Nata de coco_Melinda Gabriella Huri_12.70.0162_A2

21
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan Nata de coco untuk tinggi media awal, tinggi ketebalan nata dan % lapisan nata dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de coco Ke l Tinggi Media Awal (cm) Tinggi Ketebalan Nata (cm) % Lapisan Nata 0 7 14 0 7 14 A1 1,40 0 0,30 0,30 0 21,43 21,43 A2 1,20 0 0,40 0,40 0 33,33 33,33 A3 1,40 0 0,50 0,50 0 35,71 35,71 A4 2,00 0 0,20 0,60 0 10,00 30,00 A5 1,20 0 0,20 0,30 0 16,60 25,00 Dapat dilihat pada tabel 1, bahwa pada hasil ketebalan nata dan % lapisan nata memiliki hasil yang sebanding atau berbanding lurus yaitu didapatkan hasil untuk kelompok A1, A2, dan A3 terjadi peningkatan pertumbuhan pada hari ke-0 sampai hari ke-7, namun pada hari ke-14 tidak terjadi pertumbuhan nata. Sedangkan pada kelompok A4 dan A5 terjadi pertumbuhan nata dari hari ke-0 sampai hari ke-14, begitu juga pada hasil untuk % lapisan nata. Pada kelompok A4 didapatkan hasil paling tinggi untuk peningkatan ketebalan nata yaitu mencapai 0,60 cm. Sedangkan untuk % lapisan nata paling besar didapatkan pada kelompok A3 yaitu sebesar 35,71 %. 1

description

Nata de coco merupakan makanan hasil dari limbah air kelapa yang digunakan sebagai substrat, menggunakan bakteri Acetobacter xyinum.

Transcript of Nata de coco_Melinda Gabriella Huri_12.70.0162_A2

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan Nata de coco untuk tinggi media awal, tinggi ketebalan nata dan % lapisan nata dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de cocoKelTinggi MediaAwal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata

07140714

A11,4000,300,30021,4321,43

A21,2000,400,40033,3333,33

A31,4000,500,50035,7135,71

A42,0000,200,60010,0030,00

A51,2000,200,30016,6025,00

Dapat dilihat pada tabel 1, bahwa pada hasil ketebalan nata dan % lapisan nata memiliki hasil yang sebanding atau berbanding lurus yaitu didapatkan hasil untuk kelompok A1, A2, dan A3 terjadi peningkatan pertumbuhan pada hari ke-0 sampai hari ke-7, namun pada hari ke-14 tidak terjadi pertumbuhan nata. Sedangkan pada kelompok A4 dan A5 terjadi pertumbuhan nata dari hari ke-0 sampai hari ke-14, begitu juga pada hasil untuk % lapisan nata. Pada kelompok A4 didapatkan hasil paling tinggi untuk peningkatan ketebalan nata yaitu mencapai 0,60 cm. Sedangkan untuk % lapisan nata paling besar didapatkan pada kelompok A3 yaitu sebesar 35,71 %.

17

16

2. PEMBAHASAN

Pemanfaatan limbah pengolahan kelapa (air kelapa) adalah cara untuk mengoptimalkan pemanfaatan dari buah kelapa. Limbah air kelapa baik digunakan untuk substrat pada pembuatan Nata de coco, karena di dalam air kelapa terdapat berbagai nutrisi yang bisa dimanfaatkan oleh bakteri penghasil Nata de coco. Nutrisi yang terkandung dalam air kelapa yaitu gula sukrosa 1,28 %, sumber mineral yaitu Mg2+ 3,54 gr/l (Woodroof, 1972), adanya mineral ini didalam substrat akan membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase dalam metabolisme sel A. xylinum untuk menghasilkan selulosa, serta adanya faktor pendukung pertumbuhan (growth promoting factor) yaitu senyawa yang mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri penghasil nata (A. xylinum) (Lapus et al.,1967).

Nata de coco merupakan hasil dari air kelapa yang berbentuk krim. Proses pembuatan dari nata de coco adalah dengan menggunakan biakan murni Acetobacter xylinum. Makanan ini memiliki bentuk putih, transparan, kenyal, padat, kokoh, kuat dan memiliki rasa seperti kolang-kaling. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dalam pembuatan nata de coco adalah suhu, pH, dan kandungan gula yang ada didalam substrat (Palungkun, 1996). Menurut pendapat Rahman (1992), pembentukan nata terjadi karena adanya proses pengambilan glukosa dari larutan gula oleh Acetobacter xylinum. Kemudian glukosa akan bergabung dengan asam lemak membentuk prekursor (penciri dari nata) yang ada pada membran sel.

