Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

15
TINJAUAN PUSTAKA II OPIOID EPIDURAL UNTUK ANALGESIA PASCA OPERASI Oleh: Rethia Meidi Arlina Syahril Peserta PPDS I Anestesiologi dan Terapi Intensif Pembimbing Dr. Darto Satoto, SpAnK Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 2006

Transcript of Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

Page 1: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

TINJAUAN PUSTAKA II

OPIOID EPIDURAL UNTUK ANALGESIA PASCA OPERASI

Oleh: Rethia Meidi Arlina Syahril

Peserta PPDS I Anestesiologi dan Terapi Intensif

Pembimbing

Dr. Darto Satoto, SpAnK

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 2006

Page 2: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

1

PENDAHULUAN

Lebih dari 40 juta prosedur operasi per tahun dilakukan di Amerika Serikat, dan

hanya satu dari empat kasus yang mendapat terapi yang tepat untuk mengatasi nyeri

pasca operasi.1 Nyeri pasca operasi adalah suatu pengalaman sensoris atau emosi yang

tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan yang terjadi

atau potensial terjadi. Hal ini dipengaruhi oleh faktor fisiologi maupun psikologi.

Biasanya disebabkan karena manajemen nyeri pasca operasi yang tidak adekuat.2 Nyeri

pasca operasi yang paling berat terjadi pada 24-36 jam pertama.1

Nyeri pasca operasi dapat mempengaruhi semua sistim organ, antara lain

pernapasan, kardiovaskular, muskuloskeletal, dan gastrointestinal. Pada sistim

pernapasan dapat terjadi berkurangnya batuk, atelektasis, retensi sputum dan hipoksemia.

Pada sistim kardiovaskular dapat terjadi peningkatan kebutuhan oksigen otot jantung dan

iskemia. Sedangkan pada sistim muskuloskeletal, rasa nyeri pasca operasi dapat

menyebabkan lambatnya mobilitas dan risiko terjadinya deep veins thrombosis.1,2 Nyeri

pasca operasi juga meningkatkan biaya perawatan medis dan yang paling penting adalah

memperlambat penyembuhan dan kembali ke aktivitas sehari-hari.3

Untuk mengetahui tingkat nyeri pasca operasi yang timbul, dapat digunakan

Visual Analogue Scales (VAS), Verbal numerical reporting scale, Categorical rating

scale.2

Terapi untuk nyeri pasca operasi dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu terapi non-

farmakologik dan terapi farmakologik. Terapi non-farmakologik dapat berupa terapi

relaksasi, hipnosis, terapi dengan cara pemanasan atau pendinginan, dan cara-cara lain.

Sedangkan terapi farmakologik dapat menggunakan analgesia sederhana seperti

parasetamol, analgesia golongan non steroid dan analgesia golongan opioid.2 Obat untuk

nyeri pasca operasi dapat diberikan secara oral, sublingual, rectal, subkutan,

intramuskular, intravena, patient-controlled analgesia (PCA) dan melalui intratekal atau

epidural.2,4

Bahasan kali ini lebih menekankan pada analgesia opioid yang diberikan melalui

epidural sebagai terapi untuk nyeri pasca operasi.

Page 3: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

2

SEJARAH

Meskipun penggunaan epidural analgesia untuk pasien obstetrik sudah mulai

digunakan secara luas sejak tahun 1970, tetapi teknik ini tidak digunakan untuk terapi

nyeri pasca operasi karena dapat menyebabkan hipotensi dan blok motorik.5

Reseptor opioid diidentifikasi di sistim saraf pusat pada tahun 1973 dan pada

tahun 1977 sejumlah reseptor ditemukan di medula spinalis terletak di substansia

gelatinosa cornu dorsalis.6,7 Pada tahun 1979, Wang dkk melaporkan tentang

penghilangan rasa nyeri pada pasien kanker dengan pemberian morfin intratekal. Pada

tahun yang sama, Behar dkk mendapatkan hasil yang sama dengan pemberian opioid ke

ruang epidural.6 Mulai tahun 1979, pemberian morfin dan opioid jenis lain kedalam ruang

epidural atau intratekal menjadi lebih populer di beberapa negara untuk terapi nyeri yang

lebih intens dan jangka panjang.7 Pada tahun 1988, dituliskan artikel pertama pada

majalah Anesthesiology mengenai acute pain service (APS) berdasarkan ilmu anestesi di

