Mengurai Benang Kusut Penerapan Nilai Pabean Berdasarkan ... · hal-hal yang berkaitan dengan...
Transcript of Mengurai Benang Kusut Penerapan Nilai Pabean Berdasarkan ... · hal-hal yang berkaitan dengan...
1
Mengurai Benang Kusut Penerapan
Nilai Pabean Berdasarkan Nilai
Transaksi
Oleh :
Mohamad Jafar
Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai
Akhir-akhir ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) disibukkan dengan
banyaknya keputusan pejabat atas penetapan nilai pabean yang diajukan banding ke
Pengadilan Pajak oleh importir. Banding merupakan hak setiap orang yang diatur
Undang-Undang No 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Banding diajukan setelah keberatan atas
keputusan pejabat Bea dan Cukai yang diajukan ke Direktur Jenderal Bea dan Cukai
ditolak. Saat ini penetapan pejabat yang banyak diajukan banding adalah penetapan
yang berkenaan dengan nilai pabean. Penetapan pejabat ini berimplikasi pada
kekurangan bea masuk, pajak dan dikenakannya sanksi administrasi berupa denda
yang harus dibayar oleh Importir. Berkaitan dengan permasalahan penetapan nilai
pabean ini, berikut ini data putusan dari Pengadilan Pajak atas pengajuan banding
terutama terkait nilai pabean.
Tabel 1
Data Putusan Pengadilan Pajak Berdasarkan Jenis Penetapan Tahun 2010
Sumber : Kantor Pusat DJBC
Dari data diatas selama tahun 2010 terdapat 3.866 putusan banding atas penetapan
pejabat Bea dan Cukai atau Direktur Jenderal Bea dan Cukai dimana terdapat 3.723
(96,3%) berkaitan dengan nilai pabean. Dari 3.723 putusan banding tersebut ternyata
yang dikabulkan mencapai 65,48% (sebanyak 2.438), suatu jumlah yang tentu sangat
besar.
Tabel 2
Data Putusan Pengadilan Pajak Berdasarkan Jenis Penetapan Tahun 2011
2
Sumber : Kantor Pusat DJBC
Dari data diatas selama tahun 2011 terdapat 3.469 putusan banding atas
penetapan pejabat Bea dan Cukai atau Direktur Bea dan Cukai dimana terdapat
3.089 (89,04%) berkaitan dengan nilai pabean. Dari 3.089 putusan banding tersebut
ternyata yang dikabulkan mencapai 68,27% (sebanyak 2.109), meningkat dari tahun
2010 (65,48%).
Adanya sengketa nilai pabean tentu bukanlah hal yang produktif baik untuk
DJBC maupun importir, mengingat begitu banyaknya sumber daya yang harus
dikeluarkan, meliputi waktu, biaya, dan tenaga dalam proses penyelesaiannya.
Dengan latar belakang tersebut maka pembahasan tentang faktor-faktor penyebab
banyaknya kasus sengketa nilai pabean terasa begitu penting untuk kita kaji bersama.
Artikel ini penulis susun berdasarkan pengalaman penulis yang pernah bertugas
sebagai pemeriksa dokumen maupun sebagai pengajar mata diklat Nilai Pabean
serta diskusi informal dengan para pejabat yang bertanggung jawab pada penerapan
nilai pabean.
Permasalahan
Under Invoicing
Awal mula dari permasalahan banding sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu
masih banyaknya kasus under invoicing atas pemberitahuan barang yang diimpor.
DJBC sebagai institusi yang diberi tanggung jawab menghimpun bea masuk
berkewajiban mengoptimalkan penerimaan negara. Under invoicing tentu akan
menggerus penerimaan negara. Dampak lainnya dari under invoicing adalah
terancamnya produk dalam negeri sejenis karena kalah bersaing dengan produk luar
negeri. Kita tahu bahwa salah satu fungsi pungutan impor adalah sebagai barrier
untuk melindungi produk dalam negeri.
Di sisi lain, sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO),
Indonesia wajib meratifikasi berbagai agreement yang disepakati pada pendirian
lembaga perdagangan dunia tersebut. Salah satu butir kesepakatan dalam piagam
pembentukan WTO adalah pengaturan tentang nilai pabean yang digunakan untuk
menghitung bea masuk. Metode penetapan nilai pabean yang disepakati dalam
3
pembentukan WTO adalah digunakannya Artikel VII General Agreement on Tariff and
Trade (GATT) dimana pada prinsipnya nilai pabean yang digunakan untuk
menghitung bea masuk adalah nilai transaksi barang yang diimpor (transaction
value).
Nilai pabean sesuai kesepakatan WTO yang sering disebut dengan WTO
valuation atau GATT Valuation Agreement (GVA), mulai diterapkan di Indonesia sejak
disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Implikasi
dari digunakannya nilai transaksi adalah nilai pabean yang diberitahukan importir
harus diterima aparat pabean, sepanjang memenuhi persyaratan nilai transaksi.
Ketentuan ini bagi negara berkembang seperti Indonesia sangat sulit diterapkan
mengingat masih masih cukup banyak importir yang beresiko tinggi.
