merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia
Transcript of merupakan seorang misionaris ... - Universitas Indonesia
Gambar yang dijadikan sebagai sampul pada edisi
kali ini adalah visualisasi rumah sakit swasta tertua
di Indonesia, yakni Rumah Sakit PGI Cikini. Berdiri
pada 12 Januari 1898, kini RS PGI Cikini telah genap
berusia 116 tahun. Berlokasi di Jalan Raden Saleh
Nomor 40, Cikini, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas
5,6 Ha, RS PGI Cikini menempati sebuah bangunan
bergaya gothic-moors yang dahulu adalah milik
seorang pelukis naturalis kenamaan Indonesia,
yakni Raden Saleh (Huis van Raden Saleh).
“Doeloe, Sachsen Coburg-Gotha, Ratu Victoria,
Johannes van den Bosch, dan Herman Willem
Daendels memesan lukisan emas dari pemilik
istana gothic - moors ini”
Cikal bakal RS PGI Cikini telah dimulai sejak 15
Maret 1895 saat Dominee Cornelis de Graaf yang
merupakan seorang misionaris Belanda beserta
sang isteri Adriana J. de Graaf Kooman mendirikan
Vereeniging Voor Ziekenverpleging In Indie atau
perkumpulan orang sakit di Indonesia. Lalu, balai
pengobatan sebagai wadah pelayanan kesehatan
berbagai golongan masyarakat tanpa memandang
kedudukan dan untuk semua suku, bangsa, serta
agama pun dibuka di Gang Pool (di dekat Istana
Negara) pada 1 September 1895.
Dominee dan Adriana lalu mencari dana untuk
mengawali pekerjaan pelayanan kesehatan tersebut
hingga pada akhirnya mereka pun memperoleh
sumbangan senilai 100.000 gulden dari Ratu Emma yang merupakan Ratu negeri kincir angin saat itu. Dari sumbangan
tersebut, maka dibelilah istana megah milik Raden Saleh (Huis van Raden Saleh) pada Juni 1897 dan kegiatan pelayanan
kesehatan pun dialihkan ke gedung ini. Diketahui, Nirin Ninkeulen yang berasal dari Depok adalah pribumi pertama yang
bekerja sebagai tenaga medis di RS Ratu Emma tersebut. Kemudian, pada 1 Agustus 1913, nama Rumah Sakit Ratu Emma
diubah menjadi Rumah Sakit Tjikini.
Pada masa pendudukan Jepang, RS Cikini dijadikan sebagai Rumah Sakit Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Lalu, pasca
pendudukan Jepang (Agustus 1945-Desember 1948), RS Tjikini dioperasikan oleh RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of
War and Internees) dan selanjutnya oleh Dienst van Volksgezondheld (DVG) sebagai Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda
hingga pada akhir 1948, RS Cikini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak swasta dan dipimpin oleh R.F. Bozkelman.
Kemudian, pada tahun 1957, pengelolaan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini pun diserahkan
kepada DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dengan Prof. Dr. Joedono sebagai pimpinan sementara hingga diangkatlah dr.
H. Sinaga sebagai direktur pribumi pertama RS Tjikini. Seiring dengan berjalannya waktu, Yayasan Stichting Medische
Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI Tjikini. Sehubungan
dengan penyempurnaan ejaan dalam Bahasa Indonesia, maka Yayasan RS DGI Tjikini diubah menjadi Yayasan Kesehatan PGI
Cikini pada 31 Maret 1989. Kini, Yayasan Kesehatan PGI Cikini membawahi Rumah Sakit PGI Cikini, Akademi Perawat RS PGI
Cikini (Akper Cikini), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia RS PGI Cikini (PPSDM), dan Balai Kesehatan
Masyarakat di Tanjung Barat.
Lambat laun, RS PGI Cikini dikenal khususnya pada bidang pelayanan medis ginjal. Adapun Unit Penyakit Dalam Ginjal dan
Hipertensi (PDGH) dirintis oleh alm. Prof. R.P. Sidabutar dan tim medis tersebut merupakan penyelenggara transplantasi ginjal
pertama di Indonesia. Kini, sebagian besar transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di RS Cikini oleh tim PDGH dan Urologi.
Terkait dengan keunggulan tersebut, RS PGI Cikini telah menciptakan gelar MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai rumah
sakit penyelenggara transplantasi ginjal dengan pasien hidup yang paling lama. Selain pelayanan medis ginjal, RS PGI Cikini
juga menyediakan pelayanan neurologi, medical check up, catheterisasi laboratorium, IGD/emergency, rawat jalan, rawat
inap, rawat intensif, bedah/ operasi, farmasi, radiologi, laboratoratorium kesehatan, diagnostik lain, fasilitas umum, dan juga
rumah duka. Berdasarkan visi “Pelayanan Kesehatan Holistik dengan Sentuhan Kasih”, RS PGI Cikini terus berupaya dalam
rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien/masyarakat dengan berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan
Ketuhanan YME sebagai wujud jawaban dan kesaksian iman dalam rangka pembangunan dan peningkatan derajat kesehatan
yang optimal.
Sumber: Tropical Museum Amsterdam (http://www.amsterdammuseum.nl), “100 Tahun RS PGI Cikini, dengan Sentuhan Kasih” buah karya
Dr. Poltak Hutagalung, Amir L. Sirait, & Moxa Nadeak. Gambar merupakan buah karya: Charls, Van Es, & Co.NV.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016
Penanggung Jawab Umum Dr. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM
CHAMPS
(Center for Health Administration and Policy Studies) FKM UI
Dewan Redaksi
Ketua Dewan Redaksi
Prof. Amal Chalik Sjaaf, SKM, Dr.PH
Universitas Indonesia
Wakil Dewan Redaksi
Dr. Adib A. Yahya, MARS PERMAPKIN
(Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia)
Anggota Dewan Redaksi
Prof. Dr. dr. Adik Wibowo, MPH
Universitas Indonesia
Dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS
Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), DTM&H, MARS. DCTE
Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan
Dr. dr. Anwar Santoso, Sp.JP(K) ARSPI
Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia
Dr. Widodo J. Pudjiraharjo, MS, MPH, Dr.PH
Universitas Airlangga
Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS
Universitas Hasanuddin
Dr. Suprijanto Rijadi, MPA, Ph.D PERMAPKIN
Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia
Redaktur Pelaksana Vetty Yulianty Permanasari, S.Si, MPH
drg. Masyitoh, MARS
Puput Oktamianti, SKM, MM
Sekretaris Redaksi Anita P. Lubis, SKM
Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) merupa-
kan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinal tentang pengetahuan dan informasi riset tentang pengembangan terkini di bidang kesehatan, khususnya terkait dengan isu mengenai administrasi rumah sakit. Jurnal ini diterbitkan 3 kali (3 nomor) dalam 1 tahun (1 volume). Adapun artikel atau naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal ARSI mencakup ranah penelitian, studi kasus, atau konseptual yang masing-masing mengusung pilar corporate governance, clinical governance, atau keduanya (bridging). Penerbit: Pusat Kajian Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) FKM UI& Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (PERMAPKIN) Alamat Redaksi: Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI Depok 16424 Tlp. 021-80736060 Fax. 021-7867370 Hp. 085211003451 E-mail: [email protected]
ISSN 2406 9108
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016
e-ISSN 1446008136
1. Jurnal ini memuat naskah dalam bidang ilmu Administrasi Rumah Sakit.
2. Naskah yang diajukan dapat berupa artikel penelitian, artikel telaahan, dan
makalah kebijakan yang belum pernah dipublikasikan.
3. Komponen artikel penelitian, yaitu:
Judul ditulis maksimal 15 patah kata
Identitas penulis ditulis di bawah judul terdiri dari nama, alamat korespodensi,
nomor telepon, dan email
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata,
dalam satu alinea mencakup masalah, tujuan, metode, hasil, disertai dengan 3-5
kata kunci.
Pendahuluan berisi latar belakang, tinjauan pustaka secara singkat dan relevan
serta tujuan penelitian
Metode meliputi desain, populasi, sampel, sumber data, teknik atau instrumen
pengumpul data, dan prsedur analisis data.
Hasil adalah temuan penelitian yang disajikan tanpa pendapat.
Pembahasan menguraikan secara tepat dan juga argumentatif hasil penelitian
dengan teori dan temuan terdahulu yang relevan.
Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuao dengan penampilan dalam
teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gambar dengan judul singkat.
Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian dengan tidak melampaui
kapasitas temuan. Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulan dibuat dengan
berbentuk narasi, logis, dan tepat guna.
4. Rujukan sesuai aturan Harvard dengan urut sesuai dengan pemunculan dalam
keseluruhan teks, dibatasi 25 rujukan dan diutamkan rujukan jurnal terkini..
5. Naskah masksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan menggunakan
program computer Microsoft Word dan PDF. Dikirm via email ke alamat
[email protected], CD/unggah melalui web www.champs.fkm.ui.ac.id/
content/manuscript.
6. Hardcopy naskah dikirim melalui pos disertai dengan surat pengantar yang
ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada permintaan secara
tertulis.
7. Naskah dikirim kepada : Redaksi Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit
Indonesia) Gedung G Lt.3 R.312 FKM UI Depok 16424, Tlp.021-80736060
Fax.021-7867370, Hp.085211003451.
8. Substansi naskah terdiri dari 5% abstrak, 10%pendahuluan, 15% tinjauan
teoritis, 10% metodologi penelitian, 35% hasil dan pembahasan, 25%
kesimpulan dan saran terhitung dari jumlah halaman naskah.
Contoh bentuk referensi:
Artikel Jurnal Penulis Individu:
Zainuddin AA. Kebijakan Pengelolaan Kualitas Udara Terkait Transportasi di Provinsi DKI
Jakarta. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2010; 4 (6): 281-8.
Artikel Jurnal Penulis Organisasi:
Diabetes Prevention Program Reaserch Group. Hypertension, Insulin, & Proinsulin in Partici-
pants with Impaired Glucose Tolerance. Hypertension. 2002: 40 (5): 679-86
Buku yang Ditulis Individu:
Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. Medical Microbiology. 4th ed. St. Louis:
Mosby; 2002.
Buku yang Ditulis Organisasi dan Penerbit:
Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clinical Nursing. Compendium
of Nursing Research & Practice Development, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide
University; 2001.
Bab dalam Buku:
Derrida, J. (1979) “Living on Border Lines,” trans. J.Hulbert, in Deconstruction & Criticism, New
York: Continuum, pp. 75–176.
Materi Hukum atau Peraturan:
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Perda) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 No. 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844).
CD-ROM:
LeBlanc, Susan, and Cameron MacKeen. "Racism and the Landfill." The Chronicle-Herald 7
Mar. 1992: B1. CD-ROM. SIRS 1993 Ethnic Groups. Vol. 4. Art. 42.
Artikel Jurnal di Internet:
Nielsen, Laura Beth. "Subtle, Pervasive, Harmful: Racist and Sexist Remarks in Public as Hate
Speech." Journal of Social Issues 58.2 (2002): 265.
Buku di Internet:
Foley KM, Gelband H, Editors. Improving Palliative Care For Cancer [Monograph on The
internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from:
<http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/encyclopedia.html>.
Ensiklopedia di Internet:
Duiker, William J. "Ho Chi Minh." Encarta Online Encyclopedia. 2005. Microsoft.
10 Oct. 2005. <http://encarta.msn.com/encyclopedia_761558397/
Ho_Chi_Minh.html>.
Situs Internet:
Gearan, Anne. "Justice Dept: Gun Rights Protected." Washington Post. 8 May 2002.
SIRS. Iona Catholic Secondary School, Mississauga, ON. 23 Apr. 2004 <http://
www.sirs.com>.
ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016
Artikel Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan BaratTahun 2015 ……………………………………...……
Eliyana
Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakel-ola dengan Sistem Outsourcing di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ...…………………..….
Ari Purwohandoyo
Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian
Standar Tarif INA-CBG’s Instalasi Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta ..………..
Dewi Apriyantini
Analisis Hubungan Budaya Organisasi, Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention
Perawat Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015 …………………………………………......…
Erta Rahmawati
Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepua-san Pasien di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Ko-ta Metro Tahun 2015 ……………………………………………………………….……..… Fitriyuli Mayasari
Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutane-ous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hoesin Pa-lembang Tahun 2015 ……………….………………………………………………………….. Harjito Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015 .. Mardiah
Jurnal arsi Jurnal arsi (Administrasi rumah sakit Indonesia)
Daftar Isi
172
183
194
204
214
231
245
ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juni 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 172
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di
Ruang Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan BaratTahun 2015
Factors related to the Executive Nurse’s Burnout in patient wards at RSJ West Kalimantan
Province in 2015
Eliyana
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor demografik, faktor personal dan faktor organisasi
terhadap burnout perawat pelaksana di unit rawat inap RSJ Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian deskriptif
dengan metode kuantitatif potong lintang menggunakan instrumen MBI (Maslach Burnout Inventory). Sampel
yang diambil adalah total sampling berjumlah 122 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa burnout perawat
pelaksana dalam kategori rendah sebesar 82,8% dan kategori sedang sebesar 17,2% serta variabel yang paling
dominan dengan burnout adalah variabel beban kerja.
Kata kunci: burnout, perawat pelaksana.
ABSTRACT
The study aims to determine the relationship between demographic factors, personal factors and organizational
factors toward burnout of nurses in the inpatient unit RSJ West Kalimantan Province. It is a quantitative study
with cross-sectional approach using MBI (Maslach Burnout Inventory) instrument. Samples are the total
population amounted to 122 nurses. The results showed that 82.8% are nurses with low category of burnout while
17.2% in middle category of burnout. The most dominant variables related to burnout is the workload of nurses.
Keywords: burnout, nurse executive.
PENDAHULUAN
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan
kesehatan merupakan bagian dari sumber daya
kesehatan yang sangat diperlukan dalam rangka
mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam
penyelenggaraan pelayanan rumah sakit, maka rumah
sakit harus melakukan upaya peningkatan mutu
pelayanan umum dan pelayanan medik, baik melalui
akreditasi, sertifikasi ataupun proses peningkatan mutu
lainnya (Kemkes, 2012).
Menurunnya kualitas pelayanan bukan hanya karena
faktor mutu tenaga, tetapi dapat juga karena tingginya
beban kerja yang berakibat perawat menjadi letih secara
fisik dan mental. Hal ini bisa tampak bila terjadinya
kenaikan jumlah kunjungan pasien dan meningkatnya
Bed Occupancy Rate (BOR), sedangkan jumlah
perawat tetap dalam periode waktu yang lama (Ilyas,
2013).
Perawat yang mengalami burnout dan mempunyai
lingkungan yang kurang aman dapat memberikan
perawatan yang kurang efisien daripada perawat yang
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 173
tidak mengalami burnout. Perawat yang mengalami
burnout juga beresiko melakukan kesalahan yang
berpotensi merugikan pasien. Burnout juga terbukti
menjadi penyebab terjadinya peningkatan turnover
sehingga membuat cost rumah sakit semakin meningkat
(Hoskins, 2013).
Istilah burnout pertama kali dikemukakan oleh Herbert
Freudenberger pada artikel “Staff Burnout” yang dimuat
Journal of Social Issues tahun 1974 (Schaufeli dan
Buunk, 1993 dalam Umar 2103). Istilah burnout dipakai
Freudenberger untuk menunjukkan adanya stres dan
kelelahan luar biasa yang dialami sukarelawan pada
klinik gratis di New York yang bekerja menangani
ketergantungan obat. Konsep dari studi job burnout pada
caregivers diteliti pertama kali oleh Maslach and Leitter
(1997). Profesi-profesi sebagai caregivers seringkali
menjadi “korban” dari job burnout sehubungan dengan
hubungan kerja mereka dengan care seekers. Tuntutan
syarat pekerjaan sebagai caregivers adalah memberikan
dukungan secara emosional, fisik dan intelektual kepada
care seekers. Timbulnya burnout pada caregivers terlihat
saat mereka tidak dapat lagi mendapat dukungan,
mengalami kelelahan dan tidak dapat melakukan
pekerjaannya secara optimal lagi (Kahn dalam Umar,
2013).
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Kalimantan Barat
adalah salah satu RSJ milik Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat yang berada di Jalan Raya
Singkawang-Bengkayang Km 15 Kota Singkawang
merupakan rumah sakit rujukan kesehatan jiwa di
Provinsi Kalimantan Barat dengan kapasitas 580 tempat
tidur, jumlah pasien rawat inap rata-rata 600 orang / hari
dan jumlah perawat 195 orang dengan strata pendidikan
D3, D4 dan S1 Keperawatan (Data Rawat Inap tahun
2014 RSJ Provinsi Kalimantan Barat).
BOR RSJ Provinsi Kalimantan Barat selama tiga tahun
terakhir cenderung meningkat (2011-2013) rata-rata
sekitar 133%. Dari seluruh pelayanan di RSJ Provinsi
Kalimantan Barat BOR paling tinggi adalah di Instalasi
Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan Barat. Data rinci
BOR Pasien Jiwa di Instalasi Rawat Inap RSJ Provinsi
Kalimantan Barat ditampilkan dalam gambar 1.
Dampak tingginya BOR di Instalasi Rawat Inap RSJ
Provinsi Kalimantan Barat berakibat pada terjadinya
kelelahan fisik dan emosional, pulang kerja lebih cepat,
bolos kerja, keinginan untuk pindah, merasa bosan dan
mengabaikan kebutuhan pasien. Hal ini disampaikan
oleh salah satu Kepala Ruangan di Unit Rawat Inap RSJ
Provinsi Kalimantan Barat.
Didapatkan hasil rekapitulasi absensi perawat pelaksana
dari unit rawat inap RSJ Provinsi Kalimantan Barat pada
tahun 2014 yang tidak masuk karena sakit paling rendah
1 hari dan paling tinggi 51 hari. Alasan sakit bervariasi
dari keluhan sakit kepala sampai sakit yang memerlukan
istirahat total (bedrest). Fenomena lain yang terjadi
adalah masih ada perawat yang datang terlambat dan
pulang lebih cepat. Hal ini terjadi karena mereka
mengatakan merasa bosan merawat pasien jiwa.
Keadaan ini merupakan dampak dari burnout. Menurut
Maslach (1997), mengungkapkan burnout berdampak
pada individu terlihat adanya gangguan fisik seperti sakit
kepala, rentan terhadap penyakit dan keluhan
psikosomatik serta mengabaikan kebutuhan dan
tuntutan pasien.
TINJAUAN PUSTAKA
Herbert Freudenberger, seorang psikolog klinis,
merupakan ilmuwan pertama yang mendeskripsikan
dan melabel kasus burnout, pada tahun 1973 (Buunk
dalam Umar, 2013). Hal ini bermula dari pengalamannya
ketika bekerja dalam sebuah klinik kesehatan yang
banyak menangani kasus-kasus kecanduan obat.
Freudenberger mangamati terjadinya perubahan-perubahan
sikap yang terjadi dari waktu ke waktu. Perubahan
tersebut meliputi munculnya berbagai macam symptom
atau gejala fisik maupun mental, antara lain fatigue, lelah
secara emosi sampai berkurangnya motivasi dan
komitmen. Freudenberger pun kemudian memberi
nama “burnout”, yang pada saat ini merupakan istilah
yang digunakan untuk menyebutkan efek kronis
penyalahgunaan obat-obatan. Definisi burnout yang
dikemukakan oleh Freundenberger adalah:
“a state of fatique or frustration brought about by
devotion to cause, way of life, or relationship that
failed to produce the expected reward” (Freudenberger
and Richelson, 1990).
Menurut Freundenberger (1990 dalam Hazell, 2010),
burnout merupakan suatu keadaan lelah atau frustasi
yang terjadi karena seseorang bekerja terlalu keras untuk
mencapai harapan - harapannya tanpa memperhatikan
kebutuhan - kebutuhan dirinya sendiri. Individu yang
seperti ini pada mulanya berdedikasi tinggi dan memiliki
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 174
komitmen penuh dengan pekerjaan. Mereka juga
biasanya memiliki pandangan ideal tentang
pekerjaannya, yang menimbulkan harapan-harapan
yang ideal pula dan bahkan kurang realistis. Dalam
usahanya mencapai harapan-harapan tersebut, individu
kemudian bekerja sangat keras sampai kurang
memperhatikan dirinya sendiri. Padahal, tuntutan
pekerjaan tidak pernah berakhir. Begitu pula dengan
harapan-harapan tidak semua dapat terpenuhi, bahkan
mungkin pula bertentangan dengan kenyataan yang
dihadapi. Jika individu terus memaksakan untuk
memenuhi harapan-harapannya, maka akan muncul
gejala-gejala seperti hilangnya vitalitas, energi maupun
gangguan lainnya yang merupakan tanda-tanda
berkembangnya burnout.
Burnout merupakan sindrom yang terdiri dari tiga
dimensi, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan
rendahnya penghargaan diri (Maslach dalam Umar,
2013).
1. Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion).
Situasi kerja dalam bidang pelayanan sosial
menempatkan pekerjanya pada situasi-situasi yang
memiliki beban emosi tertentu, misalnya seorang
perawat menangani pasiennya yang kesakitan, guru
yang menangani anak-anak bermasalah dan lain
sebagainya. Maslach mengemukakan bahwa
hubungan antara pemberi dan penerima pelayanan
merupakan hubungan yang asimetris, sehingga
pemberi pelayanan seolah-olah selalu dihadapkan
pada tuntutan memberi pelayanan, perawatan dan
lain-lain, dengan sebaik-baiknya (Maslach, 1993
dalam Hazell, 2010).
Situasi yang menuntut keterlibatan emosional
secara terus menerus seperti ini dapat
mengakibatkan munculnya kelelahan emosional,
yang merupakan inti dari sindrom burnout.
Kelelahan emosional ditandai dengan perasaan
terkurasnya energi yang dimiliki, berkurangnya
sumber-sumber emosional didalam diri seperti rasa
kasih, empati dan juga perhatian yang pada akhirnya
memunculkan perasaan tidak mampu lagi
memberikan pelayanan pada orang lain (Maslach et
all, 1996 dalam Umar, 2013). Cara yang biasanya
dilakukan untuk mengatasi sindrom ini adalah
mengurangi keterlibatan secara emosional dengan
hal-hal yang dihadapi penerima pelayanan, yang
akibatnya adalah kelelahan emosional seperti yang
dijelaskan diatas. Oleh karena itulah, pemberian
layanan akan mengurangi keterlibatannya sampai
batas-batas yang diwajibkan saja.
2. Depersonalisasi (Depersonalization).
Depersonalisasi adalah sikap, perasaan maupun
pandangan negatif terhadap penerima pelayanan
(Maslach et all, 1996). Reaksi negatif ini muncul
dalam tingkah laku seperti halnya memandang
rendah dan meremehkan pasien, bersikap sinis
terhadap pasien, kasar dan tidak manusiawi dalam
berhubungan dengan pasien, serta mengabaikan
kebutuhan dan tuntutan pasien. Sindrom ini
merupakan akibat lebih lanjut dari adanya upaya
penarikan diri dari keterlibatan secara emosional
dengan orang lain. Penarikan diri di satu sisi
dirasakan dapat lebih mengurangi ketegangan
emosional yang muncul karena keterlibatan yang
terlalu mendalam dengan penerima pelayanan.
Namun efek selanjutnya adalah hilangnya perasaan
sensitif terhadap orang lain sehingga dapat
memunculkan reaksi-reaksi negatif seperti diatas.
3. Rendahnya Penghargaan Diri (Reduced Personal
Accomplishment).
Dimensi ini pun ditandai dengan kecenderungan
memberi evaluasi negatif terhadap diri sendiri,
terutama berkaitan dengan pekerjaan. Pekerja
merasa dirinya tidak kompeten, tidak efektif dan
tidak adekuat, kurang puas dengan apa yang telah
dicapai dalam pekerjaan, bahkan perasaan kegagalan
dalam bekerja (Maslach dalam Umar, 2013).
Evaluasi negatif terhadap pencapaian kerja ini
berkembang dari munculnya tindakan depersonalisasi
terhadap penerima pelayanan.
Pandangan maupun sikap negatif terhadap klien
lama-kelamaan akan menimbulkan perasaan
bersalah pada diri pemberi pelayanan. Mereka
merasa menjadi orang yang “dingin” dan tidak
berperasaan, yang sebenarnya juga sama sekali
tidak mereka inginkan. Perasaan-perasaan ini akan
berkembang menjadi suatu penilaian terhadap diri
sendiri, yaitu bahwa dirinya tidak adekuat dalam
berhubungan dengan klien. Seiring dengan itu
muncul pula perasaan gagal dalam pekerjaan.
Dalam pembahasan mengenai sumber-sumber atau
penyebab burnout, secara implisit para ahli menyatakan
pentingnya melihat berbagai sudut pandang, bukan
Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap
RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 175
hanya menekankan pentingnya salah satu faktor saja
(Cherniss dalam Umar, 2013). Menurut Patel (2014)
Burnout dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor
demografik (jenis kelamin, umur, pendidikan, lama
bekerja dan status pernikahan), faktor personal (stress
kerja, beban kerja dan tipe kepribadian) dan faktor
organisasi (kondisi kerja dan dukungan sosial).
Di antara berbagai jenis instrumen atau cara-cara
pengukuran burnout tersebut, terdapat dua buah
instrumen yang paling luas penggunaannya dalam
penelitian-penelitian burnout dan sudah banyak diuji
reliabilitas dan validitasnya. Instrument Maslach
Burnout Inventory (MBI) adalah kuesioner tentang
burnout yang paling banyak digunakan dalam
penelitian-penelitian burnout. Alat ini diciptakan oleh
Maslach dan Jackson pada tahun 1982, berdasarkan
konsep bahwa burnout merupakan sindrom yang terdiri
dari tiga dimensi, yaitu kelelahan emosional,
depersonalisasi dan rendahnya penghargaan diri. MBI
terdiri dari 22 item yang dikelompokkan menjadi 3
subskala atau dimensi seperti yang telah disebutkan
diatas.
Cherniss mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya
stress kerja adalah orientasi yang kurang (poor
orientation), beban kerja tinggi (high work load), rutinitas
(routine), kontak terhadap klien yang sempit (narrow
scope of client contact), kurangnya otonomi (lack of
autonomy), tujuan institusi yang tidak sejalan
(incongruent institutional goals), kurangnya
kepemimpinan dan supervise (poor leaderhip and
supervision practices) dan isolasi sosial (social isolation).
Peneliti mengambil beban kerja, kondisi kerja dan
dukungan sosial menjadi variabel dalam faktor yang
berhubungan burnout.
Tahap kedua adalah strain, merupakan respon
emosional sesaat terhadap adanya ketidakseimbangan
yang ditandai dengan perasaan cemas, lelah dan tegang.
Peneliti mengambil tipe kepribadian sebagai variabel
dalam faktor yang berhubungan burnout. Tahap ketiga
adalah coping, meliputi langkah mengambil keputusan
untuk pemecahan masalah secara aktif atau adanya
perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku individu
seperti kecendrungan menjauhkan diri dan klien.
METODOLOGI PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan metode
kuantitatif potong lintang (cross sectional). Berdasarkan
tujuan penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengukur burnout pada perawat pelaksana serta faktor-
faktor yang berhubungan di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat. Teknik pengumpulan data untuk mengukur
burnout dan mengidentifikasi faktor-faktor yang
berhubungan melalui teknik survey dengan mendatangi
perawat pelaksana yang memenuhi kriteria inklusi.
Kemudian peneliti membagikan kuesioner kepada
responden. Peneliti terlebih dahulu membacakan lembar
informed consent, selanjutnya responden
menandatangani persetujuan keikutsertaan dalam
penelitian. Kemudian kuesioner diberikan kepada
responden untuk diisi, dan apabila ada yang kurang jelas
dapat ditanyakan kepada peneliti.
Formulir kuesioner burnout menggunakan pengukuran
MBI yang terdiri atas 22 pertanyaan, yang mencakup 9
pertanyaan untuk dimensi kelelahan emosional, 5
pertanyaan untuk dimensi depersonalisasi dan 8
pertanyaan untuk dimensi rendahnya penghargaan diri.
Kuesioner ini menggunakan skala likert untuk 5 pilihan
jawaban mulai dari (0) “tidak pernah” sampai (4) ‘tiap
hari”. Dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih
dahulu untuk kuesioner yang akan digunakan.
Formulir assessmen faktor-faktor yang berhubungan
dengan burnout yang diadaptasi dari National Institute
for Occupational Safety and Health (NIOSH) untuk
dimensi beban kerja, dukungan sosial dan tipe
kepribadian sedangkan dimensi stres kerja dan kondisi
kerja peneliti sesuaikan dengan keadaan rumah sakit
yang akan diteliti. Untuk pertanyaan faktor personal yang
terdiri dari stres kerja, beban kerja dan tipe kepribadian
terdiri dari 27 pertanyaan dengan menggunakan skala
likert untuk 4 pilihan jawaban mulai dari (1) “sangat tidak
setuju” sampai (4) “sangat setuju”. Faktor organisasi
yang terdiri dari kondisi kerja dan dukungan sosial berisi
8 pertanyaan dengan menggunakan skala likert untuk 4
pilihan jawaban mulai dari (1) “sangat tidak setuju”
sampai (4) “sangat setuju”.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor demografi dalam penelitian ini meliputi jenis
kelamin, umur, pendidikan, status pernikahan dan lama
bekerja. Hasil penelitian ditampilkan dalam tabel 1.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 176
Faktor Personal
Faktor personal dalam penelitian ini meliputi stres kerja,
beban kerja dan tipe kepribadian. Hasil penelitian
ditampilkan dalam tabel 2.
Faktor Organisasi
Faktor organisasi dalam penelitian ini meliputi kondisi
kerja dan dukungan sosial. Hasil penelitian ditampilkan
dalam tabel 3.
Hasil Multivariat
Analisis Multivariat bertujuan untuk menganalisis
hubungan beberapa variabel independen terhadap satu
variabel dependen secara bersama-sama. Analisa
multivariat yang digunakan adalah analisa regresi logistik
ganda yang bertujuan untuk mendapatkan model faktor
resiko yang paling baik (fit) dan sederhana (parsimony)
yang menggambarkan hubungan antara variabel
dependen dan variable independen dengan nilai p<0,25
dalam analisa bivariate (ditampilkan dalam tabel 4).
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa jenis kelamin
Perempuan justru menjadi faktor proteksi untuk
menghasilkan kejadian burnout sedang karena nilai OR
< 1, yaitu sebesar 0,339 (95% CI: 0.117 – 0.983) setelah
dikontrol oleh variabel lama kerja, beban kerja, dan
dukungan sosial. Dari hasil uji statistik pada lama bekerja
didapatkan bahwa responden yang bekerja dibawah 4
tahun mempunyai peluang 1,466 kali mengalami
burnout sedang dibanding yang bekerja lebih dari 4
tahun. Setelah dikontrol variabel jenis kelamin, beban
kerja dan dukungan sosial. Hasil uji statistik pada variabel
beban kerja didapatkan bahwa beban kerja ringan akan
menghasilkan burnout yang rendah sebesar 2,262 kali
dibandingkan dengan beban kerja berat setelah dikontrol
oleh variabel jenis kelamin, lama bekerja dan dukungan
sosial. Hasil uji statistik pada variabel dukungan sosial
yang kurang baik justru menjadi proteksi untuk
menghasilan kejadian burnout sedang karena nilai OR <
1. Dari hasil analisis multivariat didapatkan bahwa faktor
yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel
dependen atau terhadap kejadian burnout perawat
pelaksana di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan
Barat adalah variabel beban kerja.
Sebagian besar perawat pelaksana di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat adalah berjenis kelamin
perempuan. Pada tabel 6.1 memberikan informasi
bahwa sebagian besar responden 57,4 % adalah
perempuan, mempunyai tingkat burnout rendah
sebanyak 87% akan tetapi lebih sedikit dibanding laki-
laki pada tingkat burnout sedang sebanyak 12,9 %. Pada
penelitian ini perempuan justru menjadi proteksi untuk
mengalami burnout sedang.
Menurut Sihotang (2004) pada dasarnya burnout dapat
terjadi pada semua orang, baik itu laki-laki dan
perempuan. Hal ini terjadi karena setiap manusia tentu
mengalami tekanan yang diperoleh dalam kehidupan,
khususnya dalam menjalani pekerjaan. Secara umum
laki-laki lebih mudah mengalami burnout daripada
wanita. Hal ini dikarenakan wanita tidak mengalami
peringkat tekanan seperti yang dihadapi oleh seorang
laki-laki, yang dapat disebabkan karena adanya
perbedaan peran, misalnya dalam hal kerja, bagi laki-laki
“bekerja” adalah suatu hal mutlak untuk menghidupi
keluarganya, namun tidaklah demikian bagi seorang
perempuan, perempuan boleh bekerja atau tidak, jadi
bukan merupakan suatu keharusan (Gibson dalam
Sitohang, 2004).
Sebaliknya dengan pendapat di atas, penelitian lain
menyimpulkan bahwa ternyata wanita memperlihatkan
frekuensi lebih besar untuk mengalami burnout daripada
laki-laki yang disebabkan karena seringnya wanita
merasakan kelelahan emosional (Schultz dalam Sitohang,
2004). Hal ini disebabkan karena laki-laki dan
perempuan berbeda bukan saja secara fisik, tetapi juga
sosial dan psikologisnya dan mempunyai cara yang
berbeda dalam menghadapi masalahnya.
Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa responden
laki-laki yang mengalami burnout sedang mempunyai
masa kerja dibawah 4 tahun dibanding responden
perempuan yang mempunyai masa kerja dibawah 4
tahun. Hal ini yang mengakibatkan responden laki-laki
di Rumah Sakit Jiwa mengalami burnout sedang. Pada
observasi peneliti juga melihat bahwa jenis kelamin laki-
laki lebih diandalkan dalam merawat pasien yang gaduh
gelisah. Sehingga tenaga perawat pelaksana laki-laki
sangat dibutuhkan oleh manajemen SDM di RSJ
Provinsi Kalimantan Barat, dan diupayakan pada proses
rekruitmen untuk lebih mengutamakan tenaga perawat
pelaksana yang berjenis kelamin laki-laki.
Pada penelitian ini antara lama bekerja dan burnout
perawat pelaksana di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat didapatkan data bahwa lama kerja
Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 177
dibawah 4 tahun mengalami burnout sedang (28,2%).
Pada penelitian sebelumnya (Turnipsteed, 1994 dalam
Lee, 2007) mengatakan seseorang yang telah bekerja
pada satu pekerjaan untuk waktu yang lama, maka
pekerja tersebut telah memiliki pandangan yang realistik
terhadap situasi yang dihadapi. Studi lain melaporkan
bahwa pekerja yang telah bekerja lebih lama,
menunjukkan kelelahan emosi pada level rendah.
Hal ini sejalan pada penelitian ini dimana lama bekerja
pada perawat pelaksana Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat rata-rata dibawah 4 tahun. Perawat
yang mempunyai minim pengalaman mengakibatkan
mudah mengalami burnout (Lee dalam Umar, 2013).
Bekerja di rumah sakit jiwa berbeda dengan bekerja di
rumah sakit pada umumnya. Pasien yang dihadapi
adalah pasien jiwa yang mempunyai masalah kejiwaan
yang berubah-ubah.
Perawat yang belum mempunyai skil dalam menangani
pasien jiwa akan merasa kesulitan dalam memberikan
asuhan keperawatan jiwa jika belum mendapatkan
pendidikan dan pengalaman dalam menghadapi pasien
jiwa. Perawat dengan minim lama kerja belum
beradapatasi dengan tugas dan tanggung jawab tersebut
sehingga belum lebih percaya diri dalam melakukan
tugasnya (Nugroho, 2012)
Tenaga perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mempunyai masa kerja dibawah 4 tahun
sangat memerlukan pelatihan dasar dalam menangani
pasien jiwa, sehingga manajemen pendidikan dan
latihan sangat perlu mengadakan on job training bagi
tenaga perawat pelaksana yang mempunyai masa kerja
dibawah 4 tahun.
Perawat pelaksana Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat yang mengalami beban kerja berat
mempunyai resiko 2,262 kali menjadi burnout sedang
dibanding perawat pelaksana yang mengalami beban
kerja ringan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara
beban kerja dengan burnout perawat pelaksana di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
Meskipun tidak bermakna secara statistik. Beban kerja
merupakan faktor yang paling dominan diantara semua
variabel.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Pramudya, 2008 dalam (Sari 2013) yang
menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara
beban kerja dan stres kerja pada perawat. Pada penelitian
ini pengukuran beban kerja bersifat persepsi artinya
beban kerja yang dirasakan oleh responden ketika
bekerja tidak sama dengan persepsi beban kerja yang
dirasakan oleh responden lain. Peneliti tidak
menggunakan tools baku yang dapat mengukur beban
kerja secara objektif, namun peneliti menggunakan data
kuesioner yang disi langsung oleh responden dan
didukung oleh hasil observasi peneliti.
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat adalah
rumah sakit jiwa yang menangani pasien dengan
gangguan kejiwaan, yang berbeda dengan rumah sakit
pada umumnya. Sudah pasti perawatan yang dilakukan
oleh perawat di rumah sakit ini berbeda dengan rumah
sakit umumnya. Dalam hal komunikasi dengan pasien
terasa sulit, selain itu ada juga beberapa perawat yang
mengaku mendapatkan kekerasan dari pasien terutama
pasien yang masih tinggi tingkat kegelisahannya.
Hal ini membuat beban kerja pada perawat pelaksana di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan cukup berat,
sehingga dapat menimbulkan burnout. Selain itu, selama
peneliti melakukan observasi menunjukkan jumlah
pasien yang banyak di tiap ruangan sedangkan jumlah
perawat yang bekerja di shift sore dan malam hanya 1-2
perawat per satu shift menangani pasien jiwa sebanyak
60-70 orang per ruangan rawat inap. Banyaknya jumlah
pasien membuat perawat kewalahan untuk menanganinya.
Apalagi ditambah bila ada perawat yang ijin tidak masuk
kerja, sehingga menambah beban kerja bagi perawat
yang lain.
Berdasarkan ratio perhitungan tenaga keperawatan
menurut Depkes (1979) tentang perbandingan tempat
tidur dengan jumlah perawat pada RS tipe A–B
perbandingan minimal adalah 3 – 4 perawat untuk 2
tempat tidur. Berbagai macam metode untuk mengukur
beban kerja, pada penelitian ini beban kerja hanya diukur
berdasarkan kuesioner sehingga jawaban responden
berdasarkan persepsi masing-masing terhadap beban
kerja yang dialaminya.
Pada tabel 6.9 juga didapatkan data bahwa sebesar
54,1% mengatakan bahwa perawat pelaksana memiliki
banyak waktu berpikir dalam rangka menyelesaikan
tugasnya. Hal ini senada dengan observasi yang
dilakukan peneliti bahwa perawat pelaksana di RSJ
Provinsi Kalimantan Barat mempunyai banyak waktu
untuk berpikir dalam mengerjakan tugasnya dikarenakan
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 178
perawatan jiwa lebih mengutamakan komunikasi dalam
memberikan asuhan keparawatan jiwa.
Responden juga menjawab sebesar 36,9% menyatakan
bahwa pekerjaan diberikan terlalu rutinitas dan monoton.
Hal ini diakibatkan karena variasi pekerjaan di RSJ
adalah menghadapi pasien dengan penyakit khusus yaitu
gangguan jiwa berbeda dengan bekerja di RS yang
menangani pasien umum, variasi pekerjaan sangat
bervariasi tergantung penyakit yang dialami pasien.
Beban kerja menurut Munandar (2008) dibagi menjadi
dua yaitu beban kerja kuantitas dan beban kerja kualitas.
Beban kerja kuantitas adalah suatu keadaan dimana
terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan
dibanding dengan waktu yang tersedia. Sedangkan
beban kerja kualitatif adalah suatu keadaan dimana
pekerjaan yang harus dilakukan terasa sulit untuk
dikerjakan. Beban kerja yang terlalu ringan (work
underload) juga dapat menimbulkan stres apabila
tuntutan pekerjaan dibawah kemampuan dan
keterampilan yang dimiliki pekerja. Stres yang
berkepanjangan ini pun adalah faktor yang
mengakibatkan burnout.
Pekerjaan yang rutinitas dan monoton, jumlah pasien
yang tidak sesuai dengan jumlah perawat, memiliki
banyak waktu berpikir inilah yang membuat perawat
pelaksana RSJ Provinsi Kalimantan Barat merasa bosan
yang mengakibatkan burnout. Sehingga manajemen
SDM keperawatan di RSJ perlu membuat job
description untuk perawat pelaksana.
Pada penelitian ini perawat pelaksana yang bekerja di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat
mempunyai dukungan sosial yang kurang baik sebesar
87,7% dan mengalami burnout sedang sebesar 19,6%.
Tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan
sosial dan burnout pada perawat pelaksana dalam
penelitian ini.
Hal ini sejalan dengan penelitian Labiib (2013) bahwa
dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan adalah salah
satu sumber penyebab burnout yang termasuk dalam
faktor lingkungan organisasi kerja. Individu yang
memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan merasa
nyaman, diperhatikan, dihargai atau terbantu oleh orang
lain disekitarnya. Individu yang mendapat dukungan
sosial yang baik akan mempunyai rasa memiliki
(belonginess) dan harga diri (self esteem) yang lebih besar
daripada individu dengan dukungan sosial yang kurang baik.
Dukungan sosial yang baik juga akan menyebabkan
individu semakin mengembangkan gaya hidup yang
baik dan sehat.
Menurut Sarafino dalam Labiib (2013) menyatakan
bahwa dukungan sosial adalah dorongan yang
dirasakan, penghargaan dan kepedulian yang diberikan
oleh orang-orang yang berada disekeliling individu
sehingga dukungan yang dirasakan akan sangat penting.
Dalam hal ini adalah rekan kerja dan atasan yang berada
di sekeliling individu dalam lingkungan organisasi kerja.
Responden yang merasa mendapat dukungan sosial
yang baik dari rekan kerja dan atasan akan cenderung
untuk tidak mengalami burnout, berbeda dengan
mereka yang mendapat dukungan sosial yang kurang
baik.
Pada penelitian Purba (2007) menunjukkan dukungan
sosial berpengaruh negatif terhadap burnout artinya
semakin besar dukungan sosial yang diperoleh akan
mengurangi level burnout yang dialami individu. Dukungan
sosial dari berbagai sumber membuat individu merasa yakin
bahwa dirinya dicintai dan disayangi, dihargai bernilai dan
menjadi bagian dari jaringan sosial.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Burnout perawat pelaksana Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan instrumen
MBI (Maslach Burnout Inventory) dalam kategori
rendah sebesar 82,8% dan kategori sedang sebesar
17,2%
2. Faktor demografik:
a. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang berjenis kelamin laki-laki mengalami
burnout sedang dikarenakan lebih diandalkan
dalam merawat pasien gaduh gelisah.
b. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mempunyai umur di atas 27 tahun
mengalami burnout sedang dikarenakan oleh
pengalaman yang lebih banyak.
c. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mempunyai latar pendidikan D3
Keperawatan mengalami burnout, sedangkan
dikarenakan minimnya skill dan keterampilan
dalam menangani pasien khususnya perawatan
jiwa.
Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap
RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 179
d. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang sudah menikah mengalami burnout
sedang dikarenakan adanya peran ganda di dalam
keluarga.
e. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mempunyai masa kerja di bawah 4
(empat) tahun mengalami burnout dikarenakan
minimnya skill dan keterampilan dalam
menangani pasien khususnya perawatan jiwa.
3. Faktor personal:
a. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mengalami stres ringan mengalami
burnout sedang dikarenakan minimnya skill
dan keterampilan dalam menangani pasien
khususnya perawatan jiwa.
b. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mengalami beban kerja berat
mengalami burnout sedang dikarenakan belum
ada job description untuk perawat pelaksana.
c. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mempunyai tipe kepribadian tipe B
mengalami burnout sedang dikarenakan mereka
memiliki tingkat kejenuhan yang tinggi dalam
bekerja.
4. Faktor organisasi:
a. Perawat-perawat pelaksana di RSJ Provinsi
Kalimantan Barat dengan kondisi kerja yang
menyenangkan mangalami burnout sedang
karena pekerjaan dianggap penuh tantangan
dan menyenangkan.
b. Perawat pelaksana di RSJ Provinsi Kalimantan
Barat yang mendapatkan dukungan kurang
baik mengalami burnout sedang dikarenakan
atasan langsung tidak dapat bertindak diluar
kebiasaan untuk mempermudah perawat pelaksana
dalam bekerja.
Saran
1. Untuk Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan
Barat
a. Rumah Sakit mengadakan pelatihan on job
training tentang asuhan keperawatan jiwa
secara berkala yang dilakukan oleh perawat
senior yang telah berpengalaman khususnya
dalam perawatan jiwa kepada perawat
pelaksana khususnya yang mempunyai masa
kerja dibawah 4 tahun.
b. Mengadakan gathering atau kegiatan yang
bersifat refreshing secara bersama-sama untuk
mengurangi kejenuhan kerja dan membina
interaksi sosial yang baik antara sesama
perawat maupun atasan (misalnya satu tahun
sekali).
c. Membuat job description untuk perawat-perawat
pelaksana, sehingga pekerjaan yang dilakukan
sesuai tugas dan tanggung jawabnya.
d. Cenderung lebih mengutamakan para perawat
pelaksana berjenis kelamin laki-laki dalam
proses penerimaan pegawai
e. Memperhatikan sarana dan prasarana
khususnya penerangan pada malam hari.
2. Atasan langsung (Katim atau Kepala Ruangan)
a. Mempermudah para perawat pelaksana dalam
melaksanakan tugas, khususnya apabila para
perawat pelaksana mengalami kendala dalam
melaksanakan asuhan keperawatan jiwa.
b. Mengadakan rapat internal di tiap ruangan rawat
inap (satu bulan sekali) oleh kepala ruangan yang
dihadiri satu tim diruangan tersebut yang berguna
untuk menyalurkan aspirasi dan keluhan perawat
pelaksana dalam bekerja.
3. Untuk Perawat Pelaksana Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat.
a. Meningkatkan keterampilan perawat pelaksana
khususnya keterampilan psikologis dalam
pengendalian diri dan mempertahankan sikap
positif
b. Menanamkan nilai budaya yang dianut rumah
sakit sehingga dapat tercipta lingkungan kerja
yang baik, sejalan dan selaras dengan visi, misi
dan tujuan dari rumah sakit yang dapat
meningkatkan kinerja dan mutu rumah sakit
serta memberikan dukungan kerja kepada
sesama perawat.
c. Mempertahankan kebugaran dengan olahraga
yang teratur, makan yang sehat dan bergizi,
tidur yang cukup dan menikmati hobi yang
digemari.
d. Meningkatkan kecerdasan emosional serta
mengintensifkan hubungan sosial dengan
lingkungannya agar terbentuk dukungan sosial
yang baik dan kondusif
e. Meningkatkan kemampuan dan juga
kompetensi diri, baik melalui diklat yang diadakan
pihak rumah sakit maupun pelatihan di luar rumah
sakit.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 180
DAFTAR PUSTAKA
Ayala, Elizabeth & Carnero, A.M. 2013. Determinants of Burnout in Acute and Critical Care
Military Nursing Personnel: A Cross – Sectional Study from Peru. Open Access Freely. Volume 8 Issue 1.
