OPTIMALISASI SISTEM USAHA PERTANIAN (SUP) INOVATIF...
Transcript of OPTIMALISASI SISTEM USAHA PERTANIAN (SUP) INOVATIF...
LAPORAN AKHIR KEGIATAN
OPTIMALISASI SISTEM USAHA PERTANIAN
(SUP) INOVATIF INTEGRASI SAPI, SAWIT,
JAGUNG DAN INDIGOFERA DI PROVINSI ACEH
YENNI YUSRIANI
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP) ACEH BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2018
i
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul RPTP/RDHP/RKTM : Optimalisasi Sistem Usaha Pertanian (SUP) Inovatif
Integrasi Sapi, Sawit, Jagung Dan Indigofera Di Provinsi
Aceh
2. Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh
3. Alamat Unit Kerja : Jl. Panglima Nyak Makam No. 27 Lampineung,
BandaAceh
4. Sumber Dana : DIPA TA. 2018 Satker BPTP Aceh
5. Status Penelitian (L/B) : Baru
6. Penanggung Jawab :
a. Nama : Dr. Yenni Yusriani, SPt, MP
b. Pangkat/Golongan : Pembina /IV a
c. Jabatan : Peneliti Madya
7. Lokasi : Kabupaten Aceh Tamiang
8. Agroekosistem : Lahan Perkebunan dan Lahan Kering
9. Tahun Mulai : 2018
10. Tahun Selesai : 2020
11. Output Tahunan : 1. Tersedianya pakan alternatif berbasis sawit- jagung- indigofera
2. Informasi hasil evaluasi secara in vivo pakan alternatif berbasis sawit-jagung-indigofera pada sapi
3. Tersediannya rekomendasi dari kajian berbasis sawit-jagung-indigofera - sapi
12. Output Akhir : Peningkatan Petani dan Peternak sebesar 60%.
13. Biaya : Rp. 200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah)
Koordinator Program, Penanggungjawab Kegiatan,
Dr. Rachman Jaya, S.Pi., M.Si Dr. Yenni Yusriani, S.Pt., M.P NIP. 19740503 200003 1 001 NIP. 19730716 199903 2 002 Mengetahui: Kepala BBP2TP
Menyetujui, Kepala BPTP
Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA NIP. 19680415 199203 1 001
Ir. M. Ferizal, M.Sc NIP. 19650219 199203 1 002
ii
KATA PENGANTAR
Usaha yang biasa dilakukan untuk menekan biaya pakan adalah dengan
melakukan integrasi dengan usaha pertanian atau perkebunan di mana kedua lokasi
tersebut merupakan sumber daya pakan yang berlimpah. Integrasi tersebut
diharapkan dapat mendekati kondisi zero cost terutama dari segi pakan. Program
integrasi sawit-sapi dapat mendukung program swasembada daging sapi secara
nasional yang telah dicanangkan pemerintah pusat beberapa waktu lalu. Dengan
demikian luasan lahan kebun kelapa sawit tersebut akan memberi keuntungan
ganda bila dikombinasikan dengan peternakan sapi. Berbagai penelitian juga
menunjukkan bahwa integrasi sawit-sapi mempunyai prospek yang menjanjikan
untuk mendukung pengembangan sapi potong di masa mendatang.
Laporan Akhir yang berjudul Optimalisasi Sistem Usaha Pertanian (SUP) Inovatif
Integrasi Sapi, Sawit, Jagung dan Indigofera Di Provinsi Aceh merupakan laporan
yang masih belum sempurna. Penulis juga berharap kritikan, masukan dan saran
untuk kesempurnaan tulisan ini dan ucapan terimakasih kepada kepada semua pihak
yang telah membantu penulisan dan koreksi sehingga tulisan ini dapat selesai.
Banda Aceh, Desember 2018
Penulis
iii
RINGKASAN
1. Judul RPTP : Optimalisasi Sistem Usaha Pertanian (Sup) Inovatif
Integrasi Sapi, Sawit, Jagung Dan Indigofera Di Provinsi
Aceh
2. Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh
3. Lokasi : Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh
4. Agroekosistem : Lahan Perkebunan dan Lahan Kering
5. Status : Baru
6. Tujuan : 1. Peningkatan optimalisasi sistem usaha pertanian inovatif berbasis integrasi
2. Menyusun rekomendasi dari kajian berbasis integrasi sapi-sawit-jagung – indigofera
7. Keluaran : 1. Tersedianya pakan alternatif berbasis sawit- jagung- indigofera 2. Informasi hasil evaluasi secara in vivo pakan alternatif
berbasis sawit-jagung-indigofera pada sapi 3. Tersediannya rekomendasi dari kajian berbasis sawit-
jagung-indigofera - sapi 8. Prakiraan Hasil : Paket teknologi mempersingkat calving interval ternak sapi
untuk meningkatkan produktifitas sapi dengan pakan yang
berasal sawit, jagung dan tanaman indigofera serta
teknologi pengolahan limbah kotoran ternak menjadi pupuk
organik yang dapat meningkatkan produktifitas tanaman
sawit dan jagung di Aceh Tamiang mendukung usaha
pertanian yang berkelanjutan.
9. Prakiraan Manfaat : Sebagai bahan masukan bagi stakeholder lingkup pertanian
dalam penentuan kebijakan tentang sistem usaha pertanian
yang berbasis integrasi tanaman perkebunan, pertanian dan
ternak di Kabupaten Aceh Tamiang.
10. Prakiraan
Dampak
: Meningkatnya penghasilan petani ternak sebesar 60%
dengan mewujudkan sistem usaha pertanian yang
berkelanjutan, biaya produksi rendah dan ramah lingkungan
dengan pola integrasi sapi, sawit jagung dan indigofera di
Kabupaten Aceh Tamiang,
11. Metodologi : Penelitian dilaksanakan di kabupaten Aceh Tamiang pada bulan Januari-Desember 2018. Ternak sapi yang digunakan adalah sapi betina Brahman Cross sebanyak 12 ekor. Pemeliharaan ternak dilakukan di kandang kelompok, ternak sapi diberikan pakan berupa pelepah sawit, silase jagung dan indigofera. Pemberian pakan dilakukan secara bertahap: tahap pertama pemberian pelepah sawit yang sudah dicacah, tahap selanjutnya pemberian silase jagung. Pemberian indigofera dilakukan secara bersamaan dengan jagung. Penanaman tanaman jagung ditanam dengan jarak tanam 70 x 20 cm. Pupuk yang digunakan adalah pupuk organik padat
iv
(2 kg/ha), urea (350 kg/ha) dan NPK (200 kg/ha). Penanaman tanaman jagung dilakukan dengan sistem tanpa olah tanam (TOT). Penanaman indigofera ditanam sebagai tanaman pagar dengan jarak tanam 3 x 3 cm. Sebelum penanaman tanaman indigofera disemai terlebih dahulu di dalam polybag. Pupuk yang digunakan adalah NPK (200 kg/ha). Pemanfaatan limbah tersebut digunakan sebagai pupuk pada tanaman kelapa sawit, jagung dan indigofera. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Jumlah pakan yang diberikan adalah 10% dari bobot badan.
12. Jangka Waktu : 3 Tahun
13. Biaya : Rp. 200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah)
v
SUMMARY 1. RPTP title
: Optimization of Agricultural Business Systems (SUP)
Innovative Integration of Cows, Palm, Corn and Indigofera in Aceh Province
2. Unit : Aceh Institute for Agricultural Technology Assessment
3. Location : Aceh Tamiang District, Aceh Province
4. Agroecosystem : Plantation land and dry land
5. Status : New
6. Aim
: 1. Improving the optimization of innovative agricultural-based integration systems
2. Compile recommendations from studies based on integration of cattle-palm-maize-indigofera
7. Output
: 1. Availability of alternative palm-based feed indigofera corn 2. Availability of recommendations from the study of palm-
corn-indigofera-based cattle 8. Outcome
: The technology package shortens the calving interval of
cattle to increase the productivity of cattle with feed derived from palm, corn and indigofera plants as well as technology for processing livestock manure into organic fertilizer that can increase the productivity of oil palm and maize crops in Aceh Tamiang to support sustainable agriculture.
9. Benefit
: As input for stakeholders in the agricultural sector in determining policies on agricultural business systems based on the integration of plantation crops, agriculture and livestock in Aceh Tamiang District.
10. Impact
: Increased income of livestock farmers by 60% by realizing a sustainable agricultural business system, low production costs and environmentally friendly with a pattern of integration of cattle, oil maize and indigofera in Aceh Tamiang District
11. Methodology
: The study was carried out in Aceh Tamiang district in January-December 2018. The cattle used were Brahman Cross female cows as many as 12 individuals. Animal husbandry is carried out in the group cage, cattle are fed in the form of palm fronds, corn and indigofera. Feeding is carried out in stages: the first stage is giving the palm fronds that have been chopped, the next stage is the provision of silase corn. The administration of indigofera is carried out simultaneously with planting corn plants is planted with a spacing of 70 x 20 cm. Fertilizers used are solid organic fertilizers (2 kg / ha), urea (350 kg / ha) and NPK (200 kg / ha). maize plants are carried out with a system without planting (TOT). Indigofera planting is planted as a hedgerow with a spacing of 3 x 3 cm. Before planting Indigofera plants are sown first in a polybag. The fertilizer used is NPK (200 kg / ha). The use of waste is used as fertilizer for oil palm, maize and indigofera plants. Feeding is carried out 2 times a day, namely in the morning
vi
and evening. The amount of feed given is 10% of body weight.
12. Time period : 3 years
13. Budget : IDR 200 (Two Hundred Million)
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ……………………….. i
KATA PENGANTAR ……………………….. ii
RINGKASAN ……………………….. iii
SUMMARY ……………………….. v
DAFTAR ISI ……………………….. vi
1. PENDAHULUAN ……………………….. 1
1.1 Latar Belakang ……………………….. 1
1.2 Dasar Pertimbangan ……………………….. 3
1.3 Tujuan ……………………….. 3
1.4 Keluaran ……………………….. 4
1.5 Manfaat ……………………….. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………….. 6
III METODELOGI ……………………….. 12
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………….. 14
V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………….. 34
DAFTAR PUSTAKA ……………………….. 35
Lampiran 1. Tenaga dan Organisasi Pelaksana ……………………….. 37
Lampiran 2. Anggaran ……………………….. 38
Lampiran 3. Foto Kegiatan ……………………….. 39
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sistem integrasi tanaman ternak khususnya tanaman perkebunan dan pertanian
dengan ternak merupakan salah satu alternatif upaya mendukung agribisnis
peternakan. Dari aspek teknis cukup aplikatif, dari aspek ekonomi dinilai
menguntungkan dan dari aspek sosial cukup dapat diterima (Subagyono 2004).
Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2016) perluasan areal perkebunan kelapa
sawit di Indonesia selama lima tahun terakhir tumbuh pesat berkisar 420.000
ha/tahun, hingga tahun 2016 mencapai 11.672.861 ha.
Usaha yang biasa dilakukan untuk menekan biaya pakan adalah dengan
melakukan integrasi dengan usaha pertanian atau perkebunan di mana kedua lokasi
tersebut merupakan sumber daya pakan yang berlimpah. Integrasi tersebut
diharapkan dapat mendekati kondisi zero cost terutama dari segi pakan. Intensifikasi
dan optimalisasi pemanfaatan limbah perkebunan serta limbah pertanian merupakan
kemungkinan yang potensial untuk mengatasi krisis pakan khususnya ternak
ruminansia di masa depan.
