Naskah buku

download Naskah buku

If you can't read please download the document

description

skripsi, makalah, naskah, artikel, proposal, proposal skripsi, abaz, abaz zahrotien, abazzahra, NU, Nahdlatul Ulama, PBNU, Dokumen, sejarah, jawa, islam, indonesia, islam indonesia, pmii, ipnu, ansor, fatayat

Transcript of Naskah buku

Naskah buku

Wacana Ringan dari Kegelisahan

Rekonstruksi Nalar Religius

Memahami Posisi Islam dalam Konstelasi Geo Sosio Politik

Oleh : Abaz Zahra

1

Sebagai Jembatan Awal Menatap Dunia Yang Sesungguhnya

Pengantar Penulis

Sejak diterbitkannya buku terbaru Samuel P. Huntington yang berjudul Who Are We?- : The Challenges to America's National Identity tahun 2004 lalu kondisi Islam dalam konstelasi geopolitik semaki1n tertantang. Dalam buku sebelumnya, The Clash of Civilization, penasehat awakan Gedung Putih ini belum terangterangan mengatakan bahwa Islam adalah musuh besar bagi Amerika Serikat, namun dalam buku terbarunya itu, Huntington mengatakan dengan tegas bahwa Islam Fundamental adalah musuh besar yang harus dibasmi. Ketika dilihat dalam buku tersebut memang tercantum Islam Fundamental yang militant sebagai musuhnya, namun pada realitas di lapangan semua kelompok Islam, baik Islam moderat, Islam liberal dan kelompok Islam lainnya mendapatkan serangan dan warning yang sama dari Amerika Serikat. Secara politis demikian, bahwa kondisi percaturan politik global dalam pemetaan Huntington sebelumnya, Islam merupakan salah satu kekuatan besar yang akan menjadi lawan dari peradaban Barat. Benturan peradaban yang akan terjadi salah satunya adalah antara Islam dan Barat, disamping nanti muncul Confucianisme yang berkembang di China. Ini memberi alamat yang semakin jelas bagi perkembangan Islam ke depan, apalagi setelah Irak dan Afghanistan diserang secara membabi buta oleh Amerika Serikat serta Libanon oleh Israel, ini mengalamatkan bahwa Islam secara politis akan terus diserang tanpa ampun untuk memenuhi ambisi Amerika Serikat dan mematahkan kekuatan Islam dalam konstelasi geopolitik. Di samping penyerangan secara politis, Barat (baca: Amerika Serikat) juga menyerang sisi kebudayaannya, dalam bahasa Hassan Hanafi disebut dengan imperialisme budaya. Dimana kebudayaan non-Barat secara perlahan akan diputus akar kesejarahannya dan menggantinya dengan budaya popular ala Barat. Penyerangan sisi budaya ini berbuntut pada hilangnya khazanah local yang dimiliki oleh negara-negara non-Barat, tradisi dan ritus budaya akan tergilas oleh kemasan budaya popular yang memang lebih menarik perhatian dibandingkan dengan khazanah local. Inilah yang kemudian menjadi persoalan pelik disamping persoalan pada ranah politik. Sementara itu, dalam tubuh Islam sendiri, komunikasi internal juga belum selesai, dimana satu madzhab dengan madzhab lainnya belum berada pada satu pandangan yang sama untuk menentukan satu musuh bersama (common enemy). Kalaupun telah mencapai kesepakatan itu, jalur pergerakan yang dilakukanpun masih khilafiyah dikarenakan perbedaan penafsiran atas model perjuangan (jihad). Indonesia yang merupakan kandangnya warga Islam dengan jumlah penduduk yang menganut agama Islam terbesar di dunia tentunya juga menjadi wilayah yang turut serta tergabung dalam permainan sosio politik dunia. Dan ini juga tidak hanya terjadi saat ini saja, campur tangan Barat terhadap kemerdekaan 1

3

secara sosial telah terjadi sejak zaman kuno hingga sekarang. Percaturan politik nasional tidak terlepas dari persoalan politik global, karena diakui atau tidak Indonesia telah terpetakan sebagai negara Islam moderat yang dengan mudah telah menjadi boneka Amerika Serikat. Tulisan yang ada disini merupakan ungkapan dari keresahan yang saya alami ketika saya membaca buku-buku. Dari buku saya menjadi tahu kondisi yang sebenarnya tentang dunia ini, tetapi, berangkat dari tanggung jawab saya sebagai kader organisasi pergerakan, saya tidak mampu melakukan apapun untuk merubah tatanan busuk ini. Oleh karena itulah saya ingin membagi keresahan yang saya alami ini kepada semua orang. Dalam tulisan ringkas ini, bantuan dari berbagai pihak yang telah turut serta menyumbangkan ide-idenya saya mengucapkan terima kasih yang tertinggi. Perjuangan dan gerakan kita dalam merumuskan masa depan intelektual kita bersama di Rumah Kita harus tetap kita lestarikan sampai tedhak turun kita kedepan. Bapak, Ibu, mbak Zulfa, Nurul Aminah, Mas Amri, mas Tikno, mbak Nur and the family. My sist and broth, all of you, i love you. Alexa Visti Angelica (poepoedz) and the Family. Especially for my spirit Dian Sevi Ferliyah and the Family. Sahabat-Sahabat penghuni Rumah Kita yang saya ucapkan terima kasih berlebih, M. Suyuti (Ketua Umum PC PMII Wonosobo 2007), Parman Parl Marx, Asep Saefudin, Dwi Cecek (Ketua PC IPNU Wonosobo 2008), Mahmoud Dukun, Yunus, Syarif, Amin, Ifat, Zen, Samuel Sul dkk. Serta pendukung utama tercinta Rumah Kita, Syarifah Sukainah Al Idrus, Ati Nusa Laksani Juwita Malam, titin, Muhammad Wagimin Aples, Ulfiatun NF, Nur Noe Khasanah. Pasukan Senthe Woeloeng United Kalibeber, PC PMII Wonosobo, PK PMII Ahimsa Unsiq, Sangkakala Institute, PKC PMII Jateng, Danyang Sumbing For Brain, Akses Budaya Wonosobo, Jagong Budaya Wonosobo, Teater Banyu Wonosobo, Jaringan Semi Liberal NU Wonosobo, Pandawa Wonosobo, PPTQ Al Asyariyyah, Universitas Sains Al Quran (Unsiq), Yayasan Jurnal Perempuan Jakarta, Wahid Institute Jakarta, Freedom Institute Jakarta, LBH Jakarta, Komunitas Salihara, Komunitas Konkow bareng Gus Dur, terima kasih banyak semuanya. Tidak lupa kepada seluruh Sahabat-sahabatku di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia PMII Cabang Wonosobo. Terutama kepada salah satu pendiri PMII wonosobo Bapak Kholiq Arief (Bupati Wonosobo), dan Alumni Mas Arif Kfc (DPRD Wonosobo), Mas Syarif Abdilah (Aktivis Tani/DPRD Wonosobo), Mas

Hasan (DPRD Wonosobo), Mas Amir (Ketua Ansor Cab. Wonosobo), Mas Mubin (Dosen UNSIQ dan LAKPESDAM NU), Mas Wonodo (DPC PKB Wonosobo), Mas Haqqy (Budayawan Wonosobo), Mas Thoriq (Pengusaha Wonosobo), Mas Thoam (Dosen Unsiq), Mas Slamet (SRC), Mas Jatomo (Ketua KMBPI Wonosobo). Teman-teman PMII, Gendhut Dani, Andree and the Back home, Ali Nazilatul, Ahmad Nadzir, Habibi, Arif Hidayat, eM, Fasihul Lisan alwani, dukun, sani arab, sani jowo, arie kijo, fajar, sayidi, mahrus, mudzakir, masruh, mat leader, mat kenong, jamal, benu, afi, cheng foe, libasut taqwa, ladaina ifa, ninok, nofee medan, my sister Amilati, eni chamidah, aPim, tarti, udzoh, dan semuanya sajalah, masa harus ngabsen, thanks abiz pokoknya, I LovE yOu. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada semuanya yang telah turut serta membantu menyelesaikan tulisan kecil ini. Dan penerbit yang telah menerbitkan catatan kecil ini, semoga bermanfaat dan selamat berjuang.. Banjarnegara, Februari 2009 Abaz Zahra

5

Daftar IsiHalaman Judul :..............................................................................

Pengantar Penulis : Daftar Isi : Islam Revolusioner :............................................................................. Dekonstruksi Pemahaman Klasik atas Ajaran Islam : Jalan Baru, Mungkinkah? :.......................................................................... Dirasat Al Islamiyyah Yasar Hassan Al Hanafi Islam : :

Oksidentalisme : Oksidentalis atau Tukang Ramal? Jihad, Dulu, Sekarang dan yang akan Datang: ..................................... Jihad Hari Ini dan yang Akan Datang :........................................................ Islamophobia :.............................................................................

Islamophobia Max Weber................................................................

Kritik Agama Marx : Dampak Islamophobia : Konstelasi Geo Sosio Politik dan Pengaruhnya terhadap Geografi Sosio : Definisi dan Gambaran Global : Religius Nasional

Realitas Geopolitik Hari Ini : Geneologi Sosial Politik (Geosospol) : Islam Indonesia : Konstelasi Geopolitik dan Geografi Sosio Religius Nasional : Daftar Pustaka :

Biografi Penulis

:

7

ISLAM REVOLUSIONER

Tidak tahu persis tentang apa yang akan ditulis ini, entah ada kaitannya ataupun tidak, saya ingat ketika beberapa bulan lalu saya duduk di emperan masjid kampus, mengamati aktivitas mahasiswa, melihat dan membaca tingkah laku mahasiswa, dan saya baru menyadari bahwa ternyata cengkraman hegemoni begitu kuat dari satu sistem. Belajar rajin, membaca buku, berdiskusi dengan dosen, pulang kuliah membuat tugas, dan begitu seterusnya setiap hari. Untuk yang tidak sepakat dengan sistem ini, jumlahnya kemungkinan lebih dari 70 % terbagi dua macam. Biasanya mereka melakukan pembangkangan dari aktivitas wajib yang dibebankan kepada mereka. Yang kebetulan agak kritis, jumlahnya hanya sekitar 20-30 % dari para pembangkang, lari ke organisasi pergerakan, organisasi mahasiswa lainnya yang ada diinternal atau eksternal kampus. Selebihnya, mereka melampiaskan ketidaksukaannya dengan berhurahura, pacaran, ngegank, jalan-jalan, nongkrong atau hanya sekedar kumpulkumpul dengan teman-temannya. Fenomena ini, saya begitu yakin tidak hanya ada di kampus saya saja, tetapi disetiap kampus, disetiap lorong-lorong jurusan, disetiap gedung-gedung fakultas atau digedung kemahasiswaan. Anehnya, justru budaya semacam ini menjadi semacam trademark di perguruan tinggi. Baiklah, mari kita refleksi kembali kedepan mengenai masa depan kita, mahasiswa dan sebagai calon dokter masyarakat. Sebelum sampai pada makna yang sesungguhnya dari Islam Revolusioner yang sebenarnya esensinya tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang menjadi tesis Hassan Hanafi yakni The Left Of Islam (Al Yassar Al Islam) atau Islam Pembebasan (Islam and the Relevance to our age) yang ditulis oleh Asghar Ali Engineer, ada satu hal yang seharusnya kita kaji dulu dalam Islam itu sendiri terkait dengan ajaran-ajaran serta semua hal yang melingkupi tentangnya. Banyak sesungguhnya di dalam Al Quran yang mengatakan bahwa Islam merupakan agama revolusioner atau agama yang hendak merubah tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat secara kolektif ke arah yang lebih baik. Di dalam Al Quran, tidak terlalu tampak secara berlebihan tentang revolusionernya secara implisit, namun secara eksplisit ketika ayat tersebut ditafsirkan dengan metode kontekstual histories (meminjam istilah Hassan Hanafi) hampir sebagian besar isi Al Quran merupakan upaya untuk merubah atau tepatnya menjadikan Al Quran sebagai media utama revolusi.

