“NGABEN” UPACARA KEMATIAN SEBAGAI SALAH...
Transcript of “NGABEN” UPACARA KEMATIAN SEBAGAI SALAH...
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
“NGABEN” UPACARA KEMATIAN SEBAGAI SALAH SATU
ATRAKSI WISATA BUDAYA DI BALI
KERTAS KARYA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
LUSIANNA M. E. HUTAGALUNG
NIM : 062204067
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI NON GELAR D III PARIWISATA
BIDANG KEAHLIAN USAHA WISATA
MEDAN - 2009
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
“NGABEN” UPACARA KEMATIAN SEBAGAI SALAH SATU ATRAKSI WISATA BUDAYA DI BALI KERTAS KARYA DIKERJAKAN O L E H LUSIANNA M. E. HUTAGALUNG NIM : 062204067 PEMBIMBING
NIP. 131 837 557 Drs. Gustanto, M. Hum
Kertas karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Dalam Program Studi Pariwisata
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM STUDI NON GELAR D III PARIWISATA BIDANG KEAHLIAN USAHA WISATA MEDAN - 2009
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
DISETUJUI OLEH : PROGRAM STUDI D III PARIWISATA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Medan, Maret 2009
PROGRAM STUDI PARIWISATA KETUA
Drs. Ridwan Azhar, M. HumNIP. 131 124 058
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
PENGESAHAN DITERIMA OLEH : PANITIA UJIAN PROGRAM PENDIDIKAN NON GELAR SASTRA DAN BUDAYA FAKULTAS SASTRA TANGGAL : HARI : PROGRAM DIPLOMA SASTRA DAN BUDAYA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DEKAN
NIP. 132 098 531 Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D
Panitia ujian: No. Nama Keterangan Tanda Tangan 1. Drs.Ridwan Azhar, M.Hum. (Ketua Jurusan) ……………… 2. Drs. Mukhtar Majid, S.Sos. (Sekretaris Jurusan) ……………… 3. Drs. Gustanto, M.Hum. (Pembimbing) ……………… 4. Dra. Asmita Surbakti, M. Si. (Dosen pembaca) ………………
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena oleh
berkat dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Kertas Karya ini, yang
berjudul “NGABEN” UPACARA KEMATIAN SEBAGAI SALAH SATU
ATRAKSI WISATA BUDAYA DI BALI.
Penulis berharap Kertas Karya ini dapat memberikan sedikit informasi kepada
pembaca mengenai pariwisata dan kepariwisataan secara umum, objek wisata secara
umum, dan mengenai keadaan umum Pulau Bali serta budaya yang terkenal di Pulau
Bali yaitu upacara Kematian Ngaben yang begitu menarik untuk dapat dilihat atau
disaksikan secara langsung.
Dalam penulisan Kertas Karya ini, penulis juga banyak mendapatkan bantuan
moril dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati
penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A. Ph. D. selaku Dekan Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Ridwan Azhar, M. Hum. selaku Ketua Jurusan Program Studi
Pariwisata, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Gustanto, M. Hum. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak
membantu penulis selama proses penyusunan Kertas Karya ini.
4. Ibu Dra. Asmita Surbakti, M.Si. selaku Dosen Pembaca yang telah banyak
membantu penulis selama proses penyusunan Kertas Karya ini.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
5. Seluruh Staf Pengajar dan Pegawai Program Studi Pariwisata, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara.
6. Ayahanda M. Hutagalung dan ibunda R. br. Sianturi ku tersayang yang
senantiasa memberikan cinta dan kasih sayang yang begitu besar dan juga telah
begitu sabar menghadapi tingkah lakuku selama ini.... Maafkan aku bila sering
membuat ayah dan bunda sedih.... Dan terima kasih karena telah mencari dan
memberikan segala yang terbaik buat hidupku. Aku sadar, aku gak mungkin
bisa membalas semua yang telah kalian berikan pada ku. Walaupun aku cuma
sendiri tapi yang pasti, I always love you, mom n dad. Now n forever.
7. Keluarga besarku di kampus, Kak Rotua (mak Ro), Friskawati (iting/pipis),
Jeni (uje), Linda (lindonk), Oktri (aek latong), Florence (dombat), dan Lioni
(o’on/once), sahabat-sahabat (yang sudah ku anggap seperti saudara), yang
senantiasa ada disaat susah dan senang bersama, tetap bersatu walau terkadang
banyak perbedaan. Terima kasih untuk kebersamaan yang indah dan senantiasa
berkesan saat kita bersama, dikampus, emcitodesk, PDOW, PKL, dan study
tour. Hope our frienship last forever.
8. Kawan-kawan seperjuangan dalam menahlukkan Pusuk Buhit selama 3 hari 2
malam yang begitu berkesan. Riko, Yogi, Budi, Faisal, Tri Slamat, Fiki,
Friska, kak Rotua, Nova, Harum, Dinda, dan bang Tipen. Kalo gak ada
kalian semua, aku pasti gak akan pernah sampek ke puncak Pusuk Buhit yang
begitu jauh. Laskar pelangi, s’mangat!!!
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
9. Semua teman-teman ku di UW’ 06 dan Hotel’ 06 yang tidak bisa disebutkan
satu per satu, yang sama-sama berjuang saat inagurasi dan dalam menjalankan
hidup di jurusan Pariwisata kita yang tercinta ini. Semoga tercapai segala cita
dan cinta kalian semua. God bless you all.
10. Seseorang yang telah menjadi hero bagiku, Albert M. Hutasoit yang telah
memberikan banyak bantuan dan juga telah memberikan semangat agar aku
tetap kuat dalam berjuang menyusun Kertas Karya ini. Serta memberikan
warna dan keceriaan dalam hidupku. Terimakasih telah menyayangiku dengan
sepenuh hatimu. Dan maaf kalo selama menyusun, aku gak punya waktu
untuk mu, bahkan di hari ultahmu. Je t’aime mon cheri.
11. Genk NeRo: kak Ruri (ketua), Desi (bendahara) dan Lisa (sekretaris), yang
heboh luar biasa kalau lagi ngumpul. Semoga kita bisa selalu axis dan yang
pasti tambah personil, donk. Ha..ha..ha. Hidup NeRo.
12. Kedua keluarga besar Hutagalung dan Sianturi yang telah memberi
dukungan dan dorongan baik moral maupun dalam hal keuangan selama
dalam studiku. Terimakasih atas segalanya dan aku berterima kasih dan
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Dia telah memberikan kalian
semua sebagai tempat berlindungku.
Dan juga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan Kertas Karya ini dari awal hingga akhir, yang namanya
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Penulis juga menyadari Kertas Karya ini masih jauh dari dari sempurna, untuk
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
Kertas Karya ini dan serta perbaikan kedepannya.
Medan, Maret 2009
Penulis
Lusianna M. E. Hutagalung
062204067
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
ABSTRAKSI
Kebudayaan daerah merupakan aset yang penting bagi pengembangan kepariwisataan di Indonesia. Hal ini dikarenakan kebudayaan nasional kita merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah yang dapat dijadikan aset bagi pengembangan sektor pariwisata. Dengan berkembangnya kepariwisataan kita diharapkan semakin baik pula kehidupan perekonomian masyarakat bangsa kita sendiri yang selama beberapa tahun belakangan ini mengalami krisis ekonomi yang sangat memprihatinkan.
Untuk dapat menciptakan kondisi perekonomian agar dapat pulih dari kirisis tersebut, maka pemerintah berusaha melalui berbagai usaha, yang salah satunya adalah pengembangan kebudayaan daerah atau kesenian agar dapat dijadikan sebagai aset utama atraksi wisata yang dapat menyedot kunjungan wisatawan manca negara ke Indonesia yang sekaligus meningkatkan devisa negara. Pulau Bali adalah salah satu propinsi yang berpotensi dibidang pariwisata di Indonesia sudah sejak lama. Pulau Bali yang mungil nan indah ini memiliki alam yang indah, berupa pantai, pegunungan dan juga danau. Dan disamping itu, Pulau Bali juga memiliki kebudayaan yang unik, serta masyarakat yang ramah dan bersahabat. Kebudayaan daerah merupakan asset yang cukup penting bagi pengembangan kepariwisataan di Indonesia. Hal ini dikarenakan kebudayaan nasional kita merupakan puncak-puncak dari kebudayaan daerah yang dapat dijadikan asset bagi pengembangan sektor pariwisata. Kepariwisataan di Pulau Bali masih perlu ditingkatkan agar tetap menjadi primadona negeri ini, bahkan primadona di seluruh dunia. Keywords : Atraksi wisata, Upacara kematian Ngaben, Bali
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………… i ABSTRAKSI……………………………………………………………….. v DAFTAR ISI……………………………………………………………….. iv DAFTAR TABEL…………………………………………………………. viii BAB I PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul ............................................................... . 1
1.2 Pembatasan Masalah ................................................................... . 3
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................... . 3
1.4 Metode Penulisan ........................................................................ . 4
1.5 Sistematika Penulisan.................................................................... 4
BAB II KEPARIWISATAAN DAN BUDAYA DI BALI
2.1 Pengertian Pariwisata .................................................................. . 6
2.1.1 Pengertian Wisatawan ............................................................... 9
2.1.2 Pengertian Objek Wisata dan Atraksi Wisata ........................... 10
2.1.3 Karakteristik Objek Wisata ....................................................... 11
2.1.4 Jenis-jenis Pariwisata ................................................................ 12
2.2 Agama, Adat, dan Budaya di Bali................................................ 15
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PULAU BALI
3.1 Gambaran Umum Pulau Bali ........................................................ 20
3.1.1 Letak Geografis ......................................................................... 20
3.1.2 Topografi ................................................................................... 22
3.2 Peluang Investasi .......................................................................... 24
3.3 Sarana dan Prasarana .................................................................... 26
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
BAB IV “NGABEN” UPACARA KEMATIAN SEBAGAI SALAH SATU
ATRAKSI WISATA BUDAYA DI BALI
4.1 Upacara Kematian Ngaben .......................................................... 31
4.2 Beberapa Pendapat Tentang Upacara Ngaben ............................ . 33
4.3 Proses Upacara Ngaben ............................................................... 35
4.4 Upacara Mangkisan...................................................................... 38
4.4.1 Tujuan Membakar Mayat .......................................................... 40
4.4.2 Ngaben Massal .......................................................................... 43 BAB V PENUTUP ....................................................................................... 46 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Luas Wilayah Tiap Kabupaten di Provinsi Bali ............................. 21
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul
Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah, yaitu berpuluh ribu pulau,
beraneka ragam bentuk alam, budaya yang unik, peninggalan-peninggalan bersejarah
serta suku, adat istiadat dan kesenian yang beragam. Dengan demikian menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan daerah tujuan wisata ( DTW ) yang dikenal oleh
dunia.
