Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...
Transcript of Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern: Tautan antara ...
25
Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern:Tautan antara Ideologi dan Kebudayaandalam Film Modern Times
HERI PURWOKOCultural Studies, Departemen SusastraFakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas [email protected]
Abstract: An era can be reflected by film, especially when the film was made. Chaplin is an American film artist who is smart and sensitive in getting the important moment in his life, which is in 1914 until 1967. Modern Times (1936) was one of the important film beside The Kid (1921), The Great Dictator (1940), and Gold Rush (1925). Modern times choosed distracted the audience by machine terror that was real happened in worker life, than presented drama film in satire. In cultural studies methods, this writing tells about Modern Times film: how was human life in metropolis city, in (1936), who fighted work to stay alive while facing industries machine threats which replaced people slowly in modernity atmosphere.
Abstrak: Film selalu menarasikan dan merefleksikan suatu zaman tertentu, khususnya era ketika film itu dibuat. Chaplin adalah seorang seniman film Amerika Serikat yang peka dan cerdas dalam memetik penggalan peristiwa di titik-titik penting kehidupannya, terbentang antara tahun 1914 hingga 1967. Film Modern Times (1936) merupakan salah satu film penting karya Chaplin, selain The Kid (1921), The Great Dictator (1940), dan Gold Rush (1925). Alih-alih menampilkan drama cinta yang satir, Modern Times mendistraksi penontonnya dengan teror mesin yang menjadi kenyataan dan harus dihadapi oleh para manusia pekerja. Dengan menggunakan pendekatan cultural studies, tulisan ini mengkaji bagaimana kehidupan manusia yang hidup di kota metropolitan, dalam film Modern Times (1936), berjuang untuk bisa tetap bekerja sambil menghadapi ancaman mesin-mesin industri yang perlahan menggantikan mereka dalam atmosfer modernitas.
Keywords: modernity, industrilization, film, Chaplin, metropolitanKata Kunci: modernitas, industrialisasi, film, Chaplin, metropolitan
“More than machinery, we need humanity. More than cleverness, we need kindness.”
~ Charlie Chaplin
Kota Metropolitan dan Masyarakat Urban
Metropolitan merupakan sebutan untuk
menggambarkan suatu kawasan kota yang
relatif besar dari jumlah penduduk, ukuran
luas wilayah, maupun skala aktivitas
ekonomi dan sosial. Secara etimologi, kata
metropolitan (kata benda) atau metropolis
(kata sifat) berasal dari bahasa Yunani
Kuno, yaitu kata “meter” yang berarti
ibu dan “polis” yang berarti kota. Kota
metropolis diasosiasikan dengan bangunan-
bangunan pencakar langit, lengkap
dengan segala modernitas yang menyertai
kehidupan masyarakatnya. Modernitas
telah menciptakan medan magnet yang
Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...
Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114
26
besar bagi para pendatang, mengakibatkan
kota metropolis selalu terlihat menarik dan
diinginkan oleh jutaan pendatang untuk
tinggal atau bekerja. Hal ini menyebabkan
kota ini mengharuskan masyarakat urban
(baca: para pendatang) yang menetapi kota
tersebut menghabiskan hampir seluruh
hidupnya bekerja untuk mendapatkan uang
agar dapat bersaing dan bertahan hidup.
Ketika hal ini terjadi, maka setiap orang
seakan akan selalu dikejar-kejar oleh waktu
yang terus menerus menuntut mereka
untuk bekerja.
Perkembangan zaman dan
teknologi yang terus meningkat telah
memaksa manusia untuk mengikutinya,
sehingga mengakibatkan manusia tidak
memiliki waktu luang untuk bersantai,
menghabiskan waktu tanpa harus
memikirkan uang. Setidaknya ada dua film
yang singgah di kepala penulis di awal
ide penulisan ini, yaitu Metropolis (Fritz
Lang, 1927, 153 menit) dan Modern Times
(Chaplin, 1936, 89 menit). Modern Times
akhirnya dipilih karena lebih berdimensi,
fluid secara penceritaan, serta ungkapan
“Siapa yang tidak kenal Chaplin?”.