Amerika Serikat. Pada artikel tersebut dibahas oleh Dr. Ready dkk mengenai university

hospital based acute pain service, termasuk:

1. pemberian morfin bolus per epidural secara intermiten,

2. mengadakan program pelatihan untuk menilai VAS untuk nyeri pasca operasi dan

melatih perawat bangsal untuk memberikan morfin bolus per epidural bila nilai VAS

> 3/10,

3. menuliskan instruksi untuk melakukan monitoring dan deteksi dini serta tatalaksana

untuk mengatasi efek samping dan komplikasi dari terapi nyeri ini, dan

4. melakukan ronde bangsal dengan konsultan anestesi, residen, dan perawat APS serta

farmasis.

Hal terpenting dari konsep yang diterapkan oleh Ready dkk adalah infrastruktur yang

baik termasuk monitoring dan follow up pasien dengan baik, seiring dengan pelatihan

dari perawat di bangsal, ahli bedah, dan ahli anestesi dengan baik dan rasional dalam

mengatasi nyeri dapat meningkatkan kualitas penyembuhan dan mengurangi komplikasi

yang timbul.7

Page 4: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

3

PERBANDINGAN PENYUNTIKAN INTRATEKAL DAN EPIDURAL

Ketika opioid disuntikkan langsung ke dalam cairan serebrospinal, hanya

dibutuhkan dosis kecil karena tidak ada duramater yang harus dilewati dan absorpsi oleh

pembuluh darah yang berada ruang intratekal lebih lambat. Pemberian melalui cara ini

mampu menjaga konsentrasi opioid tetap di dekat tempat kerjanya sehingga lebih terbatas

pada medula spinalis.6

Jika dipilih untuk disuntikkan ke ruang epidural, dosis opoid harus lebih tinggi

daripada dosis pemberian intratekal untuk menghasilkan efek analgesia. Pada morfin,

dosis harus ditingkatkan sampai 10X pada pemberian epidural karena jumlah pembuluh

darah di ruang epidural lebih banyak sehingga opioid lebih banyak diserap ke pembuluh

darah dibandingkan dengan jumlah pembuluh darah di ruang intratekal yang lebih

sedikit.6

Setelah dilakukan penelitian pada manusia antara opioid intratekal dan epidural,

pemberian opioid melalui ruang epidural lebih banyak dipilih. Hal ini disebabkan oleh

adanya kateter epidural yang memudahkan pemberian obat dan dapat diberikan berulang

kali serta dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama. Sebagai tambahan,

beberapa efek samping yang muncul, termasuk yang terberat (depresi napas) lebih sering

muncul setelah penyuntikan intratekal daripada penyuntikan epidural.6

FARMAKOLOGI OPIOID PER EPIDURAL

Opioid yang disuntikkan ke ruang epidural akan berdifusi ke jaringan sekitarnya

termasuk jaringan lemak epidural dan pembuluh darah vena. Opioid yang berdifusi ke

jaringan lemak epidural tidak dapat berikatan dengan reseptor opioid dan menghasilkan

efek analgesia. Di dalam ruang epidural, opioid yang disuntikkan dapat menghasilkan

efek analgesia melalui 2 mekanisme (analgesia spinal dan supraspinal/sistemik). Untuk

menghasilkan analgesia melalui mekanisme supraspinal, opioid yang disuntikkan ke

ruang epidural akan terabsorbsi kedalam plasma di pembuluh darah dan diredistribusi ke

batang otak melalui aliran darah. Untuk menghasilkan analgesia melalui mekanisme

spinal, opioid harus berdifusi melalui lapisan meningen (dura mater dan arachnoid mater)

kedalam cairan serebro spinal (CSS). Interaksi yang terjadi antara physiochemical

properties dari lapisan meningen dan opioid bersifat sangat rumit dan permeabilitas

