OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

35
GAMBARAN SOCIAL ADJUSTMENT MANTAN PENYANDANG KUSTA YANG TELAH DINYATAKAN SEMBUH SECARA MEDIS DI WISMA REHABILITASI SOSIAL KATOLIK WIRESKAT BLORA OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan U ntuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

Transcript of OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

Page 1: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

GAMBARAN SOCIAL ADJUSTMENT MANTAN PENYANDANG

KUSTA YANG TELAH DINYATAKAN SEMBUH SECARA MEDIS

DI WISMA REHABILITASI SOSIAL KATOLIK WIRESKAT

BLORA

OLEH

AYU OKKY LIANAWATI

802009019

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 2: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR
Page 3: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR
Page 4: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR
Page 5: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

2

Page 6: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

3

Page 7: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

4

GAMBARAN SOCIAL ADJUSTMENT MANTAN PENYANDANG

KUSTA YANG TELAH DINYATAKAN SEMBUH SECARA MEDIS

DI WISMA REHABILITASI SOSIAL KATOLIK WIRESKAT

BLORA

Ayu Okky Lianawati

Rudangta Anti Sembiring

K.D Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 8: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

i

ABSTRAK

Social Adjustment menekankan pada pentingnya kemampuan individu dalam berelasi

dengan lingkungan sosial. Adapun mantan penderita kusta yang mengalami penolakan

akan memiliki beberapa penyebab timbulnya permasalahan dalam social adjustment

nya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses social adjustment

pada mantan penderita kusta yang tinggal di Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik

Wireskat Blora. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dan

partisipan dalam penelitian ini berjumlah dua orang. Metode pengambilan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Hasil penelitian

menunjukkan kedua partisipan mantan penyandang kusta sudah mampu menjalin relasi

dengan cara ikut berpartisipasi dan menolong orang lain. Walaupun ada perbedaan cara

dari kedua partisipan dalam berpartisipasi dan menolong orang lain. Selain itu mereka

dapat menerima hasil keputusan dengan kerendahan hati jika mereka ditolak. Kedua

partisipan juga dapat menghormati kebudayaan yang berlaku di Wireskat. Temuan lain

yang di dapati dari proses penelitian adalah adanya penolakan sosial (social rejection)

yang berpengaruh kepada proses penerimaan dirinya (self-acceptance), perlunya

dukungan dari orang lain (social support) sehingga mereka dapat menerima sendiri

(self-acceptance) dan sikap untuk bertahan dalam situasi sulit (resilience).

Kata Kunci: Social Adjustment, Mantan Penderita Kusta yang tinggal di Wisma

Rehabilitasi Sosial Katolik Wireskat Blora

Page 9: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

ii

ii

ABSTRACT

Social adjustment emphasis on the importance of the ability of individuals in

relationship with a social environment. The former leprosy who had the disease will

ever suffered because has several causes the social problem in it‟s social adjustment.

This research aims to understand how the process of social adjustment to a former

leprosy patients who lived in Social Rehabilitation Catholic Guestthouse Wireskat

Blora. Research methods used is qualitative methods and participant in this study

consisted of two people. Method of the collection of the data used in this research was

interviews and observation. The result of research shows the two participating former

people with leprosy are able to establish relationship with the use of the way to

participate and help others. Although there is a difference means both the participants

to participate and help others. Beside that they were received the results of the

decisions with humility if they had a rejection and honor the prevailing culture in

Wireskat. Other findings in that sudy of the process of social adjustment is the social

rejection of influential to process of receiving her self (self-acceptance), the neef of

support from others (social support) to get her self and the attitude to survive in a

difficult situations (resilience).

Keywords : Social Adjustment, former people with leprosy who found to be healed

medically at Social Rehabilitation Catholic Guesthouse Wireskat Blora

Page 10: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

1

PENDAHULUAN

Penyakit kusta atau lepra adalah penyakit kulit menular yang diakibatkan oleh

bakteri kusta (Mycobacterium leprae). Bakteri kusta (Mycobacterium leprae) ini

sebagian besar menyerang pada bagian kulit, saraf perifer, selaput lendir dari saluran

pernapasan bagian atas dan rongga mulut (Ana, 2011). Di seluruh dunia dua hingga

tiga juta orang diperkirakan menderita penyakit kusta atau lepra. Pada tahun 1999

insiden penyakit lepra diperkirakan 640.000 kasus dengan 108 kasus terjadi di Amerika

Serikat. Sedangkan tahun 2000 ditemukan 738.284 kasus (Penyakit Hansen, 2013).

Indonesia masih menjadi penyumbang kasus baru kusta nomor 3 di dunia setelah India

dan Brasil. Pada tahun 2010, Indonesia melaporkan 17.012 kasus baru dan 1.822 atau

10,71% di antaranya ditemukan sudah dalam keadaan cacat tingkat 2 (cacat yang

tampak), selanjutnya 1904 kasus (11,2%) adalah anak-anak. Keadaan ini menunjukkan

bahwa penularan penyakit kusta masih ada di masyarakat dan keterlambatan penemuan

kasus masih terjadi (Depkes, 2012).

Kusta tidak hanya merupakan masalah kesehatan akan tetapi juga merupakan

masalah sosial. Orang yang terkena infeksi kusta di Indonesia biasa disebut dengan

“orang kusta” bahkan sebutan ini akan terus melekat walaupun individu telah

dinyatakan sembuh secara medis. Selain itu di dunia Internasional, individu yang

terkena kusta akan disebut dengan “leper”. Berdasarkan tulisan yang dikutip (dalam

Mirza, 2011) menyatakan bahwa WHO Goodwill Ambassador for the Elimination of

Leprorsy and Japanese Government Goodwill Ambassador for The Human Rights of

People Affected by Leporsy meminta untuk menghentikan penggunaan kata “leper”

untuk menyebut orang-orang yang terinfeksi bakteri kusta maupun yang telah

Page 11: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

2

dinyatakan sembuh secara medis dan menggantinya dengan kata “people affected by

leprosy”.

Susanto (dalam Sari, 2006) menceritakan bahwa banyak masyarakat umum tidak

punya pengetahuan cukup tentang lepra sehingga mengakibatkan munculnya stigma

dan tindakan diskriminatif terhadap penderita lepra di dalam masyarakat. Survei

masyarakat di Singapura pada tahun 2002 menemukan bahwa sekitar 41,3% dari

orang dewasa masih percaya bahwa orang–orang selalu memiliki cacat dan bahwa

lepra mudah menular dan sekitar 32,3% percaya bahwa lepra tidak dapat disembuhkan

(Wong dalam Sari, 2006). Kalaupun sudah berhasil disembuhkan, tidak mudah bagi

petugas kesehatan atau rumah sakit memulangkan kembali pasien lepra ke tempat

asalnya karena takut ditolak penduduk setempat (Kristanti & Adiati, 2009).

