Mini Referat NEFROPATI DIABETIK.docx

30
NEFROPATI DIABETIK Oleh : Meutia Mafira Rindra NIM : 030.09.152 ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL Ginjal terdiri dari 3 bagian utama yaitu korteks, medula, dan pelvis. Ketiga bagian itu sangat penting bagi ginjal. Jika salah satu bagian ginjal dibelah, maka kita akan dapat melihat lebih dalam lagi bagian- bagian ginjal. Berikut adalah gambar ginjal beserta bagian-bagiannya: Bagian ginjal yang dicetak tebal adalah bagian utama dalam ginjal. Berikut adalah penjelasan bagian-bagian 1

Transcript of Mini Referat NEFROPATI DIABETIK.docx

NEFROPATI DIABETIK

Oleh: Meutia Mafira Rindra

NIM: 030.09.152

ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL

Ginjal terdiri dari 3 bagian utama yaitu korteks, medula, dan pelvis. Ketiga bagian itu sangat penting bagi ginjal. Jika salah satu bagian ginjal dibelah, maka kita akan dapat melihat lebih dalam lagi bagian-bagian ginjal. Berikut adalah gambar ginjal beserta bagian-bagiannya:

Bagian ginjal yang dicetak tebal adalah bagian utama dalam ginjal. Berikut adalah penjelasan bagian-bagian di dalam ginjal:

Calyces adalah suatu penampung berbentuk cangkir dimana urin terkumpul sebelum mencapai kandung kemih melalui ureter.

Pelvis adalah tempat bermuaranya tubulus yaitu tempat penampungan urin sementara yang akan dialirkan menuju kandung kemih melalui ureter dan dikeluarkan dari tubuh melalui uretra.

Medula terdiri atas beberapa badan berbentuk kerucut (piramida). Di sini terdapat lengkung henle yang menghubungkan tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal.

Korteks di dalamnya terdapat jutaan nefron yang terdiri dari badan malphigi. Badan malphigi tersusun atas glomerulus yang diselubungi kapsula Bowman dan tubulus(saluran) yang terdiri dari tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, dan tubulus kolektivus.

Ureter adalah suatu saluran muskuler berbentuk silinder yang menghantarkan urin dari ginjal menuju kandung kemih.

Vena renalis berfungsi untuk membawa darah keluar dari ginjal menuju vena cava inferior kemudian kembali ke jantung.

Arteri renalis berfungsi untuk membawa darah ke dalam ginjal untuk disaring di glomerulus.

Di dalam korteks terdapat jutaan nefron. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus kontortus proximal, tubulus kontortus distal dan duktus kolektivus. Berikut adalah gambar bagian-bagian di dalam nefron:

Berikut adalah penjelasan bagian-bagian di dalam nefron:

1. Nefron: Adalah tempat penyaringan darah. Di dalam ginjal terdapat lebih dari 1 juta buah nefron. 1 nefron terdiri dari glomerulus, kapsula bowman, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle, tubulus kontortus distal, dan tubulus kolektivus.

2. Glomerulus: Tempat penyaringan darah yang akan menyaring air, garam, asam amino, glukosa, dan urea. Menghasilkan urin primer.

3. Kapsula bowman: Adalah semacam kantong/kapsul yang membungkus glomerulus.

4. Tubulus kontortus proksimal: Adalah tempat penyerapan kembali/reabsorpsi urin primer yang menyerap glukosa, garam, air, dan asam amino. Menghasilkan urin sekunder.

5. Lengkung henle: Penghubung antara tubulus kontortus proksimal dengan tubulus kontortus distal.

6. Tubulus kontortus distal: Tempat untuk melepaskan zat-zat yang tidak berguna lagi atau berlebihan ke dalam urin sekunder. Menghasilkan urin sesungguhnya.

7. Tubulus kolektivus: Adalah tabung sempit panjang dalam ginjal yang menampung urin dari nefron, untuk disalurkan ke pelvis menuju kandung kemih.

Fisiologi Ginjal

Ultrafiltrasi (proses ginjal dalam menghasilkan urine).