Satu hal lagi yang perlu ditekankan dalam hal ini, yakni terkait dengan makna Islam revolusionernya sendiri. Bahwa revolusioner yang diangkat dalam Islam itu tidak hanya hal-hal besar yang cakupannya global saja, tetapi hal-hal kecil sampai detail merupakan objek perubahan. Sebagai pembandingnya, Islam tidak hanya merubah tatanan geososiopolitik saja tetapi melakukan perubahan sampai hal yang sifatnya personal dan tabu sekalipun seperti berkhitan, memotong bulu kemaluan, sex dan sebagainya. Artinya, revolusi yang ditawarkan oleh Islam sebagai solusi kolektif atas berbagai persoalan yang sifatnya mendunia hari ini berangkat dari hal-hal yang sebenarnya ringan dan tidak terpikirkan oleh kita untuk diubahnya, karena sesungguhnya Islam mempercayai bahwa hal-hal yang kita anggap sepele akan berbuntut pada hal-hal yang besar yang terkadang kita sendiri tidak mampu mengatasinya. Persoalan sederhana yang kita hadapi sehari-hari dengan sendirinya akan menjadi kebiasaan dan seterusnya mampu menjadi persoalan besar. Ini memang benar adanya, artinya dalam hal ini Islam mencoba menggulirkan satu wacana baru tentang bagaimana memanage hal-hal sepele dalam hidup kita sebagai langkah antisipatif terhadap munculnya hal-hal besar. Analogi sederhananya, ibaratkan persoalan sepele itu setitik debu, maka lama-kelamaan debu itu akan bergabung bersama debu-debu lainnya, menggumpal dan kemudian menjadi batu gunung yang besar yang mampu meremukkan apapun yang dilewatinya. Dalam wilayah sederhana ini, kemudian Islam mengajak umatnya untuk berkaca pada sejarah masa lalu untuk di jadikan referensi dan mempelajari kejadian tersebut mulai dari tahap penampilan masalah sampai pada ending dari sejarah itu. Klimaks konflik dan anti klimaksnya yang kemudian harus mendapatkan perhatian khusus agar persoalan-persoalan yang muncul dapat segera diketahui penyebabnya serta kemudian merumuskan strategi untuk bagaimana persoalan tersebut mendapat penyelesaian yang paling baik dan solutif. Hal ini ada kaitannya dengan apa yang dikatakan oleh penganut filsafat materialisme historis (evolusionisme mekanis) yang cenderung mempercayai bahwa sejarah pada dasarnya selalu berputar, apa yang terjadi pada kejadian hari ini dan akan datang sesungguhnya telah terjadi juga di masa lampu dengan konsep yang sama. Perbedaan dari kejadian itu hanya terletak pada kuantitas dan kualitasnya saja. Dapat dicontohkan misalnya imperialisme dan kolonialisme ekonomi hari ini yang kita rasakan sesungguhnya telah terjadi pada masa lampau dengan kejadian yang sama namun dalam konsep yang berbeda, kolonialisme dan imperialisme ekonomi yang terjadi pada masa lampau dilakukan dengan system yang sederhana dan strategi yang masih dangkal. Islam dikatakan membawa sejarah sebagai referensi umat Islam dalam menyelesaikan persoalan menjadi alasan kenapa Allah kemudian banyak menceritakan kisah-kisah para nabi dan rasul terdahulu dalam Al Quran. Yang ditulis di dalam Al Quran, terutama kisah-kisah para nabi dan rasul ini bukan hanya untuk diketahui sebagai pengetahuan umum untuk kemudian di dongengkan kepada anak cucunya saja tetapi untuk dipelajari dan diambil makna dari cerita itu. Tiap tokoh kemudian dikaji dari berbagai sisi, baik sisi sosial, ekonomi maupun budayanya dan kemudian dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya, bagaimana munculnya konflik, penyelesaian konflik sampai pada

9

bagaimana menciptakan tata sosial yang baru pasca konflik. Kisah-kisah nabi dan rasul terdahulu ketika dikaji dengan model kontekstual histories dapat ditemukan banyak hal terkait dengan persoalan yang dilematis hari ini. Persoalan mengenai konflik antara rakyat dengan penguasa dapat dijumpai pada kisah nabi Yusuf dan nabi Musa, bagaimana Yusuf bersikap ketika sedang dalam masa hukuman di penjara, tentang bagaimana Nabi Musa bersama pasukannya melawan dominasi kekuatan Raja Firaun2. Persoalan mengenai politik dapat berkaca dari Nabi Sulaiman, tentang manajemen Negara sebesar negara Sulaiman yang dilakukan secara sentralistik yang langsung kepada Raja Sulaiman, bagaimana Nabi Sulaiaman melakukan penggabungan negara dengan negara ratu Bilqis, di bidang militer Kisah Nabi Sulaiman dengan tentara dari manusia, binatang dan jin dapat di control dalam one man one commando di tangan nabi Sulaiman. Di bidang pendidikan, kisah nabi Musa ketika mencari Nabi Khidzir, ketabahannya dan kesabarannya dalam menuntut ilmu dapat menjadi rujukan hari ini bagaimana menyelesaikan persoalan rendahnya sugesti masayarakat untuk bersekolah, sehingga negara kita dilanda kebodohan kolektif. Manajemen pendidikannya, dapat diambil dari kisah nabi-nabi yang menyampaikan risalahnya secara kontinyu dengan tempat seadanya dan waktu sesenggangnya. Artinya belajar dapat dimanapun, kapanpun dengan guru siapapun. Banyak kejadian sejarah dari para nabi terdahulu yang dapat dijadikan rujukkan untuk mencari solusi kolektif atas multiproblem yang terjadi di tengah-tengah kita hari ini. Sederhananya, dari kisah sejarah yang dituliskan dalam Al Quran saja dapat kita ambil banyak pelajaran untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dilematis di tengah-tengah kita hari ini. Belum lagi ketika kita buka ayat-ayat makiyyah yang di turunkan di Makkah yang kebanyakan isinya tentang hukum syariat yang mengatur hubungan teologis dan hubungan muammalah (sosiologis), disini secara lebih jelas diatur mengenai bagaimana seharusnya kita berpolitik, bagaimana menciptakan tata sosial yang madani, tentang apa yang seharusnya dilakukan ketika berhubungan dengan Allah dan seterusnya. Dalam Al Quran, kisah-kisah nabi terdahulu tidak hanya untuk kemudian dijadikan petuah dan dongeng saja, akan tetapi apa yang digambarkan tentang kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang mengabaikan kepentingan teologis dan humanis di tengah-tengah kaumnya secara nyata, kemudian atas mereka Allah dengan kebesarannya kemudian menurunkan beraneka bencana yang terkadang diluar akal sehat manusia. Kaum Nabi Nuh yang berada di sekitar gurun berpasir oleh Allah kemudian diturunkan bencana berupa banjir bah yang besar sehingga seluruh kaum, kecuali pengikut nabi Nuh, tenggelam oleh banjir2 Kisah ini disebutkan dalam Al Quran saat bagaimana Bani Israil yang dipimpin Musa melawan Firaun, pada akhir cerita Allah menenggelamkan Firaun dan bala tentaranya saat menyeberangi lautan. Allah berfirman; Maka Fir'aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka (QS.20.78)

tersebut. Atau yang lebih jelas lagi, Raja Ramses (Firaun) di zaman nabi Musa ditenggelamkan di dalam lautan ketika nabi Musa berhasil membelah lautan hanya dengan pukulan tongkatnya. Satu hal lagi, bahwa selain memberikan petuah secara implicit dan eksplisit, Al Quran juga memberikan jawaban atas persoalan motivasi dalam melakukan revolusi (perubahan) sebagai manifestasi atas ajaran yang terkandung di dalam Islam, seperti misalnya, Allah memberikan sindiran halus dengan Firmannya Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu sendiri merubahnya.3 Disinilah kemudian apa yang dimaksud Hassan Hanafi bahwa Islam itu harus mampu menciptakan antroposentrisme yakni peradaban yang berpusat pada manusia memperoleh legitimasi selain dari ayat yang mengatakan bahwa manusia adalah khalifatu fi al ardl yang berhak memanage dunia beserta isinya. Di sisi lain, bahwa terkait dengan manusia sebagai khalifatu fi al ardl maka manusia memperoleh kebebasan dan tanggung jawab untuk melakukan perubahan terhadap tata sosial masyarakat dan alam sekitarnya yang tidak sesuai dengan hokum Islam untuk menciptakan kemaslahatan bersama (kesalehan kolektif). Allah berfirman :Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi4

Jabatan khalifatu fi al ardl dan keharusan manusia melakukan perubahan terhadap negaranya apabila negara tersebut di pegang oleh kekuasaan yang menindas dan sewenang-wenang memberikan inspirasi lebih bahwa dengan hanya dua tanggung jawab ini motivasi untuk revolusi dapat dimunculkan dengan bermodalkan keberanian dan tanggung jawab secara kolektif masyarakat Islam di dunia, tanpa membedakan status dan madzhab yang dianut. Disini baru satu sumber utama, sumber yang kedua berupa hadits dapat lebih jauh3 Surat Al Rad ayat 11 4 Surat Al Baqarah [2] 30

11

lagi diketahui tentang bentuk revolusi yang ditawarkan oleh Islam sebagai langkah efektif untuk dapat merubah tatanan ipoleksosbudhankam yang dilematis dan menindas. Hadits memberikan jabaran lebih luas dan mendalam serta lebih detail, tugas hadits adalah menterjemahkan isi Al Quran secara lebih luas dan teknis, oleh karena itu peran hadits sebagai penerjemah akan lebih luas cakupannya di bandingkan dengan sumber utamanya. Menjabarkan tentang peran hadits dalam melakukan dukungan revolusioner terhadap Al Quran akan di temukan penjelasan yang lebih mendalam, mengingat hadits tidak hanya ucapan nabi Muhammad, tetapi juga tindakan dan sikapnya maka dapat dengan mudah diketahui tindakan revolusioner nabi Muhammad dalam melakukan perubahan di tanah Arab khususnya dan dunia pada umumnya. Masyarakat Arab sebelum nabi Muhammad diangkat menjadi Rasululullah banyak tindakan yang tidak manusiawi muncul. Bayi yang lahir dengan jenis kelamin perempuan akan dikubur hidup-hidup, berjudi dan mabuk-mabukan merupakan identitas mereka, perbudakan, penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap kaum miskin dapat mudah dijumpai. Sesembahan mereka berupa batu yang dipahat berbentuk berhala yang di letakkan di bangunan suci Nabi Ibrahim, Kabah, yang mereka namai Latta dan Uzza. Dan sederetan tindakan jahiliyyah lainnya. Dari fenomena yang kurang manusiawi di tengah-tengah masyarakat Arab ini, Muhammad muncul sebagai orang yang berhati halus, jujur, berotak cerdas dan oleh masyarakatnya Muhammad mendapatkan gelar Al Amin5. Muhammad yang merasa prihatin dengan kondisi ini kemudian menyeret dirinya untuk merenungi dan menyendiri berkontemplasi di gua Hira, sebuah gua yang berada di pegunungan berbatu di luar kota Makkah. Ditengah kontemplasinya yang dilakukan secara kontinyu (istiqamah), Jibril kemudian atas perintah Allah menurunkan wahyu pertama yang membuat Muhammad merasa ketakutan. Asghar Ali Engineer6 mencatat dalam peristiwa penurunan wahyu pertama ini, bahwa wahyu yang pertama kali secara esensial memang berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian lebih kepada fenomena sosial yang ada di sekitarnya. Makkah yang ketika itu merupakan pusat perdagangan yang penting. Dimana secara geografis Makkah menjadi kota yang paling diperuntungkan karena menjadi jalur perdagangan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan atau sebaliknya. Makkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah. Pedagang dari Afrika pun banyak yang melakukan transaksi perdagangan melalui rute Makkah ini. Dari keadaan inilah Makkah kemudian diuntungkan sebagai kota penting yang menjadi pusat keuangan dari kepentingan internasional yang besar. Seiring dengan perubahan kota Makkah menuju wilayah perdagangan internasional ini, maka secara perlahan masyarakat arab tata nilai sosialnya5 Gelar Al Amin diterima oleh Muhammad sebelum ia diangkat menjadi Rasulullah. Al Amin adalah gelar yang diberikan kepada orang yang jujur, menjaga amanat dan dapat dipercaya. 6 Asghar Ali Engineer, 2007, Islam and Relevance to Our Age, Penerj. Hairus Salim dkk, LKiS Jogjakarta, hal. 4

