NON-CARREER SUPREME COURT JUDGES RECRUITMENT AS ...
Transcript of NON-CARREER SUPREME COURT JUDGES RECRUITMENT AS ...
Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman Kanun Jurnal Ilmu Hukum A. Muhammad Nasrun No. 67, Th. XVII (Desember, 2015), pp. 477-494.
ISSN: 0854-5499
REKRUITMEN HAKIM AGUNG NONKARIR SEBAGAI IMPLEMENTASI
INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
NON-CARREER SUPREME COURT JUDGES RECRUITMENT AS INDEPENDENCE
IMPLEMENTATION OF JUDICIARY POWER IN INDONESIA
Oleh: A. Muhammad Nasrun *)
ABSTRAK
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Hakim Agung Non-karir telah mengisi
khazanah intelektual dalam putusan-putusan Mahkamah Agung. Kapabilitas
pengetahuan hukum telah memperkuat sisi teoritik putusan-putusan Mahkamah Agung.
Itu satu sisi kehadiran Hakim Agung Non-karir. Pada sisi lain muncul juga gugatan
terhadap Hakim Agung terutama dari jalur perguruan tinggi. Akademisi ini
dipertanyakan kemampuan dan pemahaman terhada hukum acara. Ada juga pengakuan
Hakim Agung asal perguruan tinggi ini bahwa mereka memerlukan waktu untuk belajar
membaca berkas secara cepat (speed reading) dan berlatih membuat putusan. Latihan itu
membutuhkan waktu sekitar 6 bulan. Masalah itu sesungguhnya tidak perlu terjadi
manakala calon Hakim Agung jalur akademisi memiliki pengalaman beracara sebagai
advokat ataupun pengalaman non-litigasi sebagai konsultan hukum atau sebagai “off-
councel” pada Kantor Advokat atau Firma Hukum.
Kata Kunci: Hakim Agung Nonkarir, Independensi Peradilan.
ABSTRACT
It is undeniable that the presence of the non-career justices has been filled with
intellectual treasures in the decisions of the Supreme Court. Their capabilities of legal
knowledge have strengthened Supreme Court verdicts in the past. That's one side of the
presence of the non-career justices. However, the situation today have changed over the
presence of the non-career justices. Candidate of non-career justice from universities
have been questioned theirworking capability and understanding on procedural law.
Justices from university admitted that they need time to learn to read files quickly and
practice making a decision. The exercise takes about three to six months. The problem
really should not be happening when the non-career justices have had legal practice
experience such as a lawyer or as a legal consultant or as “off-councel” at alaw firm.
Keywords: Non-career Justices, Independency of Judiciary.
PENDAHULUAN
Keikutsertaan praktisi hukum dan akademisi dalam seleksi calon hakim agung merupakan
salah satu hasil dari reformasi politik yang terjadi pasca kejatuhan Pemerintahan Orde Baru di
*) A. Muhammad Nasrun adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor. E-mail:
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman No. 67, Th. XVII (Desember, 2015). A. Muhammad Nasrun
478
bawah Presiden Soeharo setelah berkuasa 32 tahun.1 Bahkan keikutsertaan calon hakim agung dari
jalur non-karir telah menghasilkan seorang Ketua Mahkamah Agung pertama dari jalur non-karir
dalam sejarah dunia peradilan Indonesia, yaitu Prof BagirManan. Manan adalah guru besar hokum
tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Amandemen UUD 1945
dilakukan satu tahun setelah kejatuhan Pemerintahan Suharto, dengan salah satu perubahan penting
adalah kekuasaan kehakiman tidak saja dilakukan oleh mahkamah dan peradilan di bawahnya,
tetapi juga melibatkan Mahkamah Konstitusi.2 Pascaamandemen UUD 1945 sistem rekruitmen
hakim agung juga mengalami perubahan drastis sejak era reformasi, yaitu “dari yang semula
didominasi oleh kekuasaan Presiden menjadi kewenangan terbagi di tangan Presiden, Komisi
Yudisial dan DPR sebagai puncak dominasi yang paling menentukan.3 Pengkerdilan kekuasaan
kehakiman berlanjut di era Pemerintahan Soeharto antara lain melalui Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang sebelumnya juga terjadi
pembonsaian independensi kekuasaan kehakiman antara lain melalui instrumen Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 UU
No. 14 Tahun 1970 telah menempatkan persoalan administrasi dan keuangan peradilan di bawah
“Departemen Kehakiman” dan soal teknis yudisial dibawah Mahkamah Agung atau yang dikenal
dengan istilah “dualisme kekuasaan kehakiman,” yang dilanjutkan dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.4Reformasi politik
5 telah mendorong lahirnya Undang-
1Sorak sorai mahasiswa-mahasiswa yang menduduki Gedung DPR-RI terjadi ketika Soeharto mengumumkan
pengunduran diri sebagai Presiden Republik Indonesia Kedua pada 21 Mei 1998 menyusul berbulan-bulan demonstrasi
anti-pemerintahan di seluruh penjuru wilayah Indonesia. Rezim Soeharto yang ditunjang kekuatan birokrasi dan militer
akhirnya tumpang setelah krisis ekonomi melanda Indonesia, yang fundamental ekonominya lemah akibat praktik
korupsi dan kolusi dan nepotisme dalam bidang ekonomi dan politik. 2 VidePasal 24 ayat (2) UUD 1945.