Pulau Bali adalah salah satu propinsi dan daerah tujuan wisata ( DTW ) di
Indonesia yang memiliki potensi wisata yang sangat menjanjikan dibandingkan
dengan daerah lain. Hal itu dikarena Pulau Bali memiliki alam yang indah, berupa
pantai, pegunungan dan juga danau. Dan disamping itu, Pulau Bali juga memiliki
kebudayaan yang unik, serta masyarakat yang ramah dan bersahabat. Kebudayaan
daerah merupakan asset yang cukup penting bagi pengembangan kepariwisataan di
Indonesia. Hal ini dikarenakan kebudayaan nasional kita merupakan puncak-puncak
dari kebudayaan daerah yang dapat dijadikan asset bagi pengembangan sektor
pariwisata.
Perkembangan pariwisata dewasa ini memang sudah cukup baik yang ditandai
dengan naik turunnya urutan kepariwisatan sebagai penghasil devisa negara terbesar.
Salah satu cara untuk meningkatkan, mengembangkan, dan mendayagunakan daya
tarik wisata adalah melalui pentas seni budaya yang dipentaskan untuk dapat
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
dinikmati oleh para wisatawan. Untuk itu pembinaan seni budaya mutlak dilakukan
agar seni budaya kita dapat berkembang.
Adapun tujuan umum dari pengadaan pembinaan pentas seni budaya tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Memperluas kesempatan usaha dan lapangan pekerjaan.
2. Menjadi sumber penerimaan devisa.
3. Meningkatkan pendapatan langsung pada masyarakat dan pemerintah
daerah.
4. Mendorong pertumbuhan dan perkembangan wilayah, terutama yang
memiliki potensi sumber daya alam yang terbatas.
5. Memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta menjalin pengertian
antar bangsa.
Berdasarkan dari sudut pandang tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk
mencoba membahas dan menguraikan tentang salah satu kebudayaan daerah
masyarakat Bali, yaitu upacara kematian Ngaben. Hal tersebut dilatarbelakangi
karena upacara kematian Ngaben yang unik dapat menarik perhatian wisatawan baik
local maupun mancanegara. Oleh karena itu penulis memilih judul kertas karya
“NGABEN” UPACARA KEMATIAN SEBAGAI SALAH SATU ATRAKSI
WISATA DI BALI
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
1.2 Pembatasan Masalah
Bila judul tersebut diatas dipandang secara luas, maka akan banyak hal-hal
yang harus dibahas, untuk itu penulis membuat batasan masalah yang akan dibahas.
Adapun pembatasan masalah yang dibuat oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Apakah pengertian pariwisata, kepariwisataan, wisatawan, objek wisata dan
atraksi wisata.
2. Bagaimana gambaran umum tentang potensi wisata di Bali, khususnya potensi
upacara kematian Ngaben sebagai atraksi wisata.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan kertas karya ini adalah :
1. Memperkenalkan budaya pembakaran mayat sebagai salah satu atraksi
wisata yang dapat menarik perhatian wisatawan, baik dari dalam maupun
luar negeri, khususnya untuk kemajuan pariwisata di Bali.
2. Sebagai salah satu syarat dalam ujian Diploma Program Studi Bidang
Keahlian Usaha Wisata, guna memperoleh gelar Diploma Ahli Madya
Pariwisata yang diwajibkan oleh Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara serta menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat menerapkan
ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti masa perkuliahan di Program
Studi Pariwisata D III bidang keahlian Usaha Wisata pada Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
1.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan oleh penulis dalam memperoleh data dan informasi
yang konkrit untuk dapat menjawab permasalahan yang dihadapi penulis, serta dapat
dipertanggungjawabkan adalah dengan cara :
1. Library Research ( Penelitian Kepustakaan )
Yaitu penelitian berdasarkan bahan perpustakaan yang berkaitan dengan objek
penulisan, berupa buku, majalah, surat kabar, diktat perkuliahan, dan brosur-
brosur yang berhubungan dengan judul kertas karya.
2. Field Research ( Penelitian Lapangan )
Yaitu penelitian yang dilakukan langsung dengan bertanya kepada masyarakat
setempat.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam penulisan kertas karya secara ringkas dan jelas diuraikan dalam lima
(5) bab, dimana masing-masing bab terdiri dari sub-sub bahasan yang saling
berkaitan, penjabarannya adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai alasan pemilihan judul, pembatasan
masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, serta sistematika
penulisan.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
BAB II : KEPARIWISATAAN DAN KEBUDAYAAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai pengertian pariwisata,
kepariwisataan dan wisatawan, pengertian objek wisata dan atraksi
wisata, jenis-jenis pariwisata, serta pengertian kebudayaan secara
umum.
BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG PULAU BALI
Bab ini memaparkan tentang gambaran umum, letak geografis,
keadaan fisik, potensi investasi, sarana dan prasarana, dan beberapa
objek wisata yang populer di Bali.
BAB IV : “NGABEN” UPACARA KEMATIAN SEBAGAI SALAH SATU
ATRAKSI WISATA BUDAYA DI BALI
Bab ini menguraikan tentang gambaran upacara kematian Ngaben di
Bali.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan mengenai pembahasan yang telah
dipaparkan pada bab-bab sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
BAB II
KEPARIWISATAAN DAN KEBUDAYAAN
2.1 Pengertian Pariwisata
Ditinjau dari segi etimologinya, kata pariwisata berasal dari bahasa sanskerta
yang terdiri dari dua suku kata, yaitu: pari dan wisata. Pari berarti keliling, banyak,
berkali-kali, berputar-putar,dari - dan ke -. Sedangkan, wisata berarti perjalanan;
berpergian (to travel). Atas dasar itu, maka pariwisata dapat diartikan sebagai
perjalanan keliling yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat yang lainnya dan
kembali lagi ke tempat semula.
Namun pengertian mengenai pariwisata tersebut diatas belum memberikan
pengertian yang jelas dan tidak memiliki ketentuan-ketentuan mengenai batasan-
batasan dari pengertian pariwisata tersebut. Oleh karena itu, sebagai bahan
pertimbangan dapat dilihat beberapa pendapat berikut ini mengenai pengertian
pariwisata.
1. Secara Umum
Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan sementara waktu dari suatu
tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk bersenang-senang, dan menikmati
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
perjalanan tersebut guna memenuhi keinginan yang beraneka ragam tanpa rasa
terpaksa dan bukan untuk mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya.
2. Secara Teknis
Merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh manusia baik secara
perorangan maupun berkelompok dalam wilayah negara sendiri maupun negara lain
dengan menggunakan kemudahan, jasa atau pelayanan dan faktor-faktor penunjang
serta kemudahan-kemudahan lainnya yang diadakan oleh pemerintah, dunia usaha
dan masyarakat, agar dapat mewujudkan keinginan wisatawan.
3. Menurut Robert McIntosh bersama Shaskinant Gupta dalam Oka A.Yoeti
(1992:8) pariwisata adalah gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi
wisatawan, bisnis, pemerintah tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses
menarik dan melayani wisatawan-wisatawan serta para pengunjung lainnya.
4. Salah Wahab (1975:55) mengemukakan definisi pariwisata yaitu, pariwisata
adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan
ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standart hidup
serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya. Selanjutnya, sebagai sektor yang
komplek, pariwisata juga merealisasi industri-industri klasik seperti industri kerajinan
tangan dan cinderamata, penginapan dan transportasi,dll.
5. Menurut pendapat dari James J.Spillane (1982:20) mengemukakan bahwa
pariwisata adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan mendapatkan
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan,
menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, berziarah dan lain-lain.
6. Richard Sihite (Marpaung dan Bahar, 2000:46-47) menjelaskan definisi
pariwisata sebagai berikut : Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan orang
untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain
meninggalkan tempatnya semula, dengan suatu perencanaan dan dengan maksud
bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-
mata untuk menikmati kegiatan pertamsyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi
keinginan yang beraneka ragam.
7. Sedangkan pengertian Kepariwisataan menurut Undang-undang Nomor 9
Tahun 1990 pada bab I pasal 1, bahwa Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata. Artinya semua kegiatan dan urusan
yang ada kaitannya dengan perencanaan, pengaturan, pelaksanaan, pengawasan,
pariwisata baik yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta dan masyarakat disebut
Kepariwisataan.
8. Nyoman S. Pendit (2003:33) menjelaskan tentang kepariwisataan sebagai
berkut : Kepariwisataan juga dapat memberikan dorongan langsung terhadap
kemajuan kemajuan pembangunan atau perbaikan pelabuhan pelabuhan (laut atau
udara), jalan-jalan raya, pengangkutan setempat,program program kebersihan atau
kesehatan, pilot proyek sasana budaya dan kelestarian lingkungan dan sebagainya.
Yang kesemuanya dapat memberikan keuntungan dan kesenangan baik bagi
masyarakat dalam lingkungan daerah wilayah yang bersangkutan maupun bagi
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
wisatawan pengunjung dari luar. Kepariwisataan juga dapat memberikan dorongan
dan sumbangan terhadap pelaksanaan pembangunan proyek-proyek berbagai sektor
bagi negara-negara yang telah berkembang atau maju ekonominya, dimana pada
gilirannya industri pariwisata merupakan suatu kenyataan ditengah-tengah industri
lainnya.
2.1.1 Pengertian Wisatawan
Ada banyak batasan mengenai apa yang dimaksud dengan “wisatawan”.