sedikit demi sedikit bergeser ke arah baru yang lebih praktis. Masyarakat yang sebelumnya lebih mengutamakan sentiment kesukuan atau sentiment Klan untuk kemudian mengalami transisi sosial. Dan ternyata tidak hanya perubahan pada wilayah kesukuan saja, tetapi juga perubahan terjadi pada wilayah kepercayaan dan pandangan hidup masyarakat. Masyarakat Badui yang tinggal di sekitar kota Makkah mungkin yang paling merasakan pil pahit dari perubahan sosial dan ekonomi ini. Biaya hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat suku Badui dan suku-suku lainnya semakin meningkat karena pertumbuhan ekonomi yang cepat ini. Hal yang terjadi pada suku Badui ini berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi para pedagang. Dimana ketika masyarakat Badui menderita karena tekanan ekonomi dengan biaya hidup yang semakin tinggi, justru para pedagang di kota Makkah merasakan sebaliknya, mereka berlomba-lomba memperkaya diri dengan menjual komoditas perdagangan yang banyak disukai oleh pangsa pasar. Keadaan yang terlalu kacau balau ini, merupakan akar pusat yang menyebabkan banyaknya konflik sosial di kota Makkah. Dimana dari persoalan kesenjangan ekonomi ini, kemudian secara perlahan mulai menurun pada bidang sosial lainnya. Para pedagang yang memegang kendali atas dunia perdagangan pada saat itu kemudian melakukan berbagai cara untuk memusatkan kekayaan pada diri mereka masing-masing. Berbagai koorporasi perdagangan kemudian muncul sebagai akibat dari keinginan untuk terus memperkaya diri. Koorporasi ini selain untuk menguasai arus perdagangan dalam satu wilayah juga untuk melakukan monopoli perdagangan sepenuhnya atas wilayah yang telah dikuasainya itu. Sebagai bentuk tandingan atau strategi banding atas kekuasaan ekonomi dalam koorporasi itu, orang-orang miskin Makkah kemudian membentuk komunitas yang sama. Tujuannya adalah untuk mengurangi dominasi ekonomi para pedagang yang monopolistic, dimana system ini menjerat dan menyingkirkan secara perlahan kaum miskin. Komunitas ini mereka namai sebagai al Fudul7 (Liga orang-orang tulus). Dalam pembentukan komunitas ini, Muhammad turut serta menghadirinya dan menyatakan menyetujui dan mendukung berdirinya komunitas kaum tertindas ini. Selain untuk menjaga integritas perdagangan, komunitas ini juga bertugas untuk mencegah keluarnya para pedagang Yaman dari kota Makkah. Hal ini disebabkan karena pedagang Yaman merupakan para pedagang yang cerdas dalam managemen perdagangan antar kota, sehingga apabila pedagang Yaman harus keluar dari Makkah, sebagai akibatnya, komunitas al Fudul ini harus mengirimkan kafilahnya ke Yaman. Pedagang yang kaya raya menguasai secara sepenuhnya kehidupan sosial masyarakat Makkah. Sehingga dari sini, selain menindas secara ekonomi, juga melakukan penindasan sosial dengan pembudakan manusia. Orang-orang merupakan komoditas perdagangan yang dapat diperjual belikan antar orang kaya untuk dieksploitasi tenaganya. Selain eksploitasi tenaga, untuk budak wanita diperalat untuk memenuhi hasrat seksual para pedagang. Nabi Muhammad setelah diangkat menjadi Rasul melakukan revolusi sosial7 Sering dijumpai nama-nama lain untuk menyebut komunitas kaum tertindas ini selain Al Fudul.

13

masyarakat Makkah, dengan tegas ia melawan setiap tindakan pemberhalaan terhadap batu, mengubur bayi perempuan hidup-hidup, berjudi, penindasan ekonomi dan sosial dan sebagainya8. Revolusi ini jelas tidak mudah dilakukan, hal ini dikarenakan tindakan jahiliyah merupakan sesuatu yang telah masuk dalam lingkaran tradisi masyarakat Arab sehingga untuk merubah tradisi tersebut akan mendapatkan perlawanan yang jauh lebih tegas dari serangan yang dilakukan Muhammad. Nyawa Muhammad menjadi taruhan sebagai konsekuensi dari revolusi yang ia lakukan bersama pasukannya. Ia tidak menyerah meskipun mendapatkan pertentangan dari setiap arah. Sampai-sampai karena revolusi yang beliau lakukan membuatnya di usir dari Makkah dan bersama-sama sahabatnya hijrah ke kota Madinah yang masih dalam wilayah Hijaz. Di Madinah, Muhammad bersama-sama sahabatnya masih terus mendapatkan desakkan dari berbagai pihak, tidak hanya kaum Quraisy di Makkah saja, tetapi wilayah-wilayah luar Makkah dan Madinah yang mengetahui tentang kerasulan dan agama baru yang dibawa Muhammad. Al Quran di Madinah masih tetap turun dengan berbagai kondisi social dan kondisi pribadi Muhammad yang berbeda-beda. Sering kali pula Allah menurunkan Ayat yang berisi tentang cerita-cerita kenabian terdahulu untuk menjadi cermin oleh Muhammad dalam menghadapi setiap serangan dari pihak luar. Ayat-ayat yang turun kemudian oleh nabi dimanifestasikan dalam setiap gerakan dan perjuangan melawan desakan dan tantangan yang ia terima. Disinilah peran hadits sebagai penerjemah dari Al Quran dapat di ketahui, bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah hadits dan hadits tersebut merupakan pengejawantahan dari apa yang dikatakan dalam Al Quran. Selain dalam bidang teknis, hadits secara tekstual juga banyak yang mendukung revolusionisme Al Quran. Misalnya saja, hadits tentang berperang melawan kebatilan, penindasan, kesewenang-wenangan dan sebagainya banyak muncul dalam periode kehidupan nabi Muhammad, hadits tentang berperang merupakan realisasi dari perintah jihad yang diperintahkan oleh Allah dalam Al Quran. Sampai pada wafatnya nabi Muhammad, perubahan di bidang politik dan budaya banyak dilakukan dan banyak menyebar di berbagai negara. Revolusi terhadap budaya lain yang tidak humanis di wilayah Negara lainpun ia lakukan dengan strategi yang halus dan manusiawi. Perubahan social yang paling kentara adalah berubahnya pandangan hidup yang semula berwatak imperialistic dan kolonialistik antara orang kaya dengan orang miskin sedikit demi sedikit mulai terkikis, Islam yang dibawa Muhammad membawa ajaran agar orang kaya menyantuni orang miskin. Diakui atau tidak, Islam saat ini merupakan gerakan yang sedang melakukan revolusi total, dimana Islam mengibarkan bendera kiri (perlawanan) terahadap system yang primitive.8 Pada tahap awal Muhammad melakukan sosialisasi secara sembunyi-sembunyi tentang wahyu yang diperolehnya kepada istri dan sahabatnya untuk mendapatkan dukungan dalam menyebarkan paham baru yag dia peroleh. Tahap selanjutnya, Muhammad mulai menyebarkan Islam dengan terang-terangan sebagai agama yang hendak memperbaiki moral (akhlaq) masyarakat.

Terkait dengan Tesis Hassan Hanafi dengan Kiri Islamnya, maka posisi Islam Revolusioner merupakan harga mati. Hubungan antara Islam Revolusioner dan Kiri Islam adalah searah dan saling melengkapi, Tugas Kiri Islam adalah menguak unsur-unsur revolusioner dalam agama, dan menjelaskan pokok-pokok pertautan antara agama dan revolusi. Atau dengan kata lain, memaknai agama sebagai revolusi. Tugas ini merupakan sebuah tuntutan zaman yang telah menerapkan sebuah system yang sistematis tetapi menindas dan melakukan kesewenang-wenangan halus. Dikatakan sebagai tuntutan zaman mengingat bahwa hari ini fenomena kapitalisasi di segala bidang kehidupan telah mencapai titik kritis. Semua bidang kehidupan telah disusupi oleh kapitalisme yang kapitalisme sendiri menjajah berbagai peradaban lain yang mencoba menggugurkannya. Dan parahnya lagi posisi Islam hari ini oleh para penganutnya dianggap sebagai agama teosentris dimana peran tuhan sebagai pemegang utama atas kendali dunia berperan dominan, manusia adalah boneka yang harus mengikuti apa yang dikehendaki oleh Tuhan, sehingga tidak ada kebebasan manusia untuk melakukan perubahan atas segala yang terjadi pada Islam dan penganutnya. Paradigma fungsionalis ini menganggap bahwa Tuhan adalah sentral peradaban, apa yang terjadi di dunia ini adalah merupakan kehendak Tuhan, atau istilahnya takdir, manusia tidak berhak untuk melakukan perlawanan atau merubah kehendak Tuhan, tugas manusia adalah sabar menghadapinya dan tawakal ketika kesabaran itu telah habis. Penindasan, kesewenang-wenangan yang terjadi atas mereka oleh siapapun merupakan kehendak Tuhan yang harus diterima dengan lapang dada. Dari sinilah kemudian memunculkan persoalan yang sangat fatal dan riskan untuk merealisasikan Islam sebagai agama revolusi. Orang-orang Islam mayoritas tidak memiliki paradigma yang strukturalisme radikal, hanya sebagian orang Islam yang sadar dan menganggap bahwa dunia ini merupakan peradaban yang dipegang oleh manusia dan manusia diberi kebebasan untuk mengelola dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di dunia. Apabila terjadi something trouble dalam system kesetaraan kosmologi maka hal yang harus dilakukan adalah melawan terhadap apapun atau siapapun yang membuat kesetaraan itu mengalami something wrong. Paradigma masyarakat kebanyakan dalam memandang penindasan kapitalisme dilihat dari kaca mata religiusitas, merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Tuhan, sebagai muslim yang taat maka harus menerimanya dengan lapang dada dan sabar. Penjajahan ekonomi harus diterima dengan tawakal, penguasaan akses politik dan ekonomi oleh orang hitam merupakan sesuatu yang harus ditawakali dan berpasrah karena semua itu merupakan kehendak dari Allah yang merupakan cobaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tugas Islam untuk mampu menjadi agama revolusioner ada dua macam, dan keduanya merupakan rangkaian yang tidak mungkin terputus salah satunya, yakni pertama Islam harus mampu merubah paradigma pemeluknya dari Islam yang konservatif fundamentalis dengan paradigma fungsionalis ke budaya humanis dengan paradigma strukturalisme radikal.

15

Setelah semua pemeluknya merubah paradigmanya dan telah sampai pada common sense (satu pandangan) maka untuk selanjutnya yang kedua Islam baru dapat melakukan revolusi total di segala bidang kehidupan untuk melawan dominasi kapitalisme yang menjerumuskan. Namun, satu hal yang kemudian sampai saat ini belum dapat terrealisasi yakni pengkondisian masyarakat muslim itu sendiri. Artinya, masyarakat muslim masih terkotak-kotak berdasarkan madzhab, aliran dan kepercayaan yang berbeda-beda sebagai akibat dari kesalahan sejarah yang telah membudaya di tengah-tengah Islam. Inilah yang kemudian membuat komunikasi internal di dalam Islam sampai sekarang belum dapat terjadi dialog yang komunikatif dan konstruktif. Semuanya berjalan menurut kepercayaan dan ajaran mereka. Artinya benar kata Samuel P. Huntington bahwa perang yang terjadi hari ini dan seterusnya bukan berlatar belakang adu kekuatan militer serta penguasaan satu negara oleh negara lainnya, tetapi lebih pada perang antar peradaban (The Clash of Civilization). Perang untuk menjadi weltanschauungs yang diakui di seluruh dunia sebagai paradigma yang berkuasa dan harus dianut oleh seluruh lapisan masyarakat di dunia. Peradaban yang menang merupakan peradaban yang akan menguasai masyarakat dunia secara kolektif dan menjadi kiblat atas peradabanperadaban kecil yang dikalahkannya. Sebelum terlalu jauh, konsep ini akan lebih baik lagi ketika ditarik dalam wilayah keberagamaan, terutama Islam. Dalam Islam, selalu dipercayai bahwa setiap orang lahir dalam keadaan suci, tidak ada dosa, tidak ada kejahatan dan kebaikan, istilah mudahnya, manusia yang baru lahir dalam keadaan fithri. Begitu pula, dalam relung kesadaran manusia dan dalam naluri kemanusiaannya mempunyai tendensi ke arah wilayah hanif, yang pro kemanusiaan dan kebenaran. Namun nalar dan kefitrahan itu akan terkikis ketika manusia dalam pandangan sadarnya melihat ke fenomena sekelilingnya yang ternyata tidak sesuai dengan naluri kemanusiaan yang dimiliki. Ada penyelewengan ke arah pemberontakan terhadap kefitrahannya itu. Sebagai akibatnya, manusia tersebut akan terjadi pergoalakan bathin yang mencoba mengambil keputusan untuk ikut serta dalam penyelewengan tersebut atau tetap mengikuti naluri dan fitrahnya sebagai manusia dengan konsekuensi akan kehilangan sesuatu yang menjadi target dari penyelewengan itu. Dari sinilah kemudian penyadaran akan sangat dibutuhkan dan agama menjadi solusi atas transisi sosial dan konflik sosial semacam ini. Jadi benar bahwa kebaikan pada dasarnya telah tercetak dalam relung kesadaran yang terdalam dalam diri manusia, manusia telah mengetahui kebenaran dan kebaikan dalam bersikap, dan oleh karena itulah maka proses penyadaran ini sangat dibutuhkan sebagai usaha untuk menempatkan kembali pada ranah kefitrahan. Perubahan sosial yang terjadi dalam Islam akhir-akhir ini dalam era kapitalisme global yang tidak mengenal batas wilayah hunian manusia dan tradisi lokalnya telah terjadi secara radikal. Dalam keadaan seperti ini, tidak hanya capitalisme yang sulit dibatasi, berlari ke wilayah manapun selama di tempat itu menjanjikan keuntungan secara kapitalistik, tetapi juga kekuatan capital itu telah mempunyai akibat terhadap aspek sosial dan kemanusiaan yang lain. Kapitalisme yang selama ini telah dianggap sebagai kekuatan lawan yang

tangguh yang menggerogoti Islam bukan hanya satu-satunya lawan yang harus dibasmi. Tetapi akibat turunan dari kapitalisme itu justru telah menjadi salah satu madzhab dalam Islam sendiri, kapitalisme telah me-make up dirinya sehingga berwajah Islam. Artinya hari ini Islam sebenarnya dihadapkan pada persolan dilematis, dimana selain mempunyai musuh besar berupa kapitalisme, ternyata koordinasi internal Islam sendiri belum selesai, tidak ada integrasi secara paradigmatic dalam Islam. Selain harus berperang melawan kapitalisme, Islam juga harus menyembuhkan penyakit yang ada dalam tubuhnya sendiri.

