MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

12
65 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1) Gabriel Fajar S. A MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM PUSARAN POSHUMANISME MYTHOLOGY AND THE EXISTENCE OF INDONESIAN LITERATURE IN THE POSTHUMANISM’S VORTEX Gabriel Fajar S. A. Universitas Sanata Dharma Jalan Affandi, Santren, Kel. Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, DIY [email protected] Abstrak Poshumanisme dalam konteks peradaban manusia yang universal merupakan salah satu pusaran konsekuensi kemajuan zaman, tempat berkembangnya daya nalar manusia. Dalam kerangka ke-Indonesiaan, pusaran tersebut membawa dampaknya tersendiri. Cara budaya dan sastra di Indonesia merespons fenomena poshumanisme menjadi topik kajian utama penelitian ini. Ada beberapa karya yang merupakan bagian dari dunia modern karena diterbitkan sesudah dasawarsa 2000-an yang menjadi objek penelitian. Karya-karya tersebut dikaji berdasarkan dua muatan signifikan, yakni mitologi dan perspektif poshumanismenya. Kajian tekstual dan interpretatif kualitatif merupakan pendekatan analisisnya dan teknik pembacaan teliti (close reading) menjadi model pengkajian datanya. Berdasarkan kajian atau telaah tersebut, karya-karya sastra dalam konteks keIndonesiaan tetap menghadirkan mitos sebagai identitas meskipun konteks ‘masa lalu’ dalam mitos dipahami dalam perspektif baru. Dalam konteks poshumanisme, aspek mitos dalam karya-karya keIndonesiaan tersebut mendapatkan makna yang lebih luas karena di sinilah proses negosiasi nilai-nilai universal terhadap peradaban dunia yang terus berkembang terjadi. Kehadiran mitos dalam karya- karya tersebut semakin menguatkan bahwa mitologi merupakan kekuatan utama dalam mempertahankan ideologi kultural yang terus beradaptasi dengan perkembangan peradaban, termasuk perkembangan yang berupa poshumanisme Kata-kata kunci: mitos, poshumanisme, peradaban, global Abstract In the context of human civilization, which is universal, posthumanism appears as one of the consequent vortexes due to the advanced world, where human brain continually develops. However, in the frame of being Indonesian, posthumanism brings also its side effects owing to the fact that Indonesia is part of the world’s global civilization. Therefore, this research focuses especially on how the Indonesian cultures and literatures provide answers or responses to the phenomenon of posthumanism. Some literary works, represented by several short stories, published in the modern era, i.e. after the year of 2000, are the main objects of data. Those works are discussed through their two entities covering the ideas of mythology and posthumanism. Meanwhile, the approach of analysis applies textual discussion and interpretation, by mainly undergoing the method of close reading against the textual data. As the result, despite the modern era, those works still hold the identity of delivering myths through their own perspective in bringing the concept of “the past” which is the main entity of them. Even in the context of discussing posthumanism, the aspect of myth in the Indonesian literature has its characteristic position because it seemingly happens that there is an attempt of negotiating the universal values of civilization. The existence of myths in the Indonesian literary works may emphasize the idea that mythology is the main power to maintain cultural identity, which continually should adapt to the world’s developments, including also the phenomenon of posthumanism. Key words: myth, posthumanism, civilization, global Naskah Diterima 26 Februari 2020—Direvisi Akhir 26 Juni 2020—Diterima 27 Juni 2020

Transcript of MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

Page 1: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

652020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Gabriel Fajar S. A

MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM PUSARAN POSHUMANISME

MYTHOLOGY AND THE EXISTENCE OF INDONESIAN LITERATUREIN THE POSTHUMANISM’S VORTEX

Gabriel Fajar S. A.Universitas Sanata Dharma

Jalan Affandi, Santren, Kel. Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, [email protected]

AbstrakPoshumanisme dalam konteks peradaban manusia yang universal merupakan salah satu pusaran konsekuensi kemajuan zaman, tempat berkembangnya daya nalar manusia. Dalam kerangka ke-Indonesiaan, pusaran tersebut membawa dampaknya tersendiri. Cara budaya dan sastra di Indonesia merespons fenomena poshumanisme menjadi topik kajian utama penelitian ini. Ada beberapa karya yang merupakan bagian dari dunia modern karena diterbitkan sesudah dasawarsa 2000-an yang menjadi objek penelitian. Karya-karya tersebut dikaji berdasarkan dua muatan signifikan, yakni mitologi dan perspektif poshumanismenya. Kajian tekstual dan interpretatif kualitatif merupakan pendekatan analisisnya dan teknik pembacaan teliti (close reading) menjadi model pengkajian datanya. Berdasarkan kajian atau telaah tersebut, karya-karya sastra dalam konteks keIndonesiaan tetap menghadirkan mitos sebagai identitas meskipun konteks ‘masa lalu’ dalam mitos dipahami dalam perspektif baru. Dalam konteks poshumanisme, aspek mitos dalam karya-karya keIndonesiaan tersebut mendapatkan makna yang lebih luas karena di sinilah proses negosiasi nilai-nilai universal terhadap peradaban dunia yang terus berkembang terjadi. Kehadiran mitos dalam karya-karya tersebut semakin menguatkan bahwa mitologi merupakan kekuatan utama dalam mempertahankan ideologi kultural yang terus beradaptasi dengan perkembangan peradaban, termasuk perkembangan yang berupa poshumanismeKata-kata kunci: mitos, poshumanisme, peradaban, global

AbstractIn the context of human civilization, which is universal, posthumanism appears as one of the consequent vortexes due to the advanced world, where human brain continually develops. However, in the frame of being Indonesian, posthumanism brings also its side effects owing to the fact that Indonesia is part of the world’s global civilization. Therefore, this research focuses especially on how the Indonesian cultures and literatures provide answers or responses to the phenomenon of posthumanism. Some literary works, represented by several short stories, published in the modern era, i.e. after the year of 2000, are the main objects of data. Those works are discussed through their two entities covering the ideas of mythology and posthumanism. Meanwhile, the approach of analysis applies textual discussion and interpretation, by mainly undergoing the method of close reading against the textual data. As the result, despite the modern era, those works still hold the identity of delivering myths through their own perspective in bringing the concept of “the past” which is the main entity of them. Even in the context of discussing posthumanism, the aspect of myth in the Indonesian literature has its characteristic position because it seemingly happens that there is an attempt of negotiating the universal values of civilization. The existence of myths in the Indonesian literary works may emphasize the idea that mythology is the main power to maintain cultural identity, which continually should adapt to the world’s developments, including also the phenomenon of posthumanism.Key words: myth, posthumanism, civilization, global

Naskah Diterima 26 Februari 2020—Direvisi Akhir 26 Juni 2020—Diterima 27 Juni 2020

Page 2: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

66 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Mitologi ...

