NO. 33 | TAHUN XVI | 2014 143-165 • 3-24 • Putusan MK ... · PDF fileTim Artistik....

download NO. 33 | TAHUN XVI | 2014 143-165 • 3-24 • Putusan MK ... · PDF fileTim Artistik. Andy Seno Aji (sampul) Armin Hari (foto sampul depan) ... tetapi juga pada tulisan-tulisan yang

If you can't read please download the document

Transcript of NO. 33 | TAHUN XVI | 2014 143-165 • 3-24 • Putusan MK ... · PDF fileTim Artistik....

  • Pengantar3-24 Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan HutanMia Siscawati

    Kajian25-50 Masyarakat Hukum Adat Adalah Bukan Penyandang Hak, Bukan Subjek Hukum, dan Bukan Pemilik Wilayah AdatnyaNoer Fauzi Rachman

    51-61 Dampak Sosial Politik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012Maria Rita Roewiastoeti

    63-102 Rentang Batas dari Rekognisi Hutan Adat dalam Kepengaturan NeoliberalLaksmi A. Savitri

    Kasus103-141 Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan Potensi Implikasinya terhadap Perebutan Sumberdaya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan TimurR. Yando Zakaria

    143-165 Dibutuhkan Pengakuan Hukum Terintegrasi: Kajian Hukum Penerapan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten MalinauYance Arizona

    167-206 Pertarungan Penguasaan Hutan dan Perjuangan Perempuan AdatMia Siscawati

    207-242 Perlawanan atau Pendisiplinan? Sebuah Refleksi Kritis atas Pemetaan Wilayah AdatAlbertus Hadi Pramono

    Rehal243-254 Biografi Tipis Tanah Marind AnimDarmanto

    Dewan RedaksiRoem TopatimasangSaleh AbdullahBonar SaragihWahyu W. BasjirAnu LounelaNurhady SirimorokKharisma NugrohoNoer Fauzi RachmanHira JhamtaniPuthut E.A.

    Edisi ini diterbitkan atas kerjasama dengan The Asia Foundation

    Redaktur EdisiMia SiscawatiRedaktur PelaksanaLubabun NiamPemimpin PerusahaanMuhammad AnwarTim ArtistikAndy Seno Aji (sampul)Armin Hari (foto sampul depan)Dwi Fajar (tata letak)Ismail (kartun)

    Jalan Raya Kaliurang Km. 18Dukuh Sempu, Sambirejo,

    Pakembinangun, Sleman, Yogyakarta 55582

    [email protected]. +62 274 8594244Faks. +62 274 859390

    http://www.insist.or.id/http://blog.insist.or.id/insistpress/

    http://jurnalwacana.com/

    NO. 33 | TAHUN XVI | 2014

    Foto sampul belakang: Dokumentasi AMAN

    AR

    SIP

    DIG

    ITA

    L

  • wacana adalah jurnal yang diterbitkan oleh Indonesian Society for Social Transformation (INSIST) sejak 1999. wacana dimaksudkan sebagai jurnal yang menyajikan berbagai pemikiran kritis dan gagasan alternatif ke arah transformasi sosial. wacana terbuka untuk membahas berbagai isu sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, agama, ilmu pengetahuan, teknologi, dan lingkungan hidup. Sangat diutamakan tema-tema kontekstual dan aktual yang membuka ruang bagi lahirnya bukan hanya teori atau konsep, melainkan juga tindakan (praxis) baru. wacana tidak membatasi diri hanya pada tulisan yang bersifat kajian akademis, tetapi juga pada tulisan-tulisan yang bersifat reflektif berdasarkan pengalaman langsung atau kasus-kasus nyata. wacana mengundang siapa saja tidak hanya sebagai penulis, tetapi juga sebagai redaktur tamu untuk mengelola satu atau

    beberapa edisi penerbitan.

    wacana terbuka kepada siapa saja yang berminat menjadi redaktur tamu untuk mengelola satu atau beberapa nomor penerbitan.

    Untuk itu, kami me ngundang Anda untuk memanfaatkan

    media ini menyampaikan gagasan dan pemikiran tentang

    masalah-masalah trans formasi sosial. Sebagai redaktur tamu,

    Anda diberi wewenang untuk menentukan dan menyunting

    isi tulisan serta menetapkan atau memilih penulis.

    Persyaratan menjadi redaktur tamu:

    1. Ajukan permintaan kepada dewan redaksi untuk mengelola satu atau beberapa

    nomor penerbitan.

    2. Tulis gagasan dan rencana Anda itu dalam satu kerangka acuan (term of reference)

    secara singkat, 23 halaman saja, yang berisi: (a) latar belakang (alasan) yang

    mendasari pentingnya isu tersebut diterbitkan; (b) ikhtisar usulan isi (judul dan

    ringkasan) tulisan yang akan dimuat dan siapa calon penulisnya; (c) rencana

    jadwal kerja dan tenggat waktu; (d) perkiraan biaya dan sumber pendanaannya.

    3. Jika dewan redaksi menyetujui, maka akan ada pembicaraan untuk membahas

    lebih rinci usulan Anda dan membuat persetujuan kerjasama. Dalam proses pe-

    ngerjaan kemudian, Anda akan berkomunikasi dan berkoordinasi dengan ma na-

    jemen (pemimpin perusahaan dan redaktur pelaksana) INSISTPress.

