Baqarah ayat 173 dijelaskan;
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. 10
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa orang manusia pada
dasarnya dilarang untuk memakan binatang (makanan) yang diharamkan,
9 Departemen Agama RI, Ibid,, hlm. 143.
10 Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 26.
21
namun apabila dalam keadaan terpaksa (dharurah), maka diperbolehkan
untuk memakannya.
Dalam hadiś juga disebutkan:
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu „anhu berkata bahwa
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
mengampuni beberapa perilaku umatku, yakni keliru, lupa dan
apa yang dipaksakan terhadapnya.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam hadis ini dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan yang
dilakukan karena keliru, lupa dan terpaksa karena dikerjakan karena tidak
sengaja atau karena tidak ada kemampuan memilih, maka perbuatan ini
dapat dimaafkan.
c. Macam-macam Ikrah
Dari hasil penelitian, penulis tidak menemukan adanya macam-
macam dharurah, tetapi dalam masalah ikrah dibagi menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut:
1) Ikrah mulji’
Ikrah mulji’ adalah paksaan yang menghilangkan kerelaan dan
merusak pilihan (ikhtiyar) pada orang yang dipaksa.12
Yang dimaksud
dengan kerelaan (ridha) adalah rasa senang mengerjakan sesuatu serta
ingin padanya. Sedangkan yang dimaksud dengan pilihan (ikhtiyar)
ialah keadaan lebih cenderung untuk mengerjakan sesuatu dibanding
11
Abi „Abdillah Muhammad Ibn Zaid al-Qazwainy, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1, Beirut:
Dar al-Fikr, tt. hlm. 69. 12
Abd al-Qadir Audah, Op, Cit. hlm. 563.
22
meninggalkannya ataupun sebaliknya.13
Wahbah Zuhaily
mendefinisikan ikrah mulji’ sebagai pemaksaan yang membuat
seseorang tidak memiliki kemampuan atau pilihan, seperti seseorang
mengancam orang lain dengan sesuatu yang merusak dirinya, atau
organ tubuhnya, atau pukulan yang berlebihan secara beruntun yang
dikhawatirkan dapat membinasakan diri, sebagian anggota tubuh, baik
pukulan itu sedikit atau pun banyak.14
Paksaan jenis ini dikhawartirkan akan mengakibatkan hilangnya
nyawa pada diri orang yang dipaksa. Ikrah mulji’ memiliki pengaruh
terhadap tindakan-tindakan yang menuntut adanya kerelaan dan
pilihan secara sekaligus. Misalnya seseorang yang dipaksa melakukan
pembunuhan, maka paksaan yang terjadi pada orang yang dipaksa
harus menghilangkan kerelaan dan merusak pilihanya. Artinya,
paksaan tersebut menjadikan orang yang dipaksa sama sekali tidak
memiliki kemampuan dan pilihan lain untuk menolak tindakan yang
dipaksakan kepadanya.
2) Ikrah ghairu mulji’
Ikrah ghairu mulji’ yaitu paksaan yang menghilangkan kerelaan
(ridha) tetapi tidak sampai merusak pilihan (ikhtiyar) pada diri orang
yang dipaksa. Dalam hal ini biasanya tidak dikhawatirkan akan
mengakibatkan hilangnya nyawa, seperti ancaman dipenjarakan atau
diikat untuk waktu yang singkat atau dipukul dengan pukulan yang
13
Wahbah Zuhaili, Op.Cit, hlm. 71. 14
Wahbah Zuhaili, Ibid, hlm. 94.
23
tidak merusak (pukulan-pukulan ringan). Ikrah ghairu mulji’ hanya
berpengaruh pada tindakan hukum yang mensyaratkan adanya
kerelaan seperti jual-beli, sewa-menyewa, atau pengakuan.
Berdasarkan hal ini, ikrah ghairu mulji’ tidak berpengaruh terhadap
tindak pidana.15
d. Syarat-syarat Ikrah dan Dharurah
1) Syarat-syarat ikrah
Paksaan harus memenuhi persyaratan berikut ini. Apabila
syarat-syarat ini tidak dapat dipenuhi, paksaan itu dianggap tidak ada
dan seseorang dianggap tidak dipaksa. Syarat-syarat tersebut
diantaranya16
:
a) Ancaman yang menyertai paksaan akan mengakibatkan bahaya
yang sangat besar yang menyangkut keselamatan jiwa, sehingga
dapat menghapus kerelaan, misalnya ancaman akan dibunuh.
Penentuan ukuran ancaman yang menimbulkan bahaya merupakan
suatu permasalahan yang subjektif, namun menurut ulama‟
Hanafiah, penentuan ukuran tersebut diserahkan kepada pendapat
penguasa.
b) Ancaman harus berupa perbuatan yang dilarang dalam syariat
Islam. Jika perbuatan yang diancamkan disyariatkan orang yang
mengancam tidak dianggap memaksa.
15
Ahmad Hanafi, Op. Cit, hlm. 356 16
Abdul Qadir Awdah, Op.Cit.,hlm.365-368
24
c) Apa yang diancamkan seketika dan hampir tejadi, yang
dikhawatirkan akan dilakukuan jika orang yang dipaksa tidak
melaksanakan perintah pemaksa. Jika dalam pelaksanaanya,
ancaman memiliki tenggat waktu, keadaan ini tidak dapat
dinamakan sebagai paksaan karena dalam tenggat waktu tersebut
orang yang dipaksa masih memiliki waktu untuk melindungi
dirinya. Tolok ukur dalam menentukan apakah ancaman itu
dilaksanakan secara seketika atau tidak adalah keadaan orang yang
dipaksa dan perkiraannya yang didasarkan pada sebab-sebab yang
logis.
d) Orang yang memaksa memiliki kemampuan untuk melaksanakan
ancamanya, sebab paksaan tidak akan terlaksana kecuali dengan
adanya kemampuan. Jika yang mengancam itu tidak memiliki
kemampuan untuk melaksanakan ancamannya, maka hal itu tidak
dianggap sebagai ancaman.
e) Orang yang diancam harus meyakini bahwa ancaman yang
diterimanya benar-benar akan dilaksanakan oleh pemaksa apabila
kehendak pemaksa tidak dipenuhinya. Jika dia meyakini bahwa
orang yang mengancam tidak sungguh-sungguh atau dia mampu
menghindari ancaman itu dengan cara apapun namun orang yang
dipaksa tetap melaksanakan perbuatan tersebut, maka dia tidak
dianggap sebagai orang yang dipaksa. Dalam hal ini dugaan orang
yang dipaksa harus didasari oleh sebab-sebab yang logis.
25
2) Syarat-syarat dharurah
a) Keadaan dharurat harus sudah ada bukan masih ditunggu, dengan
kata lain kekhawatiran akan kematian itu benar-benar ada dalam
kenyataan.
b) Orang yang terpaksa tidak punya pilihan lain kecuali melanggar
perintah atau larangan syar‟i atau tidak ada cara lain yang
dibenarkan untuk menghindari kemudharatan selain melanggar
hukum.
c) Tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syar‟i (maqasid al-syari’ah)
seperti diharamkan zina, pembunuhan, dalam kondisi
bagaimanapun.
d) Dalam menghindari keadaan darurat hanya dipakai tindakan
seperlunya dan tidak berlebihan.17
2. Dasar Peniadaan Pidana Dalam Islam
Pertanggungjawaban pidana dapat hapus karena hal-hal yang
bertalian dengan perbuatan atau karena hal-hal yang bertalian dengan
pelaku. Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan yang diperbolehkan
disebut asbab al–ibahah. Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan dengan
keadaan pelaku disebut asbab raf’i al-uqubah. Abdul Qadir Audah
sebagaimana dikutip Ahmad Wardi Muslich menngemukakan bahwa sebab
diperolehkannya perbuatan yang terlarang terdapat enam macam yaitu:18
17
Wahbah Zuhaili, Op. Cit, hlm. 73-74
18 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2005, hlm. 85.
26
a. Pembelaan yang sah
b. Pendidikan dan pengajaran
c. Pengobatan
d. Permainan olahraga
e. Hapusnya jaminan keselamatan
f. Menggunakan wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak
yang berwajib.
Asbab raf’i al-uqubah terbagi menjadi empat yaitu:
a. Paksaan
Paksaan dalam jarimah menjadi salah satu dasar penghapusan
pidana sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu „anhu berkata bahwa
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
mengampuni beberapa perilaku umatku, yakni keliru, lupa dan
apa yang dipaksakan terhadapnya.” (HR. Ibnu Majah)
b. Mabuk
Hukum Islam mengharamkan meminum khamr baik sampai
mengakibatkan mabuk maupun tidak. Meminum khamr termasuk tindak
pidana hudud, dan pelakunya dihukum delapan puluh kali dera.
Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang mabuk menurut
pendapat yang kuat dalam mazhab empat menetapkan bahwa orang yang
mabuk tidak dijatuhi hukuman atas tindak pidana yang dilakukannya
19
Abi „Abdillah Muhammad Ibn Zaid al-Qazwainy, Op.Cit, hlm. 69.
27
apabila seseorang meminumnya karena dipaksa atau meminumnya
karena kehendak sendiri, tetapi ia tidak tahu bahwa minuman tersebut
memabukkan, atau ia meminum obat untuk mengobati dirinnya
kemudian memmbuatnya mabuk dan melakukan tindak pidana. Hal ini
karena ia melakukan tindak pidana dalam keadaan hilangnya pikiran
sehingga ia dihukumi seperti orang gila atau orang yang tidur atau yang
seumpamanya. Akan tetapi jika seseorang minum khamr karena kemauan
sendiri, dengan sengaja tanpa alasan, dalam hal ini seseorang harus
bertanggungjawab atas setiap jarimah yang dilakukannya.
Berbeda dengan orang yang meminum khamr karena
kemauannya sendiri tanpa ada alasan, maka dia harus bertanggungjawab
atas semua tindak pidana yang dilakukannya ketika ia mabuk. Dalam hal
ini dia harus dijatuhi hukuman pokoknya sebab dia telah menghilangkan
akal sehatnya sendiri.20
Hukuman tersebut diberikan kepadanyan sebagai
pengajaran, karenaia telah menghilangkan akalnya sendiri dengan
sengaja.21
c. Gila
Syariat Islam memandang seseorang sebagai mukallaf 22
yang
dapat dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia memiliki
kemampuan berfikir (idraak) dan memilih (ikhtiyar). Apabila dua hal ini
20
Abdul Qadir Audah, Op. Cit, hlm 582. 21
Ahmad Hanafi, Op. Cit, hlm. 373. 22
Mukallaf adalah orang yang dianggap mampu atau cakap bertindak hukum, baik yang
berhubungan dengan perintah Allah maupun yang berhubungan dengan larangan-Nya, dan oleh
karenanya ia memikul pertanggungjawaban hukum atas perbuatannya. Lihat Nasrun Haroen,
Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, hlm.305
28
tidak ada, maka pertanggungjawaban pidana menjadi terhapus.23
Kemampuan berfikir seseorang itu dapat hilang karena bawaan sejak
lahir atau karena adanya gangguan seperti sakit atau cacat mental.
Hilangnya kemampuan berfikir ini bisa disebut dengan gila.
Abdul Qadir Audah memberikan pengertian gila sebagai berikut:
انجىن بأو سال انعقم أ اختالن أ ضعف
Artinya: “Gila adalah hilangnya akal, rusak atau lemah”
Gila bukan berarti membolehkan, melainkan menghapuskan
hukuman dari si pelaku25
. Ketetapan ini disepakati oleh para fuqaha.
Imam Malik dan Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hambal berpendapat
bahwa kesengajaan orang gila adalah perbuatan tersalah sebab orang gila
tidak mungkin berniat melakukan suatu perbuatan dengan niat yang
benar. Karena itu apabila perbuatannya tidak diniatkan, perbuatan
tersebut bukan sengaja melainkan tersalah.
d. Anak di bawah umur
Pertanggungjawaban hukum bagi anak kecil berbeda dengan
orang dewasa seiring berdasarkan perbedaan perbedaan fase-fase yang
dilalui oleh manusia semenjak lahirnya sampai pada waktu sempurnanya
kekuatan berfikir (idraak) dan pilihan (ikhtiyar). Ketika dilahirkan,
manusia menurut tabi‟atnya memiliki kekuatan akal dan pilihan yang
lemah kemudian sedikit demi sedikit mulai terbentuk hingga akhirnya
23
Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit, hlm. 127. 24
Abd al-Qadir Audah, Op. Cit.hlm. 587 25
Abd al-Qadir Audah, Ibid.
29
manusia dapat memahami sampai batas waktu tertentu hingga akhirnya
pertimbuhan akalnya menjadi sempurna.
Atas dasar adanya tahapan-tahapan dalam membentuk idrak ini,
dibuatlah kaidah tanggung jawab pidana. Ketika kekuatan berpikir ridak
ada pada diri manusia, tanggungjawab pidana juga tidak ada. Ketika
kekuatan berfikirnya lemah, yang dijatuhkan padanya bukan
tanggungjawab pidana melainkan hukuman untuk mendidik. Anak kecil
tidak dijatuhi hukuman hudud, qisas dan ta’zir apabila melakukan
jarimah.
Dalam hukum pidana Indonesia, anak memikul
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Mengenai
sanksi terhadap anak dalam Undang-undang No 3 Tahun 1997 ditentukan
berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang berumur 8
(delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti
dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial,
atau diserahkan pada negara. Sedangkan yang berusia di atas 12 tahun
hingga 18 tahun dijatuhkan pidana.26
26
Ali Imron HS, Pertanggungjawaban Hukum,Semarang: Walisongo Press, 2009, hlm.
153.
30
B. Ketentuan Overmacht Menurut Hukum Pidana Indonesia
1. Pengertian Overmacht dan Macam-macamnya
a. Pengertian Overmacht
Overmacht dalam hukum pidana diatur dalam pasal 48 KUHP
yang menyatakan:
“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana”.27
Menurut bunyi pasal tersebut, daya paksa (overmacht) menjadi
dasar peniadaan hukuman. Undang-undang hanya menyebut tidak
dipidana seseorang yang melakukan perbuatan karena terdorong
keadaan atau daya yang memaksa. Undang-undang tidak menjelaskan
apakah yang dimaksud dengan daya paksa (overmacht). Pengertian dan
penjelasan tersebut diberikan oleh para sarjana hukum.
Kata “daya paksa” dalam pasal tersebut adalah salinan kata
Belanda “overmacht”, yang artinya suatu keadaan, kejadian yag tidak
dapat dihindarkan dan terjadi di luar dugaan (di luar kekuasaan
manusia) 28
.
Moeljatno memberikan pengertian overmacht sebagai
kekuatan atau daya paksa yang lebih besar29
. Surjanatamihardja
menerjemahkan kata overmacht dengan berat lawan, sedang Jusuf
27
Andi Hamzah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2006,
hlm. 25. 28
Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 118. 29
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 139
31
Ismail menerjemahkannya dengan terpaksa oleh sesuatu kekuasaan
yang tidak dapat dihindarkan.30
Terdapat beberapa pendapat yang berbeda-beda mengenai
penjelasan overmacht, yang bukan tidak mungkin dapat menimbulkan
kesalahpahaman atau kebingungan, apabila tidak dijelaskan.
Menurut Van Hammel, overmacht yaitu suatu keadaan yang
menggambarkan adanya suatu ketidakmungkinan untuk memberikan
perlawanan.31
Menurut Memorie van Toelichting (MvT) mengenai
pembentukan pasal 48 KUHP tersebut, overmacht disebut sebagai
suatu yang datang dari luar yang membuat sesuatu perbuatan itu
menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya dan
telah dirumuskan sebagai kekuatan yang datang bukan dari diri sendiri.
Setiap paksaan, setiap tekanan dimana terhadap kekuatan, paksaan atau
tekanan tersebut orang tidak dapat memberikan perlawanan.32
Overmacht ini merupakan kekuatan yang datang dari luar,
yang disebabkan oleh alam lingkungan yang mengelilingi, atau juga
yang dipaksa oleh orang lain. Overmacht dapat digambarkan sebagai
peristiwa dimana seseorang karena ancaman bahaya, dipaksa
melakukan suatu tindak pidana. Orang tersebut bisa melawan ancaman
tersebut, tetapi apabila hal ini dilakukannya akan merupakan suatu
perbuatan kepahlawanan atau perbuatan nekad yang berakibat fatal bagi
30
Wirjono Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Eresco, 1981 hlm. 75 31
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru 1990, hlm
410 32
Lamintang, Ibid, hlm 408
32
dirinya. Misalnya seseorang yang diancam oleh orang lain dengan
sebuah pistol, kemudian menembak mati orang lain, apabila hal ini
dibenarkan dapat dianggap sebagai overmacht. Ia tidak dipidana karena
tunduknya pada ancaman tersebut, diakui sebagai suatu yang dapat
dimaafkan.33
b. Dasar Hukum Overmacht
Dalam hukum pidana Indonesia, overmacht diatur dalam BAB
III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 48 yang
berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa
tidak dipidana”.34
Pasal tersebut mengandung unsur-unsur;
1) Melakukan perbuatan
Suatu perbuatan harus memiliki sifat layak dipidana, dengan kata
lain mempunyai relevansi dari sudut pandang hukum pidana.
