Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

12
Fingerprint Test, Keilmiahan dan Tulisan ‘Sidik Jari’ Prof Sarlito Oleh Audifax Bergiat di SMART HRPD, Forum Studi Kebudayaan (FSK) ITB dan Pustaka Kushala Berdebat mengenai Fingerprint Test, sudah bukan hal baru lagi. Sudah sejak 2008 lalu, ketika saya dan Ratih Ibrahim memulai menggunakan alat ini untuk biro kami masing-masing, perdebatan sudah muncul. Argumen kontra umumnya mempersoalkan keilmiahan. Sebuah argumen yang sebenarnya umum dan sering digunakan bukan hanya dalam kasus Fingerprint, tapi juga hampir semua kasus yang berkaitan dengan „pemikiran baru‟ atau „metode baru‟. Permasalahannya, kontra argumen yang mengatasnamakan keilmiahan itu sendiri sering dilontarkan secara tidak ilmiah. Salah satunya, yang kebetulan saya diminta menanggapi oleh Ellen Kristi, teman dari Semarang, adalah tulisan dari Profesor Sarlito berjudul „Sidik Jari‟, yang di-share di Facebook dan dimuat di harian SINDO edisi 15 Mei 2011. Mengapa saya katakan argumen itu tidak ilmiah? Mari kita lihat satu demi satu. Pertama soal klaim bahwa beliau telah melakukan pencarian jurnal dan tidak menemukan sama sekali. Klaim itu patut diragukan karena dengan mesin pencari Google saja bisa ditemukan banyak. Cuma ada dua kemungkinan, Prof Sarlito mencari di tempat yang memang tidak ada, atau klaim itu lebih merupakan dramatisasi padahal tidak dia lakukan dengan sungguh-sungguh. Apalagi dengan tambahan bahwa telah menemukan 40.000 dan tidak ada satupun yang berhubungan, dari situ saja sudah tidak ilmiah kalau ada orang bisa membaca 40.000 jurnal dalam tempo hanya beberapa hari. Saya sendiri mencoba memverifikasi dengan menggunakan mesin pencari Google, dengan kata kunci: dermatoglyphic, intelligence dan setting hanya mencari file pdf. Ada ribuan thread muncul, dan banyak di antaranya jurnal. Saya berikan beberapa yang terata: 1. Association between Finger Patterns of Digit II and Intelligence Quotient Level in Adolescents. Mostaf Najafi, MD, (2009), Department of Psychiatry, Shahrekord University of Medical Sciences, Shahrekord, IR Iran. Link: http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/14053.pdf

Transcript of Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

Page 1: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

Fingerprint Test, Keilmiahan dan Tulisan ‘Sidik Jari’ Prof Sarlito

Oleh

Audifax

Bergiat di SMART HRPD, Forum Studi Kebudayaan (FSK) ITB dan Pustaka Kushala

Berdebat mengenai Fingerprint Test, sudah bukan hal baru lagi. Sudah sejak 2008 lalu, ketika

saya dan Ratih Ibrahim memulai menggunakan alat ini untuk biro kami masing-masing,

perdebatan sudah muncul. Argumen kontra umumnya mempersoalkan keilmiahan. Sebuah

argumen yang sebenarnya umum dan sering digunakan bukan hanya dalam kasus Fingerprint,

tapi juga hampir semua kasus yang berkaitan dengan „pemikiran baru‟ atau „metode baru‟.

Permasalahannya, kontra argumen yang mengatasnamakan keilmiahan itu sendiri sering

dilontarkan secara tidak ilmiah. Salah satunya, yang kebetulan saya diminta menanggapi oleh

Ellen Kristi, teman dari Semarang, adalah tulisan dari Profesor Sarlito berjudul „Sidik Jari‟,

yang di-share di Facebook dan dimuat di harian SINDO edisi 15 Mei 2011. Mengapa saya

katakan argumen itu tidak ilmiah? Mari kita lihat satu demi satu.

