NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA DALAM ...NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN...

127
NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MAKASSAR The Value of Kelong and Its Implementation in Makassar Society TESIS S Y A M S U D NIM 105040912614 PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2016

Transcript of NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA DALAM ...NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN...

NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA

DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

MAKASSAR

The Value of Kelong and Its Implementation

in Makassar Society

TESIS

S Y A M S U D

NIM 105040912614

PROGRAM PASCASARJANA

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2016

NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA

DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

MAKASSAR

TESIS

Oleh:

S Y A M S U D

NIM 105040912614

PROGRAM PASCASARJANA

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2016

NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA

DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

MAKASSAR

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister

Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

S Y A M S U D Nomor Induk Mahasiswa: 105040912614

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2016

HALAMAN PENGESAHAN PERBAIKAN

NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA

DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

MAKASSAR

Yang disusun dan diajukan oleh

SYAMSUD

NIM: 105 04 09 126 14

Setelah seminarkan pada tanggal 1 Oktober 2016 kemudian diperbaiki dan diperikasa serta

diteliti ulang, maka tesis ini telah memenuhi persyaratan

untuk diajukan di depan penguji.

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Anshari, M. Hum. Dr. Sitti Aida Azis, M. Pd.

Mengetahui

Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi

Universitas Muhammadiyah Makassar Pendidikan Bahasa Indonesia

Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M. Pd. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.

NBM: 988 463 NBM:

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI

Judul : Nilai Kelong dan Implementasinya Dalam

Kehidupan Masyarakat Makassar

Nama : Syamsud

NIM : 10 504 09 126 14

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada Tanggal 23 Desember 2016

dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 23 Desember 2016

TIM PENGUJI:

Prof. Dr. Anshari, M. Hum.

(Ketua/Pembimbing/Penguji)

………………………….

Dr. Sitti Aida Azis, M. Pd.

(Sekretaris/Penguji)

………………………….

Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M. Pd.

(Penguji)

………………………….

Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.

(Penguji)

………………………….

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Syamsud

NIM : 105 04 09 126 14

Program Studi : Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan

hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis

ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Desember 2016

Yang menyatakan,

Syamsud

ABSTRAK

SYAMSUD. 2016. Nilai Kelong dan Implementasinya dalam Kehidupan Masyarakat Makassar.

Tesis (dibimbing oleh Anshari dan Sitti. Aida Azis).

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan Nilai Kelong dan Implementasinya dalam Kehidupan

Masyarakat Makassar. Teknik analisis data dalam penelitian ini dengan cara mengidentifikasi,

mengklasifikasi, menganalisis, mengiterpretasikan, dan mendeskripsikan nilai kelong dan

implementasinya dalam kehidupan masyarakat Makassar.

Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan bahwa terdapat data pada kelong Makassar yang

memuat abbulo sibatang accera sitongka-tongka, sipakatau, dan sirik na pacce yang

implementasinya masih dapat ditemukan dalam acara pernikahan, pesta ada, dan acara resmi

pemerintah.

Abbulo sibatang accera sitongka-tongka merupakan budaya masyarakat Makassar yang

memiliki arti persatuan dan kesatuan. Terkhusus acara resmi pemerintah, budaya abbulo

sibatang accera sitongka-tongka tidak lagi terlalu tampak.

Secara konsepsi sipakatau merupakan titik sentral budaya Makassar yang bersumber pada tau

atau manusia. Sifat sipakatau inilah yang membuat tatanan kehidupan masyarakat Makassar bisa

terkendali, yang muda menghormati yang tua dan yang tua menghargai yang muda.

Siri na pacce adalah falsafah hidup orang Makassar yang tidak bisa diremehkan. Menjadi

pegangan hidup baik di kampung sendiri maupun di rantauan. Keberadaan pacce dalam

masyarakat dan diri seseorang mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa

mementingkan diri sendiri dan golongan. Hal tersebut adalah salah satu konsep yang membuat

suku Makassar mampu bertahan dan disegani. Pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan

menanggung beban dan penderitaan orang lain. Saling meringankan beban seperti pepatah ringan

sama dijinjing berat sama dipikul.

Implementasi sirik na pacce seperti yang terkandung dalam kelong masih bisa ditemukan

sekarang ini, khususnya dalam acara pernikahan, pesta adat, dan acara resmi pemerintahan.

Dari hasil penelitian ini, disarankan agar penting kiranya penelitian karya sastra lokal, khususnya

sastra Makassar seperti ini perlu dilakukan untuk menggali dan mengetahui sastra lokal yang

memuat pesan-pesan leluhur yang sarat makna yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan

sehari-hari dan bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya agar budaya masyarakat Makassar

tetap hidup.

Khususnya peneliti sastra dan pelaku sastra ada baiknya lebih mengede-pankan mengkaji sastra

lokal dan mengeksposnya hingga masyarakat luas tahu, dapat memperkaya khazanah kesastraan

Indonesia dan untuk menunjukkan pada dunia kekayaan budaya bangsa tercinta ini.

Kata-Kata Kunci: Kelong, Nilai, Implementasi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah rabbil alamin yang telah

memberikan taufik dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini berjudul Nilai Kelong dan Implementasinya dalam Kehidupan Masyarakat

Makassar. Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk

memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, pada Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Makassar. Dengan keberadaan tesis ini dapat menambah

perbendaharaan keilmuan penulis sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni.

Keberhasilan penulis menyelesaikan tesis ini, memang melalui berbagai macam kesulitan

dan hambatan yang kesemuanya itu dapat diatasi dengan ketekunan, kesabaran, dan kerja keras

yang disertai doa, dan lebih utama adalah bantuan dari berbagai pihak yang tidak dapat dibalas

penulis kecuali ucapan terima kasih. Oleh karena itu, melalui kesempatan yang baik ini

penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Anshari, M. Hum. Pembimbing I, dan

Dr. Sitti Aida Azis, M. Pd. Pembimbing II yang telah bersedia memberikan bimbingan, saran,

arahan, dan dorongan sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

Terima kasih pula penulis sampaikan kepada seluruh dosen di lingkup Program

Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar

yang telah memberikan ilmu dan pengabdiannya kepada penulis. Dr. Abd. Rahman Rahim, M.

Hum, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang senantiasa

memberikan dorongan dan motivasi. Prof. Dr. H. M. Ide Said DM., M. Pd. Direktur Program

Pascasarja-na Universitas Muhammadiyah Makassar beserta staf yang senantiasa memberikan

bantuannya, Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar yang sudi menerima dan memberi

kesempatan penulis untuk melanjutkan pendidikan di universitas yang dipimpinnya.

Ucapan terima kasih terkhusus kepada orang tua, istri tercinta, dan ananda Muh. Nur

Jayadi Syamsud dan Muh. Nur Azhari Syamsud serta teman-teman seperjuangan Program

Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar khususnya Angkatan 2014.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa tesis ini sifatnya masih

sangat sederhana, namun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin menyempurnakannya.

Oleh karena itu, penulis senantiasa mengaharapkan saran dan kritikan yang bersifat konstruktif

demi kesempurnaan tesis ini, semoga bantuan dan partisipasinya mendapat rida dan pahala dari

Allah Swt. Amin.

Makassar, Desember 2016

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………..………….i

HALAMAM PENGESAHAN ………………………………………………… .ii

SURAT KETERANGAN PERBAIKAN TESIS ……………………………… iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ………………………………………… iv

ABSTRAK ……………………………………………………………………… v

ABSTRACT …………………………………………………………………… vi

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… vii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………… ix

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1

A. Latar Belakang …………………………………………………… 1

B. Fokus Penelitian …………………………………………………… 9

C. Tujuan Penelitian …………………………………………………… 9

D. Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR …. ………… 12

A. Tinjauan Pustaka …………………………………………………… 12

1. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya ……………………….. 12

2. Konsep Dasar Kelong ………………………………………… 17

3. Implementasi …………………………………………………. 19

4. Pengertian Sastra ……………………………………………… 19

5. Sastra Makassar ………………………………………………. 23

6. Masyarakat Makassar ………………………………………… 41

7. Pranata Adat Masyarakat Makassar …………………………… 45

8. Nilai-nilai Kultural Masyarakat Makassar ………………………… 54

9. Pendekatan Nilai Kultural Sastra Kelong ……………………… . 56

B. Kerangka Pikir ………………………………………………………. 63

BAB III METODE PENELITIAN …………………………………………… 65

A. Jenis Penelitian …...…………………………………………………… 65

B. Desain Penelitian ……………………………………………………… 66

C. Data dan Sumber Data ………………………………………………… 66

D. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………. 67

E. Pengecekan dan Keabsahan Data ……………………………………… 68

F. Teknik Analisis Data …………………………………………………… 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………… 70

A. Penyajian Hasil Data …………………... ……………………………….70

1. Nilai Kelong dalam Kehidupan Masyarakat …………………….. 70

a. Abbulosibatang Accera sitongka-tongka …………………… 71

b. Sipakatau …………………………………………………… 77

c. Sirik napacce ……………………………………………….. 81

2. Implementasi Nilai Kelong dalam Masyarakat Makassar ………… 87

B. Pembahasan ……………... ………………………………………… .. 101

1. Abbulosibatang Accera sitongka-tongka ………………………. 101

2. Sipakatau ……………………………………………………… 101

3. Sirik napacce …………………………………………………. . 102

C. Implementasi Nilai Kelong dalam Masyarakat Makassar ………… 103

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 107

A. Simpulan …………………………………………………………… 107

B. Saran ………………………………………………………………… 109

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 111

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS ………………………………… 114

Lampiran-Lampiran ……………………………………………………… 116

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemahaman masyarakat terhadap budaya daerah saat ini masih sangat rendah, bahkan

memprihatinkan hampir di semua lapisan masyarakat, walaupun telah dipahami bahwa bangsa

Indonesia terdiri atas berbagai etnik, dan berbagai kultur. Berbagai macam etnik dan kultur

merupakan aset bangsa yang perlu dipelihara, dilestarikan, dan dipertahankan sebagai suatu

identitas bangsa, di tengah keterbukaan budaya dan sosial sebagai dampak modernisasi yang

menggelobal.

Pemahaman dan penggalian nilai budaya lokal merupakan suatu langkah untuk

membangun kelestarian budaya sekaligus turut menyokong ketahanan dan kelestarian budaya

nasional. Keanekaragaman budaya lokal perlu ditumbuh-kembangkan agar dapat memperkaya

khazanah budaya bangsa sehingga pada gilirannya akan tumbuh menjadi budaya nasional bangsa

Indonesia. Sekaligus menjadi aset kekayaan budaya bangsa Indonesia. (Latif, 2012: 1).

Kenyataan menunjukkan bahwa budaya lokal telah dikesampingkan serta mengalami

distorsi, terutama budaya lokal masyarakat yang komunitasnya relatif sedikit. Hal Ini

ditunjukkan dengan adanya penyeragaman budaya secara nasional. Ditambah lagi dengan

kebijakan yang belum memadai atau berpihak pada perlindungan dan pengembangan budaya

daerah, termasuk budaya daerah Makassar.

Salah satu budaya daerah Makassar yang terdapat di Sulawesi Selatan khususnya suku

Makassar adalah bahasa Makassar (Mangkasarak). Bahasa ini dipergunakan di berbagai kegiatan

misalnya; lembaga pendidikan, perdagangan, pertanian, politik, pemerintahan, dan kebudayaan.

Bahasa Makassar memiliki lambang dan aksara tersendiri yang disebut aksara lontarak, yang

diperkenalkan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke IX Daeng Matanre Daeng Manguntungi

Tumapa‟risi‟ Kallonna (Daeng Pamatte) .Pemberian nama lontarak ini menurut para ahli

lontarak berasal dari “ Huruf sa {◊} atau huruf belah ketupat, yang diambil dari lambang

kebesaran orang Makassar adalah lasugi. Lontarak berasal dari segi empat diartikan bahwa

manusia berasal dari empat unsur yakni : tanah, air, angin, dan api”. Naskah kuno yang ditulis

dengan aksara lontarak diberi nama sesuai dengan isi atau masalah yang diuraikan di dalamnya.

( Bantang, 2008: 6).

Naskah dapat dilihat sebagai hasil budaya yang merupakan hasil cipta sastra. Oleh karena

itu, hasil cipta sastra yang terdapat dalam teks merupakan suatu sarana penyimpanan dan

penyampaian pesan. Pesan yang disampaikan melalui teks ini mengemban fungsi tertentu, baik

berupa nilai-nilai, norma yang berlaku pada masyarakat tertentu, adat-istiadat, petunjuk, hukum,

dan hasil budaya yang lain. Baik bagi orang yang hidup pada zamanya itu maupun bagi generasi

berikutnya karena sastra tidak dibatasi zaman, ruang, dan waktu. Sastra dapat menembus batas

zaman, waktu, dan ruang. Sastra merupakan salah satu alat yang dapat menghubungkan

informasi dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu zaman ke zaman berikutnya, dan

dari daerah tertentu ke daerah lainnya.

Naskah yang terdapat di penjuru nusantara mengandung isi yang beraneka ragam.

Keanekaragaman isi naskah itu memuat berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang

mengandung aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, agama atau kepercayaan, bahasa, adat-

istiadat, dan keindahan (sastra). Demikian padatnya isi teks naskah klasik ini yang dapat memuat

catatan tentang berbagai aspek kehidupan manusia termasuk nilai kultural masyarakat yang

memiliki kebudayaan daerah.

Peninggalan budaya berupa naskah merupakan dokumen bangsa yang sangat tinggi

nilainya dan menarik untuk dikaji atau ditelaah oleh peneliti kebudayaan. Karena memiliki

beberapa kelebihan di antaranya, dapat memberikan informasi yang luas jika dibandingkan

dengan peninggalan yang lain, misalnya bangunan, candi, kuburan, dan benda kuno.

Naskah peninggalan nenek moyang masa lalu dapat berfungsi sebagai kebudayaan yang

berisi berbagai data dan informasi yang memuat berbagai aspek kehidupan manusia, baik dari

segi sejarah, sosial budaya, tata pergaulan, adat-istiadat, norma yang berlaku, maupun silsilah

masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Selain sumber informasi sosial budaya, naskah tersebut

juga memberikan informasi mengenai gaya bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat

di mana sastra itu lahir. Gaya bahasa khusus yang yang dipergunakan dalam naskah atau sastra

klasik yang berbeda dengan bahasa sehari-hari dalam bahasa linguistik disebut bahasa arkhais.

Naskah-naskah ini berupa benda (budaya) dengan tulisan tangan menggunakan aksara

huruf daerah atau aksara Serang (tulisan Arab Melayu). Naskah tersebut merupakan tulisan yang

bermakna. Mengandung makna, ide, gagasan, dan berbagai macam pengetahuan alam semesta

menurut persepsi budaya masyarakat yang bersangkutan. Misalnya ajaran moral, kepercayaan

(agama), filsafat, adat-istiadat, dan unsur-unsur lain yang mengandung nilai-nilai luhur menurut

masyarakat setempat.

Nilai (ajaran) luhur dari suatu masyarakat bahasa memberikan corak tertentu terhadap pola

tingkah laku sosial mereka. Selanjutnya, pola tingkah laku itu menciptakan pola situasi menurut

waktu dan tempat tertentu. Nilai-nilai sosial dan budaya tersebut menciptakan bentuk-bentuk

hubungan serta peran antar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. “Bentuk-bentuk

situasi sosial yang terjadi serta ketentuan-ketentuan peran antaranggota masyarakat yang

mengambil peran di dalamnya inilah yang memberikan petunjuk untuk penggunaan bahasa,

pemilihan kata dalam peristiwa kebahasaan (speech event), serta laku pertuturan (speech acts)

seseorang” (Yatim, 1983: 23).

Selanjutnya, perlu disadari pula bahwa nilai-nilai sosial-budaya bukanlah suatu aturan

yang statis, melainkan suatu perpaduan antara kebiasaan dan penerimaan secara suka rela yang

telah berlangsung turun-temurun yang mengikuti perubahan serta penyesuaian yang terjadi

menurut kondisi dan waktu pada masyarakat setempat di mana nilai-nilai itu dianut atau tumbuh.

Nilai-nilai yang terjalin dalam untaian sejarah, pengaruh alam dan lingkungan hidup, serta

pandangan dan sikap hidup masyarakat yang bersangkutan.

Hal yang kurang mendukung penggalian makna dan upaya memasyarakatan nilai-nilai

luhur yang terdapat di dalam naskah sastra Kelong adalah kurangnya kesadaran tentang arti dan

peranan naskah tersebut, dalam pembangunan nasional secara keseluruhan. Bahkan ada

kencenderungan makin terpinggirkannya nilai-nilai budaya daerah ini di tengah arus globalisasi

informasi dan komunikasi yang semakin terbuka.

Pengungkapan nilai budaya yang terkandung dalam naskah sastra Kelong, perlu

diangkat kepermukaan agar masyarakat, terutama generasi muda dapat mengetahui dan

mencintai budaya yang terkandung dalam naskah tersebut. Pada saatnya nanti mereka mampu

menjadikan penyaring terhadap budaya asing yang belum tentu lebih baik dan lebih

menguntungkan generasi penerus bangsa.

Indikasi terjadinya persaingan budaya asing dengan budaya lokal, adalah adanya

kecenderungan tenggelamnya kearifan nilai budaya lokal. Fenomena ini perlu mendapat

perhatian dari semua pihak agar khazanah budaya lokal masyarakat Makassar tidak punah.

Tinggal menyisakan nama, karena punahnya nilai-nilai budaya berarti kekayaan budaya yang ada

di dalamnya akan ikut punah.

Selain hal tersebut, yang dapat menghambat penggalian, pelestarian, dan pemahaman

kepada masyarakat terhadap nilai-nilai sosial budaya yang terdapat dalam naskah Kelong

diantaranya adalah; (1) jumlah orang yang dapat menulis atau membaca naskah klasik sangat

kurang, (2) jumlah ahli bahasa atau ahli sastra yang dapat memahami dan mengungkap nila-nilai

yang terdapat dalam naskah klasik sangat terbatas sehingga penggalian nilai-nilai luhur yang

terdapat dalam naskah sangat lamban, (3) naskah-naskah yang telah ditransliterasi dan diter-

jemahkan pun sangat kurang peminat dan pembacanya. Masyarakat lebih cenderung membaca

buku-buku yang berisi ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, di daerah-daerah pemilik

naskah itu sendiri minat generasi muda untuk membaca atau menerjemahkan naskah sangat

kurang. Orang yang mampu membaca dan memahami isinya pun semakin kurang karena usianya

yang semakin tua, (4) banyak naskah yang lepas dari pemiliknya karena hilang, rusak, atau dijual

kepada orang asing yang kemudian dibawa ke negaranya untuk diperjualbelikan karena harganya

yang relatif tinggi atau menjadi koleksi pribadi, (5) masih banyak naskah disimpan di rumah

penduduk bukan untuk dibaca melainkan disimpan sebagai benda pusaka yang dianggap

memiliki kekuatan gaib, dianggap sebagai warisan leluhur yang turun-temurun dan tidak bisa

dipindahtangankan untuk disimpan dan dipelihara oleh seseorang yang bukan keturunan

pemiliknya.

Kelong yang merupakan warna lokal sastra Makassar, selalu mengundang petualangan

imajinasi. Juga memberi harapan untuk tetap mempertahankan khas nusantara sebagai kesatuan

yang penuh dengan aneka kebudayaan tradisional masyarakat. Warna lokal itu memberi

keragaman sebagai mozaik kultural di dalam ranah kebudayaan nusantara.

Fungsi kelong sebagai salah satu karya sastra Makassar, tidak terlepas dari fungsi-fungsi

sastra pada umumnya. Menurut Finnegan (dalam Hakim 1998: 7), bahwa hal yang terpenting

dalam memahami tujuan dan fungsi karya sastra lisan adalah hubungannya dengan kepercayaan,

agama, pengalaman, dan lambang-lambang. Lebih jauh Hakim (1998: 7) mengemukakan bahwa

secara umum kelong Makassar memunyai fungsi merekam peristiwa dan pengalaman masa

lampau dan masa kini – dan juga masa kini karena sifat sastra yang mampu membayangkan

kehidupan yang akan datang – kelong selain dapat menimbulkan kesenangan dapat juga

memberikan pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga bagi kehidupan.

Dalam Kelong, banyak hal yang dapat diungkapkan, tidak saja sebatas budaya tetapi juga

mengenai nilai dan makna kultural kehidupan masyarakat Makassar. Naskah Kelong

mengandung falsafah hidup atau ajaran yang mendalam dan menurut penulis perlu diteliti,

diapresiasi dan diimplementasikan dalam konteks kehidupan sekarang. Di tengah semakin

tenggelamnya nilai-nilai karakter budaya lokal bangsa ini.

Sekarang ini masyarakat telah berada dalam belenggu peradaban pasar, produk-produk

budaya global yang digerakkan oleh pasar terus mendesak. Dan mulai menenggelamkan budaya

lokal. Seperti yang dikemukakan oleh Sutarto (2004: 1), bahwa peradaban pasar tidak hanya

mengubah gaya hidup lokal menjadi global, tetapi juga mewarnai, perkembangan, ketahanan dan

nasib berbagai produk kebudayaan dan peradaban yang berlabel lokal.

Kelong adalah salah satu jenis sastra lisan Makassar yang perlu dipertahankan

kelestariannya karena banyak mengandung nilai-nilai yang sangat berguna dalam kehidupan

umat manusia, khususnya masyarakat Makassar.

Kelong dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, tidak terlepas dari dua pandangan

yang bersifat dikotomis satu sama lainnya. Pertama, pandangan yang beranggapan bahwa kelong

semata-mata hanya memberikan hiburan, memberi kenikmatan batin, atau hanya sesuatu yang

bersifat indah dan menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya. Kedua, pandangan yang

beranggapan bahwa kelong itu bermanfaat, mendidik karena mengandung nilai-nilai kebenaran

dan kebaikan, mengajarkan moral yang baik. Sehubungan dengan kedua pandangan itu. Teew

berpendapat bahwa fungsi kelong sebagai sastra daerah haruslah bisa memberi nikmat, mengajar,

dan menggerakkan masyarakat untuk tetap menghidupkan fungsi-fungsi sastra pada umumnya.