2) Karena pengaruh daya paksa
3) Tidak dipidana.
Tidak dipidana maksudnya terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu
33
J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1995, hlm. 153. 34
Andi Hamzah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2006,
hlm. 25.
33
tidak merupakan suatu tindak pidana. Hal ini diatur dalam pasal
191 ayat 2 KUHAP.35
Dalam rancangan KUHP tahun 2008, overmacht diatur dalam
pasal 43 yang berbunyi:36
“Tidak dipidana, seseorang yang melakukan tindak pidana karena:
1. Dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan, atau
2. Dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, dan kekuatan yang
tidak dapat dihindari”
Pasal di atas mengandung unsur-unsur:
1) Tidak dipidana
Maksudnya terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum.
2) Orang yang melakukan tindak pidana
Melakukan tindak pidana berarti perbuatan seseorang melakukan
atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana.
Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut
dilarang dan diancam pidana oleh aturan perundang-undangan,
harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan
hukum yang hidup dimasyarakat.
3) Dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan
Yang dimaksud dengan “kekuatan yang tidak dapat ditahan”
adalah daya paksa absolut / vis absoluta
35
Andi Hamzah,Op. Cit, hlm308 36
http://www.legalitas.org/database/rancangan/2008/KUHPBukuI2008.pdf.Diunduh pada
tanggal 5 Nopember 2010.
34
4) Dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, dan kekuatan yang tidak
dapat dihindari
Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan,
atau kekuatan yang tidak dapat dihindari” adalah daya paksa
relatif / vis compulsiva
c. Macam-macam Overmacht Dalam Hukum Pidana Indonesia.
Hazewinkel-Suringa membagi overmacht menjadi 3 macam37
:
1) Daya paksa absolut (absolute overmacht/vis absoluta)
Paksaan absolut adalah suatu keadaan dimana paksaan dan tekanan
sedemikian kuatnya pada diri seseorang, sehingga ia tidak dapat lagi
berbuat sesuatu yang lain selain apa yang terpaksa dilakukan atau
apa yang terjadi”.38
Daya paksa absolut ini bisa berupa paksaan
fisik, paksaan psikis. Contoh daya paksa absolut yang berupa
paksaan fisik adalah seorang yang kuat menerjang seorang anak
yang berdiri di dekat kaca, membuat anak itu terpental dan mengenai
kaca dan pecahlah kaca tersebut.
Contoh daya paksa absolut oleh adanya paksaan psikis dari
perbuatan manusia, seorang yang berada dalam keadaan dihipnotis
diperintah untuk membakar sebuah mobil.
2) Daya paksa relatif (relative overmacht/ vis compulsiva)
Paksaan relatif adalah suatu paksaan yang sedemikian rupa menekan
seseorang, sehingga ia berada dalam keadaan yang serba salah, suatu
37
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 193 38
Adami Chazawi, Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: Raja Grafindo
Pustaka, 2002, hlm. 30.
35
keadaan yang memaksa dia mengambil suatu sikap dan berbuat yang
pada kenyataanya melanggar Undang-undang, yang bagi setiap
orang normal tidak akan mengambil sikap dan berbuat lain
berhubung resiko dari pilihan perbuatan itu lebih besar terhadap
dirinya.39
Contohnya adalah seorang anaknya diculik kemudian dia
dipaksa untuk membunuh orang lain dengan ancaman anaknya akan
dibunuh.
3) Keadaan Darurat (noodstoestand)
Noodtoestand atau keadaan darurat adalah suatu keadaan dimana
suatu kepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari
ancaman itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataanya
melanggar kepentingan hukum yang lain.
Dalam doktrin hukum bentuk noodtoestand terjadi dalam 3 hal40
:
a) Pertentangan antara dua kepentingan hukum
Apabila terjadi suatu keadaan dimana terjadi konflik antara dua
kepentingan hukum yang saling berhadapan, dimana tidak dapat
memenuhi semua kepentingan hukum yang saling bertentangan,
melainkan dengan terpaksa harus mengorbankan salah satu dari
kepentingan hukum itu, maka pihak yang terpaksa melanggar
kepentingan hukum tidak dipidana.
Contohnya ketika terjadi kecelakaan laut, yakni tenggelamnya
sebuah kapal, ada dua orang penumpang yang dalam usahanya
39
Adami Chazawi, Ibid. hlm 32 40
Moeljatno, Op.Cit, hlm. 140
36
hendak menyelamatkan nyawanya berpegang pada sebuah papan
yang mana papan tersebut hanya dapat menahan satu orang saja.
Apabila kedua orang itu tetap berpegangan pada papan, maka
kedua orang itu akan tenggelam dan mati. Maka dalam usaha
untuk meyelamatkan diri dari ancaman kematian, maka salah satu
dari keduanya mendorong yang lain dan orang yang didorong
tersebut mati.41
b) Pertentangan antara kewajiban hukum dengan kepentingan
hukum
Apabila terdapat suatu keadaan dimana seseorang hendak
melaksanakan kewajiban hukumnya namun pada saat yang
bersamaan dia harus mempertahankan kepentingan hukumnya
sendiri, maka bila seseorang memlilih mempertahankan
kepentingannya dan melanggar undang-undang dengan tidak
melakukan kewajiban hukumnya maka tidak dapat dipidana.
Contohnya seorang ahli forensik yang diminta pengadilan negeri
untuk memberikan keterangan ahli tentang sebab kematian
korban dalam suatu sidang perkara pidana. Pada saat yang sama
dia menderita luka-luka karena mengalami kecelakaan lalu lintas
dan dokter tersebut tidak dapat memenuhi panggilan
pengadilan.karena keadaan darurat ini dokter tersebut tidak
41
Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 37.
37
dipidana meskipun tidak memenuhi panggilan pengadilan dan
melanggar pasal 224 KUHP.
c) Pertentangan antara dua kewajiban hukum
Apabila suatu keadaan dimana seseorang diwajibkan untuk
menjalankan dua kewajiban hukum sekaligus dalam waktu yang
bersamaan, dan kemudian melaksanakan salah satu darikewajiban
tersebut. Contohnya, seorang dokter pada saat yang sama harus
menjalankan operasi terhadap seorang pasien dan pada saat yang
bersamaan dokter tersebut dipanggil pengadilan untuk
memberikan keterangan ahli dalam perkara pidana.
d. Syarat Overmacht dalam Hukum Pidana Indonesia
Dalam hukum pidana tidak dijelaskan secara pasti sifat dan
besarnya paksaan serta sifat dan besarnya bahaya yang ditimbulkan dan
yang mengancam kepentingan-kepentingan hukum orang lain,
menentukan batas pertanggungjawaban pidana dari pembuat atas
perbuatannya. Semua penentuan ini harus berdasarkan pada ukuran-
ukuran objektif.42
Hakim harus menyelidiki ada tidaknya faktor-faktor yang
begitu luar biasa, sehingga orang yang normal dipaksa untuk
berkelakuan tidak normal. Hakim harus mempertimbangkan kelakuan-
kelakuan apa yang akan dilakukan dari orang normal, andai kata berada
dalam kondisi semacam orang yang dipaksa melakukan perbuatan
42
A. Zainal Abidin Farid, Op. Cit, hlm195.
38
pidana. Selain itu hakim juga harus diketahui mengenai pribadi pelaku
(pandangan subjektif) apakah pelaku orang yang berhati-hati atau orang
yang senantiasa bertindak serampangan terhadap kepentingan orang
lain.
Menurut Utrech, ukuran objektif dan subjektif ini harus
digunakan secara bersama untuk menentukan ada atau tidaknya
overmacht.43
2. Dasar Peniadaan Pidana dalam Hukum Pidana Indonesia
Dasar peniadaaan pidana (strafuitluitingsgronden) harus
dibedakan dengan dasar penghapusan penuntutan (verval van recht tot
strafvordering). Dasar peniadaan pidana ditetapkan hakim dengan
menyatakan hilangnya sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau
hilangnya kesalahan pembuat, karena adanya ketentuan undang-undang
dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat.
Dalam hal ini hak menuntut jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhi
pidana. Dasar penghapusan pidana harus dibedakan dan dipisahkan dari
dasar penghapusan penuntutan pidana menghapuskan hak menuntut jaksa
karena adanya ketentuan undang-undang.44
Terwujudnya suatu tindak pidana, tidak selalu dijatuhkan
hukuman atas pelakunya. KUHP telah menetapkan dasar-dasar atau
alasan-alasan yang meniadakan pidana. Dasar peniadaan pidana adalah
43
Utrecht, Hukum Pidana 1, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994, hlm. 354. 44
A.. Zainal Abidin Farid,Op, Cit.hlm. 189
39
alasan-alasan yang memugkinkan orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi rumusan delik tidak dipidana.45
Dilihat dari segi sumbernya, dasar peniadaan pidana dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu dasar peniadaan pidana yang tercantum
dalam undang-undang dan dasar peniadaan pidana yang terdapat di luar
undang-undang. Namun penulis dalam bab ini hanya menjelaskan dasar
peniadaan pidana yang bersumber pada undang-undang, khususnya
dalam Buku kesatu Bab III KUHP.
Dalam ilmu hukum pidana, dasar peniadaan pidana dapat dibedakan
mejadi:
a. Adanya Ketidakmampuan Bertanggung Jawab
(Ontoerekeningsvatbaarheid)
Pasal 44 KUHP merumuskan:
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”
Berdasarkan pasal tersebut, terdapat dua penyebab tidak
dipidananya pelaku tindak pidana, yaitu:
1) Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya
2) Karena terganggu jiwanya karena sebab penyakit.
Undang-undang tidak memberikan keterangan yang jelas
tentang orang yang tidak mampu bertanggungjawab, sehingga
tindakannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Di dalam Memory van
45
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 138.
40
Toeliching terdapat keterangan tentang ketidakmampuan
bertanggungjawab, yaitu:
a) Apabila si pelaku tidak ada kebebasan untuk memilih antara
berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang dan apa
yang diperintahkan oleh undang-undang.
b) Apabila pelaku dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehinggga
dia tidak dapat menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan
dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.46
Dalam praktik hukum, sepanjang pelaku tindak pidana tidak
memperlihatkan gejala kejiwaan tidak normal, maka keadaan jiwa si
pelaku tidak dipermasalahkan. Sebaliknya ketika nampak gejala-gejala
tidak normal, maka gejala-gejala itu harus diselidiki apakah benar dan
merupakan alasan pemaaf sebaagaimana dimaksudkan pasal 44 ayat 1.
b. Daya Paksa (Overmacht)
Daya paksa dalam istilah hukum pidana disebut dengan
overmacht. Sejarah perundang-undangan merupakan overmacht
merupakan alasan atau sebab eksternal yang tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana dan menggambarkan bahwa setiap daya,
dorongan, paksaan yang membuat seseorang tidak berdaya
menghadapinya.
Dasar peniadaan pidana karena daya paksa dirumuskan dalam
pasal 48 KUHP yaitu:
46
Sudharto, Op.Cit., hlm. 94.
41
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa
tidak dipidana”
Dasar inilah yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan
dalam tulisan ini.
c. Pembelaan Terpaksa (noodweer)
Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 sebagai
berikut:
“Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan
terpaksa untuk diri atu orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta
benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau
ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga.”
Dari rumusan di atas dapat diambil dua pokok kesimpulan
yaitu47
:
1) Unsur nengenai syarat pembelaan terpaksa, meliputi:
a) Pembelaan terpaksa dilakukan karena sangat terpaksa
b) Untuk mengatasi adanya serangan atau ancaman serangan
seketika yang bersifat melawan hukum.
c) Serangan atau ancaman serangan ditujukan pada 3 kepentingan
hukum atas: badan, kehormatan kesusilaan, dan harta benda
sendiri atau orang lain.
d) Harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan
berlangsungnya serangan, atau bahaya yang masih
mengancam.
47
Adhami Chazawi, Op.Cit, hlm. 40
42
e) Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang
mengancam.
2) Unsur dalam hal apa terjadinya pembelaan terpaksa, meliputi:
a) Dalam untuk membela dirinya sendiri atau orang lain, dan
serangan ditujukan pada fisik atau badan manusia.
b) Dalam hal membela kehormatan kesusilaan
c) Dalam hal membela harta benda diri sendiri atau harta benda
orang lain.
Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa pada
dasarnya adalah tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat
melawan hukum terhadap diri orang itu atau orang lain (eigenriching).
Tindakan ini dilarang oleh undang-undang tapi dalam hal pembelaan
terpaksa seolah-olah suatu eigenriching yang diperkenankan oleh
undang-undang, berhubung dalam hal serangan seketika yang melawan
hukum ini. Negara tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi
penduduknya, maka orang yang menerima serangan seketika yang
mealwan hukum, diperkenakan melakukan perbuatan sepanjang
memenuhi syarat untuk melindungi kepentingan sendiri atau orang lain.
Penyerangan yang melawan hukum seketika itu melahirkan
hukum darurat yang membolehkan korban melindungi dan
mempertahankan kepentingannya atau kepeentingan hukum orang lain
olehnya sendiri. Inilah dasar filosofi pembelaan terpaksa.48
48
Adami Chazami, Ibid. hlm. 41.
43
d. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces)
Dirumuskan dalam pasal 49 ayat 2:
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung
disebabkan oleh kegoncanngan jiwa yang hebat karena serangan atau
ancaman serangan itu, tidak dipidana.”
Dalam pasal ini dapat dipahami bahwa serangan atau ancaman
serangan yang melawan hukum dan menyebabkan goncangan jiwa yang
hebat sehingga orang yang terancam melakukan tindak pidana yang
lebih berat dari ancaman serangan yang menimpanya, maka perbuatan
tersebut tidak dipidana.
Schravendik memberikan contoh ada seorang laki-laki secara
diam-diam masuk ke kamar seorang gadis dengan maksud hendak
menyetubuhi gadis tersebut. Pada saat laki-laki meraba-raba tubuh si
gadis, terbangunlah dia. Dalam situasi yang demikian, tergoncanglah
jiwa antara amarah, bingung, ketakutan yang hebat, sehingga dengan
tiba-tiba gadis itu mengambil pisau di dekatnya dan laki-laki tersebut
ditikam hingga mati.49
Oleh sebab adanya kegoncangan jiwa yang hebat inilah, maka
pakar hukum memasukkan noodweer exces ke dalam alasan pemaaf
karena menghilangkan unsur kesalahan pada diri si pembuat.
49
Jonkers J.E, Handboek van het Nederladsch Indische Strafrech, dalam Adami Chazawi,
Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2002, hlm.53.
44
e. Menjalankan Perintah Undang-undang
Peniadaan pidana berdasarkan menjalankan perintah undang-
undang dirumuskan dalam pasal 50 KUHP yang berbunyi”
“Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang, tidak dipidana”.
Yang dimaksud perbuatan dalam pasal di atas adalah perbuatan
tindak pidana yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk
melakukannya. Sedangkan maksud ketentuan undang-undang dalam
arti luas adalah peraturan undang-undang yang dibuat oleh parlemen
(DPR) bersama pemerintah dan segala peratuan yang ada di bawahnya,
seperti peraturan pemerintah, peraturan daerah, karena semua peraturan
itu terbentuk oleh kekuasaan yang berdasarkan undang-undang.50
Contohnya seorang tersangka yang melarikan diri, maka petugas
menembak kaki tersangka untuk melumpuhkannya.
f. Melakukan Perintah Jabatan
Dasar peniadaan pidana karena menjalankan perintah jabatan
yang sah dirumuskan dalam pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak
dipidana”.
Ketentuan ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh sebab
menjalankan perintah undang-undang, dalam arti kedua dasar ini
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Selain itu kedua-
duanya berupa perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan
50
Adami chazawi, Ibid, hlm 55.
45
kewenanganberdasarkan undang-undang maupun perintah jabatan.
Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan jinayat yang terdapat dalam
hukum Islam51
, yaitu Q.S. Al-Isra‟ (17): 33 yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.
Melainkan dengan suatu alasan yang benar dalam ayat di atas
mempunyai pengertian karena melaksanakan perintah undang-undang,
karena melaksanakan perintah jabatan yang sah, dan karena peraturan
perundangan mengizinkan untuk berbuat yang demikian.52
g. Menjalankan Perintah Jabatan Yang Tidak Sah Dengan I‟tikad Baik
Dasar peniadaan ini dirumuskan dalam pasal 51 ayat (2) yang
berbunyi:
“Perintah jabatan tanpa wenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana
kecuali apabila yang menerima perintah, dengan itikad baik mengira
bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya
termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Dari apa yang dirumuskan dalam pasal di atas, terdapat dua
syarat yang wajib dipenuhi agar orang yang menjalankan perintah yang
tidak sah dengan i‟tikad baik itu tidak dipidana yaitu:
1) syarat subjektif, yaitu dengan i‟tikad baik dia mengira bahwa
perintah itu adalah sah
2) syarat objektif adalah pada pelaksanaannya pelaksanaan
perintah itu masuk dalam bidang tugas jabatannya.