1. PENDAHULUAN Perkembangan peradaban dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia

memberi sumbangan yang luar biasa bagi hadirnya berbagai kemudahan atau fasilitas yang kemudian menempatkan manusia sebagai mahkluk yang paling luar biasa di semesta ini. Fakta ini membuktikan betapa perkembangan otak manusia memang berbanding lurus dengan perkembangan peradaban itu sendiri. Bahkan, ini pun sebenarnya menjadi pola pendekatan dari perspektif yang lain tentang makna missing link yang pernah dikemukakan Charles Darwin berkaitan dengan sejarah evolusi manusia. Di sini makna ‘missing link’ kemudian menekankan bahwa memang antara manusia dan primata, yang merepresentasikan eksistensi binatang, tidak ada kaitannya sama sekali. Selain itu, hal tersebut mematahkan asumsi bahwa menurut Lewis Henry Morgan, yang dikutip oleh Kottak (2015), manusia sebelum mencapai tahap beradab, yakni memiliki civilization, pun melampaui era savagery yang berlanjut ke barbarism.

Mungkin praktek-praktek kultural sebagian masyarakat mirip dengan yang terjadi dalam kedua era tersebut, tetapi era beradab, atau civilized, yang hanya bisa digapai oleh manusia karena manusia memiliki otak, yang terus berkembang dan dikembangkan. Demikianlah, karena kemampuan perkembangan otak, tahap-tahap peradaban manusia semakin mencengangkan. Jika dahulu manusia tidak menduga bisa ‘terbang’, bisa bertemu tanpa tatap muka, bisa menulis tanpa pena, dan bahkan bisa bertransaksi tanpa ‘uang’, kini semua ternyata sungguh nyata dalam peradaban ini. Peradaban terkini, dan tentu masih akan terus berkembang, ialah hadirnya ras baru di kehidupan manusia, yakni ras robot. Dunia keilmuan dan filsafat menyebutnya sebagai era poshumanisme.

Sebagai bagian dari peradaban dunia, Indonesia tentu memerankan peranan yang penting, dalam konteks peradaban regional dan internasional, yakni sebagai agent of change, entah sebagai objek maupuan subjek. Kajian terhadap budaya, bahasa dan sastra Austronesia dan Melanesia, setidaknya menempatkan Indonesia sebagai salah satu bagian di dalamnya. Yang menarik dari fenomena tentang Indonesia, atau lebih tepatnya ke-Indonesia-an, ialah bahwa Indonesia memiliki karakteristik yang sangat kaya dan beragam. Dari sebaran wilayah, Indonesia terdiri atas ribuan pulau, yakni sebanyak 16.056 pulau (https://databoks.katadata. co.id/datapublish/2019/06/12/jumlah-pulau-di-indonesia-berkurang-menjadi-16-ribu). Dari sebaran etnik, bahasa, religi, dan lain-lainnya, Indonesia menjadi protret keberagaman yang mengagumkan. Fenomena ini tentu menjadi bahan kajian yang menarik, terlebih dalam perspektif kajian peradaban lokal dan global, yang senantiasa merumuskan berbagai permasalahannya dalam konteks identitas.

Kemunculan paradigma poshumanisme, yang justru menitikberatkan eksistensi manusia sebagai unsur utama dalam peradaban, dan tidak membagi manusia-manusia berdasarkan identitas lokal maupun global, merupakan wacana menarik bagi pemikiran terhadap rekonstruksi identitas ke-Indonesia-an. Wacana dalam hal ini bisa dimaknai sebagai resistensi terhadap upaya pengkotak-kotakan manusia berdasarkan ras, etnit, bahasa, agama, dan lain sebagainya. Poshumanisme yang menampilkan ‘robot’ sebagai ras manusia baru seolah-olah menjawab bahwa generasi manusia baru memiliki karakteristinya memang dari kemampuan otak dalam meningkatkan kualitas peradabannya. Dengan demikian, mau tidak mau identitas kultural, yang senantiasa menjadi pokok permasalahan dalam konflik lokal dan global, harus terus berproses bersama dengan kehadiran paradigma-paradigma baru dalam peradaban

Page 3: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

672020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Gabriel Fajar S. A

kemanusiaan ini. Indonesia, dalam hal ini, kemudian memiliki tantangan dan sekaligus tawaran dengan hadirnya poshumanisme, yang sangat terbantu penyebarannya dalam sistem globalisasi, untuk mampu menjaga keseimbangan konflik-konfliks yang terjadi. Terlebih dalam konteks ini rekonstruksi identitas yang terus dibangun kini ada dalam pusaran paradigma terbaru tersebut.

