Merajut Toleransi Di Tengah Keberagaman Bangsa (Makalah Sumarno)
-
Upload
the-habibie-center -
Category
Documents
-
view
746 -
download
10
description
Transcript of Merajut Toleransi Di Tengah Keberagaman Bangsa (Makalah Sumarno)
Workshop Memperkuat Toleransi melalui Institusi Sekolah
Bogor, 14 – 15 Mei 2011
2
Merajut Toleransi di Tengah Keberagaman Bangsa1
Oleh: Sumarno2
Pendahuluan
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat plural (plural society). Pluralitas itu tercermin dalam keanekaragaman suku bangsa, bahasa, budaya dan agama. Para founding fathers telah memilih istilah yang tepat untuk menggambarkan pluralitas masyarakat Indonesia tersebut: bhinneka tunggal ika (unity in diversity), berbeda-‐beda tetapi dalam satu kesatuan. Banyak istilah senada yang digunakan sehari-‐hari: kemajemukan, keanekaragaman, keberagaman, heterogen, lintas agama, lintas budaya dan sebagainya. Di antara pluralitas masyarakat yang cukup krusial adalah kemajemukan agama. Berbagai ragam agama dan keyakinan tumbuh di Indonesia, sejak awal perkembangannya hingga saat ini. Masing-‐masing agama tentu mempromosikan diri pada pemeluknya sebagai ajaran yang paling benar. Meskipun demikian, tidak satupun agama yang mengajarkan permusuhan dan kekerasan terhadap penganut agama lain. Dalam perspektif ini, semestinya terbangun kohesi sosial antar pemeluk agama dan hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence). Namun, dalam tataran empirik, perilaku keagamaan para pemeluknya yang merasa superior atas penganut agama lain, sering menjadi pelatuk konflik sosial yang cukup serius. Konflik berdarah antara komunitas Islam dan Kristen di Maluku, Poso dan beberapa tempat lainnya beberapa waktu lalu, menegaskan pada kita betapa kesadaran pemahaman tentang pluralitas keagamaan masih perlu ditingkatkan dan terus dipromosikan. Konflik antar pemeluk agama karena pendirian tempat ibadah atau perbedaan pemahaman tentang doktrin keagamaan, juga sering mengemuka dalam realitas sosial masyarakat. Urgensi Toleransi Bayang-‐bayang konflik yang mengancam kohesivitas sosial sebagai bangsa yang majemuk itu menyadarkan kita akan pentingnya sikap toleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yakni sikap penerimaan dan penghargaan terhadap perbedaan, keberagaman dan ketidaksamaan serta kesadaran bahwa ada “dia” selain “aku” dan “mereka” di luar “kita.” Titik temu antara “keakuan” dan kediaan” serta “ke-‐mereka-‐an” dan “ke-‐kita-‐an” itu merupakan modalitas sosial politik yang cukup penting untuk merekonstruksi payung kebangsaan yang inklusif dan menaungi semua
1 Dipresentasikan dalam acara “Workshop Memperkuat Toleransi Melalui Institusi Sekolah Bagi Guru SMA” yang diselenggarakan oleh THC bekerjasama dengan Haans Seidel Foundation (HSF) di Bogor, 14-‐15 Mei 2011. 2 Peneliti The Habibie Center (THC) dan Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
3
elemen masyarakat tanpa memandang asal-‐usulnya: agama, budaya dan suku bangsa. Kebutuhan tersebut terutama berkaitan dengan maraknya sikap-‐sikap intoleransi, anti keragaman dan menguatnya sikap absolutisme dan “penghalalan” terhadap kekerasan sebagai penyelesaian masalah dengan mengatasnamakan agama. Agama—dan bahkan Tuhan—dijadikan justifikasi tindak penzaliman atas pihak lain. Ironisnya, tindakan kekerasan dan sikap intoleransi itu diklaim sebagai bentuk pembelaan terhadap kepentingan agama, yang sesungguhnya menawarkan keramahan dan persahabatan tanpa mengabaikan perbedaan yang memang ada. Pada mulanya, munculnya anasir intoleransi di masyarakat ditengarai sebagai hal yang biasa dalam mengiringi masa transisi demokrasi setelah terbebas dari kungkungan rezim otoritarianisme yang begitu lama. Saat proses demokrasi belum terkonsolidasi dengan baik, histeria kebebasan itu memunculkan luapan ekspresi komunal dan politik identitas yang ekstrem. Ketidakpastian yang sering mengiringi masa transisi demokrasi seringkali memunculkan artikulasi politik destruktif berupa artikulasi wacana politik identitas secara vulgar, mobilisasi politik komunal dan munculnya semangat anti-‐keragaman dan konflik politik bernuansa SARA. Namun, setelah satu dasawarsa reformasi bergulir, ternyata sikap intoleransi dan anti-‐pluralisme tersebut masih tetap bersemai dan bahkan—dalam skala tertentu—berkembang di tengah-‐tengah masyarakat. Konflik antara komunitas keagamaan dan etnis di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan betapa rentannya kesadaran bangsa ini terhadap toleransi dan pluralisme. Bangunan rumah kebangsaan yang plural yang dapat menjadi tempat berteduh dan melepaskan kepenatan sosial, sebagaimana dicanangkan the founding fathers kita di masa lalu, tampaknya masih jauh dari kenyataan. Obsesi para pemuda yang mendeklarasikan sumpahnya pada 28 Oktober 1928 sebagai satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa nasional harus ditegaskan kembali dalam dialektika kebangsaan. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan anti pluralisme serta kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menangani perbedaan yang ada tersebut menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan. Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-‐hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.
4
Dengan menimbang ancaman dalam kehidupan berbangsa tersebut, maka tumbuhnya kesadaran terhadap toleransi dan pluralisme dalam kehidupan berbangsa menjadi sebuah keharusan. Hadirnya masyarakat toleran dan pluralis memerlukan desain fondasi arsitektural (bangunan dasarnya) yang kompleks. Keberhasilan pembentukannya akan sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan tekstur dasar yang dapat menopang perkembangan masyarakat yang menghargai nilai-‐nilai keragaman. Untuk itu menjadi salah satu tugas kaum intelektual untuk memikirkan kembali bagaimana memikirkan desain transformatif untuk merealisasikan konfigurasi masyarakat pluralis.
Esensi Toleransi
Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan toleransi berasal dari kata “toleran” yang berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Selain itu toleransi juga merujuk kepada sifat (sikap) toleran, yang berarti bersedia menghormati atau menerima pendapat atau pendirian orang lain yang berbeda dari pendapat (pendirian dan sebagainya) sendiri.
Dalam bahasa Arab istilah ini merujuk pada kata tasamuh yang artinya sikap membiarkan atau lapang dada terhadap perbedaan pihak lain. UNESCO mengartikan toleransi sebagai sikap “saling menghormati, saling menerima dan saling menghargai di tengah keberagaman budaya, kebebasan berekspresi dan karakter manusia.”
Dari sudut bahasa, toleransi dapat dimaknai sebagai sikap saling menghormati, menerima dan menghargai orang lain di tengah keragaman suku bangsa, budaya, bahasa, adat-‐istiadat, afiliasi politik dan ideologi serta keyakinan agama. Esensi toleransi adalah kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain yang berbeda dengan dirinya.
Merujuk pada pengertian toleransi tersebut, ada dua model toleransi, yaitu : Pertama, toleransi pasif, yakni sikap menerima perbedaan sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Kedua, toleransi aktif, melibatkan diri dengan pihak lain di tengah perbedaan dan keberagaman. Toleransi aktif merupakan ajaran semua agama. Hakikat toleransi adalah kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara komunitas yang beragam.
Untuk bisa mewujudkan toleransi secara pasif maupun aktif, toleransi kepada sesama manusia haruslah memenuhi beberapa unsur berikut:
1. Mengakui Hak Orang Lain Yakni sikap mental yang mengakui bahwa setiap orang memiliki hak-‐hak dasar yang asasi dalam hal: agama. kepercayaan, pendapat, sikap yang mungkin berbeda
5
dengan dirinya. Hak dasar orang lain itu harus kita akui sebagaimana orang lain juga harus mengakui hak asasi kita.
2. Menghormati dan Menghargai Keyakinan Orang Lain Setiap orang tentu memiliki keyakinan atau kepercayaan terhadap sesuatu hal, misalnya dalam hal beragama yang telah diwarisi sejak ia lahir atau saat ia dewasa. Keyakinan beragama dan tatacara mengekspresikannya dalam peribadatan itu harus kita hormati dan kita hargai, sebagaimana orang lain harus menghormati keyakinan agama dan tatacara ibadah yang kita lakukan.