Charlie Chaplin menciptakan
tokoh The Tramp1, tokoh fiksi yang
menggambarkan kehidupan masyarakat
urban di kota metropolis. Dalam filmnya,
tokoh ini merupakan tokoh yang anti-
mainsteam ketika semua orang bekerja
keras dikejar-kejar waktu untuk bertahan
hidup, tokoh Charlie Chaplin seakan
mencoba “memperlambat waktu”. Banyak
film yang tidak lekang oleh waktu, dan
1 Tokoh Tramp, juga disebut sebagai Char-lot di beberapa literatur, muncul dalam film Kid Auto Races at Venice (Henry Lehrman, 1914, 11 menit), kemudian menjadi judul sendiri The Tramp (Chaplin, 1915, 32 menit).
Modern Times adalah contoh sempurna,
karena jika dibawa ke zaman sekarang,
tema yang diangkat oleh film Modern Times
masih sangat signifikan untuk dibahas.
Tulisan ini mengkaji bagaimana kehidupan
tokoh Charlie Caplin mencoba melawan
dominasi modernitas dan kapitalis yang
direpresentasikan melalui film Modern
Times (1936), dengan menggunakan
pendekatan cultural studies.
Kegelisahan Chaplin dalam Modern Times
Film Modern Times dibuka dengan
tulisan, “A story of industry, of individual
enterprise—humanity crusading in the
pursuit of happiness.” Aura kegelisahan
segera menyeruak begitu ketika kita dibawa
masuk ke dalam film. Kegelisahan Chaplin
bukan tanpa alasan, kritiknya terhadap
Ford2, selanjutnya disebut Fordisme, dan
juga modernitas membuat Chaplin seolah
khawatir tentang masa depan manusia
setelah hadirnya mesin.
2 Dalam buku biografinya, My Life and Works (1922), Henry Ford menceritakan tentang teror mesin yang mampu menggantikan dan men-gorganisir pekerjaan kasar manusia. Ford meng-hasilkan mesin-mesin produksi, terutama mobil, yang paling terkenal di awal abad ke-20.
Gambar 1.Premise yang ditampilkan dalam frame pembuka Modern Times.
Sumber: Film Modern Times (1936)
27
There can be no greater absurdity and
no greater disservice to humanity in
general than to insist that all men are
equal. Most certainly all men are not
equal, and any democratic conception
which strives to make men equal is
only an effort to block progress. Men
cannot be of equal service. The men
of larger ability are less numerous
than the men of smaller ability; it
is possible for a mass of the smaller
men to pull the larger ones down—
but in so doing they pull themselves
down. It is the larger men who give
the leadership to the community and
enable the smaller men to live with
less effort (Ford, 1922).
Modern Times3 berkisah tentang era
great depression yang terjadi pada era 30-
an saat kondisi perekonomian tengah carut
marut dan orang-orang berebut pekerjaan
di berbagai pabrik, kekurangan makanan,
hingga demonstrasi buruh yang merajalela
akibat dari revolusi industri. Film dimulai
dengan sebuah full screen sebuah jam yang
bergerak dan menunjukkan pukul 6 pagi,
menyertai titling awal film.
Jam 6 pagi adalah awal ketika
orang-orang, setidaknya dalam film ini,
memulai rutinitas harian mereka berangkat
bekerja menuju pabrik. Gambar kemudian
beralih ke high angle domba-domba yang
digiring ke satu arah yang sama, kemudian
dissolve ke adegan orang-orang yang
berjalan ke tempat kerja. Dua shot ini
3 Ide dasar film Modern Times konon berawal dari percakapan ringan antara Chap-lin dengan Mahatma Gandhi, dilakukan sebuah eksperimen yang menggabungkan antara film bisu dengan beberapa efek suara dialog. Bahkan dalam Modern Times penonton untuk kali pertama men-dengarkan suara The Tramp sekaligus yang tera-khir karena setelah ini karakter itu “dipensiunkan”.
menampilkan apa yang ingin Chaplin
sampaikan kepada penonton. Jelas sekali
bahwa Chaplin hendak menganalogikan
para pekerja tersebut dengan sekawanan
domba yang ‘digiring’ dan terkonstruksikan
untuk melakukan hal yang sama setiap hari
untuk bertahan hidup dan di bawah satu
pengawasan.
Tokoh dengan nama Tramp
(Chaplin), beberapa kali disebut juga sebagai
Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...