17

DEKONSTRUKSI PEMAHAMAN KLASIK ATAS AJARAN ISLAM Membuka Jalan Baru Menuju Pemahaman Ajaran Islam

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa masyarakat Islam sampai hari ini masih terus terjebak pada pemahaman secara teks normative terhadap ajaran-ajaran yang ada dalam Islam. Sebagai akibatnya, perkembangan pemikiran dan tindakan masyarakat secara kolektif belum bisa tersentuh, yang muncul adalah perubahanperubahan yang bersifat revolutif dan pencarian paradigma baru dalam memahami isi kandungan ajaran Islam pada masyarakat muslim kelas menengah dan intelektual-intelektual muslim. Pemerataan terhadap pemahaman baru dalam memahami ajaran Islam belum bisa dilakukan secara menyeluruh. Banyak hal yang menyebabkannya, selain diantaranya kepercayaan public terhadap ajaran Islam yang telah mengakar juga disebabkan karena rendahnya kesadaran intelektual masyarakat muslim untuk melakukan kajian-kajian yang bersifat pencarian cara pandang baru dalam beragama. Untuk banyak kalangan, agama hanya selesai pada dataran teosentris dan itu cukup dilakukan hanya dengan shalat lima waktu, puasa, berzakat, haji kalau mampu dan seterusnya. Sementara aspek keberagamaan yang sifatnya muammalah revolusioner, bagi banyak kalangan, merupakan bukan esensi dari kehidupan keagamaan. Kehidupan keberagamaan masyarakat yang cenderung fundamentalis ini, dalam berbagai wilayah, merupakan penyakit yang mematikan untuk perkembangan Islam sendiri. Kurangnya kesadaran untuk menumbuhkan jiwa-jiwa religiusitas dalam ranah muammalah revolutif menyebabkan Islam peranannya akan semakin mundur dalam percaturan memperebutkan mainstream paling berpengaruh untuk menjadi weltanschauungs yang diakui diseluruh dunia. Baiklah, untuk selanjutnya kita kaji dari awal mulai dari penyebab munculnya fundamentalisasi keberagamaan masyarakat hingga upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk menghilangkan ekstrimisme beragama semacam itu dan kemudian menanamkan pola keberagamaan baru yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kondisi social politik hari ini. Tindakan semacam ini, dalam kaca mata kita, ada beberapa kemungkinan yang mungkin membuat pola keberagamaan semacam ini. Pertama, ini merupakan reaksi atas tindakan ghuluw (melampaui batas), artinya keberagamaan mereka merupakan kesadaran keberagamaan teosentris yang melebihi batas ketentuan. Ini disebabkan karena keyakinan mereka yang berlebih atas Teo yang mereka sembah, sehingga sebagai manifestasi atas keyakinan yang berlebih itu, mereka mengekspresikan rasa tersebut dengan tindakan ghuluw dalam beribadah, yang kemudian oleh masyarakat secara umum ditiru tanpa dipandang dari sisi lain. Ini cukup mempengaruhi mengingat bahwa dalam kepercayaan masyarakat secara umum, fenomena keagamaan merupakan hubungan teosentrisme, sementara humanisme yang dimunculkan dalam ekspresi keagamaan merupakan ajaran

subdominant dalam agama. Dalam masalah ghuluw ini, secara tegas Allah telah memperingatkan manusia untuk tidak melakukan tindakan semacam ini dalam beragama dalam Al Quran yang artinya : Katakanlah, Wahai Ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam beragama. Dan jangnlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya, dan menyesatkan banyak orang, sehingga mereka sesat dari jalan yang sama9

Untuk lebih mudah dipahami oleh umat Islam pada zaman Rasulullah tentang ayat ini, nabi Muhammad SAW juga telah memperingatkan kepada umat Islam untuk menjauhi tindakan ghuluw dalam beragama. Beliau bersabda ; Takutlah akan berlebih-lebihan dalam beragama. (kaum10) sebelumnyatelah binasa karena berlebih-lebihan11

Hadits di atas secara tidak langsung memberi peringatan kepada umat Islam agar lebih waspada terhadap munculnya sikap ghuluw, karena terkadang sifat semacam ini muncul tanpa dapat kita sadari. Ghuluw dapat terjadi dengan kita melakukan tindakan yang tidak ada gunanya dan selanjutnya menjalar pada ghuluw dalam tingkatan yang sebenarnya. Di riwayatkan, dalam perjalanan Haji Wada, setelah sampai di Muzdalifah Nabi Muhammad SAW meminta Abdullah Ibn Abbas untuk mengumpulkan beberapa batu untuknya. Ibn Abbas memilih batu-batu yang kecil. Setelah melihat batubatu itu, Nabi Muhammad SAW menyetujui ukurannya dan berkata; Ya, seperti9 QS. Al Maidah Ayat 77. Peringatan ini ditujukan kepada Ahlul Kitab serta orang Yahudi atau Nasrani secara keseluruhan yang meng-itiqad-kan Isa a.s sebagai Tuhan. Mereka diserukan untuk tidak mengekspresikan keberagamaan mereka secara berlebih supaya tidak tersesat dalam beragama, serta tidak mengikuti orang-orang yang telah sesat sebelumnya karena ekspresi keagamaan yang berlebih. 10 Kaum yang dimaksud oleh nabi Muhammad adalah, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, Yahudi dan Nasrani. 11 Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Abd al Rahman al NasaI dan Abu Abdillah ibn Majah dalam Sunan mereka.

19

itu. Berhati-hatilah akan berlebih-lebihan dalam agama12. Dari permisalan melalui batu dalam hadits di atas, Nabi mengisyaratkan bahwa, dalam memilih batu-batu (dapat di terjemahkan sebagai ritual keagamaan) harus dapat menetukan ukuran yang dinamis. Tidak terlalu besar (berlebihan) dan tidak terlalu kecil (kurang). Orang tidak harus untuk sepanjang hari menyembah kepada Allah, meskipun itu baik sebenarnya, sementara kewajiban lain yang harus di kerjakan seperti memberi nafkah, mencari sumber penghasilan (terkait manusia sebagai khalifatu fi al ardl) dan sebagainya kemudian ditinggalkan. Atau karena semua itu, sebagai kebalikan atas yang pertama tadi, kemudian Allah ditinggalkan begitu saja. Karena bekerja lupa shalat dan sebagainya. Manusia harus fleksibel dalam mengatur masalah keberagamaan, karena pada dasarnya Allah menurunkan Islam semata-mata tidak hanya untuk manusia menyembahnya, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Manusia harus tahu porsinya sebagai abdillah dan sebagai khalifatu fi al ardl. Ada kalanya orang harus tunduk pasrah kepada Allah, dan pada kesempatan yang lain, manusia juga diberi kebebasan untuk memanage bumi dengan tanpa intervensi dari Allah. Sekali lagi untuk mempertegas itu, Allah telah berfirman; Wahai Ahli Kitab, Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu13 Kedua, dapat juga diketahui bahwa keberagamaan masyarakat yang demikian itu disebabkan oleh sikap tanattu (berlebihan, keberagamaan yang terlalu ketat). Sikap semacam ini disebabkan, masih berkutat pada wilayah yang sama, oleh pemahaman teosentrisme beragama. Perbedaan dari yang pertama adalah, dalam wilayah ini orang cenderung ekstrim terhadap ritual keagamaan dan terlalu berhati-hati dalam bertindak. Berhati-hati yang berlebih dalam beragama ini menyebabkan seolah agama merupakan wilayah yang sacral dalam mengatur manusia, sehingga ketika masuk di dalamnya orang terikat dengan peraturan dan doktrin keagamaan yang ketat. Sementara, wilayah lain yang memberikan ruang kebebasan terkadang tidak berani disentuh karena kehati-hatiannya itu. Yang kemudian patut disayangkan adalah, kehati-hatian itu hanya berlaku pada hubungan teosentris saja, kehatihatian tidak pada aspek pengembangan keagamaan dan pemberdayaan masyarakat muslim. Nabi bersabda :12 Diriwayatkan oleh Imam Ahmad. 13 Surat An Nisa ayat 171.

Kehancuranlah bagi merkea yang berpuas diri dalam tanattu14 Ketiga, tasydid (Kekakuan, kesederhanaan berlebih). Orang yang berpandangan seperti ini, sulit untuk dapat menerima factor eksternal yang mencoba masuk kedalam wilayah keberagamaan mereka, tidak hanya factor eksternal saja, tetapi inovasi dan kreasi yang muncul dalam internal agama itu sendiri terkadang banyak ditolak dengan serta merta. Menanggap itu sebagai bidah yang tidak pantas untuk dilakukan dan sampai pada pengecapan bahwa tindakan inovatif tersebut adalah syirik dan seterusnya. Artinya, sesungguhnya dari berbagai sudut pandang, dapat diketahui bahwa Islam merupakan agama yang selalu mengajarkan keseimbangan, menempatkan diri pada posisi moderat. Islam selalu menyeimbangkan antara kebutuhan yang bersifat rohani dan kebutuhan jasmani, rohani tercukupi dengan tepat, jasmani juga terpuaskan. Islam sangat mengecam berlebih-lebihan meskipun dalam beragama. Nabi sendiri memperingatkan kepada sahabat-sahabatnya yang berlebih-lebihan dalam beribadah dan terlalu asketik, karena tindakan ini merupakan tindakan melompat dari garis Islam moderat. Islampun tidak pernah melarang untuk umatnya menikmati keindahan dunia dan menikmati kenikmatannya. Karena Allah menciptakan semua itu untuk di nikmati oleh manusia. Allah berfirman;Wahai anak-anak Adam! Pakailah perhiasanmu setiap kali pergi ke Masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sungguh ia tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan

Katakanlah: Siapa yang mengharamkan perhiasan tuhan yang di sediakan untuk hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik. Katakanlah, ia untuk orang-orang yang beriman15

Fenomena keberagamaan masyarakat yang jumud dan fundamentalis merupakan14 H.R. Muslim 15 Surat Al Maidah ayat 31-32

21

tindakan yang berlebih-lebihan atau bahkan asketis. Mengingat posisi keberagamaan fundamental lebih mengutamakan agama hanya hubungan teosentris semata yang kemudian sebagai ekspresi atas keberagamaannya itu dinyatakan dalam peribadatan yang berlebih. Sementara itu, fundamentalisme beragama seringkali menyingkirkan aspek-aspek muammalah (humanisme) dalam beragama. Secara dangkal dapat dikatakan bahwa fenomena keberagamaan semacam ini merupakan penafsiran sepihak atas agama. Dalam beribadah, juga harus mengedepankan unsure humanisme, dalam wilayah teosentris juga tidak bisa terlepaskan dari humanisme. Sebagaimana Nabi pernah sabdakan:Pada suatu ketika nabi berpesan pada imam shalat dengan marah yang tidak biasa Beberapa di antara kalian telah membuat orang-orang tidak menyukai shalat. Maka, siapa saja di antara kalian yang menjadi imam harus melakukannya dengan singkat, karena di antara mereka (makmum) ada yang lemah, tua, seseorang yang mempunyai bisnis yang harus diperhatikan16

