NON CONVENTIONAL BLEACHING.docx
-
Upload
agnes-sartika -
Category
Documents
-
view
197 -
download
6
Transcript of NON CONVENTIONAL BLEACHING.docx
TEORI
1. Pulp Bleaching (Pemutihan Pulp)
Tujuan utama proses pemutihan adalah untuk :
a. Meningkatkan derajat putih pulp, sehingga pulp tersebut sesuai untuk dibuat sebagai
kertas dengan jenis tertentu
b. Proses pemutihan pulp tidak hanya membuat pulp menjadi lebih putih atau cerah,
tetapi juga membuatnya stabil sehingga tidak menguning atau kehilangan kekuatan dan
derajat putih selama penyimpanan
c. Mendapatkan pulp yang mempunyai sifat fisik dan sifat kimia sesuai yang diinginkan
Pemutihan pulp kimia biasanya dilakukan dengan beberapa tahap yang disingkat
dengan simbol-simbol sebagai berikut:
a. Klorinasi (C) : reaksi dengan gas klor dalam media asam
b. Ekstraksi yang bersifat basa (E) : pelarutan hasil reaksi dengan NaOH
c. Hipoklorinasi (H) : reaksi dengan hipoklorit dalam larutan basa
d. Klor Dioksida (D) : reaksi dengan ClO2 dalam media asam
e. Peroksida (P) : reaksi dengan peroksida dalam media alkali
f. Oksigen (O) : reaksi dengan oksigen pada tekanan tinggi dalam
media alkali
g. Ozon (Z) : reaksi dengan ozon dalam media asam
h. (Dc) atau (CD) : campuran gas klor dan klordioksida
(Setiawan, 2010)
2. Conventional Bleaching
Saat ini bahan pemutih yang banyak digunakan dalam pemutihan pulp adalah
senyawa yang mengandung klor. Bahan yang mengandung klor ini, merupakan bahan
yang tidak ramah lingkungan. Oksidasi bahan organik oleh senyawa ini bisa
menghasilkan senyawa-senyawa yang berbahaya seperti kloroform dan kloronitrometana.
Kloroform merupakan racun bagi organ-organ vital seperti jantung, ginjal maupun hati.
Kloroform telah dipastikan sebagai zat karsinogenik serta sangat beracun. Beberapa
penelitian tentang dampak negatif dari pemakaian senyawa klor pada proses pemutihan
telah dilakukan.
Telah dilakukan penelitian untuk mengamati limbah bleaching pulp yang
menggunakan ClO2. Limbah yang dikumpulkan dari berbagai jenis kayu menunjukkan
semuanya mempunyai potensi mempengaruhi kehidupan ikan yang ada di sekitarnya.
Selain itu, telah dilakukan pula kajian tentang reaksi samping yang terjadi pada proses
pemutihan dengan menggunakan bahan yang mengandung khlorin. Klorin akan bereaksi
dengan senyawa organik dalam kayu membentuk senyawa toksik, misalnya dioksin.
Dioksin ditemukan tidak hanya dalam air limbah, tapi dalam produk yang dihasilkan.
Meskipun konsentrasi dioksin dalam air limbah sangat kecil tapi bila masuk dalam rantai
makanan konsentrasinya akan menjadi berlipat karena adanya proses biomagnifikasi
(Fuadi dan Sulistya, 2008).
Di luar dampak buruk yang ditimbulkan oleh penggunaan senyawa klor untuk
pemutihan pulp, bahan kimia ini tetap saja banyak digunakan sebagai bahan pemutih
karena keunggulan yang dimilikinya. Keunggulan penggunaan senyawa klor pada
pemutihan pulp, antara lain:
a. Klor telah banyak digunakan pada proses pemutihan pulp karena sifat-sifatnya yang
reaktif, efektif dan menghasilkan pulp dengan sifat fisik dan derajat putih tinggi
b. Disamping itu harga klor yang relatif murah membuatnya sangat menarik dan sulit
digantikan dengan bahan-bahan kimia yang lain
3. Non-Conventional Bleaching
Teknologi pembuatan pulp dan kertas yang bersifat ramah lingkungan
(environmentally friendly) berkembang sangat pesat. Aspek lingkungan yang dominan
pada industri pulp dan kertas terletak pada proses pemutihan (Setiawan, 2010). Adsorbable
Organic Halide (AOX) telah digunakan sebagai parameter yang menyatakan tingkat
pencemaran yang berbahaya dan digunakan di seluruh dunia. AOX telah menjadi ukuran
yang berlaku bagi bahan organik terklorinasi, dan digunakan untuk memantau serta
mengatur buangan (limbah) dari pabrik pulp Kraft (Noton, 1990).
