Model penanganan penyimpangan produksi pada industri...

6
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah pasar yang besar bagi industri farmasi. Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, ditahun 2020 jumlah penduduk Indonesia diprediksi mencapai 254 juta dengan jumlah populasi produktifnya sebesar 132 juta/52% (UNDP 2010). Pangsa pasar Industri farmasi di tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 11% dari tahun sebelumnya, menjadi Rp62 triliun. Potensi industri farmasi Indonesia pada tahun 2025 diprediksi mencapai Rp800 triliun yang menjadi urutan 15 terbesar di dunia dengan pertumbuhan tahunan optimis sebesar 20%. Potensi besar ini memiliki nilai investasi sebesar Rp215 triliun yang akan menciptakan 2 juta lapangan pekerjaan di sektor farmasi hinga tahun 2025 (Setiawan 2016). Jumlah peserta BPJS yang tercatat per Maret 2016 sudah mencapai 163 juta orang (BPJS 2016) dan akan terus mengalami peningkatan, pemerintah menetapkan paling lambat 1 Januari 2019 seluruh penduduk Indonesia telah menjadi anggota BPJS (BPJS 2011). Potensi bisnis industri farmasi di Indonesia sangat menjanjikan karena memberikan banyak peluang dalam 10 tahun ke depan. Jumlah penduduk yang besar seiring peningkatan kesadaran terhadap kesehatan masyarakat semakin tinggi dan didukung oleh program pemerintah tentang jaminan kesehatan nasional adalah faktor pendorong pertumbuhan industri farmasi di Indonesia. Rantai pasok industri farmasi Indonesia dijelaskan oleh Knoop (1998) terdiri dari supplier, pabrik obat (produsen), distributor/pedagang besar farmasi (PBF), retailer, dan konsumen. Supplier memasok seluruh bahan yang dibutuhkan oleh produsen untuk membuat produk jadi, yaitu: bahan baku, bahan aktif, dan bahan intermediat/obat jadi impor. Produsen terdiri dari perusahaan lokal, perusahaan milik pemerintah (BUMN) dan perusahaan multinasional (PMA). Pasokan obat dari produsen kepada konsumen didesain oleh pemerintah harus melalui PBF sebagai distributor pertama, kemudian PBF akan mendistribusikan produk jadi kepada retailer (sub distributor, rumah sakit, apotek dan toko obat) dan konsumen mendapatkan produk jadi dari retailer (Adityo 2011). Setengah dari keseluruhan risiko pada rantai pasok farmasi adalah berasal dari risiko internal yang mana dapat dikendalikan oleh perusahaan. Risiko pada proses produksi obat adalah risiko internal yang dapat dikendalikan oleh perusahaaan (Jaberidoost 2015). Industri farmasi adalah Industri dengan karakteristik yang spesifik. Industri farmasi dikenal sebagai industri dengan regulasi yang sangat ketat ( highly regulated) baik peraturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), etika, perlindungan konsumen, dll. Teknologi tinggi dengan didukung tenaga kerja yang memiliki spesifikasi khusus dan terampil adalah faktor penting dalam bisnis farmasi (Putri 2011). Investasi di Industri farmasi membutuhkan biaya yang sangat besar, setidaknya untuk membangun pabrik yang memiliki standar CPOB/ CGMP (Current Good Manufacturing Practices) membutuhkan biaya US$10 juta oleh karena nya industri farmasi dikenal sebagai industri yang padat modal (Kemenkes 2015).

Transcript of Model penanganan penyimpangan produksi pada industri...

Page 1: Model penanganan penyimpangan produksi pada industri ...repository.sb.ipb.ac.id/3040/5/E53-05-Senjaya-Pendahuluan.pdf · artinya hanya memperbolehkan 308,58 cacat dalam satu juta

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah pasar yang besar bagi industri farmasi. Jumlah penduduk

Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, ditahun 2020 jumlah penduduk

Indonesia diprediksi mencapai 254 juta dengan jumlah populasi produktifnya

sebesar 132 juta/52% (UNDP 2010). Pangsa pasar Industri farmasi di tahun 2015

mengalami peningkatan sebesar 11% dari tahun sebelumnya, menjadi Rp62 triliun.

