New BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2982/3/BAB-II.pdf · 2018. 7. 11. · 12...
Transcript of New BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2982/3/BAB-II.pdf · 2018. 7. 11. · 12...
-
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Strategi Coping
1. Definisi Strategi Coping
Menurut Mu’tadin (2002) strategi coping adalah suatu proses
dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stress
yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara
melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa
aman dalam dirinya.
Sedangkan Ross dan Aitamier (Erdinalita, 2006), mengemukakan
bahwa coping adalah tindakan yang dilakukan seseorang sebagai respon
terhadap sumber stress, baik itu bersifat nyata (real) maupun hal-hal yang
dipersiapkan individu sebagai sumber stress.
Pearlin dan Schooler (Erdinalia, 2006), mendefiniskan coping
sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan eksternal kehidupan, yang
ditujukan untuk mencegah, menghindari atau mengontrol distress
emosional. Kemudian Folkman dan Lazarus (dalam Mitchell, 2004)
memberikan definisi lain yang menyatakan bahwa coping adalah usaha
kognitif dan behavioral untuk mengatasi tuntutan-tuntutan spesifik yang
bersifat eksternal maupun internal, dimana kapasitasnya dianggap
melebihi sumber daya yang dimiliki individu.
-
13
Matheny (dalam Erdinalita, 2006) memberikan definisi coping
sebagai usaha, baik itu sehat maupun tidak sehat, sadar maupun tidak sadar
untuk mencegah, mengeliminasi ataupun memperlemah sumber stress atau
mentolerir efek yang dapat ditimbulkannya semaksimal mungkin.
Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa coping
merupakan usaha kognitif dan behavioral yang sehat maupun tidak sehat,
disadari maupun tidak disadari untuk dicegah, menghilangkan atau
memperlemah sumber stress baik yang bersifat eksternal maupun yang
bersifat internal, yang dianggap melebihi kapasitas sumber daya yang
dimiliki individu.
2. Klasifikasi dan bentuk strategi coping
Bentuk strategi coping pada seseorang dilakukan berdasarkan pada
persepsi dan bagaimana ia menganilisis situasi yang dihadapinya (Papalia,
2009). Seseorang akan berpikir dan berupaya untuk beradaptasi memilih
tindakan yakni strategi untuk dapat mengatasi tuntutan-tuntutan yang
membebaninya. Menurut Folkman dan Lazarus (Sarafino, 1998; Safaria &
Saputra, 2005) ada dua jenis strategi coping yaitu :
a. Problem –Focused Coping (PFC)
Problem-focusesd coping adalah strategi coping atau usaha untuk
mengurangi situasi stress dengan cara mengembangkan kemampuan
atau mempelajari keterampilan yang baru untuk mengubah dan
-
14
menghadapi situasi, keadaan atau pokok permasalahan. Adapun bentuk
dari problem focused – coping, yaitu :
1) Confrontive Coping ialah strategi yang ditandai oleh usaha-usaha
yang bersifat agresif untuk mengubah situasi, termasuk dengan
cara mengambil resiko. Hal ini dilakukan individu dengan cara
tetap bertahan pada apa yang diinginkan.
2) Planful Problem-Solving yaitu menganalisa setiap situasi yang
menimbulkan masalah serta berusaha mencari solusi secara
langsung terhadap masalah yang dihadapi.
3) Seeking social support adalah strategi yang ditandai oleh usaha-
usaha untuk mencari nasihat, informasi atau dukungan
emosional dari orang lain.
b. Emotion Focused – coping (EFC)
Emotion focused – coping merupakan strategi untuk mengontrol
respon emosional terhadap situasi yang sangat menekan Emotion
focused coping cenderung dilakukan apabila individu tidak mampu
atau merasa tidak mampu mengubah kondisi yang stressful. Adapun
bentuk dari emotion focused – coping, yaitu :
1) Distancing adalah usaha mengeluarkan upaya kognitif untuk
melepaskan diri dari masalah atau membuat sebuah harapan
positif.
-
15
2) Self-Control strategi dimana seseorang mencoba untuk mengatur
perasaan diri sendiri atau tindakan dalam hubungannya ntuk
menyelesaikan masalah.