Lawn dan Lockwond (dalam Mirza, 2011) mengatakan bahwa orang yang

terinfeksi kusta, sama seperti penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit yang sangat

tinggi dengan stigma dan menyebabkan distress pada penyandangnya. Hal ini

dibenarkan oleh Raffety (2005) dengan mengemukakan pendapat bahwa banyak

penderita lepra yang terkena dampak mental bukan karena penyakit lepra yang mereka

alami akan tetapi penolakan dari masyarakat.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Barrett (2005) mengenai dinamika biokultur

diskriminasi sosial dan cacat fisik orang-orang yang terkena kusta di Banaras India

Utara mendapatkan hasil bahwa orang-orang di Banaras India Utara tidak dapat

mengatasi penyebaran penyakit kusta yang dideritanya oleh karena keterbatasan biaya

sehingga banyak orang mengabaikan diri dan membiarkan penyakit kusta itu membuat

bagian dari dirinya mengalami kecacatan. Selain itu Barret (2005) menjelaskan bahwa

dari hasil kecacatan yang dialami oleh orang-orang ini, maka banyak didapati bahwa

Page 12: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

3

mereka merasa malu dan mendapatkan prasangka yang buruk akibat penyakit maupun

kecacatan yang dialaminya.

Hasil penelitian Mehendale (2011) mengenai kesadaran, penerimaan sosial dan

masyarakat akan pandangan mengenai kusta di Tamil Nadu India juga menjelaskan

bahwa hampir sepertiga dari pasien tidak pernah mengungkapkan penyakit yang

dialaminya kepada pasangan, anggota keluarga, kerabat atau teman-teman karena

mereka merasa takut jika mengalami penolakan sosial, diskriminasi dan perlakuan

buruk. Selain itu Mehendale (2011) menceritakan bahwa setengah dari kebanyakkan

mereka melakukan deformitas menghadapi stigma yang dialaminya dengan cara

memungkiri atau mengisolasi diri dari lingkungan sosialnya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mirza (2011) di lingkungan pemukiman

kusta Sitanala, Tangerang mendapatkan hasil bahwa sebagian besar dari para mantan

penyandang kusta mengalami kesulitan untuk mengubah atau memodifikasi

lingkungan agar sesuai dengan keadaan dirinya. Selain itu Menaldi (2008)

menambahkan bahwa sebenarnya mereka ingin hidup normal lagi seperti masyarakat

pada umumnya, tetapi bayangan cacat yang dialami membuat mereka khawatir akan

dikucilkan oleh masyarakat di tempat tinggalnya. Berbeda dengan hasil penelitian Sari

(2011), yang mendapatkan hasil akan minat sosial mantan penyandang kusta usia

dewasa muda cukup berkembang baik dalam keluarga, lingkungan tempat tinggal

maupun tempat kerja meskipun masih ada kecenderungan menyembunyikan riwayat

penyakit kusta, khususnya kepada orang lain yang belum mengetahui bahwa mereka

pernah menderita kusta dan dirasa memiliki informasi yang terbatas mengenai kusta.

Sebagai makhluk sosial, penyandang kusta dan mantan penyandang kusta tidak

dapat hidup sendirian tanpa orang lain. Mereka dituntut untuk mampu mengatasi segala

Page 13: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

4

permasalahan yang timbul, sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sosial.

Seharusnya dengan para penyandang kusta yang telah melakukan pengobatan dan telah

dinyatakan sembuh secara medis, masyarakat tidak perlu takut lagi untuk tertular dan

dapat menerima para mantan penyandang kusta sebagai bagian dari masyarakat.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya, para mantan penyadang kusta yang telah

sembuh tetap mengalami penolakan dan diskriminasi dari masyarakat serta mengalami

kesulitan untuk berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Mirza,

2011). Penyesuaian diri terhadap lingkungan sangat diperlukan agar mereka dapat terus

hidup (survive) dalam lingkungan yang “tidak ramah” atau menolak kehidupan para

penyandang kusta.

Doby (dalam Mirza, 2011) mengatakan usaha manusia untuk dapat bertahan

hidup dalam lingkungan dimana mereka tinggal dapat dikatakan sebagai social

adjustment. Schneiders (1964) mendefinisikan bahwa social adjustment merupakan

proses yang meliputi respons mental dan perilaku yang merupakan usaha individu untuk

mengatasi dan menguasai kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan,

frustrasi, dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan antara tuntutan dari dalam

dirinya dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan di tempat ia tinggal. Selain itu

Schneiders (1964), mengkonstruksikan aspek-aspek social adjustement antara lain

menghargai dan menghormati hak orang lain (The need to recognize and respect),

berteman dan pengembangan persahabatan dengan orang lain (To get along with other

persons and to foster the development of lasting friendship are both necessary), minat

dan simpati terhadap kesejahteraan orang lain (Intrest in and sympathy for the welfare

of other people), altruism (The virtues of charity and altruism), penghormatan terhadap

Page 14: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

5

nilai dan integritas hukum, tradisi dan kebudayaan masyarakat (Respect for the value

and integrity of the laws, tradision and customs of society).

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti, para mantan

penyandang kusta yang bertempat tinggal di Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik

(Wireskat) Blora merupakan orang-orang yang telah dinyatakan sembuh secara medis,

akan tetapi sebagian besar dari mereka tidak dapat kembali ke lingkungan mereka. Di

dalam Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik (Wireskat) Blora menampung 38 orang

mantan penyandang kusta dengan kriteria 18 orang merupakan pasangan suami istri

yang sama-sama memiliki kekurangan fisik setelah terkena kusta dan 20 orang lainnya

merupakan orang yang masih lajang dan janda. Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik

(Wireskat) Blora ini, memberikan fasilitas berupa rumah-rumah yang dapat digunakan

sebagai tempat tinggal para mantan penyandang kusta. Selain diberikan tempat tinggal,

para mantan penyandang kusta juga diberikan pelatihan keterampilan untuk menambah

kesibukan mereka atau sebagai bekal keterampilan.

Dari hasil wawancara dengan salah satu pengurus Wireskat ini mendapatkan

hasil bahwa ada salah satu anggota dari mantan penyandang kusta yang bernama “R”

pernah memutuskan untuk keluar dari wisma rehabilitasi ini. “R” ini adalah seorang

bapak yang berusia 40 tahunan dan mempunyai keluarga. Sebelum dia terkena kusta,

dia dapat berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan rumahnya. Akan tetapi setelah

dia dinyatakan positif terkena kusta oleh dokter, maka dia dikucilkan oleh

lingkungannya. “R” dibawa keluarganya untuk berobat di salah satu tempat kesehatan

yang menangani kusta. Setelah beberapa lama dia dirawat hingga sembuh dari penyakit

kusta yang dideritanya, “R” dibawa pulang oleh keluarganya. Tetapi kenyataan

Page 15: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

6

berbeda, lingkungan masyarakatnya tidak menerimanya sehingga dia ditempatkan di

wisma rehabilitasi sosial katolik (Wireskat).

Setelah beberapa lama “R” tinggal di wisma dan mendapatkan pelatihan dia

merasa cukup mampu untuk dapat bertahan hidup di tengah masyarakat yang memiliki

stigma negatif terhadap dirinya. Kenyataan yang dia dapat berbeda, dia tidak dapat

bertahan hidup di luar lingkungan wisma rehabilitas sosial katolik (Wireskat). “R”

mengalami penolakan pada saat dirinya menawarkan jasa pekerjaan sebagai buruh

kasar seperti tukang batu maupun petugas kebersihan jalan. Oleh karena perlakuan

yang membuat dirinya tertolak sehingga “R” memutuskan untuk kembali di wisma

rehabilitasi sosial katolik (Wireskat) ini.

