MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

18
2 Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Transcript of MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

Page 1: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  2  

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 2: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  3  

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 3: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  1  

UPACARA CIO TAO DALAM KOMUNITAS CINA BENTENG, TANGERANG

Mahasiswa : Susayya Nadhira Sonia

Pembimbing : R. Tuty Nur Mutia

Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Univeristas Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Topik penelitian ini adalah Upacara Perkawinan Cio Tao di lingkungan komunitas Cina Benteng yang berdomisili di wilayah Tanggerang-Banten. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran tentang kehidupan komunitas Cina Benteng khususnya yang berkaitan dengan tradisi perkawinan Cio Tao. Penelitian yang dilakukan berlandaskan metode kualitatif, menemukan beberapa fakta menarik, salah satu di antaranya adalah adanya pengaruh budaya lokal dalam upacara perkawinan tersebut. Penemuan itu menunjukkan bahwa telah terjadi akulturasi di antara budaya komunitas Cina Benteng dengan budaya penduduk lokal. Hal itu juga dapat menjadi petunjuk adanya hubungan yang harmonis antara komunitas tersebut dengan penduduk lokal.

Abstract

This research topic is the Marriage Ceremony Cio Tao in community Cina Benteng whose domiciled in Tangerang, Banten. The purpose of this research is to provide an overview of life of the Cina Benteng community especially that related to the tradition of Cio Tao. The research was based on qualitative methods, found some interesting facts, one of which is the influence of local culture in the marriage ceremony. The finding shows that there has been a cultural acculturation among Cina Benteng community with cultural locals. It can also be indicative of a harmonious relationship between the community and the local population.

Keywords : Cio Tao; Cina Benteng; Rangkaian acara Cio Tao; Fungsi Cio Tao Cio Tao; Cina Benteng; Series of Cio Tao ceremony; Fungtion of Cio Tao

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 4: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  4  

1.1 Latar Belakang

Kaum Tionghoa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.

Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang

(Tiouchiu), atau Thongnyin (Hakka). Imigran Tiongkok telah ribuan tahun

mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara. Beberapa catatan tertua ditulis oleh

para agamawan seperti I Ching pada abad ke-7M dan Fa Hien pada abad ke-15M.

Kedua catatan tersebut menyatakan telah ada hubungan antara bangsa Tionghoa

dengan orang-orang di Nusantara.

Menurut Purcell (1977) kedatangan Imigran Tiongkok ke Indonesia terbagi

menjadi tiga tahap. Pertama adalah pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, ke

dua saat bangsa Eropa mulai datang di wilayah Asia Tenggara yang berlangsung

sekitar abad ke-16, dan terakhir ketika Indonesia berada di bawah pemerintahan

kolonial Belanda. Kedatangan mereka pada tahap pertama semata-mata didorong oleh

hubungan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan Kerajaan

Tiongkok. Mereka untuk sementara tinggal di sekitar pelabuhan. Walaupun

berlangsung berabad-abad, migrasi tahap pertama ini berjalan lambat dan tidak

menunjukkan sampai membuat mereka membentuk suatu komunitas. Migrasi tahap

pertama dikenal dengan istilah Chinese follow the trade atau kedatangan bangsa

Tiongkok untuk berdagang.

Pada tahap ke dua, terjadi peningkatan jumlah kedatangan maupun

imigrannya, walaupun faktor perdagangan masih menjadi pendorong utama. Imigran

Tiongkok tersebut banyak yang bermukim di kota-kota pelabuhan seperti Cirebon,

Tuban, Sunda Kelapa, Banten, Palembang, dan Padang. Banyak dari mereka yang

menetap namun ada juga yang hanya datang untuk berdagang dan kembali lagi ke

Tiongkok. Kebanyakan pendatang adalah laki-laki karena pada saat itu perjalanan

membutuhkan waktu yang lama sehingga sangat jarang wanita yang diperbolehkan

ikut.

Imigran Tiongkok pada tahap ke tiga selain didorong oleh perdagangan juga

didorong oleh factor lainnya yaitu permintaan pemerintah kolonial untuk merekrut

pekerja pertambangan dan perkebunan. Pada umumnya keahlian ini dimiliki oleh

orang Tionghoa. Jumlah imigran tahap akhir ini cukup banyak, sehingga kemudian

mereka membentuk komunitas tersendiri. Meningkatnya jumlah imigran Tionghoa

yang hanya terdiri dari jenis kelamin laki-laki sampai menjelang abad ke-19,

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 5: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  5  

menyebabkan mereka menikah dengan perempuan setempat dan melahirkan beberapa

generasi (Sulhi, 2002). Anak dari pernikahan tersebut memiliki darah campuran

Tionghoa dan pribumi yang kemudian dikenal sebagai Cina peranakan (Sulhi, 2002).

Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya akulturasi budaya. Hasil akulturasi

budaya tersebut tercermin misalnya dalam pakaian, kuliner, kesusastraan, sulaman,

perabot rumah tangga, upacara perkawinan, dan lain-lain.

Perkawinan pada hakekatnya adalah upacara pengikatan janji nikah yang

dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan

perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara

perkawinan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama,

budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang

berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.

Bagi orang Tionghoa meski mereka berbeda tempat, agama, ataupun kelas,

namun mereka memiliki cara pandang dan sikap yang sama terhadap sebuah

perkawinan. Makna perkawinan bagi masyarakat Tionghoa secara umum bertujuan

untuk menjaga dan meneruskan keturunan, melanjutkan warisan budaya leluhur,

menaikkan status sosial, membangun keluarga atau marga, dan menambah tali

persaudaraan (Singgih, 2011:1). Dewasa ini di RRC maupun di Taiwan, upacara Cio

Tao jarang dilakukan. Hal itu berbeda dengan komunitas Cina Benteng, Tangerang.

Mereka masih melaksanakannya guna berpegang teguh dan mepertahankan jati

dirinya sebagai etnis Tionghoa.

Seiring dengan bertambah banyaknya jumlah keluarga yang hidup di antara

dua kebudayaan ini, maka perkawinan pasangan dari komunitas berdarah campuran

ini juga terus terjadi. Upacara perkawinan ini biasanya dikenal dengan Cio Tao. Pada

hakekatnya Cio Tao adalah budaya Tiongkok, namun pengaruh budaya lokal dapat

kita lihat dalam upacara perkawinan ini. Pengaruh tersebut antara lain terlihat dalam

makanan persembahan yang disajikan dalam persembahyangan dan kue-kue dalam

pesta. Di antaranya terdiri dari kue Mangkok, kue ku, lapis legit, bika ambon, dan

lain-lain (Kwa, 2012). Selain itu, dalam upacara rias calon pengantin perempuan,

sawer penganten, yang menggunakan beras kuning bercampur uang koin, juga

mencerminkan pengaruh dari budaya lokal terhadap budaya kaum peranakan di

daerah ini (Kwa, 2012).

Berdasarkan latar belakang diatas saya tertarik untuk menyusun makalah ini

dengan judul : ” Upacara Cio Tao dalam komunitas Cina Benteng, Tangerang”.

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 6: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  6  

Makalah ini akan secara singkat menjelaskan pelaksanaan upacara Cio Tao, makna

dan fungsinyanya bagi masyarakat Cina Benteng sendiri maupun masyarakat luas.

Pembahasan dalam makalah ini akan mencakup permasalahan, siapakah yang

disebut komunitas Cina Benteng?, dan bagaimana pelaksanaan upacara pernikahan

Cio Tao di Cina Benteng?. Berlandaskan permasalahan itu, maka tujuan penulisan ini

adalah menjelaskan latar belakang komunitas Cina Benteng dan mendeskripsikan

makna pelaksanaan upacara Cio Tao dalam komunitas Cina Benteng.

 

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dalam bentuk studi

kasus yaitu upacara Cio Tao. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang

digunakan untuk meneliti obyek alamiah yang tidak dapat diukur dengan angka,

dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan

secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitiannya

menekankan makna (Sulistyo-Basuki, 2006:78).

Alasan menggunakan metode kualitatif adalah karena obyek dari penelitian ini

adalah obyek yang alamiah, yang tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi

obyek hingga akhir penelitian relative tidak berubah. Selain itu orientasi penelitian ini

lebih diarahkan kepada pengungkapan makna yang melingkupi upacara perkawinan

Cio Tao, sehingga metode yang bersifat kualitatif lebih tepat untuk digunakan.

2.1 Peralatan/Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilaksanakan melalui metode pengamatan dan wawancara.

Selain itu, juga dilakukan melalui studi kepustakaan atau studi literatur untuk

melengkapi data. Pengamatan dilakukan dengan mengamati orang Cina Benteng

dalam kehidupan sehari-hari. Wawancara dilakukan dengan informan yang dipilih

secara sengaja berdasarkan pertimbangan pendalaman kasus dan pemahaman masalah

yang diteliti. Informan inti dalam penelitian ini ialah Humas Klenteng Boen Tek Bio,

yaitu Bapak Oey Tjim Eng.