Proses pembentukan urine:

Ginjal berperan dalam proses pembentukan urin yang terjadi melalui serangkaian proses, yaitu: penyaringan, penyerapan kembali dan augmentasi.

Penyaringan (filtrasi)

Proses pembentukan urin diawali dengan penyaringan darah yang terjadi di kapiler glomerulus. Sel-sel kapiler glomerulus yang berpori (podosit), tekanan dan permeabilitas yang tinggi pada glomerulus mempermudah proses penyaringan. Selain penyaringan, di glomelurus juga terjadi penyerapan kembali sel-sel darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan-bahan kecil yang terlarut di dalam plasma darah, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat dan urea dapat melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan. Hasil penyaringan di glomerulus disebut filtrat glomerolus atau urin primer, mengandung asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-garam lainnya.

Penyerapan kembali (Reabsorbsi)

Bahan-bahan yang masih diperlukan di dalam urin pimer akan diserap kembali di tubulus kontortus proksimal, sedangkan di tubulus kontortus distal terjadi penambahan zat-zat sisa dan urea. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam amino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui peristiwa osmosis. Penyerapan air terjadi pada tubulus proksimal dan tubulus distal. Substansi yang masih diperlukan seperti glukosa dan asam amino dikembalikan ke darah. Zat amonia, obat-obatan seperti penisilin, kelebihan garam dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan bersama urin. Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder, zat-zat yang masih diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah, misalnya urea.

AugmentasiAugmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di tubulus kontortus distal.Dari tubulus-tububulus ginjal, urin akan menuju rongga ginjal, selanjutnya menuju kantong kemih melalui saluran ginjal. Jika kantong kemih telah penuh terisi urin, dinding kantong kemih akan tertekan sehingga timbul rasa ingin buang air kecil. Urin akan keluar melalui uretra. Komposisi urin yang dikeluarkan melalui uretra adalah air, garam, urea dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi memberi warna dan bau pada urin.

Keseimbangan Elektrolit

Sebagian besar elektrolit yang dikeluarkan dari kapsula Bowman direabsorpsi dalam tubulus proksimal. Konsentrasi elektrolit yang felah direabsorpsi diatur dalam tubulus distal di bawah pengaruh hormon aldosteron dan ADH. Mekanisme yang membuat elektrolit bergerak menyeberangi membran tabula adalah mekanisme aktif dan pasif. Gerakan pasif terjadi apabila ada perbedaan konsentrasi molekul. Molekul bergerak dari area yang berkonsentrasi tinggi ke area yang berkonsentrasi rendah. Gerakan aktif memerlukan energi dan dapat membuat molekul bergerak tanpa memperhatikan tingkat konsentrasi molekul. Dengan gerakan aktif dan pasif ini, ginjal dapat mempertahankan keseimbangan elektrolit yang optimal sehingga menjainin fungsi normal sel.

Pemeliharaan Keseimbangan Asam dan Basa

Agar sel dapat berfungsi normal, perlu juga dipertahankan pH plasma 7,35 untuk darah vena dan pH 7,45 untuk darah arteria. Keseimbangan ini dapat dicapai dengan mempertahankan rasio darah bikarbonat dan karbon dioksida pada 20:1. Ginjal dan paru-paru bekerja sama untuk mempertahankan rasio ini. Paru-paru bekerja dengan menyesuaikan jumlah karbon dioksida dalam darah. Ginjal menyekresi atau menahan bikarbonat dan ion hidrogen sebagai respons terhadap pH darah.

Eritropoiesis

Ginjal mempunyai peranan yang sangat penting dalam produksi eritrosit. Ginjal memproduksi enzim yang disebut faktor eritropoietin yang mengaktifkan eritropoietin, hormon yang dihasilkan hepar. Fungsi eritropoietin adalah menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah, terutama sel darah merah. Tanpa eritropoietin, sumsum tulang pasien penyakit hepar atau ginjal tidak dapat memproduksi sel darah merah.