2.1. Cara Kerja Pembuatan Nata de coco2.1.1. Pembuatan MediaPertama-tama air kelapa sebanyak 200 ml perkelompok disaring dengan kain saring yang telah disterilisasi untuk membersihkan kotoran-kotoran yang ada pada air kelapa. Pada proses penyaringan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses penyaringan air kelapa

Lalu dipanaskan dan ditambahkan dengan gula pasir sebanyak 10% dari 200 ml (20 gram) dan diaduk sampai larut. Menurut pendapat Palungkun (1996), bahwa tujuan dari pemanasan air kelapa sampai mendidih adalah untuk membunuh mikroba yang dapat mencemari nata yang akan dihasilkan. Apabila tidak ada pemanasan, maka akan ditemukan mikroba lain yang dapat hidup secara langsung / tidak langsung, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas dari Acetobacter xylinum dalam mengkonversi gula menjadi selulosa. Sedangkan menurut pendapat Astawan & Astawan (1991), bahwa pemanasan tidak hanya bertujuan untuk membunuh mikroba yang tidak dikehendaki namun, juga berfungsi untuk melarutkan gula. Hal ini dapat mempengaruhi keberhasilan dari pembentukan nata, karena pada prinsipnya dengan kelarutan gula yang rendah (gula tidak terlarut semuanya) akan menyebabkan gula sulit untuk diserap oleh Acetobacter xylinum, sehingga tidak dapat menghasilkan selaput tebal di permukaan larutan. Hal ini juga yang dapat menyebabkan pada hasil pengamatan didapatkan ketebalan nata yang sedikit. Penambahan gula pasir dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses penambahan gula pasir ke dalam air kelapa

Kemudian air kelapa ditunggu dingin terlebih dahulu, setelah itu ditambahkan dengan ammonium sulfat sebanyak 0,5% dari 200 ml (1 gram). Menurut pendapat Pambayun (2002), bahwa penambahan amonium sulfat memiliki tujuan sebagai sumber nitrogen untuk mendukung pertumbuhan dari aktivitas bakteri nata. Sumber nitrogen ini akan lebih baik bila menggunakan ammoniun fosfat (ZA), karena bila dibandingkan dengan urea, ZA dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter aceti yang merupakan pesaing dari Acetobacter xylinum. Tak hanya itu, penambahan urea yang lebih banyak dapat menyebabkan larutan menjadi lebih asam (kondisi pH cairan berkisar pada angka 4). Bila hal ini telah terpenuhi sebagai substrat, maka aktivitas bakteri dapat lebih optimal dalam memfermentasikan air kelapa menjadi nata de coco. Hal inilah yang dapat menjadi faktor pada hasil pengamatan pertumbuhan nata yang sedikit, karena sebaiknya menggunakan ammonium fosfat. Penambahan ammonium sulfat dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Penambahan ammonium sulfat ke dalam air kelapa

Lalu ditambahkan pula asam cuka glasial yang diambil di ruang asam (untuk kloter A dibutuhkan sebanyak 40 tetes) sampai pHnya 4-5 (untuk kloter A, pH yang didapatkan adalah 4,68), kemudian dipanaskan lagi sampai mendidih dan disaring. Menurut pendapat Rahman (1992), bahwa pengaturan atau penambahan tingkat keasaman ini terkait dengan sifat dan karakteristik dari bakteri Acetobacter xylinum yang hanya dapat tumbuh secara optimal pada kondisi asam yaitu pada pH 4,3 dan untuk medium yang digunakan biasanya berkisar antara pH 4 sampai 5. Hal ini sudah sesuai dengan pendapat Rahman (1992), bahwa digunakan pH 4,68 pada kloter A. Penambahan asam cuka glasial dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Penambahan asam cuka glasial ke dalam air kelapa

Menurut pendapat Awang, (1991), bahwa pada penambahan gula ke dalam air kelapa ini memiliki tujuan sebagai sumber C (karbon) organik yang dibutuhkan bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum supaya dapat menghasilkan tenunan selulosa. Sedangkan penambahan urea atau amonium sulfat digunakan sebagai sumber N (nitrogen) organik bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum. Tak hanya itu, pada penambahan asam asetat glasial memiliki fungsi untuk mencapai pH optimum bagi pertumbuhan dari Acetobacter xylinum yaitu antara 4-4,5. Pengukuran tingkat keasaman dengan pH meter dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengukuran tingkat keasaman media

