Oleh Budi Sulistiono
Transcript of Oleh Budi Sulistiono
PERANAN PONDOK PESANTREN DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
(disampaikan dalam acara Milad Pondok Pesantren Darul Falah,di desa Carenang
Udik, Kec Kopo, Tangerang, Banten,02 April 2011)
Oleh Budi Sulistiono
Muqaddimah
Sungguh aneh, jika kita sering membicarakan “Kesultanan”, tapi tak sesering kita
mengingat apalagi membicarakan proses bagaimana kesultanan itu dibentuk ?
bagaimana kesultanan itu dibangun ? Paling tidak, dari soal awal kedatangan
masyarakat Muslim di wilayah Nusantara, kemudian berkembang, hingga
terwujudnya sebuah kekuatan politik dalam wujud Kesultanan adalah hasil jihad wal-
ijtihad dari banyak profesi, (a.l. ekonom, Ustadz, Kyai, guru, Tuan Guru, Ajeungan,
Teungku, ulama, politikus, saudagar, dsb). Dan untuk sampai terwujudnya SDM
professional Muslim, tentu tidak sedikit di wilayah Nusantara pernah terselenggara
wadah untuk menimba ilmu pengetahuan. Pondok Pesantren dan atau yang semisal
(dayah, Surau, madrasah) adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara yang
telah berperan aktif sebagai salah satu pusat menimba ilmu pengetahuan, benteng
pertahanan Ummat Islam, pusat dakwah, dan pusat pengembangan masyarakat
Muslim dan sekitarnya di Nusantara.
Pesantren, dayah, surau, sejak sebelum era penjajahan Belanda adalah satu-satunya
lembaga pendidikan agama Islam yang tersedia. Dengan datangnya Bangsa kolonialis-
imperialis (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Jepang) lembaga ini, di samping
berfungsi sebagai penjaga nilai-nilai keagamaan dan semangat independen -
sebagaimana tersimpan dalam lembaran sejarah Nusantara, peranan ulama dan guru
agama dalam pergerakan rakyat garis depan perlawanan bersenjata. Pesantren diakui
secara umum telah menjadi benteng perlawanan, antara lain – kasus di Jawa,
berkulminasi pada bantuan dan dukungan kepada Pangeran Diponegoro – saat itu
pesantren banyak menampung para pengikutnya yang masih bersikap non-kooperatif
terhadap penjajah dan vazal-vazalnya. Keseluruhan sikap hidup, tata nilai struktur
sosial yang dimiliki pesantren jelas menunjukkan fungsi perlawanan ini, seperti dapat
disimpulkan dari studi Sartono Kartodirdjo1 tentang "gerakan protest di pedalaman
Jawa" di abad yang lalu dan permulaan abad ini.
Sekarang, berbagai alasan fungsional dari kehadiran dan pentingnya peranan lembaga
pendidikan agama, pesantren sebagai sub-kultur masyarakat Islam tidak mau
kehilangan validitasnya. Persoalan yang muncul adalah, dalam rentangan waktu yang
panjang, mengapakah pesantren-pesantren di Jawa, misalnya masih atau tetap
memperlihatkan vitalitasnya ? Dimana letak kekuatan pesantren ? Makalah dengan
judul di atas hendak memahami letak kekuatan pesantren di Jawa.
B.Pengertian, dan Sejarah Pertumbuhan
Pesantren adalah lembaga pendidikan dan keagamaan yang sangat tua, dan telah ada
jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia. Istilah "Pesantren" berasal dari kata santri,
yang mendapat awalan 'pe' dan akhiran 'an', berarti 'tempat tinggal para santri'.