Berdasarkan uraian tersebut, kelong perlu digali sehingga tampak nilainya dalam

masyarakat, dan terimplementasi nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat seperti pada prosesi

pernikahan, pesta adat, dan acara resmi yang bersifat lokal. Untuk itu ditetapkan judul dalam

penelitian ini adalah Nilai Kelong dan Implementasinya dalam Kehidupan Masyarakat Makassar.

B. Fokus Penelitian

Bertolak dari latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai

berikut.

1. Nilai yang terdapat dalam Kelong pada kehidupan masyarakat Makassar adalah: (a) abbulo

sibatang accera sitongka-tongka, (b) assipa-katau, (c) sirik napacce?

2. Implementasi nilai Kelong dalam kehidupan masyarakat Makassar dalam tatanan sosial

kemasyarakatan adalah: (a) prosesi pernikahan, (b) pesta adat, (c) acara resmi kenegaraan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui nilai apa sajakah yang terdapat dalam Kelong pada kehidupan masyarakat

Makassar dalam: (a) abbulo sibatang accera sitongka-tongka, (b) assipakatau, (c) sirik

napacce?

2. Mendeskripsikan implementasi nilai Kelong dalam kehidupan masyarakat Makassar

dalam: (a) prosesi pernikahan, (b) pesta adat, (c) acara resmi kenegaraan?

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis :

a. Memperoleh gambaran nilai yang terkandung dalam Kelong.

b. Untuk menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman serta implementasi nilai

yang terkandung dalam Kelong.

2. Manfaat Praktis :

a. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pengetahuan tentang nilai yang akan disampaikan kepada anak didiknya dalam

upaya pembinaan dan pengembangan budaya lokal, khususnya budaya Makassar

serta dapat menjadi referensi mata pelajaran muatan lokal bahasa daerah Makassar

di sekolah. Guru dapat lebih memahami nilai budaya yang tumbuh dan

berkembang di masyarakat pada anak didiknya.

b. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang

nilai budaya lokal yang hidup dan berkembang di masyarakat. Dapat menambah

kecintaan dalam mempelajari dan melestarikan budaya nenek moyang sebagai

warisan yang sangat berharga.

c. Bagi masyarakat etnis Makassar, penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber

informasi nilai dalam masyarakat Makassar yang diwariskan para pendahulu,

yang patut dipelihara dan dilestarikan. Khususnya generasi muda diharapkan

dapat memahami, mencintai, dan melestarikan budaya lokal yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat.

d. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai bahan referenasi bagi calon peneliti yang ingin

mengembangkan atau memperdalam kajian mengenai Sastra Makassar Kelong.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini dibahas konsep yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan.

Konsep-konsep yang dimaksud dapat dilihat pada uraian berikut.

1. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya

Suatu penelitian dapat mengacu pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya. Hal itu dapat dijadikan sebagai titik tolak atau acuan dalam penelitian. Oleh sebab

itu, tinjauan terhadap penelitian tedahulu sangat penting untuk mengetahui relevansinya.

Penelitian Sitti Hajrah (2010), yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan dalam Sastra Bugis

Klasik, bertujuan mengungkapkan nilai-nilai pendidikan di dalam cerita Pau-paunna Arung

Maceko-e, Pau-paunna Buaja-e Sibawa Tedong-e, Pau-paunna Latarenrek.

Hasil yang diperoleh bahwa usaha mengangkat sastra daerah, tidak berarti sengaja

memunculkan dan menonjolkan sifat kedaerahan. Akan tetapi, penelusuran dan pengkajian ini

dilakukan untuk mengangkat salah satu unsur budaya daerah yang merupakan kekayaan bangsa

yang sudah terbentuk dan terbina sejak dahulu secara tradisi. Selain itu, pengungkapan sastra

daerah yang memunyai nilai-nilai luhur, sampai sekarang ini, masih kurang tergali untuk

diwujudkan. Kenyataan menunjukkan bahwa minat masyarakat Bugis, terutama generasi

mudanya, masih sangat kurang terhadap sastra daerahnya. Sementara di pihak lain, orang yang

menguasai sastra daerah hanyalah orang-orang tertentu saja, seperti orang yang berusia lanjut,

yang jumlahnya sangat sedikit (Sabariah, 1997: 213-214).

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah kata yang

mengandung nilai pendidikan yang terdapat dalam cerita rakyat Bugis Pau-paunna Arung

Maceko-e, Pau-paunna Buaja-e Sibawa Tedong-e, Pau-paunna Latarenrek. Sumber data

penelitian adalah kumpulan cerita sastra Bugis klasik yang telah diterjemahkan ke dalam bentuk

tulisan, yang menyangkut aspek-aspek berikut; moral, kemanusiaan, falsafah hidup, dan budaya.

Dari hasil penelitian penulis menyimpulkan nilai pendidikan yang terdapat dalam cerita

Pau-paunna Arung Maceko-e, Pau-paunna Buaja-e Sibawa Tedong-e, Pau-paunna Latarenrek.

Mencakup aspek moral, aspek kemanusiaan, aspek falsafah hidup, dan aspek nilai-nilai

pendidikan. Oleh sebab itu, penelitian sastra daerah Bugis perlu dikembangkan agar tetap

menjadi warisan kepada generasi etnis Bugis khususnya dan masyarakat Sulawesi Selatan pada

umumnya.

Lain halnya, penelitian Muhammad Ali (2010), yang berjudul Kelong dalam Perspektif

Hermeneutika. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan a) struktur kelong, b)

fungsi kelong, dan c) nilai kelong. Jenis penilitian ini adalah kualitatif. Peneliti sebagai

instrument kunci. Klasifikasi data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut; menelaah

teks kelong yang telah ditranskrip oleh peneliti, menelaah hasil penelitian dan tulisan yang

berkaitan dengan budaya dan sastra Makassar, melakukan wawancara mendalam dengan tokoh

dan pakar budaya, dengan menggunakan alat tulis, perekam, wawancara, dan kaji dokumen.

Hasil penelitian yang dilakukan Ali (2010) ditemukan struktur kelong yang meliputi

struktur makro, super struktur, dan struktur mikro. Sebagaimana dikemukakan oleh Van Dijk,

bahwa ia melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur atau tingkatan yang masing-masing

bagian saling mendukung.

Struktur makro merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat dipahami

dengan melihat topik (tema) dari suatu teks (tematik). Tema-tema wacana ini bukan hanya isi

tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. Jadi, struktur makro suatu kelong merupakan makna

global/umum dari teks kelong yang dapat dipahami dengan melihat berbagai topik yang

ditampilkan. Topik-topik yang ditampilkan merupakan realitas masyarakat etnik Makassar dalam

bertindak, bersikap, dan bertingkah laku. Realitas yang ditampilkan tersebut terikat oleh norma-

norma kehidupan ummat manusia secara universal. Berbagai amanat dan pesan disampaikan

yang berhubungan dengan tata kehidupan masyarakat Makassar.dalam menjalani hidup dan

kehidupannya. Contoh penerapan budaya siri na pacce dalam kelong berikut.

Sirik pakcea ri katte

kontu balla ia benteng

ia pattongkok

ia todong jari rinring

Artinya

Malu pedih pada kita

ibarat tiang pada rumah

juga atap

dia juga menjadi dinding

Super struktur, sebagaimana yang dikatakan Van Dijk (1998), bahwa teks yang bersifat

mikro dan makro di samping mempresentasikan marjinalisasi suatu komunitas dalam wacana

naratif, juga menggambarkan nilai-nilai masyarakat tertentu yang dipahami oleh kognisi penulis.

Kelong sebagai wacana yang menyajikan ideologi tertentu juga menampilkan super struktur yang

terdiri atas tampilan awal, tampilan tengah, dan tampilan akhir.

Struktur mikro. Menurut Eryanto (2001) bahwa struktur mikro adalah struktur yang

mengkaji makna yang dapat diamati dengan menganalisis kata (diksi) atau pilihan kata (stilistik)

dan bentuk kalimat (sintaksis). Dalam pandangan Van Dijk (1998) bahwa segala teks dapat

dianalisis dengan menggunakan elemen tersebut di atas, semua elemen merupakan suatu

kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya.

Dari segi aspek nilai kelong ditemukan nilai religius siri na pacce, nilai filosofis siri na

pacce, nilai etis siri na pacce, dan nilai estetis siri na pace. Jelas sekali ungkapan siri na pacce,

ini mewarnai segala aspek nilai-nilai kehidupan orang Makassar. siri na pacce, ini banyak

terimplementasi ke dalam kelong baik secara tersurat maupun secara tersirat.

Keberadaan kelong dalam sastra lisan Makassar mendeskripsikan pola kehidupan

masyarakat etnik Makassar dalam bersikap, bertindak, dan bertingkah laku. Kelong memiliki

struktur, nilai, dan fungsi.

Peneliti menyarankan agar pengambil kebijakan pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan,

khususnya daerah yang menggunakan bahasa Makassar menjadikan hasil penelitian ini sebagai

salah satu materi pelajaran bidang bahasa, sastra daerah dan budaya (muatan local) di berbagai

jenjang pendidikan. Khususnya pada jenjang pendidikan dasar.

Sementara penelitian Hakim (2007) yang berjudul Tafsir Kelong bertujuan untuk: (1)

mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam kelong Makassar; (2) mendeskripsikan

nilai-nilai religius yang terdapat dalam kelong Makassar; (3) mendeskripsikan pesan-pesan yang

terdapat dalam kelong Makassar; (4) mendeskripsikan kontribusi nilai kelong Makassar terhadap

siswa usia pendidikan dasar.

Menurut Hakim (2007) kurang diminatinya kelong Makassar oleh generasi muda dan

orang tua pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, rendahnya

penyebaran/sosialisasi kelong dari generasi tua (tau toa) ke generasi muda (tau lolo), hingga ke

anak-anak (tau caddi). Hal ini berdampak pada kurangnya minat generasi muda untuk

mempelajari kelong. Kedua, adanya intervensi kebudayaan luar yang begitu kuat dan

mengalahkan kebudayaan lokal. Ketiga, sastra lisan kelong yang ada, belum dieksplorasi

dengan baik, sehingga masyarakat kurang tertarik. Dengan demikian diperlukan kebijakan

pemerintah agar sastra lisan diajarkan secara berkesinambungan di lembaga-lembaga pendidikan

formal, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Pemerintah melalui Dinas Pendidikan

perlu melakukan pembinaan dan pengembangan terprogram secara kontinyu agar kelong dalam

pemahaman apresiasi dapat diajarkan secara wajib di masing-masing sekolah.Selama ini dalam

pelajaran Bahasa Daerah Makassar hanyalah materi sebatas kemampuan kebahasaan, tidak

menyentuh ruang-ruang apresiasi sastra daerah.

Di samping itu, lemahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra lokal karena

hilangnya kebiasaan-kebiasaan lokal yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah

masyarakat. Salah satu penyebab hilangnya kebiasaan-kebiasaan local, karena adanya kebijakan

pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Undang-Undang ini, ibarat mesin penggilas bagi kehidupan kebudayaan lokal. Dengan Undang-

Undang ini pula, desa-desa tidak lagi mengenal konsep wanua, konsep borik, tetapi semua telah

diseragamkan menjadi konsep lurah, yang pada akhirnya berdampak pada tercabuknya

kebiasaan-kebiasaan masyarakat.

Dengan melihat beberapa hasil penelitian sebelumnya, maka penulis berkesimpulan

bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama ingin

menggali potensi-potensi budaya daerah (lokal) dari pengaruh kebudayaan asing. Perbedaannya

ada yang mengkaji cerita Pau-paunna Arung Maceko-e, Pau-paunna Buaja-e Sibawa Tedong-e,

Pau-paunna Latarenrek. Ada pula yang mengkaji Kelong dalam Perspektif Hermeneutika,

sehingga menemukan struktur kelong, penerapan budaya siri na pacce dalam kelong. Peneliti

lain mengkaji tafsir kelong dan kontribusi nilai kelong Makassar terhadap siswa usia pendidikan

dasar. Sementara penulis sekarang tertarik untuk mengkaji nilai kelong dan implementasinya

dalam kehidupan masyarakat Makassar.

2. Konsep Dasar Kelong

Kelong merupakan salah satu jenis karya sastra Makassar yang sangat tua. Bagi

masyarakat Makassar, kelong mendapat tempat tersendiri karena segala perasaan suka dan duka

yang dialami oleh masyarakatnya disampaikannya melalui kelong. (Basang dan Salmah Djirong,

1997; 20)

Menurut Basang dan Salmah Djirong (1997: 19), bentuk kelong dapat dibandingkan

dengan pantun, yang masing-masing teridiri atas empat baris dalam satu bait. Namun, demikian,

terdapat juga perbedaan antara lain;

1. Kelong tidak mementingkan sajak, akan tetapi tidaklah berarti bahwa di dalam kelong tidak

terdapat sajak sama sekali.

2. Tidaklah menjadi syarat bagi kelong bahwa baris pertama dan kedua merupakan sampiran,

seperti pada pantun.

3. Ditinjau dari sudut kesatuan suara yang terdapat pada tiap-tiap baris, yang kalau diteliti

lebih jauh kesatuan suara itu terwujud pula dalam kesatuan sintaksis yang berupa kata atau

kelompok kata, maka kelong itu tergolong ke dalam puisi. Jika ditinjau dari segi jumlah

suku kata tiap baris maka kelong berpola suku kata 8. 8. 5.8

Contoh

Kuminasaiko sunggu

Kutinjakiko matekne

Manna pucuknu

Tangkennu mateknengaseng

Artinya

Saya inginkan engkau sejahtera

Saya nazarkan engkau bahagia

Biar pucukmu

Rantingmu bahagia selalu

3. Implementasi

Implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai

pelaksanaan atau penerapan. Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan rencana yang

telah disusun dengan cermat dan rinci. Implementasi tidak hanya sebatas aktivitas tetapi suatu

kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan dengan serius dan mengacu pada norma-norma

tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.

Usman, (2002: 70). Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau

adanya mekanisme suatu sistem. Bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan terencana dan

untuk mencapai tujuan kegiatan.

Dalam penelitian ini Implementasi merupakan penerapan atau pelak-sanaaan nilai kelong

dalam kehidupan masyarakat Makassar.

4. Pengertian Sastra

Kata kesusastraan berasal dari bahasa sansekerta. Kata kesusastraan terbentuk dari kata

susastra yang mendapat imbuhan ke-an. Susastra berarti tulisan atau karangan yang indah dan

baik, imbuhan ke-an bermakna segala hal atau sesuatu yang berhubungan dengan sastra. Kata

kesusastraan dapat diartikan sebagai segala nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang

indah.

Sastra adalah ciptaan manusia, baik tulisan maupun lisan yang dapat menimbulkan rasa

senang. Dalam Theory of Literature karangan Rene Wellek dan Austin Warren dalam Teori

Kesusastraan dinyatakan ciri-ciri atau sifat-sifat kesusastraan antara lain; Fiction (rekaan),

Imagination (daya angan), dan invention (daya cipta) (Wellek dan Warren,1995: 12 -15).

Wellek dan Warren, (1995: 110) menerangkan keterkaitan sastra dengan masyarakat,

bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan manusia, tetapi keliru kalau dianggap

mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan proses penciptaan karya sastra

selain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat, juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi

dalam diri penulis. Kondisi tersebut dapat berupa cara pandang seorang penulis terhadap dunia

dan masyarakat secara utuh baik dari segi negative maupun positif. Oleh karena itu karya sastra

dikatakan sebagai hasil cipta manusia yang merupakan hasil imajinasi dan refleksi seorang

penulis dari suatu hal yang ia rasakan, ia lihat, ia dengar, dan yang terjadi dalam masyarakat.

Dengan demikian jelaslah bahwa ada hubungan yang erat antara sastrawan, sastra dan

masyarakat. Sastra itu hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga

perkembangan dan kelestarian suatu karya sastra, khususnya sastra daerah sangat dipengaruhi

oleh seberapa tinggi kecintaan masyarakat terhadap sastra daerah itu sendiri.

Selain itu, karya sastra merupakan pengungkapan ide dari hasil pengamatan kehidupan

sastrawan atau kehidupan sekitarnya. Karya sastra adalah kehidupan buatan atau kehidupan

rekaan sastrawan tentang kehidupan di sekitarnya. Kehidupan di dalam karya sastra adalah

kehidupan yang diwarnai oleh sikap atau pandangan penulisnya baik yang dipengaruhi oleh latar

belakang pendidikan, agama, sosial dan sebagainya. Oleh karena itu, kebenaran atau kenyatan

dalam karya sastra tidak mungkin sama dengan kehidupan nyata di sekitar kita. Kebenaran di

dalam karya sastra adalah kebenaran pikiran (hayal) bukan kebenaran konkret yang disaksikan

oleh indra namun kebenaran yang lebih cenderung bersifat imajinasi.

Karya sastra adalah pengungkapan hidup dan kehidupan yang dipadu dengan daya

imajinasi dan kreasi seorang pengarang serta dukungan pengalaman dan pengamatannya atas

kehidupan nyata.

Sesungguhnya karya sastra, khususnya kelong memiliki kemampuan yang dapat

memengaruhi perasaan penikmatnya. Sastra dapat memberikan pengaruh yang amat besar

terhadap cara orang berpikir mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah, dan cara

hidupnya sendiri serta bangsanya. Selain itu juga dengan apresiasi masyarakat terhadap kelong

dapat mengetahui pikiran dan perasaan seseorang. Hal itu tidak mengherankan karena karya

sastra lahir sebagai perwujudan gejolak nurani sastrawan dalam berhadapan dengan hidup dan

kehidupan ini.

Sastra ialah seni pertunjukan dalam kata-kata dan memiliki kekuatan untuk menghibur

dengan adanya kata-kata yang menjadi komponen penting sastra juga memiliki potensi mengajar.

Karya sastra sebagai hasil kreatif yang memiliki sifat-sifat imajinatif karena menggunakan kata-

kata yang indah dan gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik dan dapat dinilai baik, bila

perpaduannya harmonis antara isi, bahasa dan cara mengungkapkannya. (Ariani, 2016: 1).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan tentang pengertian sastra. Sastra adalah

karya imajinatif yang menggunakan media bahasa yang nilai atau unsur estetikanya dominan.

Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Ia terikat

oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai

mediumnya, dan bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran

kehidupan, mencakup hubungan antara masyarakat, antara masyarakat dengan masyarakat,

antara masyarakat dengan perorangan, antara manusia dan antara peristiwa dan batin seseorang.

Yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau

masyarakat.

Sastra sebagai bagian hidup masyarakat, khususnya kesusastraan tradisional, merupakan

salah satu bentuk pengungkapan nilai-nilai kesenian tradisional yang diharapkan dapat

menjadikan manusia semakin menjadi manusia. (Hakim, 2007; 5).

Karya sastra tidak hanya berfungsi sebagai media alternatif yang dapat menghubungkan

kehidupan manusia masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang, tetapi juga dapat

berfungsi sebagai bahan informasi masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban

manusia ke arah kehidupan yang lebih baik (Tang, 2008: 1). Sastra merupakan alat menyampai

informasi dari satu zaman ke zaman yang lain, dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya. Sastra

dapat menembus batas zaman, generasi, dan wilayah, tidak ada pembatas antara satu generasi ke

generasi berikutnya begitu juga zaman dan daerah atau negara.

Sesuatu yang disampaikan oleh sastrawan dalam karyanya adalah tentang manusia dan

segala macam perilakunya. Kehidupan manusia tersebut diungkapkan lengkap dengan nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat menambah kekayaan batin

setiap individu dalam kehidupannya. Karya sastra mampu menjadikan manusia memahami

dirinya dengan kemanusiannya. Kehidupan dalam karya sastra adalah kehidupan yang telah

diwarnai dengan sikap penul;isnya, pendidikan penulis, keyakinan, dan sebagainya.

5. Sastra Makassar

Karya sastra merupakan wujud ungkapan perasaan pengarang. Jika dilihat dari sifatnya,

maka karya sastra merupakan karangan fiksi atau nonilmiah. Seperti juga karangan lain, karya

sastra dibuat pengarang dengan maksud untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan sesuatu

kepada pembacanya. Hanya karena sifat dasarnya yang berbeda dengan karangan lain, sesuatu

yang dikomunikasikan juga berbeda.

Karya sastra merupakan hasil perpaduan harmonis antara kerja perasaan dan pikiran.

Sastra merupakan pancaran emosi yang dikendalikan oleh pikiran-pikiran yang agung. Karya

sastra bukan hanya mementingkan isi dan bentuknya, tetapi karya sastra selalu berusaha

memadukan kedua unsur tersebut dalam kesatuan yang kental. Karya sastra selalu bersifat etis

dan estetis. Oleh karena sifat sastra yang demikian, mempunyai kemampuan yang lebih keras

dan kuat mempengaruhi perasaan-perasaan penikmatnya.

Setiap yang terjadi dalam kehidupan ini terkandung nilai atau hikmah yang dapat diambil

manfaatnya. Untuk dapat mengambil atau menangkap nilai-nilai tersebut, diperlukan kepekaan

dan kearifan. Bagi masyarakat awam, hal yang tidak berarti, bisa menjadi sengat berarti bagi

pengarang. Sesuatu yang dianggap tidak berarti oleh masyarakat pada umumnya itu diolah oleh

pengarang kemudian diwujudkan kembali dalam bentuk karya sastra.

Junaedie, (1992: 165). Karya sastra memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai hiburan dan di

lain sisi berusaha memberikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan. Sehubungan dengan

nilai yang terdapat dalam karya sastra, betapa pun rumit dan sederhananya karya sastra di

dalamnya selalu mengandung fungsi. Karya sastra “Betapa pun sederhananya dan betapa pun

rumitnya ia senantiasa memuat dua hal yaitu, (1) keindahan dan kenikmatan, dan (2) ide,

gagasan, dan ajaran.

Di kalangan orang Makassar, sejak dahulu telah mengenal bahasa berirama atau sastra.

