MINGGU, 4 DESEMBER 2011 Tari Saman di Pangkuan Dunia · pembukaan perkemahan pramuka beberapa waktu...

1
A RT & CULTURE 10 IWAN KURNIAWAN T EPUKAN tangan puluhan penari membungkam kesunyian. Mereka tidak sekadar bertepuk tangan. Ada sebuah ‘ritual’ yang mereka ung- kapkan lewat tarian tradisional khas Aceh itu. Pementasan tari Saman di Nusa Dua, Bali, pekan lalu, berlangsung penuh kebahagiaan. Apalagi dilakukan setelah United National Educational, Scientic, and Culture Organi- zation (UNESCO) resmi mengukuhkan tari Saman sebagai warisan budaya tak benda. Penetapan itu berlangsung pada Sidang ke-6 Komite Antarpemerintah untuk Perlin- dungan Warisan Budaya Tak Benda, Kamis (24/11) siang. “Kita bangga karena tari Sa- man sudah diterima secara aklamasi oleh komite. Nomine kita dinilai sangat baik dan menjadi contoh bagi negara-negara bila akan mengusulkan warisan mereka,” ujar Ketua Sidang Aman Wirakartakusumah di sela-sela pementasan. Dengan menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa daerah Gayo, para penari mulai me- narikan tari Saman. Senyum yang melekat di wajah para penari semakin membuat para penonton berdecak kagum. Mereka tak menari sebagaimana aturan baku, yaitu menggoyangkan kaki. Mereka hanya duduk membentuk dua banjar. Pa- kaian khas Aceh yang mencolok perhatian semakin membuat suasana semakin intim. Tak dapat dimungkiri, tari Saman merupa- kan tarian warisan budaya asli suku Gayo, Aceh, sejak abad ke-13, khususnya di daerah Gayo Lues dan sekitarnya. Pengembangan dilakukan Syeh Saman untuk penyampaian pesan keagamaan. Pada awalnya, semua penari adalah laki- laki muda dengan jumlah yang selalu ganjil. Mereka duduk bersimpuh atau berlutut da- lam baris rapat. Pemain memakai pakaian adat yang di- bordir dengan motif tradisional Gayo yang penuh simbol alam dan nilai luhur. Pelatih atau penangkat berada di tengah untuk memimpin pemain menyanyikan syair berisi pesan pembangunan, keagamaan, nasihat, adat, sindiran, humor, bahkan ro- mantisme. Para pemain bertepuk tangan, dada, paha, dan tanah/lantai. Mereka menjentikkan jari, menggoyangkan badan ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang. Pada gerakan lainnya, para penari juga menggoyangkan dan memutarkan kepala ke atas bawah, kiri kanan. Gerak Saman meng- gambarkan alam, lingkungan, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo. Tarian tersebut acap kali dipertandingkan kala satu desa mengundang desa lain untuk menjalin hubungan silaturahim. Tari Saman juga dipakai menjamu tamu dan untuk meme- riahkan hari besar nasional dan keagamaan. Anak-anak suku Gayo di desa selalu men- jadikan tarian itu sebagai sebuah permainan. Tak ayal, tarian ini telah ditransmisikan secara informal. Namun, frekuensi pementasan tari Saman dan transmisinya kepada generasi penerus menurun saat ini. Meski masyarakat dan pemerintah sudah berusaha melestarikannya, UNESCO menga- tegorikan warisan budaya tak benda itu dalam kategori penjagaan mendesak. “Selain sebagai atraksi wisata, tarian ini perlu dijaga. Salah satu hal penting yaitu dapat dimasukkan se- bagai pelajaran ekstrakurikuler di sekolah,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu yang turut senang karena tarian tersebut telah diakui UNESCO. (M-4) [email protected] Indonesia punya beragam seni dan tradisi yang khas. Dunia pun mengakui keunikan itu dan menjadikannya sebagai warisan budaya tak benda. Tari Saman di Pangkuan Dunia Kita bangga karena tari Saman sudah diterima secara aklamasi oleh komite. Nomine kita dinilai sangat baik dan menjadi contoh bagi negara bila mengusulkan warisan mereka.” Aman Wirakartakusumah Ketua Sidang ke-6 Komite Antarpemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda MINGGU, 4 DESEMBER 2011 MI/AMIRUDDIN ABDULLAH Epos Ramayana Mewarnai Kecak WARISAN BUDAYA: Tari Saman ditampilkan dalam acara pembukaan