Potensi industri farmasi Indonesia pada tahun 2025 diprediksi mencapai Rp800

triliun yang menjadi urutan 15 terbesar di dunia dengan pertumbuhan tahunan

optimis sebesar 20%. Potensi besar ini memiliki nilai investasi sebesar Rp215

triliun yang akan menciptakan 2 juta lapangan pekerjaan di sektor farmasi hinga

tahun 2025 (Setiawan 2016). Jumlah peserta BPJS yang tercatat per Maret 2016

sudah mencapai 163 juta orang (BPJS 2016) dan akan terus mengalami

peningkatan, pemerintah menetapkan paling lambat 1 Januari 2019 seluruh

penduduk Indonesia telah menjadi anggota BPJS (BPJS 2011). Potensi bisnis

industri farmasi di Indonesia sangat menjanjikan karena memberikan banyak

peluang dalam 10 tahun ke depan. Jumlah penduduk yang besar seiring

peningkatan kesadaran terhadap kesehatan masyarakat semakin tinggi dan

didukung oleh program pemerintah tentang jaminan kesehatan nasional adalah

faktor pendorong pertumbuhan industri farmasi di Indonesia.

Rantai pasok industri farmasi Indonesia dijelaskan oleh Knoop (1998)

terdiri dari supplier, pabrik obat (produsen), distributor/pedagang besar farmasi

(PBF), retailer, dan konsumen. Supplier memasok seluruh bahan yang dibutuhkan

oleh produsen untuk membuat produk jadi, yaitu: bahan baku, bahan aktif, dan

bahan intermediat/obat jadi impor. Produsen terdiri dari perusahaan lokal,

perusahaan milik pemerintah (BUMN) dan perusahaan multinasional (PMA).

Pasokan obat dari produsen kepada konsumen didesain oleh pemerintah harus

melalui PBF sebagai distributor pertama, kemudian PBF akan mendistribusikan

produk jadi kepada retailer (sub distributor, rumah sakit, apotek dan toko obat)

dan konsumen mendapatkan produk jadi dari retailer (Adityo 2011).

Setengah dari keseluruhan risiko pada rantai pasok farmasi adalah berasal

dari risiko internal yang mana dapat dikendalikan oleh perusahaan. Risiko pada

proses produksi obat adalah risiko internal yang dapat dikendalikan oleh

perusahaaan (Jaberidoost 2015).

Industri farmasi adalah Industri dengan karakteristik yang spesifik. Industri

farmasi dikenal sebagai industri dengan regulasi yang sangat ketat (highly

regulated) baik peraturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), etika,

perlindungan konsumen, dll. Teknologi tinggi dengan didukung tenaga kerja

yang memiliki spesifikasi khusus dan terampil adalah faktor penting dalam bisnis

farmasi (Putri 2011). Investasi di Industri farmasi membutuhkan biaya yang

sangat besar, setidaknya untuk membangun pabrik yang memiliki standar CPOB/

CGMP (Current Good Manufacturing Practices) membutuhkan biaya US$10 juta

oleh karena nya industri farmasi dikenal sebagai industri yang padat modal (Kemenkes 2015).

Page 2: Model penanganan penyimpangan produksi pada industri ...repository.sb.ipb.ac.id/3040/5/E53-05-Senjaya-Pendahuluan.pdf · artinya hanya memperbolehkan 308,58 cacat dalam satu juta

2

Industri farmasi dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan pembuatan

obat dan/atau bahan obat wajib menerapkan pedoman CPOB (Kemenkes 2010).

Penerapan CPOB bertujuan menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi

persyaratan yang telah ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Pelanggaran terhadap ketentuan pedoman CPOB dapat dikenai sanksi

administratif berupa peringatan, peringatan keras, penghentian sementara kegiatan,

pembekuan sertifikat, pencabutan sertifikat, hingga pencabutan izin industri

farmasi (BPOM 2012).

Industri Farmasi dituntut dapat membuat obat sesuai dengan tujuan

penggunaanya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar

(registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunanya

karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Industri Farmasi menerapkan

manajemen mutu untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat

diandalkan. Mutu produk secara sistematis harus dinilai, dikendalikan, dan dikaji

risikonya. Evaluasi terhadap mutu obat dilakukan berdasarkan pengetahuan secara

ilmiah, pengalaman terhadap proses, dan mempertimbangkan perlindungan pasien

(BPOM 2012).