Page 5: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

4

lapisan meningen yang dilalui opioid tergantung pada banyak faktor, antara lain adalah

kemampuan opioid berikatan dengan lemak dan konstanta kelarutan (pKa). Setelah

berada dalam CSS, opiod akan berinteraksi dengan reseptor yang berlokasi di substansia

gelatinosa cornu dorsalis dari medula spinalis dan menghasilkan antinosiseptif melalui

pengurangan pelepasan neurotransmiter di presinaps dan hiperpolarisasi neuron di cornu

dorsalis dari postsinaps.6,8,9 Reseptor opioid yang terdapat di medula spinalis adalah

reseptor μ, σ, κ.9

Salah satu faktor farmakologi dari opioid yang disuntikkan ke ruang epidural

untuk menghasilkan efek analgesia dan efek samping adalah kemampuan opioid

berikatan dengan lemak. Beberapa bagian dari opioid yang disuntikkan ke ruang epidural

berdifusi ke lemak ekstradural dan tidak menembus duramater. Semakin lipofilik sifat

opioid tersebut, semakin cepat dan besar yang diikat oleh lemak. Setelah pemberian

opioid yang bersifat lipofilik ke ruang epidural, seperti fentanil dan sufentanil, biasanya

onset lebih cepat tetapi masa kerja lebih pendek dibandingkan dengan opioid yang

bersifat hidrofilik seperti morfin dan hydromorphone.6,8,9

Fentanil, meperidin dan methadon mempunyai pKa yang relatif tinggi. Karena hal

tersebut menyebabkan konsentrasi tinggi dari molekul yang tidak terionisasi bebas

berdifusi, sehingga menghasilkan onset yang cepat dan durasi kerja yang singkat. Morfin

dengan pKa yang lebih rendah memiliki konsentrasi yang rendah dari molekul yang tidak

terionisasi, sehingga menyebabkan onset yang lambat dan durasi kerja yang panjang.

Penambahan epinefrin pada morfin epidural, dilaporkan memberikan peningkatan onset,

kualitas dan durasi kerja dari analgesia serta intensitas efek samping dengan mengurangi

absorpsi sistemik.6

Tidak seperti opioid yang disuntikkan ke intratekal dan diharapkan memberikan

efek analgesia melalui mekanisme spinal, opioid per epidural tidak secara konsisten

menghasilkan efek analgesia melalui mekanisme spinal. Tingkat kerja opioid yang

bersifat lipofilik dalam menghasilkan efek analgesia melalui mekanisme spinal atau

supraspinal masih merupakan sebuah kontroversi. Meskipun beberapa data menyebutkan

bahwa fentanil per epidural untuk analgesia persalinan dapat menghasilkan efek analgesia

melalui mekanisme spinal, secara umum disebutkan bahwa opioid yang bersifat lipofilik

(terutama yang diberikan secara kontinu) akan menghasilkan efek analgesia melalui

Page 6: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

5

mengambilan sistemik dan redistribusi ke reseptor opioid di batang otak. Efek analgesia

karena mekanisme sistemik akan semakin nyata bila opioid yang bersifat lipofilik

disuntikkan ke ruang epidural secara terus menerus dan untuk jangka waktu yang

panjang. Sedangkan, tampak jelas bahwa efek analgesia yang ditimbulkan oleh opioid

yang bersifat hidrofilik adalah melalui mekanisme spinal. Setelah opioid yang bersifat

hidrofilik disuntikkan ke ruang epidural melewati lapisan dura kedalam CSS, opioid akan

tetap berada di CSS untuk menghasilkan efek analgesia melalui mekanisme spinal dan

menyebar kearah sefalad dan rostral untuk bekerja di batang otak. Penyebaran secara

rostral dari opioid hirofilik ini ke arah batang otak mungkin berhubungan dengan rasa

gatal di muka, rasa mual dan sedasi.8,9

Mekanisme metabolisme opioid yang disuntikkan ke intratekal atau epidural

masih belum jelas. Opioid epidural dikeluarkan dari tubuh melalui 2 jalur, absorpsi oleh

pembuluh darah pada pleksus vena yang ada di ruang epidural dan oleh pembuluh darah

yang ada di medula spinalis.6 Opioid yang lebih lipofilik akan lebih cepat dikeluarkan

sehingga membatasi beberapa efek samping seperti depresi napas lambat.8,9

PEMILIHAN OPIOID

Dosis dan durasi untuk menghasilkan efek analgesia bervariasi pada setiap pasien,

tergantung pada umur, kondisi medis, tempat pemasangan epidural, tipe nyeri dan faktor-

faktor lain. Dosis opioid untuk pasien geriatri membutuhkan dosis yang lebih kecil.6

