MENUJU KETAHANAN PANGAN NASIONAL 2015 ...directory.umm.ac.id/Laporan/Laporan_WS/Nuhfil.doc · Web...

41
GAMBARAN UMUM PANGAN DUNIA Terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi sebab mengapa masalah ketahanan pangan perlu diperbincangkan. Pertama, bahwa pangan adalah hak azasi manusia yang didasarkan atas 4 (empat) hal berikut: 1. Universal Declaration of Human Right (1948) dan The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) yang menyebutkan bahwa everyone should have an adequate standard of living, including adequate food, cloothing, and housing and that the fundamental right to freedom from hunger and malnutrition”. 2. Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996 yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186 negara peserta, dimana Indonesia menjadi salah satu di antara penandatangannya. Isinya adalah pemberian tekanan pada human right to adequate food (hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup), dan perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan. 3. Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara teramsuk Indonesia menyepakati menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuhnya. 4. Hari Pangan Sedunia tahun 2007 menekankan pentingnya pemenuhan Hak Atas Pangan. Kedua, kondisi obyektif Indonesia masih berkutat pada masalah gizi. Masalah gizi tersebut berakar pada 1

Transcript of MENUJU KETAHANAN PANGAN NASIONAL 2015 ...directory.umm.ac.id/Laporan/Laporan_WS/Nuhfil.doc · Web...

GAMBARAN UMUM PANGAN DUNIA

Terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi sebab mengapa masalah ketahanan

pangan perlu diperbincangkan. Pertama, bahwa pangan adalah hak azasi manusia

yang didasarkan atas 4 (empat) hal berikut:

1. Universal Declaration of Human Right (1948) dan The International

Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) yang menyebutkan

bahwa “everyone should have an adequate standard of living, including

adequate food, cloothing, and housing and that the fundamental right to

freedom from hunger and malnutrition”.

2. Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996

yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186

negara peserta, dimana Indonesia menjadi salah satu di antara

penandatangannya. Isinya adalah pemberian tekanan pada human right to

adequate food (hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup), dan

perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan.

3. Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa tahun 2015 setiap

negara teramsuk Indonesia menyepakati menurunkan kemiskinan dan

kelaparan separuhnya.

4. Hari Pangan Sedunia tahun 2007 menekankan pentingnya pemenuhan Hak

Atas Pangan.

Kedua, kondisi obyektif Indonesia masih berkutat pada masalah gizi.

Masalah gizi tersebut berakar pada masalah ketersediaan, distribusi,

keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku

masyarakat. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan

berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.

Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar dalam bebagai

wilayah memerlukan penanganan ketahanan pangan yang terpadu. Penanganan

ketahanan pangan dimaksud memerlukan perencanaan lintas sektor dan dengan

sasaran serta tahapan yang jelas dan terukur dalam jangka menengah maupun

panjang.

1

Ketiga, perubahan kondisi global yang menuntut kemandirian. Perubahan

dimaksud tercermin dari: harga pangan internasional yang mengalami lonjakan

drastis dan tidak menentu, adanya kecenderungan negara-negara yang bersikap

egois; mementingkan kebutuhannya sendiri, adanya kompetisi penggunaan

komoditas pertanian (pangan vs pakan vs energi), terjadinya resesi ekonomi

global, dan adanya serbuan pangan asing (“westernisasi diet”). Perubahan kondisi

global tersebut sangat berpotensi menjadi penyebab gizi lebih dan meningkatkan

ketergantungan pada impor.

Memperbincangkan masalah pangan tidak dapat dipisahkan dari masalah

harga pangan sebagai salah satu aspek yang mencerminkan ketersediaan atau

produksi pangan sekaligus permintaan atau konsumsi pangan. Perkembangan

harga beberapa komoditas pangan dunia, yaitu: jagung, gandum dan beras, mulai

bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Juli 2008 ditunjukkan melalui gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan Harga Pangan Dunia(As of September 2008)

Source: Data from FAO 2008 and IMF 2008.

Berdasarkan gambar 1, tingkat harga pangan yang terdiri dari: jagung,

gandum dan beras memiliki kecenderungan yang semakin meningkat.

Peningkatan harga pangan tersebut cukup drastis pada bulan Juli 2008. Di antara

harga bahan pangan, harga beras umumnya lebih tinggi (lebih mahal)

2

dibandingkan dua bahan pangan lainnya. Bahkan kenaikan harga beras pada bulan

Juli 2008 melebihi kenaikan harga minyak. Hal ini mengindikasikan adanya

ketergantungan dunia terhadap beras yang semakin besar: peningkatan konsumsi

beras yang relatif lebih tinggi dibandingkan ketersediaannya.

Peningkatan harga bahan pangan tidak hanya mengindikasikan

ketergantungan terhadap beras yang semakin besar tetapi lebih lanjut juga

mencerminkan kenaikan tingkat konsumsi pangan yang melebihi ketersediaannya.

Secara umum, dalam dua dasa warsa terakhir, rasio atau perbandingan cadangan

pangan dunia terhadap penggunaan atau konsumsi pangan dunia semakin

menurun. Perkembangan rasio tersebut ditunjukkan melalui gambar 2.

Gambar 2. Stok Pangan Dunia Menurun

Source: United Nations World Food Programme,2008

Gambar 2 menunjukkan bahwa rasio stok terhadap konsumsi pangan dunia

mendekati 15% pada tahun 2008/2009 dari di atas 35% pada tahun 1986/1987.

Pada periode tersebut, cadangan pangan dunia semakin menurun atau (dengan

kata lain) jumlah penduduk dunia yang dijamin pangannya semakin sedikit.

Penurunan rasio tersebut disebabkan tidak adanya kenaikan dalam produksi

3

pangan sementara jumlah penduduk dunia selalu bertambah dari tahun ke tahun.

Jumlah produksi pangan dunia yang terdiri dari: gandum, beras dan butiran

lainnya sejak 1999 sampai dengan 2007 ditunjukkan dalam gambar 3.

Gambar 3. Produksi Pangan Dunia Tidak Meningkat

Source: Data from FAO 2003, 2005-07.

Gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah produksi gandum, beras dan butiran

lainnya hampir tidak meningkat sepanjang 1999 sampai dengan 2007. Pada

periode tersebut, produksi beras tidak meningkat dan produksi gandum meningkat

hanya sedikit. Komoditas yang mengalami peningkatan dalam jumlah produksi

adalah butiran lainnya. Hal ini berarti bahwa cadangan pangan dunia lebih banyak

disokong dari produksi butiran dibandingkan dengan gandum dan beras. Lebih

lanjut, penduduk dunia yang dijamin oleh cadangan pangan (dalam jumlah kecil)

adalah mereka yang bergantung pada butiran sebagai makanan pokok. Sedangkan

mereka yang bergantung pada gandum dan beras sebagai makanan pokok tidak

dijamin oleh cadangan. Cadangan atau stok pangan dunia diperkirakan berupa

komodidas selain gandum dan beras.

Minimnya cadangan pangan dunia berpotensi menyebabkan krisis pangan di

beberapa kawasan. Negara-negara yang berisiko mengalami krisis pangan

4

ditunjukkan dalam gambar 4 sebagaimana yang telah disinyalir oleh Perserikatan

Bangsa Bangsa pada tahun 2008.

Gambar 4. Negara Berisiko Terkena Krisis Pangan Dunia

Source: United Nations World Food Programme,2008.

Negara-negara yang berisiko tinggi mengalami krisis pangan sebagian besar

berada kawasan di Asia Selatan dan beberapa negara di Asia Timur serta satu

negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Kawasan tersebut juga menjadi

tempat negara-negara berisiko sedang mengalami krisis pangan. Selain itu,

kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) juga berisiko mengalami krisis

pangan sedang.

Secara lebih jelas, ketersediaan atau produksi pangan dan permintaan atau

konsumsi pangan, dapat disampaikan bahwa kondisi pangan dunia diperkirakan

akan mengalami ketidak seimbangan pada waktu-waktu mendatang. Ketidak

seimbangan tersebut dikarenakan jumlah permintaan akan pangan yang melebihi

jumlah produksinya. Perkiraan neraca pangan dunia tahun 2025 ditunjukkan

dalam tabel 1.

5

Tabel 1. Perkiraan Neraca Pangan Dunia 2025

Region Population 2025

Consumption/ Capita

Demand 2025

Production 2025

Balance 2025

South Asia 2021 237 549.7 524.6 -25.1

East and Southeast Asia 2387 338 1040.9 914.0 -126.9

Latin America 690 265 217.9 171.2 -46.7

Europe 799 634 506.5 619.4 112.9

North America 410 780 319.5 558.2 238.7

World 8039 363 3046.5 2977.7 -68.8Source: www.worldbank.org

Berdasarkan perkiraan neraca pangan dunia 2025, diperkirakan akan terjadi

ketidak seimbangan (krisis) pangan dunia dimana jumlah permintaan atau

konsumsi pangan melebihi jumlah ketersediaan atau produksi pangan. Surplus

pangan dan minus pangan yang terjadi di beberapa daerah akan menyebabkan

terjadinya aliran pangan dari negara-negara surplus pangan di Eropa dan Amerika

Utara ke arah negara-negara minus pangan di Asia Selatan, Asia Timur dan Asia

tenggara, serta Amerika Latin. Perkiraan krisis pangan tersebut menyebabkan

beberapa negara mengambil tindakan kebijakan untuk melindungi produksi serta

menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri.

Beberapa kebijakan yang ditempuh beberapa negara terkait dengan

perlindungan terhadap produksi dalam negeri dan jaminan ketersediaan pangan,

antara lain: restriksi perdagangan, liberalisasi perdagangan, subsidi konsumen,

perlindungan sosial dan kebijakan peningkatan produksi atau penawaran.

Berbagai kebijakan perlindungan pangan yang ditempuh beberapa negara adalah

sebagaimana yang ditunjukkan tabel 2.

6

Tabel 2. Kebijakan Perlindungan Pangan yang Ditempuh Beberapa Negara

Region Trade Restriction

Trade Liberaliz

Consumer Subsidy

Social Protection

Increase Supply

Asia

Bangladesh X X X XChina X X X XIndia X X X X XIndonesia X X X XMalaysia X X XThailand X X XLatin AmericaArgentina X X X XBrazil X X XMexico X X XPeru X X XVenezuela X X X XAfricaEgypt X X X XEthiopia X X X XGhana X XKenya XNigeria X X XTanzania X X X

Source: IMF, FAO, and news reports, 2007-08.

Tabel 2 menunjukkan bahwa kebijakan subsidi konsumen dan peningkatan

produksi merupakan kebijakan yang paling populer dilaksanakan. Nampaknya,

harga jual pangan yang cukup tinggi diharapkan menjadi daya tarik bari petani

untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang lebih banyak. Pada sisi lain,

subsidi konsumen ditujukan untuk mengurangi beban konsumen karena harga

pangan yang tinggi. Dua kebijakan yang dilaksanakan secara serentak tersebut,

didukung dengan kebijakan restriksi perdagangan dan perlindungan sosial

diperkirakan dapat memacu pertumbuhan produksi pangan di dalam negeri lebih

7

tinggi. Namun demikian, kebijakan liberalisasi perdagangan yang diupayakan

oleh negara-negara yang memiliki proses produksi pangan efisien dapat menjadi

kemandirian pangan di negara-negara dengan proses produksi tidak efisien.

Efisiensi berarti harga jual produk lebih rendah yang menyebabkan petani-petani

dengan proses produksi tidak efisien enggan berproduksi karena outputnya tidak

laku di pasar (internasional).

Khusus Indonesia, produksi bahan pangan yang terdiri dari: padi, jagung dan

ubi kayu meningkat selama 2003 sampai dengan 2008. Pertumbuhan rata-rata

komoditas tersebut masing-masing 0,47%; 1,12% dan 0,39% per tahun selama

periode tersebut. Akan tetapi, untuk bahan pangan ubi jalar mengalami penurunan

selama periode yang sama. Perkembangan produksi pangan tersebut beserta

produksi bahan nabati lainnya ditunjukkan dalam gambar 5.

Gambar 5. Produksi Pangan Nabati Indonesia

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

8

Produksi ubi jalar mengalami penurunan (pertumbuhan negatif) rata-rata

0,14% per tahun selama 2003 sampai dengan 2008. Berbeda dengan ubi jalar,

produk pangan nabati lainnya, yaitu: kedelai, kacang tanah, sayur, buah-buahan,

minyak sawit dan gula putih mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-

rata 0,44% sampai 3,78% per tahun dalam periode tersebut. Begitu juga produk

pangan hewani, yaitu: daging sapi dan kerbau, daging ayam, telur, susu dan ikan,

produksinya meningkat antara 0,68% sampai 4,04% per tahun sepanjang 2003

sampai dengan 2008.

Gambar 6. Produksi Pangan Hewani Indonesia

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan produksi nabati dan hewani sebagaimana diutarakan di atas,

Indonesia memiliki ketersediaan pangan yang semakin banyak dari tahun ke

tahun. Namun demikian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik

(http://demografi.bps.go.id) laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata

1,49% per tahun selama 1990 sampai dengan 2000 dan rata-rata 1,31% per tahun

selama 2000 sampai dengan 2005. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005

sebesar 218.868.791 Jiwa dan diperkirakan menjadi 227.516.121 Jiwa pada tahun

2008. Dengan jumlah produksi padi 54.151.000 Ton di tahun 2005, maka rasio

9

antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk pada tahun 2005 adalah

247,4 Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Pada tahun 2008, dengan jumlah

produksi padi sebesar 59.877.000 Ton maka rasio tersebut menjadi 263,2

Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Perhitungan ini menjukkan bahwa

sebenarnya ketersediaan beras di Indonesia sampai dengan 2008 masih memadai.

Namun demikian, oleh karena semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian

menjadi lahan-lahan lain (perumahan, bisnis, dan lain-lain) menyebabkan rasio

tersebut menjadi terganggu.

Terganggunya rasio antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk

sebagaimana diutarakan di atas menyebabkan, pada tahun-tahun terakhir,

Indonesia tergantung pada impor. Bahan pangan yang di impor Indonesia, yaitu:

beras, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayur, buah-buahan,

minyak goreng, gula, daging sapi dan daging kerbau, daging ayam, telur, susu dan

ikan, selama tahun 2003 sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 7.

Gambar 7. Ketergantungan Impor Pangan di Indonesia

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

10

Berdasarkan gambar 7, impor kedelai merupakan bagian terbesar dari

ketersediaan kedelai di dalam negeri. Pada tahun 2007, sebesar 70,6% kebutuhan

kedelai dipenuhi dari impor, sebagian kecil sisanya, yaitu: 29,4% berasal dari

produksi dalam negeri. Hal ini menunjukkan ketergantungan Indonesia yang

sangat besar terhadap impor kedelai. Selain kedelai, susu juga merupakan produk

yang banyak dipenuhi dari pasar internasional. Impor susu pada tahun 2007

merupakan 66,7% dari kebutuhan susu. Persentase ini menurun dibandingkan

dengan yang terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 93,89%.

Komoditas ubi kayu, ubi jalar, buah-buahan, minyak goreng, daging ayam

dan telur, seluruhnya atau hampir seluruhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri.

Untuk bahan makanan pokok masyarakat, yaitu: beras dan jagung, besarnya

persentase impor masih relatif kecil, yakni masing-masing 4,12% dan 5,52% pada

tahun 2007. Sebagian besar, yaitu masing-masing 95,88% dan 94,48% kebutuhan

masyarakat akan beras dan jagung dipenuhi dari produksi dalam negeri.

Berdasarkan data impor beras dan umbi-umbian, dapat diketahui bahwa

upaya untuk meminimumkan atau menghilang ketergantungan terhadap impor

beras dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan dari beras ke ubi kayu dan ubi

jalar. Mengingat bahwa sebagian masyarakat Indonesia sudah mengenal bahkan

terbiasa dengan makan ubi kayu dan ubi jalar, maka diversifikasi tersebut

diharapkan tidak mengalami hambatan yang berarti.

Gambar 8. Ketersediaan Pangan per Kapita

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

11

Terjadinya diversifikasi pangan dari beras ke bahan pangan lain tercermin

dari perubahan pola konsumsi penduduk atas berbagai jenis bahan pangan. Secara

umum, penurunan jumlah konsumsi beras di satu sisi dan kenaikan konsumsi

bahan pangan lainnya di sisi lain menunjukkan adanya diversifikasi pangan yang

tengah berlangsung. Jumlah konsumsi beras, jagung dan terigu selama tahun 1993

sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 9.

Gambar 9. Perkembangan Konsumsi Komoditas PanganKelompok Padi-padian Penduduk Indonesia 1993-2007

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan gambar 9, selama tahun 1993 sampai dengan 2007, konsumsi

penduduk terhadap beras mengalami penurunan. Namun demikian, penurunan

dimaksud tidak dibarengi dengan kenaikan konsumsi jagung dan terigu. Hal ini

berarti bahwa diversifikasi pangan dari beras ke jagung dan terigu masih belum

terjadi. Agak berbeda dengan konsumsi produk pangan nabati, konsumsi

penduduk terhadap produk pangan hewani yaitu: ikan, telur, daging unggas dan

susu mengalami peningkatan sejak 1993 sampai dengan 2007. Perkembangan

12

117125

117 116,0 110,0 107,0 105 104,0 100,0

0

20

40

60

80

100

120

140

konsumsi (Kg/kap/thn)

1993 1996 1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Perkembangan Konsumsi Komoditas Pangan Kelompok Padi-padian Penduduk Indonesia Selama Tahun 1993-2007

Beras Jagung Terigu

konsumsi pangan hewani penduduk pada periode tersebut ditunjukkan dalam

gambar 10.

Gambar 10. Perkembangan Konsumsi Pangan Hewani Penduduk Indonesia 1993-2007

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan gambar 10, disamping terjadi kenaikan konsumsi beberapa

jenis pangan hewani, juga terdapat konsumsi yang tidak berubah, yaitu: daging

ruminansa. Secara keseluruhan, konsumsi penduduk terhadap pangan hewani

mengalami peningkatan. Hal ini berpengaruh terhadap perbaikan kualitas gizi

masyarakat. Sepanjang tahun 1989 sampai dengan 2005, status gizi masyarakat

mengalami perbaikan. Walaupun status gizi buruk meningkat selama kurun waktu

16 tahun, dari 6,3% di tahun 1989 menjadi 8,8% pada tahun 2005, tetapi status

gizi kurang menurun dari 31,7% di tahun 1989 menurun menjadi 19,2% pada

tahun 2005. Dengan demikian, jumlah gizi buruk dan gizi kurang menurun dari

38,0% di tahun 1989 menjadi 28,0% pada tahun 2005. Perkembangan status gizi

tersebut masyarakat ditunjukkan dalam gambar 11.

13

22

4

0

17

345

1

17

124

1

14

246

1

17

245

1

19

246

1

18

246

1

19

23

6

2

18

23

7

2

19

02468

101214161820

Konsumsi (kg/kap/tahun)

1993 1996 1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Perkembangan Konsumsi Pangan Hewani Penduduk Indonesia Selama 1993-2007

Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan

6.3

31.7

7.23

28.34

11.56

20.02

10.51

19

8.11

18.25

7.53

17.13

8

19.3

8.31

19.19

8.8

19.2

0

5

10

15

20

25

30

35

40

1989 1992 1995 1998 1999 2000 2002 2003 2005

G Buruk G Kurang

Gambar 11. Status Gizi Masyarakat

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Meskipun status gizi masyarakat mengalami perbaikan sepanjang tahun

1989-2005 sebagaimana ditunjukkan gambar 11, namun masih perlu diwaspadai

adanya masalah keamanan pangan berupa berbagai pelanggaran terhadap produk

pangan. Terjadinya masalah ini tidak hanya dilatarbelakangi oleh alasan finansial

(meminimumkan biaya produksi) tetapi juga alasan kemudahan memperoleh

bahan dan alasan-alasan lainnya. Pelanggaran terhadap produk pangan perlu

mendapat perhatian karena dapat berpengaruh terhadap kualitas gizi dan

kesehatan sehingga dapat berpengaruh pula terhadap produktivitas kerja

masyarakat.

Beberapa jenis pelanggaran produk pangan yang sering terjadi adalah:

pemanis buatan TMS, pengawet TMS, formalin, boraks, pewarna bukan untuk

makanan, cemaran mikroba TMS, dan lain-lain. Persentase berbagai jenis

pelanggaran produk pangan sejak tahun 2001 sampai dengan 2006 ditunjukkan

pada gambar 12.

14

Persentase Pelanggaran Produk Pangan

0

10

20

30

40

50

60

70

2001 2002 2003 2004 2005 2006Tahun

Pers

enta

se

Pemanis buatan TMS Pengawet TMSFormalin BoraksPewarna bukan untuk makanan Cemaran mikroba TMSLain-lain

Gambar 12. Persentase Pelanggaran Produk Pangan

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan table 12, di antara berbagai jenis pelanggaran produk pangan,

pemanis buatan TMS merupakan pelanggaran dengan persentase relatif besar

setelah jenis pelanggaran lain-lain. Pada tahun 2001, pelanggaran jenis ini

merupakan 15,65% dari keseluruhan jenis pelanggaran produk. Persentase

tersebut meningkat menjadi 26,50% atau meningkat rata-rata 11,1% per tahun

selama 2001-2006. Berbeda dengan pemanis buatan, jenis pelanggaran produk

pangan yang mengalami penurunan adalah boraks. Pada tahun 2002, penggunaan

boaraks merupakan 19,10% dari keseluruhan pelanggaran. Pada tahun 2006,

persentase tersebut menjadi 6,77% atau mengalami penurunan (pertumbuhan

negatif) rata-rata 22,8% per tahun selama 2002-2006.

15

ISU STRATEGIS KETAHANAN PANGAN

1. Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian

a. Kapasitas produksi domestik, (a) laju peningkatan produksi pangan

cenderung melandai dengan rata-rata pertumbuhan kurang satu persen

sedangkan pertambahan penduduk sebesar 1,2% setiap tahun (b) belum

berkembangnya kapasitas produksi pangan daerah dengan teknlogi sesifik

lokasi karena hambatan inrastruktur pertanian ; (c) petani umumnya skala

kecil (kurang dari 0,5 hektar) yang berjumlah 13,7 juta KK menyebabkan

aksesibilitasnya terbatas terhadap sumber permodalan, teknologi, sarana

produksi dan pasar (d) banyak dijumpai kasus terhambatnya distribusi

sarana produks khususnya pupuk bersubsidi, (e) lambatnya penerapan

teknologi akibat kurang insentif ekonomi dan masalah sosial petani

b. Kelestarian sumberdaya lahan dan air. Saat ini tingkat alih fungsí

lahan pertanian ke non pertanian (perumahan, perkantoran, dll) di

Indonesia diperkirakan 106.000 ha/5 th. Kondisi sumber air di Indonesia

cukup memperihatinkan, daerah tangkapan air yakni daerah aliran sungai

(DAS) kondisi lahannya sangat kritis akibat pembukaaan hutan yang tidak

terkendali. Defisit air di Jawa sudah terjadi sejak tahun 1995 dan terus

bertambah hingga tahun 2000 telah mencapai 52,8 milyar m3 per tahun.

Sejak 10 tahun terakhir terjadi banjir dengan erosi hebat dan ancaman

tanah longsor pada musim hujan bergantian dengan kekeringan hebat pada

musim kemarau. Bila laju degradasi terus berjalan maka tahun 2015

diperkirakan defisit air di Jawa akan mencapai 14,1 miliar m³ per tahun.

c. Cadangan pangan. Adanya kondisi iklim yang tidak menentu sehingga

sering terjadi pergeseran penanaman, masa pemanenan yang tidak merata

sepanjang tahun, serta sering timbulnya bencana yang tidak terduga

(banjir, longsor, kekeringan, gempa) memerlukan sistem pencadangan

pangan yang baik. Saat ini belum optimalnya: (1) sistem cadangan pangan

daerah untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam minimal 3

(tiga) bulan, (2) cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan

16

tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (3) kelembagaan lumbung

pangan masyarakat dan lembaga cadangan pangan komunitas lainnya, (4)

sistem cadangan pangan melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan

ataupun lembaga usaha lainnya.

2. Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan

a. Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Masyarakat yang rendah dalam mengakses pangan ada pada golongan

masyarakat miskin, yang diperkirakan sekitar 14.7 persen atau sekitar 34.9

juta pada tahun 2008. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sekitar 68

persen tinggal di pedesaan damana umumnya adala petani.

b. Kelancaran distribusi dan akses pangan. Masalah yang dijumpai

adalah: (1) infrastruktur distribusi, (2) sarana dan prasarana pasca panen,

(3) pemasaran dan distribusi antar dan keluar daerah dan isolasi daerah,

(4) sistem informasi pasar, (5) keterbatasan Lembaga pemasaran daerah,

(6) hambatan distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7) kasus

penimbunan komoditas pangan oleh spekulan, (8) adanya penurunan

akses pangan pangan karena terkena bencana

c. Penjaminan Stabilitas Harga Pangan. Isu stabilitas harga pangan

penting karena : (1) masa panen yan tidak merata sepanjang bulan, sehigga

harga tinggi pada masa panen dan rendah pada waktu musim panen, (b)

harga pangan dunia semakin tidak menentu,dan indonesa sangat rentang

terhadap pengaruh pasar dunia. Disamping itu dengan adanya stabilitas

harga pangan akan menguatkan posisi tawar petani dan menjamin akses

pangan masyarakat.

3. Peningkaan Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi

seimbang berbasis pada pangan lokal

a. Konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 105,2 kg/kap/thn

(Susenas 2005), Walaupun Kualitas konsumsi terus meningkat dan pada

tahun 2005 mencapai 79,1 dan 2007 mencapai 83.1, namun konsumsi

17

pangan sumber protein, sumber lemak dan vitamin/mineral masih jauh dari

harapan. Konsumsi pangan dengan bahan baku terigu mengalami

peningkatan yang sangat tajam yakni sebesar sebesar 19,2 persen untuk

makanan mie dan makan lain berbahan terigu 7,9 persen pada periode

1999-2004. Pada saat ini konsumsi pangan hewani penduduk Indonesia

baru mencapai 6,6 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini lebih rendah

dibanding Malaysia dan Filipina yang masing-masing mencapai 48

kg/kap/tahun dan 18 kg/kapita/tahun.

b. Faktor penyebab belum berkembangannya adalah : (1) belum

berkembangnya teknologi tepat guna dan terjangkau mengenai pengolahan

pangan berbasis tepung umbi-umbian lokal dan pengembangan aneka

pangan lokal lainnya, (2) belum berkembangnya bisnis pangan untuk

peningkatan nilai tambah ekonomi melalui penguatan kerjasama

pemerintah-masyarakat-swasta, (3) belum optimalnya usaha perubahan

perlaku diversifikasi konsumsi pangan dan gizi sejak usia dini melalui

jalur pendidikan formal dan non formal, (4) rendahnya citra pangan lokal,

(5) belum optomalnya Pengembangan program perbaikan gizi yang cost

effective, diantaranya melalui peningkatan dan penguatan program

fortifikasi pangan dan program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat

besi dan vitamin A.

4. Peningkatan status gizi masyarakat

a. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk diperkirakan sebesar 8.81

persen (sekitar 5 juta jiwa) dan gizi kurang sebesar 19,0 persen dan

beberapa masalah gizi lainnya seperti anemia gizi besi (AGB), gangguan

akibat kekurangan iodium (GAKI) dan kurang vtamin A (KVA) masih

terjadi (2005). Masalah kurang energi kronis (KEK) adalah 16,7 persen

pada 2003. Pada saat yang bersamaan pada kelompok usia produktif juga

terdapat masalah kegemukan (IMT>25) dan obesitas (IMT>27).

b. Peningkatan staus gizi harus dilakukan dengan dalam rangka mengurangi

jumlah penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro yang diprioritas

18

pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu hamil dan calon ibu

hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun

tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya. Hal ini dapat ditempuh melalui

: (1) komunikasi, informasi dan edukasi tentang gizi dan kesehatan , (2)

penguatan kelembagaan pedesaan seperti Posyandu, PKK, dan Dasa

Wisma; (3) peningkatan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga

pemerintah dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi.

5. Peningkatan mutu dan keamanan pangan

a. Saat ini masih cukup banyak digunakan bahan tambahan pangan

(penyedap, pewarna pemanis, pengawet, pengental, pemucat dan anti

gumpal) yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan.

b. Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat konsumen

maupun produsen (khususnya industri kecil dan menengah) terhadap

keamanan pangan, yang ditandai merebaknya kasus keracunan pangan

baik produk pangan segar maupun olahan.

c. Belum ada sangsi yang tegas terhadap pelanggaran peraturan keamanan

pangan. Oleh karena itu usaha-usaha untuk pencegahan dan pengendalian

keamanan pangan harus dilakukan.

19

KEBIJAKAN DAN STRATEGI

MENUJU INDONESIA TAHAN PANGAN DAN GIZI 2015

1. Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian

2. Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan

3. Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi

seimbang

4. Peningkatan status gizi masyarakat

5. Peningkatan mutu dan keamanan pangan

1. Arah kebijakan Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian

a. Menjamin ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, dalam jumlah

dan keragaman untuk mendukung konsumsi pangan sesuai kaidah

kesehatan dan gizi seimbang.

b. Mengembangkan dan memperkuat kemampuan dalam pemupukan dan

pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat hingga di

tingkat desa dan atau komunitas.

c. Meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional melalui penetapan

lahan abadi untuk produksi pangan dalam rencana tata ruang wilayah dan

meningkatkan kualitas lingkungan serta sumberdaya lahan dan air.

2. Arah kebijakan Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses

pangan

a. Meningkatkan daya beli dan mengurangi jumlah penduduk yang miskin.

b. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi dan perdagangan pangan

melalui pengembangan sarana dan prasarana distribusi dan menghilangkan

hambatan distribusi pangan antar daerah.

c. Mengembangkan teknologi dan kelembagaan pengolahan dan pemasaran

pangan untuk menjaga kualitas produk pangan dan mendorong

peningkatan nilai tambah.

20

d. Meningkatkan dan memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan ekonomi

perdesaan dalam rangka mengembangkan skema distribusi pangan kepada

kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kerawanan pangan.

3. Arah kebijakan Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan

menuju gizi seimbang

a. Meningkatkan kemampuan rumahtangga dalam mengakses pangan untuk

kebutuhan setiap anggota rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang

memadai, aman dan halal dikonsumsi dan bergizi seimbang.

b. Mendorong, mengembangkan dan membangun, serta memfasilitasi peran

serta masyarakat dalam pemenuhan pangan sebagai implementasi

pemenuhan hak atas pangan.

c. Mengembangkan program perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya

melalui peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan

program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A

d. Mengembangkan jaringan antar lembaga masyarakat untuk pemenuhan

hak atas pangan dan gizi.

e. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan

bersubsidi kepada masyarakat golongan miskin terutama anak-anak dan

ibu hamil yang bergizi kurang.

4. Arah kebijakan Peningkatan status gizi masyarakat

a. Mengutamakan upaya preventif, promotif dan pelayanan gizi dan

kesehatan kepada masyarakat miskin dalam rangka mengurangi jumlah

penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan

mineral).

b. Memprioritaskan pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu

hamil dan calon ibu hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi

sampai usia dua tahun tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya.

c. Meningkatkan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga pemerintah

dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga

21

terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor

di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian,

industri, perdagangan, pendidikan, agama, serta pemerintahan daerah.

5. Arah kebijakan Peningkatan mutu dan keamanan pangan

a. Meningkatkan pengawasan keamanan pangan

b. Melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan

keamanan pangan

c. Meningkatkan kesadaran produsen, importir, distributor dan ritel terhadap

keamanan pangan

d. Meningkatkan kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan,

e. Mengembangkan teknologi pengawet dan pewarna makanan yang aman

dan tidak memenuhi syarat kesehatan serta terjangkau oleh usaha kecil dan

menengah produsen makanan dan jajanan.

SASARAN

1. Mempertahankan ketersediaan energi perkapita minimal 2.200

Kilokalori/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari,

terutama protein yang diiringi dengan menurunnya ketergantungan impor

pangan maksimal 5 persen pada tahun 2015 serta tersedianya cadangan

pangan pemerintah untuk kondisi darurat karena bencana alam dengan

cadangan minimal 3 bulan dan berkembangnya cadangan pangan

masyarakat

2. Stabilnya harga komoditas pangan strategis yang ditandai rendahnya

perbedaan harga antara musim panen dan non panen dengan perbedaan

maksimum 10 persen

3. Turunnya jumlah penduduk miskin minimal 1 persen per tahun dan

berkurang 50 persennya menjadi 8 persen pada tahun 2015.

4. Meningkatkan keragaman konsumsi pangan perkapita untuk mencapai gizi

seimbang dengan kecukupan energi minimal 2.000 kkal/hari dan protein

sebesar 52 gram/hari dan cukup zat gizi mikro, serta meningkatkan

22

keragaman konsumsi pangan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH)

mendekati 100 pada tahun 2015

5. Meningkatkan keamanan, mutu dan higiene pangan yang dikonsumsi

masyarakat dengan menekan pelanggaran terhadap ketentuan keamanan

pangan sampai 90 persen

6. Prevalensi Kerawanan konsumsi pangan tingkat berat menurun hingga 1.5

persen pada tahun 2015;

7. Gizi kurang bukan masalah kesehatan masyarakat, dengan prevalensi gizi

kurang setinggi-tingginya 19% pada tahun 2015

8. Menguatnya kelembagaan ketahanan pangan dan gizi di pedesaan ,

khususnya PKK, Posyandu dan lembaga cadangan pangan komunitas

9. Terimplementasikannya dengan baik Sistem Kewaspadaan Pangan dan

Gizi pada setiap kabupaten/kota pada tahun 2015.

A. Strategi Memantapkan Ketersediaan Pangan berbasis Kemandirian

1. Peningkatan Kapasitas produksi domestik, melalui : (1) pengembangan

produksi pangan sesuai dengan potensi daerah, (2) peningkatan produksi

dan produktivitas komoditas pangan dengan teknologi spesifik lokasi, (3)

pengembangan dan menyediakan benih/bibit unggul dan jasa alsintan, (4)

peningkatan pelayanan dan pengawasan pengadaan sarana produksi, (5)

peningkatan layanan kredit yang mudah diakses petani

2. Pelestarian sumberdaya lahan dan air, melalui : (1) pengendalian alih

fungsi lahan pertanian ke non-pertanian untuk mewujudkan lahan abadi,

(2) sertifikasi lahan petani, (3) konservasi dan rehabilitasi sumberdaya

lahan dan air pada daerah aliran sungai (DAS), (4) pengembangan sistem

pertanian ramah lingkungan (agroforestry dan pertanian organik), (5)

pemantapan kelompok pemakai air untuk peningkatan pemeliharaan

saluran irigasi, (6) penataan penggunaan air untuk pertanian, pemukiman

dan industri, (7) pengembangan sistem informasi bencana alam dalam

rangka Early Warning System (EWS), (8) rehabilitasi dan konservasi

sumberdaya alam, (9) perbaikan dan peningkatan jaringan pengairan.

23

3. Penguatan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat/komunitas,

melalui: (1) pengembangan sistem cadangan pangan daerah untuk

mengantisipasi kondisi darurat bencana alam minimal 3 (tiga) bulan , (2)

pengembangan cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan

tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (3) menguatkan kelembagaan

lumbung pangan masyarakat dan lembaga cadangan pangan komunitas

lainnya, (4) pengembangan sistem cadangan pangan melalui Lembaga

Usaha Ekonomi Pedesaan ataupun lembaga usaha lainnya

B. Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju

gizi seimbang berbasis pada pangan lokal

1. Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat

untuk peningkatan daya beli pangan beragam dan bergizi seimbang

2. Peningkatan kelancaran distribusi dan akses pangan, melalui: (1)

peningkatan kualitas dan pengembangan infrastruktur distribusi, (2)

peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pasca panen, (3)

pengembangan jaringan pemasaran dan distribusi antar dan keluar daerah

dan membuka daerah yang terisolir, (4) pengembangan sistem informasi

pasar, (5) penguatan lembaga pemasaran daerah, (6) pengurangan

hambatan distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7)

pencegahan kasus penimbunan komoditas pangan oleh spekulan, (8)

pemberian bantuan pangan pada kelompok masyarakat miskin dan yang

terkena bencana secara tepat sasaran, tepat waktu dan tepat produk;

3. Penjaminan Stabilitas Harga Pangan, melalui : (1) pemberlakuan Harga

Pembelian Pemerintah pada komoditas pangan strategis , (2) perlindungan

harga domestik dari pengaruh harga dunia melalui kebijakan tarif, kuota

impor, dan/ pajak ekspor, kuota ekspor pada komoditas pangan strategis,

(3) pengembangan Buffer stock Management (pembelian oleh pemerintah

pada waktu panen dan operasi pasar pada waktu paceklik) pada komoditas

pangan strategis, (4) pencegahan impor dan/atau ekspor ilegal komoditas

pangan, (5) peningkatan dana talangan pemerintah (propinsi dan

24

kabupaten/kota) dalam menstabilkan harga komoditas pangan strategis,

(6) peningkatan peranan Lembaga pembeli gabah dan Lembaga usaha

ekonomi pedesaan, (7) pengembangan sistem tunda jual, (8)

pengembangan sistem informasi dan monitoring produksi, konsumsi,

harga dan stok minimal bulanan

4. Peningkatan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan

pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan miskin

(misalnya Raskin) dan mengembangkan pangan bersubsidi bagi kelompok

khusus yang membutuhkan terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi

kurang

C. Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju

gizi seimbang berbasis pada pangan lokal

1. Pengembangan dan percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis

pangan lokal melalui pengkajian berbagai teknologi tepat guna dan

terjangkau mengenai pengolahan pangan berbasis tepung umbi-umbian

lokal dan pengembangan aneka pangan lokal lainnya

2. Pengembangan bisnis pangan untuk peningkatan nilai tambah ekonomi,

gizi dan mutu ketersediaan pangan yang beragam dan bergizi seimbang

melalui penguatan kerjasama pemerintah-masyarakat-dan swasta;

3. Pengembangan materi dan cara ajar diversifikasi konsumsi pangan dan

gizi sejak usia dini melalui jalur pendidikan formal dan non formal

4. Penguatan pola konsumsi pangan lokal yang didaerah dan kelompok

masyarakat tertentu telah beragam;

5. pengembangan aspek kuliner dan daya terima konsumen, melalui berbagai

pendidikan gizi, penyuluhan, dan kampanye gizi untuk peningkatan citra

pangan lokal, serta peningkatan pendapatan dan pendidikan umum.

6. Pengembangan program perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya

melalui peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan

program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A;

25

D. Strategi Peningkatan status gizi masyarakat, melalui

1. Peningkatan pelayanan gizi dan kesehatan kepada masyarakat miskin yang

terintegrasi dengan program penanggulangan kemiskinan dan keluarga

berencana, dalam rangka mengurangi jumlah penderita gizi kurang,

termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan mineral) yang diprioritas

pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu hamil dan calon ibu

hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun

tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya;

2. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi tentang gizi dan kesehatan

guna mendorong terbentuknya keluarga dan masyarakat sadar gizi yang

tahu dan berperilaku positif untuk mencegah gangguan kesehatan karena

kelebihan gizi seperti kegemukan dan penyakit degeneratif lainnya

3. Penguatan kelembagaan pedesaan seperti Posyandu, PKK, dan Dasa

Wisma dalam promosi dan pemantauan tumbuh kembang anak dan

penapisan serta tindak lanjut (rujukan) masalah gizi buruk;

4. Peningkatan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga pemerintah

dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga

terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor

di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian,

industri, perdagangan, pendidikan, agama, serta pemerintahan daerah

untuk promosi keluarga sadar gizi, pencegahan dan penanggulangan gizi

kurang dan gizi buruk secara dini dan terpadu.

F. Strategi Peningkatan mutu dan keamanan pangan, melalui:

1. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang keamanan pangan di

tingkat rumahtangga, industri rumahtangga dan UKM serta importir,

distributor dan ritel serta pemahaman tentang implikasi hukum

pelanggaran peraturan keamanan pangan yang berlaku;

2. Penguatan pengawasan dan pembinaan keamanan pangan dengan

melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan

26

keamanan pangan, law enforcement bagi produsen, importir, distributor

dan ritel yang melakukan pelanggaran terhadap keamanan pangan;

3. Peningkatan kesadaran dan perlindungan konsumen terhadap keamanan

pangan

27