Peneliti juga mengambil sebuah artikel tahun 2003 yang menceritakan kehidupan

seorang mantan penyandang kusta yang ditulis dalam website resmi Wireskat Blora.

Dalam artikel ini diceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang bernama Pairin (bukan

nama sesungguhnya) yang terkena kusta pada masa lalunya. Pada saat itu dia sedang

mampir ke warung pojok sebelah terminal bus, dan pada saat itu pula pemilik warung

mengetahui bahwa Pairin pernah terkena kusta sehingga pemilik warung tersebut

mengambil seluruh penganan yang dipajang di meja dan menyembunyikannya (Muria,

2003).

Berdasarkan dari penjelasan di atas, terlihatlah bahwa mantan penyandang kusta

masih mendapat stigma yang negatif dari masyarakat sehingga mereka memutuskan

untuk kembali ke wisma rehabilitasi sosial katolik (Wireskat) Blora. Dalam penelitian

yang akan dilakukan ini peneliti tertarik untuk melihat mengenai gambaran social

adjustment para mantan penyandang kusta yang telah sembuh secara medis dengan

Page 16: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

7

memberikan wawancara mendalam oleh beberapa orang yang tinggal di wisma

rehabiltasi sosial katolik (Wireskat) Blora.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan ini adalah metode penelitian kualitatif

sehingga hal ini disesuaikan dengan sifat masalah yang akan diteliti karena tidak bisa

diungkap dengan menggunakkan kuantitatif atau angka. Selain itu tujuan penelitian ini

digunakan untuk mendeskripsikan mengenai gambaran social adjustment mantan

penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis di Wisma Rehabilitasi

Sosial Katolik WIRESKAT Blora.

Partisipan

Dalam penelitan ini, peneliti menggunakan sumber data dengan karakteristik seperti :

1. Individu sebagai mantan penyandang kusta yang sudah dinyatakan sembuh secara

medis dan tinggal di Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik WIRESKAT Blora.

2. Individu yang bersedia menjadi partisipan dan memiliki latar belakang yang

berbeda seperti :

a. Partisipan pertama terkena penyakit kusta pada saat dirinya sudah

menginjak masa dewasa. Ia tidak pernah mengetahui bagaimana proses

penularan kusta itu. Pada saat mengetahui bahwa dirinya terkena kusta, ia

langsung berobat dan mendapatkan pengobatan secara intensif di rumah

sakit kusta Tugu. Pada saat terkena kusta, ia mendapat penolakan dari pihak

keluarga, lingkungan pekerjaan dan lingkungan sosial. Dampak penyakit

kusta itu sempat membuat kedua anaknya mengalami penolakan oleh warga

Page 17: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

8

sekitar Wireskat. Selain itu dampak penyakit kusta juga meninggalkan

bekas kecacatan seperti tidak memiliki bulu-bulu halus di wajah (alis mata)

dan di bagian tubuh lainnya.

b. Partisipan kedua terkena penyakit kusta pada saat dirinya menginjak masa

anak-anak. Ia tidak mengetahui bagaimana proses penularan itu. Ia

terlambat mengetahui bahwa dirinya terkena kusta sehingga terlambat

mendapatkan pengobatan secara intensif. Dampak penyakit kusta ini

mengakibatkan kecacatan fisik seperti semua jari tangan yang mengecil

akibat pengobatan yang terlambat. Selain itu dampak penyakit kusta juga

membuat ia mendapat penolakan dari pihak teman dan tetangga. Dalam

berjalannya waktu dan semakin tua, ia juga harus mengalami

pengamputasian kaki oleh karena penyakit gula yang dideritanya.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang menunjang dalam penelitian kualitatif ini adalah

dengan menggunakan observasi dan wawancara. Observasi digunakan peneliti untuk

mengamati kebiasaan dan perilaku dari kedua partisipan. Sedangkan metode

wawancara digunakan untuk memperoleh data yang dapat diaplikasikan ke dalam

bentuk naskah wawancara atau verbatim. Kedua metode pengumpulan data ini

digunakan dengan tujuan dapat mendeskripsikan realitas empiris di balik fenomena

yang ada secara mendalam, rinci dan tuntas.

Instrumen yang digunakan

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah interview guide. Interview

guide ini digunakkan sebagai pengumpul data berupa panduan wawancara. Selain itu

media elektronik seperti handphone dapat digunakan sebagai alat untuk merekam semua

Page 18: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

9

hasil wawancara peneliti dengan kedua partisipan. Peneliti juga menggunakkan media

tulis seperti kertas dan bolpoint untuk menulis semua aktifitas kedua partisipan dalam

berperilaku.

Proses Pengambilan Data

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengurus surat perizinan secara formal

agar dapat melakukan penelitian dan pengambilan data dari pihak fakultas Psikologi

dengan persetujuan dari kedua dosen pembimbing dan kaprogdi. Surat izin yang

diberikan oleh pihak fakultas, dipergunakkan peneliti untuk meminta izin kepada

kepala yayasan Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik (WIRESKAT) untuk melakukan

penelitian. Setelah mendapatkan izin dari pihak kepala yayasan, maka peneliti

langsung menuju ke Wireskat dan mencari pihak pengurus Wireskat untuk

mendapatkan izin agar dapat mewawancarai dan mengambil data partisipan mantan

penyandang kusta.

Awal mula peneliti membangun rapport kepada kedua partisipan dan kemudian

dilanjutkan proses wawancara mendalam mengenai topik yang peneliti akan teliti.

Proses pengambilan data melalui wawancara dan observasi dilakukan sebanyak lima

kali terhadap pasangan partisipan pertama dan tiga kali terhadap pasangan partisipan

kedua. Pelaksanaan wawancara kepada para partisipan dilakukan pada bulan Mei 2014

hingga September 2014. Peneliti juga melakukan wawancara dengan anak dari kedua

partisipan.

Analisis Data

Proses analisis data dimulai dari pengetikan transkrip wawancara dalam bentuk

verbatim dengan mendengarkan hasil rekaman wawancara. Selanjutnya peneliti

melakukan proses pengkodean pada transkrip wawancara agar memudahkan dalam

Page 19: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

10

proses analisis data. Hasil wawancara ini di analisis menggunakkan teknik analisis

tematik yaitu dengan mencari tema-tema penting untuk mendeskripsikan fenomena

yang muncul serta memberikan makna dari hasil pernyataan yang diungkapkan oleh

partisipan (Daly, Kellehear, & Gliksman, 1997, dalam Fereday & Muir-Cochrane,

2006). Langkah terakhir yang akan dilakukan adalah mengelompokkan data ke dalam

aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian ini.

HASIL

Hasil analisis data memunculkan beberapa tema seperti dampak penyakit kusta

yang mengakibatkan partisipan dan anaknya mendapat penolakan sosial, efek

penolakan dengan penerimaan diri, pengaruh dukungan sosial dengan penerimaan diri,

partisipan dapat menghargai keputusan orang lain, cara partisipan membangun relasi

dengan lingkungan, keinginan untuk membantu orang lain, menghargai kebudayaan di

Wireskat, dan kemampuan untuk bertahan dalam situasi yang sulit.