Studi pustaka atau studi literatur dilakukan untuk memperoleh data yang tidak

dapat ditemukan di lapangan, terutama yang berkaitan dengan sejarah komunitas,

ketentuan-ketentuan upacara secara garis besar, dan lain-lain.

2.2 Proses Pengumpulan Data

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 7: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  7  

Proses pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap, yang pertama

adalah tahap orientasi. Tahap orientasi adalah tahap awal dari proses pengumpulan

data. Pertama-tama, saya memperkenalkan diri dan membina hubungan baik dengan

informan. Kemudian menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Saya juga

menanyakan kesediaan informan untuk berpartisipasi dalam penelitian.

Tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan. Pada tahap ini dilaksanakan

wawancara sesuai kesepakatan bersama. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan

lebih dari dua kali, hal ini disebabkan oleh data yang belum lengkap dan validasi data.

Saya mengajukan pertanyaan sesuai dengan pedoman yang telah disusun dan

mencatat hal-hal yang dianggap penting.

Pada tahap akhir, saya mengecek keabsahan data setelah melakukan

wawancara. Data yang didapatkan kemudian diorganisir dan dilakukan sistemasi

untuk memudahkan analisis. Kemudian untuk melengkapi data yang tidak ditemukan

di lapangan,dilakukan pencarian melalui studi pustaka/literatur.

3. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian maka pembabakan makalah di bagi menjadi tiga sub

bagian yaitu: Cina Benteng, pelaksanaan upacara Cio Tao di Cina Benteng Tangerang

dan fungsi dari pelaksanaan upacara ini.

3.1 Cina Benteng

Salah satu daerah di mana terdapat komunitas peranakan yang masih

mempertahankan kebudayaan hingga saat ini adalah Cina Benteng. Masyarakat Cina

Benteng adalah keturunan Cina hokkian yang datang ke Tangerang secara

bergelombang pada abad ke-15. Di Tangerang, mereka membuka lahan pertanian dan

perkebunan di udik. Sebagian lagi juga bekerja sebagai buruh atau berdagang dekat

Teluk Naga dan Pelabuhan Sunda Kelapa.

Sebutan Cina benteng sendiri berasal dari pada masa itu terdapat sebuah

benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai

pos pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan

benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa (Wikipedia). Kemudian VOC

memberikan hak kepemilikan lahan kepada orang-orang Tionghoa yang menjadikan

daerah tersebut sebagai daerah pertanian.

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 8: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  8  

Pendatang ini menetap, beralkuturasi secara alamiah dan kawin campur

dengan perempuan pribumi. Perkawinan inilah yang membentuk komunitas Tionghoa

peranakan yang lama-kelamaan dikenal dengan sebutan Cina Benteng. Bahkan

dewasa ini kebanyakan orang Cina Benteng sudah terasilimilasi dengan budaya

pribumi Sunda dan Betawi sehingga bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa

tersebut.

Cina Benteng terkenal dengan sebutan “Cina kulit pribumi” hal ini

dikarenakan banyak dari mereka yang memang tidak terlihat seperti layaknya orang

Cina asli yang memiliki kulit putih, mereka pada umumnya warna kulit agak

kecoklatan.

Meski sudah tinggal selama beberapa generasi, namun kebudayaan nenek

moyang mereka masih dipertahankan. Bentuk kebudayaan tersebut tercenminkan dari

berjalannya tradisi-tradisi yang masih dilakukan. Beberapa tradisi diantaranya adalah

peringatan Pehcun, pernikahan Cio Tao dan tradisi pemakaman (Kwa, 2002). Dalam

pelaksanan tradisi-tradisi tersebut banyak mendapat pengaruh unsur kebudayaan lokal

seperti permainan musik gambang kromong, yang wajib saat upacara pernikahan.

Kini keberadaan Cina Benteng menjadi salah satu bukti dari adanya masyarakat

peranakan yang memiliki campuran kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan lokal.

3.2 Pelaksanaan Upacara Cio Tao di Cina Benteng, Tangerang

Pesta dan upacara pernikahan merupakan proses sepanjang kehidupan manusia

yang bersifat universal. Oleh sebab itu, upacara pernikahan selalu ada disetiap

kebudayaan. Demikian pula halnya dengan upacara Cio Tao.

