NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG...
Transcript of NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG...
1
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
KEKARANTINAAN KESEHATAN
‘
2
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2015
i
KATA PENGANTAR
Permasalahan kesehatan di Indonesia ke depan akan
semakin kompleks dan beragam. Sebagai bagian dari masyarakat
dunia, Indonesia berkewajiban melakukan upaya pencegahan
terjadinya Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)
sebagaimana yang diamanatkan dalam International Health
Regulations (IHR) 2005. Dalam melaksanakan amanat ini,
Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi
manusia dan dasar-dasar kebebasan seseorang serta
penerapannya secara universal.
Untuk mengoptimalkan upaya cegah tangkal terhadap
penyebaran penyakit yang berpotensi menimbulkan wabah dan
menimbulkan permasalahan kesehatan masyarakat dunia yang
terjadi di pintu masuk dan wilayah, perlu disusun adanya
Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang komprehensif,
integratif dan efektif, mengingat Undang-Undang yang ada
sekarang sudah tidak dapat menampung semua materi
permaslahan saat ini. Penyusunan Rancangan Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan yang baru ini dimaksudkan untuk
mengganti Undang–Undang Kekarantinaan Kesehatan yang ada
saat ini yaitu Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara.
Dalam rangka melengkapi persyaratan Rancangan Undang-
Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan yang akan diusulkan
ke Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk dibahas sebagai
produk hukum, maka disusun argumentasi ilmiah yang berupa
Naskah Akademis (NA) Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan
Kesehatan.
ii
Keberadaan Naskah Akademik mutlak diperlukan sebagai
dasar dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang. Dalam
Naskah Akademis ini akan dibahas mengenai perlunya
penyusunan Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan
Kesehatan baik dari aspek teoritis maupun empiris pelaksanaan di
lapangan.
Disadari bahwa dalam penyusunan Naskah Akademik ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik, saran
maupun sumbangan pemikiran yang sifatnya membangun sangat
diharapkan, demi kesempurnaan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan dimasa yang akan
datang.
Jakarta, 13 Mei 2015
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
Kementerian Kesehatan
Barlian, SH, M.Kes
NIP 195811191981021001
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. i
DAFTAR ISI………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah………………………………….. 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah
Akademik ……………………………………………….
5
D. Metode ………………………………………………….. 6
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis………………………………………….. 11
B. Kajian terhadap Asas Yang Terkait Dengan
Penyusunan Norma...............………………………
18
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan,
Kondisi yang ada serta Permasalahan yang
dihadapi………………………………………………….
20
D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem
Baru……………………………………………………....
34
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. Evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara..……………………………………..
38
B. Sinkronisasi dan Harmonisasi Ketentuan
Internasional dan Peraturan Perundang-
undangan yang terkait dengan Kekarantinaan
Kesehatan……………………………………………….
42
iv
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis……………………………………. 53
B. Landasan Sosiologis………………………………….. 55
C. Landasan Yuridis……………………………………… 56
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A. Sasaran………………………………………………….. 58
B. Arah dan Jangkauan Pengaturan………………… 58
C. Ruang Lingkup Materi Muatan……………………. 59
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan………………………………………………… 100
B. Saran…………………………………………………….. 102
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 103
LAMPIRAN…………………………………………………………………..
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Amanat yang tertuang di dalam Pembukaan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Negara Indonesia
berkewajiban melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan kesejahteraan sosial. Salah satu upaya untuk mencapai
hal di atas adalah melalui peningkatan derajat kesehatan
masyarakat.
Indonesia yang merupakan negara yang sedang berkembang,
memerlukan sumber daya manusia yang sehat jasmani, rohani
dan sosial, sehingga dapat hidup produktif secara sosial dan
ekonomi. Untuk mendapatkan manusia yang sehat diperlukan
adanya perlindungan kesehatan bagi seluruh masyarakat.
Sebagai negara kepulauan dengan sekitar 17.504 pulau yang
terdiri dari pulau besar/kecil serta memiliki posisi sangat strategis
karena diapit oleh dua benua dan dua samudera serta berada
pada jalur lalu-lintas dan perdagangan internasional dengan
banyaknya pintu masuk ke wilayah Indonesia, maka terdapat
faktor risiko untuk terjadinya penyebaran penyakit dan gangguan
kesehatan.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2014, Indonesia
memiliki lebih dari 240 juta orang penduduk serta menduduki
posisi keempat terbesar di dunia yang tersebar di berbagai pulau
dengan kepadatan yang berbeda.
2
Tingkat kepadatan tertinggi di pulau Jawa dan Bali, dengan
status sosial ekonomi sebagian besar penduduk Indonesia
tergolong rendah dibandingkan negara lain, sehingga
menimbulkan masalah kesehatan, diantaranya penyebaran
penyakit infeksi, status gizi kurang dan lain-lain.
Permasalahan kesehatan dalam jangka panjang di Indonesia
dari waktu ke waktu akan semakin kompleks. Indonesia sebagai
negara kepulauan yang mempunyai letak strategis (posisi silang),
berperan penting dalam lalu lintas alat angkut, orang dan barang.
Meningkatnya pergerakan dan perpindahan penduduk sebagai
dampak peningkatan pembangunan, serta perkembangan
teknologi transportasi menyebabkan kecepatan waktu tempuh
perjalanan antar negara melebihi masa inkubasi penyakit. Hal ini
memperbesar risiko masuk dan keluar penyakit menular (new
infection diseases, emerging infections diseases dan re-emerging
diseases), dimana ketika pelaku perjalanan memasuki pintu
masuk gejala klinis penyakit belum tampak. Disamping itu juga
terdapat kemajuan teknologi di berbagai bidang lainnya yang
menyebabkan pergeseran epidemiologi penyakit, ditandai dengan
pergerakan kejadian penyakit dari satu benua ke benua lainnya,
baik pergerakan secara alamiah maupun pergerakan melalui
komoditas barang di era perdagangan bebas dunia yang dapat
menyebabkan peningkatan faktor risiko.
Dalam praktik penyelenggaraan tindakan karantina
kesehatan saat ini, hanya dilakukan terhadap alat angkut, orang
dan barang di pintu masuk yaitu Pelabuhan dan Bandar udara.
Sedangkan kebutuhan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan
saat ini diperlukan pula pada pos lintas batas darat negara dan
wilayah.
3
Kondisi tersebut di atas dibutuhkan mengingat potensi
penyebaran penyakit potensial wabah antar negara maupun antar
wilayah semakin meningkat yang dapat menimbulkan epidemi,
pandemi, dan kedaruratan kesehatan masyarakat bahkan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.
Perkembangan transportasi darat, laut maupun udara sejalan
dengan kemajuan teknologi dan perekonomian memicu pula
pergerakan dan perpindahan orang dan barang baik antara negara
maupun antar wilayah yang berdampak pada penyebaran penyakit
dan faktor risikonya, sehingga penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan perlu dilakukan secara komprehensif, terintegrasi
dalam rangka cegah tangkal.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia
berkewajiban melakukan upaya pencegahan terjadinya
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia
(Public Health Emergency of International Concern/PHEIC)
sebagaimana yang diamanatkan dalam International Health
Regulations (IHR) 2005. Dalam melaksanakan amanat ini Indonesia
harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia dan
dasar-dasar kebebasan seseorang serta penerapannya secara
universal.
International Health Regulations 2005 mengharuskan
Indonesia meningkatkan kapasitas berupa kemampuan dalam
surveilans dan respon cepat serta tindakan kekarantinaan dalam
rangka melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau
faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan
kedaruratan kesehatan masyarakat pada pintu masuk
(pelabuhan/ bandar udara/ Pos Lintas Batas Darat Negara) dan di
wilayah.
4
Untuk itu diperlukan perangkat peraturan perundang-
undangan, organisasi dan sumber daya yang memadai berkaitan
dengan kekarantinaan kesehatan dan organisasi pelaksananya.
Pengaturan kekarantinaan kesehatan di Indonesia diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yaitu Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
Ketentuan dalam undang-undang tersebut sudah tidak relevan
lagi dengan kondisi saat ini. Pada sisi lain, saat undang-undang
tersebut dibuat masih mengacu kepada peraturan kesehatan
internasional yang disebut International Sanitary Regulations (ISR)
1953. Kemudian ISR tersebut diganti dengan International Health
Regulations (IHR) 1969 dengan pendekatan epidemiologi yang
didasarkan kepada kemampuan sistim surveilans epidemiologi.
Pada Sidang Majelis Kesehatan Sedunia tahun 2005 menyepakati
International Health Regulations (IHR) 1969 tersebut menjadi
International Health Regulations (IHR) Revisi 2005 yang mulai
diberlakukan pada tanggal 15 Juni 2007.
Pembaharuan terhadap Undang-Undang Kekarantinaan
Kesehatan diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang
cukup kuat untuk melakukan penyelenggaraan Kekarantinaan
Kesehatan secara terpadu dan sistematis.
Dengan kondisi pengaturan kekarantinaan kesehatan yang
demikian sudah waktunya dilakukan pembaharuan secara
menyeluruh agar terdapat pengaturan kekarantinaan kesehatan
secara terpadu dan sistematis. Untuk itu diperlukan adanya
penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai dasar bagi penyusunan
draf Rancangan Undang-Undang tentang Kekarantinaan
Kesehatan.
5
B. Identifikasi Masalah
1. Permasalahan apa yang dihadapi terkait dengan
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di Indonesia
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara?
2. Mengapa diperlukan penggantian Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara?
3. Apa yang menjadi pertimbangan landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis pembentukan RUU tentang
Kekarantinaan Kesehatan?
4. Apa yang menjadi sasaran, ruang Lingkup, jangkauan
dan arah pengaturan dari RUU tentang Kekarantinaan
Kesehatan yang akan disusun?
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik
Tujuan Penyusunan Naskah Akademik sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi terkait
dengan kekarantinaan kesehatan di Indonesia
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
2. Merumuskan permasalahan hukum sebagai alasan
penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
6
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan RUU Kekarantinaan
Kesehatan.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang
lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan
dalam RUU Kekarantinaan Kesehatan.
Sedangkan kegunaan naskah akademik ini adalah
sebagai bahan acuan dalam penyusunan Rancangan Undang-
Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan dan pengambilan
kebijakan bidang kekarantinaan kesehatan.
D. Metode
1. Tipe penelitian
Penelitian terhadap permasalahan kekarantinaan
kesehatan menggunakan metode yuridis normatif.
Metode ini dilakukan melalui studi pustaka yang
menelaah data sekunder berupa Peraturan Perundang-
undangan atau dokumen hukum lainnya, dan hasil
penelitian, pengkajian, serta referensi lainnya yang
berkaitan dengan masalah yang diidentifikasi. Metode
yuridis normatif ini dilengkapi dengan diskusi terfokus,
dan rapat dengan para pihak yang berkepentingan dalam
rangka mempertajam kajian dan analisis. Para pihak
yang berkepentingan antara lain kementerian/lembaga
yang tugas pokok dan fungsinya berhubungan dengan
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan,
keimigrasian, kepabeanan, kepelabuhanan, kebandar
udaraan dan pos lintas batas darat negara, serta unsur
pemerintah daerah. Di samping itu dilibatkan pula para
7
akademisi, pakar dibidang yang relevan serta organisasi
profesi terkait.
Dalam rangka menyusun pokok-pokok
permasalahan, perkembangan kekarantinaan,
pertahanan dan keamanan negara, dalam penelitian ini
dilakukan pendekatan kajian untuk mendapatkan materi
dalam rangka menyiapkan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut Peter Mahmud dalam bukunya yang
berjudul “Penelitian Hukum” terdapat beberapa
pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian
hukum, yaitu pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach.)1
Dalam konteks Penelitian ini, pendekatan
perundang-undangan yang dilakukan adalah dengan
menelaah peraturan perundang-undangan (regeling) dan
peraturan kebijakan (beleidsregel) yang bersangkut paut
dengan kekarantinaan kesehatan.2 Pendekatan
komparatif dilakukan dengan membandingkan secara
substanstif pengaturan dan pelaksanaan kekarantinaan
kesehatan di negara Indonesia dengan pengaturan
kekarantinaan kesehatan di dunia internasional.
1 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Jakarta, Edisi I, hlm. 93-94 2 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hlm.391. A.
Hamid S. Attamimi, Perbedaan Antara Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan, Pidato Dies Natalis PTIK Ke - 46, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 17 Juni 1992.
8
2. Jenis Data dan Cara Perolehannya
a. Penelitian Kepustakaan
Pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan
dilakukan dengan menggunakan studi dokumen, yang
sumber datanya diperoleh dari:
1) Bahan hukum primer:
Bahan-bahan hukum yang mengikat berupa
UUD NRI Tahun 1945, peraturan perundang-
undangan, serta dokumen hukum lainnya yang
berkaitan dengan kekarantinaan kesehatan.
Peraturan perundang-undangan yang dikaji
secara hierarkis sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut;
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962
tentang Karantina Udara;
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular;
d. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992
tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan;
e. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan;
f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;
9
g. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran;
h. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan;
i. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan;
j. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian;
2) Bahan hukum sekunder yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer
seperti risalah sidang, konvensi internasional,
dokumen penyusunan peraturan yang terkait
dengan penelitian ini dan hasil-hasil
pembahasan dalam berbagai media dan sidang
internasional terkait kekarantinaan kesehatan.
3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum
penunjang seperti kamus hukum dan bahan lain
di luar bidang hukum yang dipergunakan untuk
melengkapi data penelitian.
b. Penelitian Lapangan
Untuk menunjang akurasi data sekunder yang
diperoleh melalui penelitian kepustakaan dilakukan
penelitian lapangan guna memperoleh informasi
langsung dari sumbernya (data primer).
Informasi diperoleh melalui wawancara secara
terstruktur dengan ahli terkait kekarantinaan
kesehatan. Selain itu untuk mendapatkan informasi
yang mendukung kebutuhan pengaturan
kekarantinaan kesehatan juga dilakukan simulasi
episenter pandemi dalam rangka kesiapsiagaan dan
10
antisipasi serta penilaian kapasitas inti dan
implementasi penuh IHR (2005).
3. Analisis Data
Pengolahan data dilakukan secara kualitatif. Bahan-
bahan hukum tertulis yang telah terkumpul
diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang telah
diidentifikasi, kemudian dilakukan content analysis
secara sistematis terhadap dokumen bahan hukum dan
dikomparasikan dengan informasi narasumber, sehingga
dapat menjawab permasalahan yang diajukan. Analisis
data dilakukan untuk menjawab permasalahan yang
akan menuju dasar dari penggantian Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara.
11
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
Teori terjadinya penyakit berkembang dari waktu ke
waktu. Pada awal abad ke-19 terdapat beberapa pendapat
mengenai kejadian penyakit dalam skala besar di masyarakat.
Pendapat pertama3 yang dikenal dengan teori lingkungan
yang didasarkan pada teori Hiprocrates menyatakan bahwa
kejadian KLB penyakit karena kualitas air dan udara karena
adanya perubahan cuaca. Pendapat kedua4 yang dituliskan
oleh seorang dokter Venesia-Italia bernama Girolamo
Fracastoro (1930) menyatakan bahwa kejadian penyakit
ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui zat penular
(transference) yang disebut teori kontagion. Menurut teori ini
sakit terjadi karena adanya proses kontak bersinggungan
dengan sumber penyakit.
Berdasarkan teori kontagion inilah dimulai usaha isolasi
dan karantina yang dipraktekkan oleh beberapa kota di Italia
dengan melakukan karantina terhadap kapal kapal yang
berlayar dan kru kapal5, selanjutnya konsep isolasi dan
karantina kemudian mempunyai peranan positif dalam usaha
pencegahan penyakit menular hingga saat ini.
3Greenwood M. 1933. Epidemics and Crowd Diseases: an Introduction to the study of
Epidemiology in. Epidemiology Kept Simple an introduction to the Traditional and Modern Epidemiology. Gerstman B. Burt Second Edition. 2003.
4Fracastoro G. De Contagione et Contagiosis Morbis et Eorum Curatione in. Theories of Causation; Dana Loomis and Steve Wings Oxford University Press. New York. 2001.
5Thomas C. James; Weber J. David. Epidemiology Methods for the Study of Infectious Diseases. Oxford University Press. New York. 2001
12
Sejalan dengan kemajuan di bidang teknologi
kedokteran, kuman (mikroorganisme) dianggap sebagai
penyebab tunggal penyakit (Robert Koch) yang dikenal sebagai
agen penyakit.
