OTONOMI DESA PAKRAMAN DI BALI SETELAH KELUARNYA UU … · adat yang di Bali dikenal sebagai desa...
Transcript of OTONOMI DESA PAKRAMAN DI BALI SETELAH KELUARNYA UU … · adat yang di Bali dikenal sebagai desa...
Bidang Unggulan : Sosial, Ekonomi Dan Bahasa
Kode/ Bidang Ilmu : 596 / Ilmu Hukum
LAPORAN PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
OTONOMI DESA PAKRAMAN DI BALI SETELAH
KELUARNYA UU NO 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA
TIM PENELITI
A.A Gede Oka Parwata ,SH MSi (0031125763)
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, SH MH (0010045603)
AA Ketut Sukranatha, SH MH (005065707)
DIBIAYAI DARI DANA DIPA UNIVERSITAS UDAYANA
DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN NOMOR
959A/UN14.1.11/KU/2015, TANGGAL 04 MEI 2015
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2015
D A F T A R I S I
JUDUL ........................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... ii
RINGKASAN ................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN................................ 9
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................... 10
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 12
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 24
6.1. Kesimpulan ........................................................................... 24
6.2. Saran ..................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana otonomi desa
pakraman di Bali setelah keluarnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU
Desa). Berdasar ketentuan Pasal 6 UU Desa disebutkan desa adalah desa dan desa
adat. Ketentuan ini memerlukan telaahan akademis karena dengan ketentuan ini
desa pakraman di Bali yang telah mempunyai otonominya sendiri menjadi
dipertanyakan eksistensinya. Mengingat selama ini kesatuan masyarakat hukum
adat yang di Bali dikenal sebagai desa pakraman telah memiliki otonomi asli,
yaitu kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Lebih lanjut
penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban yang tepat dalam penentuan
desa dan desa adat yang sesuai dengan kondisi di Bali karena tidak boleh
dilupakan secara konstitusi desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat dilindungi berdasar Pasal 18 B Ayat 2 UUD NKRI 45. Dengan demikian
diperoleh solusi terhadap permasalahan yang terkait, sehingga tidak ada keraguan
lagi dalam menentukan pilihan atas desa dinas atau desa adat.
Penelitian ini dikualifikasikan sebagai yuridis normatif ( didukung juga
dengan penelitian lapangan sebagai pendukung dalam penelitian normatif ) yaitu
berarti bahwa semua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, akan selalu
mengacu pada tinjauan hukum, baik secara normatif maupun berdasarkan doktrin
ilmu hukum. Pokok-pokok permasalahan dibahas dengan dua jenis pendekatan
yaitu pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konseptual. Pengumpulan
bahan hukum sendiri dilakukan melalui teknik telaah kepustakaan (study
document) yang dilakukan dengan mengumpulkan dan mempelajari serta
memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum
primer, sekunder maupun tersier. Untuk mendukung bahan hukum yang
dianalisis, dilakukan pula wawancara di lapangan dengan stake holder terkait
dengan otonomi desa pakraman. Analisisnya sendiri secara normatif-kualitatif
yaitu containt analisis. Analisa ini adalah dilakukan terhadap pasal-pasal ataupun
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Agar kajian dan hasil lebih komprehensif, dilakukan juga Focus Grup
Discussion dengan terfokus menelaah permasalahan dalam penelitian ini. Pihak
yang dilibatkan adalah stake holder terkait, praktisi, akademisi, jajaran pengambil
keputusan strategis dalam menentukan bagaimana otonomi desa pakraman setelah
keluarnya UU Desa tersebut.
Kata Kunci : Otonomi , Desa Pakraman, UU Desa
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa,
karena berkat Anugrahnya sehingga pelaksanaan kegiatan penelitian ini dapat
terlaksana dengan lancar dan semestinya sesuai dengan rencana dan jadwal yang
telah ditetapkan.
Hasil kegiatan pengabdian masyarakat ini, dituangkan dalam bentuk
laporan yang berjudul “ Otonomi Desa Pakraman Di Bali Setelah Keluarnya UU
No 6 Tahun 2014 Tentang Desa “
Keberhasilan pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dari para pihak
diantaranya :
1. Fakultas Hukum Universitas Udayana yang mendukung sepenuhnya
baik dari pendanaan melalui dana DIPA sehingga dapat mewujudkan
penelitian ini dari awal hingga selesai
2. Rekan-rekan dosen Fakuktas Hukum Universitas Udayana yang
memberi masukan untuk menambah dan menyempurnakan penelitian
ini melalui bahan-bahan hukum yang dimiliki terkait dengan materi
penelitian ini.
3. Semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu dalam penelitian
ini yang juga tidak kalah penting perannya dalam memberi dukungan
terhadap proses dan hasil penelitian yang kami lakukan.
Kami menyadari bahwa kegiatan dan laporan penelitian yang kami
hasilkan jauh dari sempurna . Semoga hasil kegiatan dan laporan penelitian
tentang Otonomi Desa Pakraman setelah keluarnya UU No 6 Tahun 2014 Tentang
Desa ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Oktober, 2015
Tim Peneliti
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Desa Adat (sekarang Desa Pakraman) di Bali adalah satu masyarakat
hukum yang memiliki otonomi asli, yaitu kewenangan untuk mengatur atau
mengurus rumah tangganya sendiri, kekuasaan mana terlahir dari desa itu sendiri,
tidak dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Kewenangan tersebut dilaksanakan
dalam menetapkan aturan-aturan hukum yang mesti diperhatikan dan ditaati oleh
setiap bagian dari masyarakatnya, menyelenggarakan tata kehidupan masyarakat
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan warganya dan ada kekuasaan untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan warga . Ketiga wujud kekuasaan
diatas terletak di tangan pemerintahan desa adat bersama-sama dengan warga,
yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kepentingan riil yang ada.