Menurut C.C.Berg2, istilah 'santri' berasal' dari kata 'shastri' (dalam bahasa India berarti
'orang yang mengerti isi buku suci agama Hindu'). Sumber lain menyatakan, kata
Pesantren berasal dari bahasa India “shastri” dari asal kata Shastra yang berarti buku-
buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Sebutan
1 Kartodirdjo, Sartono, Protest Movements in Rural Java : A Study of Agrarian A Unrest in
the Nineteenth and Early Twentieth Centuries, (Singapore: Oxford University Press: Institute of
South East Asian Studies, 1973). 2 Berg, CC., “Indonesia”, dalam HAR Gibb, (ed), Wither Islam ? A Survey of Modern
Movements in the Moslem World, (London, 1932).
untuk pelajar yang mencari ilmu bukan murid seperti dalam tradisi sufi, atau thalib
atau tilmidh seperti dalam bahasa Arab, tapi santri yang berasal dari bahasa sanskrit
(san= orang baik; tra= suka menolong), lembaga tempat belajar itu pun kemudian
mengikuti akar kata santri dan menjadi pe-santri-an atau pesantren.
Mengikuti pengertian ini, timbul perdebatan tentang keberadaan pesantren pada masa
pra-Islam atau masa Islam, di Indonesia. Bukti pesantren sebagai lembaga pendidikan
dan keagamaan sebelum datangnya Islam ke Indonesia diperkuat oleh penelitian
I.J.Brugman dan K.Meys, yang menyimpulkan bahwa pesantren lebih tua dari
kehadiran Islam di Indonesia. Ia bersumber dari tradisi penghormatan santri kepada
guru, tata hubungan antara keduanya yang tidak didasarkan kepada uang, sifat
pengajaran yang murni agama dan pemberian tanah oleh negara kepada para guru dan
pendeta. Gejala lain yang menunjukkan asal non-Islam pesantren ialah kenyataan,
bahwa pesantren tidak terdapat di negara-negara Islam sekarang selain di Indonesia;
sedangkan lembaga-lembaga yang dapat dipersamakan dengan pesantren kini masih
hidup terus di India yang Hindu, dan di Burma serta Muangthai yang Buddha3.
Setelah Islam masuk ke wilayah Nusantara, pesantren dimodifikasi menjadi lembaga
keislaman. Ini wujud nyata strategi dakwah bil hal, dan nyatanya hingga kini - kian
berkembang pesat, baik jumlah maupun kedudukannya, yang tidak lagi hanya terbatas
pada kependidikan dan keagamaan semata, tetapi juga merupakan lembaga
kemasyarakatan dan pusat perjuangan politik ummat Islam di zaman penjajahan
Belanda sampai Indonesia merdeka.
Di era Indonesia merdeka, Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di wilayah
Nusantara, nyata pesat perkembangannya hingga sekarang. Ini salah satu bukti dan
sulit dipungkiri oleh siapa pun bahwa sistem pendidikannya tetap dapat diterima di
3 Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjahmada University
Press, 1981), h.275.
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kebanyakan pesantren didirikan sebagai salah
satu bentuk reaksi terhadap pola kehidupan tertentu yang dianggap rawan, dan
dengan demikian berdirinya pesantren itu sendiri juga menjadi salah satu bagian dari
transformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu sangat panjang.4 Statement ini
sekaligus mengkritisi pendapat Martin van Bruinessen “lembaga yang layak disebut
pesantren belum berdiri sebelum abad ke-18 M… dan belum ada lembaga semacam
pesantren di Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok sebelum abad ke-205. Menurutnya,
transmisi ilmu keislaman di luar Jawa (Kalimantan, Sulawesi, Lombok) sebelum abad
ke-20 masih sangat informal. Anak-anak dan orang dewasa belajar membaca dan
menghafal al-Qur’an dari orang-orang kampung yang telah lebih dulu menguasainya.
Pesantren sebagaimana lembaga-lembaga Islam yang vital seperti "dayah" dan
"meunasah" di Aceh, "surau" di Minangkabau dan Semenanjung Malaya - kebanyakan
masih tetap merupakan kubu-kubu terkuat tasawuf, abad ke-18. Dan lembaga-lembaga
Islam semacam ini telah tumbuh menjadi institusi supra desa, yang mengatasi
kepemimpinan, kesukuan, sistem adat tertentu, kedaerahan dan lainnya6. Mereka
tumbuh menjadi lembaga Islam yang universal, yang menerima guru dan murid tanpa
memandang latar belakang suku, daerah, dan semacamnya, sehingga mereka mampu
membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan praktek keagamaan dalam
berbagai tingkatan. Seperti juga para penuntut ilmu di Timur Tengah pada masa-masa
awal, guru, terutama murid-murid lembaga-lembaga pendidikan Islam di Asia
4 pesantren Tegalsari merupakan pesantren tertua dan masih eksis, didirikan
1742.