Cio tao adalah istilah umum yang digunakan untuk upacara pernikahan

tradisional Tionghoa. Tradisi ini sudah jarang dilakukan di Negara asalanya, namun

traidisi ini hingga kini masih dilaksanakan di daerah Tangerang. Cio Tao berasal dari

dinasti Qin, dan diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun 200-100 sebelum

masehi.

Bila seseroang mengatakan bahwa ia telah “ber-Cio tao”, maka itu artinya ia

telah melaksanakan upacara pernikahan tradisional Tionghoa, lengkap dengan segala

upacaranya. Upacara ini sangat sakral dan hanya boleh dilakukan sekali seumur

hidup, menjelang pernikahan. Seorang duda atau janda yang menikah untuk kedua

kalianya tidak diperkenankan melakukan ritual ini.

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 9: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  9  

Upacara Cio Tao sangat sakral dan setiap tahapannya memiliki arti yang

simbolik kepada Tuhan, alam, leluhur, orang tua dan kedua mempelai. Berikut adalah

rangkaian acara menjelang pernikahan menurut Singgih (2011).

3.2.1 Upacara menjelang pernikahan:

1. Melamar: Mak comblang memegang peranan penting dalam acara ini. Mak

comblang pada umumnya berasal dari pihak pria. Bila ia berhasil, maka akan

diadakan pententuan antaran atau mas kawin dapat dilaksanakan.

2. Sang Jit (antar contoh baju): Pada hari yang sudah ditentukan, pihak

pria/keluarga pria dengan mak comblang dan kerabat dekat mengantar

seperangkat lengkap pakaian mempelai pria dan mas kawin. Mas kawin dapat

memperlihatkan gengsi, kaya atau miskinnya keluarga calon mempelai pria.

Semua harus dibungkus dengan kertas merah dan warna emas. Selain itu juga

dilengkapi dengan uang susu (angpao) dan 2 pasang lilin. Pada umumnya

angpao hanya diambil sebagian saja dan lilin dikembalikan.

3. Tunangan: Pada saat pertunangan, kedua keluarga saling memperkenalkan diri

dengan panggilan masing-masing.

4. Penentuan hari baik dan bulan baik: Masyarakat Tionghoa percaya bahwa

dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya.

Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan

kelanggengan pernikahan mereka. Oleh karena itu harus memilih jam, hari

dan bulan yang baik. Biasanya pihak keliarga akan berkonsultasi dengan ahli

Feng Shui untuk menentukan hari baik dan bulan baik untuk melaksanakan

upacara pernikahan.

3.2.2 Upacara Cio Tao

3.2.2.1 Pakaian

Ketika melaksanakan upacara Cio Tao kedua mempelai harus menggunakan baju

pengantin. Pengantin laki-laki mengenakan baju kebesaran Tionghoa yaitu Pao di

bagian luar dengan baju cio tao berwarna putih di bagian dalam, dan mengenakan topi

cetok. Lalu pengantin perempuan mengenakan pakaian sebagai berikut:

1. Ang-o (红袄)yaitu baju pengantin berwarna merah dalam mode Mancu.

Bukaannya di sebelah kanan dan panjangnya tiga perempat, menutupi kira-

kira dua pertiga dari Hoa-kun di bawahnya.

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 10: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  10  

2. Hoa-kun (花裙) yakni semacam rok lipit berwarna hijau dengan dua panel

bersulam di tengah bagian depan dan belakang, sedangkan bagian yang

berlipit terletak di kedua sisi kiri dan kanan, masing-masing sebanyak enam

lipit. Sulaman hanya dipusatkan dihampir setengah bagian bawah hoa-kun

yang tidak tertutup oleh ang-o tadi. Panjangnya semata kaki, dikencangkan

dengan tali kun (带).

3. Terate. Dipasang di bagian bahu dan dada sebagai ornamen. Terbuat dari

bahan beludru berwarna hitam. Di atasnya dijahitkan hiasan-hiasan dari logam

dengan aneka motif: kura-kura, bunga, ikan, dan lain-lain. Warnanya ada yang

keperakan, kuning, emas atau merah.

3.2.2.2 Rangkaian Acara

Upacara Cio Tao ada kalanya diadakan pada tengah malam menjelang hari

pernikahan, namun ada juga yang melaksanakannya pagi hari pada hari pernikahan.