51
Ali Imron, Op. Cit. hlm.182. 52
Ali Imron, Ibid.
46
BAB III
OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan
1. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Islam
a. Pengertian dan Macam-Macam Pembunuhan
Dalam Bahasa Arab ألقتل berasal dari kata يقتل – قتل yang artinya
membunuh.1 Para ulama mendefinisikan pembunuhan sebagai suatu
perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.2 karena
Pembunuhan merupakan perbuatan keji yang tidak manusiawi dan Allah
menegaskan dalam al-Qur‟an yang berbunyi :
Artinya: “Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan
aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam
neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.3 (Q.S.
An-Nisa: 30)
Menurut Abdul Qadir Audah, pembunuhan adalah perbuatan
manusia yang menghilangkan nyawa manusia dengan sebab perbuatan
manusia yang lain..4
1Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997,
hlm. 1243. 2 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003. hlm. 36
3 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,Bandung: Diponegoro, 2010,
hlm.87 4 Abd al-Qadir Audah, at-Tasyri‟ al-Jinaiy al-Islamiy,jilid 2, Beirut: Muassasah al-
Risalah, tt., hlm.6.
47
Jadi kesimpulan pengertian pembunuhan adalah suatu proses
perampasan, peniadaan atau menghilangkan nyawa seseorang yang
dilakukan oleh orang lain. Pengertian proses dalam hal ini mencakup
pengertian luas, yaitu semua yang menyebabkan terjadi pembunuhan
tersebut baik yang terlibat langsung maupun yang tidak langsung. Orang
yang melakukan perbuatan tersebut secara langsung sudah pasti dia
merupakan pelaku pembunuhan, yang menyuruh melakukan perbuatan,
yang turut melakukan perbuatan, yang membujuk supaya perbuatan
tersebut dilakukan dan yang membantu perbuatan tersebut, mereka
semua termasuk pelaku dalam suatu tindak pidana.
Dilihat dari motif pembunuhan, yaitu ada atau tidaknya niat
untuk melakukan pembunuhan tersebut ada 2 (dua) pendapat. Yaitu :
Pertama adalah ulama Malikiyah membagi 2 (dua) macam
pembunuhan, yaitu pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja.5
Dasar pembagian ini adalah melihat dzahir ayat al-Qur‟an yang hanya
mengenal dua bentuk jarimah pembunuhan, sebagaimana disebutkan
dalam Q.S. al-Nisa : 92;
5 Abd al-Qadir Audah,Ibid, hlm. 7.
48
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mu‟min membunuh seorang
mu‟min (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barang siapa membunuh seorang mu‟min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat6 yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang
memusuhimu, padahal ia mu‟min, maka (hendaklah si
pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan
jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu,maka hendaklah (si
pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya
yang beriman. Barang siapa tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebagai cara taubat kepada Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.7
Dalam ayat selanjutnya disebutkan:
Artinya: “Dan barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan
disengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.”8 (Q.S. al-Nisa‟: 93)
Kedua, jumhur fuqaha membagi pembunuhan menjadi 3 (tiga)
macam.9 Kalau kita teliti merupakan bentuk kompromistis dari kedua
6 Adalah ganti rugi dengan harta melalui keputusan hakim. Lihat Makhrus Munajat,
Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta, TERAS, 2009, hlm. 6 7 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 93.
8 Departemen Agama RI, Ibid.hlm. 93.
9 Abd al-Qadir Audah, Op. Cit, hlm. 7
49
bentuk sebelumnya. Walaupun bentuk ini diperselisihkan, bentuk ini
lebih masyhur daripada bentuk yang pertama.
Ketiga bentuk tersebut ialah :
1) Pembunuhan sengaja (qatl al-„amd)
Pembunuhan sengaja adalah suatu perbuatan terhadap seseorang
dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya.10
Adapun Amir
Syaifudin mengemukakan bahwa pembunuhan sengaja adalah
pembunuhan yang terdapat unsur kesengajaan baik dalam sasaran
ataupun kesengajaan dalam alat yang digunakan.11
Dalam ajaran
Islam, pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja terhadap orang
yang dilindungi jiwanya, disamping dianggap sebagai suatu jarimah,
juga merupakan dosa paling besar.
Adapun unsur-unsur dalam pembunuhan sengaja yaitu :12
a) Korban adalah orang yang hidup.
b) Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban.
c) Ada niat bagi si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.
2) Pembunuhan tidak sengaja atau karena kesalahan (qatlu al-khatha‟)
Pembunuhan tidak sengaja yaitu pembunuhan yang disebabkan
karena salah dalam perbuatan.13
Dalam pembunuhan ini tidak ada
10
Topo Santoso, Op, Cit, hlm. 36. 11 Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Islam.Jakarta: Prenada Media Grup,2008 hlm.259. 12
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005,hlm. 140-
141 13
Topo Santoso, Op, Cit, hlm. 36.
50
unsur kesengajaan dalam melakukan pembunuhan, namun terjadi
karena kelalaian dari pelaku.14
Adapun unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja yaitu ;
a) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian
b) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan
c) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan
dengan kematian korban.15
3) Pembunuhan semi sengaja (qatlu syibhul ‟amd)
Pembunuhan semi sengaja adalah perbuatan penganiayaan terhadap
seseorang tidak dengan maksud membunuh, tetapi mengakibatkan
kematian.16
Bentuk inilah yang diperselisihkan keberadaanya,
namun mayoritas ulama mengakui keberadaanya sebagai salah satu
bentuk pembunuhan. Terdapat tiga unsur dalam pembunuhan semi
sengaja, yaitu ;
a) Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan
kematian.
b) Ada maksud penganiayaan atau permusuhan.
c) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan
kematian korban.17
b. Hukuman Pembunuhan
14
Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit, hlm144. 15
Ahmad Wardi Muslich, Ibid. hlm. 146-147. 16
Topo Santoso, Op.Cit, hlm. 36 17
Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit, hlm. 142-143.
51
Maksud adanya hukuman adalah untuk memelihara dan
menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal
yang mafsadah karena Islam itu sebagai rahmatan lil‟alamin untuk
memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.
Hukuman ditetapkan demikian untuk memperbaiki individu
menjaga masyarakat dan tertib sosial. Dalam hal ini penerapan hukuman
pada pembunuhan ditentukan oleh macam atau jenis pembunuhan yang
telah dilakukan. Adapun hukuman yang dikenakan untuk masing-masing
pembunuhan sebagaimana yang telah ditetapkan;
1) Pembunuhan Sengaja
Dalam hukum Islam hukuman pokok bagi pembunuhan sengaja
adalah qisas,18
apabila keluarga korban menghapuskan hukuman
pokok ini hukuman penggantinya berupa hukuman diyat,19
yaitu
dengan membayar denda berupa seratus ekor unta yang terdiri dari
30 ekor unta hiqqah (umur 3-4 tahun), 30 ekor unta jadza‟ah (umur
4-5 tahun), dan 40 unta yang sedang bunting. Selain itu, diyat dapat
dilakukan dengan membayar dua ratus ekor sapi, atau dua ribu
kambing, atau uang emas seribu dinar, atau uang perak sebesar dua
belas ribu dirham.20
Diyat pun kalau seandainya dima‟afkan dapat
dihapuskan dan sebagai penggantinya, hakim menjatuhkan
18
Qisas yaitu memberikan perlakuan yang sama kepada terpidana sesuai dengan tindak
pidana yang dilakukan.. Lihat Makhrus Munajat, Op. Cit, hlm. 6. 19
Diyat yaitu ganti rugi dengan harta melalui keputusan hakim. Lihat Makhrus Munajat,
Op. Cit, hlm. 6. 20
Ahmad Wardi Muslich, Ibid, hlm. 169.
52
hukuman ta‟zir. Dalam memberikan hukuman ta‟zir hakim diberi
kebebasan untuk memilih mana yang lebih maslahat, setelah
mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku. Jadi, qisas sebagai hukuman
pokok mempunyai dua hukuman pengganti, yaitu diyat dan ta‟zir.21
Di samping hukuman pokok dan pengganti, terdapat pula hukuman
tambahan untuk pembunuhan sengaja, yaitu penghapusan hak waris
dan wasiat.
2) Pembunuhan tidak sengaja
Hukuman pokok pada pembunuhan tidak sengaja atau pembunuhan
kesalahan adalah diyat dan kafarah. Diyat dalam pembunuhan
tidak sengaja berupa seratus ekor unta yang terdiri dari 20 ekor
unta betina umur 1-2 tahun, 20 ekor unta jantan umur 1-2 tahun, 20
ekor unta betina umur 2-3 tahun, 20 ekor unta hiqqah, dan 20 ekor
unta jadza‟ah. Hukuman kafarah berupa memerdekakan hamba
sahaya mukmin, atau berpuasa dua bulan berturut-turut. Hukuman
penggantinya adalah puasa dan ta‟zir dan hukuman tambahannya
adalah hilangnya hak wasiat dan hak mendapat warisan.22
3) Pembunuhan semi sengaja
Hukuman pokok pembunuhan semi sengaja adalah diyat dan
kafarah. Diyat dalam pembunuhan ini sama dengan diyat dalam
21
Makhrus Munajat, Op. Cit, hlm. 172 22
Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit, hlm. 175.
53
pembunuhan sengaja, baik dalam jenis, kadar, maupun
pemberatannya. Hukuman kafarah berupa memerdekakan hamba
sahaya mukmin, atau dengan puasa dua bulan berturut-turut.
Hukuman pengganti dari pembunuhan semi sengaja adalah ta‟zir
yang penentuannya diserahkan oleh hakim.23
Hukuman
dtambahannya adalah terhalangnya menerima warisan dan wasiat.24
2. Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP
a. Pengertian dan Macam-macam Pembunuhan
Pembunuhan diartikan sebagai poses, cara, perbuatan
membunuh atau menghilangkan nyawa. 25
Dalam KUHP, tindak pidana
yang berakibat hilangnya nyawa orang lain adalah :26
1) Pembunuhan dengan pemberatan (Pasal 339);
2) Pembunuhan berencana (Pasal 340);
3) Pembunuhan bayi oleh ibunya (Pasal 341);
4) Pembunuhan bayi berencana (Pasal 342);
5) Pembunuhan atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 344);
6) Membujuk / membantu orang agar bunuh diri (Pasal 345);
7) Pengguguran kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346);
8) Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya (Pasal 347);
9) Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya
23
Ahmad Wardi Muslich, Ibid. hlm.173-174. 24
Makhrus Munajat, Op. Cit, hlm. 173 25
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 2005. hlm. 178. 26
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004, hlm. 56.
54
(Pasal 348);
10) Dokter / bidan / tukung obat yang membantu pengguguran /
matinya
kandungan (Pasal 349);
11) Matinya seseorang karena kealpaan (Pasal 359 KUHP).
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa terdapat 3 syarat yang
harus terpenuhi, yaitu:27
1) Ada wujud perbuatan
2) Adanya kematian
3) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kematian
Bentuk kesalahan tindak pidana menghilangkan nyawa orang
lain ini dapat berupa sengaja (dolus) dan tidak sengaja (alpa).
Kesengajaan (dolus) adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan
direncanakan terlebih dahulu atau tidak direncanakan. Tetapi yang
penting dari suatu peristiwa itu adalah adanya ”niat” yang diwujudkan
melalui perbuatan yang dilakukan sampai selesai. Berdasarkan unsur
kesalahan, tindak pidana pembunuhan dapat dibedakan menjadi:
1). Pembunuhan yang di lakukan dengan sengaja.
a) Pembunuhan biasa
Pembunuhan sengaja dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal
338 KUHP yang merumuskan bahwa:
27
Adami Chazawi Ibid, hlm. 57
55
“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam,
karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun” 28
b) Pembunuhan yang disertai, diikuti atau didahului dengan
tindak pidana lain
Delik ini diatur dalam Pasal 339 KUHP yang merumuskan
bahwa:
“Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu
tindak pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau
untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari
pidana bila tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan
penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan
hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun.”29
Pada pembunuhan dalam Pasal 339 KUHP merupakan suatu
bentuk khusus pembunuhan yang diperberat. Dalam
pembunuhan yang diperberat ini terdapat 2 (dua) macam
tindak pidana sekaligus, yaitu pembunuhan biasa dan tindak
pidana lain.
c) Pembunuhan berencana
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang
menyebutkan sebagai berikut :
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana
28
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 2006, hlm. 134 29
Andi Hamzah, Ibid. hlm 134
56
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun.”30
Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih berat
dari pada pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339
KUHP bahkan merupakan pembunuhan dengan ancaman
pidana paling berat, yaitu pidana mati, di mana sanksi pidana
mati ini tidak tertera pada kejahatan terhadap nyawa lainnya,
yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah adanya
perencanaan terlebih dahulu. Selain diancam dengan pidana
mati, pelaku tindak pidana pembunuhan berencana juga dapat
dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun.
2) Pembunuhan yang di lakukan dengan tidak sengaja.
Tindak pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja merupakan
bentuk kejahatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku.
Kejahatan ini diatur dalam Pasal 359 KUHP, yang rumusannya
sebagai berikut :
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun.”31
Unsur-unsur dari rumusan di atas adalah:32
a) Adanya unsur kelalaian
b) Adanya wujud perbuatan tertentu
30
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm 134 31
Andi Hamzah, Ibid, hlm 139 32
Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 125.
57
c) Adanya akibat kematian orang lain.
b. Hukuman Pembunuhan
Bentuk pokok dari kejahatan terhadap nyawa yakni adanya unsur
kesengajaan dalam pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang
baik “sengaja biasa” maupun “sengaja yang direncanakan” . Sengaja
biasa yakni maksud atau niatan untuk membunuh timbul secara sepontan,
dan sengaja yang direncanakan yakni maksud atau niatan atau kehendak
membunuh direncanakan terlebih dahulu, merencanakannya dalam
keadaan tenang serta dilaksanakan secara tenang pula. Unsur-unsur
pembunuhan sengaja biasa adalah : perbuatan menghilangkan nyawa, dan
perbuatannya dengan sengaja, sedangkan unsur-unsur sengaja yang
direncanakan adalah perbuatan menghilangkan nyawa dengan
direncanakan dan perbuatannya dengan sengaja. Adapun sanksi
pembunuhan sengaja biasa dikenakan sanksi pidana penjara paling lama
15 tahun, dan sanksi pembunuhan sengaja direncanakan dikenakan sanksi
pidana mati atau penjara seumur hidup selama-lamanya 20 tahun, seperti
apa yang disebutkan dalam Pasal 340 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana,
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun
Ketidaksengajaan (alpa) adalah suatu perbuatan tertentu terhadap
seseorang yang berakibat matinya seseorang. Bentuk dari kealpaan ini
dapat berupa perbuatan pasif maupun aktif. Contoh perbuatan yang pasif,
misalnya penjaga palang pintu kereta api karena tertidur pada waktu ada
58
kereta yang melintas dia tidak menutup palang pintu, sehingga
mengakibatkan tertabraknya mobil yang sedang melintas. Bentuk
kealpaan penjaga palang pintu ini berupa perbuatan yang pasif, karena
tidak melakukan apa-apa. Sedangkan contoh perbuatan yang aktif,
misalnya seseorang yang sedang menebang pohon ternyata menimpa
orang lain, sehingga matinya orang itu karena tertimpa pohon. Bentuk
kealpaan dari penebang pohon berupa perbuatan yang aktif. Sanksi
tindak pidana ini adalah pidana penjara paling lama lima tahun, seperti
diatur dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi ”
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun”.
B. Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Islam
1. Dasar Hukum dan Alasan Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan
a. Hukum Ikrah dan Dharurah
Dalam Islam hukum ikrah dibagi menjadi tiga yaitu:
1) Tindak pidana yang diperbolehkan karena adanya paksaan
Paksaan bisa membolehkan terhadap perbuatan haram,
dimana syariat membolehkan untuk melakukannya dalam keadaan
terpaksa. Perbuatan ini dikhususkan pada makanan dan minuman yang
diharamkan, seperti memakan bangkai, meminum darah. Hal ini
berdasarkan firman Allah Swt:
59
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang
yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu
apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa
kamu memakannya, dan sesungguhnya kebanyakan (dari
manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain)
dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan, sesungguhnya
Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang
melampaui batas”.33
(Q.S. al-An‟am: 119)
Artinya: ”Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. 34
(Q.S. al-Baqarah: 173)
Memakan bangkai dan meminum darah diharamkan kecuali
dalam keadaan terpaksa. Keduanya dibolehkan apabila manusia
dipaksa orang lain untuk melakukannya, sehingga tidak ada tanggung
jawab dalam melakukan perbuatan tersebut, meskipun pada dasarnya
keduannya diharamkan. Paksaan bisa menghapus tanggung jawab
pidana dan membolehkan seseorang untuk melakukannya dengan
syarat paksaan tersebut adalah paksaan absolut (ikrah mulji‟). Apabila
33
Departemen Agama RI,Op. Cit, hlm 143 34
Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 32.
