MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada...

24
1 MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG * Oleh: Fithriadi Muslim & Edi Nasution PENGANTAR raktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia, menurut J. Soedradjat Djiwandono, adalah implikasi dari suatu sikap hidup yang mengandung unsur “lebih besar pasak dari tiang” yang secara sadar atau tidak telah menggejala pada masyarakat, baik sebagai perilaku bersama maupun pribadi. Sikap hidup seperti itu menimbulkan tindakan mencari jalan pintas dengan berbagai cara yang melanggar hukum atau peraturan atau nilai, untuk dapat meraih apa yang diinginkan. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan dengan tindakan KKN. Menghilangkan praktek KKN dari masyarakat Indonesia berarti meninggalkan sikap hidup “lebih besar pasak dari tiang” dan menggantinya dengan sikap baru yang mendasarkan pada sikap untuk hidup sesuai dengan kemampuan sendiri, sesuai dengan jerih-payah sendiri. 1 Pada dasarnya, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) berlangsung dengan adanya kerjasama antara dua pihak, yaitu pihak yang mengambil atau menerima dengan pihak yang memberikan. Mungkin dalam hal korupsi, bisa saja terjadi tanpa ada pihak yang secara aktif menjadi pemberi, misalnya dalam hal seseorang yang melakukan korupsi dengan mengambil dana negara atau masyarakat yang ada di bawah kewenangan atau pengelolaannya. Kalau yang bersangkutan mengambil uang itu untuk kepentingannya sendiri, adalah tindakan korupsi, yang sama saja dengan pencurian biasa, hanya modus operandinya yang berbeda. Namun kalau melakukan tindakan korupsi dengan penyalahgunaan wewenang seseorang yang menerima suap dari orang lain sehubungan dengan jabatannya, maka ada dua pihak yang melakukan korupsi, yaitu pihak yang menerima suap dan pihak yang memberikannya. Mungkin tindakan korupsi terjadi dalam bentuk seperti itu, namun perlu diketahui bahwa karena ada dua pihak yang terlibat, maka yang salah adalah kedua belah pihak. Boleh saja dikatakan bahwa ‘dosa’ terbesar ada pada pihak yang menerima karena dialah yang merugikan negara/masyarakat, namun pihak yang memberi juga salah karena berkolusi atau bekerjasama, sebagai ‘accomplice’ dalam tindak pidana tersebut. 2 Di tengah-tengah masyarakat Indonesia, istilah “TST” (Tahu Sama Tahu) adalah istilah pendek yang cukup populer. Istilah ini mengandung pengetahuan timbal-balik dan saling membebaskan diri dari perbuatan-perbuatan di luar hukum dan bersifat amoral. 3 Sejarah * Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang Merajalela” yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) Universitas Negeri Padang bekerjasama dengan Pro Justitia Institute Jakarta dan Harian Umum Singgalang di Hotel Pangeran Beach, Padang pada tanggal 19 November 2011. 1 Lihat J. Soedradjat Djiwandono, Bergulat dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal. 34-35. 2 Ibid, hal. 45-46. Dapat ditambahkan bahwa Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juga mengatur masalah “percobaan”, “pembantuan”, dan “permufakatan jahat” sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10. 3 Pada prinsipnya, TST adalah untuk memberikan dan menetapkan bersama sebuah sebutan (a common denominator) mengenai toleransi untuk perbuatan-perbuatan jahat yang mudah dilakukan, termasuk penggelapan umum, sumber dan waktu; secara tidak sah mengatur dan memanipulasi pembagian sandang-pangan; menjalankan prosedur pemilihan, juga mengurus badan-badan pemerintah seolah-olah badan-badan tersebut adalah hak dan milik pribadi. Ciri-ciri fenomena “TST” adalah perbuatan bersama untuk menutup mata terhadap hukum. Dengan kata lain, “TST” adalah sebuah mekanisme untuk mengurangi kesalahan-kesalahan dan perbuatan- perbuatan dari mereka yang membagi-bagi hasil curian sesudah merampok negara. Sedangkan perkataan korupsi adalah istilah yang P

Transcript of MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada...

Page 1: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  1

MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG*

Oleh: Fithriadi Muslim & Edi Nasution

PENGANTAR

raktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia, menurut J. Soedradjat Djiwandono, adalah implikasi dari suatu sikap hidup yang mengandung unsur “lebih besar pasak dari tiang” yang secara sadar atau tidak telah menggejala pada masyarakat, baik sebagai

perilaku bersama maupun pribadi. Sikap hidup seperti itu menimbulkan tindakan mencari jalan pintas dengan berbagai cara yang melanggar hukum atau peraturan atau nilai, untuk dapat meraih apa yang diinginkan. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan dengan tindakan KKN. Menghilangkan praktek KKN dari masyarakat Indonesia berarti meninggalkan sikap hidup “lebih besar pasak dari tiang” dan menggantinya dengan sikap baru yang mendasarkan pada sikap untuk hidup sesuai dengan kemampuan sendiri, sesuai dengan jerih-payah sendiri.1

Pada dasarnya, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) berlangsung dengan adanya kerjasama antara dua pihak, yaitu pihak yang mengambil atau menerima dengan pihak yang memberikan. Mungkin dalam hal korupsi, bisa saja terjadi tanpa ada pihak yang secara aktif menjadi pemberi, misalnya dalam hal seseorang yang melakukan korupsi dengan mengambil dana negara atau masyarakat yang ada di bawah kewenangan atau pengelolaannya. Kalau yang bersangkutan mengambil uang itu untuk kepentingannya sendiri, adalah tindakan korupsi, yang sama saja dengan pencurian biasa, hanya modus operandinya yang berbeda. Namun kalau melakukan tindakan korupsi dengan penyalahgunaan wewenang seseorang yang menerima suap dari orang lain sehubungan dengan jabatannya, maka ada dua pihak yang melakukan korupsi, yaitu pihak yang menerima suap dan pihak yang memberikannya. Mungkin tindakan korupsi terjadi dalam bentuk seperti itu, namun perlu diketahui bahwa karena ada dua pihak yang terlibat, maka yang salah adalah kedua belah pihak. Boleh saja dikatakan bahwa ‘dosa’ terbesar ada pada pihak yang menerima karena dialah yang merugikan negara/masyarakat, namun pihak yang memberi juga salah karena berkolusi atau bekerjasama, sebagai ‘accomplice’ dalam tindak pidana tersebut.2

Di tengah-tengah masyarakat Indonesia, istilah “TST” (Tahu Sama Tahu) adalah istilah pendek yang cukup populer. Istilah ini mengandung pengetahuan timbal-balik dan saling membebaskan diri dari perbuatan-perbuatan di luar hukum dan bersifat amoral.3 Sejarah

                                                             * Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

dan Pencucian Uang Merajalela” yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) Universitas Negeri Padang bekerjasama dengan Pro Justitia Institute Jakarta dan Harian Umum Singgalang di Hotel Pangeran Beach, Padang pada tanggal 19 November 2011. 

1 Lihat J. Soedradjat Djiwandono, Bergulat dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal. 34-35.

2 Ibid, hal. 45-46. Dapat ditambahkan bahwa Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juga mengatur masalah “percobaan”, “pembantuan”, dan “permufakatan jahat” sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10.

3 Pada prinsipnya, TST adalah untuk memberikan dan menetapkan bersama sebuah sebutan (a common denominator) mengenai toleransi untuk perbuatan-perbuatan jahat yang mudah dilakukan, termasuk penggelapan umum, sumber dan waktu; secara tidak sah mengatur dan memanipulasi pembagian sandang-pangan; menjalankan prosedur pemilihan, juga mengurus badan-badan pemerintah seolah-olah badan-badan tersebut adalah hak dan milik pribadi. Ciri-ciri fenomena “TST” adalah perbuatan bersama untuk menutup mata terhadap hukum. Dengan kata lain, “TST” adalah sebuah mekanisme untuk mengurangi kesalahan-kesalahan dan perbuatan-perbuatan dari mereka yang membagi-bagi hasil curian sesudah merampok negara. Sedangkan perkataan korupsi adalah istilah yang

P

Page 2: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  2

membuktikan bahwa praktik korupsi sudah terjadi di masa-masa silam, tidak saja di masyarakat Indonesia, akan tetapi hampir di semua negara. Menurut Mochtar Lubis, korupsi akan senantiasa timbul apabila suatu masyarakat tidak memiliki nilai budaya yang secara tegas dan tajam memisahkan antara milik pribadi (private goods) dan milik masyarakat (public goods).4

Banyak ahli sependapat bahwa korupsi di Indonesia telah membudaya. Salah seorang proklamator kita, almarhum Bung Hatta, juga mengungkapkan hal yang sama. Tidak bisa kita pungkiri kenyataan, bahwa gejala korupsi ada di setiap negara dan di tiap zaman. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika gejala korupsi itu semakin berkembang hingga menguasai perilaku, bukan saja birokrasi Negara, tetapi juga dunia usaha dan bahkan seluruh anggota masyarakat. Apabila kondisi demikian dibiarkan sampai ke tingkat itu maka akan sulit untuk memberantasnya, karena hampir seluruh anggota masyarakat telah terlibat di dalamnya, baik sebagai penyogok maupun sebagai penerima atau peminta sogokan. Untuk membasmi korupsi dalam masyarakat kita sekarang ini, dimana korupsi berakar pada kebudayaan lama dan berasal dari birokrasi-patrimonial dari masa feodal di masa lalu, maka hanya dengan melakukan transformasi budaya yang tuntas, barulah kita memiliki harapan yang baik untuk dapat berhasil memberantas korupsi di Indonesia. Untuk itu perlu ditumbuhkembangkan nilai-nilai budaya baru (transformasi budaya), antara lain pemisahaan secara tegas antara: (1) private goods dan public goods; dan (2) kepentingan pekerjaan (kedinasan) dengan kepentingan keluarga5, atau dalam kata lain profesionalisme dan penerapan good governance.

Kenyataan bahwa sekarang tindak pidana korupsi (TIPIKOR) tidak saja telah menjadi momok bagi bangsa Indonesia, bahkan telah dianggap musuh bersama oleh masyarakat dan lembaga/organisasi internasional.6 Salah satu buktinya adalah dengan ditandatanganinya United Nations Convention Against Corruption of 2003 (UNCAC-Konvensi PBB tentang Anti Korupsi) untuk pertama kalinya di Merida, Meksiko, oleh 133 negara pada tanggal 9 Desember 2003. Tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 20 Maret 2006, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003 disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Walaupun Konvensi PBB Anti Korupsi itu telah ditandatangi sejak 2003 dan kemudian diratifikasi Indonesia pada awal 2006,

                                                                                                                                                                                   mencakup hal-hal yang informal, tidak sah, atau mekanisme tersembunyi tentang manipulasi ekonomi, penekanan, hal memperoleh dan membagi-bagi kedudukan-kedudukan yang menguntungkan, yang berlaku pada tingkat tinggi dan/atau dalam semua lapisan masyarakat Lihat M. Jaspan, “Toleransi dan Penolakan Atas Hambatan Budaya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi: Kasus Sumatera Selatan”, dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, (ed), Bunga Rampai Korupsi, (Jakarta: LP3ES, 1995), hal. 26 dan 35. Istilah lain yang erat kaitannya dengan praktek korupsi adalah: “kong kali kong”, “pat guli pat”, dan “cincai-cincai”.