perkemahan pramuka beberapa waktu lalu di lapangan alun-alun Blang Kejeren, ibu kota Kabupaten Gayo Lues, Aceh. TARIAN tradisional khas Bali, Kecak, memiliki hubungan yang ‘suci’ dengan alam lain. Pemen- tasan pun berlangsung bak sebuah ritual yang menghubungkan an- tara kehidupan alam sadar dan alam bawah tak sadar. Ritme hingga gerakan para penari menghadirkan sebuah simbol. Simbol kesucian yang di- gerakkan dengan menghadirkan sebuah doa kepada dewa dan leluhur. Tari Kecak tak diiringi de- ngan alat musik atau gamelan. Suara-suara puluhan penari pria mengumandangkan sebuah intonasi suara yang sama. Mereka memadukan irama paduan suara yang khas dan unik. Gerakan tangan ke atas mengindikasikan sebuah ‘penyerahan diri’ kepada Sang Pencipta. Lewat pementasan tari Kecak di Panggung Chandra Budaya, Batubulan, Gianyar, Bali, pe- kan lalu, Kelompok Sahadewa menghipnosis ratusan penonton yang mayoritas wisatawan man- canegara. “Tari ini memiliki nilai ke- sakralan. Ini sudah ada sejak turun-temurun. Kelompok yang membawakan tari ini sangat banyak sekarang. Tari ini telah dijadikan sebagai atraksi wisa- ta,” ujar pemimpin Kelompok Sahadewa, Made Merta, seusai pementasan. Sebenarnya nilai kesakralan yang ada dalam tari Kecak berasal dari tari sakral Shanghyang. Pada tari Shanghyang, konon kondisi seorang menjadi trance sehingga dapat berkomunikasi dengan para dewa atau leluhur yang su- dah disucikan. Dengan menggunakan penari sebagai media penghubung, para dewa pun dapat menyam- paikan sabda. Sejak 1930-an, tari Kecak menggunakan cerita epos Ramayana. Pertautan antara penari dan kisah dalam epos tersebut mem- berikan sebuah sentuhan khas. Kekhasan itulah yang masih di- pertahankan hingga sekarang. Saat 40 penari laki-laki me- masuki arena, adegan awal pun dimulai. Mereka mengumandang- kan suara ‘ Cak… kecak… cak… kecak… cak… kecak…’. Suara-suara yang berkuman- dang itu sejurus memecah kesu- nyian. Langkah mereka menghasil- kan irama yang padu dengan degupan suara. Setelah penari masuk ke panggung, epos pun dipentaskan. Uniknya, sepanjang pementasan, para penari tetap mengumandangkan suara. Epos dalam Ramayana itu diper- gelarkan dalam lima babak tarian, meliputi Rama, Sita (Sinta), dan Kijang Emas, Sita dan Rahwa- na, Sita, Trijaya, dan Hanoman, Rama, Meganada, dan Garuda, serta Rama, Sugriwa, dan Mega- dana. Meski menggunakan epos Ra- mayana, tari tersebut masih me- ngedepankan unsur kebudayaan Bali yang kental. Ciri khas budaya Hindu Bali memberikan suguhan berbeda. Malaikat suci Balutan tari Sanghyang Dedari dan tari Sanghyang Jaran juga menjadi bagian yang tak dipi- sahkan dalam pementasan ter- sebut. Seorang pemangku (pen- deta) muncul di panggung untuk mengembalikan diri penari yang mengalami kesurupan. Tari Sanghyang Dedari muncul sebagai fungsi religius. Dua bocah kecil (Dewa Ari dan Gusti Ayu Wita) membawakan gerakan-ge- rakan tari yang kompak. Mereka berlaga bak sepasang malaikat. Khas, karena kedua bocah perawan itu harus menari de- ngan mata tertutup. Iringan suara tembang kidung--seperti suara mantra--mengiringi langkah ke- dua penari bocah itu. Setelah menari, keduanya lang- sung jatuh dan tersungkur. Sesaat, pemangku langsung memercik- kan air dari wewangian kembang ke wajah kedua penari bocah tersebut. Adegan pemuncak itu me- nandakan tari Kecak telah menjadi sebuah tarian sakral. Tarian yang mampu mempertemukan alam sadar dengan alam bawah tak sadar. (Iwa/M-4) MI/RAMDANI PENTAS TARI KECAK: Pertunjukan tari Kecak dan Sanghyang yang dimainkan kelompok Sahadewa di Panggung Chandra Budaya, Gianyar, Bali, beberapa waktu lalu. Tari Kecak merupakan tari Bali yang paling unik, karena tidak diiringi musik tetapi diiringi paduan suara sekitar 100 pria. Tarian ini berasal dari jenis tari sakral Sanghyang. Pada 1930-an tari Kecak mulai disisipi cerita epos Ramayana.

