Muhammad Ais Luthfi Fisip
date post
01-Mar-2016Category
Documents
view
20download
0
Embed Size (px)
description
Transcript of Muhammad Ais Luthfi Fisip
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa dilepaskan dari konteks politik,
karena manusia - sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles - adalah zoon
politicon, yakni makhluk yang berpolitik, ini terlihat ketika manusia menjalani
kehidupannya selalu membutuhkan orang lain, dan dalam interaksi dengan orang
lain tersebut terjadi sebuah proses atau perilaku politik dalam skala pengertian
perilaku politik yang bersifat makro.
Sementara perilaku politik dalam skala mikro, dalam hal ini dilihat dari
sudut pandang ilmu politik, menurut Ramlan Surbakti pada dasarnya merupakan
interaksi antara pemerintah dan masyarakat baik individu maupun kelompok
dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik,1
dengan demikian, perilaku politik erat kaitannya dengan interaksi individu-
individu maupun kelompok atau organisasi dengan pemerintah.
Salah satu kelompok atau organisasi di Indonesia yang sejak kelahirannya
selalu berinteraksi dengan pemerintah adalah kumpulan para ulama yang
tergabung dalam wadah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi ini didirikan di Jawa
Timur pada tanggal 31 Januari 1926 M yang bertepatan dengan tanggal 16 Rajab
1344 H.
1 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Grasindo: 1999), cet. IV, h. 15
2
Dalam perjalanannya yang sangat panjang, NU memiliki dinamika
multidimensi, terutama jika dikaitkan dengan negara yang terpersonifikasi
dalam pemerintah, sehingga NU membutuhkan sebuah improvisasi dalam
menjalani perilaku politiknya.
Salah satu improvisasi perilaku politik NU yang sangat terkenal terjadi
pada tahun 1980-an, pada saat itu dalam tubuh NU terjadi dinamika politik
sebagai ekses dari perilaku politik J. Naro2 yang menekan dan meminimalisir
peranan NU dalam tubuh PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Andree Feillard
menyebut keadaan ini dengan istilah de-NU-isasi,3 para tokoh NU kemudian
mengambil sikap tegas dalam muktamar ke 27 di Situbondo dengan menyatakan
bahwa NU kembali ke Khittah 1926,4 keluar dari Partai Persatuan Pembangunan
2 Pada saat itu J. Naro adalah ketua umum PPP yang mempunyai kedekatan khusus
dengan Presiden Soeharto, dan Soeharto melakukan resistensi terhadap kelompok-kelompok Islam termasuk NU. Menurut A. M Fatwa, pada tahun 1986-1985 merupakan fase marjinalisasi Islam, dalam fase ini keberadaan umat Islam sungguh sengsara. Islam dianggap sebagai kelompok pembangkang dan segala aspirasi politiknya selalu dicurigai. Bahasa yang sering digunakan oleh rezim orde baru saat itu adalah Koji (komando Jihad), golongan anti pancasila dan kelompok ekstrem kanan yang mempunyai cita-cita ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dan semua istilah tersebut dimaksudkan untuk mendeskriditkan Islam dan dengan demikian Islam berada di tempat yang marjinal. semua terjadi dikarenakan pertama, pemerintah orde baru yang bersifat militeristik masih dibayangi oleh trauma sejarah terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Islam dan masih dianggap sebagai kelompok pengganggu stabilitas dan kesatuan bangsa. Kedua rezim orde baru didominasi oleh kelompok figur atau kelompok yang anti-Islam dan Islam fobia. Lihat A. M. Fatwa Satu Islam Multipartai, (Bandung: Mizan), 2000, cet. I, h. 37-38
3 Andree Feillard, NU vis a vis Negara, penj. Lesmana, (Jogjakarta: LKiS, 1999), cet. I, h.223-224
4 Keputusan Kembali Khittah 1926 berarti NU menyatakan kembali kepada jati dirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan yang lebih beorientasi dan berkonsentrasi pada pembinaan ummat dari pada berkicimpung dalam dunia politik praktis. Walaupun secara kelembagaan NU tidak berpolitik praktis, namun secara individual membolehkan para kadernya untuk terlibat dalam politik praktis. Dalam proses perumusan kembali ke khittah 1926 Menurut Mitsuo Nakamura, ada dua dokumen penting yang harus dikaji secara teliti, kedua dokumen tersebut ditulis oleh KH Ahmad Siddik, yakni Khittah Nahdliyin yang diterbitkan beberapa bulan sebelum Mutamar Semarang dan kertas kerja yang berjudul pemulihan Khittah NU 1926 yang
3
(PPP) serta menerima Pancasila sebagai asas Organisasi.5 Bukan hanya itu saja,
dalam muktamar tersebut Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus
Dur terpilih menjadi ketua umum tanfidziyah PBNU.
Mengenai konteks naiknya Gus Dur sebagai ketua umum PBNU
nampaknya bisa dilihat melalui pendekatan teori kepemimpinan klasik, yakni
teori sifat (trait theori) atau disebut juga dengan teori the great man, menurut
teori ini seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin akan menjadi pemimpin
tanpa memperhatikan apakah ia mempunyai sifat atau tidak mempunyai sifat
sebagai pemimpin, atau dengan kata lain pemimpin itu bukan dibuat, melainkan
diciptakan.6
Begitu pun dengan Gus Dur, seolah ia dilahirkan untuk memimpin NU,
karena dalam diri Gus Dur mengalir darah kepemimpinan dua founding father
NU, yakni KH. Hasyim Asy`ari dan KH. Bisri Syansuri, dan ditambah lagi
dikemukakannya dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo bulan Desember 1983, setahun sebelum Muktamar diadakan. Pemahaman terhadap arah dan tujuan kedua dokumen tersebut sangatlah penting jika ingin menyibak apa yang terjadi sepanjang periode ini. Semua terfokus pada ide-ide prospektif dari gerakan reformasi yang dimotori oleh Ahmad Siddik dan Abdurrahman Wahid. Sumber-sumber penting yang dicatat Nakamura adalah artikel Abdurrahman Wahid yang diangkat dari wawancara panjang dengannya berjudul Menerapkan pangkalan-pangkalan pendaratan menuju Indonesia yang kita cita-citakan. Dalam artikel tersebut Abdurrahman Wahid menyiratkan adanya keinginan yang lebih kuat untuk lebih intensif mengurusi persoalan-persoalan sosial, dan bukan persoalan-persoalan politik. Lihat Greg Barton & Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama - Negara, Penj. Ahmad Suaedy, dkk, (Yogyakarta: LKiS; 2010), cet. III, h. 122-123
5 Dalam proses penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi, internal NU mengalami kontroversi, dan persoalan utama yang ditimbulkan pancasila adalah bukanlah masalah tidak dicantumkannya syariat, tapi soal penganut kepercayaan dan animisme yang dituduh syirik oleh Islam. Namun kemudian KH Ahmad Shidik yang ditunjuk oleh para ulama besar untuk mengemukakan argumen-argumen fikih menyatakan bahwa Islam dan pancasila memang berbeda, namun memiliki persamaan. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, h 219-222
6 Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada; 2006), cet. I, h. 32
4
melihat potensi yang dimilikinya serta dengan dukungan beberapa tokoh senior
NU pada saat itu sehingga Gus Dur pun menjadi seorang pemimpin Tanfidziyah
PBNU.
Pada saat Gus Dur menjabat sebagai ketua umum, perilaku politik Gus
Dur di satu sisi bersikap akomodatif dengan pemerintah, sehingga hubungan NU
dengan pemerintah yang sebelumnya saling berhadapan menjadi membaik,
namun di sisi lain perilaku politik Gus Dur cenderung menjadi oposan
pemerintah karena Gus Dur sering mengkritisi pemerintah dengan lantang dan
alasan inilah yang membuat pemerintah sering melakukan intervensi terhadap
NU.
Pada tahun 1998 rezim Soeharto tumbang oleh gerakan mahasiswa dan
Gerakan Rakyat yang menuntut agar Soeharto melepaskan jabatan Presiden dan
diadakannya reformasi di Indonesia, setelah Soeharto turun dari jabatan Presiden
Republik Indonesia ia mengangkat Wakil Presiden B.J Habibie sebagai
penggantinya.
Dengan runtuhnya rezim Soeharto membawa implikasi euforia politik
pada rakyat Indonesia, dengan ditandai munculnya puluhan bahkan ratusan partai
politik termasuk partai politik milik warga NU, pada waktu itu sebagian besar
warga NU menginginkan agar NU memiliki partai politik, dikarenakan desakan
dari warga NU semakin meningkat pada akhirnya usulan ini diterima oleh
PBNU dan kemudian dideklarasikanlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh
5
Gus Dur, partai tersebut dideklarasikan di kediamannya Gus Dur yang ada di
daerah Ciganjur Jakarta Selatan.
Namun setelah dilakukannya verifikasi terhadap partai politik hanya 42
partai politik yang diperbolehkan menjadi peserta pemilu, dan PKB termasuk
salah satu dari 42 partai politik tersebut. Setelah diadakannya pemilihan umum,
perolehan kursi di DPR dari PKB adalah sebanyak 41 kursi.
Pada saat pemilihan legislatif telah selesai, kemudian dilanjutkan dengan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dalam proses pemilihan Presiden ini,
partai-partai Islam yang mendapatkan kursi di parlemen membentuk kaukus
Islam dengan nama poros tengah yang menjadikan Gus Dur sebagai Calon
Presidennya,7 melalui Poros Tengah inilah kemudian Gus Dur menjadi Presiden
keempat Republik Indonesia, dan pada saat yang bersamaan Gus Dur masih
menjabat sebagai ketua umum PBNU. Gus Dur menjabat ketua Umum PBNU
selama tiga periode, yakni dari tahun 1984 sampai 1999.
Setelah Gus Dur tidak lagi memimpin NU, dalam muktamar ke-30 NU
pada tahun 1999 yang bertempat di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Hasyim
Muzadi terpilih menjadi ketua umum PBNU, dan jika memakai pendekatan teori
the great man, naiknya Hasyim menjadi ketua umum lebih karen