Dampak penyakit kusta yang mengakibatkan partisipan dan anaknya mendapat

penolakan sosial

Kedua partisipan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa dirinya dan kedua

anaknya pernah mendapat penolakan sosial. Hal ini digambarkan oleh kedua partisipan

dalam beberapa kutipan berikut :

No.1 : Dampak Penyakit Kusta

Partisipan pertama Partisipan kedua

Penolakan oleh saudara perempuan :

“Iya, seperti saudara dari bapak

yang nda menerima”

“Tidak boleh datang kerumah selain

itu tingkah lakunya acuh tak acuhlah

gitu, seakan-akan takutlah nanti

Penolakan oleh tetangga :

“Tonggo ne ono sing jijik ono sing

ora.”.

“Yo kae, penyakiten kusta, ojo awur

mengko nak ketularan, ra sah

moro.”.

Page 20: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

11

kalau kejadian satu rumah ada yang

sakit lagi gitu. Kan dianggapnya

sakit kutukan namanya lepra gitu”

“Saudara perempuan yang menolak,

nek yang laki-laki semuanya itu

baik-baik semua”

Penolakan oleh kakak pertamanya :

“Ya gimana, gimananya itu kakak

kan kelihatan sikapnya kalau gak

suka istilahan e jijik lah mau

menerima saya gitu”

Penolakan yang dialami anaknya :

“Cuma waktu sekolah di

Sendangharjo waktu TKnya sama

SDnya itu yang banyak mengalami

penolakan”

Penolakan oleh teman-teman :

“Ya saya sendiri nda mau di ejek sama

teman-teman.. bapak saya ya katakan

sekolah.. tapi kan saya di ejek sama

teman-teman saya.. saya ya nda mau

sekolah..”

Penolakan yang dialami anaknya :

“Yo pernah, waktu dia sekolah kelas 1

SD di Sendang”

Efek penolakan dengan penerimaan diri

Selama terkena penyakit kusta mereka mendapat penolakan dari berbagai pihak.

Dampak penolakan yang diterima sangat mempengaruhi penerimaan diri kedua

partisipan. Hal ini digambarkan oleh kedua partisipan dalam kutipan berikut :

No.2 : Efek Penolakan Dengan Penerimaan Diri

Partisipan pertama Partisipan kedua

“ah saya sudah merasa diri saya

memang hina dan jelek tidak seperti

yang lain-lain istilahnya tidak

sempurna..”

“Susah sekali,.. pengen nangis.. lha

bagaimana lha wong sehat-sehat saya

dibeginiin, sendirian.. saya merasa

menyesal..”

Dukungan sosial yang ditujukan kepada kedua partisipan

Dukungan sosial dari bapak membuat partisipan pertama percaya bahwa ia dapat

sembuh dari penyakitnya. Sedangkan dukungan sosial yang didapat dari saudara laki-

laki, suster dan Romo dengan memberikan motivasi maupun dibantu untuk

memperoleh kepercayaan diri sangat menolong partisipan pertama agar dapat bangkit

dari keterpurukannya. Sedangkan untuk partisipan kedua, ia mendapatkan semangat

Page 21: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

12

agar percaya diri untuk sembuh dari penyakit kustanya. Hal ini digambarkan oleh

kedua partisipan dalam kutipan berikut :

No.3 : Bentuk Dukungan Sosial

Partisipan pertama Partisipan kedua

Saudara laki-laki :

“saudara laki-laki itu merangkul,

memberi semangat.. wes gak sah

sungkan-sungkan, gak sah isin-isin

ibarate ini ada pertemuan keluarga yo

kita kumpul”

Pihak Keluarga :

“keluarga bilang “koe iso mari iso

wong penyakit kok gag iso mari mesti

ono obate mesti mari mengko nek

mari lak koyo wong-wong neh ibarate

kan nek njowo ngotenleh”.

Pihak Suster :

“saya dibina disitu seperti pekerjaan

ya pertanian, masak ya keterampilan

macam-macam agar kami

mempunyai jatidirilah”

“memberikan penyuluhan tentang

kepercayaan agar punya

kepercayaan diri dan memiliki siap

mental..”

Pihak Romo:

“..diberi kepercayaan sama Romo

untuk pelayanan misal ada warga

sakit saya mengantar kerumah sakit,

trus ngurusi toko, trus ngurusi

konsumsi untuk warga setiap hari

dapet jatah sayur. Terkadang ada

tamu untuk pesanan makanan. Lha itu

karena saya dapet kepercayaan dari

Romo ya saya mulai percaya diri gitu.

Ternyata tidak semua orang menghina

saya istilahnya seperti itu. Dalam hati

saya bilang berarti semua orang itu

tidak semuanya jelek kepada saya

mereka masih banyak yang mau

menerima saya”

Pihak Bapak:

“eh bapakku muring-muring yo peh

masio ngono, ngono di anuni Gusti

Allah.. Pakku muring-muring gak

terimo..”

“y awes ben, nek ono sing nganu

koe.. koe ra usah wedhi, bapak

percoyo koe iso mari..iso koyo wong

liyone neh..”

Page 22: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

13

Bentuk Penerimaan Diri

Penerimaan diri diperlukan oleh kedua partisipan agar mereka dapat menyadari bahwa

tidak selamanya penyakit kusta yang diderita membuatnya terpuruk. Hal ini dapat

digambarkan oleh kedua partisipan dalam kutipan berikut :

No.4 : Bentuk Penerimaan Diri Kedua Partisipan

Partisipan pertama Partisipan kedua

“Ya namanya orang dihina, ya saya

jengkel kesal ya. tapi sadarlah ya..

memang aku tidak sempurna seperti

orang-orang lain ya.. tetap diterima

tapi dengan ucapan marah namanya

orang ya tetap jengkel, yo sopo sing

gelem loro kaya gini”

“Ya saya terimalah kalau memang

saya diberi kesembuhan mungkin yo

Tuhan punya rencana lain istilahnya

kan gitu. Jadi saya tetap menerima

dengan keadaan bagaimanapun“

“Ya bersyukur, ya orang itu nda bisa

menolak kalau dikasih pecobaan.. ya

saya masih bersyukur yang penting

saya sekarang diberi kesehatan,

masih panjang umur..”

“lha bagaimana wong sudah di

takdirkan saya”

Menghargai keputusan orang lain

Setelah kedua partisipan dapat menerima keadaan diri sendiri, barulah mereka

belajar untuk dapat memahami orang lain yang berbeda dengan diri mereka. Namun

ada perbedaan hasil respon dalam menghargai dan memahami orang lain di dalam

kedua partisipan. Partisipan pertama dapat menghargai dan berelasi dengan orang lain.