5 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999),cet.ke-III, hlm.25. 6 Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam akan lebih terkenal
perananannya apabila murid-muridnya berasal dari daerah-daerah yang radiusnya dari
pesantren tersebut, makin besar dan makin jauh.
Tenggara ini, adalah para penuntut ilmu yang mengembara dari satu surau ke surau
lain atau dari pesantren satu ke pesantren lain guna meningkatkan pengetahuan
keislaman mereka7.
Mengingat umurnya yang tua dan luasnya penyebaran pesantren dapat difahami
bahwa pengaruh lembaga ini pada masyarakat sekitarnya sangat besar. Banyak
peristiwa sejarah abad ke-19 yang menunjukkan betapa besar pengaruh pesantren
dalam mobilisasi masyarakat pedesaan untuk aksi-aksi protes terhadap masuknya
kekuasaan birokrasi kolonial Eropa di pedesaan8. Aksi-aksi protes mereka hingga
melahirkan pemberontakan9 dan meletuslah, misalnya "Geger Cilegon" juga terkenal
dengan "Perang Wasid" (1888), di Banten. Kenyataan ini sebagai wujud komitmen
sosial pesantren kepada masyarakat sudah terbukti dari masa ke masa, bahkan dari
abad ke abad.
Selain memperlihatkan jumlah yang sangat besar, pesantren dalam perkembangannya,
juga telah mengalami corak perkembangan yang beraneka-ragam. Perkembangan itu
meliputi kurikulum, metode mengajar, dan kelembagaan. Dalam kurikulum terdapat
7 Azyumardi Azra, Renaissans Islam Asia Tenggara, (Bandung: Rosydakarya, 1999 ).
8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan), cet.ke-3,
1991: 247) 9 Dua pemberontak yang paling menonjol ialah Tumenggung Muhammad dan Mas
Zakaria. dan kawan-kawan selama dua puluh tahun (1820-1840) terus menerus
membangkitkan huru-hara sampai berhasil mengepung Pandeglang dan Serang. Sejak 1840
gerakan-gerakan mulai reda, di satu pihak secara sporadik keamanan masih diganggu oleh
"perbanditan" dari Sahab, Conat, Ija, Sakan dan Kemodin, dan pihak lain secara berkala
meletus huru-hara yang berpusat di tempat-tempat tertentu, seperti Cikandi Udik (1845),
geger A.Wahya (1850), affair Usap (1851), affair Pungut (1862), peristiwa Kolelet (1866), dan
peristiwa Jayakusuma (1869); lihat Sartono Kartodirdjo, "Berkunjung ke Banten Satu Abad
Yang Lalu (1879-1888)", makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Perjuangan KH Wasyid
dan Para Pejuang Banten 1888, Serang 9-18 September 1988;
perkembangan sejak 1906 ketika Kasunanan Surakarta mendirikan Mambaul-Ulum10.
Dalam "metode mengajar" - atau cara pemberian pelajarannya, ada perkembangan dari
sistem salaf ke sistem madrasi11. Pesantren Tebuireng (sejak 1916), misalnya telah
menerapkan sistem madrasi kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren lain, antara
lain pesantren Salafiyah di Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, sejak 1925.
Dengan demikian di dalam pesantren telah terjadi perkembangan dan sudah dimulai
sejak awal abad ke-20. Ini berarti, pesantren dapat memetik hasil yang sangat positif
dari sistem madrasah – sebagai langkah alternatif para kyai mengkonsolidasikan
kedudukan pesantren dalam menghadapai perkembangan sekolah-sekolah agama.