Selain itu, ada kalanya digabungkan jika rumah kedua mempelai sangat berjauhan

atau disuatu tempat yang disebut “rumah pesta”. Berikut adalah rangkaian upacara

Cio Tao menurut Kwa (2012):

1. Pasang lilin dan pasang Hio

Upacara Cio Tao ini dimulai dengan ritual pasang lilin di meja Sam

Kai, lilin di altar Cau Kun Kong (Dewa Dapur), lilin kembang sebelah dalam

di meja abu, dan lilin kecil di meja kecil tempat meletakkan gantang oleh

kedua orangtua pengantin, dilanjutkan dengan pasang hio di meja Sam Kai,

altar Cau Kun Kong dan meja abu.

2. Tian Ciu (奠酒)dan Sam Kui Kiu Khou (三跪九叩)

Sebelum upacara Cio Tao dimulai, orang tua pengantin melakukan

upacara tian Ciu dan Sam Kui Kiu Khou. Mereka memohon doa agar jalannya

Cio Tao diberkahi. Dalam acara Tian Ciu ayah pengantin menuangkan arak ke

lantai sebanyak 3 kali, diikuti dengan Sam Kui Kiu Khou berupa tiga kali

berlutut dan sembilan kali menyentuhkan dahi ke lantai. Keduanya

menunjukkan pernghormatan tertinggi kepada Tuhan.

3. Cio Tao

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 11: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  11  

Kedua orangtua menjemput pengantin yang menunggu di dalam

kamarnya, setelah melaksanakan Tian Ciu dan Sam Kui Kiu Khou. Pengantin

memasang Hio ke beberapa altar tersebut.

Selanjutnya pengantin perempuan dibimbing masuk ke dalam

tetampah dan duduk di kursi yang sudah diletakkan di dalamnya, menghadap

ke sebuah gantang yang dicat merah, warna keberuntungan yang menolak

segala bala. Pada dindingnya terukir Delapan Trigram Langit Awal dengan

diapit oleh dua ekor naga. Gantang ini diisi penuh dengan beras, maknanya

adalah suami istri harus bisa mengukur kemampuan mereka. Jangan

memaksakan diri dan jangan boros. Di atas beras dialasi dengan kertas merah

dan diletakkan benda-benda sebagai berikut dan maknanya:

a. Sebuah buku aimanak Tionghoa yang dibuka tengah-tengahnya.

Merupakan simbol pengetahuan, artinya suami istri harus membekali anak-

anak mereka dengan pengetahuan yang cukup.

b. Gunting. Gunting akan berfungsi apabila kedua bagiannya saling bekerja

dengan baik. Artinya dengan kerja sama suami istri akan mampu mengatasi

segala permasalahan, mereka harus memiliki kesepakatan dalam

memutuskan sesuatu.

c. Timbangan obat Tionghoa. Suami istri harus mempertimbangkan baik

buruk tindakan mereka dan harus berlaku adil.

d. Penggaris kayu Tionghoa. Suami istri harus mengerti batas-batas dalam

berperilaku dan jujur.

e. Cermin, maknanya adalah bersedia introspeksi diri.

f. Benang sutra panca warna. Ikatan suami istri harus seperti benang ini, satu

sama lain memperlihatkan sikap lemah lembut, namun memiliki hubungan

emosional yang kuat. Kelima warna benang menunjukkan lima unsur di

alam semesta dan lima penjuru.

g. Sepasang pelita minyak. Suami istri harus saling jujur satu sama lain.

h. Sebuah sisir. Segala kecekcokan dalam rumah tangga harus diselesaikan,

seperti halnya sisir merapikan rambut yang kusut.

i. Sebilah pedang yang melambangkan keberanian dan ketegasan. Suami istri

harus berani dan tegas dalam meperbaiki hal-hal yang tidak benar dalam

rumah tangganya.

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 12: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  12  

j. Kompas yang melambangkan pedoman. Suami istri hendaknya memiliki

pedoman dalam mengarungi rumah tangga, jangan mudah goyah

menghadapi segala rintangan atau tantangan.

Kemudian secara simbolis rambut pengantin perempuan yang terurai

disisir oleh saudara laki-lakinya sebanyak tiga kali. Sisiran pertama adalah doa

agar pernikahan ini akan langgeng. Sisiran kedua adalah harapan agar

pengantin melahirkan keturunan yang baik, dan sisiran terakhir adalah doa

agar selalu bahagia.