Gambar 2.Metafora yang ingin ditampilkan Chaplin, sekaligus premis
dalam gambar bergerak di awal film Modern Times.Sumber: Film Modern Times (1936)
Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114
28
Charlot, merupakan salah satu pekerja di
sebuah pabrik bernama Electro Steel Corp
dengan tugas hanya mengencangkan
baut. Tramp yang jenuh, suatu ketika
pergi ke toilet untuk merokok, tapi ia
segera dikejutkan dengan kemunculan
bosnya dalam layar di dinding toilet,
mengingatkannya kembali untuk segera
bekerja. Adegan ini menjelaskan adanya
gap dan sekaligus kontrol penuh bos
terhadap karyawannya. Dengan teknologi
kamera (serupa CCTV masa kini), bos bisa
melihat aktfitas seluruh pekerjanya, untuk
memastikan karyawannya benar-benar
bekerja, seperti konsep panopticism yang
direfleksikan oleh Michel Foucault dalam
Discipline and Punish (1975).
The Panopticon may even provide
an apparatus for supervising its
own mechanisms. In this central
tower, the director may spy on all
the employees that he has under his
orders: nurses, doctors, foremen,
teachers, warders; he will be able
to judge them continuously, alter
their behaviour, impose upon them
the methods he thinks best; and it
will even be possible to observe the
director himself. (Foucault, 1975)
Tidak cukup hanya itu, teknologi
kemudian melakukan improvisasi untuk lebih
memaksimalkan produktifitas karyawan
dengan menggunakan alat pembantu
makan, serupa robot, sehingga para pekerja
bisa makan siang sambil bekerja tanpa jam
khusus untuk istirahat. Di sini, tampak ada
usaha untuk memaksimalkan waktu kerja
dengan menghilangkan jam makan siang
para pekerja. Kondisi ini sekaligus juga
merefleksikan adanya “dehumanization”,
“alienation”, dan “instrumentalization of
human beings” yang dilakukan oleh pemilik
usaha terhadap karyawannya.
Akibat dari kerja yang tak
ada hentinya, maka Tramp kemudian
menjadi gila (nervous breakdown), ia
mengencangkan apa saja yang bentuknya
serupa dengan baut. Ia kemudian
mengacaukan seluruh kegiatan di pabrik
dan hal ini membuatnya masuk rumah
sakit jiwa. Setelah keluar dari rehabilitasi
rumah sakit jiwa, ia terjebak dalam sebuah
demonstrasi. Tiba-tiba secara tidak sengaja
Tramp berada di barisan paling depan
Gambar 3.Bos yang tiba-tiba muncul di toilet ketika Tramp istirahat dan
merokok, sebuah panapticon prison.Sumber: Film Modern Times (1936)
Gambar 4.Demi efisiensi, maka perusahaan berencana untuk membuat
karyawannya makan siang sambil tetap bekerja.Sumber: Film Modern Times (1936)
29
beserta sebuah bendera di tangannya pada
sebuah unjuk rasa, walaupun sebenarnya
ia tidak mengerti masalah demonstrasi
ini. Polisi kemudian menangkap dan
menuduhnya sebagai pemimpin demo,
hingga akhirnya ia dijebloskan ke dalam
penjara.
Demonstrasi buruh yang terjadi
pada great depression era memang kerap
terjadi. Chaplin merekam dengan baik hal
ini, sekaligus juga memberikan sebuah
dokumentasi yang baik bagi kita di masa
berpuluh-puluh tahun setelahnya. Beberapa
shot demonstrasi dalam Modern Times
bahkan mengambil stock shot aslinya,
yang di-montage ke dalam film, terlihat
dari karakteristik visual dan juga mode
grain yang berbeda dengan shot lainnya.
Latar belakang masa kecil Chaplin yang
berada di ranah kemiskinan tampaknya
terlihat begitu fasih divisualisasikan dalam
karakter Tramp, juga kondisi lokasi yang
memberikan imaji kenyataan. Saat itu
Chaplin berada di puncak popularitas dan
Modern Times menjadi film yang sukses
secara komersial, walaupun sebenarnya
bisa saja ia membuat film yang jauh dari
kisah “Si Gelandangan” ini.
Karl Marx, jauh sebelumnya,
menganalisis ide-ide tentang teori kelas,
terutama dalam Das Capital (1867, 2009).
Secara umum, konsep kelas sosial yang
diutarakan oleh Marx telah diterjemahkan
dalam versi sistem ekonomi kapitalisme.