Persoalannya menjadi penting manakala otonomi desa adat tersebut
dikaitkan perkembangan ketatanegaraan yang melalui UU N0 6 Tahun 2014 (UU
Desa) menjadi desa dan desa adat. Hal ini menjadi semakin kompleks jika
dikaitkan dengan keberadaan desa pakraman dalam lingkup kehidupan bernegara,
yang tersusun dalam satu bentuk pemerintahan yang berjenjang sejalan dengan
asas desentralisasi, dalam bentuk Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah
(Provinsi dan Kabupaten/Kota). Pemerintah Daerah memiliki otonomi yang
diberikan oleh negara melalui peraturan perundang-undangannya, sehingga dapat
dikatakan bahwa terjadi “pertemuan” antara otonomi dari desa pakraman dengan
otonomi daerah, khususnya yang dilaksanakan di tingkat desa. Sebagaimana
diketahui bahwa desa yang dibentuk dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah
di Bali dikenal dengan Desa Dinas yang menjalankan fungsi pemerintahan
(administrasi). Di tingkat desa inilah terjadi pertemuan antara otonomi asli dari
desa adat dengan otonomi dari desa dinas yang diberikan oleh undang-undang.
“Pertemuan” seperti ini dapat bersifat positif, dalam arti saling mendukung dalam
pelaksanaannya, namun dapat pula bersifat negatif dalam arti bertentangan satu
dengan yang lainnya.
Pada bagian lain dapat dilihat bahwa kondisi yang menyertai keberadaan
desa adat dan desa dinas di Bali setidak-tidaknya memiliki tiga variasi yaitu :
a. ada desa dinas yang luas wilayahnya sama dengan desa adat;
b. ada desa dinas yang luas wilayahnya lebih besar dari desa adat;
c. ada desa dinas yangluas wilayahnya lebih kecil dari desa adar.
Keadaan seperti ini tentunya membawa variasi pula dalam pelaksanaan
dari otonomi kedua desa tersebut. Namun kondisi menjadi berubah ketika
ketentuan pasal 6 UU Desa menyebut desa adalah desa dan desa adat. Jelas
kondisi ini kemudian memberi perubahan sangat signifikan terhadap situasi dan
kondisi yang ada di desa pakraman. Selama ini desa pakraman mandiri dengan
payung konstitusi UUD 45 pasal 18 B ayat 2 dan Perda Nomor 3 Tahun 2001
tentang desa pakraman, kehidupan kemasyarakatannya diatur dengan panduan
awig-awignya yang menjadi hukumnya tersendiri dalam mengatur harmonisasi di
desa pakraman, aset-aset desa pakraman dijaga dan dikelola menurut norma
hukum adat Bali, filosofi Tri Hita Karana yang mengatur hubungan atas
palemahan ( wilayah),pawongan (perorangan),parahyangan (ke-Tuhanan melalui
Kayangan Tiga), Selama ini itu dapat berlangsung mandiri walaupun ada desa
dinas yang juga memiliki kewenangannya sendiri yang bersifat administratif,
kedua pelaksanaan otonomi adalah terpisah dan tidak tercampur baur satu dengan
yang lain. Adanya ketentuan UU Desa merubah semua yang telah berlangsung
cukup baik khusus untuk Bali, karenanya agar implementasi kehendak UU Desa
ini atas penyebutan desa sebagai desa dan desa adat tepat dalam mempertahankan
eksistensi desa pakraman, maka kajian terhadap otonomi desa pakraman sangat
penting dilakukan.
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas beberapa permasalah
yang perlu untuk diteliti adalah:
1. Apakah ketentuan dalam UU Desa telah mencerminkan prinsip-prinsip
otonomi?
2. Bagaimanakah ketentuan pengaturan tentang desa dan desa adat berdasar
ketentuan UU Desa?
3. Bagaimanakah otonomi Desa Pakraman di Bali setelah keluarnya UU
Desa?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Desa Pakraman di Bali (dulu disebut dengan Desa Adat) merupakan
satu masyarakat hukum yang dilandasi oleh aturan-aturan hukum adat yang
dibentuk atau ditetapkan oleh masyarakat hukum itu sendiri. Sebagai satu
masyarakat hukum atau yang sering pula disebut dengan persekutuan hukum,
desa pakraman merupakan satu pergaulan hidup yang bertindak sebagai satu
kesatuan baik kedalam maupun keluar, memiliki tata susunan yang tetap,
memiliki pengurus dan harta kekayaan baik yang bersifat duniawi maupun
gaib, dan tidak ada satu keinginanpun dari warga untuk membubarkan
kelompoknya itu karena dipandangnya sebagai satu hal yang bersifat kodrati1
Desa pakraman di Bali umumnya adalah satu kesatuan yang bersifat
teritorial yang memiliki tiga unsur utama yaitu : wilayah, warga dan
pemerintahan. Dalam penyelenggaraan kehidupan desa pakraman ditemukan
satu landasan filosofis yang bersumber pada ajaran agama Hindu yang dikenal
dengan tri hita karana yang dimanifestasikan dalam keserasian hubungan
antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan manusia dengan
sesamanya. Keharmonisan hubungan ini diatur dalam awig-awig desa, dan di
dalamnya kelihatan perwujudan dari kekuasaan yang dimiliki oleh desa untuk
mengatur segala sesuatu yang dipandang perlu untuk menjaga keharmonisan
tersebut. Apabila dicermati lebih lanjut keharmonisan hubungan manusia
dengan Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk pemujaan kehadapan Tuhan
Yang Maha Esa dalam segala manifestasinya, khususnya dalam manifestasinya
sebagai Tri Murti yang dilaksanakan di tiga tempat pemujaan yang dikenal
dengan Tri Kahyangan yaitu : Pura Desa, Pura Puseh , dan Pura Dalem.
Dalam hubungannya dengan mewujudkan keharmonisan tersebut
tampak bahwa desa pakraman mengadakan pengaturan berkenaan dengan
pelaksanaan kegiatan pemujaan berbentuk pembebanan kewajiban dari warga
desa untuk memelihara dan menyelenggarakan upacara-upacara yang
diperlukan di kahyangan desa. Demikian juga halnya dengan hubungan 1 Soepomo, 2007, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.43
manusia dengan alam yang diwujudkan dalam aturan tentang kewajiban warga
untuk memelihara lingkungan yang dikenal dengan palemahan desa.
Lebih lanjut mengenai hubungan antara sesama ditemukan aturan
tentang pesuka-dukan yaitu hubungan antara sesama warga dalam keadaan
suka maupun (terutama sekali) dalam keadaan duka. Semua aturan yang ada
biasanya disertai dengan sanksi-sanksi manakala warga tidak mematuhinya.