Orang Makassar menggunakan sebagai bahasa sehari-hari, salah satu contoh apabila seorang

calon mempelai laki-laki akan meminang seorang perempuan dicarilah orang yang mampu

bersilat lidah dan melontarkan bahasa-bahasa kiasan agar pinangannya diterima pihak wanita.

Sama halnya seorang ibu yang akan menidurkan anaknya dalam buaian, diperdengarkanlah

Kelong yang penuh harapan.

Kelong yang dituturkan agar anak mendengarkan irama lagu dan merasuki pikiran anak

tersebut, pantun atau kelong masih sering diucapkan orang tua. Kelong yang penuh pesan, kelong

yang berisi pendidikan, kelong yang berisi petuah, namun kelong seperti ini sekarang banyak

dilupakan generasi muda, terpinggirkan oleh sastra yang datang dari barat. Macam-macam

sastra Makassar, yaitu:

a. Kelong

Kelong sebagai salah satu bentuk kesusastraan Makassar, di dalamnya mengandung

renungan dan kearifan yang tergambar melalui kesatuan dan kepadatan makna. Kesatuan dan

kepadatan makna tersebut, setidaknya dapat dilihat di dalam fungsi-fungsi sastra pada umumnya.

Kelong sebagai karya sastra Makassar yang sudah sangat tua, bagi masyarakat Makassar,

kelong mendapat tempat tersendiri karena segala perasaan suka dan duka yang dialami oleh

masyarakatnya disampaikan melalui kelong.

Secara umum, kelong mempunyai lima fungsi, yaitu: (1) kelong sebagai media

pendidikan; (2) kelong sebagi media hiburan; (3) kelong sebagai pembangkit semangat juang; (4)

kelong sebagai media komunikasi, dan (5) kelong sebagai produk dan pelestari budaya.

(1) Kelong sebebagai Media Pendidikan

Sebagai salah satu produk dan perekam budaya di satu sisi sekaligus sebagai bagian dari

kekayaan rohani disisi lain, kelong dapat berperan sebagai sarana untuk mempertinggi budi

pekerti masyarakat. Salah satu peranannya adalah sebagai media pendidikan. Nilai-nilai

pendidikan yang dituangkan di dalamnya, sebagai garis besarnya dapat dipilah menjadi dua

macam, yakni pertama, nilai pendidikan yang bersifat keagamaan. kedua, nilai pendidikan yang

bersifat sosial kemasyarakatan.

(2) Kelong sebagai Media Hiburan

Salah satu fungsi kelong yang sangat menonjol adalah sebagai media hiburan. Fungsi hiburan

yang dimaksudkan adalah munculnya suasana senang dan tentram yang disebabkan oleh

penyampaian kelong. Baik yang didengarkan dengan iringan musik tertentu maupun yang

disampaikan secara biasa. Biasanya kelong disampaikan pada acara-acara tertentu, misalnya

pesta perkawinan, naik rumah baru, dan sunatan. Kelong yang disampaikan pada acara-acara

seperti itu adalah kelong yang diiringi dengan alat musik tertentu, misalnya kelong yang berjudul

Anging Mammirik dan yang berjudul Sulawesi Pakrasanganta Adapun kelong yang disampaikan

secara biasa (tanpa alat musik dan kadang-kadang tidak didendangkan) lazimnya disampaikan

pada waktu istrahat setelah melaksanakan suatu pekerjaan. Selain itu, kelong demikian biasa

digunakan sebagai bumbu pembicaraan untuk menghidupkan suasana, yang kadang diikuti

dengan gelak tawa yang riang gembira.

Salah satu kelong yang sangat popular di kalangan muda-mudi, terutama di desa adalah kelong

Battu ratema ri bulang. Kelong ini termasuk kelong tekne pakmaik atau kelong gembira. Ketika

berkumpul di malam hari menikmati indahnya bulan purnama. Kelong ini biasa dinyanyikan

oleh para muda-mudi. Dalam suasana santai, akrab dan cenderung kocak itu, mereka benar-benar

memanfaatkan kelong sebagai sarana hiburan.

Berikut ini adalah Kelong Battu ratema ri bulang;

Battu ratemak ri bulang

Makkutaknang ri bintoeng

Apa kananna

Bunting lompojako sallang

Battu ratemak ri bulang

Suro ciniki limangku

Lima patannung

Karemeng padawa-dawa (Basang, 1988: 25)

Artinya

Aku datang dari bulan

Bertanya kepada bintang

Apa katanya

Aengkau akan kawin ramai

Aku datang dari bulan

Memperlihatkan tanganku

Tangan penenun

Jemari pandai memasak

Kelong di atas sering pula dinyanyikan secara bergantian oleh kalangan muda-mudi. Caranya,

bait pertama didendangkan oleh remaja putra kemudian disambut oleh remaja putri pada bait

kedua. Suasana gembira seperti ini sekaligus dimanfaatkan oleh mereka untuk saling bertemu

dan mengungkapkan isi hatinya.

(3) Kelong sebagai Pembangkit Semangat Juang

Semangat juang yang dimaksudkan dan tulisan ini tidak hanya terbatas pada suasana perang.

Tetapi semangat juang dalam arti yang seluas-luasnya. Misalnya dalam bidang usaha,

membekali diri dengan ilmu pengetahuan, bahkan di dalam menghadapi liku-liku kehidupan di

dunia ini, semangat juang sangat dibutuhkan. Tanpa semangat juang, usaha apapun yang

dilakukan pasti tidak akan membawa hasil yang maksimal. Kenyataan telah membuktikan bahwa

hanya dengan semangat yang disertai dengan kesadaran yang tinggi dan keterampilan yang

memadai serta doa seseorang akan dapat berhasil dari usahanya.

Berikut kelong pembangkit semangat juang;

Takungjunga bangun turuk

Naku guncirik gulingku

Kualleanna

Tallanga natowaliya

Artinya

Takkan kuturutkan alunan arus

Kemudi telah kupasang

Aku lebih baik tenggelam

Dari pada surut kembali

(4) Kelong sebagai Media Komunikasi

Kelong sebagai media komunikasi merupakan sarana penyampai informasi kepada orang lain.

Informasi itu dapat berupa petuah misalnya hal-hal apa saja yang harus dilakukan seseorang dan

hal-hal apa saja yang seharusnya dihindari. Informasi dapat pula berupa gambaran luapan

perasaan cinta sang pemuda yang perlu diketahui dan ditanggapi oleh sang gadis.

Kelong dalam kapasitasnya sebagai media komunikasi ada yang bersifat langsung dan ada pula

yang tidak langsung. Yang dimaksud dengan komunikasi langsung adalah informasi yang

dituangkan lewat kelong dan memerlukan tanggapan secara spontan dari pendengar atau

pembaca pada waktu yang bersamaan. Kelong yang seperti itu biasanya berisi luapan perasaan

cinta kepada seseorang.

Sementara komunikasi tak langsung dari kelong adalah informasi yang dituangkan dalam kelong

dapat ditanggapi oleh siapa saja dan dimana saja, tetapi tidak secara spontan. Tanggapan

terhadap informasi yang tertuang dalam bentuk komunikasi seperti itu memerlukan rentetang

waktu yang cukup jauh. Isinya antara lain, menyangkut masalah pendidikan pada umumnya.

Kajian-kajian terhadap nilai-nilai yang tertuang dalam kelong tersebut.

Salah satu contoh bentuk komunikasi langsung dalam kelong dapat dilihat pada kelong berikut;

Pemuda : Nampako makcuklak lebong

Nakurompong-rompong memang

Lompoko naik

Kutambai pakrompongku

Pemudi : Apa kicinik rinakke

Nakke lekleng kodi-kodi

Inakke tuna

Nakke cakdi simbolengku

Pemuda : Mannu lekleng mannu kodi

Manna cakdi simbolengnu

Tiktik matangku

Kalakbusang pangngaingku

Artinya

Pemuda : Sejak adik tumbuh seperti rebung

Adik telah kupagar

Semoga adik cepat besar

Pagarku semakin kuperkuat

Pemudi : Apa yang kakak lihat pada diriku

Aku miskin dan tidak cantik

Aku orang biasa

Sanggulku pun kecil

Pemuda : Walaupun hitam dan tidak cantik

Walaupun kecil sanggulmu

Adiklah titik pandanganku

Dan sasaran kasih sayangku

Kelong di atas menggambarkan arus komunikasi timbal balik antara seorang pemuda dengan

seorang gadis. Perasaan cinta yang bergejolak di dalam hati sang pemuda dilahirkan dalam

bentuk kelong. Sang gadis pun langsung menyatakan isi hatinya lewat sebuah kelong pula.

(5) Kelong sebagai Produk dan Pelestari Budaya

Kelong merupakan produk sekaligus sebagai perekam budaya. Disebut produk budaya

karena kelong merupakan hasil perenungan batin atau pemikiran yang cemerlang dari kelompok

etnis Makassar yang berisi berbagai hal yang cukup bermanfaat di dalam kehidupan. Apa yang

dituangkan dalam kelong tentu merupakan refleksi atau potret serta gambaran pengalaman

penciptanya yang diwarnai oleh lingkup budayanya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika

dikatakan bahwa untuk mengetahui pandangan dan falsafah hidup, pengetahuan, serta pemikiran

orang-orang Makassar terhadap sesuatu. Kelong merupakan sesuatu hal yang dapat

mengungkapkan hal tersebut.

Dari hal itu, fungsi kelong dikatakan sebagai produk budaya dan disisi lain merupakan

perekam budaya dalam masyarakat. Dalam kapasitasnya sebagai pelestari budaya baik berupa

pengalaman, pandangan, dan falsafah hidup maupun yang lain-lain. Terekam dalam bentuk

karya sastra berupa kelong Makassar. Sehingga perlu untuk tetap menggali dan mengapresiasi

kelong sebagai pelestari budaya.

Menurut adat kebiasaan pada suku Makassar pada acara perkawinan, pihak laki-laki yang

melamar perempuan. Pada acara melamar dipilih orang tua yang arif dan bijaksana, sopan, dan

pandai membalas kelong dari pihak perempuan. Dalam acara meminang ini diadakan silat kata

dengan berbalas kelong antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan yang masing-masing

pihak diwakili oleh seorang bijak dan pandai.

Contoh kelong meminang

Niaka anne ammempo

Angngerang kasi asiku

Sabak niakna

Hajakku lakupabattu

Artinya:

Kamilah datang meghadap

Membawa kemiskinanku

Adanya hajat

Inginlah kusampaikan

Saat ini pertunjukan kelong sisila-sila memang semakin menurun, karena tergeser oleh

alat musik modern. Padahal alat musik sisila ini menarik untuk ditonton dan ditelaah isinya,

karena kandungan syairnya banyak mengandung nasihat dan ajakan yang sangat berguna untuk

dijadikan pedoman dalam kehidupan.

Kelong sisila-sila dinyanyikan berbalas pantun antara perempuan dengan pemain kecapi,

dan juga ada kalanya untuk menghangatkan suasana penonton atau pendengar, biasa berbalas

syair dengan pemain kecapi. Berbalas pantun atau kelong sisila-sila, biasanya banyak

mengandung nasihat mengajak para pendengar untuk berbuat kebaikan atau syair-syair yang

bermakna sangat dalam.

b. Sinrilik

Sinrilik adalah suatu cerita yang tersusun rapi, dengan bahasa yang berirama tersusun

secara puitis biasanya dilagukan oleh ahlinya, yakni seorang pasinrilik dan diringi dengan

sebuah instrumen gesek yang disebut kesok-kesok atau kerek-kerek gallang (rebab) (Bantang,

2008: 8). Lantunan irama dan lagu cerita yang dibawakan pasinrili tersusun baik, seorang

pasinrili mampu menuturkan cerita sepanjang malam yang penuh imajinasi, dan membuat orang

terpukau karena tingkahnya.

Sinrilik tergolong dalam dalam prosa berirama sastra lisan Makassar. Sinrilik merupakan

suatu teks cerita yang dibawakan secara puitis dan berirama serta dimainkan oleh seorang ahli

atau juru cerita yang dinamakan pasinrilik. (Anshari. 2011: v).

Kemampuan dan keberhasilan seorang dalang atau pasinrilik, didukung unsur cerita yang

menarik serta alat yang digunakan pemain musik mampu meng-hanyutkan pikiran pendengar

begitu pula suasana yang semakin hidup. Sinrilik merupakan salah satu jenis kesenian tutur

yang sangat popular di kalangan orang Makassar.

Sinrilik dapat dianggap suatu manifestasi berpikir bagi orang Makassar. Se-bagai suatu

etnis yang pada masa lampau, pernah mempunyai masa kejayaan yang memuncak, sehingga

mampu menghidupkan nilai-nilai budaya yang tinggi, dan etika yang kuat sampai sekarang.

Norma-norma itu masih melekat dalam alur cerita sinrilik.

Sinrilik merupakan salah satu sumber nilai bagi orang Makassar (Gowa) hal ini tampak

jelas dalam fungsinya sebagai sumber informasi yang baik, serta dapat mempengaruhi

masyakatnya dengan cepat. Sebagai hiburan dan sumber informasi, Sinrilik mempunyai

tantangan di masa yang akan datang. Apabila seorang penutur (pasinrilik) tidak sanggup menata

kembali materi-materi yang dibawakan dalam cerita, begitu pula penampilan penuturnya sendiri.

Apabila isi dan penampilan pasinrtilik tidak mampu diperbaiki atau ditata sesuai dengan

kebutuhan pendengar maka jenis sastra ini akan ditinggalkan oleh pendengar dan generasi muda

khususnya, lebih memilih cerita yang sumbernya dari barat. Dengan demikian, sastra daerah

semakin dilupakan dan ditinggalkan.

Perkembangan dan perjalanan sinrilik memang banyak yang menceritakan tentang

hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, selain itu, sinrilik juga

merupakan media penyampaian berita pada masyarakat dan pemerintah. Sinrilik yang dibumbui

dengan cerita yang menarik, pasti memikat masyarakat pendengar untuk menyimak isinya,

maksud, dan kandungan dari sinrilik tersebut. Sinrilik terbagai menurut isinya. Misalnya: tentang

cinta Sinrilik I Baso Mallarangang, tentang perjuangan Sinrilik Kappala Tallung Batua, Sinrilik

Perang Makassar, tentang agama Sinrilik Syeh Yusuf Al-Mahasin, dll.

Sastra sinrilik selain sebagai seni tradisi pertunjukan rakyat juga sebagai seni sastra prosa

liris. Sebagai seni pertunjukan, aspek dramaturgi menjadi bagian yang sangat penting dalam

tradisi penuturan sinrilik. Sebagai penutur sinrilik (pasinrilik, naskah atau teks cerita,

pendampingan, penonton, dan alat musik pengiring. Sebagai seni sastra prosa liris, aspek

fiksionalitas menjadi bagian yang sangat penting dalam cerita sinrilik, seperti alur, tokoh dan

penokohan, latar, sudut pandang penceritaan, perwatakan, dan gaya bahasa.

Perkembangan tradisi penuturan sinrilik termasuk lamban dan cenderung mengalami

kemunduran. Kelangkaan pasinrilik, minat generasi muda yang sangat minim, dan intensitas

pertunjukan tradisi penuturan yang sangat kurang merupakan beberapa indikator yang

menunjukkan bahwa perhatian masyarakat etnis Makassar terhadap seni sastra lisan sangat

rendah dan kurang menggembirakan. (Anshari, 2011: 396)

c. Rupama atau Dongeng

Rupama adalah bentuk teater tutur yang selalu dilantunkan oleh seorang ibu atau nenek-

nenek ketika mengajak anak atau cucunya tidur, atau diceritakan menjelang sang anaknya atau

cucunya tidur. Rupama menggunakan bahasa tutur yang baik, berisi petuah atau nasihat agar

anak yang mendengar dongeng (rupama) itu dapat menangkap dan mengambil contoh sifat-sifat

yang baik dari cerita tersebut sehingga anak yang mendengarkan diharapkan dapat meniru

sifat yang baik dan menjauhi sifat yang tidak baik. Contoh sifat yang tidak baik biasa dikiaskan

dengan pantangan (kasipalli). Pantangan adalah sistem melarang anak untuk tidak melakukan

hal-hal yang tidak baik atau dilarang, atau cara mendidik untuk menuntun anak menanamkan

sifat yang baik dan disiplin.

Seorang parupama, memang harus menghapal alur cerita yang akan disajikan, mampu

menyajikan dalam bahasa lisan yang menarik, bahkan kadang-kadang harus disisipi lakon yang

lucu. Atau si parupama membawakannya dengan lagu.

Rupama tidak lagi populer di kalangan masyarakat Makassar walaupun masyarakat yang

tinggal di pedesaan masih ada yang selalu mendendangkan anak cucunya. Rupama zaman

sekarang tergeser dengan beberapa tayangan khusus anak-anak di televisi sehingga sang anak

lebih senang melihat tayangan-tayangan khusus anak-anak tersebut dibandingkan mendengarkan

rupama yang disampaikan oleh orang tuanya atau neneknya.

Namun demikian, kalau rupama ini diolah dan digarap dengan baik, akan membangkitkan

minat anak-anak untuk mengikuti cerita-cerita yang disajikan oleh parupama. Di sini dituntut

kemampuan parupama dalam menyampaikan cerita, misalnya kemampuan menyusun alur cerita,

kemampuan berakting, diksi, dan kemampuan memilih tema cerita sesuai dengan perkembangan

kemajuan zaman. Tidak hanya menceritakan kura-kura dan moyet, kancil dan buaya, I Nojeng

tetapi mampu memilih cerita-cerita yang lucu lainya.

d. Aru

Aru adalah jenis karya sastra Makassar yang berisi kalimat-kalimat sumpah setia yang

penuh keberanian yang diucapkan oleh salah seorang tubarani, atau wakil dari salah seorang

gallarang di hadapan raja. Susunan kalimatnya ringkas dan mengandung makna kesetiaan

masyarakat yang diwakili oleh tubaraninya.

Orang yang akan menyampaikan sumpah (aru) atau ikrar di hadapan raja adalah orang

pilihan dari kelompok masyarakat yang disebut tubarani untuk mengucapkan sumpah setia.

Orang yang terpilih umumnya mempunyai vokal yang lantang, wajah yang seram, berani

menantang wajah sang raja. Yang terpilih ini juga merupakan suatau kehormatan dan

kebanggaan tersendiri karena bisa berhadapan langsung dengan raja dan petinggi kerajaan.

Pada saat tampil di hadapan raja, pembawa aru harus menampakkan wajah yang setia

kepada seorang raja, loyalitas, dan dedikasi yang tinggi. Badan harus tegap, sambil mencabuk

keris (badik) pembawa aru menyampaikan arunya dan mempermainkan keris (badiknya) sesuai

apa yang diucapkan oleh pembawa aru itu. Untuk lebih memahaminya, berikut ini salah satu

versi Aru dari berbagaiversi yang ada.

ARU TUBARANINA GOWA

Bismillahi Rahmani Rahim

Atta …. Karaeng

Tabek kipammopporang mamak

Ridallekang labbiritta

Risakri karatuanta

Ri empoang matinggita

Inakke mine karaeng

Lambarak tatassaklakna gowa

Nakareppekangi sallang Karaeng

Pangngulu ri barugaya

Nakatepokangi sallang Karaeng

Pasorang attangnga parang

Inai-naimo sallang Karaeng

Tamappattojengi-tojenga

Tamappi adaki adaka

Kusalagai sirinna

Kuisarak parallakkenna

Berangja kunipatebba

Pangkulu kunisoeyang

Ikau angin Karaeng

Naikambe lekok kayu

Mirikko anging

Namarunang lekok kayu

Iya sani madidiyaji nurunang

Ikau jeknek Karaeng

Naikambe batang mammanyu

Solongko jeknek

Namammanyu batang kayu

Iya sani sompo bonangpi kianyu

Ikau jarung Karaeng

Naikambe banning panjaik

Takleko jarung

Namminawang banning panjaik

Iya sani lambusukpi nakontu tojeng

Makkanamamaki mae, Karaeng

Naikambe mappakjari

Mannyabbu mamaki mae Karaeng

Nai kambe mappakrupa

Punna sallang takammaya

Aruku ridallekanta

Pangkai jerakku

Tinra bate onjokku

Pauwang anak ri boko

Pasang anak tanjari

Tumakkanaya Karaeng

Natana rupai janjinna

Sikammajinne aruku ridallekanta

Dasi na dasi nana tarima pangngaruku

Salama ……

Artinya

Bismillahi Rahmani Rahim

Sungguh …. Karaeng

Maafkan aku

Di haribaanmu yang mulia

Di sisi kebesaranmu

Di tahtamu yang agung

Akulah ini karaeng

Satria dari Tanah – Gowa

Akan memecahkan kelak

Hulu di keris arena

Akan mematahkan kelak

Gagang tombak di tengah gelanggang

Barang siapa jua

Yang tak membenarkan kebenaran

Yang menentang adat budaya

Kuhancurkan tempatnya berpijak

Kululuhkan ruang geraknya

Aku ibarat parang yang ditetakkan

Kapak yang diayungkan

Engkau ibarat angin Karaeng

Aku ini ibarat daun kayu

Berhembuslah wahai angin

Kurela gugur bersamamu

Hanya sanya yang kuning kau gugurkan

Engkau iabarat air, Karaeng

Aku ini ibarat batang kayu

Mengalirlah wahai air

Kurela hanyut bersamamu

Hanya sanya di air pasang kami hanyut

Engkau ibarat jarum, Karaeng

Aku ini ibarat benang kelindang

Menembuslah wahai jarum

Kan kuikut bekas jejakmu

Bersabdalah wahai Karaeng

Aku akan berbuat

Bertihtahlah wahai Karaeng

Aku akan berbakti

Bilamana kelak janji ini tidak kutepati

Sebagaimana ikrarku di hadapanmu

Pasak pusaraku

Coret namaku dalam sejarah

Sampaikan pada generasi mendatang

Pesankan pada anak cucu

Apabila hanya mampu berikrar, Karaeng

Tapi tidak mampu berbuat bakti

Demikianlah ikrarku dihadapanmu

Semoga Tuhan mengabulkanNya

Amien….

e. Paddoangan

Masyarakat Makassar mengenal dua kepercayaan kekuatan magis yang ber-kembang.