Dalam tahun 1920-an dan 1930-an jumlah pesantren besar dan santri-santrinya
melonjak berlipatganda12. Sebelum tahun 1920-an, pesantren-pesantren besar hanya
mempunyai sekitar 200 santri. Dalam permulaan tahun 1930-an banyak pesantren,
seperti Pesantren Tebuireng, mempunyai jumlah murid lebih dari 1500 orang. Selain
itu, walaupun jumlah sekolah-sekolah yang didirikan Belanda terus menerus
bertambah, namun pendidikan tingkat menengah sampai tahun 1940 masih sangat
terbatas bagi penduduk golongan Eropa. Menurut catatan van den Berg, 1885 hanya
300 buah kemudian meningkat menjadi. 4.752 buah di seluruh Indonesia dengan
jumlah 830.850 santri, setelah berkembang satu abad kemudian. Jumlah ini meningkat
menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 santri pada tahun 198113. Dua puluh tahun
kemudian, pesantren mengalami pertumbuhan yang pesat, yakni 9.413 buah pesantren,
10 Mambaul Ulum di Surakarta, adalah tempat untuk mendidik calon-calon pejabat
agama, dengan memasukkan kurikulum Barat ke dalam pendidikan agama. Pada waktu yang
hampir bersamaan terjadi perkembangan serupa di Sumatera Barat. 11 Dalam sistem madrasi, di Jawa sudah diberlakukan sistem kelas atau tingkatan-
tingkatan pendidikan (Steenbrink, 1986: 102). 12 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, ,
(Jakarta LP3ES, 1982). 13 Yacub, HM., 1985, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa,
(Bandung;Penb.Angkasa, 1985), hlm. 68.
dengan jumlah santri 1.775.768 orang14. Pertanyaan yang muncul adalah, di mana letak
kekuatan pesantren sehingga nampak tetap eksis bahkan semakin meningkat
jumlahnya baik yang tradisional maupun modern untuk selalu isitqomah menjaga
keberlangsungan penyelenggaraan pengajaran dan pendidikannya ?
Pada tahun 1970-an banyak pesantren menerapkan SKB Tiga Menteri (juga dikenal
dengan pola kurikulum pemerintah). Sekalipun demikian mereka tetap
mempertahankan sistem pengajaran dengan sistem bandongan dan sistem sorogan.
Ada sebagian yang lain yang tidak menyesuaikan kurikulumnya dengan pola
kurikulum pemerintah, tapi membuat kurikulum sendiri yang sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai. Kenyataan ini terjadi di pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo.
Pesantren ini telah memberlakukan sistem madrasi sejak 1926. Kondisi nyata ini telah
menunjukkan perkembangan pesantren. Dengan kondisi tersebut, kadang-kadang
terasa sangat sulit membuat gambaran suatu pola pesantren dan lebih sulit lagi
mengadakan generalisasinya. Lebih-lebih pada tahap berikutnya, di pesantren-
pesantren juga didirikan sekolah umum (SMP, SMU), dan perguruan tinggi. Namun,
dengan mengesampingkan karakteristik masing-masing, setidaknya pesantren dapat
ditandai minimal elemen pendukungnya, yakni pondok, masjid, santri, pengajaran
kitab-kitab Islam klasik karangan ulama tertentu, dan kyai15. Melalui elemen
pendukungnya, di dalam pesantren senyatanya telah terjadi pengolahan potensi diri
individu-individu santri di bawah bimbingan keteladanan kyai dan para guru
pendampingnya. Dengan kata lain, di sinilah letak eksistensi kekuatan
penyelenggaraan pendidikan pesantren dari masa ke masa telah berhasil menerapkan
kurikulumnya yang tidak membatasi dirinya pada pelajaran atau kitab-kitab yang
dipakai, tapi keseluruhan kegiatan di dalam asrama atau pondok.