Azwar, A. 2010. Pengantar Administrasi Kesehatan. Ed. 3; Binarupa Aksara. Jakarta
Baron, R. A. & Grennberg, J. 2003. Behavior in organizations: Understanding and managing the human side of work (8th ed.). Upper Saddle River: Pearson Education.
Brennan, Gail M. 1989. A study of Type A and Type B Personality and Burnout in Nurses. Thesis
The Faculty of the Department of Nursing San Jose State University. Buhler, K.E & Land. 2004. Burnout and personality in extreme nursing: An empirical study.
Schweizer archiev fur neurologie und psychiatrie, 155, 35-42.
Buunk, B.P. & Schaufelli, W.B. 1993. Burnout: A Perspective from Social Comparison Theory. Cherniss, C. (1980). Staff Burnout Job Stress in the Human Services. Beverly Hills. CA: Sage
Davis, Keith dan Newstrom. 2001. Perilaku Dalam Organisasi, Edisi Ketujuh. Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Enzman, D. & Schaufeli, W. 1999. The burnout companion to study and practice: A critical
analysis. London: Taylor & Francir Ltd.
Freundenberger, H.J & Richelson, G. 1990. Burnout: How to Beat The High Cost of Success. New York.
Gusnita, Rezky. Herawati. Rifa, Dandes. 2012. Pengaruh Stressor dan Tipe Kepribadian terhadap
Kejenuhan (Burnout) pada Kantor Akuntan Publik di Padang dan Pekan Baru. E-Journal Universitas Bung Hatta. Sumatera Barat. Padang
Haryanti. Aini, Faridah. Purwaningsih, Puji. 2013. Hubungan antara Beban Kerja dengan Stres
Kerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kabupaten Semarang. Jurnal Managemen Keperawatan. Vol 1, No. 1, Mei 2013, 48-56.
Hastono, Sutanto Priyo. 2006. Modul Pertama: Pengolahan Data Uji Instrumen. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok
Hastono, Sutanto Priyo. 2007. Analisa Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Depok Hazell. Kenneth. W. 2010. Job Stress, Burnout, Job Satisfaction, and Intention to Leave Among
Registered Nurses Employed in Hospital Settings in the State of Florida.
Disertasi. Lynn University Hoskins, Kelley. N. 2013. The Possible Role of Burnout in Nursing Errors. Thesis. College of
Nursing and The Burnett Honors College at the University of Central Florida.
Orlando Huruswati, Indah. 2008. Dilema Paradigma Baru Pelayanan Kesehatan: Suatu Kajian Kasus
Tenaga Keperawatan di Pusat Kesehatan Masyarakat, Kota Depok. Tesis.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Ilyas. Yaslis. 2013. Perencanaan SDM Rumah Sakit; teori, metoda dan formula. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok
Imanoviani, Tera & Djuniarto, Eko. 2008. Difference in Burnout Tendencies Level on Married and Single Career Woman. Undergraduate Program, Faculty of Psychology.
Gunadarma University.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Jakarta 2012
Labiib, Akhmad, 2013. Analisis Hubungan Dukungan Sosial dari Rekan Kerja dan Atasan
dengan Tingkat Burn Out pada Perawat Rumah Sakit Jiwa. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 2 No. 1, Januari 2013
Lailani, Fereshti, 2012. Burn Out pada Perawat Ditinjau dari Efikasi Diri dan Dukungan Sosial.
Jurnal Talenta Psikologi Vol. 1 No. 1, Februari 2012 (66-86) Lamria, Evi & Sandrayanti, Monalisa. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
burnout pada perawat pelaksana di RS PGI Cikini Jakarta. Naskah Publikasi.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Lee, S. Y & Syed Akhtar. Job Burnout among Nurses in Hongkong: Implication for Human
Resources. 2007: Hongkong.
Madathil, Renee Lisa. 2010. Burnout in Psychiatric Nursing: Possible Protective Factor. Professional Paper. Clinical Psychology. The University of Montana. Missoula,
MT
Malliarou, M.M, Moustaka, E.C & Konstantinidis, T.C. 2008. Burnout of Nursing Personnel in A Regional University Hospital. HSJ – Health Science Journal. Volume 2, Issue
3.
Maslach, C & Leitter, M.P. 1997. The Truth about Burnout: How Organizations cause Personal
Stress and What to do about it. San Fransisco, CA: Jossey-Bass Maslach, C & Leitter, M.P. 2005. Banishing Burnout Six Strategies for Improving Your
Relationship with Work. Jossey Bass A Wiley Imprint. San Fransisco.
Maslach, C & Schaufeli, W.B 1993. Historical and Conceptual Development of Burnout. In Professional Burnout: Recent Developments in Theory and Research.
Washington DC: Taylor & Francis
Maslach, C and Jackson, S.E. 1981. The measurement of Experienced Burnout, dalam Journal of Organization Behavior. Vol 2. Hal 99-113 US: John Wiley & Sons, Ltd
Maslach, C. Jackson, S.E, & Leitter, M.P. 1996. Maslach Burnout Inventory, manual (3rd ed).
Palo Alto. CA: Consulting of Psychologists Press Maslach, C. Leiter, M.P & Schaufeli, W. 2008. Chapter 5 Measuring Burnout. Journal Typeset
by SPi, Delhi: May 24. 2008
McShane, Steven, L & Glinow Von Mary Ann. 2005. Organizational Behaviour. Boston: Mc Graw Hill.
Munandar, A.S. 2008. Psikologi Industri dan Organisasi. Depok: Universitas Indonesia Press.
Ningdyah, Anrilia. 1999. Peranan Dimensi-Dimensi Birokrasi terhadap Burnout pada Perawat
Rumah Sakit di Jakarta. Tesis. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Nugroho, A. Susiani, Adrian, Marselius. 2012. Studi Deskriptif Burnout dan Coping Stres pada
Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 1 No. 1 (2012)
Pangastiti, N.K. 2011. Analisis Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Burnout pada
Perawat Kesehatan di Rumah Sakit Jiwa (Studi pada RSJ Prof dr. Soerojo Magelang). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang
Papalia, D. E., Olds, S. W & Feldman, R.D. 2007. Human development (10th edition). New York:
Mc Graw Hill. Patel. Bhavesh. 2014. The Organisational Factors That Affect Burnout in Nurses. RCN
Education Conference. West Middlesex University Hospital. Prawasti, Cicilia Yeti. 1999. Burnout dan Faktor Psikososial di Kalangan Perawat Rumah Sakit
“X”. Tesis. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Purba, Johana. Yulianto Aries & Widyanti Ervy. 2007. Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Burnout pada Guru. Jurnal Psikologi Vol. 5 No. 1, Juni 2007
Ridyawati, Iis Maryati. 2014. Burnout (Kelelahan) Kerja pada Perawat IGD dan Perawat ICU
Rumah Sakit Cito Karawang Tahun 2014. Tesis. Program Magister Administrasi Rumah Sakit Universitas Respati Indonesia. Jakarta
Sarafino, E. P. 2008. Health biopsychosocial interactions (6th ed.). New York: John Willey&
Sons, Inc. Sari, Indah Permata. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Stres Kerja pada Perawat
Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Herdjan Tahun 2013. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Depok
Suarli, S. & Bahtiar. 2009. Manajemen Keperawatan dengan Pendekatan Praktik. Erlangga.
Jakarta Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta. Bandung
Sumijatun. 2010. Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. CV. Trans Info Media.
Jakarta Timur. Sumijatun. 2014. Manajemen Keperawatan: Materi Burnout Perawat. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia, Depok
Supardi. 2007. Analisa Stres Kerja pada Kondisi dan Beban Kerja Perawat dalam Klasifikasi Pasien di Ruang Rawat Inap Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan.
Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan
Sitohang, Imelda Novelina, 2004. Burnout pada Karyawan ditinjau dari Persepsi terhadap Lingkungan Kerja Psikologis dan Jenis Kelamin. Jurnal Psyche. Vol. 1 No. 1, Juli
2004. Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma Palembang.
Umar. Bie Novirenallia. 2013. Analisis Kejadian Burnout Syndrome pada Perawat di Unit Rawat Inap dan Unit Rawat Jalan Rumah Sakit “X” Bandar Lampung Tahun
2013. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Wang, S.S, Liu Y.H & Wang, L.L. 2013. Nurse burnout: Personal and environmental factors as predictors. International Journal of Nursing Practice 2015; 21: 78-86.
Weiten, W.2013. Psychology: Themes and variations (9th edition). California: Wadsworth.
Wibowo, Adik. 2014. Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap
RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 181
Gambar 1. Diagram BOR Pasien Jiwa di Instalasi Rawat Inap RSJ Provinsi Kalimantan
Barat Tahun 2011-2013 Sumber: Rekam Medik RSJ Provinsi Kalimantan Barat (2014)
Tabel 1. Distribusi Faktor Demografi
VARIABEL JUMLAH PERSENTASI
JENIS KELAMIN
Laki-laki
Perempuan
52
70
42,6
57,4
UMUR (tahun)
>27
≤ 27
51
71
41,8
58,2
PENDIDIKAN D3 Keperawatan
S1 Keperawatan
119
3
97,5
2,5
STATUS PERNIKAHAN Menikah
Belum Menikah
75
47
61,5
38,5
LAMA KERJA (tahun)
≤ 4 > 4
39 83
32,0 68,0
Tabel 2. Distribusi Faktor Personal
VARIABEL JUMLAH PERSENTASI
STRES KERJA Ringan
Berat
68
54
55,7
44,3
BEBAN KERJA Ringan
Berat
62
60
50,8
49,2
TIPE KEPRIBADIAN
Tipe B Tipe A
88 34
72,1 27,9
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
140%
160%
2011 2012 2013
BOR
BOR
1
1
11
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 182
Tabel 3. Faktor Organisasi
VARIABEL JUMLAH PERSENTASI
KONDISI KERJA Menyenangkan
Kurang Menyenangkan
67
55
54,9
45,1
DUKUNGAN SOSIAL
Baik Kurang Baik
15 107
12,3 87,7
Tabel 4. Distribusi Burnout Perawat Pelaksana RSJ Provinsi Kalimantan Barat
Tabel 5. Variabel Model Akhir Burnout Perawat Pelaksana RSJ Provinsi Kalimantan
Barat
Burnout F %
Rendah 101 82,8
Sedang 21 17,2
Total 122 100,0
Variabel B S.E Wald Sig. Exp(B)
Jenis Kelamin -1,081 0,543 3,964 0,046 0,339
Lama Bekerja 0.382 0.147 6.797 0.009 1.466
Beban Kerja 0.816 0.549 2.214 0.137 2.262
Dukungan Sosial 19.873 9.90E+03 0 0.998 4.27E+08
Eliyana, Faktor-Faktor yang Berhubbungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap
RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 183
Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara
Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di Rumah Sakit Kanker
“Dharmais”
The Comparative Cost Analyses of Solid Medical Waste Management in Dharmais Cancer
Hospital between Self-Managed System with Outsourcing System
Ari Purwohandoyo
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehaan
Fakutas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: aripurwohandoyo@gmailcom
ABSTRAK
Berdasarkan prinsip “pembuat polusi yang membayar”, setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus bertanggung
jawab secara finansial atas pengelolaan limbahnya secara aman. Biaya tersebut harus didanai dengan alokasi
khusus dari anggaran rumah sakit. Total biaya umumnya terdiri atas investasi modal awal, penyusutan peralatan
dan bangunan, biaya pengoperasian elemen-elemen tersebut seperti petugas dan barang habis pakai, biaya
operasional sarana, biaya pengelolaan pihak ketiga, biaya perizinan, dan biaya-biaya lain yang semuanya harus
dipertimbangkan secara hati-hati jika akan memilih opsi yang paling rendah biayanya. Penelitian ini membahas
perbandingan biaya pengelolaan limbah medis padat di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” antara sistem swakelola
dengan sistem outsourcing. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dan dilakukan dengan cara
pengamatan, telaah dokumen langsung, dan perhitungan biaya menggunakan metode Activity Based Costing
(ABC). Dari hasil penelitian diketahui bahwa alur proses pengelolaan limbah medis sudah berjalan baik dan
pengelolaan limbah medis padat secara outsourcing lebih murah dibanding swakelola. Untuk mengurangi limbah
medis padat, masih dapat dilakukan upaya minimisasi limbah.
Kata kunci: biaya; pengelolaan limbah medis padat; swakelola; outsourcing.
ABSTRACT
Based on the principle of "the polluter pays", every health care need to be financially responsible for the
management of their waste safely. Such costs should be funded by a special allocation of hospital budgets. Total
expenses generally consist of an initial capital investment, depreciation of equipment and buildings, the cost of
operation of these elements such as personnel and consumables, vehicle operating costs, third-party management
fees, license fees, and other expenses that everything must be carefully fastidiously if it will choose the lowest cost
option.This study discusses The comparative cost analyse of solid medical waste management in the "Dharmais"
Cancer Hospital between self-managed system with outsourcing system. This research is a quantitative and
descriptive study was done by observation, document review, and the calculation of the cost of using Activity
Based Costing (ABC). The survey results revealed that the flow of medical waste management process has been
running good and solid medical waste management outsourcing system is cheaper than self-managed. To reduce
solid medical waste, they can do waste minimization efforts.
Keywords: costs, solid medical waste management self-managed, outsourcing.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 184
PENDAHULUAN
Sebagaimana yang juga tercantum dalam Undang-
Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan
Kesehatan Paripurna dimaksud adalah pelayanan
kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif, yang dalam melaksanakan kegiatannya
perlu diatur dengan salah satu tujuannya adalah untuk
memberikan perlindungan terhadap keselamatan
pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan
sumber daya manusia di rumah sakit.
Penyehatan lingkungan rumah sakit merupakan salah satu
program yang harus dilaksanakan oleh rumah sakit.
Mengingat rumah sakit merupakan salah satu tempat yang
banyak dikunjungi, maka program ini dilaksanakan agar
dalam kegiatan operasional rumah sakit tidak mengganggu
pengunjung dan masyarakat yang ada di dalam dan diluar
rumah sakit. Gangguan tersebut dapat berbentuk infeksi
nosokomial maupun pencemaran lingkungan. Guna
mengurangi dampak dan risiko tersebut maka pemerintah
dalam hal ini Departemen Kesehatan mengeluarkan
Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/ 2004 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan tersebut tersebut,
pengelolaan limbah termasuk di dalam salah satu
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit karena
rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan dari
berbagai kegiatannya menghasilkan limbah yang dapat
mencemari lingkungan dan menimbulkan gangguan
kesehatan bagi masyarakat, sehingga rumah sakit
memiliki kewajiban mengelola limbah tersebut.
Limbah medis adalah semua limbah yang dihasilkan
dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan
gas. Limbah medis padat adalah limbah padat yang
terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah
benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah
kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan,
yang dihasilkan oleh Fasilitas Pelayanan dan limbah
dengan kandungan logam berat yang tinggi.
Menurut WHO (2013) 75%-90% limbah yang
Kesehatan berupa limbah domestik, sedangkan 10% -
25% limbah yang dihasilkan merupakan limbah yang
berbahaya yang dapat merusak lingkungan dan berisiko
terhadap kesehatan. Dari 2,1 – 3,2 kg/tempat tidur/hari
limbah padat yang dihasilkan rumah sakit, 10-20
persennya (di Indonesia 23%) adalah berupa limbah
medis padat (Adisasmito, 2012) yang pengelolaannya
harus diperlakukan secara khusus karena bahayanya
sangat besar bagi lingkungan dan masyarakat.
Pengelolaan limbah medis padat di Rumah Sakit
Kanker “Dharmais” dalam pelaksanaannya menjadi
tanggung jawab dari Instalasi Kesehatan Lingkungan
dan K3 bekerjasama dengan perusahaan pengelola
limbah bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berizin
sejak bulan April 2013 hingga saat ini, yang setiap
tahunnya ditunjuk melalui proses lelang terbuka dengan
nilai kontrak Rp. 7000,-/kg limbah dan seluruh fasilitas
pengelolaan seperti tempat sampah, wheel bin, sharp
container, yellow bag dan lain-lain disediakan penyedia.
Adapun nilai kontrak kerjasama pengelolaan limbah
medis padat tahun 2015, dikarenakan mengikuti
kenaikan harga investasi, operasional, pemeliharaan,
dan fasilitas pendukung telah disepakati dengan nilai
Rp. 8300,-/Kg dengan prediksi berat limbah 160.000
Kg, sehingga total nilai kontrak Rp. 1.460.800.000,-.
Mengingat RS. Kanker “Dharmais” memiliki Incinerator
yang memadai dan terpelihara, serta terjadinya peningkatan
nilai kontrak pengelolaan limbah medis padat tahun 2015,
yang sampai saat ini belum pernah dilakukan perhitungan
yang mendalam, apakah biaya yang dikeluarkan RS.
Kanker “Dharmais” melalui kontrak kerjasama dengan
penyedia (outsourcing) yang lebih menguntungkan dibandingkan
dengan dikelola sendiri (swakelola).
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana alur proses
dan menghitung biaya pengelolaan limbah medis padat
secara swakelola dan secara outsourcing. Kemudian
dilakukan perbandingan diantara kedua sistem tersebut
sebagai dasar penilaian apakah Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” sudah tepat memilih system pengelolaan
limbahnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut World Health Organization (1999) dalam
Pruss (2005), rumah sakit dan instalasi kesehatan
lainnya memiliki “kewajiban untuk memelihara”
lingkungan dan kesehatan masyarakat, serta memiliki
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 185
tanggung jawab khusus yang berkaitan dengan limbah
yang dihasilkan instalasi tersebut. Kewajiban yang
dipikul instalasi tersebut diantaranya adalah kewajiban
untuk memastikan bahwa penanganan, pengolahan,
serta pembuangan limbah yang mereka lakukan tidak
akan menimbulkan dampak yang merugikan
kesehatan dan lingkungan.
Limbah rumah sakit (Depkes, 2004) adalah semua
limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam
bentuk padat, cair, pasta (gel) maupun gas yang dapat
mengandung mikroorganisme patogen, bersifat
infeksius, bahan kimia beracun dan sebagian bersifat
radioaktif. Limbah padat rumah sakit adalah semua
limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai
akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah
medis padat dan non-medis. Limbah medis padat
adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius,
limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi,
limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif,
limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan
kandungan logam berat yang tinggi.
Upaya pengelolaan limbah rumah sakit dapat dilaksanakan
dengan menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa
peraturan, pedoman, dan kebijakan yang mengatur
pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan
rumah sakit (Hapsari, 2010). Adisasmito (2007)
menguraikan bahwa sebagian besar rumah sakit
melakukan pengelolaan limbah padat dengan memisahkan
antara limbah medik dan nonmedik (80,7%), tetapi
dalam masalah pewadahan sekitar 20,5% yang
menggunakan pewadahan khusus dengan warna dan
lambang yang berbeda. Sementara itu, teknologi
pemusnahan dan pembuangan akhir yang dipakai, untuk
limbah infeksius 62,5% dibakar dengan insenerator,
14,8% dengan cara landfill, dan 22,7% dengan cara lain;
untuk limbah toksik 51,1% dibakar dengan insenerator,
15,9% dengan cara landfill dan 33,0% dengan cara lain.
Rumah sakit merupakan penghasil limbah klinis
terbesar. Limbah klinis ini bisa membahayakan dan
menimbulkan gangguan kesehatan bagi pengunjung
dan terutama kepada petugas yang menangani limbah
tersebut serta masyarakat sekitar rumah sakit. Limbah
klinis adalah limbah yang berasal dari pelayanan medik,
perawatan gigi, farmasi, atau yang sejenis; penelitian,
pengobatan, perawatan, atau pendidikan yang
menggunakan bahan-bahan yang beracun, infeksius,
berbahaya atau bisa membahayakan, kecuali jika
dilakukan pengamanan tertentu. Adapun tahapan
penanganan limbah medis terdiri dari pemilahan,
pewadahan, pengumpulan, pengangkutan,
penampungan, dan pengolahan.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2005) outsourcing
berasal dari dua suku kata, yaitu out dan source, yang
menurut kamus Oxford mempunyai arti sebagai
contract out, yang dengan terjemahan bebas bermakna
kerja sama operasional (KSO). Adapun definisi
outsourcing menurut Soewondo (2003), outsourcing
adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian
dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan
penyedia jasa outsourcing).
Tidak semua unit di rumah sakit dapat di outsourcing,
untuk fungsi yang strategik dan merupakan unggulan
rumah sakit sebaiknya tidak di outsourcing, beberapa
yang dapat di outsourcing antara lain adalah catering,
penyediaan linen rumah sakit, jasa perbankan, cleaning
service, maintenance dan repair peralatan canggih.
Evaluasi ekonomi adalah suatu bentuk analisis ekonomi
yang membandingkan dua atau lebih program alternatif
dilihat dari segi biaya dan konsekuensi atau outcome
(Drummon, 2005). Dengan kata lain evaluasi ekonomi
mengidentifikasi serta mengukur biaya dan konsekuensi
dari beberapa alternatif kebijakan atau program yang akan
dilaksanakan. Biaya (cost) adalah semua pengorbanan
(sacrifice) yang dikeluarkan untuk memproduksi atau
mengkonsumsi suatu barang atau jasa tertentu. Dengan
demikian pengertian biaya meliputi semua jenis
pengorbanan, biasanya diukur dalam bentuk uang,
barang, gedung, waktu, atau kesempatan yang hilang
(opportunity cost) dan bahkan kenyamanan yang
terganggu.
Metode Activity Based Costing merupakan metode
terbaik dari berbagai metode analisis biaya yang ada,
meskipun pelaksanaannya tidak semudah metode yang
lain karena belum semua rumah sakit memiliki sistem
akuntansi dan keuangan yang terkomputerisasi. Pada
metode ini biaya dikelompokkan berdasarkan masing-
masing aktifitas yang dilakukan, kemudian diidentifikasi
dan dihitung masing-masing biaya investasi, biaya
operasional, biaya pemeliharaan, dan biaya tidak
langsung masing-masing aktifitas yang dilakukan.
Ari Purwohandoyo, Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 186
Pengelolaan limbah medis madat merupakan suatu
serangkaian proses kegiatan yang pada pelaksanaannya
menimbulkan biaya investasi, biaya operasional, biaya
pemeliharaan, dan biaya tidak langsung, sehingga dapat
dinilai total biaya dan biaya satuan yang dibutuhkan
dalam pengelolaan limbah medis padat tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian adalah penelitian kualitatif menggunakan
rancangan crossectional dengan melakukan studi
perbandingan biaya (comparative study) antara dua
alternatif yang ada, pengelolaan limbah medis padat di
RS Kanker “Dharmais” pada bulan Januari sampai
April tahun 2015 antara sistem swakelola dengan
outsourcing. Selanjutnya perhitungan biaya dilakukan
dengan menggunakan metode Activity Based Costing
(ABC).
Berbagai kegiatan yang dilakukan untuk melakukan
pengumpulan data dimulai dengan melihat dan
mencatat alur kegiatan pengelolaan limbah medis padat
di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”. Di dalam alur
kegiatannya termasuk menghitung biaya investasi,
biaya operasional, dan biaya pemeliharaan serta biaya
yang menunjang semua kegiatan pengelolaan untuk
mendapatkan biaya total dari tiap alternatif pengobatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam perhitungan total biaya pengelolaan limbah
medis padat di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
diawali dengan mengidentifikasi masing-masing aktifitas
dalam suatu alur proses (current stage), kemudian dari
masing-masing aktifitas sumber daya yang digunakan
dikelompokkan menjadi biaya investasi, biaya
operasional, biaya pemeliharaan, dan biaya tidak
langsung (ditampilkan dalam gambar 1).
Dari alur proses tersebut didapatkan aktifitas-aktifitas
pengelolaan limbah medis padat yaitu pemilahan,
pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, dan
penyimpanan. Aktifitas yang dilaksanakan sudah sesuai
dengan Pedoman Pengelolaan Limbah Medis Padat
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(P2 dan PL) Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia tahun 2013.
Aktifitas pemilahan adalah merupakan kumpulan
kegiatan dimana petugas kebersihan mempersiapkan
sarana pembuangan limbah medis padat dalam kondisi
siap pakai. Pada aktifitas ini, staf pemberi pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” membuang
sampah medis hasil dalam melaksanakan tugasnya ke
dalam tempat sampah dan kantong plastik berwarna
kuning dan berlogo “biohazards”. Sedangkan untuk
limbah jarum suntik dan benda tajam dibuang ke dalam
safety box yang juga berlogo “biohazards”. Petugas
kebersihan secara rutin akan memantau volume limbah
yang berada di tempat sampah.
Pada aktifitas ini, menurut petugas kebersihan dan
sanitarian, masih sering ditemukan sampah domestik,
botol infus, dan limbah lain yang tidak termasuk limbah
medis dan limbah B3 dibuang di tempat sampah medis,
sehingga menambah berat limbah medis yang
dihasilkan.
Kemudian pada aktifitas pewadahan, petugas kebersihan
mengambil limbah medis padat yang sudah 2/3 penuh
dan atau sesuai jadwal pembuangan untuk di simpan
sementara dalam wheel bin. Sebelum plastik dan safety
box dimasukkan ke dalam wheel bin, petugas kebersihan
harus mengisi pada label yang telah disediakan menggunakan
spidol permanen. Adapun yang dituliskan pada label adalah
lokasi asal limbah dan nama petugas. Kemudian petugas
kebersihan membersihkan tempat sampah medis dan
mengisinya dengan plastik baru.
Plastik kuning dan safety box yang berisi sampah di
simpan ke dalam wheel bin untuk disimpan sementara
di lokasi yang aman sampai pada jadwal pengangkutan.
Jadwal pengangkutan limbah yang ditetapkan pada jam
06.00, jam 13.30, dan jam 20.00 setiap harinya. Namun
bila wheel bin sudah 2/3 penuh, harus segera didorong
ke tempat pembuangan sampah sementara (TPS)
untuk menghindari penyebaran infeksi.
Pada aktifitas pengangkutan, di jadwal yang telah
ditentukan, wheel bin didorong menuju TPS di
belakang rumah Sakit yang berjarak sekitar 30 meter
dari Gedung Utama Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
yang merupakan pusat pelayanan pasien.
Pada aktifitas penyimpanan sementara di TPS, dibagi
menjadi dua kegiatan, yaitu sebelum dan sesudah
pembakaran. Pada saat sebelum pembakaran, sebelum
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 187
serah terima limbah kepada petugas kebersihan TPS,
petugas kebersihan menimbang seluruh limbah beserta
wheel bin dan safety box-nya. Hal ini dimaksudkan
meminimalisir petugas kebersihan kontak dengan
limbah. Sebelumnya masing-masing wheel bin dan
safety box telah ditimbang berat kosongnya, sehingga
hasil penimbangan dikurangi berat kosong tersebut.
Pada saat serah terima limbah, petugas kebersihan
mencatat pada formulir lokasi asal limbah, berat
limbah, dan nama petugas yang membuangnya.
Setelah meletakkan wheel bin dan safety box yang telah
ditimbang, petugas kebersihan ruangan kembali ke
tempat tugasnya membawa wheel bin dan safety box
kosong.
Pada kegiatan setelah pembakaran, petugas kebersihan
mengangkut sisa pembakaran yang sudah dimasukkan
ke dalam karung-karung ke dalam TPS untuk
menunggu waktu pembuangan sisa pembakaran
(maksimal selama 3 bulan). Petugas kebersihan
membersihkan lokasi sebelum jam kerja selesai. Pada
kegiatan ini, semua petugas bekerja non shift sejak hari
senin-sabtu.
Pada aktifitas pengolahan, terdapat dua kegiatan yang
dilaksanakan, yaitu kegiatan pembakaran dan
pembuangan sisa pembakaran. Pada kegiatan
pembakaran, operator incinerator memindahkan sisa
pembakaran yang dilakukan sehari sebelumnya ke
dalam karung-karung untuk disimpan sementara ke
dalam TPS, berat sisa pembakaran sekitar 50 Kg setiap
harinya. Kemudian operator mengangkut limbah
dalam plastik dan safety box yang belum dibakar yang
berat rata-rata limbahnya lebih dari 400 Kg setiap
harinya ke lubang pengumpan yang terletak di bagian
atas incinerator melalui tangga yang telah disediakan.
Kemudian petugas menyalakan incinerator selama 30
menit, yang pada chamber pertama untuk membakar
limbah, sedangkan pada chamber kedua untuk
membakar asap dan debu hasil pembakaran, agar asap
yag dibuang aman bagi lingkungan.Setelah incinerator
dimatikan, incinerator beserta sisa pembakaran
didiamkan selama minimal 12 jam untuk mendinginkan
incinerator dan sisa pembakaran tersebut.
Pada kegiatan pembuangan sisa pembakaran, setelah
disepakati waktu dan biaya kerjasama dengan penyedia
penampung sisa pembakaran, operator melaksanakan
tugas lembur untuk membuang sisa pembakaran.
Tugas lembur dilakukan karena di jalan protokol depan
Rumah Sakit Kanker “Dharmais” tidak boleh dilalui
truk dari jam 22.00-05.00. Dikarenakan berat sisa
pembakaran dapat mencapai 5 ton setiap pembuangan,
maka diperlukan staf tambahan untuk mengangkut sisa
pembakaran.
Sebelum diangkut ke dalam drum-drum dalam truk,
sisa pembakaran ditimbang terlebih dahulu, sebagai
bahan laporan kepada instansi pengelola lingkungan
DKI Jakarta dan sebagai dasar pembayaran kepada
perusahaan pengangkut. Lokasi TPS dan jalur
pengangkutan kemudian dibersihkan.
Setelah digambarkan dalam suatu flowchart, alur proses
pengelolaan limbah medis padat secara outsourcing,
hanya berbeda pada aktifitas penyimpanan sementara
dan pengolahan saja. Perbedaan tersebut adalah dikarenakan
pada swakelola terdapat kegiatan pembakaran dan juga
pembuangan sisa pembakaran, sebaliknya tidak dilakukan
pada sistem outsourcing (ditampilkan dalam gambar 2).
Pada aktifitas penyimpanan sementara, hanya terdapat
satu kegiatan saja, yaitu sama pada pengelolaan limbah
medis padat secara swakelola di kegiatan sebelum
pembakaran. Setelah wheel bin sampai ke TPS, petugas
kebersihan menimbang seluruh limbah beserta wheel
bin dan safety boxnya. Pada saat serah terima limbah,
petugas kebersihan mencatat pada formulir lokasi asal
limbah, berat limbah, dan juga nama petugas yang
membuangnya. Setelah meletakkan wheel bin dan
safety box yang telah ditimbang, petugas kebersihan
ruangan kembali ke tempat tugasnya membawa wheel
bin dan safety box kosong.
Pada aktifitas pengolahan, setelah petugas pengangkut
datang, maka bersama petugas kebersihan dilakukan
penimbangan dan pencatatan pada lembar manifes
yang dibawa petugas pengangkut.
Dalam melakukan perhitungan activity based costing
(ABC) pada sistem swakelola dan outsourcing, harga
sumber daya yang digunakan berdasarkan harga pasar
atau harga dan perhitungan yang berlaku pada Bulan
April tahun 2015, angka inflasi menggunakan rata-rata
inflasi Bank Indonesia di Bulan Januari-April tahun
2015. Untuk harga solar, diambil harga rata-rata dari
bulan Januari-April 2015.
Ari Purwohandoyo, Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di
Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 188
Adapun prediksi limbah medis padat yang diolah,
tempat sampah medis, safety box, dan wheel bin
berdasarkan berat limbah yang telah dihasilkan pada
Bulan Januari-April 2015, tempat sampah medis
sebanyak 250 buah, safety box ukuran 5 liter sebanyak
10.800 buah, wheel bin ukuran 240 liter sebanyak 50
buah, dan wheel bin 120 liter sebanyak 30 buah yang
nilainya diperhitungkan dalam periode 4 bulan.
Adapun penggunaan barang habis pakai (BHP) seperti
sarung tangan, masker, plastik sampah, ballpoint,
karung, dan air dihitung pemakaian rata-rata per bulan
dari bulan Januari-April 2015, sedangkan konsumsi
solar dan listrik disesuaikan dengan spesifikasi
kebutuhan energi dari incinerator.
Setelah dilakukan penelusuran biaya pengelolaan limbah
medis padat secara swakelola berdasarkan aktifitas
menurut metode ABC didapatkan hasil perhitungan
berupa biaya langsung yang terdiri dari biaya investasi,
biaya operasional, dan biaya pemeliharaan, serta biaya
tidak langsung yang berfungsi sebagai penunjang namun
tidak langsung mempengaruhi proses pengelolaan limbah,
sebagaimana ditampilkan dalam tabel 1.
Adapun setelah dilakukan penelusuran biaya pengelolaan
limbah medis padat secara outsourcing berdasarkan
aktifitas menurut metode ABC didapatkan pula hasil
perhitungan berupa biaya langsung yang terdiri dari
biaya investasi, biaya operasional, dan biaya pemeliharaan,
serta biaya tidak langsung yang berfungsi sebagai
penunjang namun tidak langsung mempengaruhi proses
pengelolaan limbah, sebagaimana ditampilkan dalam tabel
2.
Dalam proses pengumpulan dan pengolahan data yang
dilakukan pada penelitian ini, terdapat keterbatasan
antara lain
1. Dikarenakan pengelolaan limbah medis padat yang
berjalan saat ini adalah pengelolaan secara outsourcing,
maka dengan ini tidak dapat dilakukan pengamatan
alur proses pengelolaan limbah secara swakelola,
khususnya pada aktifitas pengolahan. Sebagai jalan
keluar, peneliti membuat alur proses berdasarkan
pengalaman yang pernah melaksanakan tugas di
Instalasi Kesehatan Lingkungan dan K3, telaah
dokumen, serta wawancara kepada Kepala Unit
Kesehatan Lingkungan di Instalasi Kesehatan
Lingkungan dan K3;
2. Penelitian dilakukan pada Bulan April dan Mei 2015
berdasarkan data pelaksanaan pengelolaan limbah
yang sudah berjalan pada tahun 2015 yaitu data di
Bulan Januari hingga April 2015. Pengambilan data
dilakukan untuk membandingkan pengelolaan limbah
secara swakelola dan secara outsourcing dalam tahun
2015, berdasarkan kontrak kerjasama dengan penyedia;
3. Sumber daya berupa peralatan, hampir semua tidak
dapat langsung diketahui harga pengadaannya, sehingga
peneliti harus mencari harga pasar saat ini baik secara
langsung maupun melalui internet;
4. Tarif solar industri yang berubah-ubah, sehingga tidak
dapat ditentukan harga tetapnya. Untuk itu para peneliti
menggunakan harga solar rata-rata sebagai dasar
perhitungan harganya dan melakukan penelitian pada
waktu yang sudah berjalan, yaitu Bulan Januari-April
2015;
5. Data perhitungan biaya investasi berupa harga
ruangan/bangunan tidak ada, karena saat pengadaannya
merupakan satu paket pengadaan incinerator, sehingga
peneliti meminta bantuan konsultan yang sedang
melaksanakan pekerjaan di Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” menilai taksiran harga dan masa pakainya;
6. Tidak dimasukkannya biaya administrasi dan
perkantoran ke dalam Instalasi Kesehatan Lingkungan
dan K3, biaya kemungkinan apabila terjadinya keadaan
darurat dan kecelakaan kerja, biaya pembuatan laporan
ketaatan lingkungan, dan biaya risiko dan dampak
hukum apabila Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
tidak memenuhi persyaratan dalam pengolahan
limbah medis padatnya;
7. Terdapatnya incinerator yang tidak dipakai, namun
masa pakainya masih tersisa 3 tahun lagi, maka yang
tetap dihitung beban depresiasinya sehingga meningkatkan
beban biaya pengelolaan limbah medis padat secara
outsourcing.
Dari kedua alur proses pengelolaan limbah medis padat
menunjukkan bahwa kedua sistem sudah dilaksanakan
sesuai dengan Pedoman Pengelolaan Limbah Medis Padat
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2 dan PL)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013.
Dalam pelaksanaannya, kedua alur proses tersebut
mempunyai perbedaan pada beberapa aktifitas dan
sumber daya yang digunakan pada masing-masing
aktifitas. Aktifitas-aktifitas tersebut adalah aktifitas
penyimpanan sementara dan pengolahan. Hal tersebut
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 189
merupakan dampak adanya proses pembakaran limbah
medis padat yang dilakukan apabila pengelolaan
limbah secara swakelola. Terkait dengan hal tersebut,
maka terdapat juga perbedaan sumber daya yang
digunakan.
Selain waktu pengelolaan yang lebih lama, pada
pengelolaan limbah secara swakelola membutuhkan
SDM yang kompeten dalam melakukan pembakaran.
Dibutuhkan setiap 200 tempat tidur perawatan sebanyak 1
orang operator limbah (Kemenkes, 2013). Untuk itu
dikarenakan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” melayani
lebih dari 300 tempat tidur, maka dibutuhkan 2 orang
operator. Sumber daya penting lain adalah dibutuhkan
bahan bakar solar dan alokasi dana pembuangan sisa
pembakaran.
Dari data pengelolaan limbah medis padat secara
swakelola pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa
total biaya langsung sebesar 82,57% dari pengelolaan
limbah medis padat secara swakelola lebih besar dari
total biaya tidak langsung sebesar 17,43% dari nilai total
pengelolaan limbah medis padat secara swakelola,
dengan biaya terbesar pada aktifitas pengolahan struktur
biaya langsung yang merupakan 56% dari total biaya.
Sedangkan dari data pengelolaan limbah medis padat
secara outsourcing menunjukkan bahwa total biaya
langsung sebesar 90,38% dari pengelolaan limbah
medis padat secara outsourcing lebih besar dari total
biaya tidak langsung sebesar 9,62% dari pengelolaan
limbah medis padat secara outsourcing, dengan biaya
terbesar pada aktifitas pengolahan struktur biaya
langsung yang merupakan 80,09% dari total biaya.
Penjumlahan total biaya langsung dengan total biaya
tidak langsung adalah total biaya (total cost).
Perbandingan total biaya pengelolaan limbah medis
padat sistem swakelola sebesar Rp. 625.332.440,-
dibandingkan dengan total biaya sistem outsourcing
sebesar Rp. 591.022.692,- terdapat selisih Rp.
34.309.747,- lebih besar secara swakelola. Sehingga
apabila dibagi dengan output berupa limbah yang
dihasilkan pada periode bulan Januari-April 2015
sebanyak 50.374,85 Kg, didapatkan biaya yang harus
dikeluarkan untuk pengelolaan per-Kg berat limbah
adalah Rp. 12.414 per-Kg untuk sistem swakelola dan
Rp. 11.732 per-Kg untuk sistem outsourcing. Dari
kedua sistem tersebut terdapat selisih Rp. 681,- per-Kg
berat limbah medis padat.
Pada aktifitas pemilahan, pewadahan, dan pengumpulan
pada sistem swakelola memerlukan biaya yang lebih tinggi
dibandingkan sistem outsourcing, hal ini dikarenakan
beberapa sumber daya seperti wheel bin, timbangan lantai
digital dan tempat sampah medis, yang pada sistem
swakelola harus dibeli Rumah Sakit, ditanggung
pengadaannya oleh penyedia jasa outsourcing pengolah
limbah. Begitu pula penyediaan plastik sampah medis
berlogo, dimana penyedia jasa pengolahan limbah
menyediakan perbulan 2.000 lembar (125 kg) plastik
ukuran 50X75 cm dan 2.000 lembar (83 kg) plastik
ukuran 60X100 cm. sehingga mengurangi beban rumah
sakit dalam penyediaan plastik sampah medis berlogo.
Dari perhitungan biaya di atas, menunjukkan pengelolaan
limbah medis padat secara swakelola di Rumah Sakit
Kanker “Dharmais” membutuhkan alokasi dana yang
lebih sedikit, terdapat selisih sebesar Rp. 34.309.747,-.
Berdasarkan hal tersebut, Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
artinya sudah tepat memutuskan pengelolaan limbahnya
secara outsourcing.
Ini sesuai dengan perkembangan tumbuhnya fasyankes
di tanah air yang harus mengelola limbahnya dengan
biaya investasi, operasional, dan pemeliharaan yang
sangat mahal, yang untuk beberapa fasilitas layanan
kesehatan sangat memberatkan dan tidak sesuai dengan
jumlah limbah yang dihasilkan (sedikit).
Selama beberapa tahun terakhir, privatisasi semakin
banyak diterapkan di sejumlah negara sebagai metode
pendanaan alternatif untuk berbagai lapangan pekerjaan,
termasuk pengelolaan limbah layanan kesehatan. Melalui
pengaturan semacam itu, sektor swasta secara keseluruhan
akan mendanai, mendesain, mendirikan, memiliki, dan
menjalankan sarana pengolahan serta menjual jasanya
dalam hal pengumpulan dan pembuangan limbah pada
instansi kesehatan pemerintah maupun swasta (Chartier,
2014).
Pertimbangan lain dengan pengelolaan secara outsourcing
dapat mengurangi belanja pegawai selain berupa gaji,
insentif, dan THR adalah biaya kesehatan dan keselamatan
pekerja. Untuk memastikan bahwa prosedur penanganan,
pengolahan, penampungan dan pembuangan limbah yang
benar telah dijalankan, maka harus dipersiapkan program
Ari Purwohandoyo, Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di
Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 190
dan anggaran pelatihan yang tepat, penyediaan peralatan
dan pakaian untuk perlindungan pekerja, serta program
kesehatan kerja yang efektif yang mencakup imunisasi,
pengobatan profilaktik pasca pajanan, dan surveilans
kesehatan. Biaya tenaga kerja adalah biaya yang
dikeluarkan sebagai akibat pemanfaatan tenaga kerja
dalam melakukan produksi (Blocher, 2010).
Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan
Konradus (2012) bahwa keselamatan dan kesehatan
kerja yang berstandar Safety, Health and Loss Control
mengharuskan setiap tempat kerja untuk menempatkan
K3 sebagai program yang tidak terpisahkan dari
rencana produksi tahunan, peningkatan kualitas SDM,
ketersediaan alat-alat keselamatan kerja dan pelayanan
kesehatan pekerja. Mereka juga dilatih untuk terampil
menggunakan alat dan merupakan pola hidup sehat
untuk menghindari terjadinya kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja.
Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat
menyebabkan kerugian, baik bagi tempat kerja maupun
bagi pekerja. Selain itu kecelakaan kerja dan penyakit
kerja dapat menyebabkan loss time injury (kehilangan
jam kerja produktif) dan property damage (kerusakan
alat) yang berdampak pada menurunnya tingkat
produktivitas.
Biaya investasi berupa pembelian peralatan seperti
incinerator, tempat sampah, wheel bin, dan timbangan
dapat dihindari. Karena barang investasi bagi instansi
pemerintah memerlukan proses yang panjang dalam
pengadaannya. Barang yang sudah dibeli harus
dimasukkan dalam aset rumah sakit, diperlukan biaya
operasional dan pemeliharaan yang mahal, diperlukan
perizinan dalam penggunaannya, dan sulit dalam
penghapusan asetnya, sehingga masih akan tercatat
sebagai barang investasi walau sudah tidak produktif
lagi.
Sebelum pembelian incinerator perlu dipertimbangkan
ukuran, lokasi, serta sarana gedung yang akan digunakan
untuk melindungi incinerator dari bahaya kebakaran dan
pencemaran udara (Chandra, 2006). Dibutuhkan total
anggaran investasi pembelian incinerator di Indonesia
berkisar $ 68.400,- (Rp. 911.908.800 dengan $1 = Rp.
13.332,-) (Chartier, 2014), belum termasuk biaya-biaya lain.
Hal tersebut sesuai dengan Pedoman Pengelolaan
Limbah Medis Padat Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2 dan PL) Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, prinsip
penanganan limbah medis padat di Fasyankes adalah
sebagai berikut:
a. The “polluter pays” principle atau prinsip “pencemar
yang membayar” bahwa semua penghasil limbah
secara hukum dan finansial bertanggung jawab untuk
menggunakan metode yang aman dan ramah
lingkungan dalam pengelolaan limbah.
b. The “precautionary” principle atau prinsip “pencegahan”
merupakan prinsip kunci yang mengatur perlindungan
kesehatan dan keselamatan melalui upaya penanganan
yang secepat mungkin dengan asumsi risikonya
dapat terjadi cukup signifikan.
c. The “duty of care” principle atau prinsip “kewajiban
untuk waspada” bagi yang menangani atau mengelola
limbah berbahaya karena secara etik bertanggung
jawab untuk menerapkan kewaspadaan tinggi.
d. The “proximity” principle atau prinsip “kedekatan”
dalam penanganan limbah-limbah berbahaya untuk
meminimalkan risiko dalam pemindahan.
Di sisi lain, RS Kanker “Dharmais” ini dapat berkurang
kesibukannya, dan dapat terpenuhi kewajibannya untuk
mengelola lingkungan sesuai peraturan, dan dapat lebih
fokus pada bisnis utamanya, yaitu memberikan
pelayanan pada pasien kanker, berkurang dari risiko
timbulnya penyakit dan cedera akibat pencemaran pada
lingkungan dan masyarakat sekitar Rumah Sakit, yang
sudah tentu biaya perbaikannya dan sangsi hukum yang
diterima akan lebih mahal.
Dikarenakan pada umumnya lokasi rumah sakit -
rumah sakit di Indonesia berdampingan dengan
pemukiman dan sarana umum lain, maka setiap
kegiatan pengelolaan limbahnya berisiko mencemarkan
lingkungan dan masyarakat di sekitarnya, untuk itu
rumah sakit perlu menyediakan suatu biaya lingkungan
(environment cost) sebagai bagian dari tanggung jawab
sosial dalam anggaran tahunannya sebagai langkah
preventif dan antisipatif terhadap risiko yang mungkin
terjadi. Pertanggungjawaban sosial ini tidak hanya
bertujuan untuk menunjukkan bahwa perusahaan telah
melakukan kegiatan sosial dan telah ikut berperan serta
dalam masalah sosial, tetapi juga untuk mengevaluasi
social performance perusahaan (Kotler, 2007), karena
dengan social performance tersebut, masyarakat dapat
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 191
membentuk image positif atau negatif terhadap rumah
sakit.
Namun, mengingat tidak terlalu besar selisih harga
pengelolaan limbah kedua alternatif tersebut, apabila
jumlah limbah yang dikelola semakin banyak, lebih dari
yang diprediksi, maka akan berdampak pada
peningkatan kebutuhan dana pengelolaan limbah
secara outsourcing. Dari hasil simulasi apabila berat
limbah meningkat dengan rata-rata 32,4 Kg per-hari
atau 963,9 Kg per-bulan dari jumlah sebelumnya rata-
rata 423,32 Kg per-hari atau 12.593,71 Kg per-bulan,
maka biaya pengelolaan limbah secara outsourcing
akan menjadi lebih mahal.
Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut dalam upaya
mengurangi limbah medis padat yang dihasilkan
Rumah Sakit Kanker “Dharmais” yang dimulai dari
proses pemilahan limbah di sumber penghasil limbah.
Karena pembatasan limbah secara efektif dan tindakan
penanganan yang aman selain dapat memberikan
perlindungan kesehatan yang signifikan bagi masyarakat
umum, pasien, tenaga kesehatan, dan pengelola limbah,
serta dapat mengurangi biaya yang dibutuhkan.
Pengurangan (minimisasi) limbah medis padat pada
tahap pemilahan dapat dilakukan dengan cara
(Kemenkes, 2013) :
a. Pembelian bahan sesuai dengan kebutuhan, efisien
dalam pemakaian.
b. Pembelian bahan dari produsen/distributor yang
bersedia untuk mengambil limbah sesuai dengan
produk yang digunakan (extended producer
reponsibility).
c. Penerapan sistem FIFO (First In First Out) dan
FEFO (First Expired First Out) dalam pendistribusian
bahan.
d. Pemilahan limbah yang cermat pada sumber
menjadi beberapa kategori dapat membantu
meminimalkan kuantitas limbah berbahaya.
e. Limbah medis yang bernilai ekonomis dapat
dimanfaatkan kembali (reuse) dan/atau daur ulang
(recycle) melalui proses sterilisasi.
f. Limbah yang akan didaur ulang melalui proses
sterilisasi harus dipisahkan dari limbah yang tidak
dimanfaatkan kembali.
g. Limbah medis padat yang akan dimanfaatkan
kembali harus melalui proses sterilisasi.
h. Limbah yang telah melalui proses sterilisasi harus
dibuat berita acaranya agar tidak terjadi kesalahan
data.
Berkaitan dengan terdapatnya incinerator yang tidak
terpakai dan sudah habis perizinannya, namun
kondisinya masih layak digunakan dan masa pakainya
masih tersisa 3 tahun lagi, sampai saat ini Rumah Sakit
Kanker “Dharmais” belum mendapatkan jalan keluar
terkait hal tersebut, selain difungsikan stand by apabila
terjadi permasalahan proses pengolahan dengan
penyedia jasa pengolah limbah, sehingga incinerator
tersebut hanya menjadi beban biaya namun tidak
produktif.
Penyedia jasa pengolah limbah yang saat ini bekerjasama
dengan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” merupakan
perusahaan yang berpusat di Kota Bandung dengan lahan
pengolahan di daerah Dawuan Cikampek. Hal tersebut
dapat menjadi permasalahan tersendiri, karena dapat
menjadi penambah nilai kontrak dan berpotensi
mengganggu kontinuitas pengambilan limbah karena
risiko gangguan dalam transportasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Alur proses pengelolaan limbah medis padat di Rumah
Sakit Kanker “Dharmais” sudah sesuai persyaratan
kesehatan lingkungan dan sudah berjalan dengan baik,
sesuai prosedur, dan memperhatikan prinsip-prinsip
patient safety serta keselamatan dan kesehatan kerja
karyawan. Khusus pengelolaan secara outsourcing
dilakukan melalui alur proses yang lebih pendek,
sederhana, dan risikonya lebih rendah bagi lingkungan
rumah sakit.
Setelah melakukan perhitungan activity based costing
(ABC), dengan membandingkan total kebutuhan biaya
pengelolaan limbah medis padat di Rumah Sakit
Kanker “Dharmais” dari seluruh aktifitas pengelolaan
limbah pada periode Bulan Januari-April 2015
menunjukkan pengelolaan limbah medis padat secara
outsourcing sedikit lebih murah dengan perbedaan Rp.
34.309.747.
Ari Purwohandoyo, Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di
Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 192
Saran
Rumah Sakit Kanker “Dharmais” dapat
mempertahankan kerjasama pengelolaan limbah medis
padatnya secara outsourcing, mengingat biaya yang
dibutuhkan dan risiko pengelolaannya lebih kecil.
Rumah Sakit Kanker “Dharmais” dapat mengusulkan
kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta agar didirikan
suatu Badan Usaha Daerah yang khusus mengelola
limbah medis padat. Sehingga pengelolaan limbah
medis padat di DKI Jakarta dapat berjalan dengan baik,
selalu dapat diawasi pelaksanaanya, dan dapat menjadi
sumber pemasukan bagi kas daerah.
Rumah Sakit Kanker “Dharmais” agar melakukan
penelitian yang lebih mendalam terkait upaya-upaya
minimisasi limbah medis padat dan penggunaan
sumber daya yang dibutuhkan pada pengelolaan
limbah medis padat, dalam upaya meningkatkan
efisiensi penggunaan anggaran pengelolaan limbah di
Rumah Sakit Kanker “Dharmais” seperti efisiensi
dalam penggunaan bahan infeksius, penerapan sistem
FIFO dan FEFO, usulan klausul dalam kontrak
pembelian bahan agar produsen/distributor mengambil
limbah yang dihasilkan akibat menggunakan produk-
nya (re-eksport) dan pemilahan limbah yang cukup
cermat.
DAFTAR PUSTAKA
Adhikari, S. R., Supakankunit, S. (2013). Benefit and Costs of Alternative Healthcare Waste
management: An Example of The Largest Hospital of Nepal. Diambil 27 Januari
2015 dari www.searo.who.int/publications//jounals/seajph.
Adisasmito, W. (2010). Diktat Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Anonymus. (2006). Activity Based Costing Chapter five. Diambil 13 April 2015 dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ve
d=0CCAQFjAA&url=http%3A%2F%2Fhighered.mheducation.com%2Fsit
es%2Fdl%2Ffree%2F0073128155%2F394466%2Fblo28155_ch05.pdf&ei=XJ2RVfXfJovauQTN74PgDw&usg=AFQjCNGjBRr2AxTEWfqgp9Kqj
U9TK9l3fA.
Andrianti, E. (2008). Tesis: Cost Effective Analysis Penyelenggaraan Sistem Swakelola dan Outsourcing di Kelas Paviliun RSU. Jend. A. Yani Metro Lampung tahun 2008.
Depok: Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Bagian Program dan SIM RS Kanker Dharmais. (2014). Laporan Kinerja RS Kanker Dharmais Tahun 2013. Jakarta:
RS Kanker Dharmais.
__________. (2015). Laporan Kinerja RS Kanker Dharmais Tahun 2014. Jakarta: RS Kanker Dharmais.
Blocher, E., Stout, D., Cokins, G. (2009). Cost management: A Strategic Emphasis. USA:
McGraw-Hill. Chandra, Budiman. (2006). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
CIWM. (2013). An Introductory Guide to Healthcare Waste Management in England and Wales. Diambil 13 April 2015 dari http://www.ciwmjournal.
co.uk/downloads/Healthcare-Waste-WEB.pdf.
Chartier, Y., Emmanuel, J., Pieper, U., et al. (2014). Safe Management of Wastes From Health-
Care Activities 2nd Edition. Geneva: WHO Press. Direksi RSKD. (2009). Keputusan Direksi RS Kanker Dharmais Nomor:
HK.00.06/1/3352/2011 tentang Struktur Organisasi & Uraian Tugas Instalasi
Kesehatan Lingkungan dan K3 RS Kanker Dharmais. Jakarta: RS Kanker Dharmais.
Direktorat Jenderal PPM & Penyehatan Lingkungan. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan
Kesehatan RI Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan. (2013). Pedoman
Pengelolaan Limbah Medis Padat Fasyankes. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Drummond, M. F. (2005). Methods for Economic Evaluation of Health Care Programs.
Oxford: Oxford University Press. Hapsari, R. (2010). Tesis: Analisis Pengelolaan Sampah Dengan Pendekatan Sistem di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta. Semarang: Program Pasca Sarjana Univesitas
Diponegoro.
Hansen, D. R., Mowen, M. M. (2007). Managerial Accounting 8th Edition. USA: Thomson
South-Western.
Health Care Without Harm. (2011). Medical Waste and Human Rights. Diambil 21 Juni 2015 dari
http://noharm.org/lib/downloads/waste/MedWaste_Human_Rights_Report.pdf.
Horngren, C. T., Stratton, & Sundern. (2000). Cost Accounting: A Managerial Approach 10th Edition. USA: Prentice-Hall Publishing Company.
International Comitee of the Red Cross. (2011). Medical Waste Management. Geneva: ICRC.
Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Kanker Dharmais. (2014). Program Kerja Instalasi Kesehatan Lingkungan dan K3 RSKD tahun 2015-2019. Jakarta: IKL
RSKD. Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Kanker Dharmais. (2014). Kumpulan Standar
Prosedur Operasional Instalasi Kesehatan Lingkungan RSKD. Jakarta: IKL
RSKD. __________. (2014). Program Penyehatan Lingkungan RS Kanker Dharmais Tahun 2010.
Jakarta: IKL RS Kanker Dharmais.
__________. (2014). Uraian Tugas Instalasi Kesehatan Lingkungan RSKD. Jakarta: IKL RSKD.
__________. (2014). Key Performance Indicator Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Kanker
Dharmais. Jakarta: IKL RSKD. Konradus, D. (2012). Keselamatan Kesehatan Kerja: Membangun SDM Pekerja Yang
Sehat, Produktif, dan Kompetitif. Jakarta: Bangka Adinatha Mulia.
Kotler, P., Lee, N. (2004). Corporate Social Responsibility: Doing The Most Good for Your Company and Your Cause. USA: Wiley.
Leontina, B., (2007). Environmental Cost Accounting. Diambil 21 Juni 2015 dari
Lubis, A. I., Dharmanegara, I. B. A. (2014). Akuntansi dan Manajemen Keuangan Rumah Sakit. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: 1684/MENKES/PER/XII/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja RS Kanker Dharmais. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Mubarak, W.I. dan Chayatin, N. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Medika. Notoatmojo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: PT
Asdi Mahasatya.
__________. (2007). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni (Ed. Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
Pruss, A., Giroult, E., & Rushbrook, P. (2005). Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan (Penerjemah: Munaya Fauziah, Mulia Sugiarti, & Ela Laelasari).
Jakarta: EGC.
Raco, J. R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Shareefdeen, Z. M., (2012). Medical Waste Management and Control. Diambil 13 April 2015
dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ve
d=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.scirp.org%2Fjournal%2FPap
erDownload.aspx%3FpaperID%3D25649&ei=55-RVfCWFZePuATs84GwBA&usg=AFQjCNGJvtRmQLfMcswEkf_FG
N2nq54xQA.
Suwondo, C. (2004). Outsourcing Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT. Elex Media Computindo.
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 193
Tabel 1. Alokasi ABC Pengelolaan Limbah Medis Padat Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” Secara Swakelola
No Aktifitas Biaya Langsung (Rp) Biaya Tidak
Langsung (Rp) Total (Rp)
Investasi Operasional Pemeliharaan Jumlah
1 Pemilahan 0 68.666.667 0 68.666.667 0 68.666.667
2 Pewadahan 0 61.017.000 0 61.017.000 122.200 61.139.200
3 Pengumpulan 21.323.333 0 0 21.323.333 236.000 21.559.333
4 Pengangkutan 0 0 0 0 0 0
5 Penyimpanan Sementara
7.656.399 1.360.000 6.131.783 15.148.183 1.097.939 16.246.121
6 Pengolahan 45.817.922 288.359.645 15.985.117 350.162.684 107.558.434 457.721.118
Total Jumlah 74.797.655 419.403.312 22.116.900 516.317.867 109.014.573 625.332.440
Tabel 2. Alokasi ABC Pengelolaan Limbah Medis Padat Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” Secara Outsourcing
No Aktifitas
Biaya Langsung (Rp) Biaya Tidak
Langsung
(Rp)
Total (Rp) Investasi Operasional Pemeliharaan Jumlah
1 Pemilahan 0 0 0 0 0 0
2 Pewadahan 0 46.660.000 0 46.660.000 122.200 46.782.200
3 Pengumpulan 0 0 0 0 118.000 118.000
4 Pengangkutan 0 0 0 0 0 0
5 Penyimpanan
Sementara 7.389.733 680.000 6.065.117 14.134.849 1.082.183 15.217.032
6 Pengolahan 7.370.17 459.922.381 6.065.117 473.357.514
55.547.946 528.905.460
Total Jumlah 14.759.750 507.262.381 12.130.233 534.152.364 56.870.329 591.022.692
Ari Purwohandoyo, Analisis Perbandingan Biaya Pengelolaan Limbah Medis Padat Antara Sistem Swakelola dengan Sistem Outsourcing di
Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 194
Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap
Kesesuaian Standar Tarif INA-CBG’s Instalasi Rawat Inap Teratai RSUP
Fatmawati Jakarta
Analysis of Correlation of Medical Record Fulfilling and INA-CBG’S costing at Teratai
Inpatient Instalation RSUP Fatmawati Jakarta
Dewi Apriyantini
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
FakultasKesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kelengkapan pengisian resume medis (diagnosis utama, diagnosis sekunder, prosedur
utama) terhadap kesesuaian standar Tarif INA-CBGs di Instalasi rawat inap Teratai Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan desain studi cross sectional.
Hasil penelitian masih ditemukannya ketidaklengkapan pengisian resume medis terkait variabel diagnosis utama,
diagnosis sekunder, dan prosedur utama, sehingga menyebabkan potensi ketidaksesuaian standar tarif INA-CBGs.
Ketidaklengkapan pengisian resume medis disebabkan banyak faktor dan hasil peneltian ini menyarankan agar
dilakukan evaluasi dan sosialisasi Standar Prosedur Operasional (SPO), diberlakukannya system reward dan
punishment, Monitoring dan Evaluasi tentang formulir rekam medik, ditambahkan buku atau daftar kode
diagnosis dan pemutakhiran software INA-CBGs.
Kata kunci: INA-CBGs, resume medis, kelengkapan.
ABSTRACT
This research discussed on the completeness of medical resume (primary diagnostic, secondary diagnostic and
major procedure) in consistency with INA-CBGs costing at Teratai Inpatient Instalation Central General
Hospital (RSUP). This research used mix methods approach with cross sectional design. This research found that
there is still incompleteness in filling medical records especially for primary diagnostic, secondary diagnostic
and major procedure that potentially may cause inconsistency with INA-CBSs costing. The incompleteness were
caused by many factors, and this research suggest to conduct evaluation and socialization of the Standard
Procedure Operational (SPO), the implementation of reward and punishment system, monitoring and evaluation
on medical record forms, addition of book or list of diagnostic code, upgrading of INA-CBGs software.
Keywords: INA-CBGs, medical record, fulfilling.
.
PENDAHULUAN
Gelombang globalisasi telah menciptakan tantangan bagi
rumah sakit yang semakin besar, yaitu kompetisi yang
ketat dan pelanggan yang semakin selektif dan
berpengetahuan. Rumah sakit sebagai sarana pelayanan
kesehatan dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan
yang akan diberikan kepada pelanggan sejalan dengan
meningkatnya tuntutan masyarakat akan pelayanan yang
lebih baik, dan sesuai perkembangan teknologi. Hal ini
menjadi tolak ukur oleh masyarakat untuk mendapatkan
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 195
rasa aman, nyaman, bermutu dan efektif yang diberikan
oleh pihak pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2012).
Upaya dalam peningkatan mutu dan pelayanan di rumah
sakit, perlu adanya dukungan dari berbagai faktor yang
terkait. Salah satu faktor yang mendukung keberhasilan
tersebut yaitu terselenggaranya pelaksanaan rekam
medis, Proses kegiatan rekam medis mulai dari
pendaftaran pasien sampai dengan pengolahan rekam
medis dalam bentuk laporan merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dan dilaksanakan secara
tertib, sehingga menghasilkan informasi yang akurat dan
akuntabel (Yuniati, 2012). Rekam medis yang lengkap,
akurat dan dapat di pertanggung jawabkan menjadi
landasan yang efektif dalam mengurangi tingkat resiko
kesalahan, hal ini disebabkan karena rekam medis
merupakan sumber informasi bagi pasien, karena rekam
medis dapat menunjukan pelayanan yang diberikan
apakah sudah sesuai dengan pelayanan kesehatan
(Sarwanti, 2014).
Dalam era BPJS saat ini pengisian rekam medik yang
lengkap menjadi hal yang sangat penting. Terutama
penulisan resume pasien pulang. Karena didalam resume
pulang terdapat diagnosis penyakit pasien yang merupakan
dasar bagi petugas koding untuk menetapkan kode
diagnosis penyakit yang pada akhirnya mempengaruhi tarif
INA CBG’s. Menurut Permenkes No 27 Tahun 2014
Tentang Petunjuk Teknis INA-CBGs, Tarif INA-CBG s
(Case Based Groups ) merupakan besaran pembayaran
klaim oleh BPJS kesehatan (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan) kepada Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat atas paket pelayanan yang sudah
didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit
dan prosedur (Kementerian Kesehatan, 2014). Penulisan
diagnosis seorang pasien adalah tanggung jawab dokter
yang merawat dan tidak boleh diwakilkan. Di RSUP
Fatmawati setelah pasien pulang seorang dokter yang
merawat pasien tersebut akan melengkapi data medik
dilembar resume dokter secara manual (Sarwanti, 2014).
Formulir resume medik merupakan salah satu formulir
yang sangat penting dalam menilai mutu suatu rekam
medik. Resume medik digunakan oleh tim koder rumah
sakit untuk mengkoding diagnosis penyakit yang pada
akhirnya berujung pada pembayaran klaim.
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan No.
269/MenKes/Per/III/2008 rekam medik adalah berkas
yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan juga
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa rekam medik adalah berkas penyimpanan data
dan informasi mengenai catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain yang diberikan kepada pasien.
Tujuan dan kegunaan dari rekam medik banyak sekali,
adapun tujuan dan keguaan dari rekam medik adalah
menurut Hatta (2011) tujuan rekam medik adalah untuk:
1. Pasien, rekam medik merupakan alat bukti utama
yang mampu membenarkan adanya pasien dengan
identitas yang jelas dan telah mendapatkan berbagai
pemeriksaan dan pengobatan di sarana pelayanan
kesehatan dengan segala hasil serta konsekuensi
biayanya.
2. Pelayanan pasien, pada rekam medik ini mencakup
pendokumentasian pelayanan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan, penunjang medik dan tenaga lain
yang bekerja dalam berbagai fasilitas pelayanan
kesehatan. Dengan demikian rekaman itu membantu
pengambilan keputusan tentang terapi, tindakan, dan
penentuan diagnosis pasien. Rekam medik juga
sebagai sarana komunikasi antar tenaga lain yang
sama-sama terlibat dalam menangani dan merawat
pasien. Selain itu rekam medik setiap pasien juga
berfungsi sebagai tanda bukti yang sangat sah yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Oleh
karena itu rekam medik yang lengkap harus setiap
saat tersedia dan berisi data atau informasi tentang
pemberian pelayanan kesehatan secara jelas.
3. Manajemen pelayanan, rekam medik yang lengkap
memuat segala aktivitas yang terjadi didalam proses
manajemen pelayanan sehingga digunakan dalam
menganalisis berbagai penyakit, menyusun pedoman
praktik, serta untuk mengevaluasi mutu pelayanan
yang diberikan.
4. Menunjang pelayanan, rekam medik yang rinci akan
mampu menjelaskan aktivitas yang berkaitan dengan
adanya penanganan sumber-sumber yang ada pada
organisasi pelayanan di rumah sakit, menganalisis
kecenderungan yang terjadi.
5. Pembiayaan, rekam medik yang akurat akan mencatat
segala pemberian pelayanan kesehatan yang diterima
pasien. Informasi ini menentukan besarnya pembayaran
yang harus dibayar.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 196
Sedangkan tujuan sekunder dari rekam medik adalah
berkaitan dengan lingkungan seputar pelayanan pasien
yaitu untuk kepentingan edukasi, riset, peraturan dan
pembuatan kebijakan.
Berikut beberapa kegunaan rekam medik diantaranya:
1. Aspek Administrasi. Suatu berkas rekam medis
yang mempunyai suatu nilai administrasi, karena
isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang
dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan
paramedic dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan.
2. Aspek Medis. Suatu berkas rekam medis
mempunyai nilai medik, karena catatan tersebut
dipergunakan sebagai dasar untuk merencanakan
pengobatan atau perawatan yang harus diberikan
kepada seorang pasien.
3. Aspek Hukum. Suatu berkas rekam medis
mempunyai nilai hokum, karena isinya menyangkut
masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar
keadilan, dalam suatu rangka usaha menegakkan
hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk
menegakkan keadilan.
4. Aspek Keuangan. Suatu berkas rekam medis
mempunyai nilai keuangan, karena isinya dapat
dijadikan sebagai bahan untuk menetapkan biaya
pembayaran pelayanan dirumah sakit. Tanpa
adanya bukti catatan tindakan atau pelayanan, maka
pembayaran pelayanan di rumah sakit. Tanpa
adanya bukti catatan tindakan/pelayanan, maka
pembayaran tidak dapat dipertanggung jawabkan.
5. Aspek Penelitian. Suatu berkas rekam medis
mempunyai nilai penelitian, karena isinya yang
mengandung data atau informasi yang dapat
dipergunakan sebagai aspek penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang kesehatan.
6. Aspek Pendidikan. Suatu berkas rekam medis
mempunyai nilai pendidikan, karena isinya yang
menyangkut data atau informasi tentang perkembangan
kronologis dari kegiatan pelayanan medic yang
diberikan kepada pasien. Informasi tersebut dapat
digunakan sebagai bahan/referensi pengajaran
dibidang profesi si pemakai.
7. Aspek Dokumentasi. Suatu berkas rekam medis
yang mempunyai nilai dokumentasi, karena isinya
nanti akan menjadi sumber ingatan yang harus
didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan
pertanggung jawaban dan laporan rumah sakit.
Jika dilihat dari aspek hukum, yang bertanggung jawab
terhadap kelengkapan rekam medic dan resume medik
adalah:
1. Tanggung jawab dokter yang merawat
Tanggung jawab utama dalam kelengkapan rekam
medik yaitu dokter yang merawat pasien hingga
pasien pulang. Walaupun untuk melengkapi rekam
medik khususnya resume medik dapat didelegasikan
ke stafnya, namun tetap tanggung jawab dari isi
rekam khususnya resume medik adalah dokter yang
merawat. Dokter mengemban tanggung jawab
terakhir akan kelengkapan dan kebenaran isi rekam
medik dan khususnya resume medik.
2. Tanggung jawab petugas rekam medik
Petugas rekam medik yaitu membantu dokter yang
merawat dalam mempelajari kembali rekam
medik.Analisa dari kelengkapan isi dimaksudkan
untuk mencari hal-hal yang kurang dan masih
diragukan, dan menjamin bahwa rekam medik telah
dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan peraturan
yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, yaitu rekam
medik yang lengkap dan akurat.
3. Tanggung jawab pimpinan rumah sakit
Pimpinan rumah sakit bertanggung yang jawab
menyediakan fasilitas unit rekam medik yang meliputi:
ruangan rekam medik, peralatan dan tenaga yang
memadai. Sehingga tenaga rekam medik dapat bekerja
secara efektif dan efisien dengan memeriksa kembali,
membuat indeks, penyimpanan dari semua sistem
medik dalam waktu singkat.
4. Tanggung jawab staf medik
Staf medik terdiri dari dokter, perawat, dan tenaga
kesehatan professional lainnya.Mempunyai peranan
penting di rumah sakit dan pengorganisasian staf
medik tersebut secara langsung menentukan kualitas
pelayanan kepada pasien.
5. Tanggung jawab komite rekam medik
Komite rekam medik bertanggung jawab untuk
meninjau ulang rekam medik dalam hal penyelesaian
tepat waktu, ketepatan klinis, ketepatan dan kecukupan
pelayanan pasien, pengajaran, evaluasi, penelitian,
dan berdiskusi secara legal.Komite rekam medik
juga menentukan format kelengkapan rekam medik,
formulir yang digunakan dan setiap masalah yang
berhubungan dengan penyimpanan dan pengembalian.
Menurut pada ketetapan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 269/MenKes/Per/III/2008 pada pasal 4
menyebutkan bahwa ringkasan pulang harus dibuat oleh
dokter dan dokter gigi yang melakukan perawatan pasien.
Dewi Apriyantini., Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian Standar Tarif INA-CBG’s
Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 197
Isi ringkasan pulang atau resume medik menurut buku
pedoman rekam medik RSUP Fatmawati sekurang-
kurangnya memuat :
a. Identitas pasien (minimal berisi :nama, nomor rekam
medik, tanggal lahir)
b. Tanggal masuk
c. Tanggal keluar
d. Lama dirawat
e. Ruang rawat
f. Dokter penanggung jawab pasien
g. Rawat tim dokter
h. Indikasi / alasan dirawat
i. Diagnosis masuk
j. Diagnosis keluar
k. Komplikasi / diagnosis penyerta
l. Penyebab kematian ( secara klinis )
m. Pemeriksaan fisik
n. Laboratorium
o. Radiologi
p. Penunjang lain
q. Kolom ICD
r. Prosedur / operasi
s. Pengobatan selama dirawat
t. Obat untuk pulang
u. Kondisi pulang
v. Instruksi pulang
w. Nama dokter, tanda tangan, tanggal dan jam
Kemudian setelah rekam medik selesai digunakan dari
ruang rawat, maka dalam waktu 2x24 jam rekam medik
tersebut harus dikembalikan ke bagian rekam medik.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada periodeMaret - April
2015 ini merupakan penelitian dengan mix method yang
menggunakan penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan
desain studi cross sectional. Metode pengambilan data
secara primer diperoleh melalui observasi dengan telaah
dokumen rekam medik sebanyak 100 sampel berkas
rekam medik, penghitungan sampel dengan menggunakan
rumus slovin dan data sekunder dilakukan dengan
wawancara mendalam untuk menemukan rincian
penjelasan tentang alasan ketidaklengkapan dokumen
rekam medis. Lima orang informan ikut disertakan dalam
penelitian ini adalah seorang dokter penanggung jawab
pasien, petugas rekam medis, petugas BPJS dan dua
orang manajemen.Teknik analisis data dilakukan dengan
analisis univariat untuk mendapatkan gambaran distribusi
responden atau variasi dari variabel yang diteliti dan
analisis bivariat untuk menentukan hubungan variabel
independen (kelengkapan resume medis) dengan
variabel dependen (Tarif INA-CBGs).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Kelengkapan Pengisian Resume
Medis dan Tarif INA-CBGs
Kelengkapan pengisian resume medis yang
diperoleh dari 100 dokumen didapat sebanyak 98%
pengisian diagnosa utama yang lengkap, 39%
pengisian diagnosa sekunder tidak lengkap, 95%
pengisian prosedur utama lengkap serta 94%
pengisian resume medis yang lengkap (grafik 1).
Penelusuran dengan wawancara mendalam terhadap
informan-informan dan hasilnya bahwa masih ada
dokter yang terkadang tidak menuliskan diagnosa
utama. Berikut petikan hasil wawancara terkait data
hubungan kelengkapan pengisian resume medis
diagnosa utama terhadap standar tarif INA-CBGs :
“Kadang dokter tidak menuliskan diagnosa
utamanya”.(4)
Pernyataan mengenai diagnosa sekunder setelah
dilakukan wawancara mendalam informan menjelaskan
bahwa diagnosa sekunder harus ada dalam resume
medis tetapi pada kenyataannya jarang ditulis oleh
dokter, pernyataan informan tentang kelengkapan
resume medis sebagai berikut:
“Hanya diagnosa penyertanya yang dia tulis
atau kalau pasien meninggal itu hanya
menuliskan diagnosa kematian”. (4)
Pada prosedur utama hasilwawancara beberapa
informan ada yang tidak lengkap dan tidak sesuai
dengan tindakan yang dilakukan,adapun pernyataan
informan tentang kelengkapan resume medis
tentang prosedur utama sebagai berikut:
“Ada juga dilakukan tindakan tapi tindakan itu
tidak sesuai dengan penyakitnya”. (4)
Pada tabel 2 diketahui bahwa tarif INA-CBGs di
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati tarif
Minimum berdasarkan Tarif Nominal Rp. 0 dan
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 198
Tarif Maksimal Rp 82.165.400. Dengan standar
devitation Rp 12.377.964. Tarif Rp 0 yang
ditemukan berasal dari 2 data pasien yang tidak ada
diagnosa utamanya, sehingga jika penulisan resume
medis pada diagnosa utama tidak dicatat maka pada
proses CBG Grouper tarif akan keluar tapi akan
menghasilkan tarif INA-CBGs 0 rupiah. Dan tarif
tertinggi yaitu Rp 82.165.400 yaitu pada kasus-kasus
yang banyak dilakukan tindakan.
Hasil wawancara dikatakan bahwa tarif INA-CBGs
akan dikeluarkan setelah pengisian resume medis
yang lengkap meliputi diganosa primer, sekunder
dan prosedur utama, jika tidak disi dengan lengkap
atau tidak sesuai maka resume medis tersebut akan
dikembalikan ke IRMIK untuk diperbaiki, berikut
pernyataan informan terkait hal tesebut:
“Kita menempatkan verifikator internal jadi
untuk meminimalisir koding-koding yang salah
atau diagnosa yang salah atau seandainya ada
yang kurang tidak sesuai kita kembalikan ke
IRMIK harus diperbaiki baru nanti kita
finalin”.(2) (ditampilkan dalam gambar 1 dan
tabel 1)
1. Diagnosa Utama
Diagnosa utama merupakan bagian dari resume
medis yang wajib diisi dan dilengkapi. Hasil
penelitian kuantitatif mengenai hubungan antara
kelengkapan pengisian diagnosa utama terhadap
tarif INA-CBGsDari Hasil Ujistatistik, diperolehnilai
P = 0.042. Dimana angka ini lebih kecil dari P = 0.05
(0.000 < 0.05. Sehingga dapat disimpulkan ada
hubungan yang signifikan antara variabel diagnosa
utama terhadap tarif INA-CBGs di Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta..Diagnosa utama
tidak lengkap mengakibatkan standar tarif INA-
CBGs tidak akan sesuai, karena tarif INA-CBGs
akan 0 artinya tidak ada tarif. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pengisian diagnosa utama akan
berhubungan dengan standar tarif INA-CBGs.
Kelengkapan resume medis menentukan penetapan
tarif INA-CBGs sehingga wajib diisi oleh para
dokter. Sesuai dengan kutipan wawancara yang
dikatakan oleh informan bahwa resume medis harus
lengkap karena dapat mempengaruhi tarif. Berikut
kutipan wawancara terkait informasi tersebut:
“Jika resume medis tidak lengkap, jelas akan
mempengaruhi tarif sehingga kami harus
mengisi selengkap-lengkapnya agar tarif yang
keluar sesuai dengan apa yang telah kami
kerjakan”. (3)
2. Diagnosa Sekunder
Penentu kelengkapan resume medis selanjutnya
adalah diagnosa sekunder, untuk mengetahui
bagaimana hubungan antara kelengkapan pengisian
resume medis variabel diagnose sekunder terhadap
tarif INA-CBGs di Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta pada Bulan Maret 2015. Dari
Hasil Uji statistik, diperoleh nilai P = 0.000. Dimana
angka ini lebih kecil dari P = 0.05 (0.000 < 0.05) .
Sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang
signifikan antara variabel diagnosa Sekunder
terhadap tarif INA-CBGs di Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati Jakarta. Diagnosa Sekunder tidak
lengkap sebanyak 39 resume medis terdiri dari 24
resume medis tidak lengkap dan tarif INA-CBGs
tidak sesuai standar dan menyebabkan ketidaksesuaian
tarif sebesarRp 136.937.200,- dan resume medis
tidaklengkap sebesar 15 resume medis yang
mempunyai tarif INA-CBGs sesuai standar.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa diagnosa
sekunder tidak selalu menyebabkan standar tarif
INA-CBGs tidak sesuai hal ini dipengaruhi oleh
penyakit komplikasi yang dideritanya seberapa besar
tingkat keparahannya. Jika penyakitnya semakin
membahayakan nyawanya atau tingkat keparahannya
makin besar maka diagnosa sekunder akan berpengaruh
pada standar tarif INA-CBGs. Sehingga kelengkapan
pengisian diagnosa sekunder yang tepat sangat
mempengaruhi standar tarif INA-CBGs.
Kelengkapan diagnosa sekunder akan berpengaruh
pada tarif sesuai Permenkes no. 27 tahun 2014, yang
mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
besarnya tarif diantaranya diagnosa sekunder.
Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan dari
informan yang mengatakan bahwa kelengkapan
resume medis sangat penting karena akan berpengaruh
terhadap tarif. Berikut kutipan wawancaranya:
“dari diagnosa sekunder akan keluarlah tarifnya.
Kelengkapan resume medis sangat penting. Dari
resume medis keluarlah tarif” (5)
Dewi Apriyantini., Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian Standar Tarif INA-CBG’s
Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 199
3. Prosedur Utama
Uji Hipotesis Menggunakan Uji Chisquare, Yaitu
untuk mengetahui bagaimana hubungan diantara
kelengkapan pengisian resume medis variable
Prosedur Utama terhadap tarif INA-CBGs di
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta pada
Bulan Maret 2015. Dari Hasil Ujistatistik, diperoleh
nilai P = 0.282. Dimana angka ini lebih besar dari P
= 0.05 sehingga dapat disimpulkan Tidak ada
hubungan yang signifikan antara variabel Prosedur
Utama terhadap tarif INA-CBGs di Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Prosedur utama yang pengisiannya tidaklengkap tapi
tarif sesuai standar sebanyak 3 resume medis, dan
pengisian prosedur utama tidaklengkap dan tarif
tidak sesuai standar sebanyak 2 berkas resume medis
hal ini terkait dengan diagnosa utama yang tidak
tercatat sehingga prosedur utama/tindakanpun tidak
keluar yang mengakibatkan ketidaksesuaian standar
tarif INA-CBGs sebesar Rp 5.093.700,00. Pencatatan
prosedur utama/tindakan di RSUP Fatmawati
menggunakan sistem software yaitu sistem medysis
untuk menginfut semua tindakan medis yang
dilakukan di ruangan.
Data ini kemudian dilakukan telusur dengan
wawancara untuk mengetahui kebenaran dari hasil
tersebut dan informan menyatakan terdapat
kesalahan pada pengisian resume medis yang akan
berakibat pada coding, sehingga kesalahan tersebut
akan berakibat pada tarif yang keluar dari software
INA-CBGs. Sesuai dengan kutipan hasil
wawancara sebagai berikut:
“Hasil pemeriksaan lab seharusnya ditulis hasil
lab yang abnormal tapi disini ditulis hasil lab
yang normal, hal ini tentu saja bisa berakibat
pada codingnya”. (1)
4. Alasan Ketidaklengkapan Resume Medis
Potensi ketidaksesuaian besaran tarif INA-CBGs
karena disebabkan diagnosa utama, diagnosa
sekunder dan prosedur utama yang tidak lengkap di
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati sangat
mungkin terjadi, hal ini sesuai dengan pernyataan
informan sebagai berikut:
“Tentunya, misalnya resume yang nggak
lengkap ini rugi sekian”. (1)
“Ada, untuk potensi kerugian ada karena masih
ada resume medik yang tidak lengkap, ada
laporannya mengenai itu. tapi efeknya tidak begitu
tinggi”. Kurang lebih 10% masih selisih”. (2)
Dari uraian tersebut ada ketidaksesuaian tarif tersebut
dan selisihnya masih cukup tinggi yaitu 10%. Hal ini
disebabkan karena resume medik yang tidak
lengkap. Dengan diberlakukannya tarif paket INA-
CBGs merupakan dokumen yang sangat berpengaruh
terhadap tarif yang akan dibayarkan karena resume
medik merupakan dasar dari perhitungan tarif
tersebut. Resume medis yang tidak lengkap akan
dikembalikan kepada pihak rumah sakit untuk
dilengkapi dan diverifikasi oleh pihak BPJS untuk
dibayarkan.
Berbeda hal dengan resume medis yang tidak layak,
tidak akan dibayarkan oleh BPJS seperti kosmetik
yang tidak dijamin. Pernyataan yang berbeda
disebutkan bahwa ketidaklengkapan itu akan
dikonfirmasi ulang yang kemudian akan diverifikasi
kembali, berikut kutipannya:
“Kita bayar sesuai paket mba, kalau ndak
lengkap paling kan mereka lengkapi, nanti kita
verifikasi. Paling yang ndak kita bayar itu
benar-benar tidak layak”. (5)
Dari uraian informan tersebut bahwa klaim akan
dibayarkan sesuai paket yang telah dikoding oleh
rumah sakit. Jika ada ketidaksesuaian paket karena
kesalahan pengkodingan maka akan dilakukan
verifikasi ulang dengan cara melengkapi kekurangan
tersebut dan yang benar-benar tidak dibayarkan
adalah yang tidak layak diklaimkan kepihak
pembayar. Sehingga diharapkan rumah sakit tidak
mengalami ketidak sesuaian tarif dalam hal ini selisih
klaim yang besar, karena masih ada selisih klaim
sebesar 10%.
Secara umum alasan ketidak lengkapan pengisian
resume medis dan potensi ketidak sesuaian besaran
tarif INA-CBGs di Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati disebabkan beberapa alasan. Sedangkan
mengenai potensi ketidak sesuaian tarif yang
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 200
disebabkan oleh ketidak lengkapan resume medis
selama ini RS Fatmawati masih ada potensi ketidak
sesuaian tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya
laporan tentang Data Rekapitulasi Hasil Verifikasi
Internal Klaim JKN Bulan Januari-Maret 2015 yang
diajukan kepada pihak BPJS.
Rekam medik dikatakan baik jika rekam medis tersebut
diisi secara lengkap sesuai dengan pengertian rekam
medis itu sendiri yang mengatakan bahwa rekam medis
adalah keterangan baik yang tertulis maupun yang
terekam tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium, diagnose segala pelayanan dan tindakan
medis yang diberikan kepada pasien dan pegobatan yang
ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2007).
Hasil penelitian dari 3 variabel (diagnose utama dan
sekunder serta prosedur utama) dapat disimpulkan bahwa
dokumen resume medis yang lengkap sebanyak
94%.Dari hasil wawancara mendalam didapatkan 3
Informan mengatakan bahwa resume medis belum diisi
dengan lengkap, kalaupun diisi , isinya tidak sesuai
dengan apa yang ada di dalam rekam medik itu sendiri.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa 98% resume
medis untuk variable diagnose utama lengkap dan
sisanya tidak lengkap. Dan hasil wawancara menyatakan
bahwa masih ada dokter yang hanya mencatat diagnosa
utamnya saja. Kelengkapan diagnosa utama masih
belum 100% hal ini didukung oleh hasil wawancara
dalam hal ini informan 4 mengatakan bahwa diagnosa
utama merupakan bagian dari resume medik yang sering
tidak dilengkapi.Sehingga pengisian diagnosa utama
yang tidak terisi dengan lengkap akibatnya besaran klaim
tarif INA-CBGs tidak sesuai. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya
diantaranya menurut Sari (2011) komponen yang tidak
lengkap adalah sebesar 40% dokter tidak mengisi
diagnosis. Menurut Permenkes No. 27 tahun 2014
tentang INA-CBGs, faktor-faktor yang mempengaruhi
besar kecilnya tarif salah satunya adalah pengisian
diagnosa utama (Kementerian Kesehatan, 2014).
Menurut Ika dan Sugiarsi (2013), ketepatan pengodean
diagnosa utama akan mempengaruhi ketepatan tarif INA-
CBGs yang muncul. Sedangkan ketepatan pengodean
diagnosis sangat dipengaruhi oleh ketepatan dan kelengkapan
penulisan diagnosis oleh dokter pada berkas klaim.
Hasil penelitian ini mengenai ketidak lengkapan diagnosa
utama sesuai dengan penelitian yang dilakukan peneliti
sebelumnya diantaranya penelitian yang dilakukan oleh
Sarwanti (2014) menyebutkan sebesar 71% resume
medis diisi lengkap, Indikator kelengkapan pengisian
resume medik oleh Dokter Spesialis Surgical diketahui
bahwa responden mengisi lengkap 100% pada lima (5)
indikator, yaitu Indikasi, Diagnosa, Pemeriksaan
Laboratorium.
Prosedur tindakan dan pengobatan. Sedangkan indikator
yang tidak lengkap yaitu 70% pada indikator kondisi
pulang, instruksi pulang dan kolom tanggal sampai
dengan tanda-tangan dokter (Sarwanti, 2014). Dan
menurut Vania (2009) menyatakan ketidak lengkapan
Rekam Medik terutama pada resume medis sebesar
40%. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya dokter yang
belum melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga hal
ini dapat mempengaruhi dari mutu suatu rekam medik.
Penelitian lain di RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
menunjukkan bahwa ketidak lengkapan pencatatan
resume medis masih tinggi yaitu 55%. Bahkan, untuk
kasus section caesaria seluruhnya tidak memiliki
kelengkapan resume medis (Hasanah U, Mahawati E,
Ernawati D, 2013).
Hal serupa banyak terjadi di Negara lain. Salah satu contoh
di Irlandia, Komite Ombudsman menemukan bahwa ada
indikasi para dokter dan konsultan di beberapa rumah sakit
menulis data rekam medis setelah beberapa lama setelah
kejadian. Bahkan para investigator mempersangkakan
dalam kasus-kasus yang sedang diinvestigasi, data belum
ditulis saat investigasi dilakukan (Karen., 2001).
Bagian kelengkapan resume medis yang penting
selanjutnya dalam menentukan besaran tarif INA-CBGs
adalah diagnosa sekunder. Walaupun bukan penyebab
utama pasien masuk ke rumah sakit tetapi tidak bisa
diabaikan kepentingan pengisian diagnosa sekunder pada
resume medis.Pada diagnosa sekunder tidak ada
informan yang mengatakan diagnosa sekunder tidak
terisi, tapi ada informan yang mengatakan bahwa
penulisan antara diagnosa utama dan diagnosa sekunder
sering ada kesalahan penempatan. Sebaiknya petugas
yang bertanggung jawab dibidang itu diberikan arahan
untuk mengisi dengan lengkap diagnosa sekunder
tersebut.
Dewi Apriyantini., Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian Standar Tarif INA-CBG’s
Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 201
Dari pemeriksaan kelengkapan dokumen masih banyak
penulisan diagnosa sekunder yang tidak lengkap,
sehingga hal ini dapat menyebabkan tarif yang akan
diklaimkan tidak sesuai dengan apa yang telah dilakukan
terhadap pasien tersebut. Karena sesuai dengan
Permenkes No. 27 tahun 2014 tentang INA-CBGs,
faktor-faktor yang mempengaruhi tarif salah satunya
adalah pengisian diagnosa sekunder, disamping faktor
yang lainnya yaitu faktor diagnosa utama yang telah
diulas sebelumnya (Kementerian Kesehatan, 2014).
Data dari Instalasi Rawat Inap tahun 2014 menunjukkan
bahwa 46,38% resume medis pasien pulang tidak
lengkap, hal ini salah satunya penulisan diagnosa yang
tidak lengkap. Dan data bulan Januari-Februari 2015
masih terdapat sebesar 30%-40% resume medis pasien
pulang tidak ditulis lengkap oleh dokter. Penelitian
Indriwanto (2014) untuk diagnosis sekunder 82% terisi
sebagian, dokter dalam menentukan diagnosis sekunder
belum jelas kriterianya sehingga tidak dimasukkan dalam
diagnosis sekunder, menurut Sukawan (2014) diagnosa
sekunder yang diisi lengkap sebesar 59,7% dan sisanya
diisi tidak lengkap.Komponen pengisian resume medis
selanjutnya prosedur utama, walaupun ketidaklengkapan
pengisian prosedur utama tidak sebanyak diagnosa
sekunder tetapi ini merupakan salah satu kelengkapan
data resume medis yang sangat penting. Seiring dengan
peningkatan mutu rumah sakit diharapkan pengisian
kelengkapan resume medis dapat ditingkatkan oleh pihak
rumah sakit.
Hasil wawancara menyebutkan bahwa prosedur
tindakan masih banyak yang belum masuk dan kadang
tidak sesuai, hal ini sangat berpengaruh terhadap tarif yang
akan diklaimkan karena salah satu faktor yang
mempengaruhi tarif yaitu penulisan prosedur utama
(Kementeri Kesehatan, 2014). Penelitian Indriwanto
(2014) untuk prosedur utama 89,3% terisi sebagian.
Menurut Sukawan (2014) prosedur utama diisi lengkap
sebesar 51,6%. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara
yang mengatakan bahwa prosedur utama termasuk
bagian dari resume medik yang ditulis tidak lengkap.Data
yang diperoleh peneliti ketidaklengkapan prosedur utama
tidak menyebabkan ketidaksesuaian standar tarif INA-
CBGs dikarenakan peneliti mengambil data di ruangan
yang pada dasarnya tidak banyak menggunakan sumber
daya dan menyebabkan hari rawat lama yaitu gedung
rawat inap Teratai yang klasifikasi perawatan terdiri dari
perawatan anak, bayi, Obstetri Ginekologi, Saraf, Jantung
dan Penyakit Dalam. Perawatan pasien yang tidak
memerlukan prosedur yang tingkat kesulitannya tinggi,
dari data yang diperoleh peneliti tindakan-tindakan yang
sering dilakukan seperti Pemeriksaan fisik, laboratorium,
radiologi, USG, dan tindakan penunjang lainnya dan
menimbulkan biaya yang besar, kecuali pada kasus-kasus
Obgyn yang memerlukan tindakan operatif. Hasil ini
sama dengan Sukawan (2014), yang mengatakan bahwa
tidak ada hubungan antara kelengkapan prosedur utama
terhadap tarif INA-CBGs. Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan Permenkes No. 27 tahun 2014, dijelaskan bahwa
Faktor – faktor yang mempengaruhi tarif INA-CBG
diantaranya Kelengkapan data resume medis yaitu salah
satunya Prosedur Utama.
Prosedur utama merupakan prosedur yang paling banyak
menghabiskan sumber daya atau yang menyebabkan
lama rawatan paling lama dan biasanya berhubungan erat
dengan diagnosis utama. Mungkin lain halnya jika
peneliti mengambil sampel penelitian di ruangan yang
banyak menggunakan prosedur tingkat tinggi misal
ruangan bedah, ruangan yang tindakannya paling besar
dilakukan tindakan operatif maka hasilnya akan berbeda,
karena tindakan operatif, tindakan yang menghabiskan
sumber daya yang banyak dan menyebabkan hari
rawatan paling lama.
Walaupun tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara kelengkapan resume medis variabel prosedur
utama terhadap kesesuaian tarif INA-CBGs. Prosedur
utama masih menjadi permasalahan resume medis,
karena masih terdapat ketidaklengkapan pengisian data.
Masalah ini dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan
di rumah sakit. Dalam mempelancar administrasi resume
medis sebaiknya prosedur utama diisi dengan lengkap
agar tidak terhambat dalam proses klaim BPJS. Peneliti
melakukan telusur tentang data yang telah diperoleh
melalui wawancara terhadap informan-informan yang
dapat memberikan informasi yang akurat dan dapat
menjawab penelitian yang peneliti lakukan sehingga
diketahui alasan ketidaklengkapan resume medis.