Beberapa dapat kita lihat seperti penjelasan dibawah ini:
1. Dalam Intruksi Presiden No. 9/1969 dinyatakan : “Wisatawan adalah setiap orang
yang berpergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan
menikmati perjalanan dari kunjungan itu.”
2. Pada tahun 1963 IUOTO (Internasional Union Official Organization) membuat
batasan untuk wisatawan dan diterima oleh United Nation Conference on
International Travel and Tourism di Roma. Batasannya berbunyi sebagai berikut:
“Seorang yang bepergian dari tempat tinggalnya dan berdiam di tempat tujuannya
lebih dari dua puluh empat jam, dengan tujuan untuk menggunakan waktu senggang
untuk rekreasi atau berlibur, untuk menjalankan ibadah agama, maupun olahraga dan
keperluan lainnya.”
Menurut Liga Bangsa-bangsa dan IUOTO (Internasional Union Official
Organization), yang bisa dianggap wisatawan adalah: a. Mereka yang mengadakan
perjalanan untuk kesenangan karena alasan keluarga, kesehatan, dan lain-lain, b.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Mereka yang mengadakan perjalanan untuk keperluan perternuan-perternuan atau
karena tugas-tugas tertentu (iirnu pengetahuan,tugas pemerintahan, diplomasi, agama,
olah raga, dan lain-lain), c. Mereka yang mengadakan perjalanan dengan tujuan
usaha, d. Mereka yang datang dalam rangka perjalanan dengan kapal laut walaupun
tinggal di suatu negara kurang dari 24 jam.
2.1.2 Pengertian Objek Wisata dan Atraksi Wisata
Salah satu unsur dari berkembangnya suatu industri pariwisata adalah objek
dan atraksi wisata. Pengertian objek dan atraksi wisata dapat dilihat dalam beberapa
artian dibawah ini, yakni:
1. Pengertian objek dan atraksi wisata menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun
1990 yaitu yang menjadi sasaran perjalanan wisata yang meliputi :
1. Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam serta flora
dan fauna, seperti : pemandangan alam, panorama indah, hutan rimba dengan
tumbuhan hutan tropis, serta binatang-binatang langka.
2. Karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala,
peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro (pertanian), wisata tirta (air), wisata
petualangan, taman rekreasi, dan tempat hiburan.
3. Sasaran wisata minat khusus, seperti : berburu, mendaki gunung, gua,
industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras, tempat-tempat ibadah,
tempat-tempat ziarah dan lain-lain.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
2. Pengertian objek wisata atau tourist attraction, istilah yang lebih sering digunakan,
yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu
daerah tertentu (Pengantar Ilmu Pariwisata, Drs. Oka A. Yoeti, 1985).
3. Dalam dunia kepariwisataan, segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk
dikunjungi dan dilihat, disebut atraksi atau lazim pula dinamakan objek wisata (Ilmu
Pariwisata, Nyoman S. Pendit, 1994).
Dari pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa objek wisata
atau atraksi wisata adalah segala sesuatu yang mempunyai daya tarik, keunikan dan
nilai yang tinggi, yang menjadi tujuan wisatawan datang ke suatu daerah tertentu.
2.1.3 Karakteristik Objek Wisata
Selain beberapa persyaratan diatas, adapula 3 karakteristik utama dari objek
wisata yang harus diperhatikan dalam upaya pengembangan suatu objek wisata
tertentu agar dapat menarik dan dikunjungi banyak wisatawan. Seperti yang
diungkapkan oleh Drs. Oka A. Yoeti, 1985, karakteristik tersebut antara lain:
a. Daerah itu harus mempunyai apa yang disebut sebagai “something to see”. Artinya
di tempat tersebut harus ada objek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan apa
yang dimiliki oleh daerah lain. Dengan kata lain, daerah itu harus mempunyai daya
tarik yang khusus dan unik.
b. Daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan istilah “something to do”.
Artinya di tempat tersebut selain banyak yang dapat disaksikan, harus disediakan pula
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
fasilitas rekreasi atau amusement yang dapat membuat wisatawan betah tinggal lebih
lama di tempat itu.
c. Di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan istilah “something to
buy”. Artinya di tempat tersebut harus ada fasilitas untuk berbelanja, terutama
barang-barang souvenir dan kerajinan tangan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa
pulang.
Ketiga hal tersebut merupakan unsur-unsur yang kuat untuk suatu daerah
tujuan wisata sedangkan untuk pengembangan suatu daerah tujuan wisata harus ada
beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
1. Harus mampu bersaing dengan objek wisata yang ada di daerah lain.
2. Memiliki sarana pendukung yang memiliki ciri khas tersendiri.
3. Harus tetap, tidak berubah dan tidak berpindah-pindah kecuali dibidang
pembangunan dan pengembangan.
4. Harus menarik, dalam pengertian secara umum (bukan dari pengertian yang
subjektif), terdapat sarana dan prasarana, amenitas dan aksesibilitas serta
sadar wisata masyarakat yang mampu mendukung objek wisata tersebut
(Samsuridjal, 1997:34)
2.1.4 Jenis-jenis Pariwisata
Sama halnya seperti pengertian pariwisata, kriteria dan jenis wisata pun dapat
dibagi-bagi dalam banyak kategori. Kategori yang biasanya ditampilkan adalah
berdasarkan tujuan atau alasan seorang wisatawan datang ke suatu tempat.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Contoh jenis wisata:
1. Berdasarkan alasan / tujuan perjalanan, adalah :
o Holiday Tour (wisata liburan), yaitu suatu perjalanan wisata yang
diselenggarakan dan diikuti oleh angggotanya guna berlibur, bersenang-
senang dan menghibur diri.
o Familiarization Tour (wisata pengenalan), yaitu suatu perjalanan anjangsana
yang dimaksudkan guna mengenal lebih lanjut bidang atau daerah yang
mempunyai kaitan dengan pekerjaan.
o Educational Tour (wisata pendidikan), yaitu suatu perjalanan wisata yang
dimaksudkan untuk memberikan gambaran, studi perbandingan ataupun
pengetahuan mengenai bidang kerja yang dikunjunginya. Wisata jenis ini
disebut juga study tour atau perjalanan kunjungan pengetahuan.
o Scientific Tour (wisata pengetahuan), yaitu perjalanan wisata yang tujuan
pokoknya adalah untuk memperoleh pengetahuan atau penyelidikan terhadap
sesuatu bidang ilmu pengetahuan. Misalnya: kunjungan melihat bunga
bangkai berbunga (raflesia arnoldi), melihat gerhana matahari total,
menyelidiki kehidupan konodo, dll.
o Pileimage Tour (wisata keagamaan), yaitu perjalanan wisata yang
dimaksudkan guna melakukan ibadah keagamaan.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
o Hunting Tour (wisata perburuan), yaitu suatu kunjungan wisata yang
dimaksudkan untuk menyelenggarakan perburuan binatang yang diijinkan
oleh penguasa setempat sebagai hiburan semata-mata. Ex; berburu babi hutan
di Sumatera, berburu Kangguru di Australia, dan lain-lain.
2. Berdasarkan jumlahnya, adalah:
Individual Tour (wisata perorangan), yaitu perjalanan wisata yang dilakukan
oleh satu orang atau sepasang suami-isteri.
Family Group Tour (wisata keluarga), yaitu suatu perjalanan wisata yang
dilakukan oleh serombongan keluarga yang masih mempunyai hubungan
kekerabatan satu sama lain.
Group Tour (wisata rombongan), yaitu suatu perjalanan wisata yang
dilakukan bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang yang bertanggung
jawab atas keselamatan dan kebutuhan seluruh anggotanya. Biasanya paling
sedikit 10 orang, dengan dilengkapi diskon dari perusahaan prinsipal bagi
orang yang kesebelas. Potongan ini besarnya berkisar antara 2 hingga 50%
dari ongkos penerbangan atau penginapan.
3. Berdasarkan penyelenggarannya, adalah:
o Excursion (Ekskursi), yaitu suatu perjalanan wisata jarak pendek yang
ditempuh kurang dari 24 jam guna mengunjungi satu atau lebih obyek wisata.
o Safari Tour, yaitu suatu perjalanan wisata yang diselenggarakan secara
khusus dengan perlengkapan maupun peralatan khusus pula yang tujuan
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
maupun obyeknya bukan merupakan obyek kunjungan wisata pada umumnya.
Misal: safari ke ujung kulon, safari ke Taman Safari Indonesia di Gianyar
Bali.
o Cruize Tour (wisata pesiar), yaitu perjalanan wisata dengan menggunakan
kapal pesiar mengunjungi obyek-obyek wisata bahari dan obyek wisata di
darat tetapi menggunakan kapal pesiar sebagai basis keberangkatannya.
o Youth Tour (wisata remaja), yaitu kunjungan wisata yang
penyelenggaraannya khusus diperuntukkan bagi para remaja menurut
golongan umur yang ditetapkan oleh hukum negara masing-masing.
o Marine Tour (wisata bahari), yaitu suatu kunjungan ke obyek wisata,
khususnya untuk menyaksikan keindahan lautan, wreck-diving (menyelam)
dengan perlengkapan selam lengkap.
2.2 Agama, Adat, dan Budaya di Bali
Di Bali dikenal satu bait sastra yang intinya digunakan sebagai slogan
lambang negara Indonesia, yaitu: Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Manggrua, yang bermakna “Kendati berbeda namun tetap satu jua, tiada duanya
(Tuhan - Kebenaran) itu”. Bisa dipahami jika masyarakat Bali dapat hidup
berdampingan dengan pemeluk agama lain seperti Islam, Kristen, Budha, dan
lainnya. Pandangan ini merupakan bantahan terhadap penilaian sementara orang
bahwa Agama Hindu memuja banyak Tuhan. Kendati masyarakat Hindu di Bali
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
menyebut Tuhan dengan berbagai nama namun yang dituju tetaplah satu, Tuhan
Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, yang disebut Tri Murti, kendati terpilah tiga,
namun terkait satu jua sebagai proses lahir - hidup - mati atau utpeti - stiti - pralina.