14 Depag,RI, Booklet tentang Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Direktorat
Pembinaan Perguruan Agama Islam, Dijend.Binbaga Islam, Depag RI,1998.) 15 Dhofier, Zamakhsyari, Ibid, hlm.44
C. Eksistensi dan Kesinambungan Kepesantren-an
Pesantren selain memiliki "lingkungan, ia juga "milik" lingkungannya. Bahkan hingga
sekarang Pesantren tak putus-putusnya mempunyai hubungan fungsional dengan
desa-desa di sekitarnya, dalam pendidikan agama, kegiatan sosial, dan kegiatan
ekonomi. Dalam pada itu, kini bukan saatnya untuk berandai-andai untuk lebih
mencermati peran-perannya dalam aksi melawan kolonial Eropa, misalnya, namun
yang mendesak justru upaya-upaya kita lebih mau mengerti tentang "bagaimana strategi
kyai/ulama tempo dulu melalui jalur pesantren dengan potensi yang dimiliki berhasil
menularkan kreativitasnya kepada masyarakat pedesaan dan lingkungan lainnya "?. Penelitian
lebih jauh sudah saatnya dilakukan lebih awal bahkan diperlukan untuk melacak akar
genealogi intelektual mereka di dalam mensistematisasi16 pengetahuan menjadi ilmu
melalui usaha klasifikasi dan penciptaan metodologi empirik, kuantitaf dan
eksperimental. Wujud kreativitas keulamaan mereka itu dapat dicermati dalam
berbagai kegiatan, misalnya dakwah, wirausaha, organisasi, dan sebagainya sehingga
kita memperoleh gambaran yang lebih utuh.
Agaknya, informasi varian aktivitas keulamaan masyarakat tersebut akan bisa pula
dijadikan indikasi perkembangan Islam dalam varian kelompok dari masa ke masa
yang sangat berpengaruh dalam berbagai wilayah. Dengan kata lain, kajian ini
bermaksud menegaskan kembali peranan Islam dengan daya dukung pesantren, dan
masyarakat di dalam perkembangan sejarah ilmu secara nasional maupun
internasional, bahkan kini pun bukanlah sesuatu yang mubadzir. Misalnya,
"keteladanan tokoh tertentu" dapat dicermati lebih lanjut antara lain Imam
Muhammad Nawawi Tanara dikenal dengan Imam Nawawi al-Banteni, seorang ulama
besar yang juga banyak menulis kitab, pernah menjadi panutan (guru) sejumlah ulama
16 kata "sistematisasi" berarti disusun secara teratur mengenai sesuatu bidang
tertentuyang jelas batas-batasnya mengenai sasaran, cara kerja, dan tujuannya.
terkenal seperti KH Hasyim Asy'ari (Rais Akbar NU), Jombang; KH Kholil Bangkalan,
Madura (guru KH Syamsul Arifin - Mustasyar Am NU), KH Asnawi Caringin asal
Labuan, TRIMURTI (KH Ahmad Sahal, KH Imam Zarkasyi, KH Zainuddin Fanani)
Pendiri Pondok Modern Gontor-Ponorogo, dan sejumlah ulama lainnya.
Dengan mengambil tamstil tokoh-tokoh di atas pengingatan kita ke arah pesantren -
untuk saat ini tidaklah juga mubadzir, justru malah strategis. Alasannya:
Pertama, Pesantren sebagai lembaga sosial yang berada di akar bawah mempunyai
peranan strategis dalam melaksanakan cita-cita pembangunan yang memerlukan peran
serta masyarakat dan perencanaan dari bawah. Nah, sebagai upaya pelestarian peranan
dan keberadaan pesantren, sebagai langkah awal, sangat simpatik untuk memulai
klasifikasi ke arah pemetaan perkembangan lembaga-lembaga tersebut mana yang
benar-benar eksis baik di kota maupun di desa, untuk kemudian dilakukan
pemberdayaannya ;
Kedua, pesantren masih sering mendapat sorotan yang konon masih kurang
memberikan pendidikan yang bersangkutan dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi,
karena titik berat pendidikannya masih pada Kitab Kuning. Anggapan itu boleh-boleh
saja muncul, bahkan sudah terlalu sering dikemukakan bahwa kajian Islam selama ini
lebih menekankan aspek ritual semata dan masih kurang dikembangkan pemikiran
Islam yang menyangkut kehidupan sosial ummat, terutama masalah mendesak yang
mereka hadapi kini, yakni kemiskinan dan kebodohan.;
Ketiga, banyak anak keluarga alumni pesantren (santri) tidak lagi dimasukkan ke
pesantren tapi ke sekolah-sekolah non-agama, berbaur dengan anak-anak di luar
komunitas mereka. Singkatnya, kini telah tumbuh generasi baru yang muncul dari
perbauran subkultur santri dan abangan dengan basis agama yang tak terlalu jauh
berbeda, kalau tak dapat dikatakan sama17.