Menurut Nurhayati et al. (2014) salah satu peluang yang dapat dilaksanakan
untuk mengatasi masalah tersebut adalah integrasi ternak sapi dengan kelapa sawit
khususnya dengan cara digembala. Potensi lahan perkebunan sawit yang sangat
besar di Indonesia dapat menjadi sumber pakan bagi usaha ternak sapi. Program
integrasi sawit-sapi dapat mendukung program swasembada daging sapi secara
nasional yang telah dicanangkan pemerintah pusat beberapa waktu lalu. Hasil
pengkajian menunjukkan bahwa per hektar kebun sawit dapat digunakan untuk
memelihara sapi sebanyak 1-3 ekor (Diwyanto et al. 2003), dengan peningkatan
pendapatan dari pemeliharaan sapi dewasa per ekor adalah Rp. 2.500.000 per tahun
(Gunawan et al. 2004). Dengan demikian luasan lahan kebun kelapa sawit tersebut
akan memberi keuntungan ganda bila dikombinasikan dengan peternakan
sapi. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa integrasi sawit-sapi mempunyai
prospek yang menjanjikan untuk mendukung pengembangan sapi potong di masa
mendatang (Diwyanto et al. 2004; Manti et al. 2004; Bangun 2010).
2
Kabupaten Aceh Tamiang salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang
berbatasan dengan provinsi Sumatera Utara yang merupakan pintu gerbang dan
berpotensi untuk sistem usaha pertanian integrasi sapi, kelapa sawit, jagung dan
indigofera. Luas lahan sawit sekitar 17.780 ha (BPS, 2014). Pada tahun 2015
Kementerian Pertanian memberikan bantuan 500 ekor sapi indukan Brahman Cross
(Bx) pada 20 kelompok yang tersebar di Kabupaten Aceh Tamiang. Tahun 2017
direncanakan akan di datangkan sapi brahman cross sebanyak 3500 ekor ke
kabupaten Aceh Tamiang untuk mendukung program Halal Food.
Meningkatnya populasi ini memberikan dampak terhadap penyediaan lahan bagi
sapi yang berperan sebagai sumber hijauan pakan. Hingga saat ini belum ada
alokasi lahan yang diperuntukkan khusus sebagai kawasan peternakan. Wawasan
pembangunan peternakan saat ini telah melakukan pendekatan keberlanjutan
dengan memanfaatkan peluang serta memberdayakan sumber daya perkebunan
tanpa merusak kelestarian sumberdaya sehingga integrasi dengan subsektor
perkebunan merupakan pilihan untuk memenuhi kebutuhan pakannya (Rusnan et al.
2015). Tegalan kelapa sawit bisa dimanfaatkan untuk penanaman tanaman jagung
dan indigofera sebagai sumber pakan yang berkualitas tinggi. Pemanfaatan lahan di
areal perkebunan kelapa sawit akan memberikan keuntungan seperti pengurangan
biaya (cost) untuk pemupukan dan penyiangan, tersedianya rumput sebagai sumber
pakan, meningkatnya produksi kelapa sawit dengan tersedianya kotoran ternak
sebagai kompos (organik) yang murah, dapat mengurangi kerusakan tanah,
pencemaran air dan udara dari akibat penggunaan pupuk kimia, herbisida dan
insektisida (Prayudi et al. 2005). Kearifan lokal ini perlu terus dikembangkan dan
dibina dengan baik sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani. Konsep
integrasi sapi-sawit-jagung dan indogofera mampu menjadi program unggulan
dalam pola tanaman sapi-sawit sebagai komponen utama, sementara jagung –
indogofera sebagai komponen pelengkap.
Kajian bertujuan untuk optimalisasi sistem usaha pertanian dengan integrasi
sapi dan pemanfaatan sawit-jagung dan indogofera sebagai pakan ternak di
Kabupaten Aceh Tamiang.
3
1.2. Dasar Pertimbangan
Untuk menghasilkan pakan ternak sapi yang bermutu maka ketersediaan
bahan baku harus tetap terjaga secara kualitas maupun kuantitas. Di samping itu,
bahan baku tersebut harus mudah diperoleh, tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia, ekonomis dan tersedia sepanjang waktu. Pemanfaatan tanaman sawit-
jagung dan indigofera sebagai pakan sapi. Tingginya kandungan serat, lignin dan tanin
menurunkan daya cerna sawit rendah. Oleh karena itu penggunaan sawit ditambah
dengan penambahan jagung dan indigofera sebagai pakan ternak sapi.
Pemanfaatan hasil samping perkebunan dan pertanian sebagai pakan ternak
baru mencapai 30-40% dari potensi yang tersedia saat ini. Permasalahan yang
dihadapi dalam menggunakan pakan hasil samping perkebunan dan pertanian terdiri
dari faktor pengetahuan peternak, kualitas pakan hasil samping dan faktor
lingkungan (cemaran). Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan dukungan
teknologi dan sosialisasi tentang pemanfaatan hasil samping sebagai pakan ternak
secara berkesinambungan, Didalam tulisan ini akan diinformasikan beberapa
permasalahan yang dihadapi oleh peternak terutama tentang tata laksana pakan
disertai dengan upaya pemecahan masalahnya melalui teknologi yang aplikatip
dengan harapan akan dapat meningkatkan produktivitas ternak sapi.
1.3 TUJUAN
TAHUNAN
1. Peningkatan optimalisasi sistem usaha pertanian inovatif berbasis integrasi
2. Memperoleh informasi pakan alternatif berbasis sapi-sawit-jagung-indigofera hasil
uji secara in vivo
3. Menyusun rekomendasi dari kajian berbasis integrasi sapi-sawit-jagung -
indigofera
JANGKA PANJANG
1. Memanfaatkan sumber pakan lokal berbasis produk samping sawit-jagung-
indigofera yang ramah lingkungan untuk ternak sapi.
2. Penyedia bank pakan berbasis produk samping sawit-jagung- indigofera untuk
ternak sapi.
3. Peningkatan populasi ternak sapi.
4. Peningkatan pendapatan petani – peternak dengan sistem integrasi
4
1.4 KELUARAN YANG DIHARAPKAN
TAHUNAN
1. Tersedianya pakan alternatif berbasis sawit-jagung- indigofera
2. Informasi hasil evaluasi secara in vivo pakan alternatif berbasis sawit-jagung-indi
gofera pada sapi
3. Tersediannya rekomendasi dari kajian berbasis sawit-jagung-indigofera - sapi
4. Draft Publikasi dalam bentuk KTI.
JANGKA PANJANG
1. Pemanfaatan sumber pakan lokal berbasis produk samping sawit-jagung-
indigofera yang ramah lingkungan untuk ternak sapi.
2. Lumbung pakan berbasis produk samping sawit-jagung-indigofera untuk ternak
sapi.
3. Populasi ternak sapi meningkat.
4. Peningkatan pendapatan petani peternak
1.5 PERKIRAAN MANFAAT DAN DAMPAK
1. Meningkatkan pengetahuan budidaya peternak dalam pemanfaatan sawit-jagung-
indigofera- sapi
2. Meningkatkan skala usaha beternak sapi dan pada akhirnya meningkatkan popula
si ternak sapi di Kabupaten Aceh Tamiang.
3. Meningkatkan kebersihan lahan dan kesehatan perkebunan sawit yang pada
akhirnya meningkatkan produksi sawit.
4. Dapat membantu upaya penyediaan daging untuk memenuhi kebutuhan protein
hewani nasional.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis
Sapi Brahman Cross (BX) merupakan sapi potong dengan darah Brahman
dominan. Sapi ini merupakan tipe sapi potong yang tahan panas, tahan caplak,
tahan kutu dan tahan kekeringan. Sifat sapi Brahman Cross sebagai hewan dengan
reproduksi lambat (slow breeder), sulit dideteksi birahinya membuat pelaksanaan IB
pada sapi banyak menjumpai kegagalan. Budidaya sapi ini dengan sistem
peternakan intensif tradisional akan menimbulkan fenomena reproduksi, terutama
berupa infertilitas nutrisi yang dimanifestasikan dengan birahi tenang, anestrus dan
kawin berulang. Fenomena reproduksi pada sapi Brahman-Cross tersebut dapat
dieliminasi dengan perbaikan manajemen peternakan, peningkatan pakan serta
manajemen reproduksinya.
Pengamatan sapi Brahman Cross di Australia menunjukkan angka kelahiran
81,2%, rata-rata berat lahir 28,4 kg, rata-rata berat sapih 193 kg, kematian sebelum
sapih 5,2%, kematian umur 15 bulan 1,2% dan kematian dewasa 0,6%. Tujuan
utama dari persilangan ini utamanya adalah menciptakan bangsa sapi potong
tropis/subtropis yang mempunyai produktivitas tinggi, namun mempunyai daya
tahan terhadap suhu tinggi, caplak, kutu, serta adaptif terhadap lingkungan tropis
yang relatif kering. Di negeri asalnya, Australia, sapi ini umumnya dilepas di
padangan dan digunakan kawin alami dengan pejantan sebagai program
pengawinannya. Dengan manajemen peternakan lepas (grazing) pada padang
penggembalaan yang sangat luas, mempunyai kesempatan exercise yang tanpa
batas, tanpa tali hidung, dalam kumpulan, dengan pengawinan alami menggunakan
pejantan, serta dengan ketersediaan pakan hijauan maupun pakan penguat secara
kuantitatif maupun kualitatif mencukupi.
Asupan nutrisi sangat berpengaruh terhadap umur pubertas sapi Brahman
Cross, sapi-sapi dengan nutrisi rendah umur pubertas adalah 704,2 hari, dengan
nutrisi sedang umur pubertas 690,8 hari dan dengan nutrisi bagus umur pubertas
adalah 570,4 hari. Umur pubertas dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Pada industri perbibitan sapi Brahman Cross, umur beranak pertama
pada umur 3 tahun menjadi pertimbangan penting. Sapi Brahman Cross muda
6
mencapai pubertas pada umur yang lebih tua daripada sapi Eropa. Semua bangsa
sapi Bos indicus dilaporkan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan
dengan sapi Eropa (Bos taurus). Agar perkawinan sapi Brahman Cross berhasil,
sangat penting memperhatikan mereka pada saat standing heat (puncak birahi,
tandanya tetap diam bilamana dinaiki sapi lain). Ada waktu-waktu tertentu dimana
pengamatan tanda-tanda birahi akan lebih berhasil. Secara alamiah sapi induk dan
dara Brahman Cross lebih banyak menunjukkan aktivitas seksual di malam dan pagi
hari daripada waktu siang hari. Amati tanda-tanda birahi berdasarkan suatu jadwal
tertentu. Melakukan pengamatan birahi selama 25 menit, 4 kali sehari, hendaknya
menjadi bagian pada saat mereka tidak terganggu oleh aktivitas-aktivitas lain seperti
pemberian pakan, atau pembuangan kotoran kandang. Mayoritas birahi (standing
heat) terjadi antara jam 4.00-6.00 sore dan 5.00-7.00 pagi. Pengamatan visualisasi
pada malam hari (night watch) sangat dianjurkan untuk deteksi pada sapi Brahman
Cross. Sapi betina yang terikat dalam kandang harus diberi latihan (exercise) secara
teratur dengan kondisi kaki yang baik agar dapat menunjukkan aktivitas menaiki dan
dinaiki temannya, serta ekspresi birahi akan lebih kelihatan.
Kualitas dan kuantitas pakan yang kurang optimum menyebabkan SKT
rendah saat bunting tua, berakibat gangguan pada waktu beranak seperti prolapsus
uteri, retensi plasenta, distokia, produksi susu induk sedikit dan berat lahir pedet
rendah. Gangguan pada waktu beranak berakibat pada waktu estrus postpartum
lebih lama muncul bahkan bisa menyebabkan anestrus yang panjang sehingga
setelah beranak tidak dapat birahi atau bunting lagi. Untuk mengatasi hal tersebut
diatas maka perlu diperhatikan kualitas pakan yang diberikan pada saat bunting
sampai menyusui.