Pengisian rekam medik dilaksanakan dimulai sejak
diterimanya seorang pasien rumah sakit di bagian
pendaftaran selanjutnya dilakukan pencatatan data
selama pasien mendapakan pelayanan atau tindakan
medis dan proses pengobatan. Ketidaklengkapan pengisian
resume medis akan berakibat pada coding dan besaran
tarif INA-CBGs itu sendiri. Berikut ialah data-data
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 202
kualitatif yang berhasil dikumpulkan setelah dilakukan
wawancara mendalam mengenai ketidak lengkapan
resume medis. Beberapa informan mengatakan masih
banyak resume medis yang tidak lengkap disebabkan
oleh banyak hal (ditampilkan dalam tabel 2).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kelengkapan diagnosa utama dan prosedur utama cukup
tinggi dapat disimpulkan bahwa resume medis untuk
variable diagnose utama dan prosedur utama
pengisiannya sudah cukup lengkap. Untuk variabel
diagnose sekunder ketidak lengkapan pengisiannya
masih cukup tinggi yaitu sebesar 39 %, dikarenakan
sering terjadinya salah penempatan dan belum jelasnya
kriteria yang masuk kedalam diagnosa sekunder. Dari
hasil penelitian ini tidak ada hubungan antara kesesuaian
tarif INA-CBGs dengan prosedur utama, hal ini
disebabkan prosedur/ tindakan telah tercatat dengan baik,
diantaranya tindakan penunjang (laboratoriu, radiologi
dan lain-lain), tindakan keperawatan (Infus, Injeksi dan
lain-lain), Pemeriksaan dokter telah otomatis tercoding,
karena pada dasarnya tindakan-tindakan tersebut
biasanya dientri oleh perawat kedalam aplikasi komputer
yang ada diruangan sehingga untuk prosedur standar
akan muncul pada saat pengkodingan di Instalasi
rekam medik. Ketidaklengkapan pengisian rekam
medis disebabkan pengisi resume medis bukan dokter
yang bertanggung jawab melakukan hal itu, Standar
Prosedur Operasional belum dijalankan dengan optimal,
belum adanya reward dan punisment secara langsung,
belum adanya sistem sosialisasi yang berkesinambungan.
Berikutnya tentang potensi ketidaksesuaian besaran tarif
INA-CBGs dikarenakan ketidaklengkapan resume
medis. Oleh karena itu kelengkapan sebuah resume
medis sangat berpengaruh terhadap pendapatan rumah
sakit.
Saran
Berdasarkan analisis hasil penelitian, maka perlu
dilakukan kembali evaluasi dan sosialisasi Standar
Prosedur Operasional (SPO) terkait pengisian rekam
medik yang benar agar bisa dilaksanakan secara optimal,
monitoring dan evaluasi tentang formulir rekam medik
secara berkala, yang diberlakukannya system reward dan
punishment dalam hal kinerja pegawai. Sebelumnya
perlu dilakukan assessment persepsi dan kebutuhan
petugas kesehatan, karyawan, dan manajemen tentang
system reward dan punishment serta menjamin
komitmen mutu pimpinan dan melakukan pemutakhiran
software INA-CBGs yang terbaru sesuai dengan standar
nasional dan penambahan buku atau daftar kode
diagnosis yang disesuaikan dengan kode yang ada di
software INA-CBGs sehingga dapat meminimalkan
ketidaksesuaian koding dengan diagnosa.
DAFTAR PUSTAKA
Birchard, Karen. Irish Ombudsman finds medical records "atrocious"The Lancet;Jul 7, 2001; 358,
9275; ProQuestpg. 48. Diunduh pada tgl 3 Maret 2015. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes.2012. Pedoman penyelenggaraan
pelayanan rumah sakit. Jakarta.
Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik.2007. Petunjuk teknis penyelenggaraan rekam medis / medical record rumah sakit. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia . Jakarta.
Hasanah U, Mahawati E, Ernawati D. Analisis perbedaan klaim INA-CBGs berdasarkan
kelengkapan data rekam medis pada kasus emergency sectio cesaria trimester I tahun 2013 di RSUD KRT Serjonegoro Kabupaten Wonosobo. Jurnal Manajemen
Informasi Kesehatan Indonesia. 2013; 1 (2): 53-9.
Hatta. G.R. 2011. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan Di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ika AW, Sugiarsi S.2013. Analisis perbedaan tarif riil dengan tarif paket INA-CBG pada
pembayaran klaim jamkesmas pasien rawat inap di RSUD Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia.
Indriwanto. 2014. Analisis kelengkapan catatan rekam medis pada implementasi INACBG’s :
Studi kasus tentang Tetralogi of Fallot di unit pediatrik kardiologi dan penyakit jantung bawaan RS Jantung Harapan Kita tahun 2014. Fakultas Kesehatan
Masyarakat.Depok: Universitas Indonesia.
Kementeri Kesehatan. 2014.Workshop nasional manajemen rumah sakit dan dewan pertimbangan medik tentang jaminan kesehatan nasional. Bandung.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan menteri kesehatan republik indonesia no.27 tahun
2014 tentang petunjuk teknis system Indonesia case base groups. Jakarta. Sari DP. 2011. Analisis Karakteristik individu dan motivasi ekstrinsik terhadap kinerja dokter dalam
kelengkapan pengisian rekam medik pasien rawat jalan di rumah sakit Hermina Depok. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Sarwanti, 2014. Analisis hubungan perilaku dokter spesialis surgical dalam pengisian kelengkapan
resume medik pasien rawat inap di RSUP Fatmawati tahun 2014. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.
Sukawan A. 2014. Hubungan kelengkapan pengisian resume medis terhadap tarif INA-CBGs di
rumah sakit umum pusat Fatmawati. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan. Jakarta:
Universitas Esa Unggul. Vania, RS. 2009. Analisis kelengkapan rekam medis di instalasi rawat inap RS Family Medical
Center tahun 2009. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.
Yuniati. 2012. Analisis hasil koding yang dihasilkan oleh coder di RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.
Dewi Apriyantini., Analisis Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume Medis Terhadap Kesesuaian Standar Tarif INA-CBG’s
Rawat Inap Teratai RSUP Fatmawati Jakarta
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 203
Gambar 1. Distribusi Kelengkapan Pengisian Resume Medis, Diagnosa Utama,
Diagnosa Sekunder dan Prosedur Utamadi RSUP Fatmawati Jakarta Bulan Maret
Tahun 2015
Tabel 1. Gambaran Tarif INA-CBGs RSUP Fatmawati Jakarta Bulan Maret 2015
Tarif
INA-CBGs Mean SD
Minimal –
Maksimal Mode Range Median
Tarif
INA-CBG 1,17 ,428 0 – 2 1 2 1,00
Tarif
INA-CBG
Nominal
Rp.8.639.493 Rp.12.377.964 Rp.0.-
Rp.82.165.400 Rp.2.165.900 Rp.82.165.400 Rp.5.237.900
Tabel 2. Alasan Ketidaklengkapan Pengisian Resume Medis
Masalah Hasil Solusi
Mengapa pengisian resume medis tidak
lengkap?
Masih banyak DPJP yang tidak menulis
resume medis yang sesuai kaidahnya,
Standar Prosedur Operasional (SPO) yang belum dilaksanakan secara optimal, belum
adanya sosialisasi StandarProsedur
Operasional (SPO) yang
berkesinambungan, belum adanya reward
dan punishment., sarana dan prasarana dan
kepatuhan Dokter.
Solusi dari permasalahan tersebut meliputi
melakukan kembali evaluasi dan
sosialisasiStandar Prosedur Operasional(SPO) terkait pengisian rekam
medik yang benar agar bisa dilaksanakan
secara optimal, monitoring dan evaluasi
tentang formulir rekam medik secara
berkala, memberlakukan system reward
dan punishment dalam hal kinerja pegawai dan melakukan pemutakhiran software
INA-CBGs yang terbaru sesuai dengan
standar nasional dan penambahan buku atau daftar kode diagnosis yang
disesuaikan dengan kode yang ada di
software INA-CBGs sehingga dapat meminimalkan ketidaksesuaian koding
dengan diagnosa.
94 98
61
95
6 2
39
50
20
40
60
80
100
120
Resume medis Diagnosa utama Diagnosa
sekunder
Prosedur utama
lengkap
tidak lengkap
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 204
Analisis Hubungan Budaya Organisasi, Komitmen Organisasi dengan
Turnover Intention Perawat Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015
Analysis of Organization Culture Relationships, Organizational Commitment
With Turnover Intention of Nurses in Prikasih Hospital Year 2015
Erta Rahmawati
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Tingginya angka perputaran perawat di RS Prikasih > dari 10% menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya,
meningkatnya biaya operasional, terganggunya kegiatan operasional dan menimbulkan permasalahan moral
perawat yang tinggal. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain kuantitatif yang bertujuan untuk
mengetahui gambaran tipe budaya organisasi (klan, adhrokrasi, pasar, hierarki) dan komitmen organisasi (afektif,
normatif, berkelanjutan). Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara berbagai tipe
budaya organisasi, komitmen organisasi tersebut dengan turnover intention (keinginan pindah kerja) di Rumah
Sakit Prikasih, serta mengidentifikasi jenis hubungan yang paling dominan. Penelitian ini menggunakan metode
cross-sectional (potong lintang) dengan responden sebanyak 102 perawat, dengan instrumen penelitian berupa
kuesioner. Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan bermakna antara budaya organisasi (klan, pasar,
hirarki), komitmen organisasi (afektif, normatif) dengan turnover intention. Hubungan yang paling dominan
adalah antara komitmen afektif dengan turnover intention.
Kata kunci: perawat, budaya organisasi, komitmen organisasi, turnover intention.
ABSTRACT
The high rate of nurse turnover > 10% at Prikasih hospital causes a variety of problems, increased operating
cost, disruption operations and raising moral issues in nurse who stay, This research is a quantitative analytical
research aiming to describe the types of organizational culture (clan, adhocracy, market, hierarchy) and
organizational commitment (affective, normative, continuance). The research also aims to illustrate the relations
between the different types of organizational culture and organizational commitment, and the association with
turnover intention at Prikasih hospital as well as to identify the most dominant factor of relations. The research
uses cross-sectional method with 102 nurses as respondents, using questionnaires. The result correlation and
regresion analysis shows that there is correlation between organizational culture (clan, market, hierarchy),
organizational commitment (affective, normative, continuance) with turnover intention. Affective commitment
exhibits as the most dominant variable in relation to turnover intention.
Key words: nurse, organizational culture, organizational commitment, turnover intention.
PENDAHULUAN
Rumah sakit merupakan institusi yang padat modal,
padat karya, padat teknologi dan padat sumber daya
manusia. Seiring dengan pertumbuhan rumah sakit di
Indonesia untuk dapat bersaing dalam industri kesehatan
ini maka setiap rumah sakit berlomba-lomba
meningkatkan kualitas atau mutu pelayanannya sehingga
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 205
pasien akan merasakan kepuasan dengan pelayanan
kesehatan yang diterimanya. Dalam rangka menghadapi
persaingan di masa depan, sebuah rumah sakit harus
memiliki nilai jual atau produk unggulan agar mampu
bersaing dengan rumah sakit lain. Salah satu yang
memegang peranan penting demi terwujudnya produk
unggulan rumah sakit adalah sumber daya manusia yang
ada di rumah sakit (Andini, 2006). Sumberdaya manusia
adalah salah satu bentuk asset internal yang paling
berharga yang dimiliki suatu organisasi artinya, dengan
kebijakan dan usaha yang kuat untuk selalu menjaga dan
mempertahankan sumber daya manusia maka
diharapkan akan mampu menghindari faktor-faktor
yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan organisasi
(Fahmi, 2013).
Salah satu permasalahan dalam pengelolaan sumber
daya manusia di rumah sakit adalah mengenai karyawan
yang keluar masuk terus menerus atau terjadi
perpindahan (turnover) karyawan sebelum waktunya.
Hal ini juga dikatakan oleh Simamora, 2006 dalam
Nandini, 2013 masalah sumberdaya manusia yang
sering menjadi indikator efektifitas suatu organisasi
adalah turnover apabila angka turnover meningkat,
maka perlu dilakukan evaluasi pada organisasi untuk
menentukan apakah kenaikan angka tersebut
disebabkan kondisi kerja yang memburuk atau karena
sebab lain. Tentunya hal ini menjadi permasalahan
tersendiri bagi unit SDM, salah satu yang dampak
terberat adalah dengan terus terjadinya turnover yang
tinggi menyebabkan biaya operasional menjadi tidak
efektif, olehkarena rumah sakit terus menerus
melakukan perekruitan karyawan kemudian melakukan
orientasi karyawan baru dan pelatihan-pelatihan
karyawan.
Selain berkaitan dengan kerugian biaya, kerugian waktu
juga dirasakan oleh pihak rumah sakit, sehingga
menggangu kegiatan operasional. Permasalahan lain
dirasakan dengan hadirnya pergantian karyawan yang
terus menerus membuat karyawan yang awalnya
berkomitmen untuk tinggal dalam rumah sakit akhirnya
mengikuti karyawan yang pindah tersebut.
Beberapa peneliti menyatakan penyebab kejadian
turnover karyawan dipengaruhi oleh faktor organisasi
dan faktor komitmen organisasi Gregory et al (2007)
dalam Hyun (2009). Penelitian lain mengatakan bahwa
budaya organisasi suatu perusahaan dapat
mempengaruhi retensi karyawan, untuk itu perusahaan
harus memberi perhatian khusus terhadap budaya
organisasi dan lingkungan kerja Chatterjee (2009) dalam
Yasin (2014). Budaya perusahaan merupakan pondasi
bagi organisasi dan pijakan bagi pelaku yang ada di
dalamnya, pembentukan budaya perusahaan ini
merupakan salah satu lingkup dalam manajemen
sumber daya manusia. (Satrianegara, 2014). Selain
berkaitan dengan budaya organisasi, menurut salah satu
penelitian ternyata komitmen organisasi juga memberikan
peran lain dengan turnover intention menurut Allen dan
Meyer (2004), dengan adanya komitmen yang dimiliki
karyawan maka akan tercipta stabilitas di perusahaan dan
mengurangi karyawan yang pindah kerja (turnover).
Permasalahan dalam lingkup organisasi sering
mengkaitkan antara keberadaan komitmen organisasi
dengan turnover intention, sehingga hubungan ini terkait
bagaimana mempertahankan keberadaan dan menekan
turnover (Hana, 2009).
Perawat merupakan sumber daya manusia yang
terbanyak di rumah sakit dibandingkan dengan profesi
lainnya. Perawat merupakan ujung tombak pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Menurut data yang diambil
dari unit sumber daya manusia di RS Prikasih ternyata
permasalahan turnover karyawan terbanyak adalah
perawat yang angkanya > dari 10%, sejak tahun 2011-
2014. Tingginya angka turnover ini menimbulkan
berbagai permasalahan sehingga perlu dicarikan
langkah-langkah untuk menurunkan angka turnover
tersebut dengan cara melihat dari turnover intention
(keinginan tidak pindah) perawat kemudian
menghubungkan dengan budaya prganisasi dan
komitmen organisasi.
Penelitian ini ingin melihat gambaran budaya organisasi
dan komitmen organisasi serta hubungan antara budaya
organisasi (klan, adhrokrasi, pasar, hirarki), komitmen
organisasi (afektif, normative, berkelanjutan) dengan
turnover intention (keinginan tidak pindah) di RS
Prikasih tahun 2015.
TINJAUAN PUSTAKA
Budaya organisasi dapat didefinisikan sebagai perangkat
sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs),
asumsi-asumsi (assumption), atau norma-norma yang
telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para
anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan
pemecahan masalah-masalah organisasinya. Budaya
organisasi juga disebut budaya perusahaan, yaitu
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 206
seperangkat nilai-nilai atau norma-norma yang telah
cukup lama berlakunya, dianut bersama oleh para
anggota organisasi (karyawan) sebagai norma perilaku
dalam menyelesaikan masalah-masalah organisasi
(Sutrisno, 2010).
Tipe budaya organisasi menurut Quinn and Cameron
(2006), tipe budaya organisasi yang mereka kembangkan
dari Kerangka Persaingan Nilai (Competing Value Frame
Work) yaitu:
a. Tipe Budaya Klan (clan)
Adalah tipe budaya dengan tempat kerja yang
nyaman, orang-orang dalam organisasi tersebut
berbagi banyak informasi pribadi. Pimpinan dan
kepala organisasi dipandang sebagai mentor dan
bahkan seperti sosok orang tua. Organisasi
disatukan berdasarkan rasa kesetiaan atau tradisi.
Memiliki komitmen yang tinggi. Sukses dalam
organisasi ini di definisikan sebagai sensitifitas
terhadap pelanggan dan kepedulian kepada orang
lain.
b. Tipe budaya Pasar (Market)
Adalah tipe dengan berorinetasi pada hasil untuk
menyelesaikan tugas. Pemimpin dipandang sebagai
orang yang kompetitif dan memiliki kemauan
keras. Orang-orang dalam organisasi sangat teguh
dan penuh tuntutan. Perekat yang menyatukan
organisasi adalah keinginan untuk menang dalam
kompetisi dan memenuhi target. Kesuksesan dalam
organisasi ini adalah pemberian layanan /produk
yang berpenetrasi ke pasar. Kepemimpinan dalam
pasar dianggap penting, pemimpin sosok yang
agresif dalam mencapai tujuan organisasi. Gaya
organisasi yang kompetitif dan penuh tuntutan.
c. Tipe Budaya Adhokrasi (Adhrocracy)
Adalah tipe budaya dengan orang-orang dalam
organisasi berani bertanggung jawab dan
mengambil risiko. Pimpinan dipandang sebagai
orang yang visioner,berani mengambil risiko,
memiliki inovasi. Kesiapan untuk berubah dan
mendapat tantangan baru. Organisasi yang terus
berkembang dan bereksperimen. Sukses dalam
organisasi ini didefinisikan dapat memproduksi
produk yang baru dan unik.
d. Tipe budaya Hirarki (Hierarchy)
Adalah tipe budaya dengan tempat kerja yang
formal dan terstruktur. Standar prosedur menentukan
apa yang dikerjakan. Pemimpin dianggap sebagai
koordinator dan ahli organisasi. Menjaga kelancaran
jalannya organisasi adalah prioritas utama. Perekat
organisasi dengan kebijakan dan aturan-aturan
formal. Kesuksesan dalam organisasi ini
didefinisikan dapat memberikan layanan atau
produk yang dapat diandalakan, rutinitas yang
lancar dan biaya rendah.
Komitmen organisasi telah banyak dijelaskan oleh
berbagai konsep, salah satu konsep terdahulu
menurut Meyer dan Allen tahun 1997, komitmen
organisasi artinya bersedia menetap di organisasi,
melakukan pekerjaan rutin di dalam organisasi,
melindungi asset perusahaan, berbagi tujuan
perusahaan.
Komitmen organisasi dikelompokan kedalam tiga
komponen oleh Allen dan Meyer tahun 1990,
ketiga komponen tersebut yaitu Afektif komitmen,
normatif dan komitmen berkelanjutan:
Affective Organizational Commitment (AOC)
Affective Organizational commitment adalah
suatu pendekatan emosional dari individu
dalam keterlibatannya dengan organisasi,
sehingga individu akan merasa dihubungkan
dengan organisasi secara emosional. Tingkat
ketertarikan disini dihubungkan secara psikologis
dengan organisasi berdasarkan seberapa baik
perasaan mengenai organisasi (Meyer dan Allen,
1990) Continuance Organizational Commitment
(COC)
Continuance Organizational commitment
adalah hasrat yang dimiliki oleh individu untuk
bertahan dalam organisasi karena merasa
individu merasa sudah memberikan investasi
pada organisasi itu dan menyadari tidak
mungkin mencari gantinya. (Lufthans, 2005
dalam Burhanudin, 2013).
Normatif Organizational Commitment (NOC)
Normatif Organizational komitmen adalah
perasaan wajib bagi individu untuk bertahan
dalam organisasi. Keterikatan anggota secara
psikologis dengan organisasi karena kewajiban
moral untuk memelihara hubungan dengan
organisasi.
Menurut Brough dan Frame (2004) turnover intention
didefinisikan sebagai perkiraan probabilitas karyawan
yang akan meninggalkan organisasi dalam waktu dekat
atau niat langsung individu untuk meninggalkan
Erta Rahmawati., Analisis Hubungan Budaya Organisasi Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention Perawat
Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 207
pekerjaannya. (Meyer, 1993 dalam Hyun, 2009).
Sedangkan menurut Abelson dalam Andini (2006)
turnover intention adalah keinginan berpindah
mencerminkan keinginan inidvidu untuk meninggalkan
organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain.
Turnover lebih mengarah pada kenyataan akhir yang
dihadapi organisasi berupa jumlah karyawan yang
meninggalkan organisasi. Keinginan berpindah mengacu
pada hasil evaluasi individu mengenai kelanjutan
hubungannya dengan organisasi dan belum ditunjukan
tindakan pasti meninggalkan organisasi Lekatompessy
(2003) dalam Andini (2006).
Niat karyawan untuk meninggalkan organisasi termasuk
dengan hanya berfikir untuk berhenti dan pernyataan
bahwa karyawan ingin meninggalkan organisasi (niat
untuk meninggalkan). Perilaku aktual dari perawat
mungkin akan berbeda dari niat awal. Namun meskipun
hanya niat saja menurut beberapa penelitian terdahulu
niat berhenti merupakan prediktor kuat untuk benar-
benar meniggalkan indstri, secara teoritis pendapat ini
diyakini menjadi faktor permulaan untuk terjadinya
perpindahan pegawai (turnover). George et al (2007)
dalam Hyun (2009).
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan desain
potong lintang (cross sectional) dengan pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk
melihat hubungan antara variabel bebas yaitu tipe
budaya organisasi (tipe klan, tipe adhokrasi, tipe pasar,
tipe Hirarki). Komitmen Organisasi (Afektif, Normatif,
Berkelanjutan) yang dihubungan dengan variable terikat
yaitu turnover intention. Penelitian ini dilakukan di
RS.Prikasih, Pondok Labu Jakarta pada bulan April
sampai dengan bulan Mei 2015. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh perawat yang bekerja di
rumah sakit Prikasih sampai dengan perawat yang ada
pada jajaran struktural dan perawat kontrol yang
berjumlah 185 perawat. Setelah dikurangi dengan
kriteria inklusi dan eksklusi sehingga berjumlah 105
perawat. Sampel penelitian disini menggunakan
keseluruhan populasi atau total sampling, pengambilan
total sampling agar peneliti mengetahui persepsi seluruh
perawat.
Perawat yang bersedia mengisi kuesioner hanya 102
perawat, Instrumen pada penelitian ini berupa kuesioner,
kuesioner tentang tipe budaya organisasi (klan,
adhokrasi, pasar, dan hirarki) yang pengukurannya
menggunakan modifikasi kuesioner butir pernyataan
berasal dari Competing Value framework oleh Cameron
and Quin (2006) dan teknik pengukuran menggunakan
skala likert dari penelitian Hyun et al. (2009) berasal dari
teori budaya organisasi Cameron and Mcgrath (1985).
Penggunaan kuesioner modifikasi ini karena pengukuran
budaya organisasi menggunkan teori Cameron and Quin
(2006) dirasakan cukup sulit sehingga penyederhanaan
kuesioner menggunakan skala likert mengacu pada
penelitian Hyun (2009) untuk mengukur tipe budaya
organisasi dan mengetahui hubungan dengan keinginan
tidak pindah. Kuesioner tentang komitmen organisasi
(Afektif, normatif, berkelanjutan) diadaptasi dari Organization
Commitment Scale (OCS) oleh Allen dan Meyer (1990)
dalam tesis Nydia (2012).Kuesioner keinginan pindah
kerja (turnover intention) diadaptasi dari tesis Indriyani
(2014). Seluruh kuesioner pertanyaan skala respon
menggunakan skala likert (1-4) untuk penilaiannya.
Kuesioner budaya organisasi, komitmen organisasi diuji
validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu, Pernyataan
dikatakan valid apabila niali r hitung lebih besar dari r
tabel, dengan tingkat kemaknaan 5% dan jumlah
responden uji coba sebanyak 30 responden maka df = n-
2 yaitu 30-2 = 28, nilai r tabel untuk tingkat kemaknaan
5% dengan uji 2 arah, untuk df = 28 adalah 0,361.
Kesimpulan pertanyaan tersebut valid apabila r hitung >
dari 0,361. Uji reliabilitas dilakukan satu kali setelah
seluruh pertanyaan dinyatakan valid. Hasil uji kemudian
dibandingkan dengan nilai 0,6 dengan ketentuan apabila
nilai masing-masing cronbsch alpha > dari 0,6 maka
variabel tersebut dinyatakan valid.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Bivariat
Pada tabel 1 di atas terlihat hasil uji korelasi dan regresi
linier seluruh variabel menunjukan korelasi positif
terhadap keinginan tidak pindah. Artinya semakin tinggi
skor persepsi perawat terhadap eksistensi budaya klan di
RS. Prikasih maka semakin besar pula keinginan tidak
pindah. Sedangkan berdasarkan p value maka hanya
budaya adhrokrasi yang menunjukan tidak berhubungan
dengan keinginan tidak pindah perawat. Kekuatan
hubungan seluruh variabel menunjukan hubungan
sedang, sedangkan untuk komitmen afektif menunjukan
hubungan kuat denga keinginan tidak pindah.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 208
Analisis Multivariat (Regresi Linier Berganda)
Analisis multivariat ingin mengetahui model regresi
yang paling sesuai menggambarkan faktor-faktor yang
berhubungan dengan turnover intention (keinginan tidak
pindah). Pemodelan ini harus memenuhi kaidah-kaidah
syarat regresi linier. Adapun asumsi yang yang
digunakan dalam regresi linier ganda adalah asumsi
eksistensi, asumsi independen, asumsi linieritas, asumsi
homoscedascity. Semua asumsi terpenuhi (tabel 10),
maka uji regresi linier memenuhi syarat (ditampilkan
dalam tabel 2 & 3 serta gambar 1& 2).
Setelah dilakukan analisis ternyata variabel independen
yang masuk dalam model regresi adalah komitmen
afektif dan komitmen normatif sementara budaya klan,
budaya adhrokrasi dan budaya pasar merupakan
variabel konfounding. Terlihat koefisien determinasi
sebesar 0,430 artinya model regresi dapat menjelaskan
43% variasi variabel dependen keinginan tidak pindah.
Dari asumsi Anova terlihat hasil uji F menunjukkan nilai
p-value <0,05 maka pada alpha 5% model regresi cocok
(fit) dengan data yang ada atau kedua variabel
independen dapat memprediksi variabel keinginan tidak
pindah.
Adapun persamaan regresi yang diperoleh adalah:
Keinginan tidak pindah = 9,4 + 0,3*budaya klan –
0,3*budaya adhrokrasi + 0,4*budaya pasar + 0,7*komitmen
afektif + 0,6*komitmen normatif
Artinya:
- Setiap kenaikan 1 poin komitmen afektif perawat
terhadap Rs. Prakasih maka skor keinginan tidak
pindah akan naik sebesar 0,7 setelah dikontrol oleh
budaya klan, budaya adhrokrasi, budaya pasar dan
komitmen normatif.
- Setiap kenaikan 1 poin komitmen normatif perawat
terhadap Rs. Prakasih maka skor keinginan tidak
pindah akan naik sebesar 0,6 setelah dikontrol oleh
budaya klan, budaya adhrokrasi, budaya pasar dan
komitmen afektif.
Berdasarkan nilai Beta, maka variabel yang paling besar
pengaruhnya terhadap penentuan keinginan tidak pindah
adalah variabel komitmen afektif.
Pada penelitian univariat didapatkan masing-masing
skor tiap-tiap tipe budaya, dengan demikian rata-rata skor
paling tinggi didapatkan dari tipe budaya klan. Menelaah
dari pernyataan yang ada pada tabel 1 (distribusi jawaban
responden), ternyata cukup banyak responden merasa
RS ini merupakan tempat yang nyaman seperti keluarga
besar olehkarena orang-orang dalam organisasi saling
berbagi satu sama lain hal ini menurut peneliti dikatakan
baik dan harus mendapat dukungan dari atasan dan
manajemen.
Sejauh pengamatan peneliti dan persepsi peneliti selama
berada di RS Prikasih, peneliti merasa budaya klan
memang sangat terasa di RS Prikasih dengan orang-
orang yang hubunganya begitu dekat satu sama lain,
antar unit dan antara atasan dengan bawahan seperti tidak
ada batasan.
Budaya pasar, jika menelaah dari pertanyaan yang ada pada
tabel 2 (distribusi jawaban responden), ternyata cukup banyak
responden yang merasa RS Prikasih merupakan RS yang
berfokus kepada hasil dan tujuan untuk pencapain target RS,
hal ini menurut peneliti dikatakan baik dan harus mendapat
dukungan dari manajemen. Menurut peneliti pencapaian
target RS juga harus disertai dengan pemberian penghargaan
berupa reward kepada individu atau unit yang terkait.
Menurut Sastrohadiwiryo (2005) dalam Indriani (2014),
penghargaan/pengakuan atas suatu kinerja merupakan
motivasi kuat. Penghargaan berupa pengakuan atas kinerja
memberikan rasa kepuasan batin yang lebih tinggi di
bandingkan dengan penghargaan berupa pemberian
materi/hadiah.
Budaya adhrokrasi merupakan tipe budaya yang
bercirikan orang-orang dalam organisasi, pemimpin
beserta gaya manajamen yang terus berinovasi mencari
ide-ide baru, peneliti merasa budaya ini baik
dikembangkan untuk perkembangan RS menghadapi
persaingan global, menelaah hasil distribusi responden
pada tabel 3, tingginya budaya adhrokrasi ini dinyatakan
dalam pernyataan responden yaitu, “responden merasa
orang-orang yang bekerja di RS adalah orang-orang
yang dinamis artinya berani dan mau mengambil risiko
dalam pekerjannya
Budaya hirarki adalah budaya yang orang-orang dalam
organisasinya sangat terstruktur, terdapat prosedur
formal untuk setiap tindakan dan perlakuan. Budaya
hirarki menuntut orang-orang dalam organisasi untuk
mematuhi peraturan-peraturan dan kebijakan yang ada.
Menurut peneliti budaya hirarki ini baik dipertahankan
agar orang-orang dalam organisasi selalu berjalan dalam
koridornya. Menelaah hasil univariat sebanyak 53,9%
budaya hirarki tinggi, artinya cukup banyak perawat
Erta Rahmawati., Analisis Hubungan Budaya Organisasi Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention Perawat
Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 209
merasa berbudaya hirarki. Berdasarkan pernyataan yang
mengenai keamanan kerja yang ada pada tabel 4 tabel
distribusi jawaban responden yaitu “Saya merasa rumah
sakit ini merupakan tempat yang sangat terstruktur
dimana terdapat prosedur formal dalam setiap tindakan,”
ternyata sebanyak 72,5% responden merasa setuju
dengan pernyataan tersebut sedangkan pernyataan
mengenai sosok atasan “Saya merasa atasan saya
merupakan orang yang berperilaku sebagai koordinator
yang selalu mengatur,” sebagian besar responden
mengatakan setuju akan pernyataan tersebut. Sehingga
menurut peneliti budaya hirarki cukup berkembang di
RS ini oleh karena persentase budaya hirarki cukup
tinggi meskipun tidak setinggi budaya tipe lain, bahkan
budaya hirarki persentasenya paling rendah.
Hasil analisis bivariat budaya klan nilai r 0,337 nilai r
yang paling besar diantara tipe budaya organisasi lainnya
dengan kekuatan hubungan sedang, hal ini menunjukan
perawat memiliki persepsi budaya klan tinggi
berhubngan dengan keinginan tidak pindah. Menurut
peneliti kenyamanan dalam bekerja merupakan aspek
penting untuk bertahannya karyawan/perawat dalam
organisasi.
Berdasarkan temuan bivariat ternyata ada hubungan
antara budaya organisasi tipe pasar dengan turnover
intention (keinginan tidak pindah) p value sebesar 0,006.
Pada penelitian Kessler (2013) dinyatakan adanya
hubungan korelasi positif dalam arti apabila budaya
pasar tinggi di dalam organisasi akan menyebabkan
turnover intention (keinginan tidak pindah) semakin
tinggi. Meskipun arah hubungan kedua penelitian ini
tidak sejalan, peneliti mengangap pentingnya memiliki
budaya pasar dalam organisasi oleh karena dengan
terpenuhinya target-target RS akan menjadikan RS
berprestasi dalam arti reputasi rumah sakit menjadi baik,
sehingga orang-orang yang tinggal dalam organisasi
akan semakin bangga dan bersedia berlama-lama
bekerja di RS. Hasil analisis biavariat budaya organisasi
tipe adhrokrasi ternyata menunjukan tidak ada hubungan
dengan turnover intention hal ini terlihat dari nilai p value
> dari 0,05 sehingga nilai r untuk budaya adhrokasi tidak
dibahas. Tidak adanya hubungan antara budaya
adhrokrasi dengan turnover intention sebenarnya cukup
sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
(Kessler, 2013) yang menyatakan memang tidak ada
hubungan antara budaya adhrokrasi dengan turnover
intention.
Tipe budaya selanjutnya adalah tipe budaya hirarki, tipe
budaya ini merupakan tipe budaya organisasi dengan
suasana kerja yang terstruktur pada peraturan dan
kebijakan-kebijakan dengan gaya manajemen yang
aman dalam artian seluruh kegiatan mengarah pada
prosedur dan aturan-aturan yang ada, dengan menelaah
hasil univariat dinyatakan perawat yang berpersepsi
budaya hirarki hampir sama jumlahnya dengan yang
tidak. Hasil penelitian mengatakan terdapat hubungan
bermakna hal ini sejalan dengan penelitian Hyun (2009)
yang menyatakan terdapat hubungan bermakna antara
budaya hirarki dengan turnover intention. Dadgar
(2013) mengatakan dengan semakin tingginya budaya
hirarki di suatu perusahaan maka keinginan untuk tinggal
akan semakin tinggi. Menurut pandangan peneliti
budaya organisasi hirarki ada hubungan dengan
turnover intention, oleh karena dengan adanya keamaan
kerja (prosedur kerja yang jelas) maka keinginan untuk
tinggal dalam organisasi semakin tinggi.
Persepsi komitmen afektif di RS Prikasih merupakan
komitmen dengan nilai rata-rata skor paling besar 13,3
poin. Menelaah distribusi pertanyaan responden perawat
pada tabel 5 ternyata sebanyak 52,9% responden merasa
tidak terlalu senang bekerja di RS Prikasih dan tidak
merasakan bahwa permasalahan yang terjadi di RS
merupakan permasalahan mereka kemudian sebanyak
47,1% kebanyakan tidak suka membicarakan RS
Prikasih dengan orang diluar RS (tabel 5). Menanggapi
hal ini peneliti mengambil kesimpulan perawat di RS
Prikasih memang seperti keluarga, akan tetapi ikatan
tersebut tidak terlalu kuat melibatkan perasaan emosional
perawat, sehingga perawat belum bisa merasakan
bagian dari RS dan belum merasa bangga bahwa dirinya
menjadi bagian dari RS.
Komitmen normatif merupakan komitmen dengan
perasaan wajib untuk tinggal di organisasi, berdasarkan
hasil distribusi jawaban responden pada tabel 6 sebanyak
70,6% merasa sikap loyal terhadap suatu organisasi itu
penting, akan tetapi jika responden mendapat tawaran
pekerjaan lain maka sebanyak 66,6% responden
bersedia meniggalkan RS Prikasih (tabel 6) Menurut
peneliti sulitnya membentuk komitmen normatif juga
terpengaruh dari lingkungan luar sekitar RS, melihat dari
karakteristik RS.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 210
Komitmen berkelanjutan dalam penelitian ini dirasakan
tinggi oleh sebagian responden yaitu sebanyak 51%,
dalam telaah distribusi jawaban responden pada tabel 7
banyak responden merasa sangat sulit meninggalkan RS
padahal sebenarnya mereka ingin meninggalkan RS
(92%). Menurut Sopiah (2008) komitmen berkelanjutan
merupakan komitmen yang mana orang-orang dalam
organisasi tetap tinggal oleh karena membutuhkan gaji
atau karyawan tersebut tidak diterima kerja ditempat lain
atau bertahannya karyawan dalam suatu organisasi
disebabkan karena organisasi tersebut memberikan
banyak keuntungan-keuntungan yang tidak didapatkan
di organisasi lain.
Komitmen afektif dinyatakan memiliki hubungan
signifikan dengan turnover intention dengan p value
0,000 dengan nilai r 0,58 dengan kekuatan hubungan
adalah hubungan kuat (r > dari 0,51-0,75). Sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Vandenbergh
(2008) dalam penelitiannya menyatakan hubungan
signifikan negatif, artinya semakin tinggi komitmen
afektif seseorang maka akan semakin rendah turnover
intention. Penelitian lain oleh Benjamin (2012)
mengatakan ada hubungan signifikan antara komitmen
afektif dengan turnover intention. Tingginya persepsi
komitmen afektif di suatu organisasi akan menurunkan
keinginan pindah (Vandenberg, 2003 dalam Benjamin,
2012). Peneliti merasa setuju, dengan merasa nyaman
berada dalam suatu organisasi maka orang tersebut akan
semakin bertahan dalam organisasi.
Komitmen normatif dalam penelitian ini juga dikatakan
signifikan berhubungan dengan turnover intention
dengan nilai r 0,51 keeratan hubungan kuat. Penelitian
oleh Kuean dkk. (2010) yang mengatakan ketiga
komponen komitmen organisasi (afektif, normatif,
berkelanjutan) berhubungan dengan turnover intention
dengan hubungan signifikan negatif. Dadgar et al. (2013)
hasil penelitiannya sejalan dengan penelitian ini memang
ada hubungan signifikan antara komitmen normatif
dengan turnover intention.
Komitmen berkelanjutan dalam penelitian ini dikatakan
berhubungan dengan turnover intention dengan nilai p
value 0,037 dengan nilai r 0,21 keeratan hubungan
sedang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Vanderbergh (2008), Pitt (2009
yang mengatakan ada hubungan signifikan antara
komitmen berkelanjutan dengan turnover intention.
Menurut peneliti adanya hubungan ini dikatakan baik
oleh peneliti karena dengan adanya keuntungan-
keuntungan yang membuat seseorang bertahan di suatu
organisasi akan menjadikan orang tersebut betah untuk
terus tinggal dalam organisasi.
Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui variabel
independen mana yang paling dominan berhubungan
dengan turnover intention, maka didapatkan hasil bahwa,
komitmen afektif dan komitmen normatif merupakan
variabel yang berhubungan bermakna dengan turnover
intention. Sedangkan komitmen afektif merupakan variabel
dominan yang berhubungan bermakna
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil univariat, rata-rata skor tertinggi yaitu pada budaya
klan sedangkan untuk komitmen organisasi rata-rata
skor tertinggi pada komitmen afektif. Hasil analisis
bivariat hubungan antara budaya organisasi (klan,
adhrokrasi, pasar, hirarki) dengan turnover intention, dari
empat tipe budaya tersebut hanya tipe budaya adhrokrasi
yang tidak berhubungan dengan turnover intention.
Hasil analisis bivariat komitmen organisasi (afektif,
normatif, berkelanjutan) dengan turnover intention,
seluruh komponen komitmen organisasi berhubungan
dengan turnover intention. Dari hasil multivariat variabel
dominan yang berhubungan dengan turnover intention
yaitu, variabel komitmen afektif.
Saran
Untuk Direktur RS
Mengaktifkan komite keperawatan, untuk menjaga
mutu perawat dan memberikan kepastian jenjang
karir kepada perawat
Untuk Manajemen RS
Membentuk komitmen awal perawat (Memperkenalkan
perawat yang baru masuk ke rapat koordinasi, secara
rutin manajemen secara aktif melakukan sosialisasi
budaya RS dan mendiskusikan visi-misi RS dalam
rapat koordinasi)
Menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan
(Melakukan survey kepuasan perawat secara rutin,
untuk mendapatkan respon umpan balik)
Membangun rasa memiliki RS (Merayakan momen
special/memberi ucapan selamat kepada perawat
Erta Rahmawati., Analisis Hubungan Budaya Organisasi Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention Perawat Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 211
tersebut. Memberikan informasi secara berkala
mengenai pencapaian target RS )
Membangun komunikasi dengan cara memfasilitasi
wadah komunikasi rutin antara manajemen dengan
para perawat dengan tujuan perawat dapat mengeluarkan
ide-ide atau inovasi nya
Memberi dukungan akan pencapaian target (Manajemen
mendorong pencapaian target RS dengan cara
memberikan kompensasi rutin kepada perawat
apabila target tercapai.
Memberi kepastian dan rasa aman, (Manajemen
memberi kepastian kerja dengan gaji yang kompetitif,
memberikan kepastian jenjang karir kepada perawat,
memberikan pelatihan-pelatihan (diklat) rutin untuk
meningkatkan kompetensi perawat).
Memperjelas aturan dan kebijakan terkait masalah
kompensasi perawat (Manajemen memperbaharui
kebijakan secara berkala dan juga mensosialisasikan
kebijakan kompensasi secara jelas mengenai peraturan,
bonus tahunan, tunjangan perawat dengan masa kerja
tertentu).
Peningkatan Komunikasi atau dialog antar perawat
(mengadakan rapat-rapat koordinasi antara kepala
keperawatan dengan para perawat pelaksana masing-
masing unit secara rutin
Melakukan sosialisasi informasi mengenai kebijakan
baru, penyampaian informasi mengenai keadaan
RS, pencapaian target RS setiap bulan
Untuk Kepala Ruangan
Mengadakan acara bersama untuk menyambut
kedatangan perawat baru dengan unit yang bersangkutan
dilakukan setiap 3 bulan sekali.
Meningkatkan komunikasi dengan perawat dengan
cara membuka kesempatan dan memfasilitasi perawat
untuk mengeluarkan pendapat pada saat rapat
koordinasi.
DAFTAR PUSTAKA
Andini, Rita. 2006. Analisis Pengaruh Kepuasan Gaji, Kepuasan Kerja, Komitmen
Organisasional Terhadap Turnover Intention (Studi Kasus Pada Rumah Sakit
Roemani Muahmmadiyah Semarang), Tesis Universitas Diponogoro
Semarang.
Allen, N, J . Meyer, J.P. 1990. The Measurement and Antecedents of Affectuve, Continuance, and Normatif Commitment to the Organization. Journal of Occupational
Psychology. Vol.63. No.1. 1-18. Canada.
Allen, N. J.Meyer. J. P. 2004. TCM Employee Commitment Survey Academic Users Guide. London: University of Western Ontario.
Brough, P. Frame, R. 2004. Predicting Police Job Satisfaction and Turnover Intention: The role
of Social Support and Police Organizational Variabels. New Zealand Journal of Psychology, 33(1), 8-17.
Cameron. K S. Quinn. R.E. 2006. Diagnosing and Changing Organizational Culture: Based on
The Competing Values Framework (Revised ed). San Francisco. CA: Jossey-Bass.
Cameron, KS. Freeman, Sarah. 1991. Cultural Congruence, Strenght, and Type: Relationship to
Effectiveness. http://webuser.bus.umich.edu/cameronk/PDFs/Organizational%20Culture/C
ultural%20Congruence.pdf, diakses 12 Juni 2015.
Fahmi, Irham. 2013. Perilaku Organisasi Teori Aplikasi dan Kasus. ALFABETA Bandung. Gillies. 2000. Manajemen Keperawatan sebagai pendekatan System. W.B Saunders
Company.Philadelphia.USA.
Guntur, Ria, Mardiana, Yusuf. Haerani, Siti. Hasan, Muhlis. 2012. The Influence of Affective, Continuance and Normatif Commitments on The Turnover Intentions Of Nurses
at Makassar’s Private Hospitals In Indonesia. African Journal of Business
Management Vol. 6. http://www.academicjournals.org/AJBM. Diakses 9 Juni 2015.
Hyun Tae, Jae San Park, Kim. 2009. Do types of organizational culture matter in nurse job
satisfaction and turnover intention? Leadership in health services. http://search.proquest.com, diakses 10 Maret 2015.
Indriyani, Susila.2014. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Keinginan Pindah Kerja
(Turnover Intention) Perawat di Rumah Sakit X di Balikpapan. Kessler, Ladelsky.2013. The Effect of Organizational Culture On it Employees Turnover in Israel.
Departement of Marketing. Faculty of Economics and Business Administration.
Bolyai University. Cluj-Napoca. Romania. Pitt, S.Jennele. 2009. Relationship Between Person – Organization Fit. Job Satisfaction.
Organizational Commitemnt and Turnover Intent Among State Vocational
Rehabilitation Counselors. Disertasi. Michigan State University. United State. Mahardika, Guntur. 2006. Pengaruh Person Organization Fit terhadap Kepuasan Kerja.
Komitmen Organisasional dan Kinerja Karyawan. Tesis.Studi pada RSI PKU
Muhammadiyah Pekalongan. Magister Manajemen Universitas diponogoro. Robbins, Stephen.P.1998.Organizational Behavior. 8th edition. New Jersey
Satrianegara, Fais. M. 2014. Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan.Salemba Medika Jakarta.
Susila, Indriyani. 2014. Nalisis Faktor – Faktor yang berhubungan dengan Keinginan Pindah
Kerja (turnover Intention) Perawat RS.X di Balikpapan tahun 2014. Tesis.Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.
Sutrisno, Edi.2010. Budaya Organisasi. Kencana Prenada Media Group
Sugiyono.2013. Metode Penelitian Kuantitatif .Kualitatif dan R&D. Alfaabeta.Bandung. Sudrajat, Agus.Diwa. 2009. Aspek Hukum Praktik Keperawatan. Jurnal Kesehatan Stikesyani.
Sopiah. 2008. Perilaku Organisasi. Andi.Yogyakarta.
Sumijatun. 2012. Membudayakan Etika dan Praktik Keperawatan. Salemba medika. Sumijatun. 2009. Manajemen Keperawatan.Trans Info Media. Jakarta
Undang – Undang RI Nomor 36. Tentang Tenaga Kesehatan.2014.
Undang – Undang RI Nomor 38. Tentang Keperawatan.2014. Vandenberghe, Christian.1999. Organizational Culture. Person-Culture Fit and Turnover: A
Replication in the Health Care. Journal of Organizational Behavior.Canada.
Vandenberghe, Cristian. Tremblay.Michael. 2008. The Role of Pay Satisfaction and Organizational Commitment in Turnover Intentions: A Two-Sample Study.Canada.
Widyastuti, Chrysanti Hana. 2009 .Hubungan Budaya Organisasi Dengan Komitmen
Organisasi Pada Perawat Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum. Skripsi. www.Eprints.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 12 Februari 2015.
Yasin, Mahmuddin. 2014. Organisasi Manajemen Leadership. Expose (PT Mizan Publika).