60
paksaan tersebut adalah paksaan relatif, perbuatan tersebut tetap
diharamkan dan pelakunya dijatuhi hukuman.35
2) Tindak pidana yang hukumannya dihapuskan karena adanya paksaan.
Tindak pidana yang hukumannya dihapuskan karena adanya
paksaan adalah qazaf, mencaci, mencuri, merusak harta orang lain
atau dipaksa kafir.36
Semua tindak pidana tersebut tidak ada hukuman
yang dibebankan kepada pelakunya, apabila pelaku dipaksa
melakukannya dengan ikrah mulji‟. Dalam al-Qur‟an dijelaskan;
Artinya: “Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar.”
3) Tindak pidana yang tidak dipengaruhi oleh paksaan.
Perbuatan yang tidak dapat dipengaruhi oleh paksaan adalah
pembunuhan, pemotongan anggota badan, atau pemukulan yang
membinasakan sebagaimana dikatakan Ibnu Nujaim yang dikutip oleh
Abdul Qadir Awdah:
35
Ali Yafie, dkk.(Ed.), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid II, Jakarta: Kharisma
ilmu, 2009, hlm. 228. 36
Ali Yafie, dkk.(Ed.), Ibid,hlm. 229.
61
اتفك انفمهاء عه أ اإل كرا انهجء اليرفع انعمىتة إذا كات انجرية انت
ارتكثها لتال أو لطع طرف أو ظرتا يههكا
Artinya: “ Para fuqaha sepakat bahwa sesungghunya ikrah mulji‟ tidak
menghapus hukuman pada tindak pidana yang terdiri berupa
pembunuhan, pemotongan anggota badan, dan pemukulan
yang membinasakan.
Dasar hukum dharurat sama dengan dasar hukum ikrah, ketika
perbuatan pidana tidak dihapuskan meski disebabkan karena ikrah
atau dharurah, maka tetap mendapatkan hukuman. Dalam keadaan
pembolehan (ibahah), perbuatan dibolehkan, karena tidak ada alasan
yang mengharamkan. Dalam penghapusan hukuman, hukuman
dihapuskan karena membahayakan jiwa dan tidak adanya ikhtiyar.
Hukum dharurat dibagi menjadi tiga yaitu38
:
1) Tindak pidana yang boleh dilakukan karena dharurat
Tindak pidana boleh dilakukan dalam keadaan darurat jika
hukum Islam telah menetapkan nash-nash pembolehannya. Tindak
pidana ini berlaku khusus pada makanan dan minuman, seperti
memakan bangkai, meminum darah dan sesuatu yang najis. Misalnya
seseorang yang mengalami kelaparan dan tidak menemukan makanan
selain bangkai, dan akhirnya memakan bangkai tersebut. Para fuqaha
telah bersepakat bahwa tindak pidana tersebut boleh dilakukan dalam
keadaan darurat dengan syarat hanya sekedar untuk menutupi
kebutuhan pelaku.
37
Ibnu Nujaim, "al-Bahru al-Raiq" , dalam Abdul Qadir Awdah, Tasyri‟ al-Jina‟i al-
Islamiy, Beirut: Muassasah al-Risalah, tt. Jilid 1, hlm. 568. 38
Abdul Qadir Audah, Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islamiy, Jilid 1, Beirut: Muassasah al-Risalah,
tt., hlm 586.
62
Menurut pendapat yang rajih, melakukan perbuatan tersebut
adalah wajib, bukan sekedar hak, bagi orang yang dalam keadaan
darurat. Dalam keadaan darurat ia akan berdosa, jika tidak makan atau
meminum sesuatu yang diharamkan. Hal ini berdasar firman Allah:
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”39
(Q.S. al-
Baqarah: 195)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”40
(Q.S. al-Nisa: 29)
2) Tindak pidana yang hukumannya dihapus karena dharurat.
Orang dalam keadaan darurat melakukan tindak pidana dapat
dimaafkan dari hukuman, tetapi perbuatan tersebut tetap diharamkan.
Misalnya perbuatan mencuri makanan yang dilakukan oleh orang
yang kelaparan, atau perbuatan membuang barang-barang penumpang
39
Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 30. 40
Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 83.
63
ke laut manakala kapal hampir tenggelam. Agar perbuatan tersebut
dapat diampuni, orang yang dalam keadaan darurat disyaratkan ketika
melakukan perbuatan itu sekedar untuk menolak bahaya.41
3) Tindak pidana yang tidak dipengaruhi oleh dharurat
Keadaan darurat tidak dapat mempengaruhi tindak pidana
pembunuhan, pelukaan dan pemotongan anggota badan. Orang yang
berada dalam keadaan darurat tidak boleh membunuh, melukai, atau
memotong orang lain, dalam upaya menyelamatkan dirinya dari
kematian. Dicontohkan suatu kelompok orang berada dalam sampan
yang hampir tenggelam karena beratnya muatan, penumpang tidak
boleh melemparkan penumpang yang lain ke dalam air untuk
meringankan beban sampan dan dalam upaya menyelamatkan diri dari
kematian.42
Dalam Q.S al-Shaffat ayat 139-14243
menceritakan tentang
Nabi Yunus „alaihissalam naik ke kapal yg sudah penuh dgn
penumpang dan barang. Sampai di tengah lautan kapal tersebut mulai
memperlihatkan tanda-tanda akan tenggelam. Saat itu hanya ada dua
pilihan mereka tetap bersama-sama di atas kapal tapi tenggelam
semua atau mengundi satu per satu dilemparkan ke laut sekedar
meringankan muatan kapal dan menyelamatkan yg lain. Akhirnya
41
Ali Yafie, dkk. (Ed), Ibid, hlm. 236-238 42
Ali Yafie, dkk. (Ed.),, Op. Cit, hlm. 236 43
Artinya: “Dan sesungguhnya Yunus benar-benar termasuk salah seorang dari para
rasul, (Ingatlah) ketika ia lari ke kapal yang penuh, maka ia ikut berundi lalu ia termasuk orang
yang kalah, lalu ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela.”
64
diputuskan untuk memilih undian,44
dan Nabi Yunus termasuk dalam
undian itu sehingga beliau dilempar ke laut.
Untuk dapat meneruskan hidupnya, orang yang berada dalam
keadaan darurat tidak boleh mengambil sesuatu yang dimiliki orang
lain dimana kedua orang tersebut sama-sama membutuhkan.Oleh
karena itu, jika orang pertama mengambil apa yang dimiliki oleh
orang kedua dan mengakibatkan pemilik harta mati, maka orang
pertama bertanggungjawab atas kematiannya dan dianggap sebagai
pembunuh tanpa hak.
b. Dasar Hukum dan Alasan overmacht Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan
Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan karena sebab ikrah
(ikrah mulji‟) dan dharurah merupakan perbuatan yang terlarang.
Ikrah dan dharurah menurut para fuqaha tidak dapat menghapuskan
ataupun membolehkan seseorang untuk melakukan pembunuhan. Hal
ini karena orang yang dipaksa melakukan pembunuhan terhadap
korbannya itu dengan cara disengaja, melawan hukum, secara dzalim
44
Sejak dahulu orang menggunakan undian untuk memutuskan suatu perkara yang pelik.
Ketika para pemuka agama Nasrani berebut memelihara Maryam (Ibu Nabi Isa as.), merekapun
melakukan undian, dan ternyata Nabi Zakaria as. yang beruntung sehingga beliaulah yang
memeliharanya (baca Q.S. al-Imran: 44). Nabi Muhammad pun pernah melakukan undian untuk
memilih siapa saja yang akan ikut dalam perjalanan beilau, karena tidak mungkin semuanya
ikut.Kendati demikian,tidak semua hal harus diselesaikan dengan undian. Undian baru dilakukan
jika semua memiliki hak dan kemampuan yang sama dan tidak diketahui siapa yang seharusnya
dipilih demi kemaslahatan. Tentu saja mengundi siapa yang harus ditenggelamkan atau dibunuh
tidak dibenarkan sama sekali. Apa yang terjadi terhadap Nabi Yunus as. ini adalah adat dan
kebiasaan masyarakat, dimana beliau tidak dapat mengelak. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-
Misbah, Jilid XII, Jakarta: Lentera Hati, 2006 hlm. 81.
65
disertai keyakinan bahwa membunuh korban menyebabkan jiwanya
selamat dan terhindar dari kejahatan pemaksa atau bahaya.45
Dasar hukum mereka adalah firman Allah SWT:
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan)
yang benar. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka
Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli
warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas
dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan.” (Q.S. Al-Isra‟: 33)
Dalam ayat lain disebutkan:
Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan
mukminat, tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sesungguhnya mereka tela memikul kebohongan dan dosa
yang nyata”46
(Q.S. Al-Ahzab: 58)
Ayat di atas menegaskan bahwa membunuh jiwa merupakan
perbuatan yang diharamkan, kecuali dengan alasan yang benar yaitu
salah satu dari tiga perkara: kafir setelah iman (murtad), berzina
setelah ihshan, dan membunuh sesama muslim yang terpelihara
jiwanya. 47
45
Abdul Qadir Awdah, Op.Cit, Jilid 1. hlm. 568 46
Departemen Agama RI,Op. Cit, hlm. 603. 47
Lihat Ahmad Muatafa al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Anshari Umar dkk., Tafsir
al Maraghi, Juz XVII, Semarang: Toha Putra, 1993, hlm. 78.
66
Dalam hadis dijelaskan:
ال يحم : لال رسىل اهلل صه اهلل عهي وساو: ع ات يسعىد رض اهلل ع لال
انثية : دو ايرئ يسهى يشهد ا ال ان اال اهلل وأي رسىل اهلل إال تاحدي ثالث
انزاي وانفس تا نفس وانتارن ندي انفارق نهجاع
Artinya: “Dari ibnu Mas‟ud r.a. berkata: telah bersabda Rasulullah
saw.: Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi
bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku adalah utusan
Allah kecuali dengan salah satu dari tiga sebab; orang yang
pernah menikah berzina, jiwa dengan jiwa (qisas), dan
orang yang meninggalkan agamanya yang meninggalkan
diri dari jamaah.” (H.R. Bukhari)
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa pembolehan dalam
pembunuhan menyangkut tiga hal. Pertama, atas dasar qisas. Kedua,
membendung keburukan akibat tersebarnya kekejian (zina). Ketiga,
membendung kejahatan yang mengakibatkan kekacauan dan
mengganggu keamanannya, yakni terhadap orang murtad
meninggalkan agama Islam, karena ia telah mengetahui rahasia-
rahasia (jamaah)Islam dan keluarnya dapat mengancam (jamaah)
Islam.49
Kata إال بالجق dalam Q.S. al Isra‟ ayat 33 di atas juga
mempunyai pengertian karena melaksanakan perintah undang-undang,
karena melaksanakan perintah jabatan yang sah, dan karena peraturan
perundangan mengizinkan untuk melakukan pembunuhan.50
Jadi,
pembunuhan yang diperbolehkan dalam Islam selain tiga hal yang
48
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1996, hlm. 356 49
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid VII, Jakarta: Lentera Hati, 2006 hlm. 266. 50
Ali Imron HS, Pertanggungjawaban Hukum, Semarang: Walisongo Press, 2009,
hlm.182.
67
tercantum dalam hadis di atas, pemerintah atau penguasa juga
diperbolehkan untuk melakukan pembunuhan.
Orang yang telah membunuh secara zalim (tanpa alasan yang
benar) menyebabkan dia boleh dibunuh, dan Allah telah memberikan
kekuasaan kepada ahli waris korban untuk menuntut pembalasan atas
pembunuh.
Sengaja diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dengan kesengajaan dan kehendaknya serta ia mengetahui
bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan hukuman.
Ahmad Wardi Muslich mensyaratkan adanya tiga unsur yang harus
terpenuhi, sehingga dapat dikategorikan perbuatan sengaja yaitu:51
1. Unsur kesengajaan
2. Unsur kehendak yang bebas dalam melakukannya
3. Unsur pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan.
Dari unsur-unsur di atas, sengaja dalam tindak pidana
pembunuhan berarti pelaku dengan sengaja melakukan perbuatan
membunuh, atas kehendaknya sendiri, pelaku menghendaki akibatnya
berupa kematian korban meskipun diketahui bahwa perbuatan tersebut
dilarang.
Pembunuhan sengaja yang disebabkan karena overmacht, hal
yang menjadikan perhatian adalah masalah kehendak. Dalam ikrah
yang mana pihak yang menghendaki kematian korban adalah orang
51
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2006, hlm. 22
68
yang memaksa. Namun dalam pelaksanaanya, mukrih memaksa orang
lain sehingga pada akhirnya yang melakukan pembunuhan adalah
orang yang dipaksa.
Dalam ikrah ini terdapat pertalian antara perbuatan langsung
(mubasyarah) yang dilakukan oleh orang yang dipaksa dan perbuatan
tidak langsung (sabab) yang dilakukan oleh orang yang memaksa.
Perbuatan langsung dalam pembunuhan adalah perbuatan yang
mengakibatkan dan menghasilkan kematian, yaitu perbuatan yang
membawa kematian dan sebagai penyebabnya, tanpa perantara yang
lain, misalnya membunuh dengan pisau, mencekik dll.52
Fuqaha mendefinisikan sebab pembunuhan adalah setiap
perbuatan yang secara tidak langsung menyebabkan kematian.53
Artinya ia sebagai penyebab kematian, tetapi bukan menjadi penyebab
langsung melainkan sebagai perantara. Pembunuhan sebab (tidak
langsung) memiliki kemiripan dengan pembunuhan langsung disatu
sisi, artinya perbuatan langsung yang mendatangkan kematian lahir
dari sebab.
Dalam hal memaksa orang lain utuk melakukan pembunuhan,
pemaksa itulah yang membuat orang yang dipaksa melakukan
pembunuhan, sebab kalau tidak ada paksaan dari pemaksa tentunya
orang yang dipaksa tidak melakukan pembunuhan. Begitu halnya
52
Ali Yafie dkk. (Ed.), Op. Cit, Jilid 3, hlm.204. 53
Ali Yafie dkk. (Ed.), Ibid, Jilid 3 hlm. 204
69
kalau orang yang dipaksa tidak ada, belum tentu paksaan pemaksa
dapat mengakibatkan pembunuhan.54
Penjatuhan hukuman terhadap pembunuhan ini karena
perbuatan tersebut sangat berbahaya, memperlunak hukuman akan
menimbulkan bahaya besar bagi masyarakat.55
Tentu saja
pertanggungjawaban pidana pada jarimah pembunuhan ini lebih berat
tingkatannya dibandingkan dengan jarimah yang tingkatannya ada
dibawahnya.56
c. Penerapan Sanksi Bagi Pelaku Overmacth Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan
Orang yang dipaksa ketika memilih melakukan tindak pidana
berarti dia akan menimpakan bahaya kepada orang lain, sedangkan
ketika memilih ancaman, berarti dia akan menimpakan bahaya kepada
dirinya. Keduanya adalah hal yang dilarang oleh hukum Islam. Islam
melarang manusia membahayakan orang lain dan sekaligus melarang
manusia mencampakkan dirinya dalam kebinasaan. Ketika orang yang
dipaksa memilih, pada realitasnya dia memilih diantara dua bahaya.
Hukum Islam telah mengatur kaidah hukum untuk menghukumi
keadaan ini, yaitu:
54
Ahmad Hanafi, Op. Cit, hlm. 147-148 55
Ahmad Hanafi, Ibid, hlm.358. 56
Abdul Qadir Awdah, Op.Cit, Jilid 2, hlm. 405
70
انضرر ال يزال تانضرر
“Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan.”
Kaidah ini menuntut manusia untuk tidak menolak suatu
bahaya dengan bahaya yang lain atau semisalnya. Namun jika manusia
berada dalam kondisi ini, terdapat alternatif lain seperti kaidah berikut:
ا تعارض يفسدتا روع أعظها ضررا تارتكاب أخفهاإ
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih
besar mudharatnya dengan mengerjakan yang lebih ringan
mudharatnya”.
Kaidah ini menuntut manusia untuk memilih salah satu
diantara dua bahaya yang harus dilakukan, ia dituntut untuk memilih
bahaya yang lebih ringan dan menolak yang lebih berat.
Orang yang dipaksa melakukan perbuatan sebenarnya bukan
memilih tetapi karena terpaksa melakukanya. Perbuatan itu dihukumi
paksaan dan disepakati oleh hukum Islam.
Apabila dia melanggar dua kaidah tersebut yaitu menolak
bahaya dengan bahaya yang semisal, dalam artian melakukan tindak
pidana atau menolak bahaya yang lebih ringan dengan bahaya yang
lebih berat itu berarti dia telah memilih. Adanya pilihan ini tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana dan juga tidak menghapuskan
sekalipun cakupan pilihan itu sempit.
57
Jalal al-Din „Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair,
Beirut: Daar al-Kutub al-„Alamiyah, tt, hlm. 86. 58
Ibid., hlm. 87.