Sedangkan untuk partisipan kedua dapat menghargai akan tetapi tidak bisa berelasi

dengan orang lain. Pernyataan tersebut dinyatakan sebagai berikut :

No.5 : Menghargai Keputusan Orang Lain

Partisipan pertama Partisipan kedua

“Jadi ya saya tidak merasa jengkel

atau dendam nda.. Saya terima apa

adanya..Ya agar saya tidak merasa

sakit, ya harus sadar diri bahwa

memang keadaan saya begini kalau

mereka nda mau menerima ya

sudah, saya yang menjauhi mereka

“Ya saya terima nanti nek marah-

marah ya gunanya apa, ya sudah

saya pasrah kepada Tuhan”

Page 23: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

14

dari pada saya dijauhi malah lebih

sakit”

“Ya pokok e prinsip saya, walaupun

mereka jahat sama saya.. menolak

saya.. saya tetap berbuat baik

dengan mereka”

“Ya nda mau, saya nek sudah di

tolak ya saya nda mau..”

Cara membangun relasi

Kedua partisipan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa mereka sudah mau

berelasi namun ada perbedaan seperti halnya partisipan pertama sudah mampu

membangun relasi dengan saudara dan lingkungan sekitar. Untuk partsipan kedua

sudah mampu membangun relasi dengan orang yang menolaknya, akan tetapi masih

ada perasaan takut jika mengikuti kegiatan dengan lingkungan sekitar. Hal itu dapat

terungkap dari beberapa pernyataan kedua partisipan sebagai berikut:

No.6 : Cara Membangun Relasi

Partisipan pertama Partisipan kedua

“Lha pertama mau silahturahmi kan

saya berpikirnya seperti ini, “eh ya

biarinlah orang menghina diri saya,

yang penting saya berbuat baik sama

mereka”. Lama-kelamaan mereka

juga hatinya luluh sendiri, kan

namanya sakit kaya gini sapa yang

mau saya bilang gitu. Semua orang

kalau ditari kan nda mau gitu.”

“Ya hampir setengah tahunan,

mereka memang jengkel sama saya,

tapi saya dekati terus”

“Ya pertama, saya harus sembuh

dulu dari sakit, dan yang kedua saya

bisa mandiri dan tidak perlu bantuan

mereka lagi seperti yang waktu saya

sakit tergantung pada mereka”

“Teman dekat, ya wong seringnya

pergi kepasar ya teman dekatnya ya

teman-teman dari pasar itu makin

baik kalau bertemu setiap hari gitu.

Mereka kalau ada acara saya juga

“Tangga ne saiki yo wes apik wong

ketoro nek awakku saiki wes resik,

nek biyen kan putih-putih abang-

abang,. Mereka wedhi..”

“Yo nduwe, kancane sampe saiki

sek apik angger aku loro yo ditiliki..

ngantek saiki koyo dulur..padahal

yo tonggo”

“Ya pernah, di Polaman seperti

melayat, di rumah mba Sumiyati

untuk syukuran, di Bronorojo Jepara

anak teman saya Bu Karti untuk

nikahan”

“Tapi saya itu mengikuti kegiatan

pada waktu kaki saya masih utuh

belum di potong”

“Nda pernah, lha pie nda ada yang

ngajak..”

“Ya nda mau, seandainya ada yang

ngajakpun saya nda mau, saya

kadang masih takut..”

Page 24: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

15

diundang”

“ya istilahnya semuanya hampir

saya dekati”

“..nek musoh wong kampung yo

wedhi.”.

Keinginan untuk membantu orang lain

Walaupun pernah mendapat penolakan, kedua partisipan tetap peduli dengan

keadaan orang lain yang membutuhkan pertolongan. Namun ada perbedaan dari cara

mereka menolong orang lain. Partisipan pertama dapat menolong warga yang didalam

Wireskat maupun orang lain yang berada diluar lingkungan Wireskat. Berbeda dengan

partisipan kedua yang hanya dapat menolong warga Wireskat oleh karena ia memiliki

keterbatasan fisik. Hal ini dapat terlihat dari beberapa pernyataan kedua partisipan

yaitu:

No.7 : Keinginan Untuk Membantu Orang Lain

Partisipan pertama Partisipan kedua

“Pernah satu kali yaitu mengantar ke

rumah sakit waktu itu orang itu dari

desa mana gitu pembantunya Tante

Diah Laris itu mengalami gejala

kusta. Saya langsung mengantar

kerumah sakit..”

“..semisal orang luar yang diluar

Wireskat ini yang bertemu dipasar

bertanya “lho kok mba koe tinggal e

nang kono, koe ya wong loro?‟ lha

ta jawab “yo mas” ada apa mas trus

biasa e orang e ngomong kok

dulurku kok koyo ngene-ngene trus

ya biasa e kaya kasih saran buat

pergi kerumah sakit”

“Kalau di lingkungan sini ya saya

lebih dekatnya dengan tetanggga

sebelah ya sama bu Mus yang setiap

hari menemani saya di dapur, ya

istilahnya semuanya hampir saya

dekati wong terkadang mereka

istilahnya ya butuh bantuan lha saya

yang bisa ya tetap saya layani”

“Yo, tetep mesti ditolong

penggawean e ditinggal yo

ditolong.. wong dijaluki tolong

misal e njaluk kerok “koe repot

Kr..?” ”repot mba..” “aku njaluk

kerok..” wes tak kerok i sek

penggawean ku keri “

“Ya nda ada.. saya ya cuma

menolong orang-orang yang di

Wireskat ini..”

Page 25: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

16

Menghargai kegiatan keagamaan di Wireskat

Sebagai mantan penyandang kusta, kedua partisipan tetap dapat menghargai

kebudayaan yang ada di dalam Wireskat. Kebudayaan yang dimaksudkan di sini

seperti mengikuti kegiatan kerohanian. Partisipan pertama beragama Islam tetap mau

mengikuti kegiatan kerohanian Katolik. Sedangkan partisipan kedua beragama Katolik

tetap mau mengikuti kerohanian Katolik, walaupun secara fisik ia mengalami

keterbatasan. Hal tersebut dapat ditemukan dari paparan kedua partisipan sebagai

berikut:

No.8 : Menghargai Kegiatan Keagamaan Di Wireskat

Partisipan pertama Partisipan kedua

“Pada waktu pertama kali, goa

diadakan memang semua warga

diharuskan mengikuti misa jum‟at

kliwon, jadi semua muslim atau orang

katolik semua ikut dengan permintaan

apa nanti setelah itu dikumpulkan dan

dibakar sama Romo dan diberkati

sama Romo..”

“Iya, mengikuti kegiataan berdoa di

Kapel setiap rabu sama sabtu, misa

jumat kedua walaupun susah untuk

berjalan ya saya berusaha untuk ikut

dengan jalan pelan-pelan.. hehe.. di

bantu teman-teman saya.. “

Kemampuan untuk bertahan dalam situasi yang sulit

Di Wireskat ini, seluruh warga Wireskat yang merupakan mantan penyandang

kusta diberi kebebasan untuk memilih agar dapat hidup di luar lingkungan Wireskat

atau memutuskan untuk mencoba hidup di luar lingkungan Wireskat. Dari hasil

wawancara dapat diketahui bahwa ada perbedaan hasil dari kedua partisipan dalam

menanggapi kebebasan itu. Partisipan pertama sudah merasa percaya diri agar dapat

hidup diluar lingkungan Wireskat, sedangkan untuk partisipan kedua tidak memiliki

keinginan untuk keluar dari lingkungan Wireskat karena kaki yang telah diamputasi

membuat dirinya kesusahan untuk bekerja. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan yang

dikemukakan sebagai berikut:

Page 26: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

17

No.9 : Kemampuan Untuk Bertahan Dalam Situasi Yang Sulit

Partisipan pertama Partisipan kedua

“Kalau sekarang saya sudah nda

marah, sudah percaya diri ternyata

kusta juga bisa disembuhkan tidak

seperti orang-orang kampung kalau

ngomong katanya kutukan, katanya

lepra menakutkan tapi sekarang saya

percaya diri”

“Mental yang siap itu ibaratnya

menghadapi segala tantangan sudah

berani, berani untuk mencari nafkah

nda tanggung-tanggung..ibaratnya

saya keluar ya saya sudah berani

untuk cari nafkah diluar.. istilahnya

bekerja apa saja bisa dijalani yang

penting halal.. lha terus tidak

mencari pekerjaan dilingkungan

penderita..”

