Nyoman Dantes Blog

54
Nyoman Dantes Blog « PERSPEKTIF DAN KEBIJAKAN PENDIDIKANMENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL KONSEP DASAR DAN PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) » Tinjauan Pedagogik Pengaruh Faktor Kecerdasan, Kreativitasdan Potensi Diri terhadap Keberhasilan dalam Memimpin By Prof. Nyoman Dantes Tinjauan Pedagogik Pengaruh Faktor Kecerdasan, Kreativitas dan Potensi Diri terhadap Keberhasilan dalam Memimpin Oleh : Nyoman Dantes 1. Pendahuluan Ciri utama abad milinium ini adalah terjadinya globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Kita hidup pada masa berlangsungnya banyak perubahan yang mempercepat globalisasi, informasi yang kian menggunung, dominasi sains dan teknologi yang terus bertumbuh, dan benturan berbagai kultur. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi penting. Dalam kaitan dengan itu, terjadi kehidupan yang penuh dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah adanya keterbukaan, jaminan mutu dan persamaan hak. Dalam konteks kepemimpinan, hal itu tentunya berarti dimensi penghargaan, pengakuan dan keadilan pada setiap individu berhak mendapat prioritas yang setinggi- tingginya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Kepemimpinan yang dapat memberikan kenyamanan, perasaan aman, kesejahtraan moriil dan materiil akan berdampak langsung pada kesejahtraan hidupnya. Hal tersebut merupakan dimensi aksiologi kepemimpinan. Maka dari itu diperlukan dasar pemahaman yang kuat dan dasar yang kokoh

Transcript of Nyoman Dantes Blog

Page 1: Nyoman Dantes Blog

Nyoman Dantes Blog

« PERSPEKTIF DAN KEBIJAKAN PENDIDIKANMENGHADAPI TANTANGAN   GLOBAL KONSEP DASAR DAN PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS   (PTK) »

Tinjauan Pedagogik Pengaruh Faktor Kecerdasan, Kreativitasdan Potensi Diri terhadap Keberhasilan dalam Memimpin

By Prof. Nyoman Dantes

Tinjauan Pedagogik Pengaruh Faktor Kecerdasan, Kreativitas

dan Potensi Diri terhadap Keberhasilan dalam Memimpin

Oleh : Nyoman Dantes

1. Pendahuluan

Ciri utama abad milinium ini adalah terjadinya globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Kita hidup pada masa berlangsungnya banyak perubahan yang mempercepat globalisasi, informasi yang kian menggunung, dominasi sains dan teknologi yang terus bertumbuh, dan benturan berbagai kultur. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi penting. Dalam kaitan dengan itu, terjadi kehidupan yang penuh dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah adanya keterbukaan, jaminan mutu dan persamaan hak. Dalam konteks kepemimpinan, hal itu tentunya berarti dimensi penghargaan, pengakuan dan keadilan pada setiap individu berhak mendapat prioritas yang setinggi-tingginya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Kepemimpinan yang dapat memberikan kenyamanan, perasaan aman, kesejahtraan moriil dan materiil akan berdampak langsung pada kesejahtraan hidupnya. Hal tersebut merupakan dimensi aksiologi kepemimpinan. Maka dari itu diperlukan dasar pemahaman yang kuat dan dasar yang kokoh bagi pemimpin atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sentuhan dengan pendekatan kemanusiaan akan dapat merupakan wahana transpormasi budaya, dan proses itu sendiri adalah budaya intingeble,merupakan social culture, dan juga merupakan dan mendukung culture system. Dalam kaitannya dengan itu pemimpin dituntut berperan sebagai agen pengembang dan pembentuk budaya kerja organisasi.

Bila kita analisis pengalaman sejarah bangsa kita, pasang surutnya perkembangan bangsa kita, diperlukan usaha yang sangat serius untuk menata kehidupan bangsa dalam berbagai aspek. Menata kehidupan bangsa dalam berbagai aspeknya termasuk pendidikan adalah hal yang sangat mendesak untuk dilakukan, walaupun hal itu diketahui sulit. Pada hakekatnya proses penataan kembali itu diperlukan, karena hadirnya sejumlah perubahan, yang beberapa diantaranya sangat fundamental dan tidak pernah diramalkan sebelumnya. Dunia bergerak ke masa depan dengan dinamis, dan dalam proses itu banyak nilai masa lalu yang tidak tepat lagi dengan konteks perkembangan jaman. Hal ini disebabkan karena memang perubahan

Page 2: Nyoman Dantes Blog

perkembangan masyarakat; dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan, dari masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa, dari tipologi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, juga berkembang dari masyarakat paternalistik ke masyarakat demokratis. Hal ini dapat menyebabkan sebagian masyarakat mengalami disorientasi nilai. Dalam tingkat tertentu hal tersebut juga mempengaruhi dunia pendidikan kita.

Sebagai masyarakat yang sebagian besar cenderung dalam tipologi tradisional, terkait dengan perubahan jaman tersebut, untuk bisa hidup harmonis dan bahagia dalam lingkungan dunia baru (global) ini, diperlukan hadirnya Neotradisional Norm yaitu nilai-nilai baru yang berakar pada nilai-nilai tradisional (asli) dan dalam perkembangan dan perubahan nilai dapat disebut dengan dynamic integrated norm yaitu suatu perubahan nilai yang dianut masyarakat tetapi masih bersumber dan terintegrasi dengan nilai aslinya yang bisa berupa nilai-nilai luhur bangsa yang merupakan puncak-puncak nilai bangsa, maupun berupa nilai yang bersumber dari kearifan lokal (local geneus). Semua ini mewarnai perilaku kehidupan masyarakat dan ini juga mewarnai perilaku mereka dalam melakukan kegiatan-kegiatan profesional maupun dalam dunia kerja industri. Pola-pola manajemen (pengelolaan) sumber daya pun harus dapat mengantisipasi hal tersebut.

Bila kita kaji beberapa referensi dalam kaitan dengan hal di atas, tampak jelas penggambaran adanya perubahan zaman yang sangat pesat. Seperti Nisbet (1997) telah menyodorkan sepuluh megatrent global yang akan terjadi ke depan yang terkenal dengan megatrent global melenium yang meliputi boom ekonomi global, renaisan dalam seni, sosialisme pasar bebas, gaya hidup global dan nasionalisme kultural, swastanisasi, kebangkitan tepi pasifik, dasawarsa kepemimpinan wanita, abad biologi, kebangkitan agama milinium, dan kejayaan individu, dan ini akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam berinteraksi, yang pada gilirannya akan mewarnai bagaimana pola kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang manager untuk mengelola para sumber daya yang dipimpin.. Sedangkan Rowan Gibson (1997) menyatakan tiga hal sehubungan dengan kehidupan ke depan yaitu : pertama, the road stop here ; yang esensinya menyatakan bahwa masa depan nanti akan sangat berbeda dari masa lalu, dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan itu. Kedua, new time call for new organizations, yang pada esensinya menyatakan bahwa dengan tantangan yang berbeda diperlukan bentuk organisasi/ institusi yang berbeda dan kepemimpinan yang berbeda dengan ciri efisiensi yang tinggi, dan kecepatan bergerak. Ketiga, where do we go next; yang esensinya menyatakan bahwa, dengan berbagai perubahan yang terjadi, setiap organisasi, institusi, pemimpin, perlu merumuskan arah yang tepat yang ingin dituju. Peter Senge (2004) juga mengemukakan bahwa akan terjadi ke depan ini perubahan dari detail comlplexety ke dinamic complexity yang nantinya akan membuat interpolasi menjadi sulit. Perubahan terjadi akan sangat mendadak dan tidak menentu. Sedangkan Rossabeth Moss Kanter (1994) menyatakan masa depan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan dan setiap pelakunya disetiap bidang termasuk bidang pendidikan dan kepemimpinan dalam pendidikan dituntut memiliki 4C yaitu : Concept, Competence, Conection, dan Confidance. Maka dari itu kedepan diperlukan pendidikan yang, di samping menguasai sains dan teknologi yang tinggi, harus didasarkan pada dasar pemahaman dan penguasaan nilai dan moral kemanusiaan yang kokoh. Maka dari itu kepemimpinan yang diharapkan diterapkan dalam perubahan jaman yang begitu cepat adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan inner power yang dimiliki oleh sumber daya yang dipimpin antara lain yaitu faktor kecerdasan, kreativitas, pengelolaan diri, dan faktor-faktor aktivitas kepemimpinan.

1. Faktor Kecerdasan

Page 3: Nyoman Dantes Blog

Kecerdasan pada hakikatnya merupakan potensi dasar yang dimiliki manusia, sehingga kecerdasan merupakan faktor internal yang dimiliki manusia yang akan mempengaruhi berbagai keputusan kognitif maupun nonkognitif yang diambil seseorang. Bersamaan dengan pesatnya perkembangan ilmu psikologis saat ini, penelitian-penelitian dan pengembangan teoretik mengenai kecerdasan makin bervariasi. Asumsi-asumsi hipotetik tentang kecerdasan pun makin berkembang pula. Semenjak dikemukakannya asumsi teoretik tentang kecerdasan mutiple oleh Gardner, muncul asumsi teoretik tentang berbagai kecerdasan seperti, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, kecerdasan relegius muncul mengiringi konsep teoretik tentang kecerdasan inteligen yang telah lama menguasai konsep kecerdasan yang meyakini bahwa sangat signifikan pengaruhnya terhadap perilaku-perilaku kognitif maupun kognitif seseorang.

Dengan berbasis studi yang dilakukan oleh para psikologi dan ahli pendidikan menemukan kecerdasan inteligen (IQ), berpengaruh secara signifikan sebesar antara 16-24 % terhadap keberhasilan seseorang yang terkait dengan perilaku kognitif (akademik). Ini artinya makin tinggi inteligensi seseorang akan makin besar pengaruhnya terhadap kesuksesan menempuh pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan akademik. Dalam kaitannya dengan tugas-tugas seseorang pimpinan khususnya dalam lembaga-lembaga formal faktor inteligensi ini pasti berpangaruh secara signifikan. Seseorang pimpinan tidak boleh lebih bego dari yang dipimpin, karena hal ini menyangkut otorita personal seseorang ynag dapat mempengaruhi persepsi bagi yang dipimpin. Studi lain yang menarik tentang inteligensi ini adalah terbentuknya kualitas inteligensi itu dipengaruhi oleh minimal tiga faktor yaitu, genetis, pengalaman menantang, dan gizi. Genetis adalah terkait dengan faktor keturunan dari pasangan suami istri, yang diyakini mengikuti hukum variasi heriditer. Sedangkan pengalaman menantang dimaksudkan adalah pengalaman-pengalaman masa kecil (0-5 tahun untuk tahap pertama; dan sampai 16 tahun untuk tahap kedua) yang dialami seseorang yang signifikan membentuk pertumbuhan sel-sel pada otak kecil; serta gizi sudah jelas satu hal yang memberi dukungan pertumbuhan biologis tersebut.

Dengan munculnya berbagai kenyataan di lapangan bahwa seseorang memiliki keunggulan di bidang kecerdasan yang berbeda, terus muncul teori mutiple inteligensi dari Gardner, yang meyakini bahwa terdapat berbagai kecerdasan yang terdiri dari aspek arithmetik, bahasa, kenestitik dan sebagainya. Sudah tentunya hal ini akan sangat berguna dan berhasil guna bagi semua orang bila seseorang diberikan tugas sesuai dengan aspek kecerdasannya.

Selanjutnya dengan diyakininya teori tentang belahan otak kiri (yang menyangkut memori tentang kecerdasan kognitif) dan belahan otak kanan yang menyimpan tentang kecerdasan emosional, nilai etika dsb), muncul studi-studi tentang kecerdasan emosional, spiritual, relegius dan sebagainya. Malah kecerdasan-kecerdasan ini sangat mempengaruhi kesuksesan seseorang dalam mengelola pekerjaan-pekerjaan yang mengkoordinasikan berbagai interaksi SDM. Kecerdasan ini diperkirakan berpengaruh sukses sekitar 60 % bagi seseorang dalam menangani pekerjaan-pekerjaan akademik. Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan bagi seseorang pemimpin sangatlah perlu adanya.

1. Faktor Kreativitas

Kreativitas merupakan realisasi dari akumulasi proses psikis, eksperience science, dan teknology. Berkembangnya suatu kreativitas adalah untuk mencari berbagai kemudahan

Page 4: Nyoman Dantes Blog

dalam hidup dan kehidupan di samping sifat explorer dari karakteristik manusia. Kreativitas sangat penting, tidak hanya bagi kehidupan modern akan tetapi berlaku dalam setiap kehidupan yang memiliki kemauan dan upaya untuk mengembangkan diri. Supaya timbul kemauan dan upaya pengembangan diri, seseorang memerlukan dorongan, pemikiran dan prilaku yang kreatif.