Secara normal ± 42 hari setelah beranak mulai timbul gejala birahi pertama,
tetapi sapi tidak perlu di IB karena biasanya hasil angka konsepsinya masih rendah.
Pada periode birahi berikutnya (± 63 hari setelah melahirkan) sapi dapat mulai
dikawinkan kembali. Birahi pada periode berikutnya tetap terus diamati untuk
menentukan tindakan yang akan dilakukan. Setelah 21 hari, sapi yang diinseminasi
kemudian tidak minta kawin lagi ada kemungkinan telah terjadi kebuntingan. Untuk
memastikan bunting atau tidak, maka perlu dilakukan pemeriksaan kebuntingan
7
(sebaiknya pada umur kebuntingan 3 bulan) oleh petugas yang sudah dilatih
pemeriksaan kebuntingan.
Skor kondisi tubuh (SKT) sapi Brahman Cross berhubungan dengan
performan reproduksi dan dapat dipergunakan untuk membuat suatu keputusan
manajemen pemeliharaan. Kondisi status nutrisi dan endoparasit (terutama cacing)
merupakan pengaruh terbesar dalam penampilan skor kondisi tubuh sapi. Angka
SKT dimulai dari angka 1 (sangat kurus), 2 (kurus), 3 (optimum), 4 (gemuk) dan 5
(sangat gemuk). Angka SKT dengan nilai 3 adalah rata-rata, sedang atau optimum
(diantara sangat kurus dan sangat gemuk). Nilai SKT optimum untuk keperluan
reproduksi sapi Brahman Cross adalah 3,0 – 3,5. Hubungan SKT dengan reproduksi
sapi Brahman Cross adalah pada calving interval (jarak beranak). Penilaian harus
dilakukan 80 hari sesudah melahirkan untuk menentukan program pemeliharaan,
agar tercapai calving interval 365 hari. Status SKT optimum 3 – 3,5 pada sapi
bunting tua sangat diperlukan bagi persiapan kelahiran (partus) dan periode
menyusui pedet. Sapi Brahman Cross bunting tua dengan SKT kurang dari 2 (kurus)
akan berresiko terjadinya pengeluaran vagina dan servik saat bunting (broyongen,
prolapsus vagina et cervix) serta prolapsus uteri pasca beranak.
Sapi Brahman-Cross yang mengalami anestrus 80% disebabkan oleh hipofungsi
ovaria ini, termasuk juga atrofi ovaria. Penyebab utama dari hipofungsi ovaria
karena adanya defisiensi hormon gonadotrofin, akibat dari berbagai faktor antara
lain :
• Defisiensi nutrisi, pakan yang tidak memadai, termasuk enerji, protein,
vitamin dan mineral,
• Menyusui pedet,
• Penyakit-penyakit yang menyebabkan kekurusan,
• Parasit cacing, terutama sapi Brahman Cross lebih peka terhadap cacing hati
(Fasciolasis) dan cacing porang (Paramphistomiasis) dibanding sapi lokal lain,
seperti sapi PO dan Bali.
Penanganan Perbaikan Reproduks Sapi Brahman Cross
Cara agar terjadi perbaikan efisiensi reproduksi pada sapi Brahman Cross sebagai
berikut:
8
• Mitos bahwa sapi Brahman Cross akan sulit bunting kembali setelah beranak
adalah tidak benar. Artinya bahwa manajemen yang salah merupakan
penyebab kegagalan kebuntingan pada sapi Brahman Cross, utamanya adalah
pakan, sitem perkandangan dan pengamatan birahi.
• Kandang lepas, tanpa ditambat, atau adanya tempat umbaran untuk
exercise merupakan keharusan bagi sapi Brahman Cross.
• Pakan yang mencukupi kualitas dan kuantitasnya, untuk mempertahankan
SKT optimum untuk reproduksi (3,0-3,5), di samping pemberian obat cacing
berspektrum luas untuk mengatasi cacing hati (Fasciolasis) dan cacing porang
(Paramphistomiasis), paling tidak 2 kali setahun.
• Pemeriksaan khusus infertilitas untuk identifikasi permasalahan individual sapi
Brahman-Cross yang bermasalah. Perlu ditentukan apakah sapi hanya
mengalami birahi tenang, anestrus atau infertilitas bentuk lain.
• Kasus prolapsus vagina dan serviks maupun prolapsus uteri dan kasus
distokia pada sapi Brahman Cross dapat dihindari dengan mempertahankan
SKT antara 3,0-3,5 pada saat bunting, serta diberi cukup banyak exercise
pada tempat umbaran. Penambahan mineral, termasuk mikromineral, penting
diberikan harian untuk mencegah terjadinya abnormalitas reproduksi lebih
jauh.
Potensi hasil samping kelapa sawit, jagung dan indigofera
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS 2016), luas areal perkebunan
kelapa sawit di Indonesia mencapai 11.672.861 ha. Potensi kelapa sawit dan hasil
sampingannya sebagai pakan ternak (daun dan pelepah, serta lumpur/solid dan
bungkil inti sawit) merupakan sumber baku pakan yang cukup banyak tersedia di
Indonesia berpotensi sebagai pakan ternak, sampai saat ini belum banyak yang
memanfaatkannya.
Pelepah sawit meskipun kandungan protein kasar (PK) sangat rendah (2-4%)
namun seratnya cukup tinggi, mencapai 33 % sehingga sangat potensial digunakan
sebagai sumber serat untuk ruminansia. Solid limbah industri kelapa sawit yang
dibuang dan tidak berharga, namun sangat disukai oleh ternak, kandungan PK
9
mencapai 11% dapat diberikan 10% dalam ransum ternak kambing, sedangkang
bungkil inti sawit memiliki PK 15% dengan harga yang sangat murah (Rp 900/kg)
dapat menggantikan posisi dedak (katul) yang cukup mahal (Rp 3000/kg). Semua
bahan-bahan tersebut dapat dengan mudah diperoleh langsung dari perkebunan
dan pabrik kelapa sawit.
Tanaman jagung termasuk tanaman monokotil dari genus Zea yang tumbuh
dengan baik pada tanah-tanah yang bertekstur latosal dengan tingkat kemiringan 5
– 8%, keasaman 5,6 – 7,5 serta suhu antara 27 – 32ºC (Azrai et al., 2007). Selain
buah atau bijinya, tanaman jagung menghasilkan limbah dengan proporsi yang
bervariasi dengan proporsi terbesar adalah batang jagung (stover) diikuti dengan
daun, tongkol dan kulit buah jagung. Nilai palatabilitas yang diukur secara kualitatif
menunjukkan bahwa daun dan kulit jagung lebih disukai oleh ternak dibandingkan
dengan batang ataupun tongkol (Wilson et al., 2004).
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam pemberian limbah tanaman
jagung termasuk tongkol untuk ternak adalah kontaminasi jamur. Jamur akan cepat
tumbuh pada suasana lembab dan panas seperti kondisi di Indonesia terlebih bila
proses pengeringan jerami/tongkol jagung tidak berjalan dengan baik. Nilai nutrisi
dari limbah tanaman dan hasil samping industri jagung sangat bervariasi. Kulit
jagung mempunyai nilai kecernaan bahan kering in vitro yang tertinggi (68%)
sedangkan batang jagung merupakan bahan yang paling sukar dicerna di dalam
rumen (51%) . Nilai kecernaan kulit jagung dan tongkol (60%) ini hampir sama
dengan nilai kecernaan rumput Gajah sehingga kedua bahan ini dapat menggantikan
rumput gajah sebagai sumber hijauan. Total nutrient tercerna (TDN) yang tertinggi
terkandung pada silase tanaman jagung termasuk buah yang matang sedangkan
yang terendah dijumpai pada tongkol. Faktor yang penting dalam menyusun ransum
komplit adalah nilai TDN. Kebutuhan TDN untuk penggemukan sapi potong maupun
sapi perah cukup tinggi dan syarat minimum TDN dapat dilihat dalam NRC (2001).
Selain nilai TDN yang rendah, tongkol jagung juga mempunyai kadar protein
terendah dibandingkan dengan bahan lainnya sedangkan silase tanaman jagung
manis mempunyai kandungan protein yang tertinggi. Tongkol jagung mempunyai
kadar protein yang paling rendah yaitu 3% tetapi 70% dari nilai tersebut merupakan
protein tidak tercerna di dalam rumen (UIP). Sebaliknya, tongkol dan batang jagung
10
mempunyai kandungan serat NDF yang paling tinggi dibandingkan dengan limbah
lainnya. Bila buah jagung yang masih muda dipanen (jagung semi), jerami jagung
yang tersisa akan mempunyai kadar protein yang sedikit lebih tinggi, kadar serat
(NDF dan ADF) yang lebih kecil dari pada jerami jagung yang berumur 100 hari. Jadi
tongkol maupun batang jagung
merupakan sumber serat yang baik tetapi pemakaiannya sangat terbatas karena
nilai TDN cukup rendah dibandingkan dengan bagian lainnya.
Indigofera adalah tanaman jenis leguminosa memiliki potensi sebagai sumber
pakan berkualitas tinggi dengan adaptasi yang baik terhadap kekeringan, toleran
terhadap seluruh jenis tanah, genangan air, dan tahan terhadap salinitas. Dapat
diberikan sampai 40% dalam ransum. Oleh karena itu, tumbuhan ini merupakan
alternatif sumber pakan yang menjanjikan untuk mendukung pengembangan ternak
ruminansia di berbagai agroekosistem. Indigofera Merupakan tanaman legum
dengan kandungan nutrisi yang cukup tinggi, memiliki protein kasar 26%, serat
kasar 15%, energi 4.038 Kkal/kg, kecernaan 60%.
Tanaman Legum merupakan hijauan pakan ternak yang sangat dibutuhkan
sebagai sumber protein nabati, salah satunya adalah Indigofera zollingeriana
(Indigofera). Tanaman legum ini memiliki potensi sebagai hijauan pakan sumber
protein dan mineral yang tinggi, struktur serat yang baik dan nilai kecernaan yang
tinggi dapat meningkatkan produktivitas ternak ruminansia. Tanaman ini juga
toleran terhadap musim kering, genangan air dan tahan terhadap salinitas (Hassen
et al. 2008; Smykal et al. 2014; Suharlina et al. 2016).
Keberadaan Indigofera di Indonesia sudah cukup berkembang dan banyak
dimanfaatkan khususnya pada ternak ruminansia, baik secara langsung diberikan
dalam bentuk segar maupun diolah menjadi tepung sebagai bahan pakan atau
pakan komplit. Loka Penelitian Kambing Potong adalah salah satu yang sudah
banyak mengembangkan dan memanfaatkan Indigofera sebagai pakan ternak
kambing, secara agronomis tanaman Indigofera dikembangkan melalui benih,
disamping sebagai pakan ternak, tanaman juga telah dijadikan pohon indukan
sebagai sumber benih. Ketersediaan benih merupakan salah satu hal yang sangat
penting dalam memenuhi ketersediaan Indigofera. Permintaan benih Indigofera
setiap tahunnya selalu meningkat dari berbagai daerah di Indonesia, namun
11
demikian untuk mengecambahkan benih Indigofera masih mengalami kendala,
karena benih Indigofera memiliki masa dormansi. Beberapa stakeholder melaporkan
bahwa tingkat pertumbuhan kecambah benih Indigofera yang dihasilkan terlalu
rendah, sehingga mengakibatkan perkembangan tanaman terhambat. Diduga
dormansi pada benih Indigofera merupakan dormansi fisik. Menurut Schmidt (2002),
dormansi fisik disebabkan oleh kulit buah yang keras dan impermeable atau penutup
buah yang menghalangi air yang masuk kedalam benih (imbibisi) dan pertukaran
gas. Oleh karena itu, diperlukan skarifikasi yang tepat terhadap benih untuk
mematahkan dormansinya dan salah satu teknik yang paling mudah adalah dengan
cara perendaman, perendaman dengan suhu yang berbeda-beda diharapkan akan
dapat meningkatkan daya kecambah dan persentase perkecambahan biji Indigofera.