3 Jimly Asshiddiqie, “Liberalisasi Sistem Pengisian Jabatan Publik,” makalah pada “Konferensi Nasional Hukum
Tata Negara Ke-2: Menata Proses Seleksi Pimpinan Lembaga Negara,” diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Padang, 10-12 September 2015. 4 BacaJ. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: KBI,
2008, hlm. 239.
Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman Kanun Jurnal Ilmu Hukum A. Muhammad Nasrun No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
479
undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menganulir ketentuan Pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970, yang
kemudian diperkuat lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.6
Kekuasaan kehakiman yang seharusnya independen dari kekuasaan lain di luar kekuasaan
kehakiman, yang terjadi justru dikendalikan “organisasi dan finansialnya” oleh Departemen
Kehakiman. Rekruitmen hakim agung berada di tangan Pemerintah, sekalipun Mahkamah Agung
juga harus memberikan masukan terkait calon-calon hakim agung yang akan diseleksi. Reformasi
politik pasca berakhirnya Pemerintahan Soeharto membuka pintu bagi partisipasi praktisi hukum
dan akademisi untuk turut serta dalam seleksi calon hakim agung. Independensi peradilan
merupakan suatu prinsip yang dianut secara universal, yang setidaknya diperlihatkan melalui “The
Bangalore Principles” dan “The Beijing Statement of Principles of the Independence”.
Adanya rekruitmen hakim agung dari jalur non-karir baik dari kalangan akademisi maupun
praktisi hukum merupakan keberhasilan perjuangan independensi peradilan. Kekuasaan kehakiman
dapat dilaksanakan oleh hakim-hakim dari jalur karir maupun jalur non-karir melalui mekanisme
seleksi yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial. Di era Pemerintahan Suharto (1966-1998)
seleksi hakim agung menyertakan akademisi dan praktisi hukum tidak dimungkinkan oleh Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Bahkan Pemerintahan
Presiden Soeharto menghambat pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang independen melalui Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970. Kekuasaan kehakiman yang independen tidak dapat dilaksanakan secara
utuh, karena pengaturan rekruitmen dan promosi hakim serta finansial peradilan dilaksanakan oleh
Pasal 11 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman mengatakan, “Badan-
badan yang melakukan peradilan tersebut pada Pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah
kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan.”
Pasal 5 ayat (2) UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan, “Pembinaan organisasi,
administrasi dan keuangan pengadilan dilakukan dilakukan oleh Menteri Kehakiman.”
Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan, “Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan
pengadilan dilakukan dilakukan oleh Menteri Kehakiman.”
Pasal 5 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, “Pembinaan organisasi,
administrasi dan keuangan pengadilan dilakukan dilakukan oleh Menteri Agama.” 5Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2001, hlm. Ix. 6 Pasal 13 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan, “Organisasi, administrasi dan
finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah Mahkamah Agung.”
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman No. 67, Th. XVII (Desember, 2015). A. Muhammad Nasrun
480
Pemerintah di bawah Departemen Kehakiman melalui Pasal 11 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Ketentuan Pasal 11 tersebut telah menimbulkan dualisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yaitu sisi
teknis peradilan berada di bawah Mahkamah Agung dan sisi administratif berada di bawah Departemen
Kehakiman. Kehadiran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tidak lain merupakan kekalahan kaum
reformis di era Suharto yang ketika itu bekerja keras untuk mencegah terulangnya pengebirian kekuasaan
kehakiman di masa rezim Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno.7
Fakta campur tangan Pemerintah dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman bertentangan dengan teori
pemisahan kekuasaan negara yang dianut secara universal. Para pemikir hukum berpendapat bahwa
independensi kekuasaan kehakiman merupakan suatu keharusan dalam suatu Negara hukum. Montesquieu,
salah satu pemikir terkemuka di masa pertengahan (the middle ages), menganjurkan penerapan teori
pemisahan kekuasan (separation of power) sebagaimana dimuat dalam Trias Politica. Montesquieu
mengatakan bahwa kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislative terpisah baik
mengenai tugas maupun mengenai alat perlengkapan yang menjalankan kekuasan itu.8
Independensi kekuasaan kehakiman tidak hanya dimanifestasikan dalam tiga prinsip-prinsip
tersebut di atas, yang sifatnya lebih merupakan konsep ideal dan dielaborasi kedalam konsep
operasional, yaitu:9
1. (a) Participation in judicial appointments and promotions by the Executive or
Legislature is not inconsistent with judicial independence, provided that appointments
and promotions of judges are vested in a judicial body, in which members of judiciary
and the legal profession form a majority.
(b) Appointments and promotions by a non judicial body will not be considered
inconsistent with judicial independence in countries where, by long historic and
democratic tradition, judicial appointments and promotion operate of the Executive.
2. (a) The Executive may participate in the discipline of judges, only in referring
complaints against judges, or in the initiation of disciplinary proceedings, but not the
7 Daniel S. Lev, "Kata Pengantar", Kami Ilyas, Catatan Hukum (Jakarta: Yayasan Karyawan Forum, 1996),
hlm.xv. 8 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasan Eksekutif, cetakan keenam (Jakarta: AksaraBaru, 1986), hlm. 15.
9Ibid
Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman Kanun Jurnal Ilmu Hukum A. Muhammad Nasrun No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
481
adjudication of such matters. The power of discipline or remove a judge must be vested
in an institution which is independent of the Executive.
(b) The power of removal of a judge should preferably be vested in a judicial tribunal.
(c) The Legislature may be vested with the powers of removal of judges, preferably upon
a recommendation of a judicial commission.
