Osteo Art Ritisosteoartritis. kelainan muskuloskeletal
-
Upload
fatimah-ken-pratiwi -
Category
Documents
-
view
18 -
download
1
description
Transcript of Osteo Art Ritisosteoartritis. kelainan muskuloskeletal
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan
kerusakan kartilago sendi, dimana terjadi proses degradasi interaktif sendi yang
kompleks, terdiri dari proses perbaikan pada kartilago, tulang dan sinovium diikuti
komponen sekunder proses inflamasi. Prosesnya tidak hanya mengenai rawan sendi
namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk tulang subkondral, ligamentum, kapsul
dan jaringan sinovial serta jaringan ikat periartikuler. Pada stadium lanjut rawan sendi
mengalami kerusakan, ditandai adanya fibrilasi, fisur, dan ulserasi yang dalam pada
permukaan sendi. Paling sering mengenai vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan
tangan kaki.
OA merupakan kelainan degeneratif sendi yang paling banyak didapatkan di
masyarakat, terutama pada usia lanjut. Lebih dari 80% usia diatas 75 tahun menderita
OA. OA merupakan kasus terbanyak yang terdapat di rumah sakit dari semua kasus
penyakit rematik. Di poliklinik Reumatologi RSUP Sanglah Denpasar (2001-2003),
OA merupakan kasus tertinggi (37%) diikuti dengan RNA, AG, SLE, dan lain-lain.
Kelainan pada lutut merupakan kelainan terbanyak dari OA diikuti sendi panggul dan
tulang belakang. Di Indonesia prevalensi OA lutut yang tampak secara radiologik
mencapai 15,5 % pada pria dan 12,7 % pada wanita berumur antara 40-60 tahun.
Perjalanan penyakit pengapuran sendi lutut ini sangat bervariasi. Penyakit dapat
membaik pada beberapa pasien, tetap stabil tidak berubah pada pasien lain, atau
penyakit memburuk secara perlahan-lahan pada pasien lainnya. Pengapuran sendi
lutut merupakan penyebab tersering terjadinya gangguan mobilitas pada orang usia
lanjut. Banyak orang dengan nyeri pada sendi lututnya mengalami keterbatasan dalam
melakukan aktivitas hidup sehari-hari, seperti mandi, berpakaian, menggunakan
jamban, berjalan, dan sebagainya.
Pengapuran sendi lutut memengaruhi seluruh struktur di dalam sendi, tidak hanya
menyebabkan hilangnya lapisan hialin rawan sendi, namun perubahan bentuk tulang
atau pembesaran tulang juga terjadi, yang disertai pula dengan teregangnya kapsul
sendi dan kelemahan otot-otot di sekitar sendi lutut.
Nyeri pada pengapuran sendi lutut umumnya terkait dengan aktivitas, seperti naik
tangga, bangkit dari kursi, dan berjalan dengan jarak cukup jauh. Kekakuan sendi juga
lazim terjadi pada pagi hari namun biasanya berlangsung kurang dari 30 menit.
Tatalaksana pengapuran sendi lutut meliputi upaya untuk mengurangi rasa nyeri,
memperbaiki bentuk abnormal sendi lutut yang menjadi bengkok, serta
mengidentifikasi ketidakstabilan sendi lutut
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan OA bertujuan untuk menghilangkan keluhan, mengoptimalkan
fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kualitas hidup, menghambat
progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar terapi: non farmakologis (edukasi,
terapi fisik, diet, penurunan berat badan), farmakologis (analgetik, kortikosteroid lokal,
sistemik, kondroprotektif dan biologik), dan pembedahan.
Terapi non farmakologis (terapi bukan obat) meliputi:
1. Latihan jasmani dengan berat badan tanpa atau hanya sebagian saja ditopang oleh
sendi lutut (misalnya berenang, naik sepeda, dan sebagainya), serta latihan jasmani
untuk menguatkan otot-otot paha. Hindari melakukan latihan jasmani jika nyeri pada
sendi lutut bertambah buruk
2. Menurunkan berat badan atau bila perlu berjalan dengan bantuan tongkat untuk
mengurangi beban dari berat badan yang harus ditopang oleh sendi lutut. Tongkat
yang digunakan dipegang oleh tangan yang berada di sisi yang berseberangan dengan
sisi sendi lutut yang nyeri. Pada saat digunakan, tongkat dan tungkai yang nyeri harus
menapak pada saat yang bersamaan.
3. Memperbaiki abnormalitas sendi lutut yang membengkok dengan brace atau patellar
taping atau lapisan dalam sepatu (shoe insert) jika tidak membaik dengan terapi medis
lainnya
4. Akupunktur dapat mengurangi rasa nyeri setelah beberapa kali sesi akupunktur
dilakukan
Terapi medikamentosa
1. Suntikan kortikosteroid ke dalam sendi lutut
2. Analgetik untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat berupa obat minum atau obat
topikal yang dioleskan di daerah lutut
3. Suntikan asam hialuronat (hyaluronic acid) ke dalam sendi lutut
4. Glukosamin and kondroitin sulfat
Obat pengurang rasa nyeri yang lazim digunakan meliputi asetaminofen (parasetamol), obat
anti inflamasi (anti radang) non-steroid (AINS) misalnya Natrium Diklofenak, Piroksikam,
Ibuprofen, dan sebagainya, serta penghambat siklooksigenase-2 (COX-2 inhibitor) seperti
Celecoxib. AINS dan COX-2 inhibitor lebih efektif mengurangi rasa nyeri dibandingkan
parasetamol. Walaupun demikian, kelebihan AINS terhadap parasetamol dalam mengurangi
rasa nyeri tersebut tidak terlalu berbeda jauh dan oleh karena efek samping toksisitas AINS
terhadap ginjal dan efek samping AINS terhadap terjadinya perdarahan saluran cerna,
parasetamol seyogianya menjadi terapi lini pertama untuk mengurangi nyeri pada pengapuran
sendi lutut, meskipun tampaknya parasetamol kurang efektif di antara pasien yang telah
mendapat terapi AINS sebelumnya.