Semua aturan berkenaan dengan pemeliharaan keharmonisan hubungan
dari ketiga unsur tri hita karana tersebut dituangkan kedalam awig-awig desa
yang dibentuk oleh desa pakraman secara bersama-sama melalui paruman
desa, dan kewenangan untuk menetapkan awig-awig tersebut merupakan salah
satu perwujudan dari otonomi desa adat. Sejalan dengan keberadaan awig-awig
tersebut maka kewenangan desa pakraman untuk menjatuhkan sanksi
merupakan kewenangan yang dimiliki desa sejalan dengan otonominya itu.
Pemerintahan yang mengatur desa di Provinsi Bali dikenal ada dua
bentuk ( pemerintahan) desa masing- masing mempunyai fungsi, sistem, atau
struktur organisasi berbeda. Dua bentuk desa yang lazim disebut dualisme desa
di Bali adalah :
(1) Desa dinas ( desa dan kelurahan) adalah organisasi pemerintahan di
desa yang menyelenggarakan fungsi administratif
(2) Desa pakraman atau desa adat adalah kesatuan tradisi dan tata
pergaulan hidup masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam
ikatan kahyangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan haeta
kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.2
Dalam pelaksanaannya fungsi administrasi kedinasan berlangsung melalui
garis koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota yang juga kemudian
langsung ke provinsi. Penanganan masalah administrasi secara terpisah
dilaksanakan dan tidak terkait dengan pelaksanaan sosio religius
kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh kesatuan masyarakat hukum adat di
Bali yang dikenal dengan nama desa pakraman tersebut.
2 Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm.40
Jika dilihat secara konstitusional pengakuan terhadap kesatuan masyarakat
hukum adat itu ada pada Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 yaitu : Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang.
Pengaturan sesuai pasal 18B aat 2 tersebut menunjukkan bahwa desa
memiliki ruang atas pengembangan hak asal-usul dan adat istiadat desa yang
menjadi sendi nilai bagi pemerintahan desa sebagai dasar bagi terlaksananya
otonomi asli dan hak-hak tradisional desa di dalam praktek pemerintahan desa.
Otonomi pada desa khususnya desa pakraman mempunyai landasan yang
kuat disamping bersumber dari kodratnya sendiri ( otonomi asli) juga
bersumber pada kekuasaan negara karena dalam struktur kenegaraan mendapat
pengakuan secara yuridis berdasarkan konsitusi. Isi ootomi asli yang
dikembangkan tersebut adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengurus
rumah tangganya sendiri. Meminjam teori pembagian kekuasaan dalam megara
modern seperti yang dikemukan Montesque dengan trias politicanya ,
kekuasaan yang dimiliki desa pakraman adalah meliputi fungsi-fungsi legislatf,
eksekutif dan yudikatif. 3
Upaya pemberdayaan atas desa adat tampak menonjol dalam peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yaitu untuk
memperkuat desa adat dan dipandang sangat efektif sebagai lembaga
pengelolaan urusan desa sehingga berfungsi sebagai mesin pembangunan
demokrasi dari tingkat bawah. Ini tampak secara mandiri dalam pengelolaan
kehidupan sosial dan ritual secara organis dan bebas.4
Pada bagian lain dapat dilihat bahwa dalam kerangka negara kesatuan RI,
berdasarkan UUD 1945 wilayah negara dibagi dalam daerah-daerah yang
bersifat otonom sebagai perwujudan dari asas desentralisasi. Dengan
diberikannya otonomi kepada daerah (dhi. Provinsi dan Kabupaten) berarti
3Ibid, hlm.46
4 Martin Ramstedt, 2011, Kegalauan Identitas, Grasindo, Jakarta, hlm.57
daerah-daerah tersebut memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri.
Otonomi yang diberikan kepada daerah mengandung pelaksanaan dari tiga
asas dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yaitu : asas desentralisasi,
asas dekonsentrasi dan asas pembantuan (medebewind). Dengan asas
desentralisasi dapat dilihat adanya penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas
dekonsentrasi mengandung makna pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu. Pengaturannya tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah menurut UU No. 23 tahun 2014 ( UU
Pemda) dan juga Perpu Nomor 2 Tahun 2015 menganut prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah
menurut UU ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi
nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah bahwa untuk
menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang,
dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup,
dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian
isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah
lainnya. Otonomi bertanggungjawab mengandung makna bahwa
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi itu sendiri yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.5
Bila ditelusuri lebih jauh, pengaturan mengenai otonomi daerah dan
juga otonomi dari masyarakat hukum adat bersumber pada UUD 1945 (setelah
amandemen). Mengenai otonomi daerah pengaturannya dapat ditemukan
dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah, pasal 18 dan 18 A, sedangkan
mengenai otonomi masyarakat hukum adat diatur dalam pasal 18 B ayat 2.
Dalam pasal 18 dapat dilihat pengaturan tentang pelaksanaan otonomi daerah
antara lain mengenai kewenangan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan pembantuan (ayat 3), kemudian mengenai pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya (ayat 5) dan tentang hak pemerintahan
daerah menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya untuk menjalankan
otonomi dan tugas pembantuan (ayat 6). Pasal 18 B ayat 2 menyebutkan bahwa
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang.
Pengaturan lebih lanjut tentang masyarakat hukum adat dapat
ditemukan dalam UU Pemda 2014 Dalam Undang-Undang ini masyarakat
hukum adat disebut desa dan dirumuskan dalam pasal 1 angka 43. Desa atau
yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-
usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam penjelasan umum angka 10 tentang desa dinyatakan
bahwa : Desa berdasarkan Undang-undang ini adalah desa atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan
5 I Made Subawa, 2005, Hukum Tata Negara Setelah Amandemen UUD 1945, Bagian Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm.129
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan
Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang
Undang Dasar Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa
adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan
pemberdayaan masyarakat.
Dari ketentuan di atas dan penjelasannya dapat dilihat bahwa undang-
undang mengakui keberadaan desa sebagai masyarakat hukum (adat), tapi dilain
pihak undang-undang juga mengisyaratkan bahwa desa sebagai masyarakat
hukum dapat dibentuk (baru) dalam sistem pemerintahan negara. Dengan kata
lain, disamping masyarakat hukum adat yang asli yang diakui keberadaannya,
dapat pula dibentuk masyarakat hukum yang baru sesuai kepentingan
pemerintahan negara. Dengan demikian dalam sistem pemerintahan negara akan
dijumpai adanya dua jenis desa yaitu : desa yang bersifat asli (masyarakat hukum
adat) dan desa baru yang dibentuk oleh pemerintah negara. Ironinya, kedua jenis
desa ini diatur secara sama dalam undang-undang ini yang didasarkan pada satu
landasan pemikiran berupa keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi,dan pemberdayaan masyarakat.
