NILAI MORAL HORMAT DAN HARMONIS DALAM LAKON …
Transcript of NILAI MORAL HORMAT DAN HARMONIS DALAM LAKON …
NILAI MORAL HORMAT DAN HARMONIS DALAM LAKON
WAYANG WAHYU TOHJALI
Siti Noerlia Sri Farista, Dyah Widjayanty
Sastra Daerah Untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai nilai hormat dan harmonis yang terdapat pada sebuah lakon wayang yaitu Wahyu Tohjali. Penelitian ini menggunakan metode analisis data pustaka. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori nilai-nilai yang ada pada keluarga Jawa yang dikemukakan oleh Hildred Geertz dan Franz Magnis Suseno. Sikap hormat dan harmonis hendaknya dilakukan oleh setiap individu agar tercipta ketentraman.
Moral Value Deference And Harmonic From Puppet Themes Wahyu Tohjali
Abstract
This script explain about value of deference and harmonic from one of puppet themes, that is Wahyu Tohjali. This research being used analysis library research method. The theory in this research is value of Javanese family by Hildred Geertz and Franz magnis Suseno. The attitude of respect and harmonic should be have by an individual so that will come peace situation.
Key Words:
Deference and Harmonic, Wahyu Tohjali, Javanese Family.
Pendahuluan
Kesenian wayang adalah salah satu buah dari pemikiran kreatifitas masyarakat yang
kemudian ditampilkan atau dinikmati melalui media pertunjukan. Kata wayang apabila
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti bayang. Kemudian masyarakat Jawa
menyebutnya ‘wayang’ yang artinya bayang-bayang. Wayang adalah boneka yang terbuat
dari kayu dan kulit hewan ini merupakan hiburan bagi masyarakat. Namun semakin
bertambahnya kreatifitas masyarakat, munculah ide menghadirkan wayang orang, yaitu
dengan menjadikan manusia sebagai media pertunjukan. Dalam pergelaran wayang di
dalamnya bercerita mengenai semua watak yang ada pada diri manusia yang disadur dari
kisah Mahabarata dan Ramayana. Tidak hanya sebagai hiburan, tetapi wayang juga berfungsi
sebagai penyampaian nasihat dan pendidikan, karena dalam cerita terselipkan berbagai
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
amanat dan pesan untuk berbuat kearifan pada kehidupan bermasyarakat dan bersyukur
kepada Tuhan. (Suseno, 2003: 160).
Menurut Bambang Murtiyoso (2004: 65-69) dalam buku yang berjudul Pertumbuhan
dan Perkembangan Seni Pertunjukan wayang, lakon wayang adalah cerita atau rentetan
peristiwa yang diceritakan dalam satu pergelaran wayang. Penentuan tokoh serta alur
peristiwa sangat bergantung pada lakon yang akan dibawakan oleh dalang. Wujud lakon
dalam sebuah pergelaran wayang diketahui setelah bermunculan pakem pedhalangan pada
tahun 1930-an yang diprakarsai oleh Keraton Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran.
Perlu diketahui pula, wujud pergelaran wayang pada tiap generasi selalu mengalami
perubahan bentuk dan isinya. Hal tersebut diakibatkan dari penginterpretasian masing-masing
dalang dalam membahas permasalahan yang terjadi pada saat itu. Maka setiap permasalahan
atau kebudayaan baru yang datang, di situlah terjadi penyesuaian-penyesuaian pada lakon
yang dibawakan. Lakon wayang dapat dibagi menjadi dua golongan.
1. Golongan berdasarkan judul lakon, terdapat sepuluh jenis lakon, yaitu: jenis lahiran,
jenis raben atau krama, jenis alap-alapan, jenis gugur atau lena, jenis mbangun, jenis
jumenengan, jenis wahyu, jenis nama tokoh, jenis banjaran, dan jenis duta.
2. Golongan berdasarkan peristiwa penting, dibagi menjadi delapan jenis, yaitu: jenis
paekan, jenis kraman, jenis asmaran, jenis wirid, jenis ngenger, jenis kilat buwanan,
jenis perang ageng, dan jenis boyong.
Lakon wayang Wahyu Tohjali merupakan salah satu lakon wayang yang termasuk
dalam golongan berdasarkan judul lakon. Wahyu adalah sebuah pemberian Tuhan kepada
makhluknya berupa anugrah yang diperoleh dari tindakan kebajikan kepada Tuhan, manusia
dan makhluk lainnya. Wahyu Tohjali akan melekat pada seseorang yang benar-benar
mempunyai watak leksana, yaitu ksatria yang sungguh-sungguh menepati dan berhati-hati
dalam berucap serta bertindak.
Pada lakon wayang Wahyu Tohjali mengajarkan betapa pentingnya bersikap baik
terhadap sesama makhluk ciptaanNya. Salah satunya ditunjukkan oleh Raden Janaka yang
menerima wahyu tersebut, bahwa seseorang ksatria1 hendaknya memiliki sikap santun
kepada siapapun. Kebaikan tersebut tidak saja berguna bagi dirinya sendiri, melainkan orang
lain atau menyangkut kepentingan bersama. Menurut Bausastra Jawa yang disusun oleh Tim 1 Ksatria berarti pelindung rakyat atau orang-orang yang tinggi perikemanusiaannya. Sumber: kamus Umum Bahasa Indonesia (2001: 684).
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
Balai Bahasa Yogyakarta, ‘Toh’ berarti semua partikel yang digunakan pada suatu rangkaian,
sedangkan ‘Jali’ berarti terang atau terpancar, atau dapat diambil dari kata ‘Jalu’ yang artinya
lelaki (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2011: 280 dan 728).
Pendapat lain mengatakan bahwa Tohjali berasal dari bahasa Arab ‘Tajjali’, adalah
bagian dari Tasawuf2 yang artinya menyatu dengan Tuhan. Sehingga Tohjali dapat diartikan
sebagai lelaki atau ksatria yang diharapkan dapat menjadi penerang bagi seluruh masyarakat
agar mendapatkan anugerah dari Tuhan. Maka, sesuai dengan uraian pengertian tersebut,
Wahyu Tohjali hanya akan diperoleh seorang lelaki. Hal ini terdapat pada Raden Janaka yang
telah mendedikasikan hidupnya untuk selalu berbuat kebaikan, dan telah menjadi panutan
atau contoh bagi siapapun, mengenai kesabaran hingga kepandaian ia dalam memecahkan
masalah.
