Outline Naskah Akademik - Belajar jadi Guru | Sekedar ... · Web viewMata Pelajaran Bahasa...

89
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris Bab I : Pendahuluan Seiring dengan adanya kesadaran-kesadaran baru tentang apa yang diperlukan oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi globalisasi yang mengharuskan warga negara ini untuk berkomunikasi dengan warga dunia lainnya, dilakukanlah usaha untuk meninjau dan menata kembali kurikulum mata pelajaran di semua jenjang persekolahan di Indonesia. Disadari bahwa untuk menyiapkan sumber daya manusia yang dapat bertahan dalam era global maka pendidikan, termasuk pendidikan bahasa Inggris, harus mampu memberi bekal yang memadai agar lulusan sekolah dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan akademik, sosial, ekonomi dan sebagainya yang pada dasarnya merupakan realisasi dari gaya hidup moderen. Kemampuan untuk mengambil bagian aktif dalam kehidupan ini dirumuskan dengan istilah kompetensi. Richards (2001:129) menyebutkan bahwa istilah kompetensi mengacu kepada perilaku yang dapat diamati yang diperlukan untuk menuntaskan kegiatan sehari-hari dengan berhasil. Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka hasil pembelajaran seharusnya juga dirumuskan sesuai dengan harapan pihak-pihak yang akan menggunakan lulusan sekolah 1

Transcript of Outline Naskah Akademik - Belajar jadi Guru | Sekedar ... · Web viewMata Pelajaran Bahasa...

Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Mata Pelajaran Bahasa Inggris

Bab I : Pendahuluan

Seiring dengan adanya kesadaran-kesadaran baru tentang apa yang diperlukan

oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi globalisasi yang mengharuskan warga negara

ini untuk berkomunikasi dengan warga dunia lainnya, dilakukanlah usaha untuk meninjau

dan menata kembali kurikulum mata pelajaran di semua jenjang persekolahan di

Indonesia. Disadari bahwa untuk menyiapkan sumber daya manusia yang dapat bertahan

dalam era global maka pendidikan, termasuk pendidikan bahasa Inggris, harus mampu

memberi bekal yang memadai agar lulusan sekolah dapat berpartisipasi dalam berbagai

kegiatan akademik, sosial, ekonomi dan sebagainya yang pada dasarnya merupakan

realisasi dari gaya hidup moderen. Kemampuan untuk mengambil bagian aktif dalam

kehidupan ini dirumuskan dengan istilah kompetensi.

Richards (2001:129) menyebutkan bahwa istilah kompetensi mengacu kepada

perilaku yang dapat diamati yang diperlukan untuk menuntaskan kegiatan sehari-hari

dengan berhasil. Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka hasil pembelajaran seharusnya

juga dirumuskan sesuai dengan harapan pihak-pihak yang akan menggunakan lulusan

sekolah sehingga rumusannya berhubungan dengan pekerjaan yang akan dipilih siswa.

Konsep ini ternyata juga diadopsi di negara-negara seperti Amerika dan Australia dalam

konteks pengajaran bahasa yang dikenal dengan Competency-Based Language Teaching

yang disingkat CBLT. CBLT didasarkan kepada model rancangan kurikulum yang

memperhatikan faktor efisiensi ekonomi dan sosial yang memberikan kemampuan

kepada siswanya untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat (Richards

2001:132)

Perkembangan terkini yang terjadi di negara seperti Australia dan Amerika

Serikat menunjukkan pergerakan menuju pengembangan “standar”. Standar, atau yang

lazim disebut benchmark, diterapkan untuk mengukur tingkat literasi (kewicaraan dan

keaksaraan) siswa. Silabus bahasa Inggris sekolah dasar Australia, misalnya, secara jelas

1

merumuskan standar literasi apa yang diharapkan dicapai siswa pada tiap akhir tahun

pelajaran. Di Amerika Serikat, pengajaran bahasa kedua dan bahasa asing pun telah

memasuki era standar ini. Organisasi profesi pengajar bahasa Inggris TESOL, misalnya,

telah mengembangkan standar-standar dalam bentuk kompetensi yang harus dicapai

siswa mulai taman kanak-kanak hingga kelas dua belas (Richards 2001:133). Tujuannya

tak lain adalah untuk memberi kemampuan kepada lulusan agar dapat berpartisipasi

dalam dunia yang senantiasa berubah.

Selain kesadaran-kesadaran baru yang dimotivasi oleh perubahan praktis dalam

kehidupan sehari-hari, terjadi pula kesadaran-kesadaran baru pada tataran teoretis atau

filosofis yang membentuk paradigma baru dalam memaknai pengajaran bahasa.

Pemaknaan baru yang antara lain disebabkan oleh hasil-hasil penelitian di bidang

linguistik terapan otomatis mempengaruhi kurikulum pengajaran bahasa. Ini adalah

perubahan alami sebab pengembangan kurikulum berada dalam area linguistik terapan

(Richards 2001:2). Kemajuan-kemajuan temuan di bidang ini tampaknya juga telah

mempengaruhi kurikulum-kurikulum di negara maju seperti Amerika, Inggris, Australia,

Singapura dan sebagainya. Perubahan yang cukup signifikan adalah diletakkannya

wacana atau discourse dalam posisi sentral.

Meskipun kesadaran akan pentingnya wacana dalam dunia pendidikan bahasa

telah ada selama kurang lebih tiga puluh tahunan, namun baru belakangan ini analisis

wacana memasuki jalur utama dalam pendidikan bahasa asing di sekolah-sekolah dan

perguruan tinggi di Eropa dan Amerika (Kern 2000:18). Pergeseran paradigma

pengajaran bahasa menuju ke pengajaran bahasa yang menyiapkan siswanya untuk

memiliki kompetensi agar dapat berpartisipasi dalam masyarakat moderen ini disebut

oleh Kern (2000:15) sebagai pendekatan literasi. Pendekatan ini menurut Kern:

- represents a style of teaching educator ought to consider if they wish to

prepare learners for full participation in societies that increasingly

demand multilingual, multicultural and multitextual competence. (Kern

2000:16)

2

Berpartisipasi dalam komunikasi bahasa berarti berpartisipasi dalam penciptaan

teks, baik lisan maupun tulis. Haliday dan Hasan (1976:1) mendefinisikan teks sebagai

wacana, lisan maupun tulis, seberapapun panjangnya, yang membentuk satu kesatuan

yang utuh. Hymes (1971:10) menyebut kemampuan berkomunikasi, yang berarti

menciptakan wacana, sebagai communicative competence. Dengan demikian, kurikulum

yang mengklaim sebagai berbasis kompetensi perlu mendefinisikan secara jelas apa yang

didimaksud dengan communicative competence.

Ketegasan mengenai kompetensi apa yang perlu dikembangkan dan bagaimana

mendefinisikan kompetensi inilah yang manandai perbedaan kurikulum ini dengan

kurikulum sebelumnya. Pembahasan mengenai konsep kompetensi yang mendasari

kurikulum ini dapat ditemukan dalam Bab II. Sejauh ini dapat dikatakan bahwa

kurikulum 2004 ini berbeda dengan kurikulum pendahulunya dalam dua hal yang

mendasar. Pertama, Kurikulum ini didasarkan kepada rumusan kompetensi komunikatif

yang didefinisikan sebagai kompetensi wacana dan, kedua, untuk mencapai kompetensi

wacana tersebut digunakan pendekatan (pendidikan) literasi.

Bab II : Landasan Pengembangan

A. Yuridis (UU, PP, Kep Men)

Kurikulum ini diubah dan dikembangkan menurut ....................................

B. Empiris

Dalam Bab I di atas telah diuraikan pentingnya meninjau dan menata

kembali kurikulum sekolah, tak terkecuali kurikulum bahasa Inggris, seiring

dengan adanya kesadaran-kesadaran baru pada tataran praktis dan teoretis. Pada

tataran praktis disadari bahwa kinerja bahasa Inggris siswa Indonesia pada

umumnya belum mampu menjawab tantangan komunikasi global, sedangkan

pada tataran teoretis pendidikan bahasa perlu memiliki fokus yang jelas mengenai

kompetensi apa yang hendak dikembangkan jika siswa ditargetkan untuk dapat

berkomunikasi dalam dunia moderen.

Untuk mencapai target tersebut, kurikulum ini menetapkan terget literasi yang

dapat digunakan sebagai benchmark sebagaimana yang diusulkan Wells (1987).

3

Menurut Wells, terdapat empat tingkat literasi: performative, functional,

informational, dan epistemic. Pada tingkat performative, orang mampu membaca

dan menulis, dan berbicara dengan simbol-simbol yang digunakan; pada tingkat

fungtional orang diharapkan dapat menggunakan bahasa untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari seperti membaca surat kabar, membaca manual dsb;

pada tingkat informational orang diharapkan dapat mengakses pengetahuan

dengan bahasanya; sedangkan pada tingkat epistemic orang diharap dapat

mentransformasi pengetahuan dalam bahasa tertentu.

Dalam kurikulum ini, lulusan SLTP ditargetkan untuk dapat mencapai

tingkat functional untuk tujuan komunikasi “survival”, sedangkan lulusan SMU

diharapkan mencapai tingkat informational karena mereka disiapkan untuk masuk

ke perguruan tinggi. Oleh karenanya, jenis-jenis teks yang disarankan adalah jenis

yang mendukung tercapainya tingkat literasi akademik ini. Bahan-bahan bacaan

yang dikembangkan diharapkan meliputi genre yang ditetapkan untuk tujuan

literasi ini.

Rumusan kompetensi utama yang utuh (yakni kompetensi wacana) ini

tidak secara jelas tercantum dalam kurikulum sebelumnya. Perbedaan lainnya

ialah dalam hal pendekatan. Kurikulum sebelumnya menyarankan digunakannya

pendekatan komunikatif sedangkan kurikulum ini menggunakan pendekatan

pendidikan literasi. Penerapan pendekatan komunikatif dalam konteks bahasa

kedua atau bahasa asing dirasa berhasil dalam mendorong keberanian siswa untuk

berkomunikasi, namun gagal dalam membuat siswa berkomunikasi secara akurat.

Sejumlah laporan penelitian yang dirangkum dalam Focus on Form (Daughty,

19…) menunjukkan perlunya unsur noticing terhadap tata bahasa agar siswa

terbiasa berkomunikasi dengan benar. Ini disarankan sebab tanpa tata bahasa yang

benar komunikasi yang benar tidak dapat dijamin. Dalam pendekatan literasi

dalam konteks bahasa asing, focus on form ini mendapatkan perhatian.

Singapura, negara tetangga terdekat yang menggunakan bahasa Inggris

sebagai bahasa kedua juga telah memperbaharui dan menggunakan kurikulum

2001 yang di dalamnya secara jelas mencantumkan perlunya siswa berbahasa

Inggris yang internationally acceptable. Artinya, bahasa Inggris siswa haruslah

4

bahasa Inggris yang gramatikal yang berterima di kalangan pergaulan

internasional. Kurikulum ini juga telah melihat pendidikan bahasa Inggris sebagai

pendidikan literasi dengan memajankan siswa kepada jenis-jenis teks atau genre

yang dipelajari oleh anak-anak penutur bahasa Inggris asli. Pendidikan bahasa

dilihat sebagai pendidikan yang mengembangkan kemampuan berwacana lisan

dan tulis sebagaimana juga dinyatakan dalam Kurikulum Bahasa Inggris

Indonesia 2004.

C. Teoretis

Kurikulum 2004 ini menggunakan beberapa landasan teoretis yang

meliputi model kompetensi komunikatif yang dirancang oleh sekelompok ahli

Amerika (Celce Murcia et al. 1995), teori (model) bahasa fungsional, atau bahasa

sebagai semiotika sosial, yang dipelopori oleh ahli bahasa asal Inggris M.A.K.

Halliday (1978), serta teori literasi dan penerapannya dalam pengajaran bahasa

(Kern 2000). Penjelasan yang diberikan oleh Kern ini sebenarnya merupakan

rangkuman dari praktek pendidikan literasi yang telah dipraktekkan di Inggris,

Australia, Amerika Utara dan di negara maju lainnya.

1. Model Kompetensi

Model kompetensi Celce-Murcia et al. (1995) dipilih dari sejumlah model

kompetensi yang ada sebab model ini sengaja dibangun untuk tujuan memberikan

pedoman bagi mereka yang meneliti atau berurusan dengan bidang pendidikan

bahasa. Model ini tidak sama sekali baru, tetapi merupakan hasil “evolusi” dari

model-model yang berkembang sebelumnya terutama model Canale (1983) yang

menjadi basis pengembangan model-model lainnya. Dalam model kompetensi

Celce-Murcia et al. ini (1995) kemampuan berkomunikasi dimaknai sebagai

kompetensi (ber)wacana. Model tersebut digambarkan sebagai berikut:

5

Diagram 1: Model Kompetensi Komunikatif (Celce Murcia et al. 1995:10)

Representasi skematik di atas menunjukkan bahwa kompetensi utama yang dituju

oleh pendidikan bahasa adalah kemampuan berkomunikasi atau Discourse

Competence atau Kompetensi Wacana (KW). Artinya, jika seseorang berkomunikasi

baik secara lisan maupun tertulis orang tersebut terlibat dalan wacana sebab makna

apapun yang ia peroleh dan ia ciptakan selalu terkait dengan konteks budaya, situasi

yang melingkupinya. Berpartisipasi dalam percakapan, membaca dan menulis secara

otomatis mengaktifkan kompetensi wacana yang berarti menggunakan seperangkat

strategi atau prosedur untuk merealisasi nilai-nilai yang terdapat dalam unsur-unsur

bahasa, tata bahasa, isyarat-isyarat pragmatiknya dalam menafsirkan dan

mengungkapkan makna (McCarthy dan Carter 2001:88).

Kompetensi wacana hanya dapat diperoleh jika siswa memperoleh kompetensi

pendukungnya seperti Kompetensi Linguistik (Linguistic Competence), Kompetensi

Tindak Tutur untuk bahasa lisan atau Kompetensi Retorika untuk bahasa tulis

(keduanya tercakup dalam Actional Competence), Kompetensi Sosiokultral

6

Socio-cultural

competence

Actional Competence

Linguistic Competence

Strategic Competence

Discourse Competence

(Sociocultural Competence), dan Kompetensi Strategis (Strategic Competence).