OA diklasifikasikan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. OA disebabkan oleh
perubahan biomekanikal dan biokimia tulang rawan, dimana akan terjadi ketidakseimbangan
antara degradasi dan sintesis tulang rawan. Ketidakseimbangan ini menyebabkan pengeluaran
enzim-enzim degradasi dan pengeluaran kolagen yang akan mengakibatkan kerusakan tulang
rawan sendi dan sinovium (sinuvitis sekunder) akibat terjadinya perubahan matriks dan
struktur. Selain itu juga akan terjadi pembentukan osteofit sebagai suatu proses perbaikan
untuk membentuk kembali persendian sehingga dipandang sebagai kegagalan sendi yang
progresif.1,4,7
Pada umumnya penderita OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama tetapi
berkembang secara perlahan-lahan. Penderita OA biasanya mengeluh pada sendi yang
terkena yang bertambah dengan gerakan atau waktu melakukan aktivitas dan berkurang
dengan istirahat. Selain itu juga terdapat kaku sendi dan krepitus, bentuk sendi berubah dan
gangguan fungsi sendi. Pada derajat yang lebih berat, nyeri dapat dirasakan terus menerus
sehingga sangat mengganggu mobilitas penderita.1,3 OA sendi lutut ditandai oleh nyeri pada
pergerakan yang hilang bila istirahat, kaku sendi terutama setelah istirahat lama atau bangun
tidur, krepitasi sewaktu pergerakan dan dapat disertai sinovitis dengan atau tanpa efusi cairan
sendi. Nyeri akan bertambah jika melakukan kegiatan yang membebani lutut seperti berjalan,
naik turun tangga, berdiri lama. Gangguan tersebut mulai dari yang paling ringan sampai
yang paling berat sehingga penderita tidak bisa berjalan.8,9
Diagnosis OA sudah dapat ditegakkan berdasarkan kriteria klasifikasi The American College
of Rheumatology yaitu adanya nyeri lutut dan gambaran radiografik osteofit dan salah satu
dari : umur > 50 tahun, kaku sendi <>3,10
OA sendi lutut merupakan kelainan sendi yang mempunyai dampak terhadap kehidupan
sehari-hari penderitanya. Walaupun belum ada pengobatan medis yang dapat menyembuhkan
dan menghentikan progresifitas OA, banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkan
nyeri, menjaga mobilitas dan meminimalkan disabilitas. Merupakan sebuah tantangan bagi
para klinisi untuk menemukan cara mempertahankan fungsi sendi, mengobati nyeri sendi dan
inflamasi yang bisa terjadi.
Kunci menuju manajemen yang efektif dari OA berpegangan kepada diagnosis yang akurat
dan tepat. Pengelolaan penderita OA baik secara farmakologik atau non farmakologik dapat
dilakukan dengan lebih tepat dan aman bila terdapat pemahaman yang baik mengenai
patogenesis dan sifat nyeri OA yang multifaktorial. Hal ini menuntut ketrampilan para tenaga
medis pada umumnya dan dokter umum pada khususnya sehingga dapat memberikan
penanganan yang tepat dan adekuat terhadap penderita dengan OA. Pada tinjauan kasus ini
akan dibahas mengenai pendekatan diagnostik dan penatalaksanaan pada penderita dengan
OA lutut.
OA adalah penyakit degenerasi kartilago artikuler yang berlangsung secara perlahan-lahan
ditandai nyeri sendi, kekakuan dan keterbatasan gerakan yang berkembang secara progresif.12
Tanda-tanda tersebut kami temukan pada penderita ini.
Berdasarkan etiologinya OA diklasifikasikan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder.
OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada
hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA
sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, trauma (akut atau kronik
akibat pekerjaan atau olahraga), inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro
dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama, faktor mekanik, penyakit deposit kalsium,
penyakit tulang dan sendi lainnya, difus, neuropatik endemik.1 Beberapa faktor resiko yang
diketahui berhubungan dengan penyakit OA, diantaranya : faktor resiko umum yang penting
yaitu kegemukan, faktor genetik dan jenis kelamin dengan wanita lebih sering, serta beberapa
faktor resiko lain seperti usia lebih dari 40 tahun, suku bangsa, genetik, cedera sendi,
pekerjaan, olahraga, kelainan pertumbuhan, kepadatan tulang, dan lain-lain.1,4,6 Pada penderita
ini, berdasarkan anamnesis riwayat sosialnya, penderita melakukan aktivitas/pekerjaan yang
menyebabkan penggunaan berlebihan (overuse evercise) dari sendi lutut kanan penderita.
Aktivitas/pekerjaan tersebut telah dijalankannya sejak lebih kurang 2 tahun. Selain itu dari
pemeriksaan fisik, penderita ini juga mengalami kegemukan (obese I). Kondisi-kondisi
merupakan faktor-faktor risiko terjadinya OA. Jadi dapat disimpulkan pada penderita ini
termasuk OA sekunder.
Penderita datang dengan keluhan utama nyeri sendi pada lutut kanan sejak 3 bulan SMRS.
Nyeri sendi merupakan keluhan yang umum terjadi pada penyakit reumatik, yaitu artritis
gout, OA, keganasan, reumatik septik dan lain sebagainya. Pada penderita ini nyeri
terlokalisir pada lutut kanan tanpa adanya nyeri pada sendi yang lain, nyeri bertambah saat
melakukan gerakan (seperti berjalan) dan berkurang apabila beristirahat. Tidak ada demam.
Tidak ada podagra. Nyeri tidak menetap sepanjang hari. Nyeri seperti ini biasanya ditemukan
pada OA.