2.1.2. FermentasiPertama-tama wadah plastik bersih yang telah disediakan perkelompok, dimasukkan 200 ml media steril dan ditutup rapat dengan kertas coklat serta diikat dengan karet gelang. Penuangan media steril ke dalam wadah plastik dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Penuangan media steril kedalam wadah plastik

Lalu ditambahkan dengan biang nata (starter) sebanyak 10 % dari 200 ml (20 ml) ke dalam wadah plastik secara aseptis. Menurut pendapat Hadioetomo (1993), bahwa teknik aseptik memiliki tujuan untuk mencegah supaya tidak tercemarnya biakan murni, karena kontaminasi dapat melalui udara lingkungan sekitar maupun dari praktikan. Proses penambahan biang nata pada wadah plastik secara aseptis dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Penambahan biang nata ke dalam wadah plastik

Menurut pendapat Rahayu et al., (1993), bahwa bakteri atau biakan murni yang digunakan untuk membuat nata tergantung pada jumlah dan umur inokulumnya. Jumlah inokulum yang ditambahkan untuk membuat nata adalah berkisar antara 1 10%. Umur inokulum yang digunakan untuk proses fermentasi juga harus pada kondisi yang optimum (tidak terlalu tua). Hal ini sudah sesuai dengan yang telah dilakukan yaitu penambahan starter atau biakan murni nata adalah 10 %. Kemudian wadah digoyang-goyangkan atau digojog perlahan sampai seluruh starter dan media tercampur merata, lalu ditutup kembali dengan kertas coklat. Wadah plastik yang telah ditambahkan dengan biang nata dan ditutup dengan kertas coklat dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Wadah plastik (berisi biang nata dan media) siap untuk diinkubasi

Proses inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 2 minggu dengan semua bagian wadah ditutupi dengan kertas coklat supaya tidak terkena cahaya. Selama proses inkubasi, wadah plastik tidak boleh digoyang-goyangkan supaya lapisan yang akan terbentuk tidak terpisah-pisah. Menurut pendapat Pambayun (2002), bahwa penginkubasian pada suhu ruang memiliki tujuan untuk menciptakan suhu yang optimal bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum, dimana suhu rata-rata yang diperlukan oleh Acetobacter xylinum sebesar 28 C. Bila suhu yang didapatkan berada di atas ataupun di bawah suhu 28oC, maka pertumbuhan bakteri menjadi terhambat. Sedangkan untuk penutupan pada wadah plastik memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya kontak langsung dengan udara maupun oksigen yang berlebih, karena dapat menghambat pertumbuhan maupun pembentukan dari nata oleh bakteri. Setelah itu, dilakukan pengamatan pada hari ke-0, ke-7, dan ke-14 terhadap nata de coco, meliputi tinggi awal media, dan tinggi ketebalan nata, lalu dihitung pula % lapisan nata nya dengan rumus:

Kemudian setelah didapatkan nata, lalu dicuci dengan air yang mengalir dan dimasak dengan menggunakan air gula. Menurut pendapat Rahayu et al (1993), bahwa lapisan nata harus dicuci dan direndam. Proses pencucian dan perendaman ini memiliki tujuan untuk menghilangkan asam maupun aroma asam yang tidak diinginkan. Setelah nata telah matang, dilakukan uji sensori terhadap rasa, aroma, tekstur, dan warna dari nata. Pada praktikum untuk kloter A, tidak didapatkan nata de coco, hal ini dikarenakan terjadinya kontaminasi pada hasil nata nya. Sehingga tidak dilakukan pengujian untuk sensori nata. Hasil dari proses inkubasi atau fermentasi selama 14 hari dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hasil nata semua kelompok (dari kiri ke kanan, kelompok A1-A5) pada proses fermentasi atau inkubasi hari ke-14