Regulasi Kalsium dan Fosfor

Salah satu fungsi penting ginjal adalah mengatur kalsium serum dan fosfor. Kalsium sangat penting untuk pembentukan tulang, pertumbuhan sel, pembekuan darah, respons hormon, dan aktivitas listrik selular.Ginjal adalah pengatur utama keseimbangan kalsium-fosfor. Ginjal melakukan hal ini dengan mengubah vitamin D dalam usus (dari makanan) ke bentuk yang lebih aktif, yaitu 1,25- dihidrovitamin D3.Ginjal meningkatkan kecepatan konversi vitamin D jika kadar kalsium atau fosforus serum menurun.

Regulasi Tekanan Darah

Ginjal mempunyai peranan aktif dalam pengaturan tekanan darah, terutama dengan mengatur volume plasma dan tonus vaskular (pembuluh darah). Volume plasma dipertahankan melalui reabsorpsi air dan pengendalian komposisi cairan ekstraselular (mis., terjadi dehidrasi). Korteks adrenal mengeluarkan aldosteron. Aldosteron membuat ginjal menahan natrium yang dapat mengakibatkan reabsorpsi air.Modifikasi tonus vaskular oleh ginjal dapat juga mengatur tekanan darah. Hal ini dilakukan terutama oleh sistem reninangiotensin aldosteron. Renin adalah hormon yang dikeluarkan oleh juksta glomeruli dari nefron sebagai respons terhadap berkurangnya natrium, hipoperfusi arteri renal, atau stimulasi saraf renal melalui jaras simpatis waktu tekanan darah menurun, Renin menstimulasi konversi angiotensinogen (zat yang dikeluarkan hepar) ke angiotensin I. Konversi angiotensin I ke angiotensin II oleh enzim pengubah angiotensin dari paru- paru, menghasilkan vasokonstriksi umum yang kuat. Mekanisme ini dapat membuat tekanan darah meningkat.

Ekskresi Sisa Metabolik dan Toksik

Sisa metabolik diekskresikan dalam filtrat glomerular. Kreatinin diekskresikan ke dalam urin tanpa diubah. Urea mengalami reabsorbsi waktu melewati nefron. Biasanya, obat dikeluarkan melalui ginjal atau diubah dulu di hepar ke dalam bentuk inaktif, kemudian diekskresikan oleh ginjal. Oleh karena ginjal berperan dalam ekskresi obat, ada obat yang dikontraindikasi apabila fungsi ginjal mengalami gangguan.

DEFINISI

Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 6 bulan. Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara semua komplikasi DM.

ETIOLOGI

Penyebab pasti dari diabetes nefropati tidak diketahui, tetapi diyakini bahwa gula darah tinggi yang tidak terkendali mengarah pada pengembangan kerusakan ginjal. Dalam beberapa kasus, gen atau sejarah keluarga dapat juga berperan. Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati Diabetik. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).

EPIDEMIOLOGI

Diabetes mellitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab utama stadium akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang diawali dengan nefropati diabetik. Progresivitas nefropati diabetik mengarah stadium akhir penyakit ginjal dipercepat dengan adanya hipertensi. Angka kejadiannya nefropati diabetik pada diabetes mellitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 leih besar banyak daripada tipe 1. Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan end-stage renal failure (ESRF) jumlahnya saat ini meningkat karena meningkatnya pula prevalensi diabetes mellitus tipe 2 dan secara progresif akan menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah. Insidensi nefropati diabetik terutama banyak terjadi pada ras kulit hitam dengan frekuensi 3-6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih. Sementara itu, tidak ada perbedaan yang begitu signifikan kejadian nefropati diabetik antara pria dan wanita.

Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara semua komplikasi diabetes mellitus, dan penyebab kematian tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular. Prognosis yang buruk akan muncul apabila terjadi progresi nefropati diabetik dan memburuknya fungsi ginjal yang cepat sehingga menyebabkan mortalitas 70-100 kali lebih tinggi dari pada populasi normal. Bahkan dengan upaya dialisa, kelangsungan hidupnya pun masih rendah yaitu sepertiga pasien meninggal dalam satu tahun setelah dimulai dialisa. Pasien nefropati diabetik yang menjalani terapi penggantian ginjal, morbiditasnya 2-3 kali lebih tinggi dibanding pasien nondiabetik dalam penyakit ginjal stadium akhir.

