Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

12
25 Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara Ideologi dan Kebudayaan dalam Film Modern Times HERI PURWOKO Cultural Studies, Departemen Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] Abstract: An era can be reflected by film, especially when the film was made. Chaplin is an American film artist who is smart and sensitive in getting the important moment in his life, which is in 1914 until 1967. Modern Times (1936) was one of the important film beside The Kid (1921), The Great Dictator (1940), and Gold Rush (1925). Modern times choosed distracted the audience by machine terror that was real happened in worker life, than presented drama film in satire. In cultural studies methods, this writing tells about Modern Times film: how was human life in metropolis city, in (1936), who fighted work to stay alive while facing industries machine threats which replaced people slowly in modernity atmosphere. Abstrak: Film selalu menarasikan dan merefleksikan suatu zaman tertentu, khususnya era ketika film itu dibuat. Chaplin adalah seorang seniman film Amerika Serikat yang peka dan cerdas dalam memetik penggalan peristiwa di titik-titik penting kehidupannya, terbentang antara tahun 1914 hingga 1967. Film Modern Times (1936) merupakan salah satu film penting karya Chaplin, selain The Kid (1921), The Great Dictator (1940), dan Gold Rush (1925). Alih- alih menampilkan drama cinta yang satir, Modern Times mendistraksi penontonnya dengan teror mesin yang menjadi kenyataan dan harus dihadapi oleh para manusia pekerja. Dengan menggunakan pendekatan cultural studies, tulisan ini mengkaji bagaimana kehidupan manusia yang hidup di kota metropolitan, dalam film Modern Times (1936), berjuang untuk bisa tetap bekerja sambil menghadapi ancaman mesin-mesin industri yang perlahan menggantikan mereka dalam atmosfer modernitas. Keywords: modernity, industrilization, film, Chaplin, metropolitan Kata Kunci: modernitas, industrialisasi, film, Chaplin, metropolitan “More than machinery, we need humanity. More than cleverness, we need kindness.” ~ Charlie Chaplin Kota Metropolitan dan Masyarakat Urban Metropolitan merupakan sebutan untuk menggambarkan suatu kawasan kota yang relatif besar dari jumlah penduduk, ukuran luas wilayah, maupun skala aktivitas ekonomi dan sosial. Secara etimologi, kata metropolitan (kata benda) atau metropolis (kata sifat) berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu kata “meter” yang berarti ibu dan “polis” yang berarti kota. Kota metropolis diasosiasikan dengan bangunan- bangunan pencakar langit, lengkap dengan segala modernitas yang menyertai kehidupan masyarakatnya. Modernitas telah menciptakan medan magnet yang Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...

Transcript of Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

Page 1: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

25

Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern:Tautan antara Ideologi dan Kebudayaandalam Film Modern Times

HERI PURWOKOCultural Studies, Departemen SusastraFakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas [email protected]

Abstract: An era can be reflected by film, especially when the film was made. Chaplin is an American film artist who is smart and sensitive in getting the important moment in his life, which is in 1914 until 1967. Modern Times (1936) was one of the important film beside The Kid (1921), The Great Dictator (1940), and Gold Rush (1925). Modern times choosed distracted the audience by machine terror that was real happened in worker life, than presented drama film in satire. In cultural studies methods, this writing tells about Modern Times film: how was human life in metropolis city, in (1936), who fighted work to stay alive while facing industries machine threats which replaced people slowly in modernity atmosphere.

Abstrak: Film selalu menarasikan dan merefleksikan suatu zaman tertentu, khususnya era ketika film itu dibuat. Chaplin adalah seorang seniman film Amerika Serikat yang peka dan cerdas dalam memetik penggalan peristiwa di titik-titik penting kehidupannya, terbentang antara tahun 1914 hingga 1967. Film Modern Times (1936) merupakan salah satu film penting karya Chaplin, selain The Kid (1921), The Great Dictator (1940), dan Gold Rush (1925). Alih-alih menampilkan drama cinta yang satir, Modern Times mendistraksi penontonnya dengan teror mesin yang menjadi kenyataan dan harus dihadapi oleh para manusia pekerja. Dengan menggunakan pendekatan cultural studies, tulisan ini mengkaji bagaimana kehidupan manusia yang hidup di kota metropolitan, dalam film Modern Times (1936), berjuang untuk bisa tetap bekerja sambil menghadapi ancaman mesin-mesin industri yang perlahan menggantikan mereka dalam atmosfer modernitas.

Keywords: modernity, industrilization, film, Chaplin, metropolitanKata Kunci: modernitas, industrialisasi, film, Chaplin, metropolitan

“More than machinery, we need humanity. More than cleverness, we need kindness.”