Transcript of MINGGU, 4 DESEMBER 2011 Tari Saman di Pangkuan Dunia · pembukaan perkemahan pramuka beberapa waktu...

ART & CULTURE10

IWAN KURNIAWAN

TEPUKAN tangan puluhan penari membungkam kesunyian. Mereka tidak sekadar bertepuk tangan. Ada sebuah ‘ritual’ yang mereka ung-

kapkan lewat tarian tradisional khas Aceh itu. Pementasan tari Saman di Nusa Dua, Bali, pekan lalu, berlangsung penuh kebahagiaan. Apalagi dilakukan setelah United National Educational, Scientifi c, and Culture Organi-zation (UNESCO) resmi mengukuhkan tari Saman sebagai warisan budaya tak benda.

Penetapan itu berlangsung pada Sidang ke-6 Komite Antarpemerintah untuk Perlin-dungan Warisan Budaya Tak Benda, Kamis (24/11) siang. “Kita bangga karena tari Sa-man sudah diterima secara aklamasi oleh komite. Nomine kita dinilai sangat baik dan menjadi contoh bagi negara-negara bila akan mengusulkan warisan mereka,” ujar Ketua Sidang Aman Wirakartakusumah di sela-sela pementasan.

Dengan menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa daerah Gayo, para penari mulai me-narikan tari Saman. Senyum yang melekat di wajah para penari semakin membuat para penonton berdecak kagum.

Mereka tak menari sebagaimana aturan baku, yaitu menggoyangkan kaki. Mereka hanya duduk membentuk dua banjar. Pa-kaian khas Aceh yang mencolok perhatian semakin membuat suasana semakin intim.

Tak dapat dimungkiri, tari Saman merupa-kan tarian warisan budaya asli suku Gayo, Aceh, sejak abad ke-13, khususnya di daerah Gayo Lues dan sekitarnya. Pengembangan dilakukan Syeh Saman untuk penyampaian pesan keagamaan.

Pada awalnya, semua penari adalah laki-laki muda dengan jumlah yang selalu ganjil.

Mereka duduk bersimpuh atau berlutut da-lam baris rapat.

Pemain memakai pakaian adat yang di-bordir dengan motif tradisional Gayo yang penuh simbol alam dan nilai luhur.

Pelatih atau penangkat berada di tengah untuk memimpin pemain menyanyikan syair berisi pesan pembangunan, keagamaan, nasihat, adat, sindiran, humor, bahkan ro-mantisme.

Para pemain bertepuk tangan, dada, paha, dan tanah/lantai. Mereka menjentikkan jari, menggoyangkan badan ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang.

Pada gerakan lainnya, para penari juga menggoyangkan dan memutarkan kepala ke atas bawah, kiri kanan. Gerak Saman meng-gambarkan alam, lingkungan, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo.

Tarian tersebut acap kali dipertandingkan kala satu desa mengundang desa lain untuk menjalin hubungan silaturahim. Tari Saman juga dipakai menjamu tamu dan untuk meme-riahkan hari besar nasional dan keagamaan.

Anak-anak suku Gayo di desa selalu men-jadikan tarian itu sebagai sebuah permainan. Tak ayal, tarian ini telah ditransmisikan secara informal. Namun, frekuensi pementasan

tari Saman dan transmisinya kepada generasi penerus menurun saat ini.

Meski masyarakat dan pemerintah sudah berusaha melestarikannya, UNESCO menga-tegorikan warisan budaya tak benda itu dalam kategori penjagaan mendesak. “Selain sebagai atraksi wisata, tarian ini perlu dijaga. Salah satu hal penting yaitu dapat dimasukkan se-bagai pelajaran ekstrakurikuler di sekolah,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu yang turut senang karena tarian tersebut telah diakui UNESCO. (M-4)

[email protected]

Indonesia punya beragam seni dan tradisi yang khas. Dunia pun mengakui keunikan itu dan menjadikannya sebagai warisan budaya tak benda.

Tari Saman di Pangkuan Dunia

Kita bangga karena tari Saman sudah diterima

secara aklamasi oleh komite. Nomine kita dinilai sangat baik dan menjadi contoh bagi negara bila mengusulkan warisan mereka.”

Aman WirakartakusumahKetua Sidang ke-6 Komite Antarpemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda

MINGGU, 4 DESEMBER 2011

MI/AMIRUDDIN ABDULLAH

Epos Ramayana Mewarnai Kecak

WARISAN BUDAYA: Tari Saman ditampilkan dalam acara pembukaan perkemahan pramuka beberapa waktu lalu di lapangan alun-alun Blang Kejeren, ibu kota Kabupaten Gayo Lues, Aceh.