3. Setuju dalam Perbedaan Unsur lain dari toleransi yang cukup penting adalah sikap ”agree in disagreement” (setuju dalam ketidaksetujuan), yakni sikap yang menyetujui berbagai perbedaan yang berbeda dengan sikap kita. Perbedaan atau keanekaragaman adalah fitrah kehidupan manusia. Oleh karena itu kita harus menerima perbedaan itu sebagai realitas sosial yang akan menjadi pilar pembentukan masyarakat yang majemuk.
4. Saling Mengerti Ini merupakan salah satu unsur toleransi yang paling penting dalam mewujudkan relasi sosial kemasyarakatan yang harmonis, damai, tenteram dan penuh tenggang rasa. Tanpa sikap saling pengertian, tidak akan terwujud toleransi di tengah-‐tengah masyarakat.
Dengan demikian, dari kajian bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa esensi toleransi mengarah kepada sikap memahami, menerima dan menghargai adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-‐istiadat, budaya, bahasa, serta agama.
Arti Penting Toleransi di Indonesia
Ada sejumlah argumen yang bisa dikemukakan mengapa toleransi perlu terus disuarakan di Indonesia:
Pertama, Indonesia dikenal sebagai negara paling heterogen di dunia, yang penduduknya terdiri dari berbagai suku, ras, bahasa, adat istiadat dan agama. Perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan yang tak mungkin dihindari. Allah menciptakan planet bumi tidak untuk satu golongan agama atau suku bangsa tertentu saja tetapi untuk semua manusia. Allah menciptakan manusia berbeda-‐beda bangsa, agama dan suku, agar manusia saling mengenal dan berinteraksi.
Kedua, para tokoh pendahulu kita di masa lalu telah memilih istilah yang tepat untuk menggambarkan pluralitas masyarakat Indonesia yang beragam tersebut, yakni bhinneka tunggal ika (unity in diversity), berbeda-‐beda tetapi dalam satu kesatuan. Banyak istilah senada yang digunakan sehari-‐hari untuk menggambarkan realitas sosial itu: kemajemukan, keanekaragaman, keberagaman, heterogen, lintas agama, lintas budaya dan sebagainya.
6
Ketiga, pluralitas masyarakat dapat menjadi sumber kekuatan yang cukup konstruktif jika seluruh komponen masyarakat menyadari adanya perbedaan, menerimanya sebagai sebuah realitas dan sepakat mencari simpul-‐simpul kebersamaan di tengah keanekaragaman yang ada.
Keempat, pluralitas juga dapat menjadi bahaya laten yang destruktif jika di kalangan masyarakat muncul sikap chauvinistic yaitu kebanggaan pada kelompoknya secara berlebihan (ashobiyah), merasa paling benar, merendahkan kelompok lain dan mengedepankan sisi-‐sisi perbedaan.
Kelima, sikap toleran diwujudkan dengan penerimaan dan penghargaan terhadap perbedaan, keberagaman dan ketidaksamaan serta kesadaran bahwa ada “mereka” di luar “kita.” Titik temu antara “ke-‐mereka-‐an” dan “ke-‐kita-‐an” itu merupakan modalitas sosial politik yang cukup penting untuk merekonstruksi payung kebangsaan yang inklusif dan menaungi semua elemen masyarakat tanpa memandang asal-‐usulnya: agama, budaya dan suku bangsa.
Keteladanan Bertoleransi
Menyadari pentingnya bertoleransi di tengah keberagaman sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, para founding fathers kita telah memberikan keteladan yang sangat berharga bagi kita. Keteladanan itu juga ditunjukkan generasi sesudahnya di berbagai belahan negeri ini.
Contoh fenomenal yang bisa disebut adalah Kongres Pemuda Indonesia yang melibatkan berbagai suku, bahasa, budaya dan agama yang berbeda-‐beda yang melahirkan Soempah Pemoeda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda yang menegaskan komitmen para pemuda Indonesia untuk berbangsa satu, berbahasa satu dan bertanah air satu yakni Indonesia merupakan cikal bakal persatuan Indonesia saat ini. Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 juga merupakan buah perjuangan para pendahulu kita yang memiliki latar belakang agama, budaya dan suku yang berbeda.