PREVALENSI

Penelitian di luar negeri pada penderita diabetes mellitus tipe 1 menyatakan bahwa 30-40% dari penderita ini akan berlanjut menjadi nefropati diabetik dini dalam waktu 5-15 tahun setelah diketahui menderita diabetes. Apabila telah berlanjut manjadi nefropati diabetik, maka perjalanan penyakitnya tidak dapat dihambat lagi. Dengan demikian setelah 20-30 tahun menderita diabetes maka sekitar 40-50% akan mengalami gagal ginjal yang membutuhkan cuci darah dan transplatasi ginjal.

Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 diperkirakan sekitar 5-10% dari penderita akan menjadi gagal ginjal terminal. Secara persentasi tidak terlalu besar, tetapi mengingat jumlah penderita diabetes mellitus tipe-tipe lebih banyak maka secara keseluruhan jumlah penderita gagal ginjal terminal pada penderita diabetes mellitus tipe 2 akan lebih banyak. Prevalensi nefropati diabetik di Negara barat sekitar 16%. Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang asia jumlah penderita nefropati diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat. Hal ini disebabkan karena penderita diabetes mellitus tipe 2 di Asia terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga berkesempatan mengalami nefropati diabetik lebih besar. Di Thailand nefropati diabetik dilaporkan sebesar 29,4%, di Philipine sebesar 20,8%, sedang fi Hongkong 13,1. Di Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3%.

FAKTOR RESIKO

Faktor-faktor risiko terjadinya nefropati diabetik antara lain hipertensi, glikosilasi hemoglobin, kolesterol total, peningkatan usia, resistensi insulin, jenis kelamin, ras (kulit hitam), dan diet tinggi protein.

Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya nefropati diabetik. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresivitas untuk mencapai fase nefropati diabetik yang lebih tinggi (Fase V nefropati diabetik).

Tidak semua pasien diabetes mellitus tipe I dan II berakhir dengan nefropati diabetik. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor risiko antara lain:

1. Hipertensi

Hipertensi dapat menjadi penyebab dan akibat dari nefropati diabetik. Dalam glomerulus, efek awal dari hipertensi sistemik adalah dilatasi arteriola afferentia, yang berkontribusi kepada hipertensi intraglomerular, hiperfiltrasi, dan kerusakan hemodinamik. Respon ginjal terhadap system rennin-angiotensin menjadi abnormal pada ginjal diabetes. Untuk alasan ini, agen yang dapat mengkoreksi kelainan tekanan intraglomerular dipilih dalam terapi diabetes. ACE inhibitor secara spesifik menurunkan tekanan arteriola efferentia, karena dengan menurunkan tekanan intraglomerular dapat membantu melindungi glomerulus dari kerusakan lebih lanjut, yang terlihat dari efeknya pada mikroalbuminuria.

2. Predisposisi genetika barupa riwayat keluarga mengalami nefropati diabetik dan hipertensi.

3. Kepekaan (susceptibility) nefropati diabetik

a. Antigen HLA (Human Leukosit Antigen)

Beberapa penelitian menemukan hubungan factor genetic tipe antigen HLA dengan kejadian nefropati diabetik. Kelompok penderita diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9.

b. Glukosa Transporter (GLUT)

Setiap penderita diabetes mellitus yang mempunya GLUT 1-5 mempunyai potensi untuk mendapat nefropati diabetik.

4. Hiperglikemia

Kontrol metabolik yang buruk dapat menjadi memicu terjadinya nefropati diabetik. Nefropati diabetik jarang terjadi pada orang dengan HbA (7,5-8,0). Pada akhirnya glukosa memiliki arti dan pertanda klinis untuk kelainan metabolik yang memicu nefropati diabetik.