3) Accepting Responsibility adalah suatu strategi dimana individu
menerima bahwa dirinya memiliki peran dalam masalah yang
dihadapinya sementara mencoba untuk memikirkan jalan
keluarnya.
4) Escape-avoidance strategi berupa perilaku menghindar atau
melarikan diri dari masalah dan situasi stres dengan cara
berkhayal atau berangan-angan juga dengan cara makan,
minum, merokok, menggunakan obat-obatan dan beraktivitas.
Dengan melakukan strategi ini individu berharap bahwa situasi
buruk yang dihadapi akan segera berlalu.
5) Positive Reappraisal strategi yang ditandai oleh usaha-usaha
untuk menemukan makna yang positif dari masalah atau situasi
menekan yang dihadapi, dan dari situasi tersebut individu
berusaha untuk menemukan suatu keyakinan baru yang
difokuskan pada pertumbuhan pribadi.
Beberapa Beberapa pakar teori lainnya kemudian mencoba
mengembangkan pengklasifikasian strategi coping yang dikemukakan oleh
Lazarus & Folkman tersebut. Carver, Scheier, & Weintraub (1989),
mengemukakan strategi coping terdiri atas empat jenis yaitu :
-
16
a. Problem focused coping, merupakan strategi atau usaha untuk
mengurangi situasi stres dengan cara mengembangkan kemampuan
atau mempelajari keterampilan yang baru untuk mengubah dan
menghadapi situasi, keadaan atau pokok permasalahan. Adapun
bentuk dari Problem focused coping adalah sebagai berikut:
1) Active coping, yaitu proses mengambil langkah-langkah aktif
untuk mencoba untuk menghapus atau menghindari stressor atau
untuk memperbaiki dampaknya. Active coping termasuk memulai
aksi langsung, meningkatkan upaya seseorang, dan berusaha
untuk menjalankan upaya coping dengan cara bertahap.
2) Planning, memikirkan tentang bagaimana mengatasi penyebab
stres antara lain dengan membuat strategi untuk bertidak,
memikirkan tentang langkah atau upaya yang perlu diambil
dalam menangani suatu masalah.
3) Suppresion of competing, berarti berusaha untuk menghindari
agar tidak terganggu oleh peristiwa lain, bahkan
mengenyampingkan hal-hal lain, untuk menghadapi stressor.
4) Restrain Coping, menunggu sampai sebuah kesempatan yang tepat
untuk bertindak, menahan diri, dan tidak bertindak sebelum
waktunya.
5) Seeking instrumental social support, yaitu mencari saran,
bantuan atau informasi.
-
17
b. Emotional focused - coping merupakan suatu usaha untuk
mengontrol respon emosional terhadap situasi yang sangat
menekan. Adapun bentuk dari Emotional focused coping adalah
sebagai berikut:
1) Positive reinterpretation and growth, tumbuh sebagai hasil
pengalaman dan mengambil sisi positif dari hal yang terjadi.
2) Acceptance, menerima kenyataan bahwa peristiwa stress telah
terjadi dan nyata.
3) Denial, upaya untuk menolak kenyataan peristiwa yang
menekan.
4) Religious, peningkatan keterlibatan dalam kegiatan religius.
5) Seeking emotional social support, yaitu melalui dukungan
moral, simpati atau pengertian.
c. Dysfunctional coping merupakan usaha yang mencerminkan
pencarian dukungan sosial untuk memperoleh saran atau
mengekspresikan emosi. Adapun bentuk dari Dysfunctional coping
adalah sebagai berikut:
1) Focusing on and venting of emotional, fokus pada kesulitan
atau gangguan apa pun yang dialami seseorang dan meluapkan
perasaan.
2) Behavioral disengagement, mengurangi upaya seseorang untuk
menangani stressor, bahkan menyerah untuk berupaya mencapai
-
18
tujuan yang berkaitan dengan stressor. Behavioral disengagement
dikenal dengan istilah-istilah seperti ketidakberdayaan.