Dari tahun ke tahun, proses bleaching pulp terus mengalami perbaikan yang dilakukan
dengan pencarian bahan alternatif atau bleaching agent yang terbaik yang ramah terhadap
lingkungan. Proses bleaching atau pemutihan dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan
ini disebut dengan non-conventional bleaching atau pemutihan non-konvensional. Berikut
ini adalah diagram evolusi urutan proses pemutihan pulp selama 40 tahun terakhir, yaitu
dari tahun 1970 sampai dengan 2010 (Hart dan Rudie, 2012)
Gambar 3.1 Evolusi Urutan Proses Pemutihan Pulp Selama 40 Tahun Terakhir
(Hart dan Rudie, 2012)
Dari Gambar 3.1 dapat dilihat bahwa urutan proses pemutihan pulp selama 40 tahun
terakhir memang terus mengalami perubahan. Pada awal tahun 1970 bahan kimia pemutih
yang digunakan pada urutan pemutihan adalah klorin, NaOH, hipoklorit, dan klordioksida.
Pada tahun 1995 mulai diterapkan TCF (Totally Chlorine Free) bleaching atau pemutihan
tanpa menggunakan klorin. Bahan kimia yang digunakan adalah oksigen, agen pengkelat,
ozon, dan hidrogen peroksida. Contoh agen pengkelat adalah phenantroline, asetil aseton,
porphyrins, dan yang paling banyak digunakan adalah EDTA (Ethylene Diamine Tetra
Acetate) dan DTPA (Diethylene Triamine Pentaacetic Acid) (Hart dan Rudie, 2012). Agen
pengkelat (dikenal juga sebagai agen eksekusi) dapat menghambat reaksi logam berkatalis
yang tidak diinginkan dengan membentuk kompleks dengan ion logam. Struktur yang
dihasilkan, yang disebut kelat, menonaktifkan ion logam dan mencegahnya bereaksi
dengan komponen lain pada sistem (DOW, 2011). Sedangkan pada tahun 2010
Di masa mendatang, Indonesia merupakan salah satu produsen pulp dan kertas yang
potensial karena keunggulan komparatif yang dimiliki. Salah satu kendala yang dihadapi
industri ini adalah proses pembuatan, terutama pada tahap pemutihan, yang masih
menggunakan senyawa khlorin yang terbukti sangat berbahaya bagi lingkungan. Dengan
semakin kuatnya tekanan untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan, maka perlu
dicari pilihan pengganti terhadap teknologi yang digunakan saat ini (Batubara, 2006).
Sum
bu A
cak
– Ta
npa
Nila
i
Tahun
Alternatif penurunan jumlah Adsorbable Organic Halogen (AOX, antara lain adalah
dengan:
a. Memperbaiki sistem pengulitan (debarking)
b. Delignifikasi berlanjut pada digester
c. Delignifikasi oksigen
d. Perbaikan ekstraksi pada pemutihan pulp dengan menambahkan oksigen atau
peroksida
e. Pemakaian enzim
f. Substitusi klordioksida ditingkatkan sampai 100%
g. Teknologi ECF (Elemental Chlorine Free)
h. Teknologi TCF (Totally Chlorine Free)
i. Teknologi TEF (Totally Effluent Free)
(Setiawan, 2010)
2.4 Jenis-Jenis Non-Conventional Bleaching
1. ECF (Elemental Chlorine Free) Bleaching
ECF adalah teknologi proses pemutihan pulp, dimana tidak digunakan lagi klor bebas
(Cl2) tetapi masih digunakan klor dalam bentuk senyawa (ClO2) sebagai bahan kimia pemutih
utamanya Menurut Ibnusantosa (1994), pada pemutihan ECF, bahan kimia yang digunakan
adalah klordioksida sebagai pengganti klor. Tahapan pemutihan ECF yang biasa digunakan
adalah DEDED, D(Eop)D(Ep)D, DD(Eop)DD, DEDD, dan DD(Eop)D. Tahap DEDD adalah
yaitu tahap delignifikasi untuk melarutkan atau menghilangkan lignin dengan dioksida klorin
(D) menggunakan bahan kimia ClO2, dan tahap ekstraksi dengan NaOH (E). Dari beberapa
tahapan tadi terlihat dalam metode ECF, klor tidak digunakan lagi sebagai bahan kimia
pemutih utama tetapi diganti dengan klordioksida. Substitusi ClO2 pada tahap klorinasi
pemutihan sistem ECF merupakan teknologi yang efektif untuk memperbaiki kinerja unit
pemutihan. Perbaikan yang dilakukan yaitu dengan efisiensi delignifikasi, dimana ClO2
hanya bereaksi dengan lignin sehingga mengurangi kerusakan yang terjadi pada karbohidrat
dan terhindarnya degradasi selulosa. Selain itu ClO2 dipakai untuk mencapai derajat putih
akhir yang tinggi tanpa penurunan kekuatan pulp yang berarti dan dapat menekan kadar
polutan dioxin dan furan seminimum mungkin (Hadipernata, dkk., 2010).