4 Ada kecenderungan bahwa yang seringkali melakukan pengaburan antara private goods dan public goods adalah para penguasa. Pada masa feodal dahulu di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia, tanah-tanah luas adalah milik raja, dan raja menyerahkan pengawasan berbagai kawasan kepada para pengeran kaum bangsawan dan ditugasi untuk memungut pajak, sewa, upeti dari rakyat yang menggarap tanah-tanah tersebut. Sebagian yang ditentukan harus diserahkan oleh para pangeran dan pembesar kepada sang raja, dan selebihnya untuk para pangeran dan pembesar. Lebih tragis lagi, selain membayar dalam bentuk uang (in natura), tidak jarang rakyat diharuskan membayar dengan “tenaga kasar” (rodi), bekerja keras dengan paksaan untuk memenuhi berbagai keperluan sang pembesar dan raja. Kewajiban-kewajiban demikian, yang dibebankan kepada rakyat pada masa itu, dilakukan dalam kerangka adat, budaya, kebiasaan turun-temurun sehingga dipandang sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Apa yang dilakukan sang raja dan pembesar dianggap “patut” dan merupakan “hak mereka”, meskipun rakyat pada dasarnya merasa tertindas dan berat untuk melaksanakannya. Dalam hubungan ini, praktik korupsi yang kini merajalela di Indonesia boleh dikatakan berakar pada masa lalu tersebut, ketika kekuasaan bertumpu pada kekuasaan “birokrasi patrimonial” yang berkembang dalam kerangka kekuasaan feodal. Dalam struktur kekuasaan seperti ini, berbagai perilaku buruk antara lain: penyimpangan, pencurian, ataupun korupsi akan tumbuh dengan subur. Lihat Mochtar Lubis, Pengantar dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, (ed), Bunga Rampai Korupsi, (Jakarta: LP3ES, 1995), hal. xvi-xviii. Fenomena korupsi ini seperti pepatah lama yang mengatakan: “bak cendawan tumbuh subur di musim penghujan”.

5 Ibid, hal. viii dan xix-xx. Bandingkan dengan Andi Hamzah yang mengatakan korupsi adalah salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi ini. Masalah utamanya adalah peningkatan korupsi tersebut seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi, bahkan ada kecenderungan bahwa semakin maju pembangunan suatu bangsa itu meningkatkan kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan korupsi. Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). hal. 1.

6 Dalam suatu negara, secara praktis perang melawan korupsi terdiri dari empat elemen: (1) adanya infrastruktur hukum antikorupsi yang efektif; (2) kerjasama internasional untuk saling membantu dalam bidang hukum; (3) dukungan aktif dari rakyat negara yang bersangkutan, dan (4) kemauan politik untuk membuat strategi antikorupsi pemerintah bisa berjalan. Keempat elemen tersebut hendaknya dipandang tidak secara terpisah dari cara penduduk memandang komunitas dimana mereka tinggal, khususnya nilai-nilai sosial, budaya, dan agama yang mungkin mendasarinya. Langkah-langkah anti korupsi menunjukkan aspirasi rakyat untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, yang dipandang sebagai bagian dari kerangka kerja sosial suatu negara secara keseluruhan dengan menekankan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keadilan melalui penegakan hukum sehingga akan menjadi bagian dari budaya negara tersebut. Lihat Ian McWalters, SC, Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, (Surabaya: JPBooks, 2006), hal. 3.

Page 3: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  3

namun masih banyak kalangan yang belum mengetahui apa sesungguhnya isi dari UNCAC, terutama bila dikaitkan dengan UU TIPIKOR yang dipunyai Indonesia.

Adapun tujuan utama UNCAC adalah untuk: (a) mempromosikan dan memperkuat langkah-langkah guna mencegah dan memerangi korupsi secara lebih efisien dan efektif; (b) mempromosikan bantuan dan dukungan kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan perang melawan korupsi, termasuk dalam pemulihan aset; dan (c) mempromosikan integritas, akuntabilitas dan manajemen urusan publik dan properti publik dengan baik.7 Berbagai cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut antara lain dengan: (1) langkah-langkah preventif; (2) kriminalisasi dan penegakan hukum; (3) kerjasama internasional; (4) pemulihan aset; dan (5) bantuan teknis dan pertukaran informasi.8

Pasal 14 UNCAC menetapkan, bahwa “The return of assets is a fundamental principle of anti-money laundering regime, and States Parties shall afford one another the widest measure of cooperation and assistance in this regard”. Substansi pasal ini berkaitan dengan strategi memerangi TPPU yang mengandung 3 elemen pokok. Pertama, adanya institusi yang mengatur kebijakan domestik dan mengawasi pemerintah dalam hal perbankan dan institusi-institusi lain di bidang keuangan. Kedua, pertukaran intelijen baik ditingkat nasional maupun internasional melalui suatu badan pusat intelijen keuangan (FIU). Ketiga, pengembangan kerjasama antar perbatasan wilayah dalam memberantas praktek pencucian uang. Sedangkan dalam Pasal 23 dan 24 UNCAC mengandung saran atau anjuran mengenai pengadopsian bentuk-bentuk penanganan yang pernah diterapkan untuk melarang tindakan tertentu yang berhubungan dengan kriminalisasi pencucian uang. Bahkan sifat independensi TPPU juga ditegaskan, sehingga hasil-hasil kejahatan (proceeds of crime) tidak perlu dibuktikan berasal dari tindak pidana lain, termasuk hasil-hasil kejahatan yang diperoleh dari praktek korupsi, dimana praktek korupsi itu sendiri adalah predicate crime dari money laundering.9

Boleh dikatakan bahwa maraknya money laundering di setiap negara umumnya disebabkan oleh: (1) globalisasi sistem keuangan; (2) kemajuan di bidang teknologi-informasi; (3) ketentuan rahasia bank yang sangat ketat; (4) penggunaan nama samaran atau anonim; (5) penggunaan electronic money (e-money); (6) berlakunya ketentuan hukum terkait kerahasiaan hubungan antara lawyer dan akuntan dengan kliennya masing-masing; (7) pemerintah dari suatu negara kurang serius untuk memberantas praktik pencucian uang yang dilakukan melalui sistem perbankan; dan (8) tidak dikriminalisasinya perbuatan pencucian uang di suatu negara. Sedangkan dampak negatif praktik pencucian uang antara lain: (a) merongrong sektor swasta yang sah; (b) merongrong integritas pasar-pasar keuangan; (c) hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi; (d) timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi; (e) hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak; (f) risiko pemerintah dalam melaksanakan program privatisasi; (g) merusak reputasi negara; dan (h) menimbulkan biaya sosial yang tingggi.10

PPATK SEBAGAI FIU INDONESIA

elain KPK, salah satu lembaga yang diwaspadai oleh koruptor adalah PPATK. FIU Indonesia ini dibentuk untuk mendeteksi praktek pencucian uang. PPATK memiliki kewenangan untuk “mengintip” semua isi rekening dan seluruh transaksi keuangan yang mencurigakan. Bukan

hanya perbankan karena PPATK kini juga memiliki kewenangan untuk melacak aset dan uang yang dikelola oleh lembaga keuangan non-bank seperti asuransi dan berbagai produk investasi pasar finansial lainnya. Penggunaan UU TPPU sangat mendesak untuk efektifitas pembuktian tindak

                                                             7 Lihat “Senjata Baru Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi? Ratifikasi UNCAC”, Hukum Online, 6 September 2006. 8 Ian McWalters, SC, Op.Cit., hal. 8. 9 Uraian pendek tentang money laundering, lihat Edi Nasution, “Memahami Praktik Pencucian Uang Hasil Kejahatan (Money

Laundering)”, http://www.ppatk.go.id/pdf/Uraian_Pendek_Tentang_Praktek_Pencucian_Uang_Hasil_Kejahat.pdf. 10 Keterangan yang lebih rinci mengenai penyebab maraknya praktik pencucian uang dan dampak negatifnya, lihat Tim

Penyusun, Rezim Anti Pencucian Uang Indonesia: Perjalanan 5 Tahun, (Jakarta: PPATK, 2007), hal. 30-42. Lihat juga: John McDowell & Gary Novis, “The Consequences of Money and Financial Crime”, May 2001, http://www.usteas.gov..

S

Page 4: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  4

pidana korupsi. Apalagi penegak hukum kita masih dididik, dibesarkan dan mempraktekkan paradigma lama dalam pembuktian. Penegak hukum kita masih berpegang pada paradigma follow the suspect. Maksudnya, untuk membuktikan tindak pidana korupsi, penegak hukum lebih mengandalkan kesaksian dari pelaku atau orang lain yang mengetahuinya, dimana yang paling penting adalah saksi. Tetapi pendekatan itu tidak cukup memadai untuk membuktikan kasus-kasus korupsi terkini. Para pelaku korupsi yang memahami instrumen pasar finansial, mengerti bagaimana bank bekerja dan tahu berbagai produk investasi, akan mudah untuk menutupi jejak korupsinya. Dengan mencuci uangnya, maka kejahatan yang dilakukannya tidak akan terungkap.11

Banyak pihak yang sependapat bahwa UU TPPU lebih efektif untuk memulihkan keuangan negara dalam hal pengembalian aset (asset recovery), jika dibandingkan dengan UU TIPIKOR. Alasannya karena UU TPPU menggunakan paradigma baru dalam penanganan tindak pidana, yaitu dengan pendekatan follow the money (“menelusuri aliran uang”) untuk mendetekasi TPPU dan tindak pidana lainnya. Selain itu, UU TPPU juga mampu menjerat aktor mafia peradilan. Upaya memberantas praktek korupsi dan mafia peradilan tidak cukup hanya dengan mengandalkan pasal-pasal suap dan gratifikasi. Penerapan UU TPPU memiliki nilai tambah, misalnya dengan menerapkan UU TTPU dalam penanganan kasus seorang hakim, apabila jaksa dan penyidik menemukan harta kekayaan dari kasus lain yang ditangani hakim dimaksud, maka bisa secara langsung disita. Dengan demikian, KPK dapat berkontribusi secara maksimal membantu penerapan UU TPPU, selain menggunakan UU TIPIKOR dengan menerapkan pembalikan beban pembuktian terhadap kasus korupsi. Untuk penanganan perkara korupsi, penegak hukum seyogiyanya juga mempertimbangkan penggunaan UU TPPU oleh karena ketentuan anti pencucian ini bagaikan “senjata ampuh” yang akan dapat “melumpuhkan” para koruptor.12