Dewata Nawa Sanga sebagai sembilan Dewata yang menempati delapan arah mata
angin dan satu di tengah kendati terpilah sembilan lalu menjadi sebelas tatkala
terpadu dengan lapis ruang ke arah vertikal bawah - atas - tengah atau bhur - bwah -
swah, adalah satu jua sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam
semesta. Demikian pula halnya dengan nama dan sebutan lain yang dimaksudkan
secara khusus memberikan gelar atas ke-Mahakuasa-an Tuhan.
Keyakinan umat Hindu terhadap keberadaan Tuhan / Ida Sang Hyang Widhi
Wasa yang Wyapi Wyapaka atau ada di mana-mana juga di dalam diri sendiri -
merupakan tuntunan yang selalu mengingatkan keterkaitan antara karma atau
perbuatan dan pahala atau akibat, yang menuntun prilaku manusia ke arah Tri Kaya
Parisudha sebagai terpadunya manacika, wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran,
perkataan, dan perbuatan yang baik.
Umat Hindu percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan
Tuhan sekaligus menjadi karunia Tuhan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan
guna kelangsungan hidup mereka. Karena itu tuntunan sastra, agama Hindu
mengajarkan agar alam semesta senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya
yang dalam pemahamannya diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai
tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, yaitu:
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
1. Hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam
bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai
upacara persembahan kepada Tuhan. Karena itu dalam satu komunitas
masyarakat Bali yang disebut Desa Adat dapat dipastikan terdapat sarana
Parhyangan atau Pura, disebut sebagai Kahyangan Tiga, sebagai media dalam
mewujudkan hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
2. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau badan
tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya
(pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa
Pakraman.
3. Hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang
dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga
masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Pelaksanaan berbagai bentuk upcara persembahan dan pemujaan kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa oleh umat Hindu disebut Yadnya atau pengorbanan/korban
suci dalam berbagai bentuk atas dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada
hakekatnya tidak terlepas dari Tri Hita Karana dengan unsur-unsur Tuhan, alam
semesta, dan manusia.
Didukung dengan berbagai filosofi agama sebagai titik tolak ajaran tentang
ke-Mahakuasa-an Tuhan, ajaran Agama Hindu menggariskan pelaksanaan Yadnya
dalam lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yang diurai menjadi:
1. Dewa Yadnya
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa
Yadnya ini umumnya dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan
(tempat suci keluarga) sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini
lazim disebut sebagai piodalan, aci, atau pujawali.
2. Pitra Yadnya
Penghormatan kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang
melahirkan, memelihara, dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan
berkeluarga. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua
dan keluarga yang telah meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa
hidup, akan menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga
yang masih hiduplah sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan
tahap penyatuan tersebut berlangsung dengan baik.
3. Rsi Yadnya
Persembahan dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai,
yang telah menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi
pekerti dalam bertingkah laku.
4. Manusia Yadnya
Suatu proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri
beserta keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali,
terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir,
tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah
wujud upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
5. Bhuta yadnya
Prosesi persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber
daya alam semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam
semesta dibentuk dari unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta,
terdiri dari Akasa (ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan
Pertiwi (zat padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka
manusialah yang wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya
(binatang dan tumbuhan).
Panca Maha Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar, jika tidak
dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan
hidup alam semesta. Perhatian terhadap kelestarian alam inilah yang membuat
upacara Bhuta Yadnya sering dilakukan oleh umat Hindu baik secara insidentil
maupun secara berkala. Bhuta Yadnya memiliki tingkatan mulai dari upacara
masegeh berupa upacara kecil dilakukan setiap hari hingga upacara caru dan tawur
agung yang dilakukan secara berkala pada hitungan wuku (satu minggu), sasih (satu
bulan), sampai pada hitungan ratusan tahun. (sumber ;Ida Ayu Putu Surayin, 2008)
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG PULAU BALI
3.1 Gambaran Umum Pulau Bali
Propinsi Daerah Tingkat I Bali terdiri dari Pulau Bali dan Pulau-pulau kecil
dengan luas wilayah 563.286 Ha atau 0,29 % dari luas kepulauan Indonesia. Adapun
pulau-pulau kecil tersebut adalah Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau
Nusa Lembongan, Pulau Serangan dibelahan selatan menghadap samudra Hindia dan
Pulau Menjangan di belahan utara Pulau Bali menghadap ke Laut Jawa.
3.1.1 Letak Geografis
Secara geografis Propinsi Bali terletak pada 8°3'40" - 8°50'48" Lintang
Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur. Provinsi Bali terletak di antara
Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Batas fisiknya adalah sebagai berikut:
• Utara : Laut Bali
• Timur : Selat Lombok (Provinsi Nusa Tenggara Barat)
• Selatan : Samudera Indonesia
• Barat : Selat Bali (Propinsi Jawa Timur)
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Dengan garis pantai sepanjang lebih kurang 529 Km dan topografi Pulau Bali
ditengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur yang
berupa sabuk hijau (green belt) berupa hutan sebagai sumber mata air dan diantara
pegunungan ada gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Agung dan Gunung
Batur. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan daerah Bali secara geografis
terbagi menjadi 2 bagian yang tidak sama yakni Bali Utara dengan dataran rendah
yang sempit dan kurang landai sedangkan Bali Selatan dengan dataran rendah dan
landai. Selain itu pada bentangan sabuk hijau tersebut terdapat 4 Danau yaitu Danau
Bratan, Danau Buyan, Danau Tamblingan dan Danau Batur, yang dipergunakan
sumber air bagi kehidupan.
Secara administratif Propinsi Bali terdiri atas 1 pemerintahan kota dan 8
Kabupaten, 51 Kecamatan, 565 Desa, 79 Kelurahan dan 3.499 Banjar/Dusun dengan
jumlah penduduk sekitar 2.968.933 jiwa.
Tabel 3.1 Luas Wilayah Tiap Kabupaten di Provinsi Bali
Kabupaten/Kota Ibukota Luas (km²) Persentase (%)
Jembrana Negara 841,80 14,94
Tabanan Tabanan 839,30 14,90
Badung Badung 420,09 7,43
Denpasar Denpasar 123,98 2,20
Gianyar Gianyar 368,00 6,53
Klungkung Semarapura 315,00 5,59
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Bangli Bangli 520,81 9,25
Karangasem Amlapura 839,54 14,90
Buleleng Singaraja 1.365,88 24,25
Jumlah 5.634,40 100,00
Sumber: Master Plan Penunjang Investasi Provinsi Bali Tahun 2006-2010
3.1.2 Topografi
Bali merupakan daerah pegunungan dan perbukitan yang meliputi sebagian
besar wilayah. Relief Pulau Bali merupakan rantai pegunungan yang memanjang dari
barat ke timur. Di antara pegunungan itu terdapat gunung berapi yang masih aktif,
yaitu Gunung Agung (3.142 m) dan Gunung Batur (1.717 m). Beberapa gunung yang
tidak aktif lainnya mencapai ketinggian antara 1.000 - 2.000 m.
Rantai pegunungan yang membentang di bagian tengah Pulau Bali
menyebabkan wilayah ini secara geografis terbagi menjadi dua bagian yang berbeda,
yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dari kaki perbukitan dan
pegunungan dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Ditinjau
dari kemiringan lerengnya, Pulau Bali sebagian besar terdiri atas lahan dengan
kemiringan antara 0 - 2 % sampai dengan 15 - 40 %. Selebihnya adalah lahan dengan
kemiringan di atas 40 %.
Sebagai salah satu kriteria untuk menentukan tingkat kesesuaian lahan, maka
lahan dengan kemiringan di bawah 40 % pada umumnya dapat diusahakan asal
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
persyaratan lain untuk penentuan lahan terpenuhi. Sedangkan lahan dengan
kemiringan di atas 40 % perlu mendapat perhatian bila akan dijadikan usaha
budidaya.
Lahan dengan kemiringan 0 - 2 % mendominasi daerah pantai bagian selatan
dan sebagian kecil pantai bagian utara Pulau Bali, dengan luas areal 96,129 ha.
Sedangkan lahan dengan kemiringan 2 - 15 % sebagian besar terdapat di wilayah
Kabupaten Badung, Tabanan, Gianyar, Buleleng, dan sisanya tersebar secara merata
di daerah sekitar pantai dengan luas mencapai 132.056 ha.
Daerah dengan kemiringan 15 - 40 % meliputi areal seluas 164.749 ha secara
dominan terdapat di wilayah bagian tengah Pulau Bali, mengikuti deretan perbukitan
yang membentang dari arah barat ke timur wilayah ini. Daerah dengan kemiringan
melebihi 40 % merupakan daerah pegunungan dan perbukitan yang terletak pada
bagian Pulau Nusa Penida.
Ditinjau dari ketinggian tempat, Pulau Bali terdiri dari kelompok lahan
sebagai berikut:
• Lahan dengan ketinggian 0 - 50 m di atas permukaan laut mempunyai
permukaan yang cukup landai meliputi areal seluas 77.321,38 ha.
• Lahan dengan ketinggian 50 - 100 m di atas permukaan laut mempunyai
permukaan berombak sampai bergelombang dengan luas 60.620,34 ha.
• Lahan dengan ketinggian 100 - 500 m di seluas 211.923,85 ha didominasi
oleh keadaan permukaan bergelombang sampai berbukit.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
• Lahan dengan ketinggian 500 - 1.000 m di atas permukaan laut seluas
145.188,61 ha.
• Lahan dengan ketinggian di atas 1.000 m di atas permukaan laut seluas
68.231,90 ha.
Dengan keadaan Sumber Daya Alam yang ada di Propinsi Bali dan sumber
daya manusia beserta kultur sosial dan budaya serta ekonominya, daerah ini potensial
sekali sebagai daerah agraris yang handal dan pariwisata, oleh karena itu
Pembangunan Daerah Propinsi Bali bertumpu pada Sektor Pertanian yang
didalamnya Sub Sektor Kehutanan dan Sektor Pariwisata. Secara langsung memang
Sub Sektor Kehutanan tidak termasuk dalam Sub Sektor yang berperan terhadap
PDRB Daerah Bali akan tetapi secara tidak langsung banyak menopang terhadap
hidroorologis.