Semakin tinggi suhu perendaman yang digunakan sampai batas tertentu akan
semakin meningkatkan viabilitas benih (Lubis et al. 2014). Perlakuan melunakkan
kulit benih melalui perendaman dapat mempermudah masuknya air kedalam benih
sehingga embrio dapat segera tumbuh tanpa hambatan (Hardianti et al. 2014).
12
III. METODOLOGI
3.1. Pendekatan
Pengkajian tentang Optimalisasi SUP Inovatif Berbasis Intergrasi Sapi-sawit-
jagung dan Tanaman Indigofera dilaksanakan secara partisipatif dan terintegrasi,
melibatkan stakeholders dan peran aktif kelompok tani. Untuk memudahkan dalam
tindak operasional pengkajian, maka data awal tingkat kesuburan lahan (biofisik
lahan) serta residu dilakukan melalui mengambilan sampel tanah secara komposit.
Penetapan jenis komoditas tanam dilakukan secara partisipatif, memiliki nilai
ekonomis.
3.2. Ruang lingkup kegiatan
Kegiatan ini dilaksanakan di kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh mulai
bulan Januari - Desember 2018. Ruang lingkup kegiatan meliputi kajian pola
beternak sapi Brahman cross, pemanfaatan pelepah tanaman sawit, penanaman
jagung dan indigofera sebagai pakan ternak sapi. Cakupan kegiatan ini meliputi:
3.2.1. Persiapan
a. Konsultasi dan koordinasi dengan dan dinas instansi terkait di Kabupaten Aceh
Tamiang.
b. Sosialisasi rencana kegiatan ke lokasi pengkajian sesuai dengan rencana atau
tahapan kegiatan yang telah disusun dan dikoordinasikan.
3.2.2. Pelaksanaan Kegiatan
Ternak sapi yang digunakan adalah sapi betina Brahman Cross sebanyak 12
ekor. Pemeliharaan ternak dilakukan di kandang kelompok, ternak sapi diberikan
pakan berupa pelepah sawit, jagung dan indigofera. Pemberian pakan dilakukan
secara bertahap: tahap pertama pemberian pelepah sawit yang sudah dicacah,
tahap selanjutnya pemberian silase jagung. Pemberian indigofera dilakukan secara
bersamaan dengan jagung.
Penanaman tanaman jagung ditanam dengan jarak tanam 70 x 20 cm. Pupuk
yang digunakan adalah pupuk organik padat (2 kg/ha), urea (350 kg/ha) dan NPK
(200 kg/ha). Penanaman tanaman jagung dilakukan dengan sistem tanpa olah
tanam (TOT). Penanaman indigofera ditanam sebagai tanaman pagar dengan jarak
13
tanam 1 x 1 m. Sebelum penanaman tanaman indigofera disemai terlebih dahulu di
dalam polybag. Pupuk yang digunakan adalah NPK (200 kg/ha). Pemberian pakan
dilakukan sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Jumlah pakan yang
diberikan adalah 10% dari bobot badan.
3.2.3. Pelatihan dan Temu Lapang
Kegiatan ini dilaksanakan guna mendiseminasikan hasil pelaksanaan kegiatan
kepada pengguna (stakeholders) sekaligus untuk memperoleh umpan balik dalam
kerangka bahan evaluasi selanjutnya. Kegiatan ini akan dilakukan 2 kali yaitu 1)
Pelatihan dilakukan sebelum kegiatan dimulai dan 2) Temu lapang dilakukan pada
pelaksanaan panen.
14
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Koordinasi dan Peninjauan Calon Petani dan Calon Lokasi (CPCL) Kegiatan koordinasi dan peninjauan Calon Petani dan Calon Lokasi (CPCL)
kegiatan Optimalisasi SUP Inovatif Integrasi Sapi, Kelapa Sawit, Jagung dan
Indigofera di kabupaten Aceh Tamiang dihadiri oleh Kabid drh. Muhammad Nasir,
Kasie Pengembangan dan Penyebaran Pakan Ternak dan staf bagian tersebut di
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Aceh Tamiang. Sebelum meninjau CPCL,
penanggung jawab kegiatan dan anggota tim menyampaikan tentang latar belakang
dan tujuan dari kegiatan ini.
Pada akhir kegiatan koordinasi, penanggung jawab kegiatan meminta kepada
kabid untuk mencalonkan salah satu kelompok tani yang nantinya akan dipilih
sebagai kelompok petani kooperator. Kriteria kelompok tani ataupun peternak sapi
yang dipilih sebagai kelompok peternak sapi untuk kegiatan ini adalah kelompok
peternak sapi yang sudah aktif secara keanggotaan dan mempunyai ternak sapi dan
lahan kelapa sawit.
Sebelum meninjau lokasi kegiatan, tim BPTP bersama tim dari di Dinas
Pertanian dan Peternakan Kabupaten Aceh Tamiang melakukan pertemuan dengan
kelompok “Maju Bersama” di Meunasah Gampong Air Tenang yang dihadiri oleh
Kepala Gampong/Datok (Muttaqin), Ketua kelompok (Hasanuddin), Penyuluh
kecamatan (Jamaluddin) dan beberapa anggota kelompok. Beberapa informasi awal
yang dapat dihimpun dari pertemuan dengan kelompok tani “Maju Bersama” adalah:
- Jumlah sapi dalam kelompok sebanyak 56 ekor (jantan dan betina)
- Jenis sapi: Brahman Cros, Lemosin, Simental dan Lokal
- Selain sapi yang tujuannya penggemukan, sapi tidak dikandangkan melainkan
tersebar di lahan kelapa sawit
- Kelompok tani sudah menyiapkan lahan untuk penanaman rumput gajah
- Program penanaman rumput gajah sudah dimulai sejak 4 tahun yang lalu,
karena kurangnya perawatan luasan penanaman rumput gajah sekarang
semakin berkurang
15
- Varietas jagung yang sudah pernah ditanam adalah Pioneer, Bisi-16, Bisi-18
dan Bisi-22 Untuk varietas Bisi-16 sudah pernah mendapat juara II di tingkat
provinsi.
- Untuk pupuk kandang (kotoran sapi) sangat mencukupi
- Untuk pakan, khususnya untuk sapi yang tujuannya penggemukan selain
diberikan rumput juga ditambah dengan pakan konsentrat, namun hanya
sebagai tambahan/perangsang. Dosis pemberian: 1 kg konsentrat + 2 kg
dedak atau 1 % dari berat badan sapi
- Obat yang sudah pernah diberikan untuk sapi: Vitamin, obat cacing dan
antibiotik
- Selama ini pakan dari kelapa sawit diberikan secara manual
Selanjutnya tim BPTP Aceh meninjau lokasi pengkajian yang berada di
Gampong Air Tenang, umumnya kandang sapi letaknya dibelakang/disamping rumah
peternak. Sementara untuk lahan penanaman jagung dan indigofera berada tidak
jauh dari rumah peternak/kandang sapi. Berdasarkan hasil peninjauan, jumlah dan
jenis sapi yang digunakan dalam pengkajian adalah sapi brahman (6 ekor) dan lokal
(6 ekor). Varietas jagung yang akan ditanam adalah Bisi-16. Untuk penanaman
jagung dan indigofera ditanam di lahan samping tanaman kelapa sawit dimana
tanaman indigofera digunakan sebagai tanaman pagar untuk tanaman jagung.
Berdasarkan arahan dan informasi dari Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Aceh Tamiang, observasi anggota tim pengkaji dari BPTP Aceh dan
kemampuan kelompok dalam melakukan manajemen kelompok, kelompok tani’’Maju
Bersama” yang terletak di Gampong Air Tenang, Kecamatan Karang Baru II,
Kabupaten Aceh Tamiang, yang diketuai oleh Hasanuddin ditetapkan sebagai
kelompok tani terpilih untuk kegiatan ini. Kelompok tani ini beranggotakan 12 orang,
dimana salah satu anggota kelompok yang bernama Jamaluddin merupakan
penyuluh di kecamatan tersebut.
Kepala gampong Air Tenang menyampaikan “Rencana kedepan dan sudah
ada kesepakatan diantara peternak, kandang sapi yang letaknya
dibelakang/samping rumah semuanya akan di pindahkan ke lokasi/lahan kelapa
sawit, sekarang hanya menunggu perbaikan jalan dan pengadaan sarana listrik.
16
Pertimbangannya, lokasi/lahan kelapa sawit ini sangat luas untuk lahan
pengembalaan sapi kecuali sapi yang tujuannya penggemukan”.
4.2 Kegiatan Pelatihan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kementerian Pertanian
mengadakan Pelatiahan di Kantor Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Desa Air Tenang,
Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Pelatihan tersebut diikuti oleh
kelompok peternak dan Instansi Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan
Kabupaten Aceh Tamiang. Pelatihan tersebut dilaksanakan pada hari Selasa 14
Agustus 2018 di BPP Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Ada beberapa
narasumber, materi yang disampaikan yaitu :
1. Manajemen Kesehatan Ternak Sapi
2. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Peternakan di Kabupaten Aceh Tamiang
3. Silase Jagung Sebagai Alternatif Pakan Ternak Sapi
4. Tanaman Indigofera Yang Berkualitas Dan Bernutrisi Untuk Ternak Sapi
5. Pembuatan Mineral Blok (Tambahan)
Narasumber yaitu Bapak Drh. Busyra Abdullah, MM. Beliau adalah seorang
penyuluh bidang peternakan di Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tamiang. Arahan
beliau tentang Manajemen Kesehatan Ternak Sapi banyak memberikan informasi
yang sangat dibutuhkan oleh peserta pelatihan. Dalam pelaksanaan pelatihan,
Narasumber juga melakukan demonstrasi / praktek / cara membuat silase jagung
untuk alternative pakan ternak sapi, juga cara pembuatan mineral blok serta cara
pembudidayaan Indigofera sehingga petani dapat mengimplementasikannya di
dalam membuat pakan ternak sendiri.
Pelatihan tersebut dihadiri oleh 55 oarang petani, penyuluh pada Dinas
Pertanian dan juga Penyuluh pada BPP Karang Baru. Dalam praktek/demonstrasi
tersebut, petani begitu antusias untuk melihat dan turut ikut serta dalam
pelaksanaan praktek / demonstrasi seperti dalam praktek membuat Silase dimana
peserta ikut memotong batang jagung, memegang kantong plastic serta meracik
bahan molasses blok. Peserta pelatihan juga ada yang menanyakan tentang takaran
untuk membuat silase dan molasis blok serta cara penyemaian benih indigofera
yang baik dan benar.
17
Silase Jagung sebagai Alternatif Pakan Ternak Sapi
Produktivitas sapi dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor
genetik, lingkungan dan pakan. Permasalahan strategis yang mengakibatkan
terjadinya fluktuasi produktivitas dari sapi di dalam negeri diantaranya adalah
masalah penyediaan pakan yang tidak kontinyu sebagai akibat dari faktor musim.
Pada musim hujan, peternak dengan mudah menyediakan pakan hijauan tanpa
mengeluarkan banyak biaya. Hijauan diperoleh dengan cara menyabit di kebun
rumput, lahan hutan, pematang sawah, lahan pemukiman sampai pinggiran jalan.
Saat musim kemarau panjang datang, maka sudah jelas kesulitan yang terjadi
adalah ketersediaan hijauan yang berkurang.