~ Charlie Chaplin

Kota Metropolitan dan Masyarakat Urban

Metropolitan merupakan sebutan untuk

menggambarkan suatu kawasan kota yang

relatif besar dari jumlah penduduk, ukuran

luas wilayah, maupun skala aktivitas

ekonomi dan sosial. Secara etimologi, kata

metropolitan (kata benda) atau metropolis

(kata sifat) berasal dari bahasa Yunani

Kuno, yaitu kata “meter” yang berarti

ibu dan “polis” yang berarti kota. Kota

metropolis diasosiasikan dengan bangunan-

bangunan pencakar langit, lengkap

dengan segala modernitas yang menyertai

kehidupan masyarakatnya. Modernitas

telah menciptakan medan magnet yang

Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...

Page 2: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114

26

besar bagi para pendatang, mengakibatkan

kota metropolis selalu terlihat menarik dan

diinginkan oleh jutaan pendatang untuk

tinggal atau bekerja. Hal ini menyebabkan

kota ini mengharuskan masyarakat urban

(baca: para pendatang) yang menetapi kota

tersebut menghabiskan hampir seluruh

hidupnya bekerja untuk mendapatkan uang

agar dapat bersaing dan bertahan hidup.

Ketika hal ini terjadi, maka setiap orang

seakan akan selalu dikejar-kejar oleh waktu

yang terus menerus menuntut mereka

untuk bekerja.

Perkembangan zaman dan

teknologi yang terus meningkat telah

memaksa manusia untuk mengikutinya,

sehingga mengakibatkan manusia tidak

memiliki waktu luang untuk bersantai,

menghabiskan waktu tanpa harus

memikirkan uang. Setidaknya ada dua film

yang singgah di kepala penulis di awal

ide penulisan ini, yaitu Metropolis (Fritz

Lang, 1927, 153 menit) dan Modern Times

(Chaplin, 1936, 89 menit). Modern Times

akhirnya dipilih karena lebih berdimensi,

fluid secara penceritaan, serta ungkapan

“Siapa yang tidak kenal Chaplin?”.

Charlie Chaplin menciptakan

tokoh The Tramp1, tokoh fiksi yang

menggambarkan kehidupan masyarakat

urban di kota metropolis. Dalam filmnya,

tokoh ini merupakan tokoh yang anti-

mainsteam ketika semua orang bekerja

keras dikejar-kejar waktu untuk bertahan

hidup, tokoh Charlie Chaplin seakan

mencoba “memperlambat waktu”. Banyak

film yang tidak lekang oleh waktu, dan

1 Tokoh Tramp, juga disebut sebagai Char-lot di beberapa literatur, muncul dalam film Kid Auto Races at Venice (Henry Lehrman, 1914, 11 menit), kemudian menjadi judul sendiri The Tramp (Chaplin, 1915, 32 menit).

Modern Times adalah contoh sempurna,

karena jika dibawa ke zaman sekarang,

tema yang diangkat oleh film Modern Times

masih sangat signifikan untuk dibahas.

Tulisan ini mengkaji bagaimana kehidupan

tokoh Charlie Caplin mencoba melawan

dominasi modernitas dan kapitalis yang

direpresentasikan melalui film Modern

Times (1936), dengan menggunakan

pendekatan cultural studies.

Kegelisahan Chaplin dalam Modern Times

Film Modern Times dibuka dengan

tulisan, “A story of industry, of individual

enterprise—humanity crusading in the

pursuit of happiness.” Aura kegelisahan

segera menyeruak begitu ketika kita dibawa

masuk ke dalam film. Kegelisahan Chaplin

bukan tanpa alasan, kritiknya terhadap

Ford2, selanjutnya disebut Fordisme, dan

juga modernitas membuat Chaplin seolah

khawatir tentang masa depan manusia

setelah hadirnya mesin.

2 Dalam buku biografinya, My Life and Works (1922), Henry Ford menceritakan tentang teror mesin yang mampu menggantikan dan men-gorganisir pekerjaan kasar manusia. Ford meng-hasilkan mesin-mesin produksi, terutama mobil, yang paling terkenal di awal abad ke-20.

Gambar 1.Premise yang ditampilkan dalam frame pembuka Modern Times.

Sumber: Film Modern Times (1936)

Page 3: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

27

There can be no greater absurdity and

no greater disservice to humanity in

general than to insist that all men are

equal. Most certainly all men are not

equal, and any democratic conception

which strives to make men equal is

only an effort to block progress. Men

cannot be of equal service. The men

of larger ability are less numerous

than the men of smaller ability; it

is possible for a mass of the smaller

men to pull the larger ones down—

but in so doing they pull themselves

down. It is the larger men who give

the leadership to the community and

enable the smaller men to live with

less effort (Ford, 1922).

