OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan...
Transcript of OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan...
Malahayati | Otonomi Khusus dalam Sistem Pemerintahan Indonesia | December 19, 2015
OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA
ANTARA TEORI DAN PRAKTIK DALAM KERANGKA NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
PAGE 1
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan dan kemudahan bagi Penulis dalam menyelesaikan tulisan yang berjudul
Otonomi Khusus Aceh dan Papua: Antara Teori dan Praktik dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tulisan ini merupakan salah satu tugas dalam Mata Kuliah
Otonomi Khusus dalam Sistem Pemerintahan Indonesia pada Program Doktoral Ilmu
Hukum Universitas Syiah Kuala Tahun 2015.
Tulisan ini menguraikan tentang pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh dan
Papua, dikaitkan dengan teori dan konsep dasar negara kesatuan. Tulisan terdiri dari IV
(empat) bab yang tersusun dalam sistematikan: Bab I Pendahuluan; Bab II Konsep Negara
Kesatuan, Asas Desentralisasi dan Otonomi Khusus yang menjadi dasar teori dalam
pendekatan penelitian; Bab III Otonomi Khusus Aceh dan Papua dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan ditutup dengan Bab IV yang terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran.
Tulisan ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Harapan Penulis, masukan dan
kritikan dari pembaca akan memberikan perbaikan terhadap substansi tulisan yang lebih
akurat dan reliable. Di sisi lain, semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi dalam bidang
otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi khusus ini
sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Paragraf
Keempat Pembukaan UUDNRI 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salam.
Penulis,
Malahayati
PAGE 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 1
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 3
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 3
B. Perumusan Masalah ................................................................................................ 7
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 7
D. Metode Pendekatan ................................................................................................. 8
E. Sistematika Penulisan ............................................................................................. 9
BAB II KONSEP NEGARA KESATUAN, TEORI DESENTRALISASI DAN
OTONOMI KHUSUS ..................................................................................... 11
A. Konsep Negara Kesatuan ...................................................................................... 11
B. Teori Desentralisasi .............................................................................................. 15
C. Otonomi Khusus ................................................................................................... 21
BAB III OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA DALAM KERANGKA
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ...................................... 24
A. Otonomi Khusus Aceh .......................................................................................... 24
B. Otonomi Khusus Papua......................................................................................... 27
C. Analisis Komprehensif.......................................................................................... 31
BAB IV PENUTUP....................................................................................................... 38
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 38
B. Saran ..................................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 40
PAGE 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia disamping sebagai negara hukum, juga bersusunan atau
berbentuk negara kesatuan, sebagaimana disebutkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), yaitu “Negara Indonesia
ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Konsep negara kesatuan (unitary state)
adalah konsep suatu negara yang tidak mempunyai kesatuan-kesatuan pemerintahan yang
mempunyai kedaulatan.1 Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
adalah dependent dan subordinat. Abu Daud Busroh berdasarkan susunan negara,
mengatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun daripada beberapa
negara seperti halnya dalam negara federasi, melainkan negara itu sifatnya tunggal, artinya
hanya ada satu negara, tidak ada negara di dalam negara. Jadi dengan demikian, di dalam
negara kesatuan itu juga hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat yang
mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan.
Pemerintahan pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi dapat memutuskan
segala sesuatu dalam negara tersebut.2
Sementara, Mahfud MD menyebutkan negara kesatuan adalah negara yang
kekuasaannya dipencar ke daerah-daerah melalui pemberian otonomi atau pemberian
wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga mereka
sendiri melalui desentralisasi atau melalui dekonsentrasi. Ini berarti bahwa daerah-daerah
itu mendapat hak yang datang dari, atau diberikan oleh, pemerintah pusat berdasarkan
undang-undang dan konstitusi.3 Hal ini selaras dengan hakikat politik hukum Pasal 18
1 Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktiek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, hlm. 6 2 Abu Daud Busroh, 1990, Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 64-65. 3 Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES Indonesia,
Jakarta, hlm. 221.
PAGE 4
UUDNRI 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjamin adanya
desentralisasi dan otonomi yang luas bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia.4
Sejalan dengan konsep tersebut, Bhenyamin Hoessein mengatakan bahwa dalam
konteks negara kesatuan, penerapan asas desentralisasi dan sentralisasi dalam organisasi
negara tidak bersifat dikotomis melainkan kontinum.5 Artinya, Pemerintah Pusat tidak
mungkin menyelenggarakan semua urusan pemerintahan di tangannya secara sentralisasi,
begitu juga sebaliknya, pemerintah daerah tidak mungkin menyelenggarakan semua urusan
pemerintahan yang diserahkan. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi
dan dekonsentrasi, sedangkan urusan yang mengandung dan menyangkut kepentingan
masyarakat setempat diselenggarakan secara desentralisasi.
Perkembangan dan kebutuhan terhadap bentuk negara kesatuan yang berprinsip
sentralistik, juga dapat dilakukan secara desentralisasi sebagaimana yang berlaku pada
negara federasi. Negara kesatuan juga dapat dibagi dalam pola sentralistik dan
desentralistik. Negara kesatuan dengan pola sentralistik adalah sistem kenegaraan yang
menetapkan seluruh wilayah negara, tanpa kecuali, merupakan kesatuan wilayah
administrasi dan hukum. Sedangkan, pola desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada daerah. Penyerahan wewenang tersebut tidak mengubah esensi
dasar negara kesatuan.6
Dalam Pasal 18 UUDNRI 1945, Perubahan Kedua, disebutkan:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
4 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,
hlm. 262. 5 Bhenyamin Hoessein dalam Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi
Daerah, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 13. 6 Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, hlm. 59-
62.
PAGE 5
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Berdasarkan, Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD RI 1945 tersebut menunjukkan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Maksud asas otonomi tersebut adalah asas
desentralisasi dan dekonsentrasi.
Selanjutnya, berdasarkan ayat (6), disebutkan bahwa pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
(desentralisasi dan dekonsentrasi) dan tugas pembantuan. Sementara, ayat (7) menyatakan
susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Dalam hal ini setelah Perubahan Kedua UUDNRI 1945, dibentuk Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya pada 30 September 2014
diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,7
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang,8 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
7 Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN RI Tahun 2004 No. 244, TLN RI
No. 5587 8 Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang, UU No. 2 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 24, TLN RI No. 5657.
PAGE 6
Pemerintahan Daerah (UU Pemda).9 Salah satu alasan undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah ini banyak mengalami perubahan adalah karena banyak perbedaan
definisi-definisi yang sangat fundamental.
UUDNRI 1945 menegaskan bahwa pemerintahan daerah diselenggarakan
berdasarkan prinsip permusyawaran/demokrasi. Artinya secara administrative pelaksanaan
pemerintahan dilakukan dengan cara membuat kebijakan desentralisasi. Dengan adanya
asas desentralisasi ini, maka lahir satuan pemerintahan daerah yang bersifat otonom yaitu
pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus urusannya berdasarkan aspirasi
dan kepentingan masyarakat setempat dengan menggunakan prinsip otonomi seluas-
luasnya, nyata dan bertanggung jawab, sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004.
Prinsip otonomi seluas-luasnya, maksudnya daerah diberikan kewenangan
mengurus dan mengatur semua unsur pemerintahan di luar yang menjadi urusan
pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang pemerintah daerah. Prinsip otonomi
nyada adalah suatu prinsip untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi
untuk tumbuh hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Sedangkan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelesaiannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi yang ada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Sementara, Pasal 18A UUD RI, perubahan kedua, tahun 2000, yaitu:
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
9 Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 9 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 58, TLN RI No. 5679.
PAGE 7
Kemudian, Pasal 18B UUD RI, perubahan kedua, tahun 2000, yaitu:
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
Dari beberapa pendapat di atas dan melihat dasar konstitusional pemberlakuan
desentralisasi di Indonesia, sudah menunjukan pengaturan yang selaras. Oleh karenanya,
pasca perubahan UUDNRI 1945 dan konsistensi pelaksanaan desentralisasi, terutama
pasca reformasi kekuasaan pemerintahan tidak lagi terpusat pada Pemerintah Pusat. Negara
Kesatuan Republik Indonesia kemudian mengenal istilah daerah khusus atau daerah
istimewa. Tiga daerah, yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
kemudian mendapatkan perlakuan khusus dalam bentuk otonomi khusus.