Dalam hal ini ada yang disebut magis putih dan magis hitam. Paham ini berkembang di tengah

masyarakat Makassar, khusunya orang awam. Magis putih dimiliki oleh dukun untuk mengobati

segala macam penyakit, sedangkan magis hitam digunakan untuk mencelekai orang lain. Oleh

karena itu, di sinilah diperlukan magis putih (paddoangan) untuh mengobati orang yang terkena

magis hitam. Selain itu, magis putih (paddoangan) dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari,

misalnya untuk kecantikan, untuk keselamatan, dan lain-lain.

Contoh paddoangang untuk menghalau pencuri

Bismillahirrahmanirrahim

Ikau palukka bangngiya

Katutuimi tubunu

Katutui tallasa’nu

Numange ammempo ri balla’nu

Numangngu’rangi

Ri sahada mula taunu

Barakka laa ilaaha illallaah

Artinya

Dengan nama Allah yang Pengasih Lagi Maha Penyayang

Wahai kamu pencuri malam

Peliharalah tubuhmu

Jaga kehidupanmu

Duduklah di rumahmu

Untuk merenung

Pada penyaksian awal lahirmu

Berkat Allah

f. Paruntuk Kana

Paruntuk kana termasuk salah satu bentuk sastra Makassar klasik yang masih tumbuh di

kalangan orang Makassar, Walaupun telah banyak ditinggalkan oleh kaum remaja. Paruntuk

kana dapat diartikan sebagai ungkapan. Bentuk sastra ini sangat umum dipakai oleh kalangan

masyarakat untuk menggambarkan kehalusan budi pemakainya. Artinya orang-orang yang

mempunyai perasaan dan budi pekerti yang halus dapat menggunakan kata-kata kias atau

paruntuk kana dengan baik.

Contoh Paruntuk kana

Naseleki sirunna

suami yang menangani uang belanja

Assipak kaluara

Senang bergotong royong

Pakammi siring balla

pelamas

Baine pallabusu

Istri yang suka belanja melewati pendapatan suami.

g. Pasang

Pasang salah satu bentuk sastra Makassar yang dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan

dengan petuah atau wasiat orang tua yang berisi petunjuk yang dapat dijadikan petunjuk atau

pedoman dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Petunjuk dalam berbagai kehidupan

yang dimaksud adalah bidang keagamaan dan pendidikan moral, bidang sosial kemasyarakatan,

ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga. Salah satu contoh pendidikan moral adalah kejujuran

yang harus dimiliki oleh penegak hukum.

Contoh pasang

Pasang I Mangngadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingngaloang

Limai passala kapanrakanna se’reya kalompowang.

Punna teanamo naero nipakainga karaeng maggauka.

Nganre ngasengmi soso’ pabbicaraya.

Punna majai gau’ lompo rilalang pa’rasanganga.

Punna tenamo tumangasseng ri lalang pa’rasanganga.

Punna tenamo nakamaseyangi atanna karaeng maggauka.

Artinya:

Bilamana raja yang memerintah tidak mau dinasihati.

Bilamana pejabat kerajaan sudah sama makan sogok.

Bila terlampau banyak kejadian besar dalam negeri.

Jikalau tidak ada lagi cerdik pandai dalam negeri.

Jika raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.

Iyapanakulle nialle parewa se’rea tau, niyappi naballaki annanga passala:

1. Angngassengpi ri gau’-gau’ adaka

2. Baji’ pangngampei ri tau jaiya

3. Sabbarapi ri gau antabaiai

4. Mallapi ri karaeng se’reya

5. Mangngasengpi ri sesena rapanga

6. Mangngasengpi ri tujuanna bicaraya

Artinya, Seseorang dapat diangkat pemimpin bila mengetahui:

1. Mengenal seluk-beluk ketentuan adat

2. Berprilaku terpuji terhadap yang dipimpinnya

3. Tabah menghadapai musibah

4. Bertaqwa pada Tuhan yang Maha Esa

5. Mendalami undang-undang (ketatanegaraan)

6. Mengetahui seluk-beluk pelaksanaan hukum.

6. Masyarakat Makassar

Istilah masyarakat oleh para ahli sosiologi di Indonesia masih tetap digunakan secara luas.

Dalam beberapa tulisan tentang masyarakat Indonesia, dapat dilihat istilah itu digunakan untuk

society sekaligus untuk kata community.

Dari sekian banyak pengertian yang diberikan terhadap istilah masyarakat (society,

community), ada dua hal yang menjadi unsur utama terbentuknya masyarakat. (1) adanya

wilayah tempat sejumlah orang hidup di atasnya. (2) ada-nya elemen-elemen kehidupan bersama

yang mereka saling memengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun elemen-elemen

yang dimaksud adalah sikap (menner), tradisi (tradition), dan cara berbahasa (model of speech)

(Yatim, 1983: 30).

Masyarakat Makassar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sekelompok orang yang

mendiami suatu wilayah yang saling berhubungan satu dengan lainnya, yaitu wilayah Barat

semenanjung Sulawesi Selatan.

Wilayah yang dimaksud meliputi kabupaten: Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng,

Selayar, Kota Makassar, Maros, dan sebagian Kabupaten Pangkep. Percepatan persebaran

penduduk yang terjadi sekarang membuat masyarakat Makassar keluar wilayah Sulawesi Selatan

bahkan menyebar keseluruh pulau di Indonesia. Migrasi penduduk erat kaitannya dengan profesi

mereka baik yang turun-temurun maupun karena pilihannya masing-masing, etnis Makassar

yang berdiam di luar Sulawesi Selatan masih tetap menjaga elemen kesatuannya.

“Elemen-elemen masayarakat Makassar terdapat dalam tradisi, sikap, dan bahasa yang

membedakan dengan masyarakat etnis lainnya. Dalam beberapa tulisan, kelompok masyarakat

ini disebut suku Makassar”, Mattulada (dalam Mulya, 2004: 3). Walaupun demikin dalam

pembicaraan sehari-hari kedua suku besar yang bermukim di Sulawesi Selatan, suku Bugis dan

suku Makassar, lebih lazim disebut suku Bugis-Makassar. Karena dalam kenyataan, memang

tidak banyak hal yang berbeda. Perbedaan yang menonjol hanya bahasa yang digunakan. Oleh

karena itu, sebutan dengan masyarakat Makasar lebih sering dikaitkan dengan penutur bahasa

Makassar dalam pengertian yang lebih bersifat sosiolinguistik.

“Bahasa Makassar mempunyai variasi dialek (ragam lokal), yakni dialek Lakiung, dialek

Turatea, dialek Bantaeng, dialek Konjo, dan dialek Selayar” (Palenkahu, 1970: 10). Dialek

Lakiung berlokasi pada lima kabupaten dan kotamadya. Kelima kabupaten tersebut yakni

Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kota Makassar, Kabupaten Maros, dan Kabupaten

Pangkajene Kepulauan. “Jumlah penuturnya cukup besar, meliputi 74% dari seluruh penutur

bahasa Makassar” (Yatim, 1983: 31, dalam Mulya, 2005: 4).

Masyarakat Makassar pada umumnya memiliki mata pencaharian bertani dan berladang

serta berlayar. Mereka berlayar baik sebagai pedagang antarpulau di nusantara Indonesia maupun

nelayan penangkap ikan. Dari pengaruh perkembangan dunia saat ini, menjadikan lapangan

pekerjaan berkembang pula. Banyak di antara mereka selain mengikuti pekeerjaan utama orang

tua mereka bertani dan berlayar, ada pula yang mencari lapangan pekerjaan yang baru. Ada

bekerja sebagai pegawai, menjadi prajurit, bekerja di industri, pariwisata baik sebagai karyawan

biasa maupun sebagai pimpinan perusahaan. Dengan kata lain, mobilitas kehidupan masyarakat

Makassar tidaklah kurang giatnya dibandingkan dengan kelompok etnis masyarakat lainnya yang

ada menghuni wilayah Indonesia.

Masyarakat Makasassar memegang teguh falsafah hidup sirik na pacce. Kata sirik secara

harfiah berarti “malu” atau “kehormatan”. Rasa dan nilai kehormatan ini ditanam, dipelihara, dan

dikembangkan oleh setiap individu dalam bermasyarakat baik hubungannya kepada sesama

individu maupun hubungannya dengan masyarakata di mana etnis Makassar hidup. Prinsip ini

ditanamkan dalam keluarga dan dijadikan pegangan di mana pun etnis Makassar berdomisili.

Seorang harus menjaga kehormatan dan nama baik keluarga.

Kata Pacce secara harfiah berarti “pedih” memunyai nilai tersendiri dan selalu mengiringi

sikap sirik. Dengan sikap hidup yang berdasarkan pacce ini, masyarakat Makassar

mengembangkan sikap saling menghargai antarsesama manusia yang tidak memandang etnis dan

agama. Menjunjung tinggi sikap perikemanusiaan dalam kehidupan, makna kata pacce dalam

kehidupan sehari-hari tidak hanya ditujukan kepada manusia saja akan tetapi dapat

diperuntukkan kepada seluruh makhluk. Kata siri na pacce harus seiring dan saling melengkapi

sebagai pengontrol dalam bersikap atau bertindak.

Pada penelitian ini masyarakat Makassar yang dijadikan objek penelitian adalah masyarkat yang

berdomisili di kabupaten Gowa sebagai daerah yang pernah jadi kerajaan. Daerah ini merupakan

salah satu daerah tempat tinggal keluarga bangsawan keturunan kerajaan Gowa.

Masyarakat Makassar adalah sekelompok masyarakat yang hidup bersama sejak lama,

turun-temurun dan secara spontanitas memiliki sifat dan kebiasaan yang bersifat tradisi. Dengan

kata lain, orang Makassar memiliki sifat tradisional dalam kehidupannya sehari-hari yang tepat

terjaga dan dipertahankan. Sifat-sifat tradisional tersebut masih tetap eksis dan dinggap baik dan

perlu dilestarikan.

Masyarakat tradisonal adalah masyarakat yang masih memegang adat dan kebiasaan lama

secara teguh dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian tidak ada sekelompok masyarakat

pun yang mempertahankan kebiasaan lama (budaya) tanpa mendapatkan tanganngan dan

pengarauh budaya dari luar. Namun demikian, masyarakat yang tetap teguh mempertahankan

budayanya tetap tidak terkalahkan dengan kelompok masyarakat pembawa budaya baru.

Dalam pergaulan dengan dunia luar, masyarakat Makassar pada dasarnya adalah

masyarakat yang sangat terbuka. Suku Makassar dapat menerima gagasan-gagasan baru yang

datang dari luar apabila gagasan itu dianggap baik dan bagus untuk dikembangkan dalam

kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, agama Islam diterima dan diajarkan oleh raja Gowa yang

akhirnya kerajaan Gowa terkenal dengan kerajaan besar di nusantara yang menyebarkan agama

Islam dengan pesat. Hal ini terjadi setelah raja Gowa dan raja Tallo memutuskan memeluk

agama Islam dan secara spontan masyarakat yang ada pada dua kerajaan tersebut perlahan-lahan

memeluk agama Islam. Kerajaan Gowa bahkan menjadi pusat pengembangan agama Islam baik

secara politis dan militer, maupun dalam usaha pemantapan ajaran Islam dalam

mengintegrasikannya ke dalam adat-istiadat kehidupan masyarakat.

7. Pranata Adat Masyarakat Makassar

Adat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama sudah ada, merupakan tradisi

dalam masyarakat yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat. Masyarakat Makassar

mengenalnya dengan istilah panngadakkang. Dalam lontarak diungkapkan: Iyya nanigesaraki

adak biasana tumabuttaya tammattikami balloka, tanaik tonganngami jukuka, sala tongi asea.

Artinya: “Jika adat kebiasaan dirusak, maka tuak berhenti menetes, ikan menghilang, dan padi

pun tidak jadi”. Dengan kata lain melanggar adat berarti melanggar kehidupan manusia dan

akibatnya bukan saja dirasakan yang bersangkutan, melainkan dirasakan pula oleh masyarakat

sekitarnya.

Komponen adat-istiadat atau pangngadakkang terdiri atas adak dan rapang. Setelah

syariat Islam diterima sebagai kebiasaan atau pangngadakkang maka dikenal pula pranata sarak

sebagai komponen ketiga. Adak adalah kaidah dan nilai kemasyarakatan yang meliputi tertib

pribadi dan tertib sosial yang bersifat umum.

Sarak adalah hal-hal yang menyangkut kaidah dan nilai dalam urusan keagamaan seperti;

urusan nikah, talakrujuk, kematian, dan kegitaan Islam yang lainnya. Adak dan sarak membentuk

satu kesatuan dalam pangngadakkang dimulai dari lingkungan rumah tangga, keluarga lalu

disosialisasikan dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat. Dari hubungan sosial

kemasyarakatan inilah tercermin bagaimana pranata sosial masyarakat Makassar dibina dan

dilestarikan.

Keseluruhan sistem norma itu dalam masyarakat Makassar biasanya disebut istilah

pangngadakkang. Pangngadakkang menjadi pedoman dalam bertingkah laku atau berbuat

sehari-hari baik dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Oleh kerena itu, seseorang yang

akan melakukan suatu kegiatan akan mengembalikan pada kebiasaan atau adat yang berlaku

pada masyarakat di mana orang itu berada. Adat merupakan penentu baik tidaknya sesuatu itu

dilakukan. Punna panngadakkang tena eroku tena kulleku. “Jika sudah menyangkut ketentuan

adat, tidak berlaku kemampuangku”.

Adat sebagai kebudayaan, menggariskan ketentuan bagi segenap sikap dan tingkah laku

yang diketahui , dimiliki dan dipertahankan sebagai milik bersama. Mereka yang mematuhinya

akan memperoleh penghargaan dan akan memperoleh hukuman bagi yang melanggarnya

(Rahim, 1985: 124-142)

Nilai pangngadakkang ditemukan dalam metafora bahasa Makassar. Misalnya (1) Tau

tanngasseng pangngadakkang, artinya orang yang tahu adat. Metafora ini digunakan untuk

menggambarkan seseorang dalam pergaulan sosialnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan

adat-istiadat setempat. (2) Tau ammallaki pangngadak-kang. Artinya orang yang memiliki dan

mengetahui adat. Metafora semacam ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tahu

secara tepat mengenai waktu, tempat, dan suatu atauran.

a. Parewa Adak (Jabatan Adat)

Berbicara tentang adat adalah berbicara tentang kekuasaan. Adat terbagi dua kategori,

yaitu kekuasaan yang digunakan dalam kehidupan adak Gowa dengan istilah kekuasaan yang

digunakan dalam adak karaeng palilik (penguasan negeri kecil yang berada di bawah

kekuasaan kerajaan Gowa). Kategori yang kedua adalah kekuasaan yang digunakan dalam

jabatan adak secara khusus berlaku dalam pusat pemerintahan kerajaan Gowa.

Selanjutnya, Yatim (1983) mengutip pendapat Mattulada (1977) bahwa dalam kehidupan

adat feodalisme masyarakat Makassar terdapat dua macam kepemimpinan. Pertama

kepemimpinan pamminawanngang tojeng (pemerintahan murni). Kepemimpinan semacam ini

ditemukan di desa-desa yang menurunkan gelar yang berbeda menurut sejarah desa masing-

masing. Gelar penguasa desa yang terdapat dalam kerajaan Gowa pada fase perkembanganya

adalah sebagai berikut :

(1) Gallarang, misalnya Gallarang Mangasa, Gallarang Tombolo.

(2) Anrong guru, misalnya Anrong guru Moncong Balang, Anrong guru Lempanganng.

(3) Daeng, misalnya Daeng Pallangga, Daeng Paku.

(4) Batang Banoa, misalnya Batang Banoa Bajeng.

(5) Jannang, misalnya Jannang Gentungan, Jannang Data.

(6) Aruk, misalnya aruk Pao.

Kedua kepemimpinan pamminawanngang tunipinawang (penguasa). Kepe-mimpinan ini

berkembang di pusat kerajaan dan lebih bersifat fungsional. Ada dua jenis jabatan yang

dikembangkan di pusat pemerintahan kerajaan, yakni (1) jabatan eksekutif dipegang sendiri oleh

keluarga bangsawan Gowa. Dan (2) jabatan legislatif dipegang oleh keluarga bate.

Dari keseluruhan jabatan di pusat pemerintahan kerajaan, yang tersisa pada akhir

kehidupan kerajaan Gowa disebutkan sebagai berikut :

(1) Sombaya (raja Gowa)

(2) Tumakbicara Butta (mangkubumi)

(3) Tumailalang Toa ( Penasihat Utama)

(4) Tumailalang Lolo (penasihat muda)

(5) Tukkajannang Anak Burakne (panglima perang)

(6) Paccallaya (ketua dewan legislatif)

(7) Bate Salapang (sembilang bate yang menjadi dewan legislatif).

Dalam kehidupan di masyarakat adat dan feodalisme, dikenal tiga lapisan masyarakat

yang telah berkembang sejak lama. Ketiga lapisan itu adalah :

(1) Karaeng, dalam arti harfiah “raja” dalam hal ini dimaksudkan adalah bangsawan/penguasa.

(2) Tumaradeka, secara harfiah berarti “orang merdeka” yaitu lapisan masyarakat menengah.

(3) Ata, yang berarti “abdi atau hamba” yaitu lapisan bawah atau masyarakat jelata.

Lapisan masyarakat ini bersifat sosial, maka mobilitasnya tampak jelas dalam

perkembangan riwayat kehidupan pribadi-pribadi. Darah bangsawan dapat dijajaki berdasarkan

riwayat keturunan seseorang. Keluarga yang sangat dekat dengan penguasa yang memegang

jabatan kekuasaan, maka sudah barang tentu orang yang dekat itu keturunan bangsawan atau

darah bangsawanannya lebih dari penguasa. Hal lain yang menjadi penanda pada lapisan ini

adalah warisan kepemilikan harta atau tanah, keturunan bangsawan lebih menguasai harta

kekayan kepemilikan tanah dibandingkan lapisan masyarakat yang lainnya.

Keturunan bangsawan dapat turun starata sosialnya di masyarakat sebagai akibat dari

beberapa peristiwa sosial. Misalnya perkawinan, seorang keturunan bangsawan yang kawin

dengan wanita tumaradeka atau ata yang derajat sosialnya dalam masyarakat lebih rendah maka

anak yang lahir dari hasil perkawinan tersebut derajat sosialnya turun, karena antara bapak dan

ibu derajat sosialnya tidak sama.

Tentang peranan dan jabatan adat feodalisme, darah bangsawanlah yang menjadi keriteria

utama dalam penunjukan seseorang dalam memangku jabatan atau kekuasaan, sekalipun hal ini

bukan merupakan syarat satu-satunya. Keutaman-keutamaan yang dimaksud adalah :

(1) Cerak (darah), berarti keturunan atau kebangsawanan,

(2) Kabaraniang (keberanian, kepahlawanan), rela berkorban untuk kepentingan orang banyak,

dan

(3) Pakkalumannyanngang (kekayaan) harta yang dimiliki (Mattulada, 1985 )

b. Parewa Sarak (Jabatan Syariat)

Raja Gowa ke-14 I Manga‟ngi Daeng Manrabbia menerina Islam pada hari Jumat tanggal

20 September 1605 M (9 Jumadil Awal 1015 H) dari Khatib tunggal Abdul Makmur atau yang

lebih dikenal dengan Datok ri Bandang. Sejak itulah kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan

Islam sehingga rajanya diberi gelar Islam Sultan Alauddin. Selain raja Gowa, raja Tallo I

Mallingkaan Daeng Manyonri, paman raja sekaligus pabbicara butta (mangkubumi) kerajaan

Gowa menerima Islam pada malam Jumat. Kemudian beliau diberi gelar Islam Sultan Awwalul

Islam. Datok ri Bandang bersama dua orang temannya, Datok Sulaeman dan Datok ri Tiro yang

berasal dari Minangkabau pada saat itu berada di Aceh diundang oleh raja Gowa dan masyarakat

Makassar datang mengajarkan agama Islam di Sulawesi.

Dalam waktu kurang dari enam tahun, semua raja besar dan kecil di Sulawesi Selatan

sudah berhasil diislamkan oleh ketiga Datok tersebut atas dukungan kekuatan dan kekuasaan raja

Gowa. Meskipun terjadi perang dengan raja-raja Bugis yang menolak ajaran pengislaman karena

kesalahpahaman, raja Gowa senantiasa menyebarkan Islam menurut prinsip dakwah islamiyah.

Penerimaan agama Islama sebagai agama kerajaan yang kemudian dianut oleh seluruh

rakyat berjalan tanpa rintangan yang berarti. Hal itu kemungkinan disebabkan karena jauh

sebelum raja Gowa dan Tallo memeluk agama Islam. Mattulada (1988: 34) menyatakan bahwa

zaman pemerintahan Tunijallo, Raja Gowa XII, yang memerintah dari tahun 1565-1590, raja ini

telah mendirikan mesjid bagi pedagang yang beragama Islam di Manngallekana, tempat

kediaman pedagang itu di Makassar.

Pengislaman yang dilakukan oleh kerajaan Gowa terhadap raja-raja kecil di Sulawesi

Selatan berjalan tanpa kendala yang cukup berarti. Hal ini disebabkan karena adanya

perjanjian yang pernah disepakati terlebih dahulu, yaitu barang siapa yang menemukan jalan

yang lebih baik, ia akan memberitahukan jalan yang baik itu kepada raja-raja sekutunya.

Perkembangan agama Islam sebagai agama baru di Gowa membutuhkan kelembagaan

baru yang disebut sarak, dihubungkan dengan kata syariah (Mattulada, 1985). Dengan demikian,

lembaga dalam kehidupan tradisonal dikenal dengan istilah adak, setelah masuknya Islam ini

maka istilah adak ini diistilahkan dengan sarak. Pelaksanaan kekuasaan pemerintahan kerajaan

didampingi pula oleh pimpinan keagamaan.