Kondisi seperti ini tentunya dapat menimbulkan friksi (benturan)
dilingkungan masyarakat adat, dalam rangka pelaksanaan otonomi asli yang
dimilikinya dengan pengaturan oleh negara sesuai kepentingan pemerintahan
negara. Atas dasar kondisi seperti ini maka penelitian tentang otonomi desa
pakraman di Bali sebagai satu bentuk masyarakat hukum adat dan
implementasinya dalam kerangka otonomi daerah menjadi penting untuk
dilakukan. Selain itu dari studi kepustakaan belum ditemukan adanya
penelitian tentang hal ini. Kajiannya baru sebatas status, dan belum menyentuh
aspek substansi yang menelaah tentang kesatuan tentang otonomi desa
pakraman di Bali dari setelah keluarnya UU Desa.
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan dalam UU Desa apakah
sesuai dan telah mencerminkan prinsip-prinsip otonomi.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan pengaturan tentang desa
dan desa adat berdasar ketentuan UU Desa
3. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana otonomi desa pakraman
setelah keluarnya UU Desa
3.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
- Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
hukum pada umumnya yaitu menyangkut bagaimana melihat aneka permasalahan
hukum umum yang terjadi berkaitan dengan otonomi desa pakraman.
b. Manfaat praktis
- Bagi pemerintah, tentunya penelitian ini sangat penting untuk
masukan dalam pembuatan kebijakan dalam bidang pemerintahan
untuk tetap memperhatikan desa dinas dan desa adat
- Bagi masyarakat, bermanfaat untuk mengetahui kepastian dan
perlindungan hukum bagi desa dinas dan desa adat.
BAB IV
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dikualifikasikan sebagai yuridis normatif ( didukung juga
dengan penelitian lapangan sebagai pendukung dalam penelitian normatif ) yaitu
berarti bahwa semua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, akan selalu
mengacu pada tinjauan hukum, baik secara normatif maupun berdasarkan doktrin
ilmu hukum.
2. Jenis Pendekatan
Pembahasan terhadap ketiga pokok permasalahan dalam penelitian ini
didasarkan pada dua jenis pendekatan yaitu pendekatan pereundang-undangan,
dan pendekatan konseptual.
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah undang-
undang dan regulasi yang berkaitan erat dengan desa pakraman.
Pendekatan konseptual untuk menemukan pengertian dan konsep yang
tertuang dalam Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui dan menjelaskan
tema sentral sesuai dengan masing-masing rumusan masalah dalam penelitian ini
diargumentasikan secara teoritik berdasarkan konsep otonomi desa pakraman.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Adapun teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaah kepustakaan (study
document) yang dilakukan dengan mengumpulkan dan mempelajari serta
memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum
primer, sekunder maupun tersier. Untuk mendukung bahan hukum yang
dianalisis, dilakukan pula wawancara di lapangan dengan stake holder yang
terkait .
1. Study Dokumen.
Merupakan teknik pengumpulan bahan hukum yang mengawali penelitian
ini dimana teknik ini difokuskan pada dokumen resmi pengaturan otonomi UU
Desa.
2. Study Kepustakaan
Penelitian kepustakaan ( library reseach ) ini dilakukan dengan
mengumpulkan dan mempelajari data yang terdapat dalam buku., artikel,
dokumen resmi dan menginventarisasikannya, menganalisa untuk kemudian
dikorelasikan menjadi tulisan yang integral.
4.Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah dikumpulkan berkenaan dengan masalah dalam
penelitian ini akan dianalisis secara normatif-kualitatif yaitu containt analisis.
Analisa ini adalah dilakukan terhadap pasal-pasal dalam UUDesa.
Metode analisis ini dimaksudkan dengan menjabarkan bahan hukum yang
sudah diperoleh, kemudian dianalisis dan dicari penyelesaiannya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini dan dianalogikan
dengan beberapa alternatif penyelesaian.
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Prinsip-Prinsip Otonomi Dalam UU Desa
Kekuatan akan pengakuan dalam konstitusi sudah jelas tersirat mengenai
kesatuan masyarakat hukum adat yang dapat kita lihat sebagai sebuah kekuatan
tersendiri entitas desa adat tentunya. Semangat untuk mengakui Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat setelah reformasi mengakibatkan adanya semangat untuk mengatur KMHA
di dalam konstitusi. Kemudian dari semagat tersebut maka amandemen UUD dilakukan
dengan mencantumkan KMHA secara tegas sebagai bentuk pengakuan beserta hak-
haknya. Pengaturan KMHA di UUD NKRI 1945 antara lain terdapat dalam Pasal 18B
yang menyatakan;
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan‐satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.
Dalam penjelasan pada ayat (2) dapat dijelaskan sebagai hal pengakuan dalam
konstitusi. Tercantum dalam ayat (2) Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum
adat mengandung empat konsekuensi.
Penjabaran konsekuensi tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Suatu kesatuan masyarakat, diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum sehingga
dapat bertindak sebagai subyek hukum.
2. Terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilekatkan hak dan kewajiban,
serta dapat melakukan tindakan hukum.
3. Pada saat terdapat pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, maka
dengan sendirinya negara mengakui sistem hukum yang membentuk dan
menjadikan kesatuan masyarakat itu sebagai kesatuan masyarakat hukum.
Keempat, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat juga dengan
sendirinya berarti pengakuan terhaadap struktur dan tata pemerintahan yang
dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat.
Amandemen UUD, sehingga HAM diatur dari konstitusi. KMHA diakui
sebagai subjek hukum yang memiliki hak budaya. Dalam Pasal 28 I Pada Ayat
(3), menyatakan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan
perkembangan jaman dan peradaban”, hal ini merupakan sebuah Pengakuan dan
penghormatan KMHA yang tidak hanya terhadap identitas budaya, tetapi juga
terhadap eksistensinya sebagai subyek hukum.