Pemberlakuan daerah khusus ini kemudian menimbulkan berbagai permasalahan,
baik dalam tataran norma maupun pada tataran implementasinya. Berbagai kajian tentang
hubungan antara pusat dan daerah-pun telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi
penerapan otonomi khusus ini. Perbedaan persepsi dalam memandang konsep hubungan
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menimbulkan berbagai kesalahfahaman
dalam menata hubungan Pusat dan Daerah.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yang
akan dikaji oleh Penulis yaitu tentang bagaimanakah teori dan praktik otonomi khusus
Aceh dan Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis teori dan praktik otonomi khusus Aceh dan
Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia secara normatif. Diharapkan
PAGE 8
penulisan ini mampu menjadi bahan pertimbangan dalam mengevaluasi pelaksanaan otonomi
khusus di Aceh dan Papua.
D. Metode Pendekatan
Tulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang
difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.10 Tipe
penelitian hukum yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis
terhadap peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan otonomi khusus di Aceh
dan Papua. Penggunaan jenis penelitian yuridis-normatif dalam penelitian ini mencoba
mengkaji hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni:
a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
selanjutnya pada 30 September 2014 diganti dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,11 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-
Undang,12 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda).13
b. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, yang
selanjutnya dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.
10 Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya,
hlm. 295 11 Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN RI Tahun 2004 No. 244, TLN RI
No. 5587. 12 Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang, UU No. 2 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 24, TLN RI No. 5657. 13 Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 9 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 58, TLN RI No. 5679.
PAGE 9
c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan konsep (conceptual approach) dan
pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan konsep dilakukan untuk
memahami konsep-konsep otonomi khusus, desentralisasi dan negara kesatuan, khususnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk
meneliti aturan-aturan yang mengatur tentang otonomi khusus, baik di Aceh maupun
Papua, sehingga diharapkan aturan hukum atau norma yang ada tidak bertentangan dengan
konsep otonomi khusus dalam kerangka negara kesatuan.
Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Baik bahan hukum primer maupun sekunder
dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan system
cluster dan diklasifikasikan menurut sumber dan hirarkhienya untuk kemudian dianalisis
secara komprehensif. Penulis kemudian menguraikan dan menghubungkan seluruh bahan
hukum yang ada untuk kemudian disajikan dalam penulisan yang sistematis sesuai dengan
permasalahan yang telah dirumuskan.
E. Sistematika Penulisan
Tulisan ini akan disusun dalam beberapa Bab dan masing-masing Bab terdiri dari
beberapa Sub-Bab untuk memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang
diteliti. Adapun urutan dan sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN berisi uraian latar belakang permasalahan munculnya
perbedaan antara teori dan praktik otonomi khusus di Aceh dan Papua dalam kerangka
NKRI. Apakah praktik yang dilaksanakan selama ini berbeda dengan teori tentang otonomi
khusus? Untuk kemudian ditentukan rumusan masalah yang akan diteliti dan tujuan
penulisannya. Dalam metode pendekatan diuraikan tipe penelitian dan pendekatan yang
PAGE 10
digunakan serta sumber bahan hukum yang digunakan, proses pengumpulan bahan hokum
dan dasar analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan otonomi khusus di Aceh
dan Papua.
BAB II KONSEP NEGARA KESATUAN, TEORI DESENTRALISASI DAN
OTONOMI KHUSUS, akan menguraikan secara khusus tentang Konsep Negara Kesatuan,
Teori Desentralisasi, dan Otonomi Khusus. Konsep dan asas ini akan digunakan sebagai
dasar menganalisis permasalahan teori dan praktik otonomi khusus Aceh dan Papua dalam
kerangka NKRI.
BAB III OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA DALAM KERANGKA
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA, terdiri dari sub-bab Otonomi Khusus
Aceh; Otonomi Khusus Papua; dan Analisis Komprehensif. Pada sub-bab Analisis
komprehensif akan dianalisis secara ringkas tentang kesenjangan antara teori dan praktik
penerapan otonomi khusus di Aceh dan Papua dalam kerangka NKRI.
Sedang BAB IV PENUTUP yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran yang
merupakan rangkuman hasil penelitian dan analisis bab-bab terdahulu sehingga dapat
ditarik kesimpulan mengenai teori dan praktik otonomi khusus Aceh dan Papua dalam
kerangka NKRI serta memberikan kontribusi terhadap evaluasi pelaksanaan otonomi
khusus di Aceh dan Papua selama ini.
PAGE 11
BAB II
KONSEP NEGARA KESATUAN, TEORI DESENTRALISASI
DAN OTONOMI KHUSUS
A. Konsep Negara Kesatuan
Konsep negara kesatuan (unitary state) adalah konsep suatu negara yang tidak
mempunyai kesatuan-kesatuan pemerintahan yang mempunyai kedaulatan.14 CF Strong
menyebutkan bahwa hakikat negara kesatuan adalah negara yang kedaulatannya tidak
terbagi, atau dengan kata lain, negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya tidak terbatas
karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembuat undang-undang
selain badan pembuat undang-undang pusat.15 Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan
atau wewenang tertinggi dalam lapangan pemerintahan. Konsekuensi logis dari posisinya
sebagai penyelenggara kedaulatan rakyat, maka unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan
berada di bawah pemerintahan pusat harus tunduk kepada Pemerintah Pusat. Tanpa disertai
ketundukan dan kepatuhan secara organisasional berdasarkan peraturan yang berlaku, akan
tumpang tindih dalam melaksanakan kewenangannya.16
Menurut Ateng Safrudin, negara kesatuan adalah negara yang mempunyai
konstitusi yang memberikan hak dan kewajiban menjalankan kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan kepada Pemerintah Pusat.17 UUD itu memberikan
kewenangan pemerintah negara kepada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat, karena
penyelenggaraan segala kepentingan hak baik dari pusat maupun dari daerah sebenarnya
adalah kewajiban dari pemerintah yang satu. Namun terkait dengan luasnya daerah, makin
14 Hanif Nurcholis, ibid. 15 CF Strong, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan
Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan dari Modern Political Constitutions: An Introduction to the
Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hlm. 115. 16 Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif
Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 114. 17 Mukhlis, 2014, Fungsi dan Kedudukan Mukim Sebagai Lembaga Pemerintahan dan Lembaga
Adat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Disertasi, pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 50.
PAGE 12
banyak tugas yang harus diurus oleh pemerintah pusat. Sejalan dengan kemajuan
masyarakat dan negara, perbedaan antara yang satu dengan yang lain sukar diketahui dan
sukar diatur secara memusat, maka jika keadaan daerah-daerah sudah memungkinkan,
pusat menyerahkan kepada daerah-daerah untuk mengurus dan menyelenggarakan sendiri
kebutuhan-kebutuhan khusus dari daerah-daerah.
Menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan Pemerintah
Pusat mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengenyampingkan peran
dan hak Pemerintah Daerah untuk terlibat langsung dan mandiri dalam rangka mengelola
serta memperjuangkan kepentingan daerahnya. Dominasi Pemerintah Pusat atas urusan-
urusan pemerintahan telah mengakibatkan hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah
dalam negara kesatuan menjadi tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang
mengkhawatirkan sehingga timbul gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi
negara federal.18
Berdasarkan pandangan di atas, menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan tidak ada
shared soverignity. Kedaulatan hanya ada di tangan negara atau pemerintah pusat, bukan di
daerah. Implikasinya, negara kesatuan hanya memiliki satu lembaga legislatif, yang
berkedudukan di pusat. Lembaga perwakilan rakyat di daerah atau DPRD hanya memiliki
regulatory power untuk membuat peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan produk
lembaga legislatif pusat (DPR) dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Penyelenggara
negara dan/atau Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat melakukan review terhadap
peraturan daerah dan membatalkannya jika bertentangan dengan undang-undang dan peraturan
perundangan yang lebih tinggi. Sehingga, esensi dalam negara kesatuan, kedaulatan mutlak
ada pada Pemerintah Pusat. Sementara, kekuasaan pada Pemerintahan Daerah merupakan
pendelegasian dari Pemerintah Pusat. Di mana kekuasaan yang didelegasikan tersebut
dapat ditarik atau dihapus kembali atas kedaulatan Pemerintah. Meskipun di daerah adanya
badan atau lembaga pembuat peraturan-peraturan (pemerintah daerah dan DPRD), namun
lembaga daerah tersebut tidak memiliki kekuasaan penuh.19
18 Ibid. 19 Amrizal J Prang, 2015, Pemerintahan Daerah: Konteks Otonomi Simetris dan Asimetris, Biena
Edukasi, Lhokseumawe, hlm. 3
PAGE 13
Oleh karena itu, terdapat beberapa kekurangan pada negara kesatuan, pertama,
beban kerja Pemerintah Pusat cenderung berlebihan. Kedua, akibat keberadaan pusat
pemerintahan yang jauh, mengakibatkan ketidakpekaan dengan masalah yang dihadapi
oleh rakyat di daerah, sehingga kurang perhatian dan kepentingannya terhadap daerah.