Agen penyakit menular yang bervariasi dari protein yang
bereplikasi sendiri (Prion), partikel sub virus (virusoid-delta
hepatitis agen), virus, bakteria (Chlamidia, Rickettsia, dan
Mycoplasma), fungi (ragi dan jamur), protozoa, cacing, dan
ektoparasit. Setiap agen penyakit tersebut memiliki cara dan
kemampuan untuk menginfeksi inang (host), berpindah ke
inang lainnya, dan menyebabkan penyakit. Hubungan antara
inang dan agen penyakit tersebut membentuk hubungan yang
simbiotik, komensal atau parasit, hubungan ini tergantung
kepada agen (agent), inang (host) dan lingkungan
(environment) yang dikenal teori triangle6. Terjadinya
penularan penyakit dapat terjadi karena 1) adanya inang yang
rentan, bahwa meskipun seseorang hidup dalam lingkungan
penuh mikroorganisme patogen namun tetap sehat karena
sudah adanya kekebalan, 2) adanya agen patogen yang
mampu menyebabkan sakit dan 3) mikroorganisme patogen
mempunyai reservoir sebagai tempat untuk bertahan hidup
dan menggandakan diri, reservoir dimaksud diantaranya
manusia, hewan dan lingkungan, serta 4) adanya jalan keluar
dari reservoir dan jalan masuk ke inang yang rentan7.
Penularan dapat terjadi dengan satu atau lebih cara
yaitu melalui kontak (contact), benda umum (common), udara
(air borne) atau vektor (vector borne). Penularan kontak dapat
terjadi secara langsung, tidak langsung maupun percikan
6 Jakson, M. General Priciples of Epidemiology in. Weber, J. David and Rutala A. William
Biological Basis on Infectious Disease Epidemiology; Oxford University Press. New York. 2001. 7 Op.Cit.,Thomas.
13
(droplet) yang jarak kurang 1 meter. Penularan benda umum
terjadi seperti melalui minuman, makanan, peralatan medis
termasuk transfusi. Penularan melalui udara terjadi dalam
jarak yang lebih jauh, sedangkan penularan melalui vektor
terjadi melalui hewan antropoda.
Namun demikian, kebanyakan jenis penyakit menular
belum diketahui dengan pasti model penularannya, padahal
pemahaman terhadap transmisi dari sumber infeksi ke inang
sangat penting dalam menentukan upaya pengendalian yang
diterapkan.
Menurut H.L. Blum status derajat kesehatan masyarakat
atau perorangan dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor yaitu
lingkungan, perilaku, layanan kesehatan dan keturunan. Hal
ini didukung dengan konsep manajemen penyakit berbasis
wilayah (Ahmadi, 2005) yang menyebutkan bahwa
keterpaduan intervensi dicerminkan dalam intervensi
program, baik upaya pencegahan promotif, preventif maupun
kuratif dan rehabilitatif menuju ke suatu fokus penyakit yang
menjadi fokus prioritas nasional maupun prioritas daerah8.
Dalam merumuskan fokus tersebut maka permasalahan
kesehatan dilihat dari hulu ke hilir, mulai dari sumber
penyakit, media lingkungan sebagai transmisi, simpul
kependudukan, kontak manusia dengan sumber penyakit dan
dampak kesehatan terhadap manusia yang dikenal dengan
teori simpul.
Penyebaran penyakit terutama penyakit potensial wabah
semakin cepat dan meluas seiring dengan tingginya arus lalu
8Umar Fahmi Achmadi. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penebit Buku Kompas
Jakarta Cetakan 1. 2005
14
lintas alat angkut, orang dan barang. Hal ini menuntut
adanya kewaspadaan yang perlu disikapi secara serius
karena dapat menimbulkan masalah kesehatan yang lebih
luas. Salah satu upaya yang diperlukan untuk
meminimalisasi penyebaran penyakit adalah dengan
melakukan tindakan karantina kesehatan.
Untuk itu diperlukan adanya dasar hukum atau
pengaturan yang memadai bagi instansi terkait untuk
melakukan tindakan karantina kesehatan, karena tindakan
karantina kesehatan bersifat multidisipliner dan
multisektoral.
Karantina kesehatan telah dilaksanakan sejak lama oleh
banyak negara, bahkan sejak zaman kerajaan Romawi. Hal
itu tercermin dari pengertian karantina yang didasarkan pada
peristiwa yang terjadi. Kata "karantina" berasal dari bahasa
latin "quadraginta" yang berarti empat puluh. Ini berasal dari
lamanya waktu yang diperlukan untuk menahan kapal laut
yang berasal dari negara tertular penyakit epidemis, seperti
pes, demam kuning, dimana awak kapal dan penumpangnya
dipaksa untuk tetap tinggal terisolasi di atas kapal yang
ditahan di lepas pantai selama empat puluh hari, yaitu
jangka waktu perkiraan timbulnya gejala penyakit yang
dicurigai (Morschel, 1971).
Definisi lain dari karantina adalah tempat dimana
sebuah alat angkut (kapal laut atau pesawat udara)
ditempatkan di pengisolasian atau pembatasan dalam
perjalanan untuk mencegah agar suatu penyakit menular,
serangga hama penyakit hewan dan lain-lain tidak menyebar.
Suatu keadaan dalam masa karantina adalah suatu tempat
dimana orang, binatang atau tanaman yang berpenyakit
15
menular diisolasi atau dalam keadaan tidak dapat melakukan
perjalanan.
Menurut International Health Regulations (IHR) 2005,
karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan
seseorang yang diduga terinfeksi penyakit meski belum
menunjukkan gejala penyakit dan pemisahan alat angkut
atau barang yang diduga terkontaminasi dari orang dan atau
barang lain sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan
penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dilaksanakan
di pintu masuk yang merupakan tempat masuk dan
keluarnya alat angkut, orang, serta barang, baik berbentuk
bandar udara, pelabuhan, maupun pos lintas batas darat
atau laut negara.
Di samping itu diperlukan pula kekarantinaan kesehatan
di wilayah mengingat potensi episenter pandemi berada di
wilayah, demikian pula potensi penyebaran penyakit juga
lebih besar di wilayah karena sebagian besar penduduk
terancam berada di wilayah. Penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan dilakukan dengan surveilans kesehatan dan
responnya dalam bentuk tindakan kekarantinaan kesehatan.
Surveilans kesehatan dalam rangka kekarantinaan
kesehatan merupakan suatu analisis yang dilakukan secara
terus menerus dan konsisten terhadap segala bentuk
ancaman terhadap kedaulatan negara melalui penyakit dan
faktor risikonya, kedaruratan nuklir, dan bentuk-bentuk teror
biologi dan kimia melalui pintu masuk dan wilayah, sebagai
bagian dari proses perlindungan terhadap masyarakat dan
kedaulatan negara.
Fokus kegiatan surveilans dilakukan terhadap alat
16
angkut, orang, barang dan lingkungan serta wilayah yang
terindikasi sebagai episenter pandemi.
Tindakan kekarantinaan kesehatan merupakan kegiatan
yang dilakukan dengan 1) tindakan isolasi terhadap orang
dan barang, 2) tindakan karantina terhadap orang, barang,
alat angkut dan lingkungan, 3) tindakan vaksinasi terhadap
orang dan barang, 4) tindakan deratisasi terhadap alat
angkut dan lingkungan 5) tindakan desinseksi terhadap alat
angkut, lingkungan dan media lingkungan 6) tindakan
desinfeksi terhadap orang, barang, alat angkut, dan media
lingkungan 7) tindakan dekontaminasi terhadap orang,
barang, alat angkut, dan media lingkungan dan 8) tindakan
kekarantinaan kesehatan lain berdasarkan situasi dan
kecenderungan epidemiologi.
Tindakan karantina merupakan bagian integral dari
penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan yang merupakan
upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya
penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang
berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Tindakan karantina tersebut bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari risiko penyebaran suatu penyakit menular,
sehingga tidak menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat di suatu wilayah negara bahkan yang
memungkinkan penyebaran lintas negara dan berpotensi
menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang
meresahkan dunia.
Tindakan karantina dilakukan dengan cara memisahkan
orang, barang, alat angkut yang terpapar dengan sumber
penularan dan patut diduga dan/atau tersangka (suspek).
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
17
Kesehatan, kesehatan adalah suatu keadaan sehat baik fisik,
mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Dengan perkembangan kondisi lingkungan dan semakin
beragamnya jenis-jenis penyakit yang harus ditangkal
menyebabkan tindakan karantina kesehatan diperluas
maknanya. Perluasan makna karantina kesehatan tidak
terbatas pada penyakit karantina tetapi sudah meluas pada
penyakit yang berpotensi menimbulkan kondisi Public Health
Emergency of International Concern (PHEIC). Di samping itu
perlakuan tindakan karantina pun tidak hanya terbatas pada
penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat yang ada di
pintu masuk tetapi juga di wilayah serta pos lintas batas
darat.
Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagai
upaya cegah tangkal masuk dan keluarnya penyakit dan
faktor risikonya dilakukan melalui :
a. Dari dalam negeri, diisyaratkan kemampuan utama
surveilans, deteksi dini dan respon cepat mulai dari
masyarakat sampai dengan tingkat nasional. Apabila
dijumpai penyakit atau kejadian yang berpotensi PHEIC
berdasarkan laporan dari masyarakat maka dilakukan
penyelidikan epidemiologis dan respon cepat mulai tingkat
puskesmas dan Kabupaten/Kota sampai tingkat pusat. Di
tingkat pusat melakukan verifikasi dan koordinasi dengan
Organisasi Kesehatan Dunia.
Di dalam proses respon cepat yang di atas dilakukan
karantina rumah, karantina wilayah, pembatasan sosial
berskala besar, serta isolasi bagi kasus dan karantina di
Rumah Sakit. Tindakan itu didukung juga dengan
18
tindakan di pintu keluar (bandar udara, pelabuhan,
PLBDN).
b. Dari luar negeri, diisyaratkan kemampuan utama
surveilans, deteksi dini dan respon cepat dimulai dari
pintu masuk (bandar udara, pelabuhan, PLBDN). Kegiatan
yang dilakukan adalah surveilans rutin terhadap alat
angkut, orang, barang dan lingkungan. Disamping
surveilans rutin, juga harus memperhatikan informasi
aktual tentang penyakit yang berpotensi PHEIC yang
sedang berkembang di dalam dan luar negeri. Jika
ditemukan indikasi, maka dilakukan suatu
respon/intervensi berupa tindakan kekarantinaan
kesehatan (tindakan karantina, tindakan isolasi, serta
tindakan penyehatan).
B. Kajian Terhadap Asas Yang Terkait Dengan Penyusunan
Norma
Tujuan dari kekarantinaan kesehatan sebagaimana
diuraikan di atas adalah untuk mencegah, melindungi dan
mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara dan lintas
wilayah tanpa menimbulkan gangguan yang berarti bagi lalu
lintas dan perdagangan internasional maupun nasional
dengan prinsip menghormati martabat, hak asasi dan
kebebasan hakiki manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut
maka dalam pembuatan naskah akademik ini memuat asas-
asas sebagai berikut:
1. Asas perikemanusiaan, berarti bahwa penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan harus dilandasi atas
perlindungan dan penghormatan pada nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab dan universal dengan tidak
19
membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, bangsa,
status sosial dan gender.
2. Asas manfaat, berarti bahwa penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan harus memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi perlindungan kepentingan
nasional dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
3. Asas pelindungan, berarti bahwa penyelenggaran
kekarantinaan kesehatan harus mampu melindungi
seluruh masyarakat dari penyakit yang berpotensi
menimbulkan kedaruratan kesehatan yang meresahkan
dunia.
4. Asas keadilan, berarti bahwa dalam penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan harus mampu memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang.
5. Asas non diskriminatif, berarti bahwa dalam
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan tidak
membedakan perlakuan atas dasar agama, suku, jenis
kelamin, dan status sosial yang berakibat pelanggaran
terhadap hak asasi manusia.
6. Asas kepentingan umum, berarti bahwa dalam
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus
mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan
pribadi atau golongan tertentu.
7. Asas keterpaduan, berarti bahwa dalam penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan dilakukan secara terpadu
melibatkan lintas sektor.
8. Asas kesadaran hukum, berarti bahwa dalam
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan menuntut
peran serta kesadaran dan kepatuhan hukum dari
masyarakat.
20
9. Asas kedaulatan negara, berarti bahwa dalam
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus
mengutamakan kepentingan nasional dan ikut
meningkatkan upaya pengendalian kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang
Ada serta Permasalahan Yang Dihadapi
Di Indonesia, praktik penyelenggaraan tindakan
karantina telah dilaksanakan sejak zaman Hindia Belanda
yang diatur dalam Staatsblad Nomor 277 tentang Quarantaine
Ordonnantie yang ditetapkan pada tanggal 6 April 1911
dengan pengaturan pengawasan penyakit pes, kolera dan
demam kuning. Selanjutnya ditetapkan pula staatsblad Nomor
298 pada tanggal 22 April 1911 tentang Epidemie Ordonantie
yang merupakan bagian dalam pelaksanaan staasblad No 277
tersebut di atas. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda
menetapkan Pilgrim Ordonnantie tahun 1922, yaitu dengan
dilaksanakannya “pengasingan” pada suatu tempat terhadap
calon Jemaah haji untuk memastikan bahwa kondisi
kesehatan para calon Jemaah haji yang akan berangkat ke
tanah suci bebas dari penyakit menular yang dapat berjangkit
selama perjalanan maupun di negara tujuan (Arab Saudi),
sehingga mengganggu kelangsungan ibadah haji.
Kegiatan ini dilakukan di beberapa tempat, yaitu di
Pulau Onrust di gugusan Kepulauan Seribu dan Pulau
Rubiah di Wilayah Sabang. Kekarantinaan pada zaman
Hindia Belanda diselenggarakan oleh Harbour Maaster.
Pada awal kemerdekaan, kekarantinaan tetap
dilaksanakan terhadap calon Jemaah haji sampai pada tahun
21
1953 WHO mengeluarkan International Sanitary Regulation
(ISR) guna mengantisipasi berbagai epidemi yang berlangsung
di negara-negara Eropa serta Benua Amerika dan Benua Asia,
seperti penyakit pes, influenza, malaria, kolera, dan cacar.
Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan secara
internasional terus berkembang sejalan dengan
perkembangan penyakit menular yang potensial
menimbulkan wabah. Dalam konvensi internasional yang
ditetapkan melalui ISR 1953, kekarantinaan difokuskan pada
upaya untuk mencegah dan menangkal (port of entry dan port
d’entry) melalui pintu masuk, yaitu pelabuhan dan bandar
udara, sehingga dalam kekarantinaan kesehatan dikenal
adanya penyakit karantina, yaitu kolera, pes, demam kuning,
demam balik-balik, tifus bercak wabahi dan cacar. Seperti
pada zaman Hindia Belanda, kekarantinaan di Indonesia
diselenggarakan oleh otoritas bandar udara dan pelabuhan.
Pada tahun 1962, Pemerintah Indonesia menetapkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina
Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara, yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Pelabuhan Laut dan Dinas Kesehatan Pelabuhan Udara.
Dinas Kesehatan Pelabuhan tersebut merupakan unsur
Departemen Kesehatan yang berada dan bertanggung jawab
di bawah Kantor Wilayah Kesehatan, dengan tugas utama
melaksanakan upaya cegah tangkal terhadap penyakit
karantina melalui pelabuhan dan bandar udara.
Sesuai perkembangan penyelenggaraan pemerintahan
dengan melakukan desentralisasi, organisasi Dinas
Kesehatan Pelabuhan Laut dan Udara disesuaikan menjadi
Kantor Kesehatan Pelabuhan yang merupakan unit pelaksana
22
teknis Departemen Kesehatan yang berada dan bertanggung
jawab di bawah Direktur Jenderal yang melaksanakan tugas
di bidang pemberantasan penyakit menular.
Praktik kekarantinaan kesehatan terus berkembang
dalam kerangka tugas QIC (quarantine, immigration, custom),
dengan melakukan upaya pengamatan penyakit menular,
penyehatan lingkungan, serta tindakan isolasi dan karantina
terhadap alat angkut, orang/pelaku perjalanan, dan barang.
Upaya pengamatan penyakit menular dilakukan dengan
penemuan kasus, pencegahan dengan pemberian vaksinasi
sebagai prasyarat untuk memperoleh sertifikat vaksinasi
internasional (ICV), dan melakukan pengawasan sanitasi
terhadap alat angkut untuk memperoleh dokumen sanitasi
kapal, serta pengawasan terhadap orang, barang, dan
lingkungan guna mencegah kemungkinan penyebaran atau
penularan penyakit di lingkungan pintu masuk.