Berdasarkan peraturan perundang-undangan kita sudah sama-sama tahu bahwa seseorang yang memperoleh harta kekayaan dengan cara menyuap, menerima suap, memalsukan uang, memproduksi dan menjual narkoba, memperdagangkan manusia dan senjata ilegal, insider trading, illegal logging, membuat Letter of Credit fiktif, melakukan praktik kolusi, korupsi, dan nepostisme (KKN), pencucian uang (money laundering)13 dan lain sebagainya, adalah perbuatan melawan hukum.14

                                                             11 Globalisasi finansial seperti sekarang ini membuat koruptor semakin mudah menyembunyikan uangnya. Oleh karena itu

diperlukan paradigma baru untuk membuktikan tindak pidana korupsi, yakni dengan pendekatan follow the money (“mengikuti aliran uang”). Dalam pendekatan rezim anti pencucian uang ini, yang paling utama dalam pembuktian adalah aliran uangnya. Pelaku atau saksi bisa saja berkata bohong, tetapi aliran uang tidak akan bisa ditutup-tutupi. Paradigma baru dalam penanganan kejahatan ini juga memudahkan penegak hukum untuk mengembalikan kerugian negara karena semua harta yang dimiliki atau terkait dengan dirinya akan terlacak. Dalam konteks inilah, Yunus Husein sangat dibutuhkan oleh KPK, terutama untuk memperkuat KPK dalam pembuktian kasus korupsi dengan menggunakan pendekatan follow the money. Pendekatan ini membutuhkan UU Anti Pencucian Uang, dan Yunus Husein adalah orang yang tepat. Lihat Danang W.D., “Tunus Husein Pelacak Aliran Uang”, 31 Oktober 2011, http://politikana.com/ baca/2011/10/31/yunus-husein-pelacak-aliran-uang.html. Dalam konteks ini, lihat juga “Calon Pimpinan KPK; Seleksi Dimulai, Yunus Husein Siap”, Harian Merdeka, 24 Oktober 2011, dan “Ini Empat Capim KPK Favorit DPR”, okezone.com, 24 Oktober 2011.

12 Tama S. Langkun dari Divisi Investigasi ICW mengatakan bahwa KPK masih fokus mengejar pelakunya dengan strategi follow the suspect, meskipun dalam perspektif asset recovery atau pengembalian aset hasil-hasil korupsi juga sudah menjadi salah satu prioritas KPK. Untuk itu, KPK diharapkan secara serius mulai menggunakan strategi baru yaitu follow the money, mengingat KPK sudah memiliki kewenangan untuk menyidik pencucian uang bersadarkan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ke depan, KPK dan penegak hukum lain seharusnya menerapkan strategi follow the money. Karena, dengan mengikuti aliran uang maka akan diketahui siapa sebenarnya pengguna dan penikmat hasil korupsi. Secara konseptual, uang dan kekayaan adalah target sekaligus tujuan dari pelaku korupsi. Dalam hal ini, hasil-hasil kejahatan adalah darah yang menghidupi dan menjadi motivasi kenapa seseorang melakukan kejahatan seperti korupsi atau suap. Dengan mendeteksi aliran uang, menghentikan dan merampas hasil korupsi, serta secara bersamaan menggunakan UU Tipikor, ICW menilai strategi ini akan sangat membantu KPK dan penegak hukum lainnya menjerat pelaku korupsi, sekaligus merampas dana haram yang beredar. Atas dasar inilah, KPK disarankan menempatkan UU TPPU sebagai regulasi yang sama pentingnya dengan UU Tipikor. Lihat “Gunakan UU TPPU, KPK Bisa Telusuri Aliran Uang Koruptor”, http://www. tribunnews.com, diakses 10 Juni 2011.

13 Menurut Blacks Law Dictionary, money laundering adalah “… term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transactions, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced”. Lihat Black's Law Dictionary, 6th ed, (West Publishing, 1990). Bandingkan dengan Sarah N. Welling yang mengatakan bahwa money laundering adalah “…… the process of concealing the existence, illegal source, or illegal application of income, and the subsequent disguising of the source of that income to make it appear legitimate”. Sarah N. Welling, Comment, Smurfs, Money Laundering and the Federal Criminal Law , 41 Fla. L. Rev. 287, 290 (1989). Lihat juga United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotic, Drugs and Psycotropic Substances of 1988 yang merumuskan money laundering adalah “… the convertion or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences”.

Page 5: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  5

Oleh karena kejahatan-kejahatan tersebut melibatkan jumlah uang yang sangat besar sehingga dapat merugikan negara serta berpengaruh buruk terhadap perekonomian nasional dan juga terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, maka kejahatan-kejahatan tersebut digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus segera dicegah dan diberantas.

Bagi para pelakunya, perbuatan melawan hukum (tindak pidana) yang telah mereka lakukan itu akan menjadi sia-sia kecuali apabila mereka dapat menyembunyikan atau menyamarkan hasilnya (harta kekayaan), atau dengan bantuan pihak lain dengan cara “mencucinya” melalui penyedia jasa keuangan (bank atau non bank) atau menggunakan sarana lainnya, sehingga uang hasil tindak pidana (harta kekayaan) yang telah berhasil dicuci itu nantinya menjadi kelihatan seolah-olah bersumber dari suatu kegiatan usaha yang sah.15 Dengan kata lain, mereka melakukan praktik pencucian uang (money laundering) untuk menjauhkan diri mereka (sebagai pelaku kejahatan) dari tindak kejahatan yang dilakukan dan hasil-hasil kejahatan (proceeds of crime) yang mereka peroleh, sehingga penegak hukum sulit membuktikan adanya hubungan yang sangat erat antara hasil-hasil kejahatan dengan perbuatan pidana dan pelakunya.

Perlu dicatat bahwa hasil-hasil kejahatan merupakan “lifeblood of the crime”. Artinya, hasil-hasil kejahatan itu merupakan “aliran darah” yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri, yang sekaligus merupakan titik terlemah dari mata rantai kejahatan sehingga mudah dideteksi. Upaya memotong mata rantai kejahatan ini, yaitu dengan cara menyita dan merampas hasil-hasil kejahatan tersebut, selain relatif mudah dilakukan juga akan dapat menghilangkan motivasi pelakunya untuk melakukan kembali kejahatan karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil-hasil kejahatannya akan terhalangi atau sulit mereka lakukan.16

Sehubungan dengan itu, rezim anti pencucian uang menggunakan paradigma baru17 untuk melacak hasil-hasil kejahatan, perbuatan pidana, dan pelakunya dengan pendekatan follow the money (“mengikuti aliran uang”).18 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)19 sebagai

                                                                                                                                                                                   14 Dalam tulisan ini, pengertian ”perbuatan melawan hukum” bukan hanya berarti pelanggaran pasal-pasal yang tertulis dalam

Undang-Undang, tetapi juga meliputi perbuatan: (1) yang melanggar hak orang lain yang dijamin hukum; (2) yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; (3) yang bertentangan dengan kesusilaan; dan (4) yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain; sebagaimana telah diterimanya penafsiran luas tentang pengertian “perbuatan melawan hukum” oleh Arrest Hoge Raad (Mahkamah Agung) negeri Belanda terhadap kasus Lindenbaum vs. Cohen pada tanggal 31 Januari 1919.

15 Peter Lilley, Dirty Dealing: The Untold Truth about Global Money Laundering, International Crime and Terrorism, edisi kedua, (London and Sterling, VA: Kogan Page Limited, 2003), hal. 1.

16 Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, (Bandung: Books Terrace & Library, 2007), hal. 289. 17 Istilah “paradigma” menunjuk kepada asumsi-asumsi intelektual yang paling dasar yang dibuat oleh para ilmuwan mengenai

suatu pokok permasalahan, dalam satu analisis yang hidup dan sangat berpengaruh dalam hal revolusi-revolusi yang terjadi dalam ilmu pengetahuan. Suatu paradigma terdiri dari pandangan hidup (world view atau Weltanschauung) yang dimiliki oleh para ilmuwan dalam suatu disiplin ilmu. Dalam ilmu pengetahuan yang didominasi oleh satu paradigma saja, maka asumsi-asumsi pokok tentang pendangan hidup bersama cenderung merupakan asumsi-asumsi yang bersifat implisit dan tidak dinyatakan. Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 53-54.

18 Menurut Yunus Husein ada 5 (lima) keunggulan pendekatan follow the money, yaitu: (1) jangkauannya lebih jauh hingga kepada aktor intelektualnya, sehingga dirasakan lebih adil; (2) memiliki prioritas untuk mengejar hasil kejahatan, bukan pelakunya sehingga dapat dilakukan dengan “diam-diam”, lebih mudah, dan risiko lebih kecil karena tidak berhadapan langsung dengan pelakunya yang kerap memiliki potensi melakukan perlawanan; (3) hasil kejahatan dibawa ke depan proses hukum dan disita untuk negara karena pelakunya tidak berhak menikmati harta kekayaan yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak sah, maka dengan disitanya hasil tindak pidana akan membuat motivasi orang melakukan tindak pidana menjadi berkurang; (4) adanya pengecualian ketentuan rahasia bank dan/atau kerahasiaan lainnya sejak pelaporan transaksi keuangan oleh pihak pelapor sampai kepada pemeriksaan selanjutnya oleh penegak hukum; dan (5) harta kekayaan atau uang merupakan tulang punggung organisasi kejahatan, maka dengan mengejar dan menyita harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan akan memperlemah mereka sehingga tidak membahayakan kepentingan umum. Lihat Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, (Jakarta: Pustaka Juanda Tiga Lima, 2008), hal. 66-67.

19 PPATK sebagai FIU Indonesia mempunyai tugas pokok untuk mencegah dan memerantas tindak pidana pencucian uang. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, PPATK mempunyai 4 (empat) fungsi: (1) pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; (2) pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK. (3) pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan (4) analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK berwenang: a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu; b. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan; c. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait; d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang; e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; f. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan

Page 6: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  6

lembaga sentral dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia, yang berfungsi sebagai financial intelligence unit (FIU) melakukan analisis dan/atau pemeriksaan terhadap transaksi keuangan mencurigakan (TKM) dan transaksi keuangan tunai (TKT) yang dilaporkan oleh Pihak Pelapor20, serta pembawan uang tunai dan instrumen pembayaran lainnya ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada PPATK.

1. Rumusan Tindak Pidana Pencucian Uang

Cakupan pengaturan sanksi pidana dalam UU TPPU meliputi TPPU yang dilakukan oleh orang perseorangan, tindak pidana pencucian uang bagi korporasi, dan tindak pidana yang terkait dengan TPPU. Secara umum, rumusan TPPU cukup banyak unsurnya, namun pada dasarnya apabila dikelompokkan atau diidentifikasi, unsur-unsur tersebut tidak ada bedanya dengan tindak pidana pada umumnya, seperti unsur subyektif dan unsur obyektif, maupun actus reus dan mens rea-nya. Untuk memudahkan pemahaman rumusan TPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 3, 4, dan 5, TPPU dikelompokkan dalam 2 (dua) klasifikasi, yaitu TPPU aktif dan TPPU pasif. Pengelompokan ke dalam dua klasifikasi ini bukan dimaknai, bahwa apabila aktif berarti melakukan perbuatan yang dilarang (commission), sedangkan pasif berarti tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan (ommission).