Penderita juga mengeluh mengalami kaku sendi. Kaku sendi dirasakan penderita pada pagi
hari. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh desakan cairan yang berada di sekitar jaringan
yang mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia, atau bursa). Kaku sendi makin nyata pada
pagi hari atau setelah istirahat. Setelah digerak-gerakkan, cairan akan menyebar dari jaringan
yang mengalami inflamasi sehingga penderita merasa terlepas dari ikatan dan bisa
menggerakkan sendinya kembali. Lama kaku sendi pada OA adalah kurang dari 30 menit
sedangkan pada AR minimal satu jam.1 Pada penderita ini, kaku sendi juga dirasakan pada
pagi hari selama kira-kira 20-30 menit dan menghilang dengan sendirinya bila penderita
menggerakkan kakinya dengan beraktivitas seperti biasa. Hal ini sesuai untuk mendukung
keluhan pada penderita OA.
Penderita juga mengeluh mengalami pembesaran lutut. Dirasakan oleh penderita sejak 1
bulan yang lalu. Sendi yang membengkak/membesar bisa disebabkan oleh penonjolan tulang,
sinovitis, efusi dan karena adanya osteofit yang dapat mengubah permukaan sendi. Pada
penderita ditemukan osteofit pada pemeriksaan rontgen.
Pemeriksaan fisik lokalis pada ekstemitas didapatkan sendi lutut kanan: pada inspeksi
didapatkan asimetrisitas lutut terdapat pembesaran sendi pada lutut kanan dengan
menghilangnya cekungan sekitar patela berukuran diameter 10 cm dengan tidak ada
perubahan warna kulit. Palpasi pada lutut kanan didapatkan nyeri tekan derajat 3 dan pada
perabaan dirasakan hangat pada lutut kanan. Pemeriksaan gerak sendi didapat keterbatasan
gerak fleksi hanya dapat mengerakkan lutut sebesar 60° dan tidak dapat melakukan gerakan
ekstensi lutut kanan. Hambatan gerak terutama disebabkan oleh adanya osteofit remodeling,
penebalan kapsul, dan juga adanya efusi. Pada auskultasi sendi lutut kanan penderita
ditemukan adanya krepitasi, dimana terdengar suara gemeretak “kretek-kretek” seperti suara
krupuk yang diremukkan. Gejala ini mungkin timbul disebabkan karena gesekan kedua
permukaan tulang sendi yang iregular pada saat sendi digerakkan ataupun secara pasif
dimanipulasi.1, 14
Pemeriksaan radiologis pada penderita ini didapatkan adanya gambaran radiologis berupa
penyempitan sendi dan osteofit pada pinggir sendi. Menipisnya rawan sendi diawali dengan
retak dan terbelahnya permukaan sendi di beberapa tempat yang kemudian menyatu dan
disebut sebagai fibrilasi. Di lain pihak pada tulang akan terjadi pula perubahan sebagai reaksi
tubuh untuk memperbaiki kerusakan. Perubahan itu adalah penebalan tulang subkondral dan
pembentukan osteofit marginal, disusul kemudian dengan perubahan komposisi molekular
dan struktur tulang. Penipisan kartilago sendi akibat proses degeneratif memberi gambaran
penyempitan celah sendi yang tidak simetris pada polos radiologi. Fungsi kartilago sendi
berkurang bahkan menghilang mengakibatkan beban stres di daerah subkhondral bertambah.
Beberapa subkhondral tersebut dapat diamati pada photo polos radiologi berupa pembentukan
osteofit, subkhondral sklerotik, maupun pembentukan kista subkhondral. Pada penderita ini
ditemukan adanya pembentukan osteofit.
Pada OA, dari anamnesa (gejala klinis), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologi sudah
dapat menunjang ditegakkannya diagnosis OA lutut. Hasil pemeriksaan laboratorium pada
OA biasanya tidak banyak berguna. Darah tepi (Hb, leukosit, dan LED) dalam batas normal,
kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan arthritis peradangan. Pemeriksaan
imunologi (ANA, faktor rheumatoid, dan komplemen) juga normal. Pada OA yang disertai
peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis sedang hingga ringan,
peningkatan ringan sel radang (<8000/m)>1 Pada penderita ini dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, kimia darah dan urin lengkap karena pemeriksaan tersebut
merupakan pemeriksaan rutin. Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada penderita ini tidak
ditemukan adanya kelainan.
Diagnosis OA sudah bisa ditegakkan secara klinis dengan memakai kriteria OA yang dibuat
oleh Subcommittee American College of Rheumatology (ACR).1 Kriteria OA lutut secara
klinis, laboratorium, dan radiologis adalah adanya nyeri lutut, osteofit, dan salah satu dari
usia lebih dari 50 tahun, kaku sendi kurang dari 30 menit atau adanya krepitus.1, 3, 5 Pada
penderita ini wanita berusia 49 tahun, ditemukan memiliki keluhan nyeri sendi lutut kanan,
terdapat kaku sendi selama 20-30 menit, terdapat krepitus, dan pada pemeriksaan radiologi
ditemukan adanya osteofit.
Pada penderita ini termasuk dalam OA fungsional kelas II, karena berdasarkan anamnesa
penderita masih bisa beraktivitas/bekerja sehari-harinya, dan dapat berjalan untuk
melaksanakan aktivitas tersebut tanpa bantuan alat; dan dari pemeriksaan fisik ditemukan
adanya gangguan pada sendi lutut kanan. Sehingga berdasarkan kriteria ACR maka penderita
ini didiagnosis menderita Fungsional kelas II/OA genu dekstra.