Modern Times3 berkisah tentang era

great depression yang terjadi pada era 30-

an saat kondisi perekonomian tengah carut

marut dan orang-orang berebut pekerjaan

di berbagai pabrik, kekurangan makanan,

hingga demonstrasi buruh yang merajalela

akibat dari revolusi industri. Film dimulai

dengan sebuah full screen sebuah jam yang

bergerak dan menunjukkan pukul 6 pagi,

menyertai titling awal film.

Jam 6 pagi adalah awal ketika

orang-orang, setidaknya dalam film ini,

memulai rutinitas harian mereka berangkat

bekerja menuju pabrik. Gambar kemudian

beralih ke high angle domba-domba yang

digiring ke satu arah yang sama, kemudian

dissolve ke adegan orang-orang yang

berjalan ke tempat kerja. Dua shot ini

3 Ide dasar film Modern Times konon berawal dari percakapan ringan antara Chap-lin dengan Mahatma Gandhi, dilakukan sebuah eksperimen yang menggabungkan antara film bisu dengan beberapa efek suara dialog. Bahkan dalam Modern Times penonton untuk kali pertama men-dengarkan suara The Tramp sekaligus yang tera-khir karena setelah ini karakter itu “dipensiunkan”.

menampilkan apa yang ingin Chaplin

sampaikan kepada penonton. Jelas sekali

bahwa Chaplin hendak menganalogikan

para pekerja tersebut dengan sekawanan

domba yang ‘digiring’ dan terkonstruksikan

untuk melakukan hal yang sama setiap hari

untuk bertahan hidup dan di bawah satu

pengawasan.

Tokoh dengan nama Tramp

(Chaplin), beberapa kali disebut juga sebagai

Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...

Gambar 2.Metafora yang ingin ditampilkan Chaplin, sekaligus premis

dalam gambar bergerak di awal film Modern Times.Sumber: Film Modern Times (1936)

Page 4: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114

28

Charlot, merupakan salah satu pekerja di

sebuah pabrik bernama Electro Steel Corp

dengan tugas hanya mengencangkan

baut. Tramp yang jenuh, suatu ketika

pergi ke toilet untuk merokok, tapi ia

segera dikejutkan dengan kemunculan

bosnya dalam layar di dinding toilet,

mengingatkannya kembali untuk segera

bekerja. Adegan ini menjelaskan adanya

gap dan sekaligus kontrol penuh bos

terhadap karyawannya. Dengan teknologi

kamera (serupa CCTV masa kini), bos bisa

melihat aktfitas seluruh pekerjanya, untuk

memastikan karyawannya benar-benar

bekerja, seperti konsep panopticism yang

direfleksikan oleh Michel Foucault dalam

Discipline and Punish (1975).

The Panopticon may even provide

an apparatus for supervising its

own mechanisms. In this central

tower, the director may spy on all

the employees that he has under his

orders: nurses, doctors, foremen,

teachers, warders; he will be able

to judge them continuously, alter

their behaviour, impose upon them

the methods he thinks best; and it

will even be possible to observe the

director himself. (Foucault, 1975)

Tidak cukup hanya itu, teknologi

kemudian melakukan improvisasi untuk lebih

memaksimalkan produktifitas karyawan

dengan menggunakan alat pembantu

makan, serupa robot, sehingga para pekerja

bisa makan siang sambil bekerja tanpa jam

khusus untuk istirahat. Di sini, tampak ada

usaha untuk memaksimalkan waktu kerja

dengan menghilangkan jam makan siang

para pekerja. Kondisi ini sekaligus juga

merefleksikan adanya “dehumanization”,

“alienation”, dan “instrumentalization of

human beings” yang dilakukan oleh pemilik

usaha terhadap karyawannya.

Akibat dari kerja yang tak

ada hentinya, maka Tramp kemudian

menjadi gila (nervous breakdown), ia

mengencangkan apa saja yang bentuknya

serupa dengan baut. Ia kemudian

mengacaukan seluruh kegiatan di pabrik

dan hal ini membuatnya masuk rumah

sakit jiwa. Setelah keluar dari rehabilitasi

rumah sakit jiwa, ia terjebak dalam sebuah

demonstrasi. Tiba-tiba secara tidak sengaja

Tramp berada di barisan paling depan

Gambar 3.Bos yang tiba-tiba muncul di toilet ketika Tramp istirahat dan

merokok, sebuah panapticon prison.Sumber: Film Modern Times (1936)

Gambar 4.Demi efisiensi, maka perusahaan berencana untuk membuat

karyawannya makan siang sambil tetap bekerja.Sumber: Film Modern Times (1936)

Page 5: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

29

beserta sebuah bendera di tangannya pada

sebuah unjuk rasa, walaupun sebenarnya

ia tidak mengerti masalah demonstrasi

ini. Polisi kemudian menangkap dan

menuduhnya sebagai pemimpin demo,

hingga akhirnya ia dijebloskan ke dalam

penjara.