Celce-Murcia et al. menjabarkan tiap komponen ini menjadi seperangkat sub-

komponen yang dapat dipakai sebagai pedoman bagi pembelajaran bahasa.

Seperangkat sub-komponen tersebut sangat membantu dalam mengidentifikasi apa

saja yang perlu ditangani atau dicakup oleh sebuah program pendidikan bahasa

sebagai declarative knowledge; pengetahuan tentang seluk beluk bahasa.

Implikasi pedagogisnya adalah bahwa perumusan kompetensi dan hasil belajar

bahasa Inggris perlu didasarkan kepada komponen-komponen tersebut di atas untuk

menjamin bahwa kegiatan pendidikan yang dilakukan mengarah kepada tercapainya

satu kompetensi utama, yakni kopetensi wacana. Oleh karenanya, hasil-hasil belajar

dalam kurikulum ini dirumuskan berdasarkan kelima komponen dalam model

kompetensi ini. Selanjutnya, setiap hasil belajar dijabarkan berdasarkan daftar sub-

komponen dan pertimbangan-pertimbangan lain yang relevan.

Penting untuk dicatat bahwa seperangkat komponen yang berupa daftar tersebut

bukan representasi kompetensi wacana karena Kompetensi Wacana lebih mengacu

kepada strategi atau prosedur untuk ‘memobilisasi’ seluruh declarative

knowledge dalam konteks komunikasi nyata untuk menciptakan makna yang sesuai

konteks komunikasinya. Kemampuan ini lazim disebut procedural knowledge. Ini

berarti bahwa pengajaran bahasa tidak dapat dipecah-pecah per kelompok kompetensi

(linguistic, actional, sociocuktural, strategic, discourse) melainkan diarahkan kepada

pemerolehan kompetensi wacana dengan melihat kepada kelompok kompetensi

sebagai alat monitor yang membantu penyadaran akan adanya komponen tersebut.

2. Model Bahasa

Landasan teori utama yang kedua adalah teori bahasa fungsional M.A.K. Halliday

(1978) yang digambarkan dengan model stratifikasi dan metafungsi sebagaimana

terlihat dalam diagram 2 dan 3 berikut ini.

7

Diagram 2: Stratifikasi Bahasa (Matthiessen 1995:9)

Diagram Matthiessen (1995) di atas menunjukkan kegiatan apa yang

terlibat dalam kegiatan berkomunikasi. Pertama, orang berkumunikasi karena

mempunyai makna yang harus disampaikan. Makna tersebut tentunya makna yang

dimiliki dan difahami oleh masyarakat penggunanya. Dengan kata lain, orang

memilih makna dari sekian banyak makna yang ada dalam konteks budaya bahasa

tersebut. Misalnya, untuk mengumumkan bahwa anak Bapak Hendra telah menikah

(dan ini biasa dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya), Pak Hendra perlu

melakukan banyak hal. Jadi, maksud “mengumumkan” (dengan cara tertentu)

tersebut masih pada tataran yang paling tinggi, yakni tataran sistem budaya.

Salam rangka mengumumkan, orang kemudian memilih berbagai tindak tutur

pada tataran di bawahnya, yakni sistem semantis (discourse semantic), seperti

meminta tolong, mengundang, memesan, memberi perintah dan sebagainya. Untuk

melakukan tindak-tindak tutur ini orang perla menggunakan kemampuan atau

kompetensi linguistiknya, yakni tata bahasa, kosa kata atau leksikogramatika. Tataran

leksilogramatika ini merealisasi tataran semantis. Estela ia memutuskan untuk

menggunakan kalimat tertentu, kemudia orang merealisasinya dengan bunyi-bunyi

atau tulisan (fonologi atau grafologi).

8

Model ini menunjukkan bawa ketika orang berkomunikasi, ia berangkat dari

makna, bukan dari kata-kata dan tata bahasa. Sebuah makna (tindak tutur)

“mengundang” misalnya, bisa direalisasikan dalam berbagai macam ungkapan

(kalimat) tergantung siapa yang diundang (orang tua, anak-anak, teman sebaya dll.),

jalar yang digunakan (lisan atau tulis) faktor-faktor lainnya. Setelah gaya bahasanya

dipilih, kemudian orang merealisasikannya dalam bunyi atau tulisan. Pada tahap ini

pun, biasanya terdapat variasi. Kepada orang tua, misalnya, orang cenderung

berbicara dengan jelas dan cukup nyaring, sementara kepada teman remaja sebaya

cara pengucapan bunyi mungkin dilakukan dengan gaya yang lain.

Berdasarkan teori ini, kemampuan berkomunikasi ditengarai dengan cara

seberapa mampu seseorang merealisasi makna yang ingin ia sampaikan dalam

berbagai konteks komunikasi. Jika makna yang dimaksudkan dapat difahami dengan

baik oleh mitra komunikasinya, dan mitra komunikasinya memberikan tanggapan

yang menunjukkan pemahaman, maka komunikasi ini berhasil. Oleh karenanya,

tindak bahasa (tindak tutur atau langkah retorika) menjadi unit atau satuan penting

dalam rangka mengembangkan kompetensi wacana.

Akan tetapi, makna bukanlah sebuah entitas yang memiliki bentuk fisik yang

dapat dilempar ke sana dan ke sini dalam bentuk yang tidak berubah. Makna adalah

sesuatu yang abstrak dan pemaknaannya tidak hanya tergantung kepada

pembicaranya, tetapi juga tergantung kepada kemampuan lawan bicara untuk

memaknai ujaran orang. Dalam sebuah ujaran, terdapat nuansa-nuansa makna yang

diungkapkan dan perlu difahami. Nuansa-nuansa makna yang abstrak ini dirumuskan

oleh Halliday (1978) dalam istilah metafunction atau diversivikasi makna.

Matthiessen (1995) manggambarkan nuansa-nuansa makna sebagai berikut.

9

Diagram 3: Diversivikasi Makna (Matthiessen 1995:19)

Diagram 3 menunjukkan bahwa paling tidak terdapat tiga macam makna

dalam setiap ujaran yakni: makna ideasional (ideational), makna interpersonal

(interpersonal) dan makna tekstual (textual). Contoh berikut dapat dijadikan

ilustrasi:

a. He yelled at me loudly in front of the office.

b. He didn’t yell at me loudly in front of the office.

c. Did he yell at you loudly in front of the office?

d. Yell at me loudly in front of the office!

Ujaran a, b, c, d mengandung makna ideasional yang kurang lebih sama; artinya,

manusia yang terlibat sama, kata kerjanya sama, lokasinya sama, adverb-nya juga

sama. Akan tetapi, keempatnya menjadi tidak sama dalam hal makna

interpersonal atau makna pragmatiknya. Kalimat a. bermakna ‘Aku mengatakan

kepadamu bahwa dia …’; kalimat b. bermakna ‘Aku menyangkal bahwa dia…’;

kalimat c. bermakna ‘Aku bertanya kepadamu apakah dia…’; sedangkan kalimat

d. bermakna ‘Aku meminta kepadamu agar kamu…’. Makna ini dapat diketahui

dari struktur kalimatnya: deklaratif, interogatif, imperatif.

10

Makna tekstual diperoleh dari penyusunan kata (atau unsur kalimat) dalam

sebuah ujaran atau teks. Kata apa saja yang terletak paling depan menjadi Tema

(Theme) dalam klausa dan selebihnya disebut Rema (Rheme). Tema adalah titik

berangkat dari suatu pesan sehingga Tema menjadi konteks lokal bagi bagian

lainnya yang disebut Rema (perlu dicatat bahwa label semantis ini huruf awalnya

selalu ditulis dengan huruf besar). Jika sebuah kata diletakkan di awal kalimat

atau klausa, maka kata tersebut ditemakan dan menjadi penting. Contoh berikut,

yang merupakan petikan syair lagu, menunjukkan hal ini.

Malam yang dingin aku sendiri.

Dingin-dingin hati ini tambah dingin, entah mengapa dst.

Petikan lagu di atas dimulai dengan ‘malam yang dingin’ dan tidak dimulai

dengan subjek ‘aku’. Seandainya kita ubah susunannya menjadi ‘Aku sendiri di

malam dingin’ makna ideasionalnya tidak berubah bukan? Akan tetapi, di sini

yang dipentingkan adalah ‘aku’nya, dan aku menjadi prominent padahal penulis

lagu ingin menonjolkan ‘malam yang dingin’ (barangkali) agar lebih menyentuh.

Baris kedua juga demikian. Ada alasan mengapa penulis lagu tidak menyusunnya

seperti ini ‘Entah mengapa hati ini tambah dingin’ seperti bahasa sehari-hari.

Penulis mentemakan ‘dingin-dingin’ dengan meletakkannya di awal kalimat agar

‘dingin’ tersebut dominan, menjadi konteks dan menjadi perhatian. Ulasan ini

menunjukkan bahwa makna juga diperoleh dari tata letak kata dalam kalimat.

Dalam konteks pengajaran bahasa Inggris, metafungsi ini menjadi penting

sebab teks apapun yang dipajankan kepada siswa mengandung nuansa-nuansa

makna. Sebuah teks percakapan, misalnya, selayaknya menonjolkan berbagai

makna interpersonal sebab dalam konteks inilah makna interpersonal (tindak

tutur) bermain peran. Dalam bahasa tulis, makna ideasional biasanya dominan,

sedangkan makna textual berperan dalam kedua jalur komunikasi tersebut.

Implikasinya dalam implementasi kurikulum ialah bahwa susunan kalimat atau

tata bahasa merupakan bagian yang tidak dapat diremehkan sebab pengendalian

makna secara cermat sangat tergantung kepada kemampuan mengendalikan tata

11

kalimat. Jika target pendidikan bahasa adalah kemampuan berkomunikasi yang

berterima di kalangan pergaulan internasional maka kurikulum perlu menangani

aspek nuansa makna ini secara serius.

Berdasarkan teori Halliday ini, Hammond et al. (1992) mengembangkan

model bahasa (hubungan konteks budaya, konteks situasi dan teks) yang

menggambarkan bagaimana konteks mempengaruhi teks. Dengan memandang

bahasa sebagai alat komunikasi sosial maka model bahasa yang digunakan

sebagai landasan teori dalam kurikulum 2004 adalah model yang meletakkam

bahasa dalam konteks budaya dan konteks situasi. Tentang bagaimana konteks

(baik budaya maupun situasi) berpengaruh langsung kepada bahasa dan

pendidikan bahasa akan dibahas di bagian berikut ini.

a) Konteks Budaya

Di bagian A, di atas, kita telah melihat bahwa bahasa sebagai salah satu

sistem komunikasi digunakan oleh orang-orang yang berada dalam konteks

budaya yang sama. Maka, bahasa digunakan dalam sebuah konteks budaya yang

dapat digambarkan sebagai berikut:

12

Diagram 4: Hammond et al. 1992:1

Diagram ini menunjukkan bahwa sebuah konteks budaya melahirkan

berbagai genre atau jenis teks. Dalam budaya Inggris, misalnya terdapat jenis teks

naratif, deskriptif, recount, laporan, percakapan transaksional dsb. yang sering

digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, siswa penutur asli pun

perlu belajar bagaimana berceritera tentang kejadian-kejadian nyata yang sudah

dialami (recount) baik secara lisan maupun secara tulis meskipun bahasa Inggris

bukan bahasa asing. Ini diperlukan sebab untuk menjadi warga negara yang

terdidik dan beradab, anak perlu belajar berkomunikasi secara teratur. Untuk

berceritera secara tulis, misalnya, diperlukan langkah orientasi, diikuti oleh urutan

kejadian dan biasanya ditutup oleh re-orientasi atau twist (bagian yang lucu).

Berikut adalah contoh yang diambil dari Gerot dan Wignell (1995:193)

13

Konteks Budaya

GenreKonteks Situasi

Tenor

Field Mode

Register

TEXT

Penguin in the ParkOrientasi

Once a man was walking in a park when he came across a penguin.

Kejadian 1

He took him to a policeman and said, ‘I have just found a penguin. What

should I do?’ The policeman replied, ‘Take him to the zoo’.

Kejadian 2

The next day the policeman saw the same man in the same park and the

man was still carrying the penguin with him. The policeman was rather

surprised and walked up to the man and asked, ‘Why are you still carrying

that penguin about? Didn’t you take it to the zoo?’ ‘I certainly did.’

replied the man.

Twist (penutup yang lucu)

‘and it was a great idea because he really enjoyed it, so today I’m taking

him to the movies!’

Teks tulis di atas amat pendek dan sederhana, tetapi disusun dengan

struktur yang memudahkan orang memahami urutan kejadiannya dan memahami

bahwa fungsi teks tersebut untuk menghibur karena penutupnya lucu. Jadi, agar

penulis mencapai tujuan komunikatifnya ia tidak hanya harus menggunakan

kalimat yang gramatikal tetapi juga susunan atau struktur teks yang menunjang

tujuan itu.

Dengan menyadari adanya struktur teks semacam ini guru bahasa Inggris

akan lebih peka atau sensitif dalam memilih bacaan yang digunakan untuk

mengajar. Ini dimaksudkan agar siswa terbiasa dengan teks-teks yang tersusun

14

dengan baik atau yang disusun sebagaimana layaknya susunan yang biasa

digunakan penutur asli. Susunan semacam ini tidak hanya berlaku bagi teks tulis

tetapi juga pada teks lisan.

Dalam percakapan transaksional, misalnya meminta bantuan seseorang,

siswa juga perlu belajar tata krama dalam arti bukan hanya memilih bahasa yang

baik tetapi juga tidak melupakan langkah-langkah yang lazim diambil oleh

penutur asli. Biasanya percakapan itu dimulai dengan meminta permisi,

menyatakan maksud, mengucapkan terima kasih, ucapan selamat berpisah, dan

merespon terhadap tindak tutur dengan benar. Berikut adalah contoh percakapan

antara pembeli dan penjual di toko daging.