2.2. Hasil PengamatanPada hasil pengamatan yang telah dilakukan, pada semua kelompok untuk hari ke-0 tidak mengalami pertumbuhan. Namun, akan mulai tumbuh pada hari ke-7. Untuk kelompok A1, A2,dan A3 pada tinggi ketebalan nata terjadi peningkatan pertumbuhan pada hari ke-0 sampai hari ke-7 saja, namun setelah itu yaitu pada hari ke-14 tidak terjadi pertumbuhan nata. Begitu pula dengan % lapisan nata. Sedangkan pada kelompok A4 dan A5 terjadi pertumbuhan nata dari hari ke-0 sampai hari ke-14, begitu juga pada hasil untuk % lapisan nata. Pada kelompok A4 didapatkan hasil paling tinggi untuk peningkatan ketebalan nata yaitu mencapai 0,6 cm. Sedangkan untuk % lapisan nata paling besar didapatkan pada kelompok A3 yaitu sebesar 35,71 %. Untuk hasil sensorinya, tidak dapat dilakukan karena terjadi kontaminasi pada nata yang telah dihasilkan.

Menurut pendapat Gunsalus & Staines (1962), bahwa terbentuknya lapisan nata ini dikarenakan oleh komponen selulosa yang terbentuk dari glukosa yang akan membentuk mikrofibril yang panjang dalam proses fermentasinya. Sedangkan gelembung-gelembung gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi juga memiliki kecendeerungan untuk melekat pada selulosa, sehingga menyebabkan jaringan dapat terangkat ke cairan. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan nata de coco antara lain :a. pHb. suhuc. kandungan gula dalam substrat.(Palungkun, 1996).

2.3. Pembahasan JurnalBerdasarkan jurnal yang berjudul Teknologi Pembuatan Nata de coco sudah sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan yaitu oleh Misgiyarta (2007), bahwa pembuatan Nata de coco dengan menggunakan substrat air kelapa dilakukan dengan cara menambahkan gula sukrosa atau gula pasir sebanyak 10%, urea 0,5%, asam asetat glasial 2% atau asam cuka dapur 25% sebanyak 16 ml/ liter air kelapa. Tahapan dalam proses pembuatan Nata de coco adalah pemeliharaan dan peremajaan kultur A. xylinum, persiapan substrat, persiapan starter, fermentasi, pemanenan hasil, pengolahan hasil dan pengemasan hasil. Pengolahan produk Nata de coco dengan menambahkan gula dan flavouring agent yang disukai oleh konsumen.

Berdasarkan jurnal yang berjudul Evaluation of Physical and Mechanical Properties Composite of Nata de coco Fibers / Resin Filled SiO2, and Al2O3 oleh Saputra dan Darmansyah (2010), bahwa nata dari serat air kelapa yang mempunyai kandungan asam asetat sebesar 0,3% v/v, gula 2,0% b/v, dan urea sebesar 0,5% b/v. Dengan bahan ini, dapat menghasilkan serat dengan ketebalan 14,57 cm dan massa 595 gram per 700 ml air kelapa. Berdasarkan pengujian mekanik, serat yang didapatkan memiliki kekuatan tarik sebesar 390,39 MPa.

Berdasarka jurnal yang berjudul The Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Nata de coco) by Acetobacter xylinum oleh Jagannath., et al (2008), bahwa ketebalan dari nata dapat mempengaruhi daya ikat air. Daya ikat air ini dapat mempengaruhi tekstur fisik dan sifat organoleptik pada nata. Nata de coco yang bagus, memiliki tekstur yang kenyal, permukaannya lembut, halus dan tidak beraroma asam.

Berdasarkan jurnal yang berjudul Studies on Fermentation of Monascus purpureus TISTR 3090 with Bacterial Cellulose from Acetobacter xylinum TISTR 967 oleh Ochaikul., et. al. (2006), bahwa warna dari nata de coco yang putih dapat diberi pewarna lain, salah satu pewarnanya adalah dengan menggunakan Monascus purpureus. Pewarnaan menggunakan kapang ini sangat aman bagi kesehatan (foodgrade). Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pewarnaan nata oleh Monascus purpureus yaitu sumber karbon dan nitrogen, serta suhu dan pH awal selama proses fermentasi. Warna yang dihasilkan akan tahan terhadap pencucian, pemanasan, pengasaman (pH rendah) dan UV (ultraviolet).

Berdasarkan jurnal yang berjudul Physicochemical Properties and Characterization of Nata de coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose oleh Halib dan Mohd (2012), bahwa sifat termal dan kelarutan selulosa yang diekstrak dari nata de coco memiliki spesifikasi seperti selulosa murni. Hal ini dibuktikan dengan serbuk nata de coco yang dihasilkan dapat larut dalam kuprum (II) etilenadiamina. Larutan ini dapat membuktikan juga bahwa nata de coco adalah sumber selulosa bakteri yang baik untuk dikonsumsi oleh manusia (foodgrade).

