Nama
Click here to load reader
-
Upload
anggi-dwi-abdillah -
Category
Documents
-
view
138 -
download
3
Transcript of Nama
Nama : Berlian Monika
C1A008053
Ilmu Ekonomi
PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN TERHADAP KONSUMSI MASYARAKAT
A.Pendahuluan
Konsumsi merupakan kegiatan menghabiskan nilai guna suatu barang dan
jasa.sebagai contoh prilaku konsumsi adalah disaat kita mengkonsumsi makanan, membeli
keperluan sekolah, membeli pakain dan sebagainya. Semua jumlah konsumsi kita yang
banyak dan secara bersama-sama membentuk kurang lebih dua pertiga dari PDB. Begitu
besarnya konsumsi ini sehingga menarik perhatian para ekonom untuk mempelajari
bagaimana rumah tangga konsumen menentukan berapa banyak konsumsinya.
Umumnya, dikatakan bahwa tingkat konsumsi dipengaruhi secara langsung oleh besarnya pendapatan yang siap dibelanjakan.semakin besar pendapatan disposable maka semakin besar pula tingkat konsumsi. Secara matematis hubungan itu dapat ditunjukkan dalam persamaan berikut :
C = a + bY atau C= a + mpcY
Dimana : C = Tingkat Konsumsi
a = konsumsi otonomus
b atau mpc = marginal propensity to consume, yaitu
kecendrungan menkonsumsi marginal
Y = pendapatan disposable (pendapatan setelah pajak)
Persamaan diatas menyatakan bahwa konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan
yang siap dibelanjakan. Hubungan antara kedua ini disebut Fungsi Konsumsi.
Jika digambarkan dengan grafik maka dapat digambarkan
konsumsi
c
a
45 º
0 Disposabel pendapatan
B. Pembahasan
Banyak para ekonom yang membaca pertumbuhan ekonomi suatu daerah atau
masyarakat dengan cara melihat tingkat konsumtif masyarakat, daya konsumsi masyarakat
sangatlah dipengaruhi tingkat pendapatan masyarakat suatu wilayah. Sebagian lainnya tingkat
konsumsi masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan peradaban masyarakat itu sendiri
misalnya kemajuan teknologi atau perkembangan pergaulan yang berkembang , adakalanya
seseorang menjadi konsumtif karena melihat situasi disekitar sebagai contoh tidak mau
dikatakan ketinggalan zaman, tapi yang demikian hanyalah sebahagian kecil pada umumnya
pada tingkat usia muda atau remaja, dimana social budaya mempengaruhi mereka untuk ikut
perkembangan zaman atau mode. Pada Fase ini pendapatan bukanlah hal yang menjadi
pikiran mereka karena tingkat social budaya yang menjadi acuan daya konsumsi. Namun
pada umumnya tingkat pendapatanlah yang sangat amat berpengaruh terhadap daya konsumsi
masyarakat. Hal ini dapat di jelaskan sebagai berikut berdasarkan referensi dari para ahli
ekonomi tentang konsumsi dan pendapatan.
Pendapat para Ahli tentang Teori Konsumsi
Dalam Ekonomi ada beberapa pendapat para ahli yang mengemukakan tentang Teori
Konsumsi, diantaranya adalah ;
1.Teori Konsumsi Kuznets
Kuznets menyatakan bahwa Teori Konsumsi terbagi dua,:
1. Teori Konsumsi Jangka Panjang
→ Kecendrungan mengkonsumsi rata-rata dalam jangka panjang adalah Konstan.
2. Teori konsumsi Jangka Pendek
2. Teori Konsumsi Siklus Hidup ( Life Cycle Hypothesis Consumption Theory )
Dikembangkan oleh Franco Modigliani pemenang Hadiah Nobel 1985 dibadang
Ekonomi dan Pendapatan Permanen,bersama dengan Richard Brumberg.
Mereka menyatakan bahwa konsumsi ditentukan oleh dua factor yaitu;
1. Pendapatan yang akan diterima sepanjang hidupnya
2. Lamanya seseorang itu akan hidup setelah pensiun.
Pendapatan tahunan seseorang sepanjang masa kerjanya dianggap tetap. Suku
bunga dari tabungan dianggap 0 . Pemilikan kekayaan didapat dari :
a. Warisan
b. Tidak ada warisan
3. Consumption Permanent Income Theory ( Milton Friedman)
Menyatakan bahwa konsumsi rumah tangga ditentukan oleh pendapatan permanent/
pppendapatan jangka panjang. Yang mana pendaaapatttan jangka panjang ini diharapkan
akan diterima dari gaji, upah, bunga, dividen, obligasi dan lain sebagainya.