5. Kelainan metabolik lain yang berhubungan dengan keadaan hiperglikemia juga berperan dalam perkembangan nefropati diabetik termasuk AGEs dan polyols. AGEs ialah hasil pengikatan nonenzimatik, yang tidak hanya mengubah struktur tersier protein, tapi juga menghasilkan intra dan intermolecular silang. Berbagai macam protein dipengaruhi oleh proses ini. Kadar AGEs di sirkulasi dan jaringan diketahui berhubungan dengan mikroalbuminuria pada pasien diabetes. Kadar AGEs pada dinding kolagen arteri lebih besar 4 kali pada orang dengan diabetes. Pasien diabetes dengan ESRD memiliki AGEs di jaringan dua kali lipat lebih banyak daripada pasien diabetes tanpa gangguan ginjal.

6. Merokok

Merokok meningkatkan progresi nefropati diabetik. Analisis mengenai faktor resiko menunjukan bahwa merokok meningkatkan kejadian nefropati diabetik sebesar 1,6 kali lipat lebih besar.

KLASIFIKASI

Klasifikasi (menurut Mogensen)

Tahap I (Stadium Hiperfiltrasi)

Terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi glomerulotubulus pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat, disertai pembesaran ukuran ginjal. Tekanan darah biasanya normal. Tahap ini reversible dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal didiagnosis diabetes mellitus. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, kelainan fungsi maupun struktur ginjal kembali normal.

Tahap II (Stadium Silent)

Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrane basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan volume mesangium fraksional. Terjadi 5-10 tahun setelah didiagnosis diabetes mellitus. Keadaan ini dapat berlangsung lama dan hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya berlanjut terkait keadaan metabolik yang memburuk.

Tahap III (Stadium Mikroalbuminuria / Nefropati Insipient)

Merupakan tahap awal dari nefropati. Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrane basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus. Tahap ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun didiagnosis diabetes mellitus.

Tahap IV (Stadium Makroalbuminuria / Nefropati Lanjut)

Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik dan retinopati sering ditemukan pada tahap ini. Terjadi setelah 15-20 tahun didiagnosis diabetes mellitus. Progresivitas mengarah ke gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan tekanan darah.

Tahap V (Stadium Uremia / Gagal Ginjal Terminal)

Memerlukan tindakan khusus yaitu terapi dialisis, maupun transplantasi ginjal. Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada stadium IV dan 5-7 tahun kemudian akan sampai stadium V.

PATOFISIOLOGI

Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya pertumbuhan dan kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik pada DM. Perubahan dasar atau disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal. Semuanya penyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan komplikasi vaskuler diabetes. Pada nefropati diabetik terjadi peningkatan glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan yang mengarah kepada terjadinya glomerulsklerosis.

Patogenesis terjadinya kelainan vaskuler pada DM meliputi terjadinya imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel juga berespon terhadap berbagai substansi vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin 2. Dipihak lain hiperinsulinemi seperti yang tampak pada DM tipe 2 atau pemberian insulin eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan yang terjadi akibat angiotensin pada sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangia. Jelas baik faktor hormonal maupun metabolik berperan dalam patogenesis terjadinya kelainan vaskuler diabetis.

Jaringan yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik DM (jaringan saraf,jaringan kardiovaskuler, sel endotel pembuluh darah dan sel retina (lensa mata) mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitar ke dalam sel tanpa memerlukan insulin (insulin independent), agar dengan demikian jaringan yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum glukosa tersebut digunakan untuk energi di otot maupun untuk disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada keadaan hiperglikemi kronik, tidak cukup terjadi down regulation dari sistem transport glukosa yang insulint dependent ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa, suatu keadaam yang disebut sebgai hiperglisolia.

Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemudian berfungsi dan berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya spesies glikosilasi jalur intraseluler.