D. Pesantren di Mata Para Peneliti
Keberadaan pesantren di Indonesia telah direkam dalam sejumlah tulisan misalnya :
1. hasil penelitian lapangan seorang antropolog Amerika Serikat, C.Geertz18,
menulis tentang “Modernization in a Moslem Society: The Indonesian
Case”,1963, ingin menyoroti peranan madrasah dan pesantren dalam
hubungannya dengan proses modernisasi di kalangan muslim di Indonesia.
Peneliti ini berhipotesis bahwa sejak tahun 1920-an, peranan menentukan dalam
bidang pendidikan Islam telah diambil alih oleh Madrasah dan sekaligus
menonjolkan Pesantren ke posisi yang tidak berarti. Tentu saja temuannya
tersebut dipertanyakan kembali oleh para peneliti berikut. Hal ini disebabkan
kemungkinan bervariasi dalam segi organisasi dan pengajaran serta fleksibilitas
dan pamor pesantren yang cukup tinggi di mata masyarakat lingkungannya,
tidak menjadi bahan acuan di dalam analisa Geertz.
2. Tulisan pertama yang khusus menelaah pesantren adalah tentang Pondok
Modern Gontor oleh sejarawan Lance Castle19. Menurutnya, pesantren sebagai
lembaga pendidikan, kebersamaan keciriannya dalam perkembangan sejarah
dan pembagian type, sudah dilakukan sejak sekitar beberapa tahun yang lalu
dalam beberapa penelitian. Karakter yang dipunyai oleh hampir semua
17 Kuntowijoyo, Paradigma Islam :Intrpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan) cetakan ke-3,
1991. 18 Geertz, C.,“Modernization in a Moslem Society: The Indonesian Case”, dalam
QUEST, Vol. 39, (Bombay, 1963). 19 Lance Castles, “Note on Islamic School at Gontor”, dalam Indonesia, (Ithaca: Cornell
University), nomor 6, April, 1966.
pesantren antara lain adalah kemandirian lembaga ini dalam segi
keorganisasiannya, politis, pedagogik, dan ekonomi.
3. Abdurrachman Wachid20, tentang "Pesantren sebagai Subkultur", dalam
M.Dawam Rahardjo, (ed.), menjajagi seberapa jauh Pesantren sebagai sub-kultur
dan dikarenakan ke sub-kulturannya dalam perjalanan waktu berabad-abad
tidak terintegrasi dan hanyut ke dalam proses perkembangan makro, yang
memungkinkan bertahannya kemandirian pesantren. Selanjutnya ia melihat
aspek sub-kultur pesantren di dalam batasan dan keistimewaan kedudukan
sosialnya di mata masyarakat. Kalau sub-kultur bisa didefinisikan secara
gampang sebagai tingkah laku yang lain, maka pesantren sebagai lembaga
keagamaan yang tidak formal dan sebagai pusat pendidikan petuah spritiual
dan terapannya menurut Abdurrahman Wachid adalah tingkah laku lain yang
terorganisir yang menjadi ujung tombak pembaharuan sosial.
4. Zamachsyari Dhofier melalui penelitian lapangannya mengetengahkan tentang
tidak adanya organisasi formal yang mengikat pesantren satu dengan lainnya.
Kontinuitas dan eksistensi pesantren menurut Dhofier ditunjang oleh pertukaran
intelektual, yang dimungkinkan oleh keterikatan darah diantara keluarga kyai.
Proses perubahan di kalangan muslim tradisonal yang mewakili hampir seluruh
pesantren, disinggung di dalam karya disertasinya. Kontradiksi yang disinggung
dalam proses ini antara lain bahwa satu fihak adanya kesediaan sementara kyai
untuk menginisiasi perubahan yang seringkali fundamental, sementara di fihak
lain tidak adanya kesediaan untuk menginterpretasikan kembali bingkai
ketradisionalannya.