Demonstrasi buruh yang terjadi

pada great depression era memang kerap

terjadi. Chaplin merekam dengan baik hal

ini, sekaligus juga memberikan sebuah

dokumentasi yang baik bagi kita di masa

berpuluh-puluh tahun setelahnya. Beberapa

shot demonstrasi dalam Modern Times

bahkan mengambil stock shot aslinya,

yang di-montage ke dalam film, terlihat

dari karakteristik visual dan juga mode

grain yang berbeda dengan shot lainnya.

Latar belakang masa kecil Chaplin yang

berada di ranah kemiskinan tampaknya

terlihat begitu fasih divisualisasikan dalam

karakter Tramp, juga kondisi lokasi yang

memberikan imaji kenyataan. Saat itu

Chaplin berada di puncak popularitas dan

Modern Times menjadi film yang sukses

secara komersial, walaupun sebenarnya

bisa saja ia membuat film yang jauh dari

kisah “Si Gelandangan” ini.

Karl Marx, jauh sebelumnya,

menganalisis ide-ide tentang teori kelas,

terutama dalam Das Capital (1867, 2009).

Secara umum, konsep kelas sosial yang

diutarakan oleh Marx telah diterjemahkan

dalam versi sistem ekonomi kapitalisme.

Dalam karyanya tersebut, Marx membagi

tiga kelas utama dalam struktur masyarakat

kapitalis, yaitu kelas buruh upahan (Wage

Labourers), kelas kapitalis, dan kelas pemilik

tanah (Landowner). Walau bagaimanapun,

perkembangan struktur industri kapitalisme

hanya memperkenalkan dua jenis kelas

saja, yaitu borjuis dan proletar. Semua

kelas buruh upahan akan diklasifikasikan

sebagai kelas proletar. Sedangkan kelas

Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...

Gambar 5. Adegan The Tramp yang meluncur dan tertelan mesin, ia tetap

mengencangkan baut seperti pekerjaan rutinnya di pabrik. Sumber: Film Modern Times (1936).

Gambar 6.The Tramp secara tidak sengaja berada paling depan sebuah

demonstrasi yang membuat polisi mengira ia adalah pimpinan. Selain memotret peristiwa di great depression era, citra komunis

seperti yang hendak Chaplin utarakan, tentang bagaimana perjuangan kelas Marx bertentangan dengan semangat

kapitalisme. Sumber: Film Modern Times (1936)

Page 6: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114

30

kapitalis dan pemilik tanah dimasukkan

dalam kelas borjuis. Namun, kedua kelas

yang diklasifikasikan dalam kelas borjuis

tersebut bersaing ketat dalam memperoleh

dan merebut keuntungan atau kekayaan.

Sementara, mereka yang ‘kalah’ akan

diletakkan di posisi kelas proletar. Analisis

Marx ini direpresentasikan dalam film

Modern Times, bahwa ketika itu gap

antara kelas-kelas sosial semakin jauh.

Kelas proletar semakin ditekan untuk

menghasilkan kekayaan bagi kelas burjois,

sehingga kemudian muncul berbagai

permasalahan sosial, seperti demo buruh,

kemiskinan, tingkat kriminalitas yang

tinggi (pencurian dan perampokan), dan

lain sebagainya.

Setelah beberapa hari di dalam

penjara, Tramp dianggap sebagai pahlawan

karena secara kebetulan ia berhasil

menggagalkan usaha beberapa narapidana

untuk kabur dan menyerang polisi. Hal itu

membuatnya mendapat kehidupan yang

tercukupi dan bahagia di penjara. Namun

kemudian, kebingungan ia rasakan saat

tiba waktunya hari kebebasan, karena di

penjara ia merasakan kenyamanan, dapat

makan gratis dan tidur nyaman, tanpa

harus bekerja keras di pabrik. Di luar

penjara, ia bertemu seorang gadis yatim

piatu bernama Ellen (Paulette Goddard)

yang baru saja kehilangan ayahnya. Gadis

tersebut menolak dibawa ke penampungan

Dinas Sosial, lebih memilih hidup di jalan

dan makan dengan cara mencuri. Dari

situlah Tramp dan Ellen mulai saling

mengenal, berbagi kebahagiaan, dan sama-

sama membangun mimpi yang menurut

mereka ideal, American dream. Impian ini

merupakan representasi kejenuhan dari

aktivitas rutin yang mengharuskan orang

untuk bekerja keras demi mendapatkan

uang untuk makan. Ketika semua orang

bahagia memiliki banyak uang, Tramp

lebih memilih bahagia tanpa uang namun

kebutuhan hidup dapat terpenuhi langsung

dari alam, dengan kata lain adegan ini

merupakan bentuk perlawanan kapitalisme.