Pada jalur reduktase aldosa ini, oleh enzim reduktase aldosa, dengan adanya coenzim NADPH, glukosa akan diubah menjadi sorbitol. Kemudian oleh sorbitol dehidrogenase dengan memanfaatkan nikotiamid adenin dinukleotida teroksidasi (NAD), sorbitol akan dioksidasi menjadi fluktosa. Sorbitol dan fluktosa keduanya tidak terfosforilisasi, tetapi bersifat hidrofilik, sehingga lamban penetrasinya melalui membran lipid bilayer. Akibatnya terjadi akumulasi poliol intraseluler, dan sel akan berkembang , bengkak akibatnya masuk air ke dalam sel karena proses osmotik. Sebagai lain akibat keadaan tersebut, akan terjadi pula imbalans ionik dan imbalans metabolik yang secara keseluruhan akan megakibatkan terjadinya kerusakan sel terkait .

Aktifitas jalur poliol akan menyebabkan meningkatnya turn over NADPH, diikuti dengan menurunnyarasio NADPH sitosol bebas terhadap NADP. Rasio sitosol NADPH terhadap NADP ini sangat penting dan kritikal untuk fungsi pembuluh darah. Menurunnya rasio NADPH sitosol terhadap NADP ini dikenal sebagai keadaan pseudohipoksia. Hal ini yang penting pula adalah bahwa sitosol NADPH juga sangat penting dan diperlukan untuk proses defends antioksidans. Glutein reduktase juga memerlukan sitosol NADPH untuk menetralisasikan sebagai oksidans intraseluler. Menurunnya rasio NADPH dengan demikian menyebabkan terjadinya stress oksidatif yang lebih besar. Terjadinya hiperglikosolia melalui jalur sorbitol ini juga memberikan pengaruh pada beberapa jalur metabolic lain seperti terjadinya glikasi nonenzimatik intraselular dan aktivasi preotein kinase C. Jalur Pembentukan Produk Akir Glikasi Lanjut.

Proses glikaso protein non-enzimatik terjadi baik intra maupun ektraselular. Proses glikasi ini dipercepat oleh adanya stress oksidatif yang meningkat akibat berbagai keadaan dan juga oleh peningkatan aldosa. Modifikasi protein oleh karena proses glikasi ini akan menyebabkan terjadinya oerubahan pada jaringan dan perubahan pada sifat sel melalui terjadinya Cross linking protein yang terglikosilasi tersebut. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan fungsi sel secara langsung, dapat juga secara tidak langsung melalui perubahan pengenalan oleh reseptornya atau perubahan pada tempat pengenalannya sendiri.

Pengenalan produk glikasi lanjut yang berubah oleh reseptor AGE (RAGE-Reseptor for Advance Glycation End Product) mungkin merupakan hal penting untuk kemudian terjadinya komplikasi kronik diabetes. Segera setelah perikatan antara RAGE dan ligandnya, akan terjadi aktivasi mitogen activated protein kinase (MAPK) dan transformasi inti dari factor transkipsi gen target terkait dengan mekanisme proinflamatori dan molekul perusak jaringan.

Jalur Protein Kinase

Hiperglikemia intraselular (hiperglisolia) akan menyebabkan meningkatnya diasigliserol (DAG) intraselular, dan kemudian selanjutnya peningkatan protein Kinase C, terutama PKC Beta. Perubahan tersebut kemudian akan berpengaruh pada sel endotel, menyebabkan terjadinya perubahan vasoreaktivasi melalui keadaan meningkatnya endotelin 1 dan menurunnya e-NOS. peningkatan PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot polos dan juga menyebabkan terbentuknya sitolin serta berbagai factor pertumbuhan seperti TGF Beta dan VEGF. Protein Kinase C juga akan berpengaruh menurunkan aktivasi fibronolis. Semua keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan-perubahan yang selanjutnya akan mengarah kepada proses angiopati diabetic.

Jalur Stres Oksidatif

Stress oksidatif terjadi apabila ada peningkatan pembentukan radikal bebas dan menurunnya system pentralan dan pembuangan tadikal bebas tersebut. Adanya peningkatan stress oksidatif pada penyandang diabetes akan menyebabkan terjadinya proses autooksidatif glukosan dan berbagai substrat lain seperti asam amino dan lipid. Peningkatan stress oksidatif juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan proses glikasi protein yang kemudian berlanjut denan meningkatnya produk glikasi lanjut. Peningkatan stress oksidatif pada gilirannya akan menyebabkan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sel endotel pembuluh darah yaitu dengan terjadinya peroksidasi membran lipid, aktifasi factor transkripsi (NF-kB), peningkatan oksidasi LDL dan kemudan juga pembentukan produk glikasi lanjut.