Perumusan dasar negara Pancasila yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 juga kaya dengan contoh toleransi beragama. Meskipun Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim, umat Islam tidak memaksakan kehendaknya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara atau menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Meskipun pada awalnya terjadi perdebatan sengit antara mereka yang setuju Islam sebagai dasar negara dengan mereka yang mendukung paham kebangsaan, pada akhirnya tercapai kompromi untuk saling mengakomodasi aspirasi masing-‐masing kelompok dalam bentuk rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang dapat menaungi semua agama.
7
Contoh lain adalah sikap para negarawan kita pada zaman demokrasi liberal, 1950-‐1958. Pada masa itu parlemen menjadi tempat pertarungan ideologi yang tak habis-‐habisnya. Salah satu tokoh yang menpnjol saat itu adalah Mohammad Natsir, pemimpin Partai Masyumi yang mengusung ideologi Islam, yang kemudian menjadi Perdana Menteri. Secara ideologis, Natsir bertentangan dengan tokoh lain yang mengusung ideologi yang berbeda, seperti DN Aidit yang mengusung ideologi komunisme dan tokoh Katolik seperti Ignatius J. Kasimo dan F.S. Hariyadi, serta J. Leimena dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia.
Meskipun bertentangan secar ideologis, Natsir, Aidit, IJ Kasimo dan J. Leimena, tetap berkawan akrab di luar ruang sidang parlemen. Ketika ditunjuk Bung Karno menjadi Perdana Menteri (1950-‐1951), Natsir merangkul tokoh-‐tokoh Kristen dalam kabinetnya. Hariyadi dia tunjuk menjadi Menteri Sosial. Herman Johannes—tokoh Kristen dari Partai Indonesia Raya—mendapat kepercayaan memimpin Departemen Pekerjaan Umum. Tokoh Katolik juga dilibatkan Natsir dalam kabinet. Ketika Natsir mengajukan Mosi Integral dalam sidang Parlemen Republik Indonesia Serikat pada 3 April 1950, justru tokoh-‐tokoh non muslim inilah yang berdiri tegak di belakangnya. Dalam pidato yang berapi-‐api, Natsir menegaskan pentingnya melebur kembali wilayah-‐wilayah Republik Indonesia Serikat ke dalam Negara Republik Indonesia.3
Cukup banyak contoh lain di berbagai wilayah Indonesia yang bisa diangkat sebagai kisah teladan dalam pelaksanaan toleransi beragama. Di Maluku jalinan hubungan yang harmonis antara umat Islam dan Kristen sudah terbangun sejak lama. Jalinan persaudaraan antar kelompok di Maluku itu dibingkai dalam tradisi budaya "pela gandong" sebagai warisan leluhur yang dijunjung tinggi masing-‐masing pemeluk agama. Misalnya saat umat Islam mengawali puasa yang di Maluku disebut "kepala puasa" ada tradisi umat Kristen mengantarkan bahan makanan dan ayam bagi umat Muslim. Begitu juga sebaliknya, saat perayaan Natal, umat Muslim gantian memberikan makanan bagi saudaranya yang Kristen.
Kerukunan antar umat beragama juga bisa dilihat di Bali yang selama ini berjalan cukup baik dan terjadi harmoni sosial antar pemeluk agama dan antar etnis yang berbeda. Sikap toleran itu diwarisi secara turun-‐temurun sejak sekitar lima ratus tahun silam. Di Bali dikenal istilah “menyama braya”, yakni persaudaraan yang betul-‐betul diterapkan dalam kehidupan umat beragama. Desa Pegayaman Kabupaten Buleleng misalnya, sebagian besar warganya memeluk agama Islam, namun nama depan mereka sama seperti orang Bali pada umumnya yang beragama Hindu, sehingga muncul nama seperti Wayan Muhammad Saleh atau Made Jalaluddin. Hal itu menunjukkan dalam budaya, umat Islam Bali telah berbaur dengan budaya setempat, terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat masyarakat Bali Hindu. 3 Suara Pembaruan, 17 Juli 2000 dan Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008.
8
Di beberapa daerah, saat perayaan Natal, banyak para pemuda NU yang tergabung dalam Banser ikut menjaga sejumlah gereja agar tercipta suasana yang aman dan damai. Di kalangan Muhammadiyah juga terbiasa melaksanakan toleransi beragama. Misalnya di sejumlah daerah di sekolah-‐sekolah Muhammadiyah, banyak yang muridnya beragama Kristen. Bahkan, di Kupang NTT, sebagian besar murid sekolah Muhammadiyah adalah Kristen.