Pengelolaan penderita dengan OA bertujuan untuk untuk menghilangkan keluhan,
mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kualitas hidup,
menghambat progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar terapi: non farmakologis
(edukasi, terapi fisik, diet/penurunan berat badan), farmakologis (analgetik, kortikosteroid
lokal, sistemik, kondroprotektif dan biologik), dan pembedahan.1,3
Edukasi sangat penting bagi semua pasien OA. Dua hal yang menjadi tujuan edukasi adalah
bagaimana mengatasi nyeri dan disabilitas. Pemberian edukasi (KIE) pada penderita ini
sangat penting karena dengan edukasi diharapkan pengetahuan penderita mengenai penyakit
OA menjadi meningkat dan pengobatan menjadi lebih mudah serta dapat diajak bersama-
sama untuk mencegah kerusakan organ sendi lebih lanjut.3 Edukasi yang kami berikan pada
penderita ini yaitu memberikan pengertian bahwa OA adalah penyakit yang kronik, sehingga
perlu dipahami bahwa mungkin dalam derajat tertentu akan tetap ada rasa nyeri, kaku dan
keterbatasan gerak serta fungsi. Selain itu juga kami memberi pemahaman bahwa hal tersebut
perlu dipahami dan disadari sebagai bagian dari realitas kehidupannya. Kami juga
menyarankan agar rasa nyeri dapat berkurang, maka pasien sedianya mengurangi
aktivitas/pekerjaannya sehingga tidak terlalu banyak menggunakan sendi lutut dan lebih
banyak beristirahat. Pasien juga kami sarankan untuk kontrol kembali sehingga dapat
diketahui apakah penyakitnya sudah membaik atau ternyata ada efek samping akibat obat
yang diberikan.
Terapi fisik bertujuan untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan
melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit.1 Pada penderita ini kami anjurkan untuk
berolah raga tapi olah raga yang memperberat sendi sebaiknya dihindari seperti lari atau
joging. Hal ini dikarenakan dapat menambah inflamasi, meningkatkan tekanan intraartikular
bila ada efusi sendi dan bahkan bisa dapat menyebabkan robekan kapsul sendi.15 Untuk
mencegah risiko terjadinya kecacatan pada sendi, sebaiknya dilakukan olah raga peregangan
otot seperti m. Quadrisep femoris, dengan peregangan dapat membantu dalam peningkatan
fungsi sendi secara keseluruhan dan mengurangi nyeri. Pada pasien ini kami sarankan untuk
senam aerobic low impact/intensitas rendah tanpa membebani tubuh selama 30 menit sehari
tiga kali seminggu. Hal ini bisa dilakukan dengan olahraga naik sepeda atau dengan
melakukan senam lantai. Senam lantai bisa dilakukan dimana pasien mengambil posisi
terlentang sambil meregangkan lututnya, dengan cara mengangkat kaki dan secara perlahan
menekuk dan meluruskan lututnya.
Diet bertujuan untuk menurunkan berat badan pada pasien OA yang gemuk. Hal ini
sebaiknya menjadi program utama pengobatan OA. Penurunan berat badan seringkali dapat
mengurangi keluhan dan peradangan.1 Selain itu obesitas juga dapat meningkatkan risiko
progresifitas dari OA.13 Pada pasien ini kami menyarankan untuk mengurangi berat badan
dengan mengatur diet rendah kalori sampai mungkin mendekati berat badan ideal. Dimana
prinsipnya adalah mengurangi kalori yang masuk dibawah energi yang dibutuhkan.
Penurunan energi intake yang aman dianjurkan pemberian defisit energi antara 500-1000
kalori perhari, sehingga diharapkan akan terjadi pembakaran lemak tubuh dan penurunan
berat badan 0,5 – 1 kg per minggu. Biasanya intake energi diberikan 1200-1300 kal per hari,
dan paling rendah 800 kal per hari. Formula yang dapat digunakan untuk kebutuhan energi
berdasarkan berat badan adalah 22kal/kgBB aktual/hari, dengan cara ini didapatkan defisit
energi 1000 kal/hari.17 Pada pasien ini kami anjurkan untuk diet 1200 kal perhari agar
mencapai BB idealnya yakni setidaknya mencapai 55 kg. Contoh komposisi makanan yang
kami anjurkan adalah dalam sehari pasien bisa memasak 1 gelas beras (550 kal), 4 potong
tempe sedang (150 kal), 1 buah telur (100 kal), 2 potong ayam sedang (300 kal) dan 1 ikat
sayuran kangkung (75 kal).
Terapi farmakologis pada penderita OA biasanya bersifat simptomatis. Untuk membantu
mengurangi keluhan nyeri pada penderita OA, biasanya digunakan analgetika atau Obat Anti
Inflamasi Non Steroid (OAINS).1 Untuk nyeri yang ringan maka asetaminophen tidak lebih
dari 4 gram per hari merupakan pilihan pertama. Untuk nyeri sedang sampai berat, atau ada
inflamasi, maka OAINS yang selektif COX-2 merupakan pilihan pertama, kecuali jika pasien
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya hipertensi dan penyakit ginjal. OAINS yang COX-
2 non-selektif juga bisa diberikan asalkan ada perhatian khusus untuk terjadinya komplikasi
gastrointestinal dan jika ada risiko ini maka harus dikombinasi dengan inhibitor pompa
proton atau misoprostol. Injeksi kortikosteroid intraartikuler bisa diberikan terutama pada
pasien yang tidak ada perbaikan setelah pemberian asetaminophen dan OAINS. Tramadol
bisa diberikan tersendiri atau dengan kombinasi dengan analgetika lain jika nyerinya belum
berkurang. Opioid bisa diberikan jika analgetika yang lain kurang memberikan manfaat.3
Asetaminophen merupakan analgetika non opioid lini pertama yang semestinya diberikan
pada penderita dengan keluhan nyeri yang tidak begitu berat sebelum pemberian analgetik
yang lebih kuat.15 Asetaminophen adalah metabolit fenacetin yang bertangung jawab atas
efek analgetiknya. Obat ini adalah penghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan
perifer dan tidak memiliki efek anti inflamasi yang bermakna. Obat ini diberikan per oral
dengan dosis untuk nyeri akut yaitu 325-500 mg 4 kali sehari. Obat ini berguna untuk nyeri
ringan sampai sedang, namun tidak adekuat untuk terapi keadaan peradangan. Pada dosis
terapi kadang-kadang timbul peningkatan ringan enzim hati tanpa ikterus. Keadaan ini
reversibel bila obat dihentikan. Gejala dini kerusakan hati meliputi mual, muntah, diare dan
nyeri abdomen.16
OAINS mempunyai aktifitas anti inflamasi, analgesik dan antipiretik, namun obat-obat
golongan ini tidak bisa menghentikan perjalanan alamiah suatu penyakit reumatik.