Memang didapatkan saling pengaruh antara produk glikasi lanjut dan spesies oksigen reaktif (reactive oxygen spesies-ROS). Produk glikasi lanjut akan memfasilitasi pembentukan spesies oksigen reaktif akan memfasilitasi pembentukan produk glikasi lanjut. Spesies oksigen reaktif akan merusak lipid dan protein melalui proses oksidasi, cross linking dan fragmentasi yang kemudian memfasilitasi pembentukan ROS, melalui perubahan structural dan perubahan fungsi protein (pembuluh darah, membran sel dsb).

Seperti yang telah dikemukakan, proses selanjutnya setelah berbagai jalur biokimiawi yang mungkin berperan pada pembentukan komplikasi kronik DM melibatkan berbagai proses patobiologik terjadinya komplikasi kronik DM.

Inflamasi

Dari pembicaraan diatas tampak bahwa berbagai mekanisme dasar mungkin berperan dalam terbentuknya komplikasi kronik DM yaitu antara lain aktivasi jalur reduktase aldosa, stress oksidatif, terbentuknya jalur akhir glikasi lanjut atau prekursornya serta aktifasi PKC, yang semua itu akan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel, mengganggu dan merubah sifat berbagai protein penting, dan kemudian akan memacu terbentuknya sitokin proinflamasi serta factor pertumbuhan seperti TGF-B dan VEGF. Berbagai macam sitokin seperti molekul adhesi (ICAM,VICAM,E-selectin,P-selectin dsb.) dengan jelas sudah terbuktinya meningkat jumlahnya pada penyandang DM. Prototipe petanda adanya proses inflamasi yaitu CPR dan NF-kB, pada penyandang DM juga jelas meningkat seiring dengan meningkatnya kadar Alc. Jelas bahwa proses inflamasi penting pada terjadinya komplikasi kronik DM.

Peptida Vasoaktif

Berbagai peptida berpengaruh pada pengaturan pembuluh darah dan disangka mungkin berperan pada terjadinya komplikasi kronik DM. Insulin merupakan peptida pengatur yang terutama mengatur kadar glukosa darah. Insulin juga mempunyai peran pengatur mitogenik. Pada kadar yang biasa didapatkan pada penyandang DM dan hipertensi, insulin dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi sel seperti otot polos pembeluh darah. Insulin juga mempunyai pengaruh lain yaitu sebagai hormon vasaktif. Insulin secara fisiologis melalui NO dari endotel mempunyai pengaruh terhadap terjadinya vasodilatasi pembuluh darah. Pengaruh ini bergantung pada banyaknya insulin dalam darah (dose dependent). Pada keadaan resistensi insulin dengan adanya hiperinsulinemia pengaruh insulin untuk terjadinya vasodilatasi akan menurun.

Peptida vasoaktif yang lain adalah angiotensin II, yang dikenal berperan pada patogenesis terjadinya pertumbuhan abnormal pada jaringan kardiovaskuler dan jaringan ginjal. Pengaruh angiotensin II dapat terjadi melalui 2 macam reseptor yaitu reseptor ATI dan reseptor 2, sebagian besar reseptor fisiologis terhadap angiotensin II memakai Accinhibitor, terbukti dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit kardiovaskuler.

Prokoagulan

Segera setelah terjadinya aktivasi PKC akan terjadi penurunan fungsi fibrolisis dan kemudian akan menyebabkan meningkatnya keadaan prokoagulasi yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan kemungkinan penyumbatan pembuluh darah. Pada penyandang DM dengan adanya gangguan terhadap pengaturan berbagai macam fungsi trombosit, yang kemudian juga akan menambah kemungkinan terjadinya keadaan prokoagulasi pada penyandang DM dengan demikian jelas adanya peran factor prokoagulasi ada kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM.