3. KESIMPULAN

Nata de coco adalah hasil fermentasi dari air kelapa dengan bakteri Acetobacter xylinum. Terbentuknya lapisan nata pada permukaan cairan diakibatkan oleh gelembung-gelembung gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi yang memiliki kecenderungan melekat pada selulosa sehingga menyebabkan jaringan terangkat ke cairan. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan fermentasi nata adalah gula, sumber nitrogen, temperatur, tingkat keasaman, pH awal medium, lama dan suhu fermentasi serta aktivitas dari pertumbuhan mikroorganisme. Penyaringan memiliki tujuan untuk menghilangkan kotoran yang terdapat pada air kelapa. Penutupan wadah memiliki tujuan untuk mencegah oksigen kontak langsung dengan permukaan nata dan untuk melindungi nata dari kontaminasi lingkungan sekitar. Penambahan gula pada media memiliki fungsi untuk memberikan sumber karbon pada proses fermentasi oleh Acetobacter xylinum. Penambahan asam asetat glasial adalah untuk menjaga pH awal medium dapat mencapai antara pH 4-5. Bakteri A. xylinum dapat tumbuh pada pH rendah yaitu 4,3. Penambahan amonium sulfat atau urea memiliki fungsi sebagai sumber nitrogen yang dapat mendukung pertumbuhan dari aktivitas bakteri nata serta meningkatkan ketebalan dari lapisan nata de coco. Penambahan urea yang semakin banyak dapat menyebabkan pH larutan menjadi semakin asam dan memiliki bau asam yang lebih kuat. Suhu pada pembuatan nata atau pada saat inkubasi adalah 28 oC. Tujuan pencucian dan perendaman air selama satu malam serta perebusan pada nata yang sudah terbentuk adalah untuk menghilangkan rasa maupun bau asam.

Semarang, 8 Juli 2015Praktikan,Asisten Dosen Wulan Apriliana Nies Mayangsari

Melinda Gabriella Huri12.70.01624. DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M. & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Awang, S.A. (1991). Kelapa : kajian sosial-ekonomi. Aditya media. Yogyakarta.

Gunsalus, I. C. & R. Y. Stainer. (1962). The Bacteri A. Treatise on Structure & Function. Academic Press.New York.

Hadioetomo, R. S. (1993). Mikobiologi Dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Halib, Nadia dan Mohd Cairul Iqbal Mohd Amin. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana 41(2)(2012): 205211.

Jagannath, A. et al. (2008). The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:25932599.

Lapuz, M. M., Gollardo E.G., & Palo M.A. (1967). The Organism and Culture Requirements, Characteristics and Identity. The Philippine J. Science. 98:191 109.

Misgiyarta. (2007). Teknologi Pembuatan Nata de coco. Pelatihan Teknologi Pengolahan Kelapa Terpadu. Balai Besar Penelitiandan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.

Ochaikul, Duangjai. Et al. (2006). Studies on Fermentation of Monascus purpureus TISTR 3090 with Bacterial Cellulose from Acetobacter xylinum TISTR 967. KMITL Sci. Tech. J.Vol.6 No. 1.

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Rahayu, E.S. ; R. Indriati ; T. Utami ; E. Harmayanti & M.N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A (1992). Teknologi Fermentasi I, Penerbit Arcan, Jakarta.

Saputra, Asep Handaya dan Darmansyah. (2010). Evaluation of Physical and Mechanical Properties Composite of Nata de coco Fibers/Resin Filled SiO2, and Al2O3. ISFAChE 2010.

Woodroof, J.G. (1972). Coconuts: Production, Processing Product, The AVI Publishing Company, Inc. Conecticut.

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Kelompok A1Hari ke-0

Hari ke-7

Hari ke-14

Kelompok A2Hari ke-0

Hari ke-7

Hari ke-14

Kelompok A3Hari ke-0

Hari ke-7

Hari ke-14

Kelompok A4Hari ke-0

Hari ke-7

Hari ke-14

Kelompok A5Hari ke-0

Hari ke-7

Hari ke-14

5.2. Jurnal5.3. Laporan Sementara