Memperhatikan keadaan tersebut maka untuk menanggulangi permasalahan
penyediaan pakan hijauan, khususnya pada musim kemarau diperlukan berbagai
strategi, baik dalam penyediaannya maupun waktu pemberiannya terlebih dapat
meningkatan kualitasnya. Petani tradisional pada umumnya memanfaatkan limbah
tanaman jagung ini tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu sehingga sulit untuk
meningkatkan kualitas dan daya simpannya akibatnya banyak hijauan yang
terbuang. Kondisi tersebut sangat kontra diktif dengan kesulitan dalam upaya
penyediaan hijauan pakan.
Proses pembuatan silase jagung sebagai pakan ternak
Bahan –bahan yang dibutuhkan: limbah jagung 1 ton (dengan kadar air 60-
70%), urea 2,5 kg, gula/saka/molasses 4 kg, dedak 5 kg dan plastik atau drum
untuk penyimpan silase
Proses pembuatan adalah sebagai berikut:
✓ Batang jagung yang telah dilayukan dengan kadar air 60-70 % dipotong-
potong.
✓ Gula tebu dilarutkan dalam 12 liter air dengan cara diaduk atau dipanaskan.
✓ Kemudian batang jagung dimasukkan ke dalam tempat pembuatan dengan
cara ditumpuk dan dipadatkan. Setiap ketebalan 20 cm ditaburkan urea, dedak
dan larutan gula secara merata. Demikian seterusnya sampai proses selesai.
18
✓ Tumpukan kemudian ditutup rapat supaya kedap udara dan tidak terjadi
rembesan air, lalu diberikan beban diatasnya dengan menggunakan ban bekas
atau karung berisi pasir.
✓ Selama proses fermentasi terjadi tumpukan tidak perlu dibalik namun harus
terlindung dari sinar matahari. Proses berlangsung selama 14 hari.
✓ Setelah mengalami proses fermentasi, dikeringkan anginkan terlebih dahulu
sebelum diberikan disimpan pada gudang penyimpanan dan siap diberikan
pada ternak.
Silase batang jagung berkualitas baik apabila proses pembuatannya tepat dan
benar. Ciri-ciri silase yang baik adalah:
✓ Berbau harum
✓ Tidak berjamur
✓ Tidak menggumpal
✓ pH berkisar antara 4 – 4,5
Kegagalan dalam pembuatan silase dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain proses pembuatan yang salah, terjadi kebocoran silo sehingga tidak
tercapai suasana yang anaerob, tidak tersedianya karbohidrat terlarut berupa gula,
berat kering awal yang rendah sehingga silase menjadi terlalu basah, dan memicu
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang tidak diharapkan.
Kerusakan silase diperhitungkan sebagai persentase dari silase yang rusak
dibandingkan dengan jumlah keseluruhan silase dalam satu silo. Silase yang
mengalami kerusakan dapat terlihat dari tekstur silase yang rapuh, berwarna coklat
kehitaman, dan berbau busuk serta banyak ditumbuhi jamur. Pada umumnya
kerusakan terjadi pada permukaan dekat penutup silo.
Tanaman indigofera yang berkualitas dan bernutrisi untuk ternak sapi
Indigofera ini merupakan hijauan pakan ternak jenis leguminosa, rata-rata
tinggi pohon sedang namun memiliki daun yang lebat dan bisa berproduksi banyak.
Selain itu, pakan ternak berkualitas dan bernutrisi ini diyakini bisa menurunkan
biaya produksi pakan, karena dari satu hektar Indigofera ini cukup untuk 10 ekor
sapi, sementara untuk satu hektar rumput biasanya hanya cukup untuk satu ekor
19
sapi, sehingga sangat produktif dan efisien. Hal ini bisa berdampak pada turunnya
biaya produksi ternak dengan demikian akan menurunkan harga daging di pasaran.
Indigofera sebagal potensi pakan ternak di Indonesia sangat besar,
terhampar dari mulai dataran rendah sampai dataran tinggi. Lahan kering seringkali
identik dengan lahan marjinal, karena lahan tersebut memiliki ketersediaan air yang
terbatas, miskin unsur hara dan rentan akan terjadinya erosi. Salah satu faktor
pembatas yang sangat spesifik terdapat pada lahan kering adalah rendahnya
ketersediaan air, baik yang terikat dalam partikel tanah maupun yang terdapat
disekitar perakaran (rhizosfer). Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak yang kaya akan nitrogen, fosfor dan kalsium. Indigofera sp mengandung
pigmen indigo, yang sangat penting untuk pertanian komersial pada daerah tropic
dan sub tropic, selanjutnya dapat digunakan sebagai hijauan pakan ternak dan
suplemen kualitas tinggi untuk ternak ruminansia. Indigofera sp sangat balk
dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak dan mengandung protein kasar 27,9%,
serat kasar 15,25%, kalsium 0,22% dan fosfor 0,18%. Leguminosa Indigofera sp.
memiliki kandungan protein yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan
air dan tahan terhadap salinitas
Budidaya Indigofera
Penanaman dapat dilakukan secara monokultur, tanaman sela (intercroping),
tanaman campuran dengan tanaman pangan (alley croping) dan tanaman pagar
(hedgrow). Jarak tanam yang direkomendasikan untuk produksi hijauan pakan
dengan pola tanam monokultur yaitu 3x3 m. Panen pertama kali dilakukan pada
umur 6-8 bulan setelah itu dipanen setiap 90 hari, sehingga tinggi tanaman
dipertahankan 1,5 m dari tanah.
Pada pola tanam intercroping dan alley croping, jarak tanam yang
direkomendasikan untuk leguminosa pohon adalah 4-5 m dengan tinggi tanaman
dipertahankan 1,5 m, guna menghindari terjadinya penaungan (shading) terhadap
tanaman utama. Untuk penggunaan tanaman sebagai pagar (hedgrow) dilakukan
dengan jarak tanam 2-3 m baris dan tinggi antara 3-5 m, dimanfaatkan sebagai
penambat pagar kawat berduri dan untuk menghasilkan benih (biji).
Pemberian pupuk dasar tanaman Indigofera ang paling praktis digunakan ialah
pupuk NPK 15-15-15. Komposisi pupuk kandang dan pupuk NPK ialah 30 : 1 atau
20
bisa hingga 50 : 1 yang mana pupuk kandang harus lebih banyak. Agar hasil lebih
optimal, maka anda bisa membuat bokashi atau fermentasi pupuknya terlebih
dahulu. Hal ini nantinya akan membuat nutrisi pupuk cepat diserap tanaman. Untuk
cara pemberian pupuknya adalah sebagai berikut :
✓ Siapkan pupuk kandangnya
✓ Larutkan 1/4 – 1/2 kg gula pada se ember air
✓ Siram 500 ml EM4 pada larutan gula tersebut lalu tutup dan diamkan minimal
24 jam
✓ Setelah itu siramkan larutan EM4 tadi secara merata pada pupuk kandang lalu
tutup pupuk tersebut dengan terpal
✓ Diamkan minimal 1 minggu (semakin lama semakin baik)
✓ Setelah 1 minggu atau lebih maka pupuk tersebut dimasukkan dalam lubang
alur bedengan bersama pupuk NPK 15-15-15
✓ Tutup kembali alur tersebut sembari dibentuk bedengan dengan lebar 1
meter dengan tinggi sekitar 15 cm.
Cara pembibitan tanaman indigofera secara generatif biji adalah sebagai berikut :
✓ Siapkan tanaman indigofera yang sudah besar dan berbuah yang berdaun
lebat
✓ Ambil buahnya yang sudah matang kering (kehitaman)
✓ Jemur buah tersebut hingga kulitnya kering dan pecah sehingga isinya keluar
✓ Penanaman dengan biji dilakukan melalui beberapa tahap, antara lain
perendaman biji dengan air selama satu malam,
✓ Pengecambahan selama lima hari di atas kain basa
✓ Pemindahan ke polybag yang telah diisi dengan tanah humus yang gembur
✓ Tanam biji indigofera sedalam kurang lebih 2 cm
✓ Biarkan bijinya tumbuh
✓ Setelah tumbuh, maka anda bisa melakukan penyiraman secara rutin guna
mempercepat pertumbuhannya.
✓ Setelah berusia 1,5 bulan maka bibit indigofera sudah siap ditanam di lahan
tanam yang sudah disiapkan sebelumnya.
✓ Galilah lubang pada bedengan dengan kedalaman sekitar 15 – 20 cm dan
jarak sekitar 30 – 50 cm saja.
21
✓ Sirami bibit sebelum ditanam
✓ Tanam bibit indigifera pada lubang tanam tersebut dan pastikan membuka
plastiknya
✓ Tutup tanah dan segera sirami
✓ Sebaiknya waktu penanaman ini dilakukan pada sore hari untuk mencegah
tanaman layu karena terik siang.
✓ Pemberian pupuk susulan 3 bulan menjelang panen
Selain sebagai pakan ternak, Indigofera sp. bermanfaat sebagai tanaman obat
antara lain untuk pengobatan liver, keracunan pada darah, mengurangi rasa sakit
dan demam pada manusia.
Pembuatan Mineral Blok (Tambahan)
Mineral Block merupakan suplementasi mineral dalam bentuk blok dengan
bahan baku lokal sebagai bahan baku utama terutama dari limbah industri pertanian
dan pakan non konvensional yang ketersediaannya murah dan mudah diperoleh.
Mineral Block adalah pakan suplemen untuk ternak ruminansia, berbentuk padat
yang kaya dengan zat-zat makanan. Bahan-bahan tersebut berfungsi sebagai
sumber energi mudah tercerna, sumber N dan sumber mineral yang dapat
meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen untuk memperbaiki nutrisi ternak
sebagai induk semang. Pakan suplemen ini dapat juga disebut sebagai “permen jilat”
untuk ternak, yang dapat digunakan untuk ternak-ternak yang dikandangkan
ataupun yang digembalakan.
Bahan komposisi, yang digunakan terdiri dari garam, semen dan mineral
dengan perbandingan 7:3:1. Beberapa manfaat untuk ternak antara lain adalah
meningkatkan konsumsi pakan, meningkatkan kecernaan zat-zat makanan,
meningkatkan produksi ternak, agar terhindar dari efisiensi vitamin dan mineral,
malnutrisi karena rendahnya nilai gizi pakan, untuk meningkatkan produktifitas
ternak melalui peningkatan sintesa protein oleh mikroba di dalam rumen,
peningkatan kecernaan pakan dan peningkatan konsumsi pakan yang semuanya itu
akan memberikan keseimbangan yang lebih baik antara suplai asam amino dan
energi dan kebutuhan ternak untuk tumbuh, berproduksi, hal ini meningkatkan
populasi mikroorganisme rumen sehingga kebutuhan serat kasar sebagai media
22
hidupnya akan meningkat pula, sehingga akan merangsang ternak untuk
mengkonsumsi bahan pakan lebih banyak dari keadaan normalnya, dengan
meningkatnya konsumsi pakan maka produksi ternak (daging) akan meningkat pula.
Cara Pemberiannya sebagai bahan pakan suplemen dengan kadar protein,
energi dan mineral yang cukup dapat digunakan untuk ternak-ternak yang
dikandangkan atau yang digembalakan. Pakan tambahan ini dikonsumsi ternak
dengan cara menjilat dan diberikan dengan cara meletakkan di tabung bambu atau
kotak pakan. Pakan tambahan ini diberikan pada pagi hari dengan jumlahnya sesuai
dengan tingkat konsumsi yang dianjurkan pada setiap jenis ternak, walaupun ukuran
UMB melebihi kebutuhan maka biasanya ternak akan membatasi sendiri. Ternak
yang kekurangan akan unsur mineral memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut:
Bulu kusam dan sering terlihat berdiri, mata putih dan bertahi mata, ternak kurus
dan agak lemas.