TPPU aktif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 dan 4 UU TPPU, lebih menekankan pada pengenaan sanksi pidana bagi: (a) pelaku pencucian uang sekaligus pelaku tindak pidana asal; dan (b) pelaku pencucian uang, yang mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil tindak pidana. Sedangkan TPPU pasif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 UU TPPU lebih menekankan pada pengenaan sanksi pidana bagi: (a) pelaku yang menikmati manfaat dari hasil kejahatan; dan pelaku yang berpartisipasi menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan. Oleh karena itu, aparat penegak hukum dalam penerapannya haruslah dilakukan secara selektif dan didasarkan pada fakta sejauh mana seseorang yang melakukan perbuatan atas Harta Kekayaan dapat mengetahui atau patut menduga dari mana Harta Kekayaan dimaksud berasal, juga peran dan opzet (kesengajaan) yang bersangkutan untuk mengambil manfaat atau keuntungan dari kegiatan pencucian uang.

Berkenaan dengan TPPU yang dilakukan Korporasi, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: (a) persyaratan untuk dapat tidaknya suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai TPPU yang dilakukan oleh korporasi haruslah dipenuhi ketentuan Pasal 6 butir a sampai dengan d secara kumulatif; dan (b) perbuatan tersebut sesungguhnya dilakukan oleh manusia baik sendiri maupun kelompok sebagai subjek hukum yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi. Namun dalam praktek hal itu tidaklah mudah dilakukan karena persyaratan yang sifatnya harus kumulatif dan juga biasanya motivasi dilakukan kejahatan TPPU tersebut tidak pernah lepas dari pertimbangan kepentingan atau keuntungan pribadi-pribadi sang pelaku. Namun demikian dimungkinkan terjadi tindak pidana tersebut dimotivasi oleh kepentingan pribadi yang mengatasnamakan Korporasi. Jika hal ini yang terjadi, maka dakwaan penuntut umum haruslah menyebutkan secara tegas dan jelas dalam kedudukan apa yang bersangkutan didakwa, rumusan yang disampaikan (jika perbuatan dimotivasi oleh kedua kepentingan tersebut) bahwa ia “terdakwa”, baik dalam kedudukannya sebagai pengendali Korporasi, atau sebagai pribadi. Dimungkinkan juga bentuk dakwaannya dibuat terpisah, misalnya:

                                                                                                                                                                                   antipencucian uang; dan g. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang (Lihat Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 UU TPPU).

20 Pasal 17 ayat (1) UU TPPU menetapkan, bahwa Pihak Pelapor meliputi: [a] penyedia jasa keuangan (bank; perusahaan pembiayaan; perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi; dana pensiun lembaga keuangan; perusahaan efek; manajer investasi; kustodian; wali amanat; perposan sebagai penyedia jasa giro; pedagang valuta asing; penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu; penyelenggara e-money dan.atau e-wallet; koperasi yang melakukan kegiatan simpan-pinjam; pegadaian; perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang); dan [b] penyedia barang dan/atau jasa lainnya (perusahaan properti/agen properti; pedagang kendaraan bermotor; pedagang permata dan perhiasan/logam mulia; pedagang barang seni dan antik; atau balai lelang).

Page 7: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  7

~ Dakwaan ke-satu, bahwa ia selaku pengendali Korporasi. Dalam hal ini si pelaku dalam melakukan perbuatannya mengatasnamakan Korporasi atau selaku pengendali Korporasi dan untuk kepentingan Korporasi.

~ Dakwaan ke-dua, bahwa ia terdakwa, selaku pribadi. Dalam hal si pelaku dalam melakukan perbuatannya sebagai pribadi atau atas nama Korporasi, tapi untuk kepentingan pribadi, artinya pada kenyataannya kepentingan Korporasi tidak ada, tapi hanya dijadikan alat untuk mempermudah pelaksanaan perbuatan jahatnya tersebut.

UU TPPU juga mengatur masalah percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat untuk melakukan TPPU yang dianggap sebagai delik telah selesai dan dihukum sama dengan delik selesai. Pasal 10 mengatur bahwa setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan TPPU dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 10 tersebut, pengaturan ini dimaksudkan untuk mengedepankan sifat perbuatannya yang diperberat, atau ancaman pidananya disamakan dengan perbuatan sempurna (selesai). Sedangkan pengertian percobaan mengacu kepada Pasal 53 KUHP, demikian pula dengan perbuatan pembantuan yang menginduk kepada Pasal 56 KUHP. Khusus untuk permufakatan jahat, yang menurut Pasal 103 KUHP hanya diperuntukkan kepada pasal pokok yang diatur dalam KUHP, maka dibuat pengertian sendiri oleh UU TPPU, namun maknanya tetap sama, yaitu dianggap delik selesai dan dengan ancaman yang disamakan.

Percobaan melakukan kejahatan (Pasal 53 KUHP), mengandung arti bahwa niat si pelaku untuk melakukan kejahatan itu sudah ada bahkan terlihat dari permulaan pelaksanaan perbuatan, namun perbuatan itu tidak jadi selesai/tuntas bukan karena kemauan pelaku tersebut, misalnya, seseorang sudah membuka paksa pintu mobil untuk mencuri sesuatu dari dalam mobil tersebut namun sebelum perbuatannya mengambil sesuatu dari mobil tersebut terlaksana pelaku tertangkap oleh Petugas Keamanan. Di sini terlihat bahwa pencurian tersebut belum terjadi, namun permulaan perbuatan (membuka paksa pintu mobil) sudah dilakukan oleh sang pelaku, tidak selesainya pencurian dimaksud karena perbuatan tersebut diketahui dan sang pelaku ditangkap oleh petugas keamanan ketika sedang membongkar pintu mobil. Jadi tidak selesainya pencurian tersebut bukan karena kemauan si pencuri.

Dalam TPPU, misalnya si pelaku sudah mencoba melakukan hal-hal yang telah dirumuskan dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU TPPU di atas dan perbuatan tersebut tidak selesai dilakukan bukan karena kehendak sang pelaku sendiri maka ia dapat dikenakan pidana sama dengan pelaku TPPU yang selesai. misalnya seorang koruptor yang membawa hasil korupsinya ke bank untuk disimpan, tapi dalam proses penempatan tersebut, pihak bank menghubungi PPATK dan petugas kepolisian, selanjutnya petugas menangkap pelaku dan menyita uang yang akan disetorkan ke bank tersebut. Di sini penyetoran (pencucian uang) belum sempurna (belum selesai), tetapi pelaku dihentikan oleh petugas (bukan atas kehendak pelaku).

Di dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP disebutkan maksimum hukuman bagi pelaku percobaan adalah maksimum hukumannya dikurangkan sepertiganya. Jika kejahatannya diancam dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup, maka bagi pelaku percobaan dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun. Ketentuan demikian tidak berlaku bagi percobaan melakukan TPPU mengingat dalam Pasal 10 UU TPPU disebutkan sanksi bagi pelaku yang melakukan percobaan TPPU dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5.

Delik pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP, dimana dikualifikasikan sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan adalah setiap orang yang dengan sengaja: membantu melakukan kejahatan dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu, dan bantuan itu dapat diberikan pada saat (waktu) atau sebelum kejahatan itu dilakukan. Sanksi bagi pelaku pembantuan ini dikenakan hukuman yang sama dengan pelaku TPPU, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU TPPU.

Page 8: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  8

Permufakatan Jahat menurut UU TPPU adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan TPPU. Permufakatan jahat untuk melakukan TPPU, haruslah sudah dalam bentuk rencana yang telah disepakati dan siap untuk dilaksanakan, namun hal penting yang harus dipahami bahwa permufakatan jahat yang dimaksud disini bukan seperti halnya menghakimi pikiran orang seperti yang terjadi pada era berlakunya Undang-Undang subversif. Permufakatan jahat untuk melakukan TPPU (Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5) dipidana sama dengan delik selesai.

Dalam Pasal 2 KUHP, ketentuan pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana dalam wilayah RI. Jadi, ketentuan pidana Indonesia itu berlaku bagi semua penduduk Indonesia baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) yang berdomisili di Indonesia. Sedangkan berdasarkan Pasal 10 UU TPPU, cakupannya diperluas dengan menjangkau setiap orang (orang perseorangan maupun korporasi) yang berada di luar wilayah Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan untuk terjadinya TPPU, dapat dikenakan pidana sebagaimana dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnuya, bahwa paradigma yang dikedepankan dan dikembangkan dalam mengungkap kejahatan TPPU khususnya, adalah paradigma baru dengan menggunakan metode follow the money. Metode ini menuntut para praktisi untuk mempertimbangkan reputasi/bisnis para stake holder terkait, seperti industri perbankan dan pasar modal, agar reputasi mereka tidak terganggu oleh aktifitas para praktisi hukum dalam melakukan penyidikan dan penuntutan TPPU. Reputasi/nama baik bagi bisnis di bidang perbankan merupakan hal yang sangat penting dan sensitif. Kita seringkali mendengar ada suatu bank yag dananya ditarik oleh para nasabahnya hanya disebabkan adanya isu berkenaan dengan reputasi dari bank dimaksud. Oleh karena bisnis perbankan sesungguhnya berorientasi pada menjaga kepercayaan para nasabahnya melalui reputasi yang mereka miliki, maka UU TPPU memberikan rambu-rambu dan ketentuan yang mengatur tentang tata cara berikut sanksi dalam penanganan perkara TPPU, khusunya terkait dengan ketentuan anti-tipping off dan rahasia jabatan yaitu :

a. Pasal 11 mengatur bahwa pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut UU TPPU wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut UU TPPU.

Aturan ini mengedepankan sifat kerahasiaan dokumen yang diperoleh, misalnya terkait dengan informasi Transaksi Keuangan Mencurigakan (STR). Artinya dokumen tersebut hanya dimanfaatkan untuk pelaksanaan penyelidikan atau penyidikan perkara. Aparat penegak hukum tidak dapat menjadikan dokumen dimaksud sebagai alat bukti, jika informasi yang terdapat dalam dokumen tersebut dianggap penting, maka penyidik harus dapat mengungkapnya melalui alat bukti lain, misalnya di dalam dokumen tersebut terdapat informasi tentang mutasi transaksi atas nama tersangka atau terlapor, maka penyidik dapat mengungkap informasi tersebut melalui pihak penerima. Atau bisa juga penyidik tersebut meminta kepada si tersangka untuk menyerahkan rekening korannya guna dicocokkan dengan dokumen dimaksud.

b. Pasal 12 ayat (1) mengatur bahwa direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.