Pertama soal klaim bahwa beliau telah melakukan pencarian jurnal dan tidak menemukan

sama sekali. Klaim itu patut diragukan karena dengan mesin pencari Google saja bisa

ditemukan banyak. Cuma ada dua kemungkinan, Prof Sarlito mencari di tempat yang

memang tidak ada, atau klaim itu lebih merupakan dramatisasi padahal tidak dia lakukan

dengan sungguh-sungguh. Apalagi dengan tambahan bahwa telah menemukan 40.000 dan

tidak ada satupun yang berhubungan, dari situ saja sudah tidak ilmiah kalau ada orang bisa

membaca 40.000 jurnal dalam tempo hanya beberapa hari.

Saya sendiri mencoba memverifikasi dengan menggunakan mesin pencari Google, dengan

kata kunci: dermatoglyphic, intelligence dan setting hanya mencari file pdf. Ada ribuan

thread muncul, dan banyak di antaranya jurnal. Saya berikan beberapa yang terata:

1. Association between Finger Patterns of Digit II and Intelligence Quotient Level in

Adolescents. Mostaf Najafi, MD, (2009), Department of Psychiatry, Shahrekord University of

Medical Sciences, Shahrekord, IR Iran. Link:

http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/14053.pdf

Page 2: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

2. Quantitative Dermatoglyphic Analysis in Persons with Superior Intelligence. M. Cezarik,

dkk, 1996; link:

http://www.collantropol.hr/_doc/Coll.%20Antropol.%2020%20%281996%29%202:%20413-

418.pdf

3. Application and Development of Palmprint Research, Yunyu Zhou, dkk, (2001), link:

http://ai.pku.edu.cn/aiwebsite/research.files/collected%20papers%20-

%20palmprint/Application%20and%20development%20of%20palm%20print%20research.p

df

4. Analysis of dermatoglyphic signs for definition psychic functional state of human's

organism, Anatoly Bikh,dkk; link: http://www.foibg.com/ibs_isc/ibs-07/IBS-07-p06.pdf

5. Determining The Association Between Dermatoglyphics And Schizophrenia By Using

Fingerprint Asymmetry Measures; Jen-Feng Wang, dkk; link:

http://www.eng.mu.edu/nagurka/Wang_Determining%20the%20Association_IJPRAI2203_P

601.pdf

6. Quantifying the Dermatoglyphic Growth Patterns in Children through Adolescence; J.K.

Schneider, Ph.D.; link: http://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/grants/232746.pdf

Sebelum ini saya juga sudah memiliki sejumlah referensi dari jurnal, ini beberapa di

antaranya:

CHINA SPORT SCIENCE AND TECHNOLOGY》 1999-02

The Feasible Study on Identification of Children's Intelligent by Dermatoglyphic

Pattern

Liu Hongzhen, Zhang Huaichun, Li Ziqin, Tang Xiaohui

The aim of this study is to explore the feasibility of early intelligent identification by

dermatoglyphic pattern. Intelligent of 723 subjects (aged 8~13) were tested with a revision

of Renee's Penetration Measure by Lidan and their dermatoglyphic were collected. The

relationship between intelligent and parameters of dermatoglyphic pattern was investigated

by multiple linear regression analysis. The results indicate that intelligent is correlated with

the double loop whorl, radial, simple creese hand, the third and fourth interdigital area pattern

Page 3: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

I3 and I4. The regression equations for predicting intelligent and radial, intelligent and I3,

intelligent and I4 were calculated according to above results.

Key Words intelligent∥dermatography∥athlete selection∥multiple linear regression

Personality and Individual Differences

Volume 30, Issue 4, March 2001, Pages 579-586

Cognitive pattern and dermatoglyphic asymmetry

Doreen Kimura, and Paul G. Clarke

Department of Psychology, Simon Fraser University, 8888 University Drive, Burnaby,

British Columbia, Canada, V5A 1S6

Received 1 October 1999;

revised 20 February 2000;

accepted 15 March 2000.

Available online 31 January 2001.