    Menjadi Redaktur

    Tamu

    AR

    SIP

    DIG

    ITA

    L

  • wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIALISSN 1410-1298 | Nomor 30, Tahun XV, 2014 | Halaman 324Diterbitkan oleh Indonesian Society for Social Transformation (INSIST)http://www.insist.or.id/ | http://blog.insist.or.id/insistpress/ | http://jurnalwacana.com/

    Pengantar

    Masyarakat Adat dan Sistem-sistem Penguasaan dan Pengelolaan Hutan

    Membicarakan hutan dan sumberdaya hutan di wilayah Nusantara tidak dapat dipisahkan dari keberadaan beragam komunitas yang memiliki keterikatan sosial, budaya, spiritual, ekologi, ekonomi, dan politik yang kuat dengan tanah, wilayah, dan ekosistem hutan. Keberadaan dan peran mereka dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya hutan telah dicatat oleh para peneliti dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu sejak zaman kolonial. Namun, pada masa Orde Baru, pihak pemerintah menganggap beragam pola pengelolaan hutan, termasuk pertanian berbasis hutan, sebagai pola terbelakang yang merusak hutan. Pada saat itu pemerintah menyebut komunitas-komunitas tersebut sebagai peladang berpindah, pembuka-pembakar hutan, perambah hutan,1 suku terasing, dan sebagainya.

    1 Berkembangnya istilah peladang berpindah dan penebang-pembakar hutan juga dipengaruhi oleh wacana internasional terkait yang dikembangkan lembaga-lembaga internasional seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Bank.

    Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan

    Mia SiscawatiPeneliti Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi,

    Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas [email protected]

    AR

    SIP

    DIG

    ITA

    L

  • wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 33/XVI/20144

    Istilah masyarakat adat mulai disosialisasikan oleh para pegiat gerakan sosial di Indonesia pada 1993, khususnya oleh tokoh-tokoh adat dari beberapa wilayah, akademisi, dan aktivis organisasi nonpemerintah yang membentuk Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (Japhama). Istilah tersebut diadopsi dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara pertama yang diselenggarakan pada Maret 1999. Peserta kongres tersebut sepakat bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (Moniaga 2010; Sangaji 2010).2 Istilah masyarakat adat sesungguhnya memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan perjalanan penguasaan wilayah, tanah, dan sumberdaya alam lain oleh kelompok-kelompok tertentu sejak zaman prakolonial, kolonial, hingga pascakolonial.

    Terdapat sebuah istilah dalam bahasa Belanda yang berkembang pada masa kolonial, yakni adat rechtsgemeenschap. Istilah itu diterjemahkan sebagai masyarakat hukum adat pada masa pascakolonial. Istilah masyara-kat hukum adat diadopsi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan sering dijadikan sebagai alat untuk membatasi upaya masyarakat adat dalam memperoleh pengakuan, yakni dengan menekankan pada kondisi berlakunya hukum adat. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, istilah masyarakat hukum adat seharusnya bukan dibaca sebagai gabungan dari kata-kata masyarakat dan hukum adat, melainkan dari masyarakat hukum dan adat. Argumen ini didasarkan pada kata rechtsgemeenschap yang diterjemahkan menjadi masyarakat hukum atau persekutuan hukum. Jadi, dasar pembentukan kata dalam istilah masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum dan adat (Rachman dan Siscawati 2014).

    Masyarakat adat di berbagai wilayah di kepulauan Nusantara memiliki beragam karakter; sebagian memiliki lembaga adat dengan mekanisme kelembagaan yang rumit, sebagian yang lain menjalankan mekanisme yang sederhana. Ada masyarakat adat yang mengembangkan mekanisme kelembagaan adat yang bersifat feodal serta didominasi laki-laki dan budaya yang mengedepankan laki-laki, ada pula masyarakat adat yang memiliki karakter egaliter dan memberikan ruang bagi perempuan untuk 2 Lihat Li (2000, 2001, 2010) dan Sangaji (2010) untuk kajian kritis tentang definisi masyarakat adat.

    AR

    SIP

    DIG

    ITA

    L

  • wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 33/XVI/2014 5

    terlibat dalam pengambilan keputusan. Masing-masing kelompok memiliki dinamika tersendiri dengan endapan sejarah yang berbeda satu sama lain. Wilayah hidup mereka juga beragam, mulai dari daerah pegunungan, lembah, padang rumput, hingga daerah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di masing-masing wilayah hidupnya, masyarakat adat memiliki sistem tata guna dan penguasaan tanah yang bersifat dinamis serta dipengaruhi oleh perkembangan rona alam, ekosistem, dan berbagai faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

    Berbagai relasi kekuasaan yang tumbuh dan berkembang di dalam komunitas, termasuk relasi kekuasaan berbasis gender dan kelas, mewarnai dinamika sistem penguasaan tanah dan kekayaan alam lainnya, sekaligus sistem tata guna tanah dan sistem pengelolaan tanah dan sumberdaya alam lainnya. Di berbagai kelompok masyarakat adat, perempuan dari beragam latar belakang sosial memiliki bermacam bentuk relasi dengan tanah dan sumberdaya alam. Mereka juga memainkan peran penting dalam mengelola tanah dan sumberdaya alam. Namun, mereka belum tentu memiliki kontrol atas tanah dan sumberdaya alam serta sering tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan di berbagai ranah (Siscawati 2014).

    Bagi masyarakat adat yang wilayah adatnya mencakup hutan dan lahan-lahan lain yang dikelola dengan cara menggabungkan pengelolaan hutan dan budidaya pertanian-hutan (wanatani), sistem tata guna dan penguasaan tanahnya mengandung aturan bagaimana perempuan dan laki-laki dari berbagai kelompok sosial