71
Hukum paksaan dalam hukum Islam menerapkan secara akurat
dua kaidah bahaya tersebut. Contohnya jika orang yang terpaksa
membunuh, ia melakukan pembunuhan tersebut untuk membela
dirinya dari pembunuhan terhadap dirinya, padahal ia tidak boleh
menolak bahaya dengan bahaya yang semisalnya atau dengan bahaya
yang lebih berat darinya. Adapun jika dia melakukan hal itu, berarti
dia memilih (menggunakan hak pilih). Pilihan ini meski dalam
cakupan yang sempit tidak akan menghapus tanggung jawab pidana
darinya, karena itu hukuman tetap berlaku pada tindak pidana
pembunuhan.
Dalam kaitannya dengan ikrah dan dharurah dalam tindak
pidana pembunuhan, menurut kaidah di atas seseorang yang mendapat
ancaman dan kemudian dipaksa untuk melakukan pembunuhan dan ia
benar-benar melakukannya, maka paksaan tersebut tidak dapat
menghapuskan hukuman atas tindak pidana yang telah dilakukannya.
Dalam tindak pidana lain seperti dipaksa melakukan qazaf,
mencuri, merusak harta, atau dipaksa kafir, resiko dari perbuatan
tersebut tidak ada yang menyamai ancaman penghilangan nyawa.
Maka dari itu, jika orang yang dipaksa melakukan beberapa tindak
pidana tersebut dengan tujuan menyelamatkan dirinya dari kematian,
itu berarti dia tidak menghilangkan bahaya dengan bahaya yang
semisalnya, tapi menolak bahaya yang lebih besar dengan bahaya yang
lebih ringan. Dalam hal ini dia dianggap orang yang terpaksa
72
melakukan tindak pidana dan dia tidak mempunyai pilihan untuk
melakukan atau untuk meninggalkanya. Jika tidak ada pilihan berarti
tidak ada tanggung jawab pidana, sehingga hukumanya terhapus.
Adapun hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang dipaksa
membunuh terjadi perbedaan pendapat:
Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika ada
seseorang memaksa seseorang untuk membunuh orang yang tidak
berhak dibunuh, maka keduanya wajib dihukumi qisas. Alasan mereka
adalah keduanya telah bersekutu. Orang yang memaksa (mukrih)
menjadi sebab pembunuhan59
sedangkan orang yang dipaksa menjadi
orang yang melakukan perbuatan langsung dalam pembunuhan.60
Orang yang memaksa meskipun tidak melakukan pembunuhan secara
langsung tetap dihukumi qisas. Begitu pula orang yang dipaksa,
paksaan tidak menjadi penghalang bagi dirinya untuk dihukumi qisas.
Untuk itu keduanya wajib dihukumi qisas. 61
Pendapat ulama Hanafiah terdapat 3 pendapat. Pertama, Zufar
menyatakan bahwa qisas berlaku pada orang yang terpaksa, bukan
orang yang memaksa karena perbuatan membunuh itu dilakukan oleh
59
Fuqaha mendefinisikan bahwa sebab pembunuhan adalah setiap perbuatan yang secara
tidak langsung menyebabkan kematian. Artinya ia sebagai illah/penyebab kematian, tetapi bukan
menjadi penyebab langusng melainkan perantara. Pembunuhan sebab ( tidak langsung) memiliki
kemiripan dengan pembunuhan langsung disatu sisi. Keduanya sebagai illat kematian, artinya
perbuatan langsung yang mendatangkan kematian lahir dari sebab. Lihat Ali Yafie, dkk dkk. (Ed.),
Op.Cit,Jilid 3, hlm.204. 60
Perbuatan langsung dalam pembunuhan adalah perbuatan yang mengakibatkan dan
menghasilkan kematian, yaitu perbuatan yang membawa kematian dan sebagai penyebabnya,
tanpa perantara yang lain, misalnya membunuh dengan pisau, mencekik dll Lihat Ali Yafie dkk.
(Ed.), Ibid, Jilid 3 hlm. 204 61
Muhammad Abd al-Hamid Abu Zaid, Al- Qisas wa al-Hayah, ttp, Daar al-Nahdhatu al-
„Arabiyah.1985, hlm. 109-110
73
orang yang terpaksa.62
Alasan beliau berdasarkan al-Qur‟an surat al
Isra‟ ayat 33:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan
Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami
telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya...
Kedua, Abu Yusuf menyatakan bahwa qisas tidak berlaku baik
pada orang yang terpaksa membunuh maupun si pemaksa, akan tetapi
berlaku diyat bagi pemaksa. Pemaksa tidak dikenai qisas karena dia
memang bukan pelaku pembunuhan dan bagi orang yang dipaksa
tidak dikategorikan sebagai pembunuh karena pada dasarnya
perbuatan bukan lahir dari dirinya, dan sama sekali tidak diinginkan
oleh orang yang dipaksa.63
Ketiga, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwasanya orang
yang memaksa orang lain untuk membunuh orang lain, dan
mengancam membunuhnya atau dengan ancaman lain dan orang
tersebut takut dan kemudian melakukan pembunuhan tersebut, maka
qisas hanya wajib diberikan kepada orang yang memaksa, sedangkan
orang yang dipaksa tidak. Begitu juga jika orang yang diperintah
berada dibawah kuasa orang yang memerintah, maka orang yang
diperintah hanya menjadi alat bagi pemaksa.64
Ulama Syafiiyah berpendapat barang siapa memaksa orang
membunuh manusia yang tak berhak dibunuh maka keduanya wajib di
62
Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah, Beirut: Dar al-Fikr al- Arabi, tt, hlm 546. 63
Ibid, hlm. 547 64
Muhammad Abd al-Hamid Abu Zaid Op. cit, hlm. 110
74
qisas karena orang yang memaksa yang melakukan kerusakan kepada
orang seperti membunuh memakai panah dan mukrah membunuh
dengan sengaja karena permusuhan dan kezaliman untuk
melangsungkan kondisinya seperti orang membunuh dalam keadaan
dharurat membunuh orang untuk mendapatkan makanan, hal tersebut
lebih utama daripada paksaan. Karena orang yang dalam keadaan
darurat yakin akan menghadapi kesulitan, berbeda dengan orang yang
dipaksa.65
Menurut pendapat Ibnu Qudamah, wajib qisas bagi pemaksa
dengan pertimbangan bahwa pemaksalah yang menyebabkan
pembunuhan itu terjadi. Dan bagi orang yang dipaksa wajib diqisas
pula karena dialah yang membunuh dengan sengaja dan zalim untuk
eksistensi dirinya yang diumpamakan seperti membunuh dalam
keadaan dharurat (kelaparan) untuk mendapatkan makanan.66
Imam Abu Hanifah, Muhammad, Daud al-Zahiri, Imam
Ahmad Bin Hambal dan Imam Syafii dalam salah satu pendapatnya
berpendapat bahwa tidak wajib diqisas bagi orang yang dipaksa. Qisas
hanya berlaku pada orang yang memaksa, sedangkan orang yang
dipaksa dihukum ta‟zir.67
Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw:
65
Muhammad Abd al-Hamid Abu Zaid Ibid., hlm. 110 66
Muhammad Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz 9, Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyah, tt,
hlm.331 67
Wahbah al-Zuhaily, Nazariyyah al-darurah al Syar‟iyah ma‟a al Qanun al-Wad‟i, terj.
Said Agil al-Munawar dan M. Hadri Hasan, “Konsep Darurat dalam Hukum Islam”, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1997, hlm.101.
75
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu „anhu berkata bahwa
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah mengampuni beberapa perilaku umatku, yakni keliru,
lupa dan apa yang dipaksakan terhadapnya.” (HR. Ibnu
Majah)
Pemaafan terhadap sesuatu berarti pemaafan bagi tuntutannya,
maka apa yang dipaksakan itu menuntut pemaafan. Lagi pula orang
yang dipaksa hanyalah alat bagi orang memaksa, karena yang
membunuh itu pada dasarnya adalah orang yang memaksa, sedangkan
orang yang dipaksa bentuk lahir pembunuhan.69
C. Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana
Indonesia
1. Dasar Hukum dan Alasan Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan
Dalam hukum pidana Indonesia, overmacht diatur dalam BAB III
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 48 yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa
tidak dipidana”.70
Daya paksa yang dimaksud oleh pasal 48 KUHP bukanlah daya
paksa absolut, melainkan daya paksa relatif. Perbedaan paksaan absolut
dan paksaan relatif pada dasarnya terletak pada ada tidaknya alternatif
perbuatan yang dapat dipilih. Paksaan absolut terjadi ketika keadaan
68
Abi „Abdillah Muhammad Ibn Zaid al-Qazwainy, Loc.Cit,. hlm. 69. 69
Wahbah al-Zuhaily, Ibid.hlm. 101. 70
Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 25.
76
memaksa itu sedemikian rupa kuatnya, sehingga orang itu sepenuhnya
tidak berdaya, artinya perbuatan atau kejadian itu timbul oleh sebab yang
sama sekali tidak dapat dikuasainya, atau tiada alternatif lain selain harus
melakukan perbuatan tindak pidana yang pada kenyataannya melanggar
undang-undang. Misalnya seseorang ditangkap oleh orang yang kuat, lalu
dilemparkan keluar jendela, sehingga terjadi perusakan barang. Maka
orang yang dilemparkan keluar jendela, tidak dapat dipidana menurut
pasal 406 KUHP.71
Sedangkan daya paksa relatif, apabila ancaman itu sedemikian
kuatnya, sehingga seseorang berada dalam keadaan yang mengharuskan
dia melakukan tindak pidana, tetapi di samping perbuatan perbuatan yang
telah dilakukanya itu ada pilihan perbuatan lain sebagai alternatifnya,
namun perbuatan terakhir ini tidak mungkin dipilihnya berhubung resiko
dari perbuatan lain itu adalah lebih besar atau sangat besar yang menurut
akal pikiran orang pada umumnya akan selalu menghindari resiko tersebut.
Misalnya seorang pegawai keamanan bank yang dipaksa untuk merusak
kotak penyimpan uang dan menyerahka uang tersebut kepada kawanan
perampok yang mengancamnya dengan pistol.
Prinsip yang dipakai dalam pasal 48 KUHP ini adalah
mengorbankan kepentingan hukum yang lebih kecil demi untuk
melindungi atau mempertahankan kepentingan hukum yang lebih besar.72
71
Zainal Abidin Farid, Op.Cit, Hal.192-193 72
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2002,
hlm. 32
77
Kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan suatu paksaan
merupakan perbuatan yang dibenarkan, sehingga termasuk dalam daya
paksa relatif adalah pada resiko yang akan dihadapi itu harus seimbang
atau lebih berat dari perbuatan yang dilakukanya. Apabila kepentingan
yang dikorbankan lebih berat dari kepentingan yang diselamatkan, maka
tidak ada hal yang memaksa (overmatch), maka pelaku dalam hal ini harus
dihukum. Apabila kepentingan yang dikorbankan, hanya sedikit lebih
berat dari kepentingan yang diselamatkan, atau kepentingan itu sama
beratnya, maka ada hal yang memaksa dan pelaku tidak dikenai hukuma
pidana.73
Ukuran seimbang atau lebih berat yang dimaksud di atas adalah
terletak pada akal manusia pada umumnya. Jadi di sini terdapat ukuran
objektif yang sekaligus subjektif. Ukuran subjektif yaitu terletak pada akal
manusia, sedangkan ukuran objektif adalah bagi orang normal pada
umumnya. Ukuran subjektif dan objektif ini haruslah digunakan secara
bersama, tidak boleh subjektif saja, misalnya hanya pada akal dan
perasaan si pembuat, tetapi harus pada akal pikiran bagi orang pada
umumnya. Hakimlah yang berwenang menilai dan menentukan telah
dipenuhinya syarat subjektif maupun objektif tersebut, dan dia harus
mampu menangkap akal pikiran bagi semua orang terhadap resiko atas
suatu pilihan perbuatan tertentu berdasarkan akal budi yang dimilikinya.74
73
Wiryono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989,
hlm. 84. 74
Zainal Abidin Farid. Hukum Pidana I,
78
Apabila resiko perbuatan yang dilakukanya lebih kecil, maka
disini tidak ada daya paksa relatif. Contohnya apabila orang dipaksa untuk
membunuh orang lain dengan ancaman akan ditempeleng (ancaman
kekerasan), tidaklah cukup menjadi alasan pembenar jika orang itu benar
melakukan pembunuhan.
Daya paksa merupakan persoalan dalam ilmu hukum yang sampai
sekarang masih diperdebatkan para ahli hukum dalam menentukan apakah
daya paksa merupakan alasan pembenar, sehingga dapat menghapuskan
sifat melawan hukum75
perbuatan pidana atau alasan pemaaf yang
menghilangkan unsur kesalahan dari orang yang melakukan tindak pidana.
Roeslan Saleh berpendapat bahwa overmacht merupakan alasan
pemaaf.76
Alasannya orang yang melakukan perbuatan karena terdorong
oleh daya paksa itu sebernarnya terpaksa melakukan karena didorong oleh
suatu tekanan bathin yang datang dari luar. Dalam hal ini tekana batin
75
Bagi para sarjana yang menganut pandangan formil mengenai sifat melawan hukum
dalam hubungannya dengan perumusan suatu delik, apabila bersifat melawan hukum (bmh) tidak
dirumuskan dalan suatu delik, tidak perlu lagi diselidiki tentang bersifat melawan hukum itu.
Karena dengan sendirinya seluruh tindakan itu sudah bersifat melawan hukum. Sedangkan jika
bersifat melawan hukum ini dicantumkan dalam rumusan delik, maka bersifat melawan hukum itu
harus diselidiki. Dan dalam rangka penuntutan/mengadili harus terbukti bersifat melawan hukum
tersebut. Justru dicantumkannya bersifat melawan hukum tersebut dalam norma delik,
menghendaki penelitian apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Demikianlah
antara lain pendapat SIMONS dan para pengikut ajaran formal.
Sebaliknya para sarjana yang berpandangan materiil tentang bersifat melawan hukum,
mengatakan bahwa sifat melawan hukum, selalu dianggap ada dalam setiap delik, walaupun tidak
dengan tegas-dirumuskan. Penganut teori ini mengemukakan bahwa pengertian dari hukum yang
merupakan salah satu kata yang terdapat dalam bersifat melawan hukum, tidak hanya didasarkan
kepada undang-undang saja, tetapi kepada yang lebih luas lagi, yaitu asas-asas umum yang berlaku
sebagai hukum. Dengan perkataan lain bersifat melawan hukum berarti harus dapat dirasakan
sebagai tidak boleh terjadi, bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat. Atau
lebih tepat jika diartikan dengan tidak boleh terjadi dalam rangka pengayoman hukum dan
perwujudan cita-cita masyarakat. Dalam msalah melawan hukum ini, Indonesia menganut ajaran
sifat melawan hukum formil, bukan sifat melawan hukum materiil karena sifat melawan hukum
materiil bertetangan dengan asas legalita sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. 76
Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya, Jakarta,
Aksara Baru, 1987, hlm. 86.bertetangan dengan asas
79
yang berasal dari luar merupakan syarat yang utama. Orang tersebut
sebenarnya tidak suka melakukan perbuatan tersebut, tetapi dia dipaksakan
oleh suatu tekanan batin yang berat yang ditekankan kepadanya dari luar.
Karena itu kehendaknya tidak bebas lagi. Karena adanya tekanan dari luar,
maka fungsi batinnya tidak normal pula.
Pompe berpendapat daya paksa sebagai alasan pembenar. Alasan
pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan terdakwa menjadi perbuatan yang
patut dan benar. 77
Tidak dipidananya terdakwa karena perbuatan tersebut
kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam
kenyataanya perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana,
akan tetapi karena hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak
dipidana.78
Sifat melawan hukum terhapus, apabila terjadi keadaan-keadaan
khusus yang dipandang sebagai hal yang patut walaupun bertentangan
dengan undang-undang. Oleh karena itu, putusannya adalah lepas dari
segala tuntutan hukum.79
Sifat melawan hukum hilang dalam keadaan-
keaadan yang diatur dalam pasal 48 sampai dengan pasal 51 KUHP,
sehingga orang yang melakukan tindak pidana dalam keadaan
sebagaimana diatur dalam pasal-pasal di atas tidak dipidana.80
77
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 137. 78
Adami Chazawi. Op.Cit.hlm.19. 79
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana,Jakarta: Aksara Baru,
1987, hlm. 2 80
Roeslan Saleh, Ibid, hlm.16
80
KUHP merupakan salah satu aturan hukum yang mana aturan
hukum tersebut bersifat umum yang ditetapkan untuk semua orang dalam
masyarakat tertentu (Indonesia). Karena sifatnya yang umum, maka aturan
hukum tidak mungkin mengatur semua hal dalam kehidupan masyarakat.81
Termasuk dalam masalah overmacht yang dirumuskan dalam pasal 48
KUHP tidak mengatur secara khusus tentang tindak pidana pembunuhan
yang disebabkan karena adanya overmacht. KUHP hanya menetapkan
bahwa perbuatan yang dilakukan karena pengaruh daya paksa (overmacht)
tidak dipidana. Kata “perbuatan” dalam pasal tersebut merupakan
perbuatan tindak pidana yang diatur dalam KUHP, termasuk tindak pidana
pembunuhan yang telah diatur dalam pasal 338 KUHP Indonesia
mengatakan bahwa:
“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
Merampas nyawa orang lain disini dimaksudkan sebagai sesuatu
tindakan pembunuhan. Jelas bahwa dalam pelaksanaan pembunuhan
tersebut mengakibatkan kematian terhadap orang lain. Sedangkan arti dari
pada sengaja adalah suatu perbuatan itu memang diinginkan atau memang
merupakan harapannya untuk mengakibatkan kematian dalam
perbuatannya. Jadi semua perbuatan yang mengakibatkan kematian
perbuatan tersebut memang diinginkan oleh terdakwa, maka sudah
seharusnya dihukum sesuai dengan pasal ini.