Seller : Good morning, Madam. How can I help you?

Buyer : Morning! What have you got today?

Seller : We’ve got some nice veal, on sale.

Buyer : Lovely. May I have two of those, please.

Seller : Two pieces of tenderloin?

Buyer : Yes, please.

Seller : Anything else, Madam?

Buyer : That’s it for today. Thanks.

Seller : Okay. That’ll be two dollars fifty.

Buyer : Here you are. Thanks.

Seller : Thanks very much. Have a nice day.

Buyer : Thanks. You too.

Jika diperhatikan, untuk melakukan percakapan transaksional sederhana

seperti contoh di atas siswa tidak hanya dituntut untuk dapat membuat kalimat

yang gramatikal. Lebih dari itu, siswa harus mengetahui dan menempuh tahap-

tahap pembicaraan yang terstruktur sesuai dengan budaya penutur asli. Pertama,

sangat lazim bagi penjual untuk memberi salam dan menawarkan bantuan (How

can I help you?), kemudian diikuti tahap transaksi. Setelah selesai terjadi langkah-

langkah menuju perpisahan yang ditandai dengan ungkapan-ungkapan seperti

Have a nice day; You too yang barangkali tidak biasa dilakukan oleh orang

15

Indonesia. Jadi, sebuah percakapan yang “lengkap” biasanya memiliki tahap

“pembuka + transaksi + penutup” yang semuanya direalisasikan dalam bahasa

yang berterima.

Teks tulis jenis recount, percakapan jual beli, dan yang lainnya adalah jenis-

jenis teks atau genre yang lahir dalam budaya Inggris. Wajar kiranya jika siswa

belajar bahasa Inggris ia harus menata teksnya sebagaimana yang dilakukan oleh

orang Inggris. Jika pengajaran bahasa Inggris hanya terfokus kepada bahasa yang

benar secara gramatika, besar kemungkinan siswa pandai mengerjakan soal-soal

ujian tetapi tidak trampil berkomunikasi karena tidak terbiasa mengambil

langkah-langkah komunikatif yang berterima. Banyak contoh kongkrit yang

membuktikan bahwa komunikasi sangat tergantung kepada pengetahuan tentang

struktur teks.

Contohnya, beberapa orang Indonesia akan mengikuti seminar di kota Sydney

dan mereka mencoba memesan taksi dengan cara menelepon perusahaan taksi

dari hotel. Sayangnya, tak seorangpun dari mereka yang berhasil melakukan

pembicaraan telepon tersebut sehingga mereka sepakat untuk turun ke jalan dan

mencegat taksi yang lewat. Orang-orang Indonesia ini bukan orang yang tidak

pandai berbahasa Inggris; mereka bahkan mampu mempresentasikan makalah

dalam seminar internasional. Yang tidak mereka miliki adalah pengetahuan atau

pengalaman bahwa untuk memesan taksi lewat telepon orang perlu mengetahui

kebiasaan atau urut-urutan pertanyaan yang biasanya diajukan oleh penerima

telepon di perusahaan taksi. Kegagalan komunikasi sering terjadi bukan hanya

pada tingkat kalimat tetapi juga pada tingkat genre.

Ilustrasi diatas membuka wawasan tentang adanya keterkaitan langsung antara

budaya dan bahasa dan antara konteks budaya dan pendidikan bahasa. Konteks

budaya direalisasikan dalam bahasa.

b) Konteks Situasi

Di atas telah dijelaskan bahwa bahasa terletak dalam satu konteks budaya,

dan konteks budaya melahirkan berbagai macam teks. Di bagian ini akan dibahas

16

konteks yang lebih kecil, yaitu konteks situasi atau yang disebut para ahli dengan

context of situation.

Setiap peristiwa komunikasi terjadi dalam konteks situasi. Ceritera

penguin di atas dapat menjadi ilustrasi. Yang dilakukan penulis adalah berceritera

(recount) dalam bentuk tulis karena penulis tidak bertemu dengan pembacanya.

Maka penulis memilih bahasa yang biasa digunakan dalam bahasa tulis. Akan

tetapi, kita bisa juga menceriterakan kejadian ini secara lisan. Karena jenisnya

recount maka kita tetap bisa menggunakan susunan yang sama, tetapi pilihan

bahasanya menjadi lain; tidak seperti membaca teks. Ketika berceritera, tentu

orang mempertimbangkan siapa pendengarnya, lebih tua atau lebih muda,

bagaimana situasinya: sedang serius atau santai dsb. Suasana ini oleh orang awam

disebut konteks. Namun demikian, ada istilah teknis yang perlu difahami untuk

menjelaskan konteks situasi.

Seperti terlihat dalam model yang menunjukka hubungan konteks dan

bahasa di atas, konteks situasi memiliki tiga unsur yakni field, tenor dan mode

(Halliday 1985a). Ketiga unsur ini mempengaruhi pilihan bahasa seseorang. Field

mengacu kepada apa yang sedang berlangsung atau yang sedang dibicarakan

dalam sebuah teks atau subject matter-nya. Misalnya, dalam ceritera Pinguin di

atas yang dibicarakan meliputi orang atau pihak yang terlibat, yakni orang yang

menemukan pinguin, polisi dan burung pinguin. Pinguin ini ditemukan di taman,

dibawa ke kebun binatang, kembali lagi ke taman dsb. Maka Field menjawab

pertanyaan tentang siapa, melakukan apa, di mana, dengan cara apa dsb.

Tenor mengacu kepada hubungan interpersonal antara pihak-pihak yang

terlibat atau who is involved. Misalnya, jika dalam ceritera Pinguin terdapat dua

manusia yakni the man dan polisi, maka hubungan interpersonal dua orang

tersebut akan berpengaruh terhadap pemilihan bahasa. Dalam ceritera Pinguin,

hubungan kedua orang tersebut tampak setara; artinya, penemu pinguin tidak

takut kepada polisi atau sebaliknya sehingga dipilih bahasa yang akrab.

Seandainya saja pembicaraan ini terjadi antara penemu pinguin dan ratu Inggris,

yang hubungan interpersonalnya tidak setara, dapat dipastikan bahasa yang

digunakan akan berbeda.

17

Contoh lainnya (Eggins 1994), jika seorang ibu muda sedang susah karena

bayinya menangis terus di malam hari dan ia ingin membicarakan masalahnya

dengan sesama ibu maka tentunya menggunakan menggunakan bahasa ragam

lisan yang santai karena hubungan ibu ini dengan sesama teman setara. Ini

pembicaraan dua orang yang sama-sama memiliki pengalaman serupa. Akan

tetapi, kalau seorang dokter menulis di majalah mengenai mengapa bayi menangis

di malam hari, maka dokter ini berperan sebagai orang yang lebih tahu (ahli) dan

memberi informasi kepada pihak yang kurang tahu. Di sini hubungan

interpersonalnya tidak setara, maka pemilihan bahasanya pun berbeda

dibandingkan dengan bahasa dua ibu yang sama-sama kurang tahu tentang bayi.

Dengan kata lain, tenor atau hubungan interpersonal orang yang terlibat dalam

komunikasi mempengaruhi pilihan bahasa secara langsung.

Unsur yang ketiga adalah mode. Mode mengacu kepada jalur komunikasi

atau channel yang kita gunakan yakni lisan dan tulis. Misalnya, jika orang

menceriterakan kisah Pinguin di atas secara lisan maka bahasa yang digunakan

akan cenderung berbeda dengan bahasa tulis yang kita lihat di atas. Barangkali ia

akan menggunakan gaya bahasa lisan yang kurang lebih begini:

I tell you what. There was this man, you know… walking in a park. Suddenly he

saw a penguin, a cute one you know… like this [sambil menirukan cara jalan

penguin], so he took it with him. Actually he didn’t know what to do, so he took it

to the policeman. He told the policeman what happened and asked what to do

with the bird… dsb.

Contoh di atas menunjukkan bahwa mode atau jalur komunikasi akan

menentukan pilihan atau ragam bahasa kita. Bahasa lisan cenderung lebih panjang

dan banyak klausanya sebab pendengar hanya mengandalkan telinganya sehingga

pembicara harus memastikan bahwa ia difahami. Dalam bahasa tulis, kalimatnya

cenderung ringkas dan padat kata sebab pembaca masih dapat mengulang

seandainya ada bagian yang kurang difahami. Kesimpulannya adalah bahwa

konteks situasi (field, tenor dan mode) menentukan bahasa yang dipilih.

18

Pengetahun akan hal ini akan mempengaruhi materi ajar yang bagaimana yang

sebaiknya dikembangkan.

Selanjutnya, konteks situasi melahirkan register. Register adalah sebuah

variasi bahasa menurut penggunaannya. Dengan kata lain, register adalah apa

yang kita bicarakan waktu itu dan ini tergantung kepada apa yang sedang kita

kerjakan pada saat itu ketika bahasa berfungsi (Halliday 1985a:41). Artinya,

pamaknaan terhadap bahasa yang digunakan orang tergantung konteks situasi.

Misalnya, orang menggunakan kata ‘bunga’ dalam satu percakapan. Makna kata

‘bunga’ tersebut tergantung kepada apa yang sedang dibicarakan dan kegiatan apa

yang sedang dilangsungkan. Jika orang berada di bank dan membicarakan

investasi maka ‘bunga’ berarti ‘interest’; jika ia sedang memesan bunga untuk

pesta maka kata ‘bunga’ berarti ‘flower’. Begitu pula pemaknaan terhadap aspek

yang lainnya.

c) Teks

Menurut pengertian umum, teks adalah tulisan yang sering kita baca. Akan

tetapi, pengertian teks secara teknis sebenarnya lebih dari itu. Tampaknya teks

memang seakan-akan ‘terbuat’ dari kata-kata, tetapi sebenarnya teks ‘terbuat’ dari

makna. Istilah teknisnya, teks bukanlah satuan kata melainkan satuan semantis

atau semantic unit (Halliday 1985a:10). Makna ini kemudian direalisasikan

dalam kata, klausa atau kalimat. Misalnya, kata ‘kursi’ disepakati oleh orang

Indonesia sebagai realisasi makna sebuah benda yang biasa diduduki orang. Entah

bagaimana sejarahnya sehingga benda tersebut direpresentasikan dengan kata

‘kursi’ dan bukan ‘meja’. Yang penting adalah bahwa jika ada orang mengatakan

‘kursi’ maka benda itulah yang dibayangkan orang. Hubungan makna ‘kursi’ dan

ucapan atau bunyinya tidak jelas tetapi orang menyepakatinya sebab tanpa

dibunyikan atau dituliskan maka makna tak tersampaikan.

Karena teks adalah satuan makna maka teks mencakup makna yang

diungkapkan lewat jalur lisan maupun tulis. Ketika orang bercakap-cakap, orang

tersebut meciptakan teks; demikian juga ketika orang tersebut menulis. Sebuah

19

percakapan atau tulisan yang maknanya dapat difahami dan dinalar disebut teks.

Maka, jika ada dua orang sama-sama berbicara tetapi masing-masing berbicara

semaunya dan ‘tidak bermakna’ (misalnya orang gila) maka apa yang mereka

katakana sulit disebut teks karena tidak terlihat hubungan semantisnya. Demikian

pula kalau kita menulis sepuluh kalimat lalu kita urutkan kalimat-kalimat tersebut

secara acak maka hasilnya sulit disebut teks sebab membingungkan pembacanya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apa yang kita lakukan sewaktu orang

berkomunikasi sebenarnya adalah menciptakan teks, baik bersama (dalam

percakapan) maupun sendiri (dalam ceramah, tulisan dsb.). Pada saat orang

mendengarkan dan membacapun ia terlibat dalam pertukaran makna. Halliday

(1985ª:11) menyebut teks sebagai “a social exchange of meanings”.

Pemahaman akan teks ini penting sebab komunikasi pada dasarnya adalah

pertukaran makna dan tukar-menukar ini menghasilkan teks. Tidak salah jika

dikatakan bahwa ketika orang berkomunikasi, lisan ataupun tulis, orang terlibat

dalam kegiatan penciptaan teks. Kegiatan bercakap adalah kegiatan penciptaan

teks dengan lawan bicara hadir di depan pembicara; kegiatan menulis juga

penciptaan teks dengan pembaca yang tidak hadir di depan penulis. Jika

demikian, tugas pendidikan adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk

dapat berpartisipasi dalam penciptaan teks. Dengan kata lain, tugas guru bahasa

adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi atau untuk

saling bertukar makna dengan berbagai nuansanya

3. Pendidikan Literasi

Di atas telah dikemukakan bahwa salah satu teori yang melandasi

kurikulum 2004 adalah teori pendidikan literasi (Kern 2000). Teori ini pada

dasarnya melihat pendidikan bahasa sebagai pendidikan komunikasi yang

menyiapkan warga siswa agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan

profesionalnya kelak. Berpartisipasi dalam kegiatan komunikasi adalah

berpartisipasi dalam penciptaan teks atau wacana. Kemampuan berwacana ini

adalah kompetensi utama yang ditargetkan untuk dicapai oleh Kurikulum 2004.

Dapat disimpulkan bahwa kompetensi wacana dapat diusahakan untuk dicapai

20

jika teori bahasa yang mendasari kurikulum ini adalah teori bahasa sebagai

wacana dan untuk mencapai kompetensi tersebut proses belajar mengajarnya juga

didasari oleh teori pendidikan literasi yang memperhatikan proses untuk mencapai

tujuan.

Hakekat kurikulum bahasa yang diletakkan dalam perspektif

pengembangan literasi dirumuskan oleh Kern sebagai berikut “A literacy-based

curriculum is thus neither purely structural nor purely communicative in

approach, but attempts to relate communicative to structural dimensions of

language use (Kern 2000:304). Implikasinya, Kurikulum 2004 melihat

pentingnya dimensi struktural untuk membangun dimensi komunikatif. Proses

pembelajaran untuk mencapai kompetensi komunikatif atau kompetensi wacana

akan dijabarkan dalam Bab III.