Jakarta.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 212
Tabel 1. Analisis Korelasi dan Regresi Budaya Organisasi dan komitmen Organisasi
dengan Turnover Intention (Keinginan Tidak Pindah)
Tabel 2. Uji Asumsi Analisis Regresi Linier Ganda Hubungan antara Budaya
organisasi, Komitmen Organisasi dengan Keinginan Tidak Pindah
No. Uji Asumi Hasil Standar Keterangan
1
Eksistensi Mean :
Standar Deviasi
0,000 2,952
0,00000
Terpenuhi
2
Independensi/Goodness of Fit
Durbin Watson
1,882
-2 s.d +2
Terpenuhi
3 Linieritas : Anova
0,0000 < 0,05 Terpenuhi
4
Multicolleniarity
VIF :
a. Tipe Klan
b. Tipe Adhrokrasi
c. Tipe Pasar d. Komitmen Afektif
e. Komitmen Normatif
1,230 1,285
1,194
1,441 1,504
< 10
Terpenuhi
5
Homoscedascity (lihat gambar 1) Titik 1,tebaran tidak berpola
tertentu dan nilai standar
residual -1,764 s.d 1,875
Titik tebaran tidak berpola
tertentu atau nilai standar
residual -2 s.d. +2
Terpenuhi
Variabel r R2 Persamaan Garis P Value
Budaya klan 0,337 0,114
Keinginan tidak pindah = 19,9 + 0,71* skor budaya
klan
0,001
Budaya adhrokrasi 0,151 0,023
Keinginan tidak pindah = 24,3 + 0,4* skor budaya
adhrokrasi
0,130
Budaya pasar 0,27 0,072
Keinginan tidak pindah = 19,2 + 0,9* skor budaya
pasar
0,006
Budaya hierarki 0,32 0,103
Keinginan tidak pindah = 18,8 + 0,9* skor budaya
hierarki
0,001
Komitmen afektif 0,58 0,335
Keinginan tidak pindah = 15,3+ 1* skor komitmen
afektif
0,000
Komitmen normatif 0,51 0,258
Keinginan tidak pindah = 18,05+ 1,1* skor komitmen
normatif
0,000
Komitmen berkelanjutan 0,21
0,043 Keinginan tidak pindah = 23,1+ 0,6* skor
komitmen berkelanjutan
0,037
Gambar 1 Gambar 2
Erta Rahmawati., Analisis Hubungan Budaya Organisasi Komitmen Organisasi dengan Turnover Intention Perawat
Rumah Sakit Prikasih Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 213
No. Uji Asumi Hasil Standar Keterangan
6
Normalitas (lihat gambar 2) Data menyebar disekitar garis diagonal dan
mengikuti arah garis
diagonal
Data menyebar disekitar garis diagonal dan
mengikuti arah garis
diagonal
Terpenuhi
Tabel 3. Model Akhir Analisis Multivariat
Model
Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients Sig. r R
square B Std. Error Beta
(Constant) 9.427 3.325 .006 0,655 0,430
Budaya klan .304 .180 .144 .095
Budaya adhrokrasi -.331 .219 -.133 .133
Budaya pasar .414 .269 .130 .127
Komitmen afektif .679 .159 .395 .000
Komitmen normatif .583 .204 .271 .005
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 214
Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service
Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSIA
Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Analysis of Relations Time Services and Total Quality Service Factor To Patient
Satisfaction in Obstetrics and Gynecology Clinic of RSIA Anugerah Medical Centre Metro
City 2015
Fitriyuli Mayasari
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Pelayanan rawat jalan merupakan salah satu Unit kerja di rumah sakit yang melayani pasien dengan berobat jalan
termasuk seluruh prosedur diagnostik serta terapeutik. Waktu tunggu merupakan salah satu hal penting yang akan
menentukan citra awal pelayanan rumah sakit. Salah satu alat untuk mengidentifikasi kebutuhan konsumen rumah
sakit adalah dengan Total Quality Service (TQS). Kepuasan pasien merupakan faktor utama dan tolak ukur
keberhasilan rumah sakit yang diberikan kepada pelanggan yang berdampak jumlah kunjungan meningkat dan
pasien yang puas cenderung akan kembali. Penelitian ini merupakan penelitian Kuantitatif dengan desain potong
lintang (cross sectional) dengan melakukan analisis korelasi yang menganalisa hubungan variabel dependen dan
variabel independen. Penelitian dilakukan dengan menghitung waktu tunggu poliklinik dan waktu pemeriksaan
dokter, kemudian dilakukan survey kuesioner TQS terhadap 135 responden. Hasil penelitian menyatakan bahwa
waktu tunggu poliklinik, waktu pemeriksaan dokter tidak mempengaruhi kepuasan pasien. Kualitas personil,
pelayanan administrasi, pengalaman perawatan medis, dan tanggung jawab sosial memiliki hubungan yang
signifikan dengan kepuasan pasien. Dan faktor tanggung jawab sosial merupakan variabel yang paling dominan
dan berpengaruh terhadap kepuasan pasien di RSIA AMC Metro.
Kata kunci: waktu tunggu, faktor Total Quality Service, kepuasan pasien.
ABSTRACT
Outpatient services is one of unit working in hospitals that serve patients with outpatient including all diagnostic
and therapeutic procedures. The waiting time is one important thing that will determine the initial image of
hospital services. One of the tools for identifying customer needs hospital is the Total Quality Service (TQS).
Patient satisfaction is a major factor and a measure of the success of the hospital which is given to customers who
impact the number of visits increased and patients are satisfied tend to be returned. This research is a quantitative
research with cross sectional design (cross-sectional) with correlation analysis to analyze the relationship the
dependent variable and independent variables. The study was conducted by calculating the waiting time and time
clinic doctor examination, then conducted a TQS questionnaire survey on 135 respondents. The study states that
the waiting time and the doctor’s examination time did not affect patient satisfaction. The quality of personnel,
administrative services, medical care experiences, and social responsibility has a significant relationship with
patient satisfaction. And the social responsibility factor is the most dominant variable and the effect on patient
satisfaction.
Keywords: waiting time, Total Quality Service factor, patient satisfaction.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 215
PENDAHULUAN
Rumah sakit dihadapkan pada tantangan besar untuk
meningkatkan kualitas pelayanan. Serta kemampuan
untuk menyediakan pelayanan berkualitas dan tidak
mengabaikan efisiensi biaya operasional adalah
merupakan tantangan internal bagi rumah sakit. Hal
tersebut juga berkaitan dengan kompleksitas dalam
pengelolaan tenaga-tenaga medis yang mempunyai
otoritas tinggi dalam bekerja. Sedangkan tantangan
eksternal berhubungan dengan terjadinya perubahan
lingkungan bisnis rumah sakit yang cepat dan dinamis
sebagai akibat dari adanya globalisasi, dan perubahan
regulasi yang mempengaruhi standar mutu pelayanan
rumah sakit. Agar rumah sakit mampu melaksanakan
fungsi yang sedemikian kompleks, rumah sakit harus
memiliki sumber daya yang profesional. Rumah sakit
mempunyai tanggung jawab terhadap mutu pelayanan
diantaranya adalah rekruitmen terhadap sumber daya
manusia yang mempunyai kompetensi dan jumlah yang
cukup untuk memenuhi kriteria pelayanan kesehatan
rumah sakit. Kepuasan muncul dari kesan pertama
pasien saat mendapatkan pelayanan rumah sakit dan
pencapaian yang besar dapat terletak pada tindakan-
tindakan kecil yang konsisten dilakukan rumah sakit.
Seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan
tingkat sosial-ekonomi masyarakat, maka tuntutan
terhadap pelayanan kesehatan juga semakin meningkat.
Jumlah sarana pelayanan kesehatan telah memperketat
persaingan antara sarana pelayanan kesehatan baik milik
pemerintah maupun swasta. Persaingan yang terjadi
tidak hanya dari sisi teknologi pemeriksaan, akan tetapi
persaingan yang lebih berat yaitu persaingan dalam
pelayanan kesehatan yang berkualitas (Ahmed, 2011).
Pelayanan rawat jalan merupakan salah satu unit kerja di
rumah sakit yang melayani pasien dengan berobat jalan
dan tidak lebih dari 24 jam pelayanan, termasuk seluruh
prosedur diagnostik serta terapeutik. Pelayanan rawat
jalan adalah pelayanan kedokteran yang disediakan
untuk pasien tidak dalam bentuk rawat inap. Rawat jalan
adalah cerminan dari suatu pelayanan yang diterima
pelanggan dari rumah sakit (Donovan, 1994).
Salah satu alat untuk mengidentifikasi kebutuhan
konsumen rumah sakit adalah dengan Total Quality
Service (TQS). Untuk menjawab masalah kepercayaan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan dalam
pengelolaan rumah sakit di Indonesia agar dapat memperbaiki
kinerja serta meningkatkan dan mempertahankan kualitas
pelayanan kesehatan adalah dengan menerapkan konsep
Total Quality Service (TQS). Konsep TQS
dikembangkan untuk menjamin bahwa produk atau jasa
yang dihasilkan dapat memuaskan kebutuhan konsumen.
TQS memfokuskan pada pelanggan yang ikut dilibatkan
pada pengembangan proses pelayanan jasa sedini mungkin.
Menurut Heizer dan Render (2005), TQS merupakan
suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang
mencoba memaksimumkan daya saing organisasi
melalui perbaikan terus-menerus atau produk jasa,
manusia, proses dan lingkungannya. TQS menekankan
pada komitmen manajemen untuk memiliki keinginan
yang berkesinambungan bagi perusahaan untuk
mencapai kesempurnaan di segala aspek barang dan jasa
yang penting bagi konsumen. Para peneliti terdahulu
belum ada yang menyodorkan konsep dan alat yang bisa
digunakan untuk menilai kendala-kendala potensial
penerapan TQS. Pada penelitan Andaleeb (1998) yang
telah melakukan penelitian terhadap para manajer di
Hongkong untuk mengetahui kendala-kendala potensial
penerapan TQS. Langkah awal yang dilakukan adalah
membuat daftar kendala potensial yang bersumber dari
literatur dan dipadu dengan wawancara terhadap para
konsultan dan para praktisi bisnis berkualitas. Daftar
tersebut kemudian didiskusikan untuk menemukan
kendala-kendala potensial penerapan TQS. Lalu
melakukan pengembangan alat untuk mengukur dan
memperkirakan keberadaan kendala-kendala potensial
penerapan TQS yang ada di rumah sakit.
Kepuasan pasien merupakan faktor utama dan merupakan
tolak ukur keberhasilan sebagai hasil pelayanan yang
diberikan kepada pelanggan yang berdampak jumlah
kunjungan pasien meningkat, dan pasien yang puas akan
pelayanan cenderung akan kembali. Pemahaman yang
baik dari setiap petugas rumah sakit tentang kepuasan
pasien sehingga petugas akan memberikan layanan yang
sebaik-baiknya dan memberikan keputusan terhadap pasien
(Rowland, et al, 1992).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan yang dibuat
Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit, standar minimal
rawat jalan adalah sebagai berikut:
1. Dokter yang melayani pada Poliklinik Spesialis
harus 100 % dokter spesialis.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 216
2. Rumah sakit setidaknya harus menyediakan pelayanan
klinik anak, klinik penyakit dalam, klinik kebidanan,
dan klinik bedah.
3. Jam buka pelayanan adalah pukul 08.00 – 13.00
setiap hari kerja, kecuali hari jumat pukul 08.00 –
11.00
4. Waktu tunggu untuk rawat jalan tidak lebih dari 60
menit
5. Kepuasan pelanggan lebih dari 90 %.
Rumah Sakit Ibu Anak Anugerah Medical Centre (RSIA
AMC) Kota Metro sesuai dengan Surat Keputusan
Kementerian Kesehatan dengan Nomor Penetapan Kelas
HK.03.05/I/1313/2011 termasuk dalam rumah sakit khusus
tipe C yang berlokasi di Jalan Kunang 15 Kota Metro
Propinsi Lampung. Tahun 2012 terdapat 11.932 pasien
rawat jalan, pada 2013 menjadi 10.928 pasien, dan
meningkat pada 2014 menjadi 16.096 pasien. Semula RSIA
AMC hanya melayani pasien umum, namun sejak Januari
2014 RSIA melayani pasien BPJS. Pasien Rawat jalan tahun
2014 terdiri atas pasien BPJS dan pasien umum dimana
jumlah pasien BPJS sebanyak 5.633 (35%). (Rekam Medik
RSIA AMC Kota Metro, 2012-2014). Masyarakat yang
menggunakan layanan kesehatan di Rumah Sakit Ibu dan
Anak Anugerah Medical Centre (RSIA AMC) Metro,
Lampung, tidak hanya berasal dari kota Metro dan sekitarnya
saja, tapi juga berasal dari kabupaten lain, mengingat RSIA
AMC merupakan rumah sakit khusus Ibu dan Anak satu-
satu nya yang ada di kota Metro.
Berdasarkan pengamatan peneliti dan wawancara tidak
terstruktur dengan pasien sebelum melakukan penelitian di
poliklinik Kebidanan dan Kandungan diketahui bahwa
pasien mengalami waktu tunggu yang memanjang lebih dari
ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, rata-rata pasien
menunggu lebih dari 60 menit.
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2009 pasal 1 tentang rumah sakit,
dikatakan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Pelayanan Rawat Jalan
Pelayanan rawat jalan menurut Keputusan Menteri
Kesehatan pada Nomor 560/SK/Menkes/SK/IV/2003
adalah tentang pelayanan pasien untuk observasi,
diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik dan pelayanan
kesehatan lainnya tanpa menginap di rumah sakit.
Pelayanan Rawat Jalan Ditinjau dari SPM
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit, standar minimal rawat jalan
adalah sebagai berikut:
1. Dokter yang melayani pada Poliklinik Spesialis harus
100 % dokter spesialis.
2. Rumah sakit setidaknya harus menyediakan pelayanan
klinik anak, klinik penyakit dalam, klinik kebidanan, dan
klinik bedah.
3. Jam buka pelayanan adalah pukul 08.00 – 13.00 setiap
hari kerja, kecuai hari jumat pukul 08.00 – 11.00.
4. Waktu tunggu untuk rawat jalan tidak lebih dari 60
menit.
5. Kepuasan pelanggan lebih dari 90 %.
Waktu Tunggu
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesi
Nomor 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit, dikatakan bahwa waktu tunggu
adalah waktu yang diperlukan mulai pasien mendaftar
sampai dilayani oleh dokter spesialis. Disebutkan pula
bahwa standar waktu tunggu pasien rawat jalan adalah
kurang dari atau sama dengan 60 menit.
Waktu Pelayanan
Waktu pelayanan menurut Aditya (2002), waktu
pelayanan adalah waktu minimal yang digunakan untuk
melayani pasien dari awal masuk tempat pendaftaran
sampai dengan pulang. Minimal sama dengan batas
waktu standar waktu yaitu 90 menit. Dengan pembagian
waktu: waktu tunggu pelayanan ≤ 60 menit, waktu
pemeriksaan dokter ≥15 menit, dan minimal 15 menit
untuk administrasi dan pengambilan obat. Menurut
Depkes RI (2007) yang dikutip oleh Sudarsono (2010),
standar waktu pelayanan dalam memeriksa pasien di ruang
periksa yaitu minimal 15 menit. Faktor pelayanan dibagi dua,
yaitu waktu tunggu dan waktu pemeriksaan, dalam waktu
pemeriksaan aspek dokter sangat mempengaruhi kepuasan
pasien.
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik
Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 217
Penerapan Konsep Total Quality Service (TQS)
TQS adalah suatu proses dimana etos komitmen pelayanan
yang ditanamkan dalam perusahaan dimana hal tersebut
dengan sendirinya akan menggerakkan usaha para
karyawannya untuk mengembangkan serta menjaga
kualitas pelayanan mereka. Tujuan dari TQS adalah
membangun rasa memiliki dalam memberikan pelayanan
yang prima. Pihak perusahaan tidak hanya memperhatikan
kualitas pelayanannya, tetapi juga pihak manajemen harus
menentukan level dari kualitas tersebut (Zeithaml at, al, 2000
dalam Kosim 2004). TQS berfokus pada lima aspek
utama:
1. Fokus pada pelanggan (customer focus)
2. Keterlibatan total (total involvement)
3. Sistem pengukuran (measurement)
4. Dukungan sistematis (systematic support)
5. Perbaikan berkesinambungan
Karakteristik Pasien
Menurut Kotler dan Keller (2009), keputusan pembeli
dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Faktor karakteristik
pribadi tersebut meliputi usia, pekerjaan dan keadaan
ekonomi, kepribadian dan konsep diri, serta gaya hidup
dan nilai.
Kepuasan Pasien
Mengetahui kepuasan pasien atau pelanggan merupakan hal
yang penting bagi sebuah institusi pelayanan jasa khususnya
rumah sakit. Pelanggan yang puas akan memakai kembali
jasa layanan tersebut dan juga akan memberitahukan atau
mengajak orang lain.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik
dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif
untuk mendapatkan gambaran mengenai waktu tunggu
pasien dan faktor-fakto dari TQS yang mempengaruhi
kepuasan pasien. Desain penelitian yang digunakan
adalah desain cross sectional (potong lintang) dimana
pengumpulan data untuk variabel independen dan
variabel dependen dilakukan pada waktu yang sama.
Analisis yang digunakan adalah analisis korelasi dengan
menganalisa hubungan variabel independen dengan
variabel dependen. Penelitian dilakukan pada poliklinik
spesialis Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit Ibu
dan Anak Anugerah Medical Centre (RSIA AMC)
Kota Metro, mulai dari pasien datang ke ruang tunggu
poliklinik, kemudian diperiksa oleh dokter, dan sampai
selesai diperiksa oleh dokter. Pengumpulan data
dilakukan selama 1 minggu pada tanggal 3 Juni 2015
sampai dengan tanggal 9 Juni 201, mulai pukul 08.00
WIB hingga pukul 20.00 WIB. Populasi responden
adalah pasien yang berkunjung ke poliklinik spesialis
Kebidanan dan Kandungan RSIA AMC untuk dilakukan
pemeriksaan. Sehingga sampel pada penelitian ini adalah
berjumlah 135 orang. Jenis data yang dikumpulkan pada
penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunankan
form isian waktu tunggu pasien yang dibagi menjadi:
a. Waktu tunggu poliklinik
b. Waktu pemeriksaan dokter
Kemudian menggunakan form kuesioner TQS yang di
isi oleh responden setelah responden selesai dan keluar
dari ruang pemeriksan dokter. Teknik pengumpulan
data dilakukan dengan menghitung waktu tunggu pasien
di poliklinik dimulai sejak pasien datang di ruang tunggu
poliklinik sampai pasien dipanggil masuk ke ruang
pemeriksaan dokter. Kemudian dihitung juga waktu
pemeriksaan oleh dokter, dihitung mulai pasien masuk
kedalam ruang pemeriksaan dokter sampai pasien
keluar dari ruang pemeriksaan dokter. Waktu tunggu
poliklinik dan waktu pemeriksan dihitung secara menit
dengan menggunakan jam digital yang dipakai oleh
peneliti. Setelah keluar dari ruang pemeriksaan, pasien
akan mendapat lembar form kuesioner yang selanjutnya
akan di isi oleh responden tersebut. Pengolahan data
dilakukan dengan tahapan (1) editing data, (2) coding
(pemberian kode data), (3) processing (memasukkan
data), (4) cleaning (pembersihan data). Teknik yang
digunakan untuk menganilis data (Sugiyono,2007): (1)
analisis univariat, (2) analisis bivariat (3) analisis multivariat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisis Univariat
Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi
umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.
Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa responden dalam
kelompok usia yang lebih dari 25 tahun lebih banyak
dari pada responden dalam kelompok usia kurang dari
sama dengan 25 tahun. Responden yang berpendidikan
SMA ke bawah lebih banyak dari pada yang
berpendidikan setelah SMA. Responden yang tidak
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik
Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 218
bekerja/IRT lebih banyak dari pada responden yang
bekerja. Distribusi responden berdasarkan pembiayaan
kesehatan tidak merata. Jumlah responden paling
banyak melakukan pembiayaan kesehatan sendiri
sebanyak 72 orang (53,3%). Sedangkan jumlah
responden yang pembiayaan kesehatannya melalui
BPJS/Askes ada 63 orang (46,7%).
a. Variabel Dependen
Berdasarkan tabel 2 didapatkan rata-rata kepuasan
pasien terhadap perawatan medis dan pengobatan
dokter sebesar 3,14. Hal tersebut menunjukkan
sebagian besar responden berpendapat bahwa
perawatan medis dan pengobatan dokter di RSIA
AMC baik dan paling berpengaruh terhadap
kepuasan pasien secara keseluruhan dibandingkan
dengan dimensi kepuasan lain. Sedangkan
kepuasan pasien yang paling rendah terdapat pada
dimensi perawatan medis oleh perawat yaitu
sebesar 2,98.
Indikator hasil ukur kepuasan pada penelitian
ini dibagi menjadi kategorik puas dan tidak
puas. Pembagian berdasarkan cut-off point nilai
median hasil penelitian. Dari tabel 3 menunjukkan
sebagian besar responden merasa puas. Jumlah
responden yang merasa puas sebanyak 110
orang (81,5%). Sedangkan jumlah responden
yang merasa tidak puas ada 25 orang (18,5%).
b. Variabel Independen
Berikut ini hasil ukur variabel independen yang
terdiri dari waktu tunggu pelayanan dan faktor-
faktor TQS yang mempengaruhi kepuasan
pasien yang dibagi menjadi dua kategori
berdasarkan cut off nilai median hasil penelitan,
yaitu kategori baik dan kategori buruk.
Hasil penelitian pada tabel 4 menunjukkan bahwa
lebih banyak responden yang menunggu lebih dari
60 menit. Jumlah responden yang menunggu
lebih dari 60 menit sebanyak 79 orang (58,5%).
Sedangkan jumlah responden yang menunggu
kurang dari sama dengan 60 menit ada 56 orang
(41,5%).
Sebagian besar responden diperiksa dokter
kurang dari 15 menit. Jumlah 130 orang
(96,3%). responden yang diperiksa dokter
kurang dari 15 menit sebanyak Sedangkan
jumlah responden yang diperiksa dokter lebih
dari sama dengan 15 menit hanya 5 orang
(3,7%).
Diketahui dari tabel 5 bahwa rata-rata waktu
tunggu poliklinik di RSIA AMC adalah 88,39
menit, dan rata-rata waktu pemeriksaan dokter
adalah 6,69 menit.
Sebagian besar responden merasa infrastruktur
rumah sakit baik. Jumlah responden yang merasa
infrastruktur rumah sakit baik sebanyak 101 orang
(74,8%). Sedangkan jumlah responden yang
merasa infrastruktur rumah sakit buruk ada 34
orang (25,2%).
Responden merasa proses pelayanan Berdasarkan
penelitian pada tabel 7 tampak sebagian besar
responden merasa kualitas personil rumah sakit
baik. Jumlah responden yang merasa kualitas
personil rumah sakit baik sebanyak 85 orang
(63%). Sedangkan jumlah responden yang
merasa kualitas personil rumah sakit buruk ada 50
orang (37%).
Pada tabel 8, hasil penelitian tampak hampir
semua klinis rumah sakit baik. Jumlah
responden yang merasa proses pelayanan
klinis rumah sakit baik sebanyak 129 orang
(95,6%). Sedangkan jumlah responden yang
merasa proses pelayanan klinis rumah sakit
buruk hanya 6 orang (4,4%).
Pada tabel 9, sebagian besar responden merasa
pelayanan administrasi rumah sakit baik.
Jumlah responden yang merasa pelayanan
administrasi rumah sakit baik sebanyak 101
orang (74,8%). Sedangkan jumlah responden
yang merasa pelayanan administrasi rumah
sakit buruk ada 34 orang (25,2%).
Hasil penelitian pada tabel 10 sebagian besar
responden merasa indikator keselamatan
rumah sakit baik. Jumlah responden yang
merasa indikator keselamatan rumah sakit baik
sebanyak 109 orang (80,7%). Sedangkan
jumlah responden yang merasa indikator
keselamatan rumah sakit buruk ada 26 orang
(19,3%).
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 219
Dari hasi penelitian pada tabel 11, sebagian
besar responden merasa keseluruhan pengalaman
perawatan medis rumah sakit baik. Jumlah
responden yang merasa pengalaman perawatan
medis rumah sakit baik sebanyak 116 orang
(85,9%). Sedangkan jumlah responden yang
merasa pengalaman perawatan medis rumah
sakit buruk ada 19 orang (14,1%).
Tampak bahwa hampir semua responden
merasa tanggung jawab sosial rumah sakit
baik. Jumlah responden yang merasa tanggung
jawab sosial rumah sakit baik sebanyak 123
orang (91,1%). Sedangkan jumlah responden
yang merasa tanggung jawab sosial rumah
sakit buruk ada 12 orang (8,9%) (ditampilkan
dalam tabel 12).
2. Analisis Bivariat ( Uji Chi Square)
1. Hubungan Waktu Tunggu Poliklinik
dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC
Metro
Ada 64 orang (91%) yang merasa puas pada
mereka yang menunggu lebih dari 60 menit.
Sedangkan pada responden yang menunggu
kurang dari sama dengan 60 menit ada 46
orang (82,1%) yang merasa puas. Hasil uji
diperoleh niali OR (odds rasio) 1,08 artinya
waktu tunggu poliklinik yang baik memiliki
peluang untuk memberikan kepuasan pasien
sebesar 1,08 kali lebih besar dibandingkan
dengna waktu tunggu polilinik yang buruk.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1 artinya
p.value ≤ alpha (0,05) maka dapat disimpulkan
hipotesis nol (Ho) diterima, dan Hipotesis
alternatif (Ha) ditolak atau tidak ada hubungan
yang signifikan antara waktu tunggu poliklinik
dengan kepuasan pasien (ditampilkan dalam
tabel 13).
2. Hubungan Waktu Pemeriksaan Dokter
dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC
Metro
Hasil analisis hubungan antara waktu pemeriksaan
dokter dengan kepuasan pasien diperoleh
bahwa ada 105 orang (80,8%) yang merasa
puas pada mereka yang diperiksa kurang dari
15 menit. Sedangkan pada responden yang
diperiksa lebih dari sama dengan 15 menit ada
5 orang (100%) yang merasa puas. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=0,584 artinya p value
> alpha (0,05) maka dapat disimpulkan
hipotesis nol (Ho) diterima, dan hipotesis
alternatif (Ha) ditolak atau tidak ada hubungan
yang signifikan antara waktu pemeriksaan
dokter dengan kepuasan pasien (ditampilkan
dalam tabel 14).
3. Hubungan Infrastruktur dengan Kepuasan
Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara infrastruktur
dengan kepuasan pasien diperoleh bahwa ada
25 orang (73,5%) yang merasa puas pada
mereka yang merasa infrastruktur rumah sakit
buruk. Sedangkan pada responden yang
merasa infrastruktur rumah sakit baik ada 85
orang (84,2%) yang merasa puas. Hasil uji
diperoleh nilai OR = 1,91 artinya infrastruktur
yang baik memiliki peluang untuk memberikan
kepuasan pasien sebesar 1,91 kali lebih besar
dibandingkan dengan infrastruktur yang buruk
di RSIA AMC Metro. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,261 artinya p value > alpha
(0,05) maka dapat disimpulkan tidak ada
perbedaan proporsi kepuasan pelanggan antar
infrastruktur, yang artinya hipotesis nol (Ho)
diterima, dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak
atau tidak ada hubungan yang signifikan antara
infrastruktur dengan kepuasan pasien
(ditampilkan dalam tabel 15).
4. Hubungan Kualitas Personil dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara kualitas personil
dengan kepuasan pasien diperoleh bahwa ada
32 orang (64%) yang merasa puas pada
mereka yang merasa kualitas personil rumah
sakit buruk. Sedangkan pada responden yang
merasa kualitas personil rumah sakit baik ada
78 orang (91,8%) yang merasa puas. nilai
OR=6,268, artinya responden yang merasa
kualitas personil rumah sakit baik memiliki
peluang 6,268 kali untuk merasa puas
dibanding responden yang merasa kualitas
personil rumah sakit buruk. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,0001 artinya p value ≤
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik
Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 220
alpha (0,05) maka dapat disimpulkan Ho
ditolak, dan Ha diterima atau ada hubungan
yang signifikan antara kualitas personil dengan
kepuasan pasien (ditampilkan dalam tabel 16).
5. Hubungan Pelayanan Klinis dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara proses pelayanan
klinis dengan kepuasan pasien diperoleh
bahwa ada 4 orang (66,7%) yang merasa puas
pada mereka yang merasa proses pelayanan
klinis rumah sakit buruk. Sedangkan pada
responden yang merasa proses pelayanan
klinis rumah sakit baik ada 106 orang (82,2%)
yang merasa puas. Hasil uji diperoleh nilai OR
= 2,30 artinya pelayanan klinis yang baik
memiliki peluang untuk memberikan kepuasan
pasien sebesar 2,30 kali lebih besar dibandingkan
dengan pelayanan klinis yang buruk di RSIA
AMC Metro. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,308 artinya p value > alpha (0,05) maka
dapat disimpulkan Ho diterima, dan Ha ditolak
atau tidak ada hubungan yang signifikan antara
pelayanan klinis dengan kepuasan pasien
(ditampilkan dalam tabel 17).
6. Hubungan Antara Pelayanan Administrasi
dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC
Metro
Hasil analisis hubungan pada tabel 18 antara
pelayanan administrasi dengan kepuasan
pelanggan diperoleh bahwa ada 22 orang
(64,7%) yang merasa puas pada mereka yang
merasa pelayanan administrasi rumah sakit
buruk. Sedangkan pada responden yang
merasa pelayanan administrasi rumah sakit
baik ada 88 orang (87,1%) yang merasa puas.
Hasil uji nilai OR=3,70, artinya responden
yang merasa pelayanan administrasi rumah
sakit baik memiliki peluang 3,70 kali untuk
merasa puas dibanding responden yang
merasa pelayanan administrasi rumah sakit
buruk. Uji statistik diperoleh nilai p=0,008
artinya p value ≤ alpha (0,05) maka dapat
disimpulkan Ho ditolak, dan Ha diterima atau
ada hubungan yang signifikan antara
pelayanan administrasi dengan kepuasan
pasien di RSIA AMC Metro.
7. Hubungan Indikator Keselamatan dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara indikator
keselamatan dengan kepuasan pelanggan
diperoleh bahwa ada 19 orang (73,1%) yang
merasa puas pada mereka yang merasa
indikator keselamatan rumah sakit buruk.
Sedangkan pada responden yang merasa
indikator keselamatan rumah sakit baik ada 91
orang (83,5%) yang merasa puas. Hasil uji nilai
OR=1,86, artinya responden yang merasa
indikator keselamatan rumah sakit baik
memiliki peluang 1,86 kali untuk merasa puas
dibanding responden yang merasa indikator
keselamatan rumah sakit buruk. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=0,261 artinya p value
> alpha (0,05), maka dapat disimpulkan Ho
diterima, dan Ha ditolak atau tidak ada
hubungan yang signifikan antara indikator
keselamatan dengan kepuasan pasien
(ditampilkan dalam tabel 19).
8. Hubungan Pengalaman Perawatan Medis
dengan Kepuasan Pasien di RSIA AMC
Metro
Hasil analisis hubungan antara pengalaman
perawatan medis dengan kepuasan pelanggan
diperoleh bahwa ada 10 orang (52,6%) yang
merasa puas pada mereka yang merasa
pengalaman perawatan medis rumah sakit
buruk. Sedangkan pada responden yang
merasa pengalaman perawatan medis rumah
sakit baik ada 100 orang (86,2%) yang merasa
puas (ditampilkan dalam tabel 20).
9. Hubungan Tanggung Jawab Sosial dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Dari tabel 21 hasil analisis hubungan antara
tanggung jawab sosial dengan kepuasan
pelanggan diperoleh bahwa ada 3 orang (25%)
yang merasa puas pada mereka yang merasa
tanggung jawab sosial rumah sakit buruk.
Sedangkan pada responden yang merasa
tanggung jawab sosial rumah sakit baik ada
107 orang (87%) yang merasa puas. Dari hasil
analisis diperoleh nilai OR=20,06, artinya
responden yang merasa tanggung jawab sosial
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 221
rumah sakit baik memiliki peluang 20,06 kali
untuk merasa puas dibanding responden yang
merasa tanggung jawab sosial rumah sakit
buruk. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,0001 artinya p valeu ≤ alpha (o,05) maka
dapat disimpulkan Ho ditolak, dan Ha diterima
atau ada hubungan antara tanggung jawab
sosial dengan kepuasan pasien di RSIA AMC
Metro.
3. Analisis Multivariat
Variabel yang dominan dan paling berpengaruh
terhadap kepuasan pasien dapat dilihat pada ada
tabel 21 dengan menilai interpretasi dari nilai OR.
Sehingga dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Responden yang merasa tanggung jawab
sosial rumah sakit baik memiliki peluang 57,34
kali untuk merasa puas dibanding responden
yang merasa tanggung jawab sosial rumah
sakit buruk.
2. Responden yang merasa kualitas personil
rumah sakit baik memiliki peluang 14,98 kali
untuk merasa puas dibanding responden yang
merasa kualitas personil rumah sakit buruk.
3. Responden yang merasa pengalaman
perawatan medis rumah sakit baik memiliki
peluang 2,90 kali untuk merasa puas dibanding
responden yang merasa pengalaman perawatan
medis rumah sakit buruk.
Karakteristik Responden
Umur penting dalam suatu penelitian kepuasan. Seiring
bertambahnya usia maka pengalaman juga bertambah.
Usia lebih dari 25 tahun merupakan suatu periode
kehidupan seseorang yang telah berkembang matang.
Pasien yang muda biasanya memberikan kerjasama
yang baik, karena mereka memang dalam suatu masa
yang sedang berkembang dan menyesuaikan terhadap
berbagai macam hubungan dan perkembangan tanggung
jawab. Dari hasil penelitian ini responden dalam
kelompok usia lebih dari 25 tahun lebih banyak dari pada
responden dalam kelompok usia kurang dari sama
dengan 25 tahun. Melihat usia yang dimiliki responden
tersebut menunjukkan bahwa responden telah mampu
untuk menilai mana pelayanan yang memuaskan dan
mana pelayanan yang tidak memuaskan di RSIA
AMC.
Pendidikan dan pengetahuan yang tinggi menuntut
pelayanan yang lebih baik. Pendidikan pasien dapat
mempengaruhi kepuasan akan pelayanan sesuai dengan
nilai-nilai dan harapan pasien (Handayani, 2003).
Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin pasien
kurang menunjukkan penyesuaian diri dengan
informasi yang diperoleh dan kebiasaan rutin di rumah
sakit. Sebaliknya, semakin rendah pendidikan maka
pasien akan semakin patuh (Kosim, 2015). Responden
dalam penelitian ini lebih banyak yang berpendidikan
SMA kebawah daripada berpendidikan setelah SMA.
Jumlah yang berpendidikan SMA kebawah ada 74
orang, sedangkan jumlah responden yang berpendidikan
setelah SMA ada 61 orang.
Dari hasil penelitian, dilihat dari pekerjaan responden,
lebih banyak yang tidak berkerja atau ibu rumah tangga.
Jumlah responden yang tidak bekerja ada 91 orang, dan
responden yang bekerja ada 44 orang. Hal ini tentu
mempengaruhi pola pikir responden dalam memberikan
penilaian berdasarkan perbandingan antara persepsi
dengan informasi yang diperoleh (Kosim, 2015).
Dari hasil penelitian, dilihat dari pembiayaan kesehatan,
ada 63 responden yang melakukan pembayaran dengan
BPJS/Askes, dan ada 72 responden dengan biaya
sendiri. Penghasilan dapat mempengaruhi kepuasan
pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Bagi
pasien yang berpenghasilan tinggi dan merasa mampu
membayar maka tidak akan mudah merasa puas bila
pelayanan sesuai dengan harapannya, terkadang mereka
lebih banyak menuntut. Sedangkan pasien dengan
pembiayaan kesehatan murah cenderung tidak banyak
keluhan (Handayani, 2003).
Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Rumah
Sakit Secara Keseluruhan di RSIA AMC Metro
Dari hasil penelitian, sebagian besar responden di
poliklinik kebidanan dan kandungan RSIA AMC
merasa puas terhadap pelayanan rumah sakit secara
keseluruhan. Ada 81,5% responden yang merasa puas,
dan 18,5% responden yang merasa tidak puas. Sebagian
besar pasien merasa puas terhadap pelayanan rumah
sakit secara keseluruhan, hal ini bisa saja dipengaruhi
oleh kondisi psikologis pasien atau ibu yang sedang
hamil saat memeriksakan kandungannya di poliklinik
RSIA AMC. Kehamilan merupakan dambaan sebagian
besar pasangan yang menikah “Happy babies begin
with happy pregnancy”, menyangkut hal itu terdapat
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 222
penelitian yang membuktikan bahwa kondisi psikologi
dan emosi seorang ibu hamil sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan janin dalam kandungannya.
Kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit secara
keseluruhan pada penelitian ini adalah menilai indikator-
indikator sebagai berikut :
1. Kepuasan terhadap perawatan medis dan juga
pengobatan yang diberikan oleh dokter menempati
urutan tertinggi dalam rata-rata penilaian kepuasan
pasien, yaitu 3,14. Menurut Umar (1999), kepuasan
pelanggan adalah tingkat perasaan pelanggan setelah
membandingkan dengan harapannya. Seorang yang
merasa puas terhadap nilai yang diberikan oleh
produk atau jasa kemungkinan besar akan menjadi
pelanggan dalam waktu lama. Dari hasil penelitian, di
RSIA AMC ada tiga dokter spesialis obgyn yang
praktek, dan masing-masing dokter telah mendapat
hati dari tiap-tiap pasien. Responden sudah merasa
nyaman berobat dengan dokter spesialis obgyn
tersebut, karena menurut pandangan pasien dokter
tersebut berkompeten, melayani pasien dengan baik,
mampu berkomunikasi yang efektif dan mudah
dipahami oleh pasien.
2. Indikator yang kedua pasien menilai kepuasan
dalam hal kenyamanan yang dihubungkan dengan
lingkungan rumah sakit. Penilaian rata-rata pasien
adalah 3,06. Menurut Jacobalis (2009) kenyamanan
dan kemudahan fasilitas dan lingkungan dapat
mempengaruhi kepuasan pasien. Dari hasil
penelitian RSIA AMC Metro menurut pasien
sudah cukup bersih dan rapih, lokasi RS yang tidak
dipinggir jalan utama membuat suasana yang
nyaman dan tidak bising. Akses yang mudah
dicapai juga merupakan salah satu nilai jual bagi
RSIA AMC.
3. Yang ketiga yaitu kepuasan yang melibatkan proses
di rumah sakit (misalnya pendaftaran, perawatan,
waktu tunggu, pengobatan, pemulangan). Rata-rata
responden menilai proses administrasi yaitu 2,99.
Pelayanan administrasi merupakan salah satu
indikator penting dalam mempengaruhi kepuasan
pasien. Dari hasil penelitian, pelayanan yang
melibatkan administrasi pasien ditangani dengan
segera, dan tidak berbelit-belit. Pasien pun mudah
dalam membutuhkan informasi melalui telefon.
Menurut Kotler dan Keller 2009 dalam Kosim
2015, apabila responden menilai pelayanan
administrasi yang diberikan baik, maka kualitas
pelayanan akan dipersepsikan baik dan memuaskan.
4. Indikator yang paling rendah menurut penilaian
responden adalah kepuasan terhadap perawatan
medis yang diberikan oleh perawat. Rata- rata
penilaian responden adalah 2,98. Dari hasil
penelitian, responden mengungkapkan bahwa ada
perawat yang kurang ramah, kurang telaten, dan
kurang dalam memberikan perhatian kepada
pasien. Adapun kepuasan pasien dapat dipengaruhi
oleh kepuasan yang berorientasi pada penerapan
kode etik dan standar pelayanan, salah satunya
meliputi hubungan antara perawat dan pasien
(Azwar, 1994). Kepuasan dan ketidakpuasan
layanan rumah sakit juga erat kaitannya dengan
perawat dan petugas lain di rumah sakit (Jacobalis,
2009).
Hubungan Waktu Tunggu Poliklinik dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara waktu tunggu poliklinik
dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada 64
orang (91%) yang merasa puas pada mereka yang
menunggu lebih dari 60 menit. Sedangkan pada
responden yang menunggu kurang dari sama dengan 60
menit ada 46 orang (82,1%) yang merasa puas. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=1 maka dapat disimpulkan
tidak ada hubungan yang signifikan antara waktu
tungggu poliklinik dengan kepuasan pelanggan. Dalam
penelitian ini meskipun waktu tunggu lama, namun
didapatkan pasien yang tetap merasa puas, hal ini
disebabkan karena pasien sudah ada pengalaman
sebelumnya, pasien sudah pernah berobat atau dirawat
sehingga sudah dapat merasakan pelayanan yang
diberikan oleh rumah sakit baik itu dari perawat maupun
dokter dan sudah merasa cocok dengan dokter spesialis
yang memeriksa. Kepuasan pada aspek komunikasi
pada konsultasi sangat mempengaruhi aspek lain dari
interaksi antara tenaga kesehatan dengan pasien. Namun
demikian pihak manajemen rumah sakit juga perlu
melakukan perbaikan waktu tunggu yang lama ini
dengan membuat kebijakan dan teguran lisan kepada
dokter spesialis supaya memperbaiki jadwal praktek
dengan lebih disiplin dan tepat waktu, supaya pasien
tidak lama menunggu dan juga untuk meningkatkan
mutu pelayanan rumah sakit. Dalam hal waktu tunggu,
dari penelitian petugas atau perawat kurang berinteraksi
dengan pasien yang sedang dalam masa tunggu, dengan
kondisi seperti itu maka akan menyebabkan lama
pelayanan kesehatan dianggap kurang bermutu
(Syafruddin, 2011).
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 223
Hubungan Waktu Pemeriksaan Dokter Dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara waktu pemeriksaan
dokter dengan kepuasan pasien diperoleh bahwa ada
105 orang (80,8%) yang merasa puas pada mereka yang
diperiksa kurang dari 15 menit. Sedangkan pada
responden yang diperiksa lebih dari sama dengan 15
menit ada 5 orang (100%) yang merasa puas. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=0,584 artinya p value > alpha
(0,05) maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara waktu pemeriksaan dokter
dengan kepuasan pasien di RSIA AMC Metro. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pasien yang merasa
puas pada waktu pemeriksaan dokter buruk (<15 menit)
menganggap dokter spesialis yang memeriksa mereka
telah memberikan pelayanan dan penjelasan dengan
ramah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Kurniawan (2012) yang meneliti
tentang lama waktu pemeriksaan di poliklinik spesialis,
bahwa tidak ada hubungan antara lama waktu
pemeriksaan dokter dengan kepuasan pasien. Hasil yang
tidak signifikan antara waktu pelayanan dengan kepuasan
pasien dapat dijelaskan sebagai berikut, dimana kepuasan
adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang
muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya
terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-
harapannya (Kotler, 1997), jadi dapat dikatakan pasien
yang merasakan waktu pemeriksaan dokter kurang
lama namun tetap merasa puas karena perasaan puas
seseorang itu berbeda-beda dan dipengaruhi oleh persepsi
dan kesan mereka setelah medapatkan pelayanan. Dalam
hal ini pasien sudah merasa nyaman dan cocok dengan
dokter yang memeriksa, dan hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian ini tentang dimensi kepuasan pasien yang paling
tinggi di RSIA AMC adalah pada dimensi perawatan medis
dan pengobatan oleh dokter. Kemudian dapat juga
dihubungkan dengan karakteristik pasien, dimana
karakteristik individu merupakan determinan dan indikator
kualitas pelayanan kesehatan dan mempengaruhi
kepuasan pasien. Dari penelitian ini pendidikan responden
lebih banyak yang berpendidikan ≤ SMA, pendidikan juga
akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap
pelayanan kesehatan, semakin rendah pendidikan maka
pasien akan semakin patuh (Kosim, 2015)
Hubungan antara Infrastruktur dengan Kepuasan
Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara infrastruktur dengan
kepuasan pasien diperoleh bahwa ada 25 orang (73,5%)
yang merasa puas pada mereka yang merasa infrastruktur
rumah sakit buruk. Sedangkan pada responden yang
merasa infrastruktur rumah sakit baik ada 85 orang
(84,2%) yang merasa puas. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,261 artinya p value > alpha (0,05) maka dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
infrastruktur dengan kepuasan pasien.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang
mengaku tidak puas pada infrastruktur buruk, mereka
beranggapan bahwa infrastruktur mengenai tempat
pendaftaran terletak jauh dari poliklinik dan sarana
lainnya, serta menyebrangi jalan yang dilalui oleh
kendaraan umum.
Hubungan Kualitas Personil dengan Kepuasan
Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara kualitas personil dengan
kepuasan pasien diperoleh bahwa ada 32 orang (64%)
yang merasa puas pada mereka yang merasa kualitas
personil rumah sakit buruk. Sedangkan pada responden
yang merasa kualitas personil rumah sakit baik ada 78
orang (91,8%) yang merasa puas. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,0001 maka dapat disimpulkan ada
hubungan yang signifikan antara kualitas personil
dengan kepuasan pasien. Dari hasil penelitian,
berdasarkan 14 pertanyaan yang diberikan, responden
yang menilai kualitas personil kurang baik paling banyak
pada dimensi pertanyaan waktu konsultasi dan periksa
oleh dokter cukup lama. Hal ini juga sesuai dengan hasil
penelitian ini yang menunjukkan bahwa waktu
pemeriksaan dokter memberi hasil paling banyak pada
waktu pemeriksaan < 15 menit. Pasien yang mengaku
puas pada kualitas personil buruk menganggap waktu
konsultasi dan pemeriksaan dokter yang kurang lama,
namun pasien tetap datang ke RSIA AMC karena
menganggap dokter yang memeriksa mereka adalah
dokter yang kompeten dan terampil, serta menjelaskan
diagnosa dengan jelas.
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik
Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 224
Hubungan Proses Pelayanan Klinis dengan Kepuasan
Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara proses pelayanan klinis
dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa 66,7%
responden yang merasa puas pada mereka yang merasa
proses pelayanan klinis rumah sakit buruk. Dan 82,2%
responden merasa puas pada proses pelayanan klinis
rumah sakit baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,308 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara proses pelayanan klinis dengan
kepuasan pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pasien yang mengaku puas pada pelayanan klinis
buruk menganggap bahwa informasi penyakit tidak
diberikan secara detail namun mereka tetap merasa puas
karena sudah nyaman dengan dokter yang memeriksa.