Dalam karyanya tersebut, Marx membagi
tiga kelas utama dalam struktur masyarakat
kapitalis, yaitu kelas buruh upahan (Wage
Labourers), kelas kapitalis, dan kelas pemilik
tanah (Landowner). Walau bagaimanapun,
perkembangan struktur industri kapitalisme
hanya memperkenalkan dua jenis kelas
saja, yaitu borjuis dan proletar. Semua
kelas buruh upahan akan diklasifikasikan
sebagai kelas proletar. Sedangkan kelas
Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...
Gambar 5. Adegan The Tramp yang meluncur dan tertelan mesin, ia tetap
mengencangkan baut seperti pekerjaan rutinnya di pabrik. Sumber: Film Modern Times (1936).
Gambar 6.The Tramp secara tidak sengaja berada paling depan sebuah
demonstrasi yang membuat polisi mengira ia adalah pimpinan. Selain memotret peristiwa di great depression era, citra komunis
seperti yang hendak Chaplin utarakan, tentang bagaimana perjuangan kelas Marx bertentangan dengan semangat
kapitalisme. Sumber: Film Modern Times (1936)
Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114
30
kapitalis dan pemilik tanah dimasukkan
dalam kelas borjuis. Namun, kedua kelas
yang diklasifikasikan dalam kelas borjuis
tersebut bersaing ketat dalam memperoleh
dan merebut keuntungan atau kekayaan.
Sementara, mereka yang ‘kalah’ akan
diletakkan di posisi kelas proletar. Analisis
Marx ini direpresentasikan dalam film
Modern Times, bahwa ketika itu gap
antara kelas-kelas sosial semakin jauh.
Kelas proletar semakin ditekan untuk
menghasilkan kekayaan bagi kelas burjois,
sehingga kemudian muncul berbagai
permasalahan sosial, seperti demo buruh,
kemiskinan, tingkat kriminalitas yang
tinggi (pencurian dan perampokan), dan
lain sebagainya.
Setelah beberapa hari di dalam
penjara, Tramp dianggap sebagai pahlawan
karena secara kebetulan ia berhasil
menggagalkan usaha beberapa narapidana
untuk kabur dan menyerang polisi. Hal itu
membuatnya mendapat kehidupan yang
tercukupi dan bahagia di penjara. Namun
kemudian, kebingungan ia rasakan saat
tiba waktunya hari kebebasan, karena di
penjara ia merasakan kenyamanan, dapat
makan gratis dan tidur nyaman, tanpa
harus bekerja keras di pabrik. Di luar
penjara, ia bertemu seorang gadis yatim
piatu bernama Ellen (Paulette Goddard)
yang baru saja kehilangan ayahnya. Gadis
tersebut menolak dibawa ke penampungan
Dinas Sosial, lebih memilih hidup di jalan
dan makan dengan cara mencuri. Dari
situlah Tramp dan Ellen mulai saling
mengenal, berbagi kebahagiaan, dan sama-
sama membangun mimpi yang menurut
mereka ideal, American dream. Impian ini
merupakan representasi kejenuhan dari
aktivitas rutin yang mengharuskan orang
untuk bekerja keras demi mendapatkan
uang untuk makan. Ketika semua orang
bahagia memiliki banyak uang, Tramp
lebih memilih bahagia tanpa uang namun
kebutuhan hidup dapat terpenuhi langsung
dari alam, dengan kata lain adegan ini
merupakan bentuk perlawanan kapitalisme.
Gambar 7.Dalam imajinasinya, Tramp memiliki rumah, hidup bahagia bersama Ellen. Ia bisa langsung memakan buah-buahan dari
halaman rumah dan memperoleh susu segar dari sapi yang lewat di depan pintu. Sumber: Film Modern Times (1936).
Berbicara kembali tentang
modernitas, jika Heidegger (1927) berkata
bahwa kebenaran dan kebebasan mengalami
krisis, maka Habermas (1968) berpendapat
bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan
dapat menjadi sebuah ideologi. Sementara
itu, Marcuse (1964) lebih menekankan
bahwa salah satu karakteristik dari ilmu
pengetahuan merupakan potensi sebagai
kontrol sosial dan dominasi ideologi
dalam konteks kehidupan modern (dalam
Soetomo, 2003).