Ketiga, tidak boleh adanya daerah yang menyuarakan haknya berbeda dengan daerah-
daerah lainnya, atas alasan sentralisasi semua pelayanan harus sama. Konsekuensinya,
maka sering terjadi perlawanan dan konflik dengan daerah.20
Sementara, Jimly Asshiddiqie berbeda pandangan dalam hal ini. Jimly mengutip
pendapat John Locke yang mendeskripsikan kedaulatan rakyat itu dapat dibedakan antara
kedaulatan rakyat yang lebur dalam perjanjian pertama (first treaty), ketika negara
dibentuk tetapi bagian kedaulatan rakyat itu tetap berada di tangan rakyat, sewaktu-waktu
dapat dipakai dalam menentukan kebijakan negara dan mengangkat pejabat-pejabat
melalui pemilihan umum dan/atau referéndum (second treaty).21
Menurut John Locke, kontraktuil (perjanjian masyarakat) dari negara merupakan
peringatan, bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah mutlak, tetapi selalu terbatas. Karena
dalam mengadakan perjanjian individu-individu tidak menyerahkan seluruh hak alamiah
mereka. Ada hak-hak alamiah yang merupakan hak asasi yang tidak dapat dilepaskan
(inalienable rights), juga tidak oleh individu itu sendiri. Penguasa yang diserahi tugas
mengatur hidup individu dalam ikatan kenegaraan harus menghormati hak asasi itu.22
Perjanjian masyarakat ini yang disebut dengan pactum subjectionist. Selain itu, Locke juga
mengajukan kontrak yang disebut dengan pactum unionis, yaitu individu-individu lainnya
mengadakan suatu perjanjian masyarakat membentuk suatu masyarakat politik atau
negara.23
Menurut Jimly Asshiddiqie, negara Indonesia sebagai negara yang berbentuk
kesatuan, sehingga kekuasaan asal berada di pemerintah pusat. Namun kewenangan
20 K. Ramanathan, 2003, Asas sains politik, Fajar Bakti Sdn. Bhd., Selangor, Malaysia, hlm. 342. 21 Jimly Assiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yarsif Watampane, Jakarta,
hlm. 32. 22 F. Isjwara, 1995, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kesepuluh, Bina Cipta, Bandung, hlm. 145. 23 Ibid.
PAGE 14
pemerintah pusat ditentukan batas-batasnya dalam undang-undang dasar dan undang-
undang, sedangkan kewenangan yang tidak disebutkan dalam undang-undang dasar dan
undang-undang ditentukan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah.24
Selanjutnya, Jimly juga menambahkan:
“Oleh karena itu, konsep kedaulatan rakyat yang bersifat monistik, tidak
dapat dipecah-pecah merupakan konsep utopis yang memang jauh dari
kenyataan. Dengan demikian konsep kedaulatan rakyat itu dewasa ini
cenderung dipahami secara pluralis, tidak lagi monistik. Meskipun daerah-
daerah bagian dari negara kesatuan itu bukanah unit-unit negara bagian
yang tersendiri, tetapi rakyat di daerah-daerah itu tetap mempunyai
kedaulatannya sendiri-sendiri dalam lingkungan daerah provinsi atau
daerah kabupaten/kotanya, disamping kedaulatan dalam konteks bernegara
kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.25
Apalagi, kalau mengacu pendapat J.J. Rousseau, yang beranggapan bahwa negara
bersifat suatu wakil rakyat, yang kekuasaan tertinggi adalah rakyat atau berkedaulatan
rakyat (leer van de volkssouvereiniteit).26 Dari pendapat-pendapat di atas, meskipun prinsip
negara kesatuan bahwa kekuasaan atau kedaulatan penuh ada pada Pemerintahan Pusat
yang didapat melalui first treaty, namun kedaulatan mutlak masih tetap pada rakyat. Oleh
karena itu, relevan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD RI 1945 perubahan ketiga, tahun 2001,
disebutkan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.”
Kajian pemerintahan negara kesatuan terbagi dalam dua sendi utama, yaitu sistem
pemerintahan yang sifatnya sentralistik atau yang sifatnya desentralistik. Kedua sifat ini
menciptakan karakter hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang
terkait dengan bentuk, susunan, serta pembagian kewenangan atau kekuasaan yang ada
pada negara. Artinya, dari bentuk dan susunan negara dapat dilihat apakah kekuasaan itu
dibagi ke daerah-daerah pusat kekuasaan itu dipusatkan di pemerintah pusat. Dari sisi
24 Jimly Asshiddiqie, 2001, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, Jakarta, the Habibie
Center, hlm. 26. 25 Jimly Asshiddiqie, 2005, Op., Cit., hlm. 33. 26 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan
Kesebelas, Ichtiar Baru, Jakarta, hlm. 332.
PAGE 15
pembagian kekuasaan dalam suatu negara, maka bisa berbentuk sistem sentralisasi atau
system desentralisasi. System ini secara langsung mempengaruhi hubungan pusat dan
daerah dalam melaksanakan pemerintahan di daerah.27
B. Teori Desentralisasi
Teori desentralisasi dipelopori oleh Van der Pot yang ditulis dalam bukunya
Hanboek van Netherlands Staatsrech, Van der Pot membedakan desentralisasi atas
desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial menjelma
dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah, berbentuk otonomi dan tugas
pembantuan. Desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang
didasarkan pada tujuan tertentu.28
Pemahaman tentang desentralisasi masih terus terjadi perdebatan. Hal ini terlihat
dari pengertian desentralisasi yang sering memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Secara
etimologis, istilah desentralisasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu de (lepas) dan centrum
(pusat). Menurut perkataannya, desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat.
Negara kesatuan dibagi juga dalam pola sentralistik dan pola desentralistik. Negara
kesatuan dengan pola sentralistik adalah sistem kenegaraan yang menetapkan seluruh
wilayah negara tanpa kecuali, merupakan kesatuan wilayah administrasi dan hukum.
Sedangkan, pola desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
daerah. Namun, penyerahan wewenang tersebut tidak mengubah esensi dasar negara
kesatuan.29
Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan
pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada daerah, sehingga menjadi urusan rumah
tangga daerah itu. Sehingga, prakarsa, wewenang atau urusan dan tanggung jawab
27 Agussalim A Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Ghalia
Indonesia, Bogor, hlm. 62. 28 Bagir Manan, 1990, Hubungan antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi
Menurut UUD 1945, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Hlm. 29. 29 Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, hlm.
59-62.
PAGE 16
mengenai urusan-urusan yang diserahkan menjadi tanggung jawab daerah. Sementara,
dalam Pasal 1 angka 8 UU Pemda disebutkan: ”Asas desentralisasi adalah penyerahan
Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas
Otonomi”.
Dalam sejarah desentralisasi atau otonomi daerah, Hilaire Barnet, menyatakan:
“local government represented an early form of localized self-regulation. The country is
devided into local authorities – either county or district – each having law making and
administrative powers as deligated by Parliament”.30
Dalam negara kesatuan, Pemerintah Pusat memegang kedaulatan, pertama, secara
internal yaitu supremasi seseorang atau sekumpulan orang dalam negara terhadap individu-
individu atau perkumpulan-perkumpulan di dalam wilayah yurisdiksinya. Kedua, eksternal
yaitu kemerdekaan absolut suatu negara sebagai keseluruhan dalam kaitannya dengan
negara-negara lain.31 Desentralisasi melalui otonomi daerah menunjuk hanya kepada
masalah-masalah tertentu menyangkut kepentingan khusus daerah. Namun, kadang-
kadang lembaga administrasi (pemerintah daerah) yang terpilih, berkompeten untuk
membuat norma-norma umum, misalnya undang-undang otonomi (peraturan daerah),
tetapi undang-undang ini mesti ada dalam kerangka (frame) undang-undang pusat, yang
dibuat oleh legislatif.32 Berdasarkan pandangan tersebut menunjukan daerah diberi
kewenangan membuat peraturan daerah, untuk mengatur tentang pelaksanaan
pemerintahan daerahnya, menurut kepentingan dan kebutuhan pemerintahannya. Namun,
pengaturannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintahan pusat, baik
konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
A.H Manson, membagi desentralisasi menjadi dua yaitu, desentralisasi politik dan
desentralisasi administratif/birokrasi. Desentralisasi politik disebut juga dengan devolusi,
30 Hilaire Barnet, 2000, Constitutional and Administrative Law, Ed. Ke-3, London: Cavendish
Limited, hlm. 496. 31 CF. Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan
Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Terjemahan dari Modern Political Constitution: An Introduction to the
Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hlm. 109-110. 32 Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari General Theory
of Law and State, Nusamedia & Nuansa, Bandung, hlm. 445.