Abstract

Right-handed subjects were classified by the number of ridges on left and right fingertips as

left-higher (L>) or right-higher (R>). As in previous studies, L> subjects of both sexes scored

higher than R> subjects on tasks typically favouring females (feminine tasks). However,

masculine characterization of tests did not relate consistently to direction of dermatoglyphic

asymmetry. Instead, two verbally-presented reasoning tasks (inferences, math aptitude) were

advantaged in R> subjects compared to L>. Since fingerprints are formed by the fourth fetal

month, the data support suggestions that significant components of our cognitive pattern are

programmed very early in life.

Author Keywords: Cognitive; Asymmetry; Sex differences; Dermatoglyphics; Fingerprints

Chinese Journal of Anatomy》 2002-01

Research on dermal ridge in students with high intelligence

LUO Tong Xiu,XU Ming Zong,LI Shi Wang,ZHOU Xiang,OUYANG Chi,ZHOU Xin Lian

(Chenzhou Medical College,Chenzhou 423000)

Objective:To study the dermal ridge of students in class of science and technology,to know

the character of dermal ridge in top intelligent persons.Methods:Printed the dermal ridge with

Page 4: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

printing oil and observed them with magnifying glass,compared the differences of the

fingerprints and frequencies of the ridge patterns of palms of the hands (foots) between the

students with high in intelligence and the students in contrast group.Results:In the class of

science and technology,the frequency of finger end were 52.7%,out loops were 52.8% and

the whorls were 27.5% in the hallucal areas,and TFRC were 149.2 lines.Those statistics were

higher than that of contrast group.But the archs frequencies of fringer end and the hallucal

areas was lower than contrast group.Conclusion:It proves once again that dermal ridge and

intelligence is related.The results may help to select the excellent personnel.

Key Words】: top intelligent persons dermal ridge anthropometry

Chinese Journal of Anatomy》 2007-01

Dermatoglyph features of highly intelligent population

Zhang Limin1, Yang Zhanjun2, Chen Haihui1, Zhu Lihua1 (1 Department of Histology and

Embryology, 2 Department of Anatomy, Chengde Medical College, Chengde 067000,

China)

Objective: To explore the tegumental features of the highly intelligent population. Methods:

Totally 856 Han Chinese were included in this study (104: IQ110; 752: IQ90~109). Twenty

five indexes, including fingerprint, palm print and IQ, were analyzed and compared with

related documents.Results: There was significant difference in 10 indexes between 2 groups.

After integrated analysis, we proposed that 4 parameters (Wde, Wcz, Lus, PTC) could be the

biological parameters for judging the intelligence, and we also provided the normal value of

each parameter.Conclusion: This study provides a convenient and easy screening method for

discovering highly intelligent children at an early stage.

Key Words】: intelligence quotient fingerprint palm print giftedness

Begitu banyak yang bisa ditemukan. Itu semua membuat saya makin tidak percaya bahwa

Prof Sarlito benar-benar mencari jurnal atau penelitian terkait. Justru aneh kalau ada

sebanyak itu jurnal, tapi seorang profesor tidak mampu menemukannya satu pun.

Ini pelajaran penting dalam membuat sebuah argumen ilmiah yang tidak banyak orang

psikologi mampu melakukannya. Alasan-alasan semacam: tidak nemu jurnalnya, sudah kuno,

sudah mulai ditinggalkan, dan sejenisnya, itu semua bukan sebuah argumen ilmiah. Membuat

sebuah argumen ilmiah, carilah argumen yang diberikan oleh para teoritisi dermatoglyphic

(fingerprint). Pelajari tesis-tesisnya, lalu buat antitesisnya. Teori vs teori. Data vs data.

Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan, khususnya psikologi dalam konteks ini, akan

berkembang semakin luas dan bermanfaat.

Page 5: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

Bukankah Prof Sarlito sendiri menulis: “…setelah memasukkan kata kunci “sidik jari”.

Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera tentang ke-ilmiahan metode

analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini.” Kenapa sebagai seorang profesor anda tidak

kutip saja salah satu tesis ilmiah mereka dan berikan antitesis ilmiahnya? Bukankah

semestinya di situ keilmiahan seorang profesor ditunjukkan? Bukannya malah melantur

kesana kemari mulai soal ibu-ibu yang ongkang-ongkang sampai soal Densus88.