Rhodes membedakan kreativitas ke dalam dimensi person, process, product, dan press, (dalam Supriadi, 1994:7). Definisi kreativitas yang menekankan pada dimensi persons, sejalan dengan ungkapan Guilford yang menyatakan bahwa “Creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people” (Supriadi, 1994:7). Definisi yang menekankan segi proses, yang dikemukakan oleh Munandar (1977:25) sebagai berikut, “Creativity is a process that manifest itself in fluency, in flexibility aqs well in originalty of thinking” . Disisi lain Hurlock (1978:68) mengungkapkan bahwa kreativitas bukanlah hasil (produk), akan tetapi merupakan proses yang mempunyai tujuan, mendatangkan keuntungan baik bagi individu yang bersangkutan maupun kelompok sosialnya, mengarah kepenciptaan yang baru, berbeda dan unik, dapat berupa bentuk imajinasi yang dikendalikan menjurus kebeberapa bentuk imajinasi yang dikendalikan ke beberapa bentuk prestasi, serta merupakan suatu cara berpikir. Karena kreativitas timbul dari pemikiran divergen. Namun kemampuan mencipta tergantung pula pada perolehan pengetahuan yang diterima. Menurut Semiawan, dkk (1997:52) kreativitas sebagai peroses merupakan hal yang lebih essensial dan perlu ditanamkan pada individu sejak dini dengan menyibukkan diri dengan cara kreatif. Misalnya dalam proses bermain, dengan adanya gagasan atau unsur-unsur pikiran, akan menjadi keasikan yang menyenangkan dan penuh tantangan bagi individu yang kreatif. Dengan kata lain, kreativitas dalam hal ini merupakan proses berpikir yang mengarah kepada suatu usaha untuk menemukan hubungan baru, mendapatkan jawaban, metode atau cara baru dalam memecahkan masalah. Memiliki individu-individu kreatif atau memimpin individu-individu kreatif dengan kepemimpinan yang humanistik akan memacu produktivitas baik secara kualitas maupun kuantitas. Atau, dari sisi manajer, memiliki manajer yang kreatif akan dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk mencapai hasil yang optimal.

Ditinjau dari segi produk, kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, yang pada umumnya bersifat original atau unik. Secara lebih rinci Munandar (1992:46), menjelaskan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada sehingga menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah dengan menekankan pada kuantitas, ketepat-gunaan, dan keragaman jawaban. Kreativitas yang dimaksud adalah kreatif dan konvergen. Kreativitas adalah karya yang merupakan hasil dari pemikiran dan gagasan. Ada rangkaian proses yang panjang dan harus digarap terlebih dahulu sebelum suatu gagasan menjadi suatu karya. Rangkaian tersebut antara lain meliputi fiksasi (pengikatan dan pemantapan) dan formula gagasan, penyusunan rencana, program dan tindakan, dan akhirnya tindakan nyata yang harus dilakukan sesuai dengan rencana yang telah disusun untuk mewujudkan gagasan tersebut (Soesarsono Wyandi, 1988:60).

Dimensi press (tekanan/dorongan) adalah kondisi yang dapat mendorong atau menghambat seseorang untuk bertindak kreatif. Dorongan atau hambatan tersebut dapat berasal dari luar, yaitu lingkungan keluarga, sekolah atau masyarakat, maupun dari dalam individu itu sendiri. Jika kedua kondisi ini menguntungkan atau menunjang yakni adanya dari seseorang (individu) untuk melibatkan diri secara kreatif, dan ia mendapatkan kesempatan maka lebih menguntungkan individu tersebut bertindak secara kreatif.

Page 5: Nyoman Dantes Blog

Definisi lain mengenai kreativitas, diungkapkan oleh Amien (1980), yang mengatakan bahwa kreativitas merupakan pola berpikir atau ide yang spontan atau imajinatif yang mencirikan hasil artistik, penemuan-penemuan alamiah, dan penciptaan-penciptaan secara mekanik. Labih lanjut dijelaskan bahwa kreativitas meliputi sesuatu yang baru atau sama sekali baru bagi dunia ilmiah atau relatif baru bagi individunya. Dari segi sifat, para individu kreatif umunya bersifat merangsang diri sendiri, bebas, sensitif, berorientasi kepada sasaran dan mampu menggerakkan upaya mereka sendiri. Mereka juga bebas terbuka dan fleksibel secara emosional dibandingkan dengan orang-orang yang kurang kreatif. Pemikiran bertingkat ganda mereka dapat bersifat pada kesegaran dan kecendrungan yang kuat untuk melihat rimba tetapi bukan setiap pohon (Dale Timpe, 1982:24).

Dengan demikian dapat dilihat bahwa kreativitas mengandung arti dan mempunyai tahapan yang diawali dengan suatu pemikiran atau ide yang kreatif, kemudian melakukan kegiatan kreatif sehingga tercipta hasil kreatif. Jadi kreativitas merupakan kamampuan seseorang melahirkan sesuatu yang baru, dan bahkan menciptakan situasi yang baru, yang dapat diduga berpengaruh pada situasi lingkungan (yang dalam hal ini dapat berarti lingkungan kerja).

Dalam kaitan dengan itu, ciri-ciri kreativitas pada umumnya dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan kemampuan kreatif dari seseorang. Manurut Guilford (dalam Dedi Supriadi, 1994:55) ciri-ciri kreativitas seseorang dapat dilihat dari aspek berpikir, dan aspek dorongan atau motivasi. Aspek berpikir kreatif ditunjukkan oleh sifat-sifat kelancaran (fluency), kelenturan (flexcibility), keaslian (originality), dan penguraian (elaboration). Aspek dorongan atau motivasi ditunjukkan oleh sifat-sifat karakter, seperti percaya diri, tidak konvensional, dan aspirasi keindahan. Terkait dengan hal ini, Baban Sarbana dan Dina Diana (2002:69) mengemukakan, menjadi kreatif adalah melihat hal yang sama seperti orang lain, tetapi berpikir tentang sesuatu yang berbeda dan menjadi kreatif adalah membawa kepada suatu yang baru sebelumnya tidak ada.

Kelancaran (fluency), adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan. Ciri-cirinya antara lain: (1) Word fluency, yakni kemampuan untuk menghasilkan kata-kata yang dalam kaitan ini dimaksudkan seseorang yang dapat menhasilkan (menggunakan kalimat/kata-kata) yang bermakna dan lancar dalam berkomunikasi. Seorang pemimpin yang dapat memilih dan menggunakan kalimat (kata-kata) yang tepat dalam berinteraksi dengan yang dipimpin akan dapat menghasilkan produk yang diharapkan secara optimal, (2) Associational fluency, yaitu kemampuan untuk menghasilkan sejumlah kata-kata yang mengandung beberapa macam hubungan, dapat terbentuk sebuah ide, pemberian judul atau memberikan arti yang serupa. Selain itu dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir secara analog atau kebalikannya. (3) Expressional fluency, adalah kemapuan untuk menyusun kata-kata terorganisasi, seperti dalam bentuk ungkapan-ungkapan atau kalimat-kalimat. Dengan kata lain merupakan kelancaran dalam mengekpresikan pikiran-pikiran, ide-ide atau pemecahan masalah dalam bentuk kata-kata atau kalimat. (4) Ideational fluency, merupakan kemampuan untuk menghasilkan sejumlah ide-ide dengan cepat yang sesuai dengan kegunaan yang diminta. Beberapa jenis tes mengenai ideational fluency, kecepatan lebih penting dari kualitas. Ide yang dihasilkan dapat berbentuk simpel atau kompleks, dapat berupa pemberian judul baik untuk gambar maupun cerita, atau dapat pula berupa ungkapan-ungkapan dalam kalimat pendek yang merupakan kesatuan hasil pemikiran.        Kelenturan (flexibility) yaitu kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendakatan terhadap masalah. Hal-hal yang termasuk dalam ciri-ciri ini adalah: (1) Spontaneous flexibility yakni kemampuan atau kecenderungan untuk menghasilkan bermacam-macam variasi dari ide-ide yang bebas dari hambatan atau keterpaksaan. Spontaneous flexibility dapat dikatakan pula

Page 6: Nyoman Dantes Blog

sebagai keluwesan dalam mengadakan pendekatan terhadap masalah. Artinya, bila melalui pendekatan yang satu tidak mendapatkan hasil yang diharapkan, maka dengan segera akan menggantikannya dengan cara pendekatan yang lain. Seseorang yang memiliki kemampuan Spontaneous flexibility rendah, akan terlihat kaku dalam memberikan ide atau pendapatnya. Ia akan cenderung untuk bertahan pada satu atau beberapa pada pemikiran yang sempit saja. Namun demikian orang tersebut masih mempunyai kemungkinan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi meskipun tidak melakukannya secara spontan. (2) Adaptiveflexibility, merupakan penyesuaian yang fleksibel dalam menghadapi masalah sampai diperoleh hasil pemecahannya. Mengenai hal ini, seseorang akan gagal untuk menyelesaikan masalah bila ia tidak mampu untuk bertindak fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan masalah yang sedang dihadapi.

Orisinalitas adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli dan tidak klise. Dapat pula diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang luar biasa, jarang ditemui dan unik. Seseorang dikatakan memiliki gagasan yang orisinal apabila ia memilki gagasan-gagasan yang tidak pernah dimiliki orang lain. Gagasan-gagasan itu punya kelas tersendiri dan orang yang punya gagasan semacam itu harus mempercayai dirinya dan gagasannya. Orang yang mampu melahirkan permikiran-pemikiran orisinal harus memiliki rasa percaya diri yang kuat (dan tetap rendah hati) karena mereka cenderung untuk berpikir yang berlawanan dengan pikiran-pikiran yang konvensional. Akibatnya gagasan mereka lebih besar kemungkinannya untuk menerima komentar negatif bertubi-tubi. Terkait dengan hal ini Willams (dalam Utami Munandar, 1992:89), mengemukakan tentang prilaku yang didasarkan pada berfikir orisinal seperti: memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain, mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha untuk memikirkan cara-cara yang baru, memilih asimetri dalam menggambarkan atau membuat desain, memiliki cara berpikir yang lain dari yang lain dan mencari pendekatan yang baru dari yang stereotif.

Elaborasi adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu yang terinci, yakni merupakan kreativitas untuk merangkai sebuah ide atau jawaban-jawaban simpel agar menjadi lebih mendetail. Elaborasi ini dapat dikembangkan dengan cara memberi latihan kepada subyek untuk memberikan informasi tambahan, atau komunikasi verbal.

Williams (dalam Utami Munandar, 1992:90), mengemukakan kemampuan mengelaborasi sebagai berikut: (a) mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk, (b) menambahkan atau merinci detil-detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Selanjutnya dikemukakan bahwa prilaku subyek yang mempunyai ketrampilan mengelaborasi sebagai berikut: (a) mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci, (b) mengembangkan atau memperkaya gagasan orang lain, (c) mencoba atau menguji detil-detil untuk melihat arah yang ditempuh, (d) mempunyai rasa keindahan yang kuat sehingga tidak puas dengan penampilan yang kosong atau sederhana.

Berdasarkan analisis Guilford (dalam Tedjasutisna, 1999:26) menyebutkan ada lima faktor sifat yang menjadikan ciri kemampuan berpikir kreatif yaitu: (1) Kelancaran (fluency) adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan, (2) keluwesan (fleksibility) adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan masalah, (3) keaslian (originality) adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara asli, (4) penguraian (elaborastion) merupakan kemampuan untuk menguraikan suatu secara lebih

Page 7: Nyoman Dantes Blog

rinci, (5) redefinition adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah diketahui oleh orang banyak.

Pakar lain yakni Moore menyebutkan empat macam ciri utama dari kreativitas yang pada dasarnya masih senada dengan pendapat Guilford di atas. Ciri tersebut antara lain sensitivitas terhadap masalah (problem sensitivity), kelancaran ide (idea fluency), kelenturan pemikiran (idea flexibility), dan keaslian pemikiran atau idea originality.

Sensitivitas terhadap masalah (problem sensitivity) adalah kemampuan utau kepekaan seseorang untuk melihat masalah. Artinya orang yang kreatif memiliki kepekaan yang lebih tinggi dalam melihat masalah, situasi, dan tantangan sehingga dapat merumuskan masalah, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang benar untuk menganalisis dam merumuskan masalah tersebut.

Kelancaran ide (idea fluency) merupakan kemampuan untuk menciptakan ide-ide sebagai alternative pemecahan masalah. Namun untuk menghasilkan ide-ide, diperlukan adanya pengetahuan luas dan mendalam. Bagi orang kreatif, ia akan mampu melihat masalah dari berbagai macam sudut pandang, serta menciptakan alternatif pemecahannya dari berbagai sudut pandang pula.

Kelenturan pemikiran (idea flexibility) menunjuk kepada kemampuan mengubah ide (pemikiran), meninggalkan suatu kerangka berpikir untuk kerangka berpikir lain untuk mengganti pendekatan satu dengan pendekatan lainnya. Hal ini berarti orang yang kreatif tidak akan terlalu terikat pada pemecahan masalah yang sudah lazim digunakan, akan tetapi ia akan selalu berusaha menemukan alternatif baru yang lebih efektif.

Keaslian pemikiran (idea originality) yaitu kemampuan menciptakan pemikiran atau ide-ide yang asli dari dirinya. Oleh karena itu orang yang kreatif akan mampu menciptakan ide/pemikiran dalam bentuk baru, imajinatif, dan orisinal sehingga dapat menjangkau di luar pemikiran orang biasa, atau dapat berpikir unik melampui cara-cara yang lazim digunakan.

Terkait dengan hal di atas potensi kreativitas yang dimiliki oleh seseorang pemimpin akan member warna yang kental dalam kepemimpinannya, yang pada gilirannya akan mempengaruhui budaya organisasi dan prestasi yang dicapai oleh anggotanya.

1. Potensi Diri

Filosofis strategi pengelolaan potensi diri dilandasi pada suatu pandangan bahwa, setiap insan manusia memiliki potensi diri dan potensi pengelolaan diri, untuk berkembang dalam hidup. Potensi tersebut adalah aspek-aspek psikologis yang ada dalam diri setiap individu (baik yang kognitif maupun nonkognitif), yang siap untuk berkembang manakala mendapat kondisi yang diperoleh dalam pengalaman di lingkungannya. Aspek-aspek psikologis ini jika mendapat sentuhan secara ilmiah dan sistematis dapat dipastikan dapat berkembang optimal dan terwujud dalam diri setiap individu secara lebih bermakna. Sentuhan psikologis yang sistematis menjadikan semua aspek psikologis itu terukur dan dapat dijadikan pedoman untuk membantu memberi layanan kepada setiap individu. Pengelolaan potensi diri sebagai suatu strategi sebenarnya dapat digolongkan masih relatif baru dalam dunia managemen, karena baru muncul pada tahun 1970. Pengembangan strategi pengelolaan diri ini berawal dari tradisi managemen behavioral kontemporer setelah kaum behavioral memperhatikan

Page 8: Nyoman Dantes Blog

pentingnya peranan kognisi terhadap terjadinya perubahan perilaku dan memberikan apresiasi terhadap kekuatan self directed behavior ( Shelton,1976).