PAGE 17
sedangkan desentralisasi administratif disebut juga dengan dekonsentrasi.33 Baik
desentralisasi maupun dekonsentrasi merupakan instrument dalam bidang division of
power. Maksudnya, dua konsep tersebut merupakan konsep administrasi, yaitu bagaimana
proses-proses kegiatan untuk mencapai tujuan dilaksanakan dalam organisasi dan
manajemen.
Sejalan dengan Manson, Conyers, juga membagi desentralisasi menjadi dua
macam, yaitu devolution (devolusi) adalah pelimpahan kewenangan politik dari pusat
kepada daerah yang ditetapkan secara legal dan deconcentration (dekonsentrasi),
merupakan kewenangan administratif yang diberikan oleh pusat kepada perwakilan badan-
badan pemerintah pusat yang ada di daerah.34
Desentralisasi sebagai salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah pada
perkembangan berikutnya melahirkan pengertian otonomi, yaitu merupakan suatu hak atau
wewenang dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri
urusan rumah tangganya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk menyelenggarakan otonomi ini, Pemerintah Pusat menyerahkan sejumlah urusan
pemerintahan yang kelak menjadi urusan rumah tangga daerah terseebut harus selalu
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat dan harus menjamin keserasian
hubungan antara daerah dengan daerah lannya. Dalam rangka meningkatkan pelayanan
terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan secara merata di seluruh wilayah
negara Indonesia.35
Penyerahan urusan-urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat menjadi urusan
rumah tangga sendiri bagi daerah-daerah yang menerimanya dapat dilakukan dengan
33 Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta,
hlm. 4. 34 Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power Untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 8-9. 35 Faisal Akbar Nasution, 2007, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom Dalam rangka
Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara,
Medan, hlm. 23.
PAGE 18
mengikuti beberapa teori/ajaran tentang pembagian urusan pemerintahan antara
pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, yaitu sebagai berikut:36
1. Sistem otonomi materiil, yaitu pembagian urusan-urusan yang dilakukan antara
pemerintah pusat dengan daerah-daerahnya, dimana yang menjadi urusan daerah
ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terperinci secara tegas dan pasti,
sedangkan di luar dari urusan-urusan yang telah diserahkan kepada daerah adalah
merupakan urusan pemerintah pusat.
2. Sistem otonomi formal, yaitu pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan
daerah-daerahnya, di mana daerah-daerah pada umumnya mempunyai kebebasan
untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi kemajuan
dan perkembangan daerah sepanjang daerah tidak mengatur urusan yang telah
diatur dan diurus oleh pemerintah pusat berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
3. Sistem otonomi nyata (riil), yaitu penyerahan urusan-urusan kepada daerah
berdasarkan kepada faktor-faktor perhitungan dan tindakan atau kebijakan yang
benar-benar nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan yang nyata
dari masing-masing daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
Selain itu, sebagaimana juga dikatakan oleh Axel Hadenius yaitu:
“Decentralisation may entail the transfer of autonomy in the following areas: (1)
Policy autonomy: local bodies are entitled to make their own decisions in certain
(more or less restricted) fields of policy; (2) Organisation autonomy: local bodies
are free to decide about their organisational structure; (3) Staff autonomy: local
political leaders and administrative personnel are selected without interference
from central authorities; (4) Fiscal autonomy: local bodies are able to raise
revenues independently and/or receive grants from the centre without any strings
attached (so-called block grants).37
Selanjutnya, jika kekuasaan pusat berpendapat ada baiknya mendelegasikan
kekuasaan itu pada badan-badan tambahan – apakah badan-badan tersebut berupa otoritas
36 Ibid, hlm. 24-25. 37
Axel Hadenius, 2003, Decentralization and Democratic Governance Experiences from India,
Bolivia and South Africa, Sweden: Almqvist & Wiksell International, hlm. 1.
PAGE 19
daerah atau otoritas kolonial – maka hal itu boleh saja dilakukan mengingat otoritas pusat
memiliki kekuasaan penuh, bukan karena konstitusi menetapkan demikian. Pendelegasian
kekuasaan ini bukan berarti tidak ada badan pembuat undang-undang tambahan, tetapi
artinya badan-badan itu dapat dihapuskan menurut kebijaksanaan otoritas pusat. Denga
demikian, ada dua sifat penting negara kesatuan, yaitu: (1) supremasi parlemen pusat, dan
(2) tidak adanya badan berdaulat tambahan.38
Desentralisasi pada negara kesatuan, berwujud dalam bentuk satuan-satuan
pemerintahan lebih rendah (teritorial atau fungsional) yang berhak mengatur dan mengurus
sendiri sebagian urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya. Meskipun kedua
lingkungan pemerintahan (pusat dan daerah) merupakan satu kesatuan susunan yang
mencerminkan keutuhan bentuk negara kesatuan, tetapi karena masing-masing mempunyai
lingkungan wewenang, tugas, dan tanggung jawab berbeda, maka tidak menutup
kemungkinan terjadi semacam tarik-menarik bahkan spanning hubungan antara
keduanya.39 Mencermati negara kesatuan, baik mengenai negara kesatuan dengan
sentralisasi maupun desentralisasi menunjukan gambaran umum tentang identitas negara
kesatuan sebagai: (1) negara satu negara, (2) negara satu kedaulatan, (3) negara satu
wilayah/daerah, (4) negara satu bangsa, (5) negara satu sistem hukum, dan (6) negara satu
sistem pemerintahan.40
Uraian diatas menunjukkan bahwa dalam sistem pemerintahan negara kesatuan
dibagi dua yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralistik dan desentralistik atau otonomi
dengan cara membagi-bagikan kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan daerah.
Namun, dalam menjalankan kewenangan otonomi ini kekuasaan mutlak masih ada pada
Pemerintah Pusat sehingga kekuasaan inipun dapat dihapus oleh Pemerintah Pusat.
Meskipun demikian, menurut Bagir Manan, desentralisasi dalam rangka hubungan
antara pusat dan daerah terjelma dalam empat asas pokok sebagai patokan, sebagaimana
UUD RI 1945, yaitu: Pertama, bentuk hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh
38 CF. Strong, Op., Cit., hlm. 115. 39 Bagir Manan, Op., Cit., hlm. 16-17. 40 Astim Riyanto, 2010, Teori Negara Kesatuan, Yapemdo, Bandung, hlm. 23.
PAGE 20
mengurangi hak-hak rakyat daerah untuk turut serta (secara bebas) dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, sesuai dengan dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dal;am permusyawaratan/perwakilan atau dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara yang harus terselenggara sampai ketingkat pemerintahan
daerah. Kedua, bentuk hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak
(rakyat) daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa mengatur dan mengerus urusan-urusan
yang dinggap penting bagi daerah. Ketiga, bentuk hubungan antara pusat dan daerah dapat
berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain sesuai dengan keadaan khusus
masing-masing daerah. Dan, keempat, bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah
dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial daerah.41
Oleh karena itu, apabila dalam pelaksanaan sistem desentralistik atau otonomi,
Pemerintah Pusat masih mempunyai kekuasaan penuh dan mutlak terhadap daerah, maka
kekuasaan ini tidak dapat dijalankan oleh daerah secara maksimal. Sehingga, tujuan negara
sebagaimana falsafah Pancasila yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat akan
sulit terwujud. Apalagi, dengan perkembangan saat ini sistem kekuasaan mutlak
Pemerintah Pusat dalam negara kesatuan tidak dapat dijalankan lagi.