Pengaturan berikutnya dalam UU Desa dilihat bahwa peluang bagi
tumbuh dan pengembangan otonomi tampak pada prinsip-prinsip otonomi yang
tampak pada UU Desa yaitu sebagai berikut :
Pasal 3
Pengaturan Desa berasaskan:
a. Rekognisi;
b. Subsidiatitas;
c. Keberagaman;
d. Kebersamaan
e. Kegotongroyongan;
f. Kekeluargaan;
g. Musyawarah;
h. Demokrasi;
i. Kemandirian;
j. Partisipasi;
k. Kesetaraan;
l. Pemberdayaan dan
m. Keberlanjutan
Pengaturan pasal 3 apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip otonomi
memberikan porsi bagi eksistensi desa itu sendiri sebagai entitas mandiri bagi
tumbuhnya otonomi desa. Sejumlah pasal memberi penekanan diskresi yang
memungkinkan tumbuhnya kewenangan mandiri atau otonomi desa tumbuh
yang menjadi pusat perhatian oleh pemerintah desa, masyarakat desa, pemerintah
daerah dan pemerintah pusat. Pengaturan otonomi ini menjadi dasar kewenangan
utama sebagaimana dimaksud UU ini bahwa desa berdasar pada hak asal usul
sebagaimana diakui dan dihormati negara. Tampak bahwa asas subsidiaritas yang
melandasi undang-undang desa memberikan keleluasaan dalam penetapan
kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk
kepentingan masyarakat desa.
Prinsip kewenangan dalam pengaturan desa tampak pada Bab IV, Pasal 18 :
kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan
desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan
pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul
dan adat istiadat desa.
Sesuai maksud Pasal 18 tersebut Desa mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat
istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat dan melaksanakan bagian-bagian
dari suatu urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh pemerintahan
kabupaten/kota. Kewenangan desa mencakup :
a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul, adat istiadat dan nilai-
nilai sosial budaya masyarakat;
b. kewenangan lokal berskala desa yang diakui kabupaten/kota
c. kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang dilimpahkan
pelaksanaannya kepada desa; dan
d. kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundangundangan.
Kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang
dilimpahkan pelaksanaannya kepada desa adalah pelimpahan kewenangan kepada
desa sebagai lembaga dan kepada kepala desa sebagai penyelenggara pemerintah
desa. Dalam melaksanakan kewenangan pada tingkat desa merupakan
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa.
Pelaksanaannya diharapkan efektif untuk merespon segala kepentingan desa untuk
memenuhi prakarsa masyarakat desa menyangkut segala hal yang dibutuhkan
masyarakat desa sehingga dapat menggunakan otonominya untuk mewujudkan
hal tersebut.
Rumusan Pasal 6 UU Desa yakni :
(1) Desa terdiri dari desa dan desa adat
(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat.
Sementara dalam Penjelasannya, ketentuan Pasal 6 UU Desa dijelaskan sebagai
berikut :
Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah,
kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 ( satu)
wilayah maka dalam 1 ( satu) wilayah hanya trerdapat Desa atau Desa Adat.
Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara desa dan desa adat dalam 1 ( satu
wilayah, harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang ini.
Apabila dikaji dengan konstitusi Pasal 18 B ayat (2) sesungguhnya sangat
terasa bahwa desa merupakan Desa suatu entitas masyarakat hukum tertua dan
dapat dikatakan asli karena keberadaannya bahkan sebelu negara kesatuan
Republik Indonesia ini terbentuk yang mana ini menjadi dasar bahwa negara
sendiri mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
tersebut yang bisa dilihat eksistensinya melalui kelembagaan dengan
kewenangannya sesuai otonomi asli yang dimilikinya. Ini diperkuat dengan sistem
hukum adat sebagai bentuk yang asli yang berasal dari kehendak rakyat Tentang
bagaimana” hukum rakyat” tersebut Hilman Hadikusuma6 menggambarkan suatu
6 Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, hlm.2
keadaan dimana manusia dengan pikiran, kehendak dan prilakunya yang
melaksanakan kehendak dan kebiasaan pribadinya dan berdasarkan adat oleh
masyarakatnya disebut sebagai hukum adat yang menjadi hukum rakyat.
Sementara secara formal dalam kehidupan bernegara disebut hukum negara.
Ini merupakan penggambaran atas suatu pengakuan bahwa sebagai suatu
sistem yang berurat akar pada rakyat maka di dalamnya lembaga adat berupa desa
adat tentu tidak dapat dikesampingkan mengingat sebagai lembaga yang otonom
berperan dalam mengatur rumah tangganya sendiri secara asli pula.
Penyebutannya sebagai hukum rakyat yang dilihat sebagai kaidah yang berasal
dari maasyarakat itu sendiri.
Lebih lanjut dipaparkan bagaimana sebagai entitas asli Indonesia yaitu
desa kemudian juga diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan dari
waktu ke waktu hingga kemudian keluarnya UU Desa 2014 yang terbaru yang
mendorong ditentukannya bentuk atas desa dinas dan desa adat. Secara historis
bentuk-bentuk desa di seluruh Indonesia berbedsa-beda dikarekan berbagai faktor,
antara lain sebagai berikut :
1. Wilayah yang ditempati penduduk ; ada wilayah yang sempit ditempati
penduduk yang padsat, dan ada wilayah yang luas ditempati penduduk
yang jarang
2. Susunan masyarakat hukum adat ; ada masyarakat adat (desa) yang
susunannya berdasarkan ikatan ketetanggan ( teritorial) dan ada
susunannya berdasarkan ikatan adat keagamaan
3. Sistem pemerintahan adat dan nama-nama jabatan pemerintahan adat
yang berbeda- beda dan penguasaan harta kekayaan desa yang
berbeda.7
Pengelolaan desa kini dalam perumusan UU Desa 2014 yaitu diwujudkan
pada penekanan bahwa potensi desa dioptimalkan dengan sejumlah penekanan
diantaranya adalah adanya hak desa yang diatur sebagai berikut :
7 Ibid, hlm.176
a. mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asalusul, adat
istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat;
b. memilih kepala desa, menetapkan BPD dan perangkat desa lainnya;
c. mengelola kelembagaan desa; dan
d. mendapatkan sumber-sumber pendapatan desa.
Rumusan tentang hak ini juga dibarengi dengan sejumlah kewajiban yang
menurut UU Desa 2014 sebagai berikut
Selain hak yang diatur Undang Undang, kewajiban desa diatur sebagai berikut :
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional
serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mengembangkan pemberdayaan masyarakat; dan
e. meningkatkan pelayanan dasar masyarakat.
Adanya hak dan kewajiban ini diarahkan untuk mewujudkan
pembangunan desa sesuai dengan sistem perencanaan yang terkoordinasi.
wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa dan tokoh masyarakat.