Strategi pengelolaan potensi diri pada mulanya dikembangkan oleh Williams dan Long (dalam Corey, 1982). Pada awal perkembanganya strategi pengelolaan diri belum memiliki istilah yang mantap karena belum ada kesepakatan dari para pelopornya sehingga masih bervariasi istilah yang digunakan. Beberapa pelopor dan pengembang selanjutnya menggunakan istilah pengelolaan diri secara berbeda, seperti Meinchenbaum menggunakan istilah self–instruction, Mahoney dan Thorensen menggunakan istilah self–control, sedangkan Watson dan Tarp memakai istilah self–direction (Mahoney & Arnkoff, 1978 ; Krumbolt & Saphiro, 1979). Sangat bervariasinya istilah yang digunakan itu sempat menimbulkan kebingungan dan kekaburan terminologis. Hanya saja, para pakar pengembang tersebut sepakat bahwa pada intinya menunjuk kepada strategi pengubahan dan pengembangan perilaku yang sangat menekankan pada kemampuan individu untuk melakukannya sendiri dengan seminimal mungkin arahan dari instruktur.

Meskipun pada awalnya masih bervariasi istilah yang digunakan, tetapi pada perkembangan-perkembangan selanjutnya terjadi kesepakatan untuk menggunakan istilah pengelolaan diri. Demikian pula Yates (1985) menggunakan istilah pengelolaan diri dengan alasan (1) pengelolaan diri lebih menunjuk pada pelaksanaan dan penanganan kehidupan seseorang dengan menggunakan suatu keterampilan yang dipelajari, dan (2) pengelolaan diri juga dapat menghindarkan konsep inhibisi dan pengendalian dari luar yang sering kali dikaitkan denga konsep kontrol dan regulasi.

Anggapan dasar pengelolaan potensi diri sebagai suatu strategi cognitive – behavioral, adalah memandang setiap manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan positif maupun negatif. Segenap perilaku manusia itu merupakan hasil dari proses belajar dalam merespon berbagai stimulus dari lingkungannya. Namun pengelolaan diri menentang keras pandangan behavioral radikal yang mengatakan bahwa manusia itu sepenuhnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan. Yates (1985) secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan diri bukanlah suatu pendekatan yang sepenuhnya deterministik dan mekanistik yang menyingkirkan potensi diri individu untuk membuat pilihan dan keputusan. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam proses belajar untuk menghasilkan perilaku itu aspek kognitif juga memiliki peranan penting terutama dalam mempertimbangkan, menentukan pilihan, dan mengambil keputusan perilakunya. Atas dasar itu pula pengelolaan diri memberikan posisi yang terbaik terhadap proses kognitif dan self – regulated – behavior, dan berguna sebagai strategi pengelolaan sumber daya manusia.

Berdasarkan pandangan tentang hakekat manusia serta perilakunya itu, maka pengelolaan diri bertujuan untuk membantu individu agar dapat mengubah perilaku negatifnya dan mengembangkan perilaku positifnya dengan jalan mengamati diri sendiri, mencatat perilaku-perilaku tertentu serta interaksinya dengan peristiwa-peristiwa lingkungannya, menata kembali lingkungan sebagai anteseden atas respon tertentu, dan menghadirkan diri untuk menentukan sendiri stimulus positif yang mengikuti sebagai konsekuensi atas respon yang diinginkan, yang pada gilirannya akan bermuara pada peningkatan motivasi berprestasi yang bersangkutan.

Sintaks yang dapat ditempuh dalam melakukan pengelolaan potensi diri subyek adalah sbb : (a) Keterlibatan (engagement); keterlibatan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan (interaksi) yang ditujukan untuk memfokuskan perhatian peserta (subyek) agar mereka siap

Page 9: Nyoman Dantes Blog

untuk terlibat aktif dalam proses kegiatan. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap keterlibatan, antara lain melalui pemberian sosialisasi-sosialisasi program, mengkaitkan pengalaman yang telah dimiliki peserta (pengetahuan awal peserta) dengan tujuan program yang ingin dicapai, pembangkitan-pembangkitan kemampuan yang telah dimiliki peserta, dsb-nya; (b) Eksplorasi, eksplorasi merupakan kegiatan dimana peserta diberikan informasi (dan/atau mencari informasi) yang perlu secara luas dan dalam tentang program yang akan dilakukan. Eksplorasi dilakukan berdasarkan panduan atau langkah-langkah pemandu yang telah disiapkan dengan memanfaatkan beraneka sumber yang tersedia. Beragam pendekatan seperti otoriter, kolegial sampai yang demokratis dapat digunakan. (c) Elaborasi; merupakan kegiatan anggota untuk menyampaikan hasil eksplorasi yang telah dilakukan secara lebih teliti, cermat dan rinci. Elaborasi dilakukan dalam bentuk penyajian hasil kerja individual atau kelompok. Dalam kegiatan elaborasi, peserta memberikan komentar dan pertanyaan yang bersifat konstruktif terhadap pemikiran/hasil kerja yang disampaikan oleh temannya. (d) Konfirmasi; konfirmasi merupakan kegiatan interaktif antara pemimpin sebagai fasilitator dengan anggota /peserta untuk memberikan umpan balik. Dalam kegiatan ini, pimpinan dapat memanfaatkan berbagai sumber acuan untuk memberikan konfirmasi /penjelasan/klarifikasi. Dari kegiatan ini diharapkan dapat menyukseskan kegiatan yang muncul dari program yang akan dilakukan.

1. Kepemimpinan dan aktivitasnya

Kepemimpinan Kepala Sekolah maupun Pengawas pada hakikatnya menyangkut pengelolaan/manajemen yang terkait dengan akademik dan managerial. Manajemen akademik menyangkut pengelolaan proses pembelajaran, kualitas tenaga pendidik yang mengelola pembelajaran. Inti dari proses pembelajaran, yang merupakan proses interaksi manusiawi, khususnya antara peserta didik (siswa) dan pendidik (guru) berkaiatan dengan suatu pengalaman tertentu, yang penuh dengan ketidakpastian. Hal ini dikarenakan dalam interaksi tersebut terkait secara kompleks berbagai aspek dalam diri pribadi yang terlibat dalam proses interaksi, baik dari sisi siswa maupun dari sisi guru, dan tidak semua aspek tersebut dapat dikendalikan guru secara langsung. Dari sisi siswa interaksi memberikan jaminan bahwa proses akan berjalan dan dapat menghasilkan out put yang diharapkan manakala siswa memiliki minat, motivasi dan kemamuan untuk belajar. Teori pendidikan mengemukakan bahwa apabila siswa terlibat aktif dalam proses belajar mengajar maka out put dari proses belajar mengajar akan berkualitas. Teori belajar ini melahirkan pendekatan dan metoda mengajar yang dikenal dengan istilah student active learning.

Dari sisi guru, proses belajar akan menjamin out put yang berkualitas apabila di samping guru menguasai materi yang akan disampaikan, menguasai metoda penyampaian, memiliki kemampuan menjalin hubungan yang akrab dengan siswa serta memiliki kemampuan untuk menjadikan dirinya menarik bagi siswa. Di samping kemampuan guru harus memiliki kemauan untuk mengabdikan dirinya bagi perkembangan peserta didik. Dengan kemampuan dan kemauan ini maka proses belajar akan menjadi menarik, menyenangkan, mengasyikan, mencerdaskan dan membangkitkan.

Sejalan dengan pemikiran diatas, maka upaya peningkatan kualitas out put pendidikian harus melewati peningkatan kualitas proses belajar mengajar. Banyak kajian untuk menjelaskan proses belajar mengajar yang berkualitas, bagaimana dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya. Wallstern dalam penelitian yang dilakukan berkaitan dengan peningkatan mutu lulusan lewat implementasi school based management menyimpulkan bahwa, peningkatan mutu out put pendidikan harus meningkatkan terlebih dahulu kualitas proses

Page 10: Nyoman Dantes Blog

belajar mengajar. Pada gilirannya kualitas proses belajar mengajar bisa meningkat apabila dapat diujudkan dua faktor yang mempengaruhinya. Pertama adanya partisipasi seluruh warga sekolah dan kedua muncul kultur akademik yang melahirkan sekolah sebagai learning community atau learning school. Partisipasi seluruh warga sekolah mulai dari guru dan siswa terutama, kepala sekolah, seluruh staf sekolah dan orang tua siswa akan melahirkan suasana sekolah yang mendukung peningkatan mutu. Kondisi ini amat diperlukan bagi guru dan siswa untuk bekerja keras guna mencapai prestasi setinggi mungkin, sehingga muncul semangat why not the best, khususnya di kalangan siswa. Tanpa ada usaha dan kerja keras terutama dari guru dan siswa kualitas out put tidak mungkin lahir.

Prasyarat kedua, sekolah menjadi a learning community atau a learning school merupakan kondisi di mana sekolah menjadi tempat bagi semua orang untuk belajar. Tidak hanya siswa yang belajar, tetapi siapapun warga sekolah, kepala sekolah, staf administrasi dan guru adalah juga belajar. Jadi bagi guru mengajar siswa juga merupakan proses belajar bagi guru itu sendiri. Dengan demikian guru melaksanakan life long education, belajar sepanjang hayat masih dikandung badan. Kondisi ini akan menghasilkan kualitas dan kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar akan terus meningkat. Tanpa guru terus belajar tidak akan ada innovasi dalam proses belajar mengajar, tanpa innovasi tersebut pendidikan akan biasa-biasa saja. Dan,lebih dari itu tanpa guru terus belajar kerja guru akan out of dated, tertelan zaman.

Menurut Wohlsetter dalam bukunya, Successful SBM: A Lesson for restructuring urban school, semua intervensi untuk meningkatkan mutu pendidikan, harus ditujukan untuk meningkatkan mutu proses belajar mengajar lewat intervening variabel, yakni partisipasi seluruh warga sekolah dan pengembangan a learning school. Intervensi yang diperlukan mencakup antara lain peningkatan sarana prasarana, peningkatan kualitas kepala sekolah, relokasi guru, peningkatan anggaran sekolah, dan peningkatan kemampuan guru.

Teori lain, yang disebut teori empat faktor, menjelaskan bahwa kualitas lulusan secara langsung ditentukan oleh kualitas pembelajaran. Pembelajaran merupakan interaksi dinamis antara guru dan siswa berkaitan dengan materi tertentu. Kualitas pembelajaran sangat tergantung pada kesiapan dan motivasi siswa di satu sisi dan di sisi lain ditentukan oleh kemampuan dan kemauan guru. Interaksi yang sering disebut proses belajar mengajar (PBM) atau sekarang ini disebut dengan pembelajaran, pada giliran berikutnya ditentukan secara langsung oleh empat faktor, yakni, kultur sekolah, manajemen, kepemimpinan dan infrastruktur sekolah yang ada.

Dalam kaitan dengan mutu guru, tepatnya kualitas professional guru, muncul permasalahan serius. Bagaimana kualitas guru dewasa ini? Apa upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu guru? Bagaimana melakukannya atau bagaimana strategi untuk meningkatkan kualitas profesional guru? Jawaban dari pertanyaan tersebut merupakan gambaran betapa perlunya kebijakan dan pedoman peningkatan kemampuan professional guru perlu untuk dirumuskan dan diimplementasikan secara sistematis dan berkesinambungan.

Kualitas guru sangat ditentukan oleh kualitas lulusan lembaga pendidikan guru. Namun, sampai saat ini di kalangan masyarakat masih memiliki keraguan akan kemampuan LPTK dalam menghasilkan guru yang berkualitas. Hal ini dikarenakan begitu dalam jurang variasi perbedaan kualitas diantara LPTK itu sendiri. Salah satu contoh adalah bagaimana rendahnya kualitas guru yang diangkat sebagai CPNS tahun 2004. Para CPNS dari berbagai LPTK dan

Page 11: Nyoman Dantes Blog

untuk berbagai jenjang sekolah serta berbagai mata pelajaran ketika dites dengan soal-soal pengetahuan yang relevan dengan tugas pokoknya, hasilnya sangat memprihatinkan. Begitu rendah kemampuan lulusan LPTK. Kondisi yang sedemikian ini menjadi upaya pengembangan kemampuan profesional guru menjadi lebih penting dan sekaligus lebih berat. Program peningkatan kemampuan profesional guru secara sistematis dan berkesinambungan merupakan suatu langkah yang paling strategis untuk meningkatkan kualitas guru dalam rangka meningkatkan kualitas siswa.

1). Ciri kerja guru

Untuk meningkatkan kemampuan profesional guru perlu difahami bagaimana karakteristik kerja guru itu. Semua faham bagaimana kerja guru, tetapi barangkali tidak sempat mencermati sesungguhnya apa dan bagaimana karakteristik kerja guru itu. Kebijakan untuk meningkatkan kualitas professional guru seharusnya juga bertumpu dari pemahamanan akan karakteristik kerja guru tersebut. Karakteristik kerja guru antara lain adalah (a) waktu guru habis di ruang-ruang kelas, (b) sifat kerja guru non-kolaboratif, (c) kontak akademik antar guru terbatas, (d) kontak antar guru lebih banyak bersifat non-akademik, (e) kerja guru tidak pernah mendapatkan umpan balik, (f) apresiasi dan penghargaan masyarakaat terhadap guru rendah, dan, (g) tidak memiliki kekuatan politik.