Moral, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 908) diartikan sebagai baik atau
buruknya ajaran yang diterima mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Bicara mengenai
moral, maka berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti. Tindakan moral adalah tindakan yang
sejalan atau konsisten dengan pertimbangan moral. Ide konsistensi tentang tindakan moral ini
sebagai ‘pertanggungjawaban moral’. Sebagai sifat seorang pribadi, pertanggungjawaban
menandakan adanya kepedulian dan penerimaan akan konsekuensi tindakan seseorang. Selain
itu, pertanggungjawaban juga menandakan adanya konsistensi antara apa yang dikatakan
seseorang dengan apa yang harus ia lakukan serta dengan apa yang secara aktual ia
laksanakan. Brown dan Hernstein dalam Moralitas, Perilaku Moral, Dan Perkembangan
Moral(1992), mengatakan bahwa tindakan moral berkembang atau dipelajari melalui suatu
proses pengajaran sosial yang bersifat hukum situasional dan penguatan (reinforcement) yang
didiskusikan oleh berbagai teori pengajaran sosial (Kurtines, 1992: 92).
Telah disebutkan sebelumnya, tokoh utama pada lakon Wahyu Tohjali adalah Raden
Janaka. Raden Janaka merupakan tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Raden
Janaka mempunyai banyak nama dan julukan, antara lain Arjuna, Partha (pahlawan perang),
Permadi (tampan), dan Dananjaya. Ia merupakan salah satu anak dari Prabu Pandu dewanata
yang menikah dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita. Putra Pandawa terdiri dari Yudhistira,
Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Dalam kisah Mahabharata diceritakan bahwa Arjuna
merupakan seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa, dan menuntut ilmu. Salah satu
gurunya adalah Resi Drona. Resi Drona sangat menyayangi Arjuna karena ia memiliki sifat
2 Tasawuf adalah membersihkan diri dari selain Tuhan (Allah). Sumber: Buku Pintar Tasawuf (2012)
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
yang tidak mudah putus asa, pemberani, dan mempunyai jiwa ksatria (Wiyono, dkk, 2010:
484 dan 486).
Tinjauan Teoritis
Untuk menganalisis masalah mengenai ajaran kebaikan, pentingnya bersikap dan
kewajiban setiap orang memiliki moral pada cerita lakon wayang Wahyu Tohjali, maka
penulis menggunakan konsep atau teori dari Hildred Geertz. Menurutnya, terdapat dua buah
nilai kejawen yang penting pada kehidupan masyarakat Jawa. Pertama, nilai yang berkenaan
dengan nilai tata krama “penghormatan”, dan yang kedua nilai-nilai yang berkenaan dengan
pengutamaan orang Jawa terhadap terpeliharanya “penampilan sosial yang harmonnis.”
Kedua nilai kelompok tersebut merupakan petunjuk moral yang mendasari tindak-tanduk
kekeluargaan Jawa. Selain itu, kedua nilai tersebut erat berhubungan dan merupakan
kekuatan penting bagi keluarga Jawa dalam berlangsungnya kehidupan masyarakat Jawa
seperti halnya dewasa ini (Geertz, 1983: 153).
Selain menggunakan pernyataan teori dari Hildred Geertz mengenai nilai-nilai
kejawen dan keluarga orang Jawa, penulis juga menggunakan pernyataan yang dikemukakan
oleh Frans Magnis Suseno dalam Etika Jawa. Ia mengatakan terdapat dua kaidah dasar
kehidupan pada masyarakat Jawa, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip
kerukunan menuntut manusia agar setiap situasi hendaknya bersikap sedemikian rupa
sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Sedangkan prinsip hormat menuntut agar cara
berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap kepada orang lain sesuai dengan
derajat dan kedudukannya. Kedua kerangka tersebut merupakan kerangka normatif yang
menentukan bentuk-bentuk kongkret semua interaksi (Suseno, 2003: 38). De Jong, dalam
Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa mengatakan bahwa salah satu ciri dalam sikap hidup
adalah rasa hormat bagi pangkat atau derajat dan bagi semua orang yang berkedudukan
tinggi. Ditegaskan juga bahwa ukuran untuk menilai seseorang bukan kemampuannya,
melainkan kedudukannya, karena kedudukan dan pangkat lebih penting daripada keahlian
dan ketrampilan (De Jong, 1976: 73).
Metode Penelitian
Sebagai sumber data, penulis menggunakan sebuah buku yang berjudul Serat
Pedhalangan Lampahan Wahyu Tohjali, karangan Ki Purwadi Purwocarito, yang diterbitkan
di Surakarta oleh PT. Cendrawasih pada tahun 1991.
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
Langkah berikutnya, penulis akan membahas mengenai lakon wayang Wahyu Tohjali
dan hal-hal yang berkaitan dengan lakon wayang Wahyu Tohjali, beserta penyampaian
ringkasan cerita lakon wayang Wahyu Tohjali.
Langkah yang ketiga, penulis akan memaparkan alur atau peristiwa-peristiwa penting.
Kemudian menyaring apa saja yang berkaitan dengan nilai-nilai yang mencerminkan sikap
hormat dan rukun berupa percakapan antar tokoh ataupun narasi.
Selanjutnya akan menganalisis data-data yang telah diklasifikasikan kemudian
dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Setelah
itu membuat kesimpulan.
Hasil Penelitian
Pada penulisan ini dapat diketahui nilai-nilai moral yang berkaitan dengan sikap
hormat dan rukun yang terkandung dalam teks lakon wayang Wahyu Tohjali.
Pembahasan
Dalam kemasyarakatan, keluarga merupakan jembatan antara individu dan budayanya.
Kelompok keluarga terdekat dan jaring-jaring kekeluargaan yang lebih luas bagi masing-
masing pribadi tersebut memberikan corak dasar bagi hubungan sosial dan seisi dunia. Ada
dua buah nilai yang berlaku pada kehidupan masyarakat Jawa. Tidak hanya sekedar petunjuk
moral dalam keluarga Jawa, namun juga menjadi pusat pengertian baginya. Yang pertama
adalah tata krama “penghormatan” dan yang kedua adalah “penampilan sosial yang harmonis
atau kerukunan.” Hormat yang dimaksud adalah semua hubungan kemasyarakatan yang
tersusun secara hierarki, serta di atas kewajiban moral, untuk memelihara dan menyatakan
corak tertib sosial yang merupakan suatu kebaikan. Sedangkan rukun adalah memperkecil
sebanyak-banyaknya pernyataan konflik sosial dan pribadi secara terbuka dalam bentuk
apapun (Geertz, 1983: 154).
Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa (2003) juga berpendapat bahwa terdapat dua
kaidah dasar pada kehidupan masyarakat Jawa. Ia memberikan sebutan sebagai prinsip rukun
dan prinsip hormat. Pertama, prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat
dalam keadaan yang harmonis (Suseno, 2003: 39). Kaidah kedua, yaitu prinsip hormat, setiap
orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap
orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Suseno, 2003: 60).
Nilai moral hormat dan harmonis dalam lakon wayang Wahyu Tohjali adalah sebagai
berikut.
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
1. “Sumambung pungkur, nenggih sowanira, putraning Hyang Guru ingkang angka catur, jawata ing salendra Bawana, wewisik Bhatara Indra, ya Hyang Surapati, ya Hyang Sakra, inggih Resi Upadya.
Lenggah mabukuh hamarikelu, wadanane tumungkul yayah konjem ing bantala, rumahap ngentosi sabdaning ingkang rama.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 6)
Ketika Bhatara Guru dan Resi Naradha sedang berbincang disuatu ruang yang ada di
Kayangan Suralaya, datanglah Bhatara Indra (anak dari Bhatara Guru), kemudian ia duduk
bersila, tangan dilipat, serta sikap hormat (sedikit membungkukan badan). Sikap seperti ini
mencerminkan bahwa Bhatara Indra menunjukan sikap hormat. Serorang anak wajib
melakukan sikap tersebut kepada orangtua atau orang yang lebih dewasa, dalam hal ini
adalah ayah.
2. “Bil tobil-tobil, ya jagad Dewa Bhatara nuwun inggih Hyang Jagad Pratingkah lulus raharja pisowan kula mboten langkung kula tansah ngaturaken sembah sungkem pangabekti pikulun” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 13)
Bhatari Durga mendatangi Bhatara Guru, ia memberikan salam kepada seseorang yang
disegani atau orang yang dihormati, tindakan hal yang demikian mencerminkan sikap hormat
terhadap orang lain.
3. “Wus Dwi Candra kakang, ingsun tansah ngaturake gunging panuwun marang sira kakang tansah ngrewang-ngrewangi lawan ingsun, anggayuh nugrahaning Jawata kang bakal tumedhak marang marcapada kakang.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 35)
Raden Janaka mengucapkan terimakasih kepada Begawan Anoman, karena telah
menemani dan membantu untuk melewati tiap kesulitan adalah contoh sikap menghormati
kepada orang lain.
4. Janaka: “Kawula nuwun, pukulun Bhatara Indra sak rawuh paduka ing gunung Harjuna pun Janaka ngaturaken pangabekti, pukulun. Bhatara Indra: “Iya-iya ngger Janaka ndak trima pangabekti kita, amung pangestu ulun wae tampanana Janaka.” Anoman: “Nadyan Anoman ngaturaken pangabekti pukulun.”
Bhatara Indra: “Iya-iya Anoman tibaa sapadha-padha.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 41)
Dapat dijadikan contoh moral yang baik, yaitu ucapan salam selalu dilontarkan pada
saat setiap kita bertemu dengan orang lain. Sebaiknya orang yang lebih muda memulai
ucapan salam terlebih dahulu kepada orang yang lebih tua. Tentu saja hal ini dilakukan agar
tercipta kerukunan antar sesama.
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
5. Abimanyu: “Bagong ndak trima banget, Bagong dene sira wus ngaturake lelagon kang bisa nuju prana marang rasaku, kanthi mangkono Bagong ingsun arsa peparing ganjaran marang jeneng sira Bagong.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 68)
Seseorang yang telah melakukan kebaikan akan mendatangkan sesuatu yang
menyenangkan, dan diceritakan pula bahwa mengucap terimakasih adalah hal penting dalam
kehidupan, karena dengan mengucapkannya berarti mengucap syukur pada Tuhan. Rasa
hormat dan rukun terdapat pada percakapan tersebut.
6. Yamadipati: “Rama pukulun Ismaya ingkang putra pun Yamadipati ngaturaken pangabekti rama pukulun.”
Semar: “Eh iya-iya Yamadipati banget panarimaku, ora liwat pangestu ulun wae tampanana Yama.”
Yamadipati: “Nuwun inggih dhahat kapundi mugi andadosna jimat paripih.”
Gareng: “Nadyan kula mboten kantun pukulun sarawuh paduka kula ngaturaken bekti lha..”
Yamadipati: “Gareng ya wis ndak tampa pangestuku wae tampanana.”
Gareng: “Nun inggih kula cadong ing asta kalih kapeteg ing pranaja mugi mewahana rah daging ingkang Yuwana.”
Petruk: “Semanten ugi titah pujangkara Petruk ngaturaken pangabekti kula nuwun.”
Yamadipati: “Iya iya Petruk wis ndak tampa pangestu ulun wae tampanana Petruk.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 77)
Percakapan tersebut menggambarkan bahwa pentingnya mengucap salam kepada
siapapun, hal yang demikian seharusnya terjadi di mana saja, khususnya pada masyarakat
Jawa yang memegang prinsip saling menghormati. Sikap saling menghormati harus
dilakukan secara terus menerus, agar dijadikan teladan bagi generasi penerus.
7. Prabu Puntadewa: “menika kados rawuhipun pukulun Yamadipati pukulun sarawuh paduka ing Ngamarta titah pujangkara pun Puntadewa ngaturaken panagbekti pukulun.”
Yamadipati: “iya iya ngger wayah ulun pun ta ndak tampa dene kita ngaturake pangabekti marang ulun ora liwat pangestu ulun wae tampanana Punta.”
Prabu Puntadewa: “nuwun inggih pukulun kula tampi ing asta kalih kapeteg ing pranaja mugi andadosaken bagya kayuwanan kula pukulun.”
Prabu Kresna: “Nadyan ingkang wayah ing Dwarawati ngaturaken sembah pangabekti pukulun.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 89).
Ketika Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna sedang berada di Negara Ngamarta, mereka
kedatangan seorang Yamadipati. Prabu Puntadewa memulai mengucap salam terlebih dahulu,
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
hal ini menggambarkan bahwa mengucap salam sebaiknya dimulai oleh yang lebih muda
terlebih dahulu. Sikap saling menghormati telah tercipta pada keadaan tersebut.
8. Prabu Kresna: “Nuwun inggih sendika handhedherek pukulun, yayi aji keparenga rakanta nyuwun pamit miwah tambahing pamuji yayi.”
Prabu Puntadewa: “Kaka Prabu mboten langkung tansah handherekaken raharjaning lampah, mugi-mugi Gusti ingkang Akarya Loka tansah amayungi dhateng lampahipun Kaka Prabu.