Profil analgesia (durasi kerja obat dan efek samping obat) terutama tergantung

kepada kemampuan opioid berikatan dengan lemak. Obat yang bersifat hidrofilik seperti

morfin dan hydromorphone yang menghasilkan durasi kerja analgesia yang lebih panjang

dibandingkan obat yang bersifat lipofilik seperti fentanil dan sufentanil. Perbedaan

farmakokinetik analgesia antara opioid yang bersifat hidrofilik dan lipofilik harus

disesuaikan dengan prosedur operasi untuk mengoptimalkan kerja analgesia dan

meminimalisasi efek samping. Sebagai contoh, satu kali penyuntikan opioid yang bersifat

hidrofilik seperti morfin dapat memberikan efek analgesia selama 12-18 jam dan akan

berguna untuk analgesia pasca operasi pada pasien yang dirawat dengan pemantauan efek

samping yang baik. Pada pasien yang menjalani bedah rawat jalan, pemberian opioid

yang bersifat lipofilik seperti fentanil akan lebih sesuai karena onsetnya cepat dan durasi

Page 7: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

6

kerjanya singkat sehingga mengurangi risiko depresi napas lambat bila dibandingkan

dengan opioid yang bersifat hidrofilik.8

PENYUNTIKAN DOSIS TUNGGAL OPIOID EPIDURAL

Penyuntikan dosis tunggal opioid neuroaksial dapat memberikan efek analgesia

pasca operatif yang efektif, baik diberikan tanpa kombinasi maupun dikombinasikan

dengan obat lain seperti anestetik local atau agonis alpha-2.8

Opioid yang bersifat lipofilik dan hidrofilik dapat memberikan efek analgesia

yang cukup untuk pasca operasi bila diberikan dengan dosis tunggal. Jika dibandingkan

dengan pemberian fentanil intravena, pemberian fentanil per epidural pada 20 jam

pertama pasca op menunjukkan efek penghilang nyeri yang adekuat serta menghambat

respon fisiologi hormonal dan metabolic dengan mengamati kadar gula darah, tekanan

darah arteri dan kadar kortisol plasma pasca operasi.8

Pemberian dosis tunggal opioid lipofilik per epidural seperti fentanil dapat

memberikan efek analgesia pasca operasi dengan onset yang cepat antara 5-10 menit

tetapi relatif singkat durasi kerjanya (sampai dengan 4 jam). Pengenceran dosis fentanil

(biasanya 50-100 mcg) yang diberikan per epidural menjadi 10 ml dalam NaCl 0,9%

dapat mempercepat onset dan memperpanjang masa kerja analgesia disebabkan karena

peningkatan penyebaran dan difusi awal dari fentanil.8

Pemberian dosis tunggal opioid hidrofilik per epidural biasanya efektif untuk

analgesia pasca operasi jangka panjang. Morfin yang diberikan per epidural menunjukkan

efektifitas untuk analgesia pasca operasi untuk berbagai prosedur operasi termasuk

section caesaria dan operasi pembuluh darah utama abdomen.8

Penyuntikan obat dengan kombinasi opioid hidrofilik (morfin) dan opioid lipofilik

(fentanil) pada epidural akan mengkombinasikan onset yang cepat yang dihasilkan oleh

opioid lipofilik dan durasi kerja yang panjang yang dihasilkan oleh opioid hidrofilik.

Analgesia per epidural dapat juga digunakan sebagai preemptive analgesia

dengan memberikan analgesia sebelum muncul rangsang nyeri. Opioid per epidural yang

diberikan bersamaan dengan ketamin sebelum operasi menghasilkan penurunan

intervensi nyeri pasca operasi, termasuk peningkatan dosis epidural.8

Page 8: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

7

Pemberian per epidural (baik sebagai dosis tunggal atau epidural kontinu) opioid

hidrofilik efektif untuk pemasangan kateter epidural yang tidak sama dengan lokasi luka

operasi (contohnya kateter epidural di lumbal untuk operasi toraks). Dosis morfin per

epidural dikurangi pada pasien geriatri dan lokasi kateter epidural di daerah toraks.8