Selanjutnya penata rias menyanggul pengantin perempuan dengan

kembang goyang besar dan Pat Sian Kou menutupi wajahnya. Penyisiran

sebanyak tiga kali inilah yamg disebut Cio Tao, karena Cio Tao secara

harafiah berarti meriasi (rambut) kepala. Usai Cio Tao, kedua orangtua akan

memakaikan pengantin perempuan pakaian pengantin merah selutut, Kun

hijau serta sepatu sulam merah. Dadanya dihiasi aksesoris berupa terate dari

bahan beludru warna hitam, dihiasi taburan perak warna keemasan dan

bergincu.

4. Uang pelita

Ketika pengantin melaksanakan Cio Tao, kerabat yang hadir

memberikan uang pelita. Uang pelita diberikan sebagai tanda memberikan

modal bagi pengantin.

5. Pai Ciu (拜酒)

Pengantin mendapat dorongan semangat untuk membina rumah tangga

melalui acara ini. Hal itu diwujudkan dengan pemberian secangkir arak dari

orangtua dan kakek-neneknya. Arak adalah simbol semangat, dan semangat

inilah yang didorong dari orang tua ke anaknya.

Pengantin menghampiri kedua orangtuanya dengan memegang

nampan/baki yang di atasnya ada dua cangkir berisi arak. Pengantin

melakukan soja satu kali, lalu ayah pengantin mengambil cangkir dan

meminumkannya kepada pengantin. Kemudian ibu pengantin melakukan hal

yang sama.

6. Makan Dua Belas Mangkok (食十二碗)

Masih dalam rangkaian upacara Cio Tao, setelah upacara Cio Tao

acara selanjutnya adalah makan 12 mangkok. Dinamakan demikian karena

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 13: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  13  

kedua mempelai secara bergantian menyantap hidangan yang disajikan dalam

12 mangkok yang berisi 12 macam hidangan yang melambangkan 12 bulan

dalam setahun dan segala jenis rasa suka dan duka yang yang harus dihadapi

oleh kedua mempelai dalam rumah tangga.

Upacara makan 12 mangkok mengandung arti bahwa semua baik

manis ataupun pahit, senang maupun susah harus diterima apa adanya, tidak

boleh memilih ataupun menolak.

Dalam upacara ini, kedua mempelai masing-masing ditemani dan

dilayani oleh 2 orang Se Cek yang terdiri dari 2 orang anak laki-laki yang

belum akil balik. Bila memungkinkan ke dua Se Cek dipilih yang bershio naga

atau macan, karena dua shio ini dianggap yang terunggul di antara yang lain.

Namun bila tidak ada, dari shio manapun tidak masalah.

7. Nasi Melek

Upacara ini bermakna bahwa setelah menikah kedua mempelai tidak

boleh bergantung lagi kepada orang tua. Tanggung jawab orang tua telah

selesai, mereka telah membesarkan sejak kecil hinga anaknya menikah dan

sampai menjadi orang dewasa. Upacara ini pada umumnya sangat

mengharukan dan banyak mempelai yang meneteskan air mata, apa lagi jika

salah satu orang tuanya sudah tiada.

8. Sawer

Dalam upacara sawer pasangan pengantin dipayungi, lalu ditebari

beras kuning bercampur logam oleh nenek pengantin pria, atau jika tidak ada

dilakukan oleh anggota keluarga pengantin pria yang paling dituakan.

Maknanya adalah memohon agar dalam berumah tangga keduanya senantiasa

diberkahi dengan kemuliaan dan kelimpahan materin.

9. Cin Pang (进房)

Kedua pengantin lalu masuk ke dalam kamar pegantin. Pengantin

perempuan duduk di pinggir ranjang pengantin. Pengantin laki-laki membuka

penutup wajah pengantin perempuan. Kemudian mencabut salah satu

kembang goyang di kepala pengantin perempuan dan membuka kantong

merah yang diikatkan di perut pengantin perempuan. Pengantin perempuan

membuka kancing paling atas baju pengantin laki-laki.

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 14: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  14  

Selanjutnya kedua pengantin saling menyuapi onde merah putih, buah

atep bermakna perjalan hidup mantap dan tetap, manisan ceremai agar

bisnisnya selalu ramai, kue lapis legit agar rezeki berlapis-lapis dan agar-agar

dengan harapan badan dan pikiran selalu segar.

10. Penghormatan kepada Tuhan(天) dan sembahyang Sam Kai (三界).

Setelah saling suap kedua mempelai keluar dari kamar untuk berdoa

bersama di depan meja Sam Kai. Sebuah meja sembahyang berkaki tinggi

diletakkan di dekat pintu utama dalam posisi menghadap ke luar. Meja

sembahyang ini disebut “Meja Sam Kai” (三界坛). Meja ini dipersembahkan

kepada Sam Kai Kong (三界公) atau Sam Koan Tai-te (三官大帝) yang

merupakan tiga pejabat dari tiga alam. Terdiri dari Tian Koan Tai-te (天官大

帝/pejabat langit) yang memberikan rezeki, Te Koan Tai-te (地官大帝/

pejabat bumi) yang mengampuni dosa, dan Sui Koan Tai-te (水官大帝/

pejabat air) yang menyingkirkan malapetaka. Ketiganya merupakan wakil dari

Tian (天).

Meja sembahyang tersebut diberi kain penutup meja di bagian muka

yang menjulur ke bawah antara kedua kaki meja. Kain penutup tersebut

bersulamkan motif-motif tradisional yang membawa keberuntungan,

Kemudian di atas meja Sam Kai diletekkan:

a. Sebuah pedupaan, untuk mengundang para dewa agar berkenan hadir

dalam ritual tersebut.

b. Sebuah tempat untuk menancapkan hio.

c. Tian-ap yaitu sebuah kotak kayu berukir berbentuk empat persegi panjang

seperti meja. Di tusukkan beberapa tusuk manisan yang terdiri dari kinkip,

papaya, buah atep (buah aren, kolang-kaling, curuluk, cangkaleng).

d. Beberapa tangkai bunga dalam sebuah vas. Bunga yang biasa digunakan

adaah bunga sian-tan, sedap malam, seruni, dan tasbeh.

e. Sebuah poci arak dan cawannya. Arak yang biasa digunakan adalah arak

putih.

f. Buah-buahan seperti jeruk, delima, pisang, apel, serikaya, dan lain-lain.

Pemilihan buah-buahan ini disebabkan adanya makna simbolis yang baik

dan membawa keberuntungan. Sebagai contoh delima, delima

melambangkan banyak keturunan karena jumlah bijinya yang banyak.

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 15: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  15  

g. Dua lilin bermotif naga berwarna merah dan tempatnya menancapkannya.

h. Sebuah pelita minyak.

i. Sepasang pohon tebu hitam yang utuh dan akarnya.

Menurut tradisi Tionghoa yang berlaku sejak dahulu, setelah

sembahyang bersama di depan meja Sam Kai maka kedua mempelai

dinyatakan telah sah menjadi sepasang suami istri.

11. Te Pai (茶拜)

Te Pai adalah acara penutup dari seluruh rangkain upacara Cio Tao.

Pengantin perempuan melakukan perkenalan kepada pihak keluarga laki-laki

dengan menyuguhkan secangkir air teh. Pada saat pengantin perempuan

menyuguhkan secangkir teh kepada pihak keluarga laki-laki, pengantin laki-

laki yang memegangi nampannya. Te Pai dimulai dari yang paling dituakan

dalam keluarga besar. Sebagai tanda terima kasih, pihak yang menerima Te

Pai memberikan doa restu dalam bentuk angpau. Begitu pula sebaliknya,

setelah pengantin perempuan melaksanakan Te Pai, pengantin laki-laki

kemudian memberikan Te Pai kepada keluarga perempuan.

3. 3 Fungsi

Dewasa ini, fungsi Upacara perkawinan Cio Tao yang dilaksanakan komunitas

Cina Benteng, tidak hanya membawa dampak positif bagi masyarakat Cina Benteng

sendiri, namun juga untuk masyarakat luas. Berikut adalah fungsi-fungsi yang

dihasilkan oleh pelaksanaan upacara tersebut.

Fungsi pertama bagi masyarakat Cina Benteng adalah mempertahankan jati

dirinya sebagai etnis Tionghoa. Kedua adalah melestarikan tradisi nenek moyang.

Selanjutnya adalah merekatkan tali persaudaraan dan kekerabatan karena kerabat

kedua mempelai akan datang untuk memberikan doa dan juga hadiah bagi pengantin.

Selanjutnya adalah fungsi bagi masyarakat luas. Yang pertama adalah

pembauran budaya antara budaya Indonesia dan Tionghoa, sehingga tercipta budaya

baru yang unik. Kedua adalah menambah khasanah budaya Indonesia yaitu bhineka

tunggal ika.