Pengalaman negara-negara lain terdapat dua pola besar dalam merumuskan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembagian tugas pengurusan urusan
pemerintahan (intergovernmental task sharing), yaitu: 1) pola general competence
(otonomi luas) dan 2) pola ultra vires (otonomi terbatas). Dalam pola otonomi luas
dirumuskan bahwa urusan-urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif
dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan, dalam
prinsip ultra vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan
sisanya menjadi kewenangan pusat.42 Pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah di
Indonesia termasuk dalam kategori pola general competence, hal ini dapat dilihat pasca
41 Bagir Manan, Op., Cit., hlm. 170. 42 Made Suwandi, 2002, http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandi-
konsepsi-otda.pdf, hlm. 3, diakses pada 25 November 2015.
PAGE 21
perubahan kedua Pasal 18 UUD RI, tahun 2000 yang sebelumnya hanya diatur dalam Pasal
18, kemudian ditambah 2 (dua) pasal yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B.
C. Otonomi Khusus
Asas desentralisasi dikenal terbagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu selain
desentralisasi simetris (symmetric decentralization), juga dikenal desentralisasi asimetris
(asymmetric decentralization) atau otonomi khusus. Sebagaimana dikemukakan oleh
Joachim Wehner, bahwa pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah
dari beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup
umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara. Pengalaman ini
berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang didesentralisasikan, maupun
dalam format pengaturan federatif. Dalam khasanah ilmu politik dan pemerintahan, pola
pengaturan yang tidak sebanding ini disebut sebagai asymmetrical decentralization,
asymmetrical devolution atau asymmetrical federalis, atau secara umum asymmetrical
intergovernmental arrangements.43
Secara prinsipil, berbagai bentuk penyebaran kekuasaan yang bercorak asimetris di
atas merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatasi dua
hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan bercorak politik, termasuk
yang bersumber pada keunikan dan perbedaan budaya; dan persoalan yang bercorak
teknokratis-menejerial, yakni keterbatasan kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam
menjalankan fungsi dasar pemerintahan.44 Sementara, menurut Peter Harris dan Ben
Reilly, melalui desentralisasi asimetris ini, wilayah-wilayah tertentu di dalam suatu negara
diberikan kewenangan khusus yang tidak diberikan kepada wilayah-wilayah lain.45
43 Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, Pembelajaran dari
Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta, Kemitraan, Jakarta, hlm. 10. 44 Ibid.
45 Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat Papua
di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 53. Lihat juga, Riris Katharina, 2011, Implementasi
Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Tinjauan Terhadap Peran DPRP dan MRP), dalam
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-19.pdf, diakses pada 5 Desember 2015.
PAGE 22
Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah
‘tertentu’ untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri tetapi sesuai dengan hak dan aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Kewenangan ini diberikan agar daerah ‘tertentu’ dapat menata daerah dan bagian dari
daerah tersebut agar lebih baik lagi di bidang tertentu sesuai dengan aspirasi daerahnya.
Otonomi khusus ditawarkan melebihi otonomi daerah biasa, karena otonomi ini diberikan
kepada daerah ‘tertentu’ yang berarti daerah tersebut mempunyai kelompok gerakan
kemerdekaan yang ingin memisahkan dirinya (daerahnya) dari wilayah NKRI. Jadi secara
tidak langsung, pemerintah memberikan otonomi khusus ini sebagai bentuk pendekatan
damai agar kelompok gerakan tersebut tidak terus bergejolak.
Pendekatan dan pemberlakuan desentralisasi asimentris atau otonomi khusus,
menurut Hurst Hannum, yang mengistilahkan dengan territorial autonomy, paling tidak
terdapat dua manfaat, yaitu:
1. Sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau konflik-
konflik fisik lainnya. Contohnya, Hong Kong jelas bagian daerah kedaulatan
negara Cina, tetapi memberikan sejumlah kewenangan penting kepada Hong
Kong dalam bidang politik, hukum dan ekonomi.
2. Sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah-masalah kaum
minoritas yang hak-haknya selama ini dilanggar/kurang diperhatikan.46
Otonomi khusus baru dikenal dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia di era
reformasi. Sebelumnya, hanya dikenal istilah daerah khusus dan daerah istimewa.47 Pada
masa lalu, daerah khusus adalah daerah yang memiliki struktur pemerintahan yang berbeda
dengan daerah lain karena kedudukannya, sedangkan daerah istimewa adalah daerah yang
memiliki struktur pemerintahan berbeda karena perbedaan atau keistimewaan berupa
susunan asli masyarakat.
46 Ibid, hlm. 55. 47 Pasal 18 UUDNRI 1945 sebelum Perubahan menyatakan “Pembagian daerah Indonesia atas
daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan negara, dan hak-hak asal-
usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
PAGE 23
Otonomi khusus secara resmi menjadi bagian dari system penyelenggaraan negara
melalui Perubahan Kedua UUD 1945. Keberadaan otonomi khusus merupakan salah satu
bagian dari pembalikan politik penyelenggaraan negara yang semula bersifat sentralistis
dan seragam menuju kepada desentralisasi dan penghargaan kepada keberagaman. Hal ini
selaras dengan demokratisasi yang menjadi arus utama reformasi. Demokratisasi
penyelenggaraan pemerintahan menghendaki adanya desentralisasi dan penghormatan
terhadap keberagaman daerah.48
Dari sisi sosial ekonomi, sentralisasi yang telah dipraktikkan selama masa orde baru
telah melahirkan kesenjangan pusat dan daerah, serta kesenjangan antar daerah, yang
berujung kepada ancaman terhadap integrasi nasional. Desentralisasi dalam bingkai
otonomi daerah diharapkan dapat mewujudkan hubungan pusat daerah dan antar daerah
yang lebih adil dan demokratis. Khusus untuk Aceh dan Papua, pemberian otonomi khusus
juga diharapkan dapat menyelesaikan konflik integrasi yang telah berkepanjangan.
Otonomi khusus berdasarkan UUDNRI 1945 Pasca Perubahan memiliki perbedaan
mendasar jika dibandingkan dengan daerah khusus berdasarkan UUDNRI 1945 sebelum
perubahan. Otonomi berarti daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk
mengurus rumah tangga sendiri atau urusan daerah sendiri diluar urusan tertentu yang
ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Otonomi khusus berarti hak, wewenang, dan
kewajiban yang dimiliki suatu daerah ditentukan berbeda dengan daerah pada umumnya.
Otonomi diberikan kepada daerah sebagai kesatuan hukum, bukan kepada pemerintah
daerah. Otonomi khusus berbeda dengan daerah khusus karena di dalam otonomi khusus
perbedaan dengan daerah lain bukan hanya dari sisi struktur pemerintah daerah, melainkan
juga meliputi perbedaan ruang lingkup hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki
daerah, serta pola dan proporsi hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah khusus.
48 Pasal 18B ayat (1) UUDNRI 1945 menyatakan bahwa “Negara menagkui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-
undang.”
PAGE 24
BAB III
OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA DALAM KERANGKA
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
A. Otonomi Khusus Aceh
Aceh memiliki dua atribut otonomi khusus. Pertama melalui UU Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD, dan yang Kedua melalui UU No, 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pada kebijakan pertama, pertimbangan
pemberian otonomi khusus adalah: (1) bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati
satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan Undang-undang; (2) bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan
rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada
pandangan hidup, karakter sosial, dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat
sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) bahwa untuk
memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, dipandang perlu memberikan otonomi khusus; (4) bahwa UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum
menampung sepenuhnya hak asal-usul dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
dan (5) bahwa pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.49
49 Agung Djojosoekarto & Rudiarto Sumarwono, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, dapat
diakses di www.kemitraan.or.id.