Memahami karakteristik tersebut maka peningkatan profesional guru harus dapat meningkatkan kualitas interaksi akademik khususnya diantara para guru sendiri, sembari meningkatkan kemampuan mereka bekerjasama dalam suatu tim, dan dapat menciptakan suatu sistem dimana guru mendapatkan umpan balik yang amat diperlukan dalam proses peningkatan kemampuan profesional guru. Berlandaskan pemikiran ini, maka thesis peningkatan mutu out put sekolah sebagaimana dikemukakan diatas dapat direvisi dan diadopsi untuk peningkatan kemampuan profesional guru.

Meningkatnyakemampuan professional guru merupakan dependent variable yang secara langsung ditentukan oleh dua variable yang merupakan intervening variable yakni; a) keberadan guru yang aktif dan partisipatif dalam kehidupan sekolah; dan, b) guru menjadikan dirinya sebagai a learning person. Semua intervensi untuk meningkatkan kemampuamn profesoional guru merupakan extrageneous variable yang pengaruhnya terhadap kualitas profesional guru senantiasa harus melewati kedua variable tersebut. Extrageneous variable yang diperlukan sebagai intervensi sudah barang tentu termasuk kebijakan untuk meningkatan kesejahteraan guru, meningkatkan kondisi kerja guru dan pemberian kesempatan bagi para guru untuk memiliki kesempatan mengikuti in-service training dan berbagai bentuk interaksi akademik yang lain. Dan yang paling penting dilaksanakan adalah guru senior melakukan observasi guru ketika sedang mengajar, dan kemudian mendiskusikan, dan memberikan umpan balik kepada guru yang bersangkutan.Tehnik ini paling manjur sekaligus paling murah dalam meningkatkan mutu guru

Dewasa ini dunia berubah dengan cepat sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat pesat. Perubahan yang amat cepat ini juga menuntut perubahan di dunia pendidikan yang cepat pula, agar pendidikan tetap bisa berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai lembaga yang salah satu tugasnya mempersiapkan tenaga kerja maka dunia pendidikan harus memahami bahwa telah terjadi perubahan yang amat cepat dalam tenaga kerja khususnya dan dunai ekonomi pada umumnya. Tenaga kerja telah dan akan terus bergeser ke arah knowledge worker, yakni tenaga kerja yang bertumpu pada penguasaan

Page 12: Nyoman Dantes Blog

teknologi untuk mengolah data, tidak lagi pada otot dan pisik. Untuk itu pada diri peserta didik tidak hanya perlu dikembangkan penguasaan ilmu dan teknologi tetapi juga sistem dan bentuk baru ilmu pengetahuan yang menekankan pada sedikit pengetahuan tetapi dapat men-generate data, menganalisis data, menarik kesimpulan dan dapat mengeneralisir dalam konteks yang lebih luas. Dengan kata lain akan terjadi perubahan dalam proses pembelajaran. Sekolah atau guru yang tidak ingin tertinggal oleh perubahan harus dapat belajar dan mengembangkan proses pembelajaran yang lebih cepat dari perubahan itu sendiri. Untuk itulah diperlukan lahirnya a learning school dan a learning teacher.

GAMBAR POLA KAUSALITAS PENINGKATAN

KEMAMPUAN PROFESIONAL GURU

A learning school adalah suatu sekolah yang memiliki kapasitas untuk melakukan pembelajaran yang menciptakan transformasi menuju innovasi. Sekolah ini memiliki ciri utama: a) seluruh warga sekolah, apapun posisinya: siswa, guru, kepala sekolah, staf administrasi, melakukan kegiatan belajar; b) belajar adalah menyenangkan, mengasyikan dan mencerdaskan; c) belajar apapun juga sepanjang apa yang dipelajari memiliki nilai-nilai kebaikan; d) tujuan pembelajaran di sekolah tidak sekedar peserta didik menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan peserta didik mampu hidup dan menghidupkan ; e) guru senantiasa menjadi CAVE worker (Consistence Added Value Everywhere); dan, f) kemajuan sekolah ditentukan oleh apa yang dilakukan guru, khususnya.

A Learning teacher adalah seorang guru yang memiliki ciri: a) Memandang siswa sebagai seseorang yang perlu dilayani, bukannya bahan mentah yang harus diolah; b) memandang sekolah sebagai suatu proses yang memiliki berbagai perbedaan sehingga tidak dapat diperlakukan secara seragam sebagaimana suatu pabrik; c) memahami bahwa guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan; d) memahami proses belajar mengajar sebagai suatu interaksi manusiawi yang penuh dengan ketidakpastian; e) menyadari semakin rendah jenjang pendidikan semakin dibutuhkan peran guru sebagai pengganti ortu; f) menyadari bahwa tugas guru mencakup dimensi akademik melaksanakan proses belajar mengajar dan dimensi non akademis, mencakup membangun moral siswa, kepemimpinan dan organisasi; dan, g) menyadari bahwa belajar sepanjang hayat merupakan keharusan mutlak untuk dilakukan oleh setiap guru.

Di samping itu, ke depan peran guru semakin kompleks karena yang harus dilakukan tidak saja mentrasfer pengetahuan dan ketrampilan tetapi jauh lebih dari itu, yakni mengembangkan peserta didik secara utuh, sehingga mampu hidup dan menghidupkan.

Page 13: Nyoman Dantes Blog

UNESCO memberikan resep untuk ini dengan empat tugas guru: learning how to learn, learning how to do, learning how to be dan learning how to live together, sebagaimana dapat dilihat gambar berikut ini.

GAMBAR PARADIGMA MENGAJAR UNESCO

Sebagaimana dilihat pada paradigma baru mengajar UNESCO, maka arah learning how to learn adalah menjadikan siswa menjadi individu yang memiliki semangat, kemauan dan kemampuan untuk terus belajar, atau menjadi learning person. how to do adalah mendidik peserta didik untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi sepanjang kehidupannya. Untuk ini kreativitas merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki. Kreativitas ini perlu diiringi dengan kemampuan untuk menserasikan kehidupan dengan lingkungannya, sehingga kehidupan menjadi kreatif dan serasi. Learning how to be adalah kemampuan untuk menjadi diri sendiri yang bertumpukan pada integritasnya. Terakhir how to live together adalah kemampuan untuk hidup bersama dengan segala perbedaan yang ada. Salah satu syarat utama yang harus dimiliki adalah kesadaran akan keharusan adanya saling ketergantungan dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, saling memahami, toleransi, dan kerjasama merupakan fondasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Paradigma UNESCO ini memerlukan perubahan perilaku mengajar pada diri setiap guru. Perubahan ini mencakup lima aspek sebagaimana berikut. Pertama kesadaran moral, berupa jawaban atas pertanyaan diri mengapa dan untuk apa saya mengajar ini? Apakah sekedar untuk mendapatkan gaji?

Kedua adalah memahami perubahan yang ada. Hidup dan kehidupan berubah dan terus akan berubah. Apa yang perlu berubah pada diri sendiri dan pada diri peserta didik agar mampu menguasai perubahan? Apa yang perlu dipersiapkan bagi peserta didik?

Ketiga, hidup dan kehidupan sudah ditakdirkan memiliki saling ketergantungan. Oleh karena itu kerjasama merupakan salah satu kemampuan mutlak yang harus dimiliki oleh para peserta didik. Apa yang perlu dipersiapkan pada diri peserta didik? Bagaimana kemampuan bekerjasama ini dapat ditumbuhkan pada diri peserta didik? Bagaimana cara yang harus dilakukan?

Keempat, menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Ilmu pengetahuan terus berkembang dan semakin lama perkembangan semakin cepat. Informasi dan pengetahuan akan

Page 14: Nyoman Dantes Blog

mengguyur deras warga masyarakat, termasuk guru dan peserta didik. Bagaimana guru bisa tidak ketinggalan perkembangan ilmu pengetahuan? Apa kemampuan yang harus diberikan kepada peserta didik agar mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan? Bagaimana melaksanakannya?

Terakhir, kemampuan untuk menjadikan peserta didik kreatif. Apa tehnik untuk mengembangkan kreativitas pada diri peserta didik? Bagaimana melakukannya?

Apabila guru dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut di atas, maka guru memiliki kemampuan, kesiapan dan kemauan untuk melaksanakan proses belajar mengajar, dan ini merupakan modal dasar bagi guru untuk dapat mewujudkan proses pembelajaran yang menarik, menyenangkan dan mencerdaskan, sehingga dapat hidup dan menghidupkan.

2). Taksonomi peningkatan kemampuan professional

Melihat dan memahami dimensi sekolah yang kompleks dan tugas kepala sekolah (sebagai tugas tamabahan) dan guru yang sedemikian rumit lagi berat, maka guru tidak saja memerlukan pendidikan untuk persiapan jadi guru atau pre-service, melainkan juga perlu pengembangan kemampuan profesionalitas mereka setelah jadi guru atau in-service training. Upaya peningkatan kemampuan professional guru dapat dideskripsikan sebagaimana gambar berikut.

Gambar diatas menunjukan bahwa pembinaan guru memiliki dua dimensi: dimensi arah pembinaan yang dapat dilihat sebagai individu dan sebagai kelompok. Dimensi kedua adalah materi pembinaan yang bisa disajikan dalam bentuk pengetahuan/teknologi yang berkaitan dengan proses belajar menagajar atau metodologi pengajaran dan ilmu pengetahuan/teknologi non-pengajaran, terutama organisasi, kepemimpinan dan manajemen.

Kemampuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan pedagogik jelas udah banyak difahami, namun tidak demikian dengan kemampuan non-pedagogik, yakni kemampuan yang tidak berkaitan langsung dengan PBM. Sesunggunya, kemampuan non-metodologi pengajaran ini amat diperlukan oleh guru, karena guru juga memerlukan kemampuan memimpin, kemampuan berdialog dan negosiasi, serta mempengaruhi orang lain,

Page 15: Nyoman Dantes Blog

kemampuan untuk merancang, melakukan, dan mengorganisir perubahan; dan, kemampuan untuk melakukan secara aktif terlibat dalam peningkatan mutu sekolah.

3). Dimensi kegiatan

Kegiatan peningkatan kualitas profesional guru juga dapat dilihat dari dimensi sifat kegiatan. Terdapat dua bentuk kegiatan peningkatan kualitas profesional guru: a) kegiatan berlangsung di sekolah, dan b) kegiatan berlangsung di luar sekolah. Kegiatan yang berlangsung di sekolah adalah kegiatan yang diperuntukan bagi para guru di suatu sekolah. Kegiatan ini antara lain bisa berupa in-house training, observasi proses pembelajaran oleh guru senior, melaksanakan penelitian tindakan kelas. Sedangkan kegiatan di luar sekolah merupakan kegiatan yang diikuti oleh para guru yang berasal dari dua sekolah atau lebih. Bisa saja kegiatan tersebut dilaksnakan di suatu sekolah, tetapi kegiatan ini bukanlah in-hous training. Kegiatan ini antara lain bisa berupa kerjasama antar sekolah dalam peningkatan mutu, kegiatan MGMP suatu kecamatan, daerah, propinsi atau nasional, pelatihan terpusat, studi banding, mengikuti seminar atau workshop di suatu tempat. Dimensi kegiatan ini dikaitkan dengan taksonomi kemampuan profesional guru, sehingga akan dapat diidentifikasi sesuai dengan tujuan dan tempat kegiatan.

Dari identifikasi tersebut akan diketemukan betapa banyak variasi kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas profesional guru sesuai dengan kondisi dan kebutuhan guru sendiri. One size for all policy harus ditinggalkan dalam peningkatan kemampuan profesional guru.

4). Model peningkatan kemampuan professional

Model menunjukan apa dan bagaimana serta modus kegiatan peningkatan kemampuan professional guru dilaksanakan. Paling tidak terdapat 6 model:

Program Individual Training Interaksi Tatap Muka Keterlibatan Dalam Kegiatan Observasi-Assessment Inquiry-Action Research

Program Individual merupakan kegiatan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru sendiri dengan bimbingan atau pengawasan atau persetujuan dari fihak lain, seperti kepala sekolah, pengawas, orang tua siswa, komite sekolah ataupun tim tertentu. Dengan asumsi bahwa guru memiliki semangat dan motivasi untuk meningkatkan kemampuan sendiri, model ini sangat efektif, karena apa yang dilaksanakan berdasarkan kebutuhan riil yang diperlukan. Apa yang dilakukan merupakan upaya untuk mengatasi kekurangan yang dirasakan guru sendiri. Model ini sering disebut juga dengan sains model, dimana guru sendiri mempelajari dari suatu referensi sesuai dengan kebutuhannya, dan langsung secara bertahap mencobakannya. Memang dalam pengalaman mencoba tersebut secara sepiral akan terjadi peningkatan kualitas.

Pelaksanaan program individual mencakup pentahapan sebagai berikut: (1) identifikasi kelemahan yang dimiliki atau minat yang ingin dipelajari; (2) rencana kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan kelemahan atau minatnya; (3) mengkaji referensi yang sesuai

Page 16: Nyoman Dantes Blog

untuk mengatasi kelemahan yang dirasakan, (4) persetujuan dari fihak lain atau atasan untuk mencobakan dalam skop kecil-dan nantinya dalam skop kelas; (5) pelaksanaan kegiatan; dan, (6)evaluasi sejauh mana tujuan dapat dicapai.

Bentuk kegiatan Individual program bervariasi. Yang paling sederhana adalah guru membaca buku atau artikel yang relevan untuk dikuasai. Bentuk lain yang lebih kompleks adalah guru merancang untuk mengembangkan sesuatu konsep yang diperlukan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Misalnya, merancang comprehensive course (Proses pembelajaran yang komprehensif).