Pada urutan bleaching dengan ECF, penambahan pada tahapan pemutihan memiliki
arti bahwa kecerahan tertentu dapat dicapai dengan sedikit saja senyawa pemutih kimia atau
dalam kata lain tingkat kecerahan yang lebih tinggi dapat diperoleh. Terlepas dari jumlah
tahapan pemutihan, jumlah senyawa kimia pemutih yang ditambahkan ke tahap pertama
(secara umum berhubungan dengan bilangan Kappa) juga berpengaruh pada hasil pemutihan.
Semakin tinggi target kecerahan pada urutan tertentu, maka semakin tinggi bilangan Kappa
pada tahap pertama agar dapat meminimalkan penggunaan senyawa kimia.
Namun, sistem pemasakan dan delignifikasi oksigen memiliki pengaruh yang besar
terhadap bilangan Kappa yang dibutuhkan karena proses ini mengatur pemutihan pulp.
Pengenalan tahap Post Oxygen (PO) atau tahap ozon pada urutan ECF mengartikan bahwa
konsumsi klor dioksida yang dibutuhkan untuk mencapai kecerahan tertentu dapat jauh
dikurangi jauh. Contoh urutan tersebut adalah (Ze) DD dan Q (OP) D (PO) (METSO, 2009).
Proses pemutihan dengan sistem ini tidak memakai klor dalam bentuk elemen (Cl2).
Hipoklorit (NaOCl) juga tidak diperbolehkan karena akan membentuk kloroform dalam air.
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam pemutihan ini, antara lain: D (ClO2), senyawa ini
menggantikan klor (Cl2), E adalah NaOH, O adalah O2, P adalah H2O2. Kadang-kadang dapat
dikombinasikan dengan ozon (O3) (Setiawan, 2010).
2. TCF (Total Chlorine Free) Bleaching
TCF merupakan teknologi pemutihan tanpa menggunakan klor pada setiap tahapan
pemutihannya. Sebagai pengganti klorin pada konsep TCF biasanya digunakan oksigen atau
ozon. Proses pemutihan dengan sistem ini tidak memakai klor dalam bentuk elemen (Cl2)
maupun dalam bentuk senyawa (NaOCl dan ClO2). Bahan-bahan kimia yang digunakan
dalam pemutihan ini antara lain: Z (O3) (ozon): senyawa ini menggantikan peran D, E adalah
NaOH, O adalah O2, P adalah H2O2 dan Q adalah chelating agent atau agen pengkelat
(Setiawan, 2010)
Pada pemutihan TCF dengan hidrogen peroksida dan oksigen sebagai bleaching
agents, sebagai contoh, urutan Q(PO) atau Q(OP)Q(PO), kecerahan maksimum yang dapat
dicapai dapat meningkatkan bilangan Kappa lebih dulu dari pemutihan. Bahan apabila
bilangan Kappa setelah delignifikasi oksigen rendah, misalnya 10, biasanya tidak mungkin
mencapai tingkat kecerahan yang lebih tinggi dari 85% berdasarkan International Standard
Operating (ISO) untuk pulp softwood. Solusi yang efektif untuk mencapai kecerahan yang
lebih tinggi adalah dengan mengenalkan tahap pemutihan dengan ozon di antara tahap
delignifikasi oksigen dan tahap PO, misalnya urutannya menjadi (Zq)(PO) or Q(OP)(Zq)(PO)
(METSO, 2009).