5.2 Pengaturan Desa Adat dan Desa Dinas Dalam UU Desa
Penjelasan umum UU Desa dalam menguraikan desa adalah dengan
konstruksi menggabungkan fungsi local self goverment diharapkan kesatuan
masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah desa,
ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat pada dasarnya melakukan
tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam hak asal usul
terutama menyangkut pelestarian sosial desa adat , pengaturan dan pengurusan
wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemelihraan ketentraman dan ketertiban
bagi masyarakat hukum adat, serta pelaksanaan pemerintahan berdasarkan
susunan aasli.
Tentang Desa Adat, penjelasan umum UU desa tersebut menyebutkan
adanya fungsi pemeerintahan, keuangan desa, pembangunan desa, serta mendapat
faslitasi pembinaan dari pemerintah kabupaten/kota. Dalam posisi sepwetyi ini
desda adat mendapat perlakuan yang sama dari pemerintah dan pemerintah
daerah. Oleh sebab itu di masa depan desa dan desa adat dapat melakukan
perubahan wajah desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif,
pelaksanaann pembangunan yang berdaya guna , serta pembinaan maasyarakat di
wilayahnya. Dalam status yang sama seperti itu desa dan desa adat diatur secara
tersendiri dalam undang-undang ini.
Apabila dikaitkan dengan kondisi desa adat di Bali , maka eksistensi desa
adat yang warisan turun temurun dan menjadi perekat batin dalam mencapai cita-
cita hukum menuju Bali yang aman, adil , makmur, dan sejahtera yang mana
dapat mewujudakan pengembanhan desa adat tidak menjadi negara dalam negara
dimana otonomi desa dikembangkan ke arah kemandirian dan kesejahteraan.8
Kekhususan tentang desa adat oleh UU Desa diatur berdasarkan ketentuan
Bab XIII dengan bagiannya yang mengatur bahwa juga ketentuan yang
memayungi kehidupan desa adat yang terikat secara sosiologis, yuridis dan
filosofisnya dengan adanya aturan hukum adat yang mengatur tertib hidup
mereka. Sehinggasangat tepat bila dalam pengaturan hukumnya selalu
memperhatijan eksistensi desa adat dan otonominya,
8 I Ketut Seregig, Filsafat Desa Adat, 2014, Paramitha, Denpasar, hlm.98
5.3 Otonomi Desa Pakraman Di Bali setelah Keluarnya UU No 6 Tahun 2014
Tentang Desa
Apabila melihat sistem kemasyarakatan Bali yang dilaksanakan secara
turun temurun selama ini dalam ikatan berlandas Tri Hita Karana, maka dapat
dilihat bagaimana desa adat berfungsi untuk menata dan mengatur kehidupan
paguyuban dari warga desanya sebagai suatu desa adat, yaitu unsur warganya
yang dinamakan Pawongan, unsur wilayah desanya dinamakan Palemahan, dan
unsur tempat-tempat pemujaan bagi warga desanya yang dinamakan Parhyangan
yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Berdasarkan fungsinya,
diprogramkanlah tugas-tugas desa yang dituangkan dalam bentuk awig-awig desa,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.9
Rumusan secara rinci tentang bagaimana desa adat di Bali yang kemudian
dipayungi secara legal dalam Perda dijabarkan oleh Surpha. di Bali Menurutnya
desa di Bali digunakan untuk menunjuk suatu wilayah pemukiman penduduk
beragama Hindu. Jika dirujuk pada hasil rekomendaasi Parisada Hindu Dharma
Pusat selaku Majelis Tertinggi Agama Hindu di Indonesia, dimana terdapat juga
dalam Ketetapan-Ketetapan Maha Sabha dan Pesamuhan Agung, pengaturan
Desa Adat tidak dapat dilepaskan dari jangka waktu tinggal, sistem pakramannya,
mewujudkan tata hidup yang harmonis dengan pemimpinnya yang dianggap
mampu mengatur masyarakat untuk mewujudkan kertha raharjaAdanya
Kahyangan Tiga merupakan syarat mutlak bagi suatu Desa Adat. Adanya
kahyangan tiga dimana Pura Dalem sedapat-dapatnya terpisah dari Pura Puseh,
Pura Desa dan dekat Patunon. Kepengurusan terhadap kahyangan desa adalah hak
dan sekaligus kewajiban yang diemban desa adat bersangkutan termasuk dalam
perlengkapan upacaranya dan pengaturan laba pura. Hal berikut juga diatur bahwa
setiap patunon harus dapat di tepi desa, terlindung dari pandangan umum,
sedapat-dapatnya di dekat air dan harus ada Prajapati. Pelaksanaan ajaran agama
sebagaimana tata cara adat supaya dipupuk sesuai dengan Desa, Kala, Patra dan
demi kemurnian pelaksanaan ajaran agama, diserukan agar adat jangan sampai
9 I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali
Post, Cet.Pertama hlm 16
menjadi penghambat pelaksanaan ajaran agama. Desa adalah masyarakat hukum
yang bersifat kesatuan hidup sosial keagamaan dan Banjar merupakan bagian dari
Desa. Untuk menjaga ketertiban hidup di desa, diserukan penyuratan awig-awig.
Ada juga upaya agar Status tanah pekarangan desa supaya ditertibkan sesuai
dengan ketentuan adat yang berlaku. Semua hal yang telah dijabarkan tersebut
oleh Surpha ditekankan bagaimana situasi desa baik itu para pemimpin desa dan
pemuka-pemuka agama di desa supaya menjalin kerjasama yang erat dalam
menghayati ajaran-ajaran Agama Hindu.10
Berdasar uraian Surpha tergambar bagaimana secara mandiri ada
pengelolaan di desa pakraman yang ditujukan bagi harmonisasi kehidupan
bersama diantara anggota, pemimpin dan wilayah mereka yang dijaga berdasar
aturan yang disebut awig-awig yang terumuskan berdasar Tri Hita Karana. V.E
Korn menggambarkan sebagai sebuah republik kecil Masyarakat hukum disebut
dengan desa adat (sekarang desa pakraman). Desa adat di Bali, tidak sama dengan
masyarakat hukum pada umumnya, karena mempunyai kekhususan, yaitu
mencerminkan corak kehidupan yang bercirikan adanya unsur Pura Kahyangan.11
Sesuai paparan V E Korn sebagai suatu kesatuan yang mepunyai
kekhususan, Ida Bagus Putu Purwita menyatakan bahwa desa adat khususnya desa
adat Bali juga berperan sebagai penopang pembangunan. Desa desa sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai fungsi :
1. Membantu pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah
desa/pemerintah kelurahan dalam kelancaran dan pelaksanaan
pembangunan disegala bidang terutama di bidang keagamaan,
kebuadayaan dan kemasyarakatan.