Mekanisme kerja OAINS adalah menghambat kerja enzim cyclooksigenase (COX) sehingga
konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin (PG) dihambat. COX-1 bermanfaat
mempertahankan integritas mukosa gaster dan duodenum, renal blood flow, dan aktifitas
koagulasi. Jika aktifitas COX-1 ini dihambat oleh OAINS maka muncul risiko efek samping
OAINS tersebut yaitu perdarahan gaster dan duodenum, renal insufisiensi dan perdarahan
pada tempat lain. Ekspresi COX-2 meningkat seiring dengan beratnya proses inflamasi. Jika
aktifias COX-2 dihambat dengan OAINS, maka proses inflamasi akan berkurang. Natrium
diklofenak merupakan obat golongan OAINS COX-1 non-selektif yang diberikan secara oral
dengan dosis 50 mg 2-3 kali sehari.15 Obat ini cepat diabsorbsi dan mempunyai waktu paruh
yang pendek. Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti artritis remathoid
dan OA, serta untuk pengobatan nyeri otot rangka akut. Efek samping terjadi pada kira-kira
20% penderita dan meliputi distress dan perdarahan saluran cerna, dan tukak lambung.16 Bila
muncul efek samping gasterointestinal, pengobatan Na diklofenak diganti dengan golongan
COX-2 inhibitor selektif seperti colecoxib yang memberikan efek terhadap gastrointestinal
lebih rendah dari pada Na diklofenak.
Apabila penderita memiliki risiko tinggi terhadap gangguan kardiovaskuler dan ginjal, maka
obat NSAID golongan COX-2 selektif inhibitor sebaiknya tidak dijadikan pilihan dan dipilih
obat golongan COX-1 non selektif. Hal ini disebabkan karena COX-2 inhibitor selektif bisa
merangsang aterotrombosis dengan menghambat pembentukan prostasiklin (PGI2)- lewat
COX-2 izoenzim di sel endotel makrovaskular- yang merupakan vasodilator yang poten dan
inhibitor terhadap proliferasi sel otot polos dan agregasi platelet. Sebagai tambahan, COX-2
inhibitor selektif gagal untuk menghambat pembentukan tromboksan A2 (TXA2) yang
memfasilitasi vasokontriksi, aktivasi platelet dan proliferasi otot polos. Teori ini juga
didukung oleh penelitian Vioxx Gastrointestinal Outcomes Research (VIGOR) , dimana
dilaporkan peningkatan risiko relatif (RR) (2,38 kali; 95% CI; 1,4-4,0) dari kejadian
kardiovaskular aterotrombotik di antara 8076 pasien dengan Rheumatois Artritis yang secara
acak diberikan pengobatan rofecoxib dibandingkan dengan pengobatan naproxen.18
Untuk mengurangi keluhan nyeri pada penderita ini, telah diberikan pengobatan Na-
diklofenak dengan dosis 2×50 mg. Hal ini disebabkan pada pasien selain rasa nyeri yang
dideritanya, juga terjadi proses inflamasi yakni ditandai adanya bengkak dan rasa hangat di
lutut. Pasien sebelumnya telah meminum paracetamol, namun nyeri yang dikeluhkan tidak
hilang. Na-diklofenak merupakan obat golongan OAINS COX-1 inhibitor yang non-selektif,
dimana obat ini diberikan pada penderita karena tidak terdapat riwayat pernah menderita
gangguan gastrointestinal. Pasien ini tidak diberikan obat golongan COX-2 selektif untuk
menghindari terjadinya risiko kardivaskuler seperti yang telah diuraikan di atas.
Terapi pembedahan. Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis dan rehabilitasi tidak
berhasil untuk mengurangi rasa sakit; dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi
deformitas yang menimbulkan gangguan mobilisasi sendi yang mengganggu aktifitas sehari-
hari1,3. Operasi dipertimbangkan pada pasien dengan kerusakan sendi yang nyata, dengan
nyeri yang menetap dan kelemahan fungsi4. Berdasarkan algoritma management OA lutut
yang baru terdiagnosa, terapi pembedahan pada OA bisa dilakukan setelah 18 minggu nyeri
OA lutut yang tidak dapat dikontrol dengan baik. Namun algoritma ini tidak mutlak
mengingat terapi OA yang sebaiknya bersifat individual dan fleksibel6. Teknik yang
digunakan adalah total joint arthroplasty dan revision arthroplasty. Sebelum diputuskan
untuk melakukan terapi pembedahan, harus dipertimbangkan terlebih dahulu risiko dan
keuntungannya.
Pada pasien ini tidak sampai dilakukan terapi pembedahan karena nyeri yang dirasa pasien
tidak sampai membuat pasien tidak melakukan aktivitas sehari-harinya. Selain itu bila
didasarkan pada algoritma penatalaksanaan OA lutut yang baru terdiagnosa, pada penderita
ini belum bisa dievaluasi terkontrol tidaknya nyeri yang dirasakan.
RINGKASAN
Telah dilaporkan kasus dengan OA genu dekstra pada penderita perempuan 49 tahun. OA
merupakan kelainan degeneratif sendi yang paling banyak didapatkan di masyarakat.