3) Mental disengagement, berbagai kegiatan yang berfungsi untuk
mengalihkan perhatian orang agak pikiran tidak diganggu oleh
stressor.
d. Recently developed, yaitu usaha yang berhubungan dengan upaya
untuk menghindari hal-hal yang terkait tentang masalah maupun
emosi. Adapun bentuk dari Recently developed adalah sebagai berikut:
1) Alkohol/Penggunaan Obat: beralih ke penggunaan alkohol atau
obat lain sebagai cara melepaskan diri dari stressor.
2) Humor: membuat lelucon tentang stressor.
Pakar teori lainnya, yaitu Aldwin & Revenson (dalam Indirawati,
2006), membagi coping yang berfokus pada masalah serta coping yang
berfokus pada emosi ke dalam 8 strategi serta menambahkan faktor
dukungan sosial kedalam klasifikasi tersebut. Strategi-strategi yang
termasuk dalam coping yang berfokus pada masalah adalah sebagai
berikut:
a. Exercised Caution yaitu usaha yang ditujukan untuk menunda tingkah
laku yang dapat menimbulkan ancaman atau konsekuensi negative.
b. Negosiasi yaitu usaha yang diarahkan kepada pihak yang terlibat
dalam situasi masalah tersebut, seperti berusaha untuk mengubah
pikiran orang lain atau mengekspresikan kemarahan kepada orang
tersebut.
-
19
c. Tindakan Instrumental yaitu usaha untuk menyelesaikan masalah yang
ada.
Sedangkan strategi-strategi yang termasuk ke dalam coping yang
berfokus pada emosi adalah sebagai berikut:
a. Escapism, yaitu suatu usaha untuk melupakan atau melarikan diri dari
masalah dengan menggunakan obat-obatan, alkohol dsb.
b. Minimization, yaitu usaha coping yang secara sadar menolak
memikirkan masalah terlalu dalam dan meneruskan hidup seperti tidak
ada yang terjadi.
c. Menyalahkan diri sendiri, yaitu strategi pasif yang diarahkan kedalam
diri sendiri daripada ke masalah itu sendiri.
d. Pencarian Makna, yaitu usaha yang ditujukan untuk menemukan
kepercayaan baru atau menemukan apa yang terpenting dalam hidup.
Berdasarkan beberapa teori diatas, dapat disimpulkan bahwa ada
dua kelompok besar klasifikasi strategi coping menurut Folkman &
Lazarus (Sarafino, 2004) yaitu Problem Focused – coping dan Emotional
Focused – coping, kemudian ditambahkan dua kelompok strategi coping
oleh Carver, Scheier, & Weintraub (1989) yaitu Dysfunctional coping
dan Recently developed.
3. Coping Outcome (tugas coping)
Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan, coping yang efektif
adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan
-
20
menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak
dapat dikuasainya. Sesuai dengan pernyataan tersebut, Cohen dan Lazarus
(dalam Sarafino, 1994) mengemukakan, agar coping dilakukan dengan
efektif, maka strategi coping perlu mengacu pada lima fungsi tugas coping
yang dikenal dengan istilah coping task, yaitu :
a. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan
prospek untuk memperbaikinya.
b. Mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif.
c. Mempertahankan gambaran diri yang positif.
d. Mempertahankan keseimbangan emosional.
e. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain.
4. Proses Strategi coping
Lazarus (dalam Safaria, 2009) mengatakan bahwa ketika
individu berhadapan dengan lingkungan yang baru atau perubahan
lingkungan (situasi yang penuh tekanan), maka akan melakukan penilaian
awal (primary appraisal) untuk menentukan arti dari kejadian tersebut.
Kejadian tersebut dapat diartikan sebagai hal yang positif, netral, atau
negatif. Setelah penilaian awal terhadap hal-hal yang mempunyai potensi
untuk terjadinya tekanan, maka penilaian sekunder (secondary appraisal)
akan muncul. Penilaian sekunder adalah pengukuran terhadap kemampuan
individu dalam mengatasi tekanan yang ada.