“Ya tetap di sini, mau keluar-keluar

di mana.. kakinya sudah tidak ada,

lha di rumah mau kerja apa.. sulit..

kalau di sini kerja sedikit-sedikit di

beri makanan sama Romo.. Lha

kalau di rumah ya, mau kerja apa…

kemana-mana ya desa mau kerja

sawah ya nda bisa kan kakinya

sudah tidak ada.. Saya tu ya senang

di sini ayem, tentram di sini”

PEMBAHASAN

Kedua partisipan dalam penelitian ini merupakan ibu rumah tangga yang tinggal

di Wireskat dan sama-sama pernah terkena penyakit kusta. Kedua partisipan ini tidak

pernah mengetahui bagaimana mereka dapat tertular penyakit kusta. Awal kedua

partisipan mengetahui bahwa dirinya terkena penyakit kusta yaitu ada bercak-bercak

putih tidak terasa seperti panu dan merasakan panas juga gatal di telinga maupun

tangan. Setelah kedua partisipan ini mengetahui bahwa ada gejala seperti terkena kusta

mereka berobat di rumah sakit kusta hingga akhirnya mereka dinyatakan sembuh total.

Walaupun secara medis mereka telah dinyatakan sembuh total, akan tetapi

penyakit kusta yang pernah diderita memberikan dampak penolakan sosial (social

rejection) pada kedua mantan penyandang kusta. Penolakan sosial (social rejection)

merupakan penolakan yang dilakukan oleh orang lain dan kelompok sosial yang

mempunyai dampak besar terhadap perasaan dan perilaku individu (Williams dalam

Page 27: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

18

Wiley, 2010). Pada partisipan pertama (K) pernah mendapat penolakan dari tempat ia

bekerja yang membuat dirinya merasa kecewa. Selain itu penolakan dari saudara

perempuan dan kakak kedua yang membuat dirinya merasa kecewa sehingga ia

mengurung diri selama 1,5 tahun. Sedangkan pada partisipan kedua (Kr) yang mendapat

penolakan dari tetangga dan teman membuat dirinya merasa takut dan rendah diri

sehingga mengurungkan niat untuk menjalin relasi.

Dampak penolakan akibat pernah terkena kusta dapat mempengaruhi penerimaan

diri (self-acceptance) kedua partisipan. Ryff (1995) menjelaskan bahwa Self-

acceptance merupakan bentuk penerimaan diri individu pada masa kini dan masa

lalunya dengan melihat sikap positif terhadap diri sendiri. Pada partisipan pertama (K)

merasakan kekecewaan dan penolakan pada dirinya sendiri karena merasa jelek dan

tidak sempurna. Penyakit kusta yang pernah diderita K membuat bulu-bulu halus di

wajah dan di tubuh tidak tumbuh. Sedangkan partisipan kedua (Kr) merasakan

kesedihan dan penyesalan oleh karena ia tidak dapat menerima kenyataan bahwa

pernah terkena kusta. Penyakit kusta yang pernah dideritanya juga membuat ia merasa

rendah diri karena jari-jari tangannya mengecil akibat pengobatan yang terlambat.

Kedua hal ini menunjukkan cara negatif untuk memahami diri sendiri sehingga merasa

tidak layak untuk diterima (Menesini dalam Young Han, 2012).

Dalam keterpurukannya, kedua partisipan memutuskan untuk mencari tempat

tinggal yang lebih layak dan mau menerima keberadaan mereka seperti di Wireskat ini.

Pada saat awal tinggal di Wireskat kedua partisipan dan anaknya juga sempat

mendapat penolakan. Anak dari kedua partisipan (K dan Kr) mendapat penolakan pada

saat duduk di bangku TK hingga SD oleh karena orang tua mereka yang pernah

menyandang penyakit kusta. Hal ini memperjelas pernyataan bahwa stigma yang buruk

Page 28: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

19

akibat penyakit yang pernah diderita membuat orang lain memberikan perilaku

diskriminasi (Cechincki, 2011).

Pada saat kedua partisipan sudah menemukan tempat yang dapat menerima

keberadaannya. Kedua partisipan mulai belajar untuk bangkit dari keterpurukan dan

menerima dirinya (self-acceptance) dengan mendapat dukungan sosial (social support)

dari orang lain. Gottlieb (dalam Smet, 1981) menjelaskan bahwa dukungan sosial

(social support) terdiri dari nasehat verbal atau non-verbal, bantuan nyata yang

diberikan oleh keakraban sosial dan mempunyai manfaat emosional maupun efek

perilaku bagi pihak penerima. Pada partisipan pertama (K) selalu diberi semangat oleh

kakak pertamanya untuk tidak terpuruk. K juga mendapat penyuluhan dari Suster

Giovani mengenai kesiapan mental dan kepercayaan diri. Selain itu K diberi tanggung

jawab oleh Romo untuk membantu mengelola toko, dan menyambut tamu yang datang

berziarah. Sedangkan untuk partisipan kedua (Kr) diberi pengertian oleh ayahnya agar

berbesar hati jika ada yang menolak dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Selain

itu Gottlieb (dalam Smet, 1981) juga mengatakan bahwa setiap informasi apapun dari

lingkungan sosial yang mempersiapkan persepsi subjek bahwa ia penerima positif

dalam bentuk penegasan, bantuan merupakan ungkapan dukungan sosial.

Mendapat dukungan sosial (social support) membuat kedua partisipan siap

belajar untuk dapat menerima keadaan dan diri mereka yang sebenarnya. Pada

partisipan pertama (K) belajar untuk sadar diri bahwa dirinya memang tidak sempurna

dan harus menerima keadaan karena semua yang dijalani merupakan kehendak dari

Tuhan. Begitu pula dengan partisipan kedua (Kr), ia belajar untuk menerima diri

sendiri dan bersyukur bahwa penyakit yang pernah dideritanya merupakan takdir yang

sudah ditetapkan bagi dirinya. Seperti yang dikemukakan oleh Kilicci (dalam Ceyhan

Page 29: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

20

2011) mengatakan penerimaan diri (self-acceptance) yang sehat akan membantu

individu mengevaluasi semua kemampuan dan ketidakmampuan mereka dengan cara

yang tepat agar dapat menerima kenyataan bahwa hal itu merupakan bagian dari

kepribadian mereka.