3. Bio-Bleaching
Di alam terdapat tiga kelompok jamur yang dapat menguraikan komponen kayu
(lignoselulosa) yaitu pelapuk coklat (brown rot), pelapuk putih (white rot) dan pelapuk lunak
(soft rot). Pengelompokan jamur pelapuk ini didasarkan pada hasil proses pelapukan. Jamur
pelapuk coklat menghasilkan sisa hasil pelapukan berwarna coklat sedangkan jamur pelapuk
putih menghasilkan sisa hasil pelapukan yang berwarna putih. Ketiga jenis jamur tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda. Jamur pelapuk putih memiliki kemampuan
mendegradasi lignin yang tinggi dengan sedikit mengakibatkan kehilangan selulosa. Sifat ini
menguntungkan sehingga dapat digunakan pada proses delignifikasi yaitu pemutihan pulp
(Risdianto, dkk., 2007).
Pada tahun 1986, pertama kali muncul laporan bahwa enzim endoxylanase mampu
mengurangi bahan-bahan kimia yang diperlukan pada proses bleaching pulp kraft. Banyak
peneliti telah merekomendasikan penelitian dan pengembangan teknologi ini ke arah
komersialisasi. Sedikitnya ada dua penjelasan mengenai bagaimana xylanase mampu
meningkatkan proses bleaching pulp. Model pertama yang diajukan adalah bahwa mereka
meningkatkan akses dari bahan kimia bleaching ke serat-serat pulp dengan menghilangkan
xylan yang terendapkan. Serat yang terbuka (uncoated fibers) ternyata lebih rentan terhadap
bahan kimia bleaching dan ekstraksi lignin.
Secara esensial, model ini mengusulkan bahwa xylan secara fisik menjebak lignin dan
kromofor dalam matriks pulp. Model kedua yang diajukan adalah bahwa hemiselulase
membebaskan kromofor dan lignin dari matriks pulp selulosik melalui pemecahan ikatan
kovalen antara hemiselulosa dan lignin. Agaknya berdasarkan usulan penjebakan fisik,
diketahui bahwa lignin dan kromofor yang tersisa terikat secara kimiawi di dalam pulp. Bukti
terakhir mendukung peran xylanase dalam pemecahan ikatan lignin dengan karbohidrat. Pada
perombakan hemiselulosa, terjadi peningkatan kromofor yang cukup tinggi. Selama proses
pulping kraft, asam metilglukuronat dan komponen hemiselulosa lainnya terpecah menjadi
satuan-satuan asam kromofor yang tetap terikat pada rantai utama xylan. Terdapat banyak
jenis hasil perombakan dan kondensasi yang belum terdokumentasi dengan baik. Produk hasil
perombakan lignin dan hemiselulosa dapat bereaksi silang (cross-react) dengan xylan dan
terikat ke dalam matriks hemiselulosa.
Hidrolisis hemiselulosa dapat melepaskan ikatan antara kromofor dan lignin, namun
penghilangan xylan, tidaklah disarankan karena akan mengurangi hasil pulp, dan jika
dilakukan secara ekstrim maka penghilangan xylan akan mengurangi kekuatan pulp (pulp
strength). Sehingga tujuan utama penggunaan enzim dalam proses bleaching adalah tidak
menghilangkan xylan secara keseluruhan, hanya melepaskan kromofor dan lignin. Alasan
penggunaan enzim-enzim dalam proses pulping dan bleaching adalah untuk meningkatkan
spesifikasi dan keuntungan baik secara ekonomis maupun lingkungan.
Mekanisme enzim xylanase adalah melakukan pemindahan ganda (double
displacement mechanism) yang akan mengikat intermediet reaktif. Hal ini memudahkan
enzim xylanase untuk melakukan reaksi transglycosylasis. Dalam proses bleaching pulp,
penggunaan enzim xylanase mampu mengurangi kebutuhan bahan kimia untuk bleaching.
Secara komersial saat ini sudah tersedia jenis enzim aktif yang termostabilalkalin dan mampu
meningkatkan kemampuan akses pulp serta pelepasan kromofor. Tujuan lain adalah
menghilangkan warna, dan bukan xylan. Dan jika kita mengawasi pelepasan kromofor, kita
dapat memperoleh peningkatan implementasi teknologi ini pada industri pulp (Batubara,
2006).
4. Peracid Bleaching
Peracid saat ini digunakan di pabrik pulp dengan menyuling asam perasetat, Paa. Asam
perasetat dapat mengurangi bilangan kappa dan meningkatkan kecerahan dan terutama
digunakan dalam urutan pemutihan TCF (Totally Chlorin Free). Asam perasetat kurang
sensitif terhadap logam transisi daripada dengan menggunakan hidrogen peroksida.
