Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1]...
Transcript of Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1]...
1
Mengenang Kembali Haji Misbach
by Muhammad Nashirulhaq
sumber gambar: historia.id
Seiring dengan semakin santernya isu kebangkitan kembali komunisme di
Indonesia, dan menganggap komunisme sebagai ancaman bagi Islam, saya kira,
penting bagi kita untuk mengenang kembali Haji Misbach, di peringatan hari
wafatnya yang ke-90 ini.
Pada 24 Mei 1926, Haji Misbach wafat setelah mengidap penyakit malaria, menyusul
istrinya yang sebelumnya meninggal karena TBC. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman
Penindi, Manokwari, dengan diantar oleh sekelompok kecil anggota Sarekat
Rakjat Manokwari, yang jumlahnya tak lebih dari 20 orang. Sebagai seorang mantan
anggota organisasi pergerakan semacam Insulinde dan Sarekat Rakjat, dan sebagai
mantan propagandis yang terbiasa berhubungan dengan ratusan bahkan ribuan orang,
kematian dan penguburannya yang sunyi memang ironi. Namun, ini hanya pengulangan
semata dari apa yang sudah menimpa pendahulunya, Tirto Adhi Soerjo—yang oleh
Pramoedya Ananta Toer didaulat sebagai “Sang Pemula” penyebaran kesadaran
nasional— atau yang kelak menimpa rekannya, Marco Kartodikromo—yang menurut Soe
Hok Gie, adalah wartawan pembela rakyat tertindas yang berani nan “bandel”—, yang
wafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1]
Pram, misalnya, menggambarkan wafatnya Tirto dan peristiwa sesudahnya,
Pada hari suram tanggal 7 Desember 1918 sebuah iring-iringan kecil, sangat kecil[2],
mengantarkan jenasahnya ke peristirahatannya yang terakhir di Manggadua, Jakarta.
Tak ada pidato-pidato sambutan.Tak ada yang memberitakan jasa-jasa dan amalnya
dalam hidupnya yang tak begitu panjang…Itulah hari terakhir R.M. Tirto Adhi Soerjo.
Bagi seorang jurnalis kenamaan, yang dalam dasawarsa pertama abad ini banyak disebut
2
oleh pers di Hindia maupun Nederland, memang terlalu sedikit tanggapan orang atas
kematiannya.[3]
Begitu pula yang menimpa Haji Misbach. Haji yang sebelumnya adalah seorang pedagang
batik dari Surakarta ini menjalani hari-hari terakhir hidupnya bersama keluarganya di
Manokwari, setelah diasingkan dari tempat asalnya karena dianggap sebagai salah satu
dalang dari kerusuhan yang terjadi pada Oktober 1923. Per tanggal 18 Juli 1924, ia
memulai perjalanan pengasingan ke Manokwari dari pelabuhan Surabaya.
Membaca penggambaran Takashi Shiraishi terhadap proses pengasingan yang mesti
dijalani Haji Misbach, mau tak mau dan lagi-lagi mengingatkan kita pada penggambaran
serupa dari Pram terhadap proses yang sama yang dialami Minke, nama yang digunakan
Pram untuk merujuk pada Tirtoadhisoerjo, dalam Rumah Kaca-nya.