Wrekudara: “Wa aaa... sanadyan adhimu, aku tansah nyuwun tambahing pangestu muga-muga kasembadan nggonku bakal ngrewang-ngrewangi si Jlamprong.”
Puntadewa: “Adhiku di Sena, ya tansah banyumili pangestune pun kakang, aja mbok tegakake adhimu yayi Janaka ya di, lan ndak sesuwun muga-muga si adi lebda ing karya, di mas.”
Yamadaipati: “Wis ayo Kresna, Wrekudara enggal budhal, Punta, Kembar ulun minta pamit.” (Lakon Wahyu Tohjali,1991: 90-91)
Yamadipati mengajak para Pandawa serta Kresna untuk membantu Janaka agar
terhindar dari bahaya dalam mendapatkan Wahyu Tohjali. Nilai hormat terdapat pada
percakapan tersebut, tercermin ketika menyambut kedatangan Yamadipati dengan salam dan
doa. Salam dan doa juga dihaturkan oleh Yamadipati kepada para Pandawa dan Kresna.
9. Sang Hyang Wenang: “Hong Wilaheng sekaring bawan langgeng ulun waspadakake iki kaya sowane wayah ulun Jisnu lan Mayangkara, wayah ulun sakloron ngger padha kanthi karahrjan sakprapta kita ing Alang-alang Kumitir ngger.” Jisnu: “Nuwun inggih pukulun raharja pisowan kula mboten langkung titah pujangkara pun Jisnu ngaturaken sembah sungkem panagbekti pukulun.”
Sang Hyang Wenang: “Iya ngger wayah ulun Jisnu, wus ulun tampa ora liwat pangestu ulun wae tumrapa marang jeneng kita Jisnu.”
Jisnu: “Nuwun inggih pukulun sampun kula tampi kanthi asta kalih, mugi dadosa jimat paripih.”
Mayangkara: “Nadyan ingkang wayah pun Mayangkara ugi ngaturaken pangabekti pukulun.”
Sang Hyang Wenang: “Mayangkara ya wis ulun trima dene kita ngaturake bekti, amung pangestu ulun wae tampanana Mayangkara.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 96)
Sang Hyang Wenang menyambut kedatangan Jisnu dan Mayangkara di Kayangan
Alang-Alang Kumitir. Salam dan doa serta merta dihaturkan oleh ketiganya. Nilai sikap
menghormati terlihat jelas atas sikap para tokoh yang saling mengucap salam.
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
10. Harjuna Winonga: “He Beghawan Anoman aja sira angayoni marang rama pukulun, iki anake lanang ora wegah tandhing lawan sira Anoman.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 43)
Harjuna Winonga dihadapkan oleh Sang Begawan Anoman. Sikap anak dari Bhatara
Indra tersebut tidak mencerminkan sikap menghormati karena ia telah berbicara kasar kepada
orang tua atau orang yang lebih dewasa. Berkelahi bukanlah cara tepat untuk menyelesaikan
masalah, tetapi malah akan menyakiti orang lain.
11. Dewa Srani: “He kakang Janaka aja girang-girang gumuuyu, sira kakang bisa ngasorake kasektenku, nyata sira satriya lelanangin jagad tampanana jemparingku iki.” Janaka: “Dewa Srani bakal ndak geblakake dhadhaku kaya ngapa pusakamu.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 46)
Kembali dideskripsikan bahwa sikap di atas tidak mencerminkan sikap hormat, karena
Dewa Srani berbicara kasar kepada Raden Janaka, serta menantang untuk saling mengadu
kekuatan.
12. “lampahing pangadilan nindakaken dana wesi asat, werdine sinten ingkang tuhu tegen ing sesanggeman dhatan mangro ing panembah, yekti ginanjar ingkang samurwat kaliyan lelabetanira.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 5)
Menjelaskan tentang fungsi dari pengadilan yaitu untuk memberi keputusan tentang
penjatuhan hukuman. Oleh karena itu, para pemegang wewenang jangan sampai goyah
sehingga fokusnya terpecah dan dapat memberi keputusan yang sesuai dengan perbuatan. Hal
ini berkaitan dengan tujuan nilai keharmonisan.
13. “Adhi Guru keparenga kula aturi enget adhi Guru bilih paduka menika dados jejering nalendra ingkang ambawani jagad tetiga adhi Guru, sifating nalendra, sampun ngantos menggalihaken dhumateng garising kula warganipun pribadi nanging amenggalihna dhateng panangising para kawula saindhenging Triloka menika adhi Guru.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 15)
Seorang penasihat, yaitu Bhatara Naradha melaksanakan tugasnya mengingatkan
kepada Bhatara Guru mengenai sikapnya yang menyalahi aturan. Bhatara Guru yang
diharapkan dapat menjadi panutan dalam memimpin Surga, Dunia, dan Neraka telah
membuat penduduknya kecewa, karena Bhatara Guru mementingkan keegoisannya. Dalam
hal ini, sang penasihat telah berusaha melakukan sikap yang mencerminkan keharmonisan.
14. “Ngengingi ganjaran dhumateng titah ing Marcapada sinten kemawon ingkang ageng lelabetanipun wajib dipun paringi ganjaran kados dene titah pujangkara pun Janaka menika sampun trep manawi anampi nugraha awit Janaka tansah anengenaken dhateng tindak ingkang tumuju kautaman.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 16)
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
Kutipan diatas mencerminkan moral seorang ksatria yang pantas mendapatkan haknya
karena telah melaksanakan kewajiban. Maka, Janaka dapat dikatakan melakukan tindakan
yang menghadirkan sikap keharmonisan antar sesama umat manusia tanpa pamrih.
15. Bhatara Naradha: “Pamothahing Durga kepingin nggayuh Wahyu Tohjali kanggo Dewa Srani, mangka kita uga nekseni Yama lamun Wahyu Tohjali iku wis dadi pepancenane si Janaka wiwit nalika ana ing khandutan umur 3 Candra janaka wis nggayuh Wahyu kasebut. Wis saiki kita ulun tanting kepengin dadi Jawata sing ngerti bebener apa ora, apa kepingin dadi Jawata sing rusak, manawa kepingin dadi Dewa sing rusak, ya sowana marang ngarsane adhi Guru.”
Yamadipati: “menawi mekaten kula trimah ndherek paman Naradha kemawon.” (Lakon Wahyu Tohjali,1991: 31)
Maksud dari Bhatara Naradha adalah untuk menjelaskan kepada Yamadipati tentang
kekisruhan yang terjadi, dan mengajak Yamadipati agar tidak terjerumus pada kesesatan.