Sejauh ini, treatment dengan peracid telah dilakukan secara bertahap pada tahap-tahap
bleaching yang ada. Tidak ada peralatan khusus yang diperlukan, selain penyimpanan dan
mendistribusikan sistem peracid tersebut. Salah satu kelemahan dengan bahan kimia ini
pemutihannya membutuhkan biaya yang sangat besar (METSO, 2009).
5. Dithionite Bleaching
Natrium ditionit adalah bahan kimia pemutihan yang bersifat reduktif. Hal ini juga
dikenal sebagai natrium hidrosulfit. Pemutihan reduktif sangat penting tidak hanya untuk
pemutihan pulp, tetapi juga untuk menghilangkan warna dari kertas daur ulang yang
berwarna dan kertas karbon. Banyak pewarna yang digunakan untuk memberi warna pada
kertas secara efektif yang dihancurkan oleh bahan kimia pemutihan reduktif. Natrium ditionit
yang diketahui efektif untuk penghilangan warna dan dapat menghapus banyak jenis
pewarna. Sebagian besar pewarna bersifat asam dan penghilangan warna permanen secara
langsung dengan natrium ditionit karena merusak kelompok azo. Beberapa pewarna dasar
dihilangkan warnanya sementara. Ditionit kadang-kadang digunakan dalam kombinasi
dengan agen oksidasi, karena beberapa pewarna yang tidak reaktif dengan oksidasi kimia
dapat bereaksi dengan beberapa agen pereduksinya.
Natrium ditionit terurai dengan cepat bila terkena udara. Bila terkena air, dalam
bentuk padat akan melepaskan gas sulfur, bersifat korosif terhadap peralatan dan bangunan.
Apabila dalam wujud larutan berair biasanya disimpan dalam tangki tertutup dengan alur
nitrogen. Natrium ditionit umumnya diberikan dalam bentuk bubuk kering. Produk-produk
komersial mungkin berisi stabilisator, buffer (fosfat, karbonat), dan kelat.
Natrium formiat dihasilkan dari karbon monoksida dan natrium hidroksida. Ditionit
juga dapat diproduksi di tempat dengan menggunakan Borol dengan proses Ventron. Borol
adalah campuran dari 12% borohidrida (NaBH4), 40% natrium hidroksida (NaOH) dan air
48%. Dithionite diproduksi oleh reaksi Borol dengan air sulfur dioksida atau natrium bisulfat.
NaBH4 + 8NaHSO3 → 4Na2S2O4 + NaBO2 + 6H2O
Natrium ditionit terdapat dalam larutan pemutih dengan bahan aktif sekitar 85% (Bajpai,
2005).
6. Formamidine Sulphinic Acid (FAS)
FAS telah menjadi kunci yang digunakan untuk mencerahkan dan warna stripping
dari serat sekunder dengan menggunakan. Kemampuan FAS sebagai langkah yang efektif
dalam pengurangan substansial warna dalam warna filtrat. Berbagai jenis aplikasi seperti
pada mesin pembuatan pulp, bleaching tower atau penyebar seperti yang adea pada gambar
2.2. FAS adalah senyawa yang rendah-bau, zat pereduksi berupa kristal dan dapat digunakan
pada semua jenis sampah kertas untuk daur ulang. Penggunaannya sebagai bahan pemutih
pertama kali diusulkan dalam industri tekstil. Proses ini dipatenkan oleh Suss dan Kruger
(1983) dengan mengusulkan kondisi pemutihan untuk pulp mekanis dan pulp serat sekunder
yang dapat diterapkan dalam proses tunggal dan proses dua tahap dengan bahan kimia
pemutih lainnya. FAS berisi thiocarbamide sulfur dioksida menurut analisis struktur sinar X-
ray. Bentuk material pada suhu rendah di bawah kondisi asam pH netral dalam reaksi dari
dua molekul hidrogen peroksida dan satu molekul thiocarbamide. FAS berbentuk bubuk
putih yang berwarna agak kuning, tidak berbau, dan tidak mudah terbakar. FAS juga dikenal
sebagai tiourea dioksida. FAS teroksidasi oleh oksigen atmosfer seperti semua mengurangi
bahan kimia pemutihan, tetapi dibandingkan dengan dithionite,FAS jauh lebih rentan. Hal ini
memungkinkan jangkauan yang lebih luas kemungkinan aplikasi untuk pemutihan tidak
hanya sebagai tahap pemutihan terpisah, tetapi juga dalam kombinasi dengan tahap lain dari
operasi pengolahan pulp. FAS juga memiliki kandungan sulfur yang lebih rendah
dibandingkan dengan ditionit. Hal ini memiliki efek positif pada beban sulfat dari loop putih-
air. Tingkat sulfat dalam pemutihan limbah dapat dikurangi sebanyak 75%. Akibatnya,
kerentanan korosi dari peralatan dan instrumen lebih rendah. Juga, produksi bau yang tidak
banyak karena hidrogen sulfida yang lebih rendah (Bajpai, 2005).
Gambar 2.2 Aplikasi Penggunaan FAS dalam Proses Pembuatan Pulp
(Bajpai 2005)
2.5 Proses Non-Conventional Bleaching
1. ECF (Elemental Chlorine Free) Bleaching
Dalam urutan tahap pemutihan ECF (Elemental Chlorin Free), penambahan tahapan
pemutihan yang berarti bahwa tingakt kecerahan tertentu dapat diperoleh dengan bahan kimia
pemutih yang sedikit dan/atau tingkat kecerahan yang lebih tinggi dapat dicapai. Terlepas
dari jumlah tahap pemutihan, jumlah bahan kimia pemutih yang ditambahkan ke tahap
pertama (sering disebut sebagai bilangan Kappa) juga mempengaruhi hasil pemutihan.
Semakin tinggi tingkat kecerahan dengan urutan tertentu, semakin tinggi diperlukan faktor
kappa dalam tahap pertama yang dibutuhkan untuk meminimalkan jumlah bahan kimia yang
digunakan. Namun, proses pemasakan dan sistem delignifikasi oksigen memiliki pengaruh
yang besar terhadap faktor kappa yang dibutuhkan untuk pemutihan sebagai proses untuk
mengatur pemutihan pulp. Pengenalan tahap (PO) atau tahap ozon di urutan ECF berarti
bahwa konsumsi klor dioksida yang dibutuhkan untuk mencapai kecerahan tertentu dapat
jauh dikurangi. Contoh urutan tersebut yaitu (Ze) DD dan Q (OP) D (PO) (METSO, 2009).
Urutan tahap pemutihan D (OP) DP saat ini menjadi urutan standar ECF untuk kayu
lunak dan kayu keras dengan proses kraft pada pabrik pulp.
Gambar 2.3 Urutan Pemutihan Pulp D (OP) DP Standar ECF untuk Kayu Lunak dan Keras
(METSO, 2009)
Urutan light ECF dengan (Ze) DD adalah lebih efektif biaya dan salah satu alternatif
yang ramah lingkungan untuk urutan ECF standar. Peralatan yang sama dapat digunakan
untuk pemutihan TCF urutan (ZQ) PP.
Gambar 2.4 Urutan Light ECF dengan (Ze) DD
(METSO, 2009)
Urutan pemutihan dengan tahap Q (OP) D (PO) merupakan alternatif urutan light ECF.
Peralatan yang sama dapat digunakan untuk pemutihan TCF urutan Q (OP) Paa (PO).
Gambar 2.5 Urutan Pemutihan Pulp dengan Tahap Q (OP) D (PO)
(METSO, 2009)
Secara sederhana, diagram alir proses ECF bleaching dapat digambarkan seperti di bawah
ini.
Gambar 2.6 Diagram Proses ECF Bleaching
(Setiawan, 2010)
2. TCF (Total Chlorine Free) Bleaching
Dalam pemutihan pulp dengan TCF (totally cholin free) pemutihan dengan hidrogen
peroksida dan oksigen hanya sebagai agen pemutihan, misalnya pada urutan pemutihan Q
(PO) atau Q (OP) Q (PO), kecerahan maksimum yang dapat dicapai meningkat dengan
turunnya bilangan Kappa sebelum pemutihan. Bahkan jika bilangan kappa setelah
delignifikasi oksigen rendah, misalnya sekitar 10, biasanya tidak mungkin untuk dapat
mencapai kecerahan yang lebih tinggi dari sekitar 85% ISO untuk pulp kayu lunak. Sebuah
solusi yang efektif untuk menghasilkan kecerahan yang lebih tinggi adalah untuk
menggunakan pemutihan tahap ozon antara tahap delignifikasi oksigen dan (PO) tahap,
misalnya urutan menjadi (ZQ) (PO) atau Q (OP) (ZQ) (PO) (METSO, 2009).
Urutan pemutihan pulp Q (PO) berguna untuk semibleached TCF pulp, yaitu sekitar
80-85% untuk kayu lunak dan 85-88% ISO untuk pulp kayu keras.
Gambar 2.7 Urutan Pemutihan Pulp Q (PO)
(METSO, 2009)
Untuk tahap pemutihan TCF dengan kecerahan penuh dengan urutan (ZQ) (PO) merupakan
salah satu alternatifnya.
Gambar 2.8 Urutan Pemutihan Pulp (ZQ) (PO)
(METSO, 2009)
Urutan pemutihan pulp Q (OP) ZQ (PO) dapat memproduksi pulp kayu lunak sepenuhnya
telah dikelantang
Gambar 2.9 Urutan Pemutihan Pulp Q (OP) ZQ (PO)
(METSO, 2009)
2.6 Keunggulan Proses Non-Conventional Bleaching
Keuntungan dari proses non-conventional bleaching ini yaitu lebih ramah bagi
lingkungan, karena tidak menggunakan senyawa bahan kimia yang mengandung klorin.
Selain itu lebih sedikit mengkonsumsi energy, yield yang diperoleh besar, masalah limbah
dapat ditangani, dapat diterapkan untuk pemutihan pada pulp dari kayu lunak dan kayu keras.
2.7 Kelemahan Proses Non-Conventional Bleaching
Kelemahan dari proses no-conventional bleaching adalah bahan kimia yang
digunakan lebih mahal, proses pemutihan pulp berlangsung lebih lambat terutama pada
pemutihan pulp (bleaching) dengan menggunakan mikroorganisme (bio-bleaching).
PENUTUP
Prosedur pemutihan kimia yang kompleks digunakan untuk mengolah pulp kayu
terutama untuk menghapus lignin, yaitu komponen berwarna serat kayu. Lignin memberikan
kekuatan bantalan beban mekanik untuk tanaman ada dalam jumlah besar di kayu dengan
kandungan pada kayu lunak 26-32% dan kayu keras 20-28%. Lignin adalah polimer fenolik
kompleks yang pada dasarnya acak dalam struktur secara keseluruhan.
Bleaching non konvensional adalah proses pemutihan yang tidak menggunakan bahan
kimia yang mengandung klorin, dimana zat ini sangat berbahaya bagi lingkungan. Contohnya
adalah menggunakan senyawa-senyawa Cl2, ClO2, dan NaOCl. Maka digunakan bahan kimia
yang bebas dari senyawa klorin, misalnya bleaching dengan menggunakan proses ECF
(Elemental Chlorin Free), TCF (Totally Chlorin Free), Peracid Bleaching, Dithionite
Bleaching, Formamidine Sulphinic Acid (FAS), dan Bio-Bleaching. Penggunaan teknologi
pemutihan pulp secara konvensional ini belum banyak diterapkan pada industry besar, namun
secara perlahan. Misalnya dengan menambahkan unit pemutihan pulp non konvensional pada
urutan pemutihan.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis panjatkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan singkat
ini. Tulisan ini membahas mengenai Non-Conventional Bleaching pada industri pulp dan
kertas dan dibuat sebagai tugas dari mata kuliah Teknologi Pulp dan Kertas yang diampu oleh
Dr. Ir. Taslim, Msi.
Sangat disadari, bahwa dalam penyusunan tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu saran-saran dan masukan-masukan positif sangat diharapkan demi penyempurnaan
tulisan ini di masa-masa yang akan datang. Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya jika dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Dan semoga paparan singkat
dalam tulisan ini memberikan manfaat bagi pembaca.
Medan, Mei 2013
Penyusun
PENDAHULUAN
Kegiatan utama dalam industri pulp dan kertas adalah proses pulping (proses
pembuatan pulp) dan proses bleaching (proses pemutihan pulp). Saat ini sebagian besar
teknologi pulping yang digunakan dalam industri pulp dan kertas di Indonesia adalah proses
kraft atau proses sulfat yang memang merupakan proses paling banyak digunakan di seluruh
dunia, sedangkan untuk bleaching banyak menggunakan Cl2 (klorin).
Proses kraft diakui mempunyai banyak segi positif, antara lain mampu mengolah
semua jenis bahan baku dengan berbagai macam kualitas dan dapat menghasilkan pulp
dengan kualitas yang sangat prima. Di lain pihak, proses konvensional ini juga mempunyai
beberapa kelemahan, salah satunya adalah kontribusinya terhadap pencemaran lingkungan.