81
.Roeslan Saleh, Op. Cit, hlm.16
81
Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan karena adanya
overmacht menjadikan sifat melawan hukum dalam tindak pidana tersebut
hilang, dengan demikian tindak pidana pembunuhan yang terbukti
memenuhi pasal 48 KUHP tidak dapat dipidana.
2. Sanksi Bagi Pelaku Overmacth Dalam Tindak Pidana Pembunuhan
Dalam hukum pidana, tindak pidana yang dilakukan karena
overmacht tidak dipidana, karena adanya alasan pembenar yang
menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum perbuatan, sehingga apa
yang dilakukan terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tidak
adanya pidana bagi terdakwa karena perbuatan tersebut kehilangan sifat
melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataanya perbuatan
terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana, akan tetapi karena
hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana.
Hal ini berlaku juga dalam tindak pidana pembunuhan yang
disebabkan karena adanya overmacht, maka seseorang yang melakukan
pembunuhan karena dalam keadaan terpaksa dan dalam pembuktian di
persidangan benar-benar terbukti maka terdakwa dinyatakan lepas dari
segala tuntutan. Namun jika dalam pembuktian tidak terbukti adanya
overmacht dalam tindak pidana pembunuhan, maka pelaku dapat
dijatuhkan hukuman sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP
mengenai kejahatan terhadap nyawa khususnya pasal 338 KUHP.
82
Contoh kasus yang pernah terjadi yaitu di Pengadilan Negeri
Denpasar pada tahun 2006. Majelis Hakim membebaskan Rasul
Ardiansyah, ali Murtadho, Nurdin, dan Abdullah yang didakwa melakukan
pembunuhan terhadap Acuk dan Antonius. Kronologi kejadiannya
sebagai berikut.
KM Bali Saputra milik Rasul Ardyansah berangkat berlayar Senin
(10/4/2006). Biasanya, dalam satu kali perjalanan memakan waktu 3
sampai 4 hari. Keempat tersangka dan dua korban bekerja sama mencari
lobster di Perairan Nusa Penida. Pada hari pertama di laut, semua anak
buah kapal (ABK) sudah dapat giliran menyelam. KM Bali Saputra sudah
memuat sekitar tujuh kilogram lobster. Nasib buruk bagi ABK KM Bali
Saputra terjadi di hari kedua, Selasa (11/4/2006). Saat itu, Acuk dan
Antonius mendapat giliran menyelam. Baru beberapa menit berada di
dalam air, Ali dkk. merasakan arus besar dan kedua korban masuk lorong.
Panjang selang oksigen kompresor yang dipakai menyelam mencapai 180
meter. Para tersangka sudah dua jam berusaha menarik Acuk dan
Antonius, namun tidak juga muncul dipermukaan. Akhirnya keempat
tersangka memotong selang pernafasan karena merasa tidak ada pilihan
lain.82
Keempat tersangka kasus pembunuhan Acuk dan Antonius dijerat
pasal 338 junto pasal 55 ayat (1) KUHP. Ali dkk. diancam hukuman
maksimal 15 tahun penjara. Pada persidangan, jaksa penuntut umun (JPU)
82
http//www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/4/30/b7.html. diunduh pada tanggal 4
Desember 2010.
83
Suhadi, dan Nur Laeli menuntut 10 tahun penjara kepada keempat
terdakwa.83
Hakim Daniel Palittin dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana
dakwaan jaksa. Tetapi perbuatan para terdakwa tersebut tidak bisa
dipidana. karena mereka menyatakan kondisi yang dialami para terdakwa
di atas kapal KM Bali Saputra di perairan Nusa Penida sudah sangat
krusial. Selang untuk membantu pernapasan korban Acuk dan Antonius
yang berada di dalam air terseret arus yang sangat kencang, sehingga
kemungkinan bisa membenturkan korban ke batu karang. Para terdakwa
berusaha mengurangi risiko dengan memotong selang. Dari rentetan
kejadian tersebut, para PH berkesimpulan bahwa tindakan para terdakwa
memotong selang pernapasan tidak termasuk unsur pembunuhan secara
sengaja.
Majelis Hakim menegaskan bahwa tindakan para terdakwa
tersebut karena pengaruh overmacht. Karena itu, mereka tidak sependapat
bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur pasal 338 KUHP jo pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka lebih setuju kalau perbuatan terdakwa
termasuk melanggar pasal 48 KUHP. Oleh karena itu, para terdakwa
lepask dari tuntutan.84
83
http//www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/11/1/b17.html. Diunduh pada tanggal 4
Desember 2010. 84
http//www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/11/2/b10.htm. Diunduh pada tanggal 4
Desember 2010.
84
BAB IV
ANALISIS OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
(Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Indonesia)
A. Analisis Dasar Hukum dan Alasan Overmacht Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan
1. Analisis Dasar Hukum dan Alasan Overmacht Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan Menurut Hukum Islam
Hukum Islam membagi hukum overmacht menjadi tiga bagian:
Pertama, overmacht sebagai sebab yang memperbolehkan
perbuatan-perbuatan yang diharamkan, seperti terpaksa memakan
bangkai, dan meminum darah. Pada dasarnya keduanya merupakan
perbuatan yang dilarang, namun karena adanya overmacht, sehingga
tidak ada tanggung jawab atas perbuatan tersebut.
Kedua, overmacht sebagai sebab yang menghapuskan hukuman
suatu tindak pidana seperti dipaksa melakukan qazaf, mencaci, mencuri,
merusak harta orang lain atau dipaksa kafir. Tindak pidana qazaf
termasuk dalam jarimah hudud yang hukuman pokoknya sudah
ditetapkan dalam al-Quran yaitu didera sebanyak delapan puluh kali,
namun tingkat kejahatan ini tidak sampai pada penghilangan nyawa.
Ketiga, overmacht tidak berpengaruh terhadap hukuman suatu
tindak pidana. Maksudnya, overmacht tidak menjadikan suatu tindak
pidana diperbolehkan, atau bahkan dihapuskan hukumannya. Meskipun
85
dalam tindak pidana terdapat faktor overmacht, perbuatan tersebut
tetaplah menjadi perbuatan yang diharamkan dan harus
dipertanggungjawabkan. Hukuman yang dijatuhkan sesuai dengan
hukuman asal dari tindak pidana tersebut. Hal ini berlaku pada tindak
pidana pembunuhan, pemotongan anggota badan, atau pemukulan yang
mematikan.
Pembunuhan adalah suatu proses perampasan, peniadaan atau
menghilangkan nyawa seseorang yang dilakukan oleh orang lain. Dalam
hukum Islam hukuman pokok bagi pembunuhan sengaja adalah qisas
sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 178.
Hukuman pokok pada pembunuhan tidak sengaja atau pembunuhan
kesalahan adalah diyat dan kafarah sebagaimana dijelaskan dalam surat
al-Nisa ayat 92. Hukuman penggantinya adalah ta’zir dan hukuman
tambahannya adalah hilangnya hak wasiat dan hak mendapat warisan.
Hukuman pokok pembunuhan semi sengaja adalah diyat dan kafarah,
sedang hukuman penggantinya adalah ta’zir.
Dalam masalah tindak pidana pembunuhan, menurut hukum
Islam overmacht tidak dapat mempengaruhi hukuman terhadap tindak
pidana tersebut, dalam artian tidak dapat membolehkan atau
menghapuskan hukuman.
Sebagaimana telah diketahui bahwa pembunuhan adalah
perbuatan yang di larang keras oleh agama, karena akibat yang di
timbulkan dari perbuatan tersebut dapat merusak tatanan kehidupan
86
masyarakat. Perbuatan membunuh itu sendiri pada dasarnya adalah
merampas hak hidup orang lain dan mendahului kehendak Allah, karena
hanya Allah yang berhak membuat hidup dan mati.
Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan karena sebab ikrah
dan dharurah merupakan perbuatan yang terlarang. Ikrah dan dharurah
menurut para fuqaha tidak dapat menghapuskan ataupun membolehkan
seseorang untuk melakukan pembunuhan. Hal ini karena orang yang
dipaksa melakukan pembunuhan terhadap korbannya itu dengan cara
disengaja, melawan hukum, secara dzalim disertai keyakinan bahwa
membunuh korban menyebabkan jiwanya selamat dan terhindar dari
kejahatan pemaksa atau bahaya.1
Orang yang dipaksa dengan sengaja melakukan pembunuhan,
meskipun diketahui bahwa perbuatan tersebut dilarang. Akan tetapi
masalah kehendak menjadi permasalahan ketika orang yang membunuh
dalam kondisi terpaksa. Orang yang dipaksa melakukan pembunuhan
bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan keinginan dari pemaksa.
Namun dalam kenyataannya orang yang dipaksalah yang melakukan
pembunuhan secara langsung. Sementara itu unsur penting yang menjadi
dasar penentuan hukuman menurut syari‟at Islam adalah maksud atau
niatan yang menyertai perbuatan jarimah.2 Berbeda dengan dharurah,
1 Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy Jilid I, Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi, tth, hlm. 568 2 Niat dalam tindak pidana pembunuhan sangat menentukan terhadap penerapan sanksi
atas tindak pidana yang dilakukan. Dalam tindak pidana pembunuhan, Islam membedakan jenis
tingkatan hukuman pembunuhan sengaja, semi sengaja dan tidak sengaja didasarkan pada niatan
pembunuh. Niat tersebut sangat mempengaruhi terhadap berat-ringannya hukuman.
87
faktor pemaksa bukan dari manusia, melainkan dari keaadan atau situasi
yang berbahaya, sehingga niatan membunuh bukan karena orang lain
melainkan karena alam. Contohnya ketika sekelompok orang berada
dalam sampan yang hampir tenggelam karena beratnya muatan,
penumpang tidak boleh melemparkan penumpang yang lain ke dalam air
untuk meringankan beban sampan dan dalam upaya menyelamatkan diri
dari kematian.3
Maksud dari melawan hukum adalah melakukan perbuatan yang
dilarang oleh syara‟.4 Perbuatan melawan hukum merupakan unsur
pokok yang harus ada pada setiap tindak pidana baik tindak pidana,
ringan, atau berat, yang disengaja, atau tidak sengaja. Penjatuhan
hukuman terhadap pembunuhan ini karena perbuatan tersebut sangat
berbahaya, memperlunak hukuman akan menimbulkan bahaya besar bagi
masyarakat.5
Allah mengharamkan manusia melakukan pembunuhan kecuali
dengan alasan yang benar. Hal ini berdasarkan ketentuan Q.S. al-Isra‟
ayat 33:6
Ayat di atas menegaskan bahwa membunuh jiwa merupakan
perbuatan yang diharamkan, kecuali dengan alasan yang benar yaitu
3 Ali Yafie, dkk (Ed.), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid II, Jakarta: Kharisma ilmu,
2009, hlm. 236 4 Makhrus Munajad, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: TERAS, 2009,
HLM. 93 5 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bitang, 1993, hlm.t358.
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,Bandung: Diponegoro, 2010, hlm.
248.
88
salah satu dari tiga perkara: kafir setelah iman (murtad), berzina setelah
ihshan, dan membunuh sesama muslim yang terpelihara jiwanya. 7
Kata إال بالجق dalam Q.S. al-Isra‟ ayat 33 di atas juga mempunyai
pengertian karena melaksanakan perintah undang-undang, karena
melaksanakan perintah jabatan yang sah, dan karena peraturan
perundangan mengizinkan untuk melakukan pembunuhan.8 Jadi,
pembunuhan yang diperbolehkan dalam Islam selain tiga hal di atas,
pemerintah atau penguasa juga diperbolehkan untuk melakukan
pembunuhan.
Islam memberlakukan overmacht dengan ketentuan yang sangat
ketat. Adapun syarat yang harus dipenuhi menurut hukum Islam adalah:
Syarat-syarat ikrah mulji’ yaitu9:
a) Ancaman yang menyertai paksaan membahayakan keselamatan jiwa.
b) Ancaman harus berupa perbuatan yang dilarang dalam syariat Islam.
c) Apa yang diancamkan seketika dan hampir tejadi, yang
dikhawatirkan akan dilakukan jika orang yang dipaksa tidak
melaksanakan perintah pemaksa.
d) Orang yang memaksa memiliki kemampuan untuk melaksanakan
ancamannya.
7 Lihat Ahmad Muatafa al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Anshari Umar dkk., Tafsir al
Maraghi, Juz XVII, Semarang: Toha Putra, 1993, hlm. 78. 8 Ali Imron HS, Pertanggungjawaban Hukum, Semarang: Walisongo Press, 2009,
hlm.182. 9 Abdul Qadir Awdah, Op.Cit.,hlm.365-368
89
e) Orang yang diancam harus meyakini bahwa ancaman yang
diterimanya benar-benar akan dilaksanakan oleh pemaksa apabila
kehendak pemaksa tidak dipenuhinya.
Syarat-syarat dharurah yaitu10
:
a) Keadaan dharurat harus sudah ada bukan masih ditunggu, dengan
kata lain kekhawatiran akan kematian itu benar-benar ada dalam
kenyataan.
b) Orang yang terpaksa tidak punya pilihan lain kecuali melanggar
perintah atau tidak ada cara lain yang dibenarkan untuk menghindari
kemudharatan selain melanggar hukum.
c) Tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syar‟i (maqasid al-syari’ah)
seperti diharamkannya pembunuhan, dalam kondisi bagaimanapun.
d) Dalam menghindari keadaan darurat hanya dipakai tindakan
seperlunya dan tidak berlebihan.
Dari penjelasan di atas, penulis berpendapat bahwa dalam hukum
Islam, tidak semua tindak pidana yang dilakukan karena ikrah dan
dharurah dapat menjadi sebab yang menghapuskan hukuman (asbab
raf’i al-uqubah). Ikrah dan dharurah Islam mengatur secara rinci dalam
masalah ikrah dan dharurah mengenai jenis tindak pidana yang
diperbolehkan, tindak pidana yang hukumannya dapat terhapus, dan
tindak pidana yang tidak dapat dipengaruhi oleh paksaan. Pengaturan ini
10
Wahbah Zuhaili, Wahbah al-Zuhaily, Nazariyyah al-darurah al Syar’iyah ma’a al
Qanun al-Wad’i, terj. Said Agil al-Munawar dan M. Hadri Hasan, “Konsep Darurat dalam Hukum
Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, hlm. 73-74
90
menurut penulis didasarkan pada tingkat kejahatan yang dilakukan serta
pertimbangan kemaslahatan bagi manusia.
Penentuan adanya ikrah dan dharurah diatur dengan syarat yang
sangat ketat, salah satunya adalah tidak boleh melanggar prinsip-prinsip
syar‟i (maqasid al-syari’ah). Tindak pidana pembunuhan karena ikrah
dan dharurah dilarang dalam Islam, karena dilakukan tanpa alasan yang
dibenarkan, serta pembunuhan pada dasarnya telah melanggar maqasid
al-syari’ah, yaitu dalam menjaga jiwa (hifź ahal l-nafs).
2. Analisis Dasar Hukum dan Alasan Overmacht Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Indonesia
Hukum pidana Indonesia menetapkan bahwa overmacht
merupakan dasar atau alasan yang menghapuskan hukuman atas setiap
tindak pidana. Overmacht merupakan salah satu dasar peniadaan pidana11
(strafuitluitingsgronden) yang dirumuskan dalam pasal 48 KUHP12
.
Hapusnya hukuman ini berlaku secara umum tanpa membedakan jenis-
jenis tindak pidana, termasuk dalam pidana pembunuhan.
Dalam hukum pidana Indonesia, tindak pidana pembunuhan
sengaja dalam bentuk umum diatur dalam pasal 338 KUHP dengan
pidana penjara maksimal 15 tahun, pasal 339 dengan ancaman pidana
penjara maksimal dua puluh tahun, dan pasal 340 KUHP dengan
11
Alasan-alasan yang memugkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
rumusan delik tidak dipidana. Lihat Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990,
hlm. 138.
91
ancaman pidana mati. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja diatur
dalam pasal 359 dengan pidana penjara maksimal lima tahun.