Pasal 12 ayat (3) mengatur bahwa Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna Jasa atau pihak lain.

Ketentuan Pasal 12 ini dimaksudkan agar Pengguna Jasa atau pihak lain yang terkait dengannya tidak menarik atau memindahkan uang miliknya yang sedang atau telah

Page 9: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  9

dilaporkan tersebut. Rumusan Pasal ini menjadi sangat penting jika dilihat dari kepentingan asset recovery.

Seandainya ada pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP) yang melanggar ketentuan ini, maka tanggung jawabnya ada pada pegawai tersebut. Namun jika pegawai tersebut melakukan itu karena mendapat perintah dari atasannya, maka keduanya dapat dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal ini, kecuali jika perintah dimaksud memenuhi ketentuan Pasal 51 KUHP (alasan pembenar karena perintah atasan yang sah).

Manfaat lain dari ketentuan Pasal 12 ini adalah dimaksudkan untuk memberikan pelindungan baik menyangkut reputasi ataupun personil dari industri/pihak pelapor.

c. TPPU telah dikualifikasikan sebagai salah satu tindak pidana extra ordinary crime. Dengan karakteristik seperti itu, dituntut keseriusan, profesionalisme dan integritas dari setiap pihak yang melakukan tugas pencegahan dan pemberantasan TPPU. Sesuai dengan Pasal 39 UU TPPU, PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas TPPU. Untuk mengemban tugas tersebut, Pasal 37 UU TPPU secara tegas menyebutkan bahwa PPATK bersifat independen dan bebas dari campur tangan serta pengaruh manapun. Untuk itu UU TPPU mengatur dan memberikan sanksi kepada siapapun yang mempengaruhi/mengganggu PPATK dalam pelaksanaan tugas pencegahan dan pemberantasan TPPU dimaksud. Ketentuan lebih lanjut tentang sanksi bagi siapapun yang mengganggu independensi PPATK dapat dilihat dalam pasal-pasal berikut ini :

1) Pasal 14, Setiap Orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal ini bertujuan untuk memastikan independensi PPATK sebagai lembaga Negara yang mandiri, sehingga bagi mereka yang berani tidak menghormatinya diancam dengan pidana.

2) Pasal 15, Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal ini lebih dikhususkan kepada pegawai PPATK yang harus memegang teguh komitmennya dengan ancaman pidana dan denda.

Sumber informasi merupakan hal yang sangat penting dalam pengungkapan suatu kasus, apalagi jika kasus tersebut melibatkan pelaku tindak pidana dengan modus yang canggih dan kegiatannya terorganisir. UU TPPU menyadari pentingnya memberikan jaminan perlindungan kepada sumber informasi yang mendukung bahkan menjadi kausa prima untuk membongkar kejahatan TPPU. UU TPPU memberikan perlindungan kepada 3 (tiga) pihak yang menurut sifatnya memang harus diberikan perlindungan, yaitu pelindungan terhadap pihak pelapor, pelapor dan saksi.

Adapun rinciannya dapat dilihat dari rumusan pasal-pasal berikut ini :

a) Pasal 16, dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang yang sedang diperiksa, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal ini menunjukkan bahwa masalah perlindungan Pihak Pelapor dan pelapor sangat penting, sehingga perlu aturan yang memastikan adanya perlindungan terhadap Pihak Pelapor dan pelapor, karena diharapkan adanya keberanian dari

Page 10: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  10

mereka untuk membantu mengungkapkan jaringan tindak pidana Pencucian Uang.

b) Pasal 83, Pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan pelapor. Selanjutnya diatur bahwa dalam hal terjadi pelanggaran, memberikan hak kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan.

c) Pasal 85, di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor. Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut mengenai larangan menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.

2. Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang

Para pelaku TPPU biasanya melakukan tiga tahapan kegiatan pokok yaitu placement, layering,21 integration yang bertujuan untuk menciptakan disassociation (memutus atau menjauhkan) tiga elemen penting mata rantai kejahatan, yaitu uang atau hasil kejahatan, perbuatan pidana, dan pelakunya. Sebaliknya, mekanisme anti pencucian uang dikembangkan untuk menciptakan “association” (mendekatkan atau mengaitkan) antara uang atau harta kekayaan dengan kejahatan yang menghasilkannya yang pada akhirnya akan mengarahkan dan menuntun aparat penegak hukum kepada si pelaku pidana.

Pencegahan dan pemberantasan TPPU tidak cukup kalau hanya mengandalkan aparat penegak hukum saja. Sebab pelaku pencucian uang seringkali melakukan aksinya dengan cara-cara yang rumit, kompleks dan canggih dengan serangkaian transaksi yang dilakukan di industri keuangan atau lembaga-lembaga yang terkait dengan keuangan, bahkan melewati batas-batas negara secara mudah dan cepat, sehingga aparat penegak hukum mengalami kesulitan untuk mengungkap pelaku dan hasil-hasil kejahatannya. Untuk itu, perlu adanya peran serta lembaga di luar penegak hukum, termasuk lembaga privat (khususnya lembaga keuangan dan lembaga yang terkait dengan keuangan) dalam membantu penegakan hukum, yang dilindungi oleh ketentuan perundang-undangan. Sebaliknya, untuk bekerjanya sistem penegakan hukum anti pencucian uang secara efektif, menuntut adanya profesionalisme aparat penegak hukum dengan melengkapi dirinya dengan berbagai pengetahuan yang cukup khususnya tentang seluk-beluk operasi industri keuangan.

Dengan mendasarkan pada laporan dan/atau informasi dari Pihak Pelapor, instansi, atau pihak terkait lainnya, PPATK melakukan analisis atau Pemeriksaan dan meneruskan hasil analisis atau Pemeriksaan dimaksud kepada penyidik, dalam hal ditemukan adanya indikasi TPPU (money laundering) atau tindak pidana lain. UU TPPU mengatur bahwa laporan Hasil Pemeriksaan PPATK diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia, yang tembusannya disampaikan kepada penyidik lain sesuai kewenangannya.

Penyidikan TPPU dapat dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU TPPU. Adapun yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh Undang-Undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian

                                                             21 Layering (pelapisan) adalah salah satu tahapan dalam proses pencucian uang. Tahapan lainnya adalah placement (penempatan)

dan integration (penggabungan). Keterangan yang lebih rinci mengenai ketiga tahapan ini dalam proses pencucian uang, lihat Paul Allan Scott, Reference Guide to Anti-Money Laundering and Combat the Financing of Terrorism, (Washington: The World Bank, 2003), hal. 8-9; dan UNODC, “Global Programme Against Money Laundering”. http://www.unodc.org/unodc/en/money-laundering/index.html?ref =menuside.

Page 11: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  11

Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai - Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Dalam penanganan TPPU, yang selalu menjadi pertanyaan banyak pihak adalah: apakah kejahatan asal (predicate crime) wajib dibuktikan terlebih dahulu sebelum dapat dilakukannya penyidikan TPPU ? Dalam hal ini perlu dipahami bahwa TPPU (money laundering) merupakan independent crime, artinya kejahatan yang berdiri sendiri. TPPU memang merupakan kejahatan yang lahir dari kejahatan asalnya, misalnya korupsi, namun rezim anti pencucian uang (AML Regime) di hampir seluruh negara menempatkan TPPU sebagai suatu kejahatan yang tidak tergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukannya proses penyidikan TPPU.

Pertanyaan lain yang sering muncul dalam konteks yang sama, yaitu: bagaimana apabila kejahatan asalnya tidak terbukti. Apakah hal itu akan mempengaruhi proses hukum TPPU? Untuk hal ini, kembali kepada pemahaman bahwa TPPU merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Tindak pidana yang berdiri sendiri ini tidak bersifat absolut, artinya kemandiriannya dapat dilaksanakan pada proses awal penanganan perkara TPPU. Begitu sudah sampai pada pembuktian di sidang pengadilan, maka seluruh unsur TPPU harus dibutikan. Salah satu unsur tersebut adalah “diketahui atau patut diduga bahwa Harta Kekayaan berasal dari hasil tindak pidana”. Begitu unsur ini tidak terbukti, atau tindak pidana asalnya tidak terbukti, tidaklah serta merta pembuktian TPPU tidak terbukti. Masih ada hal yang harus diperhatikan bahwa terdapat kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya berasal dari kegiatan yang sah. Dalam hal terdakwa tidak mampu membuktikan unsur ini, maka tetap saja, unsur “diketahui atau patut diduga bahwa Harta Kekayaan berasal dari hasil tindak pidana”, seharusnya dinyatakan tetap terbukti. Meskipun tindak pidana asal (predicate crime) dari TPPU tidak terbukti, tetapi bukan dengan serta merta maka TPPU turut tidak terbukti. Dengan kata lain, tidak terbuktinya tindak pidana asal tidak akan menghalangi proses hukum atas TPPU.22

Berikut ini diuraikan secara ringkas tentang berbagai hal penting yang erat kaitannya dengan penegakan hukum anti pencucian uang.

a. Alat Bukti Pemeriksaan TPPU

Mengenai hukum pembuktian berkenaan dengan penanganan kejahatan pencucian uang, UU TPPU mengatur jenis dan kekuatan alat bukti lebih luas daripada rumusan yang terdapat dalam KUHAP. Dalam UU TPPU disamping alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, juga ditambah dengan alat bukti lain sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 73 UU TPPU, bahwa alat bukti yang sah dalam pembuktian TPPU ialah:

1) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana meliputi: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; dan (e) keterangan terdakwa.

2) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen. Pasal 1 Angka 16 UU TPPU, menetapkan bahwa Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di

                                                             22 Banyak ahli pidana, seperti Prof. Barda Nawawi Arief dan Prof. Mardjono Reksodiputro (2003) mencontohkan Pasal 480

KUHP tentang pidana penadahan sebagai analogi dari TPPU. Dalam hal tindak pidana penadahan terjadi maka proses hukum atas tindak pidana penadahan tidak perlu menunggu putusan hukum yang berkekuatan tetap (inkracht) dari perkara pencuriannya. Namun hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya identik dengan ketentuan Pasal 69 UU TPPU yang menegaskan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Dalam hal ini, tindak pidana penadahan benar-benar merupakan delik pidana tersendiri, sedangkan TPPU masih tetap mempertimbangkan tindak pidana asalnya, hanya saja prosesnya bisa dilaksanakan tanpa menunggu adanya leih dahulu putusan atas tindak pidana asal.

Page 12: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  12

atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (a) tulisan, suara, atau gambar; (b) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan (c) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Perluasan alat bukti tersebut sejalan dengan tuntutan perkembangan teknologi informasi dan kompleksitas transaksi keuangan yang tidak seluruhnya berupa bukti dalam bentuk kertas namun sudah sampai pada digital.

b. Penyidikan

UU TPPU mengatur hal-hal terkait dengan penyidikan sebagai berikut :

1) Dalam hal ditemukan adanya indikasi TPPU atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil Pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan (Pasal 64 UU TPPU). Laporan Hasil Pemeriksaan PPATK diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia dan tembusannya disampaikan kepada penyidik lain sesuai kewenangannya berdasarkan UU TPPU.