“Penjagaan polisi sangat ketat.Ketika Misbach kembali sebentar ke Surakarta, hanya
Sjarief dan Haroenrasjid dari Medan Moeslimin, di samping kerabatnya, yang diizinkan
menjenguknya. Anggota-anggota PKI dan SR Surabaya pergi ke pelabuhan, tetapi usaha
ini sia-sia karena ia dikurung dalam kabin. Misbach meninggalkan Jawa dalam
keterpencilan”
Namun, pengasingan dan kesunyian pada hari-hari terakhir dan setelah wafat yang
dialami tokoh-tokoh tadi, hanya menjadi pendahuluan dari ironi yang lebih besar yang
menimpa mereka, yaitu suatu proses yang oleh Ben Anderson disebut sebagai “historical
erasure” alias penghapusan sejarah[4]. Jika Ben menjelaskan proses ini dalam konteks
negara Orde Baru, sosok-sosok dalam Zaman Bergerak tadi mengalami “penghapusan”
dalam narasi sejarah akibat politik penulisan sejarah rezim otoriter sebelumnya: rezim
kolonial. Soe Hok Gie menjelaskan proses ini, bahwa
…politik sejarah Belanda adalah menyembunyikan tiap tokoh, peristiwa dan lain-lainnya,
yang dapat menimbulkan inspirasi perjuangan bagi bangsa Indonesia. Pahlawan-pahlawan
Indonesia yang berhasil mengalahkan Belanda, yang berjuang sampai tetes darah
penghabisan, yang berjiwa nasional, dikaburkan oleh sejarawan-sejarawan kolonial dalam
tumpukan arsip-arsip tua. Tidak dikenalnya Marco, bukanlah kejadian yang kebetulan
saja, akan tetapi merupakan sebuah politik kolonial yang direncanakan, karena Marco
adalah tokoh yang inspiratif dan tokoh tokoh yang tidak penah mau berkompromi dengan
Belanda.[5]
Karenanya, meskipun nama-nama seperti Haji Misbach, Tirtoadhisoerjo, atau Marco
Kartodikromo sempat disebut dalam beberapa karya sejarah sebelum dasawarsa
1980-an atau 1990-an, mereka hanya disebut sambil lalu. Baru pada 1985, buku yang
3
ditulis Pramoedya, yang mengulas secara komprehensif peran dan sosok Tirto
diterbitkan. Namun, Haji Misbach dan Marco Kartodikromo, karena sempat berkhidmat
dalam lapang pergerakan Sarekat Rakjat/PKI, tak pernah lagi disebut-sebut dalam
sejarah resmi yang disusun Orde Baru. Tak mengherankan bila Haji Misbach baru
diangkat kembali peran dan sosoknya oleh seorang peneliti asing.
Adalah Takashi Shiraishi, yang melalui disertasinya pada 1986[6], bisa dianggap sebagai
orang pertama yang menjelaskan secara mendalam dan detail, siapa dan apa peran yang
dimainkan Haji Misbach selama masa yang disebut “zaman bergerak”.[7] Meskipun dalam
karyanya, ia memaparkan radikalisme dalam zaman pergerakan secara umum, ia pun
mengakui peran penting Haji Misbach dan tulisan-tulisannya, bukan hanya dalam masa
hidupnya, namun juga dalam mengilhami dan memengaruhi karyanya ini. Dalam prakata
bukunya, misalnya, ia menulis,
Konsepsi buku ini berasal dari pertemuan saya dengan serial artikel Hadji Mohammad
Misbach dalam Medan Moeslimin, “Islamisme dan Komunisme”, yang saya temukan di
Perpustakaan Museum Nasional Jakarta, pada Desember 1977. Oleh karena tidak dapat
memahaminya, saya mencari dan coba merekonstruksi sebuah konteks historis yang
bermakna untuk menempatkan dan membaca artikel tersebut.Hal ini membuat saya
mempertanyakan historiografi ortodoks tentang pergerakan.