4.3 Kegiatan Temu Lapang
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kementerian Pertanian
mengadakan Temu Lapang di Kantor Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Desa Air
Tenang Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang, kegiatan tersebut diikuti
oleh Kadis, Kabid, penyuluh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten
Aceh Tamiang dan kelompok peternak. Ada beberapa narasumber, materi yang
disampaikan yaitu:
1. Pengembangan Peternakan di Kabupaten Aceh Tamiang
2. Potensi Tanaman Sawit untuk Ternak Sapi di Kabupaten Aceh Tamiang
3. Potensi kawasan peternakan terpadu
4. Potensi Pemanfaatan Hasil Samping Pertanian dan Perkebunan untuk ternak Sapi
Berikut ini akan diuraikan dari materi tersebut.
1. Pengembangan Peternakan di Kabupaten Aceh Tamiang
Kawasan Perternakan adalah merupakan gabungan dari sentra-sentra
peternakan yang memenuhi batas minimal skala ekonomi dan manajemen
pembangunan di wilayah serta terkait secara fungsional dalam hal potensi sumber
daya alam, kondisi sosial budaya dan keberadaan infrastruktur penunjang.
Pengembangan kawasan Peternakan dimaksudkan untuk menjamin ketahanan
23
pangan nasional, pengembangan dan penyediaan bahan baku bioindustri, serta
penyediaan bahan bakar nabati melalui peningkatan produksi pertanian secara
berkelanjutan, berdaya saing dan mampu mensejahterakan semua pelaku usaha
yang terlibat di dalamnya secara berkeadilan. Pengembangan kawasan pertanian
dalam operasionalnya harus disesuaikan dengan potensi agroekosistem,
infrastruktur, kelembagaan sosial ekonomi mandiri dan ketentuan tata ruang wilayah
Untuk menuju kondisi ideal yang diharapkan dalam pengembangan kawasan
Peternakan, maka secara garis besar dapat dirumuskan langkah-langkah
pengembangan kawasan, yaitu sebagai berikut:
➢ Penguatan perencanaan pengembangan kawasan;
➢ Penguatan kerjasama dan kemitraan;
➢ Penguatan sarana dan prasarana;
➢ Penguatan sumber daya manusia;
➢ Penguatan kelembagaan; dan
➢ Percepatan adopsi teknologi
➢ Pengembangan industri hilir.
Rancang bangun dan kelembagaan dibutuhkan dalam pengembangan kawasan
secara berjenjang. Rancang bangun pengembangan kawasan disusun berdasarkan
analisis teknokratis dan rencana kerja melalui telaah kebijakan serta analisis
pemeringkatan, klasifikasi dan pemetaan kawasan, serta analisis data dan informasi
tabular dan spasial untuk mengarahkan pengembangan dan pembinaan kawasan.
Pengelola Kawasan di provinsi menyusun rencana induk (Master Plan) untuk setiap
jenis kawasan yang ada di provinsi sebagai upaya untuk menjabarkan arah
kebijakan, strategi, tujuan, program/kegiatan pengembangan kawasan nasional.
Adapun Pengelola Kawasan khususnya di Kabupaten Aceh Tamiang menyusun
rencana aksi (Action Plan) yang merupakan penjabaran operasional dari Master Plan
sebagai upaya untuk rencana yang lebih rinci dalam kurun waktu tahun jamak (multi
years).
Seperti yang telah disebut di atas bahwa salah satu misi dinas Kesehatan Hewan
dan Peternakan di Kabupaten Aceh Tamiang adalah mengembangkan kawasan
peternakan sesuai potensi dan cluster yang proporsional, terintegrasi dan
berkelanjutan. Maka pengembangan kawasan peternakan terpadu adalah salah satu
24
program yang dapat diterapkan guna mendukung misi yang telah ditetapkan oleh
pemerintah Aceh melalui Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan tersebut.
Kawasan peternakan adalah suatu kawasan yang secara khusus diperuntukkan
untuk kegiatan peternakan terpadu sebagai komponen dari usahatani (berbasis
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan atau perikanan) dan terpadu sebagai
komponen ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung atau suaka alam). Beberapa
komponen yang sangat berpengaruh dalam menunjang keberhasilan antara lain:
ketersediaan lahan, pakan, penyediaan air, infrastruktur jalan, peternak dan ternak
serta prasarana penunjangn seperti industri pakan, obat/vaksin, alat dan mesin
pertanian, Pos Keswan, Pos IB, Rumah Potong Hewan (RPH), Industri pengolah
susu, daging dan pasar hewan yang dapat menunjang produktivitas ternak.
Kabupaten Aceh Tamiang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh
yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan peternakan terpadu
untuk pengembangan ternak ruminansia. Namun sejauh ini, potensi yang ada di
kabupaten tersebut tidak berkembang baik karena tidak didukung oleh berbagai
faktor yang menunjang suatu kawasan peternakan terpadu seperti ketersediaan
sarana, prasarana, pengelolaan sumber daya air untuk pengembangan suatu usaha
peternakan dan juga dari berbagai ketersediaan infrastruktur yang masih sangat
kurang. Dari berbagai keterbatasan tersebut mengakibatkan rendahnya produksi dan
produktivitas ternak Provinsi Aceh. Sebagai salah satu faktor keterbatasan faktor
pendukung adalah karena sampai saat ini belum adanya dokumen rancangan
pengembangan ternak ruminansia yang menjadi arah bagi pengembangan
peternakan di Aceh menjadi lebih optimal.
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan suatu kegiatan berupa penyusunan
master plan kawasan peternakan Provinsi Aceh untuk mengidentifikasikan potensi
yang ada dan juga bagaimana mengelola potensi yang ada dengan baik sehingga
dapat mempercepat pegembangan peternakan Provinsi Aceh yang pada akhirnya
dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.
25
2. Potensi Tanaman Sawit untuk Ternak Sapi di Kabupaten Aceh Tamiang
Kabupaten Aceh Tamiang memiliki lahan cukup luas dan cocok dikembangkan
aneka produk kelapa sawit dan pertanian untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Aceh. Secara umum, agroindustri komoditas andalan
perkebunan Aceh adalah industry yang berbasis hasil-hasil komoditas andalan
pertanian Aceh. Komoditas andalan pertanian adalah komoditas yang telah banyak
dikembangkan di daerah ini mulai dari pertanian pangan dan hortikultura,
perkebunan dan kehutanan, perikanan dan hasil-hasil laut lainnya, dan peternakan.
Aceh Tamiang masih terbuka untuk investor dan di daerah itu juga cocok untuk
dikembangkan perkebunan kelapa sawit, selain pertanian lainnya. Aceh Tamiang
yang merupakan wilayah pemekaran dari kabupaten induk Aceh Timur itu sudah ada
beberapa investor mengembangkan perkebunan kelapa sawit tetapi masih kurang
optimal. Jika ada pihak swasta yang mau lebih serius mengembangkan industri
perkebunan kelapa sawit dan pengolahannya, maka Aceh Tamiang akan lebih maju
dibanding daerah lainnya.
Dampak ikutannya terhadap masyarakat cukup banyak karena industri
perkebunan itu akan menyerap ribuan tenaga kerja dan membutuhkan
pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan termasuk pabrik pengolahannya.
Saat ini produk kelapa sawit dalam bentuk minyak (crude palm oil/CPO) harganya di
pasar internasional terus meningkat menjadi sekitar Rp8.700/kg atau 1170 dolar
AS/ton. Harga komoditas perkebunan itu dipastikan terus meningkat dikarenakan
adanya suplai yang menipis sedangkan permintaan terus naik. Produksi kelapa sawit
itu tidak hanya diolah menjadi minyak, tetapi juga hasil samping dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk pertanian dan pakan ternak.
Pembangunan agroindustri patut mengedepankan potensi kawasan dan
kemampuan masyarakatnya. Keunggulan komparatif yang berupa sumberdaya alam
perlu diiringidengan peningkatan keunggulan kompetitif yang diwujudkan melalui
penciptaan sumberdaya manusia dan masyarakat agroindustri yang semakin
profesional. Berbagai peluang yang ada untuk menumbuhkembangkan kawasan
agroindustri di pedesaan ini antara lain mencakup berbagai aspek seperti lingkungan
strategis, permintaan, sumber daya dan teknologi. Pembangunan agroindustri yang
diterapkan adalah pembangunan agroindustri yang berkelanjutan. Agroindustri yang
26
dibangun dan dikembangkan harus memperhatikan aspek-aspek manajemen dan
konservasi sumber daya alam. Arah pembangunan bidang agroindustri menurut
paradigma baru ini dapat diwujudkan terutama melalui upaya pemihakan dan
pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat agroindustri dilakukan sesuai
dengan potensi, aspirasi, dan kebutuhannya. Sejalan dengan arah pembangunan
pertanian ini, peran pemerintah Aceh umumnya, pemerinta Kabupaten Aceh
Tamiang khususnya harus mempertajam program-program pembangunan
agroindustri untuk masyarakat wilayah simpul ini. Agroindustri yang berawal dari
masukan dengan seperangkat teknologi diharapkan dapat memberikan nilai tambah
bagi produk-produk andalan pertanian Aceh. Agroindustri ini juga akan mengubah
sifat bulcky produk pertanian menjadi produk yang memiliki nilai lebih dan memiliki
pasar yang lebih luas. Dukunga agroindustri terhadap pengembangan pelabuhan
Kuala Langsa menjadi salah satu solusi dalam perbaikan jaring pasok barang ekspor
dari daerah ini. Produk pertanian yang bersifat musiman dan tidak tahan lama dapat
ditata arus masuk dan keluar melalui sistem agro industri ini.
Bahan baku untuk industri hasil sampingan ternak juga cukup baik, seperti
undustri kulit ternak, tepung tulang dan sebagainya. Masyarakat Aceh umumnya,
dan masyarakat pantai timur khususnya memiliki konsumsi daging ternak kambing
dan sapi yang tinggi. Dengan demikian hasil sampingan seperti kulit dan tulang
dapat dikembangkan dalam system agroindustri berbasis ternak ini.
Dengan demikian untuk meningkatkan ekonomi Kabupaten Aceh Tamiang
kontribusi agroindustri harus ditingkatkan, terutama untuk sektor peternakan.
Selama ini sebagian besar hasil peternakan daerah ini masih diperdagangkan dalam
bentuk segar ke Sumatera Utara.
3. Potensi kawasan peternakan terpadu
Pembangunan peternakan merupakan rangkaian kegiatan yang
berkesinambungan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat peternak, agar
mampu melaksanakan usaha produktif dibidang peternakan secara mandiri. Salah
satu bentuk usaha peternakan yang cukup potensial dikembangkan adalah ternak
sapi potong. Program pengembangan usaha ternak sapi potong dapat dicapai
dengan memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan tepat guna yang disesuaikan
dengan keadaan alam, kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, sarana
27
prasarana, teknologi peternakan yang berkembangdan kelembagaanserta kebijakan
yang mendukung. Faktor lingkungan berupa iklim berpengaruh secara langsung
terhadap ternak seperti suhu, kelembaban, dan curah hujan. Fasilitas pendukung
sangat membantu dalam pengembangan usaha peternakan. Sumber daya alam
sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup ternak.
Jenis dan ketersediaan pakan harus diperhatikan dalam usaha peternakan di
suatu daerah. Kualitas sumber daya manusia akan membantu pola peternakan yang
akan terbentuk. Pendidikan, pengalaman, umur, dan pengetahuan yang baik dari
peternak akan membawa usaha menuju kearah yang baik. Teknologi peternakan
yang sudah berkembang, harus dimanfaatkan untuk menunjang pengembangan
usaha peternakan. Sub sektor peternakan memiliki peran yang strategis dalam
pembangunan sektor pertanian, yaitu dalam upaya pemantapan ketahanan pangan
untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, pemberdayaan ekonomi masyarakat
dan dapat memacu pengembangan wilayah. Salah satu bentuk usaha peternakan
yang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan yaitu ternak sapi potong.