PAGE 25
Dasar pertimbangan pemberian kekhususan melalui UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh adalah: (1) bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa; (2) bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik
Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang
memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; (3) bahwa ketahanan dan daya juang tinggi
tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan
budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam
merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4)
bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum
dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan,
pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu
dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; (5)
bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan
solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan
wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.50
Sebagai upaya menentukan arah politik hukum sebagaimana digariskan oleh
GBHN tahun 1999-2004, maka dengan keluarnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001
(Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006) untuk wilayah Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dideklarasikan
adanya Peradilan Syari’at Islam sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional yang
dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun (Pasal 25
ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006). Dengan demikian lingkungan Peradilan di Indonesia yang
menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dari pihak manapun terdiri dari: Peradilan
50 Ibid.
PAGE 26
Umum; Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah; Peradilan Militer; dan Peradilan Tata
Usaha Negara.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa Aceh merupakan daerah Istimewa
dengan otonomi khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Namun Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 menempatkan titik berat otonomi khusus
pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pelaksanaannya diletakkan pada daerah
Kabupaten dan Kota atau nama lain secara proporsional. Kekhususan ini merupakan
peluang yang berharga untuk melakukan penyesuaian struktur, susunan, pembentukan dan
penamaan pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan semangat
berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, diatur dalam
Peraturan Daerah yang disebut dengan Qanun.51
Berbeda halnya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang tidak
menyebutkan secara tegas dimanakah letak titik berat otonomi tersebut, lebih lanjut
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dengan tegas menyebutkan Aceh adalah daerah
otonomi khusus. Hal ini dapat dilihat dari judul Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, meskipun apa yang menjadi kewenangan yang bersifat khusus tersebut
tidak dirumuskan secara jelas dan tegas. Hanya ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 bahwa kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
yang diatur dalam undang-undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan
otonomi khusus.
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dijelaskan Undang-
undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan di Provinsi Daerah
Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan pemerintahan daerah, selain
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
51 Penjelasan UU No. 18 Tahun 2001
PAGE 27
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Konsep kekhususan dan keistimewaan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konsideran menimbang a disebutkan:
“…pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Ketentuan lebih lanjut dalam Penjelasan Umum disebutkan aspek hubungan
wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini Papua secara tegas disebutkan dalam judul
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Untuk Papua status Otonomi Khusus jelas dari judul Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 sebagaimana halnya juga dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi khusus bagi aceh. Otonomi khusus tidak menonjol dalam beberapa ketentuan atau
penjelasannya. Hal tersebut dikarenakan dalam MoU Helsinki tidak dipakai istilah otonomi
khusus, karena oleh pihak GAM tidak dianggap sebagai sesuatu yang mencerminkan sifat
pemerintahan yang diinginkan.
B. Otonomi Khusus Papua
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap
belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju
pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Negosiasi
dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan
pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum
kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962.
Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia
PAGE 28
dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan
Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Namun setelah menjadi bagian dari NKRI, ternyata kehidupan masyarakat di Irian
Jaya tidak semakin membaik. Selain banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia, Irian
Jaya juga menjadi provinsi yang paling lambat dalam segala bidang pembangunan seperti
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Akibat dari hal-hal tersebut maka muncul
sekelompok masyarakat yang tidak puas dengan pemerintah pusat dan akhirnya
membentuk kelompok separatis yang dikenal dengan OPM yang menginginkan agar Irian
Jaya lepas dari NKRI.
Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Irian
Jaya selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya
memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung
terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Irian Jaya, khususnya masyarakat Irian Jaya.
Presiden Megawati, yang menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun
2001, merespon tuntutan merdeka untuk Papua dengan menandatangani UU No. 21 Tahun
2001 tanggal 21 November 2001 tentang Otonomi Khusus. UU ini dapat dilihat terlahir
sebagai penyelesaian konflik yang win-win solution antara rakyat Papua yang berkeinginan
terlepas dari NKRI serta Pemerintah RI yang kokoh-teguh mempertahankan kedaulatan
NKRI.
UU Otsus bagi Provinsi Papua ini merupakan pengakuan Pemerintah RI untuk
melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan kekayaan Papua. Inilah prasyarat
untuk mengangkat orang Papua dari ketertinggalan disbanding saudaranya di kawasan
tengah dan timur.
Sebagaimana dikemukakan dalam UU No. 21 Tahun 2001 yang telah dicabut
melalui UU No. 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001, Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas
bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam
PAGE 29
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula
tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat Papua.
Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-
budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai
bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran
yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi
pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat
Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, lambang daerah dalam bentuk
bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan
pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah:
Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua serta
penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta
pemberdayaannya secara strategis dan mendasar;
Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang berciri:
a) partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta pelaksanaan
pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
b) pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi
kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi
Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian
lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung
bagi masyarakat;
c) penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan
dan bertanggungjawab kepada masyarakat
PAGE 30
Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara
badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi
kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Latar belakang pemberian otonomi khusus kepada Papua juga ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 menggambarkan bahwa pemberian otonomi khusus kepada Papua
dilatarbelakangi oleh pengakuan negara terhadap dua hal penting. Pertama, pemerintah
mengakui bahwa hingga saat terbentuknya undang-undang tersebut terdapat permasalahan
di Papua yang belum diselesaikan. Permasalahan itu meliputi berbagai bidang, baik dalam
bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Kedua, pemerintah
mengakui bahwa telah terjadi kesalahan kebijakan yang diambil dan dijalankan untuk
menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Diakui secara tegas bahwa apa yang
dijalankan di Papua belum memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya
kesejahteraan, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap HAM, khususnya bagi
masyarakat Papua.
Berdasarkan latar belakang pembentukan UU Otonomi Khusus Papua dapat
diketahui bahwa tujuan pemberian Otonomi khusus adalah untuk menyelesaikan akar
masalah Papua sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Namun demikian, substansi UU
Otonomi Khusus Papua itu sendiri tidak mencakup upaya penyelesaian seluruh akar
persoalan di Papua. UU Otonomi Khusus Papua hanya dapat digunakan sebagai instrumen
normatif untuk menyelesaikan akar persoalan berupa “kesenjangan, persamaan
kesempatan, serta perlindungan hak dasar dan Hak Asasi Manusia.”
Secara spesifik UU Otonomi Khusus Papua menyatakan bahwa tujuan Otonomi
Khusus Papua adalah untuk mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi
lain, meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan
kesempatan kepada penduduk asli Papua. Nilai-nilai dasar yang digunakan sebagai pijakan
pemberlakuan Otonomi Khusus adalah perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan
moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi,
pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara.
PAGE 31
C. Analisis Komprehensif
Undang-undang mengenai pemerintahan daerah mengalami proses bongkar pasang
yang sangat dinamis. Proses perubahan yang cukup cepat setelah diatur dengan Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang,52 dan
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.53 Terdapat
beberapa perbedaan substansi penyelenggaraan pemerintahan daerah antara Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan undang-undang ini.
Walaupun demikian, belum sempat dilaksanakan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2014, pada 2 Oktober 2014, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, membatalkan
undang-undang tersebut dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perpu Pilkada).54
Sebagaimana, Pasal 205 Perpu Pilkada tersebut menyebutkan: “Pada saat Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun Nomor 5586) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”
Namun demikian, sebelum substansi pemilihan wakil kepala daerah ini
dilaksanakan, setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 diganti dengan Perpu
Pilkada yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015,
substansi ini diubah (dihapus). Khususnya, penghapusan terhadap Pasal 167-Pasal 172
52 Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang, UU No.2 Tahun 2015, LN No.24 Tahun 2015, TLN No. 5657. 53 Undang-undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No.9 Tahun 2015, LN No.58 Tahun 2015, TLN No. 5679. 54 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, Perpu
No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.
PAGE 32
mengenai pemilihan wakil kepala daerah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Sehingga, sebagaimana Pasal
1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, pemilihan wakil kepala daerah dilakukan
serentak dengan pemilihan kepala daerah.
Sebagaimana diketahui, secara legalitas, otonomi daerah kita hanya mengenal dua
sistem, yaitu otonomi khusus (otsus) dan otonomi daerah (otda) berdasarkan UU Nomor
32 Tahun 2004. Dalam sistem otsus, mekanisme berjalan menurut bingkai perundangan
yang dirancang dengan memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif. Pertimbangan
lain ialah karakteristik dimiliki daerah tertentu, terutama aspek rendahnya kualitas hidup,
ketertinggalan, dan aspek politis. Aspek politis Aceh dan Papua lebih dominan
dibandingkan dengan provinsi lain karena secara teoretis saat itu otsus diharapkan menjadi
lem perekat kesatuan provinsi ini sebagai bagian integral NKRI. Dalam terminologi
teoretis, Mark Turner dan BC Smith menyebutnya a glue of national integration.