Bahwa, walaupun fisiknya bersifat tembusan, namun Laporan Hasil Analisis (LHA) atau Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diserahkan kepada penyidik tindak pidana asal yaitu KPK, BNN, Ditjen Pajak, dan Ditjen Bea dan Cukai tetap mempunyai fungsi dan kekuatan hukum yang sama dengan LHA atau LHP yang dikirimkan kepada penyidik Kepolisian dan Kejaksaan.

2) Ditegaskan kembali dalam Pasal 74 UU TPPU, bahwa penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU TPPU. Adapun yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” menurut penjelasan Pasal tersebut adalah pejabat dari instansi yang oleh Undang-Undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

3) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap TPPU dan tindak pidana asalnya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam UU TPPU (Pasal 68 UU TPPU).

Terhadap ketentuan ini menunjukkan bahwa di samping UU TPPU, yang menjadi acuan dalam penanganan TPPU baik dari aspek hukum materiil dan hukum acaranya tersebar dalam berbagai peraturan perundan-undangan. Khusus untuk hukum acara TPPU, beberapa perundangan yang akan menjadi acuan antara lain adalah: KUHAP untuk seluruh penyidik, kecuali dikesampingkan atau ditentukan lain oleh Undang-Undang organik instansi penyidik tersebut. Dengan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut, tentu akan memberikan kemudahan bagi pelaksananya untuk melakukan proses penegakan hukum. Sebaliknya, dalam hal berbagai pihak memiliki persepsi sendiri, tidak mengedepankan cara pikir dan pandang untuk menyelesaikan permasalahan dan meninggikan ego sektoral, serta mengesampingkan koordinasi, maka hal demikian akan menjadi memicu munculnya permasalahan tersendiri dalam pelaksanaannya.

Rumusan di atas dapat diartikan bahwa seluruh penyidik berwenang untuk melakukan penyidikan TPPU sepanjang penyidik tersebut mempunyai kewenangan menyidik tindak

Page 13: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  13

pidana asalnya. Namun agar pelaksanaan UU TPPU lebih efektif dan sejalan dengan sifat extraordinary crimes-nya, di dalam penjelasan Pasal 74 penyidik tersebut dibatasi hanya meliputi penyidik dari POLRI, penyidik dari Kejaksaan, penyidik dari KPK, penyidik dari Ditjen Pajak, penyidik Ditjen Bea dan Cukai serta penyidik Badan Narkotika Nasional. Keenam penyidik tersebut dianggap telah mewakili penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU TPPU. Mengingat kewenangan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sebagai penyidik tindak pidana asal secara faktual berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI, maka kewenangan mereka dengan sendirinya sudah terserap dalam kewenangan penyidik POLRI. Dengan demikian, jika PPNS ingin menggunakan upaya paksa, misalnya penahanan (yang tidak diatur dalam Undang-Undang organik mereka), maka kewenangan melakukan penanganan tersebut harus dimintakan oleh PPNS kepada Koordinator Pengawas (penyidik Polri). Dalam hal ini perlu dibangun hubungan yang bersifat koordinatif antara PPNS dan Polri. Selanjutnya, agar fungsi itu bisa berjalan lebih efektif, perlu pula peran serta PPATK untuk memberikan asistensi terhadap penanganan TPPU oleh PPNS guna menghindari terjadinya kegagalan dalam penyidikan yang dilakukan oleh PPNS.

Dalam melaksanakan penyidikan TPPU dan tindak pidana lain yang bersumber dari Hasil Pemeriksaan PPATK, penyidik melakukan koordinasi dengan PPATK. Dalam ketentuan ini, koordinasi juga dilakukan diantara penyidik tindak pidana asal yang memperoleh Hasil Pemeriksaan PPATK. Penyidik yang menerima Hasil Pemeriksaan tersebut dapat melakukan proses Penyelidikan terlebih dahulu untuk memastikan adanya dugaan TPPU, sebelum meningkatkan ke proses Penyidikan.

Satu hal yang perlu menjadi perhatian dan kesepakatan para penegak hukum, bahwa dalam Pasal 74 ini diatur tentang multi investigator, walaupun sifatnya limitatif. Konsekuensi dari pengaturan ini adalah, jika terdapat penyidik tindak pidana asal yang tidak secara baik dan benar dalam menangani kasus atau suatu perkara, contoh TPPU yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi, maka PPATK dapat menyerahkan penanganan kasus tersebut kepada penyidik tindak pidana asal lainnya yang kompeten.

Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan TPPU apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya (Pasal 75 UU TPPU). Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan TPPU dan memberitahukannya kepada PPATK.

c. Penundaan Transaksi oleh PJK atas Perintah Penegak Hukum

Salah satu tujuan diundangkannya UU TPPU antara lain untuk mengejar Harta Kekayaan yang berasal dari kejahatan agara tidak dapat dinikmati dan/atau dimanfaatkan oleh pelaku TPPU. Untuk itu dalam UU TPPU diatur kewenangan khusus kepada penyidik, penuntut umum dan hakim untuk memerintahkan Pihak Pelapor melakukan penundaan Transaksi terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Perintah penundaan Transaksi ini merupakan bagian dari tahapan pencegahan secara dini terhadap pemanfaatan Harta Kekayaan dari hasil-hasil kejahatan.

Adapun ketentuan yang mengatur tentang penundaan Transaksi tersebut sebagai berikut:

1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang:

(a) memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan penundaan Transaksi terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana (Pasal 70 UU TPPU).

Page 14: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  14

(b) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim tersebut harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:

~ nama dan jabatan yang meminta penundaan Transaksi;

~ identitas setiap orang yang Transaksinya akan dilakukan penundaan;

~ alasan penundaan Transaksi; dan

~ tempat Harta Kekayaan berada.

Penundaan Transaksi ini dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja.

2) Pihak Pelapor wajib:

(a) melaksanakan penundaan Transaksi sesaat setelah surat perintah/permintaan penundaan Transaksi diterima dari penyidik, penuntut umum, atau hakim;

(b) menyerahkan berita acara pelaksanaan penundaan Transaksi kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang meminta penundaan Transaksi paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan penundaan Transaksi.

Batasan waktu 5 (lima) hari kerja di atas terutama dimaksudkan untuk meminimalisir risiko kerugian dari pihak ketiga yang beriktikad baik. Di sisi lain, penundaan Transaksi bagi penyidik, penuntut umum atau hakim lebih dimaksudkan untuk pengamanan, yaitu terutama adanya itikad tidak baik dari tersangka atau terdakwa untuk mengalihkan atau mengaburkan barang bukti. Jika ternyata Harta Kekayaan tersebut bukan berasal dari kejahatan, maka segera dicabut penundaannya sedangkan jika ternyata Harta Kekayaan terebut berasal dari kejahatan maka penyidik, penuntut umum atau hakim dapat melakukan penyelamatan terhadap Harta Kekayaan dimaksud melalui tindakan pemblokiran atau penyitaan untuk selanjutnya dilakukan perampasan berdasarkan putusan pengadilan.

Kewenangan penundaan Transaksi ini, berbeda dengan kewenangan PPATK dalam menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf i UU TPPU. Penghentian sementara Transaksi sebagian atau seluruhnya dilaksanakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja dan dapat diperpanjang paling lama 15 (lima belas) hari kerja dalam rangka melengkapi hasil analisis atau pemeriksaan terhadap Transaksi yang dimintakan penghentian sementara.

Disamping itu, kewenangan penundaan Transaksi ini ada persamaan dan perbedaannya dengan kewenangan PJK dalam menunda Transaksi secara langsung tanpa adanya permintaan dari penyidik, penuntut umum atau hakim. Persamaannya adalah dimaksudkan untuk penyelamatan Harta Kekayaan agar tidak dapat dinikmati oleh pelaku pidana. Sedangkan perbedaaannya adalah dalam penundaan Transaksi oleh PJK secara mandiri, lebih bersifat tindakan administratif, sedangkan kewenangan penundaan transaksi oleh penegak hukum dilakukan dalam lingkup pidana.

d. Pemblokiran

Ketentuan pemblokiran diatur dalam Pasal 71 UU TPPU, sebagai berikut:

1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan pemblokiran Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari: (a) setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik; (b) tersangka; atau (c) terdakwa.

Page 15: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  15

2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai: (a) nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; (b) identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa; (c) alasan pemblokiran; (d) tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan (e) tempat Harta Kekayaan berada.

3) Pemblokiran dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

4) Dalam hal jangka waktu pemblokiran berakhir, Pihak Pelapor wajib mengakhiri pemblokiran demi hukum.

5) Pihak Pelapor wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima dari penyidik, penuntut umum, atau hakim.

6) Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang memerintahkan pemblokiran paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran.

7) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Pihak Pelapor yang bersangkutan.

Beberapa hal yang perlu dikemukakan terkait dengan ketentuan pemblokiran di atas adalah:

1) Pengaturan mengenai kewenangan pemblokiran ini cukup penting terutama dalam upaya untuk mengoptimalkan pengamanan/penyelamatan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

2) Secara tegas dinyatakan bahwa yang diblokir adalah Harta Kekayaan, bukan rekening. Dari ketentuan ini memberikan konsekuensi terkait dengan beberapa hal:

(a) Oleh karena yang diblokir bukanlah suatu rekening, melainkan Harta Kekayaan senilai atau sebesar yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka aktifitas rekening tidak terganggu, dengan ketentuan jumlah dana yang diblokir dalam rekening tersebut tidak boleh berkurang.

(b) Jumlah dana yang ada pada rekening untuk sementara diblokir seluruhnya dengan syarat Penyidik atau Penuntut Umum, atau Hakim dalam surat perintah pemblokiran dan Berita Acara Pemblokiran harus menyebutkan mengenai “kepastian jumlah Harta Kekayaan/uang yang seharusnya diblokir, masih dalam proses penyidikan dan hasilnya akan diberitahukan kemudian”.

(c) Nilai atau besarnya Harta Kekayaan yang diblokir adalah senilai atau sebesar Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Bunga atau penghasilan lain yang didapat dari dana/Harta Kekayaan yang diblokir dimasukkan dalam klausula Berita Acara Pemblokiran.

(d) Dalam hal dana dalam suatu rekening jumlahnya lebih kecil dari jumlah dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang ada dalam rekening dimaksud pada saat pemblokiran. Sebaliknya, apabila dana yang ada dalam rekening lebih besar dari nilai yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.

(e) Pembokiran selain rekening, dapat diberikan contoh, seperti :

~ pemblokiran terhadap barang tetap berupa tanah dan rumah milik seseorang dengan cara meminta kepada BPN agar didalam buku tanah

Page 16: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  16

yang ada di BPN nomor dan surat ukur sertipikat dimaksud diberi catatan berada dalam pemblokiran dan tidak boleh dipindahtangankan;

~ untuk Harta Kekayaan berwujud efek atau saham, maka yang diblokir bukanlah rekening efeknya melainkan sejumlah tertentu dari efeknya;

~ untuk kendaraan bermotor, yang diblokir adalah buku kepemilikannya.

Berkaitan dengan pemblokiran ini, patut menjadi referensi dalam pelaksanaannya adalah Surat Keputusan Bersama antara Jaksa Agung RI, Kapolri, dan Gubernur BI Tahun 2004 tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perbankan, yang isinya antara lain:

1) Dalam hal Penyidik menemukan adanya suatu rekening yang diduga terkait dengan tindak pidana di bidang perbankan, Penyidik menyampaikan surat permintaan pemblokiran rekening kepada bank dengan tembusan kepada Bank Indonesia;

2) Simpanan rekening nasabah yang diblokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan ditindaklanjuti dengan penyitaan oleh Penyidik, tetap berada dan ditatausahakan pada bank yang bersangkutan atas nama pemilik rekening;

e. Permintaan Keterangan

Ketentuan mengenai permintaan keterangan diatur dalam Pasal 71 UU TPPU, sebagai berikut :

1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana Pencucian Uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari: (a) orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik; (b) tersangka; atau (c) terdakwa.

2) Dalam meminta keterangan, bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lain.

3) Permintaan keterangan harus diajukan dengan menyebutkan secara jelas mengenai: (a) nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; (b) identitas orang yang terindikasi dari hasil analisis atau pemeriksaan PPATK, tersangka, atau terdakwa; (c) uraian singkat tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan (d) tempat Harta Kekayaan berada.

4) Permintaan keterangan tersebut harus disertai dengan: (a) laporan polisi dan surat perintah penyidikan; (b) surat penunjukan sebagai penuntut umum; atau (c) surat penetapan majelis hakim.

5) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan harus ditandatangani oleh: (a) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia; (b) pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; (c) Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum; atau (d) hakim ketua majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.

6) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan harus ditembuskan kepada PPATK.

Page 17: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  17

Dengan demikian pihak-pihak lain di luar empat kategori di atas tidak bisa meminta keterangan secara langsung kepada Pihak Pelapor khususnya bank, kecuali menggunakan mekanisme umum yaitu adanya permintaan tertulis dari pimpinan instansi kepada Gubernur Bank Indonesia untuk industri perbankan.

Jika dalam perkembangan penyidikan diketahui adanya pihak lain yang diduga terkait dengan aliran dana atau terkait dengan suatu tindak pidana, sedangkan orang tersebut tidak termasuk dalam tiga kategori di atas, maka hal-hal yang perlu dilakukan penyidik, antara lain:

1) Penyidik menginformasikan ke PPATK dan selanjutnya PPATK memberitahukan ke PJK untuk dilaporkan sebagai STR. STR ini selanjutnya dianalisis oleh PPATK dan hasil analisisnya disampaikan ke penyidik untuk ditindaklanjuti.

2) Penyidik menginformasikan ke PJK, dan oleh PJK dilaporkan ke PPATK sebagai STR. Kemudian STR dianalisis oleh PPATK dan hasilnya dilaporkan kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.

3) Penyidik meminta izin kepada Gubernur BI untuk membuka rahasia bank.

4) Permintaan informasi/keterangan harus dibuat dalam bentuk surat tertulis dengan persyaratan sesuai UU pencegahan dan pemberantasan TPPU.

Dalam penanganan TPPU, untuk mengurangi intensitas hubungan langsung penegak hukum ke Pihak Pelapor, sebisa mungkin hubungan langsung tersebut dilakukan sejak Pengguna Jasa yang bersangkutan telah dijadikan tersangka dalam kasus TPPU. Selama masih dalam penyelidikan, PPATK menjadi fasilitator antara Pihak Pelapor dengan penegak hukum.

t. Penyitaan

Undang-undang tidak mengatur secara khusus masalah penyitaan dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang. Ini berarti bahwa penyitaan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Namun demikian Undang-Undang memberikan kewenangan kepada hakim, yaitu apabila diperoleh bukti cukup selama pemeriksaan terdakwa di pengadilan, hakim dapat memerintahkan penyitaan aset yang diketahui atau sepatutnya dicurigai merupakan hasil kejahatan yang belum disita oleh penyidik atau jaksa penuntut umum yang bersangkutan (lihat Pasal 81).

Sebagai referensi perlu diperhatikan Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia No. KEP-126/JA/11/1997,No.KEP/10/XI/ 1997, No.30/KEP/GBI Tanggal 6 November 1997 tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana Di Bidang Perbankan, dimana dana yang disita tetap berada dalam rekening di bank yang bersangkutan (bank tempat dilakukannya pemblokiran) dengan status barang sitaan atas nama penyidik atau pejabat yang berwenang.

g. Penuntutan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 68, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaaan di persidangan dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sejalan dengan ketentuan tersebut dalam Pasal 76 UU ini diberikan limitasi waktu bagi penuntut umum untuk segera (paling lama 30 hari) wajib menyerahkan berkas perkara TPPU kepada pengadilan, sedangkan Ketua pengadilan dalam waktu 3 hari sejak diterimanya berkas perkara tersebut wajib membentuk majelis hakim perkara tersebut.

Page 18: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  18

Selanjutnya, mengenai penanganan perkara TPPU di tingkat penuntutan sampai dengan dilimpahkan ke pengadilan tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 137 s.d. 144 KUHAP.

Penuntut umum yang menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang dapat memilih beberapa alternatif bentuk surat dakwaan yang akan disusun, yaitu:

1. Predicate crime dan Pencucian Uang dibuat dalam bentuk kumulatif;

2. Predicate crime dan Pencucian Uang dakwaan dilakukan secara terpisah atau dibuat dakwaan tunggal.

Bentuk surat dakwaan disesuaikan dengan in casu perkara yang sedang dihadapi. Hasil matriks perkara biasanya sangat membantu penuntut umum dalam menentukan bentuk surat dakwaan apa yang sebaiknya dipilih untuk perkara yang ditangani.

Penting untuk dipahami, bahwa secara umum tindak pidana pencucian uang itu harus dipandang sebagai kejahatan yang berdiri sendiri (independent crime) yang dapat dibedakan dari predicate crime walaupun sangat berkaitan erat.

Berdasarkan SE Jampidum Nomor B-689/E/EJP/12/2004, perbuatan pencucian uang merupakan perbuatan yang terpisah, berdiri sendiri, dan tidak sejenis dengan tindak pidana pokoknya, misalnya tindak pidana penipuan. Oleh karena itu, dakwaan dibuat dalam bentuk kumulatif (Cumulative Ten laste Legging) dengan konsekuensi bahwa masing-masing dakwaan harus dibuktikan sedang yang tidak terbukti secara tegas harus dituntut bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Dan apabila semua dakwaan dianggap terbukti, maka tuntutan pidananya sejalan dengan ketentuan Pasal 65 dan 66 KUHP.

h. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Dalam menangani perkara TPPU di tingkat pemeriksaan di persidangan tunduk kepada ketentuan yang berlaku di dalam KUHAP, UU TPPU dan ketentuan lain yang tercantum dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU Tipikor untuk TPPU yang predicate crimes-nya dari Tindak pidana korupsi, dan keduanya disidangkan secara bersamaan, maka perkara TPPU tersebut masuk dalam yurisdiksi pengadilan tindak pidana korupsi.

Dalam Undang-Undang ini terdapat beberapa ketentuan baru atau ketentuan lain dari KUHAP, yaitu:

1) Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana (Pasal 77 UU TPPU).

2) Selanjutnya, dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana dengan dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup (Pasal 78 UU TPPU)

3) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.

4) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.

Page 19: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  19

5) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.

6) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.

7) Penetapan perampasan Harta Kekayaan yang disita tidak dapat dimohonkan upaya hukum.

8) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sita dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengumuman.

9) Dalam hal hakim memutus Harta Kekayaan disita, terdakwa dapat mengajukan banding dengan cara harus dilakukan langsung oleh terdakwa paling lama 7 (tujuh) hari setelah putusan diucapkan.

10) Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan Harta Kekayaan tersebut.

11) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi, panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

Berkenaan dengan pendakwaan dalam sidang pengadilan, terhadap dakwaan kumulatif tidak ada masalah, tetapi terhadap dakwaan alternatif (primer subsidier) akan muncul masalah karena pemberkasannya dibuat secara terpisah. Seringkali satu alat bukti digunakan terhadap dua kasus, misalnya Pencucian Uang dan kejahatan asalnya seperti korupsi. Dalam sistem common law, apabila proses pidana menyimpang dari due process of law (hukum acara) maka dengan sendirinya proses hukum menjadi gugur atau batal.

i. Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters -MLA)

Berdasarkan Pasal 91 UU TPPU, dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerja sama bantuan timbal balik dapat dilaksanakan jika negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas. Dalam hubungan ini, Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang yang merupakan payung dari MLA, yaitu Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana yang berlaku sejak 3 Maret 2006.

 

3. Pelindungan Saksi, Pelapor, dan Pihak Pelapor

UU TPPU tidak ada menjelaskan pengertian pelindungan. Pengertian perlindungan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), yaitu ”segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya”. Di samping itu, UU TPPU tidak pula secara tegas mendefinisikan pengertian saksi. Namun hal ini telah tersirat dalam Pasal 86 ayat (1) UU

Page 20: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  20

TPPU, bahwa setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan TPPU wajib diberi pelindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Secara spesifik, pengertian saksi dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU PSK, yang menetapkan bahwa ”saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”.

Di dalam penjelasan Pasal 83 ayat (1) UU TPPU ada dicantumkan definisi mengenai “pelapor”, yaitu setiap orang yang beritikad baik dan secara sukarela menyampaikan laporan terjadinya dugaan TPPU. Selanjutnya dalam Pasal 84 diatur bahwa setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan TPPU wajib diberi pelindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Disadari bahwa karena terbatasnya cakupan pihak-pihak yang akan memperoleh pelindungan khusus yang hanya pelapor dugaan TPPU dan saksi TPPU, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang telah memperluas pengertian ”pelapor” sehingga meliputi: (a) Pihak Pelapor yang karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan transaksi keuangan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU; dan (b) Pelapor yang karena secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang. Sedangkan Pihak Pelapor yang karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan transaksi keuangan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU juga mendapatkan perlindungan berupa: (a) pelepasan dari tuntutan pidana dan gugatan perdata; (b) pengecualian dari ancaman dalam ketentuan kerahasiaan; dan (c) kewajiban merahasiakan identitas Pihak Pelapor bagi pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim.23

Adapun jenis-jenis pelindungan yang dikenal dalam pelaksanaan UU TPPU sebagai berikut :

a. Pelindungan karena jaminan Undang-Undang

Pelindungan karena jaminan undang-undang mengandung arti bahwa pelindungan yang diberikan telah secara tegas diatur dalam UU TPPU berupa:

1) Pelepasan dari tuntutan pidana maupun perdata.