OPIOID EPIDURAL KONTINU

Opioid epidural kontinu akan memberikan analgesia pasca operasi yang efektif

untuk berbagai jenis operasi. Ketika digunakan tanpa campuran untuk analgesia pasca

operasi, analgesia opioid per epidural tidak menyebabkan blok motorik dan hipotensi

karena blok simpatik biasanya ditemukan pada pasien yang mendapat regimen dengan

menggunakan anestetik lokal. Serupa dengan opioid yang diberikan dengan dosis

tunggal, ada beberapa perbedaan klinis yang penting antara epidural kontinu dengan

opioid lipofilik (fentanil, sufentanil) dan opioid hidrofilik (morfin, hydromorphone). 8

Meskipun lokasi kerja analgesia opioid lipofilik yang tepat (spinal atau

supraspinal/sistemik) untuk epidural kontinu belum dapat dipastikan, banyak uji acak

terkontrol yang menyatakan bahwa opioid lipofilik yang diberikan pada epidural kontinu

menghasilkan analgesia melalui mekanisme supraspinal/sistemik. Pada percobaan

tersebut tidak ditemukan perbedaan konsentrasi plasma, efek samping dan skor nyeri

antara yang menerima fentanil intravena atau dengan epidural kontinu. Walaupun pada

beberapa penelitian didapatkan bahwa penggunaan fentanil pada epidural kontinu

memberikan keuntungan tetapi secara umum keuntungan pemakaian analgesia opioid

lipofilik pada epidural kontinu tidak terlalu menguntungkan kecuali pada kasus obstetrik.8

Sebaliknya, opioid hidrofilik yang diberikan dengan epidural kontinu

menghasilkan efek analgesia terutama melalui mekanisme spinal. Serupa dengan opioid

hidrofilik yang diberikan dengan dosis tunggal, opioid hidrofilik yang diberikan dengan

epidural kontinu dapat memenuhi kebutuhan analgesia pasca operasi walaupun letak

kateter tidak sama dengan luka operasi dan efek samping yang sama bila digunakan

bersama dengan anestetik lokal. Penggunaan morfin pada epidural kontinu dapat

memberikan efek analgesia yang kuat jika dibandingkan dengan opioid sistemik atau

bolus intermiten per epidural.8

Page 9: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

8

Meskipun opioid yang diberikan per epidural kontinu dapat digunakan tanpa

campuran dan efektif untuk mengontrol nyeri pasca operasi, tetapi biasanya opioid per

epidural kontinu diberikan bersamaan dengan anestetik lokal.8

Dosis, onset dan durasi kerja opioid yang biasa digunakan untuk pemberian

epidural dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Dosis, onset dan durasi opioid epidural6,8 Dosis Tunggal Epidural Kontinu Onset (mnt) Durasi (jam) Fentanil 50 – 100 mcg 25 – 100 mcg/jam 5 4 – 6 Sufentanil 10 – 50 mcg 10 – 20 mcg/jam Alfentanil 0,5 – 1 mg 0,2 mg/jam Morfin 1 – 5 mg 0,1 – 1 mg/jam 30 6 – 24 Diamorphine 4 – 6 mg - 5 12 Hydromorphone 0,5 – 1 mg 0,1 – 0,2 mg/jam 15 10 – 16 Meperidin 20 – 60 mg 10 – 60 mg/jam 5 6 – 8 Methadone 4 – 8 mg 0,3 – 0,5 mg/jam 10 6 – 10

KOMBINASI OPIOID DAN ANESTETIK LOKAL

Kombinasi anestetik lokal dan opioid lebih menguntungkan dalam menghasilkan

analgesia dibandingkan dengan penggunaan masing-masing obat sendiri walaupun

insiden efek samping tidak dapat dihilangkan. Hal ini disebabkan karena anestetik lokal

dan opioid bekerja pada tempat yang berbeda, anestetik lokal pada akson saraf dan opioid

pada reseptor opioid di spinal dan supraspinal. Bupivakain merupakan pilihan yang

cukup baik, karena pada pengenceran tertentu, blok motorik yang terjadi minimal.6,8