Kelemahan Peraturan Pelaksanaan
Dalam tataran praktis, dasar hukum penelitian hingga penetapan nilai pabean
oleh pejabat adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-160/KMK.04/2010
tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Dalam PMK ini diatur tentang
hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan diterimanya nilai transaksi dan dalam hal
apa nilai pabean yang diberitahukan tidak diterima oleh pejabat.
Salah satu ketentuan penting dalam PMK-160/KMK.04/2010 yang berpotensi
besar menimbulkan sengketa adalah pasal 8 (d) yang menyatakan bahwa nilai
transaksi tidak digunakan untuk penentuan nilai pabean bilamana pejabat Bea dan
Cukai mempunyai alasan berdasarkan bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur
untuk tidak menerima nilai transaksi yang diberitahukan.
Potensi sengketa sangat mungkin terjadi karena pada PMK ini tidak dijelaskan
wujud nyata dari terminologi bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur. Muncul
pertanyaan apakah database nilai pabean yang disusun oleh DJBC termasuk kategori
bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur ataukah tidak. Hal ini penting untuk
memberikan kepastian hukum baik kepada pejabat maupun kepada importir.
Ketentuan lainya yang diatur pada PMK-160/KMK.04/2010 yang berpotensi
besar menimbulkan sengketa adalah uji kewajaran nilai pabean. Perlu diketahui
bahwa uji kewajaran nilai pabean tidak diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan,
dan tidak terdapat secara eksplisit di Agreemet on Implementation of Article VII of
GATT. Ketentuan uji kewajaran ini diatur pada pasal 26 dan 27 PMK-
160/KMK.04/2010. Uji kewajaran nilai pabean dilakukan dengan menggunakan
DBNP I barang identik. Nilai pabean dianggap wajar bila nilai yang diberitahukan lebih
besar, sama dengan atau lebih kecil dari nilai di DBNP I sepanjang tidak lebih dari
5%.
DBNP II barang identik digunakan bilamana data tidak tersedia pada DBNP I.
Dalam uji kewajaran menggunakan DBNP II, nilai pabean dianggap wajar bila
diberitahukan lebih besar atau sama dengan nilai di DBNP II. Proses selanjutnya bila
4
nilai pabean diragukan karena dianggap tidak wajar adalah permintaan pejabat
kepada importir untuk menyerahkan deklarasi nilai pabean (DNP) dengan
melampirkan dokumen pendukung. Permintaan DNP hanya dikenakan kepada
importir kategori medium risk dan high risk. Bilamana DNP tidak diserahkan atau
pejabat meragukan keterangan dalam DNP dan konsultasi yang dilakukan tidak
meyakinkan pejabat, maka nilai transaksi yang diberitahukan tidak dapat diterima.
Bila kita kaji lebih lanjut PMK-160/KMK.04/2010 ini sebenarnya seperti ‘pukat
harimau’ yang digunakan untuk menjaring ikan. Karena adanya kekhawatiran ikan
besar akan lolos dari jaring, maka dibuatlah jaring dengan lubang yang kecil. Ikan
besar dapat diibaratkan importir berisiko tinggi dan ikan kecil untuk importir berisiko
rendah. Mekanisme uji kewajaran tak ubahnya cara kerja pukat harimau untuk
mengamankan keuangan negara.
Dalam tahap selanjutnya importir yang merasa telah memberitahukan nilai
pabeannya dengan benar tidak menerima penetapan pejabat sehingga mengajukan
keberatan. Bila keberatan yang diajukan ke Direktur Jenderal ditolak, maka importir
mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Kenyataannya sebagian besar banding
yang diajukan oleh importir dikabulkan oleh Pengadilan Pajak. Akhir-akhir ini cukup
banyak importir yang sebenarnya masuk kategori resiko tinggi yang pada awalnya
menerima penetapan pejabat, akhirnya juga mengikuti langkah importir beresiko
rendah mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
Pengadilan Pajak menerima banding para importir karena berpatokan pada
bukti formal bahwa nilai transaksi telah memenuhi syarat yang dibuktikan dengan
dokumen invoice, purchase order, bukti pembayaran dan bukti-bukti lainnya. Di sinilah
titik krusialnya, yaitu Majelis Hakim Pengadilan Pajak memandang bahwa uji
kewajaran nilai pabean tidak diatur di Undang-Undang Kepabeanan, sementara
importir mampu membuktikan adanya nilai transaksi.
Analisis Masalah
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, nilai pabean yang digunakan untuk menghitung bea masuk adalah nilai
transaksi barang yang diimpor. Prinsip nilai pabean menurut GATT Valuation
Agreement pada hakekatnya berbanding terbalik dengan nilai pabean sesuai Brussel
Definition on Value (BDV) dimana nilai pabean ditetapkan dengan menggunakan
harga patokan yang ditetapkan oleh pejabat.
Dalam pelaksanaanya, terjadi gap antara teori dan praktek. Sejujurnya harus
kita katakan bahwa sebenarnya nilai pabean menggunakan WTO valuation masih
sulit diterapkan dalam kondisi Indonesia. Bagi negara-negara yang relatif maju
dengan importir yang relatif patuh tidak mengalami kesulitan dalam penerapan sistem
nilai pabean ini. WTO menyadari hal ini, sehingga dalam Agreement ini diberikan
catatan adanya perlakuan khusus untuk negara berkembang dalam penerapannya,
yaitu diberinya tempo pelaksanaan secara penuh ketentuan ini.