Fungsi konsumsi jangka panjang :
C= k Yp
Dimana : C = konsumsi
k = mpc
y = permanent (jangka panjang)
sehinnga didapat persamaan :
Yp = Ypt-1 + J ( Yt-Ypt-1 ) , J = % perbedaan Yt-Yt-1
3. Relative Income Consumption theory( James S Duesembarry )
Mengatakan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga tidak tergantung pada
pendapatan sekarang, tapi tergantung pada pendapatan tertinggi yang pernah dicapai.
(previous highest income level).Pengeluaran konsumsi seseorang rumah tangga, bukanlah
fungsi dari pendapatan absolute melainkan fungsi dari posisi relative seseorang dalam
pembagian pendapatan dalam masyarakat.
4. Teori Keynes ( Keynesian Consumption Model )
a. Hubungan Pendapatan Diposable dan Konsumsi
Keynes menjelaskan bahwa konsumsi saat ini (current consumption) sangat dipengaruhi
oleh pendapatan diposabel saat ini (current diposable income). Jika pendapatan disposabel
meningkat, maka konsumsi juga akan meningkat. Hanya saja peningkatan konsumsi tersebut
tidak sebesar peningkatan pendapatan diposabel.
C = Co + bYd Ket : C = konsumsi
Co = konsumsi otonomus
b = marginal propensity to consume (MPC)
Yd = pendapatan diposable
0 < b < 1
b.Kecenderungan Mengkonsumsi Marjinal
Kecenderungan mengonsumsi marjinal (Marginal Propensity to Consume, disingkat MPC)
adalah konsep yang memberikan gambaran tentang berapa konsumsi akan bertambah bila
pendapatan disposabel bertambah satu unit.
MPC = C
Yd
0 < MPC < 1
c. Kecenderungan Mengonsumsi Rata-Rata
Kecenderungan mengonsumsi rata-rata (Average Propensity to Consum, disingkat APC)
adalah rasio antara konsumsi total dengan pendapatan disposabel total.
APC = C
Yd
Karena besarnya MPC < 1, maka APC < 1
d. Hubungan Konsumsi dan Tabungan
Pendapatan disposabel yang diterima rumah tangga sebagian besar digunakan untuk
konsumsi, sedangkan sisanya ditabung. Kita juga dapat mengatakan setiap tambahan
penghasilan disposabel akan dialokasikan untuk menambah konsumsi dan tabungan.
Besarnya tambahan pendapatan disposabel yang menjadi tambahan tabungan disebut
kecenderungan menabung marginal (Marginal Propensity to Save/MPS). Sedangkan rasio
antara tingkat tabungan dengan pendapatan disposabel disebut kecenderungan menabung
rata-rata (Avarage Propensity to Save/APS)
Rumus :
Yd = C + S (saving)
MPS = 1 ā€“ MPC
APS = 1 ā€“ APC
Kelompok Pendapatan Masyarakat
a. Menengah keatasb. Menengah ke bawahc. Tinggi
• Ada dua karakteristik penting dari prilaku konsumsi orang berpendapatan
relative (menengah ke atas)
1. Adanya sikaf saling ketergantungan atau Interpendensi
2. Sepanjang waktu prilaku konsumsi tidak dapat dirubah
• Prilaku konsumsi orang perpendapatan relative (menengah ke bawah)
APC nya lebih tinggi dibandingkan APC orang kaya disebabkan efek yang
ingin menonjolkan diri.
• Prilaku konsumsi orang miskin biasanya meniru prilaku konsumsi orang
kaya.
Pengeluaran Konsumsi dan Faktor yang mempengaruhi
Pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pemerintah (government consumption) dan
konsumsi rumah tangga (household consumption/private consumption). Factor-faktor yang
mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga, antara lain :
1. Faktor Ekonomi
faktor yang menentukan tingkat konsumsi, yaitu :
a. Pendapatan Rumah Tangga ( Household Income )
Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya
makin baik tingkat pendapatan, tongkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat
pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi
menjadi semakin besar atau mungkin juga pola hidup menjadi semakin konsumtif, setidak-
tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik. Pada dasarnya pengeluaran konsumsi rumah
tangga memiliki porsi terbesar dalam total pengeluaran agregat. Mislanya, prosi pengeluaran
rumah tangga pada tahun 2007 mencapai sekitar 63% pengeluaran agregat. Sedangakan
pengeluaran pemerintah 8,3% pengeluaran agregat pada tahun yang sama. Mengingat
porsinya yang besar tersebut, maka konsumsi rumah tangga mempunyai pengaruh yang besar
pula terhadap stabilitas perekonomian. Contoh sederhana prilaku kosumsi berdasarkan
pendapatan rumah tangga adalah jika pendapatan sang ayah masih sangat rendah, biasanya
beras yang dipilih untuk konsumsi juga beras kelas rendah. Tetapi jika penghasilan ayah
meningkat, beras yang dipilih sudah dinaikkan menjadi beras kelas satu misalnya beras
anggur
b. Kekayaan Rumah Tangga ( Household Wealth )
Tercakup dalam pengertian kekayaaan rumah tangga adalah kekayaan rill (rumah,
tanah, dan mobil) dan financial (deposito berjangka, saham, dan surat-surat berharga).
Kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi, karena menambah pendapatan disposable.
Tingginya tingkat konsumsi masyarakat sebenarnya tidak sebanding dengan tingkat
pendapatan nasional.
Orang-orang dengan pendapatan tinggi cenderung untuk menabung dengan proporsi
yang lebih tinggi dari pendapatannya dibanding dengan orang-orang yang berpendapatan
rendah. Lebih dari itu orang-orang dengan pendapatan rendah cenderung mempunyai
tabungan negatif karena pendapatnya tidak mencukupi kebutuhan konsumsi minimum.
c. Tingkat Bunga ( Interest Rate )
Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi keinginan konsumsi. Dengan tingkat bunga
yang tinggi, maka biaya ekonomi (opportunity cost) dari kegiatan konsumsi akan semakin
mahal. Bagi mereka yang ingin mengonsumsi dengan berutang dahulu, misalnya dengan
meminjam dari bank atau menggunakan kartu kredit, biaya bunga semakin mahal,
sehingga lebih baik menunda/mengurangi konsumsi sedangakan dampak lainnya adalah
masyarakat jadi berlomba-lomba menabung demi mendapatkan bunga yang tinggi.
Hal ini terjadi pada tahun 2007 dimana belum meningkatnya kegiatan sektor riil
secara berarti juga sangat erat terkait dengan masih rendahnya tingkat penyaluran kredit
perbankan. Hingga Maret 2007 posisi kredit perbankan baru mencapai Rp 794,71 triliun,
atau hanya naik sekitar 0,87 persen terhadap posisi kredit pada akhir tahun 2006 (sekitar
Rp 787,14 triliun). Dengan posisi penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) sekitar Rp
1.302 trilun pada akhir Maret 2007, maka Loan to Deposits Ratio (LDR) perbankan yang
masih sekitar 61 persen menunjukkan masih belum membaiknya ekspansi kredit
perbankan secara memadai.
Rendahnya ekspansi kredit tidak semata-mata karena keengganan perbankan untuk
menyalurkan kredit, tetapi juga karena keragu-raguan pelaku usaha memanfaatkan kredit.
Hal ini tercermin dari tingginya volume kredit yang sudah disetujui tetapi tidak dicairkan
oleh nasabah (undisbursed loan), yang pada akhir tahun 2006 mencapai lebih dari Rp 158
triliun. Tingginya risiko pasar karena iklim usaha yang tidak kondusif, dan juga relatif
masih tingginya suku bunga kredit merupakan faktor-faktor utama yang menurunkan
minat pelaku usaha untuk memanfaatkan kredit perbankan.
Meskipun tingkat suku bunga kredit terus menurun sehingga sekarang berada pada
kisaran sekitar 14,5% untuk kredit investasi dan kredit modal kerja, namun tetap
menyebabkan tingginya persepsi risiko kredit macet sampai saat ini. Dengan tingkat suku
bunga setinggi itu, jelas tidak akan mudah bagi dunia usaha untuk memperoleh
keuntungan yang memadai di tengah persaingan usaha yang sangat tinggi dewasa ini.
Selayaknya, dunia perbankan didorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit ke
tingkat yang bisa menawarkan keuntungan berinvestasi di sektor riil. sehingga spread
antara suku bunga kredit dengan suku bunga deposito tidak terlalu tinggi. Spread suku
bunga yang relatif tinggi dewasa ini tidak saja menunjukkan masih tidak efisiennya
industri perbankan nasional, tetapi sekaligus mencerminkan kegagalan proses penyehatan
perbankan dari sisi intermediasi, meskipun sudah menelan biaya sekitar Rp 650 triliun.
Dengan tingkat suku bunga deposito sekitar 8 - 8,5% per tahun, spread suku bunga
dewasa ini mencapai sekitar 5.5 – 6%. Padahal di awal tahun 2002 spread suku bunga
sempat di sekitar 2 persen.
Tingginya persepsi risiko kredit macet juga dikaitkan dengan kurang kondusifnya iklim
usaha dan iklim investasi di Indonesia, yang meningkatkan risiko kegagalan jika
berhadapan dengan arus globalisasi ekonomi. Semakin memburuknya daya saing industri
Indonesia tidak saja tercermin dari indeks nilai tukar perdagangan (term of trade) tetapi
juga dari real effective echange rate pada beberapa negara mitra dagang Indonesia.
Lemahnya daya saing industri Indonesia tidak saja berhadapan dengan produk-produk
China, tetapi juga dengan India, dan bahkan juga dengan Vietnam.
Lemahnya dukungan kredit perbankan tehadap sektor riil semakin mengemuka dengan
kenyataan bahwa ekspansi kredit lebih mengarah ke sektor konsumsi. Setelah sempat
melemah pada tahun 2006, kredit konsumsi kembali meningkat pada tahun 2007. Dari
kenaikan total kredit sebesar 0,87 persen, kenaikan kredit investasi tercatat sebesar 0,7
persen dan kenaikan kredit modal kerja sebesar 0,37 persen. Sedangkan kenaikan kredit
konsumsi mencapai 2,21%.
d. Perkiraan Tentang Masa Depan (Household Expectation About The Future)
Faktor-faktor internal yang dipergunakan untuk memperkirakan prospek masa depan
rumah tangga antara lain pekerjaan, karier dan gaji yang menjanjikan, banyak anggota
keluarga yang telah bekerja.
Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi antara lain kondisi perekonomian
domestic dan internasional, jenis-jenis dan arah kebijakan ekonomi yang dijalankan
pemerintah,selain itu menginvestasikan emas juga dapat dilakukan dengan ekspetasi bahwa
harga emas akan naik .
2. Faktor Demografi
a. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara
menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relative rendah.
Pengeluaran konsumsi suatu negara akan sangat besar, bila jumlah penduduk sangat banyak
dan pendapatan per kapita sangat tinggi. Misalnya, walaupun tingkat konsumsi rata-rata
penduduk Indonesia lebih rendah daripada penduduk Singapura, tetapi secara absolut tingkat
pengeluaran konsumsi Indonesia lebih besar dari Singapura. Sebab jumlah penduduk
Indonesia yang 50 kali lipat dari Singapura.
b. Komposisi Penduduk
Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi, antara lain :
Makin banyak penduduk yang berusia kerja atua produktif (15-64 tahun), makin
besar tingkat konsumsi. Sebab makin banyak pendudukyang bekerja, penghasilan juga
makin besar..Makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, tingkat konsumsinya
juga ,makin tinggi, sebab pada saat seseorang atau suatu keluarga makin berpendidikan
tinggi maka kebutuhan hidupnya makin banyak.
3. Faktor-faktor Non Ekonomi
Factor-faktor non-ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya konsumsi
adalah faktor social budaya masyarakat. Misalnya saja, berubahnya pola kebiasaan
makan, perubahan etika dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain.
Factor non ekonomi ini hanya sebahagian kecil masyarakat umumnya mereka yang
tinggal di daerah bukan di pusat kota, atau dinegara sedang berkembang yang selalu
melihat gaya hidup Negara maju dan makmur yang cenderung dianggap lebih hebat.
C. KESIMPULAN
Sebenarnya masih banyak hal yang mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat
selain apa yang dipaparkan diatas, namun referensi yang terbatas hanya sebahagian saja
yang bisa di tuliskan, namun pada hakikatnya pengaruh tingkat pendapatan masyarakat
memang menjadi pokok utama yang mempengaruhi daya konsumsi masyarakat. Sudah
menjadi suatu sebab akibat bahwa bila pendapatan seseorang meningkat maka gaya hidup
dan tingkat konsumsipun akan meningkat pula, seiring dengan kemampuan yang didapat
dari hasil jerih payah atau pola hidup yang sewaktu-waktu mengalami perubahan. Dari
penjelasan diatas ada beberapa factor tentang tingkat pendapatan yang mempengaruhi
tingkat konsumsi masyarakat dapat disimpulkan yakni factor ekonomi, factor demografi
dan factor non ekonomi. Adapun alasan-alasan masing-masing factor dapat dilihat pada
uraian diatas. Kurang lebihnya tulisan ini penulis hanya memberikan pendapat seseuai
dengan referensi yang ada.
Penulis melampirkan contoh nyata konsumsi masyarakat Indonesia Tahun 2007 yang
dilihat dari tingkat pendapatan (lembaran berikut).
Pola Konsumsi Indonesia Tahun 2007
Structure of demand Percent of GDP at current market prices 2007
Private consumption 63.5
government consumption 8.3
Gross domestic capital formtion 24.9
Exports of goods and services 29.4
Imports of goods and services 25.3
Menurut data ADB GDP Indonesia tahun 2007 sebesar 63,5% berasal dari konsumsi. Ini menunjukkan betapa signifikannya konsumsi terhadap produktivitas masyarakat Indonesia. Dalam menganalisa perilaku konsumsi masyarakat Indonesia, kami memfokuskan diri pada konsumsi masyarakat urban/perkotaan. Melihat proporsi populasi berdasarkan pengeluaran, 52,45% masyarakat perkotaan merupakan golongan pengeluaran Rp 200.000 – 499.999. Berarti golongan ini yang memegang peranan penting dalam konsumsi masyarakat perkotaan.
Untuk mengetahui barang dan jasa apa saja yang dikonsumsi, dilakukan analisis bagaimana setiap golongan melakukan konsumsinya.
Golongan pengeluaran kurang dari Rp 100.000 per bulan
Golongan ini memiliki tingkat konsumsi terbesar pada padi-padian sebesar 31.5 persen dari pengeluarannya, perumahan dan fasilitas rumah tangga sebesar 17.8%, barang dan jasa 9.22%, makanan dan minuman jadi sebesar 8.1 persen, sayur-sayuran 6.22%, bahan minuman 3.59%, pakaian, alas kaki, dan tutup kepala 3.36%.
Masyarakat golongan ini memiliki pengeluaran diatas 80% pada padi-padian. Dan masyarakat ini memiliki prioritas pada padi-padian dibanding hal-hal lainnya yang menjadi tolak ukur tersebut.
Golongan pengeluaran dari Rp 100.000-149.900 per bulan
Golongan ini memiliki tingkat konsumsi terbesar pada padi-padian sebesar 23.15 persen dari pengeluarannya, perumahan dan fasilitas rumah tangga sebesar 18.15%, barang dan jasa 11.41%, makanan dan minuman jadi sebesar 10,06% persen, sayur-sayuran 5,54%, tembakau dan sirih 5.28%, pakaian, alas kaki, dan tutup kepala 3.73%, dan ikan sebesar 3.43%.
Masyarakat golongan ini memiliki pengeluaran diatas 80% tetap pada pada padi-padian. Dan masyarakat ini memiliki prioritas pada padi-padian dibanding hal-hal lainnya yang menjadi tolak ukur tersebut.
Golongan pengeluaran dari Rp 150.000-199.999 per bulan
Golongan ini memiliki tingkat konsumsi terbesar pada perumahan dan fasilitas rumah tangga sebesar 19.22 persen dari pengeluarannya, padi-padian pada nomer 2 sebesar 18.01%, barang dan jasa 12.42%, makanan dan minuman jadi sebesar 10,88% persen, tembakau dan sirih 5.82%, sayur-sayuran 5,12%, ikan sebesar 3.62%, pakaian, alas kaki, dan tutup kepala 3.61%, terakhir bahan minuman sebesar 3.07%.
Masyarakat golongan ini memiliki pengeluaran diatas 80% berubah dari padi-padian menjadi perumahan dan fasilitas rumah tangga. Dan masyarakat ini memiliki prioritas pada perumahan dan fasilitas rumah tangga dibanding hal-hal lainnya yang menjadi tolak ukur tersebut.
Golongan pengeluaran dari Rp 200.000-299.999 per bulan
Golongan ini memiliki tingkat konsumsi terbesar pada perumahan dan fasilitas rumah tangga sebesar 20.72 persen dari pengeluarannya, barang dan jasa pada nomer dua sebesar 13.57, padi-padian sebesar 12.73%, makanan dan minuman jadi sebesar 11.6% persen, tembakau dan sirih 6.08%, sayur-sayuran 4.63%, barang-barang yang tahan lama 4.02%, ikan sebesar 3.83%, pakaian, alas kaki, dan tutup kepala 3.47%
Masyarakat golongan ini memiliki pengeluaran diatas 80% tetap pada perumahan dan fasilitas rumah tangga. Dan masyarakat ini memiliki prioritas pada perumahan dan fasilitas rumah tangga dibanding hal-hal lainnya yang menjadi tolak ukur tersebut.
Golongan pengeluaran antara Rp 300.000 – Rp 499.999 per bulan
Masyarakat golongan ini mengalokasikan pengeluaran paling besar untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga (22.5%) diikuti dengan konsumsi terhadapat barang dan jasa untuk bensin (17.23%). Untuk konsumsi makanan jadi sebesar 12.07% dari total pengeluaran. Padi-padian sebesar 8.75%. Tembakan dan sirih (mayoritas adalah rokok kretek filter) sebesar 5.5%. Pengeluaran untuk ikan sebesar 3.98%. Barang – barang yang tahan lama (mobil dan perawatanya) sebesar 3.97%. Sayur – sayuran sebesar 3.81%. Telur dan susu sebesar 3.65%. Pakaian, alas kaki, dan penutup kepala sebesar 3.3%. Buah – buahan (komposisi paling besar adalah rambutan) 2.6%. Pengeluaran untuk daging sebesar 2.1%.
Golongan pengeluaran antara Rp 500.000 – Rp 749.999 per bulan
Masyarakat golongan ini mengalokasikan pengeluaran paling besar untuk kategori perumahan dan fasilitas rumah tangga untuk sewa rumah (24.74%). Untuk barang dan jasa sebesar 21.98%. Pengeluaran untuk kategori makanan dan minuman jadi (gorengan) sebesar 12.26% dari total pengeluaran. Untuk kategori barang – barang yang tahan lama dengan mayoritas untuk kendaraan dan perbaikanya sebesar 5.72% diikuti oleh padi – padian dengan mayoritas untuk beras sebesar 5.55%. pengeluaran untuk tembakan dan sirih (rokok kretek filter) sebesar 4.38%. Pengeluaran untuk ikan sebesar 3.69% diikuti telur dan susu (3.62%). Untuk pakaian, alas kaki, dan penutup kepala sebesar 3.33%
Golongan pengeluaran antara Rp 750.000 – Rp 999.999 per bulan
Masyarakat pada golongan ini dari total pengeluaran, sebesar 24.74% digunakan untuk kategori perumahan dan fasilitas rumah tangga dengan mayoritas untuk sewa rumah. Untuk barang dan jasa (mayoritas untuk bensin) sebesar 21.98%. Pengeluaran untuk makanan dan jadi (mayoritas untuk gorengan) sebesar 12.17%. Untuk kategori barang – barang yang
tahan lama dengan mayoritas untuk kendaraan dan perbaikannya dialokasikan sebesar 7.19%. Pengeluaran untuk padi – padian (mayoritas untuk beras) sebesar 3.88% diikuti oleh telur dan susu (3.63%), tembakan dan sirih dengan mayoritas untuk rokok kretek filter (3.48%), dan ikan (3.16%).
Golongan pengeluaran lebih dari Rp 1.000.000 per bulan
Untuk masyarakat golongan ini mempunyai pengeluaran sebesar 27.7% dari total pengeluaranya untuk kebutuhan perumahan dan fasilitas rumah tangga (mayoritas untuk sewa rumah) diikuti oleh pengeluaran untuk barang dan jasa (mayoritas untuk bensin) sebesar 25.06%. Pengeluaran untuk barang – barang yang tahan lama paling banyak untuk bensin sebesar 11.9% dari total pengeluaran. Untuk makanan dan minuman jadi (mayoritas untuk gorengan) sebesar 9.33%. Untuk keperluan pesta dan upacara mempunyai porsi sebanyak 3.9% diikuti oleh pengeluaran untuk pajak dan asuransi sebesar 2.95%