Tahapan pembuatan obat meliputi beragam aktifitas yang saling terkait,

yaitu aktifitas penerimaan material, penyimpanan material, pembuatan sediaan,

pengemasan obat, penyimpanan produk jadi dan distribusi obat. Sepanjang proses

pembuatan obat memungkinkan terjadinya ketidaksesuaian/penyimpangan

terhadap persyaratan yang telah ditetapkan. Penyimpangan dapat terdeteksi di

seluruh tahapan pembuatan obat ataupun dalam aktivitas pengawasan mutu.

Setiap penyimpangan yang terjadi harus diinvestigasi lebih lanjut, kemudian

dinilai dampaknya terhadap keamanan pasien, kualitas, dan efektifitas obat. Hasil

evaluasi penyimpangan harus didokumentasikan dengan baik dan ditetapkan

tindakan perbaikan agar tidak terjadi penyimpangan yang sama. Tidak semua

penyimpangan mengakibatkan kecacatan pada produk obat. Penanganan terhadap

penyimpangan adalah komponen kunci dari sistem mutu proses produksi. Dalam

keadaan normal (tidak ada penyimpangan dalam proses produksi), keputusan

terhadap status produk dapat dengan mudah diambil berdasarkan spesifikasi yang

telah ditetapkan didalam Standard Operational Procedure (SOP) dan sesuai

dengan dokumen yang didaftarkan di Badan Pengawasan Obat dan Makanan

(BPOM). Namun bila terjadi penyimpangan dalam proses produksi, maka kualitas

keputusan manajemen sangat berpengaruh terhadap kelangsungan bisnis industri

farmasi.

Manajemen perusahaan dituntut dapat memberikan keputusan dengan tepat

terhadap kualitas produk obat yang dihasilkan bila terjadi penyimpangan dalam

proses produksi obat. Keputusan terhadap produk dibagi menjadi tiga, yaitu

produk diluluskan, produk ditolak, atau produk ditunda karena memerlukan

investigasi lebih lanjut. Manajemen perusahaan yang terlalu ketat (berlebihan)

dalam menetapkan keputusan terhadap status produk, memiliki risiko bisnis

dimana produk obat yang sebenarnya masih baik, namun diputuskan untuk ditolak

dan produk harus dimusnahkan, akibatnya biaya produksi meningkat karena gagal

produksi, hal ini tentunya berdampak terhadap kelangsungan bisnis perusahaan.

Manajemen perusahaan yang ragu-ragu atau tidak berpengalaman dalam

mengambil keputusan terhadap status produk mengakibatkan perusahaan

membutuhkan waktu yang lebih banyak dalam menetapkan status produk obat,

Page 3: Model penanganan penyimpangan produksi pada industri ...repository.sb.ipb.ac.id/3040/5/E53-05-Senjaya-Pendahuluan.pdf · artinya hanya memperbolehkan 308,58 cacat dalam satu juta

3

akibatnya produk harus dikarantina/ditunda untuk beberapa waktu hingga

diperoleh keputusan terhadap status produk obat. Keputusan terhadap status

produk obat yang tertunda berpotensi meningkatnya biaya produksi karena waktu

penyimpanan produk menjadi lebih lama, efek lebih lanjut tertundanya pasokan

produk obat ke pasaran. Didalam sistem manajemen mutu modern, kemampuan

perusahaan dalam memasok produk obat yang berkualitas secara tepat waktu

kepada pelanggan (Customer Service Level) menjadi salah satu indikator kinerja

utama/ Key Performance Indicator (KPI) Perusahaan (ICH 2009), terlebih lagi

untuk live saving product dimana ketidaktersediaan produk dipasaran dapat

mengancam keselamatan pasien. Manajemen perusahaan yang terlalu toleran

dalam menetapkan keputusan status produk, memiliki risiko dimana produk obat

yang sebenarnya tidak sesuai standar kualitas dan berpotensi menimbulkan

keluhan, diputuskan untuk diluluskan dan didistribusikan ke masyarakat,

akibatnya berdampak terhadap kesehatan dan keselamatan pasien sehingga

perusahaan harus melakukan penarikan produk dari pasar. Penarikan produk dari

pasar tidak hanya berdampak secara materil, namun juga berdampak terhadap

nama baik perusahaan. Apabila dampak yang ditimbulkan terhadap pasien sangat

besar, BPOM dapat memberikan sangsi berupa penghentian sementara kegiatan,

pembekuan sertifikat, pencabutan sertifikat, hingga pencabutan izin industri

farmasi (Waren 2009).