Coba Prof Sarlito membaca model-model perdebatan ilmiah, misalnya perdebatan Sigmund

Freud dan Carl Gustav Jung, perdebatan Paul Ricour dan Algirdas Greimas, dst. Mereka

berdebat fokus pada masing-masing tesis, bukan kemana-mana. Premis-premis mereka pun

jelas, bukan muncul dari dasar laut seperti tulisan Prof Sarlito ini:

Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia”

kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan

dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya

akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa,

saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi

mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh

diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.

Di sini jelas bahwa premis utamanya saja Prof Sarlito tidak menguasai, kok berani-beraninya

membuat kesimpulan? Apakah mengenali potensi anak sama dengan memastikan arah hidup

si anak? Tentu saja ini hal yang berbeda. Ini logika mendasar tapi tidak dipahami Prof Sarlito.

Mengenali potensi anak, hanya berfungsi membantu anak untuk mengembangkan potensinya,

sekaligus mengatasi kelemahannya. Dan dalam hal ini, fungsinya sama saja dengan semua

bentuk lain dari tes dan diagnosa psikologi, yaitu sifatnya hanya membantu. Di luar apa yang

telah dipetakan, kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupan jelas masih ada.

Di sinilah perlunya memahami logika dasar bahwa tes Fingerprint, tujuannya adalah

memetakan dan sama seperti ilmu pengetahuan lain, sebuah pemetaan atau prediksi saintifik

hanya berlaku ketika memenuhi hukum ceteris paribus.

Ketidakpahaman Prof Sarlito mengenai ilmu pengetahuan dan logika, juga nampak pada

kutipan berikut:

Page 6: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu

pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal “ilmiah” mereka

sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari

70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian

Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.

Saya semakin heran dengan keprofesoran Sarlito ketika membaca kalimat: “Kalau kita cari di

Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi

semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya

adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.” Jadi, kalau suatu ilmu berada di luar

komunitas ilmu psikologi lalu disimpulkan sebagai pseudo-science dari psikologi? Wah,

betapa arogan „komunitas‟ macam itu. Dan, dari cara memverifikasi berdasarkan cara

semacam itu saja Prof Sarlito sudah tidak ilmiah. Apa Prof Sarlito tidak menyadari bahwa

banyak orang di luar komunitas psikologi mampu memelajari secara lebih mendalam soal

psikologi ketimbang orang-orang dalam komunitas psikologi?

Sebagai profesor, semestinya Prof Sarlito menyadari bahwa pengujian suatu ilmu bukan

berdasarkan suatu komunitas, melainkan dengan menguji bangunan ontologi, epistemologi

dan aksiologi/metodologi-nya. Ini satu hal mendasar lagi yang tidak terlihat dari cara Prof

Sarlito menuliskan mengenai Fingerprint.

Lalu ketika Prof Sarlito menuliskan:

“Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa

diverifikasi teorinya.”

Saya sebenarnya penasaran, Prof Sarlito ini tahu apa enggak mengenai „verifikasi‟. Dugaan

saya, beliau tidak mengetahui alasannya. (Saya menantang siapapun juga yang membaca ini

untuk menjelaskan alasan mengapa keilmiahan perlu „verifikasi‟ dan verifikasi macam apa).

Darimana saya menduga kalau beliau tidak tahu? Pertama dari tidak adanya alasan jelas

mengapa harus ada verifikasi. Kedua, dari tulisan selanjutnya:

Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan antara singa yang galak,

dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo dengan sifatnya yang

galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak merpati, loh!).

Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hububnannya antara

sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan

Page 7: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya,

pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga termasuk sedikit faktor

bawaan.

Prof Sarlito membaca dari literatur astrologi mana yang menyatakan manusia berbintang Leo

sifatnya galak? Itu benar ada atau cuma kira-kira Prof Sarlito? Tidak jelas. Di sini kembali

terlihat logika yang premisnya muncul dari dasar laut. Itu menunjukkan argumen itu disusun

asal ngomong, bukan karena benar-benar tahu apa yang diomongkan.

Dan penilaian Prof Sarlito disini pun seolah dia sterilkan dari verifikasi. Bagaimana

memverifikasi bahwa memang belum pernah ada penelitian yang mengkaji hubungan

astrologi dan kepribadian? Ini saya buktikan kalau logika Prof Sarlito muncul dari dasar laut.

Ternyata ada kok peneliti dari University of Georgia, yang meneliti hubungan antara

astrologi dengan personality traits dan menemukan hubungannya:

Hyokjin Kwak; Astrology: Its Influence On Consumers' Buying Patterns And Consumers'

Evaluations Of Products And Services, link:

http://www.terry.uga.edu/~ajaju/papers/AMS2000.pdf

Begitu juga komentar Prof Sarlito mengenai Sidik Jari dalam kutipan di atas, tidak bisa

diverifikasi darimana asalnya. Bahkan, terlihat bahwa Prof Sarlito tidak menguasai dengan

benar premis yang mendasari, walau dalam tulisannya mengutip pemikiran Sir Francis Galton

dan sejumlah pemikir lain yang mengembangkan telaah sidik jari.

Saya sependapat dengan komentar Nuruddin Asyhadie di FB mengenai tulisan Sidik Jari,

bahwa dengan apa yang Prof Sarlito lakukan sekarang (keterlibatannya dalam riset psikologi

dan psikologi kriminal), dan reputasinya sebagai psikolog, kukira seharusnya Prof Sarlito

tahu dengan baik posisi wacana fingerprint atau dermatoglip dengan psikologi sejak

penyelidikan Galton, Bapak Psikometri, mengenai ras dan kecerdasan dengan fingerprint,

sampai penggunaan korelasi NGF (Nerve Growth Factor) dan EGF (Epidermal Growth

Factor) yang ditemukan oleh Rita Levi dan Dr. Stanley Cohen, yang membuat keduanya

meraih nobel.

Keprofesoran Sarlito seharusnya ditunjukkan dengan membuat antitesis dari sejarah panjang

tersebut. Itu baru kita bisa bicara ilmiah dan tidak ilmiah. Tradisi semacam inilah yang perlu

dikembangkan dalam psikologi di Indonesia, sehingga komentar-komentar yang

mengatasnamakan keilmiahan, alih-alih ilmiah justru nampak genit dan reaktif. Perlu disadari

juga bahwa sebuah tulisan kritis, bukan berarti bisa mensterilkan dirinya dari kekritisan.

Page 8: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

Ada sebuah kritikan menarik dari Karl Raimund Popper, tokoh pospositivis, yang mengkritisi

Vienna Circle dan cara berpikirnya. Popper mengatakan bahwa, pengetahuan selayaknya

bukan mempertahankan (memverifikasi) yang sebelumnya sudah dianggap ilmiah, namun

juga memfalsifikasi. Artinya, suatu pengujian justru harus dilakukan untuk melihat

kemungkinan apa yang selama ini dipercayai benar ternyata mungkin saja salah, dan

sebaliknya, yang dianggap salah justru mungkin menjadi benar.

Popper mengambil perumpamaan, bahwa untuk menggugurkan tesis bahwa semua angsa

adalah putih, cukup diperlukan satu angsa hitam. Maka itu, janganlah membuat pernyataan:

„Tidak ada angsa berwarna hitam‟, melainkan „Belum ada angsa berwarna hitam‟. Dengan

demikian, maka ilmu pengetahuan akan selalu terbuka akan hal-hal baru dan bukan semata

memertahankan hal-hal lama.

Saya merasa perlu menuliskan ini, selain memenuhi ajakan menanggapi dari Ellen Kristi,

juga karena melihat bahwa perdebatan mengenai fingerprint ini, nampaknya sama sekali tidak

ilmiah karena banyaknya orang yang mendebat dengan model seperti Prof Sarlito, yaitu tanpa

menguasai premisnya dengan baik, dan bicara mengatasnamakan ilmiah tapi tidak ada

argumen ilmiahnya. Ini membuat, perdebatan mengenai fingerprint tidak pernah sampai ke

ranah ilmiah.

Silahkan anda kuasai dulu apa itu ilmiah, baru kita bicara keilmiahan.