Berkaitan dengan pelestarian Sumber Daya Alam, sesuai dengan kultur
budaya masyarakat Bali yang menurut Ajaran Agama Hindu terkenal dengan "Tri
Hita Karana" (Hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia, hubungan manusia dengan lingkungan) maka upaya tersebut menunjukkan
hasil yang positif disamping terbinanya lingkungan yang baik juga mendukung
pembangunan Kehutanan dan Pariwisata.
3.2 Peluang Investasi
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Bila ingin menanam modal atau membuka usaha Pulau Bali adalah salah satu tempat
terbaik untuk melakukannya, dengan berbagai macam bidang usaha.yang ditawarkan.
Contohnya :
1. Bidang Usaha Pariwisata.
Peluang investasinya terdapat di kawasan Soka Kabupaten Tabanan, di
kawasan Taman Nasional Bali Barat Kabupaten Jembrana dan di Pulau
Menjangan Kabupaten Buleleng. Peluang investasi yang sama juga masih
terbuka di kawasan Candi Kusuma dan kawasan Perancak yang keduanya
terletak di Kabupaten Jembrana, di kawasan Nusa Penida Kabupaten
Klungkung, di kawasan Ujung, Tulamben, dan Candidasa Kabupaten
Karangasem.
2. Bidang Usaha Jasa.
Peluang investasi di bidang ini tersedia dalam dua jenis, yakni jasa
perdagangan umum ekspor/impor, dan jasa konsultasi managemen. Bidang
Usaha Industrl Kecil dan Menengah Peluang investasi di bidang ini masih
terbuka pada sejumlah industri seperti industri kerajinan emas dan perak di
seluruh kabupaten/kota di Bali; industri kerajinan kayu di Kabupaten Gianyar
dan Bangli; industri kerajinan besi di Kabupaten Tabanan, Gianyar, Jembrana
dan Denpasar; industri anyaman di Kabupaten Karangasem dan Buleleng;
industri kerajinan keramik di Kabupaten Badung dan Gianyar, serta industri
pengalengan ikan di Kabupaten Jembrana.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
3. Bidang Usaha Pertanian dalam Arti Luas
Peluang investasi dalam bidang ini sangat terbuka lebar karena masih sedikit
yang mengusahakan, terutama di bidang agricultural. Peluang itu adalah
sebagai berikut:
- Investasi pengembangan sayur-sayuran utamanya kacang panjang dan tomat
di Kabupaten Tabanan.
- Investasi dalam pengembangan dan pengolahan hasil potensi buah lokal
Bali utamanya strawberry di Bedugul, Kabupaten Tabanan, dan buah salak di
Kabupaten Karangasem.
- Investasi dalam pengembangan potensi laut seperti budidaya ikan kerapu,
rumput laut, mutiara dan ikan bandeng di Kabupaten Buleleng dan rumput
laut di Nusa Penida Kabupaten Klungkung.
- Investasi dalam hal pengembangan potensi pembenihan ikan bandeng,
kerapu, udang windu, udang galah, ikan hias maupun ikan air tawar di
Kabupaten Buleleng dan Jembrana.
- Investasi dalam pengembangan potensi ayam ras di Kecamatan Susut
Kabupaten Bangli dan Kabupaten Tabanan. Pengembangan sapi potong di
Bongan Cina - Buleleng, serta sapi potong di Kecamatan Rendang Kabupaten
Karangasem.
- Untuk memenuhi kebutuhan makanan ternak, investasi pakan ternak ayam,
sapi dan babi juga potensial dikembangkan di Kabupaten Bangli. Gianyar dan
Karangasem.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
- Investasi dalam pengolahan kopi Robusta di Kintamani - Bangli, Tabanan
dan Buleleng, serta investasi dalam pengembangan dan pengolahan kakao di
Tabanan, mete di Kubu - Karangasem.
- Investasi dalam budidaya kerang mutiara di Kabupaten Karangasem dan
Jembrana.
3.3 Sarana dan Prasarana
Sarana Wisata
Sejak penguasaan oleh Belanda, Bali seolah dibuka lebar untuk kunjungan
orang asing. Bali tidak saja kedatangan orang asing sebagai pelancong namun tak
sedikit para pemerhati dan penekun budaya yang datang untuk mencatat keunikan
seni budaya Bali. Dari para penekun budaya yang terdiri dari sastrawan, penulis, dan
pelukis inilah keunikan Bali kian menyebar di dunia internasional. Penyampaian
informasi melalui berbagai media oleh orang asing ternyata mampu menarik minat
pelancong untuk mengunjungi Bali. Kekaguman akan tanah Bali lalu menggugah
minat orang asing memberi gelar kepada Bali. The Island of Gods, The Island of
Paradise, The Island of Thousand Temples, The Morning of the World, dan berbagai
nama pujian lainnya.
Tahun 1930, di jantung kota Denpasar dibangun sebuah hotel untuk
menampung kedatangan wisatawan ketika itu. Bali Hotel, sebuah bangunan bergaya
arsitektur kolonial, menjadi tonggak sejarah kepariwisataan Bali yang hingga kini
bangunan tersebut masih kokoh dalam langgam aslinya. Tidak hanya menerima
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
kunjungan wisatawan, duta kesenian Bali dari Desa Peliatan melakukan kunjungan
budaya ke beberapa negara di kawasan Eropa dan Amerika secara tidak langsung,
kunjungan tersebut sekaligus memperkenalkan keberadaan Bali sebagai daerah tujuan
wisata yang layak dikunjungi.
Kegiatan pariwisata, yang mulai mekar ketika itu, sempat terhenti akibat
terjadinya Perang Dunia II antara tahun 1942-1945 yang kemudian disusul dengan
perjuangan yang makin sengit merebut kemerdekaan Indonesia termasuk perjuangan
yang terjadi di Bali hingga tahun 1949. Pertengahan dasawarsa 50-an pariwisata Bali
mulai ditata kembali dan pada tahun 1963 dibangun Hotel Bali Beach (The Grand
Bali Beach Hotel) di Pantai Sanur dengan bangunan berlantai sepuluh. Hotel ini
adalah satu-satunya hunian wisata yang berbentuk bangunan tinggi sedangkan sarana
hunian wisata (hotel, home stay, pension) yang berkembang kemudian hanyalah
bangunan berlantai satu. Pada pertengahan dasa warsa 70-an pemerintah daerah Bali
mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengatur ketinggian bangunan maksimal 15
meter. Penetapan ini ditentukan dengan mempertimbangkan faktor budaya dan tata
ruang tradisional Bali sehingga Bali tetap memiliki nilai-nilai budaya yang mampu
menjadi tumupuan sektor pariwisata.
Secara pasti, sejak dioperasikannya Hotel Bali Beach pada November 1966,
pembangunan sarana hunian wisata berkembang dengan pesat. Dari sisi kualitas,
Sanur berkembang relatif lebih terencana karena berdampingan dengan Bali Beach
Hotel sedangkan kawanan Pantai Kuta berkemabang secara alamiah bergerak dari
model hunian setempat. Model homestay dan pension berkembang lebih dominan
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
dibanding model standar hotel. Sama halnya dengan Kuta, kawasan Ubud di daerah
Gianyar berkembang secara alamiah, tumbuh di rumah-rumah penduduk yang tetap
bertahan dengan nuansa pedesaan.
Pembangunan sarana hunian wisata yang berkelas internasional akhirnya
dimulai dengan pengembangan kawasan Nusa Dua menjadi resort wisata
internasional. Dikelola oleh Bali Tourism Developmnet Corporation, suatu badan
bentukan pemerintah, kawasan Nusa Dua dikembangkan memenuhi kebutuhan
pariwisata bertaraf internasional. Beberapa operator hotel masuk kawasan Nusa Dua
sebagai investor yang pada akhirnya kawsan ini mampu mendongkrak perkembangan
pariwisata Bali.
Masa-masa berikutnya, sarana hunian wisata lalu tumbuh dengan sangat pesat
di pusat hunian wisata terutama di daerah Badung, Denpasar, dan Gianyar. Kawasan
Pantai Kuta, Jimbaran, dan Ungasan menjadi kawasan hunian wisata di Kabupaten
Badung, Sanur, dan pusat kota untuk kawasan Denpasar. Ubud, Kedewatan,
Payangan, dan Tegalalang menjadi pengembangan hunian wisata di daerah Gianyar.
Mengendalikan perkembangan yang amat pesat tersebut, Pemerintah Daerah
Bali kemudian menetapkan 15 kawasan di Bali sebagai daerah hunian wisata berikut
sarana penunjangnya seperti restoran dan pusat perbelanjaan. Hingga kini, Bali telah
memilki lebih dari 35.000 kamar hotel terdiri dari klas Pondok Wisata, Melati, hingga
Bintang 5. Sarana hotel-hotel tersebut tampil dalam berbagai variasi bentuk mulai
dari model rumah, standar hotel, villa, bungalow, dan boutique hotel dengan variasi
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
harga jual. Keberagaman ini memberi nilai lebih bagi Bali karena menawarkan
banyak pilihan kepada para pelancong.
Sebagai akibat dari perkembangan kunjungan wisatawan, berbagai sarana
penunjang seperti misalnya restoran, art shop, pasar seni, sarana hiburan, dan rekreasi
tumbuh dengan pesat di pusat hunian wisata ataupun di kawasan obyek wisata. Para
pelancong yang berkunjung ke Bali, akhirnya memiliki banyak pilihan dalam
menikmati liburan mereka di Bali, akhirnya organisasi kepariwisataan seperti PHRI
(IHRA), ASITA, dan lembaga kepariwisataan lain di Bali, yang secara profesional
mengelola dan memberi layanan jasa pariwisata, seakan memberi jaminan untuk
kenyamanan berwisata di Bali.
Fasilitas Penunjang.