2. Melaksanakan hukum adat istiadat dalam desa adatnya
10 Ibid hlm 10.
11 Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana University
Pres, Cet.Pertama, hlm.1
3. Memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap h Bali
khususnya, hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan
sosial keperdataan dan keagamaan.
4. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Bali
khususnya, berdasarkan paras paros, salunglung sabayantaka dan
musyawarah untuk mufakat.
5. Menjaga dan memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk
kesejahteraan masyarakat adat.12
Sesuai otonomi yang selama ini berjalan, maka dengan tetap sebagai suatu
kesatuan yang disebut desa adat, desa pakraman akan bisa berjalan sesuai dengan
otonominya juga berkaitan dengan fungsinya sebagai filter dalam menyaring
nilai-nilai budaya yang baru dalam kehidupan masyarakat Bali. Demikian
hakekatnya sehingga dengan bentuk desa adat kemandirian jelas tercermin
mengingat selama ini dapat mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan aturan
yang ditetapkan bersama masyarakatnya.
Arti penting bentuk desa adat juga dimaksudkan dalam pelestarian nilai-
budaya, desa adat adalah pengemban tugas utama, karena pendukung kebudayaan
Bali adalah masyarakat Bali itu sendiri yang kehidupannya dikoordinasikan di
desa adat. Pengertian desa adat tidaklah patut dipisahkan dari kota, karena kota
pun terdiri dari beberapa desa adat juga. Banjar banjar dikota bahkan yang
heterogen dan dilanda globalisasi juga tetap kukuh melaksanakan adat isiadat
sesuai dengan yang selama ini diwarisi dengan jiwa dan kepribadian Bali
khususnya.13
Penguatan Desa Adat terutama haknya kemudian diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
12 Ida Bagus Purwita, 1993, Desa Adat Pusat Pembinaan Kebudayaan Bali, Upada
Sastra, Denpasar, hlm. 52
13 Ibid, hlm.59
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam asasnya peraturan ini memperkokoh
asas kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan
gabungan antara genealogis dan teritorial dengan kedudukan kuat atas
pengelolaan kekayaan alam yang ada di wilayahnya. PP ini mengupayakan
masyarakat desa adat yang dalam beberapa hal terdesak oleh kepentingan investor
dan atas ekspoitasi di wilayah mereka seringkali merasakan dampak buruknya
maka keberadaan desa adat harus diperkuat.
Terkait dengan otonomi, atas penguatan desa adat, prinsip-prinsip
pengelolaan sumber daya alam mencerminkan nuansa ke otonomian masyarakat
lokal untuk menguasai, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya lokal, karena
mkna dan hakekat dari otonomi daerah harus diterjemahkan sebagai pemberian
otonomi kepada msyarakat di daerah, masyarakat adat, lokal dan bukan semata-
mata pemberian otonomi kepada pemerintah daerah. Peran pemerintah sebagai
fasilitator dimaksudkan untuk :
1. Mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya alam;
2. Menjamin pengakuan dan perlindungan akses dan hak-hak masyarakat
adat/lokal di daerah atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
alam;
3. Melindungi dan mengakomodasi modal sosial ( social capital) seperti
kearifan, etika, citra, religi, dan pranata-pranata sosial dalam
masyarakat di daerah; dan
4. Mengakui dan mengakomodasi kemajemukan hukum yang secara
nyata tumbuh dan berkembang dalam masyarakat14
Jika dilihat secara teoritiknya maka desa adat meeupakan bidang sosial
semi otonomi ( the semi-autonomous social field) yang berada fdalam satu
kerangka acuan sosial yang lebih luas yaitu negara, yang memiliki hak melakukan
14 I Nyoman Nurjaya, 2006, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif
Antropologi Hukum, Universitaas Negeri Malang Press, hlm. 113
pembentukan aturan dengan disertai kekuayan memaksa di dalam kelompoknya.
Relasi desa adat dan negara adalah relaasi timbal balik. Relasi desa adat dan
negara berupa berbagai proses yang memungkinkan aturan-aturan yang timbul
dari dalam menjadi efektif, juga meeupakan kekuatan yang tunduk, kepada aturan
–aturan yang dibuat oleh negara.15
15 Marhaendra Wija Atmadja, 2014, Konstitusionalitas Desa Adat, Memahami Norma
Hukum Desa Adat Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Makalah Pada
Seminar Nasional Kedudukan Desa Adat Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Denpasar, 28 Juni
2014
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.Kesimpulan
1. prinsip-prinsip otonomi memberikan porsi bagi eksistensi desa itu sendiri
sebagai entitas mandiri bagi tumbuhnya otonomi desa. Sejumlah pasal memberi
penekanan diskresi yang memungkinkan tumbuhnya kewenangan mandiri atau
otonomi desa tumbuh yang menjadi pusat perhatian oleh pemerintah desa,
masyarakat desa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Pengaturan otonomi
ini menjadi dasar kewenangan utama sebagaimana dimaksud UU ini bahwa desa
berdasar pada hak asal usul sebagaimana diakui dan dihormati negara. Tampak
bahwa asas subsidiaritas yang melandasi undang-undang desa memberikan
keleluasaan dalam penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan
keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.
2. Sesuai otonomi yang selama ini berjalan, maka dengan tetap sebagai
suatu kesatuan yang disebut desa adat, desa pakraman akan bisa berjalan sesuai
dengan otonominya juga berkaitan dengan fungsinya sebagai filter dalam
menyaring nilai-nilai budaya yang baru dalam kehidupan masyarakat Bali.
Demikian hakekatnya sehingga dengan bentuk desa adat kemandirian jelas
tercermin mengingat selama ini dapat mengatur rumah tangganya sendiri
berdasarkan aturan yang ditetapkan bersama masyarakatnya.