Orang yang memiliki sifat semacam ini (berlebih-lebihan) akan menutup diri dari masuknya pemahaman lain tentang apa yang dilakukannya. Dia tidak akan mengadukan secara ilmiah ataupun cultural tentang ritualitas yang dia lakukan dengan bentuk-bentuk lain. Ia hanya akan mencari pendukung untuk kemudian membawa masyarakat ke dalam barisannya. Hari ini masyarakat Islam telah terkontaminasi virus semacam ini. Orang menganggap bahwa Islam hanyalah agama teosentris, dan oleh karenanya hanya ibadahlah yang harus dilakukan. Di sisi lain, asketisme masyarakat dan sifat acuh tak acuh terhadap ritual keberagamaan juga marak. Islam hari ini telah lari dari posisi moderatnya. Posisi semacam ini menyebabkan Islam tidak dapat berkembang dengan pesat, ketika Islam hanya dibangun pada satu sisi, yakni sisi ubudiyah semata, maka yang akan terjadi adalah Islam tergilas pada hubungan muammalah-nya karena wilayah ini tidak dapat dibangun. Islam hanya di beratkan pada sisi timbangan hablum minallah saja, sementara mangkuk timbangan hablum minannas masih kosong, apalagi hablum minal alam. Ketimpangan atas kesetaraan dalam Islam ini kemudian berbuntut pada hilangnya kreativitas dan inovasi orang-orang muslim dalam mempertahankan dan mengembangkan agamanya. Orang Islam cenderung untuk mendiskreditkan persoalan penyesuaian Islam dengan zaman, sehingga fenomena yang terjadi hari ini bukan zaman sesuai dengan Islam tetapi Islam sesuai dengan zaman. Islam tidak mampu mengolah zaman dan hanya menjadi satu bagian dari zaman itu. Autentitas nilai Islam sesungguhnya merupakan problematic dalam sejarah yang16 H.R Bukhari

harus di rekonstruksi terus menerus dan bukanlah nilai yang sudah jadi, tanpa imajinasi kaum muslim sendiri. Sehingga, apa yang sering kita bayangkan sebagai sesuatu Islam yang murni dan yang asli, tidak lain itu semua adalah bagian dari pengalaman sejarah yang menempatkan nama orang atau tokoh dengan pikiran dan sikapnya yang terlibat dalam proses, tatkala kitab suci dan tradisi itu berhadapan dengan konteksnya masing-masing. Sederhananya, Islam pada dasarnya merupakan nilai yang bukan harga mati, yang kemudian harus begini begitu saja. Islam fleksibel dan selalu dapat masuk dalam zaman manapun dan kondisi social apapun, dengan catatan, yang membawa Islam pada zaman atau kondisi tersebut dapat menyesuaikan konteks ke-Islam-annya dengan kondisi riil yang terjadi. Pada gambaran di atas, kebanyakan orang selalu mengaitkan Islam yang sesungguhnya dengan tradisi Islam dahulu. Bahwa Islam yang benar adalah Islam yang telah diejawantahkan oleh orang-orang sebelumnya dengan beragam pemikirannya yang diakui sampai sekarang oleh masyarakat kebanyakan. Saat ini, mau atau tidak mau, kita harus meyakini bahwa Islam yang benar (tanpa tanda kutip) adalah Islam yang sesuai dengan Al Quran dan Al Hadits yang merupakan dasar hukum terpercaya dalam Islam. Selanjutnya, untuk dapat menerapkan Islam yang sesuai dengan konteks social hari ini adalah bagaimana kita mampu menterjemahkan Al Quran dan hadits tersebut sesuai kondisi riil yang terjadi. Maksudnya, dalam menafsirkan Al Quran dan Al Hadits, agar dapat diterima oleh masyarakat secara keseluruhan, harus dipertimbangkan aspek social yang sedang terjadi. Tujuannya adalah agar Islam tetap berada pada posisinya sebagai agama moderat yang berada pada titik tengah dan dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat non muslim sekalipun. Al Quran dan Hadits selalu bersesuaian dengan zaman. Islam selalu sesuai dengan zaman apapun dan kondisi bagaimanapun. Yang sesungguhnya membuat Al Quran dan hadits tidak dapat menyesuaikan dengan zaman adalah kita sendiri yang salah dalam menterjemahkannya. Sehingga, Islam hari ini banyak dicap dengan asumsi-asumsi kotor yang nyata-nyata tidak sesuai dengan Islam itu sendiri. Dapat dipastikan apabila kita mampu membawa Islam pada kondisi social apapun, kebenaran bahwa setiap ide-ide kemanusiaan yang muncul telah terdapat dalam Al Quran. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat ide-ide dasarnya telah tercantum dalam Al Quran ataupun hadits meskipun hal tersebut disebutkan secara implicit. Ketika hal ini telah dapat diyakini oleh masyarakat secara keseluruhan, tentulah pergulatan pemikiran Islam dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembentukan referensi universal dari setiap peradaban baru. Dalam memahami teks kitab suci, dan untuk mengetahui makna yang paling dalam atas teks-teks tersebut, maka harus disekularisasikan dan dirasionalisasikan. Tanpa melakukan berpikir sejarah (historical thinking) atau mencari kebenaran dalam proses (truth as process), maka teks hanya akan menghasilkan pengikut-pengikut yang imannya bersemangat, tapi mereka hidup dalam kesadaran-kesadaran palsu yang menentramkan. Fenomena yang terjadi hari ini demikian, dalam pandangan kaum muslim

23

kebanyakan teks-teks suci (baca : Al Quran) merupakan teks yang dimuliakan dan dibaca terus menerus yang akan menghasilkan umat yang secara keimanan dan ketakwaan bersemangat. Sementara untuk penggalian unsur-unsur dan makna yang terkandung di dalamnya secara lebih dalam orang Islam hari ini kebanyakan mengabaikannya, bahkan asbab an nuzul atau dalam konteks masyarakat yang seperti apa teks yang mereka baca tersebut turun sama sekali tidak diketahuinya. Inilah yang sesungguhnya konsep masyarakat yang kurang begitu diharapkan oleh Islam sendiri. Yakni orang yang menganggap Al Quran sebagai kitab suci dan sesuatu yang harus dipuji dan dimuliakan. Sementara peran Al Quran sebagai pedoman dan petunjuk diabaikan. Ini berarti al Quran telah mengalami disfungsi dan dikebiri secara perlahan-lahan oleh umatnya. Orang yang hanya menganggap teks suci hanya sebagai bahan bacaan sebagai bentuk perwujudan atas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah berarti orang tersebut tidak memuliakan Al Quran. Yang diburu hari ini adalah bagaimana orang berlomba-lomba untuk membaguskan suaranya dalam membaca Al Quran, sementara pada sisi lainnya, makna yang terkandung di dalam Al Quran sendiri tidak pernah disentuh. Lalu penghormatan semacam apa yang di berikan orang Islam kepada teks sucinya? Apakah penghormatan hanya cukup dengan membacanya tanpa mengkajinya? Tercatat sejak abad ke VII M umat Islam mulai masuk pada fundamentalisme beragama. Orientasi keberagamaan manusia saat itu selalu merujuk pada fiqh sebagai justifikasi keselamatan dan kesesatan. Fiqh berada pada puncak kesakralan dan kemapanan. Sebagai sebuah rujukan hukum, fiqh tampak subjektif, hitam putih, benar salah, halal haram. Dengan sifat-sifat yang demikian itu, fiqh membuat kreativitas dan kebebasan manusia menjadi hal yang mahal. Dan ortodoksi fiqih ini juga mendapatkan perlindungan pengamanan sempurna dari penguasa, sehingga mulai saat itu dan hingga hari ini, fiqh menjadi satusatunya justifikasi dalam menentukan hukum social dan ubudiyah, dan semua orang Islam harus mengikutinya tanpa kreativitas apapun. Kemandekan kreativitas dalam mengekspresikan kegagamaan juga di topang oleh booming besar para ulama yang mengeluarkan statemen bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Gerakan menjaga otoritas fiqh ini selanjutnya mengorientasikan umat Islam untuk selalu taklid terhadap peraturan-peraturan yang diciptakan berabad silam tanpa melihat perubahan zaman yang semakin maju dan komplektisitas permasalahan. Belakangan ini, barulah ortodoksi fiqh sedikit demi sedikit mulai mencair. Namun itu, sekali lagi, belum menyentuh umat Islam secara keseluruhan pada lapisan grass root dan Islam abangan. Banyak sudah percobaan-percobaan yang dilakukan oleh pemikir-pemikir besar yang menggoncangkan dunia Islam, khususnya untuk kaum fundamental. Dimana pemikiran-pemikiran mereka membuat orang muslim fundamental gundah dan merasa dilecehkan keislamannya. Nasr Hamid Abu Zaid terpaksa mengungsi ke Leiden karena membuat lembaga-lembaga keagamaan di Mesir kebakaran jenggot dengan Kritik Wacana Keagamaan yang ia publikasikan. Muhammad Syahrur juga ikut berperan serta dalam pembangkangan ortodoksi

fiqh dengan menulis buku Al Kitab wa Al Quran: Qiraah Muassirah, Muhammad Said al Asymawi, seorang pemikir secular Mesir juga turut serta melontarkan ide-ide pembaharuannya dengan perspektif humanisme. Hassan Hanafi dengan Al Yasar Al Islam dan Oksidentalisme, Muhammad Abed al Jabiri, Muhammad Arkoun, Ali Gharb, Jamaludin Al Afghani, Muhammad Abduh dan sederet nama-nama pemikir lainnya. Di Indonesia sendiri, banyak pemikir besar yang turut serta melawan ortodoksi fiqh dengan ide-ide pembaharuannya. Tercatat ada Munawir Sadzali, (Alm) Nur Kholis Majid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ulil Abshar Abdalla, Prof. Dr. Harun Nasution dan lainnya yang mencoba menggulirkan wacana-wacana dan pemahaman yang baru dalam memandang Islam. Bahkan Ulil Abshar Abdalla yang juga coordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh kebanyakan ulama salaf di fatwa-kan halal darahnya karena pemikirannya yang cenderung memancing konfrontasi antara Islam liberal yang dipimpinnya dengan aliran Islam lain yang ada di Indonesia. Tulisannya di Koran Kompas yang berjudul Menyegarkan Kembali Islam Kita merupakan titik awal tokoh ini dikenal di blantika intelektual muslim Indonesia. Para pembaharu, baik di dalam maupun di luar Indonesia banyak menuai kritik pedas dari ulama-ulama fundamental. Mereka seringkali tidak hanya difatwakan halal darahnya, tetapi juga mendapatkan serangan-serangan yang keji melalui pembantahan wacana yang ada. Merekapun mendapatkan gelar riddah17 dari para ulama fundamental. Dalam pandangan ulama fundamentalis, riddah konsepnya tidak hanya terhenti pada perpindahan dari satu agama ke agama yang lain saja, tetapi juga tindak sparatis terhadap peraturan yang telah ada. Sehingga ulama-ulama salaf banyak menganugerahi gelar riddah untuk para pemikir yang mencoba memperbaharui tatatan pemahaman dan gerakan dalam Islam. Mereka dianggap melakukan tindak provokasi terhadap masayakat untuk lepas dari kekuatan tiranik Fiqh salafiyyah. Parameter yang digunakan oleh para pembaharu dalam memperbaharui Islam adalah dengan menguji pada wilayah umat secara kolektif. Tujuannya agar tidak terjadi penimpangan terhadap hukum yang telah ada sebelumnya. Seberapa jauhkan hukum baru yang diciptakan oleh para pembaharu itu dapat menyentuh kemaslahatan kolektif (kesalehan social) dan sejauh mana hukum tersebut dapat digunakan tanpa melanggar batas-batas norma social. Maksudnya, dalam menentukan hukum, mereka mempertimbangkan sisi humanisme dan sisi social disamping sumber hukum tetap Islam. Hasil ciptaan hukum para pembaharu tersebut sering kali memancing kontroversi di tengah-tengah kemapanan ortodoksi pemahaman Islam. Taruhlah mislanya Munawir Sadzali yang melakukan kritik pedas terhadap ayat-ayat dan hadits tentang hukum waris yang tidak seimbang pembagiannya antara laki-laki dan perempuan, Jaringan Islam Liberal yang memfatwakan kebolehan tidak menggunakan jilbab bagi wanita, dan sebagainya. Baiklah, sebelum sampai jauh, marilah kita tinjau kembali salah satu tesis yang diajukan oleh pakar keagamaan samawi Karen Amstrong18 dalam pengantar di17 Istilah yang digunakan untuk menyebutkan orang keluar dari agama (murtad). 18 Karen Amstrong, The History of God, Mizan Pustaka, Bandung

