repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48297/1/EVA MOULIA... ·...
Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48297/1/EVA MOULIA... ·...
ANALISIS KOMUNITAS BAKTERI TANAH SULFAT MASAM
DARI DUA TIPE LAHAN RAWA DI KALIMANTAN DENGAN
PENDEKATAN Next Generation Sequencing (NGS)
EVA MOULIA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1441 H
ii
ANALISIS KOMUNITAS BAKTERI TANAH SULFAT MASAM
DARI DUA TIPE LAHAN RAWA DI KALIMANTAN DENGAN
PENDEKATAN Next Generation Sequencing (NGS)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
EVA MOULIA
11150950000052
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1441 H
vi
ABSTRAK
Eva Moulia. Analisis Komunitas Bakteri Tanah Sulfat Masam dari Dua Tipe
Lahan Rawa di Kalimantan dengan Pendekatan Next Generation Sequencing
(NGS). Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019. Dibimbing oleh Dr. Nani
Radiastuti, M.Si dan Dr. Dwi Ningsih Susilowati, S.TP, M.Si.
Lahan sulfat masam merupakan salah satu sumberdaya lahan yang dapat
dikembangkan menjadi lahan pertanian. Namun, perlu didukung oleh perbaikan
teknologi dan pemanfaatan bakteri di dalamnya. Penelitian ini dilakukan untuk
menginvestigasi keanekaragaman bakteri tanah pada dua tipe tanah sulfat masam di
Kalimantan sebagai informasi awal untuk mengoptimalkan peran mikroba dalam
produktivitas tanah dan tanaman di lahan sulfat masam di masa mendatang. Komunitas
bakteri lahan sulfat masam potensial tipe B di Kalimantan Selatan (SKB) dan aktual
tipe C di Kalimantan Tengah (CKB) pada penelitian ini diamati dengan teknik Next
Generation Sequencing. Identifikasi menggunakan analisis FLASH (V1.2.7) dan
QIIME (V1.7.0). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar komunitas
bakteri tanah pada tanah sulfat masam potensial Kalimantan Selatan (SKB) sangat
mirip dengan komunitas bakteri yang ada di tanah sulfat masam aktual di Kalimantan
Tengah (CKB). Jumlah Unit Taksonomi Operasional (OTU) tanah sulfat masam
potential (SKB) lebih tinggi dibanding tanah sulfat masam aktual (CKB) yaitu 1677
OTU berbanding 1317 OTU. Filum dari komunitas bakteri tanah sulfat masam
potensial (SKB) sebanyak 11 filum dan komunitas bakteri tanah sulfat masam aktual
(CKB) sebanyak 10 filum. Filum yang mendominasi di kedua tipe tanah sulfat masam
tersebut di antaranya adalah Proteobacteria, Acidobacteria, dan Actinobacteria.
Perbandingan sifat kimia tanah dan Total Plate Count berdasarkan analisis
laboratorium menunjukkan tanah sulfat masam potensial Kalimantan Selatan memiliki
tingkat kesuburan lebih baik dibandingkan dengan tanah sulfat masam aktual
Kalimantan Tengah yang kemungkinan mempengaruhi keanekaragaman bakteri tanah
yang ada di kedua tipe tanah sulfat masam tersebut.
Kata kunci: Bakteri tanah; Next Generation Sequencing; Tanah sulfat masam; Unit
Taksonomi Operational
vii
ABTRACT
Eva Moulia. Analysis of Acid Sulfate Soil Bacteria Communities from Two Types
of Swamp Land in Kalimantan with the Next Generation Sequencing (NGS)
Approach. Undergraduete Thesis. Departement of Biology. Faculty of Science and
Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019. Advised
by Dr. Nani Radiastuti, M.Si and Dr. Dwi Ningsih Susilowati, S.TP, M.Si.
Acid sulfate land is one of the land resources that can be developed into agricultural
land. However, it needs to be supported by technological improvements and the use of
microorganisms. This research was conducted to investigate the diversity of soil
bacteria in two types of acid sulfate soils in Kalimantan as preliminary information to
optimize the role of microbes in increasing soil and plant productivity in acid sulfate
land in the future. Acid sulfate land bacterial communities in South Kalimantan
(potential type B) and Central Kalimantan (actual type C) in this study were discussed
with Next Generation Sequencing techniques. Identification using FLASH (V1.2.7) and
QIIME (V1.7.0) analysis. The results of this study indicate that most of the soil
bacterial communities in South Kalimantan potential acid sulfate soils (SKB) are
similar to the bacterial communities that exist in actual acid sulfate soils in Central
Kalimantan (CKB). The number of Operational Taxonomy Units (OTU) potentials for
SKB acid sulfate soils is higher than the actual CKB acid sulfate soils, which are 1677
OTU compared to 1317 OTU. Phylum of potential sulfate soil bacterial community
SKB was 11 phylum and the actual CKB sulfate soil bacterial community was 10
phylum. Domination phylum in the two acid sulfate soils mentioned are Proteobacteria,
Acidobacteria, and Actinobacteria. Comparison of soil chemical properties and plate
counts based on laboratory analysis shows South Kalimantan's potential acid sulfate
soils have a better fecundity rate than Central Kalimantan's actual acid sulfate soils
that enhance the compatibility of soil bacteria present in such acid sulfate soils
Keywords: Acid sulfate soil; Next Generation Sequencing; Operational Taxonomy
Unit; Soil bacteria
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah azza wa jalla penulis ucapkan, karena berkat izin-
Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Analisis
Komunitas Bakteri Tanah Sulfat Masam Dari Dua Tipe Lahan Rawa Di
Kalimantan dengan Pendekatan Next Generation Sequencing (NGS)” dalam
rangka Tugas Akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada
Program Studi Biologi di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis ingin mengucapkan terima kasih karena
adanya dukungan dari banyak pihak terkait dalam penulisan proposal ini, untuk
itu penulis berterimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud. selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M. Si. selaku Ketua Program Studi Biologi, beserta jajarannya
yang telah memberi izin penelitian.
3. Dr. Nani Radiastuti, M. Si dan Dr. Dwi Ningsih Susilowati, S.TP., M.Si selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, nasihat dan saran yang
membangun kepada penulis.
4. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si dan Agustina Senjayani, M.Si selaku dosen
penguji seminar proposal serta seminar hasil atas kesedian dalam memberikan
arahan serta saran yang bermanfaat untuk skripsi yang lebih baik.
5. Dr. Agus Salim, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si selaku dosen penguji sidang
Munaqosyah yang telah memberikan arahan serta saran yang membangun
dalam penulisan skripsi.
6. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya
Genetik Pertanian (BB Biogen) atas kesedian dalam memberikan kesempatan,
dan fasilitas pengerjaan penelitian.
7. Kedua orang tua Bapak Holid Halim dan Ibu Laela Bandarela, serta kedua
kakak yakni Harts Muhasibi dan Lailatul Hikmah yang selalu memberikan
dukungan baik berupa moril maupun materil.
ix
8. Bapak Jajang dan Ibu Aminah selaku keluarga BB-Biogen yang telah
membantu selama proses penelitian.
9. Teman-teman seperjuangan Luftiara, Shabrina, Nurlaili, Adel, Ratna, Dara,
Yulis, Maul, Lida, Nabila, dan Rafaliq silahudi yang telah memberi support
kepada penulis selama penelitian.
10. Seluruh pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat satu
per satu.
Jakarta, November 2019
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................................... vi ABTRACT ........................................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 3 1.3 Hipotesis ............................................................................................................... 3
1.4 Tujuan ................................................................................................................... 3
1.5 Manfaat ................................................................................................................. 3
1.6 Kerangka Berfikir.................................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi dan Karakteristik Lahan Rawa di Kalimantan ............................................ 5 2.2 Tanah Sulfat Masam .............................................................................................. 7
2.3 Bakteri Tanah ........................................................................................................ 8
2.4 Metode Identifikasi Komunitas Mikroba ................................................................ 9 2.5 Next Generation Sequencing (NGS) .................................................................... 11
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat .............................................................................................. 14 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................................... 14
3.3 Cara Kerja ........................................................................................................... 14
3.3.1 Pengambilan Sampel Tanah ................................................................................. 14 3.3.2 Analisis Fisik, Kimia, Sampel Tanah ................................................................... 16
3.3.3 Total Plate Count Bakteri Tanah Mi .................................................................... 17
3.3.4 Penentuan Komunitas Mikroba Dengan Pendekatan NGS .................................... 18
3.3.4.1 Ekstraksi dan pemurnian DNA dari sampel tanah ................................................ 18 3.3.4.2 Amplifikasi gen 16S rRNA (PCR) ....................................................................... 19
3.3.4.3 Kuantifikasi dan Kualifikasi Produk PCR ............................................................ 19
3.3.5 Analisis Data ....................................................................................................... 20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sifat-sifat fisik, dan kimia tanah sulfat masam asal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah ............................................................................................. 21
4.2 Hasil Total Plate Count Bakteri Tanah ................................................................ 27
4.3 Analisis Komunitas Bakteri Asal Sulfat Masam Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah dengan Menggunakan Metode NonKultur dengan NGS ........ 29
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 38 5.2 Saran ................................................................................................................... 38
xi
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 39
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................................. 53
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perkiraan Luas Lahan Rawa di Indonesia (Sumber: BBSDLP, 2014) ........... 6
Tabel 2. Lokasi dan Titik Pengambilan Sampel Tanah ............................................ 15
Tabel 3. Sifat Fisik Tanah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah .................. 21
Tabel 4. Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah
(CKB) ....................................................................................................... 22
Tabel 5. Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah
(CKB) ....................................................................................................... 23
Tabel 6. Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah
(CKB) ....................................................................................................... 26
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Berfikir Penelitian .................................................................... 4
Gambar 2. Peta Wilayah Titik Sampling ................................................................. 16
Gambar 3. Konsentrasi Sel Bakteri Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan (SKB)
dan Tengah (CKB) yang ditumbuhkan pada pH normal serta dan yang
ditumbuhkan pada pH Asam (SKB-Asam) dan (CKB-Asam)................ 27
Gambar 4. Keragaman Bakteri Berdasarkan OTU (Operational Taxonomy Unit) .... 29
Gambar 5. Diagram Venn Pola Tumpang Tindih antar sampel SKB dan CKB ........ 30
Gambar 6. Komposisi Komunitas Bakteri Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Tengah ........................................................................ 31
Gambar 7. Kelimpahan Genus pada Tanah masam Kalimantan Selatan (SKB) dan
Tengah (CKB) ...................................................................................... 33
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perbandingan Teknologi Alat Sekuensing Generasi Kedua ................. 53
Lampiran 2. Kriteria Hasil Analisi Tanah ............................................................... 54
Lampiran 3. Diagram Segitiga Tekstur menurut USDA .......................................... 56
Lampiran 4. Total Populasi Bakteri Asal Tanah Sulfat Masan Kalimantan Selatan
(SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB) ............................................. 57
Lampiran 5. Ekstraksi DNA menggunakan Norgen Soil DNA Isolation Plus Kit
#64000 ............................................................................................. 58
Lampiran 6. Visualisasi DNA Jasil PCR ................................................................ 58
Lampiran 7. Keragaman Bakteri Berdasarkan OTU (Operational Taxonomy Unit)…59
Lampiran 8. Keseluruhan Filum, Kelas, Famili, dan Genus serta Kelimpahan Relatif
(KR) Bakteri Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan (SKB) dan
Kalimantan Tengah (CKB) ................................................................. 60
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lahan rawa di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai lahan
pertanian. Namun, lahan ini mempunyai beberapa kendala dalam hal kesuburan tanah,
salah satunya yaitu lahan yang bersifat sulfat masam. Tanah sulfat masam memiliki
karakteristik berupa ketersediaan hara P yang rendah karena difiksasi oleh Al dan Fe,
serta rendahnya kejenuhan basa yang memicu larutnya unsur beracun dan
meningkatnya kahat hara (kekurangan unsur hara) sehingga tanah menjadi tidak
produktif (Suastika, Hartatik, & Subiksa, 2010).
Menurut Widjaja dan Alihamsyah (1998) luas tanah sulfat masam di Indonesia
mencapai 6.7 juta hektar dan sekitar 1.7 juta hektar lahan tersebut terdapat di
Kalimantan (Haryono, Noor, Syahbuddin & Sarwani, 2013). Potensi lahan sulfat
masam di Kalimantan yang luas inilah menjadi latar belakang diperlukannya
pengelohan lahan sulfat masam agar berdaya guna untuk meningkatkan lahan produksi
pertanian. Tanah sulfat masam di Kalimantan memiliki karakteristik dan tipe lahan
yaitu Potensial tipe B dengan karakter lahan terluapi air pasang hanya pada musim
hujan dan tipe lahan Aktual tipe C yakni dipengaruhi muka air tanah dengan kedalaman
kurang dari 50 cm. Kedua tipe lahan tersebut banyak dijumpai di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Tengah.
Salah satu cara skrining sumber daya tanah sulfat masam yaitu mengidentifikasi
keanekaragaman mikroba di dalamnya khususnya mikroba yang bersifat dapat
mereduksi sulfat untuk mempelajari hubungan komunitas mikroba tersebut dalam
berkontribusi pada peningkatan produktivitas tanah sulfat masam serta vegetasi di
lingkungannya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pranatasari (2012) bahwa
vegetasi yang tumbuh pada lahan yang tidak ditanami tumbuhan pangan merupakan
“seed bank” berbagai spesies mikroba yang berkontribusi untuk produktivitas tanah
dan tanaman saat tanam berikutnya. Penelitian terdahulu oleh Kurniawati, Hamzah
Muttaqin, dan Giyanto (2017) mengenai keanekaragaman bakteri pada pertanaman
2
padi di lahan rawa sulfat masam Desa Karang Indah, Kab. Barito Kuala, Kalimantan
Selatan, memperoleh hasil isolat bakteri sebanyak 31,75%, di antaranya merupakan
kelompok bakteri Actinomycetes, Bacillus, Cromobacterium dan Pseudomonas.
Namun metode yang digunakan hanya terbatas mengkultivasi mikroba pada media
tertentu seperti media tryptic soy agar (TSA), water yeast extract agar (WYE), dan
nutrient agar (NA). Metode kultivasi dinilai kurang efisien dari segi waktu dan tenaga,
serta kurang memadai untuk menganalisis komunitas mikroba pada lingkungan
alaminya, sehubungan dengan adanya sejumlah besar bakteri yang belum dapat
dikulturkan, sehingga diperlukan cara yang lebih valid dan akurat untuk mengetahui
keragaman mikroba, salah satunya dengan menggunakan Next Generation Sequencing
(NGS).
NGS merupakan salah satu teknologi molekuler berdasarkan pada analisis
DNA total komunitas mikroba dan diharapkan dapat mengatasi keterbatasan teknik
pengkulturan. Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Jarvis et al, (2013)
menggunakan teknologi NGS memperoleh sebanyak 16.400 Operational Taxonomi
Unit (OTU) terdiri dari filum Proteobacteria, Actinobacteria, Bacteroidetes,
Cyanobacteria dan Verrucomicrobia dari sampel Sungai Mississippi, Amerika Serikat.
Penerapan NGS lainnya pada digunakan pada studi metagenomik dari bakteri endofit
pada tanaman lidah buaya (Akinsanya, Goh, Lim, & Ting, 2015). Penelitian mengenai
keanekaragaman bakteri tanah sulfat masam dengan teknik NGS belum pernah
dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu untuk mendukung analisis keanekaragaman
bakteri tanah sulfat masam di Kalimantan Selatan (lahan Potensial tipe B) dan
Kalimantan Tengah (Aktual tipe C) perlu dilakukan identifikasi keanekaragaman
bakteri tanah sulfat masam di dalamnya melalui pendekatan molekuler menggunakan
analisis NGS.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui informasi keanekaragaman komunitas
bakteri tanah sulfat masam baik yang dapat dikulturkan maupun yang tidak dapat
dikulturkan (viable but not culturable) dengan menggunakan analisis NGS. Informasi
keanekaragaman mikroba tersebut diharapkan dapat mengidentifikasi genus unik
sebagai plasma nutfah mikroba adaftif dan dapat mengoptimalkan peran mikroba
3
tersebut dalam strategi pengelolaan lahan sulfat masam untuk peningkatan
produktivitas tanah dan tanaman.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1) Bagaimana keanekaragaman komunitas bakteri pada tanah sulfat masam dari
dua tipe lahan rawa potensial tipe B di Kalimantan Selatan (SKB) dan Aktual
tipe C di Kalimantan Tengah (CKB) dengan pendekatan NGS?
2) Bagaimana tingkat kesuburan lahan sulfat masam pada kedua tipe rawa
tersebut?
1.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1) Adanya perbedaan tipe lahan rawa (Potensial tipe B dan Aktual tipe C) di
Kalimantan mempengaruhi perbedaan keanekargaman komunitas bakteri.
2) Semakin beragam struktur komunitas bakteri pada lahan rawa maka semakin
baik kualitas atau tingkat kesuburan lahan tersebut untuk dikembangkan
sebagai lahan pertanian.
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Mengetahui keanekaragaman komunitas bakteri tanah sulfat masam dari dua
tipe lahan rawa, potensial tipe B di Kalimantan Selatan (SKB) dan Aktual tipe
C di Kalimantan Tengah (CKB).
2) Mengetahui tingkat kesuburan lahan sulfat masam pada kedua tipe lahan rawa
tersebut.
1.5 Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah :
Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui hubungan keanekaragaman
mikroba dari ekosistem tanah sulfat dengan aktivitas atau fungsi tanah yang dapat
digunakan untuk menilai status kesuburan tanah. Adanya informasi tersebut
diharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan yang mempelajari optimasi fungsi tanah
sulfat masam untuk peningkatan produksi pertanian secara ramah lingkungan. Saran-
4
saran pengelolaan tanah dengan karakter keanekaragaman hayati dan daya dukung
ekosistem yang dimiliki dapat dibuat untuk mengoptimalkan fungsinya dalam
peningkatan produksi pertanian di tanah sulfat masam.
Data-data yang diperoleh dapat menjadi basic data untuk pengembangan
strategi dan teknologi adaptasi untuk penyesuaian kegiatan dan teknologi dengan
kondisi ekosistem lahan rawa.
1.6 Kerangka Berfikir
Kerangka berpikir dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Berfikir Penelitian
Lahan rawa di Indonesia
memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai lahan
pertanian
Lahan Sulfat Masam Lahan Salin Lahan Gambut
Menggali potensi komunitas
mikroba khas guna produktivitas
lahan sulfat masam
Analisis Molekuler NGS Isolasi dengan teknik
TPC
Keanekaragaman komunitas bakteri tanah sulfat masam pada dua tipe lahan rawa di Kalimantan
---- Kendala
Mikroba yang dapat di kultur
(culturable mikroba)
Mikroba yang tidak dapat di kultur
(viable but not culturable)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi dan Karakteristik Lahan Rawa di Kalimantan
Luas Pulau Kalimantan untuk wilayah Indonesia diketahui sebesar 544.150 km2,
yang terbagi dalam lima provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara (Sosilowati et al.,
2017). Secara geografis, Kalimantan Selatan memiliki kawasan dataran rendah di
bagian barat dan pantai timur yang di dominasi berupa lahan gambut dan rawa,
sedangkan dataran tingginya merupakan hutan hujan tropis (BPS KalSel, 2017).
Vegetasi yang tumbuh pada ekosistem lahan rawa di Kalimantan Selatan secara umum
didominasi oleh tanaman purun tikus (Eleo charisdulcis), karamunting (Melastoma
sp.), Kalaikai (Stochleana palustris J.Sm), tanaman Lombok-lombokan, dan beberapa
tanaman pada varietas lokal (Siam) (Erny et al.,2015)
Wilayah terbesar lainnya yaitu Kalimantan Tengah yang memiliki luas 157.983
km² dan sebesar 80% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah merupakan hutan
primer tersisa sekitar 25% dari luas wilayah (BPS Kalteng, 2017). Rata-rata curah
hujan per tahun di Kalimantan Tengah 1.048-1.930 mm dengan hari hujan 166-169
hari. Kisaran suhu udara adalah Max. 32,4±0,62; Min. 24,23± 1,16 dan kelembapannya
berkisar 86,6±2,23 (Haryono et al., 2013).
Setiap tanah memiliki kandungan sesuai ukuran yang bermanfaat bagi kehidupan
makhluk lain didalamnya, begitu juga dengan luas tanah rawa di Kalimantan yang
berpotensi dikembangkan sebagai lahan pertanian. Sebagaimana Allah SWT berfirman
dalam Al-Qur’an surat Al-Hijr: 19 bahwa segala sesuatu yang Allah SWT ciptakan di
bumi ini sudah ada kadarnya masing-masing sesuai ukuran.
Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan
Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. (QS. AL-Hijr : 19)
6
Berdasarkan kompilasi beberapa peta rawa yang dilakukan Balai Besar Sumber
Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) tahun 2014, diketahui bahwa luas rawa di Indonesia
sebesar 34.926.551 ha (Tabel 1).
Tabel 1.Perkiraan Luas Lahan Rawa di Indonesia (Sumber: BBSDLP, 2014)
Pulau Rawa pasang
surut Rawa lebak Rawa gambut Total luas
…………………….…..x 1.000 ha……………………....
Sumatera 2.501.888 3.988.301 6.436.646 12.926.835
Jawa 896.122 0 0 896.122
Kalimantan 2.301.410 2.944.085 4.778.005 10.023.500
Sulawesi 318.030 706.220 23.844 1.048.094
Maluku 74.395 88.159 0 162.554
Papua 2.262.402 3.916.123 3.690.921 9.869.446
Indonesia 8.354.247 11.642.288 14.929.416 34.926.551
Lahan rawa umumnya tergenang dengan vegetasi hutan primer yang terdiri atas
hutan kayu atau hutan sekunder yang mencakup hutan galam, serapat, belangiran dan
sejenisnya. Faktor yang mempengaruhi pembentukan lahan rawa antara lain bahan
induk penyusun, sedimentasi, vegetasi awal, intensitas pelapukan yang ditentukan oleh
curah hujan, suhu, kelembaban sinar matahari, luapan pasang atau banjir, dan waktu
(Haryono et al., 2013).
Lahan rawa pasang surut adalah lahan yang airnya dipengaruhi oleh pasang
surutnya air laut atau sungai. Badan Litbang Pertanian membagi tipe luapan air lahan
pasang surut berdasarkan pasang siklus bulanan menjadi tipe luapan A, B, C dan D
(Wijaya, 1986). Lahan bertipe luapan A selalu terluapi air pasang, baik pada musim
hujan maupun musim kemarau, sedangkan lahan bertipe luapan B hanya terluapi air
pasang pada musim hujan saja. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi
dipengaruhi muka air tanahnya dengan kedalaman kurang dari 50 cm, sedangkan lahan
7
bertipe luapan D adalah seperti tipe C hanya kedalaman air tanahnya lebih dari 50 cm
(Susilawati, Nursyamsi, & Syakir, 2016).
Walaupun lahan rawa pasang surut potensial dan strategis dikembangkan sebagai
lahan pertanian namun, lahan ini mempunyai beberapa permasalahan dari segi
kesuburan tanah, antara lain pH tanah dan kandungan hara yang rendah, kandungan Fe
dan aluminium yang tinggi, genangan air yang sering tidak dapat dikendalikan
(Purnomo et al., 2005), serta kandungan H2S dan Mn yang dapat mencapai tingkat
racun (Andriesse & Sukardi, 1990). Salah satu masalah tersebut ditemukan pada tanah
sulfat masam. Tanah sulfat masam yang mengalami oksidasi karena didrainase akan
menghasilkan logam Fe dalam jumlah yang mencapai racun dan kemasaman yang
sangat tinggi (Shamshuddin et al., 2004).
2.2 Tanah Sulfat Masam
Tanah sulfat masam terbentuk sekitar ribuan tahun yang lalu setelah proses
peningkatan muka air laut atau transgresi dalam membentuk pirit. Pembentukan pirit
dapat terjadi karena kondisi lingkungan anaerob, adanya sumber sulfat (sebagai aseptor
elektron terakhir) terlarut biasanya dibawa dari air laut, bahan organik sebagai sumber
energi bakteri, sumber besi (umumnya berasal dari sedimen yang mengandung besi
oksida dan hidroksida (Dent & Pons, 1995). Reduksi ion sulfat menjadi sulfida
dilakukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Sulfida-sulfida yang terbentuk selanjutnya
mengalami oksidasi parsial menjadi sulfur elemental dan ion polisulfida. Reaksi sulfida
terlarut dengan besi menghasilkan besi monosulfida (FeS) (Susilawati et al., 2016).
Reaksi monosulfida dengan sulfur ini yang membentuk pirit. Persamaan reaksi
keseluruhan proses pembentukan pirit dinyatakan sebagai berikut:
Fe2O3(s) + 4SO4 2- (aq) + 8CH2O + 1/2O2(aq) ------ 2FeS2(s) + 8HCO3
- (aq) + 4H2O
Pada keadaan tereduksi, pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan
pembentukannya. Namun, penurunan air tanah yang dapat disebabkan peristiwa alam
seperti gerakan tektonik, atau pembuatan drainase yang tidak ramah lingkungan dapat
menyebabkan oksigen dapat menembus ke dalam tanah dan menyebabkan oksidasi
pirit. Produk akhir oksidasi pirit adalah Fe3+oksihidroksida, proton, dan sulfat:
FeS2 + 3.75O2 + 3.5H2O → Fe (OH)3 + 4H+ + 2SO42−
8
Peristiwa oksidasi pirit secara abiotik dan dilakukan oleh aktivitas mikroba
asidofilik pengoksidasi pirit diistilahkan dengan peristiwa “leaching” yaitu aktivitas
mikroba mempercepat laju reaksi oksidasi pirit dengan co-oksidasi Fe(OH)3 yang
menghasilkan Fe3+ yang berperan sebagai pengoksidasi kuat pirit (Wu et al., 2013).
Oksidasi pirit juga menghasilkan oksida besi (Fe2O) dalam bentuk karat (Yu et al.,
2012). Sedangkan dampak ion sulfat (SO4-2) dan hidrogen (H+) menyebabkan
penurunan pH tanah atau air menjadi sangat masam yang selanjutnya menyebabkan
kelarutan Al3+, Fe2+ dan Mn2+ tinggi dalam tanah sehingga kejenuhan basa menjadi
rendah dan terjadi kekahatan unsur hara di dalam tanah (Widjaja & Alihamsyah, 1998).
Berdasarkan kedalaman pirit dan tingkat intensitas oksidasi yang terjadi, Widjaja
et al., (1986) dalam Suastika et al., (2010) mengklasifikasikan lahan sulfat masam
menjadi tiga golongan yaitu lahan potensial (Sulfat masam Potensial) dengan kadar
pirit <2% pada kedalaman 50 cm dari permukaan tanah; lahan sulfat masam potensial
dengan ciri kadar lapisan pirit sebesar >2% tidak/belum mengalami proses oksidasi,
dan terletak lebih dangkal <50 cm; serta lahan sulfat masam actual dicirikan keadaan
pH tanah <3,5.
Sifat fisika tanah utama sulfat masam adalah tekstur tanah yang umumnya liat
(clay), lempung (loam), dan sebagian berpasir (sandy), kerapatan tergolong rendah,
yaitu berkisar 0,52 – 0,95 g cm-3, dan porositas antara 64,2-80,4% (Nugroho et al.,
1998). Tanah sulfat masam mempunyai karakteristik kimia tanah yang kurang baik
yakni ketersediaan fosfat rendah karena diikat oleh besi atau aluminium dalam bentuk
besi fosfat atau aluminum fosfat. Sumber kemasaman tanah sulfat masam berasal dari
senyawa pirit (FeS2) yang teroksidasi melepaskan ion-ion hidrogen dan sulfat yang
diikuti oleh penurunan pH menjadi sekitar 3 (Subagyo & Widjaja, 1998).
2.3 Bakteri Tanah
Bakteri indigenous yaitu bakteri yang secara alami hidup bebas di alam dan
memiliki berbagai macam manfaat bagi manusia. Beberapa hasil penelitian yang
memanfaatkan bakteri indigenous telah banyak dilaporkan misalnya sebagai agen
bioremediasi limbah (Diswanto & Kardena, 2010) agen pengendali hayati tanaman;
penghasil antibiotik (Ta, 2011); agen pelarut fosfat (Marista et al., 2013); penghasil
9
enzim-enzim potensial yang pemanfaatannya dapat digunakan dalam bermacam
bidang industri dan sebagainya (Baehaki et al., 2011).
Secara garis besar komunitas bakteri, fungi aktinomisetes, dan archea di dalam
tanah berperan dalam siklus C, N, P, dan unsur lainnya. Seperti diketahui spesies-
spesies mikroba dari kelompok bakteri, fungi, dan aktinomisetes mampu berperan
sebagai penyedia hara di dalam tanah atau secara langsung bagi tanaman seperti bakteri
penambat N, pelarut fosfat dan Kalium (Pambudi, 2017).
Ketersediaan fosfat dalam tanah umumnya rendah, karena fosfat terikat dalam
bentuk Fe-fosfat dan Al-fosfat pada tanah asam atau dalam bentuk Ca3(PO4)2 pada
tanah basa, sehingga fosfat tidak dapat begitu saja digunakan oleh tanaman (Suliasih
& Rahmat, 2007). Tanah sulfat asam merupakan jenis tanah yang secara alami
mempunyai produktivitas rendah. Tanah jenis ini didominasi oksida Al dan Fe serta
daya ikat P yang tinggi sehingga menyebabkan unsur P rendah atau tidak tersedia
dalam tanah (Silitonga & Priyani, 2013).
Bakteri pelarut fosfat (BPF) di dalam tanah mempunyai kemampuan melepas
Fosfor (P) dari ikatan Fe, Al, Ca dan Mg, sehingga P yang tidak tersedia menjadi
tersedia bagi tanaman (Rao, 1994). Bakteri yang mempunyai kemampuan sebagai
pelarut fosfat dalam tanah beberapa diantaranya adalah dari genus Pseudomonas,
Bacillus dan Rhizobium yang diisolasi dari negara tropis, juga dilaporkan dapat
melarutkan fosfat (Rodríguez & Fraga, 1999).
Sebagian besar bakteri tanah bersifat heterotroph, yang memanfaatkan sumber
energi organik yang sudah jadi seperti gula, tepung pati, selulosa, dan protein,
sedangkan sebagian kecil bakteri tanah yang ditemukan pada tanah sulfat masam
bersifat autotroph, yakni memanfaatkan energi dari sumber anorganik, salah satunya
berasal dari genus Ferrobacillus yang memanfaatkan Fe dan Thiobacillus yang
memanfaatkan belerang (Haryono et al., 2013).
2.4 Metode Identifikasi Komunitas Mikroba
Metode yang umum digunakan untuk identifikasi komunitas mikroba terbagi
menjadi dua, yaitu: (1) metode menggunakan teknik molekuler untuk analisis DNA;
dan (2) metode yang hanya mengidentifikasi mikroba yang dapat dikulturkan.
10
Beberapa metode molekuler yang melibatkan ekstraksi dan analisis DNA dari seluruh
komunitas mikroba meliputi Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-
RFLP), Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE), Thermal Gradient Gel
Electrophoresis (TGGE), Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP),
Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis (ARISA), amplifikasi fragmen-
fragmen asam nukleat dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), dan
Fluorescent In Situ Hybridization (FISH). Struktur dari profil-profil yang didapatkan
selanjutnya dianalisis melalui Principal Component Analysis (PCA) atau analisis
komputasi (misalnya analisis kluster dan dendrogram) (Susilowati, Suwanto, Sudiana,
& Mubarik, 2015).
Metode identifikasi mikroba yang dapat dikulturkan dilakukan dengan
mengkultivasi berbagai tipe mikroba di dalam sampel pada nutrisi selektif untuk
memacu pertumbuhannya, kemudian diidentifikasi isolat-isolat dari koloni yang
dominan. Prosedur ini tidak efisien dari segi biaya dan tenaga, karena setiap isolat harus
dipelajari lebih lanjut dengan mengamati sifat fisiologi, taksonomi, dan reaktivitasnya
terhadap pewarna (Susilowati et al., 2015).
Populasi bakteri yang diambil dari sampel alam mungkin tidak terwakili secara
akurat pada saat ditumbuhkan pada media agar-agar (Hattori, 1988). Teknik
pengkulturan kurang memadai untuk menganalisis komunitas mikroba pada
lingkungan alaminya, sehubungan dengan adanya sejumlah besar bakteri yang belum
dapat dikulturkan (Amann et al., 1995). Pendekatan culture memiliki kelemahan dalam
hal selektivitas yang rendah dan tidak efisien karena periode pengkulturan yang lama,
dan teknik ini juga kurang akurat menggambarkan komunitas bakteri yang disebabkan
oleh perubahan kondisi lingkungan (Liu et al., 1997).
Menurut Hugenholtz et al, (1998) metode molekuler berdasarkan pada analisis
DNA total komunitas mikroba tanah dapat mengatasi keterbatasan teknik
pengkulturan. Cara analisis komunitas berdasarkan gen 16S rRNA yang melibatkan
PCR DNA lingkungan, membuat pustaka klon, memilah klon ke dalam Operational
Taxonomical Units (OTUs) dengan analisis RFLP dan sekuensing bersifat sangat
efektif untuk analisis komunitas (Grobkopf et al., 1998). Analisis klon-klon sekuen gen
11
16S rRNA dari DNA lingkungan dapat memfasilitasi deteksi dan identifikasi mikroba
yang tidak dapat dikulturkan (Lueders & Friedrich, 2000).
2.5 Next Generation Sequencing (NGS)
Metode sekuensing DNA yang pertama kali digunakan adalah metode Sanger
(Sanger dideoxy sequencing). Metode ini menggunakan DNA templat dan memerlukan
primer spesifik untuk reaksi sekuensing. Panjang sekuen yang dihasilkan berkisar
antara 1.000-1.200 pasang basa (bp) dan tidak mampu mencapai lebih dari 2.000 bp
(Tinning & Genome, 2013).
Generasi kedua teknologi sekuensing setelah generasi pertama Sanger dikenal
dengan next generation sequencing (NGS). Filosofi dasar pembentukan mesin NGS
diadaptasi dari metode sekuensing shotgun (Shendure, Mitra, Varma, & Church, 2004).
Istilah NGS secara kolektif digunakan untuk mendeskripsikan semua teknologi
sekuensing selain teknologi sekuensing Sanger. Teknologi ini berpotensi menekan
biaya sekuensing satu genom manusia hanya dengan USD1.000 (Kling, 2005).
Pada metode NGS, templat DNA dipotong dengan enzim restriksi lalu fragmen
DNA diklon pada vektor sekuensing dan individu fragmen DNA setiap klon disekuen
terpisah. Hasil sekuen lengkap dari fragmen DNA yang panjang dapat diperoleh
dengan menjajarkan (alignment) dan menyambung (assembly) sekuen fragmen DNA
berdasarkan bagian sekuen yang berkomplemen (overlapping), yang memungkinkan
pemetaan genom manusia dapat diselesaikan (Tasma, 2015).
Teknologi NGS dapat membaca templat DNA secara acak (random) sepanjang
seluruh genom dengan membuat potongan-potongan pendek DNA genom, kemudian
menyambungkannya dengan adapter (potongan DNA pendek yang didesain khusus
untuk tujuan ini) agar dapat dibaca oleh mesin NGS secara random selama proses
sintesis DNA (Oecd, 2017). Oleh karena itu teknologi NGS sering disebut dengan
sekuensing paralel secara masif (massively parallel sequencing). Panjang bacaan
sekuen DNA yang dihasilkan mesin NGS jauh lebih pendek dibandingkan bila
menggunakan mesin sekuensing dengan metode Sanger. NGS menghasilkan panjang
sekuen DNA antara 50-500 bp (Tinning & Genome, 2013). Karena sekuen yang
dihasilkan NGS pendek, sekuensing setiap fragmen DNA mesti dilakukan lebih dari
12
sekali ukuran genom (genome sequence coverage), hal ini dilakukan untuk menjaga
akurasi data hasil sekuensing (Oecd, 2017).
Tiga teknologi NGS utama yang tersedia saat ini adalah Roche/454
pyrosequencing platform, Illumina Solexa polymerase sequencing platform, dan
ABI/SOLID ligase sequencing technology. Jika dibandingkan dengan metode
sekuensing Sanger, ketiga teknologi NGS ini menghasilkan data sekuen yang jauh
lebih banyak dalam sekali menjalankan alat. Oleh karena itu alat ini dikenal dengan
high throughput sequencing platforms (Ansorge, 2009). Prinsip dasar ketiga alat NGS
tersebut berbeda, baik dalam menghasilkan data sekuen, kualitas data yang dihasilkan
maupun biaya sekuensing terlamppir pada (Lampiran 1).
Alat Roche/454 menghasilkan data sekuen terpanjang, tetapi kuantitas data
sekuennya terendah (lowest throughput). Jumlah sekuen basa yang dihasilkan
Illumina/Solexa tertinggi (highest throughput), tetapi panjang bacaannya hanya sekitar
100 basa. Panjang bacaan yang dihasilkan ABI/SOLID terpendek, hanya sekitar 50
basa, tetapi tingkat kesalahan pembacaan DNA pada proses sekuensing (error rate)
paling rendah. Teknologi NGS merupakan revolusi metode sekuensing dan
menghasilkan data sekuen yang luar biasa besar dalam waktu relatif singkat
dibandingkan dengan metode sekuensing Sanger (Gao et al., 2012).
Beberapa penelitian terkait penerapan teknologi NGS dalam mempelajari
keanekaragaman mikroba antara lain yaitu (1) penelitian yang dilakukan oleh Jarvis et
al, (2013) menggunakan teknologi NGS dan hypervariable V6 dari 16S rDNA,
memperoleh sebanyak 16.400 Operational Taxonomi Unit (OTU) yang diamati
(4594±824 OTU per sampel). Proteobacteria, Actinobacteria, Bacteroidetes,
Cyanobacteria dan Verrucomicrobia dicatat 93.6 ±1.3% dari semua urutan yang
terbaca, dan 90.5 ± 2.5% dari OTU dibagi di antara semua situs (n = 552).
(2) penelitian oleh Akinsanya et al, (2015) terkait studi metagenomik dari bakteri
endofit pada tanaman lidah buaya, dengan menilai amplitudo PCR-nya. Urutan 16S
rDNA (wilayah V3-V4) dengan teknik metagenomics Illumina digunakan untuk
menghasilkan total 5.199.102 pembacaan dari sampel. Analisis mengungkapkan
13
Proteobacteria, Firmicutes, Actinobacteria dan Bacteriodetes sebagai genera
dominan.
(3) penelitian terkait pusaka genom kakao oleh Tasma, Satyawan, dan Rijzaani
(2012) menggunakan sequencing HiSeq2000, menghasilkan konstruksi pustaka genom
berukuran 300 pasang basa (bp) dengan masing-masing konsentrasi 14,70 ng/µl
(ICCR02), 15,20 ng/µl (ICCR04), dan 12,90 ng/µl (SUL02). Sekuensing ketiga genom
tersebut menghasilkan data sekuen 52,9 x 109bp. Klaster DNA pustaka genom
memiliki nilai Q scores>30 (75,0%) dengan tingkat kesalahan pembacaan basa rendah
(1,47%). Berdasarkan hasil kualitas klaster pustaka genom ketiga genotipe kakao
tersebut termasuk kategori pustaka ideal.
(4) penelitian dengan pengurutan Illumina-MiSeq dari amplikon gen 16S rRNA
dan 18S rRNA oleh Wang et al, (2017) menemukan bahwa komposisi dan
keanekaragaman mikroba tanah berbeda antara tanah yang terinfeksi bakteri layu
(Ralstonia solanacearum) dengan tanah yang sehat. Komunitas mikroba tanah
bervariasi pada berbagai tahap pertumbuhan tanaman karena perubahan komposisi
eksudat akar dan pH tanah. Tanah yang sehat menunjukkan keanekaragaman mikroba
yang lebih tinggi daripada tanah yang terinfeksi bakteri layu. Mikroba menguntungkan
yang lebih berlimpah termasuk Bacillus, Agromyces, Micromonospora,
Pseudonocardia, Acremonium, Lysobacter, Mesorhizobium, Microvirga,
Bradyrhizobium, Acremonium dan Chaetomium lebih banyak ditemukan pada tanah
sehat daripada tanah yang terinfeksi bakteri yang layu.
14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan sejak bulan April sampai Agustus 2019 di Laboratorium
Mikrobiologi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber
Daya Genetik Pertanian (BB Biogen), Jalan Tentara Pelajar 3A Bogor. Penelitian ini
menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan teknologi Next
Generation Sequencing (NGS) dan didukung dengan data kuantitatif berupa hasil
perhitungan total populasi mikroba yang dapat dikulturkan.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah neraca analitik,
autoklaf, oven, alat sentrifugasi (Microfuge 22R Beckman CoulterTM), laminary air
flow, penangas air, pH meter, refrigerator, freezer -20℃, deep freezer -80℃ (Laxicon®
ult freezer ESCO), tabung mikro berukuran 2 ml, 1.5 ml, 0.5 ml dan 0.1 ml, pipet mikro,
tip pipet mikro (putih, kuning dan biru), alat Mini Beads Cell Disrupter, nanodrop
(Thermo Scientific nanodrop 2000 spectrophotometer), mesin PCR (Swift Maxi R-
ESCO), alat elektroforesis (Mupid-EXU Sub Marine Electrophoresis System), UV
transiluminator, dan kamera digital, komputer, GPS, bor tanah, peralatan untuk analisis
tanah, plastik zip lock, label, ice box, dan peralatan gelas mikrobiologi.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain akuades, kit Wizard DNA
genomic extraction kit (Promega), kit ZIMOBIOMIC, bufer Tris-Acetic acid-EDTA
(TAE) (50x, 1x, dan 0.5x), bufer Tris-EDTA (TE), kloroform, ethanol 70%, natrium
asetat 3 M, GoTaq® Green Master Mix, loading dye (Promega, Madison), nuclease
free water, marker DNA ladder 100 bp dan 1 kb, primer-primer 16S rRNA, agarosa,
gel red serta bahan-bahan habis pakai.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Pengambilan Sampel Tanah
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Purposive Sampling, dimana
pengambilan sampel dilakukan pada tiga titik dari masing-masing ekosistem tanah
15
sulfat masam. Sampel tanah diambil dari dua lokasi lahan rawa sulfat masam yang
berbeda pada Gambar 2, dengan masing-masing keterangan tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Lokasi dan Titik Pengambilan Sampel Tanah
Lokasi Lahan Komposit Potensial Tipe B
(SKB) Ordinat
Desa Tanjung
Harapan, Kec.
Alalak, Kab. Barito
Kuala, Kalimantan
Selatan. (Lokasi
berjarak 1.5 jam
perjalanan dari
Banjarbaru
Lahan sudah dibuka namun belum
ditanami berbagai jenis tanaman
(3º10’11’’S-
114º36’20’’E)
Lahan yang sudah dibuka dan telah
ditanami terus-menerus berbagai
macam tanaman
(3º10’09’’-
144º36’16’’E);
Lahan yang masih hutan atau belum
dibuka dan belum
ditanami/diusahakan berbagai
macam tanaman
(3º10’08’’S-
144º36’13’’E).
Lokasi Lahan Komposit Aktual Tipe C
(CKB) GPS
Desa Tamban Baru
Tengah, Kec.
Tamban Catur, Kab.
Kuala Kapuas,
Kalimantan Tengah
(Lokasi berjarak 3.5
jam perjalanan dari
Banjarbaru)
Lahan sudah dibuka namun belum
ditanami berbagai jenis tanaman
(3º12’33’’S-
114º25’44’’E)
Lahan yang sudah dibuka dan telah
ditanami terus-menerus berbagai
macam tanaman
(3º12’32’’S-
114º25’43’’E)
Lahan hutan atau belum dibuka dan
belum ditanami/diusahakan
berbagai macam tanaman
(3º16’12’’S-
114º25’16’’E)
16
Gambar 2. Peta Wilayah Titik Sampling
Sampel tanah diambil sampai kedalaman ± 20 cm dan setiap titik merupakan
merupakan komposit dari tiga blok pada tiap lokasi, setelah itu sampel dihomogenkan
dan dimasukan ke dalam kantong plastik zip lock. Kedua tipe lahan rawa masam
tersebut akan dipelajari dan dibandingkan keanekaragaman mikrobanya.
3.3.2 Analisis Fisik, Kimia, Sampel Tanah
Sifat fisik dan kimia tanah dari dua tipe lahan rawa sulfat masam daerah
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dianalisis terlebih dahulu meliputi total C,
total N, P2O5, K2O, pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan Kejenuhan Basa (KB)
dilakukan di Bagian Pelayanan Jasa, Balai Penelitian Tanah. Cara kerja analisis sifat
kimia fisik tanah dilakukan berdasarkan buku panduan analisis kimia tanah, tanaman,
air dan pupuk oleh Balai Penelitian Tanah (Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan
Pupuk, 2009) berdasarkan SK Mentan no: 28/Permentan/SR.130/B/2009.
17
3.3.3 Total Plate Count Bakteri Tanah Mi
Analisis total bakteri dilakukan di laboratorium mikrobiologi BB. Biogen.
Metode yang digunakan adalah metode plate count agar (PCA). Metode PCA atau
sering disebut dengan Standard Methods Agar (SMA) merupakan sebuah media
pertumbuhan mikroorganisme yang umum digunakan untuk menghitung jumlah
bakteri total (semua jenis bakteri) yang terdapat pada setiap sampel. Metode PCA juga
dapat bertujuan untuk dapat membuat kluster bakteri-bakteri tertentu. Kultur mikroba
yang berhasil didapatkan dari analisis total bakteri digunakan untuk aplikasi lebih
lanjut.
Pertama, medium Nutrien Agar (NA) dan Soil Ekstrak Agar (SEA) dibuat untuk
menumbuhkan bakteri. Pembuatan media NA dilakukan dengan cara dimasukkan 11 g
nutrient broth dan 4 g Agar powder dilarutkan dengan akuades 500 mL. Sedangkan
ekstrak tanah instan atau Soil Ekstrak Agar (SEA) yang terdiri atas glukosa 0,1%,
dikalium fosfat 0,05% dan ekstrak tanah 1,775% dimasukan sebanyak 17,125 g
dilarutkan dengan akuades 500 mL. Selanjutnya kedua media dihomogenkan
menggunakan magnetic strirrer di atas hot plate lalu disterilisasi menggunakan
autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Kemudian media
yang telah tersterilisasi didinginkan hingga mencapai suhu 45-50 ºC lalu dituang ke
dalam cawan petri steril. Masing-masing media dibuat dengan dua pH yang berbeda
yaitu pH normal (pH 7) dan pH asam mendekati pH tanah dengan ditambahkan asam
HCL sampai pH sekitar 3,5.
Sedangkan pembuatan garam fisiologis 8,5% dalam metode PCA dilakukan
dengan cara menimbang sebayak 0,85 g NaCl dilarutkan dalam 1 liter akuades lalu
dihomogenkan menggunakan magnetic strirrer di atas hot plate lalu disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 1,5 atm selama 15 menit.
Kemudian sebanyak 10 g sampel tanah dimasukan ke dalam 90 mL larutan garam
fisiologis yang telah tersterilisasi dan dihomogenkan selama 30 menit menggunakan
shaker, lalu dilakukan pengenceran serial 10-1 sampai 10-5. Sebanyak 50 µl dari hasil
pengenceran ditumbuhkan pada dua media yakni ekstrak tanah instan (Himedia-SEA)
dan media Nutrien Agar (NA). Kemudian diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu
18
ruang. Koloni yang tumbuh dihitung dan koloni-koloni yang dominan diambil untuk
disimpan.
3.3.4 Penentuan Komunitas Mikroba Dengan Pendekatan NGS
3.3.4.1 Ekstraksi dan pemurnian DNA dari sampel tanah
Ekstraksi dan pemurnian DNA langsung dari sampel tanah (dilakukan duplo
untuk setiap sampel tanah) menggunakan GenElute™ Soil DNA Isolation Kit
(GenEluteTM Soil DNA Isolation Kit Product Number DNB100 Storage: Room
Temperature, n.d.). Pertama, sebanyak 42 ml etanol 96-100% ditambahkan kedalam
botol yang berisi wash solution untuk membuat reagen wash solution. Sebanyak 250
miligram sampel tanah ditempatkan pada tabung beat beads 2 ml kemudian ke dalam
tabung ditambahkan 750 ml larutan Pelisis Buffer G yang mengandung 1% SDS, 100
mM Tris-HCl, 200 mM EDTA, dan 200 mM Na2HPO4, dan 50 µl. Lalu ditambahkan
100 µl larutan lisis aditif A. Selanjutnya larutan divortex sebentar lalu tabung
dihomogenasi menggunakan alat Mini Beads Cell Disrupter dengan kecepatan 14.000
rpm selama 2 menit. Supernatan diambil sebanyak 450 µl dan dipindahkan ke tabung
mikrosentrifuse bebas DNAse, lalu ditambahkan 100 µl Binding Buffer I. Setelah itu
diinkubasi pada suhu -4°C atau diatas es selama 5 menit. Kemudian tabung dibolak-
balik agar larutan homogen. Larutan ini selanjutnya disentrifugasi selama 2 menit pada
kecepatan 14.000 rpm untuk memadatkan protein dan partikel tanah.
Prosedur selanjutnya supernatant diambil sebanyak 450 µl dan dipindahkan ke
tabung mikrosentrifuse bebas DNAse, lalu di tambahlan 50 µl larutan OSR sambil
dibolak balik agar homogen, kemudian diinkubasi selama 5 menit di suhu es. Larutan
ini selanjutnya disentrifugasi selama 2 menit pada kecepatan 14.000 rpm, kemudian
supernatan diambil sebanyak 450 µl dan dipindahkan ke tabung Humic Acid lalu
disentrifugasi kembali dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit.
O-ring biru pada tabung Humic acid dilepaskan dan dirakit ulang dengan spin
colom yang baru, kemudian campuran larutan hasil sentrifugasi tadi ditambahkan
dengan 230 µl etanol 94-100% dan disentrifugasi kembali selama 1 menit dengan
kecepatan 8000 rpm. Selanjutnya buang flowthrough (sisa larutan) dan rakit kembali
spin colom dengan tabung, lalu ditambahkan larutan Buffer SK sebanyak 500 µl dan
19
disentrifugasi kembali selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Diulangi hal yang
sama namun larutan yang ditambahkan adalah 500 µl wash solution A. sentrifugasi
kembali dengan kecepatan 14000 rpm selama 2 menit untuk memastikan spin kolom
benar-benar kering.
Langkah terakhir ialah memindahkan spin colom ke tabung ependof 1,5 ml lalu
ditambakan 50 µl Buffer elution B dan disentrifugasi selama 1 menit dengan kecepatan
8000 rpm, selanjutnya larutan berisi DNA genomic yang telah dimurnikan disimpan
pada suhu -20°C untuk jangka panjang.
3.3.4.2 Amplifikasi gen 16S rRNA (PCR)
Gen 16S rRNA dari daerah yang berbeda (16SV4 / 16SV3 / 16SV3-V4 / 16SV4-
V5,) diamplifikasi menggunakan primer spesifik (16S V4: 515F-806R) dengan
barcode. Semua reaksi PCR dilakukan dengan Phusion® High-Fidelity PCR Master
Mix (Biolab New England).
Proses amplifikasi PCR dibuat dengan mencampurkan secara homogen
komponen-komponen berikut ini: 8.5 μL ddH2O (nuclease free water), 12.5 μL Go Taq
Green Master Mix 2x, masing-masing 1.0 μl primer untuk gen 16S rRNA dan 2.0 μl
DNA cetakan, sehingga total volume 25 µl. Kondisi PCR sama dengan kondisi PCR di
atas dengan suhu penempelan primer 55°C. Kualitas produk PCR diperiksa
menggunakan nanodrop dan dielektroforesis pada gel agarosa.
3.3.4.3 Kuantifikasi dan Kualifikasi Produk PCR
Elektroforesis dilakukan untuk mendeteksi hasil isolasi DNA dan hasil
amplifikasi PCR. Pertama, dilakukan pembuatan gel agarosa dengan 1% gel agarosa
(0.4 g agarosa dalam 40 ml bufer TAE 1x) dipanaskan sampai larut. Gel yang sudah
larut ditunggu sampai hangat kemudian dituang ke dalam cetakan yang telah disiapkan
sebelumnya. Gel dibiarkan memadat selama 30 menit. Kemudian sisir dilepaskan dari
cetakan kemudian gel diletakkan ke dalam tangki elektroforesis yang berisi bufer TAE
1x hingga terendam setinggi 1-2 mm.
Pengecekan hasil isolasi DNA dilakukan dengan mencampurkan 3 μl DNA hasil
ekstraksi dengan 3 μl loading buffer di atas aluminium foil, kemudian diaduk perlahan
dengan pipet dan dimasukkan ke dalam sumur yang terdapat pada gel. Marker dibuat
20
dengan mencampurkan 3 μl loading buffer dengan 3 μl marker (1kb). Sedangkan
elektroforesis DNA hasil amplifikasi PCR dideteksi dengan memasukkan 3 μl hasil
PCR dan 2 μl gen penanda DNA ke dalam sumuran pada gel, dan marker dibuat dengan
mencampurkan 3 μl loading buffer dengan 3 μl marker (100 kb).
Selanjutnya alat elektroforesis disambungkan ke sumber tegangan. Proses
elektroforesis berlangsung selama 25 menit pada tegangan 100 volt. Gel direndam di
dalam larutan etidium bromida selama 15 menit kemudian dibilas dalam bufer TAE
1x. Gel diletakkan di atas UV transluminator dan didokumentasikan. Sampel dengan
strip utama yang cerah antara 400-450bp dipilih untuk percobaan lebih lanjut. Apabila
produk DNA hasil PCR kurang baik maka dilakukan pencampuran dan pemurnian
produk PCR dengan cara larutan dicampur dalam rasio kesetimbangan, kemudian,
campuran produk PCR dimurnikan dengan Kit Ekstraksi Gel Qiagen (Qiagen, Jerman).
3.3.5 Analisis Data
Pustaka sequensing dihasilkan menggunakan NEBNext Ultra DNA Library Pre®
Kit untuk Illumina, dengan protokol tahapan kerja sesuai dengan instruksi produsen.
Sampel sekuensing berupa hasil isolasi DNA tanah dianalisis menggunakan DNA
sequencer. Namun dalam penelitian ini pengerjaan DNA sequencing dilakukan oleh
jasa Laboratorium First Base (1ˢᵗ Base) Malaysia.
21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sifat-sifat fisik, dan kimia tanah sulfat masam asal Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Tengah
Hasil analisis sifat fisik pada tanah sulfat masam Kalimantan Selatan (SKB)
terdiri atas 11% pasir, 43% debu, 46% liat sedangkan tanah sulfat masam Kalimantan
tengah (CKB) terdiri atas 34% pasir, 29% debu, 37% liat (Tabel 3). Berdasarkan
Diagram Segitiga Tekstur menurut USDA Soil Survey Staff tahun 1990 (Lampiran 3)
yang tercantum pada hasil analisis tanah Balai Penelitian Tanah (Analisis Kimia Tanah,
Tanaman, Air dan Pupuk, 2009) tekstur tanah untuk daerah SKB termasuk kategori
tanah liat berdebu (sand clay) sedangkan daerah CKB termasuk kategori tanah
lempung berliat (clay loam).
Tabel 3. Sifat Fisik Tanah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
Karakteristik sifat kimia tanah sulfat masam Kalimantan Selatan (SKB) dan
Kalimantan Tengah (CKB) memiliki perbedaan yang tidak signifikan (Tabel 3)
berdasarkan penilaian hasil analisis tanah (Lampiran 2) dari Balai Penelitian Tanah
(Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, 2009). Hasil analisis kandungan C
organik tanah di lokasi SKB dan CKB masing-masing sebesar 6,8% dan 13,45%. Hal
ini menunjukkan bahwa kandungan bahan organik pada kedua lahan sulfat masam
tersebut tergolong sangat tinggi (>5%) sebagaimana penilaian hasil analisis tanah
(Lampiran 2) dari Balai Penelitian Tanah (Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan
Sampel
Tekstur
Pasir Debu Liat
--------------------------- % --------------------------
SKB 11 43 46
CKB 34 29 37
22
Pupuk, 2009). Selanjutnya, kandungan N organik pada SKB sebesar 0,37% (tergolong
sedang) dan pada CKB 0,59%. (tergolong tinggi) berdasarkan Analisis Kimia Tanah,
Tanaman, Air dan Pupuk, (2009). Nitrogen total tanah digunakan sebagai indeks
penting untuk evaluasi kesuburan tanah dan mencerminkan status nitrogen dalam tanah
dimana unsur N sangat dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar (Tewu, Theffie, &
Pioh, 2016). Menurut Syekhfani (2010) kandungan nitrogen total yang rendah dapat
disebabkan oleh kemampuan penyimpanan nitrogen yang buruk dari tanah berpasir
(tektur kasar) dan tanah yang berkadar bahan organik rendah.
Tabel 4. Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB)
Nilai rasio C/N merupakan indikator yang sangat sensitif untuk mengetahui
kondisi kesuburan tanah. Hasil menunjukan bahwa nilai rasio C/N kedua tanah sulfat
masam di SKB dan CKB tergolong tinggi (16-25 me/100 g tanah) berdasarkan kriteria
penilaian hasil Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, (2009). Namun, tanah
sulfat masam asal Kalimantan Selatan (SKB) dapat dikatakan lebih subur karena
memiliki nilai rasio C/N yang relatif lebih rendah sebesar 18,378 me/100 g tanah
daripada C/N CKB sebesar 22,797 me/100 g tanah (Tabel 3). Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Ge, Xu, Ji, & Jiang (2013) bahwa semakin tinggi nilai rasio C/N,
maka semakin lambat laju dekomposisi bahan organik tanah oleh mikroorganisme,
juga sebaliknya semakin rendah nilai rasio C/N maka semakin cepat laju dekomposisi
bahan organik tanah oleh mikroorganisme.
Hasil analisis kadar P pada kedua masing-masing yaitu 26 ppm untuk SKB dan
41 ppm untuk CKB. Nilai tersebut tergolomg sangat tinggi (>15 ppm) berdasarkan
Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, (2009). Pada penelitian ini, tanah
yang bersifat sulfat masam dan memiliki pH sangat rendah menjadi faktor utama yang
Sampel
pH Bahan organik HCl 25% Bray
1
Morgan
H2O KCl
Walkley
&Black Kjeldahl
C/N P2O5 K2O P2O5 K2O
C N
-------%------ -mg/100 g- --- ppm ----
SKB 3,97 3,59 6,80 0,37 18 43 15 26 122
CKB 3,80 3,52 13,45 0,59 23 62 14 41 177
23
mempengaruhi tingginya ketersediaan fosfor di tanah. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Afandi, Siswanto, dan Nuraini (2015) bahwa fosfor di dalam tanah berasal
dari pelapukan batuan mineral alami dan pelapukan bahan organik, sehingga apabila
terjadi reaksi masam-masam organik atau kadar pH dalam tanah rendah dapat
membentuk ikatan dengan Al dan Fe yang mengakibatkan pelepasan fosfat dalam
larutan tanah menjadi tinggi.
Selanjutnya, hasil kadar K pada lokasi SKB sebesar 15 mg/100 g dan CKB
sebesar 14 mg/100 g. Nilai tersebut tergolong rendah (10-20 mg/100 g tanah)
berdasarkan Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, (2009). Menurut
Yuwono et al., (2012) besar kecilnya kandungan kalium (K) dalam tanah dipengaruhi
oleh kestabilan dan pergerakan (mobile) unsur kalium dalam tanah itu sendiri, serta
penyerapan olehketersedian kadar kalium dalam tanah tanah dapat berkurang
dikarenakan diserap oleh tanaman.
Tabel 5.Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB)
* >100 Terdapat kation-kation bebas disamping kation-kation dapat ditukar Hasil pengujian ini hanya berlaku bagi contoh yang diuji dan tidak untuk diperbanyak
Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan ukuran kemampuan tanah dalam
menyerap dan menukar sejumlah kation (muatan positif) untuk terjadi keseimbangan
kimia dalam tanah, sedangkan muatan negatif berupa partikel-partikel tanah (lempung
dan bahan organik) berukuran koloid (Rustam, Umar, & Yusran, 2016). Hasil
Kapasitas Tukar kation pada tanah SKB dan CKB masing-masing sebesar 27,66 dan
35,03 cmol(+)/kg (Tabel 3). Kapasitas tukar kation pada kedua lokasi tersebut tergolong
tinggi (25-40 cmolc/kg) berdasarkan penilaian hasil analisis tanah dari Balai Penelitian
Sampel
Nilai Tukar Kation (NH4-Acetat 1N, pH7)
Ca Mg K Na Jumlah KTK KB*
------------------------ cmolc/kg ----------------- %
SKB 0,85 1,40 0,16 0,70 3,11 27,66 11
CKB 0,83 2,13 0,18 0,69 3,83 35,03 11
24
Tanah (Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, 2009). Menurut Sarwono
2010 nilai KTK erat hubungannya dengan kesuburan tanah dikarenakan tanah dengan
KTK tinggi mampu menyerap kation lebih banyak dan menyediakan unsur hara lebih
baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tinggi rendahnya KTK tanah ditentukan oleh
kandungan liat, pH dan bahan organik dalam tanah tersebut sebagaimana pernyataan
Kumalasari, Syamsiyah, dan Sumarno (2011) bahwa meningkatnya pH tanah, dan
tingginya kandungan liat serta bahan organik membuat KTK meningkat. Tanah dengan
KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa seperti Ca, Mg, K, Na (Kejenuhan Basa
tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi bila didominasi oleh kation asam,
Al, H+ (Kejenuhan Basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah (Sinaga, 2010).
Tanah yang memiliki KTK yang tinggi akan menyebabkan lambatnya perubahan
pH tanah. Lauber, Hamady, Knight, and Fierer (2009) menyatakan bahwa pH
merupakan indikator yang cukup baik untuk mendeteksi keanekaragaman bakteri di
tanah, merujuk pada hasil penelitiannya yang membuktikan bahwa keragaman tertinggi
di tanah dengan pH mendekati netral. Tinggi rendahnya pH tanah juga dapat
menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap akar tanaman. Sinaga, (2010)
memaparkan pada pH tanah netral unsur hara mudah larut dalam air, sedangkan pada
tanah asam unsur P tidak dapat diserap tanaman karena diikat (difiksasi) oleh
Alumunium (Al).
Hasil pH tanah di lokasi SKB dan CKB berkisar antara 3,5-3,9 (Tabel 3) sehingga
tanah pada kedua lokasi tersebut tergolong sangat asam (<4,5) (Analisis Kimia Tanah,
Tanaman, Air dan Pupuk, 2009). Menurut Foth (2010) jika tanah bereaksi masam,
maka sebagian tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik karena toleransinya
berkurang. Apabila tanah terlalu masam, maka sering terjadi keracunan Al dan Fe serta
sering terjadi fiksasi anion seperti fosfat dan sulfat (Sanchez, 2004).
Kejenuhan basa (KB) merupakan perbandingan jumlah kation basa yang
ditukarkan dengan kapastitas tukar kation (KTK) yang diyatakan dalam persen. Hasil
kejenuhan basa lokasi SKB dan CKB menunjukan hasil sama yaitu sebesar 11% (Tabel
3), nilai tersebut tergolong sangat rendah (<20%). Kondisi tersebut menunjukan bahwa
tanah di lokasi SKB dan CKB tergolong tanah masam, sesuai dengan pernyataan
25
Sufardi, Martunis, & Muyassir (2017) bahwa nilai KB yang rendah menunjukan
kemasaman tanah yang tinggi, sedangkan nilai KB yang tinggi menunjukan
kemasaman tanah yang rendah. Menurut Kumalasari et al, (2011) adanya peningkatan
kapasitas pertukaran kation, maka berdampak pada kejenuhan basa dalam tanah yang
semakin meningkat, hal ini disebabkan kation-kation yang dapat diserap oleh koloid
humus yang bermuatan negatif juga semakin banyak. Namun, hal ini terjadi karena
KTK yang dihitung di sini bukanlah KTK yang real (efektif), melainkan KTK
potensial. Sebagaimana pemaparan Uehara & Gillman (1981) bahwa KTK pada tanah-
tanah di daerah tropis tidak selalu menggambarkan jumlah kation yang diserap tanah
melainkan hanyalah sebagai KTK yang terbentuk dari muatan variabel (variable
charge) dan tidak menggambarkan aktual kation yang diserap pada permukaan koloid
(dikutip dalam Sufardi et al., 2017)
Hasil analisis tanah terhadap kadar kation basa tertukar (Ca-dd, Mg-dd, K-dd,
dan Na-dd) memperlihatkan bahwa secara umum kadar kation basa tertukar pada lahan
rawa sulfat masam di Kalimantan Selatan dan Tengah tergolong rendah, dengan jumlah
3,11-3,83 (masing-masing kisarannya dapat dilihat pada Tabel 3). Kadar Kalsium (Ca)
pada kedua lokasi (0,83-0,85 cmolc/kg) tergolong sangat rendah (<2 cmolc/kg). Tanah
yang memiliki kadar Ca rendah berdampak pada terganggunya pertumbuhan tanaman,
karena terpengaruh oleh tingginya ion Al dan Fe (Sufardi et al., 2017). Ca dapat
berperan untuk mengimbangi pengaruh negatif dari kation Al, Fe, dan Mn (Sanchez,
2004). Sama halnya dengan peran Magnesium (Mg) yang hampir sama seperti Ca yaitu
selain sebagai sumber hara juga berguna untuk mengimbangi kelarutan Al dan Fe yang
berlebihan pada tanah masam (Havlin et al., 2010). Kadar Mg pada lokasi SKB maupun
CKB masing-masing sebesar 1,40 dan 2,13. Kadar tersebut tergolong sedang (1,0-2,0
cmolc/kg) sampai tinggi (2,0-8,0 cmolc/kg) berdasarkan kriteria hasil analisis tanah
Balai Penelitian Tanah.
Kadar kalium (K) pada masing-masing lokasi SKB dan CKB menunjukan hasil
sebesar 0,16 dan 0,18 cmolc/kg. Nilai tersebut tergolong rendah (0,1 – 0,3 cmolc/kg).
Kalium (K) merupakan salah satu unsur hara makro utama yang sangat penting bagi
tanaman (Mengel dan Kikrby, 2007), sehingga jika K tersedia di dalam tanah rendah,
26
maka tanaman akan terjadi defisiensi kalium (Sufardi, 2012). Salah satu faktor yang
mempengaruhi besar kecilnya kandungan kalium dalam tanah adalah mobilitas gerak
ion di dalamnya, unsur hara kalium dalam tanah terbentuk lebih stabil dari unsur hara
nitrogen, dan lebih cepat bergerak dari unsur hara fosfor sehingga mudah berpindah
terbawa air hujan dan temperatur dapat mempercepat pelepasan dan pelapukan mineral
dalam pencucian kalium (Afandi, F.N., Siswanto, B., & Nuraini, Y. 2015). Tanah SKB
dan CKB memiliki kadar Na dalam tanah sebesar 0,70 dan 0,69 cmolc/kg. Berdasarkan
kriteria analisis Balai Penelitian tanah kadar tersebut tergolong sedang (0,4 – 0,7
cmolc/kg). Menurut (Foth, 2010) tanah yang baik adalah tanah yang mengandung
Natirium (Na) rendah atau <1,0 cmol kg-1, jika konsentrasi ion Na tinggi, maka akan
berpengaruh buruk pada tanah dan tanaman.
Tabel 6.Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB)
Kadar Al pada kedua lokasi SKB dan CKB masing-masing sebesar 7,75 dan 8,20
cmolc/kg (Tabel 3), apabila dikonversi menjadi satuaan ppm maka nilai tersebut
tergolong sangat tinggi (>40 ppm) sebagaimana penilaian hasil analisis tanah dari Balai
Penelitian Tanah (Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, 2009). Kadar H+
sebesar 0,31 cmolc/kg pada daerah SKB dan 0,45 cmolc/kg pada daerah CKB, dan
kandungan total Fe pada kedua lokasi tersebut tergolong rendah (1-3 ppm). Kadar Al
yang tinggi merupakan salah satu faktor utama permasalan pada tanah sulfat masam.
Kedua lahan sulfat masam Kalimantan Selatan maupun Kalimantan tengah
menunjukan kadar Al yang sangat tinggi. Hal tersebut akan memicu larutnya unsur
beracun dan defisiensi berbagai unsur hara didalamnya sehingga produktivitas tanah
menjadi rendah, dimana Al akan berubah menjadi bentuk yang tidak larut [Al(OH)3]
jika pH di atas 5,5, sedangkan indikasi keracunan Al baru terjadi jika pH tanah <5,50
Sampel
KCl 1N T o t a l (HNO3)
Al 3+ H + Fe S
--------cmolc/kg------- ppm %
SKB 8,20 0,31 2,18 0,05
CKB 7,75 0,45 2,31 0,43
27
(Sufardi et al., 2017). Tingginya tingkat kemasaman tanah juga mengakibatkan
bertambahnya kelarutan ion-ion Fe2+, Al3+,dan Mn2+ di dalam tanah yang dapat bersifat
racun bagi tanaman (Sinaga, 2010).
4.2 Hasil Total Plate Count Bakteri Tanah
Perhitungan koloni bakteri tanah sulfat masam yang berasal dari dua tipe lahan
rawa Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB) tercantum pada
Gambar 2. Populasi bakteri tanah dari lahan sawah sulfat masam kedua lokasi tersebut
berada pada kisaran 4,30-6,30 Log CFU/g tanah. Hasil perhitungan Total Plate Count
(TPC) yang lebih tinggi di lokasi SKB (Lampiran 4) menunjukkan bahwa jumlah
bakteri tanah sulfat masam asal SKB lebih banyak dibandingkan dengan jumlah bakteri
tanah rawa sulfat masam asal CKB.
Gambar 3. Konsentrasi Sel Bakteri Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan
(SKB) dan Tengah (CKB) yang ditumbuhkan pada pH normal serta dan yang ditumbuhkan pada pH Asam (SKB-Asam) dan (CKB-
Asam).
Peningkatan total mikroba tanah disebabkan oleh beberapa faktor seperti kadar
air dalam tanah, pH tanah, dan bahan organik. Zahara, Wawan, dan Wardati (2015)
menyatakan bahan organik seperti C- dan N-organik dapat menjadi sumber energi dan
nutrisi bagi mikroba sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba di dalam tanah,
khususnya bakteri yang merupakan mikroorganisme perombak. Kesubururan tanah
juga menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi mikroba karena
semakin suburnya tanah menjadi media tumbuh yang baik untuk mikroba didalamnya.
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
SKB SKB-Asam CKB CKB-Asam
5,60
6,23
5,485,00
6,046,30
4,30 4,30
LO
G C
FU
/gra
m t
an
ah
Lokasi
SEA
NA
28
Menurut Tolaka (2013) rasio C/N berperan terhadap kemampuan tanah untuk
mempertahankan kesuburan dan produktivitas tanah melalui aktivitas mikroorganisme
tanah. Lingkungan seperti suhu, dan kelembaban juga menjadi faktor yang mendukung
peningkatan total mikroba tanah sesuai yang dipaparkan oleh Hairiah et al. (1992)
bahwa peningkatan populasi mikroba tanah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
terutama suhu dan kelembaban yang sangat mendukung kehidupan mikroba tanah.
Dinilai dari sifat fisik tanah, SKB lebih tinggi persentase debu (43%) dan liatnya
(46%), sementara komposisi pasirnya lebih rendah (11%) dibandingkan dengan CKB
(Tabel 3). Persentase debu dan liat yang tinggi serta persentase pasir yang rendah
membuat struktur tanah pada SKB menjadi lebih padat karena partikel tanahnya lebih
kecil. Berdasarkan penelitian Carson et al, (2010) struktur tanah yang padat dapat
menghalangi kolonisasi dan mobilitas bakteri di dalam tanah, sehingga semakin padat
tanah, maka semakin kecil pula keragaman dan populasi bakteri, sebaliknya semakin
tidak padatnya tanah (pori tanah besar) cenderung menghasilkan kekayaan bakteri yang
lebih tinggi.
Namun pada penelitian ini, pernyataan tersebut tidak sesuai dengan kondisi tanah
SKB yang bertekstur agak padat dan memiliki jumlah populasi bakteri lebih banyak
dibandingkan CKB. Hal tersebut diduga karena bakteri tanah didalamnya telah
mengembangkan mekanisme untuk menyesuaikan dengan kondisi asam pada tanah
sehingga tetap dapat bertahan hidup. Menurut (Chau, Bagtzoglou, & Willig, 2011)
bakteri di tanah cenderung asam dapat mengembangkan mekanisme dirinya untuk
menghadapi kondisi cekaman kekeringan, termasuk kemampuan untuk memasuki
keadaan tidak aktif atau istirahat bakteri, dan produksi zat ekstra polimerik/biofilm,
sehingga dapat meningkatkan kelangsungan hidup spesies langka dengan menyediakan
habitat terisolasi sehingga persaingan untuk sumber daya berkurang.
29
4.3 Analisis Komunitas Bakteri Asal Sulfat Masam Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah dengan Menggunakan Metode NonKultur dengan NGS
4.3.1 Keragaman Komunitas Bakteri Tanah Sulfat Masam
Keragaman bakteri di dua lokasi yang diukur berdasarkan Unit Taksonomi Operasional
(OTU) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (Gambar 4).
Gambar 4. Keragaman Bakteri Berdasarkan OTU (Operational Taxonomy Unit)
Daerah SKB memiliki total fragmen hasil pemotongan secara acak (reads)
Sebanyak 140290 fragmen dengan total contig terbaca sebanyak 85070, dan banyaknya
OTU yang berhasil terbaca sebanyak 1677 (Lampiran 7). Sedangkan, pada daerah CKB
memiliki total fragmen hasil shotgun sebanyak 131817 fragmen (reads) dan yang dapat
membentuk contig sebanyak 84814 dengan total OTU sebanyak 1317 (Lampiran 7).
Berdasarkan analisis Chao1 nonparametrik, nilai total OTU yang terbaca pada tanah
sulfat masam di SKB dan CKB tersebut masuk dalam kategori perkiraan jumlah
maksimum nilai OTU yakni berkisar antara 1350-3400 dengan rata-rata perkiraan
kekayaan OTU mendekati 2240 ( ± 360) (Buée et al., 2009).
Berdasarkan hasil analisis Venn, pola tumpang tindih dari kelompok OTU di
antara sampel yang berbeda diperoleh pada Gambar 4, untuk sampel SKB dan CKB
masing-masing menampung 610 OTU dan 225 OTU, dengan gabungan himpunan
antar keduanya yaitu sebesar 1042 OTU. Hasil tersebut menunjukan bahwa komunitas
bakteri tanah di SKB sangat mirip dengan komunitas bakteri tanah di CKB, hal tersebut
1677
1317
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
SKB CKB
Nil
ai O
TU
(O
per
ati
onal T
axo
nom
y
Un
it)
Lokasi
30
diduga karena sebagian besar bakteri tanah CKB berasal dari lingkungan tanah yang
sama dengan SKB.
Gambar 5. Diagram Venn Pola Tumpang Tindih antar sampel SKB dan CKB
Sesuai dengan penelitian Hong et al, (2015) yang menghasilkan diagram venn
komunitas bakteri endofit berbagi 4434 OTU dengan sampel rhizoplane dan sedimen,
hal tersebut menunjukan bahwa kolonisasi endofit dalam akar yang sebagian berasal
dari lingkungan endapan rhizosfer. Berdasarkan hasil pembacaan OTU ini dapat
dinyatakan bahwa keragaman bakteri pada sampel SKB lebih tinggi daripada sampel
CKB dan hal ini sejalan dengan hasil pengkulturan pada Gambar 3 di atas.
4.3.2 Taxa phylum
Keragaman filum berdasarkan Taxa Phylum menunjukkan adanya perbedaan
jumlah filum dan besaran kelimpahan relatif masing-masing filum pada kedua lokasi
(Gambar 6). Keragaman filum yang diperoleh dari hasil analisis NGS yaitu sebanyak
11 filum untuk tanah sulfat masam Kalimantan Selatan (SKB) dengan urutan
kelimpahan relatif terbesar hingga terkecil diantaranya Proteobacteria (0,379%),
Acidobacteria (0,188%), Actinobacteria (0,083%), Bacteroidetes (0,094%),
Chloroflexi (0,031%), Spirochaetes (0,036%), Nitrospirae (0,036%), Chlorobi
(0,035%), Fimicutes (0,024%), Ignavibacteriae (0,017%), dan lainnya (0,072%).
31
Gambar 6. Komposisi Komunitas Bakteri Tanah Sulfat Masam
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
Keragaman filum yang diperoleh dari hasil analisis NGS tanah sulfat masam asal
Kalimantan Tengah (CKB) sebanyak 10 filum dengan masing-masing kelimpahan
relatifnya yaitu Proteobacteria (0,393%), Acidobacteria (0,274%), Actinobacteria
(0,133%), Bacteroidetes (0,018%), Chloroflexi (0,04%), Spirochaetes (0,02%),
Nitrospirae (0,028%), Fimicutes (0,012%), Ignavibacteriae (0,008%), dan lainnya
(0,068%) (Gambar 5). Mengacu pada database European Bioinformatics Institute
(EBI) untuk Pra-investigasi komposisi mikroba dari tanah sulfat dari daerah Mobilong
South Australia yang dilakukan pada bulan Oktober 2011 (terakhir diperbaharui 20
Januari 2016), didominasi oleh filum Proteobacteria, Actinobacteria, Acidobacteria,
Chloroflexi, dan Nitrospirae.
Secara garis besar kelimpahan relatif filum bakteri tanah sulfat masam di SKB
dan CKB memiliki perbedaan cukup signifikan kecuali pada filum Proteobacteria.
Filum yang paling mendominasi dari kedua lokasi tersebut yakni filum Protobacteria,
Acidobacteria, dan Actinobacteria. Namun pada lokasi SKB juga memiliki satu filum
yang tidak terdapat di lokasi CKB yaitu filum Chlorobi.
Kel
imp
ah
an
Rel
ati
f (%
) Other Ignavibacteriae
Firmicutes
Chlorobi
Nitrospirae
Spirochaetes
Chloroflexi
Bacteroidetes
Actinobacteria
Acidobacteria
Protobacteria
32
Filum Chlorobi hanya ada pada tanah sulfat masam Kalimantan Selatan (SKB)
dengan kandungan sulfur (0,045%) yang dapat digunakan oleh filum ini. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Sakurai, Ogawa, Shiga, & Inoue, (2010) bahwa proses
fotosintesis anoksiogenik yang dilakukan oleh bakteri sulfur hijau yakni menggunakan
ion sulfida dan pada beberapa spesies, thiosufate, molekul hidrogen atau besi tereduksi,
sebagai donor elektron.
Menurut Bryant & Frigaard (2006) bersama dengan Ignavibacteriaceae non-
fotosintesis, mereka membentuk gugus yang diisolasi secara filogenetik dalam domain
Bakteri (Filum Chlorobi), dengan galur air tawar yang terpisah dari galur laut.
Umumnya habitat bakteri sulfur hijau telah ditemukan di kedalaman hingga 145 m di
Laut Hitam, dengan ketersediaan cahaya rendah (Marschall, Jogler, Henßge, &
Overmann, 2010).
Genus yang terdeteksi dari filum Chlorobi adalah Chlorobaculum. Namun,
berdasarkan berdasarkan database European Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016),
kelompok bakteri tanah asam sulfat terdiri dari Ignavibacteria (o- Ignavibacteriales; f-
Ignavibacteriaceae) dan BSV26 yang terdiri dari C20, BSN164, PK329, 180, OPB56)
serta OPB56.
4.3.3 Kelimpahan Genus pada Tanah masam Kalimantan Selatan (SKB) dan
Tengah (CKB)
Kelimpahan genus menunjukkan ada perbedaan pada lokasi tanah sulfat masam
Kalimantan Selatan (SKB) dan Tengah (CKB) (Gambar 7). Kelimpahan genus yang
terdapat di tanah sulfat masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Tengah (CKB) terdiri
dari 99 genus yang terkelompok dalam 69 famili, 26 kelas, dan dari 12 filum (Lampiran
8). 12 kelompok filum yang terdeteksi hasil cladogram pada Gambar 6. meliputi filum
Actinobacteria, Proteobacteria, Firmicutes, Clorofleksi, Elusimicrobia, Spirochaetes,
Nitrospirae, Ignavibacteriae, Chlorobi, Bacteroidetes, Acidobacteria dan
Gemmatimonadetes.
33
Gambar 7. Kelimpahan Genus pada Tanah masam Kalimantan Selatan (SKB) dan
Tengah (CKB)
Keterangan kelompok filum pada Gambar 7.
Actinobacteria
Proteobacteria-
Deltaproteobacteria
Firmicutes
Proteobacteria- Alpha, beta,
gamma-proteobacteria
Cloroflexi
Unidentified (tidak teridentifikasi)
Elusimicrobia
Spirochaetes
Nitrospirae
Ignavibacteriae
Chlorobi
Proteobacteria -
Epsilonproteobacteria
Bacteroidetes
Firmicutes
Acidobacteria
Gemmatimonadetes; Zhang et al. 2003
Verrucomicrobia
CKB
SKB
34
Kelompok filum yang mendominasi untuk kedua lokasi (SKB dan CKB) pada
penelitian ini yaitu Protobacteria, Acidobacteria, dan Actinobacteria. Filum yang
paling mendominasi adalah Proteobacteria. Kelas pada filum Proteobacteria
penelitian ini yang terdeteksi adalah delta-, alpha-, beta-, dan gamma-protobacteria.
Urutan ini hampir sama dari struktur komunitas tanah yang lebih khas dengan urutan
alpha-, delta-, beta-, dan kemudian gamma-proteobacteria (Spain, Krumholz, &
Elshahed, 2009). Sedangkan berdasarkan database European Bioinformatics Institute
(ebi.uk) (2016) komposisi mikroba tanah sulfat masam filum Proteobacteria terdiri
atas kelas urutan tinggi (>4%) delta-, beta-, alpha-, gamma- serta (rendah <2%) zeta-
dan epsilonproteobacteria.
Kelas Deltaproteobacteria merupakan yang paling banyak terdeteksi
dibandingkan kelas lainnya (Gambar 6). Famili yang terdeteksi yakni meliputi
Anaeromyxobacteraceae, Desulfobulbaceae, Desulfobacteraceae, Geobacteraceae,
Kofleriaceae, Polyangiaceae, Syntrophaceae, Syntrophaceae, Syntrophaceae,
Syntrophobacteraceae (Lampiran 8). Berdasarkan database European Bioinformatics
Institute (ebi.uk) (2016) famili yang terdeteksi pada tanah sulfat masam terdiri atas
Desulfuromonadaceae, Geobacteraceae, Pelobacteraceae, (dari ordo
Desulfuromonadales); Desulfobacteraceae, Syntrophobacteraceae (dari ordo
Syntrophobacterales); Myxococcaceae (ordo Myxococcales); JTB36 dan
Desulfurellales. Ordo Desulfomonadales mampu melakukan respirasi anaerob
menggunakan berbagai senyawa sebagai akseptor elektron, termasuk sulfur, Mn (IV),
Fe (III), nitrat, Co (III), Tc (VII), U (VI) dan trichloroacetic acid. Penelitian Ling et al,
(2015) juga menyebutkan bahwa keragaman Deltaprotobacteria lebih banyak
dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan keasaman. Air laut digunakan sebagai
sumber sulfat untuk pengurangan bakteri sulfat dan dominasi bakteri pereduksi sulfat
(SRB) di dalam kelas delta (Rabus et al., 2013). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Haryono, Noor, Syahbuddin, dan Sarwani (2013) bahwa mikroba yang berperan dalam
pereduksi sulfat termasuk dalam genus (1) Desulfovibrio yang terdiri atas
Desulfovibrio desulfuricans dan (2) Desulfotomaculum. Bakteri pereduksi sulfat ini
35
bersifat obligat anaerob, hanya mampu hidup dan berkembang dalam suasana anaerob.
Bakteri ini memanfaatkan energi dari proses reduksi sulfat sebagai penerima elektron
untuk menghasilkan sulfida (H2S) dengan sangat cepat. Namun menurut Spain et al,
(2009) keragamaan kelas Deltaproteobacteria memungkinkan sulit untuk
dibudidayakan dalam kultur murni di laboratorium menggunakan media pertumbuhan
heterotrofik standar karena silsilah Deltaproteobacteria ini hanya terdiri dari sekuens
klon lingkungan, tidak ada yang mengandung perwakilan yang dibudidayakan.
Selanjutnya dari kelas Alphaproteobacteria, famili yang terdeteksi dari kelas
Alphaproteobacteria yaitu Acetobacteraceae, Rhodospirillaceae, Micropepsaceae,
Bradyrhizobiaceae, Roseiarcaceae, Xanthobacteraceae, Sphingomonadaceae, dan
Sphingomonadaceae (Lampiran 7). Famili ini mirip dengan database European
Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016) bahwa famili yang terdeteksi pada tanah sulfat
masam daerah Mobilong South Australia terdiri atas Rhodospirillaceae,
Acetobacteraceae, Bradyrhizobiaceae, Sphingomonadaceae, dan 1% ordo
Rickettsiales.
Genus yang terdeteksi dari kelas Gammaproteobacteria adalah Sulfurifustis,
Methylomonas, Acinetobacter, Coxiella, Acidibacter, Metallibacterium, dan
Stenotrophomonas (Lampiran 7), sedangkan database European Bioinformatics
Institute (ebi.uk) (2016) menyebutkan ordo yang terdeteksi pada tanah asam sulfat
terdiri dari Chromatiales (Ectothiorhodospiraceae); Xanthomonadales
(Sinobacteraceae); Methylococcales (Methylococcaceae) dan HTCC2188. Kelas
Gammaproteobacteria terbagi menjadi dua kelompok utama satu fotoautotrofik dan
yang lainnya heterotrofik. Bakteri sulfur ungu (Chromatiales) pada
Gammaproteobacteria adalah bakteri anaerob obligat yang memanfaatkan
bakterioklorofil untuk menangkap energi cahaya untuk jalur fotosintesis dan
mengoksidasi hidrogen sulfida daripada air, menghasilkan sulfur sebagai produk
limbah (Williams et al., 2010). Gammaproteobacteria lebih banyak ditemukan pada
pH rendah (Kuang et al., 2013) begitu pula dengan acidobacteria yang didukung
lingkungan pH rendah (Lauber et al., 2009).
36
Ordo yang teridentifikasi dari kelas Epsilonproteobacteria adalah
Campylobacterales dengan genus Helicobacter, Sulfurimonas, Sulfuricurvum, dan
sulfurospirillum. Hal ini sesuai dengan database European Bioinformatics Institute
(ebi.uk) (2016) bahwa hanya ordo Campylobacterales yang terdeteksi untuk kelas
Epsilonproteobacteria pada tanah asam sulfat. Menurut Spain et al, (2009)
Epsilonproteobacteria belum banyak terdeteksi di database 16S rRNA menunjukkan
bahwa kelas ini sangat langka di tanah atau tidak ada di mana-mana seperti kelas lain
dalam Proteobacteria hal tersebut diduga disebabkan oleh kemampuan distribusi
ekologis dan kemampuan metabolisme epsilonproteobacteria yang terbatas. Menurut
Takai et al, (2006a) habitat Epsilonproteobacteria pertama kali ditemukan dan diisolasi
dari laut dalam, Epsilonproteobacteria terkait erat dengan Sulfurimonas, yang
memiliki sulfur dan kemampuan oksidasi tiosulfat. Sulfurimonas merupakan bakteri
gram-negatif, bersifat fakultatif anaerob dan termasuk mesofilik, pertumbuhannya
terjadi secara chemolithoautotrophically dengan ion sulfur, thiosulfate dan H2 sebagai
donor elektron dan dengan nitrat, nitrit dan O2 sebagai akseptor elektron (Inagaki,
Takai, Kobayashi, Nealson, & Horikoshi, 2003).
Filum kedua yang mendominasi yaitu Acidobacteria, famili yang terdeteksi pada
filum ini adalah Bryobacteraceae, Solibacteraceae, Acidobacteriaceae,
Thermoanaerobaculacea, Holophagaceae (Lampiran 8). Acidobacteriia dan
Holophagae adalah satu-satunya kelas yang saat ini termasuk dalam edisi terbaru dari
Manual Bergey (Thrash, J.C., & Coates, J.D, 2007). Berdasarkan penelitian Kielak,
Barreto, Kowalchuk, van Veen, & Kuramae, (2016) menggunakan sekuens gen 16S
rRNA, dengan analisis MEGA7 (Tamura et al., 2011), dendogram yang diperoleh saat
ini, ada total 40 spesies yang dimiliki oleh 22 genus yaitu sebelas genus dari subdivisi
1 (kelas Acidobacteriia), tiga subdivisi 3 (genus Bryobacter, Solibacter,
Paludibaculum); empat subdivisi 4, tiga subdivisi 8 (genus Acanthopleuribacter,
Holophaga, Geothrix); satu subdivisi 10 dan satu subdivisi 23 (genus
Thermoanaerobaculum). Selain itu, ada urutan genus Koribacter dan Solibacter, tetapi
ada sedikit informasi tentang fisiologi mereka. Sedangkan berdasarkan database
European Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016) ) menyebutkan famili dari filum
37
Acidobacteria yang terdeteksi pada tanah asam sulfat terdiri dari TM1; Acidobacteria-
2, -5, -6; koribacteraceae; Acidobacteriaceae; Solibacteres; EC1113; OS-K;
Chloracidobacteria; iii1-15, CCU21 dan 3035.
Filum ketiga yang mendominasi yaitu Actinobacteria, famili yang terdeteksi dari
filum ini adalah Acidothermaceae, Mycobacteriaceae dan Cellulomonadaceae
(Lampiran 8). Berdasarkan database European Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016)
menyebutkan famili dari filum Actinobacteria yang terdeteksi pada tanah asam sulfat
terdiri dari Streptomycetaceae, Micromonosporaceae, Thermomonosporaceae,
Intrasporangiaceae, Kineosporiaceae, Frankiaceae, Cryptosporangiaceae (o-
Actinomycetales); Gaiellaceae (o- Gaiellales); Solirubrobacterales; 0319-7L14 dan
Acidimicrobiia.
Berdasarkan penelitian ini dihasilkan bahwa perbedaan tipe lahan rawa dapat
mempengaruhi komunitas bakteri tanah yang ada pada masing-masing lokasi tanah
sulfat masam di Kalimantan Selatan maupun Kalimantan tengah, hal tersebut
dibuktikan dengan perbedaan sifat fisik kimia tanah antara lokasi SKB dan CKB yang
cukup signifikan. Namun secara keseluruhan hasil menunjukan keragaman filum pada
tanah sulfat masam SKB dan CKB cenderung sama, hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Lauber et al, (2009) bahwa keragaman untuk filum apa pun tampaknya
relatif sama di dalam masing-masing tanah.
38
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Keanekaragaman komunitas bakteri tanah sulfat masam pada daerah lahan rawa
potensial tipe B di Kalimantan Selatan (SKB) dan Aktual tipe C di Kalimantan
Tengah yang diperoleh dari hasil analisis NGS masing-masing sebanyak 11 dan
10 filum diantaranya adalah Proteobacteria, Acidobacteria, Actinobacteria,
Bacteroidetes, Chloroflexi, Spirochaetes, Nitrospirae, Chlorobi, Fimicutes, dan
Ignavibacteriae.
2. Tanah sulfat masam Kalimantan Selatan memiliki tingkat kesuburan sedikit
lebih baik dibandingkan dengan Kalimantan Tengah dinilai dari analisis kimia
fisik tanah dan total plate count bakteri tanah yang berhasil tumbuh.
5.2 Saran
Perlu dilakukan pengelolaan tanah dengan karakter keanekaragaman hayati dan
daya dukung ekosistem yang dimiliki sehingga dapat mengoptimalkan fungsi
tanah dalam peningkatan produksi pertanian di tanah sulfat masam.
39
DAFTAR PUSTAKA
Abt, B., Göker, M., Scheuner, C., Han, C., Lu, M., Misra, M., … Klenk, H. P. (2013).
Genome sequence of the thermophilic fresh-water bacterium spirochaeta caldaria type
strain (h1t), reclassification of spirochaeta caldaria, spirochaeta stenostrepta, and
spirochaeta zuelzerae in the genus treponema as treponema caldaria comb. nov., trepon.
Standards in Genomic Sciences, 8(1), 88–105. https://doi.org/10.4056/sigs.3096473
Achenbach, L. A., Michaelidou, U., Bruce, R. A., Fryman, J., & Coates, J. D. (2001).
Dechloromonas agitata gen. nov., sp. nov. and Dechlorosoma suillum gen. nov., sp.
nov., two novel environmentally dominant (per)chlorate-reducing bacteria and their
phylogenetic position. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology, 51(2), 527–533. https://doi.org/10.1099/00207713-51-2-527
Akinsanya, M. A., Goh, J. K., Lim, S. P., & Ting, A. S. Y. (2015). Metagenomics study of
endophytic bacteria in Aloe vera using next-generation technology. Genomics Data, 6,
159–163. https://doi.org/10.1016/j.gdata.2015.09.004
Alou, M. T., Ndongo, S., Frégère, L., Labas, N., Andrieu, C., Richez, M., … Raoult, D.
(2018). Taxonogenomic description of four new Clostridium species isolated from
human gut: ‘Clostridium amazonitimonense’, ‘Clostridium merdae’, ‘Clostridium
massilidielmoense’ and ‘Clostridium nigeriense.’ New Microbes and New Infections,
21, 128–139. https://doi.org/10.1016/j.nmni.2017.11.003
Arisman. (2014). Nitric Oxide Chemistry and Velocity Slip Effects in Hypersonic Boundary
Layers. Thesis, (1), 1–64. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Balk, M., Altinbaş, M., Rijpstra, W. I. C., Damsté, J. S. S., & Stams, A. J. M. (2008).
Desulfatirhabdium butyrativorans gen. nov., sp. nov., a butyrate-oxidizing, sulfate-
reducing bacterium isolated from an anaerobic bioreactor. International Journal of
Systematic and Evolutionary Microbiology, 58(1), 110–115.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.65396-0
Bhandari, V., Ahmod, N. Z., Shah, H. N., & Gupta, R. S. (2013). Molecular signatures for
Bacillus species: Demarcation of the Bacillus subtilis and Bacillus cereus clades in
molecular terms and proposal to limit the placement of new species into the genus
Bacillus. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology,
63(PART7), 2712–2726. https://doi.org/10.1099/ijs.0.048488-0
Bowman, J. P., Sly, L. I., Nichols, P. D., & Hayward, A. C. (1993). Revised taxonomy of the
methanotrophs: Description of Methylobacter gen. nov., emendation of Methylococcus,
validation of Methylosinus and Methylocystis species, and a proposal that the family
Methylococcaceae includes only the group I methanotrophs. International Journal of
Systematic Bacteriology, 43(4), 735–753. https://doi.org/10.1099/00207713-43-4-735
Bryant, D. A., & Frigaard, N. U. (2006). Prokaryotic photosynthesis and phototrophy
40
illuminated. Trends in Microbiology, 14(11), 488–496.
https://doi.org/10.1016/j.tim.2006.09.001
Buée, M., Reich, M., Murat, C., Morin, E., Nilsson, R. H., Uroz, S., & Martin, F. (2009). 454
Pyrosequencing analyses of forest soils reveal an unexpectedly high fungal diversity.
New Phytologist, 184(2), 449–456. https://doi.org/10.1111/j.1469-8137.2009.03003.x
Carson, J. K., Gonzalez-Quiñones, V., Murphy, D. V., Hinz, C., Shaw, J. A., & Gleeson, D.
B. (2010). Low pore connectivity increases bacterial diversity in soil. Applied and
Environmental Microbiology, 76(12), 3936–3942. https://doi.org/10.1128/AEM.03085-
09
Chau, J. F., Bagtzoglou, A. C., & Willig, M. R. (2011). The Effect of Soil Texture on
Richness and Diversity of Bacterial Communities. Environmental Forensics, 12(4),
333–341. https://doi.org/10.1080/15275922.2011.622348
Coates, J. D., Ellis, D. J., Gaw, C. V, & Lovley, D. R. (1999). Geothrix ferrnentans.
International Journal of Systematic Bacteriology, 49(1 999), 1615–1622.
Dedysh, S. N., Haupt, E. S., & Dunfield, P. F. (2016). Emended description of the family
Beijerinckiaceae and transfer of the genera Chelatococcus and Camelimonas to the
family Chelatococcaceae fam. nov. International Journal of Systematic and
Evolutionary Microbiology, 66(8), 3177–3182. https://doi.org/10.1099/ijsem.0.001167
Defosse, D. L., Johnson, R. C., Paster, B. J., Dewhirst, F. E., & Fraser, G. J. (1995).
Brevinema andersonii gen. nov., sp. nov., an infectious Spirochete isolated from the
short-tailed shrew (Blarina brevicauda) and the white- footed mouse (Peromyscus
leucopus). International Journal of Systematic Bacteriology, 45(1), 78–84.
Emerson, D., Field, E. K., Chertkov, O., Davenport, K. W., Goodwin, L., Munk, C., …
Woyke, T. (2013). Comparative genomics of freshwater Fe-oxidizing bacteria:
Implications for physiology, ecology, and systematics. Frontiers in Microbiology,
4(SEP), 1–17. https://doi.org/10.3389/fmicb.2013.00254
Fahriansyah Nur Afandi, Bambang Siswanto, Y. N. (2015). Dan Produksi Tanaman Ubi Jalar
Di Entisol. Jurnal Tanah Dan Sumberdaya Lahan, 2(2), 237–244.
Falagán, C., & Johnson, D. B. (2014). Acidibacter ferrireducens gen. nov., sp. nov.: an
acidophilic ferric iron-reducing gammaproteobacterium. Extremophiles, 18(6), 1067–
1073. https://doi.org/10.1007/s00792-014-0684-3
Feng, G. Da, Yang, S. Z., Xiong, X., Li, H. P., & Zhu, H. H. (2017). Sphingomonas
spermidinifaciens sp. Nov., a novel bacterium containing spermidine as the major
polyamine, isolated from an abandoned lead–zinc mine and emended descriptions of the
genus Sphingomonas and the species Sphingomonas yantingensis and Sphingomona.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 67(7), 2160–2165.
https://doi.org/10.1099/ijsem.0.001905
41
Fudou, R., Jojima, Y., Iizuka, T., & Yamanaka, S. (2002). Haliangium ochraceum gen. nov.,
sp. nov. and Haliangium tepidum sp. nov.: Novel moderately halophilic myxobacterial
isolated from coastal saline environments. Journal of General and Applied
Microbiology, 48(2), 109–115. https://doi.org/10.2323/jgam.48.109
Ge, S., Xu, H., Ji, M., & Jiang, Y. (2013). Characteristics of Soil Organic Carbon, Total
Nitrogen, and C/N Ratio in Chinese Apple Orchards. Open Journal of Soil Science,
03(05), 213–217. https://doi.org/10.4236/ojss.2013.35025
GenEluteTM Soil DNA Isolation Kit Product Number DNB100 Storage: Room Temperature.
(n.d.). Retrieved from https://www.sigmaaldrich.com/content/dam/sigma-
aldrich/docs/Sigma/Bulletin/2/dnb100bul.pdf
Gerner-Smidt, P., Kei, H., Ursing, J., Blom, J., Christen, A. C., Christensen, J., … Ying, Y.
T. (1994). Negative motile coccus with unusual morphology isolated from the human
mouth. Microbiology, 140(1 994), 1787–1797.
Gerritsen, J., Fuentes, S., Grievink, W., van Niftrik, L., Tindall, B. J., Timmerman, H. M.,
… Smidt, H. (2014). Characterization of Romboutsia ilealis gen. nov., sp. nov., isolated
from the gastro-intestinal tract of a rat, and proposal for the reclassification of five
closely related members of the genus Clostridium into the genera Romboutsia gen. nov.,
Intestinib. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology,
64(PART 5), 1600–1616. https://doi.org/10.1099/ijs.0.059543-0
Grech-Mora, I., Fardeau, M. L., Patel, B. K. C., Ollivier, B., Rimbault, A., Prensier, G., …
Garnier-Sillam, E. (1996). Isolation and characterization of Sporobacter termitidis gen.
nov., sp. nov., from the digestive tract of the wood-feeding termite Nasutitermes lujae.
International Journal of Systematic Bacteriology, 46(2), 512–518.
https://doi.org/10.1099/00207713-46-2-512
Gupta, R. S., Lo, B., & Son, J. (2018). Phylogenomics and comparative genomic studies
robustly support division of the genus Mycobacterium into an emended genus
Mycobacterium and four novel genera. Frontiers in Microbiology, 9(FEB), 1–41.
https://doi.org/10.3389/fmicb.2018.00067
Haryono, Noor, M., Syahbuddin, H., & Sarwani, M. (2013). Lahan Rawa. Penelitian dan
Pengembangan (M. et al. Noor, ed.). Retrieved from
http://bbsdlp.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/publikasi-
3/buku?download=6:lahan-rawa-penelitian-dan-pengembangan-pertanian
Hippe, H. (2000). Leptospirillum gen. nov. (ex Markosyan 1972), nom. rev., including
Leptospirillum ferrooxidans sp. nov. (ex Markosyan 1972), nom. rev. and
Leptospirillum thermoferrooxidans sp. nov. (Golovacheva et al. 1992). International
Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 50(2), 501–503.
https://doi.org/10.1099/00207713-50-2-501
42
Holmes, D. E., Nevin, K. P., Woodard, T. L., Peacock, A. D., & Lovley, D. R. (2007).
Prolixibacter bellariivorans gen. nov., sp. nov., a sugar-fermenting, psychrotolerant
anaerobe of the phylum Bacteroidetes, isolated from a marine-sediment fuel cell.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 57(4), 701–707.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.64296-0
Hong, Y., Liao, D., Hu, A., Wang, H., Chen, J., Khan, S., … Li, H. (2015). Diversity of
endophytic and rhizoplane bacterial communities associated with exotic Spartina
alterniflora and native mangrove using Illumina amplicon sequencing. Canadian
Journal of Microbiology, 61(10), 723–733. https://doi.org/10.1139/cjm-2015-0079
Ibrahim, A., Gerner-Smidt, P., & Liesack, W. (1997). Phylogenetic relationship of the
twenty-one DNA groups of the genus Acinetobacter as revealed by 16S ribosomal DNA
sequence analysis. International Journal of Systematic Bacteriology, 47(3), 837–841.
https://doi.org/10.1099/00207713-47-3-837
Iino, T., Mori, K., Uchino, Y., Nakagawa, T., Harayama, S., & Suzuki, K. I. (2010).
Ignavibacterium album gen. nov., sp. nov., a moderately thermophilic anaerobic
bacterium isolated from microbial mats at a terrestrial hot spring and proposal of
Ignavibacteria classis nov., for a novel lineage at the periphery of green sulfur bacteria.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 60(6), 1376–1382.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.012484-0
Iino, T., Sakamoto, M., & Ohkuma, M. (2015). Prolixibacter denitrificans sp. nov., an iron-
corroding, facultatively aerobic, nitrate-reducing bacterium isolated from crude oil, and
emended descriptions of the genus prolixibacter and prolixibacter bellariivorans.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 65(9), 2865–2869.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.000343
Imhoff, J. F. (2001). Transfer of Rhodopseudomonas acidophila to the new genus
Rhodoblastus as Rhodoblastus acidophilus gen. nov., comb. nov. International Journal
of Systematic and Evolutionary Microbiology, 51(5), 1863–1866.
https://doi.org/10.1099/00207713-51-5-1863
Imhoff, Johannes F. (2003). Phylogenetic taxonomy of the family Chlorobiaceae on the basis
of 16S rRNA and fmo (Fenna-Matthews-Olson protein) gene sequences. International
Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 53(4), 941–951.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.02403-0
Inagaki, F., Takai, K., Kobayashi, H., Nealson, K. H., & Horikoshi, K. (2003). Sulfurimonas
autrotrophica gen. nov., sp. nov., a novel sulfur-oxidizing E-proteobacterium isolated
from hydrothermal sediments in the Mid-Okinawa Trough. International Journal of
Systematic and Evolutionary Microbiology, 53(6), 1801–1805. https://doi.org/
10.1099/ijs.0.02682-0
James, K. L., Kung, J. W., Crable, B. R., Mouttaki, H., Sieber, J. R., Nguyen, H. H., …
43
McInerney, M. J. (2019). Syntrophus aciditrophicus uses the same enzymes in a
reversible manner to degrade and synthesize aromatic and alicyclic acids.
Environmental Microbiology, 21(5), 1833–1846. https://doi.org/10.1111/1462-
2920.14601
Jarvis, B., Sadowsky, M. J., Gould, T. J., Phillips, J., Cotner, J. B., Unno, T., & Staley, C.
(2013). Application of Illumina next-generation sequencing to characterize the bacterial
community of the Upper Mississippi River. Journal of Applied Microbiology, 115(5),
1147–1158. https://doi.org/10.1111/jam.12323
Jiang, D. M., Zhao, L., Zhang, C. Y., Li, J., Xia, Z. J., Wang, J., … Li, Y. Z. (2008).
Taxonomic analysis of Sorangium strains based on HSP60 and 16S rRNA gene
sequences and morphology. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology, 58(11), 2654–2659. https://doi.org/10.1099/ijs.0.65806-0
Johnson, D. B., Hallberg, K. B., & Hedrich, S. (2014). Uncovering a Microbial Enigma:
Isolation and Characterization of the Streamer-Generating, Iron-Oxidizing, Acidophilic
Bacterium “Ferrovum myxofaciens.” Applied and Environmental Microbiology, 80(2),
672–680. https://doi.org/10.1128/AEM.03230-13
Johnson, D. B., Stallwood, B., Kimura, S., & Hallberg, K. B. (2006). Isolation and
characterization of Acidicaldus organivorus, gen. nov., sp. nov.: A novel sulfur-
oxidizing, ferric iron-reducing thermo-acidophilic heterotrophic Proteobacterium.
Archives of Microbiology, 185(3), 212–221. https://doi.org/10.1007/s00203-006-0087-
7
Kämpfer, P., Young, C. C., Arun, A. B., Shen, F. T., Jäckel, U., Rosselló-Mora, R., … Rekha,
P. D. (2006). Pseudolabrys taiwanensis gen. nov., sp. nov., an alphaproteobacterium
isolated from soil. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology,
56(10), 2469–2472. https://doi.org/10.1099/ijs.0.64124-0
Kelly, D. P., Uchino, Y., Huber, H., Amils, R., & Wood, A. P. (2007). Reassessment of the
phylogenetic relationships of Thiomonas cuprina. International Journal of Systematic
and Evolutionary Microbiology, 57(11), 2720–2724. https://doi.org/
10.1099/ijs.0.65537-0
Kielak, A. M., Barreto, C. C., Kowalchuk, G. A., van Veen, J. A., & Kuramae, E. E. (2016).
The ecology of Acidobacteria: Moving beyond genes and genomes. Frontiers in
Microbiology, 7(MAY), 1–16. https://doi.org/10.3389/fmicb.2016.00744
Kim, A. D., Mandelco, L., Tanner, R. S., Woese, C. R., & Suflita, J. M. (1990).
Desulfomonile tiedjei. Archives of Microbiology, 154(1), 23–30.
Kodama, Y., & Watanabe, K. (2004). Sulfuricurvum kujiense gen. nov., sp. nov., a
facultatively anaerobic, chemolithoautotrophic, sulfur-oxidizing bacterium isolated
from an underground crude-oil storage cavity. International Journal of Systematic and
44
Evolutionary Microbiology, 54(6), 2297–2300. https://doi.org/10.1099/ijs.0.63243-0
Kojima, H., Shinohara, A., & Fukui, M. (2015). Sulfurifustis variabilis gen. nov., sp. nov., a
sulfur oxidizer isolated from a lake, and proposal of Acidiferrobacteraceae fam. nov.
and Acidiferrobacterales ord. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology, 65(10), 3709–3713. https://doi.org/10.1099/ijsem.0.000479
Kuang, J. L., Huang, L. N., Chen, L. X., Hua, Z. S., Li, S. J., Hu, M., … Shu, W. S. (2013).
Contemporary environmental variation determines microbial diversity patterns in acid
mine drainage. ISME Journal, 7(5), 1038–1050. https://doi.org/10.1038/ismej.2012.139
Kulichevskaya, I. S., Danilova, O. V., Tereshina, V. M., Kevbrin, V. V., & Dedysh, S. N.
(2014). Descriptions of Roseiarcus fermentans gen. nov., sp. nov., a bacteriochlorophyll
a-containing fermentative bacterium related phylogenetically to alphaproteobacterial
methanotrophs, and of the family Roseiarcaceae fam. nov. International Journal of
Systematic and Evolutionary Microbiology, 64(PART 8), 2558–2565.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.064576-0
Kulichevskaya, I. S., Suzina, N. E., Liesack, W., & Dedysh, S. N. (2010). Bryobacter
aggregatus gen. nov., sp. nov., a peat-inhabiting, aerobic chemo-organotroph from
subdivision 3 of the acidobacteria. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology, 60(2), 301–306. https://doi.org/10.1099/ijs.0.013250-0
Kulichevskaya, I. S., Suzina, N. E., Rijpstra, W. I. C., Sinninghe Damsté, J. S., & Dedysh, S.
N. (2014). Paludibaculum fermentans gen. nov., sp. nov., a facultative anaerobe capable
of dissimilatory iron reduction from subdivision 3 of the Acidobacteria. International
Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 64(PART 8), 2857–2864.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.066175-0
Kurniawati, S., Hamzah Muttaqin, K., & Giyanto. (2017). Prosiding Seminar Nasional
Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN. Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi, 491–498. Retrieved from
http://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/7224
Kwon, S. W., Kim, B. Y., Kim, W. G., Yoo, K. H., Yoo, S. H., Son, J. A., & Weon, H. Y.
(2008). Paludibacterium yonneupense gen. nov., sp. nov., isolated from a wetland,
Yongneup, in Korea. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology, 58(1), 190–194. https://doi.org/10.1099/ijs.0.64831-0
Labrenz, M., Grote, J., Mammitzsch, K., Boschker, H. T. S., Laue, M., Jost, G., … Jurgens,
K. (2013). Sulfurimonas gotlandica sp. nov., a chemoautotrophic and psychrotolerant
epsilonproteobacterium isolated from a pelagic redoxcline, and an emended description
of the genus Sulfurimonas. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology, 63(PART 11), 4141–4148. https://doi.org/10.1099/ijs.0.048827-0
Lauber, C. L., Hamady, M., Knight, R., & Fierer, N. (2009). Pyrosequencing-based
45
assessment of soil pH as a predictor of soil bacterial community structure at the
continental scale. Applied and Environmental Microbiology, 75(15), 5111–5120.
https://doi.org/10.1128/AEM.00335-09
Ling, Y. C., Bush, R., Grice, K., Tulipani, S., Berwick, L., & Moreau, J. W. (2015).
Distribution of iron- and sulfate-reducing bacteria across a coastal acid sulfate soil
(CASS) environment: Implications for passive bioremediation by tidal inundation.
Frontiers in Microbiology, 6(JUL). https://doi.org/10.3389/fmicb.2015.00624
Liu, Yi, Qiao, J. T., Yuan, X. Z., Guo, R. B., & Qiu, Y. L. (2014). Hydrogenispora ethanolica
gen. nov., sp. nov., an anaerobic carbohydrate-fermenting bacterium from anaerobic
sludge. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 64(PART
5), 1756–1762. https://doi.org/10.1099/ijs.0.060186-0
Liu, Yitai, Balkwill, D. L., Henry, C. A., Drake, G. R., & Boone, D. R. (1999).
Characterization of the anaerobic propionate- degrading syntrophs Smithella
propionica. International Journal of Systematic Bacteriology, 49(1 999), 545–556.
https://doi.org/10.1099/00207713-49-2-545
Losey, N. A., Stevenson, B. S., Busse, H. J., Damsté, J. S. S., Rijpstra, W. I. C., Rudd, S., &
Lawson, P. A. (2013). Thermoanaerobaculum aquaticum gen. nov., sp. nov., the first
cultivated member of acidobacteria subdivision 23, isolated from a hot spring.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 63(PART 11),
4149–4157. https://doi.org/10.1099/ijs.0.051425-0
Loubinoux, J., Valente, F. M. A., Pereira, I. A. C., Costa, A., Grimont, P. A. D., & Le Faou,
A. E. (2002). Reclassification of the only species of the genus Desulfomonas,
Desulfomonas pigra, as Desulfovibrio piger comb. nov. International Journal of
Systematic and Evolutionary Microbiology, 52(4), 1305–1308.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.02175-0
Luijten, M. L. G. C., de Weert, J., Smidt, H., Boschker, H. T. S., de Vos, W. M., Schraa, G.,
& Stams, A. J. M. (2003). Description of Sulfurospirillum halorespirans sp. nov., an
anaerobic, tetrachloroethene-respiring bacterium, and transfer of Dehalospirillum
multivorans to the genus Sulfurospirillum a Sulfurospirillum multivorans comb. nov.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 53(3), 787–793.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.02417-0
Lv, Y. Y., Wang, J., Chen, M. H., You, J., & Qiu, L. H. (2016). Dinghuibacter silviterrae
gen. Nov., sp. Nov., isolated from forest soil. International Journal of Systematic and
Evolutionary Microbiology, 66(4), 1785–1791. https://doi.org/10.1099/ijsem.0.000940
Maréchal, J., Clement, B., Nalin, R., Gandon, C., Orso, S., Cvejic, J. H., … Normand, P.
(2000). A recA gene phylogenetic analysis confirms the close proximity of Frankia to
Acidothermus. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology,
50(2), 781–785. https://doi.org/10.1099/00207713-50-2-781
46
Marschall, E., Jogler, M., Henßge, U., & Overmann, J. (2010). Large-scale distribution and
activity patterns of an extremely low-light-adapted population of green sulfur bacteria
in the Black Sea. Environmental Microbiology, 12(5), 1348–1362.
https://doi.org/10.1111/j.1462-2920.2010.02178.x
Morotomi, M., Nagai, F., & Watanabe, Y. (2011). Description of Christensenella minuta gen.
nov., sp. nov., isolated from human faeces, which forms a distinct branch in the order
Clostridiales, and proposal of Christensenellaceae fam. nov. International Journal of
Systematic and Evolutionary Microbiology, 62(1), 144–149. https://doi.org/
10.1099/ijs.0.026989-0
Murray, R. G. ., & Stackebrandt, E. (1995). Status Candidatus, 1995. 186–187.
Nevin, K. P., Holmes, D. E., Woodard, T. L., Covalla, S. F., & Lovley, D. R. (2007).
Reclassification of Trichlorobacter thiogenes as Geobacter thiogenes comb. nov.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 57(3), 463–466.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.63408-0
Noar, J. D., & Buckley, D. H. (2009). Ideonella azotifigens sp. nov., an aerobic diazotroph
of the Betaproteobacteria isolated from grass rhizosphere soil, and emended description
of the genus Ideonella. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology, 59(8), 1941–1946. https://doi.org/10.1099/ijs.0.003368-0
Oecd. (2017). Waste Management Services. Illumina Sequencing Introduction, (October), 1–
8.https://doi.org/http://www.illumina.com/content/dam/illumina-marketing/
documents/products/illumina_sequencing_introduction.pdf
Okamura, K., Kawai, A., Wakao, N., Yamada, T., & Hiraishi, A. (2015). Acidiphilium
iwatense sp. nov., isolated from an acid mine drainage treatment plant, and emendation
of the genus Acidiphilium. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology, 65(1), 42–48. https://doi.org/10.1099/ijs.0.065052-0
On, S. L. W., Miller, W. G., Houf, K., Fox, J. G., & Vandamme, P. (2017). Minimal standards
for describing new species belonging to the families Campylobacteraceae and
Helicobacteraceae: Campylobacter, Arcobacter, Helicobacter and Wolinella spp.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 67(12), 5296–
5311. https://doi.org/10.1099/ijsem.0.002255
Oren, A., & Garrity, G. M. (2015). Notification of changes in taxonomic opinion previously
published outside the IJSEM. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology, 65(7), 2028–2029. https://doi.org/10.1099/ijs.0.000286
Ouattara, A. S., Le Mer, J., Joseph, M., & Macarie, H. (2017). Transfer of pseudomonas
pictorum gray and thornton 1928 to genus Stenotrophomonas as Stenotrophomonas
pictorum comb. Nov., and emended description of the genus Stenotrophomonas.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 67(6), 1894–1900.
47
https://doi.org/10.1099/ijsem.0.001880
Pambudi, A. S. T. W. P. (2017). Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Tanah Sawah di Desa
Sukawali dan Desa Belimbing, Kabupaten Tangerang. AL-KAUNIYAH; Journal of
Biology, 10(2), 105–113. Retrieved from http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kauniyah
Rainey, F. A., Weiss, N., & Stackebrandt, E. (1995). Phylogenetic analysis of the genera
Cellulomonas, Promicromonospora, and Jonesia and proposal to exclude the genus
Jonesia from the family Cellulomonadaceae. International Journal of Systematic
Bacteriology, 45(4), 649–652. https://doi.org/10.1099/00207713-45-4-649
Randy W.G.Tewu, Karamoy Lientje Theffie, D. D. P. (2016). ( Study of Soil Physical and
Chemical Properties on the Sandy Soil of.
Rustam, Umar, H., & Yusran. (2016). Lahan Di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu ( Studi
Kasus Desa Toro Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah ). Warta Rimba,
4, 24–31.
Sakurai, H., Ogawa, T., Shiga, M., & Inoue, K. (2010). Inorganic sulfur oxidizing system in
green sulfur bacteria. Photosynthesis Research, 104(2), 163–176. https://doi.org/
10.1007/s11120-010-9531-2
Salvetti, E., Harris, H. M. B., Felis, G. E., & O’Toole, P. W. (2018). Comparative genomics
of the genus Lactobacillus reveals robust phylogroups that provide the basis for
reclassification. Applied and Environmental Microbiology, 84(17), 1–15.
https://doi.org/10.1128/AEM.00993-18
Sánchez-Andrea, I., Sanz, J. L., & Stams, A. J. M. (2014). Microbacter margulisiae gen. nov.,
sp. nov., a propionigenic bacterium isolated from sediments of an acid rock drainage
pond. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 64, 3936–
3942. https://doi.org/10.1099/ijs.0.066241-0
Sanford, R. a, Cole, J. R., & Tiedje, J. M. (2002). Characterization and Description of.
Applied and Environmental Microbiology, 68(2), 893–900. https://doi.org/10.1128/
AEM.68.2.893
Sedano-Núñez, V. T., Boeren, S., Stams, A. J. M., & Plugge, C. M. (2018). Comparative
proteome analysis of propionate degradation by Syntrophobacter fumaroxidans in pure
culture and in coculture with methanogens. Environmental Microbiology, 20(5), 1842–
1856. https://doi.org/10.1111/1462-2920.14119
Sekiguchi, Y., Yamada, T., Hanada, S., Ohashi, A., Harada, H., & Kamagata, Y. (2003).
Anaerolinea thermophila gen. nov., sp. nov. and Caldilinea aerophila gen. nov., sp. nov.,
novel filamentous thermophiles that represent a previously uncultured lineage of the
domain bacteria at the subphylum level. International Journal of Systematic and
Evolutionary Microbiology, 53(6), 1843–1851. https://doi.org/10.1099/ijs.0.02699-0
48
Shendure, J., Mitra, R. D., Varma, C., & Church, G. M. (2004). Advanced sequencing
technologies: Methods and goals. Nature Reviews Genetics, 5(5), 335–344.
https://doi.org/10.1038/nrg1325
Silitonga, D. M., & Priyani, N. (2013). Isolasi dan Uji Potesi Isolat Bakteri pelarut Fosfat
dan Bakteri Penghasil Hormon IAA ( Indole Acetic Acid ) Terhadap Pertumbuhan
Kedelai ( Glycine max L .) Pada Tanah Kuning. Saintia Biologi, Vol 1, No, 1–7.
Retrieved from https://jurnal.usu.ac.id/index.php/sbiologi/article/view/1280
Sinaga, N. (2010). Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan ( Studi Kasus
Kabupaten Kutai Kartanegara ) Nurita Sinaga (Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor). Retrieved from https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/
123456789/55273/1/2010nsi.pdf
Sizova, M. V., Panikov, N. S., Spiridonova, E. M., Slobodova, N. V., & Tourova, T. P.
(2007). Novel facultative anaerobic acidotolerant Telmatospirillum siberiense gen. nov.
sp. nov. isolated from mesotrophic fen. Systematic and Applied Microbiology, 30(3),
213–220. https://doi.org/10.1016/j.syapm.2006.06.003
Skerman, V. B. D., McGowan, V., & Sneath, P. H. A. (1980). Approved lists of bacterial
names. International Journal of Systematic Bacteriology, 30(1), 225–420.
Sosilowati, Nababan, M.L, Wahyudi, Rahman, Mahendra, ZA, Massudi, Wibowo, E. S. .
(2017). Sinkronisasi Program Dan Pembiayaan Pembangunan.
Spain, A. M., Krumholz, L. R., & Elshahed, M. S. (2009). Abundance, composition, diversity
and novelty of soil Proteobacteria. ISME Journal, 3(8), 992–1000.
https://doi.org/10.1038/ismej.2009.43
Stefanie, J. W. ., Elferink, O., Vliet, W. M. A., Jaap, J. B., & M.Stams, A. J. (1999). novel
acetate-degrading sulfate reducer isolated from sulf idogenic granular sludge. (1 999),
345–350.
Su, X. L., Tian, Q., Zhang, J., Yuan, X. Z., Shi, X. S., Guo, R. B., & Qiu, Y. L. (2014).
Acetobacteroides hydrogenigenes gen. nov., Sp. nov., An anaerobic hydrogen-
producing bacterium in the family Rikenellaceae isolated from a reed swamp.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 64, 2986–2991.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.063917-0
Suastika, I. W., Hartatik, W., & Subiksa, I. G. M. (2010). Karakteristik Dan Teknologi
Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan.
Penelitian Balitbang Di Balai Penelitian Tanah, (1986).
Sufardi, Martunis, L., & Muyassir. (2017). Pertukaran kation pada beberapa jenis tanah di
lahan kering Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh (Indonesia). Prosiding Seminar
Nasional Pascasarjana (SNP) Unsiyah, (2004), 45–53.
49
Susilawati, A., Nursyamsi, D., & Syakir, M. (2016). Optimalisasi Penggunaan Lahan Rawa
Pasang Surut Mendukung Swsembada Pangan Nasional. Jurnal Sumberdaya Lahan,
10(1), 51–64. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-374984-0.01072-X
Susilowati, D. N., Suwanto, A., Sudiana, I. M., & Mubarik. (2015). Analisis Komunitas dan
Fungsi Bakteri Rhizosfer Tanaman Padi pada Gradien Salinitas Tanah Pesisir (Vol.
151). https://doi.org/10.1145/3132847.3132886
Suzuki, D., Li, Z., Cui, X., Zhang, C., & Katayama, A. (2014). Reclassification of
Desulfobacterium anilini as Desulfatiglans anilini comb. nov. within Desulfatiglans gen.
nov., And description of a 4-chlorophenol-degrading sulfate-reducing bacterium,
Desulfatiglans parachlorophenolica sp. nov. International Journal of Systematic and
Evolutionary Microbiology, 64, 3081–3086. https://doi.org/10.1099/ijs.0.064360-0
Takai, K., Suzuki, M., Nakagawa, S., Miyazaki, M., Suzuki, Y., Inagaki, F., & Horikoshi, K.
(2006). Sulfurimonas paralvinellae sp. nov., a novel mesophilic, hydrogen- and sulfur-
oxidizing chemolithoautotroph within the Epsilonproteo-bacteria isolated from a deep-
sea hydrothermal vent polychaete nest, reclassification of Thiomicrospira denitrificans
as S. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 56(8), 1725–
1733. https://doi.org/10.1099/ijs.0.64255-0
Tanaka, K., Stackebrandt, E., Tohyama, S., & Eguchi, T. (2000). Desulfovirga adipica gen.
nov., sp. nov., an adipate-degrading, Gram- negative, sulfate-reducing bacterium.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 50(2), 639–644.
https://doi.org/10.1099/00207713-50-2-639
Tasma, I. M. (2015). Pemanfaatan Teknologi Sekuensing Genom untuk Mempercepat
Program Pemuliaan Tanaman Utilization of Genome Sequencing Technology to
Accelerate Plant Breeding Program. Jurnal Litbang Pert., 34(2), 159–168.
Tasma, I. M., Satyawan, D., & Rijzaani, H. (2012). Konstruksi Pustaka Genom Kakao
(Theobroma cacao L .) untuk Sekuensing Genom Total Menggunakan Next Generation
SequencingHiSeq2000. 2000, 99–108.
Tegtmeier, D., Belitz, A., Radek, R., Heimerl, T., & Brune, A. (2018). Ereboglobus luteus
gen. nov. sp. nov. from cockroach guts, and new insights into the oxygen relationship
of the genera Opitutus and Didymococcus (Verrucomicrobia: Opitutaceae). Systematic
and Applied Microbiology, 41(2), 101–112. https://doi.org/10.1016/
j.syapm.2017.10.005
Thrash, J. C., & Coates, John, D. (2007). Phylum XVII. Acidobacteria phyl. nov. 725–735.
Tinning, M., & Genome, A. (2013). Next-Generation Sequencing: an overview of
technologies and applications. ARC Centre of Excellence in Bioinformatics, (July).
Retrieved from http://bioinformatics.org.au/wp-content/uploads/ws13/sites/3/
FullPresentations/Matthew-Tinning_2013-Winter-School-presentation.pdf
50
Trojan, D., Schreiber, L., Bjerg, J. T., Bøggild, A., Yang, T., Kjeldsen, K. U., & Schramm,
A. (2016). A taxonomic framework for cable bacteria and proposal of the candidate
genera Electrothrix and Electronema. Systematic and Applied Microbiology, 39(5),
297–306. https://doi.org/10.1016/j.syapm.2016.05.006
Ueki, A., Kodama, Y., Kaku, N., Shiromura, T., Satoh, A., Watanabe, K., & Ueki, K. (2010).
Rhizomicrobium palustre gen. nov., sp. nov., a facultatively anaerobic, fermentative
stalked bacterium in the class Alphaproteobacteria isolated from rice plant roots.
Journal of General and Applied Microbiology, 56(3), 193–203. https://doi.org/
10.2323/jgam.56.193
Ueki, I., Koga, Y., Povalko, N., Akita, Y., Nishioka, J., Yatsuga, S., … Matsuishi, T. (2006).
Mitochondrial tRNA gene mutations in patients having mitochondrial disease with
lactic acidosis. Mitochondrion, 6(1), 29–36. https://doi.org/10.1099/ijs.0.63896-0
Wang, R., Zhang, H., Sun, L., Qi, G., Chen, S., & Zhao, X. (2017). Microbial community
composition is related to soil biological and chemical properties and bacterial wilt
outbreak. Scientific Reports, 7(1), 343. https://doi.org/10.1038/s41598-017-00472-6
Wang, Y., Song, J., Zhai, Y., Zhang, C., Gerritsen, J., Wang, H., … Ruan, Z. (2015).
Romboutsia sedimentorum sp. nov., isolated from an alkaline-saline lake sediment and
emended description of the genus Romboutsia. International Journal of Systematic and
Evolutionary Microbiology, 65, 1193–1198. https://doi.org/10.1099/ijs.0.000079
Ward, N. L., Challacombe, J. F., Janssen, P. H., Henrissat, B., Coutinho, P. M., Wu, M., …
Kuske, C. R. (2009). Three genomes from the phylum Acidobacteria provide insight
into the lifestyles of these microorganisms in soils. Applied and Environmental
Microbiology, 75(7), 2046–2056. https://doi.org/10.1128/AEM.02294-08
Weiss, J. V., Rentz, J. A., Plaia, T., Neubauer, S. C., Merrill-Floyd, M., Lilburn, T., …
Emerson, D. (2007). Characterization of neutrophilic Fe(II)-oxidizing bacteria isolated
from the rhizosphere of wetland plants and description of Ferritrophicum radicicola gen.
nov. sp. nov., and Sideroxydans paludicola sp. nov. Geomicrobiology Journal, 24(7–8),
559–570. https://doi.org/10.1080/01490450701670152
Willems, A., Coopman, R., & Gillis, M. (2001). Phylogenetic and DNA-DNA hybridization
analyses of Bradyrhizobium species. International Journal of Systematic and
Evolutionary Microbiology, 51(1), 111–117. https://doi.org/10.1099/00207713-51-1-
111
Willems, Anne, Coopman, R., Gillis, M., & Gent, U. (2001). Comparison of sequence
analysis of 16S – 23S rDNA spacer regions , AFLP analysis and DNA – DNA
hybridizations in Bradyrhizobium groupings in line with previously obtained AFLP data
. DNA – DNA hybridizations profiles reflected the overall genomic similari.
International Journal of Systematic and Evolutionary MMcrobiology, 51(2001), 623–
632.
51
Williams, K. P., Gillespie, J. J., Sobral, B. W. S., Nordberg, E. K., Snyder, E. E., Shallom, J.
M., & Dickerman, A. W. (2010). Phylogeny of gammaproteobacteria. Journal of
Bacteriology, 192(9), 2305–2314. https://doi.org/10.1128/JB.01480-09
Winda Kumalasari, S., Syamsiyah, J., Sumarno Jurusan Ilmu Tanah, D., Pertanian, F., &
Sebelas Maret Surakarta, U. (2011). Studi Beberapa Sifat Fisika Dan Kimia Tanah Pada
Berbagai Komposisi Tegakan Tanaman Di Sub Das Solo Hulu (The Study of Soil
Physics and Chemical Character on Various Straightened Composition of Crop on Sub
DAS Solo Hulu). Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah Dan Agroklimatologi, 8(2),
119–124.
Wu, X., Wong, Z. L., Sten, P., Engblom, S., Österholm, P., & Dopson, M. (2013). Microbial
community potentially responsible for acid and metal release from an Ostrobothnian
acid sulfate soil. FEMS Microbiology Ecology, 84(3), 555–563.
https://doi.org/10.1111/1574-6941.12084
Yabuuchi, E., Kosako, Y., Fujiwara, N., Naka, T., Matsunaga, I., Ogura, H., & Kobayashi,
K. (2002). Emendation of the genus Sphingomonas Yabuuchi et al. 1990 and junior
objective synonymy of the species of three genera, Sphingobium, Novosphingobium
and Sphingopyxis, in conjuction with Blastomonas ursincola. International Journal of
Systematic and Evolutionary Microbiology, 52(5), 1485–1496.
https://doi.org/10.1099/ijs.0.01868-0
Yamada, T., Sekiguchi, Y., Hanada, S., Imachi, H., Ohashi, A., Harada, H., & Kamagata, Y.
(2006). Anaerolinea thermolimosa sp. nov., Levilinea saccharolytica gen. nov., sp. nov.
and Leptolinea tardivitalis gen. nov., sp. nov., novel filamentous anaerobes, and
description of the new classes Anaerolineae classis nov. and Caldilineae classis nov. in
the . International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 56(6), 1331–
1340. https://doi.org/10.1099/ijs.0.64169-0
Yu, X., Zhao, P., He, C., Li, J., Tang, X., Zhou, J., & Huang, Z. (2012). Isolation of a novel
strain of Monoraphidium sp . and characterization of its potential application as
biodiesel feedstock. Bioresource Technology, 121, 256–262.
https://doi.org/10.1016/j.biortech.2012.07.002
Yutin, N., & Galperin, M. Y. (2013). A genomic update on clostridial phylogeny: Gram-
negative spore formers and other misplaced clostridia. Environmental Microbiology,
15(10), 2631–2641. https://doi.org/10.1111/1462-2920.12173
Zahara, F., Wawan, & Wardati. (2015). Sifat Biologi Tanah Mineral Masam Dystrudepts di
Areal Piringan Kelapa Sawit yang Diaplikasi Mulsa Organik Mucuna Bracteata di
Lahan Percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Riau. JOM FAPERTA Vol. 2 No.
2Oktober 2015, 2(2).
Zeng, Y., Selyanin, V., Lukeŝ, M., Dean, J., Kaftan, D., Feng, F., & Koblížek, M. (2015).
Characterization of the microaerophilic, bacteriochlorophyll a-containing bacterium
52
Gemmatimonas phototrophica sp. Nov., and emended descriptions of the genus
Gemmatimonas and Gemmatimonas aurantiaca. International Journal of Systematic
and Evolutionary Microbiology, 65(8), 2410–2419. https://doi.org/10.1099/
ijs.0.000272
Zhang, X., Tu, B., Dai, L. R., Lawson, P. A., Zheng, Z. Z., Liu, L. Y., … Cheng, L. (2018).
Petroclostridium xylanilyticum gen. Nov., sp. nov., a xylan-degrading bacterium
isolated from an oilfield, and reclassification of clostridial cluster iii members into four
novel genera in a new hungateiclostridiaceae fam. nov. International Journal of
Systematic and Evolutionary Microbiology, 68(10), 3197–3211.
https://doi.org/10.1099/ijsem.0.002966
Zheng, H., Dietrich, C., Radek, R., & Brune, A. (2016). Endomicrobium proavitum, the first
isolate of Endomicrobia class. nov. (phylum Elusimicrobia) - an ultramicrobacterium
with an unusual cell cycle that fixes nitrogen with a Group IV nitrogenase.
Environmental Microbiology, 18(1), 191–204. https://doi.org/10.1111/1462-
2920.12960
Ziegler, S., Waidner, B., Itoh, T., Schumann, P., Spring, S., & Gescher, J. (2013).
Metallibacterium scheffleri gen. nov., sp. nov., an alkalinizing gammaproteobacterium
isolated from an acidic biofilm. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology, 63(PART4), 1499–1504. https://doi.org/10.1099/ijs.0.042986-0
53
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Perbandingan Teknologi Alat Sekuensing Generasi Kedua (Sumber: Gao et al., 2012)
Nama
alat Instrumen
Metode
sequensing Waktu
Jumlah basa
per
pembacaan
(bp)
Hasil
sequencing
sekali
menjalankan
alat
Tingkat
kesalahan
pembacaan
(%)
Keuntungan Kerugiaan
456 456 FLX+ Pyroquencing 18-20 900 700 1 Hasil pembahacaan
panjang
Biaya tinggi
untuk tiap Mega
basa (Mb)
Illumina Illumina Synthesis 10 100+100 600.000 0,1
Hasil pembaacan
terbanyak (highest
throughput), biaya
per Mb murah
Biaya modal
tinggi dan
memerlukan
komputasi tinggi
Solid
Solid
5500 xl
(4hq)
Ligation 8 75+35 155.100 0,01
Hasil pembacaan
tinggi (highest
throughput)
Hasil bacaan
pendek, analisis
penyambungan
rendah, biaya per
Mb lebih mahal
54
Lampiran 2. Kriteria Hasil Analisis Tanah
Parameter tanah * Nilai
Sangat
Rendah
Rendah Sedang Tinggi Sangat
Tinggi
C (%) <1 1-2 2-3 3-5 >5
N (%) <0,1 0,1-0,2 0,21-0,5 0,51-0,75 >0,75
C/N <5 5-10 11-15 16-25 >25
P2O5 HCL 25% (mg/100g) <15 15-20 21-40 41-60 >60
P2O5 Bray (ppm P) <4 5-7 8-10 11-15 >15
P2O5 Olsen (ppm P) <5 5-10 11-15 16-20 >20
K2O HCL 25% (mg/100g) <10 10-20 21-50 41-60 >60
KTK/CEC (me/100g tanah) <5 5-16 17-24 25-40 >40
Susunan kation
Ca (me/100g tanah) <2 2-5 6-10 11-20 >20
Mg (me/100g tanah) <0,3 0,4-1 1,1-2,0 2,1-8,0 >8
K (me/100g tanah) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,5 0,6-1,0 >1
Na (me/100g tanah) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 >1
Kejenuhan Basa (%) <20 20-40 41-60 61-80 >80
Kejenuhan alumunium (%) <5 5-10 11-20 20-40 >40
Cadangan mneral (%) <5 5-10 11-20 20-40 >40
Salinitas/DHL (sS/m) <1 1-2 2-3 3-4 >4
Persentase natrium dapat tukar/
ESP(%) <2 2-3 4-10 10-15 >15
Unsur Makro & Mikro
Morgan*
Nilai
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Ca (ppm) 71 107 143 286 572
Mg (ppm) 2 4 6 23 60
K (ppm) 8 12 21 36 58
Mn (ppm) 1 1 3 9 23
Al (ppm) 1 3 8 21 40
Fe (ppm) 1 3 5 19 53
P (ppm) 1 2 3 9 13
NH4 (ppm) 2 2 3 8 21
NO3 (ppm) 1 2 4 10 20
SO4 (ppm) 20 40 100 250 400
CI (ppm) 30 50 100 325 600
55
Sangat Masam Masam Agak masam Netral Agak Alkalis Alkalis
pH H2O <4,5 4,5-5,5 5,5-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5
Unsur mikro DTPA* Defisiensi Marginal Cukup
Zn (ppm) 0,5 0,5-1,0 1,0
Fe (ppm) 2,5 2,5-4,5 4,5
Mn (ppm) 1,0 - 1,0
Cu (ppm) 0,2 - 0,2
*penilaian ini hanya didasarkan pada sifat umum secara empiris
56
Lampiran 3. Diagram Segitiga Tekstur menurut USDA (Soil Survey Staff, 1990)
Clay = liat; Silt = debu; Silty Clay = liat berdebu; Silty Loam = lempung berdebu;
Sandy Clay = liat berpasir; Loam = lempung; Silty Clay Loam = lempung liat berdebu;
Sandy Loam = lempung berpasir; Sandy Clay Loam = lempung liat berpasir;
Loamy Sand = pasir berlempung; Clay Loam = lempung berliat; Sand = pasir
57
Lampiran 4. Total Populasi Bakteri Asal Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan (SKB)
dan Kalimantan Tengah (CKB)
Lokasi Media Pengenceran
Jumlah
koloni Populasi
Bakteri
(CFU/g) I II
Kalimantan Selatan
(SKB)
SEA
Normal
10-2 245 221
0,4 x 106 10-3 53 109
10-4 6 3
NA Normal
10-3 53 >300
1,1 x 106 10-4 0 0
10-5 0 1
SEA
(pH 5)
10-2 >300 >300
1,7 x 106 10-3 77 94
10-4 25 18
NA
(pH 5)
10-2 >300 >300
2.0 x 106 10-3 141 58
10-4 48 40
Kalimantan Tengah
(CKB)
SEA
Normal
10-2 117 100
0,3 x 106 10-3 90 43
10-4 64 84
NA Normal
10-3 13 7
* 0,02 x 106 10-4 1 0
10-5 0 1
SEA
(pH 5)
10-2 58 55
0,1 x 106 10-3 13 9
10-4 2 3
NA
(pH 5)
10-2 3 13
*0,02 x 106 10-3 12 13
10-4 2 3
Ket NA: Media Natrium Agar,
SEA: Soil Ekstrak Agar
58
Lampiran 5. Ekstraksi DNA menggunakan Norgen Soil DNA Isolation Plus Kit #64000
No. Sampel Sampel
Code
Volume
(µl)
Conc.
(ng/ µl)
A260/280 A260/230 Qubit
µg/ml
1 Bakteri Lokasi
I
Bakteri I 40 107.1 1.14 0.47 -
2 Bakteri Lokasi
II
Bakteri II 40 179.9 1.16 0.60 -
Hasil ekstrkasi kemudian dibersihkan menggunakan “Spin IV HRC Coloumn zymo, didapatkan
hasil sebagai berikut:
No. Sampel Sampel
Code
Volume
(µl)
Conc.
(ng/ µl)
A260/280 A260/230 Qubit
µg/ml
1 Bakteri Lokasi
I
Bakteri I 40 40.2 1.56 0.56 -
2 Bakteri Lokasi
II
Bakteri II 40 93.5 1.41 0.76 -
Lampiran 6. Visualisasi DNA Jasil PCR
59
Lampiran 7. Keragaman Bakteri Berdasarkan OTU (Operational Taxonomy Unit)
Keterangan:
Total sampel yang terbaca (dibaca dengan sumbu Y kanan)
Total Taxon yang terbaca (dibaca dengan sumbu Y kanan)
Spesies yang tidak terindentifikasi = 0 (semua teridentifikasi)
Spesies unik yang terdeteksi
Nilai OTU (dibaca dengan sumbu Y kiri)
60
Lampiran 8. Keseluruhan Filum, Kelas, Famili, dan Genus serta Kelimpahan Relatif (KR) Bakteri Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan
(SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB)
Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Lokasi
SKB/(KR) Referensi
Acidobacteria
(0,188%)
Acidobacteriia
Bryobacteraceae
Paludibaculum (Kulichevskaya, Suzina, Rijpstra,
Sinninghe Damsté, & Dedysh, 2014)
Bryobacter (Kulichevskaya, Suzina, Liesack, &
Dedysh, 2010)
AKIW659
Solibacteraceae
(0,04%)
Solibacteraceae
(0,04%)
Candidatus_Solibacter
(0,023%)
(Ward et al., 2009) dan
(Murray & Stackebrandt, 1995)
Unidentified_Acido
bacteria (0,076%)
Acidobacteriaceae
(0,076%)
Candidatus_koribacter
(0,019%)
(Ward et al., 2009) dan
(Murray & Stackebrandt, 1995)
Acidobacterium Kishimoto N et al. (1991)
Unidentified_Acidobacteriaceae (Subgroup_1) (0,012%)
Firmicutes
(0,024%)
Clostridia Hungateiclostridiaceae Ruminiclostridium_1 (Yutin & Galperin, 2013)
(Zhang et al., 2018)
Clostridia Ruminococcaceae Sporobacter (Grech-Mora et al., 1996)
Bacteriodetes
(0,094%)
Chitinophagia Chitinophagaceae Dinghuibacter (Lv, Wang, Chen, You, & Qiu, 2016)
Bacteroidia
Prolixibacteraceae Prolixibacter
(Holmes, Nevin, Woodard, Peacock, &
Lovley, 2007)
(Iino, Sakamoto, & Ohkuma, 2015)
vadinBC27_wastewater_sludge_
group
Rikenellaceae Acetobacteroides (Su et al., 2014)
Blvii28_wastewater_sludge_grou
p
BSV13
Bacteroidaceae Bacteroides (Skerman, McGowan, & Sneath, 1980)
Porphyromonadaceae Microbacter (Sánchez-Andrea, Sanz, & Stams, 2014)
Paludibacteraceae Paludibacter (I. Ueki et al., 2006)
Proteobacteria
(0,379%)
Epsilonproteobacteria
(0,062%)
Helicobacteraceae
(0,061%)
Helicobacter - (On, Miller, Houf, Fox, & Vandamme,
2017)
Sulfurimonas
(Labrenz et al., 2013)
(Takai et al., 2006)
(Inagaki et al., 2003)
Sulfuricurvum
(0,047%) (Kodama & Watanabe, 2004)
Campylobacteraceae Sulfurospirillum - (Luijten et al., 2003)
61
Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Lokasi
SKB/(KR) Referensi
Chlorobi
(0,035%) Chlorobia
Chlorobiaceae
(0,031%)
Chlorobaculum
(0,031%) (Johannes F. Imhoff, 2003)
Ignavibacteriae
(0, 017% ) Ignavibacteria Ignavibacteriaceae Ignavibacterium (Iino et al., 2010) (Oren & Garrity, 2015)
Nitrospirae
(0,036%)
Nitrospira Nitrospiraceae Leptospirillum (Hippe, 2000)
Unidentified_Nitrospiraceae
Spirochaetes
(0,036%)
Spirochaetia Brevinemataceae Brevinema (Defosse, Johnson, Paster, Dewhirst, &
Fraser, 1995)
M2PT2-76_termite_group
Spirochaetia Spirochaetaceae
(0,035%)
Spirochaeta_2 (Abt et al., 2013)
(Oren & Garrity, 2015)
Treponema_2 (Abt et al., 2013)
(Oren & Garrity, 2015))
Elusimicrobia Endomicrobia Endomicrobiaceae Candidatus_Endomicrobium
( Stingl et al., 2005)
(Zheng, Dietrich, Radek, & Brune, 2016)
VALIDATION LIST No. 180 (2018)
Unidentified (tidak
teridentifikasi)
Unidentified_Chloroplast
Unidentified_Familyl
Cloroflexi
(0,031%) Anaerolineae Anaerolineaceae
Leptolinea (Yamada et al., 2006)
Anaerolinea (Sekiguchi et al., 2003)
(Yamada et al., 2006)
Proteobacteria
Alphaproteobacteria
(0,125%)
Acetobacteraceae (0,032%)
Acidicaldus
(Johnson, Stallwood, Kimura, &
Hallberg, 2006) dan VALIDATION LIST
No. 110 (2006),
Acidiphilium (Okamura, Kawai, Wakao, Yamada, &
Hiraishi, 2015)
VALIDATION LIST No. 56 (1996)
Acidocella VALIDATION LIST No. 56 (1996)
Rhodospirillaceae Telmatospirillum
(Sizova, Panikov, Spiridonova,
Slobodova, & Tourova, 2007)
VALIDATION LIST No. 116 (2007),
Micropepsaceae Rhizomicrobium (A. Ueki et al., 2010)
VALIDATION LIST No. 136 (2010)
Bradyrhizobiaceae
Rhodoblastus
(0,012%)
(Dedysh, Haupt, & Dunfield, 2016)
(Imhoff, J. F., 2001)
Beijerinckia (Skerman et al., 1980)
Roseiarcaceae Roseiarcus (Kulichevskaya, Danilova, Tereshina,
Kevbrin, & Dedysh, 2014)
Bradyrhizobiaceae Bradyrhizobium
(Willems, Coopman, & Gillis, 2001b)
(Willems, Coopman, Gillis, & Gent,
2001c)
62
Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Lokasi
SKB/(KR) Referensi
Proteobacteria
Xanthobacteraceae Pseudolabrys (Kämpfer et al., 2006)
Sphingomonadaceae Novosphingobium (Yabuuchi et al., 2002)
Sphingomonas (Feng, Yang, Xiong, Li, & Zhu, 2017)
Betaproteobacteria
(0,051%)
Burkholderiaceae Lautropia (Gerner-Smidt et al., 1994)
VALIDATION LIST No. 53 (1995)
Alcaligenaceae Unidentified_Alcaligenaceae
Burkholderiaceae Burkholderia-Paraburkholderia
Azonexaceae Dechloromonas - (Achenbach, Michaelidou, Bruce,
Fryman, & Coates, 2001)
Gallionellaceae Sideroxydans (Emerson et al., 2013)
Ferritrophicaceae Ferritrophicum (Weiss et al., 2007)
Ferrovaceae Ferrovum (Johnson, Hallberg, & Hedrich, 2014)
Chromobacteriaceae Paludibacterium (Kwon et al., 2008)
Comamonadaceae
Ideonella (Noar & Buckley, 2009)
VALIDATION LIST No. 50 (1994)
Thiomonas (Kelly, Uchino, Huber, Amils, & Wood,
2007)
Gammaproteobacteria
(0,039%)
Acidiferrobacteraceae Sulfurifustis (Kojima, Shinohara, & Fukui, 2015)
Methylococcaceae Methylomonas (Bowman, Sly, Nichols, & Hayward,
1993) VALIDATION LIST No. 15 (1984)
Moraxellaceae Acinetobacter (Ibrahim, Gerner-Smidt, & Liesack,
1997)
Coxiellaceae Coxiella (Skerman et al., 1980)
Acidibacter
(0,026%)
(Falagán & Johnson, 2014)
VALIDATION LIST No. 173 (2017)
Unidentified_Xantho
Monadales (0,027%)
Unidentified_Xanthomonadales
Rhodanobacteraceae Metallibacterium - (Ziegler et al., 2013)
Xanthomonadaceae Stenotrophomonas (Ouattara, Le Mer, Joseph, & Macarie,
2017)
Firmicutes Clostridia
Clostridiaceae Clostridium_sensu_stricto_12
(Alou et al., 2018) Clostridium_sensu_stricto_9
Clostridiaceae1 Clostridium_sensu_stricto_1
Clostridiaceae Clostridium_sensu_stricto_6
Peptostreptococcaceae Romboutsia - ( Wang, Y. et al., 2015)
(Gerritsen et al., 2014)
63
Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Lokasi
SKB/(KR) Referensi
Firmicutes
Bacilli Bacillaceae Bacillus
(Bhandari, Ahmod, Shah, & Gupta, 2013)
(Rainey, Weiss, & Stackebrandt, 1995)
Lactobacillaceae Lactobacillus - (Salvetti, Harris, Felis, & O’Toole, 2018)
Clostridia Christensenellaceae Christensenellaceae_R-7_group (Morotomi, Nagai, & Watanabe, 2011)
unclassified Firmicutes
sensu stricto Hydrogenispora (Yi Liu, Qiao, Yuan, Guo, & Qiu, 2014)
Proteobacteria Deltaproteobacteria
Kofleriaceae Haliangium
(Fudou, Jojima, Iizuka, & Yamanaka,
2002)
VALIDATION LIST No. 87 (2002)
Anaeromyxobacteraceae Anaeromyxobacter (Sanford, Cole, & Tiedje, 2002)
VALIDATION LIST No. 86 (2002)
Polyangiaceae Sorangium (Jiang et al., 2008)
VALIDATION LIST No. 115 (2007),
Geobacteraceae Geobacter
(0,023%)
(Nevin, Holmes, Woodard, Covalla, &
Lovley, 2007)
VALIDATION LIST No. 78 (2001)
Syntrophaceae Smithella
( Liu, Balkwill, Henry, Drake, & Boone,
1999)
Syntrophus (James et al., 2019)
Desulfobulbaceae Desulfobulbus (Trojan et al., 2016)
Desulfobacteraceae
Desulfatiglans (Suzuki, Li, Cui, Zhang, & Katayama,
2014)
Desulfatirhabdium (Balk, Altinbaş, Rijpstra, Damsté, &
Stams, 2008)
Syntrophaceae Desulfobacca (Stefanie, Elferink, Vliet, Jaap, &
M.Stams, 1999)
H16
(0,01%)
Syntrophaceae Desulfomonile
(Kim, Mandelco, Tanner, Woese, &
Suflita, 1990)
VALIDATION LIST No. 36 (1991)
Syntrophobacteraceae
Desulfovirga - (Tanaka, Stackebrandt, Tohyama, &
Eguchi, 2000)
Syntrophobacter
(Sedano-Núñez, Boeren, Stams, &
Plugge, 2018)
VALIDATION LIST No. 15 (1984)
Actinobacteria
(0,083%)
Actinobacteria
(0,047%)
Acidothermaceae
(0,038%)
Acidothermus
(0,038%) (Maréchal et al., 2000)
64
Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Lokasi
SKB/(KR) Referensi
Actinobacteria
Mycobacteriaceae Mycobacterium
(Gupta, Lo, & Son, 2018)
List of Changes in Taxonomic Opinion
No. 28 (2018)
Cellulomonadaceae Cellulomonas (Rainey et al., 1995)
VALIDATION LIST No. 10 (1983)
Hgcl_clade
CL500-29_marine_group
Acidimicrobiia
(0,029%) Unidentified_Acidimicrobiales
Proteobacteria Deltaproteobacteria Desulfovibrionaceae Desulfovibrio (Loubinoux et al., 2002)
Verrucomicrobia Opitutae Opitutaceae Opitutus
(Tegtmeier, Belitz, Radek, Heimerl, &
Brune, 2018)
List of Changes in Taxonomic Opinion
No. 28 (2018)
Acidobacteria Thermoanaerobaculia Thermoanaerobaculaceae Thermoanaerobaculum (Losey et al., 2013)
Gemmatimonadetes; Gemmatimonadetes Gemmatimonadaceae Gemmatimonas (Zeng et al., 2015)
Acidobacteria Holophagae Holophagaceae Geothrix (Coates, Ellis, Gaw, & Lovley, 1999)
65
Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Lokasi
SKB/(KR) Referensi
Acidobacteria
(0,274%)
Acidobacteriia
Bryobacteraceae
Paludibaculum - (Kulichevskaya, Suzina, et al., 2014)
Bryobacter (Kulichevskaya et al., 2010)
AKIW659
Solibacteres
(0,039%)
Solibacteraceae
(0,039%)
Candidatus_Solibacter
(0,023%)
(Ward et al., 2009) dan
(Murray & Stackebrandt, 1995)
Unidentified_Acido
bacteria
(0,116%)
Acidobacteriaceae
(0,116%)
Candidatus_koribacter
(0,023%)
(Ward et al., 2009) dan
(Murray & Stackebrandt, 1995)
Acidobacterium Kishimoto N et al. (1991)
Unidentified_Acidobacteriaceae
(Subgroup_1) (0,009%)
Firmicutes
(0,012%)
Clostridia Hungateiclostridiaceae Ruminiclostridium_1 (Yutin & Galperin, 2013)
(Zhang et al., 2018)
Clostridia Ruminococcaceae Sporobacter (Grech-Mora et al., 1996)
Bacteriodetes
(0,018%)
Chitinophagia Chitinophagaceae Dinghuibacter (Lv et al., 2016)
Bacteroidia
Prolixibacteraceae Prolixibacter - (Holmes et al., 2007)
(Iino et al., 2015)
vadinBC27_wastewater_sludge_
group
Rikenellaceae Acetobacteroides - (Su et al., 2014)
Blvii28_wastewater_sludge_group
BSV13
Bacteroidaceae Bacteroides (Skerman et al., 1980)
Porphyromonadaceae Microbacter (Sánchez-Andrea et al., 2014)
Paludibacteraceae Paludibacter (I. Ueki et al., 2006)
Proteobacteria
(0,393%)
Epsilonproteobacteria
(0,021%)
Helicobacteraceae
(0,021%)
Helicobacter (On et al., 2017)
Sulfurimonas
(Labrenz et al., 2013)
(Takai et al., 2006)
(Inagaki et al., 2003)
Sulfuricurvum
(0,008%) (Kodama & Watanabe, 2004)
Campylobacteraceae Sulfurospirillum (Luijten et al., 2003)
Chlorobi (0%)
Chlorobia Chlorobiaceae Chlorobaculum - (Johannes F. Imhoff, 2003)
Ignavibacteriae
(0,008%) Ignavibacteria Ignavibacteriaceae Ignavibacterium -
(Iino et al., 2010)
(Oren & Garrity, 2015)
Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Lokasi
SKB/(KR) Referensi
Nitrospirae Nitrospira Nitrospiraceae Leptospirillum (Hippe, 2000)
66
(0,028%) Unidentified_Nitrospiraceae
Spirochaetes
(0,02%)
Spirochaetia Brevinemataceae Brevinema - (Defosse et al., 1995)
M2PT2-76_termite_group -
Spirochaetia Spirochaetaceae
(0,02%)
Spirochaeta_2 (Abt et al., 2013)
(Oren & Garrity, 2015)
Treponema_2 (Abt et al., 2013)
(Oren & Garrity, 2015))
Elusimicrobia Endomicrobia Endomicrobiaceae Candidatus_Endomicrobium
( Stingl et al., 2005) -
(Zheng et al., 2016)
VALIDATION LIST No. 180 (2018)
Unidentified (tidak
teridentifikasi)
Unidentified_Chloroplast
Unidentified_Familyl -
Cloroflexi
(0,04%) Anaerolineae Anaerolineaceae
Leptolinea - (Yamada et al., 2006)
Anaerolinea - (Sekiguchi et al., 2003)
(Yamada et al., 2006)
Proteobacteria
Alphaproteobacteria
(0,125%)
Acetobacteraceae
(0,027%)
Acidicaldus (Johnson et al., 2006) dan VALIDATION
LIST No. 110 (2006),
Acidiphilium (Okamura et al., 2015)
VALIDATION LIST No. 56 (1996)
Acidocella VALIDATION LIST No. 56 (1996)
Rhodospirillaceae Telmatospirillum (Sizova et al., 2007)
VALIDATION LIST No. 116 (2007),
Micropepsaceae Rhizomicrobium (A. Ueki et al., 2010)
VALIDATION LIST No. 136 (2010)
Bradyrhizobiaceae
Rhodoblastus
(0,0009%)
(Dedysh et al., 2016)
(Imhoff, J. F., 2001)
Beijerinckia - (Skerman et al., 1980)
Roseiarcaceae Roseiarcus (Kulichevskaya, Danilova, et al., 2014)
Bradyrhizobiaceae Bradyrhizobium (Willems, Coopman, & Gillis, 2001b) (Willems, Coopman, Gillis, & Gent,
2001c)
Xanthobacteraceae Pseudolabrys (Kämpfer et al., 2006)
Sphingomonadaceae Novosphingobium - (Yabuuchi et al., 2002)
Sphingomonas - (Feng et al., 2017)
Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Lokasi
SKB/(KR) Referensi
Proteobacteria
Betaproteobacteria
(0,035%)
Burkholderiaceae Lautropia - (Gerner-Smidt et al., 1994)
VALIDATION LIST No. 53 (1995)
Alcaligenaceae Unidentified_Alcaligenaceae
Burkholderiaceae Burkholderia-Paraburkholderia -
Azonexaceae Dechloromonas (Achenbach et al., 2001)
67
Gallionellaceae Sideroxydans (Emerson et al., 2013)
Ferritrophicaceae Ferritrophicum (Weiss et al., 2007)
Ferrovaceae Ferrovum (Johnson et al., 2014)
Chromobacteriaceae Paludibacterium - (Kwon et al., 2008)
Comamonadaceae Ideonella -
(Noar & Buckley, 2009)
VALIDATION LIST No. 50 (1994)
Thiomonas (Kelly et al., 2007)
Gammaproteobacteria
(0,057%)
Acidiferrobacteraceae Sulfurifustis (Kojima et al., 2015)
Methylococcaceae Methylomonas - (Bowman et al., 1993) VALIDATION
LIST No. 15 (1984)
Moraxellaceae Acinetobacter - (Ibrahim et al., 1997)
Coxiellaceae Coxiella (Skerman et al., 1980)
Acidibacter
(0,042%)
(Falagán & Johnson, 2014)
VALIDATION LIST No. 173 (2017)
Unidentified_Xantho
monadales (0,042%) Unidentified_Xanthomonadales -
Rhodanobacteraceae Metallibacterium (Ziegler et al., 2013)
Xanthomonadaceae Stenotrophomonas (Ouattara et al., 2017)
Firmicutes
Clostridia
Clostridiaceae Clostridium_sensu_stricto_12 -
(Alou et al., 2018) Clostridium_sensu_stricto_9 -
Clostridiaceae1 Clostridium_sensu_stricto_1 -
Clostridiaceae Clostridium_sensu_stricto_6 -
Peptostreptococcaceae Romboutsia ( Wang, Y. et al., 2015)
(Gerritsen et al., 2014)
Bacilli Bacillaceae Bacillus
(Bhandari et al., 2013)
(Rainey et al., 1995)
Lactobacillaceae Lactobacillus (Salvetti et al., 2018)
Clostridia Christensenellaceae Christensenellaceae_R-7_group - (Morotomi et al., 2011)
unclassified Firmicutes
sensu stricto Hydrogenispora (Yi Liu et al., 2014)
Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Lokasi
SKB/(KR) Referensi
Proteobacteria Deltaproteobacteria
(0,071%)
Kofleriaceae Haliangium (Fudou et al., 2002)
VALIDATION LIST No. 87 (2002)
Anaeromyxobacteraceae Anaeromyxobacter (Sanford et al., 2002)
VALIDATION LIST No. 86 (2002)
Polyangiaceae Sorangium (Jiang et al., 2008)
VALIDATION LIST No. 115 (2007),
Geobacteraceae Geobacter
(0,004%)
(Nevin et al., 2007)
VALIDATION LIST No. 78 (2001)
Syntrophaceae Smithella - ( Liu, Balkwill, Henry, Drake, & Boone,
1999)
68
Syntrophus - (James et al., 2019)
Desulfobulbaceae Desulfobulbus - (Trojan et al., 2016)
Desulfobacteraceae Desulfatiglans (Suzuki et al., 2014)
Desulfatirhabdium - (Balk et al., 2008)
Syntrophaceae Desulfobacca (Stefanie et al., 1999)
H16
(0,04%)
Syntrophaceae Desulfomonile (Kim et al., 1990)
VALIDATION LIST No. 36 (1991)
Syntrophobacteraceae
Desulfovirga (Tanaka et al., 2000)
Syntrophobacter (Sedano-Núñez et al., 2018)
VALIDATION LIST No. 15 (1984)
Actinobacteria
(0,133%)
Actinobacteria
(0,089%)
Acidothermaceae
(0,085%)
Acidothermus
(0,085%) (Maréchal et al., 2000)
Mycobacteriaceae Mycobacterium
(Gupta et al., 2018)
List of Changes in Taxonomic Opinion
No. 28 (2018)
Cellulomonadaceae Cellulomonas - (Rainey et al., 1995)
VALIDATION LIST No. 10 (1983)
Hgcl_clade
CL500-29_marine_group
Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Lokasi
SKB/(KR) Referensi
Actinobacteria
Acidimicrobiia
(0,04%) Unidentified_Acidimicrobiales
Proteobacteria Deltaproteobacteria Desulfovibrionaceae Desulfovibrio - (Loubinoux et al., 2002)
Verrucomicrobia Opitutae Opitutaceae Opitutus -
(Tegtmeier et al., 2018)
List of Changes in Taxonomic Opinion
No. 28 (2018)
Acidobacteria Thermoanaerobaculia Thermoanaerobaculaceae Thermoanaerobaculum (Losey et al., 2013)
Gemmatimonadetes; Gemmatimonadetes Gemmatimonadaceae Gemmatimonas (Zeng et al., 2015)
Acidobacteria Holophagae Holophagaceae Geothrix (Coates et al., 1999)