Pegawai sarak mempunyai kedudukan sendiri dalam masyarakat. Mereka mengatur hal-

hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah, pelaksanaan hukum Islam, perkawinan,

perceraian, kematian, pembagian harta warisan dan lain-lain yang berkaitan dengan hal

keagamaan. Pejabat tertinggi dalam lembaga sarak ini disebut kadi yang berkedudukan di pusat

pemerintahan kerajaan. Selanjutnya, pada perkembangannya sesuai dengan tuntutan kebutuhan

dan banyaknya urusan agama maka kadi ini berkedudukan di setiap distrik. Di desa lembaga

sarak dipegang oleh imam desa dan dibantu oleh imam masjid.

Istilah lain dalam keagamaan yang ada dalam masyarakat adalah anrong guru (guru

besar). Saat ini istilah anrong guru masih dikenal luas di masyarakat adalah anrong guru tarekak

(guru besar dalam ilmu tarikat). Di Gowa istilah yang sangat popular dan berpengaruh di

masyarakat adalah tarikat khalwatiah. Tarikat ini bukan saja berkembang di Gowa bahkan

hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan bahkan sampai di luar wilayah Sulawesi pun ajaran

ini banyak dianut oleh masyarakat Islam.

Jabatan parewa sarak tidaklah harus dipegang oleh lapisan atas (bangsawan) saja. Jabatan

ini boleh dipegang oleh golongan menengah, dan bahkan golongan rendahan atau ata, yang

diutamakan pada jabatan ini adalah yang mempunyai pengetahuan agama yang luas. Misalnya

penjaga masjid yang diutamakan adalah yang mempunyai pengetahuan agama.

c. Demokrasi Dalam Pembicaraan

Dikemukakan oleh H.D. Mangemba (dalam Muhtamar, 2007: 30) Sejak zaman dahulu

orang Makassar mengenal demokrasi dalam bertutur, hal ini dapat dilihat dari pembicaraan Raja

Gowa dengan beberpa anggota kabinetnya mengenai soal-soal pemerintahan. Raja Gowa ketika

itu adalah Tumenanga Ri Katangka berbicara dengan Tumailalang Toa Karaeng Buakana, dan

Tumailalang Lolo Karaengta Pabbundukang. Fungsi Tumailalang Toa (juru bicara Raja) adalah

sebagai perantara sombaya (Raja Gowa) dengan Tumailalang Lolo (juru bicara rakyat) sebagai

wakil rakyat. Dari pembicaraan raja Gowa dapatlah disimak kalimat raja Gowa “Ada tiga hal

yang dapat kuperlihatkan kepada orang gowa”. Dari perkataan itu Tumailalang lolo tidak

menerima kalimat baginda. Sebab ucapan itu dianggap diktator dengan pemakaian kata ku

(kupaccinik-kang/kuperlihatkan). Sebagai tanda tidak setuju Baginda mengeluarkan buah

pikirannya, maka Tumailalang lolo pun mengeluarkan tali pengikat kerisnya di hadapan Raja

Gowa, hal itu dilakukan karena tumailalang belum diberikan kesempatan untuk berbicara, belum

ditanya Tumailalang toa. Namun belum diberikan kesempatan berbicara tumailalang lolo tetap

memperlihatkan kesopanannya dalam pertemuan, ia tidak berdiri dan tidak meninggalkan tempat

pertemuan.

Oleh sebab itu Tumailalang segera bertanya kepada Raja Gowa hal apa yang pernah

diperlihatkan kepada orang Gowa. Maka Raja Gowa pun menyambung pembicaraannya

“Pertama-tama kumasukkan Islam, kedua kubuatkan pengairan, ketiga kubikinkan jalan besar”

(Muhtamar, 2007: 32). Mendengar perkatan Raja Gowa Tumailalang Toa kepada Karaeng

Pabbundukang (Tumailalang Lolo) “Bagaimana pendapat orang Gowa tenatang perkataan

Baginda”? Tumailang lolo menjawab “Cuma yang bisa dikatakan orang Gowa adalah ada tiga

perkara yang tidak boleh dikerjakan sendiri, pertama jinjingan berat, kedua junjungan berat,

ketiga pandangan berat”.

Setelah Raja Gowa mendengar pendapat dari Tumailalang Lolo berbeda dari apa yang

diharapkan, maka Raja Gowa tahu bahwa apa yang diucapkannya salah dalam bertutur.

Wajahnya lemas dan memalingkan mukanya kepada Tumailalang Toa, melihat raut wajah Raja

Tumailalang Toa tentu siap membela kehormatan Raja Gowa karena salah dalam berbicara.

Namun demikian Tumailalang Toa tidak menengur Tumailalang Lolo, Tumailalang Toa hanya

mengatakan “Tetapi Tumailalang Lolo, ada tiga macam perkara tidak dirasakan dan tidak

dilakukan tetapi didapati keburukannya. Pertama orang selalu menjatuhkan nasib baik orang lain,

kedua orang selalu cemburu dengan nasib-takdir seseorang, dan ketiga iri hati kepada kedudukan

seseorang” (Muhtamar, 2007: 33).

Dari percakapan antara Raja dengan Tumailalang dan Tumailalang Lolo (juru bicara raja

dan juru bicara rakyat) maka dapatlah disimpulkan betapa demokratis orang Makassar dalam

berbicara dan menjunjung tinggi etika dalam bertutur. Etika dalam berdialog dijunjung tinggi

dan kalimat yang digunakan dalam berbicara mengandung perkataan tinggi dan bukan sekadar

kalimat emosi belaka yang sifatnya menghujat atau mencela lawan bicara, sekalipun lawan

bicara kedudukannya lebih rendah. Hak untuk menyampaikan aspirasi atau hak bicara sangat

dihormati dan dijunjung tinggi.

8. Nilai-Nilai Kultural (Budaya) Masyarakat Makassar

Secara singkat nilai dapat dikatakan sebagai hasil penilaian/pertimbangan “baik atau tidak

baik” terhadap sesuatu kemudian dipergunakan sebagi dasar alasan untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu. Sesuatu dikatakatan memiliki nilai apabila sesuatu mempunyai kegunaan

(nilai kebenaran), nilai keindahan, dan nilai religius.

Suatu yang mempunyai nilai itu tidak hanya yang berwujud benda atau material saja tetapi

juga yang berwujud benda abstrak. Bahkan benda abstrak pun dapat mempunyai nilai yang

sangat tinggi dan mutlak bagi manusia.

Manusia menjadikan nilai sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam melakukan suatu

perbuatan. Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai ini dijabarkan dalam bentuk kaidah atau ukuran

dalam bertindak. Nilai merupakan patokan suatu keharusan (perintah), anjuran, larangan dan

sebagainya. Nilai ini terbentuk melalui proses kesadaran dan keyakinan bagi seseorang atau

sekelompok orang, dengan demikian nilai tidak dapat dipaksakan dengan seseorang atau

sekelompok orang untuk menerima atau menolak.

Nilai merupakan hal yang dihargai atau dihormati, ingin diraih dan dianggap sebagai

sesuatu yang berharga atau bernilai. Poerwadarminta (2007: 677) Nilai adalah keadaan isi yang

memiliki sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Bertolak dari definisi

ini, maka dalam sastra kelong banyak mengandung nilai yang perlu dijaga dan dilestarikan.

Norma adalah petunjuk yang harus dilakukan serta larangan yang patut dijauhi dan

ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Norma merupakan pedoman manusia dalam menata

kehidupan bermasyarakat berdasarkan alasan tertentu yang disertai sanksi. Seseorang atau

sekelompok masyarakat yang melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat akan menerima

sanksi apabila melanggar norma yang disepakati tersebut. Sanksinya bermacam-macam sesuai

dengan tingkat pelanggaran, misalnya dikucilkan dalam masyarakat, atau dibuang.

Penjelajahan yang telah dilakukan pada mitos Tumanurung telah mengung-kapkan

beberapa nilai yang dijakan patokan dasar pembentukan budaya Makassar. Nilai-nilai diciptakan

dan disepakati oleh nenek moyang mereka dan akhirnya menjadi suatu kepercayaan

(kebudayaan masyarakat Makassar). Kepercayaan itu secara turun-temurun diwariskan dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Dalam mewariskan kepercayaan itu mereka menasihatkan

melalui lontarak. Nilai-nilai lain yang diwariskan nenek moyang atau orang tua dahulu

khususnya masyarakat Makassar adalah keberanian mempertahankan hak, harga diri, dan

keadilan.

9. Pendekatan Nilai Kultural Sastra Kelong

Dalam menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam sastra Sastra Kelong maka

pendekatan yang digunakan mengacu pada teori nilai budaya yang dikemukakan oleh

Koentjaraningrat (1988 dalam Hakim, 1993: 23-24). Teori ini berasumsi bahwa nilai budaya

adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau disebut adat. Nilai budaya adalah lapisan paling

abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah nilai-nilai yang mengopsesikan hal-hal

yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Selajutnya, ia mengemukakan bahwa suatu

sistem nilai budaya terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar

warga masyarakat melalui hal-hal yang harus dan mereka anggap sangat bernilai dalam

kehidupan. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman

tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatannya lebih konkret

seperti aturan-aturan khusus, hukum, norma semuanya berpedoman kepada sistem nilai budaya

itu. Nilai budaya yang dapat mendorong pembangunan nilai tahan penderitaan, kerja keras,

toleransi terhadap pendirian atau kepercayaan orang lain, serta gotong-royong.

Perlu pula ditambahkan bahwa nilai-nilai yang dipilih tidaklah harus dianggap bahwa

hanya itu saja yang terdapat dalam sebuah karya sastra atau hanya nilai itu saja yang termuat

dalam budaya daerah yang melatarbelakangi karya sastra tersebut. Akan tetapi yang diangkat

hanyalah puncak-puncak nilai atau nilai yang mewarnai isi karya sastra. Selain itu, yang hendak

ditonjolkan adalah peranannya dalam mengendalikan kehidupan etnis masyarakat tertentu

sehingga memberikan corak tertentu pada kebudayaan etnis tersebut. Dengan mengangkat niali-

nilai tertentu tidaklah berarti hendak mempersoalkan nilai baik buruknya suatu karya sastra akan

tetapi yang ingin dijelaskan adalah makna masing-masing nilai yang akan dijadikan sebagai

rujukan tindakan sosial dan kultural yang termuat dalam karya sastra.

Beberapa aspek falsafah hidup dan sikap mental masyarakat yang terdapat dalam kelong

Makassar, yang diharapkan menjadi pegangan adalah (1) abbulo sibatang accera sitongka-

tongka, (2) assipakatau, (3) sirik napacce.

a. Abbulo sibatang accera sitongka-tongka

Abbulo sibatang artinya seperti satu batang bambu kita bekerja terus sama-sama akan kita

dapati kesenangan. “Bekerja dengan jujur dan bersatu akan menghasilkan pekerjaan yang tak

terhenti sebagai tugas memberi kesenangan dan keberuntungan”.

Ungkapan ini selalu dikumandangkan dalam pertemuan-pertemuan oleh berbagai pihak

dalam usaha melaksanakan sesuatu pekerjaan atau kewajiban bersama untuk dinikmati bersama

oleh seluruh warga masyarakat.

Sebagai contoh seseorang atau beberapa orang saja yang mengerjakan sesuatu atau

menghadapi sesuatu diantara banyak orang dan orang lain tinggal menonton pasti hasilnya tidak

ada dan bukan milik bersama, maka haruslah dihimpun semua lapisan masyarakat dan

bergotong-royong melakukan suatu tugas dengan kejujuran, maka pasti berhasil dan hasilnya

akan merupakan hasil bersama karena tugas itu dikerjakan dengan jujur sehingga memberikan

keberuntungan. Yang ikut bersatu bekerja dia pulalah yang menikmati hasilnya. Ungkapan ini

sangat bermanfaat sekali dalam menggalakkan suatu usaha terutama dalam pembangunan karena

yang akan menikmati adalah seluruh yang ikut melaksanakan tersebut dan akan mendapat

kepuasan bersama.

b. Sipakatau

Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun

kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau menelusuri

secara mendalam, sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau” (manusia),

dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial amat dijunjung tinggi keberadaannya.

Dari konsep tau inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang

Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu

dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya saling memahami dan

menghargai secara manusiawi.

Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapai

keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan

sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan sosial tercairkan, tak ada

perbedaan antara kaya dan miskin, pimpinan dan bawahan, turunan bangsawan dan rakyat

biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi

sikap budaya sipakatau.

Sikap budaya sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi

Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang

telah menerapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Tanpa sikap

Sipakatu, manusia akan menjadi seperti binatang yang kejam terhadap sesamanya, kehilangan

sikap kemanusiaannya.

Sipakatau dalam hidup kekerabatan, menjadi salah satu faktor Pembina struktur dan

tatakrama pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkungan orang-orang yang menghayati

dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima

hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.

Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak

“annunggalengi” (egois) atau menopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi

setiap manusia. Azas sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling

“sikatallassi” (saling menghidupi), tolong menolong, dan bekerjasama membangun

kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata.

Sipakatau menjadi etika pergaulan orang Makassar yang patut diaktualisasikan di segala

sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing yang cenderung menenggelamkan

panghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan sesuatu kendali moral

yang harus senantiasa menjadi landasan. Hal ini meningkatkan budaya Sipakatau juga

merupakan tuntutan dalam kehidupan berbangsa sesuai dengan azas Pancasila, terutama Sila

Ketiga yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.

c. Sirik napacce

Sirik na pace merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk

membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan

pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan.

Sering kita dengar ungkapan suku Makassar yang berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu

seng paknia” (kalau tidak ada sirikmu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirik

napacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang

tersebut bertingkah laku melebih tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur

kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.

Di kalangan orang-orang Bugis Makassar dikenal pula kelong (Syair) untuk menyatakan

sesuatu dengan perasaan. Kelong dapat melahirkan ekses-ekses sirik dan pace. Kelong-kelong

yang erat kaitannya dengan Siriknapacce antara lain sebagai berikut:

Takunjunga bangung turu

Nakugunciri gulingku

Kualleanna

Tallanga natoalia

Artinya

Semula kuperturutkan arus mengalir

Kemudi kutancapkan

Dan kupilihlah

Lebih baik tenggelam dari pada surut kembali tanpa hasil

Kusoronna biseangku

Kucampa’na sombalakku

Tamammelakka

Punna teai labuang

Artinya

Kudayung sampanku laju

Kukembangkan layar

Pantang berbelok kearah lain

Kecuali arah pantai berlabu

Kelong tersebut di atas melambangkan orang-orang Makassar yang pantang menyerah

menghadapi tantangan-tantangan betapapun wujudnya, karena masyarakat menyerah

menghadapi tantangan dinilai oleh orang Makassar sebagai sirik.

Dengan demikian, dapatlah dibayangkan betapa besar pengaruh nilai-nilai yang

terkandung dalam kelong, khususnya nilai sirik itu, bagi sikap mental orang-orang Bugis –

Makassar pada umumnya.

Dalam hal-hal mencapai tujuan, orang-orang Makassar berpegang semboyan

“Kualleanna Tallanga natoalia” (sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai),

semboyan ini memanifestasikan bahwa orang-orang Makassar itu tabah menghadapi

tantangan-tantangan hidup. Tabah menghadapi segala jenis cobaan-cobaan yang datang

bertubi-tubi menimpa. Hal ini erat pula hubungannya dengan perjuangan-perjuangan hidup

orang Bugis Makassar sebagai pelaut ulung.

Angngasseng tonja labba boyo

Pace tanaebbak lading

Tena garringku

Namalantang pakrisikku

Artinya:

Daku nikmati tawarnya labu

Pedis tak tergores pisau

Ku tak menderita penyakit

Namun betapa pedihnya terasa menusuk jauh dilubuk hati

Pada umumnya jika orang Makassar telah bersyair (Kelong) seperti yang tersebut di atas,

lazimnya disusul dengan rasa pace (rasa pedih yang mendalam, sebab disinggung

kehormatannya). Alasannya, jika hal itu mengandung aspek-aspek sirik maka

penyelesaiannya otomatis : darah sebagai tebusan ketersinggungan (pacce) tersebut. Jadi,

pacce sebagai aspek yang hakiki dari pada sirik itu, bukan berarti kesetiakawanan dalam

membela kehormatan (sirik), melainkan ia mengandung pula makna; kepedihan yang tiada

taranya, karena martabat harkat diri yang tersinggung. Ia tersayat-sayat menjangkau jauh ke

dalam lubuk hati. Itulah hakikat dasar apa yang disebut pace. Sebagai perwujudan lajut dari

pada sirik tersebut.

B. Kerangka Pikir

Hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sastra Makassar Kelong. Adapun

objek yang diamati adalah aspek nilai yang terdapat dalam sastra Makassar Kelong. Nilai yang

ditemukan dianalisis dan pada akhirnya melahirkan temuan yang berwujud kesimpulan mengenai

nilai yang diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Makassar. Penelitian ini mengacu

pada telaah pendekatan teori hermeutika yang dikemukakan oleh F.D.E. Schleiermacher (1768 –

1834) tentang interpretasi dan analisis nilai sebuah teks dalam karya sastra Kelong dan teori

Koentjaraningrat(1988) tentang analisis nilai budaya.

Budaya adalah adat dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang

tetap dipertahankan keberadaannya karena dianggap masih relevan dengan perkembangan zaman

oleh masyarakat penganutnya. Kebiasaan-kebiasaan tersebut memuat norma, etika, hukum,

larangan, dan perintah. Bagi masyarakat yang menaati norma yang berlaku dipandang terhormat

oleh masyarakat begitu juga sebaliknya bagi orang yang melanggar aturan atau etika, dan

larangan dianggap tidak baik bahkan dikucilkan dari masyarakat. Di mana orang yang melanggar

tersebut hidup atau berdomisili.

Untuk lebih jelasnya, kerangka pikir penelitian ini digambarkan seperti bagan berikut.

Bagan Kerangka Pikir

Sastra Makassar

Kelong

Nilai

Implementasi

Abbulo sibatang accera

sitongka-tongka

Sipakatau

Sirik napacce

Pesta Pernikahan

Pesta Adat

Acara Resmi

Kenegaraan

Analisis

Temuan

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Pradopo (1995:

159) mengemukakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah penelitian yang tujuan

mendeskripsikan secara tepat sifat-sifat suatu individu, gejala yang terjadi atau nyata. Begitu

juga, Moleong (1999: 3) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif sebagai penelitian yang tidak

mengadakan perhitungan yang mencirirkan penelitian kualitatif sebagai latar alamiah, teaori

dasar, deskriptif lebih mementingkan proses dari pada hasil, adanya batas yang ditentukan oleh

fokus, adanya criteria khusus untuk keabsahan data, desain yang bersifat sementara, dan hasil

penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.

Endraswara (2004: 5) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang

dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman

penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris. Beberapa ahli

beranggapan bahwa penelitian jenis ini menekankan catatan deskriptif atau deskripsi kalimat

yang rinci, lengkap dan mendalam, yang menggambarkan situasi sebenarnya guna mendukung

penyajian data. Oleh karena itu, penelitian kualitatif secara umum sering disebut sebagai

pendekatan kualitatif.

Pemilihan penelitian kualitatif dalam tulisan ini, didasarkan pada sasaran yang ingin

dicapai penulis, yaitu mendeskripsikan nilai kelong dari teks Kelong yang dianalisis dan

implementasinya dalam kehidupan masyarakat Makassar.

B. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah suatu proses yang sistematis untuk memecahkan masalah dengan

dukungan data sebagai landasan dalam mengambil kesimpulan. Adapun desain penelitian penulis

dalam melaksanakan penelitian adalah sebagai berikut: langkah pertama dengan pemahaman

terhadap hasil penelitian yang relevan dengan judul penelitian, dengan maksud peneliti dapat

melaksanakan penelitian dengan maksimal, dilanjutkan dengan mengadakan studi kepustakaan

(teks kelong), mengidentifikasi nilai kelong, dan mengidentifikasi implementasi kelong dalam

kehidupan masyarakat Makassar.. Data dalam penelitian ini berupa teks karya sastra Kelong

dianalisis dan dideskripsikan secara kualitatif.

C. Data dan Sumber Data

1. Data

Data Penelitian ini adalah sejumlah teks Kelong yang sudah diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia.

Kelong Makassar tersebut dipilih karena di dalamnya terkandung nilai kejujuran, kesopanan,

kedisiplinan, kebenaran, nilai sosial, dan tata nilai dalam bersosialisasi di masyarakat.

2. Sumber Data

Sumber data diperoleh melalui penelitian pustaka. Sumber data yang berupa pustaka

meliputi buku-buku, jurnal, dan naskah hasil penelitian yang berkaitan dengan pendeskripsian

nilai kutural Kelong dan implementasinya dalam kehidupan masyarakat Makassar. Sumber data

yang berupa pustaka , di antaranya meliputi: Kelong dalam Sastra Makassar (1986), Ungkapan

Tradisional yang Ada Hubungannya dengan Sila-Sila Dalam Pancasila (1991), Masa Depan

Warisan Luhur Kebudayaan Sulsel (2007), Sastra Makassar (2008), Manusia Makassar (2007),

Tafsir Kelong (2007).

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan melalui :

1. Dokumentasi

Penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca, mengutip ungkapan/ cerita, menelaah

karya Sastra Makassar Kelong dan mencatat bagian-bagian yang relevan dengan nilai dan makna

kultural (budaya).

2. Teknik wawancara

Teknik wawancara dilakukan untuk memeriksa dan menguji kebenaran data tertulis yang

diperoleh melalui penelitian pustaka. Setelah data tertulis dicek kebenarannya lalu dicek

bagaimana implementasinya dalam kehidupan masyarakat. Wawancara akan dilakukan di

beberapa wilayah, meliputi; daerah perkotaan, daerah pengunungan dan daerah pesisir.

3. Pencatatan

Teknik ini digunakan untuk mencatat data-data yang ada atau yang muncul, baik dalam

penelitian lapangan maupun dalam penelitian pustaka.

E. Pengecekan Keabsahan Data

Pengecakan keabsahan data dilakukan dengan ketekunan pengamatan, triangulasi,

pengecekan sejawat, peninjauan kembali catatan lapangan, dan keikut-sertaan peneliti dengan

mengacu kepada wawancara, pengamatan, dan catatan lapangan (Moleong, 2002). Ketentuan

pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan

dengan persoalan yang sedang dicari dan kemudian merincinya.