Cullen dkk, membandingkan kombinasi bupivakain 0,1% dan morfin 0,01%

diberikan secara kontinu dengan kecepatan 3-4 ml/jam dengan bupivakain atau morfin

dengan dosis yang sama. Pada pasien yang menggunakan kombinasi bupivakain dan

morfin, didapatkan efek analgesia yang jauh lebih baik dibandingkan dengan pasien yang

mendapatkan bupivakain saja. Angka kejadian timbulnya pruritus lebih tinggi pada

kelompok pasien yang mendapat morfin dibandingkan kelompok yang mendapat

kombinasi morfin dan bupivakain.6

Pemilihan opioid bervariasi antara dokter; beberapa orang dokter akan memilih

opioid lipofilik (fentanil 2-5 mcg/ml atau sufentanil 0,5-1 mcg/ml) sebagai regimen untuk

epidural PCA untuk memperoleh efek analgesia yang cepat, tetapi penggunaan opioid

hidrofilik (morfin 0,05-0,1 mg/ml atau hydromorphone 0,01-0,05 mg/ml) dikombinasikan

Page 10: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

9

dengan anestetik lokal untuk menjadi regimen yang efektif untuk analgesia pasca

operasi.8

EFEK SAMPING OPIOID EPIDURAL

Seperti dengan yang tampak ketika diberikan secara sistemik, opioid epidural

memberikan efek samping depresi pernapasan, pruritus, mual dan muntah serta efek

sedasi. Beberapa efek samping tergantung pada dosis yang diberikan. Efek samping obat

sedikit berbeda antara opioid hidrofilik dan lipofilik per epidural. Hipotensi jarang

berhubungan dengan pemberian opioid epidural dan perbedaan frekuensi nadi dan

tekanan darah arteri rata-rata antara opioid sistemik dan epidural sangat minimal. Penting

juga untuk selalu mempertimbangkan penyebab lain dari efek samping karena opioid

epidural. Sebagai tambahan protokol untuk pemantauan status neurologi (sensoris dan

fungsi motorik) dan efek samping dari dokter harus jelas dan sudah distandarisasi untuk

semua pasien yang menerima opioid per epidural kontinu.6,8

Depresi Pernapasan: Depresi pernapasan sering terjadi setelah pemberian opioid

epidural. Depresi pernapasan yang berhubungan dengan pemberian opioid epidural dan

intratekal tergantung dosis pemberian dan insiden yang dilaporkan berkisar antara 0,1-

0,9%. Dengan penggunaan dosis yang tepat, insiden depresi pernapasan karena opioid

epidural tidak lebih tinggi daripada pemberian opioid sistemik. Penggunaan opioid

melalui epidural kontinu juga tidak menunjukkan insiden depresi pernapasan yang lebih

tinggi daripada pemberian opioid sistemik. Ada beberapa kontroversi mengenai

pemantauan ketat pada pasien yang mendapat opioid hidrofilik melalui epidural kontinu

untuk mengawasi kemungkinan terjadinya depresi pernapasan, walaupun sebuah studi

skala besar menunjukkan bahwa opioid hidrofilik dengan pemberian epidural kontinu

mengalami angka insiden depresi pernapasan kurang dari 0,9%.8

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi pernapasan pada pasien

yang mendapat opioid epidural termasuk:8

• Operasi toraks

• Adanya komorbiditas

• Peingkatan usia

Page 11: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

10

• Opioid-naive state

• Penggunaan opioid sistemik dan sedatif jangka panjang

Ada beberapa perbedaan profil depresi pernapasan antara opioid lipofilik dan hisrofilik.

Opioid lipofilik yang disuntikkan ke ruang epidural berhubungan dengan cepat

menyebabkan depresi pernapasan (biasanya sampai dengan 2 jam setelah pemberian)

dibandingkan opioid hidrofilik karena opioid lipofilik secara cepat diabsorbsi oleh

sistemik dari pleksus vena epidural dan diteruskan ke otak dan pusat pernapasan sehingga

onset dan waktu pulih opioid yang terjadi relatif lebih cepat.6,8

Sebaliknya, waktu mulai depresi pernapasan setelah pemberian opioid hidrofilik

per epidural lebih lambat dibandingkan pemberian opioid lipofilik. Opioid hidrofilik per

epidural terutama dihantarkan ke otak lebih lambat melalui migrasi rostral di cairan

serebro spinal daripada opioid lipofilik lebih cepat diserap secara sistemik. Penyebaran

sefalad opioid hidrofilik biasanya terjadi antara 12 jam setelah penyuntikan. Depresi

pernapasan setelah penyuntikan opioid hidrofilik biasanya antara 6-12 jam. Menilai

frekuensi pernapasan saja tidak cukup untuk menentukan status ventilasi pasien atau

ancaman depresi pernapasan. Pemberian nalokson (0,1-0,4 mg bertahap) secara umum

efektif untuk memulihkan depresi pernapasan yang terjadi. Penyuntikan kontinu nalokson