-
21
Penilaian sekunder mengandung makna pertanyaan, seperti apakah
saya dapat menghadapi ancaman dan sanggup menghadapi tantangan
terhadap kejadian. Setelah memberikan penilaian primer dan sekunder,
individu akan melakukan penilaian ulang (re-appraisal) yang akhirnya
mengarah pada pemilihan strategi coping untuk penyelesaian masalah
yang sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Keputusan pemilihan strategi coping dan respon yang dipakai
individu untuk menghadapi situasi yang penuh tekanan tergantung dari
dua faktor. Pertama, faktor ekternal dan kedua, faktor internal. Faktor
eksternal termasuk didalamnya adalah ingatan pengalaman dari berbagai
situasi dan dukungan sosial, serta seluruh tekanan dari berbagai situasi
yang penting dalam kehidupan. Faktor internal, termasuk didalamnya
adalah gaya coping yang biasa dipakai seseorang dalam kehidupan sehari-
hari dan kepribadian seseorang tersebut. Setelah keputusan dibuat untuk
menentukan strategi coping yang dipakai, dengan mempertimbangkan
dari faktor eksternal dan internal, individu akan melakukan pemilihan
strategi coping yang sesuai dengan situasi tekanan yang dihadapinya
untuk penyelesaian masalah.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping seseorang
Menurut Mu’tadin (2002) cara individu menangani situasi yang
mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi:
-
22
a. Kesehatan fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha
mengatasi stress individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang
cukup besar.
b. Keyakinan atau pandangan positif
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti
keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan
individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan
menurunkan kemampuan strategi coping tipe Problem focused - coping.
c. Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,
menganalisa situasi, mengidentifkasi masalah dengan tujuan untuk
menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan
alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan
pada akhirnya melaksanakan rencana dengan suatu tindakan yang tepat.
d. Keterampilan sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan
bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial
yang berlaku dimasyarakat.
e. Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota
keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
-
23
f. Materi
Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang
penunjang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.
Menurut Smet (1994), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
coping seseorang adalah:
a. Variabel dalam kondisi individu
Variabel dalam kondisi individu mencakup umur, tahap kehidupan,
jenis kelamin, temperamen, faktor genetik, inteligensi, pendidikan,
suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.
b. Karakteristik kepribadian
Karakteristik kepribadian mencakup introvert-extrovert, stabilitas
emosi secara umum, kepribadian “ketabahan” (hardiness), locus of
control, kekebalan, dan ketahanan.
c. Variabel sosial kognitif
Variabel sosial kognitif mencakup dukungan sosial yang dirasakan,
jaringan sosial, dan kontrol pribadi yang dirasakan.
d. Hubungan dengan lingkungan sosial
Hubungan dengan lingkungan sosial adalah dukungan sosial yang
diterima, integrasi dalam hubungan interpersonal. Dukungan antar
individu dengan lingkungan sosial bersifat timbale balik, dimana
lingkungan mempengaruhi individu dan individu mempengaruhi
perkembangan lingkungan (Walgito, 1998). Menurut Sarason (1998),
dukungan sosial akan sangat membantu individu untuk melakukam
-
24
penyesuaian atau perilaku coping yang positif serta pengembangan
kepribadian dan dapat berfungsi sebagai penahan untuk mencegah
dampak psikologis yang bersifat gangguan.
Lebih lanjut Folkman dan Lazarus (dalam Pramadi dan Lasmono,
2003) berpendapat bahwa cara individu dalam menghadapi masalah juga
dipengaruhi oleh sumber-sumber individual seseorang seperti pengalaman,
persepsi, kemampuan intelektual, kesehatan, kepribadian, pendidikan dan
situasi yang dihadapi sangat menentukan proses penerimaan suatu stimulus
yang kemudian dapat dirasakan sebagai tekanan atau ancaman. Adapun
faktor-faktor tersebut yaitu :
a. Faktor individual
1) Perkembangan usia
Pramadi dan Lasmono (2003) menyebutkan bahwa perkembangan
usialah yang menyebabkan perbedaan dalam pemilihan strategi
coping, yaitu sejumlah struktur psikologis seseorang dan sumber-
sumber untuk melakukan coping akan berubah menurut
perkembangan usia dan akan membedakan seseorang dalam
merespon tekanan.