Sementara itu, program pengembangan sapi potong dihadapkan dengan
permasalahan semakin menyempitnya lahan usaha akibat persaingan yang semakin
meningkat dalam penggunaan lahan.
Akibatnya terjadinya penurunan daya dukung sumber daya alam terutama
hijauan pakan untuk usaha ternak karena konversi lahan pertanian, serta perubahan
pola budidaya menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi sapi potong.
Selain itu, kebanyakan usaha peternakan sapi potong yang kurang dalam
pemanfaatan potensi daya dukung yang ada di wilayahnya. Daya dukung
pengembangan ternak potong merupakan salah satu faktor penting untuk
menunjang peningkatan produktivitas sapi potong, untuk mencapai hasil yang
optimal maka perlu strategi pengembangan peternakan yang memiliki daya dukung
yang baik, seperti pakan yang diberikan kepada ternak harus mengandung nilai
nutrisi yang baik, lahan yang luas, pengolahan limbah, pemanfaatan hijauan
makanan ternak. Evaluasi ketersediaan hijauan dan limbah tanaman pangan
dilakukan untuk mengetahui daya dukung wilayah terhadap hijauan makanan ternak
sebagai penunjang pakan sapi potong.
28
Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan suatu wilayah untuk pengembangan
ternak sapi potong yang sekarang menjadi salah satu komoditi unggulan daerah
karena mampu menghasilkan produksi yang tinggi guna pemenuhan protein hewani
dan telah mempunyai pasar tersendiri, yang pada akhirnya bermuara pada
peningkatan peternak.
Ada beberapa fakta yang harus segera dicarikan jalan keluar agar ketahanan
pangan dapat diwujudkan, meliputi:
➢ Kapasitas produksi domestik, (a) laju peningkatan produksi pangan
cenderung melandai dengan rata-rata pertumbuhan kurang 1% sedangkan
pertambahan penduduk sebesar 1,2% setiap tahun (b) belum
berkembangnya kapasitas produksi pangan daerah dengan teknologi sesifik
lokasi karena hambatan inrastruktur pertanian ; (c) petani umumnya skala
kecil (kurang dari 0,5 hektar) menyebabkan aksesibilitasnya terbatas
terhadap sumber permodalan, teknologi, sarana produksi dan pasar (d)
banyak dijumpai kasus terhambatnya distribusi sarana produks khususnya
pupuk bersubsidi, (e) lambatnya penerapan teknologi akibat kurang insentif
ekonomi dan masalah sosial petani
➢ Saat ini tingkat alih fungsí lahan pertanian ke non pertanian (perumahan,
perkantoran dll). Kondisi sumber air di Indonesia cukup memperihatinkan,
daerah tangkapan air yakni daerah aliran sungai (DAS) kondisi lahannya
sangat kritis akibat pembukaaan hutan yang tidak terkendali. Sejak 10 tahun
terakhir terjadi banjir dengan erosi hebat dan ancaman tanah longsor pada
musim hujan bergantian dengan kekeringan hebat pada musim kemarau.
Adanya kondisi iklim yang tidak menentu sehingga sering terjadi pergeseran
penanaman, masa pemanenan yang tidak merata sepanjang tahun, serta sering
timbulnya bencana yang tidak terduga (banjir, longsor, kekeringan, gempa)
memerlukan sistem pencadangan pangan yang baik. Saat ini belum optimalnya :(1)
sistem cadangan pangan daerah untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam
minimal 3 (tiga) bulan, (2) cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan
tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (3) kelembagaan lumbung pangan
masyarakat dan lembaga cadangan pangan komunitas lainnya, (4) sistem cadangan
pangan melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan ataupun lembaga usaha lainnya
29
4. Potensi Pemanfaatan Hasil Samping Pertanian dan Perkebunan untuk
ternak Sapi
Tantangan terbesar dalam semua sistem produksi ternak diberbagai daerah
antara lain adalah pakan dan lahan, padahal faktor utama dalam menentukan
produktivitas ternak adalah terjaminnya ketersediaan hijauan pakan. Pakan yang
baik dapat diketahui dari komposisi nutrien yang dikandung, kecernaan nutrien dan
kemampuan dalam menyediakan energi serta ada tidaknya penghambat dalam
pakan tersebut. Pakan ruminansia meliputi semua bahan makanan yang dapat
diberikan dan dimakan ternak serta tidak mengganggu kesehatan apabila hewan
ternak memakannya. Setiap harinya kebutuhan jumlah pakan ternak berbeda. Hal ini
bergantung pada jenis atau spesies sapi, umur dan tahap pertumbuhan ternak
(dewasa, bunting atau menyusui).
Penyediaan pakan harus diusahakan terus-menerus dan sesuai dengan standar
gizi yang dibutuhkan hewan ternak. Pemberian pakan pada ternak yang tidak sesuai
dengan kebutuhan gizi hewan ternak dapat menyebabkan defisiensi zat makanan.
Nutrien adalah komponen yang ditemukan di dalam makanan serta dapat digunakan
untuk kebutuhan hidup pokok, produksi dan kesehatan ternak.
Masalah utama dalam peningkatan produktivitas ternak adalah sulitnya
menyediakan pakan secara berkesinambungan baik jumlah maupun kualitasnya.
Faktor penting yang harus diperhatikan dalam peningkatan produktivitas ternak
adalah ketersediaan pakan yang mencukupi secara kualitas dan kuantitas. Di dalam
memilih bahan pakan ternak, perlu dipertimbangkan zat-zat yang terkandung di
dalamnya, serta sifat biologis bahan-bahan yang akan disajikan, seperti: volume dan
tekstur, palatabilitas (enak tidaknya) dan sifat bahan pakan itu sendiri. Sebab
kesemuanya akan berpengaruh besar terhadap mutu bahan makanan yang masuk
ke dalam tubuh ternak.
Sebagai contoh, bahan pakan yang digiling terlalu kasar tentu relatif lebih sukar
dicerna daripada bahan makanan yang halus. Bahan-bahan makanan yang rusak,
tengik ataupun kurang enak tentu akan tersisih. Kalaupun bahan makanan tersebut
terpaksa dimakan, tentu akan merugikan ternak yang bersangkutan. Oleh karena
itu, para peternak harus memberi perhatian secara khusus terhadap jenis makanan
yang akan diberikan kepada ternaknya.
30
Bahan pakan adalah setiap bahan yang dapat dimakan, dapat dicerna sebagian
atau seluruhnya, tidak membahayakan bagi pemakannya, disukai, dan bermanfaat
bagi ternak. Pakan adalah satu macam atau campuran lebih dari satu macam bahan
pakan yang khusus disediakan untuk ternak. Konsentrat adalah bahan pakan yang
rendah kandungan serat kasar dan tinggi kandungan nutriennya yang mengandung
serat kasarnya kurang dari 18% dan TDN-nya di atas 60% berdasarkan bahan
kering.
Pakan ternak ruminansia terdiri dari pakan hijauan, konsentrat, vitamin dan
mineral sebagai suplemen. Hijauan yang biasa digunakan sebagai pakan pada usaha
peternakan rakyat di pedesaan adalah rumput lapangan dan hasil samping
pertanian, perkebunan serta beberapa rumput introduksi sebagai rumput unggulan.
Sumberdaya lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah limbah
pertanian dan perkebunan dapat menghasilkan bahan kering sebagai bahan pakan
sumber energi ternak ruminansia. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum
menyusun ransum adalah sebagai berikut:
a. Menentukan bahan pakan apa saja yang akan digunakan dalam menyusun
ransum.
b. Mengetahui kandungan nutrien masing-masing bahan pakan.
c. Mengetahui harga bahan pakan per kg.
Secara umum limbah hasil pertanian dan perkebunan cukup tersedia di
berbagai daerah, namun potensi limbah tersebut untuk digunakan sebagai pakan
ternak belum dikembangkan secara optimal. Pemanfaatan limbah pertanian dan
perkebunan sebagai pakan ternak baru mencapai 39% dari potensi yang tersedia
saat ini, sehingga sebagian besar dari limbah tersebut tidak dimanfaatkan dengan
baik, dan bahkan dibuang, dibakar atau digunakan untuk keperluan non-peternakan.
Kelapa sawit merupakan salah satu bahan pakan yang memiliki potensi
sangat tinggi dibandingkan dengan limbah hasil pertanian dan perkebunan lainnya,
mengingat total limbah yang dihasilkan terhadap luas lahan yang tersedia cukup
tinggi. Umumnya bagian-bagian tanaman dari kelapa sawit yang dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak terdiri dari daun, pelepah, lumpur, bungkil, dan
bungkil inti sawit. Akan tetapi, potensi limbah kelapa sawit yang tinggi, ternaya
belum banyak dimanfaatkan sebaga bahan pakan ternak. Pada umumnya produk
31
samping yang diperoleh dari industri kelapa sawit dibagi ke dalam dua kelompok,
yaitu: (1) berasal dari kebun kelapa sawit (diantaranya pelepah dan daun) dan (2)
dari pabrik pengolahan buah kelapa sawit (seperti bungkil dan lumpur).
Nilai nutrisi limbah tanaman dan pengolahan kelapa sawit ternyata cukup
rendah karena tingginya kandungan serat kasar tetapi mengandung karbohidrat
dalam bentuk gula mudah larut yang cukup tinggi yaitu 22%. Nilai nutrisi limbah
tanaman kelapa sawit umumnya setara dengan limbah tanaman pangan maupun
pakan hijauan di daerah tropis. Sementara itu, limbah hasil pengolahan kelapa sawit
juga mengandung serat kasar yang tinggi, namun kandungan protein kasar lumpur
sawit dan bungkil kelapa sawit secara berurutan yaitu 14,58 %BK dan 16,33 % BK,
yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia. Limbah
agroindustri banyak tersedia dan beragam dalam jenis di daerah tropis yang menjadi
sumber utama untuk meningkatkan produktivitas ternak.
Limbah jagung adalah salah satu contoh bahan baku pakan ternak yang
tersedia di dalam negeri. Namun limbah jagung yang dimanfaatkan sebagai bahan
pakan atau pakan ternak hanya mencapai 5,2 juta ton atau sebanyak 50% dari total
limbah yang dihasilkan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa limbah tanaman
jagung belum dimanfaatkan secara optimal untuk pakan ternak, karena kualitas
yang rendah dan mengandung serat kasar yang tinggi (27,8%). Untuk
meningkatkan kualitas bahan pakan jeramijagung, maka diperlukan sentuhan
teknologifermentasi dengan menambahkan probiotik yang mengandung mikroba
untuk memecah serat kasar, agar dapat dicerna dengan baikoleh ternak. Pemberian
pakan jerami jagung yang difermentasi dapat mempercepat pertumbuhan dan
meningkatkan pertambahan berat badan sapi.
Konsep Sistem Pertanian Berkelanjutan
Berdasarkan kondisi sifat berkelanjutan dalam pengembangan suatu usaha
pertanian mengandung berbagai pengertian yaitu : (1) Berkelanjutan sebagai suatu
strategi pengembangan, (2) Berkelanjutan sebagai suatu kemampuan untuk
mencapai sasaran, dan (3) Berkelanjutan sebagai suatu upaya untuk melanjutkan
suatu kegiatan. Dalam konteks kemampuan untuk mencapai sasaran, sistem usaha
pertanian berkelanjutan mengandung pengertian bahwa dalam jangka panjang
sistem tersebut harus mampu: (1) Mempertahankan atau meningkatkan kualitas
32
lingkungan, (2) Mampu menyediakan insentif sosial dan eknomi bagi semua pelaku
dalam sistem produksi, (3) Mampu berproduksi yang cukup dan setiap penduduk
memiliki akses terhadap produk yang dihasilkan.