Domination, on the other hands,
brings an extends itself not only
31
through technology, but also as
technology and “the latter provides
the great legitimation of the
expanding political power, which
absorbs all spheres of culture”
(Marcuse, 1964: 158)
Jika melihat hubungan antara
modernitas dengan kehidupan impian
Tramp, maka dapat dikatakan bahwa apa
yang dikatakan Heidgger sesuai dengan
kritik sosial Chaplin terhadap kehidupan
modern yang tidak bebas. Ketika teknologi
semakin maju dan modern, maka kemudian
manusia dipaksa bekerja untuk memenuhi
kebutuhan kapitalis. Penemuan-penemuan
IPTEK telah melahirkan masyarakat pekerja.
Manusia tidak lagi bergantung pada alam,
semua kebutuhan hidup berasal dari hasil
produksi mesin yang didapatkan dengan
menggunakan uang. Kehidupan yang tidak
bebas dan rumit itu terlihat dari representasi
pemikiran Tramp pada impiannya yang
sangat sederhana.
Setelah beberapa waktu hidup
bersama Tramp, si gadis merasa bahwa
beberapa kali ia “dibahagiakan” oleh the
Tramp, sehingga ia kemudian merasa
berhutang budi dan memilih untuk bersama
Tramp, padahal ia bisa saja tinggal di
rumah yatim piatu seperti kedua adiknya.
Tramp sadar bahwa Ellen bergantung
hidup padanya, namun bagaimanapun juga
memenuhi kebutuhan hidup tanpa memiliki
uang tidaklah mungkin. Menyadari hal
tersebut, mungkin ada rasa cinta dan
keinginan untuk membahagiakan teman
perempuannya, Tramp memutuskan
untuk bekerja untuk mendapatkan uang.
Maka, ia kemudian bekerja di sebuah
department store sebagai penjaga malam.
Hari pertama ia bekerja, Ellen langsung
dibawa menikmati kemewahan yang tidak
bisa mereka beli, yakni menggunakan
semua barang-barang yang ada di display,
antara lain; mencoba permainan sepatu
roda, hingga tidur di kasur nyaman
yang tidak pernah dicoba sebelumnya.
Sebuah ironi, impian masyarakat proletar
yang bekerja keras namun tidak pernah
merasakan kemewahan kelas burjois. Saat
menjalankan pekerjaannya sebagai penjaga
malam, Tramp dikacaukan oleh sekelompok
perampok yang ternyata adalah teman
kerjanya di pabrik. Singkat waktu, yang
tadinya berniat akan menggagalkan
perampokan, kemudian menjadi ajang
reunian. Pada adegan ini dapat dilihat
bahwa seberapa pun kerasnya bekerja di
pabrik, namun tetap saja masih belum bisa
memenuhi kebutuhan hidup yang layak,
hingga pada akhirnya tetap harus mencari
uang dengan cara lain. Dalam hal ini dapat
dikatakan juga bahwa modernitas tidak
serta merta dapat membuat hidup menjadi
sejahtera, namun sebaliknya.
Akibat dari peristiwa gagalnya
perampokan, Tramp dipenjara untuk kedua
kalinya karena telah ketahuan mengacau
di department store. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, Ellen kemudian
mendapatkan pekerjaan sebagai penari di
sebuah tempat makan dan hiburan. Setelah
keluar dari penjara, Tramp pun tertular
pekerjaan sebagai pelayan sekaligus
penghibur di tempat yang sama dengan
Ellen. Saat menjalankan pekerjaannya
sebagai seorang pelayan, ada satu adegan
ketika ia harus mengantarkan pesanan
bebek panggang ke seorang konsumennya
Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...
Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114
32
yang marah-marah. Tetapi, ia terjebak di
pusaran tari para pengunjung. Semua orang
turun ke area tengah untuk menari bersama
pasangan mereka. Jika adegan ini dibaca
sebagai teks, maka dapat dimaknai sebagai
sebuah imaji ironi, yakni betapa banyak
orang berusaha untuk membuat diri mereka
terhibur dan rileks, tidak peduli area yang
sempit. Sebuah representasi dari ruang
urban dengan banyak sisi kehidupannya:
petualangan, pekerjaan, pasar, khalayak,
kekuasaan, gaya hidup, percintaan, sorotan,
persembunyian, eksistensi, anonimitas,
hiburan, ilusi-disilusi, kemenangan dan
penyesalan.