Pelepasan dari tuntutan perdata maupun pidana merupakan pelindungan yang dijamin oleh undang-undang. Jaminan ini berlaku bagi:

(a) Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya.

Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya yang melaksanakan kewajiban pelaporan. Perlindungan ini tidak berlaku apabila terdapat unsur penyalahgunaan wewenang (Pasal 29).

UU TPPU tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai apa yang dimaksudkan dengan unsur penyalahgunaan wewenang. Namun demikian, hal ini dapat dikaitkan dengan pembocoran informasi, data atau keterangan oleh direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. Ketentuan pembocoran informasi ini tidak berlaku, dalam hal dilakukan untuk pemberian informasi kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur (Pasal 12 UU TPPU).

                                                             23 Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang (UU TPPU) yang memperluas pengertian ”pelapor”, maka Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 perlu disempurnakan agar tidak menyulitkan dalam penerapannya.

Page 21: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  21

(b) Pelapor dan/atau saksi

Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan (Pasal 87). Pelapor yang dimaksudkan dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, sedangkan saksi adalah setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.

Kekebalan hukum dari gugatan secara perdata atau tuntutan secara pidana terhadap pihak-pihak tersebut di atas dapat diberikan sepanjang yang bersangkutan dalam melaksanakan pelaporan dan memberikan kesaksian dilakukan dengan iktikad baik atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri.

2) Pembebasan dari ancaman dalam ketentuan kerahasiaan (Pengecualian dari ketentuan kerahasiaan).

Dalam pelaksanaan kewajiban pelaporan, Pihak Pelapor dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor yang bersangkutan (Pasal 28). Dalam beberapa industri keuangan, seperti perbankan, ketentuan kerahasiaan diatur secara ketat dengan ancaman pidana. Hal ini dimaksudkan, bukan hanya untuk melindungi industri perbankan agar terjaga stabilitasnya tetapi sekaligus melindungi hak keperdataan dari nasabah penyimpan dan simpanannya.

b. Pelindungan karena pelaksanaan UU TPPU

Munculnya pelindungan apabila pelaksanaan kewajiban oleh Pihak Pelapor dan pihak lain diterapkan secara konsisten. Dalam beberapa Pasal UU TPPU, diatur mengenai kewajiban untuk tidak mengungkap identitas pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor dengan ancaman pidana bagi yang melanggarnya. Pengertian Pihak Pelapor di sini adalah Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang dan atau Jasa Lain karena melaksanakan kewajiban pelaporan.

Pelindungan yang diberikan karena pelaksanaan UU TPPU adalah sebagai berikut sebagai berikut:

1) Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik dilarang memberitahukan laporan Transaksi kepada pengguna jasa yang telah dilaporkan kepada PPATK atau penyidik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun.

2) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.

3) Pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan pelapor

4) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.

5) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut.

Page 22: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  22

c. Pelindungan Khusus

Pelindungan khusus diatur dalam Pasal 84 dan 86 UU TPPU.24 Sebagai peraturan pelaksanaan dari kedua pasal tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. Lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan KAPOLRI Nomor 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Pelindungan khusus menurut Peraturan KAPOLRI ini adalah suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memberikan rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan yang membahayakan diri jiwa dan atau hartanya termasuk keluarganya. Pemohon perlindungan khusus adalah pelapor, saksi, PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim. Perlindungan khusus oleh Polri dilaksanakan berdasarkan: (a) laporan dari PPATK tentang adanyan Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang dilakukan secara tunai oleh pelapor atau dugaan terjadinya TPPU atau ditetapkannya seseorang sebagai saksi dalam perkara TPPU; dan (b) permohonan dari pelapor, saksi, penyidik, penuntut umum atau hakim.

Dalam peraturan ini diuraikan mengenai beberapa bentuk pelindungan, yaitu: (a) pelindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental; (b) pelindungan terhadap harta; (c) pelindungan berupa kerahasiaan dan penyamaran identitas; dan (d) pemberian keterangan tanpa bertatap muka (konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksanaan perkara. Beberapa contoh dalam pelaksanaan pelindungan selama ini, yaitu: (1) pemeriksaan saksi oleh kepolisian dengan menyamarkan identitas pelaku dengan berita acara penyamaran. Saksi diberikan nama dan jenis kelamin yang berbeda dengan keadaan sebenarnya. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan pelindungan khusus ini dibebankan kepada anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan (2) Berita Acara Pemeriksaan seharusnya tidak mencantumkan nama pelapor dan saksi serta hal-hal lain yang mengarah pada terungkapnya identitas pelapor maupun saksi.

Dalam rangka memberikan pelindungan bagi pelapor dan saksi serta pelindungan bagi penegak hukum, hal-hal yang harus dilakukan antara lain : (1) permintaan saksi dari bank diajukan secara tertulis kepada bank (permintaan bukan ditujukan pada nama pejabat bank); (2) kapasitas saksi adalah mewakili institusi (bukan individu); dan (3) tidak menyebutkan identitas pelapor dan saksi, atau identitasnya disamarkan (antara lain laki-laki jadi perempuan, atau sebaliknya).

Cakupan pelindungan khusus meliputi kerahasiaan identitas, dan pemberian keterangan tanpa tatap muka di persidangan. Dalam hal kerahasiaan identitas, PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. Pelanggaran terhadap kerahasiaan identitas memberikan hak kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan. Sedangkan pemberian keterangan tanpa tatap muka di persidangan: (a) saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor; dan (b) dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut.

                                                             24 Pasal 84 ayat (1) UU TPPU menetapkan bahwa ”setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian

uang dan setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi pelindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya”. Selanjutnya dalam ayat berikutnya, yaitu ayat (2) mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP) mengenai tata cara pemberian pelindungan khusus dimaksud. Sedangkan Pasal 86 ayat (1) UU TPPU menetapkan bahwa ”Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya”. Selanjutnya dalam ayat (2) ditentukan bahwa ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Page 23: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  23

Dari segi obyeknya, pelindungan atas keamanan pribadi, dan/atau keluarga Pelapor dan Saksi dari ancaman fisik atau mental melingkupi : (a) pelindungan terhadap harta Pelapor dan Saksi; (b) perahasiaan dan penyamaran identitas Pelapor dan Saksi; dan/atau; (c) pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan perkara; dan (4) pelindungan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diatur mengenai hak seorang Saksi dan Korban, yaitu: (1) memperoleh pelindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; (2) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; (3) memberikan keterangan tanpa tekanan; (4) mendapat penerjemah; (4) bebas dari pertanyaan yang menjerat; (5) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; (6) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; (7) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; (8) mendapat identitas baru; (9) mendapatkan tempat kediaman baru; (10) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; (11) mendapat nasihat hukum; dan/atau (12) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Hak tersebut diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.

PENUTUP

engembalian aset yang berasal dari hasil tindak pidana khususnya korupsi bukan hanya menjadi tanggung jawab penegak hukum semata. Upaya pengembalian aset ini harus dilakukan kerjasama oleh semua pihak yang berkompeten baik dalam lingkup domestik

maupun bilateral bahkan multilateral. PPATK sebagai FIU dapat membantu dalam pengembalian aset terutama dalam proses penelusuran aset hasil-hasil kejahatan, dengan pendekatan follow the money, termasuk hasil kejahatan korupsi. Selanjutnya, berdasarkan hasil penelusuran terhadap aset hasil kejahatan ini dapat dilakukan penyitaan dan perampasan, baik dalam lingkup dalam negeri maupun internasional. Indonesia telah memiliki landasan hukum yang memungkinkan kerjasama secara internasional, bukan hanya dalam rangka pertukaran informasi, tetapi juga bantuan hukum timbal balik yang dapat meliputi penyitaan dan pembagian aset dalam rangka upaya pengembalian aset (asset recovery) untuk kepentingan pembangunan dan penguatan ekonomi negara-bangsa.[*]

Jakarta, 19 November 2011

P

Page 24: MENJERAT KORUPTOR DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA · PDF file* Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Dialog Interaktif dengan tema ”Apa dan Mengapa Tindak Pidana Korupsi

  24

KEPUSTAKAAN

Black's Law Dictionary, 6th ed, West Publishing, 1990. Djiwandono, J. Soedradjat, Bergulat dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2001. Danang W.D., “Tunus Husein Pelacak Aliran Uang”, 31 Oktober 2011, http://politikana.com/baca/

2011/10/31/yunus-husein-pelacak-aliran-uang.html. Hamzah, Andi, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. http://www. tribunnews.com, “Gunakan UU TPPU, KPK Bisa Telusuri Aliran Uang Koruptor”, diakses 10 Juni

2011. Harian Merdeka, “Calon Pimpinan KPK; Seleksi Dimulai, Yunus Husein Siap”, 24 Oktober 2011. Hukum Online, “Senjata Baru Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi? Ratifikasi UNCAC”, 6 September

2006. Husein, Yunus, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, Bandung: Books Terrace & Library, 2007. _____, Negeri Sang Pencuci Uang, Jakarta: Pustaka Juanda Tiga Lima, 2008. Jaspan, M., “Toleransi dan Penolakan Atas Hambatan Budaya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi: Kasus

Sumatera Selatan”, dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, (ed), Bunga Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1995.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: Gramedia, 1988. Lilley, Peter, Dirty Dealing: The Untold Truth about Global Money Laundering, International Crime and Terrorism, edisi

kedua, (London and Sterling, VA: Kogan Page Limited, 2003. Loebis, Mochtar, Pengantar dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, (ed), Bunga Rampai Korupsi, Jakarta:

LP3ES, 1995. McDowell, John & Gary Novis, “The Consequences of Money and Financial Crime”, May 2001,

http://www.usteas.gov. McWalters, Ian, SC, Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, Surabaya: JPBooks, 2006. Nasution, Edi, “Memahami Praktik Pencucian Uang Hasil Kejahatan (Money Laundering)”, http://www.ppatk.

go.id/pdf/Uraian_Pendek_Tentang_Praktek_Pencucian_Uang_Hasil_Kejahat.pdf. Peraturan Pemerintah RI No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi

Tindak Pidana Pencucian Uang. Peraturan KAPOLRI Nomor 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan

Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Scott, Paul Allan, Reference Guide to Anti-Money Laundering and Combat the Financing of Terrorism, Washington: The

World Bank, 2003. Tim Penyusun, Rezim Anti Pencucian Uang Indonesia: Perjalanan 5 Tahun, Jakarta: PPATK, 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban United Nations Convention Againts Illicit Trafic in Narcotic, Drugs and Psycotropic Substances of 1988. United Nations Convention Againts Corruption of 2003 (UNCAC). UNODC, “Global Programme Against Money Laundering”. http://www.unodc.org/unodc/en/ money-

laundering/index.html?ref =menuside. Welling, Sarah N., Comment, Smurfs, Money Laundering and the Federal Criminal Law, 41 Fla. L. Rev. 287,

290 (1989).

~0~