Dalam hukum pidana Indonesia, tidak terdapat ketentuan yang
mengatur tentang syarat terjadinya overmacht. Penentuan adanya
overmacht bergantung pada penilaian hakim yang berdasarkan ukuran-
ukuran objektif dan ukuran subyektif.13
Overmacht merupakan persoalan dalam ilmu hukum pidana yang
sampai sekarang masih diperdebatkan para ahli hukum untuk
menentukan apakah overmacht merupakan alasan pembenar, sehingga
dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan pidana atau
alasan pemaaf, yang menghilangkan unsur kesalahan dari orang yang
melakukan tindak pidana.
Pompe berpendapat bahwa overmacht sebagai alasan pembenar14
,
sehingga perbuatan membunuh tersebut kehilangan sifat melawan
hukumnya perbuatan.15
Walaupun dalam kenyataannya perbuatan
terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana, akan tetapi karena
hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana.16
Sifat melawan hukum terhapus apabila terjadi keadaan-keadaan
khusus yang dipandang sebagai hal yang patut walaupun bertentangan
13
Utrecht, Hukum Pidana 1, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994, hlm. 354. 14
Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya, Jakarta,
Aksara Baru, 1987, hlm. 86. 15
Melawan hukum diartikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan undang-undang,
atau suatu tindakan yang telah memenuhi perumusan delik dalam undang-undang, baik sifat
melawan hukum itu dirumuskan atau tidak adalah tindakan-tindakan yang bersifat melawan
hukum. 16
Adami Chazawi. Op.Cit hlm.19.
92
dengan undang-undang. Sifat melawan hukum hilang dalam keadaan-
keaadan yang diatur dalam pasal 48 sampai dengan pasal 51 KUHP,
sehingga orang yang melakukan tindak pidana dalam keadaan,
sebagaimana diatur dalam pasal-pasal diatas tidak dipidana.17
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Roeslan Saleh bahwasanya
overmacht merupakan alasan pemaaf.18
Alasannya orang yang
melakukan perbuatan karena terdorong oleh overmacht itu sebernarnya
terpaksa melakukan karena didorong oleh suatu tekana bathin yang
datangnya dari luar. Dalam hal ini tekanan batin yang berasal dari luar
merupakan syarat yang utama. Orang tersebut sebenarnya tidak suka
melakukan perbuatan tersebut, tetapi dia dipaksakan oleh suatu tekanan
batin yang berat, yang ditekankan kepadanya dari luar. Karena itu
kehendaknya tidak bebas lagi. Karena adanya tekanan dari luar, maka
fungsi batinnya menjadi tidak normal. Misalnya seseorang dipaksa untuk
membunuh orang lain dengan diancam oleh pemaksa dengan sebuah
pistol, kemudian orang yang dipaksa tersebut akhirnya mematuhi dengan
membunuh orang lain.
Antara ajaran sifat melawan hukumnya perbuatan dan overmacht
memiliki keterkaitan. Pasal 48 KUHP ini hanya digunakan pada
perbuatan yang melawan hukum, akan tetapi karena keadaan tertentu
(terpaksa) dapat dimaafkan. Terdakwa sebenarnya tidak suka melakukan
17
Roeslan Saleh, Sifat melawan Hukum Suatu perbuatan pidana, Jakarta: Aksara Baru.
19 hlm.1987. hlm. 16. 18
Roesan Saleh, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pindana, Jakarta, Aksara Baru,
1983, hlm. 128.
93
perbuatan tersebut, tetapi ia dipaksakan oleh tekanan psikologi yang
berat, kehendaknya tidak bebas lagi.19
Jadi perbuatan tersebut tetap
merupakan perbuatan pidana yang dapat dipidana. Yang tidak dapat
dipidana dalam hal ini adalah pembuatnya.20
Atas dasar alasan pembenar dan alasan pemaaf inilah tindak
pidana yang dilakukan oleh sebab overmacht yang pada dasarnya
melanggar undang-undang tidak dikenai hukuman, termasuk dalam
dalam hal tindak pidana pembunuhan sengaja yang telah dalam diatur
KUHP dalam pasal 338.
Menurut pendapat penulis, tidak adanya syarat yang secara jelas
mengatur tentang perbuatan yang dikategorikan sebagai overmacht,
memberikan celah bagi pelaku tindak pidana untuk lepas dari tuntutan
hukum. Dalam hal ini hakim harus melakukan pembuktian secara
mendalam untuk membuktikan ada atau tidaknya unsur overmacht dalam
suatu tindak pidana. Jika overmacht tidak terbukti, maka hakim dapat
menjatuhkan hukuman sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan.
B. Analisis Penerapan Sanksi Bagi Pelaku Overmacht Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan
1. Analisis Penerapan Sanksi Bagi Pelaku Overmacht Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan Menurut Hukum Islam
19
Roeslan Saleh, Ibid, hlm. 128 20
Roeslan Saleh, Op. Cit, hlm. 130.
94
Suatu perbuatan dianggap sebagai suatu tindak pidana karena
perbuatan tersebut bisa merugikan terhadap tata nilai hidup yang ada di
dalam masyarakat, kepercayaan-kepercayaan, merugikan anggota-
anggota masyarakat, harta benda, nama baik, perasaan-perasaannya dan
pertimbangan-pertimbangan baik yang harus dihormati dan dipelihara.21)
Hukum sebagai suatu aturan pada hakikatnya mengatur
terpenuhinya hak individu atau umum pada satu sisi dan kewajibannya
pada sisi lain, sehingga menampakkan keseimbangan atau keadilan yang
menjadi sifat hukum sendiri. Dalam konteks hukum Islam, pengaturan
hak dan kewajiban seperti ini dikenal dalam istilah jarimah hudud,
qisasdan ta’zir.
Orang yang dipaksa ketika memilih melakukan pembunuhan
berarti dia akan menimpakan bahaya kepada orang lain, sedangkan ketika
memilih ancaman, berarti dia akan menimpakan bahaya kepada dirinya.
Keduanya adalah hal yang dilarang oleh hukum Islam. Islam melarang
manusia membunuh orang lain dan sekaligus melarang manusia
mencampakkan dirinya dari kematian. Ketika orang yang dipaksa
memilih, pada realitasnya dia memilih diantara dua bahaya. Islam telah
mengatur kaidah hukum untuk menghukumi keadaan ini, yaitu:
الضرر ال يزال بالضرر
“Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi.”
21)
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), II: 11. 22
Jalal al-Din „Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair,
Beirut: Daar al-Kutub al-„Alamiyah, tt, hlm. 86.
95
Kaidah di atas menuntut manusia untuk tidak menolak suatu
bahaya (kepentingan hukum) dengan bahaya yang lain atau semisalnya.
Namun jika manusia berada dalam kondisi ini, terdapat alternatif lain
seperti kaidah berikut:
ا تعارض مفسدتان روعى أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهماإ
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang
lebih besar mudharatnya dengan mengerjakan yang lebih ringan
mudharatnya”.
Kaidah di atas menuntut manusia untuk memilih salah satu
diantara dua bahaya yang harus dilakukan, ia dituntut untuk memilih
resiko bahaya yang lebih ringan dan menolak yang lebih berat.
Menurut hukum Islam, orang melakukan perbuatan sebenarnya
dia bukan memilih, tetapi karena terpaksa melakukannya. Namun hal ini
hanya berlaku pada jarimah yang diperbolehkan atau yang dihapuskan
karena adanya paksaan, seperti memakan bangkai, meminum darah,
dipaksa untuk berkata kafir, dipaksa berzina, dan tidak berlaku bagi
pembunuhan, pemotongan anggota badan, atau pemukulan yang
mematikan.
Dalam Islam, orang yang melanggar dua kaidah hukum tersebut
dan menolak bahaya dengan bahaya yang semisal, dalam artian
melakukan tindak pidana atau menolak bahaya yang lebih ringan dengan
bahaya yang lebih berat itu berarti dia telah memilih. Adanya pilihan ini
23
Ibid., hlm. 87.
96
tidak menghilangkan tanggung jawab pidana dan juga tidak
menghapuskan sekalipun cakupan pilihan itu sempit.
Hukum Islam menerapkan secara akurat dua kaidah dharurah
tersebut. Jika orang terpaksa melakukan pembunuhan, ia melakukan
perbuatan tersebut untuk membela diri dari ancaman yang membahyakan
jiwanya. Orang yang dipaksa tidak boleh menolak bahaya dengan bahaya
yang semisalnya atau dengan bahaya yang lebih berat darinya. Adapun
jika dia melakukan hal itu, berarti dia memilih (menggunakan hak pilih).
Pilihan ini meski dalam cakupan yang sempit, tidak akan menghapus
tanggung jawab pidananya. Oleh karena itu hukuman tetap berlaku pada
tindak pidana pembunuhan, pemotongan dan pemukulan yang
mematikan.
Seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, orang
tersebut wajib dikenakan sanksi qisas, dengan alasan ia telah
menghilangkan nyawa manusia yang harus dijaga. Penerapan sanksi
qisas ini dilaksanakan agar manusia tidak gampang untuk menumpahkan
darah antar sesamanya dan mencegah balas dendam dari pihak korban.
Islam menetapkan sanksi qisas untuk kejahatan pembunuhan
sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 178.
Dalam kaitannya dengan ikrah dan dharurah dalam tindak
pidana pembunuhan, menurut kaidah di atas seseorang yang mendapat
ancaman dan kemudian dipaksa untuk melakukan pembunuhan dan ia
97
benar-benar melakukan pembunuhan, maka paksaan tersebut tidak dapat
menghapuskan hukuman atas tindak pidana yang telah dilakukannya.
Fuqaha berbeda pendapat mengenai sanksi yang dijatuhkan
kepada pelaku overmacht dalam tindak pidana pembunuhan. Malikiyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa jika seseorang dipaksa untuk
membunuh orang yang tidak berhak dibunuh, maka hukumannya adalah
qisas, karena menjadi orang yang melakukan perbuatan langsung dalam
pembunuhan24
.
Pendapat ulama Hanafiah terdapat 3 pendapat. Pertama, Zufar
menyatakan bahwa qisas berlaku pada orang yang terpaksa karena
perbuatan membunuh itu dilakukan oleh orang yang terpaksa.25
Kedua,
Abu Yusuf menyatakan bahwa qisas tidak berlaku pada orang yang
terpaksa membunuh akan tetapi berlaku diyat bagi pemaksa. Orang yang
dipaksa tidak dikategorikan sebagai pembunuh, karena pada dasarnya
perbuatan bukan lahir dari dirinya, dan sama sekali tidak diinginkan oleh
orang yang dipaksa.26 Ketiga, Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwasanya orang yang dipaksa tidak dikenakan qisas melainkan
diyat,karena orang yang dipaksa hanya menjadi alat bagi pemaksa.27
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa orang dipaksa membunuh
manusia yang tak berhak dibunuh dihukum qisas. Yang termasuk
24
Perbuatan langsung dalam pembunuhan adalah perbuatan yang mengakibatkan dan
menghasilkan kematian, yaitu perbuatan yang membawa kematian dan sebagai penyebabnya,
tanpa perantara yang lain, misalnya membunuh dengan pisau, mencekik dll Lihat Ali Yafie. Jilid 3
hlm. 204 25
Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah, Beirut: Dar al-Fikr al- Arabi, tt, hlm 546. 26
Ibid, hlm. 547 27
Muhammad Abd al-Hamid Abu Zaid Op. cit, hlm. 110
98
membunuh dengan sengaja seperti membunuh dalam keadaan darurat
untuk mendapatkan makanan. Hal tersebut lebih utama daripada paksaan.
Karena orang yang dalam keadaan darurat yakin akan menghadapi
kesulitan, berbeda dengan orang yang dipaksa.28
Dari beberapa pendapat di atas, terjadi perbedaan mengenai jenis
hukuman bagi pelaku pembunuhan, karena overmacht. Ulama Malikiyah,
Hanabilah, Syafi‟iyah dan Zufar berpendapat bahwa hukumannya adalah
qisas. Sedangkan Abu Yusuf dan Imam Abu Hanifah menjatuhkan
hukuman diyat dan ta’zir. Sedangkan Imam Abu Hanifah, Muhammad,
Daud al-Zahiri, Imam Ahmad Bin Hambal dan Imam Syafii, dalam salah
satu pendapatnya bahwa hukuman bagi orang yang dipaksa membunuh
adalah ta’zir.29
Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw.;
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu „anhu berkata bahwa
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
mengampuni beberapa perilaku umatku, yakni keliru, lupa dan
apa yang dipaksakan terhadapnya.” (HR. Ibnu Majah)
Atas dasar inilah jumhur fuqaha menetapkan bahwa diantara
syarat dapat diberlakukannya qisas31
adalah pembunuhan harus
28
Muhammad Abd al-Hamid Abu Zaid Ibid., hlm. 110 29
Wahbah al-Zuhaily, Nazariyyah al-darurah al Syar’iyah ma’a al Qanun al-Wad’i, terj.
Said Agil al-Munawar dan M. Hadri Hasan, “Konsep Darurat dalam Hukum Islam”, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1997, hlm.101. 30
Abi „Abdillah Muhammad Ibn Zaid al-Qazwainy, Loc.Cit,. hlm. 69. 31
Syarat-syarat diberlakukannya qisas bagi pelaku adalah; pelaku harus mukallaf, pelaku
melakukan pembunuhan dengan sengaja, dan pelaku haruslah orang yang mempunyai kebebasan
(bukan orang yang dipaksa).
99
dilakukan atas kehendak sendiri, bukan karena paksaan.32
Hukum Islam
yang melarang pembunuhan dengan alasan dharurah. Hukuman yang
dijatuhkan atas perbuatan ini sama dengan hukuman dalam ikrah atas
pembunuhan.
Dalam memberikan sanksi terhadap pelaku pembunuhan, Islam
tidak terpaku hanya pada satu hukum saja, akan tetapi memberikan
alternatif baik pembunuhan itu sengaja atau pembunuhan yang tidak
disengaja. Bahkan Islam memberikan pilihan bagi keluarga terbunuh
dalam memberikan sanksi terhadap pelaku antara qisas atau memaafkan
dan disuruh pilih pula memberikan maaf dengan tidak memberikan ganti
apa-apa.
Sanksi tindak pidana pembunuhan dalam hukum Islam beraneka
ragam. Selain hukuman qisas terdapat pula hukuman yang lain seperti,
hukuman diyat, ta'zir, kafarat. Hal ini membantu para hakim dalam
melaksanakan sanksi pidana sesuai dengan jarimah yang dilakukan.
Adapun tujuan penerapan sanksi adalah untuk memperbaiki jiwa dan
mendidiknya serta berusaha menuju ketentraman dan keberuntungan
masyarakat manusia. Kemudian dalam penerapan hukuman mati syari'at
Islam tidak menghalanginya sama sekali, tetapi Islam mengadakan aneka
rupa syarat untuk menyempitkan pelaksanaan hukuman tersebut dan
memberikan keringanan apabila ada maaf dari pihak terbunuh.
32
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta:Sinar Grafika, 2005 hlm. 154.
100
Hukum Islam sebagai realisasi hukum Islam menerapkan
hukuman dengan tujuan untuk menciptakan ketentraman individu dan
masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang dapat
menimbulkan kerugian dalam masyarakat.33
Islam sangat memperhatikan
kemaslahatan dengan memberikan perlindungan terhadap agama, jiwa,
keturunan, harta dan akal.
Dengam demikian, maka dapat di fahami bahwa dalam hukum
Islam, tujuan hukum qisas adalah, untuk melindungi hak Allah atas
hamba dalam masyarakat, terutama menyangkut hak hidup seseorang.
Sebagaimana disebutkan dalam Q.S al-Baqarah ayat 179;
Artinya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa”.34
(Q.S. al-Baqarah: 179)
Dari ayat ini maka dapat dilihat bahwa qisas merupakan akibat
dari kejahatan terhadap manusia. Tujuannya adalah untuk menjamin
kelangsungan hidup manusia. Dengan demikian artinya, jika qisas itu
dilaksanakan maka kelangsungan hidup manusia di dunia akan terjamin.
Dari ayat diatas jelas menunjukan bahwa hukuman merupakan sarana
sebagai sebuah jaminan terhadap hak-hak dan kelangsungan hidup
manusia.
33
Makhrus Munajat, Op. Cit, hlm 124 34
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,Bandung: Diponegoro, 2010,
hlm. 27.
101
Secara umum si korban tidak memiliki hak untuk memaafkan
hukuman, akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku bagi tindak pidana
pembunuhan. Pemaafan dalam dalam surat al-Baqarah ayat 178 berupa
pilihan yang bersyarat, sebagaimana disebutkan bahwa diyat adalah
langkah alternatif sebagai pengganti qisas. Pemaafan pada hukuman
qisas oleh keluarga korban tidak dikhawatirkan akan mengganggu
keamanan dan ketertiban umum.
Menurut penulis, hukuman qisas dalam hukum Islam tidak
semata-mata diorientasikan pada perlindungan dan pemberantasan
kejahatan, tetapi lebih dari itu ditujukan pada pemberian jaminan
rehabilitasi pada si korban untuk tetap mendapatkan haknya untuk
mendapatkan kembali posisi sosialnya yang setara dengan orang lain.