Penyimpangan pada proses pembuatan obat berdasarkan tingkat risikonya,

dapat dikategorikan menjadi tiga, dimulai dari penyimpangan dengan tingkat

risiko paling rendah hingga risiko yang lebih tinggi, yaitu penyimpangan dengan

kategori minor, major, dan kritikal. Tingkat usaha yang digunakan untuk

mengendalikan risiko hendaklah sebanding dengan signifikan risiko. Produk yang

belum dinilai mutunya dan belum dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah

ditetapkan tidak boleh diluluskan atau didistribusikan ke pasar. Penyimpangan

pada pembuatan obat tidak hanya memiliki dampak terhadap kualitas obat, namun

juga mempengaruhi kelangsungan bisnis farmasi yang berkelanjutan.

Badan regulasi obat di Indonesia BPOM, hingga saat ini hanya

menyediakan panduan operasional/guideline secara umum mengenai cara

pembuatan obat yang baik dan petunjuk operasional penerapan CPOB. Badan

otoritas internasional yaitu FDA (Food and Drugs Administration), MHRA

(Medicines and Healthcare products Regulatory Agency), PIC/S (Pharmaceutical

Inspection Convention and Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme),

ICH (International Conference on Harmonization), dan WHO (World Health

Organization) juga memberikan panduan kepada industri farmasi, namun hanya

sebatas petunjuk umum penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dan

manajemen risiko mutu (Haleem et al. 2015). Penyimpangan pada proses

produksi sangat bervariasi dan teknis sehingga membutuhkan panduan yang lebih

spesifik dalam implementasi penanganan penyimpangan yang baik sesuai dengan

tujuan CPOB yaitu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dan sesuai

dengan tujuan penggunaannya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai proses pengambilan keputusan dalam penanganan

penyimpangan di area produksi pada industri farmasi, dimana saat ini tidak ada

panduan teknis dalam proses penanganan penyimpangan sehingga proses

penanganan penyimpangan berbeda-beda tergantung kompetensi dan pengalaman

(expertise) personil yang dimiliki.

Page 4: Model penanganan penyimpangan produksi pada industri ...repository.sb.ipb.ac.id/3040/5/E53-05-Senjaya-Pendahuluan.pdf · artinya hanya memperbolehkan 308,58 cacat dalam satu juta

4

Perumusan Masalah

Industri Farmasi memiliki kapabilitas proses dengan standar nilai 2-3 sigma,

artinya hanya memperbolehkan 308,58 cacat dalam satu juta produk (Martin

2011). Kapabilitas proses dengan nilai 2-3 sigma akan memberikan total biaya

kualitas (cost of quality) sebesar 20-25% (Joshi et al. 2005). Total biaya yang

harus dikeluarkan akibat terjadinya kesalahan kecil dalam investigasi adalah 72%

bernilai <$10 ribu dan 28% bernilai $10 ribu - $100 ribu. Untuk kesalahan

investigasi yang lebih kompleks, total biaya yang harus dikeluarkan 35% bernilai

<$100 ribu, 52% bernilai $100 ribu – 500 ribu dan 13% bernilai $500 ribu – $1

juta (Jeffrey 2011). Proses produksi pada industri farmasi tidak selamanya bebas

dari masalah/penyimpangan, masih ada risiko yang melekat karena kapabilitas

proses yang masih kurang baik ataupun karena penerapan sistem kualitas yang

belum memadai.

PT XYZ dalam menangani penyimpangan di area produksi saat ini, merujuk

pada panduan yang dikeluarkan oleh badan otoritas terkait dan berdasarkan

kompetensi dan pengalaman (expertise) yang dimiliki oleh personil yang terlibat.

Hingga saat ini panduan dari badan otoritas terkait hanya sebatas petunjuk umum

penerapan cara pembuatan obat yang baik dan manajemen risiko mutu, belum ada

panduan teknis dalam menangani penyimpangan di area produksi. Kompetensi

dan pengalaman yang berbeda dari personil mengakibatkan perbedaan dalam

penanganan penyimpangan di area produksi, akibatnya penanganan

penyimpangan berpotensi tidak proporsional (terlalu ketat atau terlalu toleran).