Gambar 7.Dalam imajinasinya, Tramp memiliki rumah, hidup bahagia bersama Ellen. Ia bisa langsung memakan buah-buahan dari

halaman rumah dan memperoleh susu segar dari sapi yang lewat di depan pintu. Sumber: Film Modern Times (1936).

Berbicara kembali tentang

modernitas, jika Heidegger (1927) berkata

bahwa kebenaran dan kebebasan mengalami

krisis, maka Habermas (1968) berpendapat

bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan

dapat menjadi sebuah ideologi. Sementara

itu, Marcuse (1964) lebih menekankan

bahwa salah satu karakteristik dari ilmu

pengetahuan merupakan potensi sebagai

kontrol sosial dan dominasi ideologi

dalam konteks kehidupan modern (dalam

Soetomo, 2003).

Domination, on the other hands,

brings an extends itself not only

Page 7: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

31

through technology, but also as

technology and “the latter provides

the great legitimation of the

expanding political power, which

absorbs all spheres of culture”

(Marcuse, 1964: 158)

Jika melihat hubungan antara

modernitas dengan kehidupan impian

Tramp, maka dapat dikatakan bahwa apa

yang dikatakan Heidgger sesuai dengan

kritik sosial Chaplin terhadap kehidupan

modern yang tidak bebas. Ketika teknologi

semakin maju dan modern, maka kemudian

manusia dipaksa bekerja untuk memenuhi

kebutuhan kapitalis. Penemuan-penemuan

IPTEK telah melahirkan masyarakat pekerja.

Manusia tidak lagi bergantung pada alam,

semua kebutuhan hidup berasal dari hasil

produksi mesin yang didapatkan dengan

menggunakan uang. Kehidupan yang tidak

bebas dan rumit itu terlihat dari representasi

pemikiran Tramp pada impiannya yang

sangat sederhana.

Setelah beberapa waktu hidup

bersama Tramp, si gadis merasa bahwa

beberapa kali ia “dibahagiakan” oleh the

Tramp, sehingga ia kemudian merasa

berhutang budi dan memilih untuk bersama

Tramp, padahal ia bisa saja tinggal di

rumah yatim piatu seperti kedua adiknya.

Tramp sadar bahwa Ellen bergantung

hidup padanya, namun bagaimanapun juga

memenuhi kebutuhan hidup tanpa memiliki

uang tidaklah mungkin. Menyadari hal

tersebut, mungkin ada rasa cinta dan

keinginan untuk membahagiakan teman

perempuannya, Tramp memutuskan

untuk bekerja untuk mendapatkan uang.

Maka, ia kemudian bekerja di sebuah

department store sebagai penjaga malam.

Hari pertama ia bekerja, Ellen langsung

dibawa menikmati kemewahan yang tidak

bisa mereka beli, yakni menggunakan

semua barang-barang yang ada di display,

antara lain; mencoba permainan sepatu

roda, hingga tidur di kasur nyaman

yang tidak pernah dicoba sebelumnya.

Sebuah ironi, impian masyarakat proletar

yang bekerja keras namun tidak pernah

merasakan kemewahan kelas burjois. Saat

menjalankan pekerjaannya sebagai penjaga

malam, Tramp dikacaukan oleh sekelompok

perampok yang ternyata adalah teman

kerjanya di pabrik. Singkat waktu, yang

tadinya berniat akan menggagalkan

perampokan, kemudian menjadi ajang

reunian. Pada adegan ini dapat dilihat

bahwa seberapa pun kerasnya bekerja di

pabrik, namun tetap saja masih belum bisa

memenuhi kebutuhan hidup yang layak,

hingga pada akhirnya tetap harus mencari

uang dengan cara lain. Dalam hal ini dapat

dikatakan juga bahwa modernitas tidak

serta merta dapat membuat hidup menjadi

sejahtera, namun sebaliknya.

Akibat dari peristiwa gagalnya

perampokan, Tramp dipenjara untuk kedua

kalinya karena telah ketahuan mengacau

di department store. Untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya, Ellen kemudian

mendapatkan pekerjaan sebagai penari di

sebuah tempat makan dan hiburan. Setelah

keluar dari penjara, Tramp pun tertular

pekerjaan sebagai pelayan sekaligus

penghibur di tempat yang sama dengan

Ellen. Saat menjalankan pekerjaannya

sebagai seorang pelayan, ada satu adegan

ketika ia harus mengantarkan pesanan

bebek panggang ke seorang konsumennya

Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...