Model In-Service Training; merupakan model yang sudah diketahui umum dan dianggap identik dengan untuk meningkatkan kemampuan individu guru itu sendiri. Dalam kaitan dengan materi model ini dapat dibedakan dua bentuk training. Pertama training jangka pendek, yakni suatu training yang memiliki tujuan khusus dan diselenggarakan dalam waktu yang relatif pendek. Training kelompok ini banyak dilaksanakan untuk peningkatan kemampuan guru, terutama untuk menguasai hal-hal yang baru. Kedua, training jangka panjang dimana materi training lebih bersifat dan berbobot akademik dan dalam tempo yang relatif panjang. Sebagai contoh kelompok ini adalah program penyetaran guru dengan ijazah SPG ke program D2, guru dengan berlatar belakang D2 atau Sarjana Muda ke S1, dan sebagainya. Program ini di masa mendatang akan berlangsung lebih massif berkaitan dengan program kualifikasi sebagai pelaksanaan amanat UUG&D. Disamping dua kelompok, muncul secara kecil-kecilan, bentuk pertama tetapi dikaitkan dengan bentuk kedua. Artinya, pelatihan untuk tujuan khusus dan dilaksanakan dalam jangka pendek, tetapi pelaksnaannya bekerjasama dengan peguruan tinggi, sehingga materi pelatihan mendapatkan ekuivalensi dengan SKS.

Model In-Service Training atau pelatihan ini memiliki asumsi bahwa materi training merupakan sesuatu yang cocok dengan persoalan yang dihadapi guru, jadi memang dibutuhkan oleh guru. Dari keterlibatan guru dalam training, guru memiliki pengetahuan dan ketrampilan baru yang haus dimiliki. Asumsi kedua, berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan baru yang dimiliki guru, perilaku guru dalam mengajar juga berubah.

Model In-Service Training jangka pendek memiliki tahap-tahap yang mencakup:

a.Penentuan substansi materi yang akan disampaikan. Materi ini pada umumnya merupakan sesuatu yang baru, yang berkaitan dengan perilaku guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Namun, terdapat juga pelatihan yang memiliki tujuan lebih umum untuk meningkatkan kemampuan guru sesuai dengan kebutuhan masa kini. Dalam tahap ini juga ditentukan sistem dan prosedur evaluasi bagi peserta, dan kadangkla juga bagi instruktur atau nara sumber.

b. Penentuan, untuk siapa training diselenggarakan. Tahap ini adalah menentukan siapa peserta pelatihan. Dalam kondisi dimana jumlah guru amat besar, perlu ditentukan spesifikasi khusus dari jumlah yang besar itu.

c. Penentuan siapa master training dan instruktur. Master training adalah seseorang yang berperan sebagai komandan pelatihan. Ia adalah seseorang yang menguasai apa dan kemana arah training, yang senantiasa memonitor jalannya training. Master training lah yang menentukan perubahan-perubahan yang perlu dilakukan dalam training. Sedangkan, instruktur adalah pemberi materi. Tidak jarang dalam training instruktur bukan berperan

Page 17: Nyoman Dantes Blog

pemberi materi tetapi penuntun dan pengarah jalannya sidang-sidang atau pemberian materi. Pemberi materi sendiri disebut nara sumber.

d. Pelaksanaan evaluasi. Pada tahap ini Master training dengan instruktur menentukan hasil pelatihan. Siapa peserta yang dinyakatan lulus dan siapa tidak. dan bagaimana prestasi yang telah mereka raih.

e. Pembinaan post-training. Tahap ini untuk mengetahui out come pelatihan, seberapa jauh ilmu dan ketrampilan baru yang diperoleh dipergunakan dalam tugas-tugas mereka. Disamping itu, pembinaan post-training ditujukan untuk menjalin jaringan pembinaan peserta sehingga ada kelangsungan peningkatan mutu peserta. Tahap ini, jarang dilaksanakan dalam pelatihan-pelatihan kita.

Model Interaksi Tatap Muka merupakan model peningkatan mutu kompetensi profesional guru dimana terjadi interaksi tatap muka langsung diantara komponen yang terlibat dalam kegiatan, khususnya antara peserta dan penatar. Dari definisi ini sudah barang tentu model training merupakan salah satu bentuk model tatap muka ini. Tetapi model training juga dapat dilakukan dengan tanpa tatap muka. Model tatap muka langsung ini bisa dalam bentuk seminar, studi focus group, workshop, dan sebagainya.

Kegiatan yang dapat diidentifikasi masuk ke dalam model ini antara lain: a) kualifikasi pendidikan S1 yang harus diperoleh guru; b) sertifikasi profesi yang harus dijalani guru; c) program refreshing untuk mempersiapkan guru mengikuti uji sertifikasi; dan, d) program remidial bagi yang gagal uji sertifikasi.

Peserta pelatihan terebut sangat besar dan harus dilaksanakan secara bertahap. Agar kegiatan tersebut di atas dapat dilaksanakan dengan baik maka harus disusun suatu pedoman yang jelas. Seperti a) pedoman pelaksanaan kualifikasi, b) pedoman pelaksanaan sertifikasi, b) pedoman pelaksanaan remidial, dan, e) pedoman pelaksanaan refreshing.

Model tatap muka untuk meningkatkan kompetensi guru dapat melibatkan jumlah peserta yang cukup besar, efektif dan juga murah, serta tidak sulit untuk dilakukan. Secara umum langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melaksanakan model ini adalah:

1. Tetapkan secara deskriptif dan jelas kemampuan baru yang pelu dikuasai guru.2. Evaluasi sarana guru untuk memperoleh kemampuan baru, apakah harus in-

service jangka panjang atau jangka penmdek.3. Identifikasi sumber-sumber yang ada.4. Susun rancangan dan program kerja untuk melaksanakan in- service training

yang telah ditetapkan.5. Identifikasi peserta, dan bagaimana menentukan jumlah peserta serta kuota

untuk daerah.6. Perencanaan undangan dan penempatan peserta.7. Persiapan dan pelaksanaan M&E.

Model Melibatkan Guru Dalam Kegiatanmerupakan kegiatan yang meningkatkan kemampuan profesional dengan melibatkan guru secara langsung dalam berbagai kegiatan. Model ini dimaksudkan memberikan pengetahuan dan kemampuan baru bagi guru yang akan diperoleh lewat praktik. Dalam bentuk yang paling sederhana model ini diwujudkan dalam learning by doing, dan dalam bentuk yang kompleks

Page 18: Nyoman Dantes Blog

diwujudkan dalam bentuk Aksi Konstruksi atau rekayasa sosial dalam pembelajaran. Learning by doing dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah:

1. Menentukan kemampuan yang akan dikembangkan.2. Mengidentifikasi sumber yang ada.3. Menentukan design kegiatan.4. Menentukan peserta.5. Melaksanakan kegiatan.6. Melakukan M&E.

Aksi Konstruksi atau rekayasa sosial dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah:

1. Menentukan kemampuan yang akan dikembangkan.2. Mengevalusi dan mengidentifikasi permasalahan yang harus

dipecahkan.

3. Mengidentifikasi sumber.4. Menentukan design dan skenario kegiatan.5. Menentukan peserta.6. Melaksanakan kegiatan.7. Melaksanakan M&E.

Model Observasi merupakan model peningkatan kompetensi profesional guru yang menekankan pada umpan balik bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Sebagaimana dikemukakan diatas, salah satu ciri kerja guru adalah tidak pernah ada umpan balik atau feedback. Tanpa umpan balik peningkatan mutu dan kemampuan professional guru amat lambat dan sulit. Oleh karena itu pula, banyak hasil penelitian menunjukan bahwa pengalaman kerja guru tidak berkaitan dengan kemampuan guru. Dalam buku manajemen yang berjudul The One Minute Manager karya Blanchard and Johnson (1982) dikemukakan bagaimana pentingnya umpan balik bagi peningkatan kemampuan kerja, dengan mengemukakan “Feedback is the breakfast of champions“.

Pengembangan kemampuan profesional guru dengan model observasi merupakan salah satu cara memberikan umpan balik bagi guru. Kepala sekolah dan juga pengawas memiliki tugas untuk melakukan observasi ketika guru sedang mengajar. Namun, karena beban tugas kepala sekolah yang begitu berat, maka observasi jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan. Disamping itu, observasi yang diperlukan adalah observasi yang serius dan detail, tidak sekedar observasi selintas. Pihak pengawas juga hampir tidak pernah melakukan observasi, karena tekanan pengawas lebih banyak administratif dan juga waktu yang dimiliki pengawas untuk satu sekolah amat terbatas.

Model observasi memiliki beberapa asumsi: a)adanya refleksi atau kajian apa yang telah dilakukan memegang peran penting bagi suatu upaya peningkatan kemampuan profesional guru; b) refleksi oleh diri sendiri dapat diperkuat dan disempurnakan oleh orang lain; c) baik yang diobservasi dan yang melakukan observasi, akan memperoleh keuntungan; dan, d) guru memanfaatkan umpan balik baik kritik dan saran, untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas kerjanya.

Pelaksanaan observasi dapat dilaksanakan dalam beberapa tahap:

Page 19: Nyoman Dantes Blog

1. Tahap awal observasi atau pre-observasi. Tahap ini observasi dilakukan secara umum, untuk menentukan aspek apa yang harus amati secara mendalam dan menentukan metode observasi yang perlu dipergunakan.

2. Observasi, tahap untuk melakukan observasi dengan metode yang telah ditentukan dan mencatat persoalan serius atau penting yang muncul. Observasi bisa dipusatkan pada fihak siswa atau guru, atau keduanya. Pola-pola yang berlangsung dalam frekuensi tinggi perlu untuk direkam. Perilaku yang muncul dapat dikelompokan kedalam tiga kelompok: a) perilaku yang mendukung keberhasilan pengajaran, b) perilaku yang mengganggu pengajaran, dan, c) perilaku yang bersifat netral tetapi banyak menyita waktu.

3. Tahap analisis data, dimana obrserver melakukan analisis hasil observasi. Data perlu untuk dianalisis guna menghasilkan suatu gambaran yang utuh bagaimana guru telah melaksanakan proses belajar mengajar.

4. Tahap konfirmasi, dimana guru dan observer mendikusikan hasil pengamatan observer. Dari tahap konfirmasi ini guru mendapatkan feedback bagaimana ia mengajar, dan juga mendiskusikan dengan observer perubahan dalam mengajar apa yang harus dilaksanakan, upaya apa yang harus dilakukan guru untuk meningkatkan apa yang baik dan mengurangi apa yang kurang dalam melaksanakan pengajaran, serta merumuskan program untuk perbaikan itu.

Model Inquiry adalah kegiatan peningkatan kompetensi profesional guru yang menekan guru untuk mencari permasalahan yang dihadapi kemudian mencari solusi yang dipraktikan dalam kegiatan mengajar sehari-hari. Solusi dapat diperoleh lewat kajian buku, pengamatan lapangan dan atau diskusi dengan kolega dan fihak yang terkait. Salah satu bentuk model Inquiry yang paling banyak dan hampir dilaksanakan disemua negara adalah Class Room Action Research (CAR). Dan, pelaksanaan CAR sudah terbukti berhasil meningkatkan kompetensi profesional guru.

Pada umumnya langkah-langkah dalam melaksanakan Action Research atau Penelitian Tindakan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan yang dihadapi.2. Melakukan kajian teori dan atau melakukan pengamatan lapangan

serta diskusi dengan fihak-fihak yang relevan.

3. Merencanakan program aktivitas untuk memecahkan masalah

tersebut.

4. Melaksanakan program dan aktivitas.5. Melakukan evaluasi atas program yang dilaksanakan dalam rangka

memecahkan permasalahan.

6. Merevisi dan nyempurnakan program pemecahan masalah

berdasarkan atas hasil evaluasi.

Page 20: Nyoman Dantes Blog

7. Melaksanakan program kegiatan yang telah diperbaharui.8. Melakukan evaluasi atas program yang dilaksanakan.9. Melakukan kembali penyempurnaan program.10. Melaksanakan kembali program yang telah disempurnakan.11. Merumuskan hasil dan menyusun laporan.

Model peningkatan kompetensi profesional guru ini dapat dikombinasikan dengan dimensi materi dan sasaran peningkatan kemampuan guru sehingga memberikan gambaran lebih detail bagaimana kegiatan peningkatan kemampuan profesional guru dilaksanakan. .

Implementasi peningkatan kemampuan profesional guru

Pembahasan terakhir dalam mengembangkan program kegiatan peningkatan kemampuan guru adalah menentukan atau pembagian kerja siapa dan melaksanakan apa. Kalau diidentifikasi terdapat lembaga yang memiliki tanggung jawab melaksanakan peningkatan kemampuan guru. Kalau disusun mulai lembaga yang paling langsung berhubungan dengan guru, dapat dilihat sebagaimana daftar urutan berikut:

1. Sekolah (termasuk MGMP sekolah)2. MGMP antar sekolah/PKG/kelompok sekolah3. Kancam4. Dinas Kabupaten/kota5. LPMP6. Dinas Propinsi7. PPPG8. Perguruan Tinggi9. Lembaga dan Organisasi masyarakat.