Triangulasi adalah teknik yang diperlukan dalam pemeriksaan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain di luar data ini untuk keperluan pengecekan sebagai pembanding terhadap data

itu. Keikutsertaan peneliti memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang

dikumpulkan.

Untuk mencapai derajat kepercayaan suatu informasi dapat diperoleh melalui waktu dan

alat yang berbeda. Hal ini dicapai dengan: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan

data hasil wawancara, (2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa

yang dikatakan secara pribadi, (3) membandingkan apa dikatakan tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatan sepanjang waktu, (4) membandingkan keadaan dan prespektif

seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan, (5) membandingkan hasil wawancara

dengan isi dokumen yang berkaitan (Patton, 1987). Pemeriksaan melalui teman sejawat adalah

cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan

rekan-rekan sejawat.

F. Teknik Analisis Data

Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi dan mengklasifikasi nilai kultural Sastra Makassar Kelong dalam

kehidupan masyarakat Makassar.

2. Menganalisis nilai-nilai dan makna kultural yang terkandung dalam Sastra Makassar

Kelong dalam kehidupan masyarakat Makassar.

3. Menginterpretasi nilai dan makna kultural sastra Makassar Kelong dan kehidupan

masyarakat Makassar kemudian mendeskripsikan dalam bentuk laporan penelitian dengan

mengacu pada hermeutika F.D.E.Schleiermacher (1768-1834) tentang interpretasi dan

analisis makna sebuah teks dan pendekatan Koentjaraningrat (1984) tentang analisis nilai

budaya.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Sebagaimana telah dipaparkan pada rumusan masalah dan metode analisis data, maka

pada bab ini akan menampilkan penelitian yang akan mengacu pada fokus penelitian. Untuk

lebih jelasnya dipaparkan sebagai berikut;

1. Nilai Kelong dalam Kehidupan Masyarakat

Karya sastra merupakan pengungkapan ide dari dari hasil pengamatan sastrawan atau

kehidupan sekitarnya dengan menggunakan media bahasa untuk menyampaikan maksud dan

tujuannya, meski bersifat imajinatif. Dalam bahasa Makassar, syair atau lagu disebut kelong

sehingga kelong menjadi bagian dari kesusastraan dan budaya Makassar yang mengandung unsur

renungan dan kearifan melalui kesatuan makna yang ditampilkan. Bagi masyarakat Makassar

kelong mendapat tempat tersendiri karena segala perasaaan suka dan duka yang dialami oleh

masyarakatnya disampaikan melalui kelong.

Nilai budaya adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dalam

kehidupan. Nilai budaya secara konvensional disepakati oleh para pemiliknya sebagai acuan dan

pedoman untuk mengatur interaksi sosial dalam mencapai tujuan mulia yang terkait dengan

peningkatan kualitas hidup dan kemanusiaan.

Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam kelong yang

masih memiliki relevansi dengan kehidupan sekarang ini. Setelah dilakukan penelitian

mendalam, maka ditemukan unsur budaya Makassar yang dalam kelong di antaranya:

a. A’bulo Sibatang Accera Sitongka-tongka

Abbulo sibatang accera sitongka-tongka artinya bersifat seperti satu batang bambu,

bekerja bersama sebagai wujud persatuan untuk saling membantu. Ada pula yang

mengartikannya sebagai musyawarah mufakat dalam memutuskan suatu perkara. Namun,

intinya adalah sifat saling membantu satu sama lain agar pekerjaan terasa ringan.

Persatuan dan kesatuan merupakan kekuatan utama untuk mewujudkan kesejahteraan

masyarakat. Di Sulawesi Selatan, khusunya Makassar budaya gotong-royong sebagai bentuk

persatuan masyarakat telah lama berkembang, bahkan seorang penyair, yaitu Sahabuddin Nappu

menulisnya dalam sebuah buku yang memuat kelong Makassar.

Abbulo si batag accera sitongka-tongka bukan hanya dimanifestasikan dalam dunia

nyata, misalnya dengan gotong-royong. Tetapi, semangat tersebut ditransfer ke dalam karya

sastra, salah satunya seperti yang disinggung sebelumnya, yakni kelong. Dalam kelong segala

bentuk unek-unek akan dipaparkan dengan bahasa yang mengandung unsur keindahan dan

makna yang dalam. Seperti kutipan kelong berikut ini:

KL. 1.1

Aule sunggu minasa

Benteng kayuko ikau

Ukrangi tongi

Rapannu benteng buloa (Nappu, 1986: 89)

Terjemahan

Aduhai Sungguminasa

Tiang kayulah engkau

Ingat juga sesamamu tiang, tiang bambu

Kutipan tersebut menunjukkan suatu keteguhan janji agar tidak saling melupakan. Hal itu

merupakan bentuk persatuan dalam persahabatan yang diibaratkan tiang kayu dengan tiang

bambu sama-sama memiliki fungsi yang sama, yakni sebagai tiang rumah agar sebuah rumah

bisa berdiri kokoh. Menopang segala isinya agar rumah tetap aman.

Benteng kayuko ikau. Ukrangi tongi rapannu benteng bulua (tiang kayulah engkau, ingat

juga sesamamu tiang, tiang bambu) kelong tersebut dapat ditafsirkan bahwa meskipun derajat

seseorang berbeda, walaupun kedudukan seseorang dalam masyarakat berbeda tetapi fungsinya

sama, yakni saling memelihara agar tatatan masyarakat bisa aman dan damai.

Dalam kelong tersebut kita diingatkan pula bahwa persatuan perlu dijaga demi kebaikan

bersama, meski ada perbedaan. Tetapi, dalam hal persatuan dan kesatuan tugas semua orang

sama, yakni saling membantu meringankan beban orang lain, saling bahu membahu menciptakan

rasa nyaman dalam masyarakat.

Pada kelong lain, abbulo sibatang digambarkan dalam bentuk kesetian, hidup bersama

mati pun bersama. Sebuah gambaran persatuan yang kokoh, saling menopang satu sama lain agar

tidak pernah terpisah. Bahkan, dalam kelong tersebut, si aku, sebagai orang pertama yang

digambarkan menginstruksikan agar jika mati ia rela satu kubur berdua.

Hal tersebut menunjukkan bahwa persatuan yang dianut masyarakat Makassar tidak

hanya ingin diwujudkan dalam dunia ini saja, tetapi persatuan tersebut ingin diwujudkan hingga

keakhirat, sebagaimana kutipan berikut ini:

KL. 1.2

Jammengkik ki rua jammeng

Sekre kuburu ki julu

Napara sayuk

Anrong tamalassukangta (Nappu, 1986: 110)

Terjemahan

Mati kita bersama

Satu kubur kita berdua

Agar sedih

Ibu yang memelihara kita

Pada kutipan kelong tersebut, menggambarkan bagaimana sebuah rasa bersama tidak

dapat dipisahkan, bahkan rela mati bersama agar tidak berpisah. Hal tersebut merupakan

gambaran persatuan yang kokoh. Dalam budaya Makassar persatuan seperti kelong tersebut

masih dijunjung tinggi sebagai suatu kesatuan budaya yang mempererat hubungan dalam

masyarakat.

Jammmengki ki rua jammeng yang memiliki arti mati kita bersama adalah wujud

kerelaan untuk menanggung derita bersama. Hal ini sangat tepat dalam penerapan budaya

abbulu sibatang accera sitongka tongka. Rela mati demi persatuan, demi sebuah hubungan yang

baik.

Persatuan bukan hanya rela mati bersama, tetapi rasa sakit seseorang harus ditanggung

bersama. Pada kelong yang lain diungkapkan rasa kebersamaan dalam penderitaan sangat dijaga.

Penderitaan sering melahirkan rasa pacce (iba) dalam diri seseorang. Untuk lebih jelasnya

kelong yang merangkum rasa persatuan dalam bentuk penderitaan. Berikut kutipan datanya:

KL. 1.3

Pakrisiknu pakrisikku

Simpunnu simpungku todong

Ruaki anak

Tangkasiaki tinroa (Nappu, 1986: 136)

Terjemahan

Susahku susahmu

Risauku risaumu

Kami berdua tak merasakan tidur

Pakrisiknu pakrisikku merupakan gambaran yang tidak bisa dinafikkan adalah wujud

sebuah rasa kebersamaan yang teguh antara dua anak yang tidak bisa merasakan tidur nyenyak

karena susah. Tetapi, sedalam apapun rasa susah itu, keduanya tetap saling menjaga. Saling

mendukung satu sama lain dengan berbagi rasa susah atau derita. Sehingga penderitaan atau rasa

susah itu bisa berkurang dan teratasi.

Berdasarkan kelong tersebut, terungkap bahwa rasa sakit seseorang bisa membuat rasa

kebersamaan dan persatuan erat. Rasa susah atau penderitaan yang dialami orang kedua pada

kelong tersebut menjadi rasa susah pula si aku yang digambarkan sebagai orang pertama. Ini

menunjukkan bahwa persatuan antara orang kedua (kamu) dan orang pertama (aku) terjalin

dengan sangat baik.

Dewasa ini, sangat sulit kita temukan seseorang yang rela menanggung penderitaan atau

kesusahan orang lain menjadi kesusahannya. Pada umumnya yang banyak adalah mengambil

keuntungan dari penderitaan orang lain untuk kebahagian dirinya sendiri. Tetapi dalam kelong

tersebut berbanding terbalik.

Hal tersebut terjadi pula pada kelong lain yang menggambarkan seorang pelaut yang

berpesan kepada temannya. Bahwa jika sama-sama berlayar mengarungi samudera, sebaiknya

jaraknya jangan terlalu berjauhan agar bisa saling menjaga. Jika ada satu kapal yang bemasalah,

maka kapal yang lain bisa membantunya. Jika tersesat maka akan tersesat bersama. Itulah makna

abbolu sibatang. Berangkat bersama maka harus pula pulang bersama.

Jika ada yang menderita, maka yang lain menanggung pula deritanya. Jika ada pekerjaan

yang berat, maka wajib saling membantu meringankan pekerjaan tersebut. Untuk lebih jelasnya

mengenai pentingnya kebersamaan, berikut kutipan datanya:

KL. 1.4

Ponta sallang makrambangeng

Teaki sikabellai

Nanrokik kamma

Sirolle sombalatta (Nappu, 1986: 142)

Terjemahan

Bila kita sama-sama berlayar kelak

Jangan kita berjauh-jauhan

Aku harapkan layar kita saling berkaitan

Berdasarkan kelong tersebut terungkap suatu pesan bahwa dalam sebuah pelayaran

mengarungi lautan. Ada baiknya kapal yang digunakan para pelaut saling berdekatan. Agar bisa

saling memantau keadaan masing-masing, bisa saling membantu jika ada yang kesusahan.

Kelong tersebut adalah sebuah pesan agar tetap menjaga kebersamaan dalam keadaan

apapun. Kebersamaan atau persatuan sangat penting dalam kehidupan ini. Dengan adanya

kebersamaan beban bisa berkurang.

Rasa persatuan bagi masyarakat Makassar bukan hanya persatuan yang menunjukkan

kebersamaan dalam mengarungi hidup yang bahagia, tetap juga dalam kematian masyarakat

Makassar yang telah merasa senasib rela mati bersama sebagai wujud persatuan dan kesatuan

dalam kehidupan masyarakat Makassar. Untuk lebih jelasnya berikut kutipan datanya:

KL. 1.5

Pungku sallang takring jammeng

Tikring lingkamu ri anja

Pakamma lalo

Niaka ri minasangku (Nappu, 1986: 142)

terjemahan

Kalau tiba-tiba mati,

Kembali ke akhirat

Samakanlah aku

Apa yang ada dalam cita-citamu

Kelong tersebut merupakan amanah, bahwa jika ada si aku meninggal, kembali keakhiran

sebaiknya diperlakukan dengan baik sesuai dengan cita-cita semua orang. Agar rasa persatuan

dan kebersamaan tidak hilang begitu saja oleh kematian.

Bentuk abbolu sibatang accera sitongka-tongka adalah keteguhan dalam memegang

janji. Bagi masyarakat Makassar ketika janji telah diikrarkan pantang untuk diingkari.

Masyarakat Makassar menjadikan ucapan sebagai tali kekang yang harus dipegang. Sebab

percaya bahwa manusai kata-katanyalah yang dipegang.

Janji adalah sebuah harga mati yang harus ditepati. Masyarakat Makassar hanya

memegang kata-kata orang lain. Mengingkari janji berarti sebuah perilaku yang tidak terpuji

yang harus dibuang jauh-jauh. Jika ada yang berani berjanji atau bersumpah dalam suatu perkara,

hal tersebut akan dianggap sebagai orang jujur. Untuk lebih jelasnya mengenai janji berikut

kutipan datanya:

KL. 1.6

Risabbinu sabbi tonja

Ri teani tea tonja

Ri mammonenu

Tope mallonjoki tonja (Nappu, 1986: 143)

Terjemahan

Engkau bersumpah, akupun bersaksi

Engkau tak mau, akupun tak ingin

Bila engkau mati

Akupun akan menyusul

Kelong tersebut mengungkapkan keteguhan dalam memegang janji. Janji merupakan

harga mati yang harus ditepati. Bagi manusia, hanya kata-katanyalah dipegang. Tidak ada yang

lain. Sehingga, orang yang mengingkari janjinya akan dianggap orang yang tidak bisa dipercaya.

Pada kutipan kelong tersebut, si aku akan bersumpah jika orang kedua (engkau) bersumpah. Ia

rela menjadi saksi, sebab orang yang berani bersumpah adalah orang dianggap jujur.

Si aku bahkan rela mati, jika si engkau bersumpah. Sebab sumpah menandakan suatu

kesetian untuk mengarungi semua rintangan kehidupan dalam bentuk persatuan dan kesatuan

yang tak akan lekang oleh waktu. Hal tersebut menunjukkan pentingnya arti sumpah dalam

persatuan yang ingin diwujudkan, tentu yang dimaksud kelong tersebut bukan sumpah palsu.

Sebab sumpah palsu hanya untuk orang-orang yang pecundang.

b. Sipakatau

Budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang

teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Hakekat inti kebudayaan

Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai tau (manusia), yakni

manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya.

(Mattulada.1989: 4).

Cara dalam menggunakan konsep tentang budaya Makassar yang lebih menekankan pada

wujud kebudayaan dan isi kebudayaan, maka konsep tau inilah sebagai esensi yang mendasari

hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan

itu dimanifestasikan dalam budaya sipakatau yang artinya saling memahami dan menghargai

secara manusiawi. Oleh karena itu, menurut (Mattulada. 1989; 4) maka sikap budaya Makassar

disebut sipakatau.

Kelong Makassar merupakan karya sastra yang sarat makna, yang memuat pesan-pesan

leluhur, salah satunya adalah sipakatau. Dalam masyarakat Makassar menyapa seseorang dengan

namanya saja dianggap tidak sopan. Daeng, merupakan panggilan hormat kepada orang yang

lebih tua. Berikut ini merupakan bentuk budaya sipakatau yang terdapat dalam kelong.

KL. 2.1

Deang teaki masusa

Teaki bussang pakmaik

Bunga ejaya

Tenapa mannyero kana (Nappu, 1986: 101)

Terjemahan

Kanda jangan bersusah

Janganlah bersedih hati

Si bunga merahh

Belum ada yang lamar (Nappu, 1986: 23)

Kata daeng, pada kelong di atas merupakan perwujudan dari budaya sipakatau yang

dianut masyarakat Makassar sejak dulu hingga sekarang ini. panggilan daeng merupakan bentuk

penghargaan kepada orang yang lebih tua. Bagi seorang perempuan, daeng biasa digunakan

untuk menyapa para laki-laki, khususnya pasangan hidupnya, yaitu suami. Pada kelong di atas

menceritakan tentang seorang perempuan yang mencoba meyakinkan kekasihnya agar tidak

bersedih karena si perempuan tersebut belum ada yang lamar, sehingga kesempatan untuk

bersatu dengan yang dipanggil daeng terbuka cukup lebar.

Penghargaan si perempuan kepada si lelaki dalam kelong tersebut cukup tinggi. Dalam

budaya Makassar memanggil seseorang dengan namanya saja dianggap tidak sopan. Sementara

panggilan daeng merupakan pengganti nama sesorang yang dianggap lebih memanusiakan

manusia sehingga maasih terus dipertahankan hingga sekarang ini.

Sudah seharusnya sesama ciptaan Allah SWT., saling menghormati dan saling

mengingatkan satu sama lain agar tidak terjerumus ke dalam hal yang menyesatkan. Pada kelong

Makassar terdapat nasehat agar sesama manusia yang notebenenya berasal dari satu pintu jangan

sampai saling melupakan, berikut kutipan datanya:

KL. 2.2

Parannu tuni pakjari

Lonnu sunggumo ikau

Teaki makring

Ninanro langkaluppai

Terjemahan

Sesamamu ciptaan Tuhan

Walau engkau bahagia

Jangan mau dibiarkan melupakan

Pada kelong tersebut terungkap wujud sipakatau yang dalam karena telah melibatkan

Tuhan yang memuat nasehat agar sesama manusia harus saling menghargai sebagai ciptaan

Tuhan, tidak membedakan satu sama lain, tidak saling melupakan. Saling memanusiakan adalah

bagaiamana cara agar bisa tidak ada satu pihak yang melupakan, jika hal tersebut terjadi, kadar

sipakatau akan berkurang seperti yang digambarkan dalam kelong tersebut.

Daeng merupakan panggilan penghormatan dalam masyarakat Makassar, meski pada

banyak situasi, daeng lebih banyak disematkan kepada orang pinggiran yang kurang beruntung

secara ekonomi. Namun, panggilan daeng tetap dibutuhkan seperti yang terungkap dalam kelong

tersebut untuk melestarikan budaya sipakatau.

Pada kelong yang lain terdapa kata karaeng yang merupakan gelar bangsawan

masyarakat Makassar. Karaeng memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat.

KL. 2.3

Sanging karaeng mammempo

Sanging daeng makja jareng

Tabek karaeng

Lamakkelong atayya (Nappu, 1986: 151)

Terjemahan

Seluruh bangsawan bersila

Seluruh daeng berpajang

Maaf tuanku

Hamba akan bernyanyi

Pada kutipan tersebut digambarkan pada sebuah pertemuan, para bangsawan dan daeng

telah hadir. Si aku meminta maaf kepada mereka dengan menggunakan panggilan kareang atau

bisa diartikan tuan untuk menghargai orang yang dianggap lebih tua atau yang dituakan.

Karaeng merupakan gelar kebangsawanan Makassar, dalam kehidupan sehari-hari karaeng

menempati posisi sebagai tokoh masyarakat yang harus dihormati.

Kata hamba menjadi pasangan yang pas dalam berhadapan dengan para daeng dan

karaeng. Si aku dalam kutipan tersebut berperan sebagai penyanyi. Ia menghormati para tamu

yang datang dengan meminta izin agar bisa bernyanyi. Meminta izin sebelum melakukan sesuatu

adalah bentuik menghargai orang lain yang disebut sipakatau.

c. Sirik na Pacce

Sirik na pacce merupakan titik sentral dari kebudayaan Sulawesi Selatan, khususnya

Makassar. Dalam kelong Makassar, sirik na pacce banyak ditampilkan agar budaya tersebut bisa

mengalir hingga ke generasi selanjutnya sehingga para generasi penerus tersebut tidak buta akan

budayanya sendiri.

Bagi masyarakat Makassar sirik adalah harga yang tidak bisa ditawar. Mereka rela

menantang segala rintangan jika siriknya akan hilang. Sirik telah menjadi denyut kehidupan

masyarakat. Dalam kelong digambarkan bahwa seseorang rela memanjat pohon kelapa meski

tingginya seperti layang-layang yang sedang terbang jika sirik akan hilang.

Keberadaan sirik tidak bisa dilepaskan dari aktivitas hidup masyarakat Makassar. Sirik

adalah titik sentral dari kebudayaan Sulsel secara umum, Makassar secara khusus, sehingg

apapun yang terjadi sirik perlu ditegakkan. Untuk lebih jelasnya mengenai sirik, berikut kutipan

datanya:

KL. 3.1

Manna tinggi kalukua

Manna kamma layang-layang

Kuambik tonji

Punna sirik latappela (Nappu, 1986: 124)

Terjemahan

Walau tinggi pohon kelapa

Walau bagaikan layang-layang

Akan kupanjat juga

Kalau saya dipermalukan

Si aku dalam kelong tersebut, menggambarkan dirinya sebagai orang yang berani

menantang segala aral jika sirik-nya hilang atau diinjak-injak. Sirik bagi masyakarat Makassar

adalah harga mati yang harus ditegakkan, tidak peduli apapun yang akan terjadi sebab

kehilangan harga diri bagi masyarakat Makassar adalah kematian sesungguhnya.

Kehilangan sirik (harga diri) menjadikan seseorang akan merasa tidak lagi layak hidup.

sirik tidak pernah berpisah dari pacce yang bisa diartikan iba atau kasihan jika tidak ada sirik

maka rasa paccelah yang harus ada. Rasa pacce sangat penting dalam kehidupan ini, pacce

melihat penderitaan sesama sehingga harus membantu, yang kuat membantu yang lemah, yang

kaya membantu yang miskin, sehingga siklus kehidupan bisa berjalan dengan baik

Pada kelong yang lain, pacce digambarkan dalam penderitaan seseorang sehingga orang

lain merasa prihatin, yakni dalam kelong tersebut berperan sebagai aku menganggap bahwa rasa

sakit kamu atau orang kedua merupakan rasa sakitnya pula. Sehingga, rasa pacce si aku tumbuh

untuk mengurangi beban rasa sakit kamu (orang kedua). untuk lebih jelasnya berikut kutipan

datanya:

KL. 3.2

Pakrisik bajik nijulu

Simpung bajik niruai

Namanna pacce

Pakrisik nakke tommamo (Nappu, 1986: 141)

Terjemahan

Sedih pedih indah dibagi

Derita elok dibagi dua

Agar walau pedih

Terserah pada kita berdua

Pakrisik baji nijulu, kutipan tersebut menggambarkan bahwa rasa sedih juga akan terasa

indah atau ringan jika dibagi. Seperti pepatah “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Rasa

pedih akan berkurang jika ditanggung bersama. Dalam kutipan ini, rasa pacce-lah yang dominan

daripada sirik. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa kelahiran rasa pacce tidak bisa lepas dari rasa

sirik atau malu seseorang, yakni malu melihat orang lain menderita sehingga harus dibantu.