Kelainan degeneratif secara primer terjadi pada tulang rawan dan secara sekunder akan
menyebabkan keradangan sekitarnya terutama jaringan sinovium. Penyebab OA diperkirakan
multifaktorial. Patogenesis OA secara umum adalah adanya ketidakseimbangan antara
degradasi dan sintesis dari tulang rawan sehingga menyebabkan kerusakan tulang rawan dan
diikuti dengan perubahan pada tulang subkhondral dan pembentukan osteofit. Perubahan ini
secara umum disebabkan berbagai faktor penyebab seperti genetik, host, dan lingkungan.
Diagnosis klinis OA dapat dibuat hanya berdasarkan kelainan klinis saja atau dengan
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis dengan memakai ACR. Kriteria OA
lutut secara klinis, laboratorium, dan radiologis adalah adanya 1) Nyeri lutut dan 2) Osteofit
dan 3) salah satu dari usia lebih dari 40 tahun, kaku sendi kurang dari 30 menit dan adanya
krepitus. Pada penderita ini didapatkan nyeri sendi lutut kanan, bengkak pada lutut kanan,
kaku sendi selama 20-30 menit,dan terdengar adanya krepitasi. Pada pemeriksaan radiologi
ditemukan adanya penyempitan celah sendi dan gambaran osteofit di tepi sendi.
Penanganan rasional OA adalah memakai pendekatan secara menyeluruh sesuai dengan
penyebab, beratnya penyakit, dan keadaan umum penderita dan dilihat dari berbagai aspek.
Penatalaksanaan OA bertujuan untuk menghilangkan keluhan, mengoptimalkan fungsi sendi,
mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kualitas hidup, menghambat progresivitas
penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar terapi meliputi: Non farmakologis (edukasi, terapi
fisik, diet, penurunan berat badan), terapi farmakologis (analgetik, kortikosteroid lokal,
sistemik, kondroprotektif dan biologik), dan terapi pembedahan. Beberapa modalitas
pengelolaan dapat diterapkan pada penderita OA lutut yaitu penanganan tanpa obat (terapi
non-farmakologis), penanganan dengan medikamentosa (terapi farmakologis), dan
pembedahan. Pada penderita ini telah diberikan terapi edukasi mengenai OA, terapi fisik dan
diet untuk penurunan berat badan dan penanganan dengan obat seperti Na Diklofenak.
FAKTOR PREDISPOSISI
Ada beberapa faktor predisposisi yang diketahui berhubungan erat dengan terjadinya
osteoartrosis sendi lutut, yaitu umur, jenis kelamin, obesitas, ras dan trauma. Umur
merupakan faktor risiko yang penting. Rata-rata laki-laki mendapatkan osteoartrosis sendi
lututpada umur 59,7 tahun dengan puncaknya pada usia 5564 tahun, sedangkan wanita 65,3
tahun dengan puncaknya pada usia 6574 tahun. Selain itu juga didapatkan bahwa penderita
osteoartrosis yang berumur lebih tua ternyata sudah menderita osteoartrosis lebih lama
dibandingkan yang berusia lebih muda.
Penderitaosteoartrosis sendi lututmeningkatpada usia lebih dari 65 tahun, baik secara klinik,
maupun radiologik. Gambaran radiologik yang berat (grade III dan IV menurut kriteria
Kellgreen-Lawrence) makin meningkat dengan bertambahnya umur, yaitu 11,5% pada usia
kurang dari 70 tahun, 17,8% pada umur 7079 tahun dan 19,4% pada usia lebih dari 80 tahun;
wanita yang mempunyai gambanan radiologik osteoartnosis berat adalah 10,6% pada umur
kurang dani 70 tahun, 17,6% pada umur 70-79 tahun dan 21,1% pada umur lebih dari 80
tahun; sedangkan pada laki-laki 12,8% pada umur kurang dani 70 tahun, 18,2% pada umur
7079 tahun dan 17,9% pada umur lebih dani 80 tahun.
Prevalensi radiologik osteoantrosis akan meningkat sesuai dengan umur. Pada umur di bawah
45 tahun jarang didapatkan gambaran radiologik yang berat. Pada usia tua gambanan
radiologik osteoartrosis sendi lutut yang berat mencapai 20%.
Pada penelitian lain didapatkan bahwa dengan makin meningkatnya umur, maka beratnya
osteoartrosis secara radiologik akan meningkat secara eksponensial
Hubungan antana osteoantrosis dengan umur sampai saat ini belum jelas. Penelitian
biokimiawi menunjukkan adanya perbe daan kelainan rawan sendi yang disebabkan oleh
proses menua
Wanita dan orang kulit hitam akan mendapatkan osteoarthritis sendi lutut lebih berat
dibandingkan laki-laki yang menderita osteoartrosis sendi lutut yang berderajat sedang adalah
7%, sedangkan wanita 15,5% dan pada orang kulit hitam, laki-laki 15,6% sedangkan wanita
28,6%. Rasa nyeri juga lebih banyak didapatkan pada wanita dibandingkan laid-laid. Pada
orang kulit putih 45,9% wanita merasakan nyeri, sedangkan pada laki-laki hanya 32,5% dan
pada orang kulit hitam, wanita yang merasakan nyeri 51,9% sedangkan laki-laki hanya
38,9%.
Pada penelitian HANES I didapatkan penderita osteoartrosis sendi lutut pada wanita lebih
tinggi dibandingkan laki-laki (7,6% dibandingkan 4,3%). Frekuensi OA lutut pada wanita
kulit hitam lebih tinggi dibandingkan dengan pada wanita kulit putih, sedangkan pada laki-
laki, frekuensi pada kulit hitam sama dengan pada kulit putih.
Faktor lain yang berperan pada timbulnya osteoantrosis sendi lutut adalah obesitas. Pada
penelitian Framingham didapatkan hubungan yang kuat antara obesitas dan osteoartrosis
sendi lutut, terutama pada wanita
Pada penelitian Cushnagan ternyata sebagian besar pasien osteoartrosis mempunyai berat
rata-rata di atas normal. Pada penelitian HANES I, ternyata didapatkan pula hubungan yang
erat antara berat badan dengan osteoartrosis sendi lutut. Penelitian Silberger menunjukkan
bahwa faktor kegemukan bukan hanya berperan dari segi bio- mekanik tapi juga dari segi
metabolik. Tikus yang diberi makan makanan yang mengandung asani lemak jenuh, akan
lebih banyak yang menderita osteoartrosis dibandingkan tikus yang diberi makan makanan
yang banyak mengan- dung asam lemak tak jenuh.
Maquet berusaha menjelaskan secara biomekanika beban yang diterima lutut pada obesitas.
Pada keadaan normal, gaya berat badan akan melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi
oleh otot-otot paha bagian lateral sehingga resultannya akan jatuh pada bagian sentral sendi
lutut. Pada keadaan obesitas, resultan gaya tersebut akan bergeser ke medial sehingga beban
yang diterima sendi lutut tidak seimbang. Pada keadaan yang berat dapat timbul perubahan
bentuk sendi menjadi varus yang akan makin menggeser resultan gaya tersebut ke medial.
Faktor ras diduga mempengaruhi timbulnya osteoartrosis.
Osteoartrosis lutut lebih sering ditemukan pada orang Asia, sedangkan osteoartrosis panggul
lebih sering pada orang Kaukasia. Pekerjaan dan olah raga juga merupakan faktor
predisposisi osteoantrosis sendi lutut. Penelitian HANES I mendapatkan bahwa pekerja yang
banyak membebani sendi lutut akan mempunyai risiko terserang osteoantrosis lebih besar
dibandingkan pekerja yang tidak banyak membebani lutut.
Faktor lain adalah merokok. Makin berat perokok, maka makin rendah frekuensi osteoartrosis
pada kelompok tersebut. Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian HANES I dan
Framingham. Hubungan antana merokok dan rendahnya prevalensi osteoartrosis sendi lutut,
belum dapat dijelaskan se- cara pasti. Beberapa faktor metabolik seperti diabetes melitus,
hipertensi, hiperurisemi dan Calcium pyrophosphare deposition disease dikatakan juga
berperan sebagai faktor predisposisi timbulnya osteoantrosis.
GAMBARAN KLINIK DAN RADIOLOGIK
Gejala klinik yang paling menonjol adalah nyeri. Ada tiga tempat yang dapat menjadi sumber
nyeri, yaitu sinovium, jaringan lunak sendi dan tulang. Nyeri sinovium dapat terjadi akibat
reaksi radang yang timbul akibat adanya debris dan kristal dalam cairan sendi. Selain itu juga
dapat terjadi akibat kontak dengan rawan sendi pada waktu sendi bergerak.
Kerusakan pada jaringan lunak sendi dapat menimbulkan nyeri, misalnya robekan ligamen
dan kapsul sendi, peradangan pada bursa atau kerusakan meniskus. Nyeri yang berasal dari
tulang biasanya akibat rangsangan pada periosteum karena periosteum kaya akan serabut-
serabut penerima nyeri.
Selain itu rasa nyeri s dipengaruhi oleh keadaanpsikologikpasien, sehinggadianjurkan untuk
melakukan evaluasi psikologik dalam penatalaksanaan penderita osteoartrosis.Nyeri pada
osteoantrosis sendi lutut, biasanya mempunya irama diurnal; nyeri akan menghebat pada
waktu bangun tidur dan sore hari. Selain itu, nyeri juga dapat timbul bila banyak berjalan,
naik dan turun tangga atau bergerak tiba-tiba. Nyeri yang belum lanjut biasanya akan hilang
dengan istirahat, tetapi pada keadaan lanjut, nyeri akan menetap walaupun penderita sudah
istirahat.
Kaku sendi merupakan gejala yang sering ditemukan, tetapi biasanya tidak lebih dari 30
menit. Kaku sendi biasanya muncul pada pagi hari atau setelah dalam keadaan inaktif. Selain
itu krepitusjuga sering ditemukan. Krepitus dapat ditemukan tanpa disertai rasa nyeri, tapi
biasanya berhubungan dengan nyeri yang tumpul.
Kadang-kadang ditemukan pembengkakan sendi akibat efusi cairan sendi. Pada keadaan
lanjut, dapat ditemukan deformitas sendi lutut, misalnya genu v `rum maupun genu valgus.
Bila sudah di- temukan instabilitas ligamentum, hal ini menunjukkan keru- sakan yang
progresif dan prognosis yang buruk.
Gambaran radiologik osteoantrosis pertama kali diperkenal- kan oleh Kellgren dan Lawrence
pada tahun 1957 dan akhirnya diambil oleh WHO pada tahun 1961. Berdasarkan kriteria
tersebut, maka gambaran radiologik osteoantrosis dapat berupa pem-
penderita osteoartrosis sang at penting agan penderita dapat kembali melakukan aktifitas
sehari-hari seperti sediakala. Tujuan penatalaksanaan osteoantrosis sendi lutut adalah untuk
menghilangkan nyeri dan peradangan, menstabilkan sendi lutut dan mengurangi beban pada
sendi lutut. Penatalaksanaan sebaiknya dilakukan pada stadium dini, terutama sebelum
deformitas sendi dan instabilitas sendi terjadi. Untuk mengurangi beban pada sendi lutut,
maka dalam melakukan aktifitas sehari-hari disarankan untuk memperhatikan hal-hal berikut
Jangan berjalan atau jogging sebagai pilihan olah raga.Berenang dan bersepeda merupakan
alternatifpilihan yang baik.
2) Hindari naik-turun tangga.
3) Duduk lebih baik danipada berdiri.
4) Duduk di kursi yang lebih tinggi lebih baik daripada duduk
di sofa yang rendah.
5) Hindari berlutut dan jongkok.