2) Tingkat pendidikan
Menurut Pramadi dan Lasmono (2003) seseorang yang memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi memiliki pola pikir berani dalam
mengambil sikap untuk mengatasi masalah dan tidak menunda-
nunda. Karena kemungkinan itu akan bertambah membebani pikiran.
-
25
dapat diartikan juga bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan
yang tinggi akan cenderung untuk menggunakan Problem Focused –
coping dalam menyelesaikan masalahnya.
3) Jenis kelamin
Menurut Seiffge (dalam Wangmuba, 2009) bahwa gadis Jerman dan
Israel dalam melakukan coping cenderung untuk mencari dukungan
sosial dibandingkan laki-laki, gadis Jerman yang paling condong
untuk menarik diri sebagai pelaku untuk bertahan. Selain itu hasil
penelitian Nursasi dan Fitriyani (2003) menyebutkan bahwa
perbedaan jenis kelamin menunjukkan perbedaan pula dalam
pemilihan strategi coping, yaitu wanita lanjut usia dan jenis coping
yang berfokus pada emosional juga kurang diminati oleh pria lanjut
usia.
4) Kepribadian
Menurut Tarnumidjojo (2004), seseorang dengan kepribadian yang
puas dengan diri sendiri, mudah dituntun, namun memiliki ego yang
lemah atau seseorang yang memiliki ego yang cukup kuat, namun
cenderung menghindar dari tekanan, cenderung menggunakan
emotional focused – coping.
5) Kematangan emosional
Berdasarkan hasil penelitian Hasan (2005) dapat diketahui bahwa
terdapat pengaruh kematangan emosional terhadap pemilihan
strategi coping pada remaja. Individu dengan tingkat emosi matang
-
26
cenderung memilih strategi coping yang berorientasi pada
pemecahan masalah (direct action) dan sebaliknya, individu yang
emosinya kurang matang cenderung memilih strategi coping yang
berorientasi meredakan ketegangan (palliation).
6) Status sosial ekonomi
Menurut Billings dan Moos (dalam Mu’tadin, 2002), seseorang
dengan status sosial ekonomi yang rendah akan menampilkan bentuk
coping yang kurang aktif, kurang realistis dan lebih fatal untuk
menampilkan respon menolak, dibandingkan dengan seseorang
dengan status ekonomi yang lebih tinggi.
7) Kesehatan mental
Individu yang memiliki kesehatan mental yang buruk, umumnya
kurang efektif dalam memilih strategi menghadapi tekanan. Fakta ini
diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang
depresi mempunyai coping menghadapi tekanan yang berbeda
dengan orang non depresi (Hapsari, 2002).
8) Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan memecahkan masalah meliputi kemampuan untuk
mencari informasi, menganalisis situasi, mengidentifikasi masalah
dnegan tujuan menghasilkan alternatif tindakan, kemudian
mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil
yang ingin dicapai dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan
melakukan suatu tindakan yang tepat (Mu’tadin, 2002).
-
27
b. Konteks lingkungan
1) Kondisi penyebab stress (tingkat masalah)
Hasil penelitian Tanumidjojo (2004), menunjukkan bahwa
penggunaan emotional focused – coping akan lebih banyak
digunakan atau sesuai untuk mengatasi stress yang diakibatkan
kondisi-kondisi yang tidak dapat diubah atau yang sudah menemui
jalan buntu atau kondisi di luar kekuatan individu yang mampu
menimbulkan trauma.
2) Sistem budaya
Berdasarkan penelitian Pramadi dan Lasmono (2003), dapat
diketahui bahwa identitas sosial yang meliputi nilai, minat, peraturan
sosial, sistem agama, dan sistem tingkah laku mempengaruhi bentuk
coping yang ditampilkan, antara lain seperti pada budaya Bali.
Masyarakat Bali yang terikat dengan sistem adat dan berkaitan
dengan keagamaan Hindu yang sangat kuat, menjadikan orang Bali
cenderung introvert tetapi terbuka akan informasi dari luar dan lebih
menampilkan Problem focused – coping.
3) Dukungan sosial
Menurut Taylor (2006) strategi coping akan lebih efektif dalam
menghadapi konflik apapun bila mendapat dukungan dari saudara,
orangtua, teman, tenaga professional yang akan lebih mempermudah
individu tersebut melakukan coping yang tepat dalam menghadapi
dan memecahkan masalah.