Bab III : Model Kurikulum Bahasa Inggris

A. Pendekatan

Berdasarkan landasan teori yang dibahas dalam Bab II, logika yang

digunakan dalam pendidikan bahasa Inggris adalah:

1. Kurikum ini berbasis kompetensi (Celce-Murcia et al. 1995), dan

kompetensi utama yang hendak dicapai adalah kompetensi komunikatif

yang secara teksnis berarti kompetensi wacana.

2. Karena kompetensi utamanya adalah kompetensi wacana, maka teori

bahasa yang digunakan adalah teori bahasa yang melihat bahasa sebagai

teks/wacana (Halliday 1978) atau sebagai sistem semiotika sosial. Teori

ini memandang komunikasi lisan maupun tulis sebagai proses penciptaan

wacana.

3. Berdasarkan teori Halliday tersebut, The New London Group (para ahli

pendidikan bahasa ), pada tahun 1996, mengembangkan teori pendidikan

bahasa asing dalam perspektif pendidikan literasi yang tujuan utamanya

adalah untuk mengembangkan kemampuan berwacana dalam bahasa dan

budaya baru. Kemampuan ini dirumuskan oleh Gee (dalam Kern 2000:35)

21

sebagai “ways of behaving, interacting, valuing, thinking, believing,

speaking, and often reading and writing that accepted as instantiations of

particular roles…by specific group of people”.

4. Teori psikologi tentang perkembangan bahasa yang digunakan adalah teori

Vygotsky (1978), terutama konsep Zone of Proximal Development, yang

menekankan pentingnya kehadiran orang lain dalam proses pemerolehan

bahasa. Kern merumuskan pendapat Vygotsky bahwa literasi (dan kognisi

pada umumnya) bukan “property” yang idiosinkratik dan personal yang

dimiliki seseorang, melainkan sebuah fenomena yang diciptakan oleh

sebuah masyarakat dan digunakan dan diubah oleh masyarakat tersebut

(Kern 2000:35). Perkembangan kultural anak, menurut Vygotsky

(1978:57) diaktualisasikan dalam dua tahap: pertama pada tahap sosial

atau interpsychological, dan kemudian pada tahap individual atau

intrapsycological.

Dapat disimpulkan, seluruh landasan teori yang digunakan dalam kurikulum

ini berada dalam wilayah sosiokultural. Bahasa dan pembelajarannya didekati

dari perspektif sosiokultural.

Untuk memperjelas perbedaan pendekatan pengajaran yang digunakan

terlebih dahulu, yakni pendekatan structural dan pendekatan komunikatif,

tabel Kern (2000:304) berikut ini menyajikannya secara singkat.

Structural emphasis Communicative emphasis Literacy emphasis

Knowing Doing Doing and reflecting on doing in terms of knowing

Usage Use Usage/use relations

Language forms Language functions Form-functions relationship

Achievement (i.e. display of knowledge)

Functional ability to communicate

Communicative appropriateness informed by metacommunicative awareness

22

Tabel 1: Ringkasan tujuan kurikulum berbasis pendekatan structural, komunikatif dan literasi (Kern 2000:304)

Dalam pendekatan ini, peran guru dan siswa ditandai dengan ciri tiga R,

yakni responding, revising, dan reflecting. Tiga macam peran ini dapat Anda

temukan terapannya dalam modul pedoman penyusunan rencana pengajaran. Di

sini Anda menemukan pergeseran paradigma dalam hal peran guru dan siswa

yang oleh Kern dipaparkan sebagai berikut.

Structural emphasis

Communicative emphasis

Literacy emphasis

Role models for teachers and learners

‘philologists’ or ‘linguists’

‘native speakers’ ‘discourse analysts’ and intercultural explorers’

Primary instructional role of teacher

Organizing overt instruction and transformed practice

Organizing situated practice, overt instruction, and transformed practice

Organizing critical framing as well as situated practice, overt instruction, and transformed practice

Primary mode of teacher response

Correcting (enforcing a prescriptive norm)

Responding (to communicative intent)

Responding (to language as used), focusing attention for reflection and revision

Predominant learner roles

Difference to authority: focus on absorption and analysis of material presented

Active participation (focus on using language in face-to-face interaction)

Active engagement: focus on using language, reflecting on language use, and revising

Tabel 2: Ringkasan peran guru/siswa dalam pendekatan structural, komunikatif, dan literasi (Kern 2000:312)

23

Implementasi prinsip-prinsip ini terlihat dalam tahap-tahap dan siklus

belajar mengajar dalam kurikulum ini.

B. Pengorganisasian Materi

Materi yang digunakan dalam kurikulum ini disusun menurut kompetensi

kompetensi sebagaimana yang terdapat dalam rumusan model Celce-Murcia et al.

(1995). Materi tersebut berupa butir-butir yang merupakan komponen-komponen

kompetensi yang harus diperoleh siswa pada akhir program. Butir-butir tersebut

diklasifikasi dalam lima jenis kompetensi pendukung yang meliputi: kompetensi

tindak tutur, kompetensi linguistic, kompetensi sosiokultural, kompetensi

(pembentuk) wacana, dan kompetensi strategi. Sebagai catatan, kompetensi

wacana, yakni kompetensi utama, adalah sesuatu yang abstrak yang beroperasi

dalam komunikasi nyata. Jika dalam materi terdapat butir-butir kompetensi

(pembentuk) wacana, maka ini mengacu kepada butir-butir yang berfungsi untuk

menjadikan teks sesuatu yang utuh atau unified whole. Butir-butir ini terutama

berfungsi sebagai piranti kekohesifan, struktur teks dan butir lainnya yang

mengarah ke tercapainya koherensi.

C. Pembelajaran

Proses pembelajaran bahasa didasarkan pada prinsip-prinsip

pengembangan literasi dalam bahasa Inggris. Model pengembangannya diambil

dari model yang dikembangkan oleh Hammond et al. (1992) yang melibatkan

empat tahap dan dua siklus.

1. Empat Tahap Belajar Mengajar

Jika dalam satu semester terdapat lima belas minggu efektif dan tiap

minggunya terdapat empat sesi (4 X 45 menit) maka jumlah sesinya adalah 60

sesi. Biasanya, minggu-minggu pertama SMP masih diwarnai dengan

24

pengetahuan dasar seperti greetings, basic nouns, numbers, colour dan

sebagainya. Pengenalan dasar ini bisa memakan waktu sekitar 20 sesi. Di akhir

sesi keduapuluh ini diharapkan siswa sudah dapat membuat daftar kata yang

mencakup benda-benda di sekitarnya atau yang mereka perlukan. Misalnya,

mereka dapat membuat My mother’s shopping list, Things I need for school dan

sebagainya. Maka, masih tersisa waktu sekitar 40 sesi yang dapat sudah dapat

diarahkan ke pengajaran teks prosedur, misalnya. Dengan demikian, jika dalam

satu semester terdapat dua jenis teks maka pencapaian kompetensi berbahasa lisan

dan tulis untuk satu jenis teks diperkirakan akan memakan waktu 20 sesi.

Duapuluh sesi ini menjadi satu unit atau satuan perencanaan program pengajaran

yang dapat digambarkan sebagai siklus berikut.

Diagram 1: (Hammond et al. 1992:17)

Misalnya, pada semester pertama kelas satu (karena minggu pertama

hingga ketujuh digunakan untuk perkenalan dan membahas kosa kata) guru akan

25

memulai dengan teks procedure baik lisan maupun tulis, maka guru dapat

memikirkan topik apa yang sesuai untuk jenis teks ini. Jika, misalnya, resep

sederhana dianggap sesuai karena kosa katanya mudah, tata bahasanya mudah

(imperative) makan guru dapat mentargetkan bahwa di akhir siklus pengajaran

selama 20 sesi siswa dapat menjelaskan sebuah prosedur memasak secara lisan

kepada teman-temannya dan juga dapat menulis resep masakan dengan bentuk

teks yang berterima secara mandiri. Untuk mencapai kompetensi komunikatif ini

secara umum kegiatannya dibagi menjadi empat bagian seperti yang terlihat

dalam diagram.

a. Building Knowledge of Field

Bagian pertama (misalnya, lima sesi pertama) disebut Building Knowledge

of Field (BKF) yang kegiatannya meliputi talking atau membicarakan topik yang

akan dibahas. Kegiatan ini bersifat interaktif antara guru dan siswa, siswa dan

siswa sehingga ketrampilam listening dan speaking di mulai di sini. Misalnya,

membicarakan makanan yang paling dikenal siswa seperti nasi goreng. Guru

dapat meminta siswa untuk berpartisipasi dalam mengembangkan kosa kata yang

diperlukan untuk membuat nasi goreng, mulai dari kata benda, kata kerja dan tata

bahasa yang digunakan untuk teks ini, misalnya imperative. Kegiatan belajar

membuka kamus dapat dilakukan di sini, demikian pula conjunctions sederhana

dapat dikenalkan seperti and, then, after that, finally dsb. karena kata-kata

tersebut fungsional.

Kosa kata yang dibahas boleh meluas, artinya bukan hanya untuk nasi

goreng tetapi kosa kata lain yang menarik perhatian siswa. Ini dimaksudkan agar

siswa terbiasa mengemukakan keinginannya dan rajin membuka kamus. Gambar-

gambar yang menarik dapat digunakan untuk mengenalkan siswa kepada noun

phrases yang melibatkan adjective seperti hot chili, red tomatoes dll. Perlu

ditekankan bahwa noun phrases merupakan bahasan yang penting karena akan

menjadi dasar utama dalam pengembangan bahasa tulis.

Unsur budaya dapat dibahas di tahap ini juga, misalnya, orang Indonesia

memakan nasi goreng untuk makan pagi, tetapi sebagian siswa mungkin sudah

26

mengenal makan pagi orang Inggris seperti cereal, corn flakes dll. Ini dapat

menjadi bahasa pembicaraan yang menarik karena melibatkan pengalaman yang

berbeda atau yang dialami bersama atau shared experience. Siswa atau guru dapat

membawa bekas pembungkus mi instan sebagai pemantik pembicaraan meskipun

bahasa Inggris siswa terbatas pada It’s cereal, small box dll. Jika perlu, selama

membahas topik ini siswa dapat diminta membawa kardus-kardus bekas

pembungkus susu, makanan dll. yang ditata di sudut kelas untuk menciptakan

situasi, menyegarkan ingatan dan membangkitkan motivasi. Dengan membawa

bungkus-bungkus makanan yang dikenal siswa diharapka pelajaran bahasa Inggris

benar-benar membahas topik yang kontekstual, yang dikenal siswa dalam

keseharian. Setiap kali jenis teks berganti dan topik juga berganti, barang-barang

yang dipajang juga berganti. Singkatnya, tahap BKF ini bersifat interaktif,

menyenangkan agar siswa dapat mendengarkan dan menirukan ucapan yang

benar serta berani bersuara.

2. Modelling of Text

Pada lima sesi kedua dilakukan Modelling of Text (MT) yang

dimaksudkan untuk mengenalkan teks-teks lisan maupun tulis yang berhubungan

dengan jenis teks procedure. Pada tahap ini guru menyajikan teks conversations,

misalnya, antara ibu dan anak yang sedang memasak di dapur yang melibatkan

petunjuk dan prosedur, memesan makanan di restoran, meminta tolong kepada

pelayan toko yang sederhana dan relevan dengan kehidupan anak. Percakapan-

percakapan ini melibatkan berbagai tindak tutur seperti meminta jasa, memberi

informasi yang ada hubungannya dengan prosedur masak-memasak atau pesan

memesan dsb. Di sini, bentuk imperative disertai ungkapan kesantunan seperti

please, thanks, excuse me, sorry dll. ditampilkan. Modals can, could dapat juga

digunakan meskipun bukan merupakan bahasan utama. Artinya, meskipun fokus

tata bahasanya adalah imperative dan ungkapan kesantunan yang menyertainya,

modals dapat langsung digunakan dalam model-model teks agar siswa

27

“berjumpa” dengan penggunaan modals berkali-kali sebelum dijelaskan secara

ekspilisit sebagai teori.

Teks tulis seperti resep juga dikenalkan pada tahap ini dengan

menggunakan bahasa yang khas resep; artinya, tanpa basa-basi kesantunan, padat,

ringkas dan bentuk dan unsur teksnya cenderung tetap, yakni: judul, bahan, cara

memasak, cara menghidangkan. Dalam proses ini guru juga mengajak siswa

berinteraksi dengan mendemonstrasikan conversation sekaligus melakukan

reading comprehension dalam membahas teks tertulis, misalnya resep masakan

berbahasa Inggris. Intinya, kegiatan talking (listening dan speaking) terus

berlangsung selama reading comprehension. Siswa dapat diberi tugas mencari

resep berbahasa Inggris untuk memperluas wawasannya dan membandingkan

resep mereka dengan yang dibahas guru. Selain untuk memahami makna gagasan

dalam teks, kegiatan membaca juga difokuskan ke bentuk atau struktur teks,

fungsi teks tersebut dalam masyarakat dsb.

3. Joint Construction of Text

Lima sesi ketiga digunakan untuk kegiatan Joint Construction of Text

(JCT) yang berarti siswa secara bersama-sama, misalnya dalam kelompok atau

berpasangan, menciptakan conversation sederhana mengenai cara membuat

makanan dan kemudian dapat menyusun resep makanan yang mereka bicarakan

bersama-sama. Pada tahap ini diharapkan mereka telah dibekali dengan

pengetahuan dan pengalaman pada tahap BKF dan MT sehingga mereka dapat

mencontoh dan memodifikasi contoh-contoh tersebut untuk diterapkan dalam

konteks resep yang baru.

Perlu ditekankan bahwa conversation atau resep apapun yang dihasilkan

hendaknya gramatikal dan menggunakan struktur teks yang bertemina. Khusus

untuk conversation, ungkapan-ungkapan kesantunan sederhana perlu

diperhatikan. Untuk teks tulis, ejaan, tanda baca dan konvensi lainnya menjadi

perhatian guru sehingga pada tahap ini balikan guru atau koreksi bersama perlu

dilakukan agar siswa siap untuk proses selanjutnya.