Pada dekade awal tahun 2000, dunia dikejutkan dengan
munculnya jenis penyakit baru yang menimbulkan epidemi,
seperti SARS dan flu burung (H5N1), sehingga WHO
melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan
kesiapsiagaan di setiap negara anggota, termasuk dalam
pelaksanaan kekarantinaan. Selanjutnya, terjadi penyakit
baru lagi yang belum diketahui penyebabnya, seperti ILI
(influenza like illness) dan kejadian penyakit zoonosis yang
muncul kembali dan menyerang manusia.
Berdasarkan situasi dan kecenderungan epidemiologi
khususnya kejadian penyakit menular potensial wabah,
diperkirakan bahwa penyakit menular bersumber binatang
dan penyakit zoonosis lainnya akan semakin menjadi
ancaman kesehatan masyarakat. Indonesia sebagai negara di
23
wilayah tropis memiliki penyakit bersumber binatang
dan/atau penyakit zoonosis yang potensial sewaktu-waktu
menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. Penyakit
menular seperti pes, antrax, rabies, leptospirosis, japanese
enchepalitis telah lama endemis di Indonesia dan berkali-kali
menimbulkan kejadian luar biasa, bahkan terdapat penyakit
zoonosis yang dahulunya hanya menyerang primata telah
menyebrang ke manusia, seperti filariasis yang ditularkan
dengan perantaraan cacing mikrofilaria pahangi di
Kalimantan. Di beberapa perairan Indonesia tumbuh dan
berkembang sejenis ganggang merah yang pada musim-
musim tertentu dapat menjadi penyebab kematian terutama
pada nelayan yang mencari penghidupan di lautan.
Dengan kemajuan teknologi kesehatan, jenis binatang
tertentu seperti serangga, unggas, primata, dan binatang
peliharaan lainnya dapat direkayasa menjadi vektor dan
binatang pembawa penyakit yang potensial menimbulkan
kejadian luar biasa atau wabah.
Pada tahun 2005, Badan Pekerja WHO (WHA) telah
menyepakati konvensi berupa International Health Regulation
(IHR) 2005. Dalam konvensi ini, perhatian utama diarahkan
terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat yang
meresahkan dunia (KKMMD) yang merupakan akibat dari
wabah penyakit dan kejadian kesakitan atau kematian oleh
agen biologi, kimia, dan nuklir (Nubika). Perhatian juga
diarahkan terhadap kemungkinan terjadinya bioterorisme
yang dilakukan terhadap pihak-pihak tertentu, dengan tujuan
menimbulkan kekacauan, kepanikan, dan musibah massal.
Pada dasarnya praktik kekarantinaan kesehatan
dilaksanakan sesuai standar internasional yang ditetapkan
24
oleh WHO dengan kolaborasi IMO, ICAO, ILO, dan IATA,
meskipun secara organisasi setiap negara diberikan
kewenangan sesuai dengan hukum yang berlaku pada
masing-masing negara. Filosofi kekarantinaan kesehatan
pada dasarnya adalah melakukan pembatasan terhadap
pelaku perjalanan, alat angkut, dan barang, serta lingkungan
yang dicurigai berpotensi menjadi sumber penyebaran dan
penularan penyakit serta faktor risikonya dengan prinsip
minimal pembatasan dan maksimal perlindungan.
Dengan munculnya penyakit baru (new emerging
diseases) dan penyakit yang lama muncul kembali (re-
emerging diseases), baik di wilayah Indonesia maupun di luar
negeri, maka upaya kekarantinaan kesehatan semakin
ditingkatkan intensitasnya melalui akselerasi surveilans
kesehatan guna mengidentifikasi berbagai kemungkinan
penyebaran penyakit antarwilayah maupun antarnegara.
Untuk meningkatkan kemampuan dalam kekarantinaan
kesehatan dilakukan penataan organisasi, yaitu menetapkan
organisasi baru Kantor Kesehatan Pelabuhan, dengan fokus
tugas melakukan kekarantinaan dan surveilans kesehatan,
pengendalian risiko lingkungan, dan upaya kesehatan lintas
wilayah termasuk pelayanan kesehatan terbatas guna
mengidentifikasi potensi penyebaran penyakit menular.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia
berkewajiban melakukan upaya pencegahan terjadinya
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia
(Public Health Emergency of International Concern/PHEIC)
sebagaimana yang diamanatkan dalam International Health
Regulations (IHR) 2005. Dalam melaksanakan amanat ini
Indonesia harus melakukan pembaharuan secara
25
menyeluruh pengaturan kekarantinaan kesehatan agar
terdapat pengaturan secara terpadu dan sistematis. Beberapa
pokok-pokok permasalahan yang harus segera ditangani,
antara lain :
1. Penyesuaian dengan IHR 2005
Pengaturan dalam Undang-Undang Karantina yang
ada, masih didasarkan pada ISR tahun 1953, sementara
perkembangan ketentuan internasional yang berlaku
telah didasarkan pada IHR tahun 2005.
Akibatnya banyak istilah atau definisi dalam Undang-
Undang Karantina yang sudah tidak sesuai lagi dengan
ketentuan internasional yang berlaku saat ini.
Disamping itu dalam Undang-Undang Karantina belum
mengakomodir materi muatan yang berkaitan dengan
peningkatan core capacities di setiap pintu masuk dan
keluar sebagaimana yang telah dipersyaratkan oleh IHR
(2005). Core capacities tersebut meliputi adanya
surveilans rutin, surveilans respon cepat, serta
koordinasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan
karantina kesehatan.
Dalam IHR (2005) juga dicantumkan mengenai new
emerging diseases, emerging diseases dan re-emerging
diseases. Hal penting terhadap new emerging diseases
adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan
antisipasi terhadap sumber penyebab, penyebab dan
pola penyebarannya. Sedangkan re-emerging diseases
adalah kemampuan untuk melakukan analisis terhadap
kemungkinan terjadinya mutasi, resistensi dan pola
penyebarannya. Selain itu dalam IHR (2005) juga
mencantumkan ancaman kesehatan yang bersumber
26
dari kontaminasi nuklir, biologi, kimia (NUBIKA) yang
berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan masyarakat dunia
(PHEIC).
Pengamatan dan pengawasan terhadap obat,
makanan, kosmetika, alat kesehatan dan bahan adiktif
(OMKABA) juga merupakan bagian dari penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan. Sementara ketentuan tersebut
belum diatur secara spesifik dalam Undang-Undang
Karantina yang ada.
Dalam praktik kekarantinaan kesehatan, untuk
pengawasan OMKABA banyak negara mempersyaratkan
sertifikat kesehatan dikeluarkan oleh otoritas kesehatan
di pintu masuk negara (embarkasi), sebagai bentuk
legalisasi dalam proses keluar masuknya barang tersebut
antar negara.
Apabila negara tujuan meminta sertifikat kesehatan
untuk OMKABA maka otoritas karantina kesehatan
menerbitkan sertifikat kesehatan atau surat keterangan
kesehatan OMKABA.
Untuk itu perlu adanya perubahan penetapan
bukan hanya jenis penyakit karantina, tetapi juga
mencakup penyakit lama yang muncul kembali (re-
emerging diseases), new emerging diseases dan
pengaturan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya kondisi PHEIC, antara lain ancaman
kesehatan yang bersumber dari kontaminasi nuklir,
biologi, kimia (NUBIKA). Dalam Undang-Undang
Karantina Kesehatan juga harus mencantumkan
kewajiban adanya core capacities IHR 2005.
27
2. Praktik Kekarantinaan Kesehatan yang lebih
komprehensif
Pemerintah bertanggungjawab dalam pelaksanaan
Kekarantinaan Kesehatan di pintu masuk dan wilayah.
Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan tersebut
harus dilaksanakan secara terpadu dan sinergis. Namun
dalam praktiknya, penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan saat ini baru dilakukan di pintu masuk,
khususnya di pelabuhan dan bandar udara. Selain hal
tersebut, diperlukan pula pengaturan kekarantinaan
kesehatan di Pos Lintas Batas Darat Negara, zona
karantina dan kekarantinaan kesehatan wilayah.
a) Kekarantinaan Kesehatan Di Pos Lintas Batas
Darat Negara
Dalam ketentuan karantina yang berlaku saat
ini, kekarantinaan kesehatan hanya dilakukan di
pintu masuk dan keluar alat angkut, orang dan
barang, khususnya Pelabuhan dan Bandar udara.
Sementara perkembangan yang ada di pintu masuk
dan keluar, terjadi pula di pos lintas batas darat
negara yang berpotensi pula menjadi media
penyebaran penyakit menular. Pos lintas batas darat
negara seperti di pos lintas batas darat Indonesia
dengan Malaysia, Indonesia dengan Papua Nugini,
Indonesia dengan Timor Leste menjadi sarana lintas
batas orang dan barang yang cukup intensif. Hal ini
menuntut pula agar kekarantinaan kesehatan
diperluas pada wilayah dan pos lintas batas darat
negara.
28
Kondisi tersebut belum diatur dalam Undang-
Undang Karantina yang ada. Untuk itu diharapkan
pengaturan Undang-Undang Karantina Kesehatan
yang akan datang perlu dicantumkan ketentuan
mengenai kekarantinaan kesehatan di wilayah dan di
pos lintas batas darat negara.
b) Zona Karantina
Dalam praktiknya untuk melakukan tindakan
kekarantinaan kesehatan terhadap alat angkut dan
muatannya diperlukan adanya zona karantina, baik
di lingkungan pelabuhan maupun di bandar udara.
Undang-Undang Karantina yang ada, belum
mengatur keberadaan zona karantina, tetapi
pelaksanaan zona karantina didasarkan pada
pertimbangan epidemiologis.
Keberadaan zona karantina belum dapat
diimplementasikan secara optimal pada pintu masuk
dan keluar alat angkut beserta muatannya. Hal itu
akan menyulitkan penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan, apabila terjadi kasus penyebaran penyakit
yang memerlukan tindakan kekarantinaan
kesehatan.
Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya
pengaturan dalam Undang-Undang Karantina yang
akan datang mengenai penetapan zona karantina di
setiap pintu masuk dan keluar alat angkut, orang
dan barang. Dalam penetapan zona karantina baik di
pelabuhan, bandar udara, atau pos lintas batas darat
29
negara serta di wilayah ditentukan sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi wilayah yang bersangkutan.
c) Kekarantinaan Kesehatan di Wilayah
Pada akhir-akhir ini sering terjadi adanya
pandemi di suatu wilayah tertentu di Indonesia yang
dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat, misalnya ketika terjadinya pandemi
Avian Influenza (H5N1) dan Swine Flu (H1N1). Untuk
mencegah timbulnya penyebaran penyakit tersebut
salah satunya perlu dilakukan tindakan
kekarantinaan kesehatan pada wilayah yang
terjangkit.
Tindakan kekarantinaan kesehatan di wilayah
dilaksanakan terhadap wilayah yang ditemukan
kasus/sumber penularan penyakit potensial wabah
agar tidak terjadi penyebaran penyakit ke wilayah
lain.
Sementara itu belum ada pengaturan untuk
melakukan kekarantinaan kesehatan di wilayah yang
terjangkit pandemi. Terkait hal tersebut perlu adanya
ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan dan
mekanisme, penetapan tindakan kekarantinaan
kesehatan di wilayah, karena berhubungan dengan
otonomi daerah. Pengaturan tersebut harus mampu
mensinergi penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan antara Pusat dengan daerah.
3. Penegakan Hukum dalam Kekarantinaan Kesehatan
30
Sesuai prinsip dasar kekarantinaan kesehatan
adalah seminimal mungkin melakukan pembatasan dan
semaksimal mungkin memberikan perlindungan
terhadap orang yang diduga kontak dengan penderita
atau sumber penularan lainnya. Terhadap mereka yang
positif menderita penyakit dilakukan isolasi di rumah
sakit yang ditunjuk untuk dilakukan penanganan,
sedangkan terhadap suspek atau kontak dikenakan
tindakan karantina selama dua kali masa inkubasi
terpanjang dari penyakit yang diderita. Terhadap alat
angkut dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan
sesuai dengan faktor risikonya, seperti desinfeksi,
disinseksi, deratisasi, dan/atau dekontaminasi.
Dalam hal terjadi penyimpangan atau pelanggaran
terhadap pelaksanaan kekarantinaan kesehatan,
dilakukan tindakan hukum sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam praktiknya, pelanggaran terhadap
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sering terjadi,
seperti terjadinya penolakan tindakan kekarantinaan
kesehatan, pemalsuan dokumen, dan pelanggaran izin
kekarantinaan.
Keterbatasan dukungan peraturan perundang-
undangan dalam penindakan terhadap pelanggaran
kekarantinaan kesehatan, seperti sanksi pidana maupun
sanksi administrasi yang terlalu ringan, menyebabkan
berulangnya pelanggaran-pelanggaran dan tidak
menimbulkan efek jera. Kondisi ini jelas memberikan
dampak yang luas, seperti timbulnya penyebaran
penyakit di wilayah negara, terganggunya kegiatan
31
ekspor-impor, kepariwisataan, dan akhirnya mengancam
kondisi sosial, ekonomi, serta keamanan dan pertahanan
negara.
Sebagai gambaran, masuknya penyakit polio ke
wilayah Indonesia (Sukabumi) dari Afrika (Nigeria) pada
tahun 2005, negara harus menanggung beban untuk
melindungi seluruh bayi dan anak balita agar tidak
terserang penyakit polio dengan melakukan Pekan
Imunisasi Nasional yang menghabiskan dana lebih dari
satu trilyun Rupiah. Kejadian merebaknya MERS-CoV di
Arab Saudi berpengaruh terhadap penyelenggaraan
ibadah haji dan umrah karena setiap calon Jemaah perlu
memperoleh perlindungan maksimal, yang memerlukan
biaya negara yang besar.
Sebaliknya apabila terjadi ancaman penyakit dari
luar dan negara tidak melakukan tindakan untuk
antisipasi, maka dapat berakibat negara mendapat
peringatan (warning), seperti travel warning, penghentian
ekspor-impor, yang sangat merugikan kegiatan
pariwisata dan perdagangan yang jelas akan berdampak
negatif terhadap devisa negara.
Kondisi tersebut di atas belum dilindungi oleh
hukum yang mengatur terhadap kekarantinaan
kesehatan saat ini. Oleh karena itu, diperlukan payung
hukum dalam bentuk undang-undang untuk melakukan
pengaturan yang lebih komprehensif agar seluruh
komponen negara mampu melakukan deteksi dini dan
menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan serta
penanganan dampaknya secara lebih efektif dan efisien.
32
4. Kelembagaan
Kekarantinaan kesehatan secara praktik di
lapangan hanya dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis
Kementerian Kesehatan, yaitu Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP). Kewenangan KKP sebagai lembaga
yang melaksanakan penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan di pintu masuk sangat terbatas. Kondisi ini
juga diperberat oleh belum optimalnya koordinasi dan
komunikasi antar instansi dalam pelaksanaan tugas
QICP (quarantine, immigration, custom, port).
Sebagai gambaran, dalam peraturan perundang-
undangan dijelaskan bahwa alat angkut yang datang
dari luar negeri berada dalam status karantina karena
berpotensi menjadi sumber penyebaran dan penularan
penyakit serta faktor risikonya. Untuk itu, sesuai dengan
aturan internasional, jajaran kesehatan (KKP) yang
memiliki kewenangan untuk paling awal melakukan
pengawasan, pengamatan, dan pemeriksaan terhadap
alat angkut tersebut.
Namun dalam praktik di lapangan, seringkali aturan
ini tidak ditaati dan dilanggar sehingga dapat
membahayakan kesehatan masyarakat dan petugas yang
bersangkutan. Pada akhirnya kondisi tersebut dapat
berpotensi terjadinya penyebaran penyakit yang lebih
luas di wilayah negara melalui pintu masuk. Salah satu
penyebab tidak berjalannya koordinasi pada tugas QICP
karena KKP hanya merupakan unit pelaksana teknis
yang sangat terbatas kewenangannya.
Mengingat dalam pelaksanaan tugas QICP di pintu
masuk dilaksanakan oleh jajaran Kementerian terkait
33
(unsur pusat), maka perlu dikaji organisasi kelembagaan
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang ada
pada saat ini. Organisasi penyelenggara kekarantinaan
kesehatan agar lebih efektif dan efisien, perlu
dipertimbangkan sebagai berikut.
a. Di pintu masuk (pelabuhan, Bandar udara, dan
PLBDN), kekarantinaan kesehatan dilakukan oleh
organisasi pusat di wilayah sebagai unsur perwakilan
pusat dalam bentuk Kantor Wilayah.
b. Di pusat sebagai unit utama Kementerian Kesehatan
dalam bentuk Direktorat Jenderal untuk menyusun
kebijakan teknis, NSPK, serta pengendalian dan
pengawasan pelaksanaan kekarantinaan kesehatan.
5. Kondisi Sumber Daya
KKP di seluruh Indonesia saat ini berjumlah 49 unit
kerja, yang memiliki 304 wilayah kerja. Jumlah personel
tercatat sebanyak 2.616 orang. Setiap KKP sesuai
dengan klasifikasi dan beban kerjanya dilengkapi dengan
sarana dan prasarana berupa gedung dan bangunan,
sarana operasional, dan sarana pendukung lainnya
untuk kelancaran tugas kekarantinaan kesehatan.
Dibandingkan dengan beban tugas yang diemban, maka
kondisi sumber daya yang tersedia saat ini masih
minimal. Sebagai gambaran, sumber daya manusia
teknis sesuai dengan analisis beban kerja masih
memerlukan kurang lebih 500 tenaga teknis fungsional,
seperti dokter, perawat kesehatan masyarakat,
epidemiolog kesehatan, sanitarian, dan entomolog
kesehatan.
34
Sumber pembiayaan dalam penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan berasal dari APBN Kementerian
Kesehatan dalam jumlah yang belum optimal,
khususnya guna mendukung operasional di lapangan.
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru
Dengan berlakunya Undang-Undang Kekarantinaan
Kesehatan akan melahirkan implikasi baik yang bersifat
negatif ataupun positif dalam penerapannya.
Implikasi tersebut memerlukan antisipasi dari pihak-
pihak yang akan terkena dampak dari penerapan suatu
Undang-Undang yang meliputi:
1. Sosial
Dengan adanya perubahan Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan, terutama dengan penetapan
wilayah dalam status karantina, maka setiap aktivitas
dan mobilitas warga menjadi terganggu. Oleh karena itu
diperlukan adanya penyuluhan secara intensif agar
warga mengetahui manfaat dan tujuan dari penetapan
wilayah dalam status karantina. Di samping itu
penetapan wilayah dalam status karantina harus
bekerjasama dan berkoordinasi dengan pemerintah
daerah setempat.
Adanya kemungkinan komplain dari pemilik
angkutan dan pengguna jasa berkaitan dengan adanya
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang lebih
ketat atau pembatasan tempat pemasukan dan
pengeluaran barang, maka perlu adanya suatu
mekanisme yang dapat diterima oleh semua pihak
dengan prinsip penyelenggaraan kekarantinaan
35
kesehatan tidak mengganggu arus perjalanan dan
perdagangan.
2. Beban Keuangan Negara
Pada dasarnya kekarantinaan kesehatan
merupakan upaya perlindungan terhadap kedaulatan
negara, khususnya di bidang kesehatan agar tidak
berdampak negatif terhadap perekonomian, kehidupan
sosial, serta keamanan dan pertahanan negara.
Kekarantinaan kesehatan memerlukan dukungan
anggaran negara, namun dibanding dengan dampak
yang ditimbulkan, maka kekarantinaan kesehatan lebih
besar manfaatnya dibanding dengan biaya yang
dikeluarkan. Sebagai gambaran, untuk melakukan
tindakan karantina membutuhkan biaya perawatan dan
pengobatan. Namun apabila tindakan karantina tidak
dilaksanakan dapat menimbulkan kedaruratan
kesehatan masyarakat yang akan berdampak luas di
masyarakat.
3. Kelembagaan
Untuk mewujudkan adanya penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan yang efektif dan efisien, perlu
dilakukan penataan organisasi sebagai penyelenggara di
wilayah, pintu masuk, maupun di pusat, yang menjadi
organ Kementerian Kesehatan mengingat kekarantinaan
kesehatan merupakan urusan antar negara yang
menjadi kewenangan pusat sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, terjadi
keseimbangan dalam eselonisasi maupun dalam tugas
36
dan kewenangan pada penyelenggaraan QICP sehingga
pejabat karantina kesehatan dapat menjalankan tugas
sesuai dengan kewenangan yang memadai.
4. Penyediaan Sarana dan Prasarana
Dengan pemberlakuan Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan akan diwajibkan bagi
Pemerintah atau pengelola pelabuhan, bandar udara dan
pos lintas batas darat negara untuk menyediakan ruang
karantina bagi kontak dengan suspek penyakit PHEIC,
ambulans khusus untuk proses evakuasi serta peralatan
yang dapat digunakan untuk deteksi dini terhadap
PHEIC secara cepat (rapid test). Saat ini sebagian KKP
telah memiliki ruang karantina, namun idealnya seluruh
KKP seharusnya wajib memiliki ruang karantina dan
kapasitas pendukung lainnya.
5. Hukum
Dengan pemberlakuan Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan perlu dilakukan pencabutan
terhadap ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
kekarantinaan kesehatan, baik Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1962 tentang Karantina Laut maupun Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
Selanjutnya, untuk melaksanakan operasional di
lapangan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
pelaksanaan, berupa Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif dan kriteria pelaksanaan kekarantinaan
kesehatan di wilayah, Peraturan Menteri yang berkaitan
37
dengan teknis penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan, dan SOP teknis kekarantinaan kesehatan di
pintu masuk dan di wilayah sebagai panduan bagi
pejabat kekarantinaan kesehatan.
38
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. Evaluasi Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1962 tentang Karantina Udara
Dilihat dari segi materi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1962 tentang Karantina Udara, sudah tidak sesuai
dengan perkembangan teknologi tansportasi, transisi
epidemiologi, perubahan iklim global, tata hubungan
internasional maupun nasional, tata pemerintahan, dan
kondisi lingkungan hidup, sehingga banyak tindakan-
tindakan yang sebenarnya merupakan lingkup kekarantinaan
kesehatan belum dapat diakomodasi.
Secara umum kedua undang-undang tersebut mengatur
jenis penyakit yang memerlukan tindakan karantina;
penetapan dan pencabutan terjangkitnya suatu
pelabuhan/bandar udara dari penyakit karantina;
penggolongan kapal/pesawat sehat, tersangka atau terjangkit;
penggolongan pelabuhan/bandar udara dalam karantina;
pengawasan dan penerbitan dokumen kesehatan alat angkut
dan orang; tata cara dan tindakan karantina pada saat
kedatangan dan keberangkatan pada alat angkut berserta
muatannya; tindakan khusus terhadap penyakit karantina;
penegakan hukum atau ketentuan pidana; dan peraturan
tambahan.
39
Jenis penyakit yang termasuk dalam penyakit karantina
yang ditetapkan dalam kedua undang-undang tersebut
meliputi Pes, Kolera, Demam Kuning, Cacar, Tifus bercak
wabahi dan Demam balik-balik. Dalam kenyataannya
penyakit-penyakit tersebut sudah kurang relevan karena
beberapa alasan yaitu:
1. Penyakit cacar sudah dinyatakan musnah (berhasil
dieradikasi di Indonesia sejak tahun 1974);
2. Saat ini IHR 2005 telah diberlakukan terhitung mulai 15
Juni 2007 dan telah berkembang lebih luas, di mana
tidak hanya mencakup penyakit karantina tetapi juga
mencakup PHEIC;
3. Saat ini di dunia sudah banyak muncul penyakit baru
seperti SARS dan Avian Influenza yang sangat potensial
untuk menyebar ke seluruh dunia.
Penetapan dan pencabutan penetapan terjangkitnya
suatu pelabuhan/bandar udara dari penyakit karantina
dilakukan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan pertimbangan
epidemiologis dan pengujian laboratorium atau selama 2 (dua)
masa inkubasi suatu penyakit karantina. Ketentuan ini
masih relevan dengan kondisi saat ini, sehingga masih layak
dipertahankan.
Penggolongan kapal/pesawat sehat, tersangka, atau
terjangkit dimaksudkan untuk menentukan tindakan
karantina terhadap orang dan barang. Penggolongan
pelabuhan/bandar udara karantina dimaksudkan untuk
menentukan klasifikasi pelabuhan/bandar udara yang
mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan tindakan
karantina.
40
Ketentuan ini masih layak dipertahankan, namun perlu
pengaturan mengenai siapa yang berwenang menetapkan
penggolongan kapal/pesawat dan penggolongan
pelabuhan/bandar udara.
Setiap kapal/pesawat wajib memiliki dokumen
kesehatan sebagaimana juga diharuskan oleh IHR 2005 dan
ketentuan internasional lainnya, oleh sebab itu di dalam
kedua undang-undang tersebut diatur bagaimana penerbitan
dokumen kesehatan alat angkut dan orang. Ketentuan ini
masih layak dipertahankan, namun beberapa istilah dan
bentuk dokumen kesehatan menurut ketentuan
internasional mengalami perubahan, oleh sebab itu dalam
ketentuan baru perlu penyesuaian.
Setiap kapal/pesawat yang datang dari luar negeri dan
atau dari suatu pelabuhan dalam negeri yang terjangkit
penyakit karantina berada dalam karantina, dimana
nahkoda/pilot dilarang menaikan atau menurunkan orang
dan barang sebelum memperoleh surat izin bebas karantina,
dan kapal tersebut bebas karantina setelah diberikan surat
izin karantina. Setiap kapal/pesawat yang akan berangkat
harus dilakukan pemeriksaan dokumen kesehatan,
pemeriksaan kesehatan awak/personal penerbang dan
penumpang serta pemeriksaan faktor risiko kesehatan
masyarakat. Setelah dinyatakan sehat oleh petugas
kesehatan, baru diberikan surat persetujuan
berlayar/terbang karantina kesehatan. Ketentuan ini masih
layak dipertahankan, namun perlu dipertimbangkan untuk
kapal/pesawat yang datang dari pelabuhan/bandar udara
dalam negeri.
41
Terhadap kapal/pesawat yang penumpangnya
mengalami penyakit karantina harus dilakukan tindakan
khusus karantina atau penanganan terhadap alat angkut
beserta muatannya sesuai jenis penyakit karantina.
Ketentuan ini masih perlu dipertahankan, karena masih
sesuai dengan tata laksana kasus penyakit.
Pelanggaran terhadap kedua undang-undang tersebut
dikenakan sanksi pidana kurungan 1 (satu) tahun penjara
dan/atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp.75.000,-.
Ketentuan mengenai sanksi ini sudah tidak relevan karena
tidak menimbulkan efek jera, oleh sebab itu perlu
disesuaikan dengan kondisi saat ini. Untuk lebih operasional
kedua undang-undang karantina memerintahkan pengaturan
lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah, akan tetapi
sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah dimaksud.
Dari sisi maksud dan tujuan dilakukannya tindakan-
tindakan karantina, yakni menolak dan mencegah masuk dan
keluarnya penyakit karantina melalui sarana transportasi
laut maupun udara, kedua undang-undang tersebut masih
relevan. Namun dalam tataran implementasi sangat sulit
dilaksanakan, karena perkembangan teknologi tranportasi,
meningkatnya mobilitas orang dan barang, transisi
epidemiologi, tata hubungan internasional maupun nasional,
tata pemerintahan, serta kondisi lingkungan hidup, maka
kedua undang-undang ini perlu diganti dan disesuaikan
dengan kondisi saat ini.
42
B. Sinkronisasi dan Harmonisasi Ketentuan Internasional
dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan
Kekarantinaan Kesehatan
1. IHR 2005
Pada IHR 1969 penyakit yang diatur hanya 6
penyakit karantina (Pes, Kolera, Demam Kuning, Cacar,
Tifus bercak wabahi dan Demam balik-balik,) dan
diutamakan pada pintu masuk (pelabuhan, bandar
udara dan lintas batas negara). Setelah itu ditetapkan
IHR 2005 yang sudah mencakup seluruh penyebab
kejadian yang menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan dunia (PHEIC) dan
memerlukan respon internasional yang terkoordinasi.
Dengan telah ditetapkannya IHR 2005, banyak hal
di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1962 tentang Karantina Udara menjadi tidak relevan lagi,
seperti istilah penyakit karantina, jenis dokumen
kesehatan dan core capacities. Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat dunia juga harus ikut menyesuaikan
dengan perubahan yang terjadi pada IHR. Beberapa
perkembangan yang harus diakomodasi dalam IHR 2005
tersebut seperti perubahan orientasi dari beberapa
penyakit karantina menjadi PHEIC dan adanya
penetapan National Focal Point. Untuk menghindari
sanksi dikucilkannya Indonesia dari pergaulan
internasional, maka diperlukan beberapa penyesuaian
produk hukum termasuk Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-
43
Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
Hal-hal yang perlu diakomodasi di dalam ketentuan
karantina yang baru antara lain:
a. Perubahan dokumen kesehatan, antara lain yang
semula sertifikat hapus tikus (Deratting
Certificate/DC)/sertifikat bebas hapus tikus (Deratting
Exemption Certificate/DEC) menjadi sertifikat tindakan
sanitasi kapal (Ship Sanitation Control
Certificate/SSCC)/sertifikat bebas tindakan sanitasi
kapal (Ship Sanitation Control Exemption
Certificate/SSCEC).
b. Core capacities yang meliputi komunikasi-koordinasi,
pengawasan rutin dan respon PHEIC.
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan istilah karantina terdapat di bab X
mengenai penyakit menular dan tidak menular, Pasal
154 dan Pasal 155, mengatur bahwa Pemerintah dan
pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang
memerlukan karantina, tempat karantina dan lama
karantina. Pemerintah daerah dalam menetapkan dan
mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan
jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat
karantina dan lama karantina secara berkala.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2
44
Tahun 1962 tentang Karantina Udara, jenis penyakit
yang memerlukan tindakan karantina secara langsung
ditentukan dalam Undang-Undang tersebut, akan tetapi
dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, penetapan jenis penyakit yang memerlukan
tindakan karantina didelegasikan kepada Pemerintah
dan pemerintah daerah. Penetapan tersebut harus
diumumkan dan dilakukan secara berkala. Konsekuensi
dari pengaturan ini, maka ketentuan mengenai
penetapan jenis penyakit yang ada di dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara perlu dilakukan penyesuaian.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Bab I,
Pasal 1 yang dimaksud wabah adalah kejadian
berjangkitnya status penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara
nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu
dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan petaka.
Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular dalam Bab I, Pasal 1 (7) Kejadian Luar Biasa
(KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis
pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan
merupakan keadaan yang dapat menjurus pada
terjadinya wabah.
45
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Bab V
Pasal 5 ayat 1 tentang Upaya penanggulangan Wabah
meliputi:
a. Penyelidikan epidemiologi;
b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi
penderita termasuk karantina;
c. Pencegahan dan pengebalan;
d. Pemusnahan penyebab penyakit;
e. Penanganan jenazah akibat wabah;
f. Penyuluhan kepada masyarakat;
g. Upaya penanggulangan lainya.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1991, Pasal 20 disebutkan bahwa upaya
penanggulangan KLB diperlakukan sama dengan upaya
penanggulangan wabah.
Upaya karantina dilakukan bila ada ancaman
kemungkinan penyebaran penyakit tersebut ke daerah
lain. Bahkan sangat dimungkinkan diilakukan karantina
wilayah bagi suatu daerah apabila memang dianggap
perlu. Upaya ini dilakukan untuk mencegah keluar
masuknya penyakit dari atau ke suatu daerah.
4. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang
Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang
Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan mengatur
karantina sebagai upaya pencegahan masuk dan
tersebarnya hama dan penyakit hewan, ikan dan
tumbuhan.
46
Dalam teori dinamika penyakit hewan, ikan dan
tumbuhan yang mengandung bahan berbahaya
termasuk bibit penyakit adalah merupakan faktor risiko
terjadinya masalah kesehatan bagi manusia, sehingga
pengaturan karantina hewan, ikan dan tumbuhan juga
harus memperhatikan aspek kesehatan manusia.
Dengan demikian pada implementasi dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara serta Undang-Undang Nomor 16 Tahun
1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
yang sebenarnya ada kemiripan dan saling
berhubungan, sehingga diperlukan koordinasi yang
berkesinambungan dari instansi yang menangani
kekarantinaan, baik dari Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pertanian, maupun Kementerian Kelautan
dan Perikanan.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992,
pemeriksaan terhadap dokumen dan media pembawa
penyakit hewan yang ada di atas kapal harus dilakukan
pada setiap kapal yang akan berlabuh. Tindakan
penolakan terhadap kapal baru dapat dilakukan apabila:
1) Setelah dilakukan pemeriksaan diatas alat angkut,
tertular hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina atau tidak bebas dari
organisme pengganggu tumbuhan karantina tertentu
yang ditetapkan oleh Pemerintah, atau busuk, atau
rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang
pemasukannya;
2) Persyaratan: a) dilengkapi sertifikat kesehatan dan
47
dari negara/area asal; b) melalui tempat-tempat
pemasukan yang telah ditetapkan; c) dilaporkan dan
serahkan kepada petugas karantina di tempat-tempat
pemasukan untuk keperluan tindakan karantina;
tidak seluruhnya dipenuhi;
3) Setelah dilakukan penahanan pasca pemeriksaan
dokumen, keseluruhan persyaratan yang harus
dilengkapi dalam batas waktu yang ditetapkan tidak
dapat dipenuhi; atau
4) Setelah diberi perlakuan diatas alat angkut, tidak
dapat disembuhkan dan/atau disucihamakan dari
hama dan penyakit hewan karantina.
Jadi secara kesisteman, “penolakan dari karantina
hewan" merupakan salah satu subsistem dari sistim
kesehatan hewan yang diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1992. Saat ini penyakit hewan dapat
mempengaruhi kesehatan manusia, oleh karena itu
tindakan karantina terhadap hewan, ikan dan tumbuhan
berkorelasi positif dengan karantina kesehatan.
5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian.
Keimigrasian merupakan hal ihwal lalu lintas orang
yang masuk atau ke luar wilayah Indonesia serta
pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya
kedaulatan negara. Dari pengertian tersebut dapat
dimaknai tegaknya kedaulatan dari aspek perlindungan
kesehatan masyarakat.
Dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f, menyatakan pejabat
imigrasi menolak orang asing masuk wilayah Indonesia
48
dalam hal orang asing tersebut menderita penyakit
menular yang membahayakan kesehatan umum.
Kemudian dalam Pasal 13 ayat (2) disebutkan orang
asing yang ditolak masuk, ditempatkan dalam
pengawasan sementara menunggu proses pemulangan
yang bersangkutan.
Dalam Pasal 42 huruf f, disebutkan bahwa
permohonan visa ditolak dalam hal pemohon menderita
penyakit menular, gangguan jiwa, atau hal lain yang
dapat membahayakan kesehatan atau ketertiban umum.
Pengaturan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara
yang mewajibkan setiap orang untuk diisolasi dan
dirawat di rumah sakit bila menderita penyakit
karantina.
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran
Dilihat dari tujuan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran, disamping memperlancar
arus perpindahan orang dan/atau barang melalui
perairan dengan mengutamakan dan melindungi
angkutan di perairan dalam rangka memperlancar
perekonomian nasional, juga menjunjung kedaulatan
negara. Undang-Undang ini mengatur jenis angkutan
perairan dan angkutan laut, perizinan, kewajiban dan
tanggung jawab pengangkut, tata kepelabuhanan,
keselamatan dan keamanan pelayaran, kelaiklautan
49
kapal, kenavigasian, syahbandar, perlindungan
lingkungan maritim, dan lain-lain.
Pada bab kepelabuhanan Pasal 79 dan Pasal 80
disebutkan bahwa kegiatan pemerintahan di pelabuhan
diselenggarakan secara terpadu dan terkoordinasi, yang
meliputi kegiatan :
a. pengaturan dan pembinaan, pengawasan kegiatan
kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan
pelayaran dan/atau
b. kepabeanan;
c. keimigrasian;
d. kekarantinaan.
Pada pasal 117, disebutkan keselamatan dan
keamanan angkutan perairan yaitu kondisi terpenuhinya
persyaratan kelaiklautan kapal, yang meliputi antara lain
kesejahteraan dan kesehatan awak penumpang.
Pemenuhan tersebut dibuktikan dengan sertifikat atau
surat kapal, yang dalam pengertian undang-undang
karantina laut dan udara berupa dokumen kesehatan.
Pada pasal 127, sertifikat kapal tidak berlaku
apabila antara lain masa berlaku sudah berakhir, kapal
berubah nama, kapal berganti bendera. Sertifikat
dibatalkan apabila keterangan dalam dokumen kapal
yang digunakan untuk menerbitkan sertifikat ternyata
tidak sesuai dengan yang sebenarnya dan sertifikat
diperoleh secara tidak sah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dalam rangka
cegah tangkal penyakit karantina sudah sejalan dan
50
mendapat dukungan dari ketentuan Undang-Undang
Pelayaran.
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan memiliki kemiripan dalam substansi
pengaturannya dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pada pasal 226
mengatur kegiatan pemerintahan di bandar udara
meliputi:
a. pembinaan kegiatan penerbangan;
b. kepabeanan;
c. keimigrasian; dan
d. kekarantinaan.
Fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini juga
sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
Pada pasal 10B, disebutkan barang impor yang
dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, atau
pelintas batas ke dalam daerah pabean pada saat
kedatangannya wajib diberitahukan kepada pejabat bea
dan cukai. Pada pasal 11A, disebutkan barang yang
51
akan diekspor wajib diberitahukan dengan
pemberitahuan pabean.
Kemudian dalam pasal 53 ayat (1) disebutkan:
untuk kepentingan pengawasan untuk kepentingan
larangan dan pembatasan, instansi teknis yang
menetapkan peraturan larangan dan/atau pembatasan
atas impor atau ekspor wajib memberitahukan kepada
Menteri. Pada pasal 53 ayat (3) disebutkan: semua
barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi
syarat untuk diimpor atau diekspor, jika telah
diberitahukan dengan pemberitahuan pabean atas
permintaan importir atau eksportir; dibatalkan
ekspornya; diekspor kembali; atau dimusnahkan
dibawah pengawasan pejabat bea dan cukai kecuali
terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan terhadap barang impor atau ekspor
yang mempunyai potensi risiko kesehatan masyarakat
seperti terkontaminasi virus, bakteri dan NUBIKA, dapat
dilakukan melalui pemusnahan guna mencegah
penyebaran atau penularan. Hal ini sejalan dengan
prinsip dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
9. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji
Dalam pasal 6 disebutkan pemerintah berkewajiban
melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan
dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan
ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan
52
kesehatan, keamanan dan hal-hal lain yang diperlukan
oleh jemaah haji.
Pada bab VIII tentang kesehatan, pasal 31
disebutkan pembinaan dan pelayanan kesehatan ibadah
haji baik pada saat persiapan maupun pelaksanaan
penyelenggaraan ibadah haji dilakukan oleh Menteri
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
kesehatan. Terkait dengan penyelenggaraan cegah
tangkal penyakit, Arab Saudi merupakan daerah tempat
berkumpulnya umat muslim seluruh dunia sehingga
berpotensi menimbulkan berbagai penyakit menular,
maka diwajibkan vaksinasi dan diberikan sertifikat ICV
(international certificate of vaccination or prophylaxis) bagi
setiap calon jemaah haji/umroh. Hal ini masih sejalan
dengan tujuan karantina kesehatan yaitu dalam rangka
cegah tangkal penyakit.
53
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis pembentukan undang-undang
kekarantinaan kesehatan adalah:
1. Sesuai dengan tugas konstitusional Pemerintah Negara
Republik Indonesia yang termaktub dalam Alinea Kedua
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 yaitu “….. melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial …”, yang dalam konteks
kekarantinaan kesehatan pada hakikatnya adalah
melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya penyakit
menular dan bahaya faktor risiko kesehatan lainnya.
Disamping itu berarti pula negara menjalankan tugas ikut
melaksanakan ketertiban dunia dengan cara menjalankan
segala kewajiban negara sebagaimana diamanatkan dalam
IHR.
2. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu
unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 menjamin “setiap orang berhak
54
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal ini dapat
diwujudkan dengan melaksanakan berbagai upaya
kesehatan baik preventif, promotif, kuratif maupun
rehabilitatif yang diarahkan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
4. Universal Declaration of Bioethics and Human Rights
memutuskan bahwa perlu dan sudah waktunya bangsa
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional
untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
yang merupakan prinsip-prinsip universal. Hal ini lebih
mengemuka setelah terjadinya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang justru mengakibatkan
penderitaan umat manusia akibat pelaku-pelaku yang
tidak memahami masalah bioetika dan hak azasi
manusia. Kemajuan ilmu dan teknologi dapat
disalahgunakan untuk menyebarkan virus, kuman,
NUBIKA yang akan mengganggu kedamaian hidup antar
manusia melalui perang, bioterorisme, penyalahgunaan
kekuasaan, perdagangan yang tidak etis (komersialisasi)
antar negara, antar pulau dan antar wilayah yang pada
gilirannya dapat membahayakan kesehatan manusia
melalui penularan di tempat-tempat yang strategis. Hal ini
memunculkan adanya kewajiban suatu negara untuk
melindungi rakyat dan bangsanya.
55
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis pembentukan undang-undang
kekarantinaan kesehatan adalah:
1. Kuman dan virus maupun mikroorganisme lainnya secara
alami mengalami perubahan yang cepat seiring dengan
perubahan iklim, teknologi dan lingkungan, sehingga
menimbulkan penyakit baru dan atau penyakit lama yang
muncul kembali dengan kemampuan penyebaran yang
lebih besar. Dengan demikian upaya pengendalian/
pemberantasannya makin sulit karena harus makin
komprehensif dan membutuhkan biaya yang besar
mengingat ruang lingkup sangat luas baik geografis,
waktu, maupun orang/masyarakat. Hal ini dapat
dikategorikan sebagai bencana nasional bahkan
internasional.
2. Di era perdagangan bebas dan kemajuan teknologi
transportasi, akan menyebabkan pergeseran epidemiologi
penyakit. Hal ini ditandai dengan penyebaran kejadian
penyakit dari satu benua ke benua lainnya, melalui
mobilitas orang dan barang yang membawa atau
terkontaminasi bibit penyakit dan faktor risiko kesehatan.
Disamping itu perubahan kuman dan virus baik secara
alami maupun secara rekayasa teknologi menimbulkan
risiko kesehatan secara global. Antisipasi risiko ini telah
diatur dalam IHR 2005 yang bertujuan mencegah,
melindungi dan mengendalikan penyebaran penyakit
lintas negara, yang bila Indonesia tidak melaksanakannya
akan dikucilkan dari pergaulan internasional.
56
3. Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki
banyak pelabuhan laut, udara dan pos lintas batas darat
yang potensial dalam penyebaran penyakit menular serta
masuk keluarnya faktor risiko kesehatan termasuk
bahaya NUBIKA yang semuanya dapat berpotensi PHEIC.
4. Kekarantinaan Kesehatan pada hakekatnya bertujuan
untuk melakukan cegah tangkal melalui seminimal
mungkin melakukan pembatasan dan semaksimal
mungkin memberikan perlindungan. Di dalam
kekarantinaan kesehatan terdapat tindakan karantina
yang merupakan tindakan penahanan (pembatasan gerak)
orang yang apabila tidak dilandasi dengan kejelasan
kewenangan terhadap pelaksanaannya dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Untuk itu negara
memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara
kepentingan menjaga kesehatan masyarakat dengan
kepentingan penghormatan terhadap HAM. Berkaitan
dengan kewajiban negara tersebut maka perlu adanya
peraturan perundang-undangan tentang Kekarantinaan
Kesehatan yang bertujuan untuk melindungi kesehatan
masyarakat sebagai penyandang HAM.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis pembentukan undang-undang
kekarantinaan kesehatan adalah :
1. Dalam IHR 2005 disebutkan bahwa seluruh negara
anggota Organisasi Kesehatan Dunia harus mampu
mendeteksi dan merespon secara dini seluruh kejadian
yang berpotensi PHEIC.
57
Salah satu upaya merespon secara dini adalah dengan
melaksanakan tindakan kekarantinaan kesehatan di
pintu masuk dan di wilayah. Sebagai negara anggota
Organisasi Kesehatan Dunia, Indonesia menerima dan
melaksanakan IHR 2005 sejak tanggal 15 Juni 2007.
2. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina
Laut, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan penyakit dan teknologi, karena belum
mengakomodir penanggulangan PHEIC dan belum
mengatur secara tegas tentang kekarantinaan kesehatan,
sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina
Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara juga harus menyesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan lain misalkan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang
mengatur kewajiban pemerintah menyelenggarakan upaya
kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular dan Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang
Penanggulangan Wabah Penyakit Menular yang mengatur
penyakit menular yang potensial wabah dan upaya
penanggulangannya termasuk diantaranya tindakan
karantina serta peraturan perundang-undangan lainnya
yang terkait dengan kekarantinaan kesehatan.
58
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A. Sasaran
Penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1962 tentang Karantina Udara yang ditetapkan dengan
mempertimbangkan pemberlakuan ISR 1958. Oleh karena
ISR 1958 telah berubah beberapa kali dan terakhir
diberlakukan IHR 2005 pada 15 Juni 2007, maka sebagai
anggota Badan Kesehatan Dunia (WHO), Pemerintah
Indonesia memandang perlu melakukan penggantian
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
kekarantinaan kesehatan dalam rangka melindungi
masyarakat dan kedaulatan negara agar Indonesia mampu
melaksanakan cegah tangkal penyakit menular potensial
wabah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dengan demikian Indonesia telah ikut memelihara dan
menjaga agar tidak timbul kedaruratan kesehatan
masyarakat di dalam negeri dan potensi timbulnya
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia
(PHEIC). Pembentukan Undang-Undang tentang
Kekarantinaan Kesehatan yang baru ini diselaraskan dengan
berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait.
B. Arah dan Jangkauan Pengaturan
Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962
tentang Karantina Udara hanya mengatur tindakan karantina
59
kesehatan di pintu masuk, yaitu di pelabuhan dan bandar
udara, terhadap penyakit karantina. Selaras dengan amanat
IHR 2005, maka substansi yang dimuat dalam naskah
akademik RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur
pula kekarantinaan kesehatan di wilayah dan pos lintas batas
darat negara, di samping kekarantinaan kesehatan di
pelabuhan dan bandar udara.
C. Ruang Lingkup Materi Muatan
1. Ketentuan Umum
1) Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah
dan menangkal keluar atau masuknya penyakit
dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang
berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat.
2) Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian
kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa
dengan ditandai penyebaran penyakit menular
dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi
nuklir, pencemaran biologi, dan kontaminasi kimia
(NUBIKA), dan pangan yang menimbulkan bahaya
kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah
atau lintas negara.
3) Pintu Masuk adalah tempat masuk dan keluarnya
alat angkut, orang, serta barang, baik berbentuk
bandar udara, pelabuhan, maupun pos lintas batas
darat atau laut negara.
60
4) Alat Angkut adalah kapal, pesawat udara, dan
kendaraan darat yang digunakan dalam melakukan
perjalanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5) Barang adalah produk nyata, hewan, tumbuhan, dan
jenazah/abu jenazah yang dibawa dan/atau dikirim
melalui perjalanan, termasuk benda/alat yang
digunakan dalam alat angkut.
6) Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau
pemisahan seseorang yang terpapar penyakit
menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan meskipun belum menunjukkan
gejala apapun atau sedang berada dalam masa
inkubasi, dan pemisahan peti kemas, alat angkut,
atau barang apapun yang diduga terkontaminasi dari
orang dan/atau barang yang mengandung penyebab
penyakit atau kontaminan lain untuk mencegah
kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau barang
di sekitarnya.
7) Isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang
sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan
perawatan.
8) Karantina Rumah adalah pembatasan penghuni
dalam suatu rumah beserta isinya yang diduga
terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi
sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan
penyebaran penyakit atau kontaminasi.
61
9) Karantina Rumah Sakit adalah pembatasan
seseorang dalam rumah sakit yang diduga terinfeksi
penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa
untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit
atau kontaminasi.
10) Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk
dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk
beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit
dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau
kontaminasi.
11) Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah
pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam
suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit
dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau
kontaminasi.
12) Status Karantina adalah keadaan alat angkut, orang,
dan barang yang berada di suatu tempat untuk dapat
menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan.
13) Zona Karantina adalah area atau tempat tertentu
untuk dapat menyelenggarakan tindakan
Kekarantinaan Kesehatan.
14) Persetujuan Karantina Kesehatan adalah surat
pernyataan yang diberikan oleh pejabat karantina
kesehatan kepada penanggung jawab alat angkut
yang berupa pernyataan persetujuan karantina bebas
atau persetujuan karantina terbatas.
62
15) Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis
tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin,
tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda
termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis,
kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung
dan bangunan terapung yang tidak berpindah-
pindah.
16) Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang
dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari
reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara
terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk
penerbangan.
17) Kendaraan Darat adalah suatu sarana angkut di
darat yang terdiri atas Kendaraan Bermotor termasuk
kendaraan yang berjalan di atas rel dan Kendaraan
Tidak Bermotor.
18) Awak Kapal yang selanjutnya disebut Awak adalah
orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal
oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan
tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang
tercantum dalam buku sijil.
19) Personel Kabin yang selanjutnya disebut Personel
adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas
pesawat udara oleh pemilik atau operator pesawat
udara untuk melakukan tugas di atas pesawat udara.
20) Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang
menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai
wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
63
21) Kapten Penerbang adalah penerbang yang ditugaskan
oleh perusahaan atau pemilik pesawat udara untuk
memimpin penerbangan dan bertanggung jawab
penuh terhadap keselamatan penerbangan selama
pengoprasian pesawat udara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
22) Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan
dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu
sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan
pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat
kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau
bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat
berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan
penunjang pelabuhan serta sebagai tempat
perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
23) Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau
perairan dengan batas-batas tertentu yang
digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat
dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar
muat barang, dan tempat perpindahan intra dan
antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan,
serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.
24) Pos Lintas Batas Darat Negara adalah pintu masuk
orang, barang, dan alat angkut melalui darat lintas
negara.
64
25) Pengawasan Kekarantinaan Kesehatan adalah
kegiatan pemeriksaan dokumen karantina kesehatan
dan faktor risiko kesehatan masyarakat terhadap alat
angkut, orang, serta barang oleh pejabat karantina
kesehatan.
26) Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat adalah hal,
keadaan, atau peristiwa yang dapat mempengaruhi
kemungkinan timbulnya pengaruh buruk terhadap
kesehatan masyarakat.
27) Terjangkit adalah kondisi seseorang yang menderita
penyakit yang dapat menjadi sumber penular
penyakit yang berpotensi menyebabkan kedaruratan
kesehatan masyarakat.
28) Terpapar adalah kondisi orang/barang/alat angkut
yang terpajan, terkontaminasi, dalam masa inkubasi,
insektasi, pestasi, ratisasi (tertikuskan) termasuk
kimia dan radiasi.
29) Pejabat Karantina Kesehatan adalah Pegawai Negeri
Sipil yang bekerja di bidang kesehatan yang diberi
kewenangan oleh Menteri untuk melaksanakan
Kekarantinaan Kesehatan.
30) Dokumen Karantina Kesehatan adalah surat
keterangan kesehatan yang dimiliki setiap alat
angkut, orang, dan barang yang memenuhi
persyaratan baik nasional maupun internasional.
31) Setiap Orang adalah orang perseorangan dan/atau
badan, baik yang berbentuk badan hukum maupun
tidak berbadan hukum.
65
32) Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kekarantinaan
Kesehatan yang selanjutnya disebut PPNS
Kekarantinaan Kesehatan adalah pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-Undang ini untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang Kekarantinaan
Kesehatan.
33) Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan Pemerintah Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
34) Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau
Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
35) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
2. Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan
Kekarantinaan kesehatan diselenggarakan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka
perlindungan kesehatan masyarakat dari penyakit
dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang
berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat melalui upaya kekarantinaan di pintu
masuk dan di wilayah. Pemerintah bertanggung jawab
dalam pelaksanaan kekarantinaan kesehatan di pintu
masuk dan di wilayah.
66
Pemerintah daerah memberikan dukungan dan terlibat
secara penuh dalam pelaksanaan kekarantinaan
kesehatan.
Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak
memperoleh perlakuan yang sama dalam
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, yaitu
mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai
kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan
kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina.
Sebaliknya, setiap orang berkewajiban mematuhi dan
turut serta sesuai dengan kondisi yang dihadapi dalam
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Kekarantinaan kesehatan di pintu masuk dan di
wilayah dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi
yang didukung oleh jaringan informasi yang cepat dan
akurat sehingga dapat terlaksana tindakan karantina
yang efektif dan efisien. Pelaksanaan kekarantinaan
kesehatan merupakan bagian integral dari tugas dan
fungsi yang tergabung dalam karantina-imigrasi-bea
cukai (quarantine-immigration-customs), yang berlaku
secara internasional sehingga diperlukan jejaring kerja
antar pemangku kepentingan, seperti:
a. Otoritas Kesehatan
b. Imigrasi
c. Bea dan Cukai
d. Syahbandar, Otoritas Pelabuhan, Otoritas Bandar
Udara, Navigasi
e. Pengelola pintu masuk: Angkasa Pura, Pelindo
f. Karantina Pertanian
g. Karantina Ikan
67
h. TNI dan POLRI
i. Assosiasi pelayaran
j. Assosiasi penerbangan
k. Pemerintah Daerah: dinas-dinas terkait (Dinas
Kesehatan dan lain-lain)
l. Sarana Pelayanan Kesehatan: Rumah Sakit, poliklinik
dan lain-lain
m. Badan-badan Nasional dan internasional terkait
n. LSM, Swasta, Organisasi Profesi
o. Tokoh masyarakat
Dukungan berbagai pihak tersebut di atas diatur
dalam peraturan perundang-undangan dalam
pelaksanaan di lapangan mengikuti sistem komando dan
koordinasi di bawah penanggungjawab pelaksanaan
kekarantinaan kesehatan setempat yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah. Semua petugas dari berbagai pihak
tersebut di atas, dalam melaksanakan upaya
kekarantinaan kesehatan mendapat jaminan
perlindungan dari Pemerintah.
Guna menjamin penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan yang berhasil dan berdaya guna, perlu
didukung oleh infrastruktur yang memadai dalam
bentuk pengorganisasian, sumber daya, jaringan
informasi, serta peraturan pelaksanaannya. Dalam
pengorganisasian, Pemerintah melalui Kementerian
Kesehatan membentuk unit kerja utama guna
menyiapkan dan menyelenggarakan kebijakan teknis
kekarantinaan kesehatan. Dalam pelaksanaan di
lapangan yaitu di pintu masuk dilaksanakan oleh unit
pelaksana teknis sebagai otoritas kesehatan masyarakat,
68
sedangkan di wilayah dapat dilaksanakan oleh dinas
kesehatan. Organisasi penyelenggara kekarantinaan
kesehatan mempunyai kewenangan dalam
melaksanakan cegah tangkal penyebaran penyakit, baik
secara lokal di wilayah, antar wilayah, maupun antar
negara.
a. Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di Pintu
Masuk
Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di
pintu masuk merupakan implementasi upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perorangan di lingkungan pintu masuk (pelabuhan,
bandar udara, pos lintas batas darat negara), terhadap
pelaku perjalanan, alat angkut, dan barang, serta
masyarakat yang beraktifitas di pintu masuk.
Kegiatan kekarantinaan kesehatan mencakup
surveilans kesehatan dan tindakan respon yang
didukung oleh upaya kesehatan lingkungan,
pelayanan kesehatan terbatas, dan tindakan
pendukung operasional lainnya. Penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan ini merupakan bagian
integral dari seluruh aktifitas di pintu masuk yang
menjadi tanggung jawab pengelola serta otoritas
pelabuhan, bandar udara, dan pos lintas batas darat
negara.
Pengelola alat angkut sesuai ketentuan yang
berlaku wajib mematuhi dan memenuhi seluruh
kegiatan kekarantinaan kesehatan dalam rangka
69
pelaksanaan peraturan perundang-undangan, baik
yang berlaku secara nasional maupun internasional.
1) Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di
Pelabuhan
Kegiatan kekarantinaan kesehatan di
lingkungan pelabuhan, alat angkut, pelaku
perjalanan, dan masyarakat yang beraktifitas di
pelabuhan merupakan tugas dan tanggung jawab
otoritas kesehatan masyarakat.
Kegiatan pada lingkungan pelabuhan pada
dasarnya merupakan kegiatan rutin dalam rangka
peningkatan kesehatan yang mencakup upaya
kesehatan lingkungan, surveilans kesehatan,
pelayanan kesehatan terbatas, dan kegiatan
pendukung operasional. Sedangkan dalam rangka
pemeriksaan alat angkut sesuai dengan ketentuan
internasional dilakukan dengan pemeriksaan
sebagaimana diuraikan di bawah ini.
a) Keberangkatan Kapal
(1) Pengawasan orang
Penumpang dan awak kapal yang akan
melakukan perjalanan internasional ke
negara terjangkit harus memiliki dokumen
karantina kesehatan berupa Sertifikat
Vaksinasi Internasional yang disyaratkan
oleh negara tujuan. Bagi penumpang dan
awak kapal yang sakit harus memiliki surat
kesehatan izin layar yang dikeluarkan oleh
70
dokter karantina kesehatan di pelabuhan
untuk mengidentifikasi apakah berpenyakit
yang dapat menyebabkan PHEIC atau tidak.
(2) Pengawasan barang
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap
barang yang dibawa oleh pelaku perjalanan,
terutama terhadap barang yang mempunyai
faktor risiko sumber penularan penyakit.
Petugas karantina kesehatan melakukan
pengawasan:
a. Obat, Makanan, Kosmetika dan Alat
Kesehatan serta Bahan Adiktif lainnya
(OMKABA) ekspor bekerja sama dengan
Bea Cukai untuk melakukan pemeriksaan
dokumen kesehatan OMKABA dan
pemeriksaan fisik.
b. Dokumen penyebab kematian jenazah
yang akan diangkut melalui kapal.
(3) Pengawasan kapal
Kapal yang berangkat untuk perjalanan
internasional harus menunjukkan dokumen
kesehatan kapal yang dipersyaratkan.
Sebagai dasar pertimbangan utama
untuk diberikannya Surat Izin Karantina
Kesehatan Berlayar (Port Health Quarantine
Clearance/PHQC), harus melengkapi
dokumen berupa Ship Sanitation Exemption
Control Certificate (SSCEC)/Ship Sanitation
71
Control Certificate (SSCC), One Month
Extension Certificate, Sailling permit, Buku
Kesehatan Kapal, Health Alert Card (HAC),
International Certificate of Vaccination or
Prophylaxis (ICV), Cargo list, Passenger list,
Crew list, Sertifikat P3K kapal, General Nil
List, Port Health Quarantine Clearance.
Untuk mencegah keluarnya alat angkut, orang,
dan barang yang berasal dari wilayah dan/atau
pernah singgah dalam 7 (tujuh) hari terakhir di
wilayah yang memiliki akses episenter PHEIC di
pintu masuk wilayah pelabuhan dilakukan melalui
kerja sama dengan TNI/POLRI dan security
pelabuhan. Jika ditemukan orang yang berasal dari
wilayah episenter PHEIC atau pernah singgah di
wilayah episenter PHEIC, maka dapat dipulangkan
ke wilayah asalnya atau dilakukan tindakan
karantina.
Jika ditemukan orang dengan gejala atau tanda
yang mengarah kepada penyakit penyebab PHEIC,
maka dilakukan wawancara dan pemeriksaan di
ruang khusus. Apabila dinyatakan kasus/suspek
penyakit penyebab PHEIC, maka orang tersebut
dirujuk ke rumah sakit rujukan. Selanjutnya
terhadap kapal dan barang yang berasal dari
episenter PHEIC tidak diperbolehkan memasuki
wilayah pelabuhan dan dilakukan tindakan
penyehatan.
72
Adapun penumpang yang sehat dan bukan
berasal dari episenter PHEIC, maka diperbolehkan
melanjutkan perjalanan dengan membawa kartu
kewaspadaan kesehatan. Dengan demikian, kepada
pengelola pelabuhan diwajibkan menyediakan
fasilitas untuk penyelenggaraan karantina
kesehatan, seperti asrama karantina, ruang khusus
wawancara dan pemeriksaan.
b) Kedatangan Kapal
Ditujukan terhadap alat angkut, orang dan
barang melalui pemeriksaan rutin kekarantinaan.
Kegiatan ini meliputi pemeriksaan kelengkapan
dokumen kesehatan kapal dan pemeriksaan faktor
risiko merupakan dasar pertimbangan utama untuk
diberikannya Persetujuan Karantina Bebas (Free
Pratique).
Untuk memperoleh Persetujuan Karantina
Bebas, nakhoda kapal harus menyampaikan
permohonan kepada Kantor Kesehatan Pelabuhan.
Seluruh kapal yang datang dari luar negeri berada
dalam karantina dan mematuhi tanda-tanda/
isyarat karantina kapal yang ditetapkan dalam
undang-undang yaitu:
(1) Kapal berada dalam karantina (lepas jangkar di
zona karantina).
(2) Kapal harus menaikkan isyarat karantina:
(a) Pada siang hari menaikan bendera Q
(kuning).
73
(b) Pada malam hari dua lampu putih yang
satu ditempatkan diatas yang lain dengan
jarak 2 meter yang tampak dari jarak 2
mil.
(3) Nakhoda kapal yang berada dalam karantina
dilarang menurunkan orang, barang, tanaman
dan hewan sebelum memperoleh surat izin
karantina
(4) Nakhoda kapal menyampaikan permohonan
untuk memperoleh suatu izin atau
memberitahukan suatu keadaan kapal dengan
suatu isyarat karantina:
Siang hari :
(a) Bendera Q artinya kapal saya sehat atau
saya minta izin karantina.
(b) Bendera Q diatas panji pengganti ke satu:
Kapal saya tersangka.
(c) Bendera Q diatas bendera L kapal saya
terjangkit.
Malam hari :
Lampu merah diatas lampu putih dengan jarak
maksimum 1,8 meter: Saya belum mendapat
izin karantina.
Dalam hal kapal datang dari daerah
episenter PHEIC, maka agen kapal
berkewajiban memberitahukan kepada KKP
mengenai waktu kedatangan dan asal
kedatangan kapal dari daerah episenter PHEIC.
74
Di samping itu, agen kapal juga meminta
kapten kapal untuk menyiapkan semua
dokumen kesehatan yang dipersyaratkan oleh
pemerintah Republik Indonesia. Setelah kapal
datang di pelabuhan, kapal masuk ke dalam
zona karantina untuk dilakukan pengawasan
kekarantinaan kesehatan.
Dalam melakukan pengawasan
kekarantinaan kesehatan kapal yang datang
dari wilayah episenter PHEIC diterapkan
prosedur sebagai berikut :
(1) Kapal berada dalam karantina (lepas
jangkar di zona karantina).
(2) Kapal harus menaikan isyarat karantina
(a) Pada siang hari menaikan bendera Q
(kuning).
(b) Pada malam hari dua lampu putih
yang satu ditempatkan diatas yang lain
dengan jarak 2 meter yang tampak dari
jarak 2 mil.
(3) Nakhoda kapal yang berada dalam
karantina dilarang menurunkan orang,
barang, tanaman dan hewan sebelum
memperoleh surat izin karantina.
(4) Nakhoda kapal menyampaikan permohonan
untuk memperoleh suatu izin atau
memberitahukan suatu keadaan kapal
dengan suatu isyarat karantina:
75
Siang hari:
(a) Bendera Q artinya kapal saya sehat atau
saya minta izin karantina.
(b) Bendera Q diatas panji pengganti ke satu:
Kapal saya tersangka.
(c) Bendera Q diatas bendera L kapal saya
terjangkit.
Malam hari:
Lampu merah diatas lampu putih dengan jarak
maksimum 1,8 meter: Saya belum mendapat
izin karantina.
Apabila hasil pengawasan tidak ada
ABK/penumpang yang berpenyakit menular
atau tidak ditemukan faktor risiko di atas
kapal, maka kepada kapal diberikan
persetujuan karantina bebas (free pratique) dan
kapal diperbolehkan melakukan aktivitas
bongkar muat barang/penumpang.
Sementara itu bagi penumpang yang sehat
diperbolehkan melanjutkan perjalanan dengan
membawa kartu kewaspadaan kesehatan.
Jika ditemukan orang dengan gejala
mengarah PHEIC, maka dilakukan wawancara
dan pemeriksaan di ruang khusus. Apabila
dinyatakan kasus/suspek penyakit penyebab
PHEIC, maka orang tersebut dirujuk ke rumah
sakit rujukan. Selanjutnya terhadap kapal dan
barang yang berasal dari episenter PHEIC tidak
diperbolehkan memasuki wilayah pelabuhan
dan dilakukan tindakan penyehatan.
76
Kemudian kepada pengelola pelabuhan
diwajibkan menyediakan fasilitas untuk
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan,
seperti ruang karantina, ruang khusus
wawancara dan pemeriksaan.
2) Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di
Bandar Udara
Kegiatan kekarantinaan kesehatan di
lingkungan bandar udara, alat angkut, pelaku
perjalanan, dan masyarakat yang beraktifitas di
bandar udara merupakan tugas dan tanggung
jawab otoritas kesehatan masyarakat.
Mengingat situasi dan kondisi bandar udara
yang memerlukan pelayanan yang serba cepat dan
tepat, maka dalam pelaksanaan kegiatan pada
lingkungan bandar udara menyesuaikan dengan
kondisi tersebut, meskipun pada dasarnya
kegiatannya relatif sama dengan di pelabuhan.
Kegiatan rutin dalam rangka peningkatan
kesehatan di bandar udara mencakup upaya
kesehatan lingkungan, surveilans kesehatan,
pelayanan kesehatan terbatas, dan kegiatan
pendukung operasional. Sedangkan dalam rangka
pemeriksaan alat angkut sesuai dengan ketentuan
internasional dilakukan dengan pemeriksaan
sebagaimana diuraikan di bawah ini.
77
a) Keberangkatan pesawat udara
Dalam rangka deteksi dini faktor risiko
yang dapat menimbulkan KKMMD/PHEIC,
pejabat karantina kesehatan melakukan
kegiatan terhadap:
(1) Pengawasan orang
Semua penumpang dan kru yang akan
melakukan perjalanan internasional ke
negara terjangkit harus memiliki dokumen
karantina kesehatan berupa Sertifikat
Vaksinasi Internasional yang disyaratkan
oleh negara tujuan. Bagi penumpang dan
kru yang sakit harus memiliki surat
kesehatan laik terbang yang dikeluarkan
oleh dokter karantina kesehatan di bandar
udara untuk mengidentifikasi apakah
berpenyakit yang dapat menyebabkan PHEIC
atau tidak.
(2) Pengawasan barang
Dalam melakukan pengawasan barang
dilakukan pemeriksaan terhadap semua
barang, terutama barang yang mempunyai
faktor risiko sumber penularan penyakit.
Pejabat karantina kesehatan melakukan
pengawasan:
(a) Obat, Makanan, Kosmetika dan Alat
Kesehatan serta Bahan Adiktif lainnya
(OMKABA) ekspor bekerja sama dengan
Bea Cukai untuk melakukan
78
pemeriksaan dokumen kesehatan
OMKABA dan pemeriksaan fisik.
(b) Dokumen penyebab kematian jenazah
yang akan diangkut melalui pesawat.
(3) Pengawasan pesawat
Pesawat yang berangkat untuk
perjalanan internasional harus
menunjukkan dokumen karantina kesehatan
bagi pesawat, meliputi Health Part of Aircraft
General Declaration (HPAGD), Sertifikat
Sanitasi Pesawat, Sertifikat Disinseksi
Pesawat, dan Sertifikat P3K Pesawat.
Dokumen karantina kesehatan bagi pesawat
dikeluarkan oleh pejabat karantina
kesehatan, kecuali HPAGD.
Untuk mencegah keluarnya alat angkut,
orang, dan barang yang berasal dari wilayah
dan/atau pernah singgah dalam 7 (tujuh) hari
terakhir di wilayah yang memiliki akses
episenter PHEIC di pintu masuk wilayah bandar
udara dilakukan melalui kerja sama dengan
TNI/POLRI dan security bandar udara. Jika
ditemukan orang yang berasal dari wilayah
episenter PHEIC atau pernah singgah di wilayah
episenter PHEIC, maka dapat dipulangkan ke
wilayah asalnya atau dilakukan tindakan
karantina.
79
Jika ditemukan orang dengan gejala atau
tanda yang mengarah kepada penyakit penyebab
PHEIC, maka dilakukan wawancara dan
pemeriksaan di ruang khusus. Apabila
dinyatakan kasus/suspek penyakit penyebab
PHEIC, maka orang tersebut dirujuk ke rumah
sakit rujukan. Selanjutnya terhadap alat angkut
dan barang yang berasal dari episenter PHEIC
tidak diperbolehkan memasuki wilayah bandar
udara dan dilakukan tindakan penyehatan.
Adapun penumpang yang sehat dan bukan
berasal dari episenter PHEIC, maka
diperbolehkan melanjutkan perjalanan dengan
membawa kartu kewaspadaan kesehatan.
Dengan demikian, kepada pengelola bandar
udara diwajibkan menyediakan fasilitas untuk
penyelenggaraan karantina kesehatan, seperti
ruang karantina, ruang khusus wawancara dan
pemeriksaan.
b) Kedatangan pesawat
(1) Pengawasan orang
Penumpang dan kru yang datang dari
negara terjangkit harus memiliki dokumen
karantina kesehatan berupa Sertifikat
Vaksinasi Internasional yang disyaratkan
oleh WHO. Bagi penumpang dan kru yang
sakit dilakukan pemeriksaan dan
pengobatan di poliklinik karantina
kesehatan.
80
(2) Pengawasan barang
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap
barang yang dibawa oleh pelaku perjalanan,
terutama barang yang mempunyai faktor
risiko sumber penularan penyakit. Petugas
karantina kesehatan melakukan
pengawasan:
a. Obat, Makanan, Kosmetika dan Alat
Kesehatan serta Bahan Adiktif lainnya
(OMKABA) impor bekerja sama dengan Bea
Cukai untuk melakukan pemeriksaan
dokumen kesehatan OMKABA dan
pemeriksaan fisik.
b. Dokumen penyebab kematian jenazah
yang dibawa dengan pesawat.
(3) Pengawasan pesawat
Pesawat yang datang dari perjalanan
internasional harus menunjukkan dokumen
kesehatan pesawat yang dipersyaratkan
meliputi Health Part of Aircraft General
Declaration (HPAGD), Sertifikat Sanitasi
Pesawat, Sertifikat Disinseksi Pesawat, dan
Sertifikat P3K pesawat.
Dalam hal pesawat udara datang dari
Bandar udara yang mempunyai akses dengan
wilayah episenter PHEIC atau wilayah terjangkit,
maka pesawat parkir di zona karantina atau
isolated parking.
81
Petugas Karantina Kesehatan boarding ke
pesawat untuk memeriksa Health Part of Aircraft
General Declaration (HPAGD) apakah ada
penumpang atau kru yang berpenyakit menular.
Apabila tidak ada penumpang yang
berpenyakit menular, maka petugas
mengarahkan penumpang untuk turun melewati
jalur yang telah ditentukan dan memeriksa
kartu kewaspadaan kesehatan yang telah
dibagikan di bandar udara sebelumnya.
Apabila ditemukan kasus suspek PHEIC
maka penumpang langsung dibawa ke unit
pelayanan kesehatan khusus Karantina
Kesehatan untuk dilakukan pemeriksaan medik
dan selanjutnya dirujuk ke RS Rujukan.
Penumpang yang berada di lokasi dekat dengan
suspek PHEIC di dalam pesawat dilakukan
tindakan karantina.
Setelah seluruh kru dan penumpang turun
dari pesawat dilakukan tindakan penyehatan
terhadap pesawat dan barang sesuai prosedur
disinfeksi dan disinseksi pesawat. Pengelola
bandar udara diwajibkan menyediakan zona
karantina atau isolated parking bagi pesawat
yang datang dari negara terjangkit.
82
3) Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di
Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN)
Kegiatan kekarantinaan kesehatan di
lingkungan PLBDN, alat angkut, pelaku
perjalanan, dan masyarakat yang beraktifitas di
PLBDN yang secara resmi diakui oleh dua negara,
merupakan tugas dan tanggung jawab otoritas
kesehatan masyarakat. Kegiatan pada lingkungan
PLBDN pada dasarnya merupakan kegiatan rutin
dalam rangka peningkatan kesehatan yang
mencakup upaya kesehatan lingkungan, surveilans
kesehatan, pelayanan kesehatan terbatas, dan
kegiatan pendukung operasional.
Sedangkan dalam rangka pemeriksaan alat
angkut sesuai dengan ketentuan internasional
dilakukan dengan pemeriksaan sebagaimana
diuraikan di bawah ini.
a) Keberangkatan Kendaraan Darat
Pemeriksaan kendaraan darat, orang dan
barang dilakukan secara terus menerus
terhadap keberangkatan kendaraan darat
dengan cara pemeriksaan dokumen kesehatan
dengan memperhatikan apakah ada tidaknya
penumpang/awak yang menderita sakit yang
berpotensi PHEIC.
Dokumen Karantina Kesehatan yang
diisyaratkan oleh pemerintah Republik
Indonesia di bidang kesehatan berupa Surat
keterangan Hapus Serangga, Sertifkat
83
Disinfeksi, Surat Keterangan Kesehatan
OMKABA untuk barang serta Sertifikat
Vaksinasi Internasional bagi negara yang
mensyaratkan ICV dan/atau profilaksis.
Kendaraan darat, orang dan barang yang
berasal dari episenter PHEIC harus dilakukan
pengawasan kekarantinaan kesehatan. Jika
ditemukan orang yang berasal dari episenter
PHEIC tapi tidak memiliki gejala klinis
(terpapar) maka dilakukan tindakan karantina
selama 2 kali masa inkubasi di wilayah PLBDN
atau ruang karantina. Terhadap kendaraan
darat dan barang yang berasal dari episenter
PHEIC dilakukan desinseksi dan atau
disinfeksi.
Jika ditemukan kasus (suspek) yang
mengarah ke penyebab PHEIC maka orang
tersebut dilakukan tindakan isolasi. Terhadap
penumpang yang sehat bukan berasal dari
episenter PHEIC maka penumpang
diperbolehkan melanjutkan perjalanan dengan
membawa Health Alert Card (HAC).
b) Kedatangan kendaraan darat
Setiap kedatangan kendaraan darat, orang
dan barang dilakukan pengawasan
kekarantinaan kesehatan dengan cara
pemeriksaan dokumen kesehatan dengan
memperhatikan apakah ada penumpang/awak
yang menderita sakit yang dapat menimbulkan
84
PHEIC. Dokumen Kesehatan yang diisyaratkan
adalah Ground Crossing Declaration of Health,
Surat Keterangan Hapus Serangga; Surat
Keterangan OMKABA dan Sertifikat Vaksinasi
International. Pemeriksaan terhadap
penumpang dengan cara seluruh penumpang
turun dari kendaraan darat melewati pos
karantina kesehatan.
Jika ada penumpang yang dicurigai
menderita (suspek) penyakit yang dapat
menimbulkan PHEIC, maka terhadap orang
tersebut dilakukan tindakan isolasi dan
terhadap penumpang sehat lainnya dilakukan
tindakan karantina selama 2 kali masa
inkubasi diwilayah PLBDN. Terhadap
kendaraan darat dan barang bawaan
penumpang dilakukan tindakan desinseksi,
disinfeksi atau dekontaminasi.
Pada kedatangan kendaraan darat dari
PLBDN yang mempunyai akses dengan wilayah
episenter PHEIC, maka dilakukan pemeriksaan
dokumen dan kesehatan penumpang di pos
karantina kesehatan. Jika ditemukan orang
yang berasal dari negara terjangkit tapi tidak
memiliki gejala klinis (terpapar) penyakit PHEIC
maka dilakukan tindakan karantina selama 2
kali masa inkubasi terhadap orang yang
berasal dari negara terjangkit di wilayah PLBDN
atau asrama karantina. Terhadap kendaraan
darat dan barang yang berasal dari negara
85
terjangkit dilakukan desinseksi dan atau
disinfeksi.
Jika ditemukan kasus (suspek) yang
mengarah ke PHEIC dalam kendaraan darat
maka suspek tersebut dilakukan tindakan
isolasi, terhadap penumpang lain yang sehat
yang berada dalam satu kendaraan tersebut
dilakukan tindakan karantina selama 2 kali
masa inkubasi. Seluruh biaya penyelenggaraan
akibat pelaksanaan kekarantinaan kesehatan
ini menjadi tanggung jawab negara.
b. Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di
Wilayah
Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di
wilayah merupakan tindak lanjut dari upaya
penanggulangan KLB/wabah yang berdasarkan
pertimbangan epidemiologis berpotensi menimbulkan
kedaruratan kesehatan masyarakat. Kegiatan
kekarantinaan kesehatan di wilayah meliputi
akselerasi surveilans kesehatan, upaya peningkatan
kesehatan lingkungan, penanganan kasus termasuk
rujukan, dan tindakan karantina sesuai dengan
situasi dan kondisi yang berkembang. Kegiatan
kekarantinaan kesehatan di wilayah didukung dalam
bentuk pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari,
perlindungan dan pemeliharaan hewan ternak, serta
pemeliharaan ketertiban dan keamanan.
86
Pada wilayah tertentu di perbatasan antar
negara yang memiliki hubungan kekerabatan sosial,
ekonomi, dan budaya, kekarantinaan kesehatan di
wilayah memerlukan persetujuan antar negara
terkait, dengan pertimbangan situasi dan
kecenderungan epidemiologi penyakit dan masalah
kesehatan lain.
Upaya kekarantinaan kesehatan di wilayah yang
dilaksanakan meliputi kegiatan sebagai berikut:
a) Karantina Rumah
Tindakan karantina rumah dilaksanakan
dalam suatu wilayah yang berpotensi menjadi
episenter setelah adanya sinyal awal penyakit
menular yang dapat menyebabkan PHEIC setelah
dilakukan penyelidikan epidemiologi dan
pemeriksaan cepat laboratorium oleh petugas
kesehatan yang mempunyai kompetensi dan
kewenangan di wilayah tersebut, yang tujuannya
untuk mencegah penyebaran penyakit.
Adapun indikasi rumah yang harus
dikarantina adalah apabila di dalam rumah
tersebut terdapat satu atau lebih kasus suspek
PHEIC. Upaya yang dilakukan terhadap rumah
yang terindikasi adalah:
a. Kasus suspek penyebab kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan dunia dirujuk ke
Rumah Sakit.
b. Rumah dengan seluruh anggota keluarga yang
tinggal dirumah tersebut dilakukan karantina
rumah sesuai prosedur yang ditetapkan.
87
c. Kebutuhan hidup dasar selama masa karantina
rumah ditanggung oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah daerah.
b) Karantina Wilayah
Tindakan karantina wilayah dilaksanakan
setelah Pemerintah menetapkan penanggulangan
episenter pada wilayah episenter PHEIC
berdasarkan hasil verifikasi secara epidemiologis
dan laboratorium jika perlu bersama Organisasi
Kesehatan Dunia. Pemerintah menetapkan batas
serta lamanya karantina wilayah tergantung
penyebabnya dan hasil analisa epidemiologi dan
klinis yang ditetapkan oleh pemerintah atas
rekomendasi dari tim Penyelidikan Epidemiologi.
Tindakan karantina wilayah dihentikan
setelah 2 kali masa inkubasi dari kasus terakhir,
tetapi kegiatan surveilans aktif tetap
dipertahankan pada wilayah penanggulangan
episenter selama satu bulan. Kegiatan Karantina
wilayah meliputi pembatasan gerak orang, alat
angkut dan barang keluar dan kedalam suatu
wilayah episenter PHEIC melalui pengendalian
perimeter dengan bantuan TNI/POLRI.
Pembatasan di atas termaksud kegiatan sosial
dan keagamaan skala besar termasuk peliburan
sekolah, dekontaminasi pada alat angkut dan
barang serta penyehatan lingkungan dalam
wilayah episenter PHEIC.
88
c) Karantina Rumah Sakit
Tindakan karantina Rumah Sakit
dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa
Rumah Sakit sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan tingkat lanjutan berpotensi
menjadi sumber penularan dan dapat secara
cepat menyebar di lingkungan masyarakat serta
menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat.
Pokok-pokok kegiatan kekarantinaan
kesehatan pada Rumah Sakit mencakup
pembatasan sosial seluruh aktifitas guna
menjamin tidak menyebarnya penyakit keluar
dari Rumah Sakit. Seluruh kebutuhan dasar di
Rumah Sakit disuplai dari luar secara ketat
sesuai dengan prosedur yang berlaku.
d) Pembatasan Sosial Berskala Besar
Pembatasan sosial berskala besar dalam
kekarantinaan kesehatan pada dasarnya
merupakan pembatasan aktifitas sosial
masyarakat yang memungkinkan terjadinya
penularan penyakit antar anggota masyarakat,
antara lain dengan:
(1) meliburkan sekolah dan tempat kerja;
(2) membatasi kegiatan keagamaan; dan
(3) membatasi kegiatan di tempat/fasilitas
umum.
89
Pembatasan sosial berskala besar ini dilakukan
secara ketat dan mengikuti prosedur dan
ketentuan yang berlaku.
3. Dokumen Karantina Kesehatan
Dokumen Karantina Kesehatan merupakan
bukti bahwa seluruh aktifitas kekarantinaan
kesehatan telah dilaksanakan sesuai dengan
prosedur dan diterbitkan oleh otoritas kesehatan
masyarakat di pintu masuk (bandar udara,
pelabuhan, PLBDN). Dokumen karantina kesehatan
ini berlaku secara internasional (konvensi IHR, ICAO,
dan IMO) serta merupakan kewajiban setiap
pengelola alat angkut dan pelaku perjalanan untuk
melengkapinya sesuai dengan kebutuhan dan
ketentuan penggunaan yang diberlakukan.
Bentuk dokumen karantina kesehatan pada alat
angkut meliputi:
a. Deklarasi kesehatan;
b. Sertifikat Persetujuan Karantina Kesehatan;
c. Sertifikat sanitasi;
d. Sertifikat obat-obatan dan alat kesehatan;
e. Buku kesehatan untuk kapal; dan
f. Surat Persetujuan Berlayar Karantina Kesehatan
(port health quarantine clearance) untuk kapal.
Bentuk dokumen karantina kesehatan untuk
pelaku perjalanan meliputi Sertifikat Vaksinasi
Internasional dan Surat Keterangan Pengangkutan
Orang Sakit, sedangkan untuk barang meliputi surat
izin pengangkutan jenazah/abu jenazah dari
90
pelabuhan/bandar udara, sertifikat kesehatan untuk
bahan berbahaya, dan sertifikat kesehatan atau surat
keterangan kesehatan untuk obat, makanan,
kosmetika, alat kesehatan dan bahan adiktif
(OMKABA). Diberlakukan pula dokumen terhadap
bahan biologis, reagen, dan bahan keperluan
diagnostik.
Khusus dokumen kesehatan untuk OMKABA
hanya diterbitkan oleh pejabat karantina kesehatan
berdasarkan permintaan negara tertentu.
Dimungkinkan diterbitkan dokumen karantina
kesehatan lain sesuai dengan kebutuhan dan
kesepakatan antar negara, yang akan diatur lebih
lanjut dalam peraturan pelaksanaan.
4. Sumber Daya Kekarantinaan Kesehatan
Sumber daya yang dibutuhkan dalam
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan
mencakup fasilitas dan perbekalan kekarantinaan
kesehatan, pejabat karantina kesehatan, penelitian
dan pengembangan, dan pendanaan.
a. Fasilitas dan Perbekalan Kekarantinaan
Kesehatan
Fasilitas dan perbekalan kekarantinaan
kesehatan merupakan hal yang esensial dalam
menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan,
yang mencakup peralatan deteksi dan respon
cepat, ruang wawancara/observasi, ruang
diagnosis, ruang karantina kesehatan, ruang
91
isolasi, rumah sakit rujukan, laboratorium
rujukan, dan transportasi evakuasi penyakit
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Sebagai kelengkapan operasionalisasi
fasilitas dan perbekalan diperlukan pendidikan
dan pelatihan di bidang kekarantinaan
kesehatan. Sesuai dengan perkembangan situasi
dan kecenderungan serta pola penyebaran
penyakit menular, maka dimungkinkan teknologi
kekarantinaan kesehatan berkembang sesuai
dengan kebutuhan.
b. Pejabat Karantina Kesehatan
Pemerintah menjamin tersedianya tenaga
untuk penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan,
melalui pendidikan, pelatihan serta bimbingan
dan pengawasan yang bermutu.
Jenis tenaga yang diperlukan adalah tenaga
dalam bidang surveilans tenaga pelayanan
kesehatan, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga
farmasi yang berstatus berstatus Pegawai Negeri
Sipil, dengan kemampuan teknis yang memadai
yang diperoleh melalui pendidikan/pelatihan
nasional dan internasional. Menteri Kesehatan
menetapkan pejabat karantina kesehatan yang
bertugas melakukan pengawasan untuk
menjamin terselenggaranya semua kegiatan
kekarantinaan kesehatan.
Mengingat potensi risiko yang besar dalam
melaksanakan tugas dan fungsi kekarantinaan
92
kesehatan, pejabat karantina kesehatan
dimungkinkan memperoleh tunjangan risiko
kerja, yang merupakan imbalan atas risiko
kecelakaan dan kerusakan organ perorangan
yang dialami petugas pada pelaksanaan
kekarantinaan kesehatan, seperti pelaksanaan
pengawasan fumigasi dan risiko tertular penyakit
pada saat pelayanan penderita atau tersangka.
Besaran tunjangan risiko ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan
diselaraskan dengan peraturan terkait bidang
keuangan.
c. Penelitian dan Pengembangan
Perkembangan pengetahuan dan teknologi
dalam kekarantinaan kesehatan serta situasi dan
kecenderungan epidemiologi penyakit menular
dan masalah kesehatan menuntut dilakukan
penelitian dan pengembangan di bidang
kekarantinaan kesehatan.
Hal tersebut guna mengkaji berbagai bentuk
perubahan, baik perubahan pada pola penyakit
dan munculnya penyakit baru, teknologi, serta
peraturan perundang-undangan.
d. Pendanaan
Pendanaan kegiatan penyelenggaraan
Kekarantinaan Kesehatan bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara,
93
anggaran pendapatan dan belanja daerah,
dan/atau masyarakat.
Pendanaan kegiatan penyelenggaraan
Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk pada
alat angkut di luar situasi Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat yang meresahkan dunia dibebankan
pada pemilik alat angkut.
Pendanaan mengenai pelaksanaan tindakan
penyehatan yang dimohonkan pengelola alat
angkut menjadi tanggung jawab pemohon dan
merupakan penerimaan negara.
5. Informasi Kekarantinaan Kesehatan
a. Substansi Informasi Kekarantinaan Kesehatan
Informasi kekarantinaan kesehatan meliputi
informasi tentang PHEIC, penyakit potensial
wabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan
kekarantinaan kesehatan.
b. Penyelenggara Informasi Kekarantinaan
Kesehatan
Informasi kekarantinaan kesehatan
diselenggarakan oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan atau jajarannya, dengan luar negeri
atau badan internasional yang bertanggung jawab
tentang kekarantinaan kesehatan, yang
penyelenggaraannya harus mengikuti peraturan
internasional.
Pemerintah mengembangkan berbagai
alat/media pelaporan beserta mekanisme
94
pelaksanaannya baik tingkat pusat,
wilayah/daerah, dan di unit pelabuhan, serta
menggunakan berbagai jenis media
cetak/elektronik untuk menjamin terlaksananya
informasi kekarantinaan kesehatan kepada pihak-
pihak yang memerlukan, antara lain Organisasi
Kesehatan Dunia, Badan-Badan Kesehatan
Internasional antar negara, perwakilan pemerintah
Indonesia di luar negeri, dan agen perjalanan
wisata Nasional/Internasional.
c. Penyampaian Informasi Kekarantinaan
Kesehatan
Agen/operator alat angkut, petugas di pintu
masuk dan pengguna jasa apabila mengetahui
adanya tersangka penderita PHEIC dan/atau
barang yang dicurigai harus melapor selambat-
lambatnya dalam waktu 1x24 jam sejak
diketahuinya kejadian tersebut kepada pejabat
karantina kesehatan di pintu masuk. Laporan
tentang PHEIC menurut data epidemiologi meliputi
waktu, tempat dan penderita, secara rinci
pedomannya ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pejabat karantina kesehatan di pintu masuk
segera melaporkan adanya tersangka penderita
PHEIC kepada Menteri Kesehatan melalui Direktur
Jenderal yang bertanggungjawab di bidang
kekarantinaan kesehatan.
Pejabat kesehatan masyarakat di daerah yang
bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
95
kekarantinaan kesehatan di wilayahnya, harus
segera melaporkan adanya tersangka penderita
PHEIC kepada Menteri Kesehatan melalui Direktur
Jenderal yang bertanggungjawab di bidang
kekarantinaan kesehatan.
Penyelenggaraan informasi kekarantinaan
kesehatan dilaksanakan sesuai sistem informasi
kesehatan yang berlaku berdasarkan ketentuan
peraturan perundangan.
6. Pembinaan dan Pengawasan
a. Pembinaan
Pembinaan diarahkan untuk meningkatkan
mutu pelayanan dan profesionalisme pejabat
karantina kesehatan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam rangka kerjasama antar negara baik secara
bilateral, regional dan internasional.
Selain itu juga untuk memberikan dorongan
bagi masyarakat, termasuk swasta, agar ikut
berperan serta dalam menunjang
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan serta
untuk meningkatkan keterpaduan berbagai
sektor terkait di pelabuhan dalam rangka
koordinasi pelaksanaan undang undang
kekarantinaan kesehatan ini.
b. Pengawasan
Pengawasan penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan dilakukan oleh pemerintah bersama
96
masyarakat. Pemerintah berwenang mengambil
tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan
dan sarana pelayanan kesehatan serta sarana
lainnya yang melakukan kelalaian atau
pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-
undang ini.
7. Penyidikan
Dalam bidang kekarantinaan kesehatan,
kejadian yang dapat mengarah kepada unsur pidana,
antara lain ditemukannya faktor risiko yang berasal
dari alat angkut, pelaku perjalanan, barang dan
lingkungan pintu masuk negara yang mengarah pada
kejadian yang dapat menimbulkan kedaruratan
kesehatan masyarakat. Hal tersebut merupakan
salah satu dasar untuk dijadikan investigasi yang
dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan penyidikan.
Selain penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia juga kepada pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di Kementerian Kesehatan diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)
untuk melakukan penyidikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Kewenangan PPNS di bidang kesehatan
khususnya terkait dengan kekarantinaan kesehatan
sebagai berikut:
97
a. menerima laporan tentang adanya tindak pidana
Kekarantinaan Kesehatan;
b. mencari keterangan dan alat bukti;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
d. melarang setiap orang meninggalkan atau
memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyidikan;
e. memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap,
atau menahan seseorang yang disangka
melakukan tindak pidana Kekarantinaan
Kesehatan;
f. menahan, memeriksa, dan menyita dokumen;
g. menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau
tersangka dan memeriksa identitas dirinya;
h. memeriksa atau menyita surat, dokumen, atau
benda yang ada hubungannya dengan tindak
pidana Kekarantinaan Kesehatan;
i. memanggil seseorang untuk diperiksa dan
didengar keterangannya sebagai tersangka atau
saksi;
j. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
k. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat surat, dokumen, atau benda lain
yang ada hubungannya dengan tindak pidana
Kekarantinaan Kesehatan;
l. mengambil foto dan sidik jari tersangka;
m. meminta keterangan dari masyarakat atau sumber
yang berkompeten;
n. melakukan penghentian penyidikan; dan/atau
98
o. mengadakan tindakan lain menurut hukum.
8. Ketentuan Sanksi
Pelanggaran terhadap ketentuan yang akan
diatur dalam undang-undang kekarantinaan
kesehatan ini dikenakan :
a. Sanksi administratif, berupa:
1) Peringatan;
2) Denda administratif; dan/atau
3) Pencabutan izin.
b. Sanksi pidana, berupa :
1) Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun,
bagi nahkoda kapal atau kapten penerbang
pesawat udara yang dengan sengaja
menurunkan atau menaikkan orang dan
barang sebelum memperoleh Persetujuan
Karantina Kesehatan dengan maksud
menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko
kesehatan yang menimbulkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat;
2) Pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah), bagi
setiap orang yang dengan sengaja menghalang-
halangi penyelenggaraan Kekarantinaan
Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat
99
9. Ketentuan Peralihan
Semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2373) dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2374) pada saat
diundangkannya undang-undang kekarantinaan
kesehatan ini masih tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan undang-undang atau belum
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
undang-undang ini.
10. Ketentuan Penutup
Dengan berlakunya undang-undang
kekarantinaan kesehatan ini maka Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2373) dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2374) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
100
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat
diambil adalah :
1. Permasalahan yang dihadapi Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara
yaitu :
a) Tidak adanya kesesuaian pengaturan kekarantinaan
kesehatan nasional dengan IHR 2005;
b) Belum adanya pengaturan tentang kekarantinaan di
Pos Lintas Batas Darat Negara, pengaturan zona
karantina dan kekarantinaan kesehatan wilayah;
c) Belum adanya sanksi yang tegas terhadap pelaku
pelanggaran kekarantinaan kesehatan;
d) Belum optimalnya koordinasi dan komunikasi antar
instansi dalam pelaksanaan tugas QICP (quarantine,
immigration, custom, port); dan
e) Masih terbatasnya Kewenangan KKP sebagai lembaga
yang melaksanakan penyelenggaraan karantina
kesehatan di pintu masuk/keluar negara serta sumber
daya yang tersedia masih minimal.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina
Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara dinilai sudah tidak relevan lagi dengan
kondisi saat ini sehingga mengharuskan adanya
101
pembaharuan hukum terkait pengaturan kekarantinaan
kesehatan.
3. Landasan Filosofis penyusunan RUU tentang
Kekarantinaan Kesehatan adalah mewujudkan tujuan
negara yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia” melalui upaya
perlindungan kesehatan masyarakat dari bahaya
penyakit yang berpotensi PHEIC. Secara sosiologis,
penyusunan RUU ini semakin penting karena upaya
pengendalian/pemberantasan penyakit makin sulit
mengingat lokasi strategis Indonesia serta perkembangan
teknologi transportasi kini memperbesar resiko masuk
dan keluar penyakit menular. Secara yuridis,
penyusunan RUU baru merupakan hal mutlak yang
harus dilakukan karena UU No 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan UU No 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman termasuk penyesuaian dengan
instrument hukum internasional (IHR 2005).
4. Sasaran yang ingin diwujudkan dari penyusunan RUU
tentang Kekarantinaan Kesehatan yaitu terbentuknya
pengaturan kekarantinaan kesehatan agar Indonesia
mampu melaksanakan cegah tangkal penyakit menular
potensial wabah, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri dalam rangka melindungi masyarakat dan
kedaulatan negara. Jangkauan dan arah pengaturan
RUU ini adalah mengatur tindakan karantina kesehatan
di pintu masuk, yaitu di pelabuhan, bandar udara,
wilayah dan lintas batas darat negara.
102
B. Saran
Dari hasil kajian dan pembahasan, penyusunan RUU
tentang Kekarantinaan Kesehatan harus menyesuaikan
dengan instrumen hukum internasional (IHR 2005) serta
perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi
transportasi di udara, laut maupun darat, yang berpengaruh
pada risiko penularan penyakit.
Pengaturan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan
perlu pula diselaraskan dengan sistem pengawasan lainnya
seperti karantina tumbuhan dan hewan, keimigrasian, bea
dan cukai, agar terdapat kesamaan pandang dalam
memberikan pelayanan dan pengawasan kepada masyarakat
luas, serta kerjasama secara lintas sektor maupun lintas
program. Penggantian undang-undang ini disarankan masuk
pada prioritas tahun 2015 dan segera diserahkan untuk
dibahas oleh DPR RI.
103
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2005 Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penebit Buku Kompas Jakarta Cetakan 1.
Fracastoro G. De Contagione et Contagiosis Morbis et Eorum Curatione in. Theories of Causation; Dana Loomis and Steve Wings Oxford University Press. New York. 2001.
Greenwood M. 1933. Epidemics and Crowd Diseases: an Introduction to the study of Epidemiology in. Epidemiology Kept Simple an introduction to the Traditional and Modern Epidemiology. Gerstman B. Burt Second Edition. 2003.
Jakson, M. General Priciples of Epidemiology in. Weber, J. David and Rutala A. William Biological Basis on Infectious Disease Epidemiology; Oxford University Press. New York. 2001.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta. A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan Antara Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan, Pidato Dies Natalis PTIK Ke - 46, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 17 Juni 1992
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Jakarta, Edisi I.
Thomas C. James; Weber J. David. Epidemiology Methods for the Study of Infectious Diseases. Oxford University Press. New York. 2001
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan dan Tumbuhan; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
104
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian; Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang
Penanggulangan Wabah Penyakit Menular; Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang
Kepelabuhanan; Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Lingkungan; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 356 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja KKP; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2348/Menkes/Per/XI/2011
tentang Perubahan Atas Permenkes Nomor 356/Menkes/Per/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2014 tentang Klasifikasi KKP;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1116 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 949 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaa Dini Kejadian Luar Biasa;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1372 Tahun 2005 tentang Penetapan Kondisi Kejadian Luar Biasa Flu Burung;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 612 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Karkes Pada Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1314 Tahun 2010 tentang Pedoman Standarisasi SDM, Sarana, Prasarana di Lingkungan KKP;
International Health Regulations (2005); Convention on the International Maritime Organization; Convention on International Civil Aviation;