Page 8: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114

32

yang marah-marah. Tetapi, ia terjebak di

pusaran tari para pengunjung. Semua orang

turun ke area tengah untuk menari bersama

pasangan mereka. Jika adegan ini dibaca

sebagai teks, maka dapat dimaknai sebagai

sebuah imaji ironi, yakni betapa banyak

orang berusaha untuk membuat diri mereka

terhibur dan rileks, tidak peduli area yang

sempit. Sebuah representasi dari ruang

urban dengan banyak sisi kehidupannya:

petualangan, pekerjaan, pasar, khalayak,

kekuasaan, gaya hidup, percintaan, sorotan,

persembunyian, eksistensi, anonimitas,

hiburan, ilusi-disilusi, kemenangan dan

penyesalan.

Untuk melihat gaya hidup di dalam

ruang urban, Walter Benjamin (dalam

Kusumawijaya, 2004: 67-69) menelusuri

kota, menenggelamkan dirinya ke dalam

kerumunan orang, dan menggunakan

bentang-kota (cityscape) sebagai landasan

untuk menerbangkan imajinasinya. Ia

menggambarkan flanerie4, kegiatan

seorang flaneur yang berjalan santai,

menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan

modern (department store, mall). Selain itu,

dapat juga dikatakan sebagai masyarakat

konsumtif yang merangkakkan kehidupan

abad ke-20. Seorang flaneur bisa merasa

betah di dalam dua tipe bentang-kota,

yaitu arcade dan boulevard. Keduanya

4 The terms of flânerie date to the 16th or 17th century, denoting strolling, idling, often with the connotation of wasting time. But it was in the 19th century that a rich set of meanings and definitions surrounding the flâneur took shape.”The flaneur is espe-cially at home in two distinctive cityscapes, the arcade and the boulevard. Both are won-derfully designed for shopping, for making deals, for amorous cruising, display, and en-counters.” (Berman, April (2000) dalam Marco Kusumawijaya: 67).

Gambar 8.Tramp bersama si gadis di akhir film, berjalan menjauhi kamera, ke arah sumber cahaya yang menganalogikan kehidupan atau harapan baru di masa mendatang. Sumber: Film Modern Times

(1936)

secara mengagumkan dirancang sebagai

tempat untuk berbelanja, melakukan

‘transaksi’, tempat mengalami petualangan

cinta, ‘mejeng’ dan pertemuan-pertemuan.

Gambaran Benjamin saat itu adalah

flaneur yang menunjukkan urbanitas yang

sepenuhnya hampir tidak pernah dialami

dalam urbanitas Jakarta dewasa ini: pejalan

kaki yang menikmati ‘jalan-jalan’ dengan

lamban di dalam arcade---hal ini terjadi

pada zaman kolonial dulu. Penggambaran

ini sebenarnya adalah cara masyarakat kota

dalam mengisi waktu luangnya ‘leisure

time’.

Tokoh Tramp dalam film

ini ditampilkan sebagai orang yang

menentang kehidupan modern, yang

merasa teralienansi dengan mesin-mesin

yang dianggap memberi kemudahan

namun ternyata menyulitkan. Ketidak-

berpihakannya Tramp terhadap industri

modern kala itu ditampilkan melalui

adegannya sebagai flaneur, yang lebih suka

berjalan-jalan ketimbang bekerja di pabrik.

Diperlihatkannya manusia modern kala itu

Page 9: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

33

selalu dikejar-kejar oleh waktu untuk selalu

bekerja, namun Tramp mencoba untuk

memperlambat waktu yang terus berjalan

dengan cepat. Tramp memperlambat

waktu dengan mengisi dan menikmati

hidup dengan lebih bermakna, dengan

impian dan harapannya, berpetualang

cinta, dan menjadi seorang flaneur.

Kesemua itu merupakan kritik sosial yang

direpesentasikan ke dalam film.

Serba Mesin, Problem dalam Dunia Nyata

Jika adegan film ini dikaitkan dengan

posternya, maka kita dapat membaca teks

apa yang ingin disampaikan oleh film

maker-nya. Dapat dilihat bahwa hampir

semua poster5 film ini menampilkan

gambar berupa gerigi mesin dan Chaplin

sebagai tokoh Tramp yang menjadi fokus

5 Film Modern Times ini memiliki lebih dari satu poster.

Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...

Gambar 9.Beberapa tampilan poster Modern Times di beberapa negara, interaksi antara manusia (The Tramp) dengan mesin selalu ditampilkan,

merepresentasikan kausalitas erat yang akan menjadi tidak terpisahkan lagi. Dari berbagai sumber.