Semakin hari, kita menyaksikan semakin banyak kompleksitas pemerintahan di
tingkat provinsi menyusul sedikitnya ruang gerak provinsi dalam konteks peraturan
sekarang. Dalam rangka mengakui dan mengembangkan hak-hak adat, kekayaan
intelektual masyarakat, serta keadilan dalam perspektif hubungan pusat-daerah, diperlukan
solusi interpretatif yang cerdas tanpa mengurangi kehati-hatian dalam memberikan
kewenangan lebih besar kepada provinsi.
Selama ini, terjadi ketegangan dan tarik-ulur kewenangan antara pusat serta daerah
yang bermuara pada kebuntuan. Situasi ini akan berjalan tanpa akhir selama belum
ditemukan konteks legal untuk basis penyelesaian persoalan di atas. Tanpa upaya mencari
solusinya, kondisi ini akan menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI.55
55 News: Desentralisasi Asimetris - Prof. Said M. Mas'ud, Ph.D. dapat diakses melalui
http://www.profmmasudsaid.com/news-desentralisasi-asimetris.html
PAGE 33
Untuk kasus Indonesia, fokus otda yang diletakkan pada kabupaten dan kota sudah
tepat. Otsus di level provinsi untuk Aceh dan Papua juga sudah masuk akal. Namun, kita
masih melihat adanya kelemahan saat dihadapkan pada situasi pemerintahan provinsi lain
yang beraneka ragam. Ada alasan mengapa otsus diberlakukan di level provinsi, yakni,
dalam posisi barunya di perundang-undangan, ia adalah ujung tombak, wakil pemerintah
di daerah, sekaligus sebagai daerah otonom.
Fondasi dan nilai utama otonomi khusus adalah demokrasi sekaligus memperkuat
NKRI. Dengan posisi asimetris untuk sektor tertentu ini, kehendak mengubah posisi politik
provinsi dari semula sebagai ancaman disintegrasi menuju kebebasan terbatas untuk
mengembangkan diri sebagaimana dijamin pasal 18 UUD 1945 bisa ditingkatkan.
Selama ini daerah yang membuat gerakan untuk lepas dari NKRI bukanlah pada
level kabupaten atau kota, tetapi provinsi. Dengan menambah keleluasaan yang sewajarnya
di tingkat provinsi, diharapkan ia bisa menjadi jantung pertahanan agar daerah tak
menerabas melebihi haknya untuk berubah. Pelaksanaan otonomi khusus bagi Aceh dan
Papua bukan hanya akan mengakomodasi keberagaman yang ada, tetapi juga memberi
keleluasaan bagi mereka untuk memperkuat jati diri dalam kerangka NKRI.
Dari dua daerah yang memiliki otonomi khusus, Aceh dapat dikatakan telah cukup
berhasil, namun tidak demikian halnya dengan Papua. Aceh telah mampu meminimalisir
konflik dan kekerasan bersenjata dan menjalankan roda pemerintahan daerah dengan relatif
baik dibandingkan dengan Papua, walaupun masih terdapat riak-riak kecil kekerasan. Hal
ini berbeda dengan Papua yang masih dirundung konflik bersenjata dan kerap terjadi
kekerasan.
Tentu saja ada banyak faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan di dua daerah
tersebut. Namun dua faktor yang paling menonjol adalah penyelesaian konflik dan
pelaksanaan otonomi khusus. Perbedaan mendasar antara Aceh dengan Papua adalah
dalam hal penyelesaian konflik. Di Aceh, konflik politik pemisahan diri diselesaikan
terlebih dahulu sebelum penerapan Otonomi Khusus. Otonomi khusus yang diberlakukan
di Aceh adalah produk kesepakatan bersama dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
PAGE 34
sehingga pelaksanaannya pun dipahami bersama sebagai bentuk tindak lanjut penyelesaian
konflik.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Papua. Otonomi Khusus Papua tidak dapat
dikatakan sebagai bentuk kesepakatan bersama, melainkan produk dari pemerintah pusat
untuk meredam konflik yang terjadi di Papua. Jika Otonomi Khusus Aceh adalah bentuk
tindak lanjut dari penyelesaian konflik, Otonomi Khusus Papua dibuat sebagai upaya untuk
menyelesaikan konflik. Akibatnya, belum ada pemahaman bersama dari pihak-pihak yang
terlibat konflik terhadap eksistensi Otonomi Khusus. Bagi pemerintah pusat, Otonomi
Khusus adalah wujud nyata ikhtiar untuk menyelesaikan konflik, sedangkan bagi sebagian
masyarakat Papua Otonomi Khusus adalah ciptaan pemerintah pusat untuk menghentikan
perlawanan mereka.
Terhadap Otonomi Khusus, memang terdapat masyarakat Papua yang terlibat
dalam pembentukan dan menerimanya sebagai jalan terbaik bagi terwujudnya kedamaian
di Papua. Demikian pula dari sisi substansi, UU Otonomi Khusus Papua memang telah
memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat Papua. Namun hal itu berubah
menjadi bagian dari sumber konflik ketika UU Otonomi Khusus Papua tidak dilaksanakan
dengan konsisten.
Hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada Papua seringkali dibatasi,
dikurangi, bahkan ditarik kembali ke pusat melalui berbagai peraturan perundangan yang
bersifat operasional dan sektoral. Hasil riset Patnership mengenai Kinerja Otonomi Khusus
Papua (2008) menunjukkan tingginya tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap
pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Bahkan disebutkan bahwa otonomi khusus justru
meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah. Penelitian tersebut
mengidentifikasi beberapa alasan ketidakberhasilan Otonomi Khusus Papua, yaitu:56
a. Beberapa substansi dalam UU Otonomi Khusus justru menimbulkan konflik yang tidak
terselesaikan antara masyarakat Papua dengan pemerintah, seperti masalah lambang
56 Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kinerja Otonomi Khusus Papua, Jakarta, Kemitraan Bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
PAGE 35
dan bendera daerah. Walaupun keberadaan lambang dan bendera diakui dalam Pasal 2
ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 tetapi tidak mendapatkan rumusan lebih lanjut dan
justru dihalang-halangi oleh pemerintah. Kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora
adalah contoh yang sering terjadi. Aparat TNI dan Polri menolak pengibaran bendera
bintang kejora.
b. Dalam implementasinya, dimensi politik dalam penyelesaian masalah Papua jauh lebih
kuat dibanding pembangunan dan peningkatan kesejahteraaan. Otonomi Khusus lebih
banyak diisi oleh peristiwa politik seperti pemekaran, demonstrasi, pengembalian
Otonomi Khusus hingga Pilkada. Sangat sedikit ruang yang tersedia untuk program-
program konkrit guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua demi
menghilangkat kesenjangan antara pusat dan Papua, antara daerah lain dengan Papua,
bahkan antara penduduk asil Papua dengan pendatang.
c. Perumusan aturan tatalaksana Otonomi Khusus tidak berjalan secepat pengucuran dana
Otonomi Khusus. Peraturan Pemerintah tentang MRP baru selesai setelah 3 tahun
Otonomi Khusus. Perdasus pertama baru muncul enam tahun setelah Otonomi Khusus.
Padahal sejak tahun 2002, dana Otonomi Khusus dalam jumlah yang sangat besar terus
mengucur. Akibatnya tidak ada satu kerangka aturan yang bisa menjamin dana
Otonomi Khusus mengalir untuk pembangunan yang berorientasi meningkatkan taraf
hidup masyarakat. Sebaliknya, dana Otonomi Khusus banyak ditengarai dikorupsi atau
digunakan untuk kepentingan para elit di Papua.
d. Evaluasi terhadap Otonomi Khusus yang seharusnya dilakukan setiap tahun setelah
evaluasi pertama pada tahun ketiga sebagaimana diamanatkan UU Otonomi Khusus
tidak dilakukan secara mendalam dan komperehensif. Akibatnya masyarakat tidak
pernah mendapatkan potret pelaksanaan Otonomi Khusus dalam hal pemenuhan hak-
hak mendasar mereka secara utuh. Yang berkembang di tengah masyarakat adalah
bahwa dana Otonomi Khusus banyak diselewengkan oleh birokrasi pemerintahan;
e. Otonomi Khusus memang terinformasikan kepada masyarakat luas (dalam hal ini di
kota dan kabupaten Jayapura) tetapi tidak well-informed. Masyarakat mengetahui
tentang Otonomi Khusus tetapi tidak memahaminya secara menyeluruh. Dengan
PAGE 36
realitas seperti itu, Otonomi Khusus berjalan menjadi kebijakan yang tidak partisipatif.