Fasilitas infrastruktur penanaman modal di Bali sangat memadai. Jaringan jalan dan
jembatan yang banyak mendorong kelancaran aktivitas bagi tumbuhnya berbagai
kegiatan perdagangan jasa, industri dan pariwisata. Pembangkit tenaga listrik tenaga
uap, gas dan diesel dengan total daya sebesar 569,120 MW, sarana angkutan yang
dapat melayani kendaraan angkutan umum bus, mikro bus, taksi dan kendaraan
bermotor lainnya, ditunjang dengan adanya pelabuhan laut Benoa, Padang Bai,
Gilimanuk dan Celukan Bawang yang mampu melayani kegiatan pelayanan
interseluler, serta pelabuhan udara Ngurah Rai yang mampu melayani kegiatan
angkutan udara internasional maupun dalam negeri, menandakan bahwa Provinsi Bali
memiliki infrastruktur investasi yang sangat memadai. Lembaga perbankan dan
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
lembaga keuangan lainnya, baik milik pemerintah maupun swasta jumlahnya cukup
banyak. Demikian pula infrastruktur telekomunikasi yang cukup dan sangat siap
mendukung pelayanan investasi, pelayanan perdagangan, dan pelayanan bertarap
nasional maupun internasional. (sumber : www.wikipedia-bali .com,2009)
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
BAB IV
“NGABEN” UPACARA KEMATIAN SEBAGAI SALAH SATU ATRAKSI
WISATA BUDAYA DI BALI
4.1 Upacara Kematian “Ngaben”
Dalam ajaran agama Hindu, kewajiban orang tua adalah menyucikan pribadi
anaknya secara utuh lahir maupun batin. Dalam keluarga Hindu upacara ini dilakukan
dengan formal sesuai dengan ritual upacara keagamaan yang disebut dengan upacara
Manusia Yadnya. Upacara Manusia Yadnya dilakukan dari bayi berada 7 (tujuh)
bulan didalan kandungan (megedong-gedongan), kelahiran bayi (mapag rare), kepus
pungsed (nelahin), bayi berumur 42 hari (tutug kambuhan), telung sasih (nyambutin),
tumbuh gigi (ngempugin), ketus gigi (dapetan), upacara selanjutnya adalah upacara
otonan dimana bayi berumur 210 hari yang disebut dengan otonan tuwun, yang
artinya bayi untuk pertama kali secara resmi boleh diturunkan menginjak tanah, serta
ketika anak laki-laki berumur 14 tahun dan atau anak wanita sudah mengalami datang
bulan yang pertama maka diadakan upacara Ngeraja Sewala atau Metatah.
Upacara Metatah ini menandakan bahwa anak yang sudah meningkat remaja
sudah memiliki sifat-sifat utama sebagai ciri sudah makin dewasa. Sifat-sifat utama
itu adalah suatu kemampuan yang secara bertahap menghilangkan kebiasaan-
kebiasaan buruk. Kebiasaan buruk inilah yang merupakan perwujudan dari sifat-sifat
Sad Ripu. Perwujudan Sad Ripu ini akan bisa ditekan dengan bimbingan orang tua
serta guru-guru yang ada, sehingga kebiasaan buruk Sad Ripu akan berubah menjadi
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Sad Guna. Pada saat Metatah, gigi yang dipapar adalah gigi yang berada dibagian
rahang atas yang merupakan lambang dari sifat kedewaan, sedangkan gigi dibagian
rahang bawah adalah merupakan lambang dari sifat-sifat keraksasaan.
Hidup yang baik adalah hidup yang mampu menguasai sifat-sifat keraksasaan
dengan bantuan kekuataan dari sifat kedewaan. Orang-orang yang mampu menguasai
sifat-sifat keraksasaanlah yang akan mendapat karunia dari Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Kalau orang tua yang mampu membina anaknya akan menumbuhkan sifat-sifat
baik, luhur dan menghilangkan sifat-sifat buruk itulah orang tua yang berhasil
sesungguhnya. Dan puncak kewajiban orang tua terhadap jenjang kehidupan anaknya
adalah mengawinkan anaknya (pawiwahan).
Didalam Upanisad disebutkan “Matri Deva Bhava, Pitri Deva Bhava” yang
berarti bahwa ayah dan ibu ibarat dewa didalam keluarga, karena itu berbakti kepada
orang tua dan leluhur merupakan kewajiban suci bagi setiap putra atau yang disebut
seputra. Anak harus berbakti kepada orang tuanya, baik semasa hidupnya maupun
setelah orang tua meninggal dunia. Pada saat orang tuanya meninggal, anak yang
seputra mempunyai kewajiban untuk menyucikan roh leluhurnya. Upacara untuk
menyucikan roh leluhurnya inilah dalam ajaran Agama Hindu Bali disebut dengan
upacara Pitra Yadnya. Proses ritual dari upacara ini melalui dua proses yaitu upacara
yang bertujuan mengembalikan unsur Panca Mahabhuta yang disebut Ngaben, serta
upacara Atma Wedana dimana didalamnya termasuk upacara ngangget dan bingin,
mepegat, meajar-ajar serta ngelinggihang dimana upacara ini bertujuan untuk
melepaskan atma dari ikatan sukma sarira. (Blog; Ir. I Nengah Sudarsana,2008)
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Jadi upacara kematian Ngaben harus dilakukan oleh seorang anak atau setiap
putra atau yang disebut seputra. Upacara Ngaben dilakukan sebagai kewajiban untuk
menyucikan roh leluhur atau orang tua mereka yang telah meninggal dunia sesuai
dengan ajaran agama Hindu.
4.2 Beberapa Pendapat Tentang Upacara Ngaben
Asal-usul kata ngaben sampai saat ini masih bervariasi. Ada yang mengatakan
kata Ngaben berasal dari kata “abu” dengan melihat hasil akhir pembakaran mayat.
Ada pula yang berpendapat bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “ngabenin”
dengan mengamati betapa banyak biaya yang dihabiskan. Dan ada juga yang
beragumentasi bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “ngabain” dengan alasan sang
mati “dibekali” (membawa) sesuatu yang masih berhubungan dengan material untuk
perjalanan roh ke alamnya.
Ngaben berasal dari kata beya. Beya berarti bekal, yakni berupa jenis upakara
yang diperlukan dalam upacara ngaben itu. Kata Beya yang berarti bekal, kemudian
dalam bahasa Indonesia menjadi biaya atau prabeya dalam bahasa bali. Orang yang
menyelenggarakan beya dalam bahasa bali disebut meyanin. Kata ngaben, meyanin ,
sudah menjadi bahasa baku, untuk menyebutkan upacara sawa wedhana. Jadi
sesunggungnya tidak perlu lagi diperdebatkan akan asal usul kata itu. Yang jelas
ngaben atau meyanin adalah penyelenggaraan upacara untuk sawa bagi orang yang
sudah meninggal.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya-yang disebut-sebut dalam
lontar-adalah atiwa-tiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal-usulnya.
Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara
sejenis ini juga kita jumpai pada suku Dayak, di Kalimantan, yang disebut tiwah.
Demikian juga di Batak kita dengar sebutan “tibal”, untuk menyebutkan upacara
setelah kematian itu.
Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan
pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat
presfiks “ng” menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang
setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan
fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi
“ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”.
Adapun yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma
sang mati melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih
Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta (utpeti).
Sesungguhnya ada dua jenis api yang dipergunakan dalam upacara Ngaben
yaitu Api Sekala (kongkret) yaitu api yang dipergunakan untuk membakar jasad atau
pengawak sang mati dan Api Niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang
Sulinggih selaku sang pemuput karya yang membakar kekotoran yang melekati sang
roh. Proses ini disebut mralina.
Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi
nilainya dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline yang muncul dari sang
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa agar
turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk melakukan “pralina”. Mungkin karena
api praline dipandang lebih mutlak/penting, dibeberapa daerah pegunungan di Bali
ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa harus membakar mayat dengan api,
melainkan cukup dengan menguburkannya. Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila
tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa mengunakan api
(sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan dengan Weda Sulinggih dan
sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.
Lepas dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang kehadiran
api sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses peleburan
sthula sarira (badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu
kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan
pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula
proses penyucian sang atma untuk bisa sampai di alam Swahloka (Dewa Pitara)
sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan untuk disembah. Tentunya setelah
melalui upacara mamukur yang merupakan kelanjutan dari Ngaben.
4.3 Proses Upacara Ngaben
Pelaksanaan ajaran Hindu di Bali bersifat fleksibel, artinya disesuaikan
dengan tradisi, kondisi dan kemampuan yang ada tetapi tetap memperhatikan
ketentuan baku dalam sarana dan aturan yg telah ditetapkan oleh Parisada Hindu
Dharma Indonesia (PHDI). Flexibilty terhadap tradisi disebut dengan dresta. Hal ini
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
paling sering dijumpai dalam pelaksanaan Ngaben. Setiap umat Hindu yg meninggal
wajib untuk di-aben kecuali yg meninggal karena ulahpati (meninggal karena
kecelakaan, bunuh diri atau dibunuh) serta orang yg tidak waras (mental illness) tidak
boleh langsung dibakar melainkan harus dikubur dulu. Dalam aturan adat dikatakan
bahwa cara meninggalnya ini tidak sesuai dengan kewajaran, walaupun secara logika
kita tahu bahwa cara Tuhan memanggil umatnya dengan berbagai cara. Setelah
dikubur dalam jangka waktu tertentu sesuai hukum adat desa setempat, baru bisa
digali untuk diambil tulangnya dan kemudian di adakan upacara Pengabenan
untuknya.
Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan
kalender yang ada yaitu kalender Bali. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum
hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan “bade dan lembu”
terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan
atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.
Prosesi upacara Ngaben berlangsung selama beberapa hari dan membutuhkan
biaya hingga puluhan juta. Mahalnya biaya upacara ini membuat orang Bali tidak
dapat secara langsung menyelenggarakan Ngaben begitu kerabatnya meninggal.
Umumnya mereka menunggu beberapa saat, kadang hingga bertahun-tahun, untuk
mengumpulkan biaya. Upacara ini pun sering diselenggarakan secara massal untuk
meringankan biaya.