Page 9: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

Lampiran: tulisah prof Sarlito

SIDIK JARI

Sarlito Wirawan Sarwono

Page 10: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

Setelah kasus Otak Tengah, yang akhir-akhir ini sering ditanyakan kepada saya adalah

tentang Test Sidik Jari untuk mengetahui kepribadian anak. Saya sendiri yang sudah 43 tahun

malang-melintang di dunia psikologi, belum pernah tahu sebelumnya tentang keberadaan test

tersebut dan tidak mau ambil pusing. Paling-paling penipuan lagi, pikir saya.

Tetapi beberapa hari yang lalu, anak saya yang kebetulan juga psikolog, berceritera kepada

saya bahwa dia diajak temannya (baca: dikejar-kejar) temannya untuk bergabung dengan

usaha dia dalam usaha test Sidik Jari. Lumayan, kata temannya itu. Captive market-nya ibu-

ibu yang punya anak kecil, dan sekolah-sekolah, dan biayanya Rp 500.000,-per anak.

Sebagai psikolog professional anak saya meragukan validitas dan reliabilitas (keabsahan dan

kesahihan) test itu. Apalagi dengan job dan statusnya yang sudah mapan dan gajinya yang

sudah berlipat-lipat di atas UMR, dia tidak mau ambil risiko, karena itu ia minta pendapat

saya.

Saya langsung saja menyatakan bahwa saya pun tidak percaya, tetapi saya penasaran. Maka

saya pun browsing semua jurnal Psikologi (hampir seluruh dunia yang berbahasa Inggris)

yang bisa diakses oleh mesin searcher dari Asosiasi Psikologi Amerika (APA) dimana saya

menjadi salah satu anggotanya.

Hasilnya menakjubkan, sekitar 40.000 tulisan yang mengandung kata “finger print”.

Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait dengan sidik jari dalam hubungannya

dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak. Hasilnya: NIHIL!

Sedangkan kalau saya gunakan kata kunci Dermatoglyphic (Dermato artinya kulit, Glyphs

artinya ukiran, jadi kulit yang berukiran) ada satu keluaran, yaitu tulisan berjudul

“Neurodevelopmental Interactions Conferring Risk for Schizophrenia: A Study of

Dermatoglyphic Markers in Patients and Relatives”, oleh

Avila, Matthew T.; Sherr, Jay; Valentine, Leanne E.; Blaxton, Teresa A.; Thaker, Gunvant K.

dalam Schizophrenia Bulletin, Vol 29(3), 2003, halaman 595-605. Jadi tulisan yang satu ini

pun hanya tentang hubungan antara gejala sakit jiwa skhizoprenia (yang dipercaya

merupakan penyakit turunan) dengan pola sidik jari (yang juga merupakan bawaan),

Sebaliknya, dari Google saya mendapat banyak sekali keluaran setelah memasukkan kata

kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera tentang ke-

ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini. Bahkan ada iklan promo yang

menawarkan test Sidik jari “hanya” untuk Rp 375.000 per anak. Sisanya adalah testimoni dari

orang-orang yang pernah mencoba test yang katanya pelaksanaannya sangat mudah.

Sedangkan salah satu kalimat promosi mereka adalah bahwa “Analisa sidik jari memiliki

tingkat akurasi lebih tinggi daripada metode pengukuran lain. Klaim akurasi 87%”.

Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia”

kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia

hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan

menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa,

saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi mereka.

Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri

menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.

Page 11: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

Tetapi faktanya kan tidak seperti itu. Upaya manusia untuk mempelajari jiwa sudah berawal

sejak zaman Socrates, 400 thn sebelum Masehi, dan melalui perjalanan sejarah yang panjang

sekali, serta mendapat masukan dari berbagai ilmu, termasuk ilmu faal dan kedokteran, serta

matematika, Wilhelm Wundt baru menyatakan Psikologi sebagai Ilmu yang mandiri pada

tahun 1879 di Leipzig, Jerman (versi Amerika oleh William James, di sekitar tahun yang

sama di Universitas Harvard).