Untuk melihat gaya hidup di dalam
ruang urban, Walter Benjamin (dalam
Kusumawijaya, 2004: 67-69) menelusuri
kota, menenggelamkan dirinya ke dalam
kerumunan orang, dan menggunakan
bentang-kota (cityscape) sebagai landasan
untuk menerbangkan imajinasinya. Ia
menggambarkan flanerie4, kegiatan
seorang flaneur yang berjalan santai,
menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan
modern (department store, mall). Selain itu,
dapat juga dikatakan sebagai masyarakat
konsumtif yang merangkakkan kehidupan
abad ke-20. Seorang flaneur bisa merasa
betah di dalam dua tipe bentang-kota,
yaitu arcade dan boulevard. Keduanya
4 The terms of flânerie date to the 16th or 17th century, denoting strolling, idling, often with the connotation of wasting time. But it was in the 19th century that a rich set of meanings and definitions surrounding the flâneur took shape.”The flaneur is espe-cially at home in two distinctive cityscapes, the arcade and the boulevard. Both are won-derfully designed for shopping, for making deals, for amorous cruising, display, and en-counters.” (Berman, April (2000) dalam Marco Kusumawijaya: 67).
Gambar 8.Tramp bersama si gadis di akhir film, berjalan menjauhi kamera, ke arah sumber cahaya yang menganalogikan kehidupan atau harapan baru di masa mendatang. Sumber: Film Modern Times
(1936)
secara mengagumkan dirancang sebagai
tempat untuk berbelanja, melakukan
‘transaksi’, tempat mengalami petualangan
cinta, ‘mejeng’ dan pertemuan-pertemuan.
Gambaran Benjamin saat itu adalah
flaneur yang menunjukkan urbanitas yang
sepenuhnya hampir tidak pernah dialami
dalam urbanitas Jakarta dewasa ini: pejalan
kaki yang menikmati ‘jalan-jalan’ dengan
lamban di dalam arcade---hal ini terjadi
pada zaman kolonial dulu. Penggambaran
ini sebenarnya adalah cara masyarakat kota
dalam mengisi waktu luangnya ‘leisure
time’.
Tokoh Tramp dalam film
ini ditampilkan sebagai orang yang
menentang kehidupan modern, yang
merasa teralienansi dengan mesin-mesin
yang dianggap memberi kemudahan
namun ternyata menyulitkan. Ketidak-
berpihakannya Tramp terhadap industri
modern kala itu ditampilkan melalui
adegannya sebagai flaneur, yang lebih suka
berjalan-jalan ketimbang bekerja di pabrik.
Diperlihatkannya manusia modern kala itu
33
selalu dikejar-kejar oleh waktu untuk selalu
bekerja, namun Tramp mencoba untuk
memperlambat waktu yang terus berjalan
dengan cepat. Tramp memperlambat
waktu dengan mengisi dan menikmati
hidup dengan lebih bermakna, dengan
impian dan harapannya, berpetualang
cinta, dan menjadi seorang flaneur.
Kesemua itu merupakan kritik sosial yang
direpesentasikan ke dalam film.
Serba Mesin, Problem dalam Dunia Nyata
Jika adegan film ini dikaitkan dengan
posternya, maka kita dapat membaca teks
apa yang ingin disampaikan oleh film
maker-nya. Dapat dilihat bahwa hampir
semua poster5 film ini menampilkan
gambar berupa gerigi mesin dan Chaplin
sebagai tokoh Tramp yang menjadi fokus
5 Film Modern Times ini memiliki lebih dari satu poster.
Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...
Gambar 9.Beberapa tampilan poster Modern Times di beberapa negara, interaksi antara manusia (The Tramp) dengan mesin selalu ditampilkan,
merepresentasikan kausalitas erat yang akan menjadi tidak terpisahkan lagi. Dari berbagai sumber.
Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114
34
utamanya. Berdasarkan hal tersebut, maka
terdapat dua tanda yakni: Tramp dan
gerigi mesin, yang secara langsung dapat
dimaknai sebagai kegelisahan sosial kala
itu. Problem manusia dan kondisi sosial
kala itu, mungkin juga berlanjut hingga
masa kini, adalah industrialisasi dan potensi
kehilangan lapangan pekerjaan karena
penggantian manusia dengan mesin. Mesin
dianggap lebih bisa memenuhi hasrat dan
tuntutan produksi karena permintaan pasar
akan suatu produk baru. Di sisi sebaliknya,
manusia dianggap semakin tidak mampu
untuk berlari mengejar targetnya.
Zygmunt Bauman berpendapat
tentang teori “pertarungan dalam
ruang” dalam Globalization: The Human
Consequences (1998: 9), bahwa globalisasi
diwarnai oleh faktor kemampuan “mobilitas”
yang menjadi faktor terbentuknya
stratifikasi yang paling dominan. Ia
beranggapan, hanya mereka yang “mobile”
yang mampu menguasai dunia dalam proses
memaknai dirinya sendiri. Sebaliknya,
mereka yang memiliki kekurang-mampuan
dalam mobilitas, terkurung dan tidak
mampu memberi makna kehidupannya
sendiri. Dalam hal ini, Bauman (1998: 97)
berasumsi bahwa pemenang adalah mereka
yang “hidup” dalam waktu, sementara
ruang tidak menjadi masalah.
Film modern Times ini dapat
digolongkan sebagai film komedi,
karena Chaplin sebagai film maker-
nya merepresentasikan pemikirannya
terhadap kondisi sosial kala itu dalam
kemasan humor. Film komedi bisa menjadi
penghantar kritik yang baik, karena
ditampilkan dengan cara menyimpang, dan
biasanya komedi dihadirkan dengan situasi
yang dekat dengan kehidupan keseharian
penonton. Sehingga penonton akan
merasa terbebaskan dari permasalahan
kehidupannya seketika dengan cara
menertawai apa yang mereka tonton.
Dalam film, tokoh memiliki peran
untuk menciptakan bentuk komedi-komedi
baru, walaupun secara narasi tidak lucu,
namun kemudian tokoh mampu membuat
penonton menjadi tertawa. Perlu kecerdasan
dari seorang tokoh untuk menciptakan
atau mengkonstruksi komedi baru kepada
penonton yang secara tidak langsung
dapat berperan dalam menghegemoni dan
memberikan wacana tertentu kepada para
penonton yang menikmatinya. Chaplin
bukanlah seorang seniman biasa, ia jenius
di bidangnya. Ia paham sekali bagaimana
Gambar 10.The Tramp yang menari dalam beberapa scene yang berbeda; ketika menjadi gila karena mesin (kiri), dalam situasi hectic di rumah makan
(tengah), dan menghibur Ellen dalam department store (kanan).Sumber: Film Modern Times (1936)
35
tubuh mempunyai potensi daya pikat yang
luar biasa. Ia membuat penokohan film
yang merefleksikan kondisi kebudayaan
pada masa itu dan mencoba mengkritisinya
dengan penokohan dalam medium film.
Gaya jalan tokoh the Tramp yang dibuat
seperti separuh pinguin dan separuh
manusia, secara langsung berbeda dengan
gerak manusia lain di dalam film-filmnya,
apalagi di kehidupan nyata.
Tidak hanya itu, Chaplin
mengadopsi teknis kecepatan kamera dalam
merekam gambar. Semua pergerakan tokoh
dalam film bisu yang patah-patah, menjadi
tidak nyata. Chaplin seperti sengaja sekali
membuat karakter the Tramp menjadi tidak
nyata juga dari segi pergerakan. Gaya
jalannya menjadi lebih terlihat dan tentu saja
berbeda dari subjek lainnya, membuatnya
jadi pusat perhatian. Pakaiannya yang satu
stel juga merefleksikan bagaimana sosok
lelaki ideal (kaum burjois) pada masanya,
yang mungkin saja diimpikan banyak lelaki
dewasa kala itu, yakni menggunakan sepatu
pantofel, setelan jas, rambut disisir rapi,
dan topi bulat. Chaplin juga menampilkan
bentuk kumis yang berbeda, separuh dari
ukuran kumis yang dimiliki oleh para
bangsawan. Hal tersebut bisa merupakan
ejekan, atau sindiran terhadap kondisi
ekonomi saat itu, karena untuk kumis yang
panjang melintang tentu membutuhkan
perawatan yang lebih. Pakaian dan tampilan
kumis Tramp tergolong dalam gaya fashion
dari kalangan burjois, sedangkan pada
kenyataannya secara kelas sosial Tramp
berasal dari kalangan kelas proletar
The Tramp dan Ellen (Paulette
Goddard) menjadi tokoh protagonis
yang merepresentasikan sosok manusia
yang gagap akan kehadiran modernitas.
Mereka melawan mesin dan manusia
yang bersekongkol dengan mesin; polisi,
pengusaha, masyarakat menengah atas, dan
sebagainya. Dengan segala cara, mereka
seolah berdamai dengan potensi konflik
dan mengimajinasikan hal-hal indah dalam
hidup. Walau pada akhirnya, kepahitan
tetap mereka terima. Sosok Tramp juga
beberapa kali digambarkan menari dalam
situasi yang serupa, seolah menjadi
bentuk pelarian atas ketidakmampuannya
menghadapi masalah.
Simpulan
Dalam film Modern Times, Charlie Chaplin
membuat karya yang menjadi pusat
perhatian. Ia menampilkan sisi kritisnya
terhadap revolusi industri dan dampak dari
modernitas. Film yang menggambarkan
depression era di Amerika Serikat pada
tahun 1930-an itu menjadi artefak yang
berharga tentang kondisi sosial ekonomi
di berbagai belahan dunia. Film ini dimulai
dengan aktivitas para buruh yang bekerja
di sebuah pabrik pembuat baut. Kita akan
melihat buruh-buruh yang bekerja. Kita
seperti disuguhkan dengan sebuah analogi
tentang manusia yang tak jauh beda
dengan jenis hewan-hewan pekerja, seperti
lebah, rayap atau semut, yang pada saat itu
terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja.
Manusia modern mengira ia benar-
benar bebas dan ia hidup dalam dunia yang
menyajikan kemungkinan-kemungkinan
untuk dipilih dan direalisasikan. Tapi
pada kenyataannya, apa yang dikehendaki
manusia sebenarnya hanyalah apa yang
yang didiktekan kepadanya. Dengan kata
Heri Purwoko, Mesin dan Kegelisahan Manusia Modern ...
Jurnal Urban Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017: 1-114
36
lain, manusia tidak membuat dan memilih
lain daripada apa yang dianggap perlu
oleh sistem teknologis yang totaliter untuk
memertahankan dirinya.
Modernitas hingga kini tidak akan
pernah selesai, masih selalu berproses,
karena dalam prosesnya tersebut manusia
selalu melakukan negosiasi bahkan
terkadang resistensi. Film Modern Times ini
memperlhatkan bagaimana negosiasi dan
resistensi terjadi dalam modernitas hingga
pada akhirnya perubahan kebudayaan
terjadi. Kebudayaan tidak akan pernah
tetap dan akan selalu berubah, dalam hal
ini film berperan dalam menarasikan dan
merefleksikan kebudayaan pada suatu
zaman tertentu, berdasarkan era ketika film
itu dibuat.
Daftar Rujukan
Ajidarma, S.G. 2000. Layar Kata: Menengok
20 skenario pemenang Citra, Festival
Film Indonesia, 1973-1992. Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya.
Ajidarma, S.G. 2017. “Realisme dalam
Film”. Kuliah Ideologi Kebudayaan
Populer. Kuliah disampaikan di FIB UI
Depok pada tanggal 4 April 2017.
Bauman, Zygmunt. 1998. Globalization:
The Human Consequences. Cambrige:
Polity Press with Blackwell Publisher.
Caughie, John. 1981. Theories of
Authorship: A Reader. London:
Routledge & Kegan Paul in Association
with the British Film Institute.
Ford, Henry. 2002. My Life and Work.
Diakses dari www.blackmask.com
Foucault, Michel. 1975. Discipline and
Punish: The birth of the Prison.
Diterjemahkan oleh Alan Sheridan.
New York: Random House. Inc.
Hayward, Susan. 2000. Cinema Studies: Key
Concept. Vol. 2. New York: Routledge.
Herbert, Marcuse. (1964). One-Dimensional
Man. United Kingdom: Routledge &
Kegan Paul.
Kusumawijaya, Marco. 2004. Jakarta:
Metropolis Tunggang-langgang.
Jakarta Pusat: Penerbit Gagas Media.
Maland, Charles J. 1989. Chaplin and
American Culture. Princeton: Princeton
University Press.
Marx, Karl. 2009. Capital, A Critique of
Political Economy. Washington, D. C.:
Regnery Publishing, Inc.
Sarris, Andrew. 1996. The American
Cinema: Directors And Directions 1929-
1968. New York: Perseus Books Group.
Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni Krisis
Kesdaran. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.