Produktivitas Kepemimpinan

Produktivitas kerja erat kaitannya dengan efisiensi, efektivitas, dan kualitas kerja dan tidak semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak-banyaknya. Laeham dan Wexley (1982:2), mengungkapkan bahwa : “produktivitas individu dapat dinilai dari apa yang dilakukan oleh individu tersebut dalam kerjanya. Dengan kata lain, produktivitas individu adalah bagaimana seseorang melaksanakan pekerjaannya atau unjuk kerjanya (job performance)”. Sementara Tohardi menjelaskan bahwa, “produktivitas dapat diartikan sebagai perbandingan antara output (keluaran) dengan input (masukan)” (Tohardi, 2002:448). Kemudian Raviyanto dkk (1988:75)yang mengutip Lmbaga Produktivitas Norwegia menyebutkan bahwa produktivitas adalah hubungan di antara jumlah produk yang, diproduksi dan jumlah sumber daya yang diperlukan untuk memproduksi produk tersebut. Selanjutnya Rome Conference European Productivity Agency tahun 1958 menyebutkan bahwa: (a) produktivitas adalah derajat efisiensi dan efektivitas dari penggunaan elemen produksi; (b) produktivitas merupakan sikap mental , sikap mental yang selalu mencari perbaikan terhadap apa yang telah ada. Suatu keyakinan bahwa seseorang dapat melakukan pekerjaan lebih baik hari ini daripada hari kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini. Selanjutnya produktivitas berhubungan dengan sikap mental yang mementingkan usaha yang terus menerus untuk menyesuaikan aktivitas ekonomi terhadap, kondisi yang berubah. Sementara menurut Dewan Produktivitas Nasional. Republik Indonesia Tahun 1983, mencantumkan bahwa : (a) produktivitas mengandung pengertian sikap, mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa kehidupan hari ini harus selalu lebih

Page 21: Nyoman Dantes Blog

baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini, (b) secara umum produktivitas mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan. (c) Produksi dan produktivitas merupakan dua pengertian yang berbeda. Peningkatan produksi menunjukkan pertambahan jumlah hasil yang dicapai, sedangkan peningkatan produktivitas mengandung pengertian pertambahan hasil dan perbaikan cara produksi. Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan oleh peningkatan produktivitas, karena produksi dapat saja meningkat walaupun produktivitasnya tetap atau menurun (dalam Tohardi, 2002:449).

Dilihat dari segi psikologi, produktivitas adalah suatu tingkah laku. Produktivitas menunjukkan tingkah laku sebagai keluaran (output) dari suatu proses berbagai macam komponen kejiwaan yang melatarbelakanginya (Anoraga, 2001:50). Ini berarti, kalau berbicara tentang produktivitas tidak lain daripada berbicara mengenai tingkah laku manusia atau individu, yaitu tingkah laku produktivitasnya. Sedarmayanti mengutip formulasi National

Productivy Board (NPB) Singapore, dikatakan bahwa produktivitas adalah sikap, mental (attitude of Mind) yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan. Perwujudan sikap mental, dalam berbagai kegiatan antara lain sebagai berikut: (1) yang berkaitan dengan diri sendiri dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, disiplin, upaya peribadi dan kerukunan kerja; (2) yang berkaitan dengan pekerjaan dapat dilakukan melalui manajemen dan metode kerja yang lebih baik, penghematan beaya, ketepatan waktu, dan sistem serta teknologi yang lebih baik (Sedarmayanti, 2001:57). Sedangkan pengertian produktivitas dikaitkan dengan individu productive dikemukakan oleh Gilmore (1974), Erich Fromm (1975) yang dikutip oleh Sedannavant (2001:79), berpendapat tentang individu produktif, yaitu: (1) tindakannya konstruktif, (2) percaya pada diri sendiri, (3) bertanggung jawab, (4) memiliki rasa cinta terhadap pekerjaan, (5) mempunyai pandangan ke depan, (6) mampu mengatasi persoalan dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-ubah, (7) mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungannya (aktif, imaginative, dan inovatif), dan (8) memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya. Aspek-aspek inilah yang semestinya dapat dimunculkan dalam organisasi, sehingga budaya organisasi tersebut akan member kontribusi pada output maupun out come yang diharapkan. Demikian juga pada organisasi sekolah, sangat diperlukan perilaku-perilaku yang positif untuk dapat memunculkan kondusivitas, dan hal tersebut sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, produktivitas kerja yang dimaksud adalah suatu sikap mental dan tingkah laku guru untuk terus menerus mengadakan peningkatan perbaikan menyangkut diri sendiri seperti peningkatan pengetahun, keterampilan, disiplin, kerukunan kerja, dan yang berkaitan dengan pekerjaan melalui peningkatan perbaikan manajemen dan metode kerja, penghematan biaya, ketepatan waktu, dan sistem serta teknologi yang lebih baik. Dalam kaitan dengan itu indicator produktivitas yang digunakan adalah sebagai berikut : (1) tindakannya konstruktif, (2) percaya pada diri sendiri, (3) bertanggung jawab, (4) memiliki rasa cinta terhadap pekerjaan, (5) mempunyai pandangan ke depan, (6) mampu mengatasi persoalan dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-ubah, (7) mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungannya (aktif, imaginative, dan inovatif), dan (8) memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya.

Page 22: Nyoman Dantes Blog

Konsep Teknologi Pendidikan

Pengertian teknologi pendidikan tidak terlepas dari pengertian teknologi

secara umum. Pengertian teknologi yang utama adalah proses yang

meningkatkan nilai tambah. Proses tersebut menggunakan dan atau

menghasilkan suatu produk tertentu. Produk yang digunakan dan atau

dihasilkan tidak terpisah dari produk lain yang telah ada, dan karena itu

menjadi bagian integral dari suatu sistem. Jadi dalam pengertian umum

tentang teknologi, alat, atau sarana baru yang khusus diperlukan tidak

menjadi syarat yang mutlak harus ada, karena alat atau sarana itu telah

ada sebelumnya.

Dalam bidang pendidikan atau pembelajara, teknologi juga harus

memenuhi ketiga syarat tersebut: proses, produk, dan sistem. Kecuali

membuktikan dirinya sebagai suatu bidang kajian atau disiplin keilmuan

yang berdiri sendiri. Perkembangan sebagai disiplin keilmuan tersebut

dilandasi oleh serangkaian dalil atau dasar yang dijadikan patokan

pembenaran. Secara falsafi, dasar keilmuan itu meliputi ontologi, atau

rumusan tentang gejala pengamatan yang dibatasi pada suatu pokok

telaah khusus yang tidak tergarap oleh bidang telaah lain; epistemologi,

yaitu usaha yang ditentukan; dan aksiologi atau nilai-nilai yang

menentukan kegunaan dari pokok telaah yang ditentukan, yang

mempersoalkan nilai moral (etika) dan nilai serta keindahan atau

estetika.

Page 23: Nyoman Dantes Blog

Objek formal teknologi pendidikan adalah belajar pada manusia baik

pribadi maupun yang tergabung dalam organisasi. Belajar itu tidak hanya

berlangsung dalam lingkup persekolahan ataupun pelatihan. Belajar itu

ada di mana saja dan oleh siapa saja, dengan cara dan sumber apa saja

yang sesuai dengan kondisi dan keperluan. Objek tersebut dapat

digambarkan sebagaimana tertera dalam gambar berikut:

Adapun gejala yang perlumendapat perhatian, atau yang merupakan

landasan ontologi dari objek tersebut adalah:

1. Adanya sejumlah besar orang yang belum terpenuhi kesempatan

belajarnya, baik yang diperoleh melalui suatu lembaga khusus, maupun

yang dapat diperoleh secara mandiri.

2. Adanya berbagai sumber baik yang telah tersebia maupun yang dapat

direkayasa, tetapi belum dapat dimanfaatkan untuk keperluan belajar.

3. Perlu adanya suatu proses atau usaha khusus yang terarah dan

terencana untuk menggarap sumber-sumber tersebut agar dapat

terpenuhi hasrat beljaar setiap orang dan organisasi.

4. Perlu adanya keahlian dan pengelolaan atas kegiatan khusus dalam

mengembangkan dan memanfaatkan sumber untuk belajar tersebut

secara efektif, efisien, dan selaras.

Usaha khusus yang terarah dan terencana bukan sekedar menambah apa

yang kurang, menambal apa yang berlubang, dan menjahit apa yang

sobek. Menurut Banathy, bukan hanya "doing more of the same",

ataupun "doing it better of the same". melainkan "doing it difeerently"

untuk menjamin hasil yang diharapkan. Pendekatan yang berbeda itu

adalah pendekatan yang memenuhi empat persyaratan, yaitu:

1. Pendekatan isometrik, yaitu yang menggabungkan hal-hal yang sesuai

dari berbagai kajian/bidang keilmuan (psikologi, komunikasi, ekonomi,

Page 24: Nyoman Dantes Blog

manajemen, rekayasa teknik, dan lain sebagainya) ke dalam suatu

kebulatan tersendiri;

2. Pendekatan sistematik, yaitu dengan cara yang berurutan dan terarah

dalam usaha memecahkan persoalan;

3. Pendekatan sinergestik, yaitu yang menjamin adanya nilai tambah dari

keseluruhan kegiatan dibandingkan dengan bila kegiatan itu dijalankan

sendiri-sendiri; dan

4. Sistemik, yaitu pengkajian secara menyeluruh (komprehensif).

Usaha khusus dengan pendekatan inilah yang merupakan asas

epistemologi teknologi pendidikan.

Semua bentuk teknologi adalah sistem yang diciptakan oleh manusia

untuk sesuatu tujuan tertentu, yang pada intinya adalah mempermudah

manusia dalam memperingan usahanya, meningkatkan hasilnya, dan

menghemat tenaga serta sumber daya yangada. Teknologi itu pada

hakikatnya adalah bebas nilai, namun penggunaannyaakan sarat dengan

aturan nilai dan estetika.

Dalam perkembangan terakhir, istilah teknologi pendidikan dipersempit

menjadi teknologi pembelajaran, dengan pertimbangan bahwa istilah

terakhir itu kecuali lebih dapat diterima oleh kalangan yang luas, juga

dapat lebih berfokus pada objek formal yang menjadi garapannya. Secara

konseptual teknologi pendidikan didefinisikan: teori dan praktik dalam

desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan

penelitian proses, sumber, dan sistem untuk belajar. Definisi tersebut

megandung pengertian adanya empat komponen dalam teknologi

pembelajaran, yaitu:

1. Teori dan praktik

2. Desain, pengemabngan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan

penelitian

3. Proses, sumber, dan sistem

4. Untuk belajar

Page 25: Nyoman Dantes Blog

Untuk lebih jelas definsi tersebut digambarkan pada gambar berikut (klik

gambar untuk memperjelas):

Disadur dari: Yusufhadi Miarso, 2005, Menyebar Benih Teknologi

Pendidikan, (Prenada Media, Jakarta)

Pancasila sebagai Sistem   Filsafat

Posted on 16 Desember 2008 by Ruhcitra

Oleh founding-fathers, Pancasila digali dari nilai-nilai sosio-budaya bangsa Indonesia dan diperkaya oleh nilai-nilai dan masukan pengalaman bangsa-bangsa lain. Pancasila adalah weltanschauung (way of life) bangsa Indonesia. Uniknya, nilai-nilai Pancasila yang bertumbuh kembang sebagai kepribadian bangsa itu merupakan filsafat sosial yang wajar (natural social philosophy). Nilai-nilai itu bukan hasil pemikiran tunggal atau suatu ajaran dari siapa pun.

Lazim dipahami setelah menjadi konsensus nasional dan ditetapkan sebagai dasar negara (filsafat negara) Republik Indonesia, Pancasila adalah pedoman sekaligus cita-cita bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara formal, yuridis-konstitusional, kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara bersifat imperatif. Namun, kita juga menyadari bahwa pengamalannya dalam keseharian hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masih akan selalu menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Demikian pula tentang pelestarian dan pewarisannya kepada generasi penerus.

Dalam era kesemrawutan global sekarang, ideologi asing mudah bermetamorfosa dalam aneka bentuknya dan menjadi pesaing Pancasila. Hedonisme (aliran yang mengutamakan kenikmatan hidup) dan berbagai isme penyerta, misalnya, semakin terasa menjadi pesaing yang membahayakan potensialitas Pancasila sebagai kepribadian bangsa. Nilai intrinsik Pancasila pun masih sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor kondisional. Padahal, gugatan

Page 26: Nyoman Dantes Blog

terhadap Pancasila sebagai dasar negara dengan sendirinya akan menjadi gugatan terhadap esensi dan eksistensi kita sebagai manusia dan warga bangsa dan negara Indonesia.

Untuk menghadapi kedua ekstrim (memandang nilai-nilai Pancasila terlalu sulit dilaksanakan oleh segenap bangsa Indonesia di satu pihak dan di pihak lain memandang nilai-nilai Pancasila kurang efektif untuk memperjuangkan pencapaian masyarakat adil dan makmur yang diidamkan seluruh bangsa Indonesia) diperlukan usaha bersama yang tak kenal lelah guna menghayati Pancasila sebagai warisan budaya bangsa yang bernilai luhur, suatu sistem filsafat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, bersifat normatif dan ideal, sehingga pengamalannya merupakan tuntutan batin dan nalar setiap manusia Indonesia.

Tapi, benarkah Pancasila adalah suatu sistem filsafat? Berikut akan diuraikan secara singkat aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis Pancasila (disariolahulang dari Pancasila sebagai Sistem Filsafat oleh M. Noor Syam dalam “Dialog Manusia, Falsafah, Budaya dan Pembangunan” – YP2LM Malang:1980 – dengan rujukan bahan-bahan lain yang terlalu panjang dan banyak, bahkan sekadar untuk disebutkan judul-judulnya saja. Artikel ini sekadar mengantarkan pemahaman umum tentang Pancasila sebagai suatu sistem filsafat ditinjau dari aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis. Untuk pendalamannya dianjurkan membaca aneka sumber yang banyak tersedia di perpustakaan dan atau mencoba melakukan permenungan sendiri tentangnya). Semoga bermanfaat bagi mereka yang sedang senang mempelajarinya!