Begitu juga penggunaan klorin sebagai bahan pemutih telah menjadi menjadi persoalan yang
serius dan merupakan titik berat permasalahan dalam industri pulp dan kertas, dampak
negatif yang ditimbulkannya adalah berupa senyawa kloro organik yang berbahaya bagi
lingkungan sekitar.
Tuntutan masyarakat akan teknologi bersih semakin meningkat, baik di tingkat
nasional maupun internasional, tentu saja tidak bisa diakomodasi dengan menggunakan
proses kraft dan bleaching yang menggunakan klorin. Bahkan, ada sinyalemen bahwa
masyarakat internasional untuk tidak membeli pulp apabila dalam proses produksinya tidak
menggunakan teknologi bersih. Agar produksi pulp yang dihasilkan dapat diterima di pasar
internasional, maka harus dilakukan usaha-usaha pencarian teknologi alternatif yang lebih
aman terhadap lingkungan. Penelitian dan pengembangan teknologi dalam bidang pulp telah
banyak dilakukan dengan tujuan menjawab permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh
industri ini, baik penelitian dalam teknologi pembuatan pulp maupun dalam teknologi
pemutihan pulp. Salah satu usaha untuk menanggulangi masalah lingkungan pada proses
bleaching adalah dengan mengganti tehnik pemutihan konvensional (yang menggunakan
klorin). Teknologi pemutihan non konvensional ini mulai dikembangkan dengan
pengurangan pemakaian klorin dalam bentuk ECF (Elemental Chlorin Free) atau tanpa
menggunakan klorin sama sekali (TCF/Total Clorin Free) yaitu dengan mengunakan oksigen
peroksida dan ozon sebagai oksidator pengganti klorin. Teknologi pemutihan lain yang tidak
menggunakan klorin adalah dengan menggunakan jamur (biobleaching) dan penggunaan
enzim, walaupun kedua teknologi ini masih dalam skala pilot projet dan sebagian lainnya
masih dalam taraf penelitian dan pengembangan dalam skala laboratorium. Tulisan ini akan
menguraikan secara singkat teknologi non-conventional bleaching yang ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Fuadi dan H. Sulistya. Pemutihan Menggunakan Hidrogen Peroksida. Reaktor, Vol 12 no
2. Hal 123‐128
D. Fengel dan G. Wegener. 1995. Kayu; Kimia, Ultrastruktur, Reaksi – reaksi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Wood ; Chemistry, Ultrastructure,
Reacions
Dr David J. Saul. 2002. Enzymatic Bleaching Of Wood Pulp. School of Biological Sciences.
University of Auckland. Private Bag 90219. Auckland. New Zealand.
J.P. Casey. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. 3rd edition Vol. I A.
New York : Willey Interscience Publisher
Kyosti.V. Sarkanen. Pulping Conference. Tappi J. 51(10), 449, New York, 1979
Hendro Risdianto, Tjandra Setiadi, Sri Harjati Suhardi, dan Wardono Niloperbowo. 2007.
Pemilihan Spesies Jamur dan Media Imobilisasi Untuk Produksi Enzim
Lignolitik.Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses
Herbert Holik. 2006. Handbook of Paper and Board. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co.
KGaA. ISBN 3-527-30999-3.
METSO, Bleaching of Chemical Pulp, Edisi Satu, Metso Corporation, Melbourne, 2009
Mulyana Hadipernata, Agus Budiyanto, Sutedja Wiraatmadja dan Andoyo Sugiharto. 2010.
Efisiensi Proses Pemutihan Pulp Kraft RDH dengan Metode ECF. Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB, Bogor
Peter W. Hart dan Alan W. Rudie. The Bleaching of Pulp, 5th Edition. Tappi Press, USA,
2012
Ridwanti Batubara. 2006. Teknologi Bleaching Ramah Lingkungan. Departemen Kehutanan
Fakultas Pertanian.Universitas Sumatera Utara Ravi Dutt Yadav, Smita Chaudhry,
Saurabh Sudha Dhiman. 2009. Biopulping and its Potential to Reduce Effluent Loads
from Bleaching of Hardwood Kraft Pulp. Research and Development Division.
Ballarpur Industries Limited (BILT). Yamuna Nagar. India.
Rinaldi. 2004. Pengaruh Etanol dalam Pembuatan Pulp Soda dari Kulit Waru Laut (Hibiscus
tiliaceus L.). Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Yusup Setiawan, 2010. Peranan Polimer Selulosa Sebagai Bahan Baku Dalam
Pengembangan Produk Manufaktur Menuju Era Globalisasi. Balai Besar Pulp dan
Kertas. Bandung