28

4. Independent Construction of Text

Lima sesi yang terakhir bertujuan melatih siswa untuk menciptakan teks

secara mandiri yang disebut Independent Construction of Text (ICT). Pada tahap

ini siswa diharapkan mampu melakukan conversation atau monolog yang

melibatkan tindak tutur yang digunakan dalam teks prosedur dalam konteks yang

baru secara mandiri atau spontan. Misalnya, seorang siswa dapat memberi

penjelasan kepada temannya tentang bagaimana membuat bakmi goreng dalam

conversation yang terkadang melibatkan monolog sehingga ia perlu menggunakan

conjunctions. Terbuka kemungkinan bagi siswa untuk membicarakan topik yang

baru sebagai pengembangan dari apa yang sudah dipelajarinya.

Dalam hal teks tulis, siswa diharapkan mampu menulis, misalnya, resep

masakan yang disukainya secara mandiri dengan menggunakan tata bahasa dan

tata tulis yang sudah dipelajarinya. Hasil tulisan tersebut harus dapat difahami

oleh pembacanya dengan baik. Siswa dapat saling bertukar resep atau

menempelkan resep-resep mereka di dinding dengan diberi ilustrasi gambar.

Siswa diharapkan merasa bangga akan hasil karyanya dan mempublikasikannya

di ruang kelas. Kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan sikap senang

menulis dan tidak malu mempublikasikan tulisan.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun jenis teks utama yang ditargetkan

adalah jenis procedure bukan berarti bahwa teks-teks berupa dialog atau yang

lainnya tidak diperlukan. Misalnya, jika bentuk teks procedure dikombinasikan

dengan topik atau tema makanan atau resep maka teks-teks yang relevan seperti

percakapan di sekitar meja makan dapat digunakan. Percakapan yang memerlukan

banyak tindak tutur meminta atau memberi jasa atau barang, meminta atau

memberi informasi tentang resep yang digabungkan dengan percakapan lainya

akan bermanfaat bagi pengembangan teknik berwacana siswa.

Dengan dilaluinya proses yang memiliki empat tahapan tersebut

diharapkan siswa terbimbing untuk mencapai kompetensi yang mendekati apa

yang dimiliki oleh penutur asli dalam berbahasa lisan dan tulis. Dengan kata lain,

29

pada akhir sesi keduapuluh setiap siswa diharapkan dapat menjelaskan prosedur

sederhana seperti bagaimana membuat nasi goreng, bagaimana menggambar

binatang, atau prosedur apa saja yang sederhana secara mandiri. Selain itu siswa

juga diharapkan dapat menulis prosedur-prosedur sederhana yang dapat difahami

orang lain secara mandiri.

2. Dua Siklus Belajar Mengajar: Lisan dan Tulis

Meskipun secara garis besar proses belajar mengajar digambarkan dalam

empat tahapan, dalam prakteknya proses tersebut dilalui dua kali. Artinya, siklus

pertama difokuskan ke bahasa lisan dan siklus kedua difokuskan ke bahasa tulis.

Teori yang melandasinya ialah bahwa sebelum siswa diminta untuk menulis

sesuatu, sebaiknya ia telah mengenal atau menguasai bentuk lisannya sehingga

rasa percaya dirinya dapat ditumbuhkan. Siswa akan merasa comfortable menulis

tentang sesuatu yang telah dibicarakan secara panjang lebar sebelumnya dan

setelah mendapat bekal kosa kata, tata bahasa, unsur-unsur teks dan cara

menatanya.

Contoh dua siklus yang lengkap akan terlihat dalam diagram berikut.

30

Diagram 2: Hammond et al.:47

Contoh siklus di atas bisa diterapkan, misalnya, ketika siswa diarahkan

untuk mampu berkomunikasi dengan teks jenis deskriptif sederhana. Jenis teks ini

dapat dipadukan dengan tema Things around Us seperti My House.

Mendeskripsikan rumah bisa dari sisi baiknya, bisa juga dari sisi buruknya,

misalnya genteng yang bocor, jendela yang rusak dan sebagainya. Jadi, dalam

tahap buiding knowledge of the field terdapat berbagai macam adjectives yang

dapat diperkenalkan guru. Bentuk kalimat yang banyak digunakan dalam teks ini

adalah relational clauses seperti Subject yang diikuti Finite (be) dan diikuti oleh

kata sifat, kata benda, kata keterangan. Oleh karenanya aspek tata bahasa dan

kosa kata dibahas pada tahap ini.

Selain memadukan jenis teks, tema, tata bahasa dan kosa kata, perlu juga

dipikirkan tindak tutur apa saja yang dapay dikombinasikan dengan konteks ini.

Misalnya, seperti contoh di atas, guru memfokuskan kepada tindak tutur

complaining, reuesting, informing yang tidak selalu mudah dilakukan. Tindak-

tindak tutur ini dapat direalisasikan dengan berbagai cara mulai dari yang biasa

31

hingga yang sopan. Maka aspek inipun menjadi fokus pembicaraan guru dan

siswa.

Pada tahap modelling of text, guru mengajak siswa menciptakan teks lisan

yang mempraktekkan tindak-tindak tutur dalam berbagai konteks percakapan

pendek, misalnya antara anak dengan ayahnya, anak dengan anak lainnya dan

juga monolog yang pada dasarnya bertujuan mendeskripsikan rumah atau apa

saja.

Kemudian kegiatan berlanjut ke tahap ketiga yang melibatkan siswa dalam

joint construction untuk membuat percakapan yang melibatkan deskripsi,

keluhan, memberi informasi, meminta tolong dan sebagainya. Pada akhir siklus

pertama ini siswa diharapkan dapat mendemonstrasikan kemampuan

mendeskripsikan sesuatu secara lisan, melakukan berbagai tindak tutur yang

relevan secara mandiri. Setelah ini dapt diamati, pembelajaran masuk ke siklus

kedua.

Dalam siklus ini tahap pertamanya kembali menyiapkan siswa masuk ke

teks deskriptif tetapi dengan ragam tulis sehingga perlu dipertegas bagaimana,

misalnya, membentuk noun phrase yang akan digunakan dalam kalimat sebagai

Subject atau Object. Meskipun kalimat deskriptif terlihat mudah, yakni banyak

menggunakan relational clauses, kalimat ini mengandung kerumitan sendiri, dan

biasanya pada pembentukan noun phrase, misalnya front roof, back yard, leaking

pipe, broken tile dan sebagainya. Betapapun rumitnya, ini perlu ‘dihadapi’ sebab

situasi inilah yang dihadapi siswa sehari-hari.

Ketika masuk ke modelling of text, siswa dapat diperkenalkan ke teks

deskriptif untuk reading comprehension dan juga teks-teks kecil lainnya misalnya

daftar kerusakan-kerusakan di rumah, surat mini untuk minta tolong tukang untuk

memperbaiki bagian yang rusak, surat untuk mengeluh atau memberi tahu bahwa

atap yang diperbaiki bocor lagi dan sebagainya. Setelah itu, siswa masuk ke tahap

ketiga dengan melakukan joint construction untuk menulis berbagai teks

deskriptif bersama teman-temannya. Jika dikehendaki, topic boleh saja bergeser

sesuai minat siswa.

32

Akhirnya, siswa masuk ke tahap independent construction dalam ragam

tulis. Di sini siswa, dengan bantuan guru, diharapkan dapat menciptakan teks

deskriptif tulis dan teks-teks kecil lainnya yang dikehendaki.

Dengan dipenuhinya siklus ganda (dapat disebut bicycle) ini siswa

diharapkan dapat target kompetensi komunikatif berupa melakukan deskripsi lisan

dan tulis, berpartisipasi dalam percakapan lainnya yang relevan, serta

menciptakan teks-teks tulis lainnya yang relevan dengan teks utama ini. Teks

deskriptif ini ini sesuai untuk tingkat SMP maupun SMA. Perbedaannya ialah

bahwa di SMA aspek kebahasaannya lebih rumit.

3. Proporsi Tahapan

Di tahap awal SMP, ketika tergetnya masih pada pengenalan kosa kata

(misalnya membuat shopping list), ucapannya, ejaannya, atau mengajarkan

ungkapan-ungkapan yang digunakan di kelas, siklusnya tidak perlu selengkap

yang terlihat di atas melainkan disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan demikian

proporsinya akan terlihat berbeda seperti diagram di bawah ini.

Diagram ini menunjukkan bahwa target belajar mengajar hanya

difokuskan ke tahap joint construction sebuah resep yang fokus utamanya adalah

pengembangan bahasa lisan. Aktivitasnya dimulai dengan kunjungan ke toko roti

dan kemudian roti dan resepnya menjadi tema. Selanjutnya siswa dapat menulis

resep makanan lainnya.

Pengajaran bahasa Inggris untuk tingkat SMP tahap awal (atau SD) yang

sangat difokuskan ke pengembangan bahasa lisan sangat potensial menggunakan

diagram yang masing-masing bagiannya tidak sama besarnya seperti diagram

berikut.

33

Diagram 3: Hammond et al. (1992:29)

4. Memilih dan Menata Kegiatan Kelas

Jika, misalnya, guru akan merencanakan kegiatan bersiklus ganda dengan

target kompetensi komunikatif lisan dan tulis yang terfokus ke teks procedure

sebagaimana dibahas di atas, guru hendaknya merencanakan kegiatan apa yang

akan dilakukan dan bagaimana menyusun atau menata berbagai kegiatan tersebut.

Guru juga dapat mengatur proporsi dari masing-masing bagian dalam empat tahap

di atas. Misalnya, pada tahap awal BKF dan JC dialokasikan lebih banyak waktu

dibanding yang lainnya.

D. Penilaian

34

Untuk melakukan penilaian terhadap kinerja komunikatif siswa, dan bukan hanya

pengetahuan siswa, beberapa jenis penilaian perlu diperhatikan. Pertama ialah

perbedaan assessment dan evaluation. Assessment adalah proses mengumpulkan dan

mengukur informasi yang relevan mengenai pembelajaran dan kinerja siswa,

sedangkan evaluation adalah tahap berikutnya yang dimaksudkan untuk

menganalisis, menafsirkan, memberikan penilaian (judging) mengenai hasil dari

assessment (Kern 2000:267-268)

Selain itu dilakukan juga jenis evaluasi formatif dan sumatif. Sesuai dengan

pendekatan literasi yang menekankan proses, evaluasi formatif berorientasi kepada

proses. Tujuannya adalah memberikan balikan yang terus menerus agar proses dapat

ditingkatkan kualitasnya Baik guru maupun siswa dapat memperbaiki kekurangan-

kekurangannya selama proses berlangsung. Evaluasi sumatif tidak diarahkan untuk

tujuan pengajaran, melainkan untuk mendapatkan informasi tentang kinerja atau

pencapaian siswa pada akhir sebuah program pengajaran (Kern:273).

Dalam konteks pengajaran bahasa asing, terdapat kebiasaan atau tradisi

memberikan assessment atau evaluasi yang lebih bersifat sumatif. Dalam pengajaran

yang berorientasi ke pendidikan literasi, sangatlah penting untuk menjadikan evaluasi

formatif sebagai bagian penilaian yang tak terpisahkan. Shohamy (dalam Kern

2000:273) menyarankan agar guru lebih banyak menggunakan observasi, wawancara,

kuesioner, portofolio, dan bahan-bahan yang digunakan untuk project (tugas-tugas

khusus) untuk memperoleh gambaran yang lebih luas dan lengkap mengenai

kemampuan berbahasa siswa. Informasi yang dikumpulkan ini dapat menjadi

informasi dianostik dalam rapat-rapat guru. Latihan-latihan tradisional lainnya seperti

kuis, dan tes masih dapat dilakukan, tetapi sebuah program yang berbasis literasi

lebih menekankan digunakannya evaluasi formatif daripada sumatif.

Tes apapun yang dilakukan, guru perlu mengingat bahwa tes hendaknya bersifat

heuristic atau menyeluruh dengan memperhatikan hal-hal yang memang perlu untuk

dilihat. Tes komunikasi apapun diharapkan untuk memperhatikan prinsip-pinsip

kemampuan berliterasi. Artinya, butir-butir soal atau task apapun yang disiapkan guru

hendaknya mempertimbangkan dan melibatkan aspek-aspek sebagai berikut.

35

1. Literasi melibatkan interpretasi (interpretation).

Penulis dan pembaca terlibat dalam tindak ganda yakni menginterpretasi –

penulis menginterpretasi dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, dan sebagainya),

dan kemudian pembaca menginterpretasikan interpretasi penulis berdasarkan

konsep atau pemahamannya sendiri tentang dunia.

Dalam tes komunikasi lisan maupun tulis, siswa dituntut untuk melakukan

interpretasi terhadap apa yang dibaca maupun yang didengarnya. Pertanyaan-

pertanyaan tidak hanya terfokus kepada fakta (dalam membaca), atau siswa dapat

memberikan respon yang tepat terhadap ujaran orang lain (dalam percakapan).

2. Literasi melibatkan kolaborasi (collaboration)

Penulis menulis untuk sebuah khalayak pembaca (audience), termasuk

jika ia menulis untuk dirinya sendiri. Keputusannya mengenai apa yang harus

dikatakan, dan apa yang dapat difahami pembaca meskipun tak dikatakan,

didasarkan kepada pemahamannya tentang khalayak pembacanya. Pada

gilirannya, pembaca harus memberi kontribusi dalam bentuk motivasi,

pengetahuan, dan pengalaman agar supaya teks yang ditulis penulis tersebut

bermakna.

Dalam evaluasi (formatif, misalnya) proses ini sangat penting terutama

dalam proses menulis. Balikan-balikan dari guru maupun siswa lainnya dapat

memberi manfaat kepada siswa. Begitu pula dengan evaluasi bahasa lisan.

Masukan-masukan dari berbagai pihak dapat membantu siswa dalam proses

pembelajaran.

3. Literasi melibatkan aturan (convention)

Cara orang membaca dan menulis teks tidak universal, melainkan

dikendalikan oleh aturan atau konvensi budaya yang berevolusi lewat

penggunaannya dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan individual.

Dalam evaluasi, konvensi seperti tanda baca, susunan teks, ucapan, tata

bahasa dan sebagainya tetap menjadi perhatian penting guru.