Kekayaan budaya, bahasa, dan sastra dalam peradaban Indonesia merupakan topik ‘aneh’ mengingat peradaban Indonesia merupakan kreolitas dari berbagai jenis peradaban yang ada dalam konteks keIndonesiaan. Lahirnya Indonesia secara formal baru terjadi pada 17 Agustus 1945, tetapi eksistensi berbagai peradaban dalam lingkupnya sudah ada ratusan tahun sebelumnya. Terkadang, peristilahan yang dipakai oleh buku-buku sejarah, yang menyebutkan bahwa Indonesia pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda, sering menggelitik dan mengganggu para pembacanya, karena fakta sejarah juga menyebutkan bahwa sebelum kemerdekaan, negara Indonesia belum ada kecuali sebaran suku-suku dan kerajaan-kerajaan. Namun demikian, semangat kebhinekaan yang ada telah mengubah pola matematis ini sehingga penerapan istilah ‘Indonesia’ pun bisa berlaku surut. Dengan kata lain, diskusi tentang budaya,, bahasa, dan sastra Indonesia akhirnya bukan tentang penyamaan, yakni upaya membuat sama, dalam ranah persepsi antara satu budaya dengan budaya yang lain, antara satu bahasa dengan bahasa yang lain, dan juga antara satu sastra dengan sastra lainnya yang ada dalam lingkup ke-Indonesia-an, melainkan bahwa setiap budaya, setiap bahasa, dan setiap sastra adalah representasi dari Indonesia itu sendiri.

Selanjutnya, sebenarnya ada permasalahan esensial bagi eksistensi identitas kultural Indonesia, khususnya dalam perspektif bahasa dan sastra. Di satu sisi, secara internal, ada kesulitan mengangkat ‘the one shared culture’ (Stuart Hall, 223), yakni identitas kultural yang berasal dari nenek moyang yang sama, karena dalam hal ini budaya Indonesia tidak dapat memenuhi syaratnya, mengingat beragamnya nenek moyang dari berbagai etnik budaya yang ada di Indonesia. Di sisi lain, perkembangan peradaban dunia, yang mengglobal, telah menghadirkan paradigmanya yang baru dalam perspektif poshumanisme, dan ini menjadi permasalahan yang sekaligus dihadapi identitas kultural ke-Indonesia-an. Bagaimana bahasa-bahasa dan, terlebih khususnya, sastra-sastra di Indonesia mencoba merespons fenomena tersebut di atas merupakan pokok kajian yang hendak diulas dalam artikel ini.

Karakteristik sastra-sastra di Indonesia pada dasarnya terletak pada elemen atau unsur mitos, yang menjadi soko guru atau pilar dalam membangun struktur ceritanya. Artinya, setiap karya dalam konstelasi Sastra Indonesia senantiasa menempatkan mitos sebagai acuan dalam mengangkat berbagai masalah humanitas dari teks, dari identitas kultural apa pun berasal. Oleh karena, berdasarkan pemahaman ini, artikel ini berupaya memaparkan sejauh mana kekuatan mitos dalam mitologi karya dalam lingkup ke-Indonesia-an, atau lebih dikenal dengan istilah, Sastra Indonesia, dalam berproses dengan dirinya sendiri dan juga dengan pengaruh dari globalisasi yang berwujud poshumanisme.

Kajian ini secara khusus akan mengobservasi dan memaparkan sejauh mana karya-karya sastra dalam lingkup keIndonesiaantetap memegang dan menjadikan mitos sebagai elemen utama penceritaan. Kehadiran mitos dalam karya-karya tersebut akan semakin menguatkan bahwa mitologi merupakan kekuatan utama dalam mempertahankan ideologi kultural, yang terus beradaptasi dengan perkembangan peradaban itu sendiri, termasuk perkembangan yang berupa poshumanisme.

Page 4: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

68 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Mitologi ...

Objek kajian yang dibahas di sini menghadirkan beberapa cerpen, yang di satu sisi merepresentasikan konstelasi karya sastra dalam konteks ke-Indonesiaa-an dan di sisi lain mengusung paradigma poshumanisme yang sedang gencar hadir dalam dunia kesastraan juga. Cerpen-cerpen tersebut merupakan karya-karya yang diterbitkan dalam beberapa harian, seperti Kompas, yang adalah media nasional, dan Kedaulatan Rakyat, media lokal di Yogyakarta. Adapun rentang waktu penerbitan media tersebut dibatasi sesudah tahun 2000, tepatnya 2011–2019, yang merupakan era saat poshumanisme sudah sangat kuat dan mengakar dalam berbagai aspek peradaban, termasuk peradaban keIndonesiaan.

Ada empat cerpen yang dibahas dalam makalah, dengan rincian dua yang diterbitkan harian nasional Kompas pada 2019 dan dua lagi diterbitkan harial lokal Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) pada 2011.

1) Celurit di Atas Kuburan karya Zainul Muttaqin yang diterbitkan Kompas pada 13 Oktober 2019 yang bercerita tentang tradisi carok yang dianut masyarakat demi untuk mengangkat nilai dignity, atau wibawa, dalam hal ini terepresentasi dalam diri Brodin dan Marlena, istrinya, termasuk juga Durakkap, sang kompetitor. Namun demikian, tradisi ini ditentang oleh generasi selanjutnya, Tarebung, anak Brodin, dan Taneyan, anak Durakkap, dan kedua orang ini berusaha menghentikan mitos wibawa dan carok lewat cinta mereka berdua.

2) Jemput Aku di Bawah Pohon Gatep karya Gde Aryantha Soethama yang diterbitkan Kompas pada 29 September 2019. Latar belakang ceritanya dari tradisi Bali yang melarang perkawinan antar-kasta, namun kehadiran cinta, yang mampu menembus segala batas, hadir menjadi penentang tradisi ini. Pohon gayam yang bermakna keteguhan dan kedamaian bisa menjadi representasi dari dua pihak yang bertentangan tersebut. Keteguhan tradisi, yang melarang perkawinan antar-kasta, menghadirkan kedamaian yang mengalaminya, tetapi juga keteguhan terhadap hadirnya cinta telah menciptakan kedamaian bagi pelakunya meskipun harus melewati perlawanan. Perlawanan teguh itulah kunci yang dapat menciptakan bentuk kedamaian lain yang dipaksakan.

3) Ki Dhalang karya Sri Wintala Achmad yang diterbitkan koran lokal di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat, pada 8 Mei 2011. Cerita ini diawali dari kegelisahan sang dalang yang merasakan kekosongan dalam kedamaian yang berhasil dicapai setelah berakhirnya perang Baratayudha. Oleh karena itu, sang dalang berusaha menerobos tradisi ini dengan menciptakan dinamika kehidupan lewat kekacauan agar bisa terhindar dari kekosongan, dan ini ia lakukan dengan menerobos pakem cerita perwayangan. Dalam penerobosan pakem ini ada tokoh Aswatama yang melakukan banyak kekejian karena memperkosa Banowati dan bahkan juga berhasil membunuh para tokoh Pandawa. Akhirnya sang dalang justru dihakimi oleh penonton sehingga ia justru menghadapi kesendiriannya dalam penderitaan akibat luka parah yang dialaminya.