PPAR

Ekspresi PPAR didapatkan pada berbagai jaringan vascular dan berbagai kelainan vascular, terutama pada sel oto polos, endotel dan monosit. Ligand terhadap PPAR alpha terbukti mempunyai PPAR alpha yang didapatkan respons inflamasi yang memanjang jika distimulasikan dengan berbagai stimulus. Pada sel otot polos pembuluh darah, asam fibrat, (suatu ligand PPAR) terbuka dapat menghambat signal proinflamotori akibat rangsangan sitolin dari NF-kB dan API. Dari beberapa kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPAR terkait juga sebab terjadinya komplikasi kronik DM (Sudoyo, 2006).

Setelah melihat berbagai kemungkinan jalur mekanisme terjadinya komplikasi kronik DM serta kelanjutan keterlibatan berbagai proses patobiologik lain, tampak bahwa yang terpenting pada pembentukan dan kemudian lebih lanjut progresi komplikasi vascular diabetes adalah hiperglikemia, resistensi insulin, sitokin dan substrat vasoaktif. Tampak pula bahwa apapun jalur mekanisme yang terjadi dan proses lain yang terlihat yang terpenting adalah adanya hiperglikemia kronik dan selanjutnya peningkatan glukosa sitosolik (hiperglisolia). Apakah dengan menurunkan dan memperbaiki keadaan hiperglikemia ini kemudian dapat terbukti akan menurunkan komplikasi kronik DM

Beberapa penelitian epidemiologis dalam skala besar dan jangka lama seperti UKPDS telah dapat membuktikan dengan sangat baik bahwa dengan memperbaiki hiperglikemia melalui berbagau cara dapat secara bermakna menurunkan komplikasi kronik DM, terutama komplikasi mikrovaskular, yang merupakan komplikasi makrovaskular walaupun jelas didapatkan penurunan tetapi penurunan tersebut tidak bermakna. Kemungkinan besar karena untuk terjadinya komplikasi makrovaskular banyak sekali factor lain selain hiperglikemia yang juga berpengaruh, seperti factor tekanan darah dan juga factor lipid. Pada UKPDS jelas didapatkan bahwa menurunnya tekanan darah tinggi dapat memberikan pengaruh yang nyata bermakna terhadap penmurunan komplikasi makrovaskular DM. Berbagai faktor lain terkait komplikasi kronik DM, termasuk merokok tentu saja harus diperhatikan dalam usaha menurunkan tingkat kejadian berbagai komplikasi kronik DM.

DIAGNOSIS

Pada saat diagnosa DM ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin DM. Pemantauan yang dianjurkan oleh ADA antara lain pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin. Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya albuminuria pada pasien DM, baik tipe 1 maupun tipe 2. Laju ekskresi albumin urin >300 mg/hari atau >200 g/menit. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 3-6 bulan. Jika 2 dari 3 tes positif ,maka diagnosis mikroalbuminuria dapat ditegakkan. Untuk mempermudah evaluasi klirens kreatinin, dapat digunakan perhitungan LFG dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault, yaitu :

*) LFG dalam ml/menit/1,73 m2

PENATALAKSANAAN

Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan apakah masih normoalbuminuria, mikroalbuminuria atau makroalbuminuria. Tetapi pada prinsipnya pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui :

Pengendalian gula darah dengan latihan jasmani, diet, obat anti diabetes.

Pengendalian tekanan darah dengan diet rendah garam, obat antihipertensi.

Perbaikan fungsi ginjal dengan diet rendah protein, pemberian Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB).

Pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain seperti pengendalian kadar lemak, mengurangi obesitas.

Terapi non farmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang sehat meliputi olah raga rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi konsumsi alkohol. Olahraga rutin yang dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan 10-12 menit/km, 4-5 kali seminggu. Pembatasan asupan garam 4-5 g/hari, serta asupan protein hingga 0,8 g/kg/berat badan ideal/hari.

Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah