Menyoal Pencucian Uang Di Indonesia Oleh Agung Setya

39
MENYOAL TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Sebuah Perspektif Agung Setya Imam E. SH. S.IK M.Si 0

Transcript of Menyoal Pencucian Uang Di Indonesia Oleh Agung Setya

MENYOAL TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

MENYOAL TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

Sebuah Perspektif

Agung Setya Imam E. SH. S.IK M.Si

MENYOAL TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

Kriminalisasi pencucian uang, saat ini menjadi simbol kemenangan hukum yang telah lama mati suri, oleh akrobat hukum para pelaku kejahatan. Seperti setitik air ditangah padang pasir melegakan, memenuhi harapan besar akan tegaknya hukum yang adil dan bermanfaat. Khalayak menyambut dengan atusias para pelaku korupsi dipersangkakan juga pencucian uang, aspektasi bekerja hukum pencucian uang akhir-akhir ini memberi spirit baru bahwa keadilan dan kemanfaatan hukum pidana telah berpihakkepada para pencari keadilan, sekaligus sebagai jawaban atas fenomena saat ini yang berkembang keinginan penyelesaian hukum melalui mekanisme diluar peradilan dalam berbagai kejahatan. Seperti itulah kondisi saat ini, terobati telah muncul harapan besar akan hadirnya rasa keadilan melalui penegakan TPPU.Spirit untuk menegakan hukum terhadap kejahatan pencucian uang, mengantar pada realitas bahwa hakekat penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dengan keinginan mendapatkan manfaat hukum sebagai suatu rasa yang nyata. Anekdot hilang ayam lapor polisi hilang kambing adalah umpatan masyarakat dan rasa tidak percayanya masyarakat kepada hukum yang digadang-gadang sebagai panglima dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Keluhan betapa mahal dan berbelit-belitnya hukum memberikan rasa keputusasaan sudah sangat umum. Disisi lain penyidik terus berlindung pada hukum acara yang dalam perspektif sempit mencerminkan hidupnya hukum, dengan berbagai kerumitan yang mengatasnamakan menegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan melanggar hukum, sehingga berputarlah perdebatan mekanisme pembuktian dan upaya paksa seperti mempersoalkan telur atau ayam yang terlebih dahulu ada. Sebagai sebuah obat pelipurlara penegakan hukum pencucian uang, bila ditelisik dengan seksama maka makna pencucian uang itu ada pada pasal 480 KUHP dengan istilah hukum penadahan pada undang-undang yang dibuat pada jaman Belanda. Namun, apakah penyidik telah sungguh-sungguh menerapkan pasal itu, dalam banyak hal pasal itu dipergunakan sebagai bahan permainan tidak hanya oleh penyidik namun juga penuntut umum. Akibatnya sedikit sekali masyarakat mendapatkan manfaat atas penegakan hukum atas hilangnya properti yang dimiliki. Pandangan umum para penegak hukum hanya melihat bahwa properti yang disita statusnya hanya sebagai alat bukti, bukan properti yang memiliki nilai dan harus diurus dan dijaga untuk tidak berkurang nilai ekonomisnya. Itulah kesedihan para pencari keadilan yang mendapatkan properti yang dihilang, kembali dalam keadaan menjadi besi tua. Inilah salah satu rasa keadilan yang diabaikan dalam proses penegakan hukum. Undang-undang pencucian uang yang lahir akibat desakan pihak asing dalam hal ini Financial Act Task Force of Money Laundering, disatu sisi telah membuat mekanisme baru bagi upaya pencarian, pembekuan dan penyitaan asset hasil kejahatan, namun dalam perkembangan hukumnya delik pencucian uang harus dibangun bersarkan fenomena dan ranah hukum Indonesia, sehingga kedepan menjadi tugas para praktisi, ahli hukum dan pembuat undang-undang untuk memperbaiki hakekat kejahatan pencucian uang di Indonesia yang sesuai dengan konstitusi dan kondisi masyarakat Indonesia. Telah berkembang diantara penegak hukum untuk bekerjasama yang lebih baik dalam menangani kejahatan pencucian uang, untuk lebih efektif dan efisien. Secara implicit telah dinyatakan dalam undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU untuk dilakukannya kerjasama antar kelembagaan dan kementerian, secara fungsional maupun struktural.Memahami Tindak Pidana Pencucian Uang Mencuci uang, menjadi isue yang terus menerus menjadi perhatian masyarakat Indonesia, yang bergulir mengikuti proses penegakan hukum yang sedang dijalankan para penegak hukum. Para pelaku begitu jelas memberikan komentarnya pemahaman kejahatan pencucian uang dan pembelaannya bahwa perbuatannya tidak dalam kontek mencuci uang. Tidak ketinggalan para pakar hukum pidana maupun yang secara spisifik membidangi pidana pencucian uang, mendefinisikan dan memberikan pembatasan dan identifiaksi kejahatan pencucian unag dalam perspektif yang berbeda-beda. Akibatnya, pemahaman pada hal yang penting tentang apa itu pencucian uang, dipersepsikan yang berbeda-beda sehingga membuat kebingungan bagi para penegak hukum, seperti halnya pada definisi mencuci uang dan deliknya. Sarah N. Welling, menyatakan : money laundering dimulai dengan adanya uang haram atau uang kotor (dirty money). Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, pertama, melalui pengelakan pajak (tax evasion), yang dimaksud dengan pengelakan pajak ialah memperoleh uang secara legal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang sebenarnya diperoleh, kedua, memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum.Tindak pidana pencucian uang (money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh kejahatan terorganisir (organized crime) maupun pelaku individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika dan tindak pidana lainnya.[footnoteRef:2] Hal ini bertujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan ilegal.[footnoteRef:3] [2: Yunus Husein, PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucuian Uang, Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22 Nomor 3, 2003), hal. 26. ] [3: Ibid. ]

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mendefinisikan pencucian uang atau money laundering sebagai:[footnoteRef:4] [4: Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), hal. 5. ]

Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasaldari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asalusul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal. Dalam Undang-Undang TPPU, disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana.[footnoteRef:5] [5: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka (1). ]

Sedangkan pengertian dan esensi dari kejahatan mencuci uang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal (3), (4), dan (5) Undang-Undang TPPU. Disini tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya.Dinamika bekerjanya kejahatan pencucian uang. Untuk mengetahui bagaimana kejahatan pencucian uang itu bekerja secara umum berkembangan pemahaman yang langusung menukik pada tahapan Placement/menempatkan, layering/ memecah, dan Integration/mencampur, sehingga muncul persepsi bahwa pencucian uang baru terjadi setelah melewati tahapan tersebut. Hal itu menjadikan pertentangan para praktisi, dimana Jaksa Penuntut Umum menganggap bahwa berkas perkara yang dibuat penyidik harus menggambarkan proses 3 tahapan. Sementara itu penyidik lebih fokus pada pembuktian pada pemenuhan unsur-unsur yang ada dalam pasal Undang-Undang Pencucian Uang. Inilah, dinamika awal bagaiamana para penegak hukum mempertentangkan bekerjanya proses pencucian uang. Selanjutnya, dalam perkembangannya para penegak hukum telah mencapai pada diskusi yang lebih luas atas bekerjanya pencucian uang, yang menyepakati bahwa pembuktian bahwa kejahatan asal (predicate Crime) menjadi hal utama untuk dibuktikan, sehingga dengan pasti diketahui telah terjadi kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan, yang kemudian terhadap harta kekayaan tersebut dilakukan pencucian uang, sehingga seakan-akan diperoleh melalui usaha yang legal. Sebagai pengetahuan yang mendasar maka peristilahan dalam pencucian uang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. PlacementPlacement (penempatan) merupakan upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Placement merupakan tahap yang paling sederhana, suatu langkah untuk mengubah uangyang dihasilkan dari kegiatan kejahatan ke dalam bentuk yang kurangmenimbulkan kecurigaan dan pada akhirnya masuk ke dalam jaringan sistem keuangan.[footnoteRef:6] [6: Yenti Ganarsih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering), cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 55.]

Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik maupun non fisik dari uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai, menggabungkan antara uang hasil kejahatan dengan uang dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, tabungan, dan instrument keuangan lainnya atau melalui pembelian atau saham, atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang asing atau transfer uang ke dalam valuta asing. Dengan demikian, melalui penempatan (placement), bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul uang yang tidak sah tersebut. Dalam rangka mencegah industri jasa keuangan dipakai oleh para pelaku tindak pidana untuk mencuci uangnya dan untuk mendeteksi proses placement diciptakanlah Cash Transaction Report atau CTR (laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai). Kadangkala placement ini dapat dideteksi juga dengan menggunakan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM-Suspicious Transaction Report). Kedua laporan ini diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang TPPU.2. LayeringLayering (transfer) merupakan upaya mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain. Dilakukannya layering, membuat penegak hukum sulit untuk dapat mengetahui asal-usul harta kekayaan tersebut.Dalam layering terjadi pemisahan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan atau pelaku pencuci uang berusaha memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya. Terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui transaksi kompleks yang didesain untuk menyamarkan sumber dana haram tersebut. Layering dapat dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank. Dengan demikian, pada tahap ini sudah terjadi pengalihan dana hasil kejahatan yang dimasukan ke beberapa rekening dialihkan ke rekening lain melalui mekanisme transaksi yang kompleks, termasuk kemungkinan pembukaan rekening fiktif dengan tujuan menghilangkan jejak.3. IntegrationIntegration (penggabungan) merupakan upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan atau kepemilikan asset berharga lainnya melalui penempatan (placement) atau transfer (layering) sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), yang selanjutnya digunakan untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Disini harta hasil kejahatan dicuci malalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang. Integration ini merupakan tipu muslihat untuk dapat memberikan legitimasi terhadap uang hasil kejahatan.[footnoteRef:7] [7: Yenti Ganarsih, Op. Cit., hal. 56. ]

Terdapat mekanisme untuk mendeteksi adanya dinamika aktifitas mencuci uang, melalui laporan yang disampaikan oleh penyedian jasa keuangan maupun Penyedia barang dan jasa lainnya seperti toko perhiasan, dealer mobil, pengembang perumahan/apartemen, penjual barang antic dll. Laporan itu sangat penting untuk dilakukan analisis untuk menangkap dugaan pencucian uang dengan indicator tertentu. Itu pulalah sebabnya bagi penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan jasa lainnya yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK dipidana dengan denda paling banyak dua ratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Denda pidana ini sudah tentu diputuskan melalui proses pengadilan. Selain itu, apabila tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh korporasi, maka terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah satu pertiga.[footnoteRef:8] Korporasi tersebut dapat juga dikenakan hukuman tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi. Disisi lain, terhadap pelaku pasif pencucian uang yang dengan patut menduga telah menerima penempatan/transfer harta kekayaan hasil kejahatan.[footnoteRef:9] [8: Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 8. ] [9: Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 5. ]

Kriminalisasi Kejahatan Pencucian Uang Di IndonesiaKriminalisasi kejahatan pencucian uang di Indonesia, diawali pada sekitar tahun 2000-an Indonesia diduga merupakan salah satu tempat menarik bagi pelaku pencucian uang, karena dengan sistem keuangan yang sedang berkembang dan adanya ketentuan rahasia bank yang ketat serta kebutuhan dana dari luar negeri dalam jumlah besar untuk keperluan pembangunan. Indonesia juga belum memiliki pengaturan khusus mengenai pencucian uang. Untuk memperbaiki citra negara Indonesia di mata dunia internasional dan dengan adanya desakan dari negara maju dan lembaga internasional untuk mempersempit peluang pelaku kejahatan internasional melakukan pencucian uang, serta keluar dari daftar hitam (black list) NCCT's, maka Pemerintah Indonesia membuat ketentuan yang melarang kegiatan pencucian uang (money laundering) dalam bentuk apapun yang diatur dalam Undang-Undang TPPU.Dalam ikut serta dalam pemberantasan kejahatan terorganisasi, Pemerintah Indonesia telah ikut menandatangani United convention against transnational crimes tanggal 15 Desember 2000 di Palermo Italia. Disebutkan dalam konvensi tersebut tentang pemberantasan kejahatan, dimana terdapat 17 jenis kejahatan yang termasuk kategori kejahatan serius internasional. Dalam urutannya tindak pidana Pencucian Uang merupakan peringkat pertama, selanjutnya korupsi dan penyelundupan. Selanjutnya Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tersebut kedalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009. Dengan demikian Indonesi telah terikat pada keinginan bersama negara anggota PBB untuk mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional termasuk diantaranya adalah TPPU.Penanganan TPPU diatur oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan akhirnya diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uangmerupakan yang paling sering mengalami perubahan karena dorongan dari faktor eksternal yaitu perlunya pembaharuan hukum mengenai pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, untuk menyesuaikan dikeluarkannya revisi rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATFML) sebagai standar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uangPerubahan/amandemen undang-undang ini menguatkan kesan adanya intervensi dalam pembentukan maupun perubahan/amandemen undang-undang tentang pencucian uang. Bahwa akibat dari perubahan undang-undang TPPU tersebut telah terjadi akibat yang sangat meluas dari praktek hukum pidana yang bergeser dari prinsip hukum seperti halnya terhadap pembuktian terbalik yang belum ada harmonisasi dengan mekanisme persidangan, meletakan penyidik kejahatan asal sebagai penyidik TPPU membuat mekanisme yang terkotak-kotak yang tidak efisien. Termasuk luasnya tindak pidana asal telah keluar dari hakekat pencucian uang ini dilakukan para pelaku kejahatan terorganisasi dan transnasional, bukan pelaku kejahatan konvensional. Praktik Kejahatan Pencucian Uang Di Indonesia Trend kejahatan Pencucian Uang, saat ini terkait adanya korelasi yang sangat kuat antara berbagai bentuk kejahatan terutama kejahatan transnasional, dan kejahatan bermotif ekonomi dengan harta kekayaan hasil kejahatan yang seharusnya diselesaikan secara simultan dalam proses penegakan hukum. Seiring meningkatnya globalisasi, jumlah dan modus kejahatan bidang ekonomi semakin meningkat pula. Pada tahun 2012, angkanya adalah sebanyak 923 perkara namun meningkat 229,79% di tahun 2013 menjadi 2.121 perkara. Managing Director IMF, Michel Camdessus, perkiraan volume pencucianuangantara 2 - 5% dari gross domestic product (GDP) dunia yang nilainya setiap tahun mencapai hampir USD. 600 Milyar[footnoteRef:10], separuhnya merupakan hasil dari kejahatan peredaran narkotika, senjata gelap, serta kejahatan Perbankan dan pasar modal. [10: Tidak ada acuan yang pasti mengenai volume TPPU di Indonesia. Namun merujuk pada pendapat ini, jika Gross Domestic Product Indonesia tahun 2013 adalah 878 Milyar USD, atau setara 10.097 Triliun (Kurs 11.500), maka volume pencucian uang di Indonesia adalah senilai 200-500 Triliun (11-28% dari nilai APBN).]

Dalam praktik pencucian uang sebagian besar mengandalkan sarana lembaga keuangan, terutama perbankan dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.[footnoteRef:11] Sistem kerahasiaan bank dan kelemahan perangkat hukum di Indonesia juga merupakan sarana yang dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian uang. Adanya pengaturan kerahasiaan ini membuat mereka merasa aman untuk menyimpan uang hasil kejahatannya tanpa harus takut akan dilacak oleh pihak berwenang. Selain itu kondisi yang mengakibatkan negara ini menjadi surga kegiatan pencucian uang adalah karena Indonesia masih membutuhkan likuiditas, sehingga dunia perbankan Indonesia masih memandang pentingnya dana-dana asing untuk masuk dan diinvestasikan di Indonesia. Sementara ada pihak-pihak asing tertentu yang hanya setuju untuk melakukan investasi di Indonesia jika dijamin tidak diusut asal-usul dananya. [11: Ibid., hal. 18. ]

TPPU di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Dampak dari pencucian uang adalah sebagai berikut:[footnoteRef:12] [12: Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 18. ]

1. Merongrong sektor swasta yang sah (undermining the legitimate private sectors).2. Mengakibatkan rusaknya reputasi negara (reputation risk).3. Mengurangi pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak (loss revenue).4. Merongrong integritas pasar keuangan (undermining the integrity of finacial markets).5. Membahayakan upaya privatisasi perusahaan negara yang dilakukan oleh pemerintah (risk of privatization efforts).6. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi (social cost).7. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (economic distortion and instability).8. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya (loss of control of economic policy).9. Menimbulkan dampak makro ekonomi, yang mana pencucian uang telah mendistorsi data ekonomi dan mengkomplikasi upaya pemerintah untuk melakukan pengelolaan terhadap kebijakan ekonomi yang nantinya harus memainkan peranan dalam upaya anti money laundering, misalnya seperti pengawasan lalu lintas devisa (exchange control), pengawasan bank terhadap pelaksanaan rambu kesehatan bank (prudential supervision), penagihan pajak (tax collection), pelaporan statistik (statistical reporting), dan peundangundangan (legislation).10. Mengakibatkan kurangnya kepercayaan kepada pasar dan terjadinya penipuan (fraud), serta penggelapan (embezzlement).Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri.[footnoteRef:13] [13: Bismar Nasution, Rezim Anti-Money laundering Di Indonesia, (Bandung: Books Terrace & Library Pusat Informasi Hukum Indonesia, 2005), hal 1. ]

Penangangan TPPU Oleh Polri Sebagai KeunggulanPenegakan Hukum Pencucian Uang sebagai Sistem dapat bekerja secara optimal, bila ada keterpaduan dalam pemisahan (unity in diversity) sehingga walaupun masing-masing subsistem memiliki kewenangan tersendiri, tetapi harus memberikan masukan bagi subsistem yang lain. Dengan demikian, output dari suatu subsistem, merupakan input bagi subsistem yang lain, sehingga kesinambungan dari suatu sistem bukan seperti kartu domino namun merupakan kesatuan seperti mata rantai, bahwa keterpaduan dalam sistem harus tercipta dari hulu sampai ke hilir.[footnoteRef:14] [14: Luhut M.P. Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Papas Sinar Harapan, 2009), hal. 44.]

Peraturan Presiden Nomor 6 tahun 2012 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) merupakan dasar bagi wadah 13 kementerian/lembaga yan terdiri dari Gubernur Bank Indonesia, OJK, Menteri Luar negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung, Polri , BIN, BNPT, BNN, dibawah Koordinasi ketua Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, dengan Wakil ketua, Menteri Kordinator bidang Perekonomian, dan Sekretaris merangkap anggota Kepala PPATK berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dalam mengkoordinasikan penanganan pencegahan dan pemberantasan TPPU di Indonesia. Dalam pelaksanaannya Komite Koordinasi menjalankan tugas merumuskan arah kebijakan dan strategi pencegahan dan pemberantasa TPPU, Pengoordinasian pelaksanaan program dan kegiatan sesuai arah kebijakan dan strategi pencegahan dan pemberantasan TPPU, Pengoordinasian langkah-langkah yang diperlukan dalam penanganan hal lain yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU dan pendanaan Teroris, pemantauan dan atas penanganan serta pelaksanaan program. Komite Koordinasi Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk masa kerja 2012 sampai dengan 2016 memiliki 12 Strategi Nasional dalam mencegah dan memberantas TPPU dan pendanaan terorisme. Polri didalam 12 Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia terlibat secara langsung dan bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan terhadap 4 (empat) Strategi Nasional Stranas dan telah menindaklanjuti keputusan yang disepakati dalam setiap pertemuan Komite melalui program dan kegiatan yang ada, serta telah pengoordinasikan langkah-langkah yang diperlukan dalam penanganan. Hal lain yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang termasuk pendanaan terorisme, adalah menyampaikan perkembangannya dalam evaluasi atas penanganan serta pelaksanaan program dan kegiatan sesuai arah, kebijakan dan strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang kepada Tim Pelaksana. Adapun pelaksanaan kegiatan Polri terhadap 4 strategi nasional tersebut sampai dengan bulan Februari 2014 adalah sebagai berikut :1. Realisasi kegiatan Strategi Nasional ke 3 (tiga) tentang pengelolaan database secara elektronik dan ketersambungan (connectivity) data base yang dimiliki oleh beberapa instansi terkait : Polri telah menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) dan tersambungnya jaringan Secure Online Comunication (SOC) antara Bareskrim Polri dengan PPATK. Database Pusat Informasi Kriminal selama ini telah dapat dimanfaatkan oleh penyidik didalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, yang selanjutnya terkait kebutuhan penyidik terhadap data transaksi keuangan melalui jaringan SOC telah dimintakan (Inquiry) kepada PPATK yang selanjutnya PPATK akan melakukan penelusuran dan analisis, yang hasilnya dikirim melalui jaringan SOC guna kepentingan penyidikan TPPU, sampai dengan saat ini telah terkirim 30 (tiga puluh) Inquiry dan telah mendapat jawaban hasil penelusuran transaksi keuangan dan analisisnya yang bermanfaat bagi penyidik.Terkait dalam melakukan kajian hukum atas lembaga-lembaga yang dapat melakukan ketersambungan database telah dilakukan kordinasi antara Polri dan PPATK terkait penjabaran MoU PPATK dengan Polri khususnya dalam hal pertukaran informasi, dengan hasil disusun mekanisme penggunaan jaringan komunikasi INTERPOL I-24/7 dan e-ADS dalam rangka meningkatkan koordinasi dan kerjasama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, NCB-Interpol Indonesia telah memberikan hak akses kepada PPATK dalam bentuk kerja sama yang dituangkan dalam Kesepahaman Bersama antara Polri dengan PPATK yang telah ditandatangani pada tanggal 21 Desember 2012 di Kantor PPATK.Polri juga telah membangun database pendataan kendaraan bermotor, penerbitan SIM, STNK dan BPKB, dan proses penyidikan yang dapat diakses melalui Website Polri, atau SMS, guna memudahkan dalam memberikan data atau informasi yang diperlukan kepada instansi maupun masyarakat yang memerlukan. Dalam rangka membangun Zona Integritas dan kawasan bebas korupsi menuju wilayah birokrasi yang melayani, telah dilakukan kordinasi penyusunan naskah tatacara permintaan klarifikasi informasi transaksi keuangan pejabat Polri yang akan dipromosikan pada jabatan eselon I dan II kepada PPATK dan Penyelidikan/penyidikan bila ditemukan adanya transaksi keuangan mencurigakan.2. Realisasi kegiatan Strategi Nasional 6 (enam) tentang Pengefektifan penerapan Penyitaan aset (Aset Forfeiture) dan Pengembalian Aset (Aset Recovery) Implementasi dari srtategi untuk mengefektifkan penerapan penyitaan asset dan pengembalian asset dilakukan melalui kegiatan sosialisasi dan pendidikan serta pelatihan terkait penerapan pasal 65 dan 67 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, melalui kegiatan : 0. Sosialisasi kepada 210 pejabat utama dan penyidik di Polda Kalimantan Timur dan 200 penyidik di Polda Kepri.0. Mengorganisir dan melaksanakan pelatihan gabungan penyidik TPPU yang terdiri dari penyidik Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen pajak dan Ditjen Bea dan Cukai di JCLEC Akpol Semarang dalam program pelatihan Financial Investigation Program dan Joint Training Money Laundering Investigation dengan jumlah peserta 565 orang.0. Pelatihan In House Training Ditjen Pajak sebanyak 6 (enam) kali dengan jumlah peserta 440 orang.0. Pengajaran pada pendidikan penyidik Money Laundering di Pusdik Reskrim Megamendung sebanyak 6 Kelas dengan jumlah peserta 180 orang.Adapun operasionalisasi dari pasal 65 dan 67 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, adalah dengan melakukan penyitaan aset dalam proses penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan hasil sebagai berikut :Tahun 2012 terdiri dari :1).Uang sebesar Rp. 24.365.062.315,- (dua puluh empat milyar tiga ratus enam puluh dua juta enam puluh dua ribu tiga ratus lima belas rupiah);2.)Harta tidak bergerak berupa gedung Mall Serpong senilai kurang lebih Rp. 350.000.000.000,- (tiga ratus lima puluh milyar rupiah), 10 (sepuluh) Kavling tanah, 4 (empat) bangunan rumah, 33 (tiga puluh tiga) emas batangan seberat 3,3 Kg dan perhiasan emas eberat 33,2 gr;3).Harta bergerak berupa 3 (tiga) buah motor dan 2 (dua) buah mobil , 269.250.000 (dua ratus enam puluh sembilan juta dua ratus lima puluh ribu) lembar saham dan 20 (dua puluh) efek.Tahun 2013 terdiri dari :1)Uang sebesar Rp 16.347.576.728 (enam belas miliar tiga ratus empat puluh tujuh juta lima ratus tujuh puluh enam ribu tujuh ratus dua puluh delapan rupiah) dan USD 451,951,50 (empat ratus lima puluh satu ribu sembilan ratus lima puluh satu koma lima puluh dolar amerika);2)Harta tidak bergerak berupa 7 rumah, 2 apartemen, 1 ruko, tanah seluas 4 hektar;3)Harta bergerak berupa 17 mobil dan 1 motor.Dalam rangka merecovery aset hasil kejahatan yang pelakunya melarikan diri atau tidak diketahui keberadaannya Polri telah mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013 tentang tatacara penyelesaian permohonan penangananan harta kekayaan dalam tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain, dengan mengajukan ke Pengadilan dana yang ada didalam 122 rekening bank senilai Rp. 7,2 milyar hasil kejahatan email fraud dan judi online.Dalam rangka penyusunan peraturan pelaksana pembentukan lembaga pengelola aset, perlindungan dan konpensasi dan pemberian intensif yang direncanakan dalam program 2014-2015 Polri telah melakukan penataan internal terkait dengan pengelolaan tahanan dan barang bukti hasil kejahatan oleh bagian tahanan dan barang bukti Bareskrim Polri, Direktur tahanan dan barang bukti ditingkat Polda dan Kasat tahanan dan barang bukti ditingkat Polres melalui penyusunan standart operating prosedure (SOP).3. Realisasi kegiatan Strategi Nasional 7 (tujuh) tentang pengungkapan kasus-kasus TPPU dan kejahatan terorganisasi lainnya :Polri telah melakukan langkah-langkah penyamaan persepsi dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melalui kegiatan seminar secara periodik dengan bertindak sebagai narasumber dalam 31 kali seminar, coach pelatihan TPPU dalam 4 program pelatihan bersama para penyidik TPPU yang diselenggarakan oleh JCLEC, Pusdik Serse Mega Mendung, Pusdik Pajak, dan Polda Kaltim dan Kepri. Dalam pembahasan hukum acara dan implementasi penegakan hukumnya telah dilakukan kegiatan expert meeting yang diikuti dosen dari universitas : Sriwijaya, Pajajaran, Jember dan Jakarta.Dalam rangka meningkatkan kualitas pelatihan bagi penyidik TPPU dari Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai, Polri bersama PPATK dan JCLEC telah menyusun model Emersif yang telah diterapkan dalam program Joint Training Investigations Money Laundering sebanyak 4 program yang diselenggarakan di JCLEC Akpol Semarang.Polri telah secara aktif melalui Subdit Tindak Pidana Pencucian Uang/Money Laundering bergabung dalam satuan tugas koordinasi penanganan kasus tindak pidana pencucian uang yang terdiri dari Polri, PPATK, Kejaksaan Agung dan Ditjen Pajak dan telah mengungkap perkara tindak pidana pencucian uang dan kejahatan teroganisir seperti Korupsi dan Pencucian Uang dalam tata kelola Tambang di Kalimatan Selatan, pengurusan restitusi Pajak pada DItjen Pajak, Kegiatan ekspor dan Impor barang di Tanjung Priok dan Kalimantan Barat, Kegiatan Ilegal Loging dan Migas di Papua. 4. Realisasi kegiatan Strategi 9 (sembilan ) tentang Peningkatan kerja sama internasional. Dalam strategi ini, Polri telah merealisasi kegiatan dalam rangka terciptanya koordinasi dan kerja sama internasional dengan aktif dalam berbagai forum kerja sama internasional yang antara lain ASEANAPOL, Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN dan Menteri-Menteri yang menangani Kejahatan Transnasional (ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crimes - AMMTC) dalam rangka mempermudah proses penegakan hukum Transnational Crime Polri telah membangun kerjasama dengan berbagai Negara lain dalam penanganan kejahatan antara lain narkotika, terorisme, perdagangan senjata, perdagangan manusia dan pencucian uang yang perlu terus ditingkatkan melalui strategi ini.Secara Internal Polri juga memlakukan Kegiatan pembangunan zona integritas dan kawasan bebas korupsi menuju wilayah birokrasi yang melayani, Polri bekerjasama dengan PPATK telah di susun mekanisme tatacara permintaan klarifikasi informasi transaksi keuangan pejabat Polri yang akan dipromosikan pada jabatan eselon I dan II kepada PPATK dan penyelidikan/penyidikan bila ditemukan adanya transaksi keuangan mencurigakan, telah disampaikan kepada PPATK permintaan klarifikasi sejumlah 375 (tiga ratus tujuh puluh lima) transaksi keuangan pejabat Polri. Disamping menyelengarakan penanganan TPPU dalam konteks koordinasi pada Komite Koordinasi Pencegahan dan Penanggulangan TPPU, Polri secara mandiri telah pula menerapkan UU TPPU dalam berbagai kegiatan penegakan hukum sebagaimana yang akan diuraikan sebagai berikut :Penanganan TPPU sebagai benteng pertahanan terakhir melawan perang asimetris di bidang ekonomi terkait penyelundupan barang ilegal.Penyelundupan telah mengancam pembangunan nasional di bidang ekonomi. Meskipun tidak dapat ditentukan dengan pasti, Kementerian Perindustrian telah memberikan gambaran tentang nilai impor produk-produk illegal yang masuk ke Indonesia yang berpotensi merugikan Negara. Keluar-masuknya produk-produk illegal ini menjadi potensi kerugian Negara khususnya industri terkait. Direktorat Industri Elektronika dan Telematika, pada tahun 2013 nilai produk elektronik illegal diperkirakan mencapai 35% dari total omset penjualan produk domestic atau setara dengan Rp.100 Triliun . Sementara itu, berdasarkan data dari Industri Tekstil dan Aneka, Ditjen Basis Industri Manufaktur, penyelundupan impor di sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) juga tidak kalah maraknya, dari sekitar Rp.50 Triliun pasar Industri TPT, 26% diantaranya merupakan produk illegal . Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia Provinsi Kalimantan Barat, Syarif Usman Almuthahar, dimana negara dirugikan setidaknya Rp 180 miliar tiap tahun akibat penyelundupan gula dari Sarawak melalui pos Entikong. Penyelundupan terjadi tidak hanya pada produk impor, melainkan juga penyelundupan dari dalam ke luar negeri, khususnya komoditi sumber daya alam. Kerugian Negara akibat penyelundupan BBM diperkirakan mencapai 56 triliun, Kerugian negara akibat praktek illegal logging, illegal fishing dan penyelundupannya mencapai US$ 22 miliar per tahun. Dalam upaya menangani tindak pidana penyelundupan tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai leading sector penanganan kejahatan penyelundupan telah melakukan penindakan terhadap 9.082 kasus penyelundupan selama kurun waktu 2012- Mei 2014 dengan penyelamatan potensi kerugian negara sebesar Rp 578,5 Milyar. Namun demikian, pelaksanaan penegakan hukum oleh DJBC tersebut masih diwarnai oleh berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang sehingga berdampak makin banyaknya kasus penyelundupan dengan potensi kerugian negara yang semakin besar dari tahun ke tahun. Dalam menghadapi ancaman perang asimetris dibidang ekonomi yang berhubungan erat dengan dinamika Globalisasi yang ditandai dengan peningkatan dinamika arus barang, orang dan jasa lintas negara. Menggunakan kejahatan penyelundupan sebagai sarana perang asimetris sudah di depan mata. Dalam kontek resiko maka Negara yang mengembangkan perang asimetris dibidang ekonomi akan terhindar sanksi sebagai agresor, namun akan mendudukan sebagai kejahatan yang pelakunya adalah orang perorangan atau korporasi bukan Negara. Menjadi konsekwensi logis bila meningkatnya angka kejahatan lintas negara atau yang lebih dikenal dengan trans nastional crime baik dari segi pelaku, modus operandi, daerah operasi, hasil kejahatan, bentuk maupun mobilitas kejahatan yang beraneka ragam telah terjadi termasuk di bidang ekonomi, sebagaimana data pada Pusiknas Bareskrim Polri kejahatan kejahatan transnasional tahun 2012 sebanyak 923 dan tahun 2013 sebanyak 2121 naik 229 %. Untuk menghadapi terorganisasinya kejahatan lintas negara, maka seluruh instansi lintas sektoral perlu menjalin kerjasama secara sinergis.Bareksrim Polri menangani adanya keterlibatan aparat Bea dan Cukai dalam praktek penyelundupan dengan menahan sejumlah oknum pejabat DJBC yang berawal dari laporan LHA PPATK dengan penerapan Undang-Undang TPPU seperti pada kasus Kasubdit Impor Kantor Dirjen Bea Cukai dan kasus Kepala Kantor Bea Cukai Entikong Kalbar, yang dapat mengungkap proses penyelundupan barang di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan perlintasan Entikong Kalbar, dengan menyita dan mengembalikan aset hasil kejahatan para pelaku kepada negara sebesar Rp. 60 Milyar. Operasionalisasi Undang-Undang TPPU merupakan satu-satunya upaya hukum bagi Polri untuk berkontribusi dalam penanganan TP penyelundupan sampai ke akar-akarnya. Tindak pidana kepabeanan yang lingkupnya termasuk penyelundupan, pada dasarnya menjadi kewenangan eklusif bagi Dirjen Bea Cukai. Dengan demikian, operasional Undang-Undang TPPU tersebut merupakan upaya terakhir untuk mengantisipasi dan menyelamatkan negara dari dampak yang luas dari kejahatan penyelundupan yang dapat digunakan oleh negara lain sebagai ancaman perang asimetris yang akan melemahkan kedaulatan negara di bidang ekonomi dan Kesatuan Negara Republik Indonesia.Penanganan TPPU mampu memutus siklus politik dinastiPernyataan Lord Acton yang mengatakan bahwa "power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutely", merupakan jawaban sekaligus pesan dalam pengelolaan kekuasaan negara dan menjadi adagium yang tak terbantah dalam tata kelola penyelanggaraan Otonomi pemerintahan daerah di Indonesia. Kasus hukum yang menjerat dinasti Atut Chosiyah merupakan bukti nyata, bahwa kekuasaan dikelola seperti komoditas yang bernilai untuk melanggengkan dan mendapatkan kekayaan, kedudukan dan martabat keluargaOtonomi daerah sebagai produk reformasi telah menjadi fenomena bangsa, yang saat mulai diperdebatkan setelah 2 dasawarsa belum banyak mewujudkan tujuannya. Penyelenggaraan otonomi daerah telah boleh dilepaskan dari tujuan otonomi daerah yakni mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan oleh karena itu, senantiasa harus memperhatikan apa yang menjadi kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat di daerah masing-masing. Namun otonomi daerah sejak dilaksanakan pada tahun 1999 hingga saat ini telah melahirkan berbagai perubahan, diantara sekian banyak dampak otonomi daerah terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tersebut, ada dampak otonomi daerah yang dinilai positif tetapi tidak sedikit pula dampak otonomi daerah yang dinilai negatif terkait dengan pengelolaan kekuasaan pemerintahan daerah yang berorientasi kepada kelompok tertentu ataupun dinasti yang berkuasaICW (Indonesia Corruption Watch) pada semester pertama tahun 2010, merilis data yang menunjukkan bahwa salah satu penyumbang kerugian negara adalah korupsi keuangan daerah. Korupsi yang terjadi di daerah tersebut, terutama dilakukan oleh oknum DPRD dan Kepala Daerah. Disisi lain KPK menyatakan bahwa Sistem pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah yang berlaku saat ini pun menjadi potensi masalah tersendiri. Karena, lebih membebankan biaya kampanye kepada kandidat, bukan partai. Sehingga kandidat harus mencari sumber-sumber pendanaan yang sering kali melawan hukum. (Laporan tahunan KPK tahun 2013). Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, sedikitnya 1.000 pilkada secara langsung yang digelar terjadi berbagai macam distorsi yang tidak diharapkan terjadi, walaupun ada sisi positif seperti munculnya kepala daerah yang inovatif dan dekat dengan rakyat. Kepala daerah yang dipilih secara langsung ternyata banyak terjerat kasus korupsi. Total 327 kepala daerah dari 524 orang terkena proses hukum, 86 persen di antaranya kasus korupsi. Banyaknya kasus korupsi yang dihadapi para kepala daerah itu karena politik biaya tinggi. Biaya bayar kampanye mahal. Kerumitan itu membuat terjadi korupsi. Berdasarkan catatan Kemendagri pula pada tahun 2013 terdapat 57 kepala daerah melakukan politik dinasti, 13 persen pemerintahan di daerah merupakan politik dinasti, termasuk jika dilihat dari hasil pemilihan legislatif dimana banyak keluarga kepala daerah memenangkan kursi DPR.[footnoteRef:15] [15: http://setkab.go.id/berita-13563-327-kepala-daerah-yang-dipilih-langsung-hadapi-kasus-hukum-86-persen-korupsi.html]

Polri akan dihadapkan pada permasalahan atas dampak masalah, yang sebenarnya bukanlah semata menjadi tugas Polri namun karena sifatnya yang meluas dan keterkaitan satu dengan yang lain maka kemudia Polri harus tuurun tangan menanganinya. Oleh karena itu dalam menangani dampak politik dinasti, Pimpinan Polri dituntut untuk memiliki kemampuan memetakan persoalan dinasti atau keinginan berkuasanya para pimpinanan daerah yang tidak sesuai dengan tujuan dari Otonomi Daerah itu sendiri. Selanjutnya, Pimpinan Polri harus mampu membuat berbagai tindakan antisipasi dengan memanfaatkan potensi yang ada di Internal Polri maupun dengan menjalin sinergitas polisional dengan instansi lintas sektoral termasuk dengan BPK, KPK dan PPATK. Dalam situasi yang sudah semakin kompleknya penyimpangan penggunaan kekuasaan daerah maka pendekatan penegakan hukum menjadi pilihan pamungkas untuk menyelamatkan NKRI dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya, sehingga tujuan otonomi daerah dapat berjalan pada koridor yang telah ditentukan dalam mendukung pembangunan nasional.Dalam hal penanganan tindak pidana termasuk didalamnya tindak pidana Korupsi dan pencucian pencucian uang, Polri telah melakukan kerja sama dengan beberapa penegak hukum lainnya, yaitu MoU antara Polri dengan PPATK tentang penegakan hukum dalam tindak pidana pencucian uang, MoU antara Polri dengan Jaksa Agung RI tentang koordinasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan MoU antara Polri dengan KPK tentang kerja sama dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dan Mou Polri dengan BPK tentang pemberantasan korupsi berdasarkan hasil audit BPK Kesepakatan bersama ini menjadi pedoman kerjasama antar lembaga penegak hukum dan telah berjalan dengan baik. Hal ini sebagai salah satu wujud komitmen bersama dan menunjukkan keseriusan bersama dalam menangani tindak pidana pencucian uang. implikasi dari bentuk kerjasama tersebut secara kongkret telah direalisasi dengan tukar menukar informasi intelijen tentang transaksi keuangan mencurigakan, Joint Training, bedah kasus, sampai dengan proses pengejaran aset kejahatan dan kerja sama penegakan hukum lainnya yang tidak hanya didalam negeri namun juga sampai ke luar negeri.Keberhasilan aparat penegak hukum dalam mengungkap 327 dari 524 kepala daerah yang melakukan tindak pidana merupakan salah satu bukti nyata bahwa sinergitas polisional yang dibingkai dengan konteks penegakan hukum menjadi senjata ampuh untuk mewujudkan supremasi hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima dalam proses pembangunan nasional melebihi aspek penunjang lainnya termasuk politik dan demokrasi.Bahwa kedudukan sebagai Gubernur telah menduduki tatanan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya dalam tata kelolanya, sehingga kadang sulit dibedakan antara kebijakan/keinginannya untuk kepentingan pribadi atau publik sulit dibedakan sehingga membuat para pimpinan kepolisian didaerah kehilangan momen dalam penegakan hukumnya dan cenderung mengikuti kebijakan yang diambil Gubernur yang dalam banyak hal menyimpang atau melanggar hukum. Data dari kementerian dalam negeri menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2013 sudah terdapat 6 Gubernur terlibat korupsi dan diberhentikan. Bila diperhatikan dengan seksama maka sasaran penyimpangan yang dilakukan kepala daerah terbagi dalam 2 kelompok, yakni kelompok terkait dengan perijinan dan kelompok terkait penggunaan atau pendapatan keungan daerah dan keuangan pusat yang disalurkan ke daerah. Politik Dinasti dibentuk untuk mengamankan perolehan dana secara ilegal pada dua kelompok tadi, yakni dengan menggunakan kekuasaanya melalui korupsi atau memeras, menerima gratifikasi dan kejahatan kerah putih lainnya.Untuk memutus siklus Politik Dinasti tersebut, Polri bekerjasama dengan BPK, KPK dan PPATK. Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara yang hasil pemeriksaannya diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya untuk ditindaklanjuti. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada Polri/KPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut untuk dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Sedangkan dengan PPATK, sesuai dengan kewenangannya yaitu bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kewenangan PPATK juga diperluas, antara lain dengan ditambahkan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang terindikasi tindak pidana pencucian uang. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu; Menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan dan mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait. Dengan demikian, maka peran PPATK adalah dengan menelusuri tokoh-tokoh dalam lingkaran kekuasaan baik yang di dalam maupun di luar pemerintahan yang berpotensi dijadikan sebagai perantara/ pelaksana teknis terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Disamping itu, dijalin pula pelaksanaan penyidikan dengan KPK sebagai sebuah langkah atau strategi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan-penyidikan-penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat.Penegakan Hukum TPPU melalui pendekatan holistik mampu berkontribusi dalam menjamin ketersediaan energi listrik bagi kemajuan peradabanBahwa, indikator keberhasilan BUMN adalah kemampuan memberi kontribusi kepada APBN, namun demikian PLN sebaliknya mengalami kerugian, laba bersih mengalami penurunan sebesar Rp.3,2 triliun dari Rp.32,8 triliun pada tahun 2012 menjadi rugi Rp.29,6 triliun pada tahun 2013. Bahwa hal itu dapat terjadi sebagai puncak dari resiko bisnis yang tidak dikelola dengan baik sejak lama terkait dengan pembangunan pembangkit listrik, transmisi dan pendistribusiannya. Dengan memperhatikan sistem manajemen resiko yang diterapkan oleh PLN tampak bahwa resiko hukum bukan menjadi prioritas, hal ini menjadikan pendekatan yang dilakukan oleh manajemen PLN tampak fokus pada pencapaian target dan pertumbuhan yang kurang memperhatikan faktor penghambat dan kegagalan rencana, yang lebih spesifik belum dijadikannya prioritas terhadap pengelolaan resiko hukum, yang saling keterkaitan antara kegiatan dan operasional proyek, finansial dan operasional. Terdapat dinamika kejahatan kerah putih didalam penyediaan energi listrik yang skupnya meluas didalam dan diluar negeri, Bahwa penyimpangan terkait dengan tender pembelian turbin pembangkit listrik, permainan tender, kerjasama fiktif, penerbitan surat utang atau obligasi dan goreng saham dll akan berpengaruh secara langsung ataupun tidak langsung meluas terkait ketersediaannya listrik, pembengkakan biaya pembangunan, dan operasional pembangkit sampai dengan pemeliharaan, yang pada akhirnya masyarakat luas menjadi korbannya karena keterbatasannya produktifitas masyarakat.Pemecahan masalah bagi terselenggaranya pembangunan dan pengelolaan energi listrik Nasional yang menjadi pengetahuan umum sebagai proyek strategis dalam perspektif sosial budaya dalam membentuk masyarakat dengan tata nilai baru, sebagai perwujuduan kemakmuran dan kemajuan peradaban. Namun disisi lain menjadi pemicu bagi para pelaku kejahatan yakni faktor ekonomis dalam kontek perdagangan yang dapat memberikan keuntungan yang sangat besar dengan pasar yang pasti. Namun hal itu disalahgunakan dalam praktek kejahatan ekonomi sebagai suatu kejahatan terorganisasi yang merugikan Negara dan masyarakat. maka dengan mengoptimalkan penggunaan strategi penegakan hukum yang komprehensif legalistic akan dapat membersihkan berbagai kejahatan ikutan dan perilaku korupsi didalam pengelolaan listrik, yang dilatar belakangi hal sebagai berikut :a. Bahwa sektor energi Listrik sebagaimana diatur pengelolaanya dalam undang-undang tenaga listrik, dalam pelaksanaanya akan terkait dengan kebijakan anggaran pemerintahan terkait subsidi dan penggunaan keuangan Negara yang ada di parlemen dan pengelolaan asset Negara oleh PLN sebagai pelaksanan utama dan perpanjangan tangan dari pemerintah.b. Munculnya berbagai kepentingan terkait penyelenggaraan tenaga listrik, telah memunculkan hazard terjadinya kejahatan kerah putih terkait dengan proyek, keuangan, legalitas bisnis yang disalahgunakan sampai dengan penyimpangan dalam perdagangan saham.c. Penegakan hukum merupakan pendekatan yang holistic dalam membongkar suatu fenomena kejahatan, dengan menggunakan pendekatan komprehensif legalistik maka sebenarnya kita telah menghubungkan antara fenomena kejahatan dengan fenomena yang mendukungnya sehingga kejahatan itu muncul, langgeng dan menguasai.

Sehingga penegakan hukum di PLN merupakan keharusan sebagaimana visi-misi PLN serta terselenggaranya pengelolaan energi listrik nasional sehingga PLN tidak senantiasa dirundung kerugian yang membebani keuangan Negara. Dengan tersedianya energi listrik yang memadai, akan dapat digunakan untuk membangun kebudayaan baru yang unggul, sedangkan dalam aspek pembangunan sosial, penegakan hukum di bidang pengelolaan energi listrik menjadi momentum bagi Polri untuk menguatkan organisasi dalam menghadapi kejahatan kerah putih yang melibatkan tokoh penting, korporasi yang terorganisir, kekuasaan dan modal yang besar sehingga kebijakan penegakan hukum tidak hanya dilekatkan kepada kejahatan-kejahatan tradisional namun mampu menyentuk kejahatan yang merugikan Negara dan masyarakat secara luas. Penguatan tersebut dilakukan dengan membangun sumber daya Organisasi Polri yang unggul dan metoda penegakan hukum yang efektif

Membangun Entitas Penyidik OJK dalam melindungi industri keuangan dari ancaman kejahatan pencucian uangDalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yg tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dibentuklah otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel.Dalam menjalankan Fungsinya sebagai Pengawas dan pengatur diatur didalam Undang-undang Nomor : 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diberi mandat untuk melakukan edukasi dan perlindungan, hal itu terkait dengan perlunya dilakukan pengawasan yang terintegrasi. Hal itu merupakan jawaban atas bekerjanya 2 regulasi yang mengatur industri keuangan yang berbeda secara kelembagaan, yakni Bank Indonesia mengatur tentang dan melakukan pengawasan terhadap industri keuangan, dan Kementerian Keuangan mengatur tentang industri keuangan non bank dan pasar modal. Dalam perkembangannya kedua regulator tersebut mengalami kepincangan dan benturan permasalahan, ketika muncul Konglomerasi pada Industri keuangan, yang tidak dapat dipisahkan lagi terkait bekembangan produk industri keuangan yang pemasaran dan keterkaitan dengan sumber dana yang tidak dapat dibatasi lagi karena berlakunya mazhab keuangan baru tentang pemanfatan secara seluas-luasnya dana masyarakat sesuai kehendak pemiliknya. Hal itu disambut dengan munculnya produk dari industri keuangan baru yang pengaturan dan pengawasannya dilakukan oleh lembaga yang terpisah dan sulit dipersatukan karena konsep pengaturannya memang berbeda seperti industri perbankan dan industri asuransi atau industri pembiayaan, sehingga diperlukan pengaturan dan pengawasan secara integrasi, untuk menjamin konsumen pada industri keuangan aman berinvestasi dan berbisnis. Disisi lain OJK diberikan kewenangan untuk melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana dibidang Industri keuangan, sehingga lengkaplah elemen utama OJk yang meliputi : pengaturan, pengawasan dan penyidikan terhadap tindak pidana pada industri jasa keuangan. Fungsi penyidikan sebagai pemukul terhadap para pelaku kejahatan, diperlukan keselarasan dalam pelaksanaannya. Persoalan utamanya adalah penyidik OJK tidak memenuhi syarat formil sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil, karena OJK bukan dalam struktur pemerintah, dimana salah satu cirinya pegawainya digaji dengan anggaran APBN. Sedangkan pegewai negeri sipil yang dipekerjakan dari kementerian keuangan seperti dari Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) kedudukannya telah dilikuidasi dengan berlakuknya undang-undang OJK, dengan demikian status sebagai PPNS telah hapus. Problematika fungsi penyidikan tersebut, akan membawa dampak pada munculnya kejahatan pada sektor jasa keuangan yang tidak dapat tertangani dengan baik. Untuk itu Penyidikan pada OJK sebagai suatu instansi yang memiliki fungsi penyidikan perlu dikelola secara profesional dan modern,melalui manajemen strategik penyidikan kejahatan di sektor keuangan. Hal itu, untuk menghadapi berbagai ancaman kejahatan pada industri keuangan, yang dapat memicu krisis ekonomi nasional dimasa yang akan datangPolri tidak dalam keadaan kehilangan kewenangan melakukan penyidikan pada sektor jasa keuangan, namun Polri sedang dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan sektor jasa keuangan yang bergeser dari Konsep memisahkan pengawasan dan pengaturan sektor perbankan dan industri keuangan Non Bank, kedalam satu institusi OJK. Disisi lain OJK sebagai lembaga baru memiliki problematikan karena harus tetap menyesuaikan mekanisme penyidikan sebagaimana diatur didalam KUHAP. Dengan demikian, Polri sedang dituntut untuk mampu mengaktualisasikan fungsi dan tugasnya melalui kerjasama dalam kolaborasi penyelidikan dan penyidikan kejahatan disektor jasa keuangan. Kontribusi yang diharapkan adalah menciptakan produktifitasnya unggul yang akan mampu bertahan dan bersaing dengan Negara lain. Maka keunggulan bagi aktifitas industri keuangan, yang berbasis pada kualitas kehidupan masyarakat yang menempatkan hukum sebagai panglima harus dijaga dan dipelihara, melalui penegakan hukum itu sendiri yang mampu memberi kontribusi bagi menurunnya biaya operasional perusahaan, efisiensi dan kemanfatan bagi masyarakat luas.Pada awalnya, OJK memberi ruang bagi Polri untuk bergabung didalam struktur kelembagaan OJK dalam tataran kepala divisi, sungguh suatu yang tidak tepat bagi OJK sendiri, mengingat fungsi pengaturan dan pengawasan akan bermuara pada penegakan hukum. Disinilah peran penyidik menjadi sangat penting. Hal itu didasari, karena putaran dana yang berada didalam sektor jasa keuangan mencapai Rp. 7000 Trilyun dengan resiko hukum sebagai resiko yang paling besar bagi bisnis keuangan, maka diperlukan struktur kelembagaan Penyidikan dan proses penyidikan yang berstandar tinggi pada organisasi OJK. Hubungan antara Polri dan OJK telah diikat dalam sebuah struktur Direktorat Penyelidikan Sektor Jasa Keuangan di bawah Ketua OJK yang memiliki hubungan integrasi dengan Departemen Pemeriksaan Khusus dan Investigasi di Bawah Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II, namun demikian untuk pengawasan pasar modal dan industri keuangan non-Bank masih belum tersedia. Direktur Penyelidikan Sektor Jasa Keuangan dapat sekaligus merangkap sebagai Direktur Eksus pada Bareskrim Polri dengan pangkat Brigjen yang ditempatkan/ ditugaskan secara ex-officio sehingga proses penanganan tindak pidana dapat dilaksanakan secara cepat, tepat dan terpadu. Selain itu, kerjasama juga perlu mengatur mengenai masa jabatan, masa kerja serta karir penyidik Polri yang diperbantukan di OJK yang tidak bisa serta-merta ditarik institusi asalnya sebelum waktu yang ditentukan atau dalam kondisi khusus dimana proses penegakan hukum memerlukan kehadiran penyidik.Penjelasan mengenai penempatan Direktur Eksus Bareskrim Polri pada Direktorat Penyelidikan Sektor Jasa Keuangan di bawah Ketua OJK secara ex-officio adalah didasari bahwa : 1. Aturan mengenai organisasi di bawah Deputi termasuk ex-officio posisi Direktur Penyelidikan Sektor Jasa Keuangan sepenuhnya menjadi kewenangan Ketua OJK;2. Dengan keberadaan Direktur Eksus Bareskrim Polri sebagai Direktur Penyelidikan Sektor Jasa Keuangan maka eksistensi kewenangan Subdit Perbankan, Subdit Investasi dan Asuransi dan Subdit Mata Uang dalam struktur Bareskrim Polri tidak terlikuidasi.3. Keberadaan Direktur Eksus Bareskrim Polri sebagai Direktur Penyelidikan Sektor Jasa Keuangan memungkinkan mekanisme penyidikan langsung masuk ke struktur Bareskrim sehingga ketika kekurangan kebutuhan sumber daya penyidikan dapat dengan cepat dikoordinasikan serta dipenuhi oleh Bareskrim Polri.Penegakan Hukum TPPU Yang Memberi Rasa KeadilanKejahatan di dalam masyarakat modern memiliki karakteristik yang saling terkait dengan gaya hidup, perkembangan dan perubahan ekonimi secara makro, munculnya teknologi dan sistem hukum yang bekerja. Dengan demikian terjadi dua sisi yang saling berhubungan, yakni di satu sisi adalah dinamika masyarakat sengan segala faktor pendorong dan di sisi lain adalah Negara yang mengatur masyarakat dengan sistem hukum. Dalam negara demokratis dan dalam golongan negara berkembang yangmemiliki ciri masyarakat yang besar, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat inflasinya juga tinggi dengan pendapatan perkapita masih rendah. Indonesia adalah negara berkembang yang sedang membangun mewujudkan menjadi negara maju, sehingga sistem hukum yang dibangun adalah hukum yang berkeadilan sosial bari seluruh rakyat Indonesia.Pancasila sebagai landasan filosofis pembentukan maupun penegakan hukumnya berkehendak terwujudnya keadilan itu di dalam setiap proses yang ada di dalam masyarakat dan dalam penyelenggaraan negara. Peran negara menghadirkan keadilan di tengah masyarakat dengan membentuk sistem hukum dan peradilannya. Bahwa terdapat aspek emosional dan sosial yang memiliki peran penting terhadap besarnya hukuman yang dijatuhkan, hal itu terkait dengan penilaian tanggung jawab atas tindakan pelaku guna mengembalikan kondisi korban yang merugi. Keadilan tidak hanya berada dalam persepsi masyarakat namun keadilan adalah kebutuhan untuk diwujudkan melalui proses hukum yang adil. Di lain pihak, kejahatan terus meningkat. Pada tahun 2012, kejahatan transnasional sebanyak 923 perkara meningkat 229,79% di tahun 2013 menjadi 2.121 perkara. Sebagai ideologi terbuka di tengah masyarakat global, nilai Pancasila harus dapat diimplementasikan melalui proses penegakan hukum sebagai alat yang tepat guna mewujudkannya. Prof. Dr. Satjipto Rahardji mengatakan Hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogyanya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia.. Dengan demikian, hukum tidak hanya dijadikan alat untuk melegalkan tindakan, namun hukum menjadi tujuan bagi terciptanya keadilan, sehingga hukum dan keadilan merupakan dua buah sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Pencucian uang sebagai kejahatan yang mengikuti dari semua kejahatan yang bermotif ekonomi, maka penegakan hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) akan mendekatkan pada keadilan itu menjadi nyata, karena bekerjanya hukum tidak hanya menghukum badan para pelaku, namun juga mengejar dan mengambalikan aset terkait hasil kejahatan kepada yang berhak. Dengan demikian, persepsi keadilan masyarakat terpenuhi dengan menghukum pelaku dan mengembalikan kondisi korban dengan mengembalikan aset hasil kejahatanMembangun Kerjasama dengan Media untuk mengaktualisasikan penyidikan TPPU yang unggul oleh Polri Bahwa Polri sebagai organisasi yang unggul pada era masyarakat baru saat ini, harus mengaktualisasi diri untuk dapat diterima didalam masyarakat yang sudah sudah terkoneksi dan terbuka pengetahuan serta orientasi sosialnya. Dengan demikian, masyarakat menjadi air dan kehidupan didalamnya dan Polri sebagai ikannya. Untuk dapat mengaktualisasikan diri sebagai organisasi yang unggul diperlukan media untuk dapat menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat tentang komitmen Polri untuk menjaga nilai-nilai sosial budaya guna membangun kehidupan sosial yang adil dan makmur, sebagai mekanisme simbiosis mutualisma dimana satu dan yang lain saling mengisi. Sebagai organ yang negara Polri dituntut tampil secara optimal dalam berbagai aktivitas dalam menjalan perannya yang diberikan oleh Konstitusi, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat dari peran aparatur negara. Media berfungsi sebagai penyambung antara Polisi dengan masyarakat, pesan apa yang akan diberikan Polri media menjembatani, namun demikian media juga memiliki peran dan fungsinya secara mandiri, artinya media bukan sekedar corong, namun media yang secara independen memiliki misi untuk menyajiakan berita sesuai kaidah jurnalistik, yang diatur secara khusus oleh Undang-Undang Pers. Media dalam memenuhi kebutuhan akan informasi yang dibutuhkan masyarakat dibidang kemanan, ketertiban dan penegakan hukum, yang berfungsi sebagai cek and balance, dan mengedukasi masyarakat menempatkan Polri berada dalam posisi sebagai obyek maupun subyek berita. Kondisi ini bila tidak dipahami secara luas maka konten berita yang dikelola oleh media tentang Polri akan merugikan bagi Polri itu sendiri. Hal itu, karena Polri hanya menempatkan dirinya sebagai obyek pemberitaan, yang akan dituntut berbagai kehendak masyarakat dan media yang semakin kritis. Diperlukan strategi bagi Polri dalam mengelola berita sehingga mampu menampilkan berbagai keunggulan organisasi guna menumbuhkan rasa optimisme, membangun nilai sosial, maupun nilai hukum didalam masyarakat, yang dikemas melalui penyajian yang mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Implikasi dari sebuah berita ibarat pedang bermata dua dapat membuat keunggulan atau membunuh siempunya. Berita buruk tentang Polri akan menjadi stigma bagi Polri dan pada akhirnya memunculkan sikap ketidak percayaan kepada Polri, suatu kondisi yang akan membawa implikasi luas bagi Polri yang harus terus menjadi simbol negara yang bermanfaat. Bahwa berita tentang kriminal merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari media, disisi lain media televisi merupakan sarana paling ampuh dan efisien. Memahami bahwa konsumsi berita akan berkorelasi dengan sipeminatnya, maka dengan memfokuskan pada pangsa masyarakat kalangan menengah keatas yang akan berkorelasi pada keputusan yang akan diambil. Maka mengemas berita tentang kejahatan kerah putih dalam hal ini pencucian uang akan menjadi ikon keunggulan Polri karena luasnya jangkauan penegakan hukum terhadap pencucian uang akan menumbuhkan kesadaran baru bagi masyarakat bahwa perilaku jahat mencuci uang akan membuat kerusakan sosial yang luas, yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap persepsi masyarakat kepada kinerja organisasi Polri yang semakin baik.Tidak dapat dipungkiri bahwa Media dan Polri memiliki hubungan saling membutuhkan dan harus dimanfaatkan secara baik. Media membutuhkan pemberitaan dan narasumber dari Polri. Sebaliknya, Polri membutuhkan media untuk menginformasikan tugas dan kewajiban yang sudah dilakukan sebagai lembaga penegak hukum ke publik. Kebebasan pers yang berlaku saat ini memang seolah disalah artikan. Tugas pekerja media diatur dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sedangkan tugas Polri diatur dengan UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri. Untuk itu, agar tidak terjadi salah persepsi, Polri dan Dewan Pers telah menjalin kerjasama dengan menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding). Nota kesepahaman itu dijalin bukan untuk membatasi kewenangan Polri, tetapiuntuk melindungi kebebasan pers dalam proses penegakan hukum. MoU tersebut dijalin agar ketika menghadapi persoalan pers, Dewan Pers dapat memberikan masukan pada tahapan preemtif dan preventif. Hal ini sangat berguna sepanjang saling menghormati sehingga perlu terus berdialog dengan dewan pers untuk kepentingan penegakan hukum termasuk dalam pemberitaan mengenai TPPU.Berita tentang kriminal dalam desain di televisi, dapat disusun untuk menjadi berita yang saling terkait oleh Manajer Ghatering News, sehingga topik berita yang sama akan muncul dalam berbagai program tayangan yang berbeda dalam 1 hari atau terus menerus sampai pada munculnya berita baru lagi. Program yang saling berkaitan itu misalkan saja di di tvOne adalah Sorotan Khusus, Telusur dan Menyingkap Tabir. Suatu berita dapat dikategorikan sebagai berita yang dapat dimasukan dalam program berkelanjutan tersebut apabila : menyangkut berita tentang kriminal yang skup kasusnya luas dan menyentuh nilai kemanusiaan atau humanisme serta dampak yang luas sehingga memancing peduli/empati banyak orang. Dalam hal ini, Polri dapat melakukan pemberitaan terhadap kasus-kasus yang mengejutkan dan terdapat hal yang selama ini tertutupi kasus tersebut sehingga sulit penyidikannya. Dengan diberlakukannya penegakan hokum TPPU, maka akan menjadiMembangun Penegakan hukum TPPU yang berkeadilan dan menjunjung tinggi HAM. Pernyataan Pengacara Terdakwa Joko susilo bahwa Negara telah merampok warga negaranya memicu perlunya penegakan hukum yang melindungi HAM. Dalam proses itu terdapat dua sisi yang saling mengisi dan memerlukan kemampuan khusus bagi Penyidik TPPU yakni proses penegakan hukum yang berarti adalah mekanisme pembuktian atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan seseorang, merupakan bagian yang harus dimiliki oleh penyidik, namun disisi lain terdapat mekanisme beracara yang tidak dapat ditinggalkan bahkan wajib dilakukan yang mencerminkan perlindungan HAM bagi korban dan Tersangka secara nyata dan bersama-sama. Dengan demikian Penyidik tidak dapat mendudukan diri sebagai perwakilan korban kejahatan, namun penyidik adalah perwakilan dari Negara yang akan memberikan rasa keadilan bagi korban dan tersangka secara bersama-sama. Kemampuan memberikan perlindungan hukum dan HAM bagi korban dan tersangka bagi penyidik, menjadi sesuatu yang spesial. Hal itu tentunya karena menjadi hal yang sulit, namun itu harus dimiliki bagi setiap penyidik yang berkualitas, sebagai konsekuensi tuntutan Kinerja penyidik Polri dan kualitas atas kapasitasnya yang mencerminkan Negara yang menjunjung tinggi HAM.Pemahaman HAM telah berkembang mengikuti dinamika masyarakat yang terus bergerak, masyararakat sipil yang menjadi obyek sekaligus subyek HAM juga terus membangun kesadaran dan kewaspadaan terhadap dinamika Politik dan Penyelenggaraan Pemerintahan. Polri sebagai perwujudan dari Negara akan selalu berhubungan dengan issue HAM, karena fungsi yang diembannya sebagai pemelihara keamanan dalam negeri, pelindung, pelayan, pengayom dan penegak hukum. Dibidang Penegakan Hukum merupakan wilayah yang paling dinamis dalam issue HAM, karena penegakan hukum akan bersinggungan langsung dengan HAM, dimana Polri akan tampil mewakili Negara berhadapan dengan tersangka yang mewakili masyarakat sipil. Harapan untuk mendapat perlindungan HAM dalam penegakan hukum akan sangat tergantung dari para aparaturnya, karena HAM mengenal asas pembatasan, dimana Hukum yang dibentuk secara demokratis dan menjunjung HAM akan menjadi pembatas bagi HAM. Artinya bahwa HAM juga harus dibatasi oleh peran Negara dalam membentuk dan melaksanakan hukum. Lihatlah kasus uji materil UU TPPU oleh Akil Mochtar. Saat ini Mahkamah Konstitusi sedang menangani permohonan perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap UUD 1945 khususnya terhadap pasal 2 ayat 2, pasal 3, pasal 4, pasal 5 ayat 1, pasal 69, pasal 76 ayat 1, pasal 77, pasal 78 ayat 1 dan pasal 95 dengan fokus uji materil terhadap frasa "patut diduga" dalam pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 ayat 1. Uji materil tersebut berdasarkan pendapat bahwa penggunaan frasa "patut diduga" menyebabkan anggapan bahwa dengan terpenuhinya unsur "patut diduganya" maka tidak diperlukan lagi proses pembuktian padahal tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang muncul dikarenakan tindak pidana asal. Namun dengan adanya ketentuan tersebut maka KPK dinilai menjadi tidak mempunyai kewajiban untuk membuktikan tindak pidana asal tersebut (predicate crime) dengan asalan pembuktian di pengadilan. Padahal kontruksi penyidikan TPPU senantiasa berawal dari adanya kejahatan asal yang menghasilkan harta kekayaan yang kemudian harta kekayaan tersebut berada dalam penguasaan tersangka baik secara terpisah maupun bercampur dengan kekayaan lainnya.Polri dalam penegakan hukum akan berfungsi dalam wilayah penyidikan, suatu proses yang akan mengantarkan seseorang akan dihukum atas kejahatannya atau dibebaskan oleh Pengadilan. Proses ini lebih fokus didalam mekanisme pembuktian, issue yang berkembang dalam proses penyidikan dilekatkan pada masalah disamping pembuktian adalah penelusuran dan penyitaan asset hasil kejahatan. Disisi lain undang-undang Nomor 39 tahun 2009 tentang HAM menyatakan : pasal 18 setiap orang tidak dapat dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan. Pasal 19 (1) tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman perampasan seluruh harta kekayaan mili yang bersalah. Pasal 29 (1) setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya; Pasal 36 (2) tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Esensinya bahwa penyitaan terkait dengan property atau asset milik tersangka dapat dilakukan dengan mengacu pada KUHAP pasal 39 : yakni barang-barang yang diperoleh dari hasil kejahatan, digunakan untuk menghalang-halangi proses penyidikan, atau khusus dibuat untuk melakukan kejahatan. Penyitaan benda hasil kejahatan dalam dinamika penyidikan kejahatan keuangan yang akan bersentuhan dengan ketentuan dan hukum yang mengatur asset keuangan pribadi maupun koorporasi. Dengan demikian maka diperlukan pemahaman yang komprehensif sehingga mencerminkan bekerjanya hukum yang adil. Membangun kompetensi penyidik yang memiliki pemahaman yang luas menyangkut HAM dalam penyitaan asset hasil kejahatan diperlukan berbagai konsepsi dan Ilmu yang mendasar serta terapan yang harus dipahami dan dapat dilaksanakan dalam penegakan hukumnya.A. KonklusiPenegakan hukum TPPU merupakan sarana untuk mewujudkan harapan masyarakat Indonesia merasakan keadilan dan manfaat hukum. Peluang Polri untuk menggunakan mekanisme Penegakan Hukum TPPU dalam mengungkit keunggulan Organisasi menjadi terbuka, karena Polri telah membangun tahapan proses penegakan hukum yang transparan, profesional dan akuntabel. Kedudukan Polri pada Komite Koordinasi Nasioanal Pencegahan dan Pemberantasan TPPU memberikan peluang untuk membangun kerjasama penegakan hukum TPPU di dalam dan di luar negeri, sebagai leading sector yang mampu memberi Kontribusi secara maksimum dalam pembangunan termasuk mengungkap kejahatan kerah putih dalam pengelolaan energy nasional, memutus siklus politik dinasti yang menyimpang serta menjadi benteng terakhir dari pengaruh globalisasi berupa ancaman perang asimetris yang akan melemahkan kedaulatan negara di bidang ekonomi dan Kesatuan Negara Republik Indonesia.Penegakan Hukum TPPU diperspektifkan sebagai proses yang hidup, mengikuti dan beradaptasi dengan perubahan modus dan bekerjanya pencucian uang didalam negeri maupun diluar negeri. Penegakan hukum ini dilakukan dengan cara, model dan prinsip sesuai dengan asas dan roh hukum Indonesia yang menjunjung tinggi HAM. Polri harus mengembangkan berbagai peluang yang yang secara luas menempatkan Polri sebagai penegak hokum, melalui pengembangan kapasitas penyidik dan kerjasama dengan stakeholder industri keuangan dan perekonomian untuk secara nyata memberikan kontribusi pada sektor keamanan di bidang keuangan dan ekonomi secara luas, bagi pembangunan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Ganarsih, Yenti. 2003. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering). Cet. 1. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Husein, Yunus. 2003. PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucuian Uang. Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 Nomor 3 Nasution, Bismar. 2005. Rezim Anti-Money laundering Di Indonesia. Bandung: Books Terrace & Library Pusat Informasi Hukum Indonesia.Pangaribuan, Luhut M.P.. 2009. Lay Judges & Hakim Ad Hoc, Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta: Papas Sinar Harapan.Sjahdeini, Sutan Remy. 2007. Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

DAFTAR ISI

A.Memahami Tindak Pidana Pencucian Uang2B.Dinamika bekerjanya kejahatan pencucian uang.4C.Kriminalisasi kejahatan pencucian uang di Indonesia6D.Praktik Kejahatan Pencucian Uang Di Indonesia7E.Penangangan TPPU Oleh Polri Sebagai Keunggulan9F.Penanganan TPPU sebagai benteng pertahanan terakhir melawan perang asimetris di bidang ekonomi (Studi Kasus Penyelundupan)14G.Penanganan TPPU mampu memutus siklus politik dinasti16H.Penegakan Hukum TPPU melalui pendekatan holistik mampu berkontribusi terhadap peradaban (Studi Kasus PT PLN)17I.Bintang 4 Untuk 40 Triliun Dan Bintang Toedjoeh Untuk 7000 Trilyun?18J.Penanganan TPPU Yang Memberi Rasa Keadilan21K.Pemberitaan TPPU Yang Membawa Kabar Gembira22L.Pengawasan Penegakan Hukum TPPU : Penerapan TPPU Tidak Asal Sita24

0

11