4) Kebun Surga karya Sungging Raga yang juga diambil dari Kedaulatan Rakyat, tepatnya pada edisi 4 September 2011. Cerpen ini mengungkapkan cerita tentang orang kaya yang memiliki banyak kebun tetapi ia masih menginginkan kebun yang sempurna, yakni kebun surge. Segala usaha dilakukannya untuk mendapatkan kebun itu karena ia mendapatkan penampakan atau penglihatan dalam mimpinya kalau kebun itu sungguh ada. Setelah ke berbagai pelosok daerah ia pun kecapaian dan dalam mimpinya ia telah membuat rusak dan porak poranda kebun surge tersebut. Ia pun kemudian pulang dengan kekecewaan

Page 5: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

692020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Gabriel Fajar S. A

karena tidak mampu meraih atau mendapatkan kebun surge tersebut. Karya-karya tersebut di atas akan dikaji berdasarkan dua muatan signifikan,

yakni mitologi dan perspektif poshumanismenya. Untuk membongkar kedua muatan tersebut, model kajian tekstual dan interpretatif kualitatif merupakan pendekatan analisisnya. Teori-teori yang berkenaan dengan pemahaman terhadap konsep-konsep mitologi dan poshumanisme menjadi acuan penting untuk proses analisis terhadap objek kajian.

2. KAJIAN TEORIAda 2 konsep penting yang merupakan acuan teoretis untuk membahas dan

menjawab permasalahan yang dikemukakan di awal dalam artikel ini. Kedua konsep tersebut tentang mitos atau mitologi dan konsep tentang poshumanisme. Dalam konteks ini mitos, yang akan masuk dalam pembahasan konsep mitologi, merupakan identitas lokal, yang di satu sisi menegaskan kehadiran aspek ‘masa lalu sebagai fondasi dalam perspektif isi, dan yang di sisi lain mitos menjadi penanda perspektif bentuk suatu karya sastra karena eksistensi mitos menjadi struktur bagi terwujudnya suatu cerita, yang merupakan esensi utama suatu karya sastra. Sementara itu, konsep poshumanisme menegaskan aspek lain, yakni hadirnya suatu pola atau paradigma baru dalam peradaban yang sedang dijalani manusia di era kini. Dengan demikian, kedua konsep tersebut di atas, mitos dan poshumanisme, akhirnya menjadi dua kutub yang menciptakan suatu ruang di tengah-tengahnya, yang disebut arena, dalam istilah Pierre Bourdieu (Derek Robbins, 2000). Itulah hadirnya eksistensi karya keIndonesiaan di era globalisasi saat ini.

Pengertian mitos pada umumnya dipahami sebagai upaya pemahaman manusia atau peradaban terhadap sesuatu di masa lampau, yang bagi dunia sekarang, dianggap tidak memiliki objek atau eksistensinya, karena ketidakmampuan manusia waktu itu merekamnya dalam bentuk dokumentasi. Aji (2007: 230) menyatakan,

Amstrong (2005) noted it as a faculty to think and to conceive something which is not present and has no objective existence, and put emphasis on the fact myth was in tight accordance with the inability in recording the events during the prehistory.

Intinya, mitos menjadi penanda kehadiran masa lalu sehingga eksistensi mitos pada dasarnya lebih dilihat dari fungsi kepentingan dalam menghadirkan fondasi suatu peradaban yang sudah berasal dari masa lalu. Bagi Powell (2002: 1—2) mitos lebih dimaknai sebagai ‘untrue story’ karena yang lebih dipentingkan di sini ialah hadirnya suatu cerita atau narasi, yang dalam konteks ini tentu sebagai bukti tentang hadirnya suatu peradaban manusia.

Namun demikian, Laurence Coupe (2009) justru menekankan bahwa mitos lebih sering diketemukan dalam teks-teks sastra dan budaya, dan bahkan malahan disebut dengan istilah ideologi dari teks. Secara eksplisit ia menyatakan,

In literary and cultural studies ‘myth’ is frequently used as synonymous with ‘ideology’, as in ‘the myth of progress’ or ‘the myth of the free individual (hlm. 1).

Dalam hal ini sebenarnya ia mau menegaskan bahwa konsep mitos dapat dipahami sebagai ideologi yang ada dalam teks-teks budaya dan sastra. Ideologi ini justru merujuk pada eksistensi tradisi yang merupakan media atau wahana pembawa ideologinya masing-masing, entah karena itu dilatarbelakangi oleh tradisi-tradisi lokalnya.

Page 6: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

70 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Mitologi ...

Sementara itu, pemahaman terhadap konsep poshumanisme bisa dirujuk dari lahirnya terminologi humanism itu sendiri, dan ini setidaknya membawa kita pada sejarah Eropa ketika terjadi perubahan era yang disebut masa renaisans atau zaman pencerahan, yang membawa paradigma pemikiran bahwa manusia harus kembali menjadi pusat dari peradaban, sehingga studi-studi dengan objek-objek klasik merupakan media utamanya, demikian menurut penuturan Robert Gurdin (https://www.britannica. com /topic/humanism, diunduh 10 Oktober 2019). Aliran ini mengembalikan seluruh pemikiran peradaban yang menempatkan manusia sebagai pusat, atau dengan kata lain hmanisme menonjolkan bahwa manusia adalah elemen utama dalam peradaban, entah itu tentang nilai-nilai maupun sasarannya.