Kebijakan yang dijalankan dengan satu perspektif tunggal dari pemerintah.
Ketidakberhasilan Otonomi Khusus setidaknya bersumber pada lima hal. Pertama,
pelaksanaan otonomi khusus tidak diimbangi dengan upaya penyelesaian konflik politik
secara damai. Hal ini mengakibatkan politisasi pelaksanaan otonomi khusus baik oleh
pemerintah pusat maupun oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat sendiri. Otonomi
khusus bergeser menjadi isu-isu politik, bukan program nyata untuk meningkatkan taraf
hidup dan penghargaan hak dasar masyarakat sesuai dengan latar belakang kebijakan
otonomi khusus itu sendiri. Pemerintah pusat masih menggunakan pendekatan keamanan
yang bertolak belakang dengan tujuan otonomi khusus untuk meningkatkan penghormatan
terhadap hak asasi manusia.
Kedua, pendekatan kemanan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa dalam
pelaksanaan otonomi khusus sudah tercerabut dari nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan,
yaitu perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk
asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan
kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara. Masih maraknya kekerasan dan
pelanggaran HAM, tidak adanya proses hukum, belum terbentuknya pengadilan HAM,
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, menunjukkan bahwa Otonomi Khusus hanya
dilaksanakan secara parsial. Untuk hal-hal tertentu masih terdapat ketidakpercayaan
pemerintah terhadap masyarakat untuk melaksanakan otonomi khusus.
Ketiga, terdapat kecenderungan menggerogoti otonomi khusus yang diberikan
dengan memperkuat kembali pola pemerintahan yang sentralistik. Penggerogotan
kekhususan otonomi khusus juga terjadi dalam bentuk berbagai kebijakan desentralisasi
yang tidak meletakkan titik berat otonomi di provinsi, tetapi menitikberatkan otonomi di
tingkat kabupaten dan kota sehingga menimbulkan konflik antar satuan pemerintahan
daerah.
Keempat, masih kurangnya kapasitas kelembagaan yang diperlukan untuk
menjalankan otonomi khusus baik karena status legal formal maupun karena kondisi politik
yang bersifat khusus. Sebagai contoh, MRP di Papua yang merupakan representasi kultural
PAGE 37
belum mampu mewarnai kebijakan dan mengontrol pelaksanaan pemerintahan. Sedangkan
di aceh, GAM yang sebagian besar telah bertransformasi dalam Partai Aceh belum mampu
memberikan kontribusi yang berarti untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Aceh.
Bahkan semakin hari, permasalahan internal partai dan mantan kombatan GAM menjadi
permasalahan tersendiri dalam menjalankan pemerintahan di Aceh. Produk hokum yang
dihasilkan juga belum mampu benjawab permasalahan dalam masyarakat Aceh sendiri,
bahkan terkesan hanya memenuhi keinginan para elit politik yang sedang berkuasa.
PAGE 38
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab terdahulu, dengan ini Penulis dapat
merumuskan kesimpulan dalam beberapa aspek terkait penerapan otonomi khusus Aceh
dan Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia:
1. Bahwa sebenarnya penerapan otonomi khusus selaras dengan amanat konstitusi dalam
UUDNRI 1945 dan Penjelasannya, bahkan sebelum adanya Amandemen. Negara
mengakui dan menghormati daerah yang bersifat istimewa dan mengakui adanya hak
asal usul. Daerah yang diberikan keistimewaan dan kekhususan melalui UU khusus
atau istimewa adalah Provinsi Aceh, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta dan DI
Yogyakarta. UUDNRI 1945 setelah amandemen memberikan landasan yuridis yang
kuat melalui Pasal 18B ayat (1) yang melahirkan UU khusus dan istimewa bagi
Provinsi Aceh dan Papua.
2. Penerapan otonomi khusus dalam kerangka NKRI harus memperhatikan bentuk dari
negara, artinya selama daerah yang diberikan kekhususan dan keistimewaan tetap
berada dalam kerangka NKRI, maka otonomi khusus tidak menjadi sebuah masalah.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan pada tulisan ini, Penulis menyampaikan
saran-saran terhadap Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah, khususnya
Pemerintah Aceh dan Papua, sebagai berikut:
1. Untuk Pemerintah Pusat, DPR RI dan DPD RI sebagai pembuat undang-undang,
sebaikanya peraturan mengenai otonomi khusus diperjelas dan dipertegas, dengan
membuat rancangan dan panduan yang terarah, dipikirkan secara matang dan terukur
mengingat keberagaman dan luasnya wilayah NKRI. Selanjutnya Pasal 18B ayat (1)
PAGE 39
UUDNRI 1945 dibuat secara khusus undang-undang turunannya mengenai kriteria dan
standar pemberian daerah khusus maupun istimewa, mengingat selama ini pemberian
kekhususan dan keistimewaan lebih berdasarkan pada pertimbangan politis dan sejarah
saja.
2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus sama-sama ikhlas dan memiliki itikad
baik dalam melaksanakan kewenangannya masing-masing, untuk mencapai tujuan
berbangsa dan bernegara. Persamaan persepsi terhadap konteks otonomi khusus yang
telah diberikan dapat meminimalisir permasalahan dalam menjaga hubungan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
3. Untuk Pemerintah Daerah yang telah mendapatkan kekhususan seperti Aceh dan
Papua, sebaiknya mampu memanfaatkan sebaik-baiknya potensi daerahnya dan
mewujudkan cita-cita bangsa Indoensia yang adil, makmur dan sejahtera. Perlu
dibentuk produk hokum yang khusus dan sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-
masing.
PAGE 40
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abu Daud Busroh, 1990, Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, Pembelajaran
dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta, Kemitraan, Jakarta.
Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kinerja Otonomi Khusus Papua, Jakarta, Kemitraan
Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
Agussalim A Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Ghalia
Indonesia, Bogor.
Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta.
Amrizal J Prang, 2015, Pemerintahan Daerah: Konteks Otonomi Simetris dan Asimetris,
Biena Edukasi, Lhokseumawe.
Astim Riyanto, 2010, Teori Negara Kesatuan, Yapemdo, Bandung.
Axel Hadenius, 2003, Decentralization and Democratic Governance Experiences from
India, Bolivia and South Africa, Sweden: Almqvist & Wiksell International.
Bagir Manan, 1990, Hubungan antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi
Menurut UUD 1945, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung.
Bhenyamin Hoessein dalam Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktek Pemerintahan dan
Otonomi Daerah, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
CF Strong, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang
Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan dari Modern Political
Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and
Existing Form, Nuansa dan Nusamedia, Bandung.
Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power Untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan
Kesebelas, Ichtiar Baru, Jakarta.
F. Isjwara, 1995, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kesepuluh, Bina Cipta, Bandung.
Faisal Akbar Nasution, 2007, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom Dalam rangka
Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
PAGE 41
Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktiek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari General
Theory of Law and State, Nusamedia & Nuansa, Bandung.
Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia.
Hilaire Barnet, 2000, Constitutional and Administrative Law, Ed. Ke-3, London:
Cavendish Limited.
Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat
Papua di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2001, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, Jakarta, the
Habibie Center.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta.
Jimly Assiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yarsif Watampane,
Jakarta.
Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Surabaya.
K. Ramanathan, 2003, Asas sains politik, Fajar Bakti Sdn. Bhd., Selangor, Malaysia.
Made Suwandi, 2002, http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandi-
konsepsi-otda.pdf.
Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES
Indonesia, Jakarta.
Mukhlis, 2014, Fungsi dan Kedudukan Mukim Sebagai Lembaga Pemerintahan dan
Lembaga Adat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Disertasi, pada
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Bandung.
News: Desentralisasi Asimetris - Prof. Said M. Mas'ud, Ph.D. dapat diakses melalui
http://www.profmmasudsaid.com/news-desentralisasi-asimetris.html
Riris Katharina, 2011, Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Tinjauan
Terhadap Peran DPRP dan MRP), dalam
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-19.pdf.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota,
Perpu No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.
PAGE 42
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN RI Tahun 2004 No. 244,
TLN RI No. 5587.
Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, UU No. 2 Tahun 2015,
LN RI Tahun 2015 No. 24, TLN RI No. 5657.
Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 9 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 58, TLN RI
No. 5679.