(3) The Executive shall not have control over judicial functions.
(4) Rules of procedures and practice shall be made by legislation or by the Judiciary
in cooperation with the legal profession, subject to parliament approval.
Pemisahan kekuasaan cabang-cabang kekuasan Negara dimaksudkan untuk menjamin adanya
independensi kekuasaan kehakiman.10
Adanya jaminan kekuasaan kehakiman yang independen
merupakan satu elemen penting dari konsep Negara hukum.11
Keterkaitan antara pemisahan
kekuasaan dengan konsep Negara hokum terletak pada pengaturan batas-batas kekuasaan yudikatif,
eksekutif dan legislative ataupun hubungan di antara cabang-cabang kekuasaan tersebut dalam
konstitusi.12
Walaupun terjadi pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara tersebut tetapi kemudian
berkembang menjadi adanya praktik saling mengawasi diantara cabang-cabang kekuasaan negara
tersebut melalui mekanisme check-and-balance. Pemilihan calon hakim agung yang dilakukan oleh
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara independen bersifat quasi-yudisial kemudian disahkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan selanjutnya Presiden dalam posisi sebagai kepala negara
membuat surat keputusan pengangkatan hakim agung baru tersebut.
Menurut Suparman Marzuki,13
keterlibatan Komisi Yudisial dan proses seleksi calon hakim
agung untuk kemudian disampaikan kepada DPR adalah “pilihan politik hukum untuk menjaga
10
Melvin A. Arquillo, "A Case Suvery of the 1970 Supreme Court, Decision on Political Law," University of Santo
Tomas Law Review (Aug.-Sept. 1971), hlm. 22. 11
Konsep negara hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah "the rule of law" sebagaimana
dianut dalam tradisi hukum Saxon dan ' 'rechstaats'' dalam tradisi hukum Eropa Kontinental. 12
Dieter C. Umbach, "Basic Elements of the Rule of Law in a Democratic Society," Beatrice Gorawantschy, et.al,
Rule of Law and Democracy in the Philippines (Diliman: University of Philippine, 1985), hlm. 24.
13
Suparman Marzuki, “Pengisian Jabatan Hakim Agung,” makalah dalam “Konferensi Nasional Hukum Tata
Negara Ke-2: Menata Proses Seleksi Pimpinan Lembaga Negara,” diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang, 10-12 September 2015.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman No. 67, Th. XVII (Desember, 2015). A. Muhammad Nasrun
482
keseimbangan kekuasaan legislatif dan eksekutif di satu sisi, serta memastikan dua cabang
kekuasaan itu ‘clear’ dari potensi meninggalkan jejak kepentingan atau pengaruh dalam cabang
kekuasaan yudikatif.” Memastikan tidak ada jejak cabang kekuasaan di luar kekuasaan yudikatif
sangat penting agar tidak ada kendala bagi hakim agung untuk memberikan putusan yang bersegi
keadilan, karena tidak tertutup kemungkinan benturan kepentingan yang tercipta diakibatkan
adanya suatu perkara yang bersingungan dengan kepentingan (aktor-aktor di panggung) kekuasaan
legislatif dan kekuasaan eksekutif. Dalam bahasa sederhanya, harus dicegah agar tidak ada “hakim
agung titipan” baik dari kalangan DPR, misalnya karena betapa sulitnya publik mendapatkan
keyakinan bahwa kantor hukum seorang anggota DPR telah benar-benar tutup setelah anggota DPR
tersebut dilantik dan bekerja sebagai anggota parlemen. Di negara dengan tradisi demokrasi yang
telah berakar kuat, seperti Amerika Serikat, pernah muncul kecurigaan seorang hakim agung
diangkat dengan aroma konspirasi hakim agung tersebut dengan seorang presiden.14
PEMBAHASAN
1) Hakim Agung Non-karir
Kehadiran calon hakim agung dari jalur non-karir diharapkan akan dapat meningkatkan
mutu dan memberi bobot pada putusan Mahkamah Agung. Namun lebih jauh dapat dikatakan
memberikan kesempatan kepada hakim agung dari jalur non-karir merupakan implementasi prinsip
persamaan “di muka hukum dan pemerintahan” sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 UUD 1945.
Intervensi subtansial tersebut dapat dilihat pada adanya tekanan kepada hakim mulai dari proses
penunjukan hakim sampai kepada proses persidangan suatu kasus.
Penegasan bahwa penunjukan maupun promosi hakim dapat menjadi tolok ukur seberapa jauh
independensi kekuasaan kehakiman berlaku merupakan nilai dianut secara universal, karena pada
tingkat teknis penunjukan maupun promosi hakim membuka celah bagi intervensi cabang-cabang
14
Ibid.
Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman Kanun Jurnal Ilmu Hukum A. Muhammad Nasrun No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
483
kekuasaan kehakiman.15
Sejarah Mahkamah Agung Amerika juga mencatat bahwa penunjukan
hakim agung kadang sarat dengan pertimbangan kepentingan politik dari seorang presiden.16
Sebagai contoh adalah penunjukan Ketua Mahkamah Agung John Marshall,17
yang sarat berlatar-
belakang kepentingan politik Presiden John Adam, di mana presiden sebelumnya telah menolak
calon-calon lairmya.18
Faktor utama penetapan John Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung,
karena latar belakangnya sebagai federalis sangat kuat dalam pandangan Adam. Marshall telah
meletakkan landasan bagi pelaksanaan hak uji material (judicial review) oleh Mahkamah Agung
melalui kasus Marbury v. Madison. Penobatan Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung terjadi
hanya beberapa saat sebelum jabatan presiden beralih kepada Thomas Jefferson, yang di kemudian
hari merupakan seteru politik Marshall dalam upaya memperkuat posisi kekuasaan kehakiman.
Penolakan Adam untuk memilih Hakim Agung Peterson, karena penolakan terhadap faksi Hamilton
di Senat di mana Peterson dianggap berafiliasi, telah membuka jalan bagi Marshall menjadi Ketua
Mahkamah Agung. Namun, sesungguhnya semua kubu partai politik, termasuk kubu politik Adam,
setuju dengan pemilihan Peterson.
Nominasi hakim agung di Amerika juga dikaitkan dengan kepentingan calon presiden,
terutama terkait dengan upaya menggalang jumlah pemilih dengan karakteristik tertentu dalam
pemilihan umum.19
Sebagai contoh adalah nominasi Sandra Day O'Connor oleh Ronald Reagan
dimaksudkan untuk lebih menarik pemilih wanita dalam Pemilihan Umum 1981.20
Strategi yang
15
F. Andrew Hanssen, "The effect of judicial institutions on Uncertainty and the rate of litigation: the election
versus appointment of states judges," dalam The Journal of Legal Studies, Vol. XXVIII, January 1999, hlm. 211. 16
Baca Bernard Schwartz, A History of the Supreme Court (New York, Oxford: Oxford University Press, 1993)3-13. 17
Penunjukan Marshall telah mencatatkan tinta emas dalam sejarah Mahkamah Agung Amerika, karena dia telah
mempelopori kegiatan judicial review sebagai suatu peran Mahkamah Agung yang fenomenal di sejarah politik Negara
itu. Dalam kasus Marbury v. Madison, Marshal melalui putusannya menyatakan Mahkamah Agung memiliki
kewenangan untuk menguji keputusan Kongress bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Dalam keputusannya,
Marshall berpendapat bahwa Mahkamah Agung dapat mengerluarkan suatu perintah kepada presiden, yaitu perintah
kepada Jefferson untuk keputusan penunjukan Marbury sebagai hakim perdamaian. Sekalipun telah dibuat surat
pengangkatan tersebut untuk Marbury, tetapi tidak pemah sampai ketangan Marbury sehinggadia mengajukan gugatan
kepengadilan. 18
Ibid., hlm. 32-34. 19
Christipher E. Smith, Critical Judicial Nominations and Political Change, the Impact of Clarence Thomas (Westpoint:
Preager Publsiher, 1993), hlm.12.
20
Ibid.,hlm.13.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman No. 67, Th. XVII (Desember, 2015). A. Muhammad Nasrun
484
sama juga dipakai oleh Richard Nixon dengan mencalonkan Clement Hynsworth pada tahun 1969,
G. Harold Powell pada tahun 1970 dan Lewis Powell pada tahun 1971 sebagai hakim agung,
dengan maksud sebagai strategi untuk lebih menarik pemilih dari wilayah selatan Amerika dalam
pemilihan umum.21
Diantara nominasi hakim agung dan Ketua Mahkamah Agung dengan
pertimbangan kepentingan politis dari para presidennya, sejarah Amerika mencatat tiga nominasi
Ketua Mahkamah Agung sangat penting bagi sejarah perjalanan kekuasaan kehakiman dan
berpengaruh terhadap pentas politik negara itu, yaitu pencalonan John Marshall pada tahun 1801,
Earl Warren pada tahun 1953 dan Abe Fortas pada 1968.22
Memberikan kesempatan akademisi dan praktisi hukum untuk turut serta dalam seleksi hakim
agung merupakan kebutuhan praktik hukum dalam bidang-bidang hukum tertentu pada suatu masa
di Mahkamah Agung. Namun, kesempatan akademisi dan praktisi hukum diikutsertakan dalam
seleksi calon hakim agung adalah implementasi prinsip persamaan di muka hukum dan
pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Prinsip persamaan di muka hukum dan
pemerintahan merupakan penegakan hak-hak warganegara dalam sebuah negara hukum yang
demokratis. Dalam pengertian yang sederhana, di dalam negara hukum tidak ada warganegara yang
berada di atas hukum dan karenanya semua warga negara harus patuh pada hukum.23
Persamaan di
muka hukum (equality before the law) merupakan satu di antara unsur-unsur negara hukum dalam
tradisi Anglo Saxon (rule of law),24
yang kemudian diakui sebagai nilai-nilai yang universal. Nilai-
nilai persamaan dan keadilan sangat erat terkait dengan proses penegakan hukum, yang tidak lain
merupakan instrumen di tataran praktis dalam konsep negara hukum. Penegakan hukum sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat dengan tetap memperhatikan kepastian hukum pada setiap
21
Ibid., 22
Ibid., hlm. 17. 23
Teofisto T. Guingona, “Rule of Law and Democracy in the Phillipines,” Beatrice Gorawantschy, et.at.,Op.Cit.,
hlm. 15. 24
Jikaciri-ciri the rule of law disebutkan sebagai adanya persamaan di muka hukum, supremasi hukum dan due
process of law; maka unsur-unsur dalam rechstaats melingkupi perlindungan hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman
yang independen, pemisahan kekuasaan, pemerintahan berdasarkan hokum dan peradilan administrasi. Baca
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya
pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 73. Baca juga Todung Mulya Lubis, In
Search of Human Rights, Op. Cit., hlm. 88.
Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman Kanun Jurnal Ilmu Hukum A. Muhammad Nasrun No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
485
individu warganegara merupakan ekspresi nilai-nilai demokratik dalam suatu negara demokratis.
Karena adanya keterkaitan antara nilai-nilai penunjang demokrasi dan elemen-elemen negara
hukum, maka sering dijadikan satu nafas untuk menyebutkan bentuk ideal negara hukum yang
melindungi hak-hak warganegara dalam satu istilah negara hukum yang demokratis.25
Kehadiran calon jalur non-karir diharapkan tidak saja sebagai mitra diskusi bagi hakim
agung karir. Kritik terhadap putusan Mahkamah Agung yang tidak dalam dan tidak cermat telah
lama dialamatkan kepada lembaga ini. Dahulu justru hakim-hakim agung banyak memberi
kontribusi kepada dunia pendidikan tinggi hukum, di mana para hakim agung menjadi pengajar di
fakultas hukum, yaitu sebut saja Omar Seno Adji dan Asikin Kusumaatmadja.
Sulit dipungkiri bahwa kehadiran calon hakim agung jalur non-karir memangkas porsi
hakim agung jalur karir, tetapi juga tidak setiap sesi penerimaan hakim agung harus diisi dengan
hakim jalur non-karir. Kehadiran hakim agung jalur non-karir dilakukan sejalan dengan kebutuhan
materi hakim agung. Merujuk pada pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agungjuncto UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka dapat dikatakan bahwa “sistem rekrutmen
Hakim Agung adalah sistem karir dengan pengecualian, maksudnya adalah pada prinsipnya calon
hakim agung harus berasal dari hakim karir yang telah memenuhi syarat, namun dalam kondisi
tertentu dapat juga direkrut dari kalangan non hakim.”26
Posisi jalur hakim agung non-karir juga
diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan (2) UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
Latar belakang calon hakim agung jalur non-karir bisa beragam, mulai dari kalangan
akademisi, advokat, notaris serta pensiunan polisi, jaksa dan hakim.27
Masuknya calon hakim agung
dari jalur non-karir harus dilihat sebagai bentuk pengabdian kepada negara, tidak dalam rangka
25
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1985), hlm. 25. 26
Bacahttp://leip.or.id/id/seleksi-hakim-agung-2007-dan-perubahan-paket-uu-peradilan/Home\Opini\ Seleksi
akim Agung 2007 dan Perubahan Paket UU Peradilan. Di-klik tanggal 10-08-2015.
27
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan,
Menuju Independensi Kekuasan Kehakiman, Jakarta: LeIP, 1999, hlm. 41.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman No. 67, Th. XVII (Desember, 2015). A. Muhammad Nasrun
486
mencari kerja (job seekers). Berkontribusi kepada negara melalui Mahkamah Agungharus dilihat
sebagai sebuah kehormatan yang diberikan oleh negara kepada yang bersangkutan.Hakim agung
jalur non-karir, seperti akademisi hukum misalnya, diharapkandapat memberikan kontribusi
pengalaman dan pengetahuannya kepada Mahkamah Agung. Syarat pengalaman dan pengetahuan
hukum yang mumpuni juga masih ditambah dengan syarat integritas yang tinggi. Faktor integritas
ini penting, karena saat ini masyarakat mengalami ketidakpercayaan terhadap kredibilitas hakim.28
Oleh karena itu, dalam proses penjaringan KY tidak harus semata tercurah pada persoalan kualitas,
melainkan integritas.Rekam jejak calon hakim agung jalur non-karir juga harus “agung, tidak
tercela.” Parameter sederhana, yaituantara lain, “tidak pernah dijatuhi pidana penjara yang ancaman
pidananya di atas lima tahun.” Hanya saja proses peradilan terhadap yang bersangkutan haruslah
berada dalam koridor proses hukum yang “jujur, tidak memihak, dan tidak mengada-ada
(kriminalisasi),” karena pada masa sekarang proses hukum bisa menjadi sebuah “arena sulap,” yaitu
“perkara bisa dicari-cari dan penerapan pasal tinggal dicari agar sesuai dengan kejadiannya” atau
“pekara perdata disulap menjadi perkara pidana supaya objek sengketa perdata bisa lepas ke tangan
penggugat.” Harus dikecualikan dari “rekam jejak pernah dihukum” adalah mereka yang dipenjara
karena mengeritik pemerintah atau dipenjara karena kealpaannya.
Pengalaman dan pengetahuan hukum yang mumpuni menjadi dasar direkrutnya calon hakim
agung non-karir. Selain faktor “integritas”, calon hakim agung non-karir dituntut memiliki
pengetahuan hukum yang mumpuni dan pengalaman praktik hukum, yang tentu saja harus sejalan
dengan kebutuhan hakim agung berdasarkan kamar di Mahkamah Agung. Advokat, mantan jaksa,
dan mantan polisi diasumdikan pengalaman praktik hukumnya relatif lebih baik dibandingkan
kalangan akademisi dengan asumsi akademisi ini hanya mengajar saja di kampus dan tidak menjadi
konsultan hukum ataupun berpraktek di “LBH Kampus”. Bila asumsi itu benar, maka kiranya sulit
calon hakim agung non-karir dari akademisi tersebut bekerja secara cepat setelah dilantik sebagai
28
www.RepublikaOnline.com, Sabtu, 26 Mei 2012 , 08:25:00 WIB, “Krisis SDM Melanda Lembaga Peradilan
Indonesia”. di-klik 10-08-2015.
Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman Kanun Jurnal Ilmu Hukum A. Muhammad Nasrun No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
487
hakim agung, karena dia membutuhkan waktu untuk melakukan penyesuaian diri dengan ritme
kerja sebagai hakim, seperti membaca berkas secara cepat dan apalagi membuat putusan. Tulisan
ini tidak bermaksud merendahkan kalangan akademisi. Mahkamah Agung membutuhkan hakim
agung yang dapat bekerja secara cepat dalam memutus perkara, karena penumpukan perkara masih
menjadi persoalan bagi lembaga peradilan tertinggi itu. Karya ilmiah berupa buku dan tulisan opini
di “Jurnal Hukum” juga menjadi acuan menilai calon hakim agung non-karir. Dengan demikian,
pengalaman menangani perkara – dan tentu saja pengetahuan hukum yang mumpuni – menjadi
prasyarat bagi calon hakim agung jalur non-karir. Kriteria yang selama ini diminta kepada calon
hakim agung non-karir adalah berpendidikan “doktor ilmu hukum” dan berpengalaman 20 tahun
dalam bidang hukum. Tuntutan kemampuan praktik hukum meliputi kemampuan membaca berkas
secara cepat, melakukan riset pustaka terkait materi perkara, membuat resume perkara, membuat
pendapat hukum, dan draft putusan.
2) Mekanisme Seleksi
UUD 1945 pasca amandemen mengintrodusir Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang
diberi kewenangan, antara lain, menyeleksi hakim agung dari jalur karir maupun non-karir.29
Kewenangan lain dan karakteristik Komisi Yudisial secara lebih lengkapnya dimuat dalam Pasal 24
B ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim.”
Pengaturan lebih lanjut tentang Komisi Yudisial (KY) diatur dalam Undang-undang Nomor
18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial (selanjutnya disebut UU No. 18 Tahun 2011). UU No. 18 Tahun 2011 mengatur lebih
lanjut tentang kewenangan Komisi Yudisial.
Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011 mengatakan: “Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
29
VidePasal 24B UUD 1945.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman No. 67, Th. XVII (Desember, 2015). A. Muhammad Nasrun
488
a. mengusulkan pengangkartan hakim agung dan hakim ad-hoc di Mahkamah Agung dan
hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan
Mahkamah Agung; dan
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
Terkait dengan pelaksanaan wewenang KY untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
kepada DPR,30
KY diberi tugas sebagai berikut:31
a. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Sebelum KY melakukan seleksi calon hakim agung, MA terlebih dahulu memberitahukan
tentang kebutuhan hakim agung.32
Pengajuan calon hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial setelah mendapatkan calon-
calon hakim agung dari proses seleksi, yang selanjutnya disampaikan kepada DPR untuk disetujui
dan selanjutnya Presiden mengeluarkan Keppres pengangkatan hakim agung.33
Kemudian dalam
posisi sebagai Kepala Negara, Presiden mengambil sumpah hakim agung. Ketika proses seleksi
calon hakim agung sampai di DPR, maka harus dengan segala upaya dicegah “calon titipan partai
politik” untuk menghindari rintangan implementasi prinsip independensi hakim. Pengalaman proses
seleksi selama ini di DPR memperlihatkan terbukanya celah untuk “bermain” antara calon hakim
agung dengan anggota Komisi III DPR.34
Pola lobi ini telah lama menjadi “hantu” dalam proses
30
VidePasal 13 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2004 juncto UU No. 18 Tahun 2011. 31
VidePasal 14 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2011. 32
Vide Pasal 14 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2011. 33
VidePasal 24A ayat (3) UUD 1945.
34
Kita tentunya masih ingat dengan kasus calon hakim agung berkomunikasi dengan anggota Komisi III DPR di
toilet Komisi III DPR pada tahun 2013, yang sekalipun dibantah oleh yang bersangkutan, tetapi tetap menimbulkan
tanda tanya “apa kepentingan komunikasi toliet ini bila tidak ada kepentingan lobi.”
Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman Kanun Jurnal Ilmu Hukum A. Muhammad Nasrun No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
489
seleksi calon agung, terlebih lagi tidak sedikit anggota Komisi III DPR masih memelihara kantor
pengacaranya walau dia telah tidak aktif sebagai advokat, tetapi kantor advokatnya dijalankan oleh
partner atau stafnya.35
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 dapat menjadi pintu masuk untuk
meminimalisir dampak negatif dalam proses seleksi calon hakim agung.36
Mencatat pertimbangan
putusan tersebut,37
Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (40 UU Mahkamah Agung serta Pasal 18 ayat
(4) UU KY bertentangan dengan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, karena ketentuan tersebut telah
mengubah kewenangan DPR dari hanya “memberikan persetujuan” menjadi kewenangan untuk
memilih calon agung yang diajukan oleh KY.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi koreksi terhadap penyimpangan pelaksanaan
seleksi hakim agung – dan pejabat publik lainnya. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa “di Indonesia
pengertian “right to confirm” itu cenderungmenyimpang fungsinya yang bersifat politik menjadi
bersifat teknis...... “the right to confirm” itu berkembang menjadi “the right to elect”, dan lebih
teknis lagi menjadi “right to select” dan bahkan “right to test.”38
Namun, ketika proses seleksi
secara penuh dilaksanakan oleh KY, maka harapannya adalah hasil seleksi calon hakim agung harus
optimal dengan keberhasil menjaring hakim agung yang memiliki integritas dan berkualitas.
3) Seleksi dengan Prasyarat Maksimal
Persyaratan untuk menjadi hakim agung tidak lah mudah. Konstitusi mensyaratkan bahwa
Hakim Agung harus memenuhi prasyarat, yaitu:39
1). integritas, 2). kepribadian tidak tercela, 3).
adil, 4). profesional, dan 5). berpengalaman di bidang hukum.
Mengukur syarat “profesional” dan “berpengalaman di bidang hukum” relatif mudah
dibanding dengan meneliti syarat “integritas, kepribadian tidak tercela, adil”. Parameter
35
Ibid. 36
Suparman Marzuki, Loc.Cit., point 12. 37
Ibid. 38
Jimly Asshiddiqie, loc.,cit., hlm. 9.
39
Vide Pasal 24A ayat (2) UUD 1945.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman No. 67, Th. XVII (Desember, 2015). A. Muhammad Nasrun
490
“profesional” dapat dilacak dari kemampuan calon hakim agung, misalnya, membuat makalah
tentang hukum atau membuat analisis dan komentar tentang putusan hakim. Ukuran yang relatif
lebih dapat dipegang adalah masa kerja calon hakim agung tersebut,40
misalnya telah bekerja
sebagai hakim tinggi tiga tahun bagi calon hakim agung dari jalur karir, serta memiliki pengalaman
dalam bidang hukum selama 20 tahun dan berijah doktor ilmu hukum. Prasyarat yang bersifat
objektif tersebut dapat diukur dari “keterangan tertulis dan ijazah yang disampaikan calon hakim
agung.”
Terkait dengan seleksi pengangkatan hakim agung, Mahkamah Agung harus terlebih dahulu
memberikan informasi tentang kebutuhan jumlah hakim agung kepada KY.41
Rekruitmen hakim
agung terjadi bila “MA memberitahukan kepada KY mengenai adanya Hakim Agung yang akan
pensiun, baru setelah itu KY dapat melakukan proses seleksi. Namun dari pengaturan tersebut tidak
terlihat bagaimana jika terdapat hakim agung yang meninggal dunia, apakah hal tersebut dapat
dikategorikan seperti halnya pensiun atau berakhirnya masa jabatan.”42
Permasalahan yang selama ini muncul adalah “bagaimana dan siapa yang menentukan
kebutuhan hakim agung non-karir”? Komisi Yudisial merekrut hakim agung berdasarkan
permintaan Mahkamah Agung. Namun, Mahkamah Agung tidak menentukan “berapa kebutuhan
hakim agung non-karir”. Persoalan “kuota hakim agung non-karir” menjadi lebih serius lagi ketika
Komisi Yudisial selama empat tahun belakangan ini tidak pernah meloloskan calon hakim agung
dari jalur usulan masyarakat.43
Komisi Yudisial tidak pernah menjelaskan mengapa selalu gagal
calon hakim non-karir ini dalam seleksi hakim agung. Padahal, setidaknya, hakim agung dengan
latar belakang non karier juga diperlukan, karena Mahkamah Agung memiliki kewewenangan
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagai salah satu wewenang
40
Videpasal 7 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 41
VidePasal 14 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2011. 42
Loc.Cit.,http://leip.or.id/id/seleksi-hakim-agung-2007-dan-perubahan-paket-uu-peradilan/Home\Opini\Se-leksi
hakim Agung 2007 dan Perubahan Paket UU Peradilan
43
www.detiknews.com, Minggu 07 Jun 2015, 09:34 WIB, “Mengecewakan! KY Mencoret Seluruh Tokoh
Masya-rakat Jadi Hakim Agung,” di-klik 10-08-2015.
Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman Kanun Jurnal Ilmu Hukum A. Muhammad Nasrun No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
491
Mahkamah Agung. Pengujian peraturan di bawah undang-undang ini belum dilaksanakan secara
maksimal dan transparan, sehingga masuknya hakim agung non karier dengan latar belakang
akademisi hukum sebenarnya merupakan salah satu solusi atas permasalahan ini.44
Menurut mantan
Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Sahuri,45
bahwa kemampuan membuat putusan juga
menjadi bahan pertimbangan bagi Komisi Yudisial dalam menyeleksi calon hakim agung.
Setelah penentuan jumlah kebutuhan hakim agung yang diberitahukan MA kepada KY, maka
mulailah proses seleksi calon hakim agung yang selama ini dilaksanakan oleh sebuah panitia
seleksi. Kehadiran Pansel Calon Hakim Agung ini sangat penting posisinya untuk menentukan
rekruitmen hakim agung yang berintegritas dan berkualitas. Oleh karena itu, Pansel ini harus diisi
dengan orang-orang yang juga tidak dipertanyakan integritas dan kualitasnya. Mereka yang duduk
dalam panitiaseleksi ini harus bekerja secara imparsial dan transparan, dengan melibatkan
partisipasi publik untuk mengetahui rekam jejak calon hakim agung. Partisipasi publik dalam
kaitan dengan mencari “jejak calon hakim agung” terbukti relatifmembantu panitiaseleksi untuk
mendapatkan hakim agung yang berkualitas dan berintegritas. Namun, hasil rekruitmen Panitia
Seleksi Calon Hakim Agung yang diajukan KY kepada DPR akan terpulang kepada mekanisme
seleksi calon hakim agung, yaitu harus diminimalisir bias seleksi hakim agung dengan menghindari
konflik kepentingan dan calon titipan hakim agung. Sejarah kemudian akan membuktikan apakah
seleksi calon hakim agung di DPR melahirkan hakim-hakim agung yang berintegritas dan
berkualitas.
KESIMPULAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Hakim Agung Non-karir telah mengisi
khazanah intelektual dalam putusan-putusan Mahkamah Agung. Kapabilitas pengetahuan
hukum telah memperkuat sisi teoritik putusan-putusan Mahkamah Agung. Itu satu sisi
44
Ibid. 45
Taufiqurrohman Sahuri memberikan pendapat pribadi dalam sebuah perbincangan di rumahnya pada awal
bulan Maret.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman No. 67, Th. XVII (Desember, 2015). A. Muhammad Nasrun
492
kehadiran Hakim Agung Non-karir. Pada sisi lain muncul juga gugatan terhadap Hakim
Agung terutama dari jalur perguruan tinggi. Akademisi ini dipertanyakan kemampuan dan
pemahaman terhada hukum acara. Ada juga pengakuan Hakim Agung asal perguruan tinggi
ini bahwa mereka memerlukan waktu untuk belajar membaca berkas secara cepat (speed
reading) dan berlatih membuat putusan. Latihan itu membutuhkan waktu sekitar 6 bulan.
Masalah itu sesungguhnya tidak perlu terjadi manakala calon Hakim Agung jalur akademisi
memiliki pengalaman beracara sebagai advokat ataupun pengalaman non-litigasi sebagai
konsultan hukum atau sebagai “off-councel” pada Kantor Advokat atau Firma Hukum.
Melalui tulisan ini, penulis mengajak untuk melakukan reposisi terhadap rekruitmen Hakim
Agung Non-karir ini. Persyaratan memiliki latar belakang praktek – walaupun tidak
selamanya praktek litigasi hukum – harus melekat pada mekanisme seleksi calon hakim agung
jalur akademisi. Kemudian, harus juga dipertimbangkan pola rekruitmen hakim agung yang
harus pertama kali diseleksi oleh tim seleksi independen, yang kemudian hasilnya dise rahkan
kepada Komisi Yudisial untuk memberi keputusan akhir. Tim seleksi independen ini terdiri
dari kalangan, setidaknya, akademisi, mantan hakim agung, psikolog, ahli etika, dan ahli
manajemen. Komposisi demikian diharapkan akan lahir calon hakim agung yang berintegritas,
mumpuni pengetahuan hukum dan memiliki basis praktek hukum.
Catatan penutup lainnya adalah diperlukan keterbukaan Mahkamah Agung untuk
menentukan berapa jumlah hakim agung yang dibutuhkan untuk setiap kamar dalam setiap
seleksi, sehingga calon hakim agung non-karir dapat lebih leluasa dalam mengikuti seleksi
calon hakim agung dan sekaligus menentukan arah pilihan kamar dalam MA.
DAFTAR PUSTAKA
Arbi Sanit, 1985, Perwakilan Politik di Indonesia. Penerbit CV Rajawali, Jakarta.
Bernard Schwartz, 1993, A History of the Supreme Court. Oxford University Press, New York, Oxford.
Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman Kanun Jurnal Ilmu Hukum A. Muhammad Nasrun No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
493
Christipher E Smith, 1993, Critical Judicial Nominations and Political Change, the Impact of Clarence
Thomas, Preager Publisher, Westpoint.
Daniel S Lev, 1996, "Kata Pengantar", Kami Ilyas, Catatan Hukum, Yayasan Karyawan Forum,
Jakarta.
Dieter C Umbach, 1985, Basic Elements of the Rule of Law in a Democratic Society," Beatrice
Gorawantschy, et.al, Rule of Law and Democracy in the Philippines. University of Philippine,
Diliman.
F. Andrew Hanssen, 1999, "The effect of judicial institutions on Uncertainty and the rate of litiga-
tion: the election versus appointment of states judges," dalam The Journal of Legal Studies,
Vol. XXVIII, January 1999.
Ismail Sunny, 1986, Pergeseran Kekuasan Eksekutif, cetakan keenam, Aksara Baru, Jakarta.
J. Djohansjah, 2008, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman,
KBI, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2015, “Liberalisasi Sistem Pengisian Jabatan Publik,” makalah pada
“Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-2: Menata Proses Seleksi Pimpinan Lembaga
Negara,” diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Padang,
10-12 September.
Melvin A. Arquillo, 1971, "A Case Suvery of the 1970 Supreme Court, Decision on Political Law,"
University of Santo Tomas Law Review (Aug.-Sept. 1971).
Muhammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bulan Bintang,
Jakarta.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan, 1999, Menuju Independensi Kekuasan Kehakiman, LeIP, Jakarta.
Suparman Marzuki, 2015, “Pengisian Jabatan Hakim Agung,” makalah dalam “Konferensi
Nasional Hukum Tata Negara Ke-2: Menata Proses Seleksi Pimpinan Lembaga Negara,”
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Rekruitmen Hakim Agung Nonkarir sebagai Implementasi Independensi Kekuasaan Kehakiman No. 67, Th. XVII (Desember, 2015). A. Muhammad Nasrun
494
diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang,
10-12 September.
Todung Mulya Lubis, 1993, In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia
New Order, 1966-1990. PT Gramedla Pustaka Utama, Jakarta.