Ketika terjadi kelahiran paradigma pemikiran baru tentang posmodernisme, era peradaban manusia pun juga mengalami pergeseran makna dengan lahirnya berbagai macam aliran atau ‘–isme’ baru, yang menonjolkan prefiksasi ‘post’ seperti misalnya poskolonial, post truth, dan juga poshumanisme. Secara harafiah prefiks tersebut mengindikasikan bahwa era peradaban sebelumnya, yang tanpa prefiks ‘post’, sudah selesai dan digantikan oleh yang baru, karena post pada umumnya dimaknai dengan ‘sesudah’. Namun demikian, ternyata makna prefiks itu sekadar menunjukkan terjadinya fenomena baru, atau lebih tepatnya menghadirkan perspektif baru tanpa menegasikan yang lama. Cudworth and Hobden (2018) mengungkapkan,

“We use posthumanism not as a total rejection of humanism, but as a way of indicating our dissent from certain elements of humanism” (8)

Artinya, poshumanisme hadir sebagai model lain yang berbeda dari sebelumnya dalam memahami humanisme.

Ada beberapa unsur dalam perspektif humanisme konvensional yang dipahami oleh poshumanisme. Biasanya contoh konkrit tentang fenomena semacam ini ialah kelahiran ras baru dari manusia, yakni robot. Konsep humanisme belum dapat mengakomodasi hal ini, karena robot adalah barang mati, meskipun berwujud atau berbentuk manusia, dan juga robot merupakan produk teknologi. Oleh karena itu, era baru ini memiliki nama poshumanisme, yakni era ketika humanisme harus dimaknai dan diterjemahkan juga dengan perspektif baru.

Cary Wolfe (2010) juga mengung-kapkan gagasannya,

“……… when we talk about posthumanism, we are not just talking about a thematics of the decentering of the human in relation to either evolutionary, ecological, or technological coordinates (though that is where the conversation usually begins and, all too often, ends); rather, I will insist that we are also talking about how thinking confronts that thematics, what thought has to become in the face of those challenges.

Poshumanisme secara langsung mengedepankan peranan teknologi dalam kehidupan peradaban yang digapai, dan bahkan penonjolan terhadap kehadiran keberhasilan dalam menciptakan robot, yang merupakan gambaran tentang manusia itu sendiri, seolah-olah melebihi kapasitas dan kapabilitas manusia. Namun, di balik ini secara tidak langsung esensi humanisme hadir di sini, yakni manusia tetap hadir sebagai pusat, karena robot mampu bekerja hanya karena ada manusia di belakangnya. Maka, kembali ke konsep humanisme sebelumnya, pemahaman poshumanisme akhirnya harus dimaknai bahwa manusia membutuhkan ‘sarana’ lain untuk memenuhi kebutuhannya, dan ini justru menunjukkan elemen kelemahan pada manusia yang tidak mungkin melakukan segala hal sendiri.

Page 7: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

712020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Gabriel Fajar S. A

3. PEMBAHASAN3.1 Celurit di Atas Kuburan

Latar belakang sosial cerita ini adalah tradisi lokal di Madura, yakni kawasan yang meskipun secara geografis berada dalam lingkup Propinsi Jawa Timur, Madura memiliki kekhasan tradisinya sendiri. Salah satunya ialah carok, yaitu sistem menyelesaikan masalah lewat duel sampai mati dengan bersenjatakan celurit, demi harga diri atau dignity. Hal ini pula yang menjadi permasalahan utama yang diangkat oleh Zainul Muttaqin dalam cerita pendeknya tersebut.

Eksistensi carok dan celurit merupakan representasi kehadiran mitos atau tradisi yang dianut oleh masyarakat setempat secara turun temurun. Bagi masyarakat setempat, wibawa dan harga diri adalah nilai kehidupan yang harus dijunjung tinggi, bahkan melebihi ketakutan akan kematian. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Brodin, sang carok, kepada anaknya, “oreng lake’ mate acarok, oreng bini’ mate arembi” (seorang lelaki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan). Lebih ditekankan lagi olehnya bahwa ia harus melakukan carok, meskipun anaknya sendiri berusaha mencegahnya, karena semua demi harga diri. Ia merasa bahwa harga dirinya, sebagai laki-laki, sudah dilecehkan oleh orang lain, sehingga ia pun menantang carok.

Hal ini prinsip atau ideologi yang juga memang milik setiap laki-laki Madura di sana.

Semua lelaki di kampung itu memiliki pola pikir yang sama seperti Bording apabila berkaitan dengan martabat dan harga diri.

Laki-laki lain, yang ditantang carok oleh Brodin, ialah Durakkap. Meskipun ia bukan seorang bajing, yaitu jago carok, Durakkap menerima tantangan Brodin sebenarnya juga dilandasi alasan demi harga diri sebagai seorang laki-laki.

Awalnya Durakkap menolak, tapi lama-kelamaan mulut Brodin membuat dadanya berlubang. Durakkap diminta memotong kelaminnya jika menolak tantangan Brodin.

Eksistensi tradisi ini menitikberatkan unsur humanisme yang sangat kuat, karena di sana nilai harga diri, wibawa, atau dignity sebagai seorang manusia dijunjung tinggi. Ideologi humanisme yang menjadikan manusia sebagai acuan utama merupakan kekuatan paradigma ini, dan mitoslah yang menjadikannya abadi atau langgeng. Mitos atau tradisi, yang berakal dari identitas masa lampau, menjadi elemen utama dalam membangun cerita Celurit di Atas Kuburan ini.

Namun demikian, mitos carok yang diangkat lewat cerita tersebut mendapat resistensi yang cukup kuat juga dengan kehadiran perspektif poshumanisme yang hadir di sana. Jika konsep poshumanisme disederhanakan sebagai upaya mengangkat peran atau kekuatan otak manusia untuk mendukung peningkatan dan perkembangan peradaban, Celurit di Atas Kuburan memaparkannya lewat kehadiran generasi baru, yang terepresentasi dalam diri Tarebung, anak Brodin, dan Taneyan, anak dari Durakkap. Tarebung mencoba mencegah ayahnya, Brodin, yang hendak menyelesaikan masalahnya dengan carok. Di samping alasan sang ayah yang kurang masuk akal, menurut Tarebung masih ada cara lain untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi ayahnya.