Setelah dapat menerima keadaan diri sendiri (self-acceptance), mereka mulai

belajar untuk memahami keadaan orang lain yang pernah menolak akibat penyakit kusta

yang dideritanya. Mereka belajar agar tidak memaksakan kehendak kepada orang lain

untuk dapat menerima keadaan mereka sebagai mantan penyandang kusta, walaupun

sebenarnya mereka mempunyai keinginan untuk diterima seperti orang lain pada

umumnya. Namun jika ada perilaku orang lain yang menjauh karena merasa jijik atau

takut jika tertular, mereka dapat menerima dengan tidak sakit hati. Mereka belajar

menyadari bahwa setiap orang berhak untuk memilih dalam berelasi. Hal ini berkaitan

dengan pengertian Schneiders (1964) bahwa setiap individu akan dapat berelasi dengan

baik jika tidak melanggar hak-hak orang lain yang berbeda dengan dirinya.

Kedua partisipan yang sudah dapat memahami keadaan orang lain mulai belajar

untuk dapat berelasi dengan lingkungannya. Awal kedua partisipan menjalin relasi

yaitu dengan membuktikan bahwa penyakit yang mereka derita sudah sembuh dan

tidak menular. Namun latar belakang penolakan yang berbeda mempengaruhi cara

kedua partisipan dalam menjalin relasi. Pada partisipan pertama (K) yang pernah

mendapat penolakan oleh saudara perempuan dan kakak keduanya membuat ia ingin

menunjukkan bahwa ia sudah dapat mandiri serta tidak tergantung secara finansial.

Selain itu ia belajar untuk mendekatkan diri selama hampir setengah tahun walaupun

pihak saudara perempuan dan kakak kedua merasa jengkel dan marah. Ia tidak putus

asa dan selalu mencoba untuk berkomunikasi dengan mereka. Hal serupa juga ia

Page 30: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

21

lakukan di lingkungan sekitar Wireskat dengan mencoba berkomunikasi dan ikut

berpartisipasi dalam acara yang diselenggarakan oleh teman pasarnya. Hal ini berkaitan

dengan pengertian Schneiders (1964) bahwa setiap individu sangat ditekankan untuk

memiliki hubungan dengan lingkungannya.

Dampak penolakan yang dialami partisipan kedua (Kr) membuat ia mau mencoba

untuk berkomunikasi secara dekat dengan tetangganya. Dalam berjalannya waktu

tetangga yang pernah menolaknya dapat menjadi teman yang akrab. Namun di sekitar

lingkungan sekitar Wireskat, ia tidak pernah mengikuti kegiatan sosial karena masih

merasa takut jika ditolak dan tidak ada warga yang mengajaknya untuk berinteraksi. Kr

juga mengatakan bahwa ia lebih senang untuk berinteraksi dengan orang yang

dikenalnya. Hal ini menjelaskan bahwa individu yang pernah menderita penyakit kusta

dan ditolak oleh lingkungan akan memberikan dampak pada mental penderita bukan

karena penyakit kusta yang mereka alami akan tetapi penolakan dari masyarakat

(Raffety, 2005). Selain itu hasil yang didapati untuk partisipan kedua bertolak belakang

dengan pengertian Schneiders (1964) yang menekankan pada pentingnya setiap individu

untuk memiliki hubungan dengan lingkungan.

Walaupun pernah mendapat penolakan, kedua partisipan tidak melupakan

keadaan orang lain yang membutuhkan bantuan. Kedua partisipan masih mau

memberikan bantuan kepada orang lain, namun ada perbedaan di kedua partisipan yang

terletak pada cara mereka memberikan pertolongan. Partisipan pertama (K) bukan

hanya mau menolong warga Wireskat akan tetapi ia juga mau menolong orang lain

yang bukan warga Wireskat. K pernah menolong orang yang bukan warga Wireskat

untuk periksa dan berobat karena ada tanda-tanda terkena kusta. Sedangkan untuk

menolong Warga Wireskat, K pernah membantu untuk memasak dan mengobati warga

Page 31: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

22

jika ada yang sakit. Partisipan kedua (Kr) hanya membatasi dirinya untuk menolong

orang lain dalam lingkup lingkungan Wireskat. Ia membatasi dirinya karena masih

mempunyai perasaan takut jika ditolak dan kaki yang telah diamputasi membuatnya

terbatas dalam bergerak. Kr hanya mau menolong jika ada warga yang meminta tolong

seperti untuk memasak atau „mengeroki‟. Hal ini menunjukkan bahwa kedua partisipan

masih peka dengan masalah maupun kesulitan orang lain sehingga membantu

meringankan masalahnya Schneiders (1964).

Selama menjadi mantan penyandang kusta yang tinggal di Wireskat, kedua

partisipan juga dapat menghormati tradisi keagamaan yang ada. Pada partisipan

pertama (K) yang walaupun ia beragama Islam, ia tetap mengikuti kegiatan keagamaan

orang Katolik seperti misa besar. Misa besar itu diadakan pada saat pertama gua doa

dibangun. Begitu pula dengan partisipan kedua (Kr) yang walaupun secara fisik tidak

dapat ikut akan tetapi ia tetap berusaha mengikuti kegiatan berdoa di kapel setiap hari

Rabu dan Sabtu. Selain itu ia juga mengikuti kegiatan misa Jumat. Hal ini

menunjukkan bahwa adanya kesadaran untuk mematuhi dan menghormati nilai,

integritas hukum dan kebudayaan yang berlaku di lingkungan akan membuat individu

dapat diterima dengan baik di lingkungannya Schneiders (1964).

Wireskat ini memberikan kebebasan kepada para mantan penyandang kusta yang

ingin mencoba untuk hidup di luar lingkungan Wireskat. Sebelum para mantan

penyandang kusta mencoba untuk hidup di luar lingkungan Wireskat maka diperlukan

social adjustment yang lebih baik sehingga mereka akan lebih mudah untuk

beradaptasi dalam situasi yang sulit. Kemampuan individu agar dapat bangkit dan tetap

teguh dalam situasi yang sulit merupakan pengertian dari resiliensi (Wolin dalam

Taylor 2003). Resiliensi akan dapat berfungsi secara maksimal jika individu dapat

Page 32: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

23

mengelola keadaan emosi, pengendalian impuls, optimisme dan empati (Reivich dan

Shatte, 2002). Hal tersebut dapat ditemukan pada partisipan pertama (K) yang ingin

keluar dari lingkungan Wireskat karena memikirkan masa depan anaknya. K sudah

mempersiapkan mental untuk menerima cacian dan hinaan dari orang lain. K juga

percaya diri bahwa ia akan dapat mencari nafkah di luar lingkungan Wireskat. Namun

pada partisipan kedua (Kr) ditemukan perbedaan hasil sebagai mantan penyandang

kusta yang hanya berupaya untuk tidak peduli jika dipandang aneh dan

memasrahkannya kepada Tuhan. Selain itu ia tidak ingin keluar dari lingkungan

Wireskat karena kakinya telah diamputasi dan akan mengalami kesulitan jika bekerja

di sawah dengan kaki yang tidak sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa partisipan

kedua tidak mampu jika hidup di luar lingkungan Wireskat.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dalam penelitian ini

diperoleh kesimpulan mengenai gambaran social adjustment mantan penyandang kusta

yang telah dinyatakan sembuh secara medis di Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik

Wireskat Blora adalah dampak penolakan yang pernah diterima berpengaruh pada cara

kedua partisipan dalam menjalin relasi sebagai mantan penyandang kusta. Penolakan

yang diterima oleh partisipan pertama dari saudara dan kakak keduanya justru

memacunya untuk menjalin relasi dengan lingkungan. Sedangkan penolakan yang

diterima oleh partisipan kedua dari tetangga maupun temannya membuat ia sulit untuk

menjalin relasi dengan lingkungan karena masih memiliki perasaan takut jika ditolak.