PT XYZ pernah mengalami kerugian hingga miliaran rupiah dikarenakan

penanganan penyimpangan yang terlalu ketat, sehingga produk yang seharusnya

bisa diselamatkan, pada akhirnya ditetapkan untuk tidak diluluskan. Dengan

permasalahan yang ada, maka perlu diteliti model pengambilan keputusan dalam

penanganan penyimpangan di area produksi pada industri farmasi, dimana saat ini

tidak ada panduan teknis dalam proses penanganan penyimpangan sehingga dapat

menjadi panduan teknis bagi manajemen perusahaan untuk mengatasi perbedaan

dalam penanganan penyimpangan di area produksi.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa saja jenis-jenis penyimpangan dengan kategori mayor dan kritikal yang

mungkin terjadi pada proses pembuatan produk farmasi?

2. Bagaimana prioritas penyimpangan dengan kategori mayor dan kritikal yang

mungkin terjadi pada proses pembuatan produk farmasi?

3. Bagaimana prioritas penilaian dampak penyimpangan terhadap pasien,

kualitas produk, status validasi dan status kualifikasi?

4. Apa saja faktor penting yang menjadi bahan pertimbangan dalam penetapan

status produk?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan

untuk:

1. Mengidentifikasi jenis-jenis penyimpangan dengan kategori mayor dan

kritikal yang mungkin terjadi pada proses pembuatan produk farmasi.

Page 5: Model penanganan penyimpangan produksi pada industri ...repository.sb.ipb.ac.id/3040/5/E53-05-Senjaya-Pendahuluan.pdf · artinya hanya memperbolehkan 308,58 cacat dalam satu juta

5

2. Menganalisis prioritas penyimpangan dengan kategori mayor dan kritikal yang

mungkin terjadi pada proses pembuatan produk farmasi.

3. Menganalisis prioritas penilaian dampak penyimpangan terhadap pasien,

kualitas produk, status validasi dan status kualifikasi.

4. Menganalisis faktor penting yang menjadi bahan pertimbangan dalam

penetapan status produk.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada:

1. Manajemen PT XYZ dalam mengatasi penyimpangan yang mungkin terjadi di

area produksi dengan tepat sesuai dengan tujuan CPOB.

2. Badan otoritas farmasi di Indonesia untuk memastikan PT XYZ menangani

penyimpangan dengan cara yang tepat sesuai dengan tujuan CPOB.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan kerangka manajemen risiko ICH Q9 yang

dibatasi pada penanganan penyimpangan PT XYZ pada proses produksi obat non

steril (dari mulai menimbang bahan baku hingga produk jadi dikirim ke gudang)

dengan tingkat keparahan mayor dan kritikal.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Industri Farmasi dan Regulasi CPOB

Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri

Farmasi harus membuat obat sesuai aturan CPOB agar sesuai dengan tujuan

penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar

(registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan konsumen, baik

karena ketidakamanan, ketidakefektifan, maupun mutu obat yang substandar.

Karakteristik industri farmasi menurut paparan Direktur Bina Produksi dan

Distribusi Kefarmasian pada sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang

kefarmasian dan alat kesehatan tahun 2015 yaitu:

1. Industri yang padat modal, minimal membutuhkan biaya US$ 10 juta

(sepuluh juta USD) untuk membangun pabrik standar cGMP (current

Good Manufacturing Practices).

2. Industri yang memerlukan teknologi tinggi dalam penelitian dan

pengembangan, studi klinis, manufaktur, maupun pengemasan (packaging).

3. Industri yang regulasinya sangat ketat (highly regulated) baik peraturan

tentang CPOB, etika, perlindungan konsumen (Rahalkar 2012; Willey

2011).

4. Industri yang membutuhkan pekerja dengan spesifikasi dan keahlian

tertentu.

Page 6: Model penanganan penyimpangan produksi pada industri ...repository.sb.ipb.ac.id/3040/5/E53-05-Senjaya-Pendahuluan.pdf · artinya hanya memperbolehkan 308,58 cacat dalam satu juta

Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan SB-IPB