36

4. Literasi melibatkan pengetahuan budaya (cultural knowledge)

Membaca dan menulis berfungsi di dalam sistem-sistem sikap,

kepercayaan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai-nilai tertentu. Pembaca dan penulis

yang beroperasi di luar sistem budaya teks tersebut beresiko mengalami

kesalahfahaman atau tidak difahami oleh orang yang beroperasi di dalam sistem

budaya teks tersebut.

Dalam tes lisan maupun tulis, aspek ini merupakan hal yang perlu dinilai

oleh guru. Oleh karenanya, tugas atau tes yang diberikan hendaknya menjangkau

area ini dan tidak terpaku kepada pengetahuan kebahasaan saja.

5. Literasi melibatkan pemecahan masalah (problem solving)

Karena kata-kata selalu dilingkupi oleh konteks linguistik dan konteks

situasi, membaca dan menulis melibatkan usaha pemahaman terhadap hubungan

antara kata-kata, satuan-satuan makna yang lebih besar, dan antara teks-teks dan

dunia nyata atau dunia yang dibayangkan.

Proses komunikasi adalah proses penyelesaian masalah. Dalam tes

komunikasi lisan maupun tulis, siswa hendaknya dihadapkan kepada tantangan

komunikasi yang merupakan rangkaian penyelesaian masalah. Misalnya,

melakukan percakapan yang sebenarnya, menjelaskan apa yang dibaca, menulis

essay dsb.

6. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi sendiri (reflection and self reflection)

Pembaca dan penulis memikirkan tentang bahasa dan hubungannya

dengan dunia dan dengan diri mereka.

Dalam tes, siswa dihadapkan kepada soal-soal yang mensyaratkan adanya

refleksi, misalnya, siswa bikan hanya diminta memehami isi bacaan tetapi juga

memahami genre suatu bacaan, bagaimana bacaan disusun, piranti kebahasaan

apa yang menyebabkan terjadinya kohesi dsb. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini

memerlukan proses refleksi. Begitu pula dalam proses menulis; siswa dapat

menjelaskan langkah dan alasan mengapa ia menulis seperti itu.

37

7. Literasi melibatkan penggunaan bahasa (language use)

Literasi bukan hanya sebuah sistem menulis, dan bukan juga semata-mata

tentang pengetahuan ketatabahasaan; literasi memerlukan pengetahuan bahasa

digunakan dalam konteks lisan dan tulis untuk menciptakan wacana.

Dalam evaluasi, yang paling penting ialah bahwa pada akhirnya guru

mengevaluasi penggunaan bahasa. Ini adalah evaluasi untuk melihat apakah

kompetensi komunikatif, yaitu kompetensi berwacana atau berkomunikasi, sudah

tercapai atau belum.

Bab IV : Model Implementasi

A. Perangkat Pembelajaran

Setelah membaca kurikulum 2004, langkah guru selanjutnya adalah

mengembangkan silabus. Silabus ini merupakan terjemahan dari unsur-unsur yang

terdapat dalam kurikulum ke dalam rencana menyeruruh satu unit proses belajar

mengajar yang juga memuat contoh materi.

Sesusai dengan prinsip dasar pengembangan kompetensi komunikatif,

pengambangan silabus harus menampakkan proses menuju diperolehnya kompetensi

wacana, yakni pengembangan kewicaraan (oracy) dan keaksaraan (literacy).

Maksudnya, jika, misalnya, sebuah silabus menekankan atau memfokuskan kepada

teks naratif, bukan berarti bahwa proses belajarnya hanya membahas sebuah teks

naratif sebab keempat ketrampilan berbahasa harus juga terlihat dalam silabus

tersebut.

Misalnya, di semester satu SMP siswa masih berkonsentrasi pada bahasa lisan

yang difokuskan ke ungkapan-ungkapan yang menyertai tindakan di sekolah dan

belum menghadapi teks bacaan berupa ceritera. Namun demikian, makna teks

sebenarnya menyangkut juga daftar kosa kata yang digunakan dalam konteks. Maka

di semester satu siswa sudah dapat terlibat teks, misalnya berupa shopping list, yakni

daftar belanja yang mereka siapkan bagi ibu mereka setiap bulan, atau bagi mereka

38

sendiri. Dengan demikian, kosa kata yang dikenalkan di semester ini adalah kata

benda dan kata sifat yang memang diperlukan di sekolah dan di rumah. Kegiatan

berbicara pendek juga sudah merupakan teks. Misalnya seorang anak meminta

informasi Where’s my pen? dan dijawab dengan There it is di dalam konteks nyata

juga sudah merupakan teks.

Ketika guru mengenalkan teks naratif di semester satu, guru dapat

mengkombinasikan tulisan dan gambar misalnya ketika berceritera mengenai

Goldilocks and the Three Bears agar kosa kata yang digunakan dapat langsung

dicerna lewat gambar dan kata-kata. Teks inipun kemudian dapat menghasilkan teks-

teks kecil lain baik lisan maupun tulis yang merupakan kegiatan re-creation yang

mengembangkan imajinasi siswa. Berdasarkan konteks ceritera tersebut guru dan

siswa dapat bersama-sama menciptakan, misalnya dialog antara Goldilocks dan Baby

Bear atau surat menyurat sederhana antara Goldilocks dan Mama Bear. Dengan

demikian keempat ketrampilan dapat dikembangkan secara simultan dan imajinasi

siswa senantiasa dikembangkan ke tingkat yang optimal. Implikasinya, pengalaman

pembelajarannya juga sangat bervariasi dan variasi tersebut diharapkan

menyenangkan.

Implikasi berikutnya adalah pada alokasi waktu. Sebuah silabus yang

memfokuskan ke teks naratif bisa dialokasikan sebanayk 16 X 45 menit karena

meskipun naratif adalah yang utama bukan berarti teks lain yang dapat dikembangkan

dari naratif tersebut tidak mendapat tempat. Jadi alokasi 16 sesi tersebut dimaksudkan

untuk memberi keleluasaan kepada guru untuk mengembangkan proses dan

pengalaman pembelajaran yang variatif dan maksimal. Misalnya, dengan alokasi

waktu yang banyak, guru dapat memeriksa hasil tulisan pendek siswa yang berjumlah

40 orang selama proses menulis berlangsung untuk meyakinkan siswa menggunakan

tanda baca dengan benar, menyusun teks dengan unsur yang lengkap, dengan tata

bahasa yang benar, misalnya. Dengan demikian pelajaran bahasa diletakkan dalam

perspektif pengembangan kewicaraan dan keaksaraan atau komunikasi yang nyata.

Ini semua dimaksudkan agar siswa menyadari keteraturan-keteraturan yang

terdapat dalam proses komunikasi bahasa Inggis atau berkomunikasi dalam bahasa

Inggris the English way.

39

1. Alokasi Waktu

Sebaiknya alokasi waktu ditetapkan dengan asumsi bahwa dalam satu semester

terdapat, misalnya, 15 minggu efektif. Jika dalam seminggu dialokasikan 4 sesi (masing-

masing 45 menit), maka dalam satu semester terdapat 15 X 4 sesi yang menghasilkan 60

sesi (60 X 45 menit).

Beranjak dari asumsi bahwa dalam satu semester terdapat 60 sesi, maka strategi

alokasi untuk kelas satu SMP, misalnya dapat diatur dengan mempertimbangkan jumlah

dan jenis teksnya. Semester pertama difokuskan kepada language accompanying action,

dan kosa kata untuk lingkungan sekolah dan rumah sehingga diperoleh alokasi kurang

lebih sebagai berikut:

a. 15 sesi pertama difokuskan ke interaksi guru-siswa, siswa-siswa dengan

penciptaan teks-teks dialog kecil (misalnya satu instruksi / ajakan dan satu

tanggapan) agar proses belajar dapat berlangsung dalam bahasa Inggris.

b. 15 sesi kedua masih terfokus kepada teks dialog kecil dan pengambangan kosa

kata dan membuat daftar belanja atau daftar lainnya.

c. 15 sesi ketiga masih terfokus ke teks dialog kecil yang melibatkan adjectives dan

kegiatan mendengarkan ceritera yang disertai gambar-gambar (campuran naratif

dan gambar)

d. 15 sesi keempat masih terfokus ke teks dialog kecil dan mendengarkan naratif

yang mengandung adjectives dll.

Demikian juga di semester dua, silabus dapat disusun per 15 sesi (1 unit = 15 sesi)

dengan memperhatikan fokus teks yang digunakan dalam komunikasi lisan dan tulis yang

mengintegrasikan keempat ketrampilan. Dalam satu semester dapat dikembangkan 4

(empat) unit silabus, dan dalam setahun kurang lebih 8 (delapan) unit silabus.

2. Matriks Silabus

40

Matriks yang diusulkan kurang lebih adalah sebagai berikut:

A

Kompetensi

Dasar

B

Indikator

C

Jenis Teks

D

Contoh Teks

E

Pengalaman

Belajar

F

Penilaian

G

Alokasi

Waktu

Contoh bagaimana ‘menerjemahkan’ kurikulum ke dalam silabus dapat dilihat dalam

lampiran.

a. Kompetensi Dasar

Rumusan kompetensi dasar (KD)didasarkan kepada rumusan yang ada dalam

kurikulum. Misalnya, jika fokus teksnya adalah naratif maka KD untuk keempat

ketrampilan difokuskan ke naratif yang dapat menjadi dasar pengembangan teks

interaksional lainnya (lihat lampiran).

b. Indikator

Indikator utamanya dapat diambil dari kurikulum, tetapi terbuka kemungkinan

penyusun silabus menambahkan indikator yang lebih rinci jika dirasakan relevan.

Indikator disusun dengan struktur sebagai sesuai dengan jenis kompetensi yang

dirumuskan dalam kurikulum yakni: Tindak Bahasa, Linguistik, Sosiokultural, Strategi,

Pembentuk Wacana, dan unsur sikap.

Indikator Tindak Bahasa dikelompokkan berdasarkan empat ketrampilan:

mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Indikator berikutnya adalah indikator

linguistik yang difokuskan kepada tata bahasa dan kosan kata. Ini meliputi sistem bunyi,

intonasi, tata tulis seperti ejaan dan tanda baca, struktur kalimat dan kosa kata

(lexicogrammar). Karena kompetensi linguistik merupakan dasar kompetensi

kumunikatif maka disarankan agar sekitar dua puluh persen dari alokasi waktu

diperuntukkan bagi kompetensi ini.

41

Di dalam kompetensi linguistik inilah Tema, yang masih disarankan untuk SMP

dan berimplikasi kepada pilihan kosa kata, dicakup. Artinya, pengajaran tidak terfokus

kepada tema dan satu tema dapat muncul di beberapa teks secara luwes jika diperlukan

sehingga terdapat pengulangan yang menunjang pemerolehan bahasa. Tema tidak harus

dipaksakan sesuai dengan urutan yang ada dalam kurikulum. Yang penting adalah bahwa

tema-tema yang disarankan dicakup pada tahun tertentu.

Dalam kompetensi ini tata bahasa dan kosa kata mendapatkan perhatian khusus

sehingga memperoleh pengalaman untuk noticing tata bahasa dan mengembangkan

kesadaran bahwa komunikasi yang efektif adalah yang gramatikal. Dalam satu teks, satu

bahasan tata bahasa, misalnya past tense bisa dominan, tetapi tenses lain dapat termasuk

di dalamnya sesuai tuntutan teks sekaligus merupakan pengulangan yang dapat

menunjang pemerolehan bahasa.

Indikator berikutnya mencakup indikator kompetensi sosiokultural, strategi,

wacana dan sikap yang diambil dari kurikulum.

c. Jenis Teks

Jenis teks disesuaikan dengan yang dicantumkan di dalam kurikulum. Namun

demikian, perlu diingat bahwa membahas sebuah jenis teks bukan berarti berhenti pada

satu jenis teks tertentu. Sebuah teks naratif, misalnya dapat “melahirkan” banyak teks

seperti teks lisan transaksional, teks-teks lisan atau tulis lain yang merupakan hasil dari

re-creation yang imajinatif dari guru dan siswa (lihat contoh). Dengan demikian keempat

ketrampilan dapat diolah serentak dan semua jenis kompetensi berkembang.

d. Contoh Teks

Contoh teks menyebutkan jenis teks utama yang menjadi bahasan, misalnya

naratif, dan teks-teks lain yang dimungkinkan dikreasi oleh teks naratif untuk

mengembangkan kompetensi melalui kegiatan yang diarahkan untuk mengembangkan

keempat ketrampilan.

42

e. Pengalaman Pembelajaran

Bagian ini memuat segala kemungkinan pengalaman belajar yang sebaiknya

dimiliki oleh siswa. Alokasi waktu yang cukup banyak, sekitar 15 X 45 menit untuk satu

unit, dimaksudkan untuk mengakomodasi kegiatan belajar yang beragam dan menarik

serta memberi kesempatan bagi guru untuk mengamati siswa dengan lebih baik.

Perlu ditekankan bahwa semua kegiatan yang dilakukan tetap diarahkan kepada

pemerolehan bahasa. Misalnya, siswa boleh membawa boneka, mobil mainan,

menggambar ilustrasi untuk sebuah ceritera, tetapi semua barang tersebut harus

menstimulasi siswa untuk berbicara atau menulis tentang topik yang sedang dibahas.

Suatu saat guru dapat mengajak siswa membuat kipas dari kertas, misalnya. Yang

dipentingkan di sini bukan baik atau buruknya kipas yang dihasilkan, melainkan

bagaimana agar selama membuat kipas tersebut siswa mendengarkan instruksi-instruksi

teknis dan kemudian mereka bisa memberi instruksi serupa pada kegiatan yang sama atau

yang mirip.

Menjadi jelas di sini bahwa alokasi waktu yang banyak dimaksudkan untuk

menunjang PROSES yang terencana dan disusun dengan baik demi pencapaian

kompetensi.

f. Penilaian

Implikasi dari beragamnya pengalaman belajar adalah beragamnya cara menilai

pencapaian siswa selama menjalani proses belajar tersebut. Guru hendaknya memiliki

catatan pribadi setiap siswa yang dikumpulkan dalam satu map khusus yang membentuk

portofolio.