Page 10: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114

34

utamanya. Berdasarkan hal tersebut, maka

terdapat dua tanda yakni: Tramp dan

gerigi mesin, yang secara langsung dapat

dimaknai sebagai kegelisahan sosial kala

itu. Problem manusia dan kondisi sosial

kala itu, mungkin juga berlanjut hingga

masa kini, adalah industrialisasi dan potensi

kehilangan lapangan pekerjaan karena

penggantian manusia dengan mesin. Mesin

dianggap lebih bisa memenuhi hasrat dan

tuntutan produksi karena permintaan pasar

akan suatu produk baru. Di sisi sebaliknya,

manusia dianggap semakin tidak mampu

untuk berlari mengejar targetnya.

Zygmunt Bauman berpendapat

tentang teori “pertarungan dalam

ruang” dalam Globalization: The Human

Consequences (1998: 9), bahwa globalisasi

diwarnai oleh faktor kemampuan “mobilitas”

yang menjadi faktor terbentuknya

stratifikasi yang paling dominan. Ia

beranggapan, hanya mereka yang “mobile”

yang mampu menguasai dunia dalam proses

memaknai dirinya sendiri. Sebaliknya,

mereka yang memiliki kekurang-mampuan

dalam mobilitas, terkurung dan tidak

mampu memberi makna kehidupannya

sendiri. Dalam hal ini, Bauman (1998: 97)

berasumsi bahwa pemenang adalah mereka

yang “hidup” dalam waktu, sementara

ruang tidak menjadi masalah.

Film modern Times ini dapat

digolongkan sebagai film komedi,

karena Chaplin sebagai film maker-

nya merepresentasikan pemikirannya

terhadap kondisi sosial kala itu dalam

kemasan humor. Film komedi bisa menjadi

penghantar kritik yang baik, karena

ditampilkan dengan cara menyimpang, dan

biasanya komedi dihadirkan dengan situasi

yang dekat dengan kehidupan keseharian

penonton. Sehingga penonton akan

merasa terbebaskan dari permasalahan

kehidupannya seketika dengan cara

menertawai apa yang mereka tonton.

Dalam film, tokoh memiliki peran

untuk menciptakan bentuk komedi-komedi

baru, walaupun secara narasi tidak lucu,

namun kemudian tokoh mampu membuat

penonton menjadi tertawa. Perlu kecerdasan

dari seorang tokoh untuk menciptakan

atau mengkonstruksi komedi baru kepada

penonton yang secara tidak langsung

dapat berperan dalam menghegemoni dan

memberikan wacana tertentu kepada para

penonton yang menikmatinya. Chaplin

bukanlah seorang seniman biasa, ia jenius

di bidangnya. Ia paham sekali bagaimana

Gambar 10.The Tramp yang menari dalam beberapa scene yang berbeda; ketika menjadi gila karena mesin (kiri), dalam situasi hectic di rumah makan

(tengah), dan menghibur Ellen dalam department store (kanan).Sumber: Film Modern Times (1936)

Page 11: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

35

tubuh mempunyai potensi daya pikat yang

luar biasa. Ia membuat penokohan film

yang merefleksikan kondisi kebudayaan

pada masa itu dan mencoba mengkritisinya

dengan penokohan dalam medium film.

Gaya jalan tokoh the Tramp yang dibuat

seperti separuh pinguin dan separuh

manusia, secara langsung berbeda dengan

gerak manusia lain di dalam film-filmnya,

apalagi di kehidupan nyata.

Tidak hanya itu, Chaplin

mengadopsi teknis kecepatan kamera dalam

merekam gambar. Semua pergerakan tokoh

dalam film bisu yang patah-patah, menjadi

tidak nyata. Chaplin seperti sengaja sekali

membuat karakter the Tramp menjadi tidak

nyata juga dari segi pergerakan. Gaya

jalannya menjadi lebih terlihat dan tentu saja

berbeda dari subjek lainnya, membuatnya

jadi pusat perhatian. Pakaiannya yang satu

stel juga merefleksikan bagaimana sosok

lelaki ideal (kaum burjois) pada masanya,

yang mungkin saja diimpikan banyak lelaki

dewasa kala itu, yakni menggunakan sepatu

pantofel, setelan jas, rambut disisir rapi,

dan topi bulat. Chaplin juga menampilkan

bentuk kumis yang berbeda, separuh dari

ukuran kumis yang dimiliki oleh para

bangsawan. Hal tersebut bisa merupakan

ejekan, atau sindiran terhadap kondisi

ekonomi saat itu, karena untuk kumis yang

panjang melintang tentu membutuhkan

perawatan yang lebih. Pakaian dan tampilan

kumis Tramp tergolong dalam gaya fashion

dari kalangan burjois, sedangkan pada

kenyataannya secara kelas sosial Tramp

berasal dari kalangan kelas proletar

The Tramp dan Ellen (Paulette

Goddard) menjadi tokoh protagonis

yang merepresentasikan sosok manusia

yang gagap akan kehadiran modernitas.