Perilaku tersebut dilakukan agar terciptanya keharmonisan dan kerukunan.
16. Bhatara Naradha: “Kalamun mangkono Yama kita aja katumbuhan ayo bebarengan lawan ulun tumeka marang gunung Harjuna, mbiyantu si Janaka nggone bakal nggayuh Wahyu Tohjali, amarga kayuwanane si Janaka kaancam dening adhi Guru lan Durga.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 32)
Bhatara Naradha mengajak Yamadipati untuk menyelamatkan sesorang yang sedang
dalam bahaya, yaitu Janaka. Beliau mengantisipasi agar bahaya tidak mendatangi Raden
Janaka. Tindakan Bhatara Naradha termasuk sikap untuk terciptanya kerukunan.
17. Bhatara Naradha: “Janaka aja mbanjur nglokro kang dadi tekad kita, amarga jeneng kita mapan ana nggon bener, kita ora luput Janaka.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 39)
Pesan dari Bhatara Naradha kepada Raden Janaka agar yakin terhadap kebenaran.
Pesan lain yang disampaikan adalah bahwa seseorang harus mempunyai semangat dan jangan
cepat berputus asa dalam melakukan hal yang bernilai baik. Tentu tindakan yang demikian
bertujuan agar terciptanya kerukunan.
18. “Sepisan maneh Janaka kita aywa kuatir, nadyanta kita iku amung titah lumrah, ulun rewangi karaya-raya tekan kene karo Yamadipati iki beteke ulun kepengin sabyantu marang gegayuhan kita Janaka.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 40)
Orang yang benar akan mudah mendapatkan kebaikan yang datang dari berbagai arah,
salah satunya mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sikap yang harmonis ini terjadi
karena satu sama lain tidak mempunyai niat jahat terhadap siapapun.
19. Yamadipati: “Anoman kita aywa nguwatirake marang momongan kita si Janaka isih ana sakjabaning pepesthen awit, para pandhawa iku nadyanta sedina mati kaping pitu, lamunta durung
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
bubar perang Bharatayudha Jaya Binangun isih kena di arep-arep Anoman.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 47)
Yamadipati menenangkan Anoman yang sedang merasa khawatir terhadap keselamatan
Janaka. Berusaha membuat tenang orang lain adalah salah satu hal yang bertujuan agar
terciptanya keharmonisan antar manusia.
20. Naradha: “Adhi Guru sinten kewala badhe rakanta labeti manawi anggadahi gegayuhan ingkang tumuju dhateng kautaman, lan mbok manawi Adhi Guru ngersakaken gojeg kalian rakanta, kula inggih sagah angladosi, kados rikala, kula lan panjenengan sami-sami maksih mudha.” Bathara Guru: “Saru dinulu kakang manawi ulun lan andika sampun sami sepuh-sepuh badhe bandhayudha, kados pundi ing mangke loking para Jawata, lan para titah ing Marcapada, kakang.”
Naradha: “Lho manawi perlu Adhi Guru, kala mangsanipun kita inggih dredah kados mekaten.”
Bathara Guru: “Sakmenika mekaten kakang, kadhawuhna dhateng Janaka kinen tapa Brata ngadeg kanthi suku satunggal, lan ulun ugi dhawuh dhateng yoga ulun supados tapa sakduwuring warihing samodra kidul.”
Naradha : “Oh inggih manawi mekaten sendika andhedherek.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 51)
Terjemahan:
Naradha: “Adhi Guru siapapun yang ingin kau ikut sertakan, haruslah mempunyai keinginan yang bertujuan pada kebaikan, dan mungkin Adhi Guru menginginkan bergandengan denganku, Aku dapat menyiapkan semuanya seperti dahulu, Aku dan dirimu sama-sama masih muda.”
Bhatara Guru: “Tidak baik, Aku dan Kamu sudah berumur tak pantas jika bertikai, bagaimana nanti jika dilihat oleh para dewa dan manusia di dunia, Kakak.”
Naradha: “Jika diperlukan kita harus melakukan hal tersebut.”
Bhatara Guru: “Baiklah jika begitu, perintahkanlah Janaka untuk melakukan tapa sembari berdiri dengan satu kaki, dan Aku juga akan memerintahkan Dewa Srani untuk melakukan tapa diatas Laut Selatan.”
Naradha: “Oh Baik, kalau begitu saya setuju.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 51)
Terjadi perbincangan yang sedikit ketus antara Bhatara Naradha dengan Bhatara Guru.
Bhatara Naradha sesungguhnya telah kecewa terhadap apa yang dilakukan oleh Bhatara Guru
yang bertujuan untuk menyingkirkan Janaka agar tidak mendapatkan Wahyu Tohjali. Pada
peristiwa ini, Bhatara Guru melakukan sikap kerukunan, yaitu mengambil keputusan yang
bijaksana dengan cara memerintahkan Janaka dan Dewa Srani melakukan tapa.
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
21. Abimanyu: “Bagong ndak trima banget, Bagong dene sira wus ngaturake lelagon kang bisa nuju prana marang rasaku, kanthi mangkono Bagong ingsun arsa peparing ganjaran marang jeneng sira Bagong.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 68)
Abimanyu mengucapkan terimakasih kepada Bagong karena telah berusaha menghibur
hatinya yang sedang bersedih karena memikirkan nasib ayahnya. Berterimakasih kepada
orang lain adalah simbol rasa bersyukur pada Tuhan melalui sesama manusia. Imbalan adalah
simbol dari apa yang sudah dikerjakan dan dicapai seseorang. Tetapi sebaiknya imbalan
bukanlah satu-satunya hal yang didambakan oleh setiap manusia, karena Tuhan akan
memberikan hal yang lebih, ketika manusia tersebut mengerjakan sesuatu tanpa pamrih.
Sikap yang dibangun oleh Abimanyu mencerminkan sikap harmonis.
22. Abimanyu: “Duh kanjeng rama, kanjeng rama dene paduka anemahi lampahan kados mekaten pukulun keparenga ambanjut dhateng titah pujangkara pun Abimanyu.”
Yamadipati: “Wayah ulun ngger, wong asigit aja mbanjur susah kang dadi atine mara kita enggal tumeka marang gunung Harjuna amarga rama Ismaya wis tindak andhingini laku dene ulun bakal tumeka marang praja Ngamarta paring khabar marang para pepunden kita.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 79)
Berusaha meminimalisir terjadinya hal yang membahayakan akan terjadi pada
seseorang yang tidak melakukan kesalahan, dan membantu memudahkan orang tersebut
menerima haknya. Sikap rukun atau harmonis telah diterapkan oleh Sang Yamadipati.
23. Prabu Kresna: “Nuwun inggih sendika handhedherek pukulun, yayi aji keparenga rakanta nyuwun pamit miwah tambahing pamuji yayi.”
Prabu Puntadewa: “Kaka Prabu mboten langkung tansah handherekaken raharjaning lampah, mugi-mugi Gusti ingkang Akarya Loka tansah amayungi dhateng lampahipun Kaka Prabu.
Wrekudara: “Wa aaa... sanadyan adhimu, aku tansah nyuwun tambahing pangestu muga-muga kasembadan nggonku bakal ngrewang-ngrewangi si Jlamprong.”
Puntadewa: “Adhiku di Sena, ya tansah banyumili pangestune pun kakang, aja mbok tegakake adhimu yayi Janaka ya di, lan ndak sesuwun muga-muga si adi lebda ing karya, dhimas.”
Yamadaipati: “Wis ayo Kresna, Wrekudara enggal budhal, Punta, Kembar ulun minta pamit.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 90-91)
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
Nilai rukun atau harmonis tercermin pada peristiwa di atas. Terlihat dari tindakan para
Pandawa yang saling menjaga para saudaranya. Nilai hormat juga ditunjukan dengan saling
mengucap salam.
24. Sang Hyang Wenang: “Ngger Jisnu kita ywa kuatir marang pangancaming Bathara Guru, anggepen wae manawa Bathara Guru dudu pepalang munggwing kita nampa kanugrahan, awit pangancaming Bathara Guru nisa ngrancakake marang kanugrahan kang kita tampa.
Kabukten kita sarimbit lawan Mayangkara sowan mring ngarsa ulun, tanpa iku ngger mbok manawa Wahyu tohjali, durung kita tampa, dene perkara tumindake Bathara Guru lan Durga, ulun kang bakal paring pangadilan kanthi dalan, ulun bakal nunggal sajiwa marang jeneng kita Jisnu.
Tumindaking Bathara Guru dadya piwulang munggwing kita Jisnu lan Mayangkara, aja demen kepencut marang lejeming lathi, weweging payudara lan gumebyar ing wentising wanita.
Lamunta ora bisa ngendhaleni pepenginan tetelu mau sayekti bakal lali ing Purwa duksina, tuladhane kaya pakartine Bathara Guru, wis ngger kita enggal baliya mring raganira sowang-sowang.
Dene ulun bakal nunggal kahanan marang jeneng kita jisnu. (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 99)
Telah dipaparkan bahwa terdapat nilai kerukunan yaitu berupa nasihat serta beberapa
ajaran yang diberikan oleh Sang Hyang Wenang kepada Janaka dan Mayangkara. Nasihat
dan ajaran tersebut di antara lain adalah ancaman dari orang lain harus dijadikan pemacu
semangat dalam menggapai keinginan. Ajaran lainnya adalah jangan termakan oleh rayuan,
godaan, dan penampilan yang menggoda. Sikap kerukunan telah diciptakan oleh Sang Hyang
Wenang.
25. Sang Hyang Wenang: “Wayah ulun ngger kabeh wae padha lerena anggon kita pasulayan, banjur padha seksenana lamunta ing wektu iki ulun wus ngganjarake Wahyu Tohjali marang Janaka, uga ndak angkat lan nddak tambahi sesebutan Satriya Lelancuring Bawana, ya satriya mustikaning Bawana, mungguh satriya lelancuring Bawana anggone lumadi marang bebrayan tansah bebarengan lawan nalendra titising Bathara Wisnu.” Miwah diembani dening wanara Seta lan kaki Ismaya, priye Bathara Guru kita trima apa ora mungguh kang dadi dhawuhku.
Bathara Guru: “Nuwun inggih kula tansah jumurung ing karsa paduka, lan sadaya kalepetan kula nyuwun agunging pangapunten... pukulun.”
Sang Hyang Wenang: “Ya wis ulun paringi pangapura guru, mbok manawa kita ora trima, palungguhan kita bakal ulun jabel Guru, lan kita ndak worake lawan Bathari Durga dadi Dewa panggoda pangrencana, sepisan maneh Guru dadi ratuning Dewa iku aja gampang kabujuk lawan tembung manis, lan lejeming lathi, miwah gumebyaring wentis.... Guru.
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
Kita iku Dewa kang wus ulun wisudha dadi ratuning Dewa aja mbanjur nggugu marang karsanira priyangga Guru, lamun kita wus mertobat kita ulun wenangake bali marang Kahyangan.
Dene kita Naradha lan Yamadipati baliya ngumpul maneh marang Kahyangan.
Jumbuh karo tumindak kita Durga lan Bathara kala kita sodake patang puluh dina suwene kita ora oleh pangan, gandheng wus purna lelakon iki ayo Guru lan kita Naradha, ulun kanthi bali marang Kahyangan, wis ngger titah ulun ing Marcapada ulun minta pamit kondur Makayangan, sesanti ulun ngger tampanana, Jaya jaya wijayanti, sapa kang bibiti ala wahyune bakal sirna.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 106-107)
Terdapat banyak contoh moral yang dapat dijadikan pelajaran, di antaranya janganlah
mudah percaya dengan kata-kata manis, bujuk rayu, serta tampilan semata. Serta terdapat
pesan moral janganlah berlaku hanya mementingkan keinginan pribadi, serta orang-orang
yang telah melakukan kesalahan patut diberi hukuman. Dalam kehidupan masyarakat Jawa,
hal-hal yang telah dijabarkan di atas merupakan tujuan demi terciptanya nilai keharmonisan
bagi diri sendiri dan orang lain.
26. Prabu Kresna: “Yayi aji sampun paripurna lelampahan menika yayi, kanthi tumuruning kanugrahan ingkang tinampi kadang kula pun Janaka mugi sageda andayani dhumateng para bebrayan ing nagari Ngamarta, minggahipun dhateng bebrayan saklumahing bawana yayi.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 108)
Prabu Kresna mengharapkan agar Janaka dapat menjadi amanah dalam mengemban
pada wahyu dan gelar yang baru saja didapatkan. Dari uraian diatas, terdapat nilai kerukunan,
yaitu saling mendukung satu sama lain dengan tujuan yang mulia.
27. Bhatari Durga: “Bil tobil-tobil Dewa Srani- Dewa Srani wis wis dadi bejamu kulup, dene sira kepengin nggayuh Wahyu wae gagal, ora lebda ing karya, ya amarga sira wis ora ana sing mikirake, amung kajaba sifating ibu. Duwe bapak wae marane ya mung neh butuh thok, kakang-kakang Bhatara Kala teka kebangeten timen ingatase sira iku sifate wong tuwa lanang, babar pisan ora tau mikirake marang kabutuhane anak.
Ya puluh-puluh wis dadi bejane awakku ora bisa nyembadani kekarepane anak.”
Bhatara Guru: “wis-wis pramoni ulun wis mangerti kang dadi karsa kita, ya ngelingi manawa Dewa Srani iku uga kalebu titisan ulun pribadi, mangka ulun durung nate nggeganjar marang atmaja ulun, ya atmaja kita Durga si Dewa Srani.
Malah ing mangko parentahna marang atmaja kita kinen nyirnakake si Janaka, lan ulun uga njabel marang sesebutane si Janaka ingkang dadya lalananging
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
jagad, lamunta Janaka wus tumeka ing pati Wahyu Tohjali bakal ulun paringake marang atmajaku si Dewa Srani.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 14)
Sikap Seorang Ibu yang mengharapkan suaminya dapat memberi perhatian kepada
dirinya dan anaknya. Berarti sikap sang ayah tidak mencerminkan sikap harmonis terhadap
keluarganya. Begitu pula yang dilakukan Bhatara Guru sebagai seorang raja tidak
menciptakan sikap kerukunan, meskipun ia akan mengabulkan permintaan Bhatari Durga
tetapi dengan cara yang tidak baik, yaitu ingin menyingkirkan Janaka agar Wahyu Tohjlali
diberikan kepada Dewa Srani.
28. Bhatara Guru: “Durga kita aywa was kang sarta sumelang ulun pribadi kang bakal sabyantu marang atmaja ulun, nyirnakake Janaka.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 15)
Seorang pemimpin seharusnya tidak melakukan hal keji, yaitu ingin menyingkirkan orang lain yang tidak bersalah. Pada kejadian ini, Bhatara Guru tidak menerapkan sikap kerukunan.
29. Bhatara Guru: “Malah ing wektu iki ayo enggal-enggal ulun kanthi tumeka marang Gunung Harjuna, anyirnakake si Janaka ingkang lagya mangsah yoga Brata, kulup Indra jeneng kita ulun paringi purba lan wasesa angajak bali marang kakang Naradha yen ta ora keduga bali marang Kahyangan babar pisan sirnakna kulup, uga ngajaka marang kadang-kadang kita para jawata lumawat mring Gunung Harjuna saperlu nyirnakake Janaka.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 17)
Ia telah melakukan hal yang menyimpang dari apa yang seharusnya seorang pemimpin
terapkan pada kehidupan pemerintahannya, maka hal yang terjadi tidak sesuai dengan prinsip
kerukunan.
30. Bhatara Indra: “Kulup Janaka andadekna kawruhan kita manawa anggon kita nggayuh kanugrahaning Jawata ingkang aran Wahyu Tohjali lan anggon kita darbe sesebutan dadi lelananging jagad iku dianggep luput dening Sang Hyang Manikmaya. Mula saka iku Janaka, manuta bakal ndak cegorake kawah Candradimuka.
Janaka: “Dhuh pukulun, sayekti Jawata menika mboten adil, awit wonten sifating titah ingkang kepengin nyadhang tumuruning nugraha kok dipun anggep lepat menika kados pundi.”
Bhatara Indra: “Bener iku rak saka karsa kita dhewe Janaka, nanging mungguh saka pamawasing pukulun Manikmaya kita dianggep luput, wis ora susah kakehan rembug Janaka, manuta kita sun cegurake kawah Candradimuka.”
Janaka: “Pukulun sedheng sipating cacing kemawon menawi dipun idak kojel-kojel menapa malih kula, sipating jalma ingkang ginanjar akal pikir jangkep, badhea ajur tumpur badhan kula, tetep badhe mbela ajining dhiri.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 42)
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
Bhatara Indra memaksa agar Janaka menerima hukuman yang diberikan oleh Bhatara
Guru, namun dengan kegigihannya, Janaka menolak karena ia merasa tidak melakukan
kesalahan. Dalam hal ini Bhatara Indra sangat tidak mencerminkan sikap kerukunan, karena
ia akan memberikan hukuman kepada orang yang tidak bersalah.
31. Dewa Srani: “Pukulun Yamadipati ora keduga sumingkir bakal ndak katutake dosane kakang Janaka.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 48)
Dewa Srani telah melakukan pengancaman kepada orang lain yang lebih ‘sepuh’3, yaitu
Yamadipati. Tindakan dan perilaku tersebut sangat tidak mencerminkan sikap kerukunan.
32. Yamadipati: “Bhatari Durga kita bakal ulun culke, kanthi prajanjen jeneng kita ora kena ngganggu gawe marang tapane si Janaka. Bathari Durga: “Yamadipati ora keduga nguculake, bakal ndak aturake marang pukulun Bathara Guru.” Yamadipati: “Kandhagna gendhakaanmu ulun ora bakal mundur sejangkah.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 49)
Sang Yamadipati sesungguhnya ingin melepaskan Bhatari Durga yang pada saat itu
sedang berada dalam genggamannya, dengan syarat agar tidak mengganggu ketentraman
Janaka. Namun Bhatari Durga kembali mengancam Yamadipati. Hal yang dilakukan Bhatari
Durga mencerminkan tidak adanya tujuan untuk bersikap rukun kepada Yamadipati.
33. Naradha: “Ya Jagad Dewa Bathara mangkana Adhi Guru nggone tansah rerewang marang Dewa Srani, kanthi tumindak ingkang nerak saking bebener satemah anggadhuhake lembu Andini marang Dewa Srani, kinen angagem tapa ing sakduwuring Samodra. Iya Dewa Srani janji kita ora oncat, lembu Andini bakal ulun lepasi jemparing saka kene.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 53)
Seorang pemimpin (Bhatara Guru) telah melakukan tindakan yang tercela dan tidak
mencerminkan sikap rukun, yaitu memberikan fasilitas kepada anaknya, yaitu Dewa Srani
pada saat melakukan tapa.
34. Bathara Guru: “Kulup Dewa Srani lamun ndak waspadakake saka ing kene, kae ana manuk Branjangan kang maksih kekiter ing awang-awang, mangka sak liyane manuk Branjangan kae ora ana ngger mara sumingkira, manuk Branjangan bakal ulun jemparing saka kene.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 53)
Bhatara Guru melihat dan menyadari adanya Burung Branjangan yang sedang
mengitari tempat Dewa Srani bertapa. Bhatara Guru ingin memanah burung tersebut agar
3 Sepuh adalah sebutan untuk orang yang umurnya jauh diatas kita atau atau orang yang disegani dikalangan masyarakat.
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
proses tapa dari Dewa Srani. Bhatara Guru dalm hal ini bersikap tidak harmonis terhadap
burung Branjangan.