-
28
Carver, Scheier, & Weintraub (1989) mengatakan bahwa strategi
coping juga dipengaruhi oleh kepribadian. Tipe kepribadian dengan ciri-
ciri ambisius, kritis terhadap diri sendiri, tidak sabaran, melakukan
pekerjaan yang berbeda dalam waktu yang sama, mudah marah dan
agresif, akan cenderung menggunakan strategi coping yang berfokus pada
emosi (EFC). Sebaliknya seseorang dalam tipe kepribadian dengan ciri-ciri
suka rileks, tidak terburu-buru, tidak mudah terpancing untuk marah,
berbicara dan bersikap dengan tenang, serta lebih suka memperluas
pengalaman hidup, cenderung menggunakan strategi coping yang berfokus
pada masalah (PFC).
Taylor (1995) menyatakan faktor yang mempengaruhi coping yang
dilakukan individu lebih berasal dari dukungan orang-orang di sekitar
individu, seperti misalnya saudara, orang tua, suami atau istri, anak, teman
atau menggunakan jasa tenaga professional seperti psikolog yang dapat
membantu individu dalam melakukan coping yang tepat, dalam usaha
menghadapi dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan teori-teori diatas dapat disimpulikan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil strategi coping
stressnya adalah adanya pengaruh internal dan pengaruh eksternal
seseorang tersebut.
-
29
B. Single Mother
1. Definisi single mother
Menurut Gunawan (2006) single parent adalah orang yang
melakukan tugas sebagai orang tua (ayah atau ibu) seorang diri, karena
kehilangan/terpisah dengan pasangannya. Sementara itu, menurut Hurlock
(1999) pengertian single parent adalah orangtua yang telah menduda atau
menjanda entah bapak atau ibu, yang mendapatkan tanggung jawab untuk
memelihara anak-anak setelah kematian pasangannya,perceraian atau
kelahiran anak diluar nikah.
Definisi single mother menurut Papalia, Stern, Feldman, & Camp
(2002) adalah wanita yang ditinggal suami atau pasangannya karena suatu
penyebab, diantaranya berpisah karena meninggal dunia atau bercerai dan
memutuskan tidak menikah karena fokus untuk membesarkan anaknya
seorang diri.
Anderson & Schale (1998) menyebutkan bahwa single mother
adalah wanita dewasa yang memutuskan untuk hidup sendiri tanpa
pendamping dikarenakan perpisahan atau perceraian. Sedangkan Exter
(dalam Anderson, 1998) mengatakan bahwa menjadi single mother
merupakan pilihan hidup yang dijalani oleh individu yang berkomitmen
untuk tidak menikah atau tidak menjalin hubungan intim dengan orang
lain.
Sementara itu Saund (dalam Papalia, Stern, Feldman, & Camp,
2002), menjelaskan bahwa individu yang telah terikat erat dengan figure
-
30
suaminya namun karena suatu hal kehilangan partner untuk bertukar
pikiran, mengurus rumah tangga dan membesarkan anak dapat disebut
dengan single mother.
Berdasarkan berbagai definisi single parent dan single mother
diatas, terlihat perbedaan diantara keduanya. Single parent diartikan
sebagai orang yang menjalani tugas sebagai orang tua seorang diri, baik itu
pria maupun wanita. Sedangkan single mother adalah sebutan untuk wanita
yang menjalani peran sebagai orang tua tunggal tanpa adanya figure pria
sebagai suami baik itu karena keputusan perpisahan ataupun meninggal
dunia.
Menjadi single mother disebut oleh Ellison (2003) sebagai situasi
yang khusus sekaligus ekstrem yang menantang bagi seorang wanita, hal
ini karena umumnya individu menjadi single mother terlebih dahulu
melewati masa-masa yang penuh stress, ketakutan, dan rasa bersalah dari
kejadian-kejadian traumatis yang dialaminya, baru kemudian
menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru serta tanggung jawab yang
lebih besar terhadap keluarganya.