Sementara pada kutipan lain, yakni Simpung bajik niruai yakni, bahwa derita akan baik

pula jika ditanggung bersama, akan terasa ringan. Ini sangat terkait pula dengan sifat gotong-

royong untuk mengurangi beban sesama. Manusia yang paling baik adalah manusia yang bisa

berguna bagi orang lain dengan cara mengurangi bebannya. Pacce adalah simpul untuk saling

tolong menolong bagi yang terkena musibah kesusahan.

Namanna pacce kata pacce pada kutipan ini dapat diartikan sebagai pedih yang terlepas

dari makna pacce itu sendiri. Pakrisik nakke tommamo merupakan sebuah ikhtiar bahwa sakit

kita berdua yang rasakan jika beban atau masalah bisa dibagi. Pacce datang untuk membungkam

rasa ego manusia dalam hal saling peduli satu sama lain.

Pada kelong lain, orang pertama, aku bertanya kepada orang kedua yakni kamu, pakrisik

tonjako paleng. Pertanyaan tersebut untuk menghilangkan ragu apakah si kamu merasakan sakit

juga seperti aku yang merasakan sakit, jika tidak itu berarti rasa paccenya tidak ada. Ketiadaan

rasa pacce bisa berakibat pada anggapan ketidaksetian. Untuk lebih jelasnya berikut kutipannya:

KL. 3.3

Pakrisi tonjaku paleng

Kamma tonja inakke

Natuju tonji

Jeknek mata paklungannu (Nappu, 1986:

Terjemahan

Apakah engkau sedih juga

Pedih resah seperti aku

Apakah juga digenangi

Airmata bantalmu

Sebuah pertanyaan muncul dalam kelong tersebut. Apakah orang kedua atau kamu yang

dimaksud oleh si aku merasakan sakit seperti yang si aku rasakan atau tidak? Jika tidak lagi

merasakan sakit yang sama, maka bisa dipastikan rasa pacce itu tidak ada. Keberadaan rasa

pacce, khususnya bagi masyarakat Makassar seharusnya menjadi harga yang tidak bisa ditawar,

harus ada dan tumbuh dalam hati setiap orang.

Keberadaan pacce dalam tataran kehidupan masyarakat Makassar melahirkan dampak

positif bagi terciptanya keseimbangan dalam Masyarakat sehingga rasa damai bisa dirasakan

bersama. Sirik na pacce adalah falsafah hidup masyarakat Makassar yang menjadi pedoman

hidup. Bagi anggota masyarakat yang memegang teguh sirik na pacce akan dijadikan sebagai

teladan bagi anggota masyarakat yang lain. Untuk lebih jelasnya sirik na pacce dianggap sebagai

pedoman hidup, berikut kutipan kelong-nya:

KL. 3.4

Sirik paccea ri katte

Ganggangang kaminang bajik

Tena rugina

Assimambalak ri lino (Nappu, 1986: 144)

Terjemahan

Malu pedih bagi kita

Dapat dijadikan pegangan

Dipedomani

Untuk berlayar di dunia ini

Siri na pacce seperti yang digambarkan pada kutipan tersebut telah mejadi pedemona

hidup bagi masyarakat Makassar yang tidak bisa dilepaskan dari sendi kehidupan demi mencapai

tujuan bersama di atas dunia ini. sebagai pedoman hidup, sirik na pacce terus dipelihara dengan

baik dalam oleh masyarakat Makassar sebagai pegangan yang tidak putus.

Sirik na pacce telah tertanam sejak lama dalam kehidupan masyarakat Makassar yang

menjadi motor dalam memelihara kebudayaan dan moral massyarakat. Sirik paccea ri katte

(malu pedih kita) merupakan ungkapan rasa kebersamaan untuk bersatu dalam memelihara sirik

yang merupakan wujud sebuah pertanggungjawaban moral yang tidak bisa disepelekan.

Memelihara budaya sirik na pacce dan mengamalkannya merupakan tanggung jawab moral

sebagai manifestasi secara langsung yang mencerminkan eksistensi kemanusian masyarakat

Makassar.

Ganggangang kaminang bajik, tena rugina, assimambalak ri lino (Dapat

dijadikan pegangan, dipedomani untuk berlayar di dunia ini) kutipan ini menegaskan bahwa sirik

na pacce bagi masyarakat Makassar merupana pedoman paling baik dalam mengarungi hidup di

dunia ini. apalagi sirik na pacce seiring dengan ajaran yang dianut secara dominan masyarakat

Makassar, yakni agama islam. Sehingga, keberadaannya semakin kokoh dalam kehidupan

masyarakat Makassar.

Pada kelong yang lain sirik na pacce diungkapkan lebih tegas lagi dalam kelong bahwa

sirik na pacce bukan hanya sekadar falsafah hidup yang menjadi prinsip masyarakat Makassar,

tetapi telah menjadi denyut nadi masyarakat yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Sirik na

pacce diungkapkan sebagai anggota tubuh yang menopang yang merupakan titik sentral

kehidupan seseorang. Berikut kutipan datanya:

KL.3.5

Sirik paccea ri katte

Ia cerak ia asasi

Ia bukunta

Ia pokok tallasatta ((Nappu, 1986: 145)

Terjemahan

Malu pedih pada kita

Dia darah dia daging

Dia tulang kita

Dia juga batang tubuh kita

Berdasarkan kelong tersebut, terungkap bahwa sirik na pacce telah menjadi pilar

kehidupan bagi masyarakat Makassar. Sirik Paccea ri katte yang artinya “malu pedih pada kita”

kemudian dilanjutkan dengan ia cerak ia asasi yang memiliki arti “ia darah, ia daging”. Kutipan

ini menggambarkan dengan jelas bahwa sirik na pacce bukan hanya semboyan atau simbol

kebudayaan masyarakat Makassar, tetapi lebih dari itu, sirik na pacce adalah sentral dari

kehidupan masyarakat Makassar secara moral.

Ia bukunta (ia tulang kita), kutipan tersebut menerangkan bahwa sirik na pacce telah

dianggap penopang dalam diri seseorang. Jika tidak ada tulang maka sebagai manusia tentu tidak

bisa melakukan apa-apa, tidak bisa berdiri, tidak bisa berjalan bahkan akan sulit untuk hidup.

Kutipan tersebut menjadi sumber kekuatan masyarakat Makassar, menjadi spirit dalam bekerja

agar bisa berdiri dengan tegak tanpa meminta belas kasihan

Ia pokok tallasatta (ia utama, ia juga hidup kita) kutipan tersebut menegaskan betapa

pentingnya perang sirik na pacce dalam sendi kehidupan masyarakat Makassar yang tak lekang

waktu, terus berkembang hingga dewasa ini. Sirik na pacce telah menjadi semangat yang terus

membara untuk menjadikan hidup lebih bermakna dan bermoral.

2. Implementasi Nilai Kelong dalam Kehidupan Masyarakat Makassar

Telah diuraikan sebelumnya bahwa implementasi nilai adalah suatu yang ada, tumbuh

(hidup), dan berkembang dalam masyarakat dan tepat dipertahankan serta dijadikan pedoman

baik tidaknya suatu perbuatan atau tindakan. Baik yang dilakukan secara perorangan maupun

secara berkelompok (organisasi). Institusi atau organisasi yang baik adalah yang memiliki value

atau nilai-nilai yang diyakini baik dan bermanfaat serta ditaati oleh seluruh anggota organisasi.

Nilai ibarat mercusuar yang dijadikan acuan oleh pelaut dalam mengarungi samudera menuju

pulau harapan. Implementasi nilai tersebut adalah perbuatan/tindakan lambusuk (Makassar),

lempuk (Bugis), artinya lurus, yang mengandung makna kejujuran atau taat azas. Kedua adalah

Getteng artinya tegas, yang mengandung makna kejelasan dan ketepatan dalam bersikap atau

tidak ragu-ragu (plin-plan) ketiga Warani artinya berani. Berani karena benar. Benar kalau punya

cita-cita dan bertindak sesuai hati nurani. Hati nurani pasti selalu memihak pada kepentingan

orang banyak. Keempat adalah Kana Tojeng (Makassar), Ada Tongeng (Bugis), artinya selalu

berbicara benar.menyampaikan sesuatu apa adanya.

Para pendahulu kita sebenarnya telah mewariskan falsafah hidup untuk damai, khususnya

di masyarakat Makassar. Falsafah hidup itu biasanya dimunculkan dalam wujud sastra daerah,

misalnya melalui syair kelong.

Seiring dengan perputaran waktu dan perkembangan zaman, kelong yang merupakan media

komunikasi untuk mengungkapkan perasaan suka dan duka bagi masyarakat Makassar perlu

mendapat perhatian sebagai suatu pelestari budaya yang kini hampir tidak mendapat lagi

perhatian dari sebagian kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Makassar. Implementasi

nilai kelong dapat dilihat pada beberapa kegiatan di masyarakat sebagai berikut;

a. Pesta Pernikahan

Di kalangan masyarakat Makassar pesta pernikahan merupakan sesuatu hal sakral dan

menjadi pertanda status sosial seseorang di masyarakat. Appakbunting dalam bahasa Makassar

berarti melaksanakan upacara perkawinan. Dengan demikian perkawinan adalah ikatan timbal-

balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kerjasama dalam

membangun sebuah kehidupan rumah tangga. Perkawinan bukan sekadar menyatukan dua

mempelai dalam hubungan suami istri, tetapi perkawinan merupakan suatu ikatan yang bertujuan

untuk menyatukan dua keluarga besar menjadi semakin erat. Keterlibatan orang tua dan kerabat

dalam pelaksanaan pesta perkawinan tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan

sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. Perkawinan perlu dilakukan

dengan sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat. Pesta

perkawinan sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat. Semakin meriah

sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial seseorang.

Dalam pesta perkawinan itu biasanya jika keluarga laki-laki merasa tidak mampu untuk

menanggung sendiri permintaan keluarga calon pengantin perempuan. Maka biasanya dari

keluarga laki-laki bersepakat dengan istilah sipaksiriki dan sipakpaccei. Saling membatu dalam

keluarga, saling meringankan beban dalam keluarga. Sehingga yang tadinya uang Panaik atau

uang belanja serta maharnya yang dianggap mahal dan berat akhirnya bisa dipenuhi dengan

kerjasama dan kekompakan dalam keluarga calon mempelai laki-laki. Sehingga niat baik kedua

keluarga dapat dilakukan karena keluarga memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi. Seperti

dalam kelong berikut;

Bunting mangngarrukko naung

Pasolong jeknek matannu

Tenamo antu

Perekanna maloloa ((Nappu, 1986: 97)

Artinya

Pengantin menangislah engkau

Alirkan air matamu

Sudah tidak ada

Jalan untuk kembali muda lagi

Kelong ini mengandung pesan yang sangat dalam kepada pengantin, bahwa masa muda itu

hanya sekali. Oleh karena itu, setiap pasangan betul-betul harus siap untuk mengarungi bahtera

rumah tangga mereka sendiri. Pahit manisnya kehidupan akan mereka lalui. Bisa juga kelong ini

sebagai sindirian bahwa mengapa memang engkau anak muda ingin menjadi pengantin,

mengakhiri masa mudamu. Tidak lain kelong-kelong itu hanya untuk menghibur sang pengantin,

misalnya kelong berikut;

Bajikna bunting berua

Natujua parek baji

Bija ta bija

Battu ngaseng mattimporong ((Nappu, 1986: 97)

Artinya

Berbahagialah pengantin baru

Diselimuti kemesraan

Keluarga atau bukan

Semua berdatangan

Kelong tersebut selain untuk mempelai juga biasanya ditujukan kepada pemuda-pemudi

bahwa betapa bahagianya jika seseorang menjadi pengantin. Semua keluarga akan turut

berbahagia atas prosesi pernikahan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Namun dalam hal penentuan jodoh, masalah keteguhan pendirian juga diperlukan. Tidak

sedikit orang yang mengalami kegagalan di dalam melangsungkan bahtera kehidupannya,

disebabkan oleh kebingungannya di dalam menentukan calon pendamping atau teman hidup. Hal

ini dapat dilihat pada kelong berikut..

Kuntungku bukbuk pammentek

Kala otereka tappu

Ala cinikku

La makleksok ri maraeng (Nappu, 1986: 121)

Artinya

Lebih baik aku mati

Daripada aku hidup

Daripada pilihanku

Meleset daripada yang lain

Kelong tersebut menggambarkan ikrar atau keteguhan seorang pemuda di dalam menentukan

calon pendampingnya. Keteguhan hati pemuda tersebut tentu didasari suatu keyakinan bahwa

pilihannya memang memenuhi syarat untuk dijadikan teman hidup. Ia rela berkorban dalam

bentuk apa saja agar gadis pujaannya tidak menjadi orang lain. Tentu saja, pemuda tersebut

harus bisa menyakinkan gadis pujaannya bahwa ia benar-benar mencintainya. Dan ikrar tersebut

juga disampaikan lewat sebuah kelong sebagai berikut.

Andi teako batai

Sarennuji takuasseng

Palak palakku

Jammempak nurimaraeng

Sangngali jammengpak sallang

Kukalimbukpi bauttaya

Kunampakkana

Assami ta rinakkena (Nappu, 1986: 148)

Jammengki kirua jamming

Sekre kuburuk kijulu

Napara sayuk

Anrong tumallaksukanta (Nappu, 1986: 110)

Artinya

Dinda janganlah khawatir

Hanya nasib tak kutanggung

Harapanku

Nanti aku meninggal barulah Dinda milik orang lain

Kecuali aku meninggal

Berkalang tanah

Aku akan berkata

Engkau bukan milikku lagi

Kita akan mati bersama

Satu kubur kita berdua

Biarlah bersedih

Ibunda tercinta

Ikrar yang disampaikan pada kelong tersebut di atas, mencerminkan keinginan berkorban

dalam mengantisipasi sederetan tantangan. Pernyataan Jammengpak nu rimaraeng “nanti aku

meninggal barulah Dinda jadi milik orang lain”, jammengki ki rua jammeng “mati berarti mati

bersama”, dan sekre kuburuk nijulu “satu kubur kita bersama” menggambarkan niat yang tulus

dan kesediaan berkorban. Baik niat yang tulus dan kesediaan berkorban, semuanya bertumpu

pada sikap dasar yang tidak ingin bergeser dari cita-cita dan prinsip semula (kontu tojeng).

b. Pesta Adat

Pesta adat tradisional di Sulawesi Selatan, sangat beragam sesuai dengan suku-suku yang ada

di Sulawesi selatan misalnya; Rambu Tuka dan Ma’nene di Tana Toraja, Mappalili di Pankep,

di Bone, di Soppeng, di Wajo, di Gowa. Tudung Ade di Kerajaan Bone, dan Pesta adat Accerak

Kalompoang yang dilaksanakan di Kabupaten Gowa. Salah satunya akan dibahas berikut ini

yakni Accerak Kalompoang.

Accerak Kalompoan merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka

peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari Upacara ini

adalah allangirik kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan salokoa (mahkota) kerajaan

Gowa yang dibuat pada abad ke-XIV. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa I,

Tumanurunga, yang kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja-Raja Gowa berikutnya.

Adapun benda-benda kerajaan yang dibersihkan di antaranya; tombak rotan berambut ekor kuda

(panyanggaya barangan), parang besi tua (lasippo), keris emas yang memakai permata

(tatarapang), senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa (sudanga), gelang emas berkepala

naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas murni (bangkarak

takroe), dan kancing emas (kancing gaukang). Selain itu ada juga beberapa benda impor yang

tersimpan di Balla Lompoa turut dibersihkan, seperti: kalung dari kerajaan Zulu, Filipina, pada

abad ke-XVI; tiga tombak emas; parang panjang (berang manurung); penning emas murni

pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M; dan medali emas pemberian Belanda.

Pencucian benda-benda pusaka tersebut menggunakan air suci yang diawali dengan

pembacaan surat Al-Fatihah yang dipimpin oleh seorang Anrong Guru. Pelaksanaan upacara ini

tidak hanya disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi juga oleh masyarakat umum,

dengan syarat harus berpakaian adat Makassar.

Upacara adat ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk

agama Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada

tanggal 9 Jumadil awal 1051 H, bertepatan 20 September 1605 M. Meskipun Raja Gowa ke-XIV

telah memulainya, tapi saat itu upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa ke XV, I

Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga

Ri Papambatuna, mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni setiap selesai

shalat Idhul Adha.

Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng

Bontomangngape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam Jantan

dari timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni penyembelihan hewan

kurban.

Sebelum upacara sakral itu dilaksanakan biasa dirangkaikan dengan acara penjemputan

tamu-tamu baik dari keluarga kerajaan, pemerintahan dan tamu-tamu dari kerajaan se-nusantara

dengan pementasan tari-tarian, angngaru dan persembahan kelong Makassar. Beberapa kelong

yang biasa di tampilkan pada acara adat sebagai berikut.

Kusorongna biseangku

Kucampakna sombalakku

Tamamelokkak

Punna teai labuang

Kuntungku laklasak tembang

Jappok lure sikaranjeng

Kupattungrangi

Lessoka sigigi jangka

Takunjunga banging turuk

Naku guncirik gulingku

Kualleanna

Tallanga natoalia

Manna bukuja kutete

Manna cerakja kulimbang

Mantakle tonja

Ri borik maradekaya

Teako Mallak ri bong

Bata-bata rimaraeng

Manna simambu

Bajikji nipajjallokang

Artinya

Ketika perahuku kudorong

Ketika layarku kupasang

Aku tak akan menggulung (layarku)

Kalau bukan labuhan (tempat berlabu)

Biar aku hancur bagaikan ikan tembang

Busuk seperti ikan teri

Aku bersumpah

Tak akan mundur sigigi sisir

Tidak begitu saja aku ikut angin buritan

Dan aku putar kemudiku

Lebih baik aku pilih tenggelam

Daripada balik haluan

Walau hanya tulang kutiti

Walau harus kulintasi (lautan) darah

Aku tetap menuju

Negeri yang merdeka

Jangan takut pada bom

Khawatir pada meriam

Semambu pun

Dapat dipakai bertempur

Kelong tersebut di atas dapat menjadi pendorong semangat juang para prajurit yang sedang

dihinggapi rasa takut dan ragu-ragu. Karena kelong tersebut merupakan ikrar para pejuang

kerajaan Gowa untuk menyonsong musuh dan berdiri di medan laga menghadapi dan memerangi

penjajah Belanda. Mereka bersumpah tidak akan mundur setapak pun dari bumi kerajaan Gowa.

Mereka rela mati bersimbah darah di dalam membela kehormatan kerajaannya dari pada hidup

terjajah dan tidak bermakna apa-apa. Bagi prajurit, gugur sebagai pahlawan itulah kematian yang

paling indah. Mate nibungai (mati ditaburi dengan bunga) yang baunya harum semerbak

sepanjang masa.

Pada bait ketiga dan keempat kelong tersebut; manna bukuja kutete, manna cerajja

kulimbang (walau hanya tulang kutiti, walau harus melintasi lautan darah) dan teako mallak ri

bong, bata-bata rimariang (jangan takut pada bom, ragu-ragu pada meriam) merupakan

ungkapan keberanian dan kesediaan berkorban. Di dalam kelong tersebut sudah tergambar

bahwa mereka memang sudah siap mati, bahkan rela hancur lebur terkena bom atau meriam.

Jiwa kepahlawan mereka sangat tinggi dan semangat juang yang tak pernah pudar seperti dalam

diri Sultan Hasanuddin yang bergelar ayam jantan dari timur.

Bait-bait kelong di atas laksana air penyejuk di musim kemarau, atau laksana hujan yang

menyirami rumput-rumput yang mulai mengering. Dengan bait-bait kelong seperti itu, mereka

sadar, bangun, dan bangkit membela tanah air yang tercinta. Mereka berjuang, dan berjuang

terus sampai tetes darah yang terakhir hingga cita-cita mereka terwujud. Yaitu tercapainya

negeri yang merdeka, aman, dan makmur. Mantakle tonja ri borik maradekaya „aku tetap

menuju negeri yang merdeka‟.

c. Acara Resmi Pemerintahan

Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia semakin maju mengikuti arus

informasi dan globalisasi. Banyak yang berubah dari perilaku-perilaku masyarakat dan

pemerintah. Namun, ada satu hal yang harus tetap dilestarikan yaitu budaya bangsa Indonesia

sebagai bangsa yang menjunjung nilai nilai budaya sebagai pemersatu bangsa. Bangsa Indonesia

sangat menghormati tamu-tamu yang datang. Sehingga dalam acara acara resmi pemerintahan

terkadang penyambutan disuguhi persembahan kesenian daerah. Khusus untuk daerah suku

Makassar, misalnya Tarian, Aru, Ganrang Bulu, Pamancak, Kelong, dan lain-lain.

Kelong yang biasa dipersembahkan dalam acara resmi di Makasar atau di Sulawesi Selatan

diantaranya sebagai berikut.

SULAWESI

Sulawesi pakrasanganta

Butta passolongan ceratta

Anjari tanggongang malompo

Ri katte tumabuttayya

Punna tena kisipaingak

Nakimassing-massing ngukrangi

Tabajik pau-pauanta

Tamakkulle amang boritta

Cinik sai borik bellaya

Bellanamo kamajuanna

Teknenamo julu bangsana

Amang sannang pakrasanganta

Bajikmaki ajjulu ati

Naamang sannang

Sallewangang

Sulawesi pakrasanganta

Artinya

Sulawesi negeri kita

Tanah tumpah darah kita

Menjadi tanggungan besar

Bagi kita selaku penduduk

Kalau kita tidak saling mengingatkan

Masing-masing sadar

Tidak baik berita kita

Tidak aman negeri kita

Lihatlah negeri yang jauh

Telah begitu jauh kemajuannya

Bahagia bangsanya

Aman tentam bangsanya

Sebaiknya kita satu hati

Supaya aman, tenang dan tentram

Sulawesi perkampungan kita.