Persiapan Ngaben dimulai dengan pengangkatan kerangka jenasah dan
pencarian air suci sejak tiga hari sebelumnya. Sementara itu, piranti upacara berupa
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
tiruan binatang lembu dan wadah menyerupai menara berhias kain dan janur mulai
dipersiapkan oleh anggota keluarga dan seluruh warga banjar. Konon, tinggi
rendahnya menara menunjukkan status social keluarga penyelenggara Ngaben.
Dahulu para bangsawan Bali biasanya membuat menara hingga setinggi 20 meter,
bahkan lebih.
Pagi hari sebelum upacara Ngaben dimulai, segenap keluarga dan handai
taulan datang untuk melakukan penghormatan terakhir dan biasanya disajikan sekedar
makan dan minum. Sesaat sebelum upacara Ngaben, menara dan lembu yang sudah
dihias atau yang disebut dengan bade disiapkan di pinggir jalan untuk diupacarai
sebelum diarak ke setra, tempat dilangsungkannya Ngaben. Kemudian, dimulailah
keriuhan dan kemeriahan arak-arakan menara menuju setra. Bade diarak dan
berputar-putar di setiap persimpangan dengan maksud agar roh orang yang meningal
itu menjadi bingung dan tidak dapat kembali ke keluarga yang bisa menyebabkan
gangguan. Dan di setiap persimpangan jalan yang dilalui, wadah dan arak-arakan ini
diputar ke empat penjuru mata angin sebanyak tiga kali untuk mengusir roh jahat
yang dapat mengganggu jalannya upacara. Alunan musik gong mengiringi puluhan
orang yang mengusung menara yang berisi jenasah/kerangka. Di atas menara itu pula
seorang anak/cucu lelaki tertua berdiri membawa seekor burung sebagai simbol
penghantar arwah menuju ke tempat tertinggi. ( www.e-kuta.com, 2009)
Sesampainya di tempat upacara, jasad ditaruh di punggung lembu, pendeta
mengujar doa-doa, kemudian menyalakan api perdana pada jasad. Prosesi
pembakaran dan upacara di setra ini berlangsung kurang lebih 2 jam. Setelah
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
semuanya menjadi abu, upacara berikutnya abu dari tulang jenazah yang telah
dikumpulkan selanjutnya dilarung ke laut atau ke sungai terdekat, dikembalikan ke
air dan angin. Ini merupakan rangkaian upacara akhir atas badan kasar orang yang
meninggal, kemudian keluarga dapat dengan tenang hati menghormati arwah tersebut
di pura keluarga, dan mendoakan arwahnya agar menemukan tempat yang layak di
sisi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dan menurut keyakinan, arwah tersebut akan
kembali lagi ke dunia pada masa yang akan datang (reinkarnasi).
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat
dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara
umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di
dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati
bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya. (Blog ; komang, 14
april 2007)
4.4 Upacara Mangkisan
Dalam hal terhalangnya atau terhambatnya upacara pengabenan seseorang
karena alasan yang bersangkutan meninggal pada hari tententu di mana sedang
berlangsung suatu upacara yang membutuhkan suasana hati dan bhakti suci nirmala
seperti Piodalan di pura, maka pilihan akan jatuh pada cara Makingsan. Makingsan
ini adalah penguburan atau pembakaran jenazah secara darurat dan bersifat sementara
dengan tanpa disertai upacara dan upakara sebagaimana mestinya.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Upacara Makingsan ini ada dua macam yaitu : Makingsan di Geni dan
Makingsan di Pratiwi (Pertiwi). Makingsan di Geni artinya menitip jenazah di setra
melalui cara pembakaran. Setelah di bakar, abu dan tulang belulang yang masih
tersisa di masukkan kedalam periuk lalu di tanam titempat pembakaran tadi.
Sedangkan Makingsan di Pratiwi artinya menitipkan jenazah di setra dengan jalan
menguburkannya.
Karena hanya bersifat sementara (darurat), maka baik Makingsan di Geni
maupun Makingsan di Pratiwi, pada saat dewasa yang dipandang baik akan kembali
ditindak lanjuti dengan upacara penguburan atau pembakaran jenazah yang
sebenarnya lengkap dengan upacara dan upakaranya.
Bagi yang Makingsan di Geni, maka selang beberapa hari setelah lewat
upacara Piodalan yang tadinya sempat menunda upacara pengabenan, kini boleh
dilakukan. Dan karena jenazahnya tidak ada lagi, maka dibuatkanlah pengawak sawa
(badan-badanan) untuk di aben. Lalu bagi yang Makingsan di Pratiwi, selang
beberapa waktu (biasanya dalam hitungan bulanan bahkan tahunan) kuburan akan di
gali kembali untuk di ambil tulang belulangnya dan bersama dengan adegan sawa
akan dibakar pada saat pengabenannya. Untuk Makingsan di Pratiwi ini ada juga
yang tidak menggali lagi liang kuburnya guna mendapat tulang belulangnya.
Biasanya cukup dengan hanya ngulapin ke setra yang mengandung makna
memanggil roh sang mati untuk selanjutnya akan di aben. Setelah ngulapin, liang
kubutnya kembali diratakan yang disebut dengan nyapuh.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Hal-hal lain yang boleh dikatakn sebagai keunikan dari sistem Makingsan ini
adalah sebelum pelaksanaannya baik Makingsan di Geni maupun Makingsan di
Pratiwi, orang yang meninggal itu dianggap “sedang tidur” bukan mati. Lalu secara
ritual akan ada banten Pengalang Sasih yang bertujuan untuk menghalangi efek sebel
sang mati dan keluarganya agar tidak ngeletehing Piodalan yang sedang berlangsung.
Dan secara social, pada waktu pelaksana upacara Makingsan ini tidak akan dilibatkan
anggota masyarakat atau karma desa. (sumber ; I Gusti Ngurah Agung, 2008)
4.4.1 Tujuan Membakar Mayat
Mengapa sawa (mayat) dibakar tatkala melakukan Pitra Yadnya? Sebelum
pertanyaan itu dijawab dengan berbagai alasannya, maka ada baiknya terlebih dahulu
dikemukakan tentang pengertian Pitra Yadnya dan keberadaannya yang ber-
bhinneka. Sebagaimana diketahui, Pitra Yadnya telah menjadi sebuah istilah bagi
umat Hindu di Bali. Istilah ini merupakan bagian dari Panca Yadnya. Empat Yadnya
lainnya yakni Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Rsi Yadnya, dan Bhuta Yadnya.
Pitra Yadnya terdiri dari dua kata, yakni “pitra” dan “yadnya”. Secara harfiah,
“pitra” berarti orangtua (ayah dan ibu). Pengertian yang lebih luas bisa disebut
leluhur. Sedangkan kata “yadnya” berarti pengorbanan yang didasari hati yang tulus
ikhlas nan suci. Jadi , “pitra yadnya” berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang
tulus suci kepada leluhur, terutama kepada orangtua.
Rupanya bisa dimaklumi, semua istilah berasal dari kata-kata, baik yang
tunggal maupun yang majemuk. Dinamakan istilah karena telah berubah maknanya,
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
tidak lagi utuh sebagaiamana arti harfiahnya semula. Karena ia telah memiliki arti
khusus, maka kata-kata itu dinamakan istilah. Begitu pula istilah Pitra Yadnya.
Sebagai istilah, Pitra Yadnya memiliki arti tersendiri, yakni upacara keagamaan yang
diadakan untuk menyelenggarakan atau nyangaskara jenasah atau roh keluarga yang
meninggal dengan berbagai sajen dan alat-alat upakara sebagai sarananya.
Demikianlah kurang lebih artinya dengan ditekankan secara kesusilaan supaya pihak
penyelenggara bisa memandang, bahwa pengadaan berbagai sarana itu bukanlah
pengorbanan suci yang merupakan swadharma (kewajiban) pribadinya masing-
masing.
Pitra Yadnya terdiri dari beberapa jenis pelaksanaannya yang berbinneka. Hal
itu disebabkan oleh kedatangan agama Hindu ke Bali tidak hanya sekali saja,
melainkan bergelombang-gelombang dalam jarak puluhan bahkan ratusan tahun.
Apalagi wilayah yang dituju dan menjadi basis penyebaran tiap-tiap fase berbeda-
beda, sehingga warisannya yang tertinggal sampai sekarang masih menampakkan
kebhinnekaan dalam pulau yang sempit ini.
Dalam hal ini diutarakan Pitra Yadnya secara umum yang berlaku di sebagian
besar masyarakat umat Hindu di Bali, terutama di dataran rendah. Antara lain karena
Pitra Yadnya yang dilakukan di dataran rendah inilah yang rupanya merupakan hasil
penyempurnaan terakhir dari Yang Ening Sira Empu Kuturan, Dang Hyang
Dwijendra, Empu Lutuk, dll. Sedang umat Hindu di pegunungan belum beranjak dari
tradisinya yang lebih tua.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Mungkin ada pertanyaan mengapa tradisi di pegunungan dibiarkan dengan
tradisinya yang lebih tua? Sebagaimana dinyatakan dalam sejarah, Dang Hyang
Nirartha (Dang Hyang Dwijendra) sudah sekitar 400 tahun yang silam sudah
menyebarkan pembaruan di Bali, suatu usaha yang juga dilakukan Empu Kuturan
jauh sebelumnya. Namun dresta Bali mula di udik belum juga terjamah dan
mengadopsi ajaran dua empu besar itu. Pasalnya, tak lain karena dua empu besar itu
dalam menyebarkan ajaran tidak bertangan besi. Kedua empu itu bersikap; dipakai
tidaknya sesuatu cara oleh sekelompok umat, mereka serahkan sepenuhnya pada
sredaning manah atau ketulusan hati masing-masing kelompok masyarakat tersebut.
Karena itulah orang-orang di pegunungan yang belum dapat menerima pembaruan,
dibiarkan saja tetap melaksanakan tradisi kunonya
Upacara Pitra Yadnya umumnya digelar oleh keluarga yang masih hidup
untuk anggota keluarganya yang meninggal dunia. Melakukan Pitra Yadnya adalah
swadharma alias kewajiban. Mereka harus melakukan swadharmanya itu tidak lain
karena Pitra Yadnya itu sendiri merupakan suatu upacara keagamaan. Maka,
mengenai tradisi upacara ini dilakukan oleh keluarga terhadap anggotanya adalah
berdasarkan ajaran agama. Bahkan upacara ini bersumber dari tattwa (filsafat) agama
sendiri. Tegasnya, upacara ini bukanlah sekadar tradisi yang hambar begitu saja.