Sebagai mantan penyandang kusta mereka memiliki keinginan agar dapat diterima

orang lain seperti pada orang umumnya. Namun mereka tidak memaksakan

Page 33: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

24

keinginannya itu kepada orang lain. Mereka belajar untuk menerima dan tidak sakit hati

oleh karena mereka belajar bagaimana tetap menghargai hak orang lain. Selain itu

sebagai mantan penyandang kusta mereka tetap ingin memberikan pertolongan kepada

orang lain akan tetapi karena keterbatasan fisik yang dimiliki, mempengaruhi

kemampuannya dalam memberikan pertolongan. Mereka juga dapat menghormati

kebudayaan yang ada di dalam Wireskat seperti halnya kegiatan kerohanian yang sering

dilaksanakan di Wireskat.

Setelah mengalami pemulihan untuk menerima diri sendiri dengan bantuan orang

lain hingga akhirnya mereka dapat berelasi kembali. Kedua partisipan terlihat bahwa

ada perbedaan dalam merespons keinginan untuk hidup di luar lingkungan Wireskat.

Partisipan pertama sudah merasa yakin bahwa dirinya dapat hidup di luar lingkungan

Wireskat, sedangkan partisipan kedua merasa tidak yakin untuk dapat hidup di luar

lingkungan Wireskat karena keterbatasan fisik yang dimilikinya.

Setelah melakukan penelitian ini, peneliti juga ingin memberikan saran terutama

kepada peneliti selanjutnya bahwa dalam melakukan penelitian harus dapat melihat

bagaimana sikap atau pandangan yang diberikan oleh lingkungan sekitar Wireskat

kepada para mantan penyandang kusta. Selain itu kepada mantan penyandang kusta agar

tidak merasa takut untuk mencoba berelasi dengan lingkungan luar Wireskat. Untuk

masyarakat umum agar tidak menilai mereka sebagai individu yang harus dijauhi oleh

karena mereka memiliki keinginan agar dapat diterima selayaknya orang umum.

Pemberian stigma yang negatif sangat berpengaruh bagi pemulihan social adjustment

para mantan penyandang kusta. Sedangkan untuk Wireskat sendiri disarankan untuk

dapat mengajak para warga Wireskat mengikuti kegiatan di luar Wireskat agar semua

para mantan penyandang kusta tidak mendapatkan perlakuan diskriminasi dari warga

Page 34: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

25

sekitar Wireskat dan menggalakan suatu usaha seperti memberikan informasi edukasi

mengenai penyakit kusta kepada masyarakat.

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengalami keterbatasan riset seperti

kurang dapat menggali kebenaran (observasi secara langsung) yang dikemukkan oleh

kedua partisipan dalam menjalin relasi dengan lingkungan sekitar Wireskat.

DAFTAR PUSTAKA

Ana, B. dan Rosanda, M. (2011). Reminiscence The history of leprosy in Dubrovnik:

an overview. International Journal of Dermatology.

Barrett, R. (2005). Self Mortification and Stigma of Leprosy In Nothern India. Journal

Article Medical Anthropology Quarterly.

Cechnicki, A. Matthias, C. Angermeyer, & Bielanska, A. (2011). Anticipated and

experienced stigma among people with schizophrenia: its nature and correlates. Soc

Psychiatry Psychiatr Epidemiol 46, 643–650.

Ceyhan, A. (2011). Investigation of university student‟s self-acceptanceand learned

resourcefulness: a longitudinal study. Higher Education: 649–661.

Fereday, J. dan Muir-Cochrane, E. (2006). Demonstrating rigor using thematic

analysis: A hybrid approach of inductive and deductive coding and theme

development. International Journal of Qualitative Methods 51, 1-11.

Hardonohadi, P. (1996). Jati diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme

Whitehead. Yogyakarta : Kanisius.

Lundberg, B. Lars, H. dkk. (2007). Sociodemographic and clinical factors related to

devaluation/discrimination and rejection experiences among users of mental health

services. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol, 42, 295–300.

Maharani, P.J. (2010). Konsep Diri Mantan Penderita Kusta Di Wisma Rehabilitasi

Sosial Katolik (Wireskat) Blora (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Katolik

Soegijapranata (UNIKA), Semarang.

Mehendele, dkk. (2011). Awareness, social acceptance and community views on leprosy

and its relevance for leprosy control, Tamil Nadu (Case Report). Retrieved from

http://www.ijl.org.in/jul-sep/7%20S%20Thilakavathi%20(7).pdf.

Mirza, M. (2011). Gambaran Social Adjusment Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan

Sembuh Secara Medis (Studi Di Lingkungan Pemukiman Kusta Sitanala

Tangerang) (Skripsi Tersedia (Online):

Page 35: OLEH AYU OKKY LIANAWATI 802009019 TUGAS AKHIR

26

http://www.scribd.com/doc/68650463/Gambaran-Social-Adjustment-Pada-Mantan-

Penyandang-Kusta-Setelah-Dinyatakan-Sembuh-Secara-Medis.

Peringatan Hari Kusta Sedunia Kemenkes dan 11 Organisasi Tandatangani Piagam

Seruan Nasional Mengatasi Kusta 2012. (2012, Januari). Depkes. Terambil dari

http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=1835.

Raffety, J. (2005). Curing The Stigma Of Leprosy. Lepr Rev, 76, 199-126.

Ryff, C.D., &Keyes, C.L.M. (1995). The structure of psychological well being

revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727.

Young Sae, H. & Yeon Hwa, K. (2012). Interpersonal rejection experience and shame

as predictors of susceptibility to peer pressure among Korean children. Journal

Social Behaviour and Personality, 40, 1213-1232.

Sari, M. (2006). Minat Sosial Mantan Penderita Lepra Usia Dewasa Muda (Skripsi

tidak diterbitkan). Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga.

Schneiders, AA. (1964). Personal Adjusment and Mental Health (pp. 454-458). New

York : Holt, Reinhart and Wiston INC.

Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan (pp 56-65). Jakarta : PT Grasindo.

Simanjuntak, NM. (2010). Studi Kasus Penyesuaian Sosial Pada Pasien Yang

Mengalami Depresi Pasca Stroke (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Negeri

Malang (UNM). Malang.

Taylor, E. Michael, K. Patricia, & J. Smaranda, V. (2003). Resiliency, Risk, and

Substance Use Among Hispanic Urban Juvenile Detainees. Journal of Addictions

and Offender Counseling.

Wikipedia Ensiklopedia Bebas. (2013). Penyakit Hansen.

http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen