Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

11
INTERVIEW SEBELUM MERDEKA SUDAH ADA UN MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014 MENDIKBUD M. NUH:

description

Bagian dari Majalah Detik yang memuat berita mengenai pernyataan M Nuh tentang Sebelum merdeka sudah ada UN

Transcript of Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

Page 1: Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEWINTERVIEW

SEBELUM MERDEKA

SUDAH ADA UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

MENDIKBUD M. NUH:

Page 2: Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEWINTERVIEW

ELAIN masalah ujian nasional (UN) yang masih menjadi polemik, merebak-nya aksi kekerasan di sekolah membuat Menteri Pendidikan M. Nuh disorot ma-syarakat. Ia dipersalahkan dan dianggap tak becus menangani masalah pendidik-an nasional. Tapi Nuh tak gentar.

Mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, itu justru menyatakan polemik soal UN sebetulnya sudah basi. Sebab, UN sudah dilaksanakan bertahun-ta-hun sebelumnya, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Terkait penggunaan beberapa soal berstan-dar internasional yang sengaja diambil dari Pro-

gramme for International Student Assessment (PISA), diperlukan untuk mengukur kemam-puan analisis dan logika anak-anak kita. “Kalau tidak, saat bertanding (dengan siswa negara lain), mereka bisa jablas (kalah telak),” tuturnya kepada majalah detik, yang menemuinya di ruang kerjanya di kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jalan Jenderal Sudirman, Sena yan, Jakarta, 20 Mei lalu. Ber-ikut ini petikan perbincangan selengkapnya.

Kenapa ujian nasional tetap dijalankan, padahal banyak yang mengkritik?

Pemikiran seperti itu (menolak ujian nasio-nal) dan isu itu sebenarnya sudah usang. Ka-

"KALAU UJIAN NASIONAL TIDAK ADA KONSEKUENSI, ITU TAK ADA BEDA DENGAN KUESIONER, SEMUA BISA MENJAWAB SEENAKNYA."

Page 3: Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEWINTERVIEWINTERVIEW

rena ini sudah lama diembuskan, dan, selama kami laksanakan, banyak yang meminta agar terus dilakukan. Faktanya, banyak sekali man-faatnya.

Karena dengan dasar apa pun, ditinjau dari

segi apa pun, baik akademis maupun yuridis, ujian nasional itu tetap diperlukan sampai saat ini. Alasannya apa? Karena evaluasi itu ada tahapan-tahapan.

Ada evaluasi yang dilakukan satuan kerja, yaitu sekolah untuk mengetahui capaian pro-ses belajar-mengajar di sekolah, dan evaluasi yang dilakukan secara nasional. Tujuannya untuk mengetahui apakah anak-anak (murid sekolah) sudah mencapai standar.

Lantas, apa yang diujikan? Ya, tentu saja apa-apa yang sudah diajarkan. Tetapi, apakah (yang dijadikan soal) itu yang diujikan? Belum tentu. Namun, jika guru yang mengajar tidak meng-ajarkan apa yang diujikan, tentu saja (murid) tidak bisa. Itulah ujian nasional.

Jadi, evaluasi dari sekolah saja, seperti yang diminta masyarakat, tidak cukup?

Ya, belum cukup. Sebab, ujian sekolah me-rupakan evaluasi internal dan menjadi pintu masuk bagi penilaian yang meng evaluasi si-kap/perilaku, keterampilan, dan pengetahuan. Adapun ujian nasional merupakan evaluasi

VIDEO / MYTRANS

Page 4: Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEWINTERVIEW

eksternal dan bisa menjadi pintu masuk untuk memasuki tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Memang, ujian nasional saat ini belum sepe-nuhnya bisa seperti itu. Sebab, selama ini, an-tara ujian sekolah dan ujian nasional terdapat disparitas yang menunjukkan kualitas masih rendah.

Sejak 2011, sebenarnya kami menggabung-kan nilai ujian sekolah dengan UN. Peran dari nilai ujian sekolah mencapai 40 persen, sedangkan UN 60 persen. Karena itu, kalau banyak siswa yang lulus UN, karena memang ada faktor nilai ujian sekolah itu. Ke depan, kami akan memberikan kisi-kisi ujian sekolah agar kualitasnya semakin baik.

Banyak yang menilai ujian itu mubazir, toh sebenarnya sama dengan ujian seko-lah…

Kalau ada orang yang memperdebatkan ini, tentu tidak berdasar. Dasar yang terbaru ada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasio-

Pada ujian sekolah, hampir semua siswa mendapatkan nilai 8. Tapi, begitu UN, nilainya 3, 4, 5. RESNU DWI ANDHIKA / MYTRANS

Page 5: Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEW

nal Pendidikan. Dalam peraturan itu disebut, untuk ujian nasional bagi sekolah dasar dise-rahkan ke provinsi. Kemudian, di dasar hukum baru itu juga disebutkan bahwa ujian nasional, selain sebagai pemetaan (kualitas sekolah dan lulusannya), juga untuk perbaikan mutu, untuk (sebagai syarat) melanjutkan ke pendidikan

yang lebih tinggi, serta sebagai syarat kelulus-an.

Banyak kok yang menyatakan, “Saya setuju, Pak, kalau ujian nasional itu untuk pemetaan", "Saya setuju, Pak, ujian nasional untuk (syarat) melanjutkan ke jenjang lebih tinggi", "Saya setuju untuk pemetaan", dan sebagainya. Be-

INTERVIEWINTERVIEW

Suasana ujian nasional di Jakarta, Senin (14/4).GRANDY/DETIKCOM

Page 6: Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEW

gitulah bentuk dukungan. La, terus untuk apa kita pertentangkan?

Kalau ujian nasional tidak ada konsekuensi, itu tidak ada bedanya dengan kuesioner. Orang akan mengerjakan itu seperti menjawab perta-nyaan biasa yang tidak memiliki konsekuensi apa pun, seenaknya.

Tetapi, karena ini ada konsekuensi lulus atau tidak lulus, ada upaya serius. Ada effort sekuat tenaga, ikhtiarnya, karena mereka ingin yang terbaik, sehingga mengerjakan sebaik-baiknya.

Tapi nilai ujian sekolah juga menunjuk-kan prestasi siswa…

(Sebelum menjawab, M. Nuh menunjuk-

kan beberapa lembaran berisi data). Coba Anda bayangkan, di sini ada data yang me-nunjukkan hasil ujian sekolah. Hasilnya ham-pir semua siswa mendapatkan nilai 8, 9, dan 9 lebih. Sehingga rata-ratanya 8,9. Lantas, bagaimana membedakan siapa sebenarnya yang terbaik, yang mendapat nilai tinggi yang sebenarnya?

Kemudian, setelah kami lakukan ujian nasio-nal terbukti, ada siswa yang mendapatkan nilai 3, 4, 5, dan lebih tinggi. Sehingga rata-ratanya 6,12. Nah, yang kurang-kurang itu bisa kami lakukan pembinaan dan perbaikan. Inilah pe-metaan, sekaligus pembinaan atau perbaikan, serta sebagai syarat untuk kelulusan. Jadi beda antara ujian sekolah dan UN.

Kalau ada yang mempertanyakan pa-yung hukumnya?

Sekarang begini saja, kalau mempermasa-lahkan soal itu, mbok ya mengajukan judicial review. Tapi, kenapa tidak dimintakan judicial review? Artinya, ya memang ada cantolannya, payung hukumnya. Ada dua ayat di undang-

INTERVIEWINTERVIEW

Survei 2012 menunjukkan, Indonesia di peringkat terbawah dalam kemampuan matematika, membaca, serta sains.

Page 7: Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEW

undang, yaitu “ujian itu dilakukan oleh sekolah” dan satu lagi (ayat) yang menyebut bahwa “itu dilakukan oleh lembaga independen”. Nah, itulah ujian nasional.

Jadi, keberatan terhadap ujian nasional

itu tidak berdasar?Ya, tentu saja. Sekarang saya tanya, ujian

nasional itu ka pan mulai dilakukan? Kalau membaca sejarah, ujian nasional itu sudah ada dari dulu. Hanya namanya yang berbeda-beda, ada ujian nasional, ada evaluasi belajar tahap akhir, ada ujian akhir. Jadi, sejak dulu, sebelum kita merdeka, yang namanya ujian nasional itu sudah ada. Hakikatnya sama, untuk menguji apakah anak-anak sekolah itu sudah memenuhi standar secara nasional.

Kabarnya, persentase peserta yang lulus menurun dibanding tahun lalu?

Memang, tapi itu kan hanya 0,01 persen. Kalau sebesar itu masih wajarlah, sesuatu yang masih masuk akal. Kecuali kalau sebelumnya 99,5 persen kemudian menjadi 90 persen, itu yang menjadi geger.

Melayani orang hampir tiga juta: siswa SMA 1,6 juta orang, siswa SMK 1,1 juta orang. Ham-pir tiga juta, sesuatu kalau naik-turun sedikit ya masih wajar.

Tentang soal ujian, kenapa ada yang

M. Nuh saat mengecek persiapan ujian nasional di Jakarta, Rabu (16/4). AGUNG PAMBUDHY/DETIKCOM

Page 8: Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEW

mengkopi soal dari Programme for Inter-national Student Assessment (PISA)?

Orang selalu berdebat, mengkritik kenapa TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) dan PISA. PISA, yang diko-ordinasikan oleh Organization Economic Coo-peration and Development (OECD), pada 2012 merilis survei bahwa Indonesia menduduki peringkat paling bawah dari 65 negara dalam hal kemampuan matematika, membaca, serta sains. Karena itulah saat ini kita coba. Metode ini adalah metode untuk mengukur kemampu-

an pengetahuan dengan standar internasional. Kalau dari PISA, matematika dan ilmu penge-tahuan alam 41 persen.

Apa urgensi penggunaan soal dari PISA ini?

Tentu saja untuk mengukur kemampuan analisis dan logika para siswa. Dengan meng-gunakan soal itu, kita ingin tahu sebenarnya kemampuan anak-anak kita dibanding anak-anak di luar negeri. La, kalau tidak kita ukur, kita khawatir nanti kalau pas bertanding (mereka bisa) jablas (tumbang), lewat.

Tidak mempersulit siswa?Ya, buktinya tingkat kelulusan yang ada saat

ini 95 persen lebih. Ini karena kisi-kisi ujian itu diberikan sejak dua-tiga tahun lalu. Dan soal yang diujikan pun tidak menyimpang jauh dari pelajaran yang sebelumnya diajarkan di seko-lah.

Tapi banyak anak yang protes ke Anda lewat media sosial?

Ya, enggak apa-apa. Anak-anak memang kritis. Dan itu bisa dimaklumi, sejauh dalam batas-batas yang wajar. Tetapi, saya katakan, bahwa soal-soal itu akan bisa dikerjakan oleh anak-anak yang telah tekun belajar.

INTERVIEW

Pengawasan memang perlu, tapi tak mungkin guru-guru mengawasi para murid dari detik ke detik.

Page 9: Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEW

Kenapa soalnya harus menyalin persis?Oh, enggak apa-apa. Kan ini dalam kerangka

kerja sama negara-negara di dunia yang diko-ordinasikan oleh OECD.

Masak anggaran sampai Rp 660 miliar tapi bikin soal masih mengkopi?

Lo, jangan melihat anggaran itu secara ge-

londongan, bulat sebesar itu. Kalau seperti itu, ya tentu saja akan terlihat besar. Tetapi, coba lihat, berapa jumlah orang (murid peserta ujian yang dilayani). Hampir empat juta orang. Lalu bagi besar anggaran itu dengan jumlah orang yang dilayani, apakah masih besar?

Yang pasti, anak-anak kita mampu mengerja-kan soal itu. Ya, kalau ada satu-dua orang yang kesulitan ya masih wajar. Kita bertujuan baik.

M. Nuh meninjau pameran mobil listrik di Jakarta, Selasa (29/4). RENGGA SENCAYA/DETIKCOM

Page 10: Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEW

Terkait soal kekerasan di sekolah, ba-nyak yang menilai sekolah telah lalai....

Jangan mudah memberikan penilaian seper-ti itu. Jangan karena ada kejadian kemudian dengan mudah menuding sekolah lalai, guru

lalai. Sebab, pola perilaku anak juga dibentuk oleh lingkungan, baik di masyarakat maupun keluarga.

Memang, ekspresi perilaku bisa saja di sekolah. Pengawasan memang diperlukan, tetapi kan tidak mungkin dari detik ke detik guru-guru harus melakukan pengawasan kepada mereka.

Di sekolah kedinasan, kekerasan diang-gap bagian pendidikan agar disiplin....

Kedisiplinan bukan berarti kekerasan. Kedisiplinan bisa ditegakkan melalui aturan main yang benar-benar dijalankan. Jadi, unsur akademis tetap harus menjadi acuan dalam pembinaan. Semuanya akan terukur.

Ada rencana mengambil alih pengelo-laan?

Kami ingin agar lembaga seperti ini juga menonjolkan aspek akademis, bukan teknis semata-mata. Inginnya, kewenangan kemen-terian juga diperbesar, sehingga pembinaan lebih besar. Q ARIF ARIANTO

GRANDY/DETIKCOM

Dua siswi tunanetra SMP 226 mengikuti ujian nasional di Jakarta, Senin (5/5).

Page 11: Mohammad Nuh: Sebelum merdeka sudah ada UN

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEW

MAJALAH DETIK 26 MEI - 1 JUNI 2014

INTERVIEW

BIODATA

NAMA: Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh, DEATEMPAT/TANGGAL LAHIR: Surabaya, Jawa Timur, 17 Juni 1959ISTRI: Drg. Laily Rachmawati

ANAK: Rachma Rizqina MardhotillahPENDIDIKAN:

1990, Doktor Jurusan Signaux et System, Universite Science et Technique du Languedoc Montpellier Prancis.

1987, Pascasarjana Jurusan Signaux et System, Universite Science et Technique du Languedoc Montpellier Prancis.

1983, Fakultas Teknik Elektro ITS.

KARIER: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 2009-2014.

Menteri Komunikasi dan Informasi Rektor ITS, 2003-2006. Guru Besar ITS, 2004. Direktur Politeknik Negeri Surabaya ITS, 1997-2003.

Ketua Jurusan Teknik Elektronika, Politeknik Negeri Surabaya ITS, 1992-1993.

KARYA: Buku Strategi dan Arah Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (disingkat Indonesia-SAKTI)