Aspek Ontologis

Ontologi ialah penyelidikan hakikat ada (esensi) dan keberadaan (eksistensi) segala sesuatu: alam semesta, fisik, psikis, spiritual, metafisik, termasuk kehidupan sesudah mati, dan Tuhan. Ontologi Pancasila mengandung azas dan nilai antara lain:

Tuhan yang mahaesa adalah sumber eksistensi kesemestaan. Ontologi ketuhanan bersifat religius, supranatural, transendental dan suprarasional;

Ada – kesemestaan, alam semesta (makrokosmos) sebagai ada tak terbatas, dengan wujud dan hukum alam, sumber daya alam yang merupakan prwahana dan sumber kehidupan semua makhluk: bumi, matahari, zat asam, air, tanah subur, pertambangan, dan sebagainya;

Eksistensi subyek/ pribadi manusia: individual, suku, nasional, umat manusia (universal). Manusia adalah subyek unik dan mandiri baik personal maupun nasional, merdeka dan berdaulat. Subyek pribadi mengemban identitas unik: menghayati hak dan kewajiban dalam kebersamaan dan kesemestaan (sosial-horisontal dengan alam dan sesama manusia), sekaligus secara sosial-vertikal universal dengan Tuhan. Pribadi manusia bersifat utuh dan unik dengan potensi jasmani-rohani, karya dan kebajikan sebagai pengemban amanat keagamaan;

Eksistensi tata budaya, sebagai perwujudan martabat dan kepribadian manusia yang unggul. Baik kebudayaan nasional maupun universal adalah perwujudan martabat dan kepribadian manusia: sistem nilai, sistem kelembagaan hidup seperti keluarga, masyarakat, organisasi, negara. Eksistensi kultural dan peradaban perwujudan teleologis manusia: hidup dengan motivasi dan cita-cita sehingga kreatif, produktif, etis, berkebajikan;

Eksistensi bangsa-negara yang berwujud sistem nasional, sistem kenegaraan yang merdeka dan berdaulat, yang menampilkan martabat, kepribadian dan kewibawaan

Page 27: Nyoman Dantes Blog

nasional. Sistem kenegaraan yang merdeka dan berdaulat merupakan puncak prestasi perjuangan bangsa, pusat kesetiaan, dan kebanggaan nasional.

Secara garis besar, interelasi eksistensi manusia sebagai pribadi dan warganegara, yang menghayati kedudukan dan fungsinya, hak dan kewajibannya untuk berbakti dan mengabdi dapat digambarkan sebagai berikut:

T Eksistensi Tuhan yang mahaesa sebagai sumber semua eksistensi, sumber motivasi dan cita-cita kebajikan, puncak proses teleologis eksistensi kesemestaan. Subyek manusia – sadar atau tidak – menuju dan kembali kepada-Nya.

AS Eksistensi Alam Semesta, sebagai prawahana kehidupan manusia dan makhluk semesta.

SM Eksistensi Subyek Manusia yang unik, mandiri, merdeka, berdaulat, dengan potensi martabat dan kepribadian yang mengemban amanat ketuhanan/ keagamaan, sosial, nasional dan kemanusiaan.

SB Eksistensi Sosio-Budaya sebagai kreasi, karya dan wahana kehidupan manusia. SK Eksistensi Sistem Kenegaraan sebagai perwujudan puncak prestasi bangsa-

bangsa; perwujudan identitas nasional, kemerdekaan, kedaulatan dan kewibawaan nasional.

P Pribadi manusia, sebagai eksistensi tunggal, utuh dan unik, berada dalam antarhubungan fungsional dengan semua eksistensi horisontal. Artinya, pribadi berada di dalam, dipengaruhi dan untuk semua eksistensi horisontal itu. Secara khusus dengan Tuhan yang mahaesa, pribadi manusia menghayati hubungannya dengan Tuhan secara secara vertikal sebagai sumber motivasi dan harapan, rohani, religius.

Aspek Epistemologis

Epistemologi menyelidiki sumber, proses, syarat-syarat batas, validitas dan hakikat ilmu. Epistemologi Pancasila secara mendasar meliputi nilai-nilai dan azas-azas:

Mahasumber ialah Tuhan, yang menciptakan kepribadian manusia dengan martabat dan potensi unik yang tinggi, menghayati kesemestaan, nilai agama dan ketuhanan. Kepribadian manusia sebagai subyek diberkati dengan martabat luhur: pancaindra, akal, rasa, karsa, cipta, karya dan budi nurani. Kemampuan martabat manusia sesungguhnya adalah anugerah dan amanat ketuhanan/ keagamaan.

Sumber pengetahuan dibedakan dibedakan secara kualitatif, antara:

Sumber primer, yang tertinggi dan terluas, orisinal: lingkungan alam, semesta, sosio-budaya, sistem kenegaraan dan dengan dinamikanya;

Sumber sekunder: bidang-bidang ilmu yang sudah ada/ berkembang, kepustakaan, dokumentasi;

Sumber tersier: cendekiawan, ilmuwan, ahli, narasumber, guru.

Page 28: Nyoman Dantes Blog

Wujud dan tingkatan pengetahuan dibedakan secara hierarkis:

Pengetahuan indrawi; Pengetahuan ilmiah; Pengetahuan filosofis; Pengetahuan religius.

Pengetahuan manusia relatif mencakup keempat wujud tingkatan itu. Ilmu adalah perbendaharaan dan prestasi individual maupun sebagai karya dan warisan budaya umat manusia merupakan kualitas martabat kepribadian manusia. Perwujudannya adalah pemanfaatan ilmu guna kesejahteraan manusia, martabat luhur dan kebajikan para cendekiawan (kreatif, sabar, tekun, rendah hati, bijaksana). Ilmu membentuk kepribadian mandiri dan matang serta meningkatkan harkat martabat pribadi secara lahiriah, sosial (sikap dalam pergaulan), psikis (sabar, rendah hati, bijaksana). Ilmu menjadi kualitas kepribadian, termasuk kegairahan, keuletan untuk berkreasi dan berkarya.

Martabat kepribadian manusia dengan potensi uniknya memampukan manusia untuk menghayati alam metafisik jauh di balik alam dan kehidupan, memiliki wawasan kesejarahan (masa lampau, kini dan masa depan), wawasan ruang (negara, alam semesta), bahkan secara suprarasional menghayati Tuhan yang supranatural dengan kehidupan abadi sesudah mati. Pengetahuan menyeluruh ini adalah perwujudan kesadaran filosofis-religius, yang menentukan derajat kepribadian manusia yang luhur. Berilmu/ berpengetahuan berarti mengakui ketidaktahuan dan keterbatasan manusia dalam menjangkau dunia suprarasional dan supranatural. Tahu secara ‘melampaui tapal batas’ ilmiah dan filosofis itu justru menghadirkan keyakinan religius yang dianut seutuh kepribadian: mengakui keterbatasan pengetahuan ilmiah-rasional adalah kesadaran rohaniah tertinggi yang membahagiakan.

Aspek aksiologis

Aksiologi menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai secara kesemestaan. Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan ontologi dan epistemologinya. Pokok-pokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:

Tuhan yang mahaesa sebagai mahasumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta antarhubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia secara psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut ruang dan waktu secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi demi keharmonisan dan kelestarian hidup.

Subyek manusia dapat membedakan hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam perwujudan Tuhan yang mahaesa, pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi, secara individual maupun sosial).

Nilai-nilai dalam kesadaran manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi: Tuhan yang mahaesa dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam semesta dengan berbagai unsur yang menjamin kehidupan setiap makhluk dalam antarhubungan yang harmonis, subyek manusia yang bernilai bagi dirinya sendiri (kesehatan, kebahagiaan, etc.) beserta aneka kewajibannya. Cinta kepada keluarga dan sesama adalah kebahagiaan sosial dan psikologis yang tak ternilai. Demikian pula

Page 29: Nyoman Dantes Blog

dengan ilmu, pengetahuan, sosio-budaya umat manusia yang membentuk sistem nilai dalam peradaban manusia menurut tempat dan zamannya.

Manusia dengan potensi martabatnya menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan berbagai nilai: manusia sebagai pengamal nilai atau ‘konsumen’ nilai yang bertanggung jawab atas norma-norma penggunaannya dalam kehidupan bersama sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai dengan karya dan prestasi individual maupun sosial (ia adalah subyek budaya). “Man created everything from something to be something else, God created everything from nothing to be everything.” Dalam keterbatasannya, manusia adalah prokreator bersama Allah.

Martabat kepribadian manusia secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari hakikat manusia sebagai makhluk individu-sosial-moral: berhikmat kebijaksanaan, tulus dan rendah hati, cinta keadilan dan kebenaran, karya dan darma bakti, amal kebajikan bagi sesama.

Manusia dengan potensi martabatnya yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani sehingga memiliki kemampuan untuk beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Tuhan dan nilai agama secara filosofis bersifat metafisik, supernatural dan supranatural. Maka poetensi martabat manusia yang luhur itu bersifat apriori: diciptakan Tuhan dengan identitas martabat yang unik: secara sadar mencintai keadilan dan kebenaran, kebaikan dan kebajikan. Cinta kasih adalah produk manusia – identitas utama akal budi dan nuraninya – melalui sikap dan karyanya.

Manusia sebagai subyek nilai memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendayagunaan nilai, mewariskan dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat kebenaran ialah cinta kasih, dan hakikat ketidakbenaran adalah kebencian (dalam aneka wujudnya: dendam, permusuhan, perang, etc.).

Eksistensi fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran berwujud dalam dunia indra, ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai ideologis) maupun nilai-nilai supranatural.

Skema pola antarhubungan sosial manusia meliputi:

1. hubungan sosial-horisontal, yakni antarhubungan pribadi manusia (P) dalam antarhubungan dan antaraksinya hingga yang terluas yaitu hubungan antarbangsa (A2-P-B2);

2. hubungan sosial-vertikal antara pribadi manusia dengan Tuhan yang mahaesa (C: Causa Prima) menurut keyakinan dan agama masing-masing (garis PC).

kualitas hubungan sosial-vertikal (garis PC) menentukan kualitas hubungan sosial horisontal (garis APB);

kebaikan sesama manusia bersumber dan didasarkan pada motivasi keyakinan terhadap Ketuhanan yang mahaesa;

kadar/ kualitas antarhubungan itu ialah: garis APB ditentukan panjangnya oleh garis PC. Tegasnya, garis PC1 akan menghasilkan garis A1PB1 dan PC2

Page 30: Nyoman Dantes Blog

menghasilkan garis A2PB2. Jadi, kualitas kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa menentukan kualitas kesadaran kemanusiaan.

Seluruh kesadaran manusia tentang nilai tercermin dalam kepribadian dan tindakannya. Sumber nilai dan kebajikan bukan saja kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa, tetapi juga adanya potensi intrinsik dalam kepribadian, yakni: potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal budi dan nurani manusia (berupa kebajikan). Azas dan usaha manusia guna semakin mendekati sifat-sifat kepribadiannya adalah cinta sesama. Nilai cinta inilah yang menjadi sumber energi bagi darma bakti dan pengabdiannya untuk selalu berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas normatif ini bersifat ontologis pula, karena sifat dan potensi pribadi manusia berkembang dari potensialitas menuju aktualitas, dari real-self menuju ideal-self, bahkan dari kehidupan dunia menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan teleologis ini pada hakikatnya ialah usaha dan dinamika kepribadian yang disadari (tidak didasarkan atas motivasi cinta, terutama cinta diri).

Cinta diri cenderung mengarahkan manusia ke egosentrisme, mengakibatkan ketidakbahagiaan. Kebaikan dan watak pribadi manusia bersumber pula pada nilai keseimbangan proporsi cinta pribadi dengan sesama dan dengan Tuhan yang mahaesa. Dengan perkataan lain, kesejahteraan rohani dan kebahagiaan pribadi manusia yang hakiki ialah kesadarannya dalam menghayati cinta Tuhan dan hasrat luhurnya mencintai Tuhan dan sesamanya.

Nilai instrinsik ajaran filsafat Pancasila sedemikian mendasar, komprehensif, bahkan luhur dan ideal, meliputi: multi-esistensial dalam realitas horisontal; dalam hubungan teleologis; normatif dengan mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan ‘ikatan’ hukum alam dan hukum moral yang psikologis-religius); kesadaran pribadi yang natural, sosial, spiritual, supranatural dan suprarasional. Penghayatannya pun multi-eksistensial, bahkan praeksistensi, eksistensi (real-self dan ideal-self), bahkan demi tujuan akhir pada periode post-existence (demi kehidupan abadi), menunjukkan wawasan eksistensial yang normatif-ideal.

Secara instrinsik dan potensial, nilai-nilai Pancasila memenuhi tuntutan hidup manusia karena nilai filsafat sejatinya adalah untuk menjamin keutuhan kepribadian dan tidak mengakibatkan konflik kejiwaan maupun dilematika moral. Bersyukurlah kita punya Pancasila!

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF

BALANCED SCORECARD

oleh: Drs. Paiman Nahrodi, M.Pd

Page 31: Nyoman Dantes Blog

Drs. Paiman Nahrodi, M.Pd

PENDIDIKAN merupakan sarana yang mempersatukan setiap warga Negara menjadi suatu bangsa. Melalui pendidikan setiap peserta didik difasilitasi, dibimbing dan dibina menjadi warganegara menyadari dan merealisasikan hak dan kewajibannya. Upaya mencerdaskan dan membangun bangsa yang bermartabat dan berkarakter melalui pendidikan. Keberhasilan pendidikan tidak lepas dari usaha pendidikan untuk semua (education for all). Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) menulis pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Imam Barnadib (1996:8) pendidikan selalu dapat dibedakan menjadi teori dan praktek. Teori pendidikan adalah pengetahuan tentang makna dan bagaimana seyogianya pendidikan itu dilaksanakan, sedangkan praktek adalah tentang pelaksanaan pendidikan secara konkretnya (nyatanya). Kedua jenis pendidikan itu seyogianya tidak dipisahkan, sebaiknya siapa yang berkecimpung dalam bidang pendidikan perlu menguasai keduanya. Teori mengandaikan praktek dan praktek berlandasrkan teori.