Hukuman qisas atas pembunuhan yang disebabkan karena ikrah
dan dharurah merupakan hukuman yang tertinggi dalam al-Qur‟an.
Hakim dalam kasus ini dapat menentukan hukuman yang lebih rendah
atas persetujuan korban atau walinya. Hukum diyat dan ta’zir merupakan
hal yang sangat mungkin diterapkan dalam masalah pembunuhan.Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi adalah hal yang tidak
dapat dipisahkan dari bahwa pelaku overmacht dalam tindak pidana
pembunuhan.
2. Analisis Penerapan Sanksi Bagi Pelaku Overmacht Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Indonesia
102
Prinsip yang dipakai dalam pasal 48 KUHP ini yaitu
mengorbankan kepentingan hukum yang lebih kecil demi untuk
melindungi atau mempertahankan kepentingan hukum yang lebih besar.35
Kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan suatu paksaan
merupakan perbuatan yang dibenarkan sehingga termasuk dalam
overmacht adalah pada resiko yang akan dihadapi itu harus seimbang
atau lebih berat dari perbuatan yang dilakukanya. Apabila kepentingan
yang dikorbankan lebih berat dari kepentingan yang diselamatkan, maka
tidak ada hal yang memaksa (overmatch), maka pelaku dalam hal ini
harus dihukum.
Wiryono Projodikoro memberikan kriteria yang berbeda
mengenai overmacht. Beliau berpendapat bahwa apabila kepentingan
yang dikorbankan hanya sedikit lebih berat dari kepentingan yang
diselamatkan, atau kepentingan itu sama beratnya, maka ada hal yang
memaksa dan pelaku tidak dikenai hukuma pidana.36
Kriteria ini tentu
memberikan pengertian bahwa dalam kondisi terpaksa diperbolehkan
memilih bahaya yang lebih berat atau sama berat untuk menghindari
bahaya yang lebih ringan. Ukuran seimbang atau lebih berat yang
dimaksud adalah terletak pada akal manusia pada umumnya. Jadi di sini
terdapat ukuran objektif yang sekaligus subjektif. Ukuran subjektif yaitu
terletak pada akal manusia, sedangkan ukuran objektif adalah bagi orang
35
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2002,
hlm. 32 36
Wiryono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989,
hlm. 84.
103
normal pada umumnya. Ukuran subjektif dan objektif ini haruslah
digunakan secara bersama. Tidak boleh subjektif saja misalnya hanya
pada akal dan perasaan si pembuat, tetapi harus pada akal pikiran bagi
orang pada umumnya. Hakimlah yang berwenang menilai dan
menentukan telah dipenuhinya syarat subjektif maupun objektif tersebut,
dan dia harus mampu menangkap akal pikiran bagi semua orang terhadap
resiko atas suatu pilihan perbuatan tertentu berdasarkan akal budi yang
dimilikinya.37
Apabila resiko perbuatan yang dilakukanya lebih kecil, maka
disini tidak ada daya paksa relatif. Misalnya orang dipaksa untuk
membunuh orang lain dengan ancaman akan ditempeleng (ancaman
kekerasan) sana, tidaklah cukup menjadi alasan pembenar jika orang itu
benar melakukan pembunuhan.
Dalam hukum pidana Indonesia, tindak pidana pembunuhan yang
dilakukan karena overmacht tidak dipidana, karena adanya peniadaan
pidana yang didalamnya terdapat alasan pembenar yang menyebabkan
hapusnya sifat melawan hukum perbuatan, sehingga apa yang dilakukan
terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tidak pidananya
terdakwa karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya
perbuatan. Meskipun dalam kenyataannya perbuatan terdakwa telah
memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi karena hilangnya sifat
melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana.
37
Zainal Abidin Farid. Hukum Pidana I,
104
Selain alasan pembenar, juga terdapat alasan pemaaf karena
orang yang melakukan perbuatan karena terdorong oleh overmacht itu
sebernarnya terpaksa melakukan karena didorong oleh suatu tekanan
bathin yang datangnya dari luar, maka fungsi batinnya menjadi tidak
normal. Oleh karena itu seseorang yang melakukan pembunuhan karena
dalam keadaan terpaksa dan dalam pembuktian di persidangan benar-
benar terbukti adanya overmacht, maka terdakwa dinyatakan lepas dari
segala tuntutan. Namun jika dalam pembuktian tidak terbukti adanya
overmacht dalam tindak pidana pembunuhan, dengan
mempertimbangkan kaidah terdapat dalam psal 48 KUHP, maka pelaku
dapat dijatuhkan hukuman sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP
mengenai kejahatan terhadap nyawa khususnya pasal 338 KUHP
Dalam hal keadaan darurat misalnya dalam kasus pembunuhan
yang terjadi di Pengadilan Negeri Denpasar sebagaimana penulis
jelaskan dalam bab sebelumnya. Menurut hukum pidana Indonesia,
meski perbuatan tersebut kenyataannya telah memenuhi unsur pasal 338
KUHP tentang pembunuhan, namun karena keadaan darurat (overmacht),
perbuatan tersebut tidak dipidana.
Menurut pendapat penulis, hukum pidana Indonesia cenderung
memanjakan pelaku dengan adanya overmacht sebagai alasan
menghapuskan hukuman. Tindak pidana pembunuhan digolongkan
sebagai tindak pidana murni dan hanya termasuk dalam wilayah hukum
publik, sehingga wewenang penjatuhan hukuman berada sepenuhnya
105
pada penguasa atau negara, tanpa campur tangan dari pihak keluarga
korban untuk menuntut ganti rugi terhadap pelaku dengan mengganti
hukuman lainnya.
Dari paparan di atas, terdapat persamaan dalam hukum Islam dan
hukum pidana Indonesia yaitu keduanya menkategorikan overmacht
dalam tindak pidana pembunuhan sebagai pembunuhan sengaja. Adapun
perbedaan baik dalam hukum Islam maupun hukum pidana Indonesia
mengenai overmacht dalam tindak pidana pembunuhan yang penulis
gambarkan dalam tabel berikut:
Perbedaan overmacht dalam tindak pidana pembunuhan
Perbedaan
Hukum Islam Hukum Pidana Indonesia
a. Penerapan overmacht dalam suatu
tindak pidana terbagi menjadi tiga
yaitu sebagai;
sebab diperbolehkannya tindak
pidana
sebab yang dapat menghapus
hukuman atas tindak pidana,
perbuatan yang dilarang (tidak
berpengaruh terhadap tindak
pidana)
b. Overmacht dalam tindak pidana
pembunuhan termasuk dalam
a. Overmacht dalam hukum pidana
Indonesia sebagai sebab/alasan
yang dapat menghapuskan
hukuman
b. Overmacht dalam tindak pidana
pembunuhan menjadi sebab yang
menghapuskan hukuman bagi
106
perbuatan yang dilarang, sehingga
pelaku harus dijatuhi hukuman
c. Sebab/alasan penjatuhan hukuman
bagi pelaku adalah karena pelaku
melakukan pembunuhan sengaja
d. Hukuman bagi pelaku tindak
pidana pembunuhan karena
overmacht adalah qisas, diyat, atau
ta‟zir
pelaku.
c. Sebab/alasan hapusnya hukuman
adalah karena adanya alasan
pemaaf dan alasan pembenar
d. Pelaku dinyatakan lepas dari segala
tuntutan hukum
Dalam hukum Islam terdapat beberapa kelebihan mengenai
penerapan overmacht dibandingkan dengan hukum pidana Indonesia
yaitu:
a. Islam mengatur secara rinci dalam masalah overmacht
mengenai jenis tindak pidana yang diperbolehkan, tindak
pidana yang hukumannya dapat terhapus, dan tindak pidana
yang tidak dapat dipengaruhi oleh paksaan. Pengaturan ini
menurut penulis didasarkan pada tingkat kejahatan yang
dilakukan serta pertimbangan kemaslahatan bagi manusia.
Dalam hukum pidana Indonesia, semua tindak pidana yang
dilakukan karena overmacht, maka tidak dijatuhi hukuman
(terhapus).
b. Islam mengatur secara ketat mengenai syarat-syarat
berlakunya overmacht. Sedangkan dalam hukum pidana
107
Indonesia, tidak terdapat syarat yang mengatur tentang
overmacht.
c. Adanya hukuman qisas, diyat ataupun ta’zir bagi pelaku
tidak semata-mata diorientasikan pada penegakan keadilan
(ta’addul), tetapi lebih dari itu ditujukan pada pemberian
jaminan bagi keluarga korban untuk tetap mendapatkan
haknya. Sedangkan dalam hukum pidana Indonesia, keluarga
korban tidak memiliki hak apapun atas kematian korban.
108
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Overmacht dalam hukum pidana Islam terbagi menjadi tiga kategori
hukum yaitu sebagai sebab yang memperbolehkan perbuatan yang
diharamkan, sebagai sebab hapusnya hukuman suatu tindak pidana dan
overmacht tidak dapat mempengaruhi hukuman suatu tindak pidana.
Konsep overmacht tidak berpengaruh dalam tindak pidana pembunuhan,
karena orang yang dipaksa melakukan pembunuhan terhadap korbannya
itu dengan cara disengaja dan melawan hukum, disertai keyakinan bahwa
membunuh korban menyebabkan jiwanya selamat dan terhindar dari
kejahatan pemaksa atau bahaya. Dalam kondisi bagaimanapun dilarang
untuk melakukan pembunuhan, kecuali dengan alasan yang benar seperti
murtad, orang yang menikah berzina , dan membunuh sesama muslim
yang terpelihara jiwanya, dan penguasa yang menjalankan perintah syariat
untuk melakukan pembunuhan.
Sedangkan dalam hukum pidana
Indonesia, overmacht merupakan dasar yang dapat menghapuskan
hukuman suatu tindak pidana yang terdiri dari alasan pembenar dan
alasan pemaaf, sehingga dalam tindak pidana pembunuhan yang timbul
oleh sebab overmacht menjadikan tindak pidana tersebut bukan
merupakan tindak pidana.
109
2. Dalam menetapkan sanksi hukum bagi pelaku overmacht dalam tindak
pidana pembunuhan, Islam lebih menitikberatkan pada tindak pidana
pembunuhan, karena adanya overmacht tidak dapat mempengaruhi
hukuman, maka dari itu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku adalah
qisas, diyat, dan ta’zir Berbeda dengan hukum pidana Indonesia, dengan
adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar, maka pelaku tindak pidana
pembunuhan karena overmacht dinyatakan lepas dari segala tuntutan.
Islam sangat menghormati dan menjaga hak asasi manusia. Jiwa
merupakan salah satu bagian dari al-dharuriya al-khamsah yang harus
dilindungi. Dari gambaran ini, dapat diketahui bahwa sanksi merupakan
hal yang tidak dapat dipisahkan dari pelaku overmacht dalam tindak
pidana pembunuhan.
B. Saran-saran
Penulisan karya ilmiah ini hanya bersifat kajian akademik terhadap
fenomena sosial yang terjadi di Indonesia dan didukung oleh sumber-sumber
referensi yang melengkapi kajian ini.
Bukan tanpa alasan penulis melakukan penelitian ini. Tetapi ada
semangat dalam diri penulis untuk lebih mengetahui sejauh mana konsepsi
overmacht dalam tindak pidana pembunuhan sebagai wacana bahan bacaan
bagi para penikmat baca untuk bisa dijadikan bahan kajian dan diskusi yang
memang perlu untuk lebih dipahami.
110
Dalam penulisan ini penulis mengandung maksud: Pertama, kepada
pembaca untuk dapat memikirkan maupun menginterpretasikan dan
merenungkan kembali konsepsi overmacht dalam perspektif hukum pidana
Islam maupun dalam KUHP. Kedua, dalam overmacht dalam tindak pidana
pembunuhan memang perlu dipertimbangkan maslahahnya demi terciptanya
nuansa hukum di Indonesia yang adil. Dan yang ketiga, untuk dijadikan bahan
pertimbangan dalam pembentukan hukum yang nantinya diharapkan dengan
adanya undang-undang yang tegas terkait dengan kejahatan maka akan
memperkecil jumlah kerusakan moral di Indonesia.
C. Penutup
Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah Allah. Penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini dan tentunya tidak ada kebenaran kecuali dari
petunjuknya dan hanya Allah lah segala kebenaran yang hakiki. Serta dengan
terselesaikannya karya ilmiah ini juga adalah tidak lepas dari kehendaknya.
Shalawat dan salam penulis juga haturkan pada Nabi agung Muhammad saw.
Dengan perbuatan, ucapan dan tindakan beliau sebagai penjelas akan firman
Allah yang merupakan rahmatan lilalamiin untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Dengan segala kerendahan hati, permohonan maaf penulis
sampaikan kepada beberapa pihak. Kritik dan saran konstruktif penulis
nantikan dalam rangka perbaikan penulisan skripsi ini. karena penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan
skripsi ini dan tentunya tidak lepas dari keterbatasan kemampuan yang
111
dimiliki oleh penulis, dimana tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini
dan kesempurnaan hanya milik Allah swt.
Dan akhirnya penulis hanya bisa berharap mudah-mudahan
penulisan ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca
pada umumnya. Untuk bisa mendiskusikan kembali mengambil nilai positif
dan menghilangkan yang negatifnya. Amien.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hattab, Mawahib al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, Jilid 4, Beirut: Daar al-
Fikr Al-“Arabiy, tt.
al-Munawar, Said Agil, dan M. Hadri Hasan, Konsep Darurat dalam Hukum
Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
al-Munawar, Said Agil, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani,
2004.
al-Qazwainy, Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Zaid, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1,
Beirut: Dar al-Fikr, tt.
al-Suyuthi, Jalal al-Din ‘Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakr, al-Asybah wa al-
Nadhair, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.
Awdah, Abdul Qadir, Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy, Jilid 2, Beirut: Muassasah al-
Risalah, tt.
Bisri, Adib, dan Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999.
Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka,
2002.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Karya Agung,
2006.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 2005.
E., Sumaryoto. Hermeunetik; Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius,1993.
Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Hadawi, dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 1996.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, Yogyakarta: Andi Offset, 1990
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Hamzah, Andi, Azas-azas Hukum Pidana , Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Hamzah, Andi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta,
2006.
Haroen, Lihat Nasrun, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001,
hlm.305
HS, Ali Imron, Pertanggungjawaban Hukum,Semarang: Walisono Press, 2009.
Khallaf, Abdul Wahab, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo: Da’wah Islamiyah al-Azhar,
tt.
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru 1990.
Moeljatno. Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 2005.
Munajat,Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indonesia,Yogyakarta: TERAS. 2009
Nujaim, Ibnu, Al Bahru al-Raa’iq syarh Kanzid daqaa’iq, Jilid VIII, Beirut: Daar
al-Fikr Al-“Arabiy, tt.
Projodikoro, Wiryono, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Eresco,
1981.
Qudamah, Muhammad Abdullah Ibnu, Al-Mughni ‘Ala Mukhtashar Al-Kharaqy,
Jilid 9, Beirut: Daar al-Fikr al Arabiy.
Sahetapy, J.E.,Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1995..
Saleh, Roeslan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya,
Jakarta, Aksara Baru, 1987.
Saleh, Roeslan, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana,Jakarta: Aksara
Baru, 1987.
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Shihab,M. Quraish, Tafsir al Misbah, Jilid VII,
Siagian, Hardianto,, “Overmacth Menurut Hukum Islam dan Hukum Pidana
Indonesia”, Skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2010.
Simorangkir dkk., Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Soekanto, Soerdjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001.
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990.
Syah, Ismail Muhammad, FilsafatHukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Syarifudin, Amir, Garis-garis Besar Islam.Jakarta: Prenada Media Grup,2008.
Umar, Anshari dkk., Tafsir al Maraghi, Juz XVII, Semarang: Toha Putra, 1993
Usamah, Pertanggungjawaban Pidana dalam Perspektif Hukum Islam, Tesis,
Medan: Uiversitas Sumatra Utara, 2008, hlm.
Utrecht, Hukum Pidana 1, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994.
Yafie, Ali dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jakarta: Kharismu Ilmu, 2007.
Zahrah, Muhammad Abu, al-Jarimah, Beirut: Dar al-Fikr al- Arabi, tt.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Muh Wahib Muslim
Tempat/tanggal lahir : Magelang/ 04 Nopember1986
Alamat : Dusun Ngadikromo, RT/RW: 02/VI, Desa Sidomulyo,
Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang.
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Jenjang pendidikan :
1. SD N Sidomulyo II Salaman Magelang Tahun lulus 1998
2. SMP N Tempuran I Tempuran Magelang Tahun lulus 2001
3. SMA Nurul Islami Semarang Tahun lulus 2004
3. Kimia FMIPA UNNES Semarang Tidak selesai
4. Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Tahun Angkatan 2006
Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya dan semoga dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, Juni 2011
Penulis,
Muh Wahib Muslim
NIM. 062211009