Maafkan saja Durakkap. Ia tidak bermaksud mengganggu “embu’.” Tarebung mencoba membujuk Brodin agar mengurungkan niatnya……. “Memaafkan jauh lebih mulia ketimbang harus carok.” Tarebung mengucapkan- nya lirih.

Page 8: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

72 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Mitologi ...

Nampak di sana upaya generasi baru untuk melawan tradisi dengan cara memasukkan pola pikir baru berdasarkan rasionalitas. Kekuatan rasio atau akal yang coba dibenturkan melawan kekuatan emosi merupakan karakteristik kehadiran poshumanisme di sini karena manusia disadarkan pada kenyataan bahwa berbagai permasalahan harus diselesaikan dengan berpikir secara rasional. Rasionalitas yang dikemukan menjadi sangat jelas dalam cerita tersebut, mengingat alasan carok yang dilakukan Brodin melawan Durakkap berawal dari suatu kasus atau masalah yang nampak sepele karena ini hanya soal Durakkap yang mengantar pulang Marlena, istri Brodin, yang kebingungan mencari ojek. Tarebung meyakinkan ayahnya bahwa apa yang dilakukan Durakkap bukan tindakan penghinaan terhadap wibawa kelaki-lakian Brodin.

Hal lain yang juga Tarebung, sebagai generasi lanjutan, dalam melawan mitos carok ialah dengan cara menghentikan tradisi ini yang dianggap tidak rasional lewat menghapus dendam dan merasionalkan pemahaman harga diri atau wibawa.

“Sekarang giliranmu carok. Balas kematian eppa’-mu,” ujar Marlena pada Tarebung sambil berurai air mata….“Andai aku memiliki buah zakar sebesar cabai rawit saja, aku yang akan carok!”

Itu kata-kata yang terucap dari Marlena, yang juga merupakan bagian dari mitos dan yang merasa memiliki tanggung jawab terhadap dignity keluarganya. Namun demikian, Tarebung menolak keinginan ibunya dan ia menyelesaikan masalah tersebut dengan “membuang” celurit.

Tarebung membawa celurit itu ke kuburan eppa’-nya. Tarebung mengubur celurit itu di atas pusara Brodin.

Yang dilakukan Tarebung seolah-olah menegaskan bahwa harus ada ras baru yang lahir di kalangan ras manusia yang sudah ada, dan ras baru ini memiliki kelebihannya tersendiri karena mampu mengatasi permasalahan dalam konteks peradaban yang lebih berkembang, sebagaimana perubahan atau perkembangan peradaban yang barbarik ke peradaban yang lebih manusiawi, atau cilivilized. “Cintaku padamu yang akan membuat carok berhenti di sini saja.”

3.2 Jemput Aku di Bawah Pohon GatepMirip dengan sebelumnya, cerpen karya Gde Aryantha Soethama ini juga

memiliki latar belakang tradisi lokal, dan tradisi Bali merupakan media untuk mengungkapkan jalinan peristiwa yang kemudian menciptakan cerita yang enak dan penting untuk dinikmati dan dikaji. Sebagai unsur utama dalam mitos, tradisi Bali yang ditonjolkan dalam cerita ini ialah tentang aturan perkawinan lintas kasta, yang merupakan identitas kelas bagi masyarakat pemeluknya.

Cerita diawali dengan hadirnya asmara antara dua orang, Ningrum dan Saskara, yang memiliki perbedaan kasta. Ningrum dari kasta tertinggi, Brahmana, sedangkan Saskara dari kasta yang lebih inferior. Ningrum sendiri merupakan anak dari buah perlawanan terhadap tradisi, karena ayahnya menikahi wanita dari kelas lebih rendah. Kehadiran sosok Ningrum dan Saskara merepresentasikan relasi yang tidak diijinkan oleh tradisi karena mereka berbeda kasta.

Para uleman sangat yakin, jika Ningrum dinikahi laki-laki biasa, itu sebuah pencemaran hebat yang bisa melahirkan kutukan turun-temurun bagi keluarga besar, menguras kehormatan, meluntur-kan harga diri, dan merendahkan martabat

Page 9: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

732020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Gabriel Fajar S. A

Konsekuensi yang bakal terjadi ialah berupa ‘pengusiran’ dari kasta dan berpindah ke kasta yang lebih inferior.

Elemen mitos, sebagai represent-tasi masa lalu dan tradisi yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat begitu menonjol sehingga segala gerak dan tingkah laku Ningrum dan Saskara selalu ada dalam keterbatasannya. Bahkan, ketika Ningrung hendak berdoa memohon kekuatan bagi perjalanan hidupnya ia harus melakukannya dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh orang lain.

Sementara itu, aspek poshumanisme dalam cerita ini hadir secara implisit, sebagai acuan ideologisnya, yakni suatu model loncatan atau perubahan paradigma yang terjadi pada orang-orang karena ingin menghadirkan hal baru dalam kehidupan tradisinya. Mitos yang begitu kuat ternyata mendapat perlawanan.

“Apa yang sebaiknya kami lakukan?”“Lari…. Kawin lari saja. Sebagai orangtua yang merestui, kami akan berpurar-pura tidak tahu.”

Orang tua Ningrum, meski sudah menerima ganjaran akibat perlawanannya terhadap tradisi, tetap memiliki keyakinan bahwa kebahagiaan seseorang bisa melampaui kebahagiaan yang diciptakan tradisi. Ada ideologi perlawanan sebagai tawaran bagi mereka yang merasa terbatas geraknya oleh kekakuan tradisi.

... tapi Saskara teguh membujuk dan merayu. Rayuan yang tidak hanya meminta atau menuntut, tapi juga membangkitkan keberanian dan menyadarkan, masa depan itu ditentukan oleh pemiliknnya, bukan oleh orang lain.

Jadi, jika mitos yang dihadirkan merupakan representasi kekuatan nilai-nilai humanism, perlawanan terhadap kekuatan tradisi, yang bagai eksistensi ‘pohon gatep’, yang begitu kuat dan kokoh, pun hadir sebagai kekuatan lain yang memberi nilai tambah pada humanisme yang sudah ada, yakni kemerdekaan individual untuk mendapatkan kebahagiaannya. Terobosan merupakan representasi poshumanisme dalam melengkapi kelemahan yang ada pada humanisme.