Contoh lain yang juga layak disimak dari sikap toleran di tengah keberagaman agama adalah apa yang terjadi di Kampung Sawah, Kecamatan Jatisampurna, Bekasi. Di daerah itu masjid dan gereja bisa didirikan berdekatan dan tak pernah terjadi perseteruan di antara mereka. Dalam keseharian mereka yang berbeda agama bergaul secara harmonis sbg tetangga dan anggota masyarakat. Kampung Sawah memang dikenal sebagai area “segi tiga emas”: Islam, Katolik, dan Protestan
Rambu-‐rambu Toleransi4
Semangat bertoleransi untuk menghadirkan masyarakat majemuk yang harmonis, tetap harus diletakkan secara proporsional dalam bingkai yang tidak bertentangan dengan nilai-‐nilai agama yang diyakini dalam masyarakat yang justru akan kontraproduktif bagi upaya membangun harmonis sosial. Implementasi toleransi dalam masyarakat haruslah didasarkan pada rambu-‐rambu yang jelas.
Beberapa waktu terakhir, ada kecenderungan untuk menarik toleransi secara berlebihan dengan cara melebur identitas komunal dalam sebuah identitas universal. Toleransi beragama, misalnya, dipahami sebagai upaya untuk melakukan gerakan relatifisme kebenaran agama dalam bingkai pluralisme agama. Paham relativitas kebenaran adalah keyakinan akan tidak adanya kebenaran mutlak yang diketahui manusia. Seorang relativis akan menerima kebenaran apa saja, karena tidak memiliki pendirian apapun. Dia akan menganggap semua agama itu sama-‐sama baik dan benar, serta tidak ada satu agama-‐pun yang boleh memonopoli kebenaran.
Menurut John Hick agama-‐agama hanyalah persepsi dan konsepsi manusia terhadap Tuhan dan perbedaan antar agama terjadi karena adanya perbedaan kultur di antara bangsa-‐bangsa. Bagi John Hick semua agama pada hakekatnya adalah sama, mereka hanya menempuh yang berbeda menuju Tuhan yang sama. Tentu saja paham ini sangat bertentangan dengan Islam yang mengajarkan bahwa Nabi Muhammad mengajarkan Islam berdasarkan wahyu dari Allah.
4 Sub-‐bab ini disarikan dari modul “Cerdas Bermedia untuk Toleransi bab Menyuarakan Toleransi di Indonesia” (THC-‐USAID-‐SERASI, 2010) dan buku “Isu Pluralisme dalam Perspektif Media” (THC, 2009).
9
Diana L. Eck menyatakan bahwa pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, bukan sekedar menerima pluralitas atau perbedaan, namun pluralisme adalah peleburan agama-‐agama menjadi satu wajah baru yaitu agama yang plural. Diana bahkan menyarankan agama-‐agama agar bersedia membuka diri dan menerima kebenaran yang ada pada agama lain karena bagi dia, setiap agama punya porsi kebenaran. Menurut Diana semua agama sama benarnya dan tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain.
Ada lagi pluralis yang mengusung doktrin kesatuan agama-‐agama. Menurut Schuon agama dibagi menjadi dua, yaitu tingkat eksoterik (lahiriah) dan tingkat esoterik (batiniah). Pada tingkat lahiriah agama memiliki Tuhan, teologi dan ajaran yang berbeda, namun pada tingkat batiniah agama-‐agama menyatu dan memiliki Tuhan yang sama yang abstrak dan tidak terbatas.
Menurut Josh McDowell, ada dua macam pluralisme; Pertama, pluralisme tradisional (social pluralism) yang juga disebut “negative tolerance”. Pluralisme ini didefinisikan sebagai “respecting others beliefs and practices without sharing them” (menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta (sharing) bersama mereka). Kedua, pluralisme baru (religious lluralism) disebut dengan “positive tolerance” yang menyatakan bahwa “every single individual’s beliefs, values, lifestyle, and truth claims are equal” (setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu, adalah sama (equal).5
Menurut A. Syafiq Mughni, intelektual Muhammadiyah yang mendukung pluralisme agama, dalam konteks agama, ada tiga pengertian tentang pluralisme. Pertama, ia bisa bermakna hubungan yang harmonis antarummat beragama. Dalam pengertian ini, seorang pluralis mengakui realitas eksistensi agama-‐agama yang berbeda. Kedua, pluralisme juga bisa berarti sebuah pandangan bahwa agama tertentu tidak merupakan satu-‐satunya sumber kebenaran, dan karena itu mengakui bahwa kebenaran tertentu bisa ada pada agama lain. Ia berkeyakinan bahwa semua agama dapat mengajarkan kebenaran, dan karena itu mengakui bahwa kebenaran tertentu itu bisa ada pada agama lain. Pluralisme agama menyatakan bahwa tidak satu agama pun dapat mengklaim kebenaran mutlak. Ketiga, pluralisme bisa merupakan sinonim dari ekumenisme, yakni paham yang mempromosikan persatuan, kerjasama atau saling pengertian antaragama atau denominasi dalam sebuah agama. Namun demikian, pada umumnya penganut pluralisme ini menolak relativisme agama. Mereka tidak yakin bahwa kebenaran agama itu relatif. Mereka mengakui bahwa agama-‐agama yang berbeda bisa membuat klaim kebenaran agama yang berbeda, tetapi tidak saling bertentangan.6
Pengertian itu sejalan dengan pemahaman para pengusung Islam Liberal, yang mendefiniskan pluralisme sebagai paham yang mengakui adanya pemikiran beragam–
5 Lihat Josh McDowell, “Answering Religious Pluralism” dalam http://www.ananswer.org. 6 Syafiq A.Mughni, ”Islam dan Pluralisme dalam Peta Pemikiran Muhammadiyah,” dalam http://www.psik-‐paramadina.org.
10
agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-‐lain. Kemunculan ide pluralisme—terutama pluralisme agama—didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim dan salvation claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antar umat agama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-‐masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim dan salvation claim).
Adapun dilihat dari cara menghapus truth claim, kaum pluralis terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama berusaha menghapus identitas agama-‐agama, dan menyerukan terbentuknya agama universal yang mesti dianut seluruh umat manusia. Menurut mereka, cara yang paling tepat untuk menghapus truth claim adalah mencairkan identitas agama-‐agama, dan mendirikan apa yang disebut dengan agama universal (global religion).
Sedangkan kelompok kedua menggagas adanya kesatuan dalam hal-‐hal transenden (unity of transendent). Dengan kata lain, identitas agama-‐agama masih dipertahankan, namun semua agama harus dipandang memiliki aspek teologis yang sama. Menurut kelompok kedua ini, semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-‐beda. Gagasan kelompok kedua ini bertumpu pada ajaran filsafat perennial yang memandang semua agama menyembah Realitas Mutlak yang sama, dengan cara penyembahan yang berbeda-‐beda.
Pandangan pluralisme agama semacam itu, selama ini gencar disosialisasikan kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL). Dalam pandangan JIL, semua agama sama, tidak ada klaim kebenaran oleh agama tertentu dan Tuhan juga bukan milik agama tertentu tetapi milik semua agama. Hal itu secara jelas dinyatakan JIL dalam halaman muka situsnya dengan kalimat yang unik: Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan segala agama.7
Gagasan pluralisme itu, menurut mereka, merupakan bagian dari upaya mengurangi ketegangan di antara umat beragama dan di antara umat Islam sendiri, terutama karena perbedaan keyakinan atau paham keagamaan. Dengan menggalang dialog antarumat beragama, mereka berharap tercipta kehidupan yang toleran dan harmonis sehingga tidak ada lagi sekat-‐sekat karena perbedaan keyakinan. Mereka juga yakin bahwa tidak ada kebenaran tunggal dan semua bentuk penafsiran terhadap ajaran agama relatif sifatnya karena tidak ada otoritas tunggal untuk menafsirkan agama.
Selain diusung dan dikampanyekan, gagasan pluralisme agama juga mendapat penolakan. Meski pluralisme memiliki arti yang bermacam-‐macam, namun ide itu ditentang oleh MUI, Hizbut Tahrir, Dewan Dakwah dan komunitas umat Islam lainnya. Pendapat yang menyatakan semua agama sama, semua agama benar dan semua agama menganut Tuhan yang sama, sebagaimana paham pluralisme kelompok Islam Liberal, dianggap mereka bertentangan dengan aqidah Islam. 7 Lihat website Jaringan Islam Liberal, www.islamlib.com.
11
Anis Malik Thoha, PhD, dosen Perbandingan Agama di Universitas Islam Internasional Malaysia menilai pluralisme agama sebagai respon teologis terhadap political pluralism yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh peletak dasar-‐dasar demokrasi pada awal-‐awal abad modern dan secara nyata dipraktekkan oleh AS. Pluralisme agama pada hakikatnya adalah gerakan politik dan bukan gerakan agama. Pluralisme tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati dirinya secara utuh, seperti mengenakan simbol-‐simbol keagamaan tradisional. Pluralisme merupakan penyeragaman atau menyeragamkan segala perbedaan dan keberagaman agama. Ini secara ontologis bertentang dengan sunnatullah yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Konsep semua agama, agama apa pun—tentunya dengan konsep Tuhannya yang sangat beragam dan tata cara ibadah yang beragam pula—dan menuju Tuhan yang sama adalah konsep pluralisme yang disebut sebagai “Kesatuan Transenden Agama-‐agama”. Dalam konsep ini tidak ada agama yang dianggap sesat atau salah. Mau shalat cara Islam, atau sembahyang gaya Lia Eden atau agama Gatholoco, semuanya dipandang sama-‐sama akan menuju kepada Tuhan yang sama. Karena itulah, kaum pluralis ini tidak mempersoalkan nama Tuhan. Padahal, pandangan seperti ini menurut Adian Husaini, nama Tuhan, bagi kaum Muslim adalah berdasarkan wahyu, bukan berdasar konsensus, tradisi budaya, atau spekulasi akal. Menurut Adian, hingga kini, umat Islam tidak berselisih paham soal nama Tuhan. Di mana pun juga dan kapan pun juga, umat Islam mengucapkan nama Tuhan mereka, dengan lafaz yang sama.8
Itulah sebabnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munasnya ke-‐7 tanggal 26-‐29 Juli 2005 secara tegas mengharamkan paham pluralisme agama, bersama sekularisme dan liberalisme.9 Sikap keras MUI itu dapat dipahami karena pluralisme yang dipahami MUI adalah pluralisme agama yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme, menurut MUI, juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Meskipun mengharamkan pluralisme, MUI tidak mengharamkan pluralitas agama karena merupakan kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Umat Islam, menurut MUI, dapat hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan, khususnya dalam masalah aqidah dan ibadah.10
Kalau pluralisme dimaknai sebagaimana pemahaman MUI tersebut, maka banyak kalangan Islam, juga keberatan dan bahkan menolak paham dimaksud. Di dalam
8 Adian Husaini, “Pluralisme Agama Model ICIP”, Catatan Akhir Pekan dalam Majalah Hidayatullah, 8 Mei 2008. 9 Di kalangan penentangnya, ketiga istilah itu dikenal dengan “Sipilis,” singkatan dari sekularisme, pluralisme dan liberalisme.
10 Fatwa MUI No. 7/MUNAS/VII/MUI/II/2005 tentang “Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama”.
12
kehidupan keberagamaan, maka yang penting diperhatikan adalah memahami bahwa persoalan teologis agama-‐agama harus dianggap selesai. Hal ini tidak perlu untuk dibicarakan. Teologi agama-‐agama memang harus seperti itu. pasti ada perbedaan antara satu agama dengan lainnya. suatu ungkapan yang menarik pernah diungkapkan oleh KH. Hasyim Muzadi, bahwa “yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan”. Sebuah ungkapan yang sarat dengan pandangan pluralisme dan multikultruralisme yang sangat mendasar Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan. Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama, semua benar dan menuju titik akhir yang sama sehingga yang membedakan hanyalah “cara” atau “sarana” yang digunakan. Secara tegas, Islam menerima adanya pluralitas agama dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-‐masing (lakum diinukum wa liya diin). Ajaran Islam juga melarang keras penyerangan, permusuhan, dan kedzaliman terhadap penganut agama lain, sepanjang mereka tidak memusuhi dan mengancam eksistensi Islam dan umatnya.
Oleh karena itu, terlepas dari masih rancunya definisi pluralisme tersebut, lebih baik menggunakan istilah toleransi dibanding pluralisme. Toleransi berarti menghargai penganut agama lain dan hak hidupnya. Sedangkan pluralisme dapat diartikan (paling tidak oleh sebagian penganutnya) sebagai ide penyatuan agama-‐agama yang pada akhirnya bukannya akan mengharmonisasi antar pemeluk agama, tetapi malahan menghancurkan agama-‐agama. Toleransi beragama bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan agama-‐agama yang berbeda. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-‐kelompok agama yang memang tidak sama itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian interaksi sosial. Jadi, ada batas-‐batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-‐masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-‐masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-‐haknya.
Merajut Toleransi Sejak Dini Toleransi perlu ditanamkan sejak usia remaja dan bahkan sejak usia anak-‐anak sedini mungkin. Lebih cepat diajarkan bertoleransi lebih baik bagi perkembangan jiwa anak-‐anak. Saat anak mulai bergaul dengan teman-‐temannya, dia akan mulai merasakan perbedaan. Jika tidak diajarkan bertoleransi, nantinya dia bisa berkonflik dengan teman-‐temannya karena adanya perbedaan itu. Toleransi di kalangan pelajar berarti perilaku terbuka dan menghargai segala perbedaan yang ada dengan sesama teman sekolah atau lingkungan yang lebih luas. Biasanya orang bertoleransi terhadap perbedaan kebudayaan dan agama. Namun, konsep toleransi ini juga bisa diaplikasikan untuk perbedaan jenis kelamin, anak-‐anak dengan gangguan fisik maupun intelektual, status sosial dan perbedaan lainnya.
13
Toleransi juga berarti menghormati dan belajar dari orang lain, menghargai perbedaan teman dan tidak mempersoalkan perbedaan itu dalam pergaulan sehari-‐hari. Lingkungan rumah dan sekolah memegang peranan penting dalam mengembangkan toleransi beragama. Jika lingkungan rumah atau sekolah yang ditemui anak bersifat heterogen, anak dapat memahami perbedaan agama dan kebiasaan yang dilakukan masing-‐masing agama.
Setidaknya, ada tiga cara bagaimana menumbuhkembangkan sikap toleran pada pelajar. Pertama, membiasakan keberagaman. Kita perlu menyadari bahwa ada beragam suku, agama, dan budaya. Meskipun orang lain memiliki agama atau suku yang berbeda, manusia sebenarnya sama dan tidak boleh dibeda-‐bedakan. Memperkenalkan keberagaman sedini mungkin nantinya bisa memupuk jiwa toleransi pelajar agar lebih memandang perbedaan yang ada secara lebih bijak.
Kedua, menerima perbedaan. Perlu dipahamkan di kalangan pelajar bahwa perbedaan yang ada merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak boleh disikapi dengan kebencian, karena kebencian akan membuat sedih dan menyakiti hati orang lain. Kita tentu tidak senang dibenci karena perbedaan kita dengan orang lain. Dengan cara begitu, para pelajar lebih merasa empati dan bertoleransi dengan apa yang dirasakan orang lain.
Ketiga, perlu ada contoh. Jangan hanya memberi tahu teman lewat kata-‐kata, tetapi juga contoh nyata. Jika bertemu seseorang menggunakan simbol agama yang cukup ekstrem atau seseorang yang memiliki warna kulit berbeda, jangan memandangnya dengan penuh keanehan, apalagi mengatakan sesuatu bernada kebencian dan ledekan.
Ada sejumlah contoh menarik bagaimana sikap toleransi mulai diterapkan di sekolah. Di SMAN 12 Bekasi, misalnya, pada bulan Ramadhan diselenggarakan dua kegiatan: Pesantren Ramadhan bagi siswa muslim dan Rohani Kristen (Rokris) bagi siswa non-‐muslim. Meskipun diselenggarakan pada waktu yang sama, kedua kegiatan dilaksanakan di ruang kelas yang berbeda. Selain mendapatkan materi yang bersifat pendalam keagamaan masing-‐masing, mereka juga diberikan materi tentang mencintai sesama umat manusia serta pentingnya saling menolong dan menghargai antar umat beragama.
Senada dengan di Bekasi, di SMAN 1 Jombang, jika Ramadhan tiba siswa muslim wajib mengikuti Pondok Ramadhan, sedangkan yang beragama Kristen mengikuti kegiatan Pondok Kasih. Mereka diajarkan pendalaman agama dan bagaimana pentingnya hidup rukun dan saling toleran di kalangan umat yang berbeda keyakinan.
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan menyikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita
14
semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Wallahu a’lam.