25

buku best sellernya The History of God. Tesis yang dia ajukan adalah, fenomena keagamaan kita (manusia secara keseluruhan) lebih di dominasi pada kecondongan ketakutan terhadap sosok makhluk yang diberi nama neraka, dan kecenderungan mengharapkan sorga, bahkan dari ketakutan terhadap itulah, manusia sering kali lebih takut pada nerakanya tuhan dibandingkan takut terhadap tuhan yang menciptakan neraka itu. Pandangan terhadap sorga dan neraka (yang tentunya immaterial dan mistis) dengan mudah dapat membawa orang untuk menitik beratkan agama pada wilayah teologis. Artinya, sorga dalam pandangan awam jelas hanya mampu di dapat dengan terus menerus beribadah kepada tuhan. Dan untuk menjauhi neraka (yang penuh dengan siksaan sebagai balasan atas tindakan buruk) juga melalui peribadatan dan penghambaan sepenuhnya kepada tuhan. Dalam ketakutan dan harapan ini, pada intinya, yang dibangun dalam agama lebih pada jiwa-jiwa teologinya saja, sementara aspek humanisme menjadi sesuatu yang di diskreditkan dalam kehidupan beragama. Fenomena ini banyak dijumpai dengan banyaknya sufi-sufi yang selalu menghambakan diri sepenuhnya kepada tuhan. Allah dalam Al Quran telah berfirman:(apakah) perumpamaan (penghuni) sorga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada beubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak beubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?19

Dari ayat ini setidaknya dapat memberikan gambaran jelas bahwa harapanharapan terhadap kenikmatan di sorga selalu akan mengarahkan manusia untuk lebih mendekati tuhan, menyembahnya dan kemudian mengabdi kepadanya sepenuhnya. Apalagi ketika melihat neraka sebagai balasan atas kehidupan dunia yang berbuat dosa sebagai air yang mendidih dan dapat memotong usus manusia, tentunya mereka akan semakin berlari untuk mengejar tuhan dibandingkan harus berurusan dengan dunia. Pada titik ini, manusia akan kehilangan satu hal yang penting dan merupakan tanggung jawab manusia, yakni jabatan manusia sebagai khalifah fi al ardl yang mewajibkan manusia untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam di dunia (termasuk manusia). Yang dibangun hanya pada jabatan manusia sebagai19 Surat Muhammad [47] ayat 15

abdillah yang harus selalu menyebah kepada-Nya. Dan sebagai dampak selanjutnya, Islam juga kehilangan posisinya sebagai agama moderat. Ia hanya dipandang sebagai agama vertical yang membangun wilayah ubudiyah, di doktrin untuk selalu bertaqwa dan beriman. Tidak ada aspek humanisme dalam Islam. Jalan Baru, Mungkinkah? Fenomena di atas, setidaknya memberikan gambaran bahwa ternyata masyarakat muslim di seluruh dunia masih terkungkung dalam keterbelakangan dan kemunduran dalam bidang sains dan teknologi, namun cukup maju dalam bidang teologi keagamaan (teological religious). Dan sayangnya, kemajuan bidang ini tidak begitu mampu menjamin kemerdekaan bidang lainnya yang dapat menjamin kemajuan umat Islam sendiri dalam perebutan wilayah di era sekarang, termasuk sains dan teknologi tentunya. Dalam catatan Dr. M. Amin Abdullah20, memberikan gambaran lugas tentang alur pemahaman agama. Pada penghujung abad ke-19, lebih-lebih pada pertengahan abad ke-20, terjadi pergeseran paradigma pemaham tentang agama dari yang dahulu hanya berkisar pada doktrin ke arah entitas sosiologis, dari diskursus esensi ke arah eksistensi. Terlepas dari benar atau tidaknya catatan ini, setidaknya ada beberapa wilayah yang kemudian harus dikaji lebih jauh. Terkait dengan perkembagan ini, ada kemungkinan bahwa yang terjadi perubahan hanya di kalangan atas yakni kalangan intelektual agama dan akademisi yang berada pada disiplin ilmu ini. Perubahan secara social yang menyeluruh belum dapat terjamah. Dr. Amin Abdullah juga menegaskan bahwa fenomena keagamaan hari ini telah menjadi sesuatu yang kompleks, dan untuk dapat memahaminya, tidak hanya dapat di dekati secara teologis normative saja. Salah satu penyebabnya adalah terbukanya batas-batas geografis dalam kebudayaan, percampuran antar satu budaya dengan budaya yang lainnya menjadi hal yang biasa dan memang perlu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi budaya itu sendiri. Dalam rangka mendekati agama hari ini, maka, dalam pandangan Dr. Amin Abdullah, tidak dapat disalahkan ketika orang mengkaji agama secara aspectual, dimensional, dan bahkan multi dimensional approaches. Diluar keberadaan agama yang mempunyai doktrin teologis normative, sebagai letak inti dari keberagamaan manusia, agama dapat pula dipandang sebagai tradisi. Sisi lainnya, agama yang semula berangkat dari keyakinan bathiniah yang20 Dr. M. Amin Abdullah, 2004, Study Agama, Normativitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, hal. 9

27

mendalam (esoteris) perlahan-lahan berubah menjadi lembaga-lembaga agama di mana di dalamnya terlibat pranata-pranata social yang kadang juga bersifat birokratis. Dan untuk selanjutnya, kelembagaan-kelembagaan agama itu sudah dapat dipastikan mengalami proses evolutif dalam bidang ekonomi, social, militer dan berbagai kevenderungan manusiawi lain yang tidak kalah kompleksnya dibanding dengan urusan esoteris sebagai inti dasar agama. Lembaga-lembaga agama ini semakin lama juga akan semakin berkembang kuantitasnya, dalam satu agama saja misalnya, akan tumbuh berbagai macam lembaga-lembaga yang antara satu lembaga dengan lembaga yang lain saling terkait dan hubungannya lebih bersifat kompetitif. Terlepas dari itu semua, kembali pada bagaimana proses evolusi keagamaan masyarakat dapat dilakukan. Perubahan secara paradigmatic membutuhkan perangkat yang lebih kompleks, berbanding searah dengan komplektisitas masyarakat itu sendiri. Bagaimana hari ini agama (teologi), dalam perspektif awam, tidak lagi hanya terbatas sekedar menerangkan hubungan antara manusia dan tuhan, tetapi juga melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis). Nasib agama hari ini secara umum cukup memprihatinkan, sama halnya dengan nasib filsafat, pada awalnya filsafat dianggap sebagai The Mother of Knowledge yang menjadi induk dari semua ilmu hari ini filsafat hanya difungsikan sebagai metodologi berpikir yang kritis konstruktif dalam segala cabang keilmuan. Agama tidak jauh berbeda, agama yang dahulu memperoleh predikat sebagai The Queen of Knowledge hari ini hanya ditelaah seabgat aspek-aspek yang terkait dengan doktrin keagamaan secara normative. Dan ini juga memberikan arahan bahwa agama (teologi) harus mampu bertanding melawan kawan sejawatnya seperti psychology of religion, sociologi of religion, history of religion atau phenomenology of religion agar agama mampu kembali menjadi Queen dari semua cabang ilmu yang ada. Untuk semakin mempermudah dalam mengkaji persoalan agama, Islam khususnya, maka kita juga harus membedakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agama (religiositas) itu sendiri dan ekspresi keberagamaan. Yang pertama lebih mengarah pada esoteris dan yang kedua (ekspresi keberagamaan) lebih menjurus ke arah eksoteris. Yang pertama akan diwakili pada munculnya truth (iman) dan yang kedua dimanifestasikan dalam ritual keagamaan (shalat dsb). Sejauh mana pengaruh dari keduanya terhadap eksistensi Islam, dan metodologi yang seperti apa yang mungkin dapat digunakan untuk mendekati salah satu diantara keduanya secara lebih jelas dan terstruktur, kedua hal ini agaknya (dan memang bahkan) mutlak dilakukan untuk membuktikan fenomena Islam yang sekarang ini. Iman sebagai pengejawantahan atas nilai religiusitas membawa penganutnya pada pandangan tentang hal-hal yang harus diyakini eksistensi dan keberadaannya. Objeknya pun berragam, mulai dari persoalan yang tidak mampu untuk dikaji dengan nalar (mistis) hingga persoalan sejarah dan masa depan. Pada titik ini, umat Islam lebih mengarahkan arti iman untuk mempercayai keberadaan

Allah sebagai tuhan umat manusia, mempercayai keberadaan malaikat yang selalu bertasbih kepada Allah, meyakini keberadaan nabi-nabi yang telah menyebarkan agama Allah kepada kaum-kaumnya, meyakini adanya kitab-kitab suci Allah yang dibawa oleh nabi untuk kaumnya, percaya pada keberadaan sejarah masa depan berupa hari kiamat dan mempercayai adanya qadha dan qadar yang Allah telah tentukan untuk manusia. Kesemuanya itu merupakan kerangka awal yang akan membentuk ekspresi keagamaan atas apa yang diyakininya. Sebagai manifestasi atas keimanannya kepada Allah, manusia akan mengekspresikan keagamaannya itu dengan shalat, puasa, haji, membaca al quran dan sebagainya. Untuk mengkspresikan keyakinannya atas keberadaan hari kiamat, umat Islam mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan beramal baik sesuai dengan syariat Islam. Ekspresi meyakini kebenaran nabi-nabi terdahulu, umat Islam mengkaji sejarah kehidupannya dan meniru tindakan nabi tersebut.

29

DIRASAT ISLAMIYYAH HASSAN HANAFI

Hassan Hanafi adalah pemikir besar yang berasal dari Kairo, Mesir. Dalam sejarahnya, Mesir merupakan Negara yang paling awal merasakan masuknya Islam sejak Islam disana dibawah pemerintahan Amr bi Ash pada abad ke-IV, dan wajarlah ketika Mesir kemudian mendapatkan gelar The Earliest Arabised Country. Hal ini berbeda dengan kondisi Islam di nusantara dan wilayah Asia Tenggara lainnya yang termasuk The Least Arabised Country. Sejak awal perkembangannya, Mesir merupakan pusat peradaban Islam yang cukup maju, maka kemudian tidak mengejutkan ketika dari Negara ini memunculkan banyak intelektual Muslim yang handal. Banyak karya-karya besar yang lahir di Negara sungai Nil ini, mulai dari Tafsir Al Quran sampai wacana politik Islam yang controversial. Pada abad XX saja misalnya, dinegara ini telah melahirkan tokoh-tokoh besar dunia seperti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Thaha Hussein Muhammad Al Ghazali, Sayyid Qutb, Yusuf Al Qardhawi dan lainnya. Termasuk diantaranya tokoh yang menjadi panutan Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani juga menerapkan ilmunya di Negara Mesir ini hingga keduanya diasingkan oleh pemerintah Mesir ke Prancis. Tokoh-tokoh yang lahir di Mesir ini, selain aktivis pergerakan terkemuka, juga memiliki kecemerlangan pemikiran. Sebagian pemikiran mereka mampu menembus menjadi mainstream dalam pemikiran keagamaan dan pemikiran politik tidak hanya di Mesir saja, tetapi juga menembus sampai dunia Islam secara keseluruhan. Demikian juga pemikir paling mutakhir diantara mereka yang sangat kontroversi, Hassan Hanafi yang mencetuskan gagasan Kiri Islam (Al Yasar Al Islam atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Islamic Left) dan Oksidentalisme (Occidentalism). Hassan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1953. Sejak masa mudanya, Hanfi sudah tertarik dengan wacana politik di negaranya dan wacana-wacana politik Islam di dunia Islam secara keseluruhan. Dengan cermat perubahan dan kejadian politik yang terjadi di negaranya diamati, mulai dari pertarungan sengit antara Ikhwanul Muslimin dibawah pimpinan Sayyid Qutb melawan Pemerintahan otoriter Gamal Abdul Nasser hingga pada persoalan ketertarikannya terhadap organisasi pergerakan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin dikaji secara serius oleh Hassan Hanafi terutama dalam keberhasilan dan kegagalannya dalam

perjuangannya melawan Rezim Nasser serta pemikiran-pemikiran religio-politik Sayyid Qutb. Dari wacana-wacana yang digulirkan oleh Sayyid Qutb inilah, terutama wacana agama dan revolusi, Hassan Hanafi kemudian konsis menggeluti dunia Revolusi agama. Selain bergelut dibidang politik dengan semangat turunan dari Sayyid Qutb, Hanafi juga merasakan keprihatinannya terhadap arus Barat yang terus melanda negerinya (westernisasi). Keprihatinannya berangkat dari pengamatannya terhadap perkembangan Barat yang semakin mengikis khazanah local yang dimiliki oleh Mesir. Dunia Islam pada umumnya selalu terjebak dan menjadikan Barat sebagai tolok ukur kemodernan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Keperihatinan semacam ini yang kemudian Hanafi harus mencari solusinya dan menggulirkan wacana oksidentalisme sebagai antitesis melawan westernisasi dan orientalisme. Selain terpikat pada wacana-wacana revolusioner dan westernisasi, Hanafi sejak mudanya juga tertarik kajian-kajian pemikiran dan Filsafat, baik yang berangkat dari Barat ataupun yang tumbuh dan berkembang di dalam Islam. Hal ini pula yang menjadikan sugestinya untuk mempelajari lebih dalam di Universitas Kairo semakin memanas. Di Universitas ini, Hanafi berhasil menyelesaikan studynya pada tahun 1956 dan melanjutkan pendidikannya di Sorbonne University di Paris Prancis. Di Sorbonne University inilah dia berhasil menggondol dua gelar sekaligus, master dan doctor untuk kajian keilmuan filsafat. Dalam disertasi doktoralnya, Hanafi menyelesaikannya dengan hasil luar biasa. Disertasi yang ia susun setebal 900 halaman dengan jugul L Exegesses de la Phenomenologie, Letat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religiux. Disertasi yang ia susun termasuk paling unik karena dalam disertasi ini dia mengawinkan antara Usul Fiqh dengan Fenomenologi Edmund Husserl. Keunikan pembacaan Usul Fiqh yang dikaji melalui perspektif filsafat fenomenologi inilah yang kemudian mengantarkan Hanafi pada titik awal ketenarannya sebagai seorang pemikir revolusioner Islam. Dalam studynya di Sorbonne University, Hanafi tidak hanya terpaku pada kajian filsafat dan usul fiqh saja, tetapi di universitas ini, Hanafi berhasil mempelajari secara lengkap kajian puncak dari filsafat dan pemikiran Eropa. Hanafi dengan cerdas dapat menyerap gagasan-gagasan liberalisme, demokrasi, filsafat penmcerahan dan rasionalisme Cartesian. Dan jelasnya, Hanafi juga mempelajari dengan sempurna filsafat fenomenologi Edmund Husserl, Martin Heifegger, Marxisme-Sosialisme dengan berbagai varian tafsirannya. Dari sederet pengetahuannya yang ia geluti di Paris ini, wacana yang paling membuatnya terpengarah dan mengikutinya secara lebih teliti adalah wacana filsafat fenomenologinya Edmund Husserl dan Marxisme-sosialisme. Hanafi dengan tegas mengambil metode materialisme sejarah (Historical Materialism) dan dialektika materialism (dialectic materialism) sebagai perangkat metodologi dan piau bedah analisisnya. Hanafi menggunakan ajaran Karl Marx ini untuk memahami berbagai persoalan sosial, keagamaan dan politik, karena memang apa yang didoktrinkan Marx bergelut pada ranah ini. Sebagai contoh, dia menjelaskan sejarah perkembangan pemikiran Islam dan perjuangan Islam melawan hegemoni cultural Barat dengan metode dialektika.

31

Dengan metode yang sama ia juga menentukan apa dan bagaimana sebuah revolusi Islam bisa dilakukan di Dunia Islam. Dengan kuatnya pemikiran yang diambil dari Karl Marx ini, sering kali ia dituding sebagai Marxis. Hassan Hanafi dalam meniti karirnya di bidang akademis hingga menjadi Guru Besar Fakultas Filsafat di tempatnya belajar filsafat pertama kali (Universitas Kairo) sama sekali tidak meninggalkan sisi revolusionernya. Disamping kesibukannya menularkan ilmu filsafatnya, ia tetap melakukan kajian kritis terhadap gagasan-gagasan westernisasi dan orientalisme. Menarik apa yang dituturkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pengantar buku tentang kajian pemikiran Hasan Hanafi yang ditulis oleh Kazuo Shimogaki21. Pemikir Indonesia ini mengatakan, bahwa eksperimentasi yang dilakukan oleh Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang semakin meningkat tatarannya. Dari kajian ilmiah atas satu bidang studi keislaman, ia menaikkan taraf pemikirannya kepada pembuatan paradigma ideology baru, termasuk pengajuan Islam sebagai alternatif pembebasan bagi rakyat jelata di hadapan kekuasaan kaum feudal. Pendekatan tersebut diproklamasikan sebagai Kiri Islam. Pujian Gus Dur untuk pemikiran solutif-efektifnya Hassan Hanafi ini kemudian membuka ruang yang lebih luas dalam mempublikasikan wacana-wacana yang digagas oleh Hassan Hanafi di Indonesia. Bukan berarti karena Gus Dur pernah kuliah di Mesir dengan serta merta kemudian dia menerima pemikiran orang Mesir ini, tapi ini memang nyata dan tidak lagi dapat dinafikkan keberadaannya. Proyek besar ini menurut Gus Dur telah mampu membawa Islam berfungsi orientatif bagi ideology populistik yang ada, yang waktu itu diwakili oleh berbagai bentuk sosialisme. Hanafi dengan mengambil posisi kekirian (Al Mauqif al Yassari) didasari atas kenyataan bahwa ia membawa gagasan pembebasan melalui penghancuran konstruk lama yang serba reaksioner dari feodalisme kapitalistik, yang menguasai masyarakat-masyarakat dunia yang sedang berkembang. Buku yang diterbitkan Hassan Hanafi pada tahun 1988 yang bertitel Min al-Aqidah ila ats-Tsaurah merupakan salah satu model dari sekian banyak model buku yang paling diminati dan ditunggu-tunggu kehadirannya oleh para pengikut dan peminat kajian Hassan Hanafi. Paling tidak, buku ini tentunya mendapatkan tempat tersendiri bagi para peminat kajian Hassan Hanafi yang telah membaca kajian-kajiannya secara terus menerus. Hanafi yang juga seorang penulis produktif yang berwawasan luas serta memiliki pisau analisis yang cukup tajam dalam setiap riset dan kajiannya tentunya telah matang dalam melakukan kajian yang mendalam mengenai buku barunya ini. Sampai saat ini (1988), sedikitnya ada lima volume buku yang menjadi hasil riset dan kajian Hassan Hanafi. Volume pertama terfokus pada premispremis teorits (Al Muqaddimah an Nazhariyyah) ; volume kedua lebih membahas21 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafis Thought: A Critical Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta, Hal. xviii

tentang ketahuidan (at Tauhid); volume ketiga memperbincangkan tentang keadilan (al- Adl); volume ke empat bertajuk kenabian (An nubuwwah al Muad) dan volume yang terakhir mendiskusikan tentang amal, keimaman dan imamah (al Iman wa al Amal wa al Imamah). Dalam pengakuannya, kelima seri buku tersebut memakan waktu penulisan yang cukup lama, yakni mencapai satu dasawarsa. Sebuah kajian yang tentunya dipikir secara matang dan bersih.

Al Yassar Al Islam Islam pada eranya pernah memimpin peradaban dunia, Islam menjadi central pengetahuan, tolok ukur peradaban dan menjadi sumber utama kajiankajian wacana keagamaan. Pada saat itu, Islam mampu membangunkan dunia dari tidur panjangnya yang terkungkung dalam keterbelakangan. Kejayaan ini, banyak kalangan mempercayai bahwa ini semua berangkat dari kekuatan benteng tauhid yang kemudian merambah untuk melakukan developmentalisasi di berbagai bidang lainnya. Demikian juga Hassan Hanafi, dia mempercayai bahwa tauhid merupakan kekuatan besar yang mampu merubah tatanan dunia, dalam bukunya Madza Yani Al Yassar Al Islam sebagaimana dikutip oleh Kazuo Shimogaki22 dia mengatakanTauhid menjadi kekuatan dalam kehidupan di bumi ini, dan ia mempunyai fungsi praktis untuk melahirkan perilaku dan keyakinan yang kuat guna mentransformasikan kehidupan sehari-hari muslim dan system sosialnya.

Yang kemudian menjadikan pertanyaan yang paling mungkin adalah kenapa hari ini Islam ternyata tidak mampu menjawab tantangan zaman untuk kembali memimpin peradaban. Dengan kata lain, Islam hari ini mengekor zaman yang sedang berjalan, dia tidak mampu menembus pemimpin peradaban untuk menjadi22 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafis Thought: A Critical Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta, Hal. 93

33

pimpinan dari pemimpin peradaban sekarang ini. Pada dasarnya, dalam system dunia hari ini hanya ada dua kemungkinan dalam peradaban, yakni pemain dan yang dimainkan. Pemain sebagai subjek yang mengatur peradaban. Sedangkan yang dimainkan merupakan objek yang dimainkan oleh pemain dalam percaturan peradaban. Sebagai akibatnya, pemain akan terus mendominasi system peradaban dan berhak atas otoritarianisme peradaban. Islam hari ini merupakan objek yang terus dimainkan oleh dominasi pemain rezim imperialisme. Apa yang dikatakan oleh Barat merupakan tolok ukur untuk peradaban Islam, baik dari sisi pengetahuan maupun pada wilayah praksis kebudayaan dan tradisi. Inilah yang sekarang menyebabkan Islam kehilangan harga diri dan dengan terpaksa kemudian menyerahkan haknya untuk melakukan perubahan dalam tubuh Islam sendiri, sebagai dampaknya, kemandirian dalam Islam dalam menentukan nasibnya sendiri hilang tertelan oleh peradaban Barat yang mendominasi. Fenomena ini yang kemudian oleh Jamaludin Al Afghani, setelah melakukan kajian kritis atas Islam yang demikian, merupakan dampak dari munculnya something trouble dalam semangat ketauhidan. Menambah analisis Al Afghani, Hanafi lebih kritis memandangnya, selain karena hilangnya semangat ketauhidan sebagai pandangan dunia yang monoteistik, juga karena dari dalam tubuh Islam sendiri terdapat dualisme yang kuat. Penyebab dari munculnya dualisme dalam Islam adalah, kata Hanafi, hilangnya semangat tauhid dan beraneka ragamnya pandangan dunia yang dualistic. Akhirnya, hal ini akan memaksa kita untuk kembali merumuskan dari awal tentang Islam itu sendiri dan relevansinya dalam ranah sosio politik global. Sempat muncul wacana bahwa dalam Islam tidak ada istilah kanan dan kiri, Islam adalah Islam yang mengadung ajaran transcendental dan humanisme. Tidak ada kanan yang sok religius dan tidak ada kiri yang sok jagoan. Pada wacana ini, Hanafi menolak dengan tegas. Hanafi berpendapat bahwa dalam Islam tetap ada kanan dan kiri. Wacana tersebut dalam pandangan Hassan Hanafi bersifat naf dan mengacu pada prinsip atau sesuatu yang berada diluar relaitas histories umat Islam. Pandangan tidak adanya kanan dan kiri dalam Islam berwatak ahistoris karena mengabaikan realitas sosial budaya umat Islam masa lampau dan masa kini. Hanafi lebih tegas lagi mengatakan, bila kita berpikir empiris maka sesungguhnya Islam dihadapkan pada pertarungan dan wadah berbagai kepentingan yang kuat antara kiri (tertindas) dan kanan (penindas). Ciri utama Kiri Islam adalah dia mengeluarkan slogan-slogan yang revolusioner, radikal dan berpihak pada kaum tertindas. Slogan-slogan itu menurut hanafi banyak ditemukan dalam teks-teks Al Quran dan tradisi Islam Klasik. Terminology Kiri hendak menyadarkan umat Islam yang berada dalam situasi ketertindasan dan keterbelakangan, sehingga diharapkan dari kesadaran yang tumbuh itu akan memunculkan gerakan untuk merubahnya. Terkait dengan terminology Kiri yang ada dalam Al Quran, sempat banyak ilmuwan yang tidak sependapat pada penggunaan kata Kiri itu. Al Quran banyak yang mengidentifikasikan makna Kiri dalam artian yang negative. Kiri dalam Al Quran lebih disebut sebagai orang-orang yang banyak melakukan dosa

besar, penghuni neraka, orang-orang Kafir, munafik dan orang-orang yang termasuk dalam golongan al ashab asy syimal (golongan orang-orang yang merugi). Sedangkan Kanan selalu diidentikan dengan golongan al ashab al Yamin (orang-orang yang beruntung) yang sholeh, beriman, penghuni sorga dan seterusnya.23 Pengambilan kata kiri dalam kiri Islam oleh Hassan Hanafi tidaklah demikian penafsirannya, yang diarahkan oleh Hassan Hanafi mengambil kata kiri adalah lebih pertimbangan pada keilmiahan bahasa tersebut. Kiri dalam kajian ilmu politik melambangkan resistensi dan kritisisme. Artinya, penggunaan kata Kiri oleh Hanafi tidak bersumber dari Al Quran yang mengilustrasikan kiri sebagai orang yang tersesat, tetapi dia memilih menggunakan kata kiri dalam perspektif kajian ilmiah yang menandakan resistensi, yang menjelaskan jarak antara idealitas dan realitas. Kiri Islam yang merupakan karya terbesar Hanafi dipublikasikan dalam jurnal Al Yasar Al Islam (Kiri Islam) di Mesir. Menurut berbagai sumber, bahwa munculnya jurnal ini terinspirasikan oleh jurnal Al Urwah Al Wustqa (Jalamaluddin Al Afghani & Muhammad Abduh) dan Jurnal Al Manar. Jurnal ini sayangnya hanya terbit sekali pada bulan Januari 1981 di Kairo, Mesir. Namun kematian jurnal Al Yasar Al Islam tidak kemudian dapat dengan serta merta menghapus makna kedatangan gagasan-gagasan Kiri Islam-nya. Meskipun jurnal itu tidak terbit untuk edisi selanjutnya, Hassan Hanafi yang paling bertanggung jawab atas jurnal itu serta segala esensi yang terkandung didalamnya terus secara intens mengawal wacana Kiri Islam itu. Pergulatan Hanafi dengan khazanah klasik (turats qadim) dan apresiasinya yang mendalam terhadap tradisi Barat (turats Gharbi) merupakan bukti konkrit kekokohan Kiri Islam yang tidak terpengaruh matinya Jurnal Al Yasar Al Islam. Namun ada satu hal yang kemudian harus dikaji lebih mendalam mengenai pergulatan Hassan Hanafi dengan budaya (tradisi) baik tradisi local (khazanah klasik), tradisi Barat ataupun tradisi Islam. Dalam buku Min al-Aqidah ila ats-Tsaurah, Hassan Hanafi memasukkan satu premis yang bombastis dengan ide-ide cemerlangnya yang ia beri judul At Turats wa at Tajdid. Jika dalam buku itu ia menyatakan sikapnya terhadap tradisi masa lampau (al Mauqif min at turats al qadim) maka pada bagian kedua ini ia menyatakan sikapnya terhadap tradisi Barat (Al Mauqif min at turats al Gharbi). Hassan Hanafi dalam buku tersebut juga menunjukkan pandangannya terhadap tradisi, baik dalam ranah cara memahami dan menafsirkannya ataupun metodemetode pengkajiannya. Hal itu dilakukan sejak awal hingga sekarang, yakni mulai dari keyakinan (Al Aqidah) sampai revolusi (Ats tsaurah). Dalam pandangannya, Hassan Hanafi keyakinan merupakan tradisi (at turats), sedangkan revolusi adalah pembaharuan (at tajdidi). Demikan juga ia melakukan pembacaan ulang terhadap Islam untuk merekonstruksi dan mereformulasinya,23 Secara jelas dapat dilihat dalam surat Al Waqiah ayat 8-9. Disini Al Quran membagi umat manusia dalam dua golongan, yakni golongan Kanan yang memperoleh kebahagiaan dan golongan kiri yang memperoleh siksa dan keterhinaan dihadapan Allah. Lebih terperinci lagi, pembagian kanan dan kiri dalam al Quran disesuaikan dengan pembagian catatan amal, yakni apabila menerima catatan amal dengan tangan kanan maka dia termasuk golongan kanan yang beruntung, demikian pula sebaliknya.

35

yakni mencari (melacak kembali) dasar-dasar dan membangun kembali serta memperbaharui pengetahuan masa lampau. Menarik pula ketika dalam bagian pengantar volume pertama, yang bertitel, al muqaddimat at taqlidiyyah, bahwa secara tegas ia menolak premis-premis ortodoks yang terdapat dalam ilmu ushul ad Din al Islami, yakni ilmu kalam. Menurutnya, karena premis-premis tersebutmerupakan premis keimanan murni yang mengungkapkan keimanan sejati-murni (al Imanu khalish dzati) dan yang bersumber dari kegaiban (Al Ghaib). Sementara menurut pandangan Hassan Hanafi, pengetahuan yang benar (Al Marifah ash shalihah) tidak datang dan menjadi sempurna begitu saja seperti wahyu dan ilham, tetapi hadir melalui perenungan dalam seperangkat data-data pikiran dan kenyataan, dan menjadi sempurna melalui analisis penalaran dengan menyimpulkan kejadian-kejadian. Sederhananya, pengetahuan yang benar menurut keyakinan Hassan Hanafi adalah yang tidak bersumber dari kegaiban ( Al Ghaib) atau hanya sebatas informasi tanpa data dan analisis yang rasional. Dalam pengantarnya ini pula, ia secara tegas menolak ide-ide mengenai tradisionalisme (taqlidisme) yang membelenggu dan memenjarakan kebebasan berpikir masyarakat. Ia juga secara tegas menyatakan untuk tidak mengikuti jejak para as salaf ash shalih. Dalam pandangannya, orang-orang tersebut (as salaf ash shalihin/qudama) juga manusia yang sama seperti manusia saat ini. Jadi tidak menjadi persoalan ketika mempelajari teori-teori yang disajikan oleh Qudama tersebut, namun dalam menentukan sikap untuk menolak atau mengikutinya adalah hak-hak individual yang tidak dapat diintervensi secara bebas. Apa yang para as salaf ash shalihin katakana tidak harus diikuti dan menjadikan perdebatan yang sengit, tetapi harus dikaji secara kritis sebagai pijakan untuk merekonstruksi dan melihat ulang. Mengenai mati surinya Al Yasar Al Islam, Hassan Hanafi mengatakan ketika dihubungi secara langsung oleh Kazuo Shimogaki24.Saya kecewa bukan oleh nasib jurnal itu, melainkan oleh sikap intelektual muslim 24 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafis Thought: A Critical Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta, Hal. 72

lain. Ada di antara merekamenuduh saya marxis, yang lain marah-marah dengan istilah Kiri yang saya gunakan, dan tidak tertarik pada proyek inovatif ini. Memang saya tidak bisa melanjutkan menerbitkan jurnal ini, tetapi bukan berarti saya menghentikan proyek ini. Saya hanya kesulitan financial.

Pemikiran Kiri Islam yang digagas Hanafi berangkat dari pengamatannya terhadap gerakan-gerakan Islam revolusioner di Sudan (Revolusi Al Mahdi), Libya (Revolusi Sanusiyyah), Aljazair (Revolusi Islam), Maroko dan yang paling berpengaruh diantaranya adalah revolusi yang dilakukan oleh Gerakan Ikhwanul Muslimin dibawah Sayyid Qutb (Revolusi jihad Ikhwan) di negaranya. Hanafi dengan cerdas mempelajari dan mendalami revolusi-revolusi di Negaranegara Islam tersebut, selain itu, dia juga mempelajari bagaimana terjadinya revolusi-revolusi dalam sejarah keagamaan yang kemudian dari situ membuat dia yakin bahwa setiap agama revolusioner bersifat Kiri. Setiap agama mengandung dalam dirinya ajaran-ajaran pembebasan manusia dan perlawanan terhadap segala bentuk kejahatan yang menistakan dirinya. Dalam sejarah revolusi keagamaan, seringkali perlawanan terhadap penindasan dan gerakan pembebasan manusia dipelopori oleh para pemuka agama. Di zaman Mesir kuno, Nabi Musa membebaskan bangsa Israel (Yahudi) dari perbudakan Raja Firaun. Isa Al Masih (Yesus Kristus) membebaskan bangsa Yahudi dari penindasan Imperium Romawi. Ayatollah Khomaini menentang rezim represif Pahlevi yang dikendalikan Amerika Serikat bersama dengan Ali Syariati. Pada agama lain, gerakan-gerakan pembebasan di Amerika Latin dipimpin para uskup dan Kardinal Katolik dengan teologi pembebasannya (theology of liberation). Di Vietnam, para biksu agama Buddha mempelopori gerakangerakan revolusioner menentang kekuasaan tiranik. Di Filipina cardinal Jaime Sin, pimpinan katholik, menjadi oposisi terhadap rezim repressif koruptif marcos. Para pendeta di Thailand mengalami penyiksaan, pemenjaraan dan bahkan pembunuhan karena mempelopori aksi-aksi perlawanan terhadap tirani kekuasaan. Hanafi mengklaim bahwa pemikiran Kiri Islam yang digagasnya itu memiliki akar histories intelektual dalam revolusi-revolusi agama diatas. Dalam penjelasannya, Hanafi melihat bahwa dalam percaturan geo sosio politik, dunia dibagi menjadi dua wilayah, yakni pemain atau penindas (penguasa) dan yang dimainkan atau yang ditindas (rakyat). Hanafi membagi dua kelas ini tidak hanya berdasarkan realitas di lapangan saja, tetapi dia juga mengambil pembagian ini atas isi dari Al Quran. Sejarah dalam Al Quran yang paling kentara mengenai pembagian ini adalah kisah Firaun sebagai penguasa dan Bani Israil yang dipimpin oleh Nabi Musa. Firaun adalah profil yang digambarkan oleh Al Quran sebagai tokoh yang menindas dengan kekuasaannya atas kebebasan Bani Israil.

37

Dari gambaran itu, kemudian Hanafi meletakkannya pada dunia kontemporer, dia menganalogikan Firaun sebagai Negara-negara kapitalis imperialis dan Bani Israil sebagai Negara-negara Islam yang terus menerus mengalami penindasan. Hubungan antara Firaun dan Bani Israil mengalami ketimpangan yang luar biasa, Firaun melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap Negara-negara Islam. Selain eksploitasi, Negara kapitalis-imperialis juga melakukan hegemoni di segala bidang kehidupan untuk diikuti sebagai takdir zaman. Di wilayah inilah kemudian Kiri Islam berperan. Kiri Islam harus menentang Firaun itu. Titik utama perlawanan yang harus dilakukan adalah pada wilayah hegemoni budaya, atau lebih tepatnya imperialisme kebudayaan Barat. Pertanyaannya, kenapa harus imperialisme kebudayaan yang menjadi focus utamanya. Dalam kesempatan lain Hanafi25 memperincinya, bahwa imperialisme kebudayaan inilah yang menghancurkan Islam dengan meotong sejarah umat Islam saat ini dari akar-akar tradisi dan budaya klasiknya (turats qadim) sehingga mereka seakan terserabut (up rooted) dari masa lampaunya. Selanjutnya setelah memotong akar kesejarahan tradisi ini, Negara imperialis budaya ini kemudian memasukkan apa yang dibahasakan Hanafi sebagai turats gharbi (khazanah Barat) atau proses westernisasi. Segala produk budaya Barat disuntikkan ke Negara-negara non-Barat. Ekspor budaya ini bertujuan untuk menghilangkan kekhasan dunia non Barat dan memutuskan akar sejarah budayanya. Ambisi utamanya dari semua itu adalah, semua Negara non Barat akan berkiblat pada Barat, untuk itulah selanjutnya semua cara dibenarkan dalam upaya westernisasi ini. Tindakan ini jelas berakibat fatal bagi budaya-budaya non Barat, budaya ini secara perlahan akan tergeser, karena terbukti budaya popular (yang dikemas Barat) ternyata lebih menarik perhatian dari pada turats qadim yang dimilikinya sebagai khazanah klasik. Akhirnya, Negara-negara non-Barat akan kehilangan harapan untuk menentukan masa depannya sendiri, independensi Negara tersebut hilang dan harus dependensi terhadap Barat. Selain itu, secara tidak langsung dengan proses westernisasi yang dikemas dalam budaya popular ini, Barat juga menggulirkan wacana bahwa apa yang dikeluarkan oleh Barat merupakan produk unggulan, yang terbaik dan diakui seluruh dunia, sementara produk local non Barat dianggap sesuatu yang jumud, terbelakang, tradisional dan primitive. St