Mereka melawan mesin dan manusia

yang bersekongkol dengan mesin; polisi,

pengusaha, masyarakat menengah atas, dan

sebagainya. Dengan segala cara, mereka

seolah berdamai dengan potensi konflik

dan mengimajinasikan hal-hal indah dalam

hidup. Walau pada akhirnya, kepahitan

tetap mereka terima. Sosok Tramp juga

beberapa kali digambarkan menari dalam

situasi yang serupa, seolah menjadi

bentuk pelarian atas ketidakmampuannya

menghadapi masalah.

Simpulan

Dalam film Modern Times, Charlie Chaplin

membuat karya yang menjadi pusat

perhatian. Ia menampilkan sisi kritisnya

terhadap revolusi industri dan dampak dari

modernitas. Film yang menggambarkan

depression era di Amerika Serikat pada

tahun 1930-an itu menjadi artefak yang

berharga tentang kondisi sosial ekonomi

di berbagai belahan dunia. Film ini dimulai

dengan aktivitas para buruh yang bekerja

di sebuah pabrik pembuat baut. Kita akan

melihat buruh-buruh yang bekerja. Kita

seperti disuguhkan dengan sebuah analogi

tentang manusia yang tak jauh beda

dengan jenis hewan-hewan pekerja, seperti

lebah, rayap atau semut, yang pada saat itu

terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja.

Manusia modern mengira ia benar-

benar bebas dan ia hidup dalam dunia yang

menyajikan kemungkinan-kemungkinan

untuk dipilih dan direalisasikan. Tapi

pada kenyataannya, apa yang dikehendaki

manusia sebenarnya hanyalah apa yang

yang didiktekan kepadanya. Dengan kata

Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...

Page 12: Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...

Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114

36

lain, manusia tidak membuat dan memilih

lain daripada apa yang dianggap perlu

oleh sistem teknologis yang totaliter untuk

memertahankan dirinya.

Modernitas hingga kini tidak akan

pernah selesai, masih selalu berproses,

karena dalam prosesnya tersebut manusia

selalu melakukan negosiasi bahkan

terkadang resistensi. Film Modern Times ini

memperlhatkan bagaimana negosiasi dan

resistensi terjadi dalam modernitas hingga

pada akhirnya perubahan kebudayaan

terjadi. Kebudayaan tidak akan pernah

tetap dan akan selalu berubah, dalam hal

ini film berperan dalam menarasikan dan

merefleksikan kebudayaan pada suatu

zaman tertentu, berdasarkan era ketika film

itu dibuat.

Daftar Rujukan

Ajidarma, S.G. 2000. Layar Kata: Menengok

20 skenario pemenang Citra, Festival

Film Indonesia, 1973-1992. Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya.

Ajidarma, S.G. 2017. “Realisme dalam

Film”. Kuliah Ideologi Kebudayaan

Populer. Kuliah disampaikan di FIB UI

Depok pada tanggal 4 April 2017.

Bauman, Zygmunt. 1998. Globalization:

The Human Consequences. Cambrige:

Polity Press with Blackwell Publisher.

Caughie, John. 1981. Theories of

Authorship: A Reader. London:

Routledge & Kegan Paul in Association

with the British Film Institute.

Ford, Henry. 2002. My Life and Work.

Diakses dari www.blackmask.com

Foucault, Michel. 1975. Discipline and

Punish: The birth of the Prison.

Diterjemahkan oleh Alan Sheridan.

New York: Random House. Inc.

Hayward, Susan. 2000. Cinema Studies: Key

Concept. Vol. 2. New York: Routledge.

Herbert, Marcuse. (1964). One-Dimensional

Man. United Kingdom: Routledge &

Kegan Paul.

Kusumawijaya, Marco. 2004. Jakarta:

Metropolis Tunggang-langgang.

Jakarta Pusat: Penerbit Gagas Media.

Maland, Charles J. 1989. Chaplin and

American Culture. Princeton: Princeton

University Press.

Marx, Karl. 2009. Capital, A Critique of

Political Economy. Washington, D. C.:

Regnery Publishing, Inc.

Sarris, Andrew. 1996. The American

Cinema: Directors And Directions 1929-

1968. New York: Perseus Books Group.

Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni Krisis

Kesdaran. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.