TARIAN tradisional khas Bali, Kecak, memiliki hubungan yang ‘suci’ dengan alam lain. Pemen-tasan pun berlangsung bak sebuah ritual yang menghubungkan an-tara kehidupan alam sadar dan alam bawah tak sadar.

Ritme hingga gerakan para penari menghadirkan sebuah simbol. Simbol kesucian yang di-gerakkan dengan menghadirkan sebuah doa kepada dewa dan leluhur. Tari Kecak tak diiringi de-ngan alat musik atau gamelan.

Suara-suara puluhan penari pria mengumandangkan sebuah intonasi suara yang sama. Mereka memadukan irama paduan suara yang khas dan unik. Gerakan tangan ke atas mengindikasikan sebuah ‘penyerahan diri’ kepada Sang Pencipta.

Lewat pementasan tari Kecak di Panggung Chandra Budaya, Batubulan, Gi anyar, Bali, pe-kan lalu, Kelompok Sahadewa menghipnosis ratusan penonton yang mayoritas wisatawan man-canegara.

“Tari ini memiliki nilai ke-

sakralan. Ini sudah ada sejak turun-temurun. Kelompok yang membawakan tari ini sangat banyak sekarang. Tari ini telah dijadikan sebagai atraksi wisa-ta,” ujar pemimpin Kelompok Sahadewa, Made Merta, seusai pementasan.

Sebenarnya nilai kesakralan yang ada dalam tari Kecak berasal dari tari sakral Shanghyang. Pada tari Shanghyang, konon kondisi seorang menjadi trance sehingga dapat berkomunikasi dengan para dewa atau leluhur yang su-dah disucikan.

Dengan menggunakan penari sebagai media penghubung, para dewa pun dapat menyam-paikan sabda. Sejak 1930-an, tari Kecak menggunakan cerita epos Ramayana.

Pertautan antara penari dan kisah dalam epos tersebut mem-berikan sebuah sentuhan khas. Kekhasan itulah yang masih di-pertahankan hingga sekarang.

Saat 40 penari laki-laki me-masuki arena, adegan awal pun dimulai. Mereka mengumandang-

kan suara ‘Cak… kecak… cak… kecak… cak… kecak…’.

Suara-suara yang berkuman-dang itu sejurus memecah kesu-nyian.

Langkah mereka menghasil-kan irama yang padu dengan degupan suara. Setelah penari masuk ke panggung, epos pun dipentaskan. Uniknya, sepanjang pementasan, para penari tetap mengumandangkan suara.

Epos dalam Ramayana itu diper-gelarkan dalam lima babak tarian, meliputi Rama, Sita (Sinta), dan Kijang Emas, Sita dan Rahwa-na, Sita, Trijaya, dan Hanoman, Rama, Meganada, dan Garuda, serta Rama, Sugriwa, dan Mega-dana.

Meski menggunakan epos Ra-mayana, tari tersebut masih me-ngedepankan unsur kebudayaan Bali yang kental. Ciri khas budaya Hindu Bali memberikan suguhan berbeda.

Malaikat suciBalutan tari Sanghyang Dedari

dan tari Sanghyang Jaran juga

menjadi bagian yang tak dipi-sahkan dalam pementasan ter-sebut. Seorang pemangku (pen-deta) muncul di panggung untuk mengembalikan diri penari yang mengalami kesurupan.

Tari Sanghyang Dedari muncul sebagai fungsi religius. Dua bocah kecil (Dewa Ari dan Gusti Ayu Wita) membawakan gerakan-ge-rakan tari yang kompak. Mereka berlaga bak sepasang malaikat.

Khas, karena kedua bocah perawan itu harus menari de-ngan mata tertutup. Iringan suara tembang kidung--seperti suara mantra--mengiringi langkah ke-dua penari bocah itu.

Setelah menari, keduanya lang-sung jatuh dan tersungkur. Sesaat, pemangku langsung memercik-kan air dari wewangian kembang ke wajah kedua penari bocah tersebut.

Adegan pemuncak itu me-nandakan tari Kecak telah menjadi sebuah tarian sakral. Tarian yang mampu mempertemukan alam sadar dengan alam bawah tak sadar. (Iwa/M-4)

MI/RAMDANI

PENTAS TARI KECAK: Pertunjukan tari Kecak dan Sanghyang yang dimainkan kelompok Sahadewa di Panggung Chandra Budaya, Gianyar, Bali, beberapa waktu lalu. Tari Kecak merupakan tari Bali yang paling unik, karena tidak diiringi musik tetapi diiringi paduan suara sekitar 100 pria. Tarian ini berasal dari jenis tari sakral Sanghyang. Pada 1930-an tari Kecak mulai disisipi cerita epos Ramayana.