Yang dimaksud dengan historiografi ortodoks oleh Shiraishi adalah klasifikasi yang
diterapkan pada kelompok-kelompok dalam zaman pergerakan, dan
penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat pergerakan. Dalam
historiografi ortodoks, lapangan pergerakan dibagi secara kaku dan saklek menjadi tiga
golongan yang baku berdasar ideologi (nasionalisme, Islam, dan komunisme), tanpa
dimungkinkan adanya sintesa dan percampuran hibrida antar ketiganya. Karenanya, ia
akan gagap menjelaskan adanya fenomena orang-orang yang bergerak di lebih dari satu
lapang pergerakan (semisal orang yang aktif di Insulinde dan menjadi anggota SI, atau
anggota Budi Utomo yang juga aktif di SI, dst). Juga, ia kesulitan mengidentifikasi
adanya nuansa dan keberagaman dalam satu organisasi, yang tak bisa disederhanakan
dalam klasifikasi-klasifikasi tersebut. Shiraishi mengritik dengan menyatakan:
Sekali klasifikasi semacam ini dan pengamatan sekilas itu tertanam dalam bahasa
Indonesia, maka diubahlah bentuk dan akar sejarah generasi sebelumnya. Surat-surat
kabar, rapat-rapat umum, dan pemogokan tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang
betul-betul baru. Partai-partai dilihat sudah begitu adanya sejak mulanya. BO (Boedi
Oetomo), perkumpulan priyayi Jawa, menjadi nasionalis, dan hari berdirinya ditetapkan
sebagai hari kebangkitan nasional. SI menjadi perkumpulan Islam, sebagai nenek moyang
4
PSI, bukan cikal bakal PKI maupun SR. Tirtoadhisoerjo dilupakan. Tjipto
(Mangoenkoesoemo) menjadi nasionalis bersama musuhnya, Dr. Radjiman, R.M.A.
Woerjaningrat, dan Pangeran Hadiwidjojo (orang-orang yang mendukung nasionalisme
Jawa, pen). Tjokroaminoto dan Soerjopranoto (tokoh SI, pen), para theosofis, menjadi
Islam, seislam KH.Ahmad Dahlan, H. Fahrodin, dan H. Agoes Salim (tokoh SI lain yang
tergolong kaoem poetihan, pen). Semaoen dan Darsono menjadi “komunis” yang menyusup
ke dalam SI. Dan meskipun menjadi anggota PKI hanya 3 tahun pada akhir hayatnya
sebagai pemimpin pergerakan, Marco menjadi komunis, sekomunis Sneevliet, Baars, dan
Semaon.
Dalam hal ini peran Haji Misbach begitu penting. Ia menyadarkan Shiraishi—dan kita
semua, tentu saja—akan kekeliruan-kekeliruan yang mungkin timbul dari pandangan
historiografi ortodoks, seperti dalam anggapan di atas. Setelah menyelesaikan paragraf
di atas, Shiraishi melanjutkan:
Tetapi seperti sudah kita lihat, ini semua pikiran yang keliru. Dalam klasifikasi ini,
Misbach tetap sosok yang membingungkan, karena Misbach tetap seorang muslim
putihan yang menjadi propagandis PKI/SR, idenya tentang Islamisme dan Komunisme
tidak dapat diklasifikasikan ke kategori apapun. Tetapi jika kita ikuti kata dan
perbuatannya yang dipakainya untuk menerangi dunia lingkungan hidupnya, ia bukanlah
sosok yang membingungkan lagi. Ia adalah muslim putihan Jawa yang mencoba
membuktikan kemurnian Islamnya dengan berjuang melawan semua fitnah, sebagaimana
diungkapkan padanya oleh toean Karl Marx. Misbachlah yang mengingatkan kita akan
kesalahan klasifikasi nasionalisme, Islam, dan komunisme itu dan memperingatkan kita
akan pandangan nasionalis yang serampangan itu. Jika kita membuang klasifikasi dan
pengamatan yang serampangan itu serta menghindarkan diri dari pandangan teleologis,
maka pergerakan di perempat pertama abad 19 akan muncul kembali dalam bentuknya
yang khas.
Memang, setelah membaca karya Shiraishi (dan karya-kary a lain yang ditulis
setelahnya) yang coba merekonstruksi sosok Haji Misbach, kesan pertama yang muncul
berkaitan dengan tokoh ini adalah bahwa ia sosok yang unik, khas, atau mungkin lebih
tepat disebut sebagaipribadi yang kuat pendirian dan keteguhannya dalam memegang
keyakinan akan kebenaran, meski itu berarti tak menjadi bagian dari arus utama.
“Keunikan” Haji Misbach ini terutama terlihat dari perjalanan “karir” organisasinya,
tulisan-tulisan sebagai pengungkapan dari ide-idenya, maupun dari kesaksian orang lain
terhadapnya.
Di lapangan pergerakan, misalnya, tak seperti kaoem poetihan (sebutan untuk kaum
5
muslim taat saat itu, semacam “santri” dalam tipologi Geertz) kebanyakan waktu itu yang
memulai keaktifan berorganisasi dalam Sarekat Islam, Haji Misbach justru mulai aktif
sejak terlibat dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond), sebuah organisasi yang
diinisiasi Marco Kartodikromo, yang meskipun sepintas adalah organisasi “jurnalis”,
namun adalah wadah bagi pemimpin pergerakan tanpa basis organisasi. Pada awal
kemunculan SI, ia memang sempat menjadi anggota di Surakarta, namun tak begitu aktif
dan memegang jabatan apapun.[8]
Di kemudian hari, Marco mengenang sosok ini pada masa-masa ini dan menceritakan,
Pada waktoe itoe ia soerang Islam jang berniat menjiarken keislaman setjara djaman
sekarang: membikin soerat kabar Islam, sekolahan Islam, berkoempoel-koempoel
meremboek igama Islam dan hidoep bersama. Dalem tahoen 1915 H.M. Misbach
menerbitken soerat kabar boelanan Medan Moeslimin, nomer satoe tahoen pertama
soerat kabar itoe tertanggal 15 Djanoeari 1915.Pada saat itoelah langka jang permoelaan
H.M. Misbach masoek kedalem pergerakan dan memegangi bendera Islam.
Pada beberapa tahun setelahnya, corak pergerakannya lebih terlihat kental bernuansa
agama. Setelah menerbitkan Medan Moeslimin, ia kembali menerbitkan media lain, Islam
Bergerak pada 1917, mendirikan Hotel Islam, toko buku, dan sekolah agama modern,
serta mengadakan pertemuan tablig. Karena corak kegiatannya ini, Shiraishi menyebut
bahwa pada tahun-tahun ini, Misbach memiliki banyak persamaan dengan KH. Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyyah yang memang dikenalnya.[9]
Selanjutnya, lagi-lagi tak seperti kaoem hadji pada umumnya, ia justru aktif dalam
Insulinde, sebuah organisasi dengan aspirasi nasionalis “Hindia untuk Hindia”,yang
identik dengan kelompok Indo (Eurasia), Tionghoa peranakan, serta priyayi
profesional[10] berpendidikan Barat, namun di Surakarta berhasil mengubah dirinya
menjadi perkumpulan bumiputra yang besar. Secara resmi, ia bergabung dengan
Insulinde pada Maret 1918. Dalam konteks ini, menurut Shiraishi, Misbach punya peran
penting dalam memasukkan orang-orang radikal SI ke Insulinde Surakarta. Keaktifannya
ini lah yang kemudian mengantarkannya pada pergerakan yang “sebenarnya”,dan
membawanya berkhidmat di jalur yang jarang digeluti kaum santri pada masa itu: isu
ekonomi politik, penindasan struktural, dan isu perburuhan serta agraria.
Pada Oktober tahun yang sama, misalnya, ia memulihkan PKBT (Perkoempolan Kaoem
Boeroeh dan Tani) di Surakarta, di mana sebelumnya pimpinan pusatnya di Demak
dilumpuhkan akibat pemimpin-pemimpinnya ditangkap. Bukan hanya berjuang dengan
tenaga dan pikiran, ia juga menyumbang banyak dana untuk kebutuhan organisasi ini dan
6
menjadikan kantor Medan Moeslimin dan surat kabar Islam Bergerak sebagai kantor dan
organ PKBT.[11]
Tak jelas betul dari mana ketertarikan dan kesadaran Haji Misbah terhadap isu yang tak
begitu populer bagi kalangan agamawan ini muncul. Yang jelas, seperti tergambar dari
kesaksian Marco terhadap sosoknya, ia adalah seorang haji yang terbuka, eklektik, mau
menerima pengetahuan dari mana saja, dan tak canggung untuk bergaul dengan siapa saja
dari latar belakang apa saja. Hal-hal ini mungkin yang kemuadian memantik kesadarannya
dan membangkitkan perhatiannya terhadap persoalan masyarakat pinggiran. Kepedulian
Haji Misbach terhadap rakyat kecil pun bukan semata didasari empati dan rasa kasihan,
namun juga dilengkapi dengan pengetahuan sebagai perangkat untuk menganalisa dan
mengaitkannya dengan struktur ekonomi yang lebih luas pada masa itu.
Hal ini kemudian melahirkan sesuatu yang unik, yaitu sintesis pemikiran yang
diungkapkannya melalui tulisan-tulisannya. Dalam banyak tulisannya, terutama sejak
1918, ia sering mengombinasikan penguasaannya terhadap pengetahuan agama (patut
diingat, pada masa itu, gelar Hadji hampir pasti menunjukkan orang yang menyandangnya
adalah muslim taat dengan pengetahuan agama yang luas dan mendalam)[12], dengan
mengutip mashadir al-ahkam (sumber hukum) dan dalil-dalil agama, termasuk juga
cerita-cerita perjuangan Nabi, denganpemahamannya yang juga terbilang cukup baik
terhadap konsep ekonomi-politikyang diungkapkan dengan istilah sederhana pada masa
itu, seperti “kapitalisme”, “penghisapan”, “penindasan” ekonomi, dsb. Pada tahun 1919,
misalnya, ia menulis,
Ijoechikkol chakko wa joebtila’l batila walau karihal moedjrimoen.
ARTINJA: Benerkanlah barang jang benar, kliroekanlah barang jang kliroe, kendati
orang jang kliroe itoe membentji kepadamoe.
Terangnja kita manoesia diwadjibkan mendjaga soepaia djangan ada orang teroes
meneroes melakoekan perboeatan jang tidak benar.Djika kita beriman tentoelah tidak
sjak lagi mengindahkan firman Toehan itoe, maski kita dibentji olih orang jang berboeat
salah itoe…dengen tidak memandeng bangsa, pangkat besar ataoe ketjil, kendati radja
ataoe pemerentah negri, oelama ataoe kijaji.Tidak perdoeli siapa djoega djika dia poenja
perboeatan tidak dengan sebenarnja, kita wadjib membenerkan.
Akan tetapi memang soesah boeat ini waktoe kita melakoeken hal itoe, karena jang ini
waktoe didoenia tanah Djawa hanjalah berisi TINDESAN jang ada pada kita…hanjalah
kekoeatan jang disadjikan kepada kita, kekoeatan mana djika kita tidak maoe di
LAKOE-LAKOEKAN, oedjoeng sendjatalah jang dihadepkan kepada kita.Djadi kaloe
7
begitoe Hindia dini waktoe sebagai hanja orang-orang dinegeri MAKAH tempo djaman
poerbakala jang mana prikehidoepannja njelingkan tindesan jang ada padanja. Disitoelah
Toehan bersabda: Mengapa kamoe semoea tidak maoe berperang sabilillah, dan tidak
maoe menolong orang laki dan prempoean dan anak-anak jang sama apes jang sama mohon
pada Alloh…
Nah! Sekarang njatalah bahwa prentah Toehan kita orang diwadjibkan menoeloeng
kepada siapa jang dapet tindesan…[13]
Tak jauh beda dengan apa yang dituliskannya tadi, seorang yang menyaksikan pidato Haji
Misbach pada 1920 melaporkan,
Pembitjara memperingatkan kepada sekalian saoedara kaoem Islam akan
mengingat…pada zaman dahoeloe ditanah Arab banjak sekali tindesan oleh orang
Moesrik kepada sesama maoesia. Nabi kita jang menoendjoekan djalan kebenaran itoe
dimoesoehi dan akan diboenoeh serta dihalaoekan oleh kaoem Moesrik…Barangkali di
zaman sekarang Nabi kita itoe dikatakan “Penghasoet” sebagai halnja
pemimpin-pemimpin ra’jat di Hindia dizaman ini…Olih karena itoelah bagi
saoedara-saoedara Kaoem Islam jang bener-bener tjinta dan mendjalankan prentah
igamanja Islam, tentoe tiada takoet akan masoek kedalem kalangannja S.H (Sarekat
Hindia, pengganti Insulinde, pen) jang bermaksoed melawan segala tindesan, fitnahan,
dan penghisapan, karena maksoed S.H. itoelah bersetoedjoean dengan igama Islam,
hingga tiada lajak poela bila kaoem Islam tinggal diam sadja melihat tindesan-tindesan
jang menimpa kepada ra’jat Hindia sebagai jang ada di zaman ini.[14]
Pada bulan-bulan berikutnya, ia tetap aktif mengorganisir serikat-serikat buruh dan
tani, dan pemogokan-pemogokan ketika dianggap diperlukan untuk menyuarakan isu-isu
tertentu, seperti rendahnya upah, dsb, yang tak didengarkan ketika disampaikan secara
“baik-baik”. Sampai ketika pada pertengahan Mei 1920, ia diperintahkan untukditangkap,
dan melalui pengadilan landraad (pengadilan untuk pribumi) di Klaten, diputuskan untuk
dipenjara selama dua tahun atas tuduhan provokasi dan hasutan pemogokan melalui
rapat-rapat umum yang dihadirinya di desa-desa di sekitar Surakarta.
Misbah, Islam, dan Komunisme
Sekeluarnya ia dari penjara pada 1922, ia menghadapi adanya perpecahan dalam tubuh
SI akibat disiplin partai yang hendak diterapkan tokoh-tokoh CSI, sepeti Agus Salim
dan Tjokroaminoto, yang akan mengeluarkan tokoh-tokoh yang sebelumnya tergabung
dalam SI Merah dan ISDV yang sering menyuarakan gagasan komunisme, dari
keanggotaan SI. Kebijakan disiplin partai yang sebenarnya didasari motif politis untuk
8
merebut pengaruh dalam SI dan mendepak kelompok-kelompok “pengganggu” kemapanan
kelompok elite dalam tubuh organisasi ini[15], lalu justru dilegitimasi dengan
retorika-retorika yang jelas tak sesuai realita.
Tjokro, misalnya, dalam pidatonya menyatakan bahwa SI didasarkan pada agama Islam,
dan karena komunis “tidak percaya pada Tuhan dan tidak mengakui agama Islam”, ia
menyatakan bahwa komunisme tidak sesuai dengan SI.Retorika-retorika pada masa inilah
yang sesungguhnya menjadi tonggak awaldari anggapan yang tersebar luas hingga saat
ini, bahwa Marxisme sinonim dengan ateisme dan anti-agama.[16] Haji Misbach,
yangmendalam pengetahuannyaakanIslam kontan membantah hal ini. ia justru
menyatakan bahwa SI Tjokro-lah yang “palsoe” dan “moenafik”.Kritik serupa datang dari
PKI/SI Merah, yang akibat disiplin partai, benar-benar terdepak dari SI. Shiraishi
menggambarkan,
PKI menyerang Tjokroaminoto karena meng-Tjokro-nya (penggelapan uang), dan Salim
sebagai mata-mata PID dan haji londo (haji Belanda)[17]. Di lain pihak, seruan PSI/CSI
(Partai Sarekat Islam, nama resmi SI setelah disiplin partai, pen) untuk persatuan Islam
dan kampanyenya melawan PKI/SI Merah (“komunis tidak percaya Allah dan tidak
mengakui agama Islam”) tidak terlalu berarti keberhasilannya. Kampanye ini hanya bisa
menarik kaum putihan.Sedangkan Islam yang militan bergabung dengan Misbach dalam
serangannya kepada “SI Tjokro” yang dianggapnya “palsoe” dan “moenafik”.[18]
Dalam persoalan disiplin partai ini, lagi-lagi kita bisa melihat “keunikan” Haji Misbach.
Jika kaum putihan kebanyakan pada masa itu lebih memihak PSI/CSI dalam konfliknya
dengan PKI/SI Merah, karena PSI menggunakan sentimen politik identitas, Misbach
justru berada dalam kubu yang sama dengan PKI dalam serangannya terhadap elit-elit
PSI/CSI. Tak sampai di situ, pada Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis
PKI/SI Merah dan banyak berbicara dan menulis soal keselarasan antara Islam dan
Komunisme.Jika sebelumnya Misbach memang sudah aktif dalam pergerakan dan banyak
menyerang kapitalisme dalam tulisan-tulisannya, namun bukan dalam garis ideologi
tertentu, pada masa ini, tulis Shiraishi, “Misbach umumnya diingat sebagai seorang
komunis Islam paling terkemuka. Cap komunis Islam ini tidak salah jika mengingat ia
adalah tokoh pergerakan terkemuka dengan tujuan “memajukan Islam” yang bergabung
dengan PKI.”.
Ketika kaum putihan lain “termakan” propaganda politik identitas oleh PSI/CSI tentang
komunisme, tanpa tahu apa itu komunisme, Misbah justru menyatakan:
Begitoe djoega sekalian kawan kita jang mengakoei dirinja sebagai seorang kommunist,
9
akan tetapi misi soek mengeloewarkan fikiran jang bermaksoed akan melinjapkan igama
Islam, itoelah saja berani mengatakan bahoewa mereka bukannya kommunist jang
sedjati atau mereka beloem mengerti doedoeknja kommunist; poen sebaliknja, orang
jang soeka mengakoe dirinja Islam tetapi tidak setoedjoe adanja kommunisme, saja
berani mengatakan bahoewa ia boekan Islam jang sedjati, ataoe beloem
mengertibetoel2 tentang doedoeknja igama Islam.
Dalam tulisan lain, selaku perannya sebgai propagandis PKI/SR, Misbah juga menulis,
kami menerdjoenkan diri dalam lapang Communisme ini, hanja bermaksoed membela
igama kita. Begitoe djoega kami minta kepada sekalian saoedara2 jang telah jakin bahwa
Communisme itoe tida melanggar wet (aturan, pen) igama Islam, marilah kita bersiap
bersama-sama masoek kelapang pergerakan PKI dengan maksoed membela igama kita,
dan djoega menoeroet printah igama kita.
Pun ketika kebanyakan muslim begitu anti terhadap Marxisme dan pemikiran Karl Marx
(sampai hari ini), “hanya” karena anggapan bahwa ia mengajarkan ateisme, seperti
terbukti dari kata-katanya “agama adalah candu bagi masyarakat” (yang tak dipahami
sesuai konteksnya), Haji Misbach justru membela Karl Marx. Tak cukup membela, ia juga
memberi legitimasi agama terhadapnya, bukan sekadar dengan argumen-argumen, tetapi
juga dengan dalil agama. Simak pemaparannya:
…kami sebagai orang Islam wadjiblah dari djaoeh momboeka topi boeat tanda memberi
trima kasih kepada Karl Marx cs jang mereka itoe mendjadi penoendjoek djalan
sebagaimana kita orang akan melakoekan prentah Alloh. Meskipoen K. Marx itoe
dikatakan olih kebanjakan orang soeatoe orang kafir, tetapi toch mereka itoe jang
mendjadi sebabnja kami bisa mengetahoei tentang rintangan igama kita jang terbesar,
rintangan mana jang haroes kita melawannja dengan sekoeat-koeatnja, jalah peratoeran
kapitalisme jang mengisap kepada darah dan peloeh kita ra’jat jang terbanjak.Begitoe
djoega kami mendapat soeatoe chadis didalam kitab “Djami’oesoghir”[19] demikian
“innalloha joe’ajjidoel Islama bi ridjalin ma hoem min ahlih”. Artinja Toehan Alloh akan
menegoehkan igama Islam, lantaran dari orang jang boekan Islam”.djadi apabila K. Marx
cs itoe boekan orang Islam, tetapi kami jakin bahoea perlawanan jang diatoe olih K. Marx
cs itoe, tentoe akan menjebabkan gampangnja kita melakoekan printah oentoek
mendjalankan igama kita.