2. Permasalahan pada Single Mother
Menurut William Goode J (1983) single mother yang mengalami
perpisahan dengan pasangan baik itu karena perceraian ataupun kematian
akan merasakan beberapa hal yaitu :
a. Penghentian kepuasan seksual.
-
31
b. Hilangnya persahabatan, kasih atau rasa aman
c. Hilangnya model peran orang dewasa untuk diikuti anak-anak.
d. Penambahan dalam beban rumah tangga bagi pasangan yang
ditinggalkan terutama dalam menangani anak-anak.
e. Penambahan dalam persoalan ekonomi, terutama jika si suami atau
isteri meninggalkan rumah.
f. Pembagian kembali tugas-tugas rumah tangga dan tanggung jawab.
Hurlock (2004) menjabarkan masalah yang sekiranya dihadapi oleh
single mother :
a. Masalah ekonomi : setelah kehilangan suami, ibu akan mengalami
kurangnya pendapatan keluarga. Seorang single mother memulai
bekerja pada usia madya, biasanya mereka tidak dapat memperoleh
pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
b. Masalah sosial : ketika suaminya meninggal maka seorang single
mother akan menemukan bahwa tidak ada tempat untuknya apabila
berada di antara pasangan yang menikah. Kemudian dengan
kemampuan ekonomi yang rendah mengakibatkan seorang single
mother tidak dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial di
masyarakat.
c. Masalah praktis : single mother mencoba untuk menjalankan hidup
rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh pasangan, akan
tetapi setelah kehilangan suami semua pekerjaan dilakukan seorang diri.
-
32
misalnya membetulkan peralatan rumah tangga, single mother pun
harus mengupah orang lain dengan menurunnya pendapatan.
d. Masalah seksual : ada hasrat seksual yang tidak terpenuhi karena sudah
tidak mempunyai pasangan, dan merasa kesepian.
e. Masalah tempat tinggal : bila status ekonominya tidak memungkinkan,
seorang single mother akan pindah kerumah yang lebih kecil.
Sedangkan, kondisi kedua adalah apakah single mother mempunyai
seseorang untuk bisa diajak tinggal bersama.
f. Masalah psikologis : ibu cenderung merasa tidak menentu dan
identitasnya kabur setelah kehilangan suami, yang sebelumnya
identitasnya tergantung dengan suaminya.
g. Masalah keluarga : apabila masih mempunyai anak yang tinggal
serumah, maka single mother harus memainkan peran ganda yaitu
sebagai ayah dan ibu, dna harus menghadapi masalah yang timbul
dalam keluarga tanpa pasangan selain itu juga menghadapi masalah
yang berhubungan dengan anggota keluarga dari pihak suami.
h. Sulitnya memenuhi figur ayah bagi anak : figur seorang ayah ini harus
tetap terpenuhi agar pertumbuhan fisik dan psikis anak tetap berjalan
dengan baik.
Perubahan-perubahan yang dialami keluarga dengan single parent
tersebut membuat mereka harus mampu dapat menyesuaikan diri dengan
kondisi dan peran serta tugas-tugas ganda yang harus dilakukan, terutama
pada pasangan yang ditinggal meninggal yang dianggap belum
-
33
mempunyai kesiapan baik secara mental maupun finansial sehingga dapat
mengatasi perubahan yang terjadi.
Peran ibu sebagai single parent dalam keluarga merupakan suatu
tanggung jawab yang harus dilakukan. Mengurus kebutuhan keluarga,
mencari nafkah, mengurus anak tentu bukanlah hal mudah yang bagi
seorang single mother. Maka dari itu, untuk melaksanakan tanggung jawab
yang begitu besar, single mother harus memiliki cara-cara untuk
menghadapi tekanan dair berbagai sumber permasalahan yang muncul.
Usaha untuk dapat keluar dari situasi yang menekan, dan mencari cara untuk
mengatasi permasalahn yang dihadapi dikenal dengan istilah coping (Smet,
1994).
3. Gambaran umum Coping pada Single Mother
Menurut Lazarus (1976) pada umumnya setiap manusia memiliki
banyak kebutuhan yang ingin dipenuhinya dalam hidup. Kebutuhan itu
dapat berupa kebutuhan fisik, psikis dan sosial. Sayangnya, dalam
kehidupam nyata kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak selalu dapat
dipenuhi, keadaan itu yang seringkali membuat seseorang merasa tertekan
secara psikologi (psychological stress). Respon perilaku yang tertekan itu
dimanifestasikan dalam bentuk perilaku yang bermacam-macam
tergantung sejauh mana seseorang tersebut memandang masalah yang
sedang dihadapi yaitu adanya proses primary appraisal (pernilaian awal)
untuk menentukan arti dari kejadian tersebut. Kejadian tersebut dapat
diartikan sebagai hal yang positif, netral, atau negatif. Begitu juga halnya
-
34
dengan wanita yang kemudian memasuki perubahan status baru yaitu
menjadi seorang single mother karena kematian suami, lalu single mother
akan melakukan penilaian awal dari kejadian dan masalah yang muncul
setelah itu. Jika single mother memandang positif masalah yang terjadi,
maka respon perilaku yang ditampilkan pun bisa dalam bentuk
penyesuaian diri yang sehat, penerimaan diri yang bagus dan cara-cara
mengatasi masalah yang konsruktif. Sebaliknya, jika single mother
menganggap negative masalah yang terjadi pada dirinya, maka akan
memperlihatkan respon dalam bentuk perilaku neurotis dan patologis.
Proses ini termasuk penilaian sekunder (secondary appraisal) karena
berbentuk perilaku pengukuran terhadap kemampuan individu dalam
mengatasi tekanan yang ada.
Menurut Hurlock (2004) permasalahan yang sekiranya muncul
pada single mother adalah masalah ekonomi, masalah sosial, masalah
praktis, masalah psikologis, masalah seksual, masalah tempat tinggal,
masalah keluarga dan sulitnya memenuhi figure ayah pada anak.
Adapun coping yang biasanya digunakan oleh single mother
karena ditinggal meninggal suami adalah coping religious, dimana
individu akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan agar dimudahkan dan
diberikan jalan keluar dalam menyelesaikan masalah, ikhlas, sabar dan
bersyukur dalam menghadapi cobaan hidup (Dahlan, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Tanumidjojo & Lestari (2004),
menunjukkan bahwa penggunaan emotional focused – coping akan lebih
-
35
banyak digunakan atau sesuai untuk mengatasi stress yang diakibatkan
kondisi-kondisi yang tidak dapat diubah atau yang sudah menemui jalan
buntu atau kondisi di luar kekuatan individu yang mampu menimbulkan
trauma. Menurut Conrad (2004), bentuk strategi coping yang aktif lebih
sesuai apabila digunakan dalam menghadapi situasi yang tingkatnya di
bawah kontrol dan tidak sesuai untuk situasi yang tidak terkontrol, dalam
hal ini seperti seseorang yang memiliki tingkat stress yang tinggi akan
mengurangi kemampuan seseorang untuk memilih dan melakukan coping
yang efektif.
Taylor (2006) mengungkapkan bahwa beberapa kepribadian
mempengaruhi reaksi seseorang terhadap stress dan strategi coping yang
digunakan, seperti kepribadian yang optimistik yang dapat diasosiasikan
dengan kecenderungan penggunaan problem focused – coping, dengan
mempertimbangkan dukungan sosial dan penekanan pada pandangan
positif terhadap situasi yang meninmbulkan stress tersebut.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Central question :
Bagaimana gambaran coping single mother lakukan dalam
menghadapi masalah yang muncul setelah suami meninggal?
-
36
2. Sub question :
a) Apa saja permasalahan yang muncul setelah suami meninggal?
b) Bagaimana coping yang single mother lakukan untuk
menghadapi masalah yang muncul setelah suami meninggal?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Coping 1. Definisi Strategi Coping 2. Klasifikasi dan bentuk strategi coping 3. Coping Outcome (tugas coping) 4. Proses Strategi coping 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping seseorang
B. Single Mother 1. Definisi single mother 2. Permasalahan pada Single Mother 3. Gambaran umum Coping pada Single Mother
C. Pertanyaan Penelitian