Map tersebut berisi berbagai matriks atau observation sheets yang digunakan

untuk mencatat indikator-indikator mana yang telah atau belum dicapai atau setinggi apa

pencapaian siswa. Matriks ini berguna terutama untuk penilaian yang berkenaan dengan

berbagai performance. Tentu saja tes tertulis yang selama ini dikenal masih dilakukan

agar dapat membandingkan kemampuan siswa yang satu dan lainnya, serta untuk

mengukur kemampuan mereka mencapai kompetensi yang ditargetkan. Butir-butir tes

43

selayaknya disusun berdasarkan indikator yang ada di kurikulum yang mencakup kelima

jenis kompetensi.

Karena kompetensi wacana adalah kompetensi utama yang hendak dicapai maka

penilaian yang bersifat holistik, biasanya di tahap akhir, adalah penilaian yang menuntut

siswa menciptakan wacana seperti percakapan dengan sesama teman atau dengan guru

(wawancara), membaca, dan menulis. Di tahap ini piranti pembentuk wacana menjadi

penting karena kemampuan menggunakan piranti tersebut menunjukkan kemampuan

siswa berlogika dalam menyusun wacananya.

g. Alokasi Waktu

Secara umum alokasi waktu untuk sebuah unit diperkirakan sebanyak 15 X 45

menit. Alokasi secara rinci diserahkan kepada guru karena setiap guru memiliki acara

kegiatan yang berbeda-beda sesuai dengan sumber-sumber yang dimilikinya dan

kemampuan guru mengelola kegiatan yang dirancangnya.

Setelah menyusun hal-hal di atas, pada kolom E guru merencanakan pengalaman

pembelajaran apa saja sebaiknya yang akan diberikan kepada siswa agar mereka

mencapai kompetensi yang ditargetkan. Pengalaman pembelajaran tersebut sebagian

diperuntukkan bagi pengembangan bahasa lisan dan sebagian lagi untuk pengembangan

bahasa tulis. Setiap pengalaman belajar dirancang untuk tujuan tertentu dengan focus

yang berbeda-beda. Setelah guru membuat daftar pengalaman pembelajaran, guru

memasukkan ke daftar ini ke dalam matriks pengalaman pembelajaran untuk siklus

bahasa lisan dan kemudia untuk siklus bahasa tulis.

Tabel di bawah ini menunjukkan contoh bagaimana kegiatan-kegiatan yang

diarahkan ke penciptaan teks prosedur dengan tema makanan dipilih dan diatur

menggunakan siklus pembelajaran yang sesuai dengan kelompok siswa yang dihadapi.

44

BUILDING KNOWLEDGE OF FIELD

PENGALAMAN MENGAJAR

DAN PEMBELAJARAN

TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN

1. Guru berinteraksi dengan

siswa untuk membahas

shared knowledge dsb. yang

diarahkan ke pembelajaran

teks prosedur dengan tema

makanan.

a. untuk memberikan

konteks bagi tema makanan

b. untuk membiasakan siswa

berbagi pengalaman

c. untuk mengenalkan kosa

kata sehari-hari tentang

makanan

d. untuk mengenalkan tata

bahasa terutama bentuk

imperative

e. mengenalkan struktur

noun phrase (MD)

f. untuk mengenalkan

berbagai realisasi sederhana

tindak tutur memberi/meminta

jasa/barang atau informasi

sesuai tema

g. untuk membiasakan

penggunaan ungkapan

kesantunan excuse me, please,

thank you, sorry, have a nice

day dsb.

h. untuk membiasakan

penggunaan conjunctions

sederhana dan ordinal

numbers

Kegiatan klasikal

Terfokus pada guru

Fokus pada bahasa lisan –

interaktif

Penggunaan realia, flash

cards dan media belajar-

mengajar lainnya untuk

menunjang pemahaman

terhadap noun phrases dan

verbs.

2. Guru membawa bahan untuk

nasi goreng dan berperilaku

seolah-olah memasak meski

tanpa api.

a. menciptakan konteks dan

membangun tema dan jenis

teks.

b. membangun kosa kata: verb

dan noun yang diperlukan

siswa

Kegiatan klasikal

Terfokus pada guru dan

siswa

Terfokus pada bahasa lisan

Mengidentifikasi language

accompanying action

45

(misalnya: Let me show you

this. Listen to me. Shall we

start now? Dll.)

3. Menonton video yang

menampilkan demonstrasi

memasak dalam bahasa

Inggris.

a. Unt

uk membangun konteks yang

lebih luas mengenai tema

b. me

mperluas perbendaharaan

ungkapan

kegiatan klasikal

Terfokus pada siswa

Bahasa lisan

Language accompanying

action

4. Membahas kegiatan yang

dipertontonkan dengan

memperhatikan prosedur

memasaknya

a. memperluas pengetahuan

kosa kata

b. menggunakan bahasa untuk

merekonstruksi kejadian

c. memperluas perbendaharaan

ungkapan

Kegiatan klasikal

Terfokus pada siswa

Terfokus pada bahasa lisan

language accompanying

action

5. Guru secara eksplisit

membahas kosa kata dan tata

bahasa: imperative,

conjunctions, ordinal

numbers dan fitur-fitur

bahasa lisan yang relevan.

a. me

mfokuskan ke kompetensi

linguistik yang diperlukan

untuk teks procedure.

Kegiatan klasikal

Terfokus pada guru

Terfokus pada bahasa lisan:

perhatikan gambits.

MODELLING OF TEXT

PENGALAMAN MENGAJAR

DAN PEMBELAJARAN

TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN

6. Mendengarkan rekaman yang

berisi petunjuk atau prosedur

untuk memasak sesuatu

(native speaker atau guru

lokal)

a. Melatih siswa untuk

memahami makna

gagasannya

b. melatih siswa memperhatikan

fitur bahasa lisan

c. melatih siswa memprediksi

apa yang akan didengarnya

d. melatih siswa mencatat urutan

kegiatan secara sederhana

Kegiatan klasikal

terfokus pada bahasa lisan

46

7. Menganalisis ciri-ciri teks

procedure

a. mengenalkan struktur

skematik

b. mengenalkan istilah-istilah

teknis dalam struktur teks

seperti title, ingredients,

method, serve.

Kegiatan klasikal

Terfokus pada guru

Diskusi

8. Mengenalkan teks-teks lain

yang relevan

a. Untuk memperluas wacana

dengan memperhatikan

struktur-struktur percakapan

kecil di berbagai konteks

mulai dari excuse me sampai

thanks… bye-bye.

b. melatih siswa agar peka

dengan tahaptahap

percakapan transaksional

Penjelasan terfokus pada

guru

Siswa mendemonstrasikan

berpasangan atau

berkelompok.

Meneliti tahap-tahap

percakapan transaksional,

misalnya memesan makan di

restoran:

A: Are you ready to orger

now?

B: Yes please

o May I have …, …

A : Certainly, Miss.

B: And could you please

o make it not too hot?

A: Certainly. Is that all?

B: That’s all for now.

Thanks

A: You’re welcome, Miss.

JOINT CONSTRUCTION

PENGALAMAN MENGAJAR

DAN PEMBELAJARAN

TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN

9. Dalam kelompok siswa

mencoba memberi instruksi

a. Menggunakan tata bahasa

dan kosa kata yang benar

menghubungk

an bahasa dengan gerakan

47

kepada temannya untuk

membuat atau memasak

sesuatu

b. Memperagakan ucapan

dan ungkapan yang benar

fisik (misalnya, jika satu

siswa mengakatan peel the

onion maka siswa

memperagakannya)

10. Dalam kelompok siswa

menyusun teks prosedur lisan

untuk membuat sesuatu

a. membiasakan siswa tampil

berbicara mewakili

kelompoknya

b. Membiasakan diri

berkomunikasi agar difahami

pendengarnya.

Kegiatan di dalam kelompok

Kegiatan lintas kelompok

Terfokus pada bahasa lisan

11. Dalam kelompok siswa

menyusun percakapan

transaksional lisan dengan

beragam konteks, misalnya,

di kantin , di toko, di kelas,

di dapur dsb.

INDEPENDENT CONSTRUCTION

PENGALAMAN MENGAJAR

DAN PEMBELAJARAN

TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN

12. Siswa memperagakan

kemampuan bercakap-cakap yang

melibatkan monolog yang

bersifat memberi petunjuk atau

prosedur

a. memberi kesempatan siswa

untuk menggunakan

pengetahuan dan pengalaman

pemelajaran yang dimilikinya

b. untuk mengecek apakah

bahasa lisan siswa dimengerti

dengan baik oleh lawan

bicaranya

c. untuk mengetahui

kemampuan berwacana siswa

Terfokus pada individu

siswa

Guru memberikan balikan

13. Secara individual siswa

memberi petunjuk procedural

yang difahami teman-temannya

dengan baik dalam konteks yang

a. U

ntuk menerapkan prinsip

procedural dalam konteks

yang lebih luas.

individu siswa

48

diperluas b. U

ntuk membangun kemampuan

berwacana lisan

Setelah siklus pertama ini selesai, siklus kedua dimulai dengan memfokuskan ke

ragam bahasa tulis. Ragam bahasa tulis untuk resep, misalnya, menuntut kemampuan

mengkonstruksi noun phrase yang seringkali tidak mudah. Misalnya, pada pembahasan

tata bahasa guru dapat melatih pembentukan noun phrase seperti one red hot chili, two

green tomatoes, boiled egg dsb. Selain itu siswa perlu juga ditarik perhatiannya terhadap

pasangan kata verb dan noun yang lazim disebut collocation seperti boil the egg, mix the

sugar and margarine, cover the bowl dll. Teks tulis juga cenderung menggunakan

struktur teks yang relatif tetap.

Guru perlu mengenalkan kosa kata yang memang diperlukan untuk melakukan

kegiatan sehari-hari sebab sering terjadi bahwa kata-kata teknis yang berhubungan

dengan teknologi komputer diperkenalkan sementara siswa tidak mengenal kata yang

diperlukan sehari-hari seperti peel, cover, fry, wipe dsb. Pengenalan kosa kata di jaman

global ini terdukung oleh banyaknya noun phrase yang digunakan di tengah masyarakat

Indonesia seperti fried chicken, headline news, big mack, play station, video rental,

supermarket dll. Frasa-frasa ini mungkin tidak termasuk ke dalam perbendaharaan kosa

kata tingkat SMP, tetapi karena frasa tersebut telah demikian populer di masyarakat kita

maka penggunaan frasa yang demikian tidak akan terlalu mengganggu.

Berikut adalah contoh bagaimana mengembangkan siklus kedua, yakni siklus

yang terarah kepada pengembangan bahasa tulis untuk teks procedure.

BUILDING KNOWLEDGE OF THE FIELD

PENGALAMAN MENGAJAR

DAN PEMBELAJARAN

TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN

1. Guru merumuskan mengapa

BKF ini dikembangkan

Pada tahap ini guru dan siswa

secara lisan / interaktif

membahas:

a. konteks di mana teks jenis

prosedur digunakan dalam

Terfokus pada guru

Kegiatan bersifat interaktif

dengan menstimulasi agar

siswa berpikir dan menjawab

pertanyaan (listening dan

49

ragam tulis.

b. hubungan interpersonal

penulis dan pembaca

(misalnya, antara ahli dan

orang yang baru belajar).

c. bahasa yang digunakan

(lugas, tanpa banyak fitur

kesantunan)

d. pola kalimat imperative

yang dimulai dengan verb.

e. pola noun phrase yang

menggunakan hukum MD.

f. piranti pembentuk wacana

yang menunjukkan hubungan

logika seperti kata

penghubung dsb.

g. perbedaan bahasa lisan

dan bahasa tulis dalam teks

procedure.

speaking)

2. Guru menyiapkan contoh teks

berupa resep masakan dan

teks procedure lain yang

relevan.

a. Untuk memperluas

wawasan tentang penggunaan

teks procedure dalam

kehidupan sehari-hari.

b. Untuk menambah

perbendaharaan kosa kata.

Terfokus pada

guru

Pembahasan

dilakukan secara interaktif

yang mendukung

ketrampilan listening dan

speaking.

Belajar

menggunakan kamus

MODELLING OF TEXT

PENGALAMAN MENGAJAR

DAN PEMBELAJARAN

TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN

3. Membaca teks prosedur,

misalnya resep masakan.

a. Untuk memahami makna

atau pesan (ideational) yang

Terfokus pada

guru

50

terdapat dalam teks

b. Untuk mengetahui tingkat

reading comprehension siswa

Klasikal

Diskusi

4. Menganalisis tata teks utama a. Untuk mengidentifikasi

unsur-unsur sebuah resep

masakan

b. Untuk memahami

bagaimana unsur-unsur

tersebut ditata dalam sebuah

generic (schematic) structure

c. Untuk menganalisis

realisasi bahasa yang

digunakan pada tiap unsur

teks

Terfokus pada

guru atau siswa

Klasikal

Diskusi

5. Menganalisis teks lain yang

relevan

a. Untuk melihat pesamaan

dan perbedaan struktur (jika

ada) yang ada di antara teks-

teks prosedur

b. Untuk melihat persamaan

dan perbedaan realisasi

bahasa (tata bahasa dan kosa

kata) dari teks sejenis.

Terfokus pada

guru atau siswa

Klasikal

Diskusi

JOINT CONSTRUCTION

PENGALAMAN MENGAJAR

DAN PEMBELAJARAN

TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN

6. Siswa membahas teks

prosedur yang akan ditulis

bersama, misalnya resep

masakan yang sederhana,

cara membuat layang-layang

atau lainnya

a. Siswa menggunakan

schematic structure yang tepat

b. Siswa menggunakan

realisasi bahasa yang tepat

c. Siswa mampu memberi

instruksi tertulis yang

difahami orang lain.

d. Siswa menyadari siapa

Siswa berpasangan atau

berkelompok kecil

Belajar menggunakan

kamus

51

calon pembacanya dan

menyesuaikan bahasanya.