Tradisi ini adalah suatu tugas suci, swadharma atau kewajiban mutlak, karena sudah
merupakan utang. Bukankah pada mulanya ketika kita berada di cucupu (rahim) ibu,
tubuh kita hanya sekedar dua sel yang teramat kecilnya. Kita berutang kepada ayah
karena kama petaknya (sperma) dan kepada ibu karena kama bangnya (ovum).
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Pada hakikatnya stula sarira (jasad) setiap mahluk termasuk manusia adalah
terdiri dari benda-benda yang sama saja asalnya dengan benda-benda isi alam semesta
yang ada di sekitar kita. Semuanya berasal dari unsur yang sama yakni Panca
Mahabhuta yang terdiri dari pratiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat
panas/cahaya), bayu (udara), dan akasa (ether/angkasa). Dari Panca Mahabhuta kita
memperoleh pinjaman zat-zat yang membuat kita hidup, hingga dari “merekalah” kita
berutang. Kita berutang selama Panca Mahabhuta itu terakit wungkul berbentuk stula
sarira (badan kasar) baik sewaktu masih hidup maupun setelah meninggal. bila
Panca Mahabhuta masih berwujud tubuh manusia termasuk setelah meninggal selaku
sawa (jenasah), manusia “pemakai” lima unsur zat itu dinilai selaku pihak berutang.
Sebagai utang, maka tentu saja menjadi beban moral yang pada saatnya nanti harus
dibayar lunas hingga terhapuslah beban itu.
Selama masih hidup, kita tentu berusaha mempertahankan badan kasar ini.
Penyebabnya karena dianggap begitu penting meski benda itu pinjaman. Kita selalu
pelihara dan itu adalah wajar. Unsur-unsur stula sarira itu harus dikembalikan kepada
pemiliknya atau asalnya semula yakni Sang Panca Mahabhuta. Dengan kata lain sawa
harus secepatnya dihancurkan hingga masing-masing unsurnya kembali menunggal
atau menyatu kembali dengan asalnya. (sumber ; sugi,2008)
4.4.2 Ngaben Massal
Upacara kematian Ngaben sebenarnya adalah upacara yang wajib dilakukan
oleh umat Hindu pada umumnya tanpa memandang tingkatan ekonomi keluarga yang
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
akan melakukan pengabenan. Namun dengan berkembangnya zaman dan berputarnya
waktu maka lambat laun upacara ini berubah menjadi upacara yang sangat berkaitan
dengan tingkat ekonomi keluarga yang melakukan pengabenan. Semakin banyak
uang yang digunakan dalam upacara Ngaben ini maka semakin tinggilah tingkat
ekonomi keluarga yang melakukan upacara ini.
Di daerah Tabanan dan Gianyar sering dijumpai ritual Ngaben Massal. Sesuai
dgn aturan desa adat setempat jika ada warga yg meninggal mesti dikubur dulu, tidak
peduli meninggalnya dengan cara apapun. Setiap 2 atau 5 tahun sekali akan dilakukan
upacara Ngaben massal desa. Karena ini adalah Ngaben massal, maka yang
mengikuti adalah seluruh warga desa setempat yang memiliki keluarga meninggal
dan belum di-aben. Dan jumlahnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan
sawa/jenazah. Ini dibenarkan karena inilah dresta atau tradisi yg sudah berlaku turun
temurun di desa itu. Alasannya adalah faktor sosial & ekonomi. Dari segi sosial,
berkumpulnya warga desa dari anak-anak sampai orang tua pada upacara ini
merupakan ajang untuk bersilahturahmi warga mengingat mayoritas warga desa itu
sehari-harinya tinggal dan mencari nafkah di Denpasar. Secara ekonomis, karena
pekerjaan atau upacara yang membutuhkan biaya besar seperti ngaben dapat
ditanggung bersama akan menjadi lebih ringan. Dana yang dikeluarkan atau
dibutuhkan saat melakukan ngaben pada awal 2006 lalu hampir 22 juta selama 3 hari.
Padahal itu adalah tingkatan Ngaben yang terendah dan tidak ada konsumsi
bagi pelayat. Itu hanya biaya perlengkapan dan sarana ngabennya saja. Jika
mengambil ngaben tingkatan tinggi yang memakan waktu 2 mingguan, biayanya bisa
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
mencapai ratusan juta rupiah. Seperti ngaben keluarga kerajaan bisa mencapai angka
milyaran rupiah. Orang Bali adalah orang-orang yang semangat kekeluargaan dan
kebersamaannya sangat kuat dalam mengadakan upacara ngaben ini. Jika ada yang
meninggal, semua pekerjaan akan diambil oleh warga banjar (rukun warga), yang
punya kemalangan hanya menyiapkan dana-nya saja. Setiap anggota banjar juga akan
menyumbangkan seliter beras, 1/2kg gula, 1/4kg kopi, pisang dan uang Rp.5000.
Jadi dari proses awal saat memandikan jenazah, ngajum, membawa ke
kuburan, pembakaran sampai nyekah di laut warga tetap hadir. Ini yang menjadikan
prosesi ngaben di Bali terlihat ramai oleh orang-orang. Setiap orang Bali diajarkan
oleh orang-orang tua jangan pernah menangisi orang meninggal karena arwahnya
akan menjadi arwah penasaran akibat ketidak-ikhlasan kita. Padahal maksud mereka
agar kita sadar bahwa proses lahir, berkembang dan mati adalah siklus hidup manusia
yg tidak bisa ditolak. Proses ini adalah bagian dari konsep reinkarnasi roh (atma)
selanjutnya. (sumber ; komang,2008)
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
BAB V
PENUTUP
Dari penjelasan dalam bab-bab sebelumnya kita dapat melihat penjelasan
tentang Pulau Bali, pulau kecil dengan begitu banyak keunikan yang membuat
banyak wisatawan baik dari nusantara maupun internasional berkeinginan untuk
datang dan datang lagi ke pulau mungil yang begitu mempesona ini.
Dengan luas wilayahnya yang begitu kecil di banding dengan propinsi lain
yang ada di Indonesia, Bali dapat menjadi daerah tujuan wisata terbaik di Indonesia.
Dan dengan agama, adat, dan budayanya, salah satunya adalah kultur budaya
masyarakat Bali yang menurut Ajaran Agama Hindu terkenal dengan Tri Hita
Karana (Hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia,
hubungan manusia dengan lingkungan), dapat membuat masyarakat Pulau Bali sangat
manjaga lingkungan tempat tinggal mereka agar selalu aman dan nyaman.
Juga dengan budaya pembakaran mayat/jenazah orang yang telah meninggal
dunia atau yang sering disebut dengan Upacara Ngaben. Ngaben adalah upacara
pembakaran mayat yang dilakukan di Bali, khususnya oleh yang beragama Hindu.
Upacara kematian Ngaben harus dilakukan untuk menyucikan roh leluhur atau orang
tua mereka yang telah meninggal dunia sesuai dengan ajaran agama Hindu. Secara
garis besarnya, Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk mempercepat proses
kembalinya Panca Mahabhuta yang ada pada badan/tubuh agar menyatu dengan
Panca Mahabhuta di alam besar dan mengantarkan Atma ke alam Pitra dengan
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Hal tersebut diatas adalah
beberapa hal yang dapat membuat wisatawan betah berlama-lama berada di Bali
dengan menikmati semua yang ditawarkan Pulau Bali dan masyarakat Bali sendiri.
Dan keseluruhan dari semua keunikan Pulau Bali ini, membuat hati siapa saja
yang datang dan melihat sendiri kekeyaan budaya Pulau Bali membuat nama pujian
atau sebutan tersendiri untuk pulau mungil nan indah ini. The Island of Gods, The
Island of Paradise, The Island of Thousand Temples, The Morning of the World, dan
berbagai nama pujian lainnya.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Pariwisata. 1996. Peristiwa Pariwisata 2001. Dipparpostel, Jakarta.
Kaler, I Gusti Ketut. 1993. Ngaben; Mengapa Mayat Dibakar?, Penyunting dan Pengantar Wayan Suparta. Yayasan Dharma Naradha, Denpasar.
Pendit, Nyoman S. 1994. Ilmu Pariwisata.
Surayin, Ida Ayu Putu. 2002 Pitra Yajna. Paramita, Surabaya.
Sudung, Wayan. (guide saat study tour Medan-Jawa-Bali)
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 bab 1 pasal 1.
Yoeti, Oka. A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata, Angkasa, Bandung.
Wahab, Prof. Salah. An Introduction On Tourism Theory.
Wikarman, I Nyoman Singgin. 2002. Ngaben Sarat (Sawa Prateka – Sawa Wedana).
Paramita, Surabaya. Internet : Blog : Komang, 14 april 2007 Komang, 2008 I Nengah Sudarsana, 2008
I Gusti Ngurah Agung, 2008 Sugi, 2008 www.e-kuta.com www.culture.id.com www.wikipedia-bali.com
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Lusianna M. E. Hutagalung.
Nim : 062204067
Tempat/tgl lahir : Medan, 30 juni 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jln. Barus No 8 Medan Amplas. Kode Pos : 20228
Jenjang Pendidikan : SD. ST. ANTONIUS V, MEDAN (1994-2000)
SLTP NEGERI 3 MEDAN (2000-2003)
SMK 3 YAPIM, MEDAN (2003-2006)
D-III PARIWISATA USU, MEDAN (2006-2009)
Pengalaman organisasi : Anggota IMAPA ( Ikatan Mahasiswa Pariwisata)
Nama Orang Tua : a. Ayah : M. Hutagalung
b. Ibu : R. Sianturi
Pekerjaan Orang Tua : a. Ayah : Wiraswasta
b. Ibu : Ibu rumah tangga Alamat Orang Tua : Jln. Barus No 8 Medan Amplas. Kode Pos : 20228
Hobi : Renang, jalan-jalan, menyanyi.