6) Sebelum bangkit dan duduk, geserlah dudukan ke tepi kursi
dengan posisi kaki di bawah badan, kemudian gunakan tangan
untuk mengangkat badan dan kursi.
Diet memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
penderita osteoantrosis sendi lutut, terutama untuk menurunkan
kelebihan berat badan penderita. Walaupun sampai saat ini
belum pernahditeliti penganuh penurunan berat badan terhadap
nyeri lutut dan progresifitas osteoartrosis sendi lutut, tetapi di-
hanapkan beban terhadap sendi lutut akan berkurang.
Evaluasi psikologik sangat penting untuk diperhatikan, ka-
rena beratnya nyeri dan gangguan fungsional berhubungan erat
dengan keadaan psikologik penderita
(16)
.
Terapi fisik memegang peranan yang sangat penting; latihan
otot yang teratur akan memperbaiki gangguan fungsional, mengu-
rangi ketergantungan terhadap orang lain dan mengurangi nyeri.
Perbaikan tersebut mencapai 1025% pada rehabilitasi selama
24 bulan dan dapat bertahan sampai 8 bulan setelah rehabili-
tasi
(27)
. Terapi fisik dapat berupa pemanasan atau pendinginan
Cermin Dunia Kedokteran No. 104, 1995
pada sendi yang sakit maupun latihan otot-otot sekitar sendi.
Pemanasan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
diaterini, ultrasound, sinar inframerah dan lain sebagainya. Pe-
manasan selama 1520 menit cukup efektif untuk mengurangi
nyeri dan kekakuan sendi
(26)
.
Latihan-latihan otot yang dapat dilakukan untuk penderita
osteoartrosis sendi hitut antara lain adalah quadriceps setting
exercise, straight leg raises, progressive resistive exercise
(PRE) dan hamstring exercise. Pada quadriceps setting
exercise, pen- derita dalam posisi berbaring di tempat tidur
dengan lutut lurus, kemudian penderita disuruh menekan
lututnya ke bawah. Per- tahankan selama 5 detik, kemudian
istirahat selama 5 detik dan diulangi sampai 1015 kali.
Latihan ini dilakukan sebanyak 3 kali perhari, kemudian dapat
ditingkatkan sampai 10 kali sehari. Pada straight leg raises,
penderita dalam posisi berbaring telen- tang. Bila tungkai
kanan yang akan dilatih, maka tungkai kiri dipertahankan lurus,
kemudian tungkai kanan diangkat lurus setinggi-tingginya,
kemudian turunkan perlahan-lahan sampai kira-kira 6 inchi dari
alas dan pertahankan selama 5 detik, lalu istirahat 5 detik.
Ulangi sampai 510 kali dan latihan dilakukan 23 kali sehari.
Pada progressive resistive exercise (PRE), pen- denta dalam
posisi duduk dengan lutut dalam keadaan fleksi dan tungkai
bawah diberi beban. Kemudian lutut diekstensikan per-lahan-
lahan sampai tercapai ekstensi maksimal dan pertahankan
selama 5 detik, kemudian istirahat. Latihan diulangi sampai 10
kali dan dilakukan 3 kali perhari. Pada hamstring exercise, pen-
derita dalam posisi berdini kemudian lutut difleksikan 20 kali
atau sampai penderita lelah
(17)
.
Obat-obatan untuk osteoartrosis, umumnya hanya bersifat
simtomatik untuk mengurangi nyeri. Pada tahap awal dapat di-
coba analgetik sederhana, seperti asetaminofen atau salisilat.
Bila tidak ada perbaikan, dapat diberikan obat anti inflamasi non
steroid Obat anti inflamasi non steroid bersifat menghambat
sintesis prostaglandin sehingga tidak boleh diberikan pada pende-
rita ulkus peptikum yang aktif atau dengan riwayat perdarahan.
Pemberian pada orang tuajuga hams hati-hati karena hambatan
terhadap sintesis prostaglandin akan menurunkan aliran darah
ke ginjal.
Pemberian steroid secara sistemik tidak dianjurkan karena
efek sampingnya jauh lebih besar daripada efek terapinya.
Pemberian injeksi steroid intra-artikuler dapat dipertimbangkan
pada keadaan nyeri hebat atau efusi cairan sendi berulang. Efek
penurunan nyeri setelah injeksi steroid akan menyebabkan pen-
derita merasa nyaman sehingga penderita tertentu akan tidak
memperhatikan pantangan dalam melakukan aktifitas sehari-
hari, sehingga osteoartrosis akan makin berat. Selain itu steroid
juga dapat menyebabkan kerusakan rawan sendi secara lang-
sung.
Pada keadaan lanjut dengan nyeri persisten,gangguan fungsi
yang berat dan deformitas sendi lutut,maka tindakan bedah dapat
dipertimbangkan. Pembedahan dapat hanya berupa osteotomi
atau sampai tindakan artroplasti maupun artrodesis
(13,17,26)
.
KESIMPULAN
1) Osteoartrosis merupakan kelainan yang bersifat progresif
lambat yang mengenai rawan sendi. Kelainan ini akan meng-
ganggu aktifitas sehari-hari penderitanya, terutama bila mengenai
sendi lutut.
2) Banyak faktor yang merupakan predisposisi osteoartrosis
sendi lutut, seperti umur, jenis kelamin, ras, obesitas, merokok
dan beberapa penyakit metabolik.
3) Untuk diagnosis osteoartrosis sendi lutut, dapat digunakan
kriteria Altman walaupun sebenarnya kriteria ini dikembangkan
untuk penelitian.
4) Pada penatalaksanaan osteoartrosis sendi lutut, penurunan
beban terhadap sendi lutut hams diperhatikan, baik dengan
mengatur aktifitas sehari-hari maupun dengan mengatur diet dan
latihan-latihan otot.
Obat umumnya hanya bersifat simtomatik. Pada keadaan
yang lanjut, tindakan bedah dapat dipertimbangkan.