35. Bathara Guru: “Kados pundi kersanipun kakang Naradha dene paduka teka samanten anggen andika badhe nyirnakaken dhateng Dewa Srani.” Naradha: “Adhi Guru kawula dami sapa sing miwiti dene paduka sampun wantung anggadhuhaken Lembu Andini, dhateng Dewa Srani.”
Bathara Guru: “Menawi mekaten ulun ugi tega dhateng Janaka.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 55)
Resi Naradha ingin membela Raden Janaka, sedangkan Bhatara Guru membela Dewa
Srani. Bhatara Guru memberikan fasilitas berupa Lembu Andini untuk dipinjamkan kepada
Dewa Srani agar digunakan saat ia melakukan tapa. Selain itu, keduanya terlihat saling ingin
balas dendam, maka tidak ada nilai keharmonisan pada kejadian tersebut.
36. Raden Abimanyu: “Apa kang ndak wedeni.” Banyak Calora: “Gaji gede dhuwur.”
Raden Abimanyu: “Kurang gede kemula mega, kurang dhuwur ancik-ancika haldaka.”
Banyak Calora: “Gaji gede japa mantera.”
Raden Abimanyu:”Ora ana jamake Satriya maguru bathanging raksasa.”
Banyak Calora: “Harda Walipa.”
Raden Abimanyu: “Dhasar yaksa kapara sangka.”
Banyak Calora: “Sabetke panging kemuda rontog balungmu, satriya.” (Lakon Wahyu Tohjali, 1991: 73)
Banyak Calora telah menantang Raden Abimanyu untuk berperang, raksasa tersebut
merasa sombong akan kekuatan yang dimiliki, tetapi Raden Abimanyu tidak getir untuk
melawan Banyak Calora karena ia yakin akan keteguhan yang ia miliki. Tindakan yang
dilakukan oleh Banyak Calora menunjukan sikap tidak adanya keharmonisan antar keduanya.
Kesimpulan
Dari hasil analisis nilai-nilai moral hormat dan harmonis dalam lakon wayang Wahyu
Tohjali, dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat dua puluh empat contoh sikap hormat dan harmonis yang diambil dari
percakapan para tokoh maupun narasi yang ada dalam lakon wayang Wahyu Tohjali.
Contoh sikap hormat yang paling sering muncul adalah saling memberi salam kepada
setiap bertemu orang lain, terutama memulai ucap salam kepada orang tua atau yang
lebih dewasa. Contoh bersikap harmonis atau rukun yang terdapat dalam lakon
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
wayang Wahyu Tohjali antara lain membantu orang lain yang sedang mengalami
kesusahan dan berpegang teguh pada pendirian.
2. Terdapat dua belas contoh sikap yang mencerminkan tidak hormat pada lakon wayang
Wahyu Tohjali. Contoh tersebut adalah berbicara kasar kepada orang lain, dan
menantang orang lain untuk bertikai atau mengadu kesaktian. Contoh lainnya, seorang
raja yang salah mengambil keputusan, yang ditunjukan oleh tokoh Bhatara Guru, dan
membuat sedih para rakyatnya. Kesalahan yang dilakukan oleh Bhatara Guru yaitu
ingin menyingkirkan Janaka yang tidak bersalah dengan cara ingin menyeburkan
Janaka kedalam kawah Candradimuka. Kesalahan lainnya adalah Bhatara Guru
memberikan fasilitas yang lebih kepada anaknya sendiri yaitu Dewa Srani.
Dari paparan-paparan di atas, menunjukan bahwa diharapkan pada kehidupan
masyarakat Jawa mengandung nilai-nilai yang berbudi pekerti luhur. Tindakan dan sikap
yang baik inilah yang harus diterapkan pada generasi penerus, agar selalu tercipta kedamaian
satu sama lain. Pembahasan penelitian ini tidak hanya contoh berupa tindakan dan sikap,
namun juga berisi ajaran-ajaran atau ilmu yang dimiliki oleh seorang ksatria.
Daftar Referensi
Sumber Bahan Penelitian
Purwocarito, Ki Purwadi. (1991). Serat Pedhalangan Lampahan Wahyu Tohjali. Surakarta: Cendrawasih
Sumber Jurnal
Enny Priyanti Nawangsari. (2010). Analisis Ajaran Moral Dalam Serat Sanasunu. Depok.
Otien Asto Negoro. (2008). Aspek Moral Dan Aspek Kepemimpinan Jawa Dalam Teks Kjai Djaka Mangoe. Depok.
Sumber Referensi
Abdul Qadir Al-Jailani. (2012). Buku Pintar Tasawuf. Jakarta: Penerbit Zaman.
Bambang Murtiyoso, et. al. (2004). Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika Surakarta.
Franz Magnis Suseno. (2003). Etika Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016
Geertz, Hildred. (1982). Keluarga Jawa. Jakarta: PT. Temprint.
Hazeu, G. A. J. (1979). Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami Ing Zaman Kina. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Jong, de, S., Dr. (1976). Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Kurtines, William M. & Jacob L. Gerwitz. (1992). Moralitas, Perilaku Moral, Dan Perkembangan Moral. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Luxemburg, Jan van, et al. (1991). Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
Panuti Sudjiman, (1991). Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Solichin. (2014). Tokoh Wayang Terkemuka. Jakarta: Yayasan Senawangi.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). (2005). Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Suwaji Bastomi. (1992). Seni dan Budaya Jawa. Semarang: IKIP Semarang Press.
Suwardi Endraswara. (2010). Etika Hidup Orang Jawa. Jakarta: PT. SUKA BUKU.
Undung Wiyono, dkk. (2010). Rupa dan Karakter Wayang Purwa. Jakarta: Kaki Langit Kencana Prenada Media Group.
Wiranata, S.H., M.H., Prof. Dr. I Gede A.B. (2011). Antropologi Budaya. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Wiyono, Undung., dkk. (2010). Rupa dan Karakter Wayang Purwa. Jakarta: Kaki Langit Kencana Prenada Media Group.
Sumber Kamus
Poerwadirminta, WJS., et. al. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers-Maatschappij N.V.
Badudu- Zain. (2001). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tim Balai Bahasa Yogyakarta. (2011). Bausastra Jawa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Nilai Moral ..., Siti Noerlia Sri Farista, FIB UI, 2016