Pasca kelahirannya, Psikologi berkembang terus, termasuk mengupayakan berbagai teknik

dan metode untuk mengukur berbagai aspek kepribadian, termasuk test IQ, minat, sikap,

bakat, emosi dan seterusnya. Kemajuannya sangat langkah-demi-langkah, tidak ada yang

langsung meloncat, dan sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya, setiap kemajuan, temuan

atau kritik selalu dilaporkan dalam jurnal-jurnal dan seminar-seminar psikologi seluruh

dunia. Karena itulah maka langkah pertama saya adalah mengecek jurnal ilmiah Psikologi

untuk memastikan apakah test Sidik Jari ini termasuk metode yang diakui dalam Psikologi

atau tidak.

Di sisi lain, teknik analisis sidik jari juga sudah berembang sejak 1800an. Tahun 1880 Dr

Henry Faulds melaporkan tentang sistem klasifikasi yang dibuatnya untuk mengidentifikasi

seseorang. Tahun 1901 teknik yang disebut Daktiloskopi ini digunakan di Inggris, 1902 di

Amerika digunakan di kalangan pegawai negeri, 1905 di Angkatan darat AS, dan sejak 1924

mulai dipakai oleh FBI. Tetapi semuanya adalah untuk menentukan identitas fisik seseorang.

Misalnya, apakah benar sidik jari yang ditinggalkan pelaku di TKP (Tempat Kejadian

Perkara) perampokan adalah milik si Fulan. Sebelum ditemukan system DNA, Daktiloskopi

lah yang menjadi andalan Polisi.

Namun di kemudian hari, nampaknya teknik analisis Sidik Jari yang awalnya hanya untuk

identifkasi fisik, berkembang menjadi teknik identifikasi psikis (kejiwaan) juga. Ilmuwan

Inggris Sir Francis Galton yang masih sepupu Sir Charlis Darwin adalah penganut teori

evolusi. Dia percaya bahwa kepribadian ditentukan oleh bakat-bakat yang dibawa sejak lahir

dan bakat-bakat itu terukir di sidik jari srtiap orang. Maka ia menerbitkan buku “Finger

prints” (1888) dan memperkenalkan klasifikasi sidik jari yang dihubungkan dengan

klasifikasi kepribadian.

Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu

pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal “ilmiah” mereka

sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari

70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian

Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.

Ilmu semu lain dalam psikologi yang banyak kita kenal adalah Astrologi (banyak di majalah-

majalah wanita dan remaja, tetapi tidak pernah ada di Koran SINDO), Palmistri (ilmu rajah

tangan, yang ketika saya mahasiswa sering saya pakai untuk merayu mahasiswi-mahasiswi

Fakultas Sastra sambil meraba-raba tangannya), Numerologi (meramal atau menjodohkan

orang dengan menggunakan angka-angka tanggal lahir dsb.), Tarrot (dengan menggunakan

kartu-kartu) dan masih banyak lagi. Semua itu mengklaim diri sebagai ilmu, lengkap dengan

literatur dan teknik masing-masing, dan memang nampaknya sahih dan canggih betul (ada

yang putus dari pacar gara-gara bintangnya tidak cocok).

Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa

diverifikasi teorinya. Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan

Page 12: Mengkounter Tulisan Fingerprint Test, Keilmiahan prof Sarlito by Audifax

antara singa yang galak, dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo

dengan sifatnya yang galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak merpati, loh!).

Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hububnannya antara

sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan

seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya,

pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga termasuk sedikit faktor

bawaan.

Pandangan bahwa kepribadian ditentukan oleh fator bawaan (nativisme) sudah lama

ditinggalkan oleh Psikologi . Teori yang berlaku sekarang adalah bahwa kepribadian

ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Karena itu untuk memeriksanya

diperlukan proses yang panjang (metode psikodiagnostik, assessment) dan duit yang lumayan

banyak.

Karena itu saya tidak pernah menyarankan orang untuk ikut psikotes kalau hanya untuk ingin

tahu. Buang-buang duit. Tetapi lebih sia-sia lagi kalau buang duit untuk tes Sidik Jari.