Sehingga mereka tetap kembali berobat ke RSIA AMC
dengan memilih dokter yang sesuai dengan kenyamanan
pasien. Meskipun demikian tentunya hal yang membuat
ketidakpuasan pasien dalam hal proses pelayanan klinis
harus tetap di evaluasi oleh rumah sakit, dokter perlu
memberikan waktu untuk memberikan penjelasan
penyakit atau kondisi pasien dengan detail supaya pasien
jelas akan kondisinya, peran perawat pun sangat penting
dalam membantu dokter yaitu dengan selalu
mendampingi dokter pada saat pemeriksaan pasien serta
bersikap sabar dan perhatian terhadap pasien, sehingga
pasien merasa diperhatikan dan dilayani dengan baik.
Hubungan Pelayanan Administrasi dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara pelayanan administrasi
dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada
64,7% yang merasa puas pada mereka yang merasa
pelayanan administrasi rumah sakit buruk. Dan 87,1%
responden yang merasa pelayanan administrasi rumah
sakit baik yang merasa puas. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,008 maka dapat disimpulkan ada hubungan
antara pelayanan administrasi dengan kepuasan
pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien
yang mengaku puas pada pelayanan administrasi yang
buruk menjawab tentang tidak mudah untuk melakukan
perjanjian dengan dokter spesialis, namun mereka tetap
merasa puas karena mendapatkan pelayanan proses
administrasi yang cepat.
Proses administrasi adalah persiapan baik untuk masuk,
selama dalam perawatan, maupun pemulangan pasien.
tanggapan responden terhadap pelayanan administrasi
pada penelitian ini yaitu prosedur pendaftaran dan
pemulangan relatif cepat. Proses pelayanan administrasi
tidak berbelit-belit.
Bagian penerimaan pasien di rumah sakit mempunyai
pengaruh dan nilai penting walaupun belum ada
tindakan-tindakan pelayanan medis khusus kepada
pasien. Kesan pertama akan memberikan arti tersendiri
bagi pasien untuk melalui proses selanjutnya. Dalam hal
kemudahan membuat perjanjian dengan dokter, pihak
manajemen mungkin perlu menyediakan kemudahan
layanan berupa sistem pendaftaran dengan appointment.
Sehingga pasien dapat memilih waktu dan dokter yang
sesuai dengan keinginan mereka. Tentunya dokter
spesialis pun harus mendukung dan berkomitmen pada
jadwal yang telah ditentukan.
Hubungan Indikator Keselamatan dengan Kepuasan
Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara indikator keselamatan
dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada
73,1% yang merasa puas pada mereka yang merasa
indikator keselamatan rumah sakit buruk. Sedangkan
pada responden yang merasa indikator keselamatan
rumah sakit baik ada 83,5% yang merasa puas. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=0,261 artinya p value > alpha
(0,05), maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara indikator keselamatan dengan
kepuasan pasien di RSIA AMC. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara indikator keselamatan dengan kepuasan pasien,
namun rumah sakit tetap harus selalu mengutamakan
keselamatan pasien dalam segala hal. Rumah sakit perlu
memperhatikan keamanan pasien dengan menyediakan
pegangan tangan di lorong/koridor rumah sakit dan di kamar
mandi, menyediakan tempat cuci tangan pada ruang tunggu
poliklinik, di setiap pintu ruang rawat inap, sebagai
pencegahan dan hygiene serta langkah awal mengajarkan
perilaku hidup sehat kepada pasien dan keluarga pasien serta
tenaga medis di RSIA AMC khususnya.
Hubungan Pengalaman Perawatan Medis dengan
Kepuasan Pasien di RSIA AMC Metro
Hasil analisis hubungan antara pengalaman perawatan
medis dengan kepuasan pelanggan diperoleh bahwa ada
52,6% yang merasa puas pada mereka yang merasa
pengalaman perawatan medis rumah sakit buruk.
Sedangkan pada responden yang merasa pengalaman
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 225
perawatan medis rumah sakit baik ada 86,2% yang
merasa puas. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,002
artinya p value ≤ alpha (0,05) maka dapat disimpulkan
ada hubungan yang signifikan antara pengalaman
perawatan medis dengan kepuasan pasien di RSIA
AMC Metro.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden
akan merekomendasikan rumah sakit ini kepada
anggota keluarga lain atau teman. Menurut Kotler
(1997) konsumen yang terpuaskan akan menjadi
pelanggan mereka dan akan melakukan pembelian
ulang, mengatakan hal-hal yang baik tentang perusahaan
kepada orang lain, kurang memperhatikan merek
ataupun iklan produk pesaing, membeli produk yang
lain dari perusahaan yang sama. Kepuasan pasien yang
berhubungan dengan kenyamanan, keramahan dan
kecepatan pelayanan dapat berpengaruh langsung
maupun tidak langsung terhadap kualitas pelayanan
(Jacobalis,2009).
KESIMPULAN AN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Karakteristik responden di instalasi rawat jalan
poliklinik kebidanan dan kandungan adalah,
sebagian besar berusia > 25 tahun, yaitu sebanyak
77,8%. Pendidikan responden lebih banyak ≤
SMA, yaitu 54,8%. Pekerjaan responden sebagian
besar ibu rumah tangga atau tidak bekerja, yaitu
67,4%. Pembiayaan kesehatan yang lebih banyak
digunakan oleh responden adalah biaya sendiri,
yaitu 53,3 %. Karakteristik individu merupakan
determinan dan indikator kualitas pelayanan
kesehatan dan mempengaruhi kepuasan pasien.
2. Waktu tunggu poliklinik tidak mempengaruhi
kepusan pasien. Diketahui ada 91% responden
yang menunggu lebih dari 60 menit yang merasa
puas.
Kepuasan seseorang muncul setelah membandingkan
antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja yang
telah di dapat. Kepuasan pasien juga dapat
dipengaruhi oleh pendidikan seseorang, dimana
semakin rendah pendidikan maka pasien akan
semakin patuh.
3. Waktu pemeriksaan dokter tidak mempengaruhi
kepuasan pasien. Diketahui ada 80,8% responden
yang diperiksa kurang dari 15 menit yang merasa
puas. Komunikasi dan diskusi secara terbuka
memungkinkan pasien memperoleh penjelasan
yang jelas dan lengkap dapat berpengaruh terhadap
mutu pelayanan yang berhubungan dengan
kepuasan. Pasien juga akan merasa puas jika
memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai
dengan yang diharapkan.
4. Kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit di
RSIA AMC Metro secara keseluruhan yang paling
mempengaruhi adalah dimensi kepuasan terhadap
perawatan dokter.
5. Kualitas personil, pelayanan administrasi, pengalaman
perawatan medis dan tanggung jawab sosial di
RSIA AMC Metro termasuk dalam kategori baik
dan paling berpengaruh terhadap kepuasan pasien.
6. Kualitas personil, pelayanan administrasi,
pengalaman perawatan medis, dan tanggung jawab
sosial memiliki hubungan yang signifikan dengan
kepuasan pasien di RSIA AMC Metro.
7. Faktor tanggung jawab sosial merupakan variabel
yang paling dominan dan berpengaruh terhadap
kepuasan pasien di RSIA AMC Metro.
Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan di RSIA AMC,
maka dapat diberikan saran sebagai berikut:
1. Manajemen rumah sakit sebaiknya segera melakukan
perbaikan waktu tunggu, yaitu dengan teguran
kepada dokter supaya memperbaiki jadwal praktek
dengan datang tepat waktu sesuai dengan jam yang
telah ditentukan dan disepakati. Dapat juga
melakukan diskusi terlebih dahulu dengan dokter
tentang hal-hal apa yang membuat dokter tersebut
tidak datang tepat waktu sehingga membuat waktu
tunggu poliklinik menjadi lama, dan juga apa yang
menyebabkan waktu pemeriksaan dokter kurang
lama.
2. Perbaikan dan penjadwalan ulang jam praktek
dokter. Peneliti memberi masukan supaya di
evaluasi kembali jadwal dokter, dengan membagi
jadwal bagi dokter jaga di poliklinik dan dokter jaga
di ruangan. Apabila penjadwalan tidak dibagi,
dikhawatirkan jika ada pasien yang membutuhkan
tindakan di ruang perawatan atau ruang operasi,
maka dokter yang sedang praktek di poliklinik akan
lebih mengutamakan pasien di ruangan tindakan,
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik
Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 226
sehingga pasien di poliklinik semakin menunggu
lama untuk diperiksa, padahal mereka juga
memiliki hak sama dalam pemberian pelayanan.
Kemudian untuk jadwal dokter yang praktek paruh
waktu, lebih baik dibuat penjadwalan ulang sesuai
dengan rata-rata waktu yang selama ini bisa
dijalankan oleh dokter tersebut.
3. Dalam ruang tunggu poliklinik pihak manajemen
juga dapat membuat inovasi supaya pasien tidak
bosan menunggu, mengingat pasien juga biasanya
datang lebih awal dari jadwal praktek dokter, yaitu
dengan menyediakan layanan wifi gratis, memberikan
penyuluhan atau konseling tentang kesehatan
misalnya kesehatan ibu dan anak, tentang kehamilan,
tentang ASI dan menyusui, tentang gizi dan lain-
lain, kemudian menyediakan bacaan-bacaan seperti
majalah kesehatan atau jurnal-jurnal kesehatan.
4. Evaluasi kembali lokasi dari tempat pendaftaran.
Peneliti menyarankan kepada manajemen rumah
sakit untuk memindahkan ruang pendaftaran ke
ruang konsultasi gizi yang lokasinya lebih dekat
dengan poliklinik dan mudah dijangkau, serta tidak
jauh dari tempat parkir, dan mudah dicari. Ruang
konsultasi gizi sendiri selama ini penggunaannya
sangat jarang. Kalaupun akan ada konsultasi gizi,
bisa di lakukan di poliklinik anak.
5. Untuk meningkatkan kompetensi dan pelayanan
bagi perawat, rumah sakit sebaiknya memberikan
pelatihan-pelatihan asuhan keperawatan baik diluar
rumah sakit maupun di dalam rumah sakit.
Memberikan edukasi kepada tenaga medis dan non
medis supaya selalu berpenampilan rapi, ramah,
sopan dan perhatian kepada pasien tanpa
membeda-bedakan pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA
Adib A. Yahya. (2006). Konsep dan Program Patient Safety dalam Konvensi Nasional Mutu Rumah Sakit ke IV.
Azwar, Azrul. (1994). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan (Aplikasi Prinsip Lingkaran
Pemecahan Masalah). Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Arlym., L. (2010). Analisis Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Instalasi Rawat Jalan Rumah
Sakit Ketergantungan Obat Jakarta Tahun 2010. Depok. Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia. Brewster, C., Farndale, E., Ommeren, J.V. (2000). HR competencies and professional standards,
HR Competencies and Professional Standards Project, Cranfield School of Management, Cranfield University, UK
Chen BL, Li ED, Yamawuchi K, Kato K, Naganawa S, Miao WJ. (2010). Impact of
Adjustment Measures on Reducing Outpatient Waiting Time in a Community Hospital. Application of a Computer Simulation. Chin. Med. Pubmed.
Chilgren, A.A. (2008). Manager and The New Definition of Quality. Journal of Healthcare
Management, 53 (4):221
Dahlan, M. Sopiyudin. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika.
Dansky, K.H., (1997). Patient Satisfaction with Ambulatory Healthcare Services: Waiting Time
and Filling Time. Hospital and Health Services Administration. ProQuest. David (2014). Hubungan Keterlambatan Kedatangan Dokter Terhadap Kepuasan Pasien di
Instalasi Rawat Jalan. Magister Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya, Malang. Donovan, M, & Theodore A. Matson. (1994). Outpatient Case Management : Strategies for A
New Reality by American Hospital Publishing, inc. an American Hospital Asssociation
Company. Harper PR, Gamlin HM. (2003). Reduced Oupatient Waiting Times with Improved
Appointment Scheduling : a Simulation Modelling Approach or Spectrum, 25 : 207-
222 Handayani, Sri, E., (2003). Analisis Pengaruh Karakteristik Pasien Terhadap Kepuasan Pasien
Dalam Hal Mutu Pelayanan Kesehatan di Unit Rawat Inap Puskesmas Maos
Kabupaten Cilacap. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro Semarang.
Irmayanti, Meliono, dkk., (2007). MPKT Modul 1. Lembaga Penerbitan FEUI, Jakarta.
J.B. Suharjo B. Cahyono (2008). Membangun Budaya Keselamatan Pasien Dalam Praktik Kedokteran, Yogyakarta; Kanisius; 2008. L
Kaltz, G. et al. (1982). Ambulatory Care and Regionalization in Multi-institutional health Sysytem.
An Aspen Publication. Karassavidou, E., Glaveli, (2009). Quality in Nhs Hospitals: No one Knows Better Than Patients.
Measuring Business Excellence J, 13 (1): 34-46
Khairani, L., (2010). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien Rawat Jalan RSUD Pasaman Barat. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit. Jakarta. Kurniawan, Fransiscus, N.H., (2012). Kecepatan Waktu Pelayanan Rumah Sakit Berpengaruh
Terhadap Kepuasan Pasien. Stikes RS Baptis Kediri.
Kosim, Dania., (2015). Analisis Faktor Total Quality Service Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien di Ruang Perawatan Ibu RSIA Buah Hati Ciputat tahun 2014.
Kotler,P. (1997). Manajemen Pemasaran. Jakarta. PT. Prenhallindo
Mardiah, F, Poni., (2013). The Analysis of Appointment System to reduce Outpatient Waiting Time at Indonesia’s Public Hospital. Human Resources Management, ITB, Bandung.
McGahon, H. (2013). Service Improvement: Reducing Physiotherapy Outpatient Waiting
Times. Cumbria partnership Journal of Research Pravtice and Learning. Munawaroh, Siti (2011). Analisis Hubunan Karakteristik dan Kepuasan Pasien dengan
Loyalitas Pasien di RSUA Dr.Sutomo Ponorogo. Fakultas Ilmu Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Mursyida, F. Rikhly. (2011). Kepuasan Ibu Hamil dan Persepsi Kualitas Pelayanan Antenatal
Care di Puskesmas Tanjung Kabupaten Sampang Madura. FKM UNDIP.
Najmuddin AF., Ibrahim IM, Imail SR (2010). Simulation Modeling and Analysis of Multiphase Patient Flow in Obstetrics and Gynecology Department in Specialist Centre. ASM’10
Proceedings of the 4th International Conference on Applied Mathematics, Simulation,
Modeling, 125 – 130. Pubmed. Nosek, R, Antony, J.P.W., (2001). Queuing Theory and Customer Satisfaction : A Review of
Therminology, Trends, and Applications to Pharmacy Practice. Hospital Pharmacy,
36.4 Ratnamiasih, Ina. (2012). Kompetensi SDM dan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit. Fakultas
Ekonomi Universitas Pasundan. Bandung. Vol.11, No 1. Hal.49-57.
Rustiyanto, E., (2010). Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit yang Teritegrasi. ( l ed ) : Gosyen Publishing
Shi, L., and Lindstrom, S.(2007). Managing Human Resources in Health Care Organizations – Human Resources in the Health Care Sector. USA: Jones and Bartlett Publishers, Inc.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sulistyaningsih, (2012). Metodologi Penelitian Kebidanan Kuantitatif-Kualitatif. Edisi pertama, cetakan kedua. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Syafruddin (2011). Gambaran Lama Pelayanan Pada Unit Rawat Jalan Berdasarkan Ketepatan
Waktu, Keterampilan Petugas, Serta Kelengkapan Sarana di Unit Rawat Jalan RS Tidore Selatan
Tjiptono (1999). Prinsip-Prinsip Total Quality Service. Yogyakarta.
Toh, L. Shuet (2011). Patient Waiting Time As a Key Performance Indicator at Orthodontic Specialist Clinics In Selangor. Malaysian Journal of Public Health Medicine.
Umar I., Oceh M.O., and Umar A.S., (2011). Patient Waiting Time in a Tertiary Health
Institution in Northern Nigeria. Journal of Public Health and Epidemiology Utama, S. (2005). Memahami fenomena kepuasan pasien rumah sakit. Jurnal Manajemen
Kesehatan. 09 (1), 1-7
Wijewickrama AK., Takakuwa S., (2006). Simulation Analysis of an Outpatient Department of Internal Medicine in a University Hospital. Proceedings of the 2006 Winter Simulation
Conference, 425 – 432
Wijono, H, Djoko (1999) manajemen mutu pelayanan kesehatan. Airlangga University Press. Vol.1
Yu Q, Yang K (2008). Hospital Registration Waiting Time Reduction Through Process
Redesign. International Journal of Six Sigma ad Cempetitive advantage.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 227
Zhu Zc, Heng BH, Teow KL (2010). Analysis of Factors Causing Long patient Waiting Time and Clinic Overtime in Outpatient Clinics. J Med Syst, in Press.
Zhu et al., (2010). Analysis of Factors Causing Long Patient Waiting Time and Clinic Overtime in Outpatient Clinics. Publised Online. Springer Science Business Media.
Tabel 1. Karakteristik Responden
Tabel 2. Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Rumah Sakit Secara
Keseluruhan
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Kepuasan Pasien
Kepuasan Pasien Jumlah Persentase (%)
Tidak Puas 25 18.5
Puas 110 81.5
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tunggu Pelayanan
No. Variabel Waktu Tunggu Pelayanan Jumlah Persentase%
1
Waktu Tunggu Poliklinik
1. Buruk (>60 menit) 2. Baik (≤60 menit)
79 56
58,5 41,5
2
Waktu Pemeriksaan Dokter
1. Buruk (<15 menit) 2. Baik (≥15 menit)
130 5
96,3 3,7
Tabel 5. Mean Waktu Tunggu Pelayanan RSIA AMC
No. Waktu Tunggu Pelayanan Mean (menit)
1 Waktu Tunggu Poliklinik 88,39
2 Waktu Pemeriksaan Dokter 6,69
Karakteristik Jumlah Persentase %
USIA :
≤ 25 tahun
>25 tahun
30
105
22,2
77.8
TINGKAT PENIDIKAN :
≤ SMA
>SMA
74
61
54,8
45,2
PEKERJAAN : Tidak Bekerja/IRT
Bekerja
91
44
67,4
32,6
PEMBIAYAAN KESEHATAN :
BPJS/ASKES
Biaya Sendiri
63
72
46,7
53,3
No. Dimensi Kepuasan Rata-rata
1 Yang melibatkan proses di RS (Administrasi) 2,99
2 Perawatan medis dan pengobatan oleh dokter 3.14
3 Perawatan medis oleh perawat 2,98
4 Kenyamanan lingkungan rumah sakit 3,06
Jurnal ARSI/Juni 2016 1
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik
Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 228
Tabel 6. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Infrastuktur
Infrastuktur Jumlah Persentase (%)
Buruk 34 25.2
Baik 101 74.8
Tabel 7. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Kualitas Personil
Tabel 8. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Proses Pelayanan Klinis
Tabel 9. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Pelayanan Administrasi
Tabel 10. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Indikator Keselamatan
Indikator Keselamatan Jumlah Persentase (%)
Buruk 26 19.3
Baik 109 80.7
Tabel 11. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Keseluruhan Pengalaman
Perawatan Medis
Pengalaman Perawatan Medis Jumlah Persentase (%)
Buruk 19 14.1
Baik 116 85.9
Tabel 12. Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Tanggung Jawab Sosial
Tanggung Jawab Sosial Jumlah Persentase (%)
Buruk 12 8.9
Baik 123 91.1
Kualitas Personil Jumlah Persentase (%)
Buruk 50 37
Baik 85 63
Proses Pelayanan Klinis Jumlah Persentase (%)
Buruk 6 4.4
Baik 129 95.6
Pelayanan Administrasi Jumlah Persentase (%)
Buruk 34 25.2
Baik 101 74.8
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 229
Tabel 13. Hubungan Waktu Tunggu Poliklinik dengan Kepuasan Pasien
Waktu Tunggu
Poliklinik
Kepuasan Pasien
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk
(>60 menit) 15 19 64 91 79 100
1 Baik
(≤60 menit) 10 17,9 46 82,1 56 100
1,08
(0,45-2,61)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Tabel 14. Hubungan Waktu Pemeriksaan Dokter dengan Kepuasan Pasien
Waktu Pemeriksaan
Dokter
Kepuasan Pelanggan
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk
(<15 menit) 25 19,2 105 80,8 130 100
0,584 Baik
(≥15 menit) 0 0 5 100 5 100
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Tabel 15. Hubungan Infrastruktur dengan Kepuasan Pasien
Infrastruktur
Kepuasan Pelanggan
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk 9 26,5 25 73,5 34 100
0,261 Baik
16 15,8 85 84,2 101 100 1,91
(0,75-4,85)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Tabel 16. Hubungan Kualitas Personil dengan Kepuasan Pasien
Tabel 17. Hubungan Pelayanan Klinis dengan Kepuasan Pasien
Proses Pelayanan
Klinis
Kepuasan Pasien
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk 2 33,3 4 66,7 6 100
0,308 Baik
23 17,8 106 82,2 129 100 2,30
(0,39-13,34)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Kualitas
Personil
Kepuasan Pelanggan
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk 18 36 32 64 50 100
<0,0001 Baik
7 8,2 78 91,8 85 100 6,27
(2,389-16,45)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Fitriyuli Mayasari., Analisis Hubungan Waktu Pelayanan dan Faktor Total Quality Service Terhadap Kepuasan Pasien di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSIA Anugerah Medical Centre Kota Metro Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 230
Tabel 18. Hubungan Pelayanan Administrasi dengan Kepuasan Pasien
Pelayanan
Administrasi
Kepuasan Pasien
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk 12 35,3 22 64,7 34 100
0,008 Baik
13 12,9 88 87,1 101 100 3,70
(1,48-9,20)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Tabel 19. Hubungan Indikator Keselamatan dengan Kepuasan Pasien
Tabel 20. Hubungan Pengalaman Perawatan Medis dengan Kepuasan Pasien
Pengalaman
Perawatan Medis
Kepuasan Pelanggan
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk 9 47,4 10 52,6 19 100
0,002 Baik
16 13,8 100 86,2 116 100 5,63
(1,98-15,97)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Tabel 21. Hasil Seleksi Variabel Independen dengan Uji Regresi Logistik
No. Variabel P-Value OR
1 Kualitas Personil 0,001 15,01
2 Pelayanan Administrasi 0,987 0,99
3 Pengalaman Perawatan Medis 0,102 2,91
4 Tanggung Jawab Sosial 0,000 57,56
Indikator
Keselamatan
Kepuasan Pelanggan
Total OR
(95% CI) P value Tidak Puas Puas
n % n % n %
Buruk 7 26,9 19 73,1 26 100
0,261 Baik
18 16,5 91 83,5 109 100 1,86
(0,68-5,08)
Total 25 18,5 110 81,5 135 100
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 231
Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD)
Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart
Centre RS Dr. Moh. Hoesin Palembang Tahun 2015
Analysis of Patient Safety of Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous
Coronary Intervention (PCI) in Dr. Moh. Hoesin Palembang Hospital, Year 2015
Harjito
Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang penyusunan patient safety phatway Coronary artery Disease (CAD ) pro
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS dr. Moh. Hoesin
Palembang.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan observasi melalui pendekatan Cross
Sectional dengan wawancara mendalam terhadap tenaga admisi, perawat dan dokter .Hasil penelitian menyarankan
khusunya Komite mutu dan keselamatan pasien Rumah sakit perlu lebih meningkatkan dan mengembangkan
program patient safety dengan membuat Patient safety Pathway khususnya penyakit yang terbanyak, memiliki
resiko yang tinggi dan memiliki biaya yang mahal.dan membentuk kelompok kerja untuk mengevaluasi
pelaksanaan penerapan patient Safety di Rumah Sakit.
Kata kunci: patient safety pathway.
ABSTRACT
This studydiscusses the preparation of patient safety phatway Coronary artery disease (CAD) pro Percutaneous
Coronary Intervention (PCI) in the Installation Brain And Heart Centre dr. Moh. Hoesin Palembang.Research a
descriptive analytic with cross sectional observation through depth interviews with admissions personnel, nurses
and doctors The results of research suggest especially the Committee on quality and patient safety Hospitals need
to further improve and develop a patient safety program to make safety Patient Pathway most particularly
diseases, have a high risk and has cost expensive.and established a working group to evaluate the implementation
of the application of patient safety in hospitals
Keywords: patient safety pathway.
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan merupakan hak bagi setiap orang
yang telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang harus
dapat diwujudkan dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, untuk
dapat mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya
pemerintah ikut bertanggungjawab atas ketersediaan
lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik
maupun sosial serta penyelenggaraan kesehatan seperti
yang tertuang dalam undang – undang kesehatan no.
36 tahun 2009.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan
secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta
merata dan juga nondiskriminatif, pelayanan kesehatan
pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan pasien
sesuai dengan yang diucapkan Hipocrates kira-kira
2400 tahun yang lalu yaitu primum, non nocere (first,
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 232
do no harm) dengan semakin berkembangnya ilmu
dan teknologi pelayanan kesehatan - khususnya di
rumah sakit - menjadi semakin kompleks dan berpotensi
terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/ adverse
event) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati
,pelayanan kesehatan yang aman bagi masyarakat
Sejak bulan November 1999 American Hospital
asosiation (AHA) telah mengidentifikasikan bahwa
penerapan keselamatan pasien merupakan suatu
prioritas yang strategik . Pada tahun 2000 Institute of
Medicine, Amerika Serikat melaporkan bahwa terdapat
sekitar 3-16% kejadian yang tidak diharapkan dalam
pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit .Pada tahun
2004 WHO menindaklanjuti dari penemuan ini
dengan mencanangkan World Alliance for Patient
Safety, program bersama dengan berbagai negara
untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah
sakit.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Mustikawati
(2011) menyebutkan laporan insiden keselamatan
pasien di berbagai provinsi 2007 ditemukan di DKI
Jakarta 37,9 %, Jawa Tengah 15,9 %, DIY 13,8 %,
Jawa Timur 11,7 %, Sumatera Selatan 6,9 %, Jawa
Barat 2,8 %, Bali 1,4 %, Aceh 10,7 %, Sulawesi
Selatan (0,7 %). Walaupun data ini telah ada secara
umum di Indonesia, catatan pelaporan insiden
keselamatan pasien di rumah sakit belum dikembangkan
secara menyeluruh oleh semua rumah sakit sehingga
catatan pelaporan insiden keselamatan pasien masih
sangat terbatas
Keselamatan pasien rumah sakit menurut Permenkes
no. 1691 tahun 2011 adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan
hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan
dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden
dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh berbagai
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Petugas kesehatan baik dokter maupun yang lain
merasa enggan atau menutup-nutupinya dalam
membicarakan kesalahan atau cedera medis karena
takut akan tuntutan hukum bila diketahui oleh orang
lain, sehingga akan menutup rapat bila terjadi suatu
kesalahan atau cedera medis yang terjadi.
Adanya kebiasaan menyalahkan terhadap individu
yang berbuat salah dan ketakutan akan tuntutan hukum
mengakibatkan para petugas kesehatan tidak pernah
belajar dari kesalahan yang telah terjadi.hal ini
mengakibatkan juga suatu kejadian tidak diharapkan
(KTD) tidak pernah dilaporkan dan dibahas bersama,
bila pun ada hanya mencari kesalahan bukan mencari
pemecahan mengapa dan bagaimana kesalahan
tersebut terjadi ( Cahyono,2012 )
Penerapan keselamatan pasien di Rumah Sakit
ditegaskan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri
Kesehatan no.1691 tahun 2011 tentang keselamatan
pasien Rumah Sakit dan sebelumnya telah di buat
Kepmenterikes Nomor 496/Menkes/SK/IV/2005
tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang
tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan
medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical
error dan memberikan keselamatan bagi pasien di
Rumah sakit.
Proses keselamatan pasien di Rumah Sakit telah
dimulai sejak pasien masuk rumah sakit sampai pasien
pulang , hal ini menunjukkan bahwa setiap langkah
dan tindakan, perawatan, pengobatan yang diberikan
mengacu pada sistem dan prosedur yang diawasi
secara ketat dan terpadu, oleh sebab itu sistem yang
terpadu dan profesional dalam penerapan keselamatan
pasien ini akan mengurangi terjadinya kejadian yang
tidak diinginkan. Hal ini diperlukan suatu alat
mekanisme evaluasi penilaian risiko untuk dapat
mendeteksi terjadinya kesalahan aktif (active errors)
dan laten (latent/system errors) dalam menjaga serta
meningkatkan keamanan dan keselamatan pasien
berupa suatu prosedur tindakan atau protokol tindakan
sesuai dengan sasaran keselamatan pasien Rumah
Sakit sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan no.
1691/menkes/Per/VIII/2011 yang mewajibkan bahwa
setap Rumah Sakit untuk mengupayakan pemenuhan
sasaran keselamatan pasien yang meliputi tercapainya
6 (enam) hal sebagai berikut :Identifikasi pasien
dengan tepat, tingkatkan komunikasi yang efektif,
tingkatkan keamanan obat yang perlu diwaspadai
(high-alert ), pastikan tepat lokasi, tepat prosedur, tepat
pasien operasi, mengurangi resiko infeksi terkait
pelayanan kesehatan dan pengurangan resiko pasien
jatuh.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 233
Penyakit jantung koroner merupakan jenis penyakit
jantung terbanyak di Instalasi Brain And heart Centre
dengan jumlah pada tahun 2014 sebesar 6.962 terdiri
dari 247 dengan ST-Elevasi Miocard Infark (STEMI ),
1890 dengan Non ST-Elevasi Miocard Infark
(NSTEMI ) dan 4825 dengan stabil angina. Data
penyakit terbanyak yang menimbulkan kematian di
Ruang rawat inap Instalasi Brain And Heart Centre
adalah acut NSTEMI dengan jumlah 23 pada tahun
2014 mengalami kenaikan sebesar 0,26% yang
sebelumnya berjumlah 17 pada tahun 2013 (Medical
record RSMH .2014 ).
Coronary Artery Disease (CAD) merupakan Sindroma
koroner akut yang ditandai dengan nyeri dada khas
infark tanpa disertai dengan peningkatan segmen ST
pada temuan Elektrokardiografi (EKG), hal inilah
yang memerlukan penegakkan diagnosa dan
penanganan yang tepat serta sesuai dengan standar
keselamatan pasien.
Rumah Sakit sebagai instansi pelayanan kesehatan
yang harus memberikan rasa aman terhadap pasien
terhadap suatu kejadian yang tidak diharapkan yang
kejadiannya sendiri terjadi di lingkungan rumah sakit,
oleh karena itu Rumah Sakit harus selalu meningkatkan
mutu pelayanan dan memastikan keamanan pasien .
untuk memastikan kemanan pasien tersebut maka
perlu dibuat suatu konsep pelayanan yang mencakup
seluruh kegiatan pecapaian 6 sasaran keselamatan
pasien di Rumah Sakit yang dijalani pasien sejak awal
masuk sampai keluar Rumah Sakit. Konsep pelayanan
tersebut dibuat dalam bentuk pathway yang dengan
rinci dan mendetail menggambarkan kegiatan penerapan
keselamatan pasien.
Belum adanya pathway untuk patient safety khususnya
untuk penyakit CAD tersebut terutama yang dilakukan
Percutaneous Coronary Intervention ( PCI ) maka
penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam
menegenai penyusunan pathway terhadap patient
safety penyakit CAD pro PCI di Instalasi Brain And
Heart Centre yang sebagai Instalasi unggulan RS dr.
Mohammad Hoesin dibidang pelayanan penyakit
jantung.
TINJAUAN PUSTAKA
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan no 1691 tahun
2011 pasal 8 menjelaskan bahwa setiap rumah sakit
wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan
pasien, mengacu kepada Nine Life-Saving Patient
Safety Solutions dari WHO mengenai patient Safety
(2007) yang digunakan oleh Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit PERSI ( KKPRS PERSI ) dan
dari Joint Commission International (JCI). Sasaran
keselamatan pasien merupakan syarat untuk diterapkan di
semua Rumah Sakit , diantaranya adalah:
Sasaran I: Identifikasi pasien dengan tepat
Sasaran II: Tingkatkan komunikasi yang efektif
Sasaran III: Tingkatkan keamanan obat yang perlu
diwaspadai (high-alert)
Sasaran lV: Pastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur,
tepat-pasien operasi
Sasaran V: Kurangi risiko infeksi terkait pelayanan
kesehatan
Sasaran VI: Kurangi risiko pasien jatuh
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik
dengan melakukan observasi. Adapun pendekatan
yang digunakan adalah kualitatif observasi disertai
wawancara mendalam untuk mendapatkan kejelasan
suatu aktifitas pelayanan yang dilakukan dalam
penerapan keselamatan pasien Coronary artery
Disease (CAD) pro Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) berdasarkan Standar keselamatan
pasien, dan divalidasi dengan hasil dokumentasi di
dalam rekam medis. Pada penelitian ini diawali dengan
melakukan pengamatan terhadap petugas medis, non
medis dan administrasi dalam menerima pasien mulai
dari pasien masuk melalui rawat jalan, pasien dirawat
hingga pasien pulang sembuh .penelitian ini melibatkan
juga tenaga kesehatan (perawat atau dokter) untuk
membantu dalam penelitian namun tidak diketahui
oleh informan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
bias dalam hasil penelitian.
Setelah data dari hasil observasi dan wawancara secara
langsung telah terkumpul, maka tahap berikutnya
adalah melihat dokumen/ catatan dalam rekam medis
mengenai tindakan yang telah dilakukan, data dari hasil
pengamatan langsung , wawancara dan rekam medis
dicatat dalam formulir isian tindakan penerapan
Patient Safety. data formulir isian tindakan penerapan
patient safety dimasukkan dalam ceklist kegiatan
utilisasi.,data dari pengamatan langsung yang telah
dilakukan checklist dianalisa sesuai 6 sasaran keselamatan
pasien di setiap ruangan yang kemudian dimasukkan
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 234
dalam format Patient safety Phatway. melakukan
penyusunan Patient safety Phatway.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan masuknya
pasien dengan Coronary arteri Disease ( CAD ) yang
akan dilakukan tindakan Percutaneous Coronary
Intervention ( PCI ) di ruang Chateterizatio Laboratory
Intervention Instalasi Brain And Heart Centre RS
Mohammad Hoesin Palembang. Data yang diperoleh
berdasarkan dari observasi langsung, wawancara dan
data sekunder dari buku registrasi di ruang poliklinik
rawat jalan ,perawatan kelas, CVCU, ruang Chatlab di
Instalasi Brain And Heart Centre.
Setelah proses pengumpulan data kemudian dilakukan
pencatatan identitas dan kegiatan petugas kesehatan
dalam menerapkan enam sasaran keselamatan pasien
menurut JCI Acreditation standars for hospital 4th
edition tahun 2010 yang kemudian dimasukkan dalam
formulir isian tindakan penerapan patient safety dan
ceklist utilisasi sejak pasien masuk ke Rumah Sakit
hingga pasien pulang, sehingga diperoleh gambaran
penggunaan layanan untuk patient safety sebagai
syarat dalam penyusunan suatu patient safety pathway.
Karakteristik Pasien
Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa pasien
CAD yang dilakukan tindakan Percutaneous
Coronary Intervention ( PCI ) terbanyak pada
kelompok umur kurang dari 60 tahun sebesar 13 ( 54,2
% ) dan jenis kelamin laki–laki sebesar 15 ( 62,5 % )
lebih dominan menderita CAD dibanding jenis
kelamin perempuan 9 ( 37,5 % ).hal ini sesuai yang
dinyatakan oleh Gray,Huon etc. 2012 dalam Lecture
note cardiologist bahwa penyakit CAD jarang terjadi
pada perempuan merupakan konsep yang salah
walaupun memang jumlah perempuan peenderita
CAD lebih sedikit dari laki-laki.
Lama Hari Rawat
Rata- rata lama rawat pasien CAD yang tidak memiliki
komplikasi di Instalasi Brain And Heart Centre adalah
4,8 hari hal ini sesuai dengan clinical pathway CAD
yang memiliki lama rawat 5-8 hari .bila dilihat
berdasarkan diagnosis utama dengan CAD maka akan
lebih cepat lama perawatan 2 hari hal ini dapat
didasarkan pada penerapan patient safety terutama
pada mengurangi resiko infeksi dan pengawasan
terhadap penggunaan obat, hal ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkapkan oleh Soetoto, tahun
2013 bahwa bila keselamatan pasien diterapkan
dengan baik maka angka kejadian yang tidak
diharapkan akan semakin berkurang dan mutiu
pelayanan akan semakin baik yang menjadikan long
of stay akan dapat menjadi lebih pendek dan terkendali.
Diagnosa Penyakit Penyerta
Dari penelitian ini diperoleh adanya penyakit penyerta
yaitu Hipertensi Heart Disease (HHD) , Congestive
Heart Failure (CHF) dan AV Block yang dapat
mengakibatkan waktu lama rawat lebih panjang,
namun untuk pelaksanaan tindakan Percutaneous
coronary intervention tidak dipengaruhi oleh penyakit
penyerta hal ini karena sesuai dengan clinical pathway
CAD di RS yang bila harus segera dilakukan tindakan
intervensi maka tidak dapat ditunda.
Rincian Aktifitas Penerapan 6 Sasaran Patient
Safety CAD Pro PCI Sesuai Patient Safety Pathway
Identifikasi Pasien
a. Kegiatan identifikasi pasien dibagian admisi, sesuai
dengan standar akreditasi Rumah Sakit (KARS
2011) bahwa pasien diidentifikasi menggunakan
dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan
nomor kamar atau lokasi pasien dan diperkuat juga
menurut darmawan, 2013 yang menyatakan
penggunaan tiga sistem identitas pasien yaitu nama
dengan 2 suku kata, tanggal,bulan dan tahun
kelahiran serta nomor rekam medis sehingga akan
sangat mengurangi kesalahan identifikasi bila
memiliki nama pasien yang sama. petugas dalam
mengisi umur pasien tidak melakukan penulisan
sesuai panduan atau standar akreditasi yaitu dengan
menuliskan tanggal, bulan dan tahun kelahiran.
Dari 24 pasien hanya 20 pasien atau sekitar 83 %
saja yang menuliskannya sesuai standar hal ini
menunjukkan masih kurangnya pengetahuan
petugas dalam penulisan tanggal, bulan dan tahun
kelahiran, dan masih kurangnya sosialisasi
mengenai panduan keselamatan pasien terhadap
petugas admisi mengingat telah ada buku panduan
mengenai identifikasi pasien, hasil wawancara juga
diperoleh bahwa petugas belum mengetahui
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 235
bilamana pasien juga tidak mengetahui tanggal
,bulan dan tahun kelahiran sehingga petugas hanya
menurut seperti apa yang disebutkan oleh pasien.
Penulisan umur menurut penulis dikhawatirkan
dapat menimbulkan kesalahan identitas bilaman
terdapat nama dan umur yang sama namun dapat
mengurangi kesalahan bila nama sama dapat
melihat tanggal, bulan dan tahun kelahiran yang
memiliki kemungkinan yang sama dan bila mana
sama dapat dilihat juga nomer rekam medis.
b. Proses identifikasi pasien, menurut Cahyono, 2012
bahwa kesalahan identifikasi pasien sangat
mungkin terjadi khusunya pelayanan di rumah
sakit karena kompleksitasnya pelayanan dan
keterbatasan petugas , demikian juga identifikasi
yang dilakukan sebelum pemeriksaan penunjang
tidak semua pasien dilakukan identifikasi seperti
yang dikatakan oleh dr. Daniel Foley dalam
Darmawan, 2013 bahwa meskipun anda telah
benar 99,99 %, anda tidak ingin mengalami
kesalahan 0,01 % yang mengakibatkan cedera,
diharapkan dapat tercapai identifikasi 100 %.di
ruang poli rawat jalan BHC sebagian tenaga medis
melakukan identifikasi terhadap 18 (75 %) pasien
dan sisanya 6 (25 %) pasien tidak dilakukan
identifikasi dengan menanyakan nama pasien
sebelum dilakukan pemeriksaan atau tindakan dari
hasil wawancara juga dinyatakan bahwa
identifikasi sudah dilakukan oleh perawat sehingga
pada waktu pemeriksaan tidak perlu diulang
kembali, hal ini menunjukkan masih kurangnya
pemahaman tenaga medis didalam identifikasi
pasien karena hal ini juga dapat menimbulkan
kesalahan dalam pemeriksaan terhadap pasien
yang seharusnya.
c. Kegiatan identifikasi sesuai dengan standar
akreditasi Rumah Sakit ,KARS 2011 menyatakan
bahwa maksud dari identifikasi dengan cara yang
dapat dipercaya/reliable mengidentifikasi pasien
sebagai individu yang dimaksudkan untuk
mendapatkan pelayanan atau pengobatan, diruang
perawatan jantung baik di ruang CVCU maupun
di ruang kelas sebagian tenaga medis dan tenaga
perawat tidak melakukan identifikasi pasien
sebelum pemeriksaan hal ini dikhawatirkan terjadi
kesalahan dalam mengidentifikasi, petugas kesehatan
tidak meminta pasien untuk menyebutkan namanya
namun melakukan justifikasi, tindakan ini sangat
rentan terjadi kesalahan terutama bagi pasien yang
terdapat gangguan pendengaran maupun pasien
yang belum begitu sadar maka dikhawatirkan
terjadi kesalahan identifikasi apalagi bila tidak
mencocokan dengan identitas di gelang pasien
hingga akan dapat terjadi kesalahan dalam
pelayanan atau pengobatan.
d. Sesuai dengan standar akreditasi Rumah Sakit
(KARS, 2011 ) yang menyatakan bahwa keadaan
yang dapat mengarahkan terjadinya kesalahan-
kesalahan dalam mengidentifikasi pasien adalah
salah satunya mungkin bertukar tempat tidur,
kamar, lokasi dalam rumah sakit oleh karena itu
harus selalu dilakukan identifikasi, proses
identifikasi sebelum dilakukan tindakan PCI di
ruang perawatan petugas kesehatan sebagian
masih belum sepenuhnya melakukan identifikasi
hal ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman
atau kepatuhan perawat terhadap panduan yang
telah dibuat, kehawatiran terjadinya kesalahan
masih dapat terjadi karena belum identifikasi,
petugas masih merasa hal tersebut biasa karena
hanya sedikit pasien yang akan dilakukan tindakan
PCI namun hal ini sangatlah memiliki resiko
kesalahan yang besar.
e. Sesuai Standar akreditasi rumah sakit ( KARS
2011 ) bahwa tahap sebelum dilakukannya insisi
atau tindakan invasif atau pelaksanaan time out
memungkinkan setap pertanyaan yang belum
terjawab atau kesimpangsiuran dibereskan, time
out melibatkan seluruh anggota tim sehingga
permasalahan dapat diselesaikan sebelum dilakukan
tindakan invasif Identifikasi, di ruang chateterisasi
belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik,
pelaksanaan sign in, time Out dan sign out masih
tidak sesuai dengan panduan keselamatan
pembedahan hal ini menunjukkan bahwa petugas
masih belum memahami tujuan dari sign in, time
Out dan sign out itu sendiri, petugas merasa bahwa
pelaksanaan di ruang chateterisasi sangat berbeda
dengan diruang operasi yang dilakukan pembedahan
namun diruang cahateterisasi ini juga merupakan
tindakan invasif yang perlu pengawasan ketat,
namun pada dokumentasi berupa check list
pelaksanaan sign in, time Out dan sign out terisi
lengkap hal ini tidak sesuai dengan yang
dilaksanakan, semua ini menunjukan bahwa
pelaksanaan ini hanya sebagai dokumen untuk
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di
Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 236
akreditasi saja, namun pada kenyatannya tidak
dilaksanakan.
f. Proses identifikasi setelah dilakukan tindakan PCI
di ruang perawatan petugas kesehatan sebagian
masih belum sepenuhnya melakukan identifikasi
hal ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman
atau kepatuhan terhadap panduan yang telah
dibuat, kesalahan masih dapat terjadi karena belum
dilakukan identifikasi, petugas merasa pasien yang
melakukan tindakan PCI sedikit namun ini tidak
sesuai dengan standar akreditasi Rumah Sakit
(KARS, 2011) yang menyatakan bahwa pasien
harus selalu dilakukan identifikasi sebelum
dialkukan pemeriksaan atau tindakan
Komunikasi Efektif
a. Pada proses komunikasi efektif menurut Darmawan,
2013 bahwa komunikasi itu penting untuk semua
aspek kehidupan, komunikasi efektif adalah dasar
saling pengertian dan kepercayaan, salah komunikasi
menyebabkan salah pengertian, salah prosedur
tindakan dan berdampak terhadap pasien,
komunikasi buruk menyebabkan ketidakpuasan
pasien dan keluarga sehingga dapat timbul
tuntutan, medikolegal dan etika.yang dilakukan
diruang perawatan oleh tenaga medis dan tenaga
perawat yang dilakukan lewat telepon atau ketika
overan pasien tidak sesuai dengan tahapan SBAR ,
hal ini dikhawatirkan akan dapat menyebabkan
sistem komunikasi kurang efektif sehingga dapat
menyebabkan salah pengertian, salah langkah,
salah prosedur tindakan dokter atau perawat
terhadap pasien.
b. Pada pelaksanaan komunikasi efektif seperti yang
dijelaskan oleh Cahyono, 2013 bahwa petugas
kesehatan tidak dapat bekerja dengan baik bila
tidak berkomunikasi dengan baik. Komunikasi
efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan
yang dipahami oleh penerima pesan akan
mengurangi kesalahan, dan menghasilkan
peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi
dapat berbentuk elektronik (telepon, sms), lisan,
atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi
kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah
diberikan secara lisan atau melalui telepondi ruang
perawatan sebelum tindakan PCI masih sebagian
tidak melaksanakan komunikasi sesuai tahapan
SBAR tidak dilakukan hal ini dikhawatirkan terjadi
kesalahpahaman atau kekeliruan terhadap apa
yang akan dilakukan terhadap pasien sehingga
dapat terjadi kesalahan pasien yang akan dilakukan
tindakan invasif.
c. Sesuai Standar akreditasi rumah sakit ( KARS
2011 ) bahwa tahap sebelum dilakukannya insisi
atau tindakan invasif atau pelaksanaan time out
memungkinkan setap pertanyaan yang belum
terjawab atau kesimpangsiuran dibereskan, time
out melibatkan seluruh anggota tim sehingga
permasalahan dapt diselesaikan sebelum dilakukan
tindakan invasif .Komunikasi efektif di ruang
Cahteterisasi belum sepenuhnya dilaksanakan
dengan baik, pelaksanaan sign in, time Out dan
sign out masih tidak sesuai dengan panduan
keselamatan pembedahan hal ini menunjukkan
bahwa petugas masih belum memahami tujuan
dari sign in, time out dan sign out itu sendiri, petugas
merasa bahwa pelaksanaan di ruang chateterisasi
sangat berbeda dengan diruang operasi yang
dilakukan pembedahan namun di ruang cahateterisasi
ini juga merupakan tindakan invasif yang perlu
pengawasan ketat, namun pada dokumentasi
berupa check list pelaksanaan sign in, time Out dan
sign out terisi lengkap hal ini tidak sesuai dengan
yang dilaksanakan,semua ini menunjukan bahwa
pelaksanaan ini hanya sebagai dokumen untuk
akreditasi saja namun kenyatannya tidak dilaksanakan.
d. Pada pelaksanaan komunikasi efektif seperti yang
dijelaskan oleh Cahyono, 2013 bahwa petugas
kesehatan tidak dapat bekerja dengan baik bila
tidak berkomunikasi dengan baik. Komunikasi
efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan
yang dipahami oleh penerima pesan akan
mengurangi kesalahan, dan menghasilkan
peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi
dapat berbentuk elektronik (telepon, sms), lisan,
atau tertulisdi ruang perawatan setelah tindakan
PCI masih sebagian tidak melaksanakan
komunikasi sesuai tahapan SBAR, tidak dilakukan
ini dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman atau
kekeliruan terhadap apa yang akan dilakukan
terhadap pasien sehingga dapat terjadi kesalahan
pasien terhadap tindakan atau pengobatan terhadap
pasien yang telah dilakukan tindakan PCI ini,
demikian juga saat overan pasien ( hand over )
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 237
harus dapat dilaksanakan sesuai tahapan SBAR
agar kemungkinan kesalahan dapat dihilangkan.
Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai
a. Kegiatan untuk keamanan obat yang perlu
diwaspadai menurut standar akreditasi Rumah
Sakit KARS 2011 dan juga Cahyono, 2014 bahwa
untuk mengurangi kesalahan Instalasi Farmasi
Rumah Sakit ( IFRS ) harus membuat daftar obat
High alert yang dapat diinformasikan keseluruh
belum ada daftar obat-obatan High alert dan LASA
di ruang perawatan hal ini dapat mengakibatkan
ketidaktahuan tenaga medis khususnya perawat
terhadap obat-obatan yang termasuk dalam High
alert atau LASA. Dengan ketidaktahuan obat-obat
tersebut maka dikhawatirkan dapat terjadi KTD
apalagi bila tulisan dari tenaga medis tidak dapat
dibaca, masih adanya penulisan tenaga medis
pada pemberian obat yang tidak dapat atau sulit
dibaca .kemungkinan ini terjadi karena merasa
obat-obatan itulah yang sering diberikan jadi
perawat akan tahu obat apa yang diberikan hal ini
sesuai dengan hasil wawancara dengan tenaga
medis bahwa obat-obat itulah yang biasa diberikan,
namun hal ini tidak sesuai dengan standar dan
panduan untuk keamanan obat.
b. Proses keamanan obat yang perlu diwaspadai
sebelum tindakan PCI ruangan menurut KARS
2012 bahwa permasalahan yang berhubungan
dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible
handwritting) dan pemakaian singkatan adalah
faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi yang
menimbulkan kesalahan, masih ditemukan tulisan
yang tidak dapat terbaca pada rekam medis pasien
hal ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman
petugas medis dalam memberikan order bila
tulisan tidak terbaca akan sangat potensial terjadi
kekeliruan dalam membaca sehingga dikawatirkan
terjadi kejadian yang tidak diinginkan, apalagi tidak
adanya daftar nama obat-obatan yang termasuk
memerlukan pengawasan ketat baik high alert
maupun LASA.
c. Kewaspadaan obat high alert, Sesuai Standar
akreditasi rumah sakit ( KARS 2011 ) bahwa tahap
sebelum dilakukannya insisi atau tindakan invasif
atau pelaksanaan time out memungkinkan setap
pertanyaan yang belum terjawab atau
kesimpangsiuran dibereskan, time out melibatkan
seluruh anggota tim sehingga permasalahan dapt
diselesaikan sebelum dilakukan tindakan invasif di
ruang Cahteterisasi belum sepenuhnya
dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan sign in,
time Out dan sign out masih tidak sesuai dengan
panduan keselamatan pembedahan hal ini
menunjukkan bahwa petugas masih belum
memahami tujuan dari sign in, time Out dan sign
out itu sendiri, petugas merasa bahwa pelaksanaan
di ruang chateterisasi sangat berbeda dengan
diruang operasi yang dilakukan pembedahan
namun diruang cahateterisasi ini juga merupakan
tindakan invasif yang perlu pengawasan ketat,
namun pada dokumentasi berupa check list
pelaksanaan sign in, time Out dan sign out terisi
lengkap hal ini tidak sesuai dengan yang dilaksanakan,
semua ini menunjukan bahwa pelaksanaan ini
hanya sebagai dokumen untuk akreditasi saja namun
kenyatannya tidak dilaksanakan.
d. Proses keamanan obat yang perlu diwaspadai post
tindakan PCI menurut standar akreditasi Rumah
Sakit KARS 2011 dan juga Cahyono, 2014 bahwa
untuk mengurangi kesalahan Instalasi Farmasi
Rumah Sakit ( IFRS ) harus membuat daftar obat
High alert yang dapat diinformasikan keseluruh
ruangan masih ditemukan tulisan yang tidak dapat
terbaca pada rekam medis pasien yang telah
dialakukan tindakan PCI,hal ini dapt juga
terjadinya kesalahan ataupun KTD penulisan
dalam perencanaan tindakan dan pengobatan yang
tidak terbaca menunjukkan masih kurangnya
pemahaman petugas medis dalam memberikan
order bila tulisan tidak terbaca akan snagat potensial
terjadi kekeliruan dalam membaca sehingga
dikawatirkan terjadi kejadian yang tidak diinginkan,
apalagi tidak adanya daftar nama obat-obatan yang
termasuk memerlukan pengawasan ketat baik high
alert maupun LASA.
Ketepatan Lokasi, Prosedur dan Pasien Operasi
Ketepatan operasi, prosedur dan pasien Sesuai Standar
akreditasi rumah sakit ( KARS 2011 ) bahwa tahap
sebelum dilakukannya insisi atau tindakan invasif atau
pelaksanaan time out memungkinkan setap pertanyaan
yang belum terjawab atau kesimpangsiuran dibereskan,
time out melibatkan seluruh anggota tim sehingga
permasalahan dapat diselesaikan sebelum dilakukan
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 238
tindakan invasif di ruang Chatetrisasi Laboratory
Intervention.
Di Ruang Chateterisasi ini belum sepenuhnya
dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan sign in, time
Out dan sign out masih tidak sesuai dengan Standar
keselamatan pasien khususnya diruang operasi, ruang
chatlab walaupun bukan ruang operasi namun ini
merupakan ruangan tindakan invasif sehingga segala
pelaksanannya harus mengacu kepada standar
keselamatan diruang operasi, hanya saja pada ruang
chatlab tidak diperlukan site marking karena
merupakan organ tunggal yaitu jantung yang akan
dilakukan intervensi, namun tindakan lain harus
dilakukan seperti Sign in, Time Out dan Sign Out hanya
pelaksanannya berbeda seperti pada kasus tindakan
pembedahan.
Tidak dilakukannya prosedur Sign in, Time Out dan
Sign Out menunjukkan bahwa petugas masih belum
memahami tujuan dari sign in, time Out dan sign out
itu sendiri, dan walaupun dilaksanakan seperti hanya
kewajiban saja melaksanakan namun tidak sesuai
dengan panduan keselamatan pembedahan yang telah
dibuat oleh rumah sakit, petugas masih merasa bahwa
pelaksanaan di ruang chateterisasi sangat berbeda
dengan diruang operasi yang dilakukan pembedahan
namun diruang cahateterisasi ini juga merupakan
tindakan invasif yang perlu pengawasan ketat, namun
pada dokumentasi berupa check list pelaksanaan sign
in, time Out dan sign out terisi lengkap hal ini tidak
sesuai dengan yang dilaksanakan,semua ini
menunjukan bahwa pelaksanaan ini hanya sebagai
dokumen untuk akreditasi saja namun kenyatannya
tidak dilaksanakan..
Mengurangi Resiko Infeksi
a. Kegiatan dalam mengurangi resiko infeksi di ruang
poli rawat jalan masih sebagian tenaga medis tidak
melakukan cuci tangan sesuai tahapan cuci tangan,
hasil wawancara dikatakan bahwa yang terpenting
menurutnya adalah telah meratanya cairan desinfektan,
tidak perlu tahapannya hal ini menunjukkan masih
kurangnya pemahaman tahapan cuci tangan dan
masih kurangnya kepatuhan untuk melakukan cuci
tangan, menurut WHO sesuai dengan standar
akreditasi Rumah sakit tahun 2012 bahwa tahapan
cusi tangan harus sesuai pedoman hand hygiene
yang baru-baru ini diterbitkan dan sudah diterima
secara umum ( a.l. dari WHO patient safety).
b. Pada tindakan mengurangi infeksi di ruang
perawatan telah dilakukan cuci tangan sebagai
pencegahan penularan atau infeksi namun masih
ada sebagian tenaga medis dan tenaga perawat
tidak melakukan cuci tangan sebelum melakukan
pemeriksaan terhadap pasien hal ini menyebabkan
akan terkontaminasi oleh kuman yang berasal dari
pasien tersebut dan dapat menularkannya kepada
pasien lain yang ditangani kemudian. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Cahyono, 2012 bahwa Cuci
tangan merupakan komponen pencegahan infeksi
yang paling penting, bisa menggunakan sabun di
bawah air mengalir, atau dengan menggunakan
antiseptik/handrub.Bila tangan tampak kotor dan
mengandung bahan berprotein menggunakan air
mengalir dan sabun.Bila tidak tampak kotor,
dekontaminasi dengan alkohol handsrub.
c. Dalam kegiatan untuk mengurangi resiko infeksi
sebelum tindakan PCI terutama pelaksanaan cuci
tangan sudah sesuai dengan standar baik tahapan
maupun momen untuk melakukan cuci tangan hal
ini menunjukkan bahwa pemahaman dan juga
kesadaran akan pencegahan infeksi dan penularan
penyakit sudah baik karena menurut WHO bahwa
Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-
infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang
tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca
kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi
nasional dan internasional.
d. Proses tindakan untuk mencegah resiko infeksi di
ruang Chatlab telah dilakukan sepenuhnya dengan
benar terutama pelaksanaan cuci tangan sudah
sesuai standar baik dalam tahapan maupun
momen pelaksanaan cuci tangan. Dalam hal
pencegahan infeksi selama tindakan juga telah
sesuai prosedur, hal ini menunjukan bahwa
pelaksanaan pencegahan infeksi telah dipahami
oleh seluruh petugas di alam ruangan chateterisasi
yang memang membutuhkan kesterilan dan
pengawasan yang ketat.
e. Dalam kegiatan untuk mengurangi resiko infeksi
post tindakan PCI terutama pelaksanaan cuci
tangan sebagian masih belum sesuai dengan
standar baik tahapan maupun momen untuk
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 239
melakukan cuci tangan hal ini menunjukkan
bahwa pemahaman dan kesadaran akan
pencegahan infeksi dan penularan penyakit belum
baik karena menurut WHO bahwa Pusat dari
eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain
adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat.
Pedoman hand hygiene bisa dibaca kepustakaan
WHO, dan berbagai organisasi nasional dan
internasional.
Mengurangi Risiko Jatuh
a. Kegiatan dalam mengurangi resiko jatuh menurut
KARS 2012 dan Darmawan, 2013 bahwa
Rumah sakit menerapkan asesmen awal resiko
pasien jatuh dan juga bahwa Rumah sakit
sebaiknya mengambil langkah yang tepat untuk
menangani dan mencegah KTD jatuh ,langkah
yang dapat dilakukan meliputi penilaian awal
resiko jatuh, asesmen awal resiko pasien jatuh,
penataan lingkungan dan sarana, peningkatan
pelayanan kepada pasien dan memperbaiki kondisi
intrinsik pasien itu sendiri pada pasien yang berada
diruang admisi juga telah dilakukan oleh petugas
admisi dengan melakukan skrening awal
identifikasi pasien jatuh yaitu dengan melihat
selintas pasien yang akan melakukan pendaftaran
mengenai cara berjalan, atau dibantu dalam
berjalan ataupun menggunakan alat bantu dalam
berjalan. Sebagian petugas admisi melakukan
skering awal pasien jatuh pada pasien yang
melakukan pendaftaran namun masih ada pasien
yang tidak dilakukan skrening awal jatuh, hal ini
dikhawatirkan dapat terjadi resiko pasien jatuh bila
petugas tidak mengetahui keadaan pasien yang
akan mendaftar dalam keadaan lemah. Namun
rumah sakit di bagian admisi telah menyediakan
kursi roda dan brankar yang memiliki pagar
pengaman sesuai standar.( 100 % ) sesuai dengan
standar akreditasi Rumah sakit.
b. Kegiatan di rawat jalan dalam mengurangi resiko
jatuh seluruh petugas sudah melakukan
pencegahan resiko jatuh hal ini sesuai dari hasil
observasi telah dilakukannya assesmen awal resiko
jatuh dan juga telah terdokumentasi di assesmen
awal pasien. hal ini menunjukkan bahwa
pemahaman perawat sudah cukup baik dalam
melakukan pengkajian awal resiko jatuh sehingga
dapat mencegah terjadinya KTD dilingkungan
Rumah sakit, hal ini sesuai dengan pernyataan
Darmawan, 2013 bahwa penilaian resiko jatuh
adalah upaya untuk mengenali apakah sorang
pasien memiliki resiko jatuh sehingga tinadakan
pencegahan dapat dilakukan.
c. Tindakan pencegahan cedera akibat jatuh menurut
Darmawan, 2013 bahwa penilaian resiko jatuh
adalah upaya untuk mengenali apakah sorang
pasien memiliki resiko jatuh sehingga tinadakan
pencegahan dapat dilakukan di ruang perawatan
telah dilakukan perawat telah melakukan
assesment resiko jatuh sesuai panduan keselamatan
pasien Rumah Sakit pada setiap pasien yang baru
masuk, dalam rekam medis juga terlampir
asesment pengkajian awal resiko jatuh hal ini
menunjukkan bahwa tenaga kesehatan telah
mengetahui pelaksanan pengkajian resiko jatuh
agar pasien dapat dikenali apakah mempunyai
resiko jatuh sehingga petugas dapat mengambil
langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi
cedera karena jatuh.
d. Pencegahan resiko jatuh sebelum pelaksanaan
tindakan PCI belum sepenuhnya petugas kesehatan
melaksanakan assesment resiko jatuh dengan baik,
masih adanya petugas tidak melaksanakan assesmen
menunjukkan bahwa kepatuhan dan pemahaman
terhadap kemungkinan cedera akibat jatuh masih
rendah , petugas hanya melihat secara fisik saja
namun tidak dikaji secara mendalam tentang
kelemahan pasien yang berpotensi jatuh, sesuai
dengan standar akreditasi Rumah Sakit bahwa
langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi
risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen
dianggap berisiko jatuh. Langkah-langkah dimonitor
hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera
akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak
diharapkan.
e. Dalam pelaksanaan mengurangi resiko jatuh
diruang chatlab ini juga sudah sepenuhnya
melaksanakan sesuai standar yang meliputi
pengkajian resiko jatuh setelah dilakukan tindakan
PCI, pemasangan pagar pengaman selama
dilakukan observasi, hal ini menunjukkan adanya
pemahaman didalam pelaksanaan untuk mencegah
cedera yang diakibatkan oleh jatuh.
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di
Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 240
f. Panduan nasional keselamatan pasien Rumah sakit
oleh Depkes ( 2006 ) bahwa pelaksanaan evaluasi
untuk resiko pasien jatuh dilakukan secara terus
menerus melihat keadaan pasien dan dilakukan
pengkajian skala Jatuh dapat dilakukan :pada saat
pasien masuk RS ,setiap hari pada shift pagi, saat
kondisi pasien berubah atau ada suatu perubahan
dalam terapi medik yang dapat menimbulkan
resiko jatuh pada pasien, saat pasien dipindahkan
ke unit lain dan setelah kejadian jatuhPencegahan
resiko jatuh setelah pelaksanaan tindakan PCI
sudah sesuai standar petugas kesehatan
melaksanakan assesment resiko jatuh dengan baik,
masih hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan dan
pemahaman terhadap kemungkinan cedera akibat
jatuh sudah baik.
Patient Safety Pathway pada CAD Pro PCI
Dari penelitian ini dapat tersusun suatu draf Patient
Safety Pathway yang berdasarkan atas semua kegiatan
penerapan enam sasaran keselamatan pasien yang
dilakukan terhadap pasien Coronary Artery Disease (
CAD ) yang dilakukan tindakan invasif berupa
Percutaneous Coronary Intervention ( PCI ) dan
rekapan utilisasi segala kegiatan yang dilakukan oleh
petugas kesehatan baik dokter, perawat dan tenaga
administrasi dalam menerapkan enam sasaran
keselamatan Rumah Sakit sesuai JCI Acreditation
standars for hospital 4th edition,2010 yang dilakukan
sejak pasien datang sampai pasien diperbolehkan
pulang dan kembali untuk melakukan kontrol
dipoliklinik jantung. Dengan tersusunnya patient safety
pathways ini maka dapat memberikan arah atau alur
dalam melaksanakan penerapan keselamatan pasien
Bila alur tatakelola ini dilakukan maka mutu pelayanan
dan keselamatan pasien akan terjaga. Berdasarkan hal
tersebut maka tidak menutup kemungkinan Patient
safety Pathway ini dapat diterapkan pada penyakit lain
dan juga dapat digunakan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan standar keselamatan pasien di Rumah
Sakit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hingga saat ini Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin
Palembang belum memiliki Patient Safety Pathway.
dengan penelitian ini telah tersusun Patient Safety
pathway pada penyakit CAD pro PCI di RSMH
Palembang, Penyusunan Patient Safety Pathway CAD
Pro Percutaneous coronary intervention di Instalasi
Brain And Heart Centre RS dr Mohammad Hoesin
Palembang dapat dilaksanakan.,Aktifitas enam
sasaran Patient Safety CAD Pro Percutaneous
coronary intervention di Instalasi Brain And Heart
Centre RS dr Mohammad Hoesin Palembang pada
setiap ruangan telah mencapai penuh ( 80 – 100 % )
kecuali ketepatan prosedur operasi, lokasi dan pasien
(66,7 % ) Penyusunan Patient Safety Pathway ini dapat
menjaga mutu layanan yang aman di Rumah Sakit,
khusunya pada pasien CAD yang dilakukan penelitian
namun tidak menutup kemungkinan penyakit lain
dapat juga diterapkan penggunaan Patient Safety
Pathway ini. Hal ini menunjukkan bahwa Patient
Safety Pathway dapat diterapkan di RS dr. Mohammad
Hoesin Palembang.
Saran
Rumah Sakit khusunya Komite mutu dan keselamatan
pasien Rumah sakit perlu lebih meningkatkan dan
mengembangkan program patient safety dengan
membuat Patient safety Pathway khususnya penyakit
yang terbanyak, memiliki resiko yang tinggi dan
memiliki biaya yang mahal, membentuk kelompok
kerja untuk mengevaluasi pelaksanaan penerapan
patient Safety di Rumah Sakit, meninjau kembali
kebijakan mengenai pedoman dan SPO yang
berkaitan dengan pelaksanaan patient safety di Rumah
Sakit yang masih belum diatur.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Azrul. 2010 Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, PT Binarupa Aksara,
Jakarta.
Bidang Pelayanan Medik, Laporan Tahunan 2014 RSMH Palembang. Burges JF Jr, 2012, Innovation and efficiency in health care: does anyone really know what
they mean?, Health Systems.
Darmawan Hardi,dkk, 2013 ; Menuju pelayanan kesehatan yang aman, cetakan ke 5, kanisius, Yogyakarta.
Cahyono,suharjo.JB 2012; Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktek
kedokteran, edisi 5, Kanisius, Yogyakarta. Canadian Patient Safety Institute, 2009 ; The safety Competencies, first edition, enhancing
patient Safety Across the health Professions.
Departemen kesehatan Republik Indonesia , 2006 ; Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( Patient Safety );Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI , 2012 ;Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, Jakarta.
Depkes RI. Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Jakarta. Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indoneia Nomor. 129 Tahun 2009
Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta.
Djuhaeni, H. 2009. Manajemen Pelayanan Medik Di Rumah Sakit. Jakarta. Gray,Huon, et all 2012 ; Lecture notes cardiologi ,Erlangga Medical series, Jakarta.
Hana Permana, Indikator Kinerja Rumah Sakit, http://www.kebijakankesehatani
ndonesia.net/sites/default/files/file/2011/INDIKATOR%20KINERJA%20RS.pdf , diunduh 18 Januari 2015.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 241
Handayani, Sri. 2014; Patient Safety , http;//srihandayani.com/2010/10/pasien-safety.html diakses pada 4 agustus 2014. Jam 20.30 WIB.
Hughes, Ronda. G.2008.Patient Safety and Quality an Evidence Based Handbook of Nurses.
Rockville MD : Agency for Healthcare Research and Quality Publications, diakses 20 Oktober 2014, http://www.ahrg.gov/QUAL/nursehdbk.
KARS, 2011; Standar Akreditasi Rumah Sakit , Direktorat jendral Bina Pelayanan medik,
Jakarta. Kementerian Kesehatan RI, 2013. Indikator Kinerja Rumah Sakit Badan Layanan Umum,
Bagian Program dan Informasi Setditjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013 Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta.
Laporan Bulanan Bid yanmed RSUP dr. Moh Hoesin Palembang. Laporan bulan
September 2014. Laporan Semesteran Instalasi Brain And Heart Centre RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang,2014.
Laporan Tahunan RSUP dr. Moh Hoesin Palembang Tahun 2014. Mardiyoko,Ibnu, 2014; identifikasi pasien, Artikel , center for health information managemen
development.
Moertjahjo, AAK,2012 ; Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Jakarta . Moleong, 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi revisi, Penerbit Rosdakarya, Bandung.
Notoatmodjo, S. 2010, Etika & Hukum Kesehatan. Penerbit PT Asdi Mahasatya. Jakarta.
Richardson DB, The access-block effect: relationship between delay to reaching an inpatient bed and inpatient length of stay, MJA 2002, 177:492-495.
Rivany R. ; 2006 Hubungan Clinical Pathway dengan DRG’s Casemix. INA-version.
Rivany, R , 2010 ; Quo Vadis Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial nasional, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol 13.
Rivany, R, 2009 ; Indonesia Diagnosis Related Groups, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional Vol.4.
Rosko MD, Mutter RL, 2010, Inefficiency Differences between Critical Access Hospitals and Prospectively Paid Rural Hospitals, Journal of Health Politics, Policy and Law
Ruiz M, Bottle A, Aylin P, A,2013; retrospective study on the impact of the doctors’ strike in
England on 21 June 2012, J R Soc Med, 0:1-8. Sabarguna, B.S. 2008; Manajemen Kinerja Pelayanan Rumah Sakit. Penerbit CV Sagung
Seto. Jakarta.
Scott, Vaughan L, Bell D, 2009; Effectiveness of acute medical units in hospitals: a systematic review, International Journal for Quality in Health Care, 21:397-407.
Singer AJ, MD, ED 2006;Crowding: Challenges And Solutions.The Stony Brook
Experience, Stony Brook Medicine, New York. Stowell A, et al, 2013; Hospital out-lying through lack of beds and its impact on care and
patient outcome, Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency
Medicine. Sutoto, 2013 ; Clinical Pathways sebagai kendali mutu dan biaya dalam sistem pembiayaan
BPJS. Makalah dalam bimbingan akreditasi RS.
The Australian Council for Safety and Quality in Health Care , 2005.; National Patient Safety Education, Safety Quality Council.
Wibowo, 2014; Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan, Penerbit RajaGrafindo,
Jakarta. Wise MP, Frost PJ, 2010 Hospital mortality and junior doctors’ handover: the role of medical
schools and consultants, Q J Med 2010, 103:895-896.
Wong J,Beglaryan H , 2004 ; Strategies for Hospitals to Improve Patient Safety : Areview of the Research; The Change Foundation.
World Health Organization ( WHO ) 2009; Conceptual Framework for the International
Classification for Patient Safety, versi 1.1.final technical report January. Yolanda, EP. 2008. Tesis : Evaluasi Implementasi Kebijakan Kewajiban Menuliskan Resep
Obat Generik Di RSU Cilegon Tahun 2007. Program KARS Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia.
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 242
Tabel. 1. Distribusi Kelompok Umur dan Jenis Kelamin pada Pasien CAD Pro PCI di
Instalasi Brain and Heart Centre RSMH Palembang Bulan Maret- April 2015
No Karakteristik pasien N ( kasus ) Persentase ( % )
1. Umur < 60 tahun 13 54,2
60 tahun 11 45,8
2. Jenis kelamin Laki – laki 15 62,5
Perempuan 9 37,5
Tabel 2. Distribusi Lama Hari Rawat Pasien CAD pro PCI di Instalasi Brain and Heart
Centre RSMH Palembang Bulan Maret- April 2015
No Lama hari rawat N ( kasus ) Persentase ( % )
1 2 hari 10 41,6
2 3 hari 8 33,3
3 4 hari 3 12,5
4 6 hari 2 8,3
5 9 hari 1 4,2
Tabel 3. Distribusi Penyakit Penyerta CAD di Instalasi Brain And Heart Centre
RSMH Palembang Bulan Maret- April 2015
No Penyakit penyerta N ( kasus ) Persentase ( % )
1. CHF 1 20
2. AV Blok 1 20
3. HHD 3 60
Tabel 4. Total Penilaian Identifikasi Pasien
Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max
Sebelum pemberian obat, darah atau produk darah
- 10 5 10 10 35 40
Sebelum pengambilan darah dan spesimen
lain utk pemeriksaan - 5 10 - 10 25 30
Sebelum pemberian pengobatan - 5 10 5 10 30 40
Sebelum memberikan tindakan - 5 10 10 10 35 40
Menyiapkan gelang 10 - - - - 10 10
Memasang gelang - - 10 - 10 20 20
TOTAL 155 180
Tabel 5. Total Penilaian Komunikasi Efektif
Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max
Melakukan serah terima pasien - - 5 - 10 10 20
Melaporkan hasil pemeriksaan darah - 5 10 - 10 25 30
Melaporkan hasil EKG - 5 5 - 5 15 30
Melaporkan pasien baru - 5 10 10 10 35 40
Melaporkan kondisi pasien - 5 5 10 10 30 40
TOTAL 115 130
Tabel 6. Total Penilaian Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai
Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max
Menyimpan obat - - 10 10 10 30 30
Menuliskan jenis obat / peresepan - 5 5 - 5 15 30
Memberikan obat - 5 10 10 10 35 40
Melakukan pencatatan obat yang telah
diberikan
- 10 10 10 10 40 40
TOTAL 120 140
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 243
Tabel 7. Total Penilaian Tepat Lokasi, Prosedur dan Pasien
Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max
Melakukan Sign In - - - 10 - 10 10
Melakukan Time Out - - - 5 - 10 10
Melakukan Sign Out - - - 10 - 10 10
TOTAL 25 30
Tabel 8. Total Penilaian Mengurangi Risiko Infeksi
Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max
Mencuci tangan sebelum kontak dgn
pasien
- 10 10 10 10 40 40
Mencuci tangan sebelum tindakan aseptik - 10 10 10 10 40 40
Mencuci tangan setelah beresiko kontak
dgn cairan tubuh
- 10 10 10 10 40 40
Mencuci tangan setelah kontak dgn
pasien
- 5 5 10 10 30 40
Mencuci tangan setelah kontak dgn lingkungan pasien
- 0 0 10 10 20 40
Menjaga kesterilan slang kateter - - 10 10 10 30 30
Menjaga kebersihan / kesterilan slang
IVFD
- 10 10 10 10 40 40
Memakai spuit sekali pakai - 10 10 10 10 40 40
TOTAL 280 310
Tabel 9. Total Penilaian dalam Mengurangi Resiko Jatuh
Kegiatan Adm RJ Kls Chlb CVCU Tot. n.max
Melakukan asesmen resiko jatuh 5 5 10 10 10 40 50
Memasang pagar tempat tidur - - 10 10 10 30 30
Menyediakan bel didekat pasien dan mudah dijangkau - - 10 - 10 20 20
Memberikan pencahayaan yg terang namun tdk menyilaukan - - 10 10 10 30 30
Mengurangi penghalang seperti keset, noda basah dilantai, kain
kusut di TT
- - 5 - 10 15 20
Menyediakan kursi roda / brankar yg bereling 10 10 10 10 10 50 50
TOTAL 185 200
Tabel 10. Patient Safety Pathway CAD
NO SASARAN KEGIATAN UTILITY / RUANGAN TOTAL U
1 Identifikasi Pasien
Sebelum pemberian obat, darah atau produk darah
Sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klini
Sebelum memberian pengobatan
Sebelum memberikan tindakan
Menyiapkan gelang
Memasang gelang
2 Komunikasi efektif
Melakukan serah terima pasien ( hand off )
Melaporkan hasil pemeriksaan darah
melaporkan hasil EKG
Melaporkan pasien baru
Melaporkan kondisi pasien
3 Keamanan obat
yang perlu
diwaspadai
Menyimpan obat
menuliskan jenis obat / peresepan
Memberikan obat
Melakukan pencatatan obat yang telah diberikan
4 Pastikan tepat
operasi, prosedur
dan pasien
Melaksanakan Sign in
Melaksanakan Time out
Melaksanakan Sign out
5 Kurangi Resiko
Infeksi
Mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien
Mencuci tangan sebelum tindakan aseptik
Mencuci tangan setelah berisiko kontak dg cairan tubuh
Mencuci tangan setelah kontak dengan pasien
Mencuci tangan setelah kontak dengan lingkungan pasien
Menjaga kebersihan / kesterilan slang kateter
Menjaga kebersihan / kesterilan pemasangan IFVD
Memakai spuit sekali pakai
6 Melakukan asesment resiko jatuh
Harjito., Analisis Penyusunan Patient Safety Phatway Coronary Artery Disease (CAD) Pro Percutaneous Coronary Intervention (PCI) di Instalasi Brain and Heart Centre RS Dr. Moh. Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 244
NO SASARAN KEGIATAN UTILITY / RUANGAN TOTAL U
Kurangi Resiko
jatuh
Memasang pagar tempat tidur
Menyediakan bel didekat pasien dan mudah dijangkau
Memberikan pencahayaan yang terang namun tidak menyilaukan
terutama pada gang, kamar mandi dan jalan masuk
Mengurangi penghalang seperti keset, noda basah dilantai, kain yang kusut disamping tempat tidur
Menyediakan kursi roda atau brankar yg bereling
TOTAL UTILITY
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 245
Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan
Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Tahun 2015
Cost Recovery Rate of Hospital and INA CBGs’ Tariffs on Clinical Pathway on Coronary
Artery Disease in Mohammad Hoesin Palembang General Hospital, Year 2015
Mardiah
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian bertujuan melihat perbedaan cost recovery rate (CRR) tarif INA CBG’s dan tarif rumah sakit kasus
CAD dengan PCI di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan cost
of treatment berbasis clinical pathways pada severity level I nilai CRR RS berada diatas CRR tarif INA CBGs,
sedangkan pada severity level II nilai CRR RS lebih rendah dari CRR tarif INA CBGs. Pada severity level III
CRR tarif INA CBGs dengan utilisasi stent 1 dan 2 lebih tinggi dari CRR RS. Tarif INA CBGs tidak
memperhitungkan jumlah stent dalam setiap tindakan PCI. Perlu evaluasi metode penghitungan tarif INA CBGs
dari hospital base rate ke metode perhitungan cost of treatment berdasarkan clinical pathway, sehingga biaya
operasional RS dapat dipenuhi dan tetap mampu berikan pelayanan yang bermutu.
Kata kunci: cost recovery rate, cost of treatment, clinical pathway, CAD ,PCI, INA-CBGs.
ABSTRACT
This study aims to see how the difference between the cost recovery rate (CRR) hospital rates and INA CBG's
rates in case of CAD with PCI at Hospital Dr. Mohammad Hoesin Palembang. The results showed the cost of
treatment based on clinical pathways are at the severity level I value of CRR Hospital rates above the CRR
CBGs INA rates, whereas the severity level II of CRR Hospital rate more lower than CRR INA CBGs rates for
the utility stent is less than 2. At severity level III CRR INA CBGs with utilization rates of stent 1 and 2 higher
than the CRR INA CBGs rate. This is due to CBGs INA rate do not take into account the magnitude of the stent
in every act of PCI performed in patients with CAD. Based on the research necessary to evaluate the methode of
calculating INA CBGs rates from hospital base rate methode to Cost of treatment based on clinical pathway in
order to create a balance so that the operational cost of service rates hospitals can be met and still be able to
provide good quality services.
Keywords: cost recovery rate, cost of treatment, clinical pathway, CAD, PCI.
PENDAHULUAN
Program JKN membawa dampak besar dalam
pelayanan kesehatan di Indonesia, dimana masyarakat
yang sebelumnya sulit untuk mengakses pelayanan
kesehatan kini sangat dipermudah dengan tersedianya
layananan kesehatan yang terjangkau dengan bantuan
pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional tersebut. Di
samping itu dengan diberlakukannya JKN telah menjadi
era baru dalam metoda pembayaran bagi banyak rumah
sakit di Indonesia dimana sebagian besar rumah sakit
selama ini menggunakan mekanisme pembayaran Fee
for Service (FFS) mulai beralih ke mekanisme
pembayaran dengan klaim berdasarkan Indonesia Case
Base Groups (INA CBGs).
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 246
Perubahan pembiayaan dari FFS ke INA CBGs
membawa RS menghadapi kondisi yang bisa menjadi
ancaman atau peluang. Peluang jika RS dapat
memanfaatkan program JKN dengan baik sehingga
selisih klaim bernilai positif karena mampu menyesuaikan
dengan tarif INA-CBGs dan ada yang negatif karena
belum mampu memberikan pelayanan yang efektif dan
efisien sehingga menjadi ancaman terhadap pengelolaan
keuangan RS. (Hardiman, 2013).
Banyak keluhan dari rumah sakit bahwa Tarif INA
CBGs jauh dibawah biaya yang dikeluarkan rumah
sakit, padahal anggaran BPJS pada 2014 disediakan
nyaris 20T, jauh lebih besar dari Jamkesmas, hal tersebut
harusnya menyenangkan rumah sakit. (Purnawan,
2014). Pada kenyataannya sebagian besar rumah sakit
masih mengalami selisih negatif antara klaim berdasarkan
tarif rumah sakit dibandingkan dengan tarif INA
CBG’s, sebagaimana yang tergambar dalam tabel
selisih tarif pelayanan di beberapa rumah sakit di
Sumatera Selatan.
Klaim pembiayaan pasien peserta JKN pada 2014
menunjukkan adanya selisih positif dan negatif atas
biaya klaim RSUP Dr. Mohammad Hoesin dengan
Tarif INA CBGs untuk rawat inap selama Tahun 2014
adalah sebesar Rp232.263.700,-. Sedangkan untuk
Kasus CAD pada pasien rawat inap terdapat selisih
negatif sebesar Rp598.025.075,- Bahkan untuk kasus
CAD dengan tindakan PCI (Percutaneous Coronary
Intervention) selisih negatif yang terjadi jauh lebih besar
yaitu sebesar Rp876.512.398,-.
Tingginya selisih biaya negatif pada kasus CAD pada
tindakan PCI, mengindikasikan pembiayaan kesehatan
masih terdapat kesenjangan antara tarif rumah sakit
dengan tarif INA CBGs di rumah sakit pada tahun 2014,
sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai perhitungan
Cost Recovery Rate (CRR), dengan membandingkan
Cost of Treatment dengan tarif INA CBG’s dan tarif
rumah sakit pada kasus CAD dengan tindakan PCI.
TINJAUAN PUSTAKA
Evaluasi ekonomi merupakan suatu analisis secara
kualitatif dari apa yang diharapkan atau diinginkan oleh
masyarakat dalam melakukan intervensi pada beberapa
proyek atau program, dimana harapan dan keinginan
tadi didasarkan pada efiensi dari cost dan konsekuensi
dari opportunity cost. Evaluasi ekonomi dapat dilakukan
dari berbagai perspektif, dan yang paling umum
digunakan adalah perspektif rumah sakit, perspektif
kesehatan, perspektif pembayar pihak ketiga dan
perspektif masyarakat. Dari perspektif rumah sakit,
hanya biaya rumah sakit yang sebenarnya termasuk
dalam analisis. Perspektif kesehatan meliputi dokter
umum atau biaya perawatan kebidanan. Dari perspektif
pembayar pihak ketiga, biaya pelayanan kesehatan
untuk manajemen pasien yang tercermin dari
pembayaran yang dilakukan (tarif), terlepas dari biaya
yang sebenarnya. Perspektif sosial mencakup semua
biaya pelayanan kesehatan aktual dan biaya pelayanan
kesehatan di luar, seperti out-of-pocket dan biaya yang
terkait dengan kerugian produktivitas karena ketidakmampuan
untuk bekerja. (Fiddelers et al, 2006).
Pengertian Biaya bagi rumah sakit yang sudah
berbentuk Badan Layanan Umum mengacu kepada
Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang
pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU) yang
kemudian dilakukan perubahan dengan Perpres nomor
74 tahun 2012 dan Permendagri nomor 61 tahun 2007
bahwa biaya BLU merupakan biaya operasional dan
biaya non operasional. Biaya operasional BLU mencakup
semua biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan tugas
dan fungsinya. Dalam hal ini rumah sakit BLU
mempunyai tugas dan untuk penyediaan pelayanan
kesehatan. Biaya non operasional BLU adalah semua
biaya yang menjadi beban BLU dalam rangka
menunjang tugas dan fungsinya.
Biaya satuan adalah biaya yang perlu dikeluarkan untuk
menghasilkan suatu produk (barang atau jasa) atau biaya
yang dihitung untuk setiap produk (layanan atau barang)
dan disebut juga dengan biaya rata-rata atau average
cost. (Horngren, 2006; Wonderling, 2005) Sehingga
untuk melakukan perhitungan biaya satuan pelayanan di
RS perlu diketahui besaran (cakupan) atau jenis produk
layanan yang dihasilkan.
Cost of Treatment adalah perhitungan biaya yang terkait
dengan biaya langsung dan tak langsung yang dibutuhkan
untuk melakukan perawatan/tindakan layanan kesehatan per
penyakit terhadap pasien yang sesuai dengan Clinical
Pathway-nya. Secara teknis perhitungan biaya tersebut
akan mempergunakan activity based costing untuk
biaya langsungnya yang dimodifikasi dengan simple
distribution method untuk biaya tak langsungnya
(Rivany, 2010).
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 247
Dengan perhitungan analisis biaya berbasis metode
activity based costing dan metode simple distribution,
maka akan dapat dihitung biaya total dan biaya satuan
yang dibutuhkan untuk setiap tindakan/aktivitas yang
terjadi mulai dari pasien datang sampai pulang dengan
sembuh yang sesuai dengan clinical pathway-nya
masing-masing. Dengan mengacu pada clinical
pathway maka akan dapat diketahui berbagai macam
jenis tindakan dan jumlah utilisasinya (U), di samping itu
dapat dihitung pula Direct Cost (DC), Indirect Cost
(IDC), Total Cost (TC) serta Unit Cost (UC)-nya
sehingga secara subtotal akan dapat diperoleh biaya per
aktivitas dari clinical pathway (utilisasi x unit cost) dan
biaya total dari cost of treatment yang merupakan
penjumlahan biaya per aktivitas yang telah dihitung
terlebih dahulu sebelumnya (cost/DRG) (Rivany,
2010).
Salah satu tujuan menentukan tarif adalah untuk
memperoleh peningkatan Cost Recovery Rate, yaitu
nilai dalam persen yang menunjukkan seberapa besar
kemampuan rumah sakit menutup pengeluaran atau
biayanya (cost) dibandingkan dengan penerimaan dari
retribusi pasien (revenue) (Djuhaeni, 2009; Gani, 1997).
Cost index merupakan perhitungan prosentase
komponen biaya pada tahapan clinical pathway untuk
menganalisa bobot komponen biaya ada pada setiap
tahapan. Dengan cost of treatment yang telah dihitung
berbasis clinical pathway, diharapkan dapat melakukan
pengendalian biaya dengan lebih baik. Perhitungannya
adalah dengan membagi total cost pada tiap tahapan
dengan seluruh total cost of treatment.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 59 tahun 2014
menyebutkan bahwa Tarif INA CBGs adalah besaran
pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas
paket layanan yang didasaran kepada pengelompokkan
diagnosis penyakit dan prosedur.Dalam Peraturan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
(Permenkes RI) Nomor 27 Tahun 2014 Tentang
Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups
(INA-CBGs) disebutkan bahwa Indonesian Case Base
Groups (INA CBGs) adalah sistem pembayaran dengan
dengan sistem paket berdasarkan pengelompokan penyakit
dan diagnosis yang mengacu pada ciri klinis yang sama
dengan menggunakan United Nation University Grouper.
Dasar pengelompokan dalam INA-CBGs menggunakan
sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan atau
prosedur yang menjadi output pelayanan, dengan acuan
ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk
tindakan/prosedur. Clinical Pathways (CP) adalah suatu
konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum
setiap langkah yang diberikan kepada para pasien
berdasarkanstandar pelayanan medis dan asuhan
keperawatan yangberbasis bukti dengan hasil yang
terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di
rumah sakit.
Coronary Artery Disease (CAD) atau dikenal juga
dengan Coronary Heart Disease (CHD) /Penyakit
Jantung Koroner (PJK) didefinisikan sebagai penyakit
jantung dan pembuluh darah yang disebabkan karena
penyempitan arteri koroner. Penyempitan tersebut dapat
disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis
arteritis, embolikoronaria, dan spasme.Tujuan utama
pengobatan adalah mencegah kematian dan terjadinya
serangan jantung (infark). Sedangkan yang lainnya
adalah mengontrol serangan angina, sehingga memperbaiki
kualitas hidup. Pengobatan terdiri dari farmakologis dan
non-farmakologis untuk mengontrol angina dan juga
memperbaiki kualitas hidup. Tindakan lain adalah terapi
reperfusimiokardium dengan cara intervensi koroner
dengan balon (PCI/PTCA) dan pemakaian stent sampai
operasi CABG (bypass).
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan
kualitatif. Desain penelitian kuantitatif dengan pedekatan
cross sectional untuk analisis biaya. Penelitian diawali
dengan menentukan Clinical Pathway yang kemudian
dilakukan penyusunan Cost of Treatment dari tindakan
CAD dengan tindakan PCI. Kemudian membandingkan
cost of treatment yang telah tersusun dengan TarifINA-
CBG’s dan cost of treatment dengan Tarif Rumah Sakit.
Sedangkan penelitian kualitatif dengan dilakukannya
Focus Discussion Group dan wawancara. Penelitian
dilakukan di bagian rekam medis, bagian keuangan,
ruang SIMRS RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.Waktu pelaksanaan penelitian bulan Januari
sampai Maret 2015. Pengambilan data primer dilakukan
dengan pengamatan langsung dari ruang Admisi sampai
ke ruang rawat inap Instalasi Brain and Heart Center,
ruang Catheter Jantung serta melaksanakan wawancara
dengan kelompok Staf Medis Penyakit Dalam Divisi
Kardiovaskuler (Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Konsultan Kardio Vaskuler) dan Kelompok Staf Medik
Kardiologi (Dokter Spesialis Jantung dan Paru).
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 248
Pengumpulan data sekunder dilakukan pengisian
formulir daftar isian untuk mengetahui pemakaian
fasilitas dalam tindakan PCI pada pasien Penyakit
Jantung Koroner selama bulan Januari sampai Maret
tahun 2015 yang tertera dalam arsip catatan Rekam
Medis Pasien. Selain itu dikumpulkan juga informasi
dari bagian keuangan untuk mengetahui biaya masing-
masing variabel dan total yang dibayarkan selama masa
perawatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Data mengenai karakteristik responden dalam penilitian
ditampilkan dalam tabel 1, 2, 3 dan 4. Dari karakteristik
dan lama hari rawat pasien serta penyakit penyerta dan
penyulit kemudian dilakukan pengelompokan berdasarkan
clinical pathway yang disepakati. Kemudian data yang
didapat diolah dan dihitung sesuai dengan tindakan
berdasarkan metode penelitian sehingga diperoleh unit cost
masing-masing pelayanan dan kemudian dirangkum
sebagai Cost of Treatment CAD.
Penyakit penyerta yang diperhitungkan adalah jenis
penyakit yang jumlahnya paling banyak ditemukan
dalam rentang waktu pengambilan kasus penelitian,
antara lain:
1. Dislipidemia (E. 789)
2. Hipertensive Heart Disease /HHD (I.119)
3. Hipertensi (I.10)
4. Diabetes Melitus (E119)
Sedangkan jenis penyakit penyulit yang ditemui
bersama penyerta yang ditemukan dalam rentang waktu
pengambilan kasus penelitian, antara lain:
1. Congestive Heart Failure (I.110)
2. Infark Miokard (I.21.0)
Unit cost yang diperlukan dalam kegiatan ini adalah
yang terkait dengan kegiatan selama perawatan pasien
CAD dengan PCI sesuai clinical pathway. Beberapa
kegiatan langsung dirangkum menjadi satu unit cost
kegiatan seperti kegiatan Tindakan PCI dan asuhan
keperawatan.
Unit cost untuk obat dan alat kesehatan diperoleh dari
daftar harga yang diberikan Instalasi Farmasi RSMH.
Dalam kegiatan PCI utisisasi alat kesehatan yang
berpengaruh dalam tindakan PCI adalah stent baik
jumlah dan jenis yang dipasang.
Cost of Treatment adalah perhitungan biaya yang terkait
dengan biaya langsung dan biaya tak langsung yang
dibutuhkan untuk melakukan perawatan/tindakan PCI
sesuai dengan Clinical Pathway pada pasien CAD yang
telah disepakati. Penghitungan biaya dilakukan berdasarkan
3 (tiga) clinical pathway yang ada di atas. Selain itu
pengitungan juga dibedakan berdasarkan akomodasi yang
ada dan jumlah stent yang dipergunakan pada tindakan PCI
yang dilakukan (ditampilkan dalam tabel 5).
Cost Index merupakan persentase perhitungan dari total
cost pada tiap tahapan dalam clinical pathway pasien
CAD yang dibagi dengancost of treatment. Secara
keseluruhan dalam kasus pasien CAD yang dilakukan
tindakan PCI maka cost index terbesar berada dalam
tahapan tindakan operasi (Percutaneus Coronary
Intervention) (ditampilkan dalam tabel 6).
Cost Recovery Rate merupakan hasil perhitungan dari
perbandingan hasil penerimaan dari pasien dengan total
pembiayaan yang dikeluarkan rumah sakit. Perhitungan
tarif INA CBG’s yang digunakan sesuai dengan PMK
No. 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem
Indonesian Case Base Groups(INA-CBGs)dan PMK
No. 59 tahun 2014 tentang 2014 standar tarif pelayanan
kesehatan dalam penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatanyang telah diaplikasikan dalam software INA
CBGs versi 4,1.