Pendidikan juga bersentuhan langsung dengan filsafat pendidikan, rintisan masyarakat maju. Keyakinan akan kebermaknaan realitas (teori ontologi atau metafisika menurut sistem filsafat), teori pengetahuan (epistemologi), teori nilai (aksiologi dan teori hakekat manusia dan berhubungan manusia segala sesuatu di alam semesta (antropologi kefilsafatan) adalah titik tolak dalam menerapkan filsafat ke dalam masalah pendidikan (Waini Rasyidin, 2007:5-32).

Tulisan singkat ini memfokuskan pada kebijakan makro pendidikan, lebih spesifik pendidikan dalam persepektif Balanced Scorecard (BSC). Dalam pendidikan, kewenangan ini dapat menerobos batas-batas kota dan kabupaten untuk menembus satuan pendidikan dan sekolah dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya perubahan kurikulum dalam era otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan tidak lagi menjadi tugas-tugas orang-orang pusat, tetapi merupakan pekerjaan setiap satuan pendidikan dan sekolah secara langsung, termasuk dalam implementasinya (E. Mulyasa, 2009:1-2).

BSC Standar Pengukuran

Page 32: Nyoman Dantes Blog

BSC memberikan manajemen organisasi suatu pengetahuan, keterampilan dan sistem yang memungkinkan karyawan dan manajemen belajar. Hal ini berkembang secara terus menerus dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth) dalam berinovasi membangun kapasitas strategis serta efisiensi (perspektif proses bisnis internal–internal-business proses), agar mampu menyerahkan nilai spesifik ke pasar (perspektif pelanggan–customers), selanjutnya akan mengarah nilai saham yang terus menerus meningkat (perspektif financial–stakeholders) (baca: Vincent Gaspersz, 2002: 3). Dalam pelaksanaan BSC juga terkadang akan mengalami kegagalan sebagai penghambat dalam kolaborasi BSC–Balanced Scorecard Collaborative. Menurut Evans dalam Gaspersz (2002: 2) menulis faktor penghambat implementasi rencana bisnis strategis, antara lain:

1. Hambatan Visi (vision barrier)–tidak banyak orang dalam organisasi yang memahami strategi organisasi mereka;

2. Hambatan Organisasi (people barrier)–banyak orang dalam organisasi memiliki tujuan yang tidak terkait dengan strategi organisasi;

3. Hambatan Sumber Daya (resource barrier)–waktu, energy, dan uang tidak dialokasikan pada hal-hal yang penting (kritis) dalam organisasi;

4. Hambatan manajemen (management barrier)–manajemen menghabiskan terlalu sedikit waktu untuk strategi organisasi dan terlalu banyak waktu untuk pembuatan taktis jangka pendek.

BSC merupakan konsep manajemen yang membantu menerjemahkan strategi ke dalam tindakan. BSC adalah lebih dari sekedar suatu sistem pengukuran operasional atau taktis. Perusahaan-perusahaan inovatif itu menggunakan fokus pengukuran BSC untuk melaksanakan manajemen kritis, antara lain:

1. Mengklarifikasi dan menerjemahkan visi dan strategi perusahaan; 2. Mengkomunikasikan dan mengaitkan tujuan-tujuan strategis dengan ukuran-ukuran

kinerja; 3. Merencanakan, menetapkan target dan menyelaraskan inisiatif-inisiatif (program-

program) strategis; 4. Mengembangkan umpan balik dan pembelajaran strategis untuk peningkatan terus

menerus di masa yang akan datang (Gaspersz, 2002: 9).

Pendidikan formal sebagai institusi yang memiliki visi, misi dan strategi organisasi dalam mengembangkan program dalam mengembangkan program kerja. Mengingat pendidikan sebagai kebutuhan manusia maka tugas pemerintah bersama stakeholders untuk menciptakan pendidikan yang produktif, merata dan bertanggung jawab, kondusif untuk semua. Kita semua berharap, jangan sampai ada anak ibu pertiwi yang tercecer tidak memperoleh pendidikan yang berkualitas dan professional. Pendidikan berperan penting terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) sebagai proses yang terintegrasi. Menyadari hal itu, pemerintah bersama stakeholders lainnya sama-sama terus berupaya mewujudkan pembangunan pendidikan yang berkualitas. Upaya tersebut dilakukan melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum, sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dua faktor yang menjelaskan upaya perbaikan mutu pendidikan, Pertama, strategi pembangunan pendidikan yang bersifat input oriented. Asumsi bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka otomatis lembaga pendidikan akan dapat menghasilkan output yang bermutu

Page 33: Nyoman Dantes Blog

sebagaimana yang diharapkan. Kedua, pengelolaan pendidikan bersifat macro-oriented, diatur melalui jajaran birokrasi tingkat pusat. Implikasinya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro tidak berjalan semestinya di tingkat mikro. Artinya, kompleksitasnya cakupan masalah pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat birokrasi pusat.

Penerapan Balanced Scorecard Dalam Pendidikan

Penerapan BSC di lingkungan pendidikan diharapkan mampu memberikan keunggulan dalam proses perbaikan pendidikan untuk melahirkan manusia seutuhnya. BSC merupakan alat manajemen kontemporer yang didesain untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam melipatgandakan kinerja keuangan. Oleh karena organisasi pada dasarnya institusi pencipta kekayaan. Penggunaan BSC dalam pengelolaan yang menjanjikan peningkatan signifikan terhadap kemampuan organisasi dalam menciptakan kekayaan. Keunggulan potensial BSC dalam pelipatgandakan kinerja keuangan organisasi. Pertama kali dibahas konsep BSC, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan perkembangan pemanfaatan BSC dalam pengelolaan. Keunggulan BSC memungkinkan pembelajar memperoleh manfaat optimum dari pengimplementasiannya. BSC sebagai kartu skor yang digunakan mencatat skor hasil kinerja seseorang. Kartu skor juga dapat digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan di masa depan. Melalui kartu skor, skor hendak diwujudkan personel di masa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya. Hasil perbandingan ini digunakan untuk melakukan evaluasi atas kinerja personel yang bersangkutan. Kata berimbang dimaksudkan untuk menunjukkan kinerja personel diukur secara berimbang dari dua perspektif; keuangan dan non-keuangan, jangka pendek dan panjang, intern dan ekstern.

Dalam perkembangannya BSC tidak hanya berkaitan dengan kartu untuk mencatat skor personel, tetapi juga alat perencanaan strategik menerjemahkan misi, visi, basic belief, dan strategi organisasi ke dalam action plans yang komprehensif. Kekuatan BSC bukan kemampuannya mengukur kinerja personel, justru alat perencanaan strategik.

Berdasarkan pendekatan BSC, kinerja keuangan yang dihasilkan eksekutif harus merupakan akibat diwujudkannya kinerja dalam pemuasan kebutuhan customers, pelaksanaan proses bisnis/intern yang produktif dan cost-effective, dan atau pembangunan personel yang produktif dan berkomitmen. BSC merupakan alat manajemen kontemporer untuk melipatgandakan kinerja Organisasi. Sejumlah Keunggulan BSC dalam suatu organisasi antara lain : menyeluruh (komprehensif), Keterkaitan (koheren), Seimbang (balanced) dan Terukur (measureness), pandangan ke depan (visioner), jujur, adil (fairness) dan keterbukaan (transparancies). Secara individu dampak penggunanannya mendorong: Sikap kemandirian, memupuk semangat kompetitif (kompetisi dengan diri sendiri), komitmen profesi, persepsi ke depan secara komprehensif, responsif terhadap perubahan/perkembangan dan motivasi diri untuk kemajuan.

Contoh:

Sistem Pendidikan Dalam Sebuah Model Kotak Hitam

Page 34: Nyoman Dantes Blog

Keterangan :

1. Lingkungan Eksternal.

Terkait dengan Lingkungan Eksternal, Hunger & Wheelen (1996: 3) membagi menjadi Societal Environment (Lingkungan Sosietal) dan Task Environment (Lingkungan Tugas). Sedangkan Mulyadi (2001: 48) membagi Lingkungan Ekternal yang terdiri dari  Lingkungan Makro dan Lingkungan Industri. Dalam naskah ini, terkait dengan Lingkungan Eksternal Pendidikan digunakan istilah Lingkungan sosialitas dan lingkungan profesi; Tidak digunakannya istilah Lingkungan makro, karena istilah makro sudah digunakan untuk Level pendidikan.

2. Lingkungan Sosialitas meliputi aspek: IPOLEKSOSBUD- HANKAM.

3. Lingkungan Profesi meliputi: institusi/organisasi yang memiliki kegaitan sejenis ataupun memiliki keterkaiatan dengan bidang pendidikan.

4. Lingkungan Internal, antara lain: suasana kerja dalam organisasi, hubungan antar anggota, budaya organisasi, dan lain-lain.

a. Lingkungan Sosialitas.

1)      Dukungan aspek politik nasional terhadap bidang pendidikan (a.l terlihat dari kebijakan pemerintah dan diterbitkannya UU/Peraturan yang berpihak kepada bidang pendidikan).

2)      Dukungan aspek ekonomi terhadap bidang pendidkan (a.l kebijakan buku murah, bebas SPP untuk siswa SD).

3)      Dukungan aspek sosial-budaya terhadap bidang pendidkan (a.l kesadaran masyarakat untuk membiayai putra-putinya melanjutkan sekolah).

Page 35: Nyoman Dantes Blog

4 ) Dukungan aspek pertahanan-keamanan terhadap bidang pendidkan (a.l ter-peliharanya situasi keamanan sehingga proses belajar-mengajar berjalan lancar).

Penggunaan BSC dalam pengukuran kinerja eksekutif adalah: “Kinerja keuangan yang berjangka panjang tidak dapat dihasilkan melalui usaha-usaha yang semu (artificial). Jika eksekutif bermaksud meningkatkan kinerja keuangan dalam jangka panjang, wujudkanlah melalui usaha-usaha nyata dengan menghasilkan nilai bagi customer, meningkatkan produktivitas dan cost effectiveness proses bisnis/intern, dan meningkatkan kapabilitas dan komitmen personel. Oleh karena itu, BSC memperluas ukuran kinerja eksekutif ke perspektif customer, proses bisnis/intern, dan pembelajaran dan pertumbuhan, karena di ketiga perspektif itulah usaha-usaha sesungguhnya (bukan usaha semu atau artificial) menjanjikan dihasilkannya kinerja keuangan yang berjangka panjang (sustainable).

Sistem manajemen strategik terdiri dari dua tahap utama: (1) perencanaan dan (2) pengimlementasian rencana. Tahap utama perencanaan terdiri dari empat tahap: (1) perumusan strategi (strategy formulation), (2) perencanaan strategik (strategic planning), (3) penyusunan program (programming), serta (4) penyusunan anggaran (budgeting). Tahap utama pengimplementasian rencana terdiri dari dua tahap: (1) pengimplementasian (implementation) dan (2) pemantauan (monitoring).

Secara komprehensif dan koherennya rencana strategik yang dihasilkan melalui pendekatan BSC berdampak besar terhadap proses perencanaan berikutnya: penyusunan program (programming) dan penyusunan anggaran (budgeting). Contoh Penerjemahan Misi, Visi, Tujuan, Keyakinan Dasar, Nilai Dasar, dan Strategi Suatu Institusi Layanan Kesehatan Ke Sasaran-sasaran Strategik yang Komprehensif dan Koheren.

Page 36: Nyoman Dantes Blog

Dalam zaman Teknologi Informasi di dalamnya knowledge workers dominan dalam penyediaan produk dan jasa bagi customers, produk dan jasa bersaing di pasar berbasis kandungan pengetahuan yang terdapat didalamnya. Organisasi harus didesain menjadi learning organization–suatu organisasi yang seluruh anggotanya memiliki kemampuan belajar cepat (baik hal baru maupun belajar dari kegagalan yang dialami) dan melakukan knowledge sharing secara efektif.

Berikut ini rumusan BSC dalam implementasinya di zaman modern termasuk pemanfaatannya dalam dunia pendidikan.

Page 37: Nyoman Dantes Blog

Pada tahap perumusan strategi BSC digunakan untuk memperluas cakrawala dalam menafsirkan hasil penginderaan terhadap trend perubahan lingkungan makro dan lingkungan industri ke perspektif yang luas: keuangan, customer, proses bisnis/intern, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Melalui empat perspektif BSC, manajemen mampu menafsirkan dampak trend perubahan lingkungan bisnis yang kompleks terhadap misi, visi, dan tujuan (goals) organisasi. Di samping itu, pada tahap perumusan strategi, rerangka BSC juga dimanfaatkan melakukan analisis SWOT (strengths, weakness, opportunities, and threats). Analisi SWOT dilaksanakan melalui empat perspektif BSC: keuangan, customer, proses bisnis/intern, pembelajaran dan pertumbuhan dunia pendidikan. Penerapan BSC dalam pendidikan memunculkan kemungkinan berdasarkan kenyataan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memliki: kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (merupakan ciri dari manajemen). Pendikan merupakan investasi berbagai sumberdaya yang dipadukan secara sinergis untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dalam jangka panjang. Wallahu a’lam bishawab.

DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam, Dasar-Dasar Kependidikan Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 1996)

Page 38: Nyoman Dantes Blog

Gaspersz, Vincent, Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard Dengan Six Sigma Untuk Organisasi Bisnis Dan Pemerintah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002)

GBHN, Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, Tentang GBHN

James A. Brimson dan John Antos, Driving Value Using Activity-Based Budgeting (New York: John Wiley & Sons, Inc, 1999)

Jasin, Anwar, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis, Makalah Seminar Nasional, Jakarta, 10 Oktober 1985.

Kaplan, Robert S. dan David P. Norton, The Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action, (Boston: Harvard Business School Press, 1996)

Paul R. Niven, Balanced Scorecard Step by Step: Maximazing Performance and Maintaining Results, (New York: John Wiley & Sons, Inc, 2002)

Rasyidin, Waini, Filsafat Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Muhammad Ali, Ketua Pen.), (Bandung: PT Imperial Bhakti Utama, 2007)

Tilar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1998)