3. Desa adalah masyarakat hukum yang bersifat kesatuan hidup sosial
keagamaan dan Banjar merupakan bagian dari Desa. Untuk menjaga ketertiban
hidup di desa, diserukan penyuratan awig-awig. Sehingga dapat mewujudkan
situasi desa baik itu para pemimpin desa dan pemuka-pemuka agama di desa
supaya menjalin kerjasama yang erat
6.2. Saran
. Sikap arif dan bijaksana dalam penyelesaian untuk menentukan pilihan
desa adat atau desa dinas dengan tetap melandaskan pada ketentuan hukum yang
berlaku disertai pertimbahan aspek yang mendasar yaitu tinjauan secara filosofis,
yuridis dan sosiologis sehingga kepastian, keadilan dan kemanfaatan dapat
dirasakan sehingga amanat UUD 1945 dan Undang-Undang yang dirumuskan
selalu mengedepankan kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA
I Made Subawa, 2005, Hukum Tata Negara Setelah Amandemen UUD 1945,
Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
I Ketut Seregig, Filsafat Desa Adat, 2014, Paramitha, Denpasar
I Nyoman Nurjaya, 2006, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif
Antropologi Hukum, Universitas Negeri Malang Press, Malang
Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar
Maju, Bandung
Marhaendra Wija Atmadja, 2014, Konstitusionalitas Desa Adat, Memahami
Norma Hukum Desa Adat Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, Makalah Pada Seminar Nasional Kedudukan Desa Adat
Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Denpasar
Martin Ramstedt, 2011, Kegalauan Identitas, Grasindo, Jakarta
Soepomo, 2007, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta
Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana
University Pres, Cet.Pertama
Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas
Udayana
Peraturan Perundang-Undangan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Lampiran Biodata Ketua dan tim peneliti serta mahasiswa yang terlibat
KETUA PENELITI
A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap (dengan gelar) A.A. Gede Oka Parwata, SH.,MSi
2. Jabatan Fungsional Lektor Kepala
3. Jabatan Struktural -
4. NIP/NIK/No.Identitas lainnya 19571231198601003
5. NIDN 0031125763
6. Tempat dan Tanggal Lahir Ubud, 1957
7. Alamat Rumah
Jl. Batuyang G.Pipit V/5, Batubulan-
Giayar
8. Nomor Telepon/Faks /HP (0361) 294804
9. Alamat Kantor Jl.P.Bali No.1 Denpasar
10. Nomor Telepon/Faks 0361 – 222666 / Fax. 234888
11. Alamat e-mail Agung parwata [email protected]
12. Lulusan yang telah dihasilkan S-1= … orang; S-2= …Orang; S-3=
Orang …
13. Mata Kuliah yg diampu 1. Hukum Adat
2. Hukum Dan Perubahan Sosial
3. Hukum Dan Kebudayaan
4. Hukum Adat Lanjutan
5. Antropologi Hukum
B. Riwayat Pendidikan
Program S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi Fakultas Hukum
Universiats Udayana
Kajian Budaya
Universitas Udayana
Bidang Ilmu Ilmu Hukum Ilmu Hukum
Tahun Masuk 1978 1998
Tahun Lulus 1984 2000
Judul
Skripsi/Thesis/Disertasi
Peranan Awig-Awig
Dalam Menunjang
Pembangunan di
Daerah Tingkat II
Gianyar
Makna Awig-Awig
Dalam Dinamika
Masyarakat (studi Di
Desa Mawaang-
Lodtuduh Ubud)
Nama
Pembimbing/Promotor
I Nyoman Sirtha,SH
I Wayan Coti
Santika,SH
Prof.Dr I Gusti
Ngurah Bagus
Prof.Dr I Nyoman
Shirha,SH.,MS
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber *) Jml (Juta Rp.)
1. 2011 Eksistensi Gotong Royong dan Tolong
Menolong Dalam Kehidupan
Masyarakat Adat Di Desa Pakraman
Penyaringan
Dana DIPA 2.095.125,-
2. 2012 OtoOt Otonomi Desa Adat Dalam Kaitan
Dengan Keamanan Dan Ketertiban Di
Desa Pakraman Padang Tegal
Dana DIPA 2.100.000
4. 2012 Kontibusi Notaris/PPAT dan BPN
Dalam Sengketa Pertanahan Khususnya
Tanah Adat di Bali
Dana Prodi
Kenotariatan
5000.000
5. 2013 Konflik Perbatasan Desa Pakraman
Dalam Perspektif Nilai Ekonomis Tanah
Serta Penyelesaiannya
Swakelol
BAPPEDA
92.308.000
6. 2014 Pola Penyelesaian Sengketa Adat di Bali Swakelola
BAPPEDA
100.000.000
7. 2014 Persepsi Prajuru Desa Pakraman Dalam
Penyelesaian Konflik Tanah Adat
Dana Dipa 9.375.000
*) Tuliskan sumber pendanaan : PDM, SKW, Pemula, Fundamental, Hibah
Bersaing, Hibah Pekerti, Hibah Pascasarjana, Hikom, Stranas, Kerjasama Luar
Negeri dan Publikasi Internasional, RAPID, Unggulan Stranas atau sumber
lainnya.
D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat
Pendanaan
Sumber *) Jml (Juta Rp.)
1. 2011 Konsultasi Awig-Awig di Desa Pakraman
Dana DIPA 4000.000
Junjungan
2. 2012 Kedudukan Perempuan Dalam Hal
Mewaris( Sosialisasi Putusan MUDP) di
desa pakraman Keliki Kawan
Dana Prodi
MKn
4000.000
.
3. 2012 Penyuluhan Hukum waris adat waris di
Desa Pakraman Penatih
BOPTN 4.500.000
4. 2013 Ceramah Pewarisan dalam hukum adat
Bali di Desa Pangsan Petang Badung
Dana DIPA 4000.000
5. 2014 Konsultasi dan Pembinaan Perumusan
Perarem tentang Fasilitas Pariwisata di
Desa Pakraman Abangan Tegalalang
Gianyar
Dana DIPA 9.375.000
*) Tuliskan sumber pendanaan : Penerapan IPTEKS – SOSBUD, Vucer, Vucer
Multitahun, UJI, Sibermas, atau sumber dana lainnya
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun
Terakhir
No. Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal
1. Desa Pakraman Dalam Konteks Civiel
Society
Vol 33, N0 2 Juli
2009
Keeta Patrika
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata
dijumpai ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan penelitian : Otonomi Desa Pakraman Setelah
Berlakunya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Denpasar, 13 Oktober 2015
Pengusul,
(AA Gede Oka Parwata, SH MSi)