(0,5-5 mcg/kg/jam) dapat dibutuhkan karena jangka durasi kerja nalokson lebih pendek

daripada efek depresi pernapasan karena opioid epidural.6,8

Mual dan muntah: mual dan muntah terjadi 20-50% setelah pemberian dosis tunggal

opioid epidural dan 45-80% setelah pemberian opioid epidural kontinu. Angka kejadian

mual dan muntah karena opioid epidural tergantung pada dosis pemberian. Mual dan

muntah akibat opioid epidural adalah hasil dari interaksi antara opioid reseptor di area

postrema dan zona kemotaktik di medulla. Terapi untuk mual dan muntah yang

dicetuskan oleh opioid termasuk nalokson, droperidol, metoklopramid, deksametason,

skopolamin transdermal dan propofol dosis kecil.6,8

Pruritus: Etiologi pruritus yang dicetuskan oleh opioid epidural masih belum jelas dan

mungkin berhubungan dengan aktivasi pusat gatal di medulla, interaksi reseptor opioid di

nucleus trigeminus dan medulla spinalis servikalis atas dengan migrasi opioid ke arah

Page 12: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

11

sefalad. Walaupun demikian, pruritus yang dicetuskan oleh opioid epidural tidak

diakibatkan karena pelepasan histamin di perifer. Angka kejadian pruritus akibat opioid

epidural sebesar 60%, sedangkan angka kejadian pruritus yang diakibatkan oleh

penggunaan opioid sistemik sebesar 15-18%. Walaupun pruritus yang dicetuskan oleh

opioid epidural belum pasti karena dosis yang berlebih, tetapi beberapa penelitian lain

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara dosis yang diberikan dan pruritus yang

timbul. Pruritus dapat terjadi di seluruh tubuh atau hanya pada lokasi tertentu saja, lokasi

yang paling sering timbul pruritus adalah pada wajah. Naloxone, naltrexon, nalbuphine,

dan droperidol adalah terapi yang digunakan untuk mengatasi pruritus akibat opioid

epidural. Penggunaan morfin per epidural dapat menyebabkan reaktivasi herpes simpleks

labialis pasca partus.6,8

Retensi Urin: Pemberian opioid epidural dapat menyebabkan retensio urine yang

diakibatkan oleh penurunan kekuatan kontraksi otot detrusor karena aktivasi reseptor

opioid spinal. Angka kejadian retensi urin akibat opioid epidural 70-80%, jauh lebih

tinggi jika dibandingkan dengan pemberian secara sistemik yakni 18%. Retensi urin lebih

sering terjadi pada pria. Munculnya retensi urin karena opioid epidural tidak tergantung

pada dosis opioid. Naloxone dosis rendah efektif untuk mengatasi retensi urin yang

dicetuskan opeh penggunaan opioid epidural, tetapi dapat menghilangkan efek

analgesianya juga.6,8

Sedasi: Ketika pasien mendapat opioid intraspinal maka dapat terjadi sedasi yang dalam,

sehingga menyebabkan hiperkarbia dan harus segera diatasi. Tetapi harus disingkirkan

penyebab lainnya seperti obat-obatan antiemetik. Sedasi yang terjadi biasanya

berhubungan dengan dosis opioid yang diberikan, hal ini disebabkan karena penyebaran

obat di CSS ke reseptor di talamus, sistim limbik atau korteks. Untuk mengatasi hal ini

dapat diberikan fisostigmin 1 mg IV dan akan memberikan hasil yang baik, walaupun

kadang terapi farmokologik tidak diperlukan.6

Page 13: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

12

EVALUASI

Setelah kita memilih jenis opioid yang kita gunakan, maka perlu dilakukan suatu

evaluasi untuk mengetahui apakah tehnik dan obat tersebut sudah sesuai dengan

kebutuhan pasien.