5
Negara dengan jumlah importir beresiko tinggi yang relatif masih besar sangat
sulit menerapkan model WTO valuation, karena tingkat kepatuhan yang masih
rendah. Sesuai situs kepresidenan, pada tahun 2006 jumlah importir resiko tinggi
sejumlah 6.200 importir atau sekitar 42%, importer dengan resiko menengah
sebanyak 2.900 importir atau sekitar 19,9%, dan importir resiko rendah sebanyak
5.413 importir, atau sekitar 37,29%. Salah satu pelanggaran yang potensial dilakukan
oleh para importir beresiko tinggi adalah under invoicing, dimana nilai pabean
diberitahukan lebih rendah dari yang seharusnya untuk menghindari pungutan impor.
Bilamana Indonesia menerapkan GATT Valuation Agreement (GVA) tanpa
mempertimbangkan kondisi market forces yang masih belum patuh pada ketentuan
kepabeanan (importir kategori beresiko tinggi) maka potensi hilangnya penerimaan
negara akan cenderung besar. Di sisi lain, bilamana nilai pabean ditetapkan
berdasarkan peraturan yang saat ini diberlakukan maka potensi meningkatnya
keberatan dan banding yang diajukan importir cenderung semakin besar. Mengapa
demikian, karena importir merasa telah memberitahukan nilai pabean sesuai transaksi
yang mereka lakukan dengan pemasok.
Sebenarnya keputusan pejabat yang tidak menerima nilai pabean dari importir
ketika meragukan pemberitahuan memiliki landasan dalam Artikel VII GATT. Pada
Agreement on Implementation of Article VII of GATT terdapat lampiran berkaitan
tentang kasus-kasus dalam hal pihak pabean mempunyai alasan untuk meragukan
kebenaran atau ketepatan nilai yang diberitahukan. Di dalam lampiran tersebut
dinyatakan bahwa bila pemberitahuan telah diajukan dan pihak pabean beralasan
untuk meragukan kebenaran atau ketepatan atas keterangan atau dokumen yang
diberikan untuk mendukung pernyataan di atas, pihak pabean dapat meminta importir
untuk memberikan penjelasan lebih lanjut termasuk dokumen dan bukti-bukti lainnya
yang menyatakan bahwa nilai yang diberitahukan mewakili jumlah keseluruhan dari
harga yang sebenarnya dibayar.
Selanjutnya, jika setelah menerima informasi lebih lanjut atau dalam hal tidak
ada penjelasan, pihak pabean masih meragukan kebenaran atau ketepatan nilai yang
diberitahukan maka memperhatikan hak yangbersangkutan untuk mengajukan
keberatan, nilai pabean dianggap tidak dapat ditetapkan menggunakan nilai transaksi.
Meskipun memiliki landasan dalam Agreement on Implementation of Article VII of
GATT, keputusan untuk menganggap nilai pabean tidak dapat menggunakan nilai
transaksi harus memiliki argumentasi yang kuat. Keraguan pejabat atas nilai yang
diberitahukan harus didukung dengan alasan yang kuat disertai bukti bahwa nilai
yang diberitahukan tidak sesuai dengan nilai yang sebenarnya atau seharusnya
dibayar.
6
Tabel 3
Ringkasan Ketentuan Nilai Pabean
Peraturan Pokok Pengaturan
UU No 10 Tahun 1995
jo UU No 17 Tahun
2006 tentang
Kepabeanan
Nilai pabean pada prinsipnya menggunakan nilai transaksi
Nilai transaksi diterima bilamana memenuhi syarat-syarat tertentu
KMK-690/KMK.05/1996
(telah dicabut)
Mengatur secara global tentang tatacara penetapan nilai pabean
sebagaimana yang diatur dalam Agreement on Implementation of
Article VII of GATT
Tidak terdapat uji kewajaran dalam tatacara penetapan
KEP-81/BC/1999
(tidak berlaku lagi)
Merupakan petunjuk pelaksanaan KMK-690/KMK.05/1996
Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan
kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 20% dari
Database Harga I barang identik atau serupa.
Terdapat pembatasan penggunaan metode I, dimana nilai
transaksi tidak diterima bilamana Pejabat Bea dan Cukai
mempunyai alasan berdasarkan data yang obyektif dan terukur untuk
meragukan kebenaran atau keakuratan pemberitahuan nilai transaksi.
KEP-33/BC/1999
(tidak berlaku lagi)
Merupakan perubahan pertama KEP-81/BC/1999
Perubahan atas uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan
kebenarannya bilamana lebih rendah dari Database Harga I
barang identik atau serupa.
KEP-44/BC/2001
(tidak berlaku lagi)
Merupakan perubahan kedua KEP-81/BC/1999
Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan
kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 10% dari
Database Harga I barang identik atau serupa.
KEP-17/BC/2005
(tidak berlaku lagi)
Merupakan perubahan keempat KEP-81/BC/1999
Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan
kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 5% dari
Database Harga I barang identik atau serupa.
P-01/BC/2007
(tidak berlaku lagi) Merupakan perubahan kelima KEP-81/BC/1999
Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan
kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 5% dari
Database Harga I barang identik.
Terdapat ketentuan uji profil importir dalam penetapan nilai
pabean, dimana bila termasuk kategori low risk dan harga
diragukan nilai transaksi tetap diterima, untuk medium risk
diterbitkan Informasi Nilai Pabean (INP), dan bilamana high risk
nilai transaksi ditolak.
PMK-160/2010
(yang saat ini berlaku) Merupakan pengganti KMK-690/KMK.05/1996
Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan
kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 5% dari
7
Database Nilai Pabean I barang identik atau lebih rendah dari
Database Nilai Pabean II
Terdapat ketentuan uji profil importir dalam penetapan nilai
pabean, dimana bila termasuk kategori low risk dan harga
diragukan nilai transaksi tetap diterima, untuk medium risk dan
high risk diterbitkan INP.
Terdapat pembatasan penggunaan metode I, dimana nilai
transaksi tidak diterima bilamana Pejabat Bea dan Cukai
mempunyai alasan berdasarkan data yang obyektif dan terukur untuk
meragukan kebenaran atau keakuratan pemberitahuan nilai transaksi.
Sayangnya hal-hal tersebut diatas tidak tercantum secara eksplisit di dalam
penjelasan Undang-Undang Kepabeanan, sehingga hakim tidak mempertimbangkan
hak pabean untuk meragukan dan tidak menerima nilai transaksi bilamana dalam
proses penelitian hingga konsultasi nilai pabean tidak diperoleh keyakinan tentang
kebenarannya. Selain hal itu banyaknya penetapan pejabat yang digugurkan dalam
sidang banding juga dapat disebabkan oleh banyaknya penetapan pejabat terkait
yang tidak didukung argumentasi yang kuat sehingga hakim berpandangan bahwa
tidak ada alasan kuat pejabat meragukan nilai yang diberitahukan.
Solusi
Secara umum permasalahan nilai pabean ini akan dapat diminimalisasi
bilamana DJBC secara sungguh-sungguh melakukan perbaikan, baik dalam aspek
internal maupun aspek eksternal. Aspek internal berkaitan dengan dukungan institusi
dan penyiapan pejabat yang profesional, sedangkan aspek eksternal berhubungan
dengan bimbingan kepatuhan dan law enforcement.
Masalah nilai pabean tidak hanya semata-mata berkaitan dengan tugas pejabat
pemeriksa dokumen (PFPD). Masalah nilai pabean sesungguhnya merupakan
masalah institusi DJBC yang dapat berpengaruh serius pada citra dan kinerja
organisasi secara signifikan. Maka sebaiknya DJBC melakukan langkah-
komprehensif dalam menangani permasalan ini. Langkah-langkah komprehensif itu
meliputi : revisi peraturan tentang nilai pabean, penguatan struktur organisasi, dan
law enforcement.
Revisi Peraturan
Petunjuk teknis penerapan nilai pabean adalah Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk.
Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari pasal 15 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2006 tentang Kepabeanan, dimana pada ayat 7 dinyatakan bahwa Ketentuan
mengenai nilai pabean untuk penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan peraturan menteri.
8
Secara umum Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 berisi
ketentuan cara penetapan nilai pabean yang mengacu pada Agreement on
Implementation of Article VII of GATT, dengan beberapa aturan tambahan yang
mempertimbangkan situasi dan kondisi Indonesia. Proses penelitian dan penetapan
nilai pabean secara ringkas tergambar sebagaimana gambar 1 berikut ini.
Gambar 1
Proses penelitian dan penetapan nilai pabean dimulai setelah importir
menyerahkan pemberitahuan impor barang (PIB). Importir kategori Mitra Utama
(MITA) dan Importir Produsen (IP) kategori Low risk nilai pabean yang diberitahukan
langsung diterima. Selanjutnya penelitian atas kebenaran nilai pabean yang
diberitahukan importir-importir tersebut dilakukan dalam program audit kepabeanan.
Pejabat melakukan pengujian nilai pabean, meliputi harus adanya kondisi jual
beli, terpenuhinya persyaratan nilai transaksi, hingga kebenaran jumlah dan/atau
jenis barang dalam hal dilakukan pemeriksaan fisik. Penetapan nilai pabean tidak
ditetapkan menggunakan nilai transaksi dalam hal persyaratan nilai transaksi tidak
terpenuhi. Bilamana persyaratan nilai transaksi terpenuhi, penelitian berlanjut pada uji
kewajaran nilai pabean menggunakan Database Nilai Pabean I (DBNP I) barang
identik. Taraf toleransi selisih kurang pemberitahuan dengan DBNP I barang identik
adalah maksimal 5%. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I)
9
dalam hal nilai pabean yang diberitahukan wajar. Jika nilai pabean diberitahukan tidak
wajar karena selisih kurang lebih dari 5% dari data barang identik pada DBNP I maka
dilakukan penelitian profil importir.
Uji kewajaran menggunakan Database Nilai Pabean II (DBNP II) barang
identik dilakukan jika tidak terdapat DBNP I barang identik yang dapat digunakan.
Tidak ada toleransi selisih kurang pada pemberitahuan nilai pabean pada uji
kewajaran ini. Nilai pabean dianggap wajar bilamana sama besar atau lebih tinggi
dengan DBNP II barang identik. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi
(metode I) dalam hal nilai pabean yang diberitahukan wajar. Bilamana tidak terdapat
data barang identik pada DBNP II maka dilakukan penelitian profil importir.Terdapat
empat kategori pada database profil importir, yaitu low risk (resiko rendah), medium
risk (resiko sedang), high risk (resiko tinggi), dan very high risk (resiko sangat tinggi).
Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I) dalam hal importir
termasuk kategori low risk.
Bilamana importir termasuk kategori medium risk, high risk dan very high risk,
maka diterbitkan Deklarasi Nilai Pabean (DNP). Selanjutnya pejabat meneliti DNP
dan dimungkinkan untuk konsultasi nilai pabean untuk meyakinkan kebenaran nilai
yang diberitahukan. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I)
dalam hal DNP didukung data yang mampu meyakinkan pejabat. Nilai pabean tidak
ditetapkan menggunakan nilai transaksi dalam hal DNP tidak diserahkan kepada
pejabat atau diserahkan melebihi waktu yang tentukan, yaitu 3 hari kerja untuk kantor
yang menggunakan Pertukaran Data Elektronik (PDE) atau 5 hari kerja untuk yang
belum menggunakan PDE.
Bilamana pejabat belum meyakini DNP yang diserahkan importir, maka
pejabat dapat meminta importir untuk menjelaskan lebih lanjut dalam konsultasi nilai
pabean. Nilai pabean tidak ditetapkan menggunakan nilai transaksi dalam hal importir
tidak memenuhi permintaan konsultasi nilai pabean atau konsultasi yang dilakukan
tidak meyakinkan pejabat. Pejabat peneliti dokumen membuat Lembar Penelitian dan
Penetapan Nilai Pabean (LPPNP) atas penetapan nilai pabean bilamana nilai
transaksi tidak diterima. Dari uraian di atas dapat kita mengambil kesimpulan bahwa
nilai transaksi dapat tidak diterima bilamana pejabat meragukan nilai pabean yang
diberitahukan dan importir tidak mampu meyakinkan pejabat atas kebenaran nilai
transaksinya.
Dari uraian tatacara penelitian dan penetapan nilai pabean di atas, terdapat
beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Pertama, pengecualian pengujian nilai
transaksi (nilai pabean diterima, selanjutnya merupakan obyek audit). Kedua,
mekanisme uji kewajaran yang mendahulukan penggunaan DBNP I (data lama)
daripada DBNP II (data baru). Ketiga, mekanisme uji profil yang pada akhirnya tetap
menerima nilai pabean bila importir kategori low risk. Keempat, efektifitas DNP yang
mayoritas tidak berdaya guna sehingga pada akhirnya nilai pabean ditolak karena
tidak meyakinkan pejabat.
10
Sebaiknya yang dikecualikan dalam pengujian nilai transaksi tidak hanya
importir MITA dan importir produsen low risk, namun seluruh importir kategori low risk.
Hal ini agar pejabat pemeriksa dokumen lebih fokus pada pemberitahuan nilai pabean
yang disampaikan oleh importir kategori medium risk hingga very high risk. Dari
beberapa diskusi dengan pejabat pemeriksa dokumen dan pejabat pada Pengadilan
Pajak, selama ini banyak penetapan pejabat yang kalah pada tingkat banding karena
penetapan cenderung kurang profesional. Implikasi dari kebijakan ini tentu kinerja
pejabat diharapkan lebih meningkat karena beban kerja yang selama ini dirasakan
sangat berat dapat berkurang. Diyakini bahwa salah satu faktor kurang baiknya hasil
penelitian dan penetapan pejabat adalah karena tingginya beban kerja sementara
waktu yang tersedia sangat terbatas.
Hal lain yang perlu diperbaiki adalah penggunaan DBNP I untuk uji kewajaran
nilai pabean. Bila data tidak tersedia di DBNP I selanjutnya digunakan DBNP II. Kita
harus ingat bahwa DBNP I disusun (salah satu sumbernya) dari DBNP II.
Penggunaan DBNP I sebelum DBNP II tentu kurang tepat karena data pada DBNP I
adalah data yang relatif lama. Memang DBNP I lebih lengkap dibanding DBNP II
namun karena harga barang sangat dipengaruhi waktu, maka seharusnya data yang
waktunya yang terdekat yang digunakan. Penulis pernah mendapatkan informasi,
terdapat pemberitahuan nilai pabean yang berdasarkan DBNP I tidak wajar karena
selisih kurang lebih dari 5%. Selanjutnya karena DNP tidak meyakinkan pejabat nilai
pabean menggunakan metode II (nilai transaksi barang identik). Dalam penerapan
metode II digunakan DBNP II barang identik sebagai dasar penetapan. Ternyata nilai
pabean yang diberitahukan lebih tinggi dibandingkan dengan data pada DBNP II.
Selanjutnya uji profil yang dilakukan bilamana harga yang diberitahukan tidak
wajar atau database tidak memuat data untuk uji kewajaran sebaiknya ditiadakan. Uji
profil sebaiknya dilakukan diawal proses penelitian nilai pabean, dimana untuk
importir kategori mitra utama (MITA) dan kategori low risk tidak perlu diperiksa oleh
pejabat pemeriksa dokumen (PFPD). PFPD lebih baik fokus pada importir yang
berisiko menengah ke atas yang potensi ketidakbenaran pemberitahuannya cukup
besar. Selain hal-hal tersebut diatas, perlu juga ditinjau ulang efektifitas DNP yang
mayoritas tidak berdaya guna. Banyak DNP yang tidak dilengkapi dengan dokumen
pendukung seperti sales contract, purchase order, LC/bukti transfer, dan dokumen
pendukung lainnya. Hampir tidak ada nilai pada DNP yang berbeda dengan nilai yang
diberitahukan pada PIB. Memang dimungkinkan adanya konsultasi nilai pabean
bilamana pejabat belum meyakini kebenaran pemberitahuan importir, namun tetap
saja hal ini tidak menjamin dilengkapinya data-data yang dibutuhkan pejabat.
Untuk mengatasi hal ini penulis sarankan agar dibentuk tim khusus yang
melakukan audit nilai pabean (nilai transaksi). Auditor nilai pabean ini sebaiknya
berada satu bidang dengan pejabat peneliti dokumen untuk memudahkan koordinasi
dan efektifitas kerja. Dengan audit nilai pabean ini diharapkan bukti-bukti kebenaran
atau ketidakbenaran nilai transaksi yang diberitahukan dapat diperoleh untuk diambil
keputusan. Dalam pelaksanaan audit ini pejabat dapat menggunakan semua sarana
yang memungkinkan untuk mendapatkan data, termasuk melakukan konfirmasi ke
11
perbankan dan kepada pemasok di luar daerah pabean. Bukti-bukti ini sangat penting
untuk penetapan nilai pabean dan sangat berguna bagi pejabat untuk meyakinkan
majelis hakim pada sidang banding di Pengadilan Pajak bila yang bersangkutan
mengajukan banding.
Saran-saran perbaikan dan simplifikasi prosedur penelitian dan penetapan
nilai pabean sebagaimana terurai diatas dapat kita ringkas dalam gambar 2 berikut
ini.
Gambar 2
Selain perbaikan dan penyederhaan tatacara penelitian nilai pabean, salah
satu critical point dalam peraturan Menteri Keuangan ini adalah adanya uji kewajaran
nilai transaksi dalam proses penetapan nilai pabean oleh pejabat. Uji kewajaran yang
dapat bermuara pada ditolaknya nilai transaksi diperkuat oleh ketentuan pasal 8 (d)
peraturan ini yang menyebutkan bahwa “nilai transaksi tidak digunakan dalam hal
pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan berdasarkan bukti nyata atau data yang
obyektif dan terukur untuk tidak menerima nilai transaksi sebagai nilai pabean”.
Mekanisme penetapan nilai pabean seperti ini bila kita kaji lebih lanjut sebenarnya
tidak memiliki landasan yang kuat pada Undang-Undang Kepabeanan.
12
Perlu kita ketahui bahwa pasal 15 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
yang mengatur tentang nilai pabean beserta penjelasan pasal bersangkutan tidak
memberi ruang kepada pejabat untuk melakukan uji kewajaran dan menolak nilai
transaksi bila harga diragukan. Alih-alih mengatur tentang dapat ditolaknya nilai
transaksi bilamana harga diragukan, justru pasal 15 dan penjelasannya menegaskan
harus digunakannya nilai transaksi atas barang yang diimpor untuk penghitungan bea
masuk. Di sisi lain pada sidang banding argumentasi pejabat bahwa harga diragukan
setelah dilakukan uji kewajaran dan DNP tidak meyakinkan pejabat tidak diterima
majelis hakim, sehingga sebagian besar banding yang diajukan importir dikabulkan
oleh Pengadilan Pajak.
Berkenaan dengan kurang sinkronnya ketentuan nilai pabean yang tercantum
dalam Undang-Undang Kepabeanan dengan peraturan pelaksanaannya, maka perlu
dirumuskan ketentuan yang lebih memberi kepastian hukum kepada pejabat untuk
menolak nilai transaksi dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip Artikel VII GATT.
Ketentuan pada pasal 8 (d) dalam PMK-160/PMK.04/2010 yang menyebutkan bahwa
“nilai transaksi tidak digunakan dalam hal pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan
berdasarkan bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur untuk tidak menerima
nilai transaksi sebagai nilai pabean” seharusnya diberikan penjelasan lebih lanjut
yang bersesuaian dengan Agreement on Implementation of Article VII of GATT. Hal
ini penting karena pada prakteknya para pejabat peneliti dokumen menggunakan
Database Nilai Pabean yang tersedia di Kantor Pabean untuk meragukan dan
selanjutnya dapat menolak nilai pabean yang diberitahukan.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas penelitian dan penetapan nilai pabean,
sebaiknya dipertimbangkan tambahan ayat dalam pasal 8 PMK-160/PMK.04/2010
yang berbunyi “nilai transaksi tidak digunakan dalam hal terdapat bukti kuat nilai yang
sebenarnya atau seharusnya dibayar tidak sesuai dengan nilai yang diberitahukan”.
Konsekuensi dari ketentuan ini berarti pejabat harus aktif mencari dan menemukan
evidance adanya nilai yang berbeda dari yang diberitahukan. Dengan demikian
mekanisme INP dan DNP tidak memadai untuk memenuhi ketentuan ini. Bilamana
ketentuan ini digunakan maka mekanisme yang lebih tepat adalah menggunakan
audit nilai transaksi. Dalam audit nilai transaksi pejabat dapat proaktif melakukan
penelitian kebenaran pemberitahuan hingga ke tempat importir, konfirmasi ke bank,
hingga konfirmasi ke pemasok di luar negeri.
Audit nilai transaksi harus dilakukan secara cepat karena sesuai Undang-
Undang Kepabeanan, pejabat diberikan batasan penelitian dan penetapan nilai
pabean selama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean impor.
Proaktifnya pejabat dalam penelitian nilai transaksi menurut hemat saya lebih sesuai
dengan kondisi saat ini karena pada praktiknya banyak DNP yang diserahkan importir
tidak memadai untuk pengambilan keputusan pejabat.
13
Penguatan Struktur Organisasi
Mengingat begitu seriusnya permasalahan nilai pabean, hendaknya DJBC
membuat struktur yang berkosentrasi penuh pada penyiapan perangkat dan data nilai
pabean baik pada Kantor Pusat maupun di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan
Utama. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, saat ini telah ada Sub
Direktorat Nilai Pabean di Kantor Pusat DJBC yang bertugas melaksanakan
penyiapan penyusunan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi dan
pelaksanaan di bidang nilai pabean dan data harga.
Salah satu output dari Sub Direktorat Nilai Pabean adalah Database Nilai
Pabean (DBNP) I yang digunakan untuk uji kewajaran nilai pabean dan dapat
digunakan untuk penetapan nilai pabean. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal
Bea dan Cukai Nomor 40/BC/2010 tentang Database Nilai Pabean, DBNP I disusun
oleh Kantor Pusat dan harus dilakukan pemutakhiran secara periodik sekurang-
kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari para pejabat pemeriksa
dokumen, permasalahan utama DBNP I yang disusun Kantor Pusat tidak memadai
untuk pelaksanaan tugas di lapangan. Data yang dapat dihimpun pada DBNP I
sangatlah terbatas dan banyak yang tidak up to date. Berkaitan dengan
permasalahan tersebut penulis sarankan agar Subdit Nilai Pabean di Kantor Pusat
memperkuat Tim Nilai Pabean yang selama ini telah bekerja untuk menyusun dan
memutakhirkan database nilai pabean. Tim Nilai Pabean di Kantor Pusat harus diisi
oleh para pejabat dan pegawai yang betul-betul memiliki kompetensi dan konsisten
dalam membuat DBNP yang berdaya guna. Harus betul-betul disadari bahwa kualitas
DBNP I sangat menentukan kinerja pejabat pemeriksa dokumen di lapangan.
Permasalahan lainnya yang masih terkait dengan perangkat kerja pejabat
peneliti dokumen adalah masih belum optimalnya DBNP II. Sesuai dengan Peraturan
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 40/BC/2010 tentang Database Nilai Pabean,
DBNP II disusun oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dan berlaku di
wilayah kerja kantor bersangkutan, sedangkan DBNP I berlaku secara nasional.
Selain digunakan uji kewajaran dan dasar penetapan nilai pabean, DBNP II juga
digunakan sebagai sumber data dalam menyusun DBNP I oleh Kantor Pusat. Dengan
demikian, kualitas DBNP II yang disusun oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan
Utama akan sangat mempengaruhi kualitas DBNP I. DBNP II yang lengkap dan up to
date akan sangat membantu tugas pejabat pemeriksa dokumen dalam penetapan
nilai pabean. Bila demikian halnya, maka pembentukan unit khusus yang menangani
nilai pabean di Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama mutlak diperlukan.
Namun pada kenyataannya struktur organisasi pada DJBC belum bersesuaian
dengan kebutuhan tersebut diatas. Tidak sebagaimana di Kantor Pusat DJBC, di
Kantor Wilayah dan di KPU Bea dan Cukai, belum terdapat unit yang secara khusus
melaksanakan tugas dan menangani masalah nilai pabean. Mengacu pada Peraturan
14
Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.01/2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, unit yang menangani
pelaksanaan nilai pabean di Kantor Wilayah dan KPU Bea dan Cukai adalah Bidang
Kepabeanan dan Cukai, sedangkan di Kantor Pabean unit yang melaksanakan tugas
yang berkaitan dengan adalah Seksi Kepabeanan dan Cukai.
Mengingat begitu seriusnya permasalahan nilai pabean, seharusnya DJBC
memperkuat struktur organisasinya dengan pejabat setingkat eselon IV di di Kantor
Wilayah dan KPU Bea dan Cukai dengan tugas khusus menyiapkan dan
melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan nilai pabean. Unit khusus nilai pabean
diharapkan bekerja optimal dan dapat memberikan assist yang tepat kepada pejabat
pemeriksa dokumen. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai
Nomor 40/BC/2010, pemutakhiran DBNP II dilakukan sekurang-kurangnya 2 (dua)
kali dalam 1 (satu) bulan.
Sebagaimana DBNP I, DBNP II juga belum memadai untuk pelaksanaan
tugas di lapangan. Data yang dapat dihimpun pada DBNP II juga sangat terbatas dan
banyak yang tidak up to date. Bahkan sebagian besar Kantor Wilayah dan KPU Bea
Cukai belum memiliki DBNP II secara formal karena database yang digunakan belum
ditetapkan secara resmi dalam aplikasi kantor pabean.
Penegakan Hukum
Masih banyaknya importir berkategori high risk harus diantisipasi DJBC
dengan menyiapkan jaring pengaman lainnya, yaitu penegakan hukum. Dalam hal
apa nilai pabean dapat dijerat dengan pelanggaran pidana kepabeanan? Betul bahwa
kesalahan pemberitahuan nilai pabean yang berakibat pada kekurangan pembayaran
bea masuk merupakan pelanggaran administratif yang dikenakan sanksi berupa
denda. Namun bilamana kedapatan dokumen yang digunakan sebagai pelengkap
pemberitahuan pabean (invoice) ternyata bukan dokumen yang sesungguhnya maka
tindakan ini termasuk kategori pelanggaran pidana kepabeanan yang diancam
dengan pidana penjara dan/atau pidana denda.
Dasar hukum dalam penindakan pelanggaran ini sangat jelas diatur dalam
Undang-Undang Kepabeanan, yaitu :
pada pasal 103 (a) disebutkan bahwa “Setiap orang yang menyerahkan
pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau
dipalsukan”,
pada pasal 103 (c) disebutkan bahwa “Setiap orang yang memberikan keterangan
lisan atau tertulis yang tidak benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban
pabean”,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
15
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah)“.
Hingga saat in masih sering terdengar idiom “invoice pasar pagi” atau “invoice
pasar sore”, dimana harga dapat diatur oleh yangbersangkutan sebagaimana yang
mereka kehendaki. Invoice adalah dokumen yang dibuat oleh pemasok (eksportir) di
luar negeri. Invoice merupakan dokumen pelengkap pabean yang berisi data barang
yang diimpor termasuk harga yang disepakati antara penjual dan pembeli.
Bila dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan pemeriksaan fisik
barang pejabat menggunakan profil importir dan hasil intelijen, dalam penegakan
hukum pada aspek nilai pabean ini hendaknya pejabat juga menggunakan cara yang
serupa agar untuk mendapatkan hasil yang optimal. Bilamana kedapatan Importir
melanggar pasal 103 ayat a atau pasal 103 ayat c, hendakknya DJBC tidak perlu ragu
untuk melakukan penegakan hukum, tentu setelah bukti-bukti yang cukup dapat
dihimpun untuk.
Kasus penggelapan pajak Asian Agri yang dibawa ke ranah pidana oleh
Direktorat Jenderal Pajak kiranya dapat menginspirasi DJBC. Setelah melalui proses
persidangan dan vonis di tingat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, pada
akhirnya Mahkamah Agung memutuskan bahwa Asian Agri bersalah telah melakukan
penggelapan pajak. Dalam petikan putusannya, MA menyatakan bahwa terdakwa
Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak (bekas Manajer Pajak Asian Agri) terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yaitu menyampaikan
Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap
secara berlanjut.
Penegakan hukum adalah amanat Undang-Undang yang bertujuan untuk
menjamin dipenuhinya hak-hak negara sekaligus sebagai shock therapy agar wajib
pajak (importir) lebih patuh dan mentaati ketentuan yang berlaku. Penegakan hukum
juga penting untuk internal Bea dan Cukai sebagai peneguh fungsi DJBC sebagai
penghimpun keuangan negara (revenue collector) dan pelindung masyarakat
(community protector).
Simpulan
1. Nilai pabean yang digunakan untuk menghitung bea masuk pada prinsipnya
menggunakan nilai transaksi barang yang diimpor. Tujuan utama digunakannya
nilai transaksi adalah agar tidak ada penetapan pejabat pabean yang bersifat
sewenang-wenang, sekaligus untuk mencegah adanya peberitahuan nilai pabean
oleh importir yang bersifat fiktif (under invoicing).
2. Penetapan nilai pabean oleh pejabat telah menimbulkan permasalahan yang
serius berupa banding di Pengadilan Pajak yang jumlahnya sangat signfikan dan
menguras banyak sumber daya, sementara putusan atas banding yang diajukan
ke Pengadilan Pajak sebagian besar dikabulkan oleh Majelis Hakim.
16
3. Perlu langkah-langkah komprehensif agar permasalahan nilai pabean dapat
diminimalisir, dengan cara melakukan penyempurnaan aturan pelaksanaan nilai
pabean, memperkuat struktur organisasi untuk mendukung pelaksanaan tugas
pejabat pemeriksa dokumen, dan melakukan penegakan hukum atas kegiatan
terkait nilai pabean yang termasuk tindak pidana kepabeanan.
Sumber :
1. Undang-Undang No 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Keuangan
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.01/2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk
Penghitungan Bea Masuk
5. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 40/BC/2010 tentang Database Nilai
Pabean
6. Agreement on Implementation of Article VII of GATT
7. Presiden Minta Dirjen Bea Cukai Tingkatkan, Senin, 6 November 2006, 14:45:29 WIB
Kinerjanya, http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2006/11/06/1212.html diakses
tanggal 28 Desember 2012