4. Kesimpulan dan Saran

Kaum Tionghoa telah datang ke Indonesia sejak ribuan tahun yang lalu. Faktor

pendorong imigran Tiongkok datang ke Indonesia tidak hanya disebabkan oleh

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 16: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  16  

perdagangan, tapi juga karena permintaan pihak Belanda untuk meperkerjakan

mereka di berbagai sektor keahlian. Seiring faktor-faktor pendorong tersebut jumlah

imigran Tionghoa di Indonesia meningkat dan memungkinkan mereka untuk

membentuk komunitas tersendiri. Imigran Tiongkok yang datang ke Indonesia

mayoritas berjenis kelamin laki-laki, mengakibatkan mereka menikah dengan

perempuan setempat dan melahirkan beberapa generasi. Anak dari pernikahan

tersebut dikenal sebagai Cina peranakan karena memiliki darah campuran Tionghoa

dan pribumi. Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya akulturasi budaya.

Setiap masyarakat atau komunitas tentu memiliki tradisi masing-masing dalam

melaksanakan upacara pernikahan. Pelaksanaan upacara disesuaikan dengan

pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lain pada masa lampau dan

kebiasaan saat ini. Hal itu tampak di dalam komunitas Tionghoa khususnya di Cina

Benteng, Tangerang. Masih ada di antara mereka yang melaksanakan upacara

perkawinan tradisional Tionghoa yang disebut dengan Cio Tao. Kendati upacara Cio

Tao adalah budaya Tiongkok, akan tetapi pengaruh budaya lokal dapat ditemukan

sebagaimana telah terurai di atas.

Pelaksanaan upacara Cio Tao bertujuan untuk terus menjaga dan meneruskan

keturunan, melanjutkan warisan budaya leluhur, membangun keluarga, meningkatkan

dan merekatkan tari persaudaraan. Selain itu, di setiap rangkaian acara upacara ini

memiliki makna dan doa untuk kedua mempelai. Pelaksanaan upacara Cio Tao

dimulai dengan upacara menjelang pernikahan meliputi: melamar, Sang Jit/antar

contoh baju, tunangan, penetuan hari dan bulan baik. Rangkaian acara selanjutnya

adalah upacara Cio Tao yang terdiri dari: pasang lilin dan hio, Tian Ciu dan Sam Kui

Kiu Khou, Cio Tao, uang pelita, Pai Ciu, makan dua belas mangkok, nasi melek,

sawer, Cin Pang, penghormatan kepada Tuhan dan sembahyang Sam Kai, dan

terakhir adalah Te Pai.

Dewasa ini ada kecendrungan dari masyarakat Tionghoa lebih mementingkan

kepraktisan dari pada upacara adat. Kebanyakan upacara pernikahan pada saat ini

dilaksanakan berdasarkan agama yang dianut.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Cio Tao merupakan salah satu

warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa

alasan. Pertama, rangkaian upacara ini di dalamnya sangat sakral dan syarat akan

makna. Kedua adalah upacara ini sudah jarang dilaksanakan oleh masyarakat RRC

dan Taiwan, sehingga banyak peneliti yang datang ke Indonesia khusus untuk

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 17: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  17  

menyaksikan upacara ini. Selain itu, upacara ini dapat berfungsi untuk menunjukkan

eksistensi dan jati diri masyarakat Tionghoa-Indonesia di masa depan. Saran bagi

pemerintah Indonesia adalah bersama-sama dengan msayrakat Tionghoa-Indonesia

untuk terus melestarikan Cio Tao dengan nilai-nilai yang asli.

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013

Page 18: MK-Susayya Nadhira Sonia.pdf

  18  

DAFTAR PUSTAKA

Kwa, David. 2002.”Cina Benteng di Republik Rakyat Tangerang”. Jakarta: Intisari.

Kwa, David. 2012. “Cio Tao Dalam Pernikahan Tradisional Peranakan. Seminar Sinofest XI Produk Budaya Peranakan Tionghoa sebagai Aset Budaya Bangsa”. Universitas Indonesia, Depok. Purcell, Victor. 1977. The Chinese in Southeast Asia. Kuala Lumpur: Oxford University. Singgih, Marga. 2011. Perkawinan dan Keluarga Tridharma. Jakarta: Yayasan Bakti. Sulhi, Muhammad. 2002.”Merekonstruksi Masa Lalu, Mungkinkah?”. Jakarta: Intisari                

Upacara Cio Tao ..., Susayya Nadhira Sonia, FIB UI, 2013