Kelong lain yang biasa diperdengarkan yakni kelong Anging Mammirik Gubahan Bora

Daeng Irate ;

ANGING MAMMIRIK

Anging mammirik kupasang

Pitujui tontonganna

Tusarroa takkaluppa

Na mangngukrangi

Tutenayya pakrisikna

Battumi anging mammirik

Anging ngerang dinging dinging

Na malantasak ribuku

Mengngerang nakku

Malloklorang jeknek mata

Artinya

Angin berhembus kupesan

Arahkan ke jendelanya

Orang yang sering lupa

Suapaya ingat

Orang yang tak ada salahnya

Datanglah angin berhembus

Angin membawa kesejukan

Dan meresap ke dalam tulang

Membawa rindu

Mengalirkan air mata.

Berikut kelong gubahan Baharuddin Manjia

TULOLONNA SULAWESI

Malabbirik memang tongi

Tulolonna Sulawesi

Mak baju bodo …..mak baju bodo

Mengngingking lipak sakbena

Baju bodo kasa eja

Lipak sakbe curak lakbak

Bunga niguba… bunga niguba

Tak dongkok ri simbolenna

Angkak-angkakna bangkengna

Soe-soena limanna

Kingking lpakna … kingking lipakna

Sakgekangi nicinik

Malakbirik memang tongi

Tulolonna Sulawesi

Mabajik ampe … mabajik ampe

Alusuk ripangngadakkang

Artinya

Gadis Sulawesi memang anggun

Berbaju Bodo….berbaju Bodo

Mengangkat sarung sutranya

Bajo Bodo dari kain sutra merah

Sarung sutra bercorak lebar

Gubahan kembangbtersunting di sanggulnya

Langkah-langkahnya

Ayunan tangannya

Caranya memegang sarung, sungguh indah

Di pandang mata

Gadis Sulawesi sungguh anggun

Sopan santun, serta halus tindak tuturnya

PAKARENA

Ikatte ri Turatea

Adatta marioloa

Pakarenayya

Pakarenayya lakbirik ri panggaukang

Punna niak pakgaukang

Niak paktempo-tempoang

Sukku bajikna

Sukku bajikna punna niak pakarena

Pakarena lekngo-lekngo

Pagangranna mikki-mikki

Papuik-puik

Papuik-puik sakge rapak sulengkana

Artinya

PAKARENA

(Sejenis Tarian Tradisional Makassar)

Kami dari daerah atas

Sejak dulu sudah merupakan adat

Pakarenaya

Anggun pada suatu acara

Jika ada acara

Atau kegiatan tertentu

Sangat sempurna

Jika ada pakarena

Pakarena berlenggok-lenggok

Penabuh gendang menggerak-gerakkan bahu

Peniup puik-puik

Duduk bersila dengan rapi

B. Pembahasan

Hasil analisis kelong Makassar pada penelitian ini ditemukan data yang memuat abbulo

sibatang accera sitongka-tongka, sipakatau, dan sirik na pacce yang hingga kini masih

berkembang dengan baik dalam masyarakat Makassar pegangan prinsip hidup. Kelong

merupakan sastra Makassar yang masih bertahan hingga sekarang ini.

Sebagai karya sastra untuk mengetahui unsur budaya yang terdapat dalam kelong berarti

meneliti kearifan lokal yang terdapat dalam kelong tersebut. Lalu memberi penafsiran agar

masyakarat paham makna yang terkandung di dalamnya.

1. Abbulo sibatang accera sitongka-tongka

Abbolo sibatang accera sitongka-tongka merupakan budaya saling meringankan beban

sesama, wujud persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Makassar yang telah berkembang

cukup lama, salah satunya adalah gotong royong dan musyawarah mufakat untuk menghasilkan

dan memutuskan sesuatu yang berpihak kepada kebaikan masyarakat.

Pada penelitian ini ditemukan enam data kelong yang memuat unsur kearifan lokal abbulo

sibatang accera sitongka-tongka yang menegaskan keteguhan dalam mempertahankan persatuan

dan kesatuan sebagai tembok kokoh dalam masyarakat untuk melestarikan budaya dari pengaruh

luar.

2. Sipakatau

Sementara itu, untuk nilai kelong yang mengandung unsur sipakatau ditemukan tiga data

yang menegaskan bahwa salah satu budaya Makassar yang merupakan penopang yang kokoh

dalam masyarakat tidak tergerus zaman dan menjadi bahan sebuah karya sastra, yakni kelong

agar bisa dinikmati dan implementasikan masyarakat masa kini dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Mattulada (1989) bahwa budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang

universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari.

Hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai

tau (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi

keberadaannya. Hal inilah yang coba ditawarkan kembali dalam kelong Makassar dengan

memasukkan unsur sipakatau sebagai sarana untuk lebih mengenal dan mengamalkan makna

yang terkandung dalam sipakatau itu sendiri.

3. Sirik napacce

Sedangkan kelong yang dianalisis yang mengandung nilai sirik na pacce berjumlah lima

kelong yang dijadikan data. Sirik na pacce adalah falsafah hidup masyarakat Makassar yang

masih dijunjung tinggi. Apabila seseorang tidak memiliki sifat sirik na pacce, maka orang

tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan

kepedulian sosial.

Istilah sirik na pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit untuk

didefenisikan karena sirik na pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Bagi

masyarakat Makassar, sirik mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan,

hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan

diri dan kehormatannya. Sirik adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan

martabat manusia, sirik adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Makassar dalam berinteraksi

dengan orang lain.

Keberadaan pacce dalam masayarak dan diri seseorang mengajarkan rasa

kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan ini adalah

salah satu konsep yang membuat suku Makassar mampu bertahan dan disegani. Pacce

merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain. Saling

meringankan beban seperti pepatah ringan sama dijinjing berat sama dipikul.

C. Implementasi Nilai Kelong dalam Masyarakat Makassar

Keberadaan kelong Makassar yang memuat unsur budaya abbolo sibatang accera

sitongka-tongka, sipakatau, dan sirik na pacce menjadi modal penting dalam membangun

masyarakat yang bermartabat, memiliki kepedulian sosial yang tinggi dan kesetiakawanan yang

kokoh. Keberadaannya sangat penting dalam menjaga kestabilan tatanan yang ada dalam

masyarakat, khususnya masyarakat Makassar.

Nilai yang terkandung dalam kelong masih bisa ditemukan implementasinya dalam

masyarakat, meski tidak sekokoh dulu karena tergerus oleh budaya modern yang datang

menggempur begitu dahsyat. Namun, bukan berarti gempuran tersebut bisa menghilangkan

secara utuh nilai yang telah terbangun dalam masyarakat secara turun-temurun dalam waktu

yang cukup lama.

Implementasi itu dapat kita lihat dibeberapa kegiatan di dalam masyarakat, misalnya pada

acara pesta perkawinan, pesta adat, dan acara resmi pemerintahan. Dalam pesta pernikahan

masih ada beberapa kelong Makassar yang sering diucapkan oleh orang-orang yang berada di

acara pesta itu. Demikian halnya dalam pesta adat sering di dengar kelong sebagai persembahan

untuk tamu-tamu yang datang atau untuk mengingatkan kembali akan perjuangan orang-orang

terdahulu. Sama halnya dalam acara resmi yang dilaksanakan oleh pemerintah kelong tetap

menjadi bagian dari pengisi acara sebelum acara inti dilaksanakan.

Dalam penelitian ini terdapat tiga fokus utama budaya Makassar, yakni abbulo sibatang

accera sitongka-tongka, sipakatau, dan sirik na pacce. Ketiganya merupakan budaya asli

masyarakat Makassar yang masih dipegang oleh masyarakat penganutnya hingga kini, meski

tidak sekokoh dulu. Namun, nilai tersebut masih sering dipraktekkan dalam berbagai kegiatan, di

antaranya pernikahan, pesta adat dan acara resmi kenegaraan.

Abbulo sibatang accera sitongka-tongka masih sering dijumpai implementasinya dalam

masyarakat Makassar, khususnya pada pesta pernikahan, hal tersebut bisa disaksikan saat

pembuata proses pelamaran hingga pesta usia. Masyarakat akan datang berbondong-bondong

membantu yang punya hajatan. Sedangkan implemtasi abbulo sibatang dan accera sitongka-

tongka dalam pesta adat akan terasa lebih kental karena masyarakat merasa memiliki

kepentingan dalam menyukseskan kegiatan tersebut sehingga akan bergotong royong,

menunjukan rasa persatuan dengan tujan yang sama, yakni acara sukses.

Sementara implementasi dalam acar resmi kenegaraan, abbulo sibatang dan accera

sitongka-tongka mulai tergerus karena biasanya sudah ada satu organisasi atau lembaga yang

menangani hal tersebut, sehingga akses untuk bergotong royong semakin berkurang dalam

melaksanakan kegiatan tersebut.

Implementasi sipakatau yang terkandung dalam kelong Makassar masih bisa pula ditemui

dalam sistem masyarakat Makassar, sipakatau adalah titik sentral secara konsepsi kebudayaan

Makassar yang berpusat pada tau. Dengan adanya rasa sipakatau maka kehidupan masyarakat

Makassar berjalan dengan harmonis. Dalam pesta pernikahan nilai kelong yang mengandung

unsur sipakatau masih bisa ditemukan implementasnya, misalnya panggilan daeng dan permisi

jika ingin melakukan sesuatu

Pada pesta adat, sipakatau masih bisa pula ditemukan meski tidak maksimal, namun tetap

dijaga semangatnya agar terus kokoh dalam menopang aktivitas masyarakat Makassar yang

menjadikan sipakatau sebagai norma nilai yang berlaku dalam masyarakat secara turun temurun

dalam menjaga keharmonisan kehidupan masyarakat yang beragam aktivitas dan derajat.

Sementara dalam acara resmi pemerintahan, nilai sipakatau seperti yang diamanatkan dalam

kelong tidak bekerja lagi maksimal.

Sebagai falsafah hidup masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat

Makassar pada khususnya, sirik na pacce menjadi nilai yang tidak terpisahkan dari keseharian

masyarakat dalam mengarungi kehidupannya. Implementasi dalam acara pernikahan dan pesta

adat sirik na pacce akan kental. Begitupun saat acara resmi pemerintah, implementasi sirik na

pacce masih bisa ditemukan sebagai sebagai pedoman hidup masyarakat Makassar seperti yang

terkandung dalam kelong Makassar.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Pada penelitian ini, temuan dan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat data

pada kelong Makassar yang memuat abbulo sibatang accera sitongka-tongka, sipakatau, dan

sirik na pacce yang implementasinya masih dapat ditemukan dalam acara pernikahan, pesta ada,

dan acara resmi pemerintah, sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Abbulo sibatang accera sitongka-tongka merupakan budaya masyarakat Makassar yang

memiliki arti persatuan dan kesatuan. Keberadaan budaya abbulo sibatang accera

sitongka-tongka menjadikan kehidupan bermasyarakat terasa lebih ringan karena

pekerjaan yang berat akan dilakukan dengan gotong royong, perselisihan akan

diselesaikan dengan musyawarah mufakat.

Sebagai karya sastra, kelong makassar tidak lepas dari potret kehidupan

masyarakat Makassar sebagaimana sifat sastra itu sendiri, yakni duplikat dari kehidupan

nyata yang diramu sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga menjadi sebuah karya

sastra yang memiliki peran menyampaikan makna tertentu. Kelong Makassar

mengandung unsur budaya yang telah lama berkembang dalam masyarakat Makassar

yang masih terpelihara hingga dewasa ini. Pada penelitian ini ditemukan tujuh data yang

mengandung unsur abbulo sibatang accera sitongka-tongka yang masih memiliki

implementasi dalam acara pernikahan, pesta adat dan acara resmi pemerintahan.

Terkhusus acara resmi pemerintah, budaya abbulo sibatang accera sitongka-tongka tidak

lagi terlalu tampak.

2. Secara konsepsi sipakatau merupakan titik sentral budaya Makassar yang bersumber pada

tau atau manusia. Sifat sipakatau inilah yang membuat tatanan kehidupan masyarakat

Makassar bisa terkendali, yang muda menghormati yang tua dan yang tua menghargai yang

muda.

Dalam penelitian ini ditemukan empat data yang mengandung unsur sipakatau

yang kemudian dianalisis sehingga dapat ditemukan bahwa implementasi sipakatau dalam

masyarakat Makassar masih lumayan tinggi, khususnya dalam acara pernikahan, pesta

adat, dan acara resmi pemerintah. Di mana yang dituakan, khususnya pejabat atau tokoh

masyarakat diberi tempat khusus sebagai bentuk penghargaan dan pejabat atau tokoh

masyarakat tetap menghargai pula orang lain.

3. Sirik napacce adalah falsafah hidup orang Makassar yang tidak bisa diremehkan. Menjadi

pegangan hidup baik di kampung sendiri maupun di rantauan. Keberadaan pacce dalam

masyarakat dan diri seseorang mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial

tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan. Hal tersebut adalah salah satu konsep yang

membuat suku Makassar mampu bertahan dan disegani. Pacce merupakan sifat belas

kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain. Saling meringankan

beban seperti pepatah ringan sama dijinjing berat sama dipikul.

Implementasi sirik na pacce seperti yang terkandung dalam kelong masih bisa

ditemukan sekarang ini, khususnya dalam acara pernikahan, pesta adat dan acara resmi

pemerintahan. Terdapat lima data yang memuat unsur budaya sirik na pacce yang didapat

dalam penelitian yang ini, yang kesemuanya masih memiliki implementasi dalam

kehidupan masyarakat Makassar.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, dikemukakan beberapa saran di antaranya:

1. Penting kiranya penelitian karya sastra lokal, khususnya Sastra Makassar seperti ini perlu

dilakukan untuk menggali dan mengetahui sastra lokal yang memuat pesan-pesan leluhur

yang sarat makna yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dan bisa

diwariskan kepada generasi selanjutnya agar budaya masyarakat Makassar tetap hidup.

2. Khususnya peneliti sastra dan pelaku sastra ada baiknya lebih mengedepanka mengkaji

sastra lokal dan mengeksposnya hingga masyarakat luas tahu sehingga dapat memperkaya

khazanah kesastraan Indonesia dan untuk menunjukkan pada dunia kekayaan budaya

bangsa tercinta ini.

3. Penelitian sastra khususnya sastra kelong Makassar sangat perlu dilakukan lebih

mendalam dengan pendekatan yang lain, misalnya semiotika, sosiologi sastra atau

menggunakan pendekatan antropologi sastra yang khusus mengkaji budaya suatu daerah

agar makna budaya yang terkandung dalam sebuah karya sastra bisa diimplementasikan,

bukan hanya pada saat ada acara tertentu, tetapi menyeluruh dalam kehidupan masyarakat,

kapan dan di manapun itu.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. 2010. Kelong dalam Perspektif Hermeneutika. Makassar: STKIP Andi

Matappa Pangkep.

Alwi, Hasan (Ketua Tim Penyunting/dkk). 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Anshari, 2011. Representasi Nilai Kemanusiaan dalam Sinrilik Sastra Lisan Makassar.

Makassar: P3i Press.

Ariani, Farida. 2016. Apresiasi Puisi dan Prosa. Jakarta: (Modul) Guru Pembelajar Direktorat

Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

Bantang, Sirajuddin. 1988. Sinrilik Kappala Tallung Batuwa (Terjemahan). Jakarta: Balai

Pustaka (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

Bantang, Sirajuddin. 2008. Sastra Makassar. Makassar: Pustaka Refleksi.

Basang, Djirong dan Salmah Djirong. 1997. Taman Sastra Makassar. Ujung Pandang: CV.

Surya Agung.

Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Hajrah, Sitti. 2010. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Sastra Bugis Klasik. Makassar. (Tesis).

Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Hakim, Chaeruddin. 2007. Tafsir Kelong Makassar. Makassar: Membumi Publishing.

Hakim, Zainuddin. 1993. Pappasang: Salah Satu Pencerminan Nilai Budaya Makassar.

Makassar: Balai Bahasa (Jurnal Sawerigading).

Kawu, A. Shadiq. 2007. Kisah-Kisah Orang Bijak Sulsel. Makassar: Pustaka Refleksi.

Koentjaraningrat. 1984. Kebidayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia

Latif. 2012. Nilai dan Makna Kultural pada Terjemahan Sinrilik Kappalak Tallung Batua Karya

Sirajuddin Bantang dalam Kehidupan Masyarakat Makassar. Makassar: (tesis)

Universitas Muhammadiyah Makassar.

Limpo, Syahrul Yasin. 1995. Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa. Sungguminasa:

Pemerintah Daerah Tingkat II Gowa.

Mardiatmaja, BS. 1987. Pendidikan dan Pendidikan Nilai. Dalam Dick Hartoko (ed).

Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora. Yogyakarta:

Kanisius da BPK Gunung Mulia.

Mattulada. 1985. Latoa, Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mattulada. 1988. Keterbukaan dalam Konteks Kebudayaan Makassar. Ujung Pandang

(Makalah).

Moein, A. 1993. Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis – Makassar. Ujung Pandang: Yayasan

Makassar Press.

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.

Muhtamar, Shaff. 2007. Masa Depan Warisan Luhur Kebudayaan Sulsel. Makassar: Pustaka

Refleksi.

Mulya, Abdul Kadir. 2004. Nilai-Nilai Sosial Budaya Makassar. Makassar: Balai Bahasa

(Jurnal Sawerigading).

Mulya, Abdul Kadir. 2005. Sistem Sapaan Bahasa Makassar. Makassar: Balai Bahasa (Jurnal

Sawerigading).

Nappu, Sahabuddin. 1986. Kelong dalam Sastra Makassar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Proyek Penerbitan Buka Sastra Indonesia dan Daerah.

Poerwadarminta, W.J.S. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai

Pustaka (Pusat Bahasa Departemen Pandidikan Nasional).

Pradopo, Rachmat Djoko.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah

Makassar. 2014. Pedoman Penulisan Tesis. Makassar: Universitas Muhammadiyah

Makassar.

Rahim, A. Rahman. 1985. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Lembaga

Penerbitan Universitas Hasanuddin.

Rahman, Jufri. 2009. Jangan Biarkan Tanganmu Luka. Makassar: Rayhan Intermedia.

Sabariah. 1997. Nilai Religi dalam Elong Ugi dalam Bunga Rampai Hasil Penelitian dan Sastra.

Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.

Schleiermacher, F.D.E. 1977. Hermeneutics the Handwritten Manuscripts ed. Heinz Kimmerle.

Montana: School Press.

Sumaryono, E. 1999. Hermeutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Sutarto, Ayu. 2004. Pendekatan Kebudayaan. Jember: Kompyawisda bekerja sama dengan

Provinsi Jawa Timur.

Tang, Muhammad Rapi. 2008. Mozaik Dasar Teori Sastra. Makassar: Badan Penerbit

Universitas Negeri Makassar.

Wahid, Sugirah. 1988. Metafora Bahasa Makassar. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin

(Disertasi).

Wahid, Sugirah. 2007. Manusia Makassar. Makassar: Pustaka Refleksi.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. (Alih Bahasa oleh Melani Budianta)

Jakarta: Gramedia.

Yatim, Nurdin. 1983. Subsisten Honorifik Bahasa Makassar Sebuah Analisis Sosiolinguistik.

Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

RIWAYAT HIDUP

SYAMSUD lahir pada tanggal 1 Januari 1973 di Panyikkokang

Desa Manuju Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa Provinsi

Sulawesi Selatan.

Anak pertama dari dua bersaudara. Anak pasangan Abdul Latif (alm.) dan Hj. Halifa.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Inpres Passuakkang Desa Manuju

(1986); pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Limbung Kecamatan

Bajeng (1989); pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Limbung Kecamatan

Bajeng/SMAN 1 Bajeng Unggul- an Jurusan A.1/ Fisika (1992); pendidikan jenjang

S1 (Sarjana) di IKIP Ujung Pandang Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

(1997).

Pada tahun 1997 penulis mendaftar sebagai CPNS di lingkungan Dinas

Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan sehingga pada tanggal 1 Februari 1998

menerima SK CPNS sebagai guru dan ditempatkan di SMU Negeri 1 Jeneponto

ditempatkan pada SMU Negeri 1 Batang Kabupaten Jeneponto. Di Butta Turatea,

sempat pula penulis mengajar di SMA Muhammadiyah Jeneponto.

Setelah dua belas tahun menjadi tenaga pengajar di Kabupaten Jeneponto,

akhirnya pada tahun 2010 penulis mengurus pindah ke kampung halaman di

Kabupaten Gowa dan Alhamdulillah pada tanggal 15 Juli 2010, keluar SK

penempatan tugas baru di Kabupaten Gowa yakni di SMAN 3 Sungguminasa yang

sebelumnya bernama SMA Terpadu Sombaopu. Karena SMAN 3 Sungguminasa

belum memiliki gedung sekolah sendiri sehingga harus menumpang di SMK Negeri

1 Sombaopu. Setahun kemudian, tahun 2011 SMAN 3 Sungguminasa pindah ke

sekolah sendiri tepatnya di jalan Malino.

Tahun 2014 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Magister

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana Universitas Muhammadiyah

Makassar.

Sejak di IKIP Ujung Pandang penulis aktif di beberapa lembaga

kemahasiswaan yakni pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa dan

Sastra Indonesia (1994-1995), Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FPBS IKIP

Ujung Pandang (1995-1996). Surat Kabar Kampus (SKK) Profesi IKIP Ujung

Pandang (1993-1997). Selama di Kabupaten Jeneponto, penulis aktif sebagai

pengurus MGMP Bahasa dan Sastra Indonesia Kabupaten Jeneponto.

Saat ini di Kabupaten Gowa, penulis mulai aktif mendata guru-guru bahasa

Indonesia untuk mengaktifkan kembali MGMP bahasa Indonesia yang selama ini

dipandang kurang aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk pembinaan dan

pengembangan kompetensi guru-guru bahasa Indonesia.