7. Siswa menulis teks bersama. a. Agar siswa memperoleh

kepercayaan diri karena tidak

bekerja sendirian.

b. Siswa mengembangkan

ketrampilan writing dengan

bahasa sederhana.

c. Siswa belajar dari teman-

temannya

d. Siswa belajar dari sumber-

sumber lain yang mereka

temukan di luar kelas

Siswa bekerja

dalam kelompok.

Guru memberi

bantuan terutama dalam

editing.

INDEPENDENT CONSTRUCTION

PENGALAMAN MENGAJAR

DAN PEMBELAJARAN

TUJUAN KARAKTERISTIK

KEGIATAN

8. Secara individual siswa

membuat kesepakatan dengan

guru (conference) mengenai

teks procedure apa yang akan

ditulis.

a. Siswa memperoleh bimbingan

individual dari guru sejak tahap awal

penulisan

b. Guru mengetahui target yang ingin

dicapai siswa

c. Siswa dan guru dapat membahas

sumber-sumber bacaan yang diperlukan

untuk mencapai tujuan penulisan secara

maksimal.

Kegiatan individual siswa

Kegiatan conferencing

antara guru dan siswa

9. Siswa menulis draft teks yang

direncanakannya

a. Siswa memanfaatkan

pengalamannya dari tahap listening,

speaking dan reading di dalam proses

writing.

b. Siswa memperoleh

kesempatan untuk mengekspresikan

kehendak individunya ke dalam tulisan.

Terfokus pada siswa

Guru memberi masukan jika

perlu.

10. Siswa menunjukkan draft

tulisan kepada guru.

a. Untuk menditeksi

masalah-masalah penulisan secara dini.

Terf

okus pada siswa.

52

b. Untuk memberi

pengalaman bahwa menulis tidak harus

sekali jadi.

c. Untuk memberi

pengalaman akan pentingnya

memperhatikan aturan penulisan (huruf

besar, titik, koma dsb).

Gur

u siap memberi balikan bagi

setiap individu.

11. Siswa melakukan editing

berdasarkan balikan dari

guru.

a. Untu

k meningkatkan kepekaan siswa

terhadap hal-hal yang tidak boleh

dianggap sepele dalam penulisan.

b. Untu

k memberi kesempatan memperbaiki,

menambah dsb. agar hasil tulisan

maksimal.

c. Untu

k memperoleh pengalaman dan

ketrampilan mengedit sebuah karya.

Terfokus pada siswa.

Guru memberi balikan

12. Siswa menulis (final) draft a. Untuk menggunakan

potensinya secara maksimal.

b. Untuk

mengembangkan rasa percaya diri

bahwa siswa akan menghasilkan karya

yang berterima.

Terfokus pada siswa.

Guru memberi motivasi

secara simpatik dan

membesarkan hati.

13. Siswa menunjukkan draft

akhir kepada guru.

a. Untu

k memperoleh peneguhan akan

keberhasilannya.

b. Untu

k melihat apakah target penulisan yang

disepakati dalam conference tercapai.

Terfokus pada siswa

Guru memeriksa apakah

siswa memenuhi indikator

yang ditetapkan

14. Siswa memberi ilustrasi

gambar, menulis dengan gaya

seni menurut seleranya .

a. Untuk

mengekspresikan potensi seni siswa

dalam menampilkan karya tulisnya

dengan prinsip intertekstualitas

(memadukan tulisan dengan gambar,

diagram dll.) agar presentable.

Terf

okus pada siswa.

53

15. Siswa mempublikasikan

tulisannya (di papan atau

tembok kelas yang disediakan

untuk tujuan “publishing”)

a. Untu

k mengikis rasa malu (tidak percaya

diri) memperlihatkan karya kepada

orang lain.

b. Untu

k membiasakan diri berkomunikasi

secara tertulis.

c. Untu

k membina sikap berani

mempublikasikan karya dan menerima

kritik dan saran.

d. Untu

k berani bersaing dan mengakui

kelebihan orang lain.

e. Untu

k memacu semangat untuk menulis lebih

baik di kemudian hari.

Terfokus pada siswa.

Guru memberi fasilitas papan

temple (misalnya soft board).

Contoh pengembangan perencanaan pengajaran dan pembelajaran di atas menunjukkan

bahwa untuk mencapai standar kompetensi “mampu berkomunikasi lisan dan tulis dalam

jenis teks procedure” diperlukan proses yang cukup panjang dan terencana dengan baik.

Untuk memeriksa apakah standar kompetensi tersebut sudah tercapai maka penilaian

difokuskan kepada pertanyaan “Apakah siswa sudah dapat memberi instruksi prosedural

dalam bahasa Inggris lisan yang difahami lawan bicaranya?” dan “Apakah siswa sudah

mampu memberi instruksi prosedural dalam bahasa Inggris tulis yang difamahi oleh

poembacanya?” serta “Apakah siswa dapat merespon terhadap instruksi prosedural

bahasa Inggris baik lisan maupun tulis?”. Jika jawabannya adalah “sudah”, maka

kompetensi komunikatif ini telah tercapai.

Inilah alasan yang mendasari mengapa diperlukan alokasi waktu yang cukup

banyak untuk sebuah jenis teks. Untuk mencapai kompetensi komunikatif tertentu

diperlukan kompetensi-kompetensi pendukung yang sarana rincinya terdapat di bagian

lampiran dalam kurikulum. Contoh table-tabel di atas dapat dikembangkan lagi dengan

variasi yang sesuai dengan kebutuhan dan sumber-sumber yang dimiliki guru. Yang

54

terpenting adalah pembentukan mindset bahwa guru tidak dapat menuntut siswa menulis

sesuatu sebelum guru memberi sesuatu. Implikasinya, guru harus menjadi figur yang

handal dalam arti ia menguasai teknik-teknik pengembangan jenis-jenis teks yang

ditargetkan, yakni teks-teks yang akan ditemui siswa dalam kehidupan nyata. Partisipasi

siswa dalam teks tersebut memerlukan latihan literacy, latihan komunikasi yang

membangun life skill.

Dapat disimpulkan bahwa pedoman pengembangan perencanaan pengajaran ini

berorientasi kepada tercapainya kompetensi wacana, bukan hanya sub-sub kompetensi

seperti linguistik, tindak bahasa dll. Kompetensi wacana inilah yang disebut sebagai

kompetensi komunikatif atau communicative competence yang menjadi dasar

pengembangan kurikulum berbasis kompetensi.

B. Tenaga Pendidikan (Pembina, pengawas, kepala sekolah, guru)

1. Guru

Kurikulum ini mansyaratkan ketrampilan berbahasa Inggris lisan yang baik bagi

guru yang menggunakannya. Oleh karenanya, pada saat recruitment guru,

kemampuan berbahasa lisan hendaknya merupakan syarat utama. Jika para guru yang

ada saat ini belum mampu berbahasa Inggris lisan dengan baik dalam mengelola

kegiatan kelas, para guru tersebut wajib mengikuti penataran yang diarahkan untuk

mengembangkan ketrampilan guru berbicara untuk tujuan mengelola kelas, mulai dari

memeriksa presensi siswa hingga membubarkan kelas. Kemampuan ini disebut

kemampuan ber-scaffolding talk.

Scaffolding talk atau bahasa yang menyertai tindakan sangat menentukan dalam

proses pemerolehan bahasa. Dengan mendengarkan hal-hal yang rutin diucapkan guru

di kelas, siswa akan mengembangkan kemampuan mendengarkan dan pada gilirannya

55

mengembangkan kemampuan berbicara. Hal-hal rutin tersebut bisa termasuk

memberi berbagai instruksi lisan, baik akademik maupun instruksi lain.

Hal yang terpenting dalam menyikapi kurikulum ini ialah kesediaan guru untuk

mengubah mindset. Kurikulum ini tidak berangkat dari materi sehingga guru harus

menghabiskan materi pada akhir program. Kurikulum ini berangkat dari kompetensi,

sedangkan materi yang digunakan bisa diperoleh dari berbagai sumber sejauh materi

tersebut menunjang pencapaian kompetensi dasar. Guru bebas memilih buku ajar atau

sumber-sumber lain seperti Internet dsb. Guru juga bebas menentukan pengalaman

pembelajaran yang diberikan kepada siswa sesuai dengan situasi dan kondisi setempat

sejauh kompetensi dasar tercapai. Untuk melihat ketercapaian kompetensi tersebut,

indikator-indikator yang ada di silabus digunakan sebagai acuannya.

Satu hal yang sangat penting adalah membuat pelajaran bahasa Inggris sebagai

pengalaman yang menyenangkan baik bagi guru maupun bagi siswa. Kegiatan story

telling, misalnya, sangat dianjurkan.

2. Kepala Sekolah

Kepala sekolah dapat berperan aktif dalam mendukung pembelajaran bahasa

Inggris di sekolah dengan memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk

beraktivitas dalam bahasa Inggris dalam konteks sehari-hari.

Kepala sekolah hendaknya memahami benar semangat kurikulum bahasa Inggris

2004 yang memberikan kebebasan kepada guru untuk menentukan materi ajarnya

dalam rangka pencapaian kompetensi. Dengan demikian kepala sekolah sebaiknya

menjaga dan melindungi kemandirian guru dengan tidak mengharuskan guru

menggunakan buku ajar tertentu. Dengan cara ini kepala sekolah berpartisipasi dalam

membangun kreativitas para guru di sekolahnya. Sangat disarankan agar kepala

sekolah membaca dan memahami benar semangat kurikulum 2004 ini.

3. Pengawas dan Pembina

56

Untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan yang maksimal para

pengawas dan pembina diharapkan untuk memahami benar semangat kurikulum yang

berbasis kompetensi dan hakekat kurikulum serta pembelajaran bahasa. Perubahan

mindset juga diperlukan oleh para pejabat di tingkat ini. Perubahan tersebut terutama

dengan memahami bahwa setiap bidang studi memiliki kekhasannya sendiri sehingga

teknik-teknik assessment maupun evaluasinya tidak dapat selalu diseragamkan dengan

mata pelajaran lainnya.

Selain itu, untuk melihat keberhasilan guru, para pengawas disarankan untuk

terjun langsung memeriksa proses dan kegiatan apa saja yang dilakukan guru di kelas.

Laporan-laporan tertulis yang bersifat formalitas dan banyak menyita waktu guru

sebaiknya tidak dituntut. Kegiatan pengawasan sebaiknya difokuskan kepada substansi

dengan melihat langsung apakah guru melakukan tugasnya sesuai dengan harapan

kurikulum. Guru memerlukan banyak waktu untuk mempersiapkan pelajaran sehingga,

seperti guru di negara maju, mereka tidak direpotkan dengan laporan-laporan formal.

Para pengawas dan pembina diharapkan bersikap kooperatif serta mampu menjadi mitra

yang berguna bagi pengembangan guru, membantu memecahkan masalah yang dihadapi

guru, dan sekaligus menjadi sumber yang dapat diandalkan.

Masalah terbesar yang dihadapi guru saat ini ialah banyaknya siswa dalam satu

kelas dan kurangnya guru yang mampu berbahasa Inggris lisan dengan baik. Selain itu

terdapat guru yang kreatif dan ada pula yang kurang kreatif. Untuk mengatasi hal ini,

akan sangat ideal jika pengajaran bahasa Inggris dilakukan dengan pengajaran tim,

artinya, satu kelas diajar oleh dua guru secara serentak (bukan bergiliran). Ini sangat

dianjurkan jika sekolah memiliki SDM dan sumber pendukung lain yang mencukupi.

C. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mengimplementasikan kurikulum ini

tidaklah istimewa. Segala sesuatu yang ada di lingkungan siswa dapat menjadi sumber

belajar yang bermanfaat tergantung dari daya kreasi guru dan siswa. Jika ada

laboratorium bahasa tentunya dapat dimanfaatkan, tetapi laboratorium hanya akan

berfungsi baik dan efektif jika berada di tangan guru yang kreatif. Perangkat seperti

57

tape recorder, VCD player, TV monitor merupakan alat yang sangat berguna untuk

mendapatkan model pengucapan dari penutur asli.

Siswa dapat juga dilibatkan dalam pembuatan media pengajaran dengan berbagai

project yang ditugaskan guru. Hasil karya mereka dapat dipamerkan atau digunakan di

kelas-kelas lain.

D. Bahan ajar

Perlu ditegaskan di sini bahwa kurikulum ini berbasis kompetensi yang

implikasinya ialah bahan ajar apa saja yang dinilai membantu pencapaian kompetensi

dapat digunakan. Tentu saja, pemilihan materi tersebut didasari oleh, misalnya, jenis

teks dengan struktur tertentu, teks tersebut otentik, menarik dan sebagainya. Guru tidak

diharuskan untuk memakai buku ajar tertentu, tetapi guru diharuskan memilih bahan

ajar yang bermanfaat.

Jika ada fihak yang berniat mengembangkan buku ajar maka buku tersebut

disarankan untuk dikembangkan berdasarkan empat tahap dan dua siklus pembelajaran

sebagaimana disebut di atas. Sebelum menulis buku, penulis wajib mengembangkan

semacam silabus sebagaimana dicontohkan dan menyusun pengalaman pembelajaran

menurut tahap dan siklus yang disarankan. Di atas semua ini, penulis buku sebaiknya

adalah guru atau penulis yang memiliki kompetensi bahasa Inggris yang baik dan

pernah bermukim di negara yang berbahasa Inggris. Ini disarankan untuk menjamin

otentisitas teks yang ditulisnya.

E. Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat

Masyarakat sekitar, terutama para orang tua siswa, sebaiknya dilibatkan dalam

proses pembelajaran dengan memberikan dukungan kongkrit. Akan tetapi dukungan

kongkrit biasanya akan datang jika sekolah atau guru menunjukkan kinerja kongkrit.

Kinerja tersebut tidak hanya berupa nilai hasil belajar, tetapi juga berupa kegiatan

seperti lomba menulis, pidato, debat, dan pagelaran bahasa Inggris seperti musik, tari,

drama dan sebagainya. Peran serta masyarakat industri dapat diharapkan jika pihak

58

industri melihat keseriusan sekolah dalam menggalakkan bahasa Inggris. Ini sudah

terjadi di negara seperti Korea Selatan.

59