Metodologi yang paling sering digunakan untuk evaluasi adalah visual analogue

scale (VAS). Cara ini mudah digunakan, mudah didapatkan hasilnya dan dapat digunakan

pada berbagai keadaan. Kerugian dari cara ini adalah terbatasnya informasi yang

menghubungkan hasil statistik dengan klinis pasien dalam hal berkurangnya rasa nyeri.10

Cara penggunaan metodologi ini dengan menggunakan garis sepanjang 100 mm

yang pada kedua ujungnya dituliskan keterangan tentang nyeri, dimulai dari tidak nyeri

sama sekali pada ujung garis sebelah kiri dan nyeri paling hebat di ujung garis sebelah

kanan, seperti terlihat pada gambar 1. Pasien akan memberikan tanda pada garis sesuai

dengan rasa nyeri yang dirasakan. Lalu dinilai dengan cara mengukur panjang jarak dari

ujung garis sebelah kiri dan tanda yang dituliskan oleh pasien, dalam milimeter.11

Gambar 1. skala yang digunakan dalam sistim VAS

Tidak nyeri

Nyeri hebat

Page 14: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

13

KESIMPULAN

1. Opioid yang diberikan melalui kateter epidural ke ruang epidural adalah salah satu

pilihan yang baik untuk terapi analgesia pasca operasi.

2. Kemampuan berikatan dengan lemak dan konstanta kelarutan (pKa) menentukan

profil analgesia dan efek samping pada obat-obatan opioid epidural.

3. Opioid yang diberikan secara epidural akan bekerja melalui mekanisme spinal dan

suprasinal/sistemik.

4. Opioid hidrofilik dosis tunggal dapat memberikan efek analgesia yang lebih panjang

daripada opioid lipofilik.

5. Morfin dengan campuran anestetik lokal pada epidural kontinu dapat menjadi

analgesia pasca operasi yang baik.

6. Opioid epidural memberikan efek samping yang sama dengan pemberian opioid

secara sistemik. Beberapa efek samping tergantung pada dosis pemberian. Ada

beberapa perbedaan pada efek samping yang timbul antara opioid lipofilik dan

hidrofilik.

7. Dokter mengukur dosis opioid untuk mengurangi efek samping yang timbul.

Page 15: Opiod Epidural Untuk Analgesia Pasca Operasi

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Nazarian, D. Updates on advances in peri-operative acute pain management in the

surgical patients. In: Business Briefing: Global Surgery, 2004: 71-72.

2. Postoperative pain. On: http://www.surgical-tutor.org.uk/default-

home.htm?core/preop2/postop_pain.htm~right. 2006.

3. Post-surgical pain. On: http://www.surgeryencyclopedia.com/Pa-St/Post-Surgical-

Pain.html. 2006.

4. The management of postoperative pain. On :

http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_003.htm. 1997.

5. Williams B, Wheatley R. Epidural analgesia for postoperative pain relief. In Bulletin

2 The Royal College of Anaesthetists, July 2000: 68-71.

6. Ready LB. Regional analgesia with intraspinal opioids. In: Bonica J. The

Management of Pain. Philadelphia. Lea & Febiger. 1990: 1967-1977.

7. Stevens R, Ghazi S. Post-operative epiduralAnalgesia: What have we learned over the

past ten years?. On: http://www.dcmsonline.org/jax-

medicine/1998journals/december98. 1998.

8. Casey Z, Wu CL. Epidural opioids for postoperative pain. In: Benzon HT, Raja SN,

Molloy RE, et al. Essentials of Pain Medicine and Regional Anesthesia. 2nd ed.

Churchhill Livingstone. 2004: 246-250.

9. Slover RB, Phelps RW. Opioid and nonopioid analgesics. In: Brown DL. Regional

Anesthesia and Analgesia. 1st ed. Phyladelphia. WB Saunders company.1996:143-

154.

10. Kelly AM. The minimum clinically significant difference in visual analogue scale

pain score does not differ with severity of pain

http://emj.bmjjournals.com/cgi/content/full/18/3/205. 2001.

11. Visual Analogue Scales (VAS). On:

http://www.vet.ed.ac.uk/animalpain/Pages/VAS.htm. 2004