Sedangkan dalam konteks kemampuan untuk melanjutkan suatu system
produksi, pengembangan usaha pertanian berkelanjutan apabila sistem tersebut
tetap pada domain dari penggunaan sumberdaya lahan lintas waktu dan terns
menerus mampu memberi dukungan pada tingkat produksi tertentu yang
memberikan keuntungan ekonomi bagi pelakunya (commercial) dan kecukupan
pangan penduduk (subsistence).
Terintegrasinya usaha sapi potong dan perkebunan sawit dapat mengurangi
biaya lahan dan pakan serta meningkatkan kapasitas tampung sehingga skala usaha
menjadi besar dan makin efisien. Efisiensi menjadi lebih baik karena menggunakan
input tenaga kerja secara bersama untuk usaha sapi potong dan perkebunan kelapa
sawit; mengurangi biaya tenaga kerja dan herbisida untuk membersihkan semak
belukar di bawah tanaman sawit; dan memanfaatkan limbah industri kelapa sawit
sebagai bahan baku pakan pada usaha penggemukan sapi potong serta
pemanfaatan pupuk kandang untuk tanaman kelapa sawit .
Dari sisi permintaan, kebutuhan daging sapi justeru terus meningkat.
Penyediaannya melalui peningkatan produksi daging membutuhkan peningkatan
basis pakan. Di sisi penawaran, pergeseran penggunaan lahan yang digunakan
untuk tanaman pangan, perkebunan dan pemukiman mempersempit padang
penggembalaan. Berbagai faktor yang mendukung perkembangan sistem usaha
pertanian, yaitu: (1) ketidakberdayaan petani kecil yang mempunyai keterbatasan
sumberdaya dalam mengadopsi teknologi; (2) perlu usaha mengurangi risiko
usahatani melalui pendekatan diversifikasi; (3) meningkatkan produktivitas; (4)
mengembangkan ketersediaan pekerjaan dan memperkuat pendapatan usahatani;
(5) melestarikan lingkungan secara berkelanjutan. Berbagai permasalahan keluarga
tani adalah saling terkait, satu masalah akan menimbulkan permasalahan baru,
sehingga usaha pemecahannya harus komprehensif.
Manfaat yang dapat diperoleh dari pendekatan partisipatif dalam pelaksanaan
pengkajian sistem usahatani tersebut, antara lain: (1) mengembangkan dan
menyebarluaskan inovasi teknologi yang mempunyai dimensi spesifik lokasi,
33
berorientasi pasar dan kebutuhan pengguna, serta responsive terhadap kebutuhan
masyarakat; (2) meningkatkan produksi, pendapatan, dan serta kesejahteraan
petani dan pelaku agribisnis kecil/ menengah; dan (3) menciptakan terjadinya
perubahan, persepsi, sikap dan perilaku pengguna inovasi teknologi
Berbagai pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan sistem
usaha pertanian yang berkelanjutan antara lain: (1) Pertimbangan perolehan laba
yang memadai bagi pelakunya, (2) Pertimbangan kualitas lingkungan usaha jangka
panjang agar usahanya menjadi sumber pendapatan dan penghidupan
yang layak, (3) Pertimbangan kualitas lingkungan makro jangka pendek maupun
jangka panjang, dan (4) Pertimbangan kelestarian bagi sumberdaya hayati berupa
ternak maupun tanaman yang dapat dibudidayakan.
Laporan Kemajuan/Fisik
No Uraian Tahapan
Kegiatan
Skor Kemajuan Tahapan (0-100)
Bobot (%)
1 Persiapan 15
a Proposal 100 10 10
b Pengadaan Bahan habis pakai
c Penentuan lokasi 100 2,5 2,5
d Koordinasi stakeholders
100 2,5 2,5
2 Pelaksanaan kegiatan
75
a Penyiapan lahan/plotting, saprodi dan bahan pendukung
100 15 15
b Penanaman dan pemeliharaan
100 30 30
c Pengamatan 100 20
3 Pelaporan 10
a Pengolahan dan analisa data
100 5
b Seminar hasil 0 1
c Laporan akhir 0 4
Total Bobot 100
34
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kegiatan Optimalisasi Sistem Usaha Pertanian (SUP) Inovatif Integrasi Sapi,
Sawit, Jagung dan Indigofera Di Provinsi Aceh dilaksanakan di Kabupaten Aceh
Tamiang. Kelompok yang terpilih adalah Maju Bersama, kelompok ini merupakan
peternak yang memiliki sapi, sawit dan tanaman jagung. Pengambilan kelompok
atas rekomendasi dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Aceh Tamiang.
Teknologi yang direkomendasi pada kegiatan ini berupa teknologi pakan berupa
silase jagung + silase pelepah sawit + indogofera untuk ternak sapi.
35
DAFTAR PUSTAKA Bangun R. 2010. Pengembangan sistem integrasi sapi-kebun kelapa sawit dalam
peningkatan pendapatan petani di Provinsi Riau. J Teroka 10: 161-174. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2015. Statistik perkebunan Indonesia 2013-2015 kelapa
sawit. Kementerian Pertanian Jakarta. Diwyanto K, Sitompul D, Manti I, Mathius IW, Soentoro. 2003. Pengkajian Pengembangan
Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit–Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit–Sapi. Bengkulu, 9–10 September 2003. Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal.
Diwyanto K, Sitompul D, Manti I, Mathius IW, Soentoro. 2004. Pengkajian pengembangan
usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, Bengkulu, 9−10 September 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Provinsi Bengkulu, dan PT Agricinal.
Diwyanto K, Priyanti A, Saptati RA. 2007. Prospek pengembangan usaha peternakan pola
integrasi. Sains Peternakan 5: 26-33. Farizaldi. 2011. Produktivitas Hijauan Makanan Ternak Pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
berbagai Kelompok Umur di PTPN 6 Kabupaten Batanghari Propinsi Jambi. J Ilmiah Ilmu-Ilmu Pet 2: 68-73.
Gunawan, Hermwan B, Sumardi, Praptanti EP. 2004. Keragaan Model Pengembangan
Integrasi Sapi–Sawit pada Perkebunan Rakyat di Propinsi Bengkulu. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman–Ternak di Denpasar, Bali pada Tanggal 20–22 Juli 2004.
Liang JB. 2007. An overview of the use of oil palm by-products as ruminant feed in Malaysia.
In: Darmono, Wina E, Nurhayati, Sani Y, Prasetyo LH, Triwulanningsih E, Sendow I, Natalia L, Priyanto D, Indranigsih, et al., penyunting. Akselerasi Agribisnis Peternakan Nasional melalui Pengembangan dan Penerapan IPTEK. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 21-22 Agustus 2007. Bogor (Indonesia): Puslibangnak. hlm. 8.
Manti I, Azmi E, Priyotomo, Sitompul D. 2004. Kajian sosial ekonomi sistem integrasi sapi
dengan kelapa sawit (SISKA). hlm. 245−260. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit-Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Mathius IW. 2003. Perkebunan kelapa sawit dapat menjadi basis pengembangan sapi
potong. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25: 1-4. Mathius IW. 2008. Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit.
Pengembangan Inovasi Pertanian 1: 206-224. Matondang RH, Talib C. 2015. Model pengembangan sapi bali dalam usaha integrasidi
perkebunan kelapa sawit. Wartazoa. 25:147-157.
36
Nurhayati DP, Tiesnamurti B, Adinata Y. 2014. Ketersediaan sumber hijauan di bawah perkebunan kelapa sawit untuk penggembalaan sapi. Wartazoa 24: 047-054.Susetyo. 1980. Padang Penggembalaan. Departemen Ilmu MakananTernak. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Prayudi B, Ulfi N, Aribowo S. 2005. Pengembangan sistem integrasi sapi pada kawasan
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi. Prosiding Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi 2005. Puslitbang Peternakan . hlm. 123-127.
Reksohadiprodjo S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Edisi Ketiga.
BPFE. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Rosli BM. Wibawa W, Mohayidin MG, Adam BP, Juraimi AS, Awang Y, Lassim MB. 2010.
Management of Mixed Weeds in Young Oil-palm Plantation with Selected Broad-Spectrum Herbicides. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 33:193-203.
Rusnan H, Kaunang CL, Yohanis LRT. 2015. Analisis potensi dan strategi pengembangan
sapi potong dengan pola integrasi kelapa–sapi di Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. J Zootek. 35: 187-200.
Suboh I. 1997. Memaksimumkan pendapatan penanam kelapa sawit integerasi tanaman /
ternakan di ladang sawit. Seminar Pekebun Kecil Sawit/Eksekutif Estet Pamol, Sabah. PORIM, 27-29 April 1997.
Subagyono. 2004. Prospek pengembangan ternak pola integrasi di kawasan perkebunan.
Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar 20-22 Juli 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Bali dan Crop-Animal System Research Network (CASREN), Bogor.
Syahputra E, Sarbino, Dian S. 2011. Weeds assessment di perkebunan kelapa sawit lahan
gambut. Perkebunan & Lahan Tropika. J Tek. Perk & PSDL. 1: 37-42. Taufan P, Daru, Arliana Y, Eko W. 2014. Potensi hijauan di perkebunan kelapa sawit sebagai
pakan sapi potong di Kabupaten Kutai Kartanegara. J Pastura 3: 94-98. Teleni E, Campbell RSF, Hoffman D. 1993. Draught animal system and management: an
Indonesian study. ACIAR Monograph No. 19. Ulfi, N. 2005. Potensi dan peluang pengembangan sistem integrasi sawit-sapi di Provinsi
Jambi. Prosiding Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.hlm. 128-131.
Wijayanti RT, Mudakir B. 2013. Analisis keuntungan dan skala usaha perkebunan kelapa
sawit gerbang serasan. Diponegoro J. of economics. 2: 1-7.
37
Lampiran 1. Tenaga dan Organisasi Pelaksana
Tugas/ Jabatan
Nama & Gelar Bidang
Keahlian Instansi/Unit
Kerja
Alokasi Waktu
Jam/Bln
Penanggung Jawab Utama
Penelitian
Dr. Yenni Yusriani, SPt. MP
Pakan dan Nutrisi
BPTP Aceh 20
Penyuluh Ir. Elviwirda , MSi Budidaya BPTP Aceh 20
Peneliti Pertama
Eka Fitria, SP Farming Sistem
BPTP Aceh 10
Penyuluh Akram Hamidi, SSTp Peternakan BPTP Aceh 10
38
Lampiran 2. Anggaran
SATUAN URAIAN
HARGA SATUAN
JUMLAH
521211 Belanja bahan
- Bahan pendukung kegiatan, pelatihan dan temu lapang 2 kali
12.500.000
25.000.000
- Konsumsi pelatihan, temu lapang 100 OH 50.000 5.000.000
521213 Honor output kegiatan
- Upah harian lepas 590 OH 100 9.000.000
521811 Belanja barang untuk persediaan barang konsumsi
- Saprodi (benih, pupuk, dan obat obatan) 2 kali 40.000.000
80.000.000
- ATK dan komputer suplay 2 TRW 500.000 1.000.000
522151 Belanja jasa profesi
- Narasumber (5 org X 3 OJ) 9 OJ 500.000 4.500.000
524111 Belanja perjalanan biasa
- Perjalanan pelaksanaan kegiatan 17 OP 1.500.000 25.500.000
524114 Belanja perjalanan dinas paket meeting dalam kota
- Transport, uang saku pelatihan dan te
mu lapang 50 OH 150 7.500.000
Jumlah 200.000.000
39
Lampiran 3. Foto Kegiatan Dokumentasi Kegiatan
40
41
42