5. Untuk melihat betapa peranan pesantren di dalam lembaga pendidikan dan
pengajaran yang dekat dengan lingkungannya untuk menjawab tantangan
20 Wachid, Abdurrahman, “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam Rahardjo, M.Dawam,
(ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta:LP3ES, 1983).
perubahan sosial dan ekonomi, ditonjolkan oleh Manfred Ziemek21.
menggambarkan tendensi perkembangan dari beberapa pesantren besar dan
berpengaruh, sebagai bahan olahan konsepsi dari program-program self-help.
6. Melalui beberapa kajian dalam M.Dawam Rahardjo22, antara lain menyebutkan
bahwa sejak tahun 1980-an banyak pesantren yang tergolong tradisional, telah
membuka diri untuk memakai sistem pengajaran klasikal, sebagai upaya
mengikuti kurikulum pemerintah sebagaimana dimaksud dalam SKB Tiga
Menteri, 1975.
7. Sebaliknya, menurut pengamatan Lance Castle, Gontor yang menyandang
sebagai pesantren "modern" - telah memakai sistem pengajaran klasikal. Dalam
rentang perjalanan sejarahnya, menurut hemat peneliti, Gontor tidak mengikuti
kurikulum Pemerintah.
Dilihat dari sudut politik, sosial, budaya, maupun ekonomi, kehidupan di pesantren-
pesantren masih memerlukan penelitian dan penyelidikan yang tidak sedikit.
E. Penutup
Selama kurun waktu yang cukup panjang, pesantren-pesantren dengan penghadapan
pada situasi dan kondisi baik berupa peluang maupun tantangan banyak pula PR yang
harus dijawab. Upaya penyesuaian yang dilakukan pesantren dalam menghadapi
tantangan bukan dimaksud telah terjadi perubahan (bersifat negatif) di lingkungan
dan/ atau penyelenggaraan pendidikannya. Justru sebaliknya, upaya tersebut sebagai
wujud potensi pesantren untuk melakukan kontak dengan dunia ilmu pengetahuan
tanpa melepaskan potensi pendalaman pengetahuan keagamaan.
21 Ziemek, Manfred, Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel, Frankfurt, 1983 22 Rahardjo, M.Dawam, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta:LP3ES, 1983).
Suasana pendidikan ke arah hidup mandiri tetap menjadi ciri khas pesantren, karena
bagaimana pun juga eksistensinya sebagai lembaga pendidikan sejak keberadaannya
hingga kini sedang dan akan senantiasa ditantang oleh kebutuhan masyarakat yang
mengalami pergeseran-pergeseran sistem nilai disamping pergeseran kebutuhan.
Kemampuan pesantren memenuhi tuntutan masyarakat pendukungnya menjadi batu
ujian bagi kelangsungan eksistensinya, sehingga transformasi kultural yang
ditempuhnya harus senantiasa memperhatikan perubahan yang terjadi dalam
lingkungan masyarakatnya. Ini berarti dan hampir sulit dilupakan, bahwa kehadiran
pesantren sebagai wujud estafeta dakwah islamiyah dari masa ke masa.
Dalam upaya menjawab kebutuhan masyarakat akan peningkatan kesejahteraan,
pesantren telah tampil sebagai kawah pemberdayaan individu dan masyarakat,
misalnya : dakwah, pertanian, koperasi, perpustakaan, peternakan, perikanan,
administrasi dan organisasi, pertukangan, kerajinan tangan (menjahit, menyulam, dan
sebagainya), kesehatan (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga), dan sebagainya. Kiprah
pemberdayaan diri (individu) dan masyarakat yang dialami oleh pesantren tersebut,
menarik untuk dicermati lebih lanjut di beberapa pesantren generasi berikutnya.
Usaha-usaha pengembangan pesantren, dalam rentangan sejarahnya, diharapkan
mempunyai peranan yang jelas dalam rangka pengembangan masyarakat. Peranan
tersebut berbentuk partisipasi pesantren dalam melaksanakan program pembangunan
yang dapat mendorong dan meningkatkan tarap hidup masyarakat sekitarnya. Dalam
kaitan ini, ia dituntut untuk selalu aktual dalam kiprahnya. Wallahu a’lam bish-
showab.
Wassalam,
Tebet, Jaksel 12-05-2011