3.3. Ki DhalangKonteks cerita ada dalam budaya Jawa, terutama berkenaan dengan tradisi

pewayangan. Dalam tradisi ini, peranan seorang dalang menjadi sangat penting dan dominan, dan bahkan ada pemahaman bahwa dalang adalah seorang yang maha tahu dan maha bisa sehingga apa pun yang dilakukan bakal menjadi tontonan bagi para masyarakat. Para pengikut dalang juga akan mengikuti dan mendukung segala yang dilakukan sang pemimpin, yakni si dalang. Pendek kata, kehadiran seorang dalang dalam sebuah pementasan pewayangan menjadi faktor yang paling utama. Di lain pihak, dunia pewayangan di kalangan masyarakat Jawa sudah lazim, karena mereka sudah memiliki tradisi ini sejak zaman leluhur mereka. Artinya, masyarakat pun juga paham terhadap lakon-lakon yang dipentaskan oleh sang dalang. Sebagai suatu tradisi, pementasan wayang pada dasarnya bukanlah sekadar pengulangan cerita, yang sudah sangat dipahami oleh masyarakat, tetapi hadir sebagai ritualisme rohani sehingga meskipun masyarakat sudah paham jalan cerita, setiap pementasan wayang senantiasa mendapat tempat yang istimewa dalam kehidupan masyarakat, yakni dengan kehadiran penonton.

Dengan latar belakang semacam itulah, cerita Ki Dhalang menghadirkan suatu alur cerita yang khas. Kehadiran mitos sangat jelas dalam arena konflik yang dihadirkan, yaitu suatu pementasan wayang. Bahkan, cerita atau lakon Baratayuda merupakan

Page 10: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

74 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Mitologi ...

penanda penting dalam cerita ini, karena ini merupakan cerita yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat. Dengan demikian cerita ini memang menghadirkan kekuatan mitos dalam masyarakat, yang berupa pementasan wayang dalam lakon Baratayuda. Pembaca diajak memahami bahwa antara sang dalang, yang memainkan wayang, dan penonton, yang menikmati pementasan, sudah memiliki relasi yang dibatasi oleh mitos tersebut. Penonton sudah paham alur cerita dan peristiwa-peristiwa dalam lakon Baratayuda, yaitu tentang cerita peperangan dua keluarga, Pandawa dan Astina. Dengan demikian, masa lalu yang hadir dalam mitos ialah tentang hadirnya tradisi pementasan pewayangan, dan terlebih lagi ini dilengkapi dengan lakon yang diambil, yakni Baratayuda.

Perspektif poshumanisme kemudian hadir dalam konteks ceritanya, karena ternyata sang dalang “menginginkan” sesuatu yang lain dari biasanya. Ia menciptakan cerita dalam pandangannya sendiri dengan alasan ia memiliki kekuasaan untuk itu.

“Tampaknya Ki Dhalang sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting. Kalau boleh tahu, apa yang tengah sampeyan pikirkan?”“Tugasmu hanya melayaniku. Kumpulkan seluruh wayang yang telah gugur di Padang Kurusetra di halaman Gedung Serbaguna.”Tanpa sepatah kata, Ki Bancak melaksanakan perintah Ki Dhalang.

Pada perjalanan cerita selanjutnya ternyata sang dalang menyuguhkan cerita yang sama sekali baru, atau keluar dari pakem tradisional penceritaan. Di sana ada peristiwa pemerkosaan terhadap Banowati yang dilakukan Aswatama, peristiwa pembunuhan Parikesit yang seharusnya menjadi raja, dan kisah-kisah lain yang membuat penonton marah.

Melihat adegan itu seluruh penonton marah besar. Mencaci-maki Ki Dhalang, “Dhalang edan! Dhalang gendheng. Monyet!”

….

Sontak murka penonton seperti amuh bah yang tidak mampu terbendung lagi. Mereka melemparkan batu, bungkusan plastic air kencing dan punting rokok berapi ke arah panggung.

Pada akhir cerita mengisahkan tragedi yang dialami si dalang, yakni kematian. Ia akhirnya menusukkan keris ke ulu hatinya sambil mengatakan bahwa yang dilakukannya adalah demi kematian sempurna. Dalam konteks ini poshumanisme hadir sebagai upaya melepaskan dari tradisi. Ketidakmungkinan yang menjadi milik tradisi, seperti misalnya kemenangan Aswatama terhadap keluarga Pandawa dan juga kemarahan penonton terhadap ‘sang maha tahu dan bisa’, ternyata bisa dihadirkan. Perspektif baru bahwa di luar tradisi, atau mitos, masih ada sesuatu yang lain merupakan pesan khusus yang hendak disampaikan teks ini.

3.4 Kebun SurgaCerita ini secara tidak langsung memiliki target pembaca yang memiliki latar

belakang religius, karena terminologi ‘surga’ sudah barang tentu ada dalam kasanah kelompok orang beragama. Artinya, pemahaman makna terhadap ‘kebun surga’ adalah suatu kebun yang sangat ideal karena surga adalah tempat yang paling ideal dan sempurna yang diinginkan oleh orang-orang religious atau beragama. Tanpa menyebut secara eksplisit tentang entitas keagamaan, cerpen tulisan Sungging Raga ini sudah membatasi sendiri pembacanya. Dengan demikian, latar belakang sosial, atau nilai-nilai humanisme yang menonjol ialah tentang religiositas atau konsep

Page 11: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

752020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Gabriel Fajar S. A

ideal manusia beragama tentang tempat akhir. Mitos sebagai latar belakang cerita menjadi sangat jelas, yakni kehidupan beragama yang terus menempatkan harapan pada kehidupan yang ada di ‘surga’. Upaya yang dilakukan si pemilik kebun untuk mendapatkan kebun surga adalah ‘tradisi’ atau masa lalu yang terus dihidupi oleh masyarakat yang beragama.

Tiga hari kemudian, Saudagar beserta duapuluh pengawal dan pelayannya meninnggalkan rumah yang selayak istana itu. Mereka mengikuti arah yang ditunjukkan si ahli tafsir mimpi, bahwa kebun itu ada di bagian timur.

Sebagaimana dalam ajaran agama, tempat hadirnya ‘surga’ yang adalah tempat paling sempurna, orang-orang merelakan apa yang sudah dimiliki untuk mendapatkan suatu ‘impian’ yang nilainya jauh lebih tinggi dan berharga. Aspek humanisme muncul dari konflik yang umum terjadi dalam kehidupan masyarakat beragama, yakni mencari tempat ideal berupa surga. Tentu saja hal ini hanya terjadi pada konteks mitos di mana masyarakatnya religius dan memegang erat ajaran agamanya. Dengan demikian tradisi atau masa lalu memang sudah terbentuk oleh ideologi yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Sementara itu aspek poshumanisme dalam cerita tersebut dihadirkan secara implisit lewat kegagalan yang dialami oleh sang saudagar dalam menemukan dan memilki kebun surga, meskipun ia memiliki segalanya untuk dapat membeli kebun surga tersebut.

Dalam tidurnya itu ia bermimpi lagi. Kali ini ia melihat sebuah kebun yang porak-poranda, semua tanaman berserakan ranting-rantingnya da nada bekas-bekas terbakar.…..“Tempat apa ini”? Tanya Saudagar itu. Orang tadi menoleh, yang ternyata adalah seorang tua yang ia temui di awal jalan setapak menuju hutan.“Ini Kebun Surga.”Mendengar jawaban itu, Sang Saudagar panik.

Kepanikan yang dialami sang sudagar mengindikasikan bahwa ada pemahaman yang keliru dalam dirinya. Ternyata kebun surga tidak seperti yang dipikirkan karena kebun itu pun bisa porak-poranda. Keabadian “surga” yang merupakan mitos dipertentangkan dengan aspek poshumanisme yang menyeruak, dan ini justru menghadirkan perspektif baru yang berbeda dari perspektif lama.

4. SIMPULANKeempat cerita di atas secara menarik mengetengahkan paparan tentang konflik

yang sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat kini. Ada mitos atau masa lalu yang merupakan identitas dan terjadi juga kehadiran perspektif baru dalam menghidupi identitas tersebut. Memang, mitos sebagai acuan bagi kehadiran “masa lalu” menjadi penting untuk membangun peradaban selanjutnya, meskipun terkadang peradaban yang baru seringkali juga sangat bertentangan dengan tradisi yang sudah mengakar dalam masyarakat. Demikianlah, dalam konteks pusaran peradaban dunia yang global konstelasi Sastra Indonesia menghadirkannya dalam model negosiasi sehingga identitas asli atau tradisional masih tetap hadir dalam rangka menjadi kekuatan penyeimbang atau kontrol.

Pemahaman terhadap humanisme merupakan langkah penting dalam konteksnya memahami segala persoalan kemasyarakatan, tetapi tentu perkembangan peradaban juga berkenaan dengan perkembangan nilai-nilai, termasuk juga nilai-

Page 12: MITOLOGI DAN EKSISTENSI SASTRA INDONESIA DALAM …

76 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Mitologi ...

nilai yang sudah diterima dalam perspektif humanism. Poshumanisme sebagai suatu perspektif tentu tidak menggantikan nilai-nilai yang telah hadir lewat perspektif humanism, karena poshumanisme pada dasarnya hadir sebagai suatu peradaban baru dan justru merupakan konsekuensi dari peradaban umat manusia sendiri, yang terus berubah. Penelitian-penelitian lanjutan tentu akan semakin lebih konpleks karena bagaimana poshumanisme memandang humanism yang sudah dianggap ketinggalan zaman dalam karya-karya kesusastraan Indonesia di masa-masa mendatang. Demikian juga kemungkinan hadirnya penelitian tentang bagaimana masa kini dalam perspektif poshumanisme tetap mengikutsertakan pandangan humanisme dalam kajian-kajiannya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Sri Wintala. 2011. Ki Dhalang. Dalam Kedaulatan Rakyat, 8 Mei 2011. Yogyakarta.

Aji, Gabriel Fajar Sasmita. 2017. Myth and Postcolonialism in Walcott’s Omeros. Dalam International Journal of Languages, Literature, and Linguistics. Vol. 3, No. 4, hlm. 230—233.

Coupe, Laurence. 2009. Myth. 2nd ed. New York: Routledge.

Cudworth, Erika and Stephen Hobden. 2018. The Emancipatory Project of Posthumanism. New York: Routledge.

Fajar SA, Gabriel. 2019. Literature Between Humanism and Posthumanism: Redefinition or Reposition?. Dalam Prosiding Seminar Nasional “Indonesia Di Tengah Tantangan Pascahumanisme: Merumuskan Model Humanisme Baru. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Habib, MAR. 2005. A History of Literary Criticism, From Plato to the Present. Oxford: Blackwell Publishing.

Kottak, Conrad Phillip. 2015. Cultural Anthropology; appreciating cultural diversity. New York: McGraw-Hill Education.

Powel, Barry B. 2002. A Short Introduction to Clasical Myth, New Jersey: Prentice Hall.

Raga, Sungging. 2011. Kebun Surga. Dalam Kedaulatan Rakyat, 4 September 2011. Yogyakarta.

Robbins, Derek. 2000. Bourdieu And Culture. London: SAGE Publications.

Schmitz, Thomas A. 2002. Modern Literary Theory and Ancient Text, An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing.

Wolfe, Cary. 2010. What is Posthumanism. London: University of Minnesota Press

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/06/12/jumlah-pulau-di-indonesia-berkurang-menjadi-16-ribu (diunduh 14 Oktober 2019)

https://lakonhidup.com/2019/10/13/celurit-di-atas-kuburan/ (diunduh 14 Oktober 2019)

https://lakonhidup.com/2019/09/29/jemput-aku-di-bawah-pohon-gatep/ (diunduh 14 Oktober 2019)