Dalam INA CBG’s terdapat Special CMG atau special
group pada tarif INA-CBGs saat ini dibuat agar
mengurangi resiko keuangan rumah sakit. Saat ini
hanya diberikan untuk beberapa obat, alat,prosedur,
pemeriksaan penunjang serta beberapa kasus kasus
penyakit sub akut dan kronis yang selisih tarif INA
CBGs dengan tarif rumah sakit masih cukup besar.
Sedangkan saat ini kode special CMGYY03 tarifnya
sesuai grouper versi 4,1 hanya bernilai Rp. 18.600.200,00.
Nilai tarif Prosedur PCI dalam tarif INA CBG’s sesuai
kelas rawat dan penambahan special CMG ditampilkan
dalam tabel 7, 8, dan 9.
Dari Hasil perbandingan tarif tersebut penulis kemudian
mencoba menempatkan pengelompokan tarif RS dan
INA CBGs terhadap COT yang dianggap setara. Hasil
perbandingan tarif tersebut dapat dilihat pada tabel 4.10.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 249
Dari tarif INA-CBGs yang bisa kita hitung nilai CRR
nya hanya untuk Pasien CAD dengan tindakan PCI
Murni diasumsikan setara dengan tindakan perkutaneus
ringan. Sedangkan dengan penyerta dianggap setara
dengan tindakan PCI sedang dan yang tertinggi CAD
dengan penyerta penyulit dianggap setara dengan
tindakan PCI berat. Sedangkan perbedaan harga stent
tidak dapat diukur.Hal ini dikarenakan tidak adanya
kejelasan pengelompokkan kriteria ringan, sedang dan
berat pada pola tarif INA-CBGs (ditampilkan dalam
tabel 10, 11, dan 12).
Jika melihat dari prinsip AR DRG maka pengelompokan
pasien hanya dikelompokkan 2 kelompok yaitu kelompok
murni tanpa komorbiditi dan tanpa komplikasi. Sedangkan
dalam penulisan diagnosis yang tertera didalam rekam
medis biasa dilakukan oleh dokter tidak selalu sama dan
sesuai dengan diagnosa yang dipilih coder atau petugas
rekam medis. Penetapan diagnosis utama sangat
ditentukan oleh dokter yang merawat pasien, namun
pada kenyataannya penulisan diagnosa kadang dilakukan
oleh dokter residen/ruangan yang mungkin memiliki
persepsi yang berbeda dengan dokter penanggung
Jawab Pasien (DPJP).
Dari data yang diperoleh selama penelitian diagnosa
Coronary artery Disease termasuk dalam pengkodean
ICD X yaitu I.25.1 Atherosclerotic heart disease masuk
dalam MDC 5 disease and dissorder of the circulatory
system. Berdasarkan wawancara dengan petugas rekam
medis, dokter penanggung jawab pasien dan perawat
ruangan, pada umumnya dokter tidak pernah menulis
diagnosa berdasarkan pengkodean ICD X. Pengkodean
ICD dilakukan oleh petugas rekam Medis. Beberapa
penelitian terdahulu menyebutkan bahwa rekam medis
di rumah sakit masih belum baik, baik dari segi
kelengkapan maupun pemahaman tentang ICD-X
(Suryati, 1998, Muchlis, 2014).
Lama hari rawat sangat ditentukan oleh diagnose
penyakit, komplikasi serta adanya penyakit penyerta dan
adanya tindakan medis tambahan yang dilakukan.
Sulastomo (1997) menyatakan rata-rata lama hari rawat
berkaitan dengan adanya tindakan operasi, penyakit
pemberat dan penyakit penyerta yang dialami pasien
serta sistem pembayaran. Namun pada tabel 4.2
menunjukkan bahwa kelomppok penyakit CAD
dengan diagnosa murni dan CAD dengan penyerta
memiliki lama hari rawat yang hampir sama hal ini
disebabkan karena penyakit penyerta pada pasien CAD
dengan penyerta pada prinsipnya merupakan faktor
resiko dari kejadian CAD sendiri seperti Dislipidemia,
Hipertensi, Coagulasi dan diabetes Melitus, sehingga
penatalaksanaan perawatan dan pengobatan lebih
kurang sama. Namun pada penderita CAD dengan
Penyerta dan penyulit memiliki lama hari perawatan
yang lebih panjang, disebabkan adanya penatalaksanaan
terhadap penyulit yang muncul. Walaupun tindakan
CAD harus segera dilakukan walaupun dengan penyulit
yang ada. Perbedaan penatalaksanaan biasanya adalah
pada lama hari rawat setelah tindakan PCI untuk
mengatasi faktor penyulit yang ada.
Clinical pathway tersebut disusun dari data rekam medis
yang dikumpulkan sehingga menjadi suatu draft dengan
mempedomani clinical pathway terdiri dari pendaftaran,
penegakkan diagnose, pra terapi (pra operasi), terapi
(operasi), tindak lanjut, dan pulang. Diskusi dilakukan
sampai menjadi suatu clinical pathway yang disepakati
dan dapat digunakan untuk kasus CAD dengan
Tindakan PCI di RSUP Dr Mohammad Hoesin
Palembang melalui kesepakatan peer group.
Kesepakatan penetapan LOS 3 hari merupakan hasil
wawancara dengan dokter SPPD KKV dan data dari
jumlah rata-rata LOS pasien CAD yang dirawat pro
PCI. Pada pasien CAD pro PCI yang murni dan dengan
penyerta LOS disepakati sama karena tidak terdapat
perbedaan yang terlalu bermakna dalam penangan
kedua kelompok pasien tsb, mengingat penyakit
penyerta yang ditunjukkan adalah merupakan faktor
risiko terjadinya CAD, sehingga pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan kurang lebih sama.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan
pasien kasus CAD dengan tindakan PCI dapat
dilakukan selama 3 hari untuk pasien CAD murni dan
CAD dengan penyerta, secara umum telah dilakukan
para dokter, tetapi sebagian masih melebihi LOS 3 hari
yang telah ditetapkan tersebut. Dari rata-rata 3 hari
tersebut dapat dilihat seberapa besar biaya pelayanan
yang ditimbulkan jika melebihi masa rawat tersebut
semakin besar biaya yang dikeluarkan dan menunjukkan
bagaimana efisiensi layanan yang diberikan.
Hal ini sesuai dengan tujuan clinical pathway yaitu
sebagai alat ukur efisiensi dalam pelayanan kesehatan.
Sesuai dengan penelitian Dewi Indah (2015) yang
menunjukkan bahwa dengan adanya penatalaksanaan
pasien melalui clinical pathway beserta utilisasinya
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di
RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 250
maka biaya dapat dihitung sesuai dengan kondisi dan
kelompok diagnose suatu penyakit.
Disamping itu dapat dilihat melalui clinical pathway
yang sudah disepakati dapat dilakukan pengendalian
terhadap pemeriksaan penunjang yang perlu, sebagaimana
manfaat dari clinical pathway yaitu (Fryer, Rosch &
Amrizal, 2005): menurukan variasi pelayanan dan
meningkatkan hasil klinis, mendukung penggunaan
clinical guidelines dan pengobatan berbasis evidence,
menurunkan biaya perawatan, efisiensi penggunaan
sumber daya tanpa mengurangi mutu, sebagai alat
kendali mutu dan kendali biaya dalam pemberian
pelayanan kesehatan.
Dalam penelitian ini unit cost yang mendukung kegiatan
pelayanan kasus CAD dengan tindakan PCI diperoleh
melalui unit cost rumah sakit yang disusun pada tahun
2012. Idealnya penyusunan unit cost ini menggunakan
unit cost yang sudah disesuaikan dengan data tahun
terakhir.
Dari unit cost yang menyusun biaya pelayanan tindakan
PCI pada pasien CAD ternyata unit cost tertinggi adalah
unit cost layanan tindakan PCI, yaitu sebesar
Rp29.284.773,00. sedangkan dalam tiap tindakan PCI
terdapat utilitasi stent yang bernilai rata-rata
Rp.18.496.175,00 per satuannya. Dimana jenis stent
yang digunakan pada seluruh sample penelitian adalah
DES (drug eluting stent). Berdasarkan penelitian David
D.Ariwibowo et al, 2008, jenis DES terbukti mengurangi
kebutuhan revaskularisasi dibandingkan bare metal
stent. Namun stent dengan jenis DES mempunyai
harga cukup tinggi dibanding non DES.
Hal ini sesuai dengan penelitian Wita,Virna (2012),
Hamka (2010) yang menyebutkan bahwa biaya
operasional dengan persentase terbesar (>70%) dari total
biaya satuan tindakan bedah, dimana komponen obat
termasuk didalamnya. Hal ini juga sesai dengan
penelitian Putra (2011) yang menyatakan bahwa
komponen biaya yang terbesar dalam variabel cost
adalah biaya bahan habis pakai medis, hal ini disebabkan
karena tindakan medis memerlukan bahan dan alat
kesehatan habis pakai yang banyak dan mahal. Jenis dan
lamanya waktu pemberian tindakan merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan macamnya
alat kesehatan yang digunakan. Dengan demikian biaya
yang ditanggung pasien juga berbeda tergantung utilitas
alat.
Dari kesepakatan 3 clinical pathway untuk tindakan PCI
pada pasien CAD di RSMH, selanjutnya dilakukan
perhitungan cost of treatment masing-masing clinical
pathway tersebut.
Perhitungan cost of treatment dalam penelitian ini
menggunakan metode Activity Based Costing + Double
Distribution Methode. Methode double distribution
dipergunakan untuk menghitung biaya satuan per unit
pelayanan. Setelah didapat unit cost masing-masing unit
produksi maka dikalikan dengan utilisasinya berdasarkan
activity based costing dengan penambahan biaya obat
dan jasa medis juga asuhan keperawatan.-
Dalam penelitian ini cost of treatment dari pasien CAD
dengan tindakan PCI bervariasi sesuai 3 clinical
pathway yang telah disepakati, semakin berat derajat
keparahan penyakit semakin besar COT yang terjadi.
Pada pasien CAD yang dilakukan PCI tanpa penyerta
dan penyulit COT hanya Rp.31.518.054,00, sedangkan
dengan penyerta bernilai Rp.34.052.935,00 dan CAD
dengan penyerta dan penyulit nilai COT meningkat
menjadi Rp.36.234.104,00. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan dalam pemeriksaan penunjang yang dilakukan,
obat-obatanyang digunakan serta lamanya hari rawat.Hal ini
ditambah lagi dari setiap clinical pathway yang ada terdapat
perbedaan utilitas stent, sehingga setiap peningkatan jumlah
stent yang ada akan meningkatkan jumlah cost of treatment.
Hasil penelitian menunjukkan kesesuaian dengan
penelitian Dewi (2013) dan Muchlis (2014). Dimana
dalam penelitian mereka menunjukkan adanya penyakit
penyerta dan penyakit penyulit dan komplikasi
menunjukkan peningkatan jumlah cost of treatment
penangan pasien (herniotomi dan appendiktomi) karena
perbedaan utilisasi alat medis dan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan pada masing-masing kelompok clinical
pathway.
Selain itu semakin tingginya kelas rawat akan meningkatkan
COT. Akomodasi kelas ikut memperbesar nilai COT,
seperti pada pasien dengan akomodasi kelas I akan
mengalami pengingkatan nilai pada tahapan discharge
sehingga kan mempengaruhi nilai COT secara
keseluruhan. Dalam penelitian COT tertinggi ada pada
kelas rawat yang paling tinggi dan paa CAD dengan
penyulit dan juga penyerta dimana akomodasi yang
ditambahkan menjadi 6 kali akomodasi kelas I ditambah
utilisasi stent sebanyak 4 buah sehingga nilai COT
mencapai Rp. 112,874,436,00. Sedangkan CAD murni
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 251
dengan tindakan PCI pada ruang perawatan kelas III
dengan utilisasi stent hanya 1 buah nilai COT hanya
mencapai Rp 51,342,045,00
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian
Muchlis (2014) yang menunjukkan adanya perbedaan
cost of treatment pada pasien dengan akomodasi kelas
I,II dan III. Dimana semakin tinggi kelas perawatan nilai
COT semakin besar.
Pada hasil penelitian, tahapan terapi atau operasi mempunyai
indeks terbesar baik pada kelompok penyakit murni,
penyerta, maupun kelompok komplikasi (penyulit) dan
penyerta.Satuan indeks standar merupakan hasil
persentasi dimana perhitungannya adalah tahapan
clinical pathway dibagi dengan cost of treatment. Index
ini kemudian bisa menjadi standar acuan perbandingan
antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Jika
dibandingkan dengan penelitian–penelitian sebelumnya
untuk tindakan operasi memang tahapan yang
membutuhkan biaya paling besar (ditampilkan dalam
tabel 12).
Melihat cost indeks dalam tabel diatas memperlihat
bahwa dalam tahapan penegakkan diagnosa sampai
dengan tahapan pulang relatif sebanding dengan nilai
yang terdapat pada di rumah sakit lain untuk tindakan
operasi yang lain. Namun dalam tahapan operasi cost
indeks RSMH sangat tinggi dibanding RS lain. Hal ini
disebabkan dalam tindakan operasi lain peralatan dan
biaya operasi sudah mempertimbangkan biaya yang
dikeluarkan relatif sama sedangkan dalam kegiatan
tindakan PCI unit cost yang terdapat di RSMH untuk
timdakan PCI cukup tinggi, hal ini dihubungkan dengan
pada saat penetapan unit cost peralatan yang digunakan
masih baru sehingga nilai penyusutan alat bernilai kecil.
Disamping itu penggunaan stent yang mahal dalam
tindakan PCI juga sangat mempengaruhi besaran cost of
treatment. Semakin banyak stent yang digunakan maka
akan semakin besar nilai cost of treatment yang muncul
maka akan mempengaruhi persentase cost index
tahapan tersebut.
Ketentuan tarif yang berlaku di RSMH Palembang
adalah berdasarkan sesuai PMK Nomor: 100/PMK.05/
2014 dan berdasarkan SK Direktur yang besarannya
ditetapkan dengan mempertimbangkan pembiayaan
total dan distribusi biaya serta adanya target margin.
Untuk tindakan PCI besaran tarif dibedakan berdasarkan
jenis tindakan termasuk dalam tarif tindakan elektromedik
berdasarkan jumlah stent yang digunakan.
Dari tabel 13 terlihat bahwa semakin banyak jumlah
stent yang digunakan maka semakin besar nilai cost of
treatment yang terjadi. Pemakaian stent dengan DES
memang dianjurkan dimana stent dengan DES akan
mengurangi kemungkinan perulangan kejadi sklerosis
pembuluh darah koroner.
Jika melihat tarif yang ada maka selisih tarif untuk setiap
penambahan stent hanya berkisar Rp.10.000.000,- s/d
Rp.16.000.000,- Jumlah ini tidak menutupi jumlah unit
cost untuk tiap penambahan stent jenis DES yang
bernilai Rp.18.496.175,00 per satuannya. Penetapan tarif
stent d RS telah melalui persetujuan dari kementerian
kesehatan dan Kementerian keuangan, yang dapat
dipengaruhi oleh daya beli masyarakat. Pada umumnya tarif
rumah sakit di Indonesia rendah, bahkan lebih rendah dari
pada biaya satuan sehingga membutuhkan subsidi dari
pemerintah untuk pengembalian biaya satuan tersebut
(Thabrany, 1998).
Dalam penelitian Setiaji (2008) disampaikan bahwa,
rumah sakit pemerintah cenderung mempunyai over
head cost yang tinggi, hal ini terutama karena biaya gaji
yang tinggi akibat besarnya jumlah pegawai tetap, akan
tetapi tidak disertai dengan produktivitas yang tinggi,
sehingga berakibat proses penetapan tarif dalam rumah
sakit pemerintah harus memperhatikan berbagai isu
yaituisu sosial dan amanat rakyat, isu ekonomi dan isu
politik.
Namun demikian seharusnya sebagai rumah sakit yang
sudah berbentuk Badan Layanan Umum, penetapan
tarif layanan seharusnya tetap mempertimbangkan
kemampuan rumah sakit menutupi biaya operasionalnya
dari pendapatan layanan yang diberikan.Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 111 Tahun 2013, mengamanatkan
tarif ditinjau sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun.
Upaya peninjauan tarif dimaksudkan untuk mendorong
agar tarif makin merefleksikan actual cost dari
pelayanan yang telah diberikan rumah sakit. Selain itu
untuk meningkatkan keberlangsungansistem pentarifan
yang berlaku, mampu mendukung kebutuhan medis
yang diperlukan dan dapat memberikan reward
terhadap rumah sakit yang memberikan pelayanan
dengan outcome yang baik
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 252
Tarif INA CBG’s yang digunakan dalam pengklaiman
pasien JKN? BPJS di RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang adalah Tarif INA CBGs versi 4,1 untuk tarif
Rumah Sakit Kelas A di Regional 2. Dalam pembayaran
menggunakan CBG's, baik Rumah Sakit maupun pihak
pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian
pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan
menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG.
Pada kode INA-CBGs tindakan PCI pada pasien CAD
termasuk dalam pengelompokkan kode INA-CBGs
terbagi menjadi 3 kategori, yaitu: I-1.40-I (Prosedur
Kardiovaskular Perkutan Ringan, tingkat keparahan 1
(tanpa komplikasi maupun komorbiditi), I-1.40- II
(Prosedur Kardiovaskular Perkutan Sedang, tingkat
keparahan 2 dengan mild komplikasi dan komorbiditi),
I-1.40-III (Prosedur Kardiovaskular Perkutan Berat,
tingkat keparahan 3 dengan major komplikasi dan
komorbiditi).
Istilah ringan, sedang dan berat dalam deskripsi dari
Kode INA-CBGs bukan menggambarkan kondisi
klinis pasien maupun diagnosis atau prosedur namun
menggambarkan tingkat keparahan (severity level)
yang dipengaruhi oleh diagnosis sekunder (komplikasi
dan ko-morbiditi). Dalam aplikasi terakhir INA CBG
yaitu sistem INA CBGs versi 4,1 terjadi peningkatan
dan penurunan nilai tarif. Top up tersebut pada PCI
bernilai sama pada semua severity level dan pada semua
kelas, untuk Regional 2 RS tipe A bernilai
Rp.18.600.200,00 (PMK 59 th.2014). Nilai spesial
prosedur PCI termasuk yang mengalami penurunan
nilai tarif, dimana dari sebelumnya bernilai Rp.
19.476.681.
Tarif INA CBGs tidak melihat besaran jumlah alat
medis ataupun alat habis pakai yang digunakan dalam
tindakan PCI, ini ditunjukkan dari seragamnya nilai top
up tindakan PCI pada semua severity level dan pada
semua kelas. Hal ini juga disebutkan secara jelas pada
PMK 27.thn 2014 bahwa besaran nilai pada tarif special
CMG tidak dimaksudkan untuk menganti biaya yang
keluar dari alat, bahan atau kegiatan yang diberikan
kepada pasien, namun merupakan tambahan terhadap
tarif dasarnya.
Disamping itu perbedaan metode penghitungan biaya
dalam menentukan tariff rumah sakit adalah berdasarkan
hospital base rate. Dimana tarif RS yang dijadikan
sebagai data dasar pengambilan sample adalah rumah
sakit pemerintah, yang dalam penetapan tarifnya banyak
dipengaruhi oleh pertimbangan daya beli masyarakat
dan subsidi pemerintah. Sehingga tarif yang dikeluarkan
rumah sakit tersebut cenderung lebih rendah dari unit
cost sebenarnya. Padahal rumah sakit harus mengeluarkan
biaya yang berbeda pada setiap perbedaan utilitas alat, karena
mempertimbangkan penggantian atas biaya yang sudah
dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Dewi
(2013) dan Muchlis (2014) yang menyebutkan betapa
sulitnya menerapkan pengelompokkan tarif berdasarkan
INA CBGs karena adanya perbedaan cara pengelompokkan
dengan tarif RS.
Dalam pengelolaan suatu rumah sakit baik pemerintah
maupun swasta, nilai CRR diatas 100% merupakan
tujuan yang ingin dicapai. Hal ini artinya total biaya yang
dikeluarkan dapat ditutupi seluruhnya dengan biaya
penerimaan rumah sakit. Nilai CRR akan memperlihatkan
seberapa besar subsidi yang harus diberikan pada suatu
rumah sakit. Hasil penelitian memperlihatkan untuk
kategori pasien BPJS dengan tarif INA-CBGs, pada tiap
diagnosa yang berbeda dengan utilisasi yang berbeda
maka akan muncul nilai CRR yang berbeda. Semakin
banyak jumlah stent yang digunakan maka semakin
kecil nilai CRR yang dihasilkan.
Nilai CRR tarif INA CBG yang ada untuk kasus CAD
murni pada pasien kelas I sampai kelas III secara umum
berada di bawah angka 90% untuk 1 stent dan
kecenderungannya semakin kecil jika stent yang
dipergunakan meningkat sampai 4 stent. Sedangkan
untuk kasus CAD dengan Penyerta yang dilakukan
tindakan PCI secara umum jika pemakaian stent
mencapai 2 stent maka CRR masih berada diatas nilai
100%, namun jika stent yang digunakan sudah
mencapai 3 stent maka nilai CRR rata-rata berada pada
kisaran 90%. Jika stent yang digunakan 4 buah maka
CRR hanya mencapai 50% bahkan kurang .atau lebih.
Pada kasus CAD dengan Penyerta, dan Penyulit untuk
tindakan PCI yang menggunakan 1dan 2 stent baik pada
kelas I sampai kelas III rata-rata nilai CRR berada diatas
100%. Hal ini disebabkan utilisasi stent menghabiskan
biaya yang cukup besar, sedangkan top up pada spesial
prosedur PCI hanya diperkenankan satu kali dengan nilai
yang sama di setiap kelas yaitu sebesar Rp.18.600.200.
padahal unit cost yang dikeluarkan oleh rumah sakit
untuk setiap stent adalahRp.18.496.175,00 per satuannya.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 253
Adapun Nilai CRR yang dapat diperbandingkan adalah
tindakan PCI pada CAD murni di kelas rawat I dan kelas
III dengan utilisasi stent sebanyak 3 buah, tarif RS
menunjukkan CRR mendekati 100% sedangkan tarif
INA CBG hanya mencapai 50%. Untuk perbandingan
CRR pada pasien CAD dengan Penyulit dan Penyerta
dikelas II dengan utilisasi stent 3 CRR Tarif RS
mencapai 92% sedangkan tarif INA CBGs mencapai
100%. Pada pasien kelas III dengan utilisasi stent 1 buah
CRR tarif RS mencapai 119,01% sedangkan dari tarif
INA CBG mencapai 149 %.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Budiarto dan
Sugiarto (2012) yang menyatakan untuk RSUP kelas A,
kelas B maupun RS khusus biaya penggantianklaim
menurut INA CBGs lebih besar dibandingkandengan
biaya menurut tarif riil rumah sakit, sehingga rumah
sakit ‘tidak rugi’ kalau penggantian perawatan dan
tindakan pasien Jamkesmas menggunakan INA CBGs.
Namun penelitian lain menyebutkan bahwa rerata CRR
tafif INA CBGs lebih rendah dari CRR tarif RS,
sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Dewi
(2014) yang menyebutkan bahwa CRR terhadap tarif
INA CBGs berkisar antara 90.85% hingga 65,98%.
Sedangkan CRR tarif RS berada diatas 100%. Hal yang
hampir serupa ditunjukkan dalam penelitian Muchlis
(2014) CRR tarif Rumah sakit secara keseluruhan
disemua kelas mencapai angka lebih dari 131% namun
jika dibandingkan dengan CRR tarif INA CBGS dari
semua kelas maka nilai tertinggi hanya mencapai 57%.
Dalam penelitian ini dilakukan analisis sensitivitas yang
dimaksudkan untuk mencari nilai maksimal dari
perubahan komponen penyusun unit cost sehingga
dapat memberikan penilaian yang berbeda dari tarif
yang diperbandingkan.
Sebagai Rumah sakit pemerintah, biaya investasi berupa
bangunan dan peralatan serta gaji PNS mendapatkan
bantuan biaya dari APBN, sehingga untuk melihat
sensitivitas dalam penelitian ini dalam perhitungan unit
cost biaya investasi dikeluarkan untuk melihat besaran
CRR tanpa investasi dan CRR tanpa investasi dan tanpa
gaji PNS dengan mengeluarkan biaya investasi dan gaji
PNS dalam perhitungan unit cost.
Dari tabel 7.3 Tabel Perbandingan CRR Tarif INA
CBGs dan Tarif Rumah Sakit terhadap COT dengan
Investasi dan Gaji PNS, COT Tanpa Investasi serta
COT Tanpa Investasi dan gaji PNS pada halaman 107,
ditunjukkan bahwa jika biaya investasi dikeluarkan
maka CRR tarif INA CBGs dan CRR tarif rumah sakit
menunjukkan nilai yang lebih baik, kecenderungan
mencapai nilai 100 % lebih Kecuali utilisasi stent 3 pada
kelompok penyakit CAD dengan PCI Murni maka
CRR tarif INA CBGs masih berkisar diangka 47%-
56%.
Hal ini menunjukkan nilai stent masih tetap memegang
peranan penting dalam menentukan besarnya cost of
treatment baik tanpa mempehitungkan nilai investasi
maupun dengan memperhitungkan nilai investasi. Di
samping itu nilai investasi dan gaji pegawai memegang
peranan yang cukup besar melihat adanya penurunan
nilai cost of treatment pada tiap kelompok CAD
berdasarkan clinical pathway (ditampilkan dalam tabel
14).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ada perbedaan cost recovery rate (CRR) tarif INA
CBG’s dan tariff rumah sakit pada kasus CAD dengan
PCI dimana CRR tariff rumah sakit pada severity level I
dan II dengan utilisasi stent 1-4 lebih baik dari CRR INA
CBGs karena tariff RS memperhitungkan penambahan
jumlah stent pada setiap tindakan PCI sedangkan tariff
INA CBGs tidak memperhitungkan penambahan stent
tersebut. Tetapi pada severity level IIIdengan utilisasi
stent sampai dengan 2 nilai CRR INA CBGs lebih baik
dari CRR RS karena tariff INA CBGs terhadap
tindakan PCI di severity level III cukup tinggi melebihi
COT, namun jika utility stent lebih dari 2 maka CRR
sudah turun dibawah angka 100%. Ini berarti nilai stent
sangat berpengaruh dalam menetukan nilai COT pada
tindakan PCI bagi pasien CAD.
Saran
Perlu dilakukan evaluasi metode penghitungan tarif
INA CBGs yang berdasarkan metode case base rate,
agar menggunakan pendekatan cost of treatment
berdasarkan clinical pathway. Sehingga besaran biaya
yang dikeluarkan untuk penyakit tersebut sudah
dipertimbangkan sepenuhnya. Diharapkan terdapat
perbedaan pengkodingan dan tarif terhadap tindakan
kardiovaskuler perkutan berdasarkan utilisasi stent pada
masing-masing severity level dan kelas rawat
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di
RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 254
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito. 2008. Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan Diagnosis Related Group,
Kelayakan Penerapannya di Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Budiarto, Wasis dan Sugiharto, Mugeni. Biaya Klaim INA CBGs dan Biaya Riil Penyakit
Katastropik Rawat Inap Peserta Jamkesmas di Rumah Sakit Studi di 10
Rumah Sakit Milik Kementerian Kesehatan Januari–Maret 2012, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 58–65.
Casto & Clayman. 2006. Principles of Healthcare Reimbursement, American Health
Information Management Association, 5-10. Darmawan A. 2010. Penyakit Jantung Koroner. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah.
Dewi, I. Maulina. 2014. Price Analysis Tarif Rumah Sakit Dan Tarif Ina CBG’s Pada Tindakan Herniotomy Kelas III dengan Perhitungan Cost Of Treatment Berbasis
Clinical Pathway Di Rumah Sakit PMI Bogor Tahun 2014. Depok: Tesis,
FKM UI. Djuhaeni, Henni. 2009. Jasa Pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah (Teori dan Praktis.
Pustaka UNPAD.
Djunadi, Purnawan. 2014. Jaminan Kesehatan Nasional, Jalan Masih Panjang, Jurnal Kedokteran Indonesia. Jakarta: Medika, No.2 Tahun ke XI.
Dody Firmanda, Clinical Pathways Kesehatan Anak, Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3, Desember
2006: 195 – 208. Djasri, Hanevi. 2014. Langkah Penyusunan Clinical Pathway, Workshop Penyusunan Clinical
Pathway dan Perhitungan Cost of Care di RSUD Sampit, 2014.
Evolution of Drugs (Updated). Journal of AHIMA (American Health Information Management Association) Updated April 2010, Bielby, (2010).
http://library.ahima.org/xpedio/groups/public/documents/ahima tanggal 21
Februari 2015. Harun S, Alwi I. 2006. Infak Miokard Akut Tanpa Elevasi St. In Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. P: 1626. Hospital Payment Systems Based on Dignosis Related Groups; Experiences in Low and
Middle-Income Countries; Inke Mathauera & Friendrich Wittenbecherb;
Bulletin World Health Organization. Majid, Abdul. 2007. Penyakit Jantung Korner Patofisiologi, Pencegahan dan Pengobatan
Terkini Pidato Pengukuhan Guru Besar. Sumatera Utara: Universitas
Sumatera Utara. Muchlis, Achmad. 2014. Cost Shifting bedah Appendiktomi di Rumah Sakit Umum
Tangerang.
McPhee et al. 2007. Current Medical Diagnosis and Treatment 2007, Forty Sixth Edition,
McGraw-Hill Companies.
Mulyadi. 2007. Activity Based Costing – System, edisi 6 cetakan ke 2. UPP STIM YKPN Yogyakarta.
Nelwan, Ester Karakteristik Individu Penderita Penyakit Jantung Koroner di Sulawesi Utara
Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.
Paruntu, Svetlana. 2012. Tesis Analisis Cost Arewness dan Cost Monitoring Untuk Efisiensi
Biaya Pelayanan di Sub Departemen Radiologi Rumkital dr. Mintohardjo (Studi Kasus: Pelayanan Thoraks Ap/Pa Foto). FKM UI Program KARS.
Putra, Ryryn, et al. 2011. Analisis Biaya Satuan (Unit Cost) Perjenis Tindakan Berdasarkan
Relative Value Unit (RVU) Pada Bagian Persalinan RSUD Ajjapange Kabupaten Soppeng Tahun 2011. Jurnal AKK, Vol 2 No 1, Januari 2013,
hal 35-41.
Rivany, Ronnie, Quo Vadis. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional? Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, vol. 13, no. 3 September 2010.
Setiaji, Hendadi. 2006. Analisis Biaya Pelayanan Rawat Inap Di Ruang VIP Cendrawasih
RSUD Dr. Soeselo Kabupaten Tegal Tahun 2006. Semarang: UNDIP. Sugiyarti et al. 2013. Analisis Biaya Satuan Dengan Metode Activity Baed Costing Studi Kasus
di Poli Mata RSD Balung Kabupaten Jember, Jurnal Pustaka Kesehatan
Volume 1, 2013. Suryawati, C. 2008. Bahan Kuliah Inflasi Biaya Kesehatan- Fkm - MIKM Universitas
Diponegoro, Semarang. www.eprints.undip.ac.id tanggal 11 Februari
2015. Global Media. 2010. Textbook of Financial Cost and Management Accounting, Periasamy.
India: Himalaya Publishing House.
Thabrany, Hasbullah, (2014). Jaminan Kesehatan Nasional, PT. Raja Grafindo Persada. Tribowo, Anang. 2014. Perbandingan Tarif Ina-CBGs dengan Tarif RS. Disampaikan pada
Seminar Pencegahan Fraud dan Peningkatan Mutu Layanan Kesehatan di
Rumah Sakit Pada Era Jaminan Kesehatan Nasional pada tanggal 20 November 2014 di Auditorium RS RK Charitas.
Trisnantoro, L. 2009. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah
Sakit, Cetakan Keempat. Yogyakarta: Gadjah Mada Universtity Press. Wakefield, John. 2012. Patient Safety and Quality Improvement Service. Center for Health Care
Improvement, Queensland Version 3,1,2012).
Zelman, Et Al. 2004. Financial Management of Health Care Organizations, an Introduction to Fundamental Tools, Concepts, and Applications. Blackwell publishing,
2004, second edition.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 255
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien CAD dengan Tindakan PCI
No. Karakteristik N (Kasus) Persen (%)
1 Umur
Anak-anak (0-17) 0 0
Muda (18-<45) 1 3%
Tua(>60) 31 97%
Total 32 100%
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 22 69%
Perempuan 10 31%
Total 32 100%
Tabel 2. Lama Hari Rawat Pasien CAD dengan Tindakan PCI
Diagnosa Lama Hari Rawat
Total Mean Modus 3 4 5 6 7 8 12
Murni 1 1 1 - - - - 12 4
Penyulit 10 6 6 3 - 1 - 110 4,2 3
Penyerta 1 - - - 1 1 1 46 6,5
Tabel 3. Distribusi Pasien dan Rerata Lama Hari Rawat Pasien CAD dengan
Tindakan PCI Berdasarkan Cara Bayar
Kelas
Perawatan
BPJS JAMKESDA PRIBADI
Total
Kasus
Persen
(%) PBI Non PBI
I 24 - - 24 79%
II 5 - - 5 16%
III 1 2 - 3 9%
TOTAL 30 2 32 100%
Tabel 4. Clinical Pathway Pasien CAD dengan Tindakan PCI
Diagnosa Murni Penyerta Penyerta dan Penyulit
CP CP CP
Tabel 5. Cost of Treatment (Tanpa Akomodasi) Berdasarkan Clinical Pathway Pasien
CAD dengan Tindakan PCI, di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Kegiatan CAD Murni CAD Penyerta CAD Penyerta+Penyulit
(Rp) (%) (Rp) (%) (Rp) (%)
LOS 3 3 6
Pendaftaran 15.879 0,05 % 15.879 0,05% 15.879 0,04%
Penegakan
Diagnosa 1.778.375 5,64 % 1.778.375 5,22% 1.778.375 4,91%
Pra Operasi 174.289 0,55 % 1.399.518 4,11% 1.937.078 5,35%
Operasi 29.284.773 92,91 % 29.284.773 86% 29.284.773 80,82%
Post Operasi 195.087 0,62 % 1.445.306 4,24% 3.085.435 8,52%
Pulang 69.652 0,22 % 129.085 0,38% 132.564 0,37%
COT 31.518.054 100% 34.052.935 100% 36.234.104 100%
Tabel 6. Cost Indeks (Tanpa Akomodasi) Berdasarkan Clinical Pathway Pasien
CAD dengan Tindakan PCI Tanpa Perhitungan Jumlah Stent
Kegiatan CAD Murni CAD Penyerta CAD Penyerta+Penyulit
Cost Index (%) Cost Index (%) Cost Index (%)
LOS 3 3 6
Pendaftaran 0,05 % 0,05% 0,04%
Penegakan Diagnosa 5,64 % 5,22% 4,91%
Pra Operasi 0,55 % 4,11% 5,35%
Operasi 92,91 % 86% 80,82%
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 256
Kegiatan CAD Murni CAD Penyerta CAD Penyerta+Penyulit
Cost Index (%) Cost Index (%) Cost Index (%)
Post Operasi 0,62 % 4,24% 8,52%
Pulang 0,22 % 0,38% 0,37%
COT 100% 100% 100%
Tabel 7. Tarif INA CBG’s Pasien CAD dengan Tindakan PCI Murni
Diagnosa
PCI Murni Jumlah Stent Los Cot Tarif Ina Cbg %
KELAS I
Stent 1
3
51.342.045
44.640.500
87%
Stent 2 69.838.221 64%
Stent 3 88.334.396 51%
Stent 4 106.830.571 42%
KELAS II
Stent 1
3
50.764.230
40.920.500
81%
Stent 2 69.260.405 59%
Stent 3 87.756.580 47%
Stent 4 106.252.755 39%
KELAS III
Stent 1
3
50.453.730
37.198.600
74%
Stent 2 68.949.905 54%
Stent 3 87.446.080 43%
Stent 4 105.942.255 35%
Tabel 8. Tarif INA CBG’s Pasien CAD dengan Tindakan PCI Penyerta
DIAGNOSA CAD
DENGAN PENYERTA
JUMLAH
STENT LOS COT TARIF INA CBG %
KELAS I
Stent 1
3
53.876.926
82.969.900
154%
Stent 2 72.373.101 115%
Stent 3 90.869.276 91%
Stent 4 109.365.452 76%
KELAS III
Stent 1
3
53.299.110
73.774.300
138%
Stent 2 71.795.285 103%
Stent 3 90.291.461 82%
Stent 4 108.787.636 68%
KELAS III
Stent 1
3
52.988.610
64.578.600
122%
Stent 2 71.484.785 90%
Stent 3 89.980.961 72%
Stent 4 108.477.136 60%
Tabel 9. Tarif INA CBG’s Pasien CAD dengan Tindakan PCI Penyerta + Penyulit
Diagnosa CAD Dengan
Penyerta + Penyulit Jumlah Stent LOS COT Tarif INA CBG CRR (%)
KELAS I
Stent 1 6 56.058.095
104.584.800
188%
Stent 2 6 74.554.270 138%
Stent 3 6 93.050.445 109%
Stent 4 6 111.546.621 67%
KELAS III
Stent 1 6 55.480.279
92.294.000
168%
Stent 2 6 73.976.454 122%
Stent 3 6 92.472.630 96%
Stent 4 6 110.968.805 59%
KELAS III
Stent 1 6 55.169.779
82.969.900
152%
Stent 2 6 73.665.954 111%
Stent 3 6 92.162.130 87%
Stent 4 6 110.658.305 53%
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 257
Tabel 10. Perbandingan CRR Tarif RS dan Tarif INA CBG’s pasien Kelas I, II, III
Berdasarkan Cost of Treatment Berbasis Clinical Pathway Pasien CAD dengan
Tindakan PCI Murni di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015
MURNI JUMLAH
STENT LOS
COT
(Rp)
TARIF RS
(Rp) CRR %
TARIF INA CBG
(RP) CRR %
KELAS I 3 3 93.895.871 87.973.106 94% 44.640.500 48%
KELAS II 3 4 93.318.055 88.534.317 95% 40.920.500 44%
Tabel 11. Perbandingan CRR Tarif RS dan Tarif INA CBG’s Pasien Kelas I, II, III
Berdasarkan Cost of Treatment berbasis Clinical Pathway Pasien CAD dengan
Tindakan PCI Penyertadi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015
Penyerta Jumlah Stent LOS COT Tarif RS CRR % Tarif
INA CBG CRR %
KELAS I
1 3 55.504.350 56.030.356 101%
82.969.900
149%
2 3 75.854.350 73.389.245 97% 109%
3 3 96.204.350 143.607.728 149% 86%
4 3 157.254.350 96.811.727 62% 53%
KELAS II 1 6 54.994.996 58.832.588 107% 73.374.100 100%
Tabel 12. Perbandingan CRR Tarif RS dan Tarif INA CBG’s Pasien Kelas I, II, III
berdasarkan Cost of Treatment berbasis Clinical Pathway Pasien CAD dengan Tindakan
PCI Penyerta & Penyulit di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015
Penyerta & Penyulit STENT LOS COT TARIF RS CRR % TARIF INA CBG CRR %
Kelas II 3 3 95.694.996 88.139.598 92% 92.294.000 96%
Kelas III 1 12 54684496 66.182.799 121% 82.969.900 152%
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Juni 2016 258
Tabel 12. Cost Indeks Tindakan PCI Pada Penyakit CAD Dibandingkan
dengan Penelitian Terdahulu
Kegiatan
Tindakan PCI pada
CAD Murni tahun
2015
Appendiktomi Murni
RSU Kab. Tangerang
2014
Herniotomi
Murni
PMI Bogor
2013
Ca Payudara Murni
Bedah MRM
RS kanker
Dharmais 2008
LOS 3 4 4 4
Pendaftaran 0,05% 0,22% 0,24% 0,34%
Penegakan
Diagnosa 5,64 % 7,05% 9,03% 14,27%
Pra Operasi 0,55 % 6,30% 1,46% 0,97%
Operasi 92,91% 77,67% 1,46% 76,8%
Post Operasi 0,62% 8,51% 9,12% 5,9%
Pulang 0,22% 0,22% 5,02% 0,08%
Kontrol - - 1,23 % 1,55%
COT 100% 100% 100% 100%
Tabel 13. Tarif Tindakan PCI di RSUP dr. Mohammad Hoesin Sesuai
100/PMK.05/2014
No. Tindakan Tarif (Rp.)
1 PCI Dengan Satu Stent (DES) 55.000.000
2 PCI Dengan Dua Stent (DES) 71.000.000
3 PCI Dengan Tiga Stent (DES) 86.000.000
4 PCI Dengan Empat Stent (DES) 96.000.000
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 2 Nomor 3
Jurnal ARSI/Oktober 2015 259
Tabel 14. Tabel Perbandingan CRR Tarif INA CBGs dan Tarif Rumah Sakit Terhadap COT dengan Investasi dan Gaji PNS, COT
Tanpa Investasi serta COT Tanpa Investasi dan Gaji PNS
Klasifikasi
CAD dengan
PCI
Stent LOS Tarif RS INA CBGs
COT CRR Rumah Sakit CRR INA CBGS
Investasi Dan
Gaji PNS Dihitung
Biaya Investasi
Tidak
Dihitung
Biaya
Investasi Dan
Gaji PNS Tidak
Dihitung
Investasi Dan Gaji
PNS
Dihitung
Biaya Investasi
Tidak
Dihitung
Biaya
Investasi Dan
Gaji PNS Tidak
Dihitung
Investasi Dan
Gaji PNS
Dihitung
Biaya Investasi
Tidak
Dihitung
Biaya
Investasi
Dan Gaji PNS Tidak
Dihitung
Murni Kelas I 3 3 87.973.106 44.640.500 88.334.396 86.174.132 79.407.050 99,59% 102,09% 110,79% 51% 52% 56%
Murni Kelas II 3 4 88.534.317 40.920.500 87.756.580 85.344.356 78.829.234 100,89% 103,74% 112,31% 47% 48% 52%
Penyerta
Kelas I 1 3 56.030.356 82.969.900 53.876.926 51.324.975 44.400.219 104,00% 109,2% 126,2% 154% 162% 187%
Penyerta Kelas I
2 3 73.389.245 82.969.900 72.373.101 69.821.150 62.896.394 101,40% 105,1% 116,7% 115% 119% 132%
Penyerta
Kelas I 3 3 88.450.637 82.969.900 90.869.276 88.317.325 81.392.569 97,34% 100,2% 108,7% 91% 94% 102%
Penyerta
Kelas I 4 3 96.811.727 82.969.900 109.365.452 106.813.501 99.888.745 88,52% 90,6% 96,9% 76% 78% 83%
Penyerta Kelas II
1 6 58.832.588 73.774.300 53.299.110 50.341.663 43.822.403 110,38% 116,9% 134,3% 138% 147% 168%
Penyerta
Kelas III 2 3 69.304.504 64.578.600 71.484.785 68.527.339 62008078,32 96,95% 101,1% 111,8% 90% 94% 104%
Penyerta+Peny
ulit Kelas II 3 6 88.139.598 92.294.000 93.222.630 90.452.350 83.428.059 94,55% 97,44% 105,65% 99% 102,04% 110,63%
Penyerta+Penyulit Kelas III
3 6 66.182.799 82.969.900 55.609.279 52.838.999 45.814.708 119,01% 125,25% 144,46% 149% 157% 181%
Mardiah., Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2015
ormulir F
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Alamat :
Telepon :
Email :
Bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) dengan sejumlah biaya cetak dan biaya kirim.
…...…………………………, …………
(……………………………………….)
Untuk besaran biaya dan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi Sekretariat Jurnal ARSI di nomor telepon 021-786 7370,
HP. 08568246932, e-mail: [email protected], atau kunjungi website: http://champs.fkm.ui.ac.id/content/jurnal.
Kami Menyediakan Forum
Pelatihan Untuk Anda
1. Developing Hospital Business Strategy to Improve
Hospital Service & Quality
2. Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit
Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis
3. Strategic Leadership and Systems Thinking
C HAMPS Informasi Lebih Lanjut:
Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI
HP. 085284722766, Fax. 021-7867370,
E-mail: [email protected], [email protected]
Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis
TUJUAN
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan rumah
sakit dalam membuat clinical pathway dan panduan praktik klinis.
PESERTA
Peserta terdiri dari tim praktisi perumahsakitan baik pemerintah maupun
swasta yang tergabung dalam tim, yang terdiri dari:
1. Klinisi dan penunjang (dokter); 2. Perawat; 3. Tenaga farmasi; 4. Tenaga gizi;
5. Tenaga rekam medik; dan
6. Peserta maksimal 10 tim.
TEMPAT DAN TANGGAL
Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.
BIAYA
Biaya dalam pelatihan ini sebesar untuk satu tim rumah sakit (terdiri dari 5 orang) adalah Rp. 15.000.000/Rumah Sakit (belum termasuk biaya
akomodasi dan tiket narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).
Strategic Leadership and Systems Thinking
TUJUAN
Tujuan Umum:
Meningkatkan pemahaman para peserta mengenai
kepemimpinan strategis dan berfikir sistem.
Tujuan Khusus
1. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai berfikir sistem dan kepemimpinan
strategis;
2. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai mental model sebagai landasan
dalam berfikir sistem;
3. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai personal mastery sebagai modal
dasar dalam kepemimpinan;
4. Meningkatkan pemahaman peserta dan mampu mengaplikasikan theory of
constraint dan root cause analysis; dan
5. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai learning organization dan team
learning.
PESERTA
Peserta pelatihan ini dibatasi 30 orang.
TEMPAT DAN TANGGAL
Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.
BIAYA
Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (besaran
biaya belum termasuk biaya akomodasi, tiket narasumber dan outbond
bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).
“Bersama kami, mari beraktualisasi!”
- CHAMPS FKM UI
Developing Hospital Business Strategy to Improve Hospital Service & Quality
TUJUAN
Peserta akan memperoleh wawasan, pengetahuan, & keterampilan tentang:
1. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang peta kebijakan strategis pelayanan kesehatan;
2. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang konsep strategi bisnis untuk peningkatan mutu layanan RS;
3. Peningkatan motivasi seluruh peserta yang dilandasi core value dan core belief untuk mengadopsi konsep
manajemen strategi dalam meningkatkan mutu layanan di rumah sakit;
4. Tersusunnya rencana strategis bisnis RS; dan
5. Peningkatan kemampuan RS dalam melakukan praktik bisnis yang sehat yaitu mempunyai manajemen yang
baik, bermutu dan berkesinambungan yang semua itu berdampak pada meningkatnya kepuasan
pelanggan.
PESERTA
Peserta pelatihan ini adalah praktisi perumahsakitan dan pengambil keputusan strategis rumah sakit baik
pemerintah maupun swasta. Peserta dibatasi 30 orang.
TEMPAT DAN TANGGAL
Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.
BIAYA
Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (belum termasuk biaya akomodasi dan tiket
narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).
Hospital Management
Program (HMP)
Hospital Administration
Conference (HAC)
Program Kerja
Unggulan