Bagaimana Haji Misbach bisa sampai pada kesimpulan bahwa pisau analisa Marxisme bisa
membantu perhuangan agama? Ia mengungkapkan,
kaoem modal memeras kaom boeroehnja tida memandang bangsa dan agama dan tida
10
ambil poesing wet-wet igama jang moesti didjalani orang-orang yang beragama…
kaoem-kaoem boeroeh di mana-mana sadja selain mereka soedah mengorbankan
tenaganja, fikirannja…poen mengoerbankan agamanja diroesak djoega olih kapitalisme…
Djaman kapitalisme oewang mendjadi pokok hidoep manoesia, dari itoe maka orang-orang
kebanjakan mendjadi terctjintanja kepada oewang sehingga bolih diseboet tjinta boeta,
maka jang diboetakan olih mata oewang sampai meloepakan kemanoesiaannja, badan dan
djiwanja diserahkan ke oewang sadja…
Memang! Kita tahoe bahoewa kapitalisme itoe tjerdik, beberapa daja oepaja dengan
tiori dan taktik jang loewas dan haloes sehingga bisa memoetar masing-masing igama
mendjadi perkakasnja.
Bahkan dalam tulisan terakhirnya sebelum wafatnya, yang berjudul “Nasehat” dan terbit
di Medan Moeslimin pada 1 April 1926, ia masih mengungkapkan kenapa kapitalisme
merusak agama.
hingga sekarang saja berani mengatakan djoega, bahoewa kaloetnja doenia ini, tida lain
hanja dari djahanam kapitalisme dan imperialisme berboedi boeas itoe sadja. Boekannja
keselametan dan kemerdikaan kita hidoep dalam doenia ini sadja, hingga kepertjajaan
kita hal igama poen diroesak djoega olihnja.
Epilog
Saya ingin menutup tulisan ini dengan kembali ke awal tulisan.Benarkah komunisme adalah
ancaman bagi Islam, sehingga kita umat Islam memang harus senantiasa mewaspadainya,
menyingkirkannya, dan kalau bisa juga memusuhinya?
Abdurrahman Wahid, sebagai orang yang bisa dianggap pertama kali mengangkat tema
ini pasca-1965, melalui tulisannya pada 1982, “Pandangan Islam Tentang
Marxisme-Leninisme”, sebenarnya sudah dengan baik menjelaskan bagaimana
seharusnya, atau sebaiknya, sikap dan pandangan muslim Indonesia terhadap komunisme
atau Marxisme-Leninisme—terlepas dari beberapa kritik terhadap pemahaman Gus Dur
sendiri terkait Marxisme.[20]
Ia menyadari, persepsi yang buruk di kalangan muslim Indonesia akan komunisme, tak
bisa dilepaskan dari memori kolektif dan kejadian tak mengenakkan di masa lalu terkait
hubungan keduanya. Contoh utama yang bisa disebut, misalnya, adalah pembunuhan yang
dilakukan kelompok-kelompok yang mengaku komunis terhadap umat Islam, bahkan
tokoh-tokohnya, dalam peristiwa Madiun 1948. Namun, alih-alih disebabkan perbedaan
11
ideologis yang fundamental, menurut Gus Dur, konflik keduanya dalam berbagai
peristiwa lebih dikarenakan faktor politik kekuasaan yang dibarengi politik identitas.
Karenanya, baginya, sudah saatnya muslim Indonesia bisa memisahkan antara Marxisme
sebagai ide dengan kelompok-kelompok dan tindakan-tindakan yang mengatasnamakan
Marxisme-Leninisme.
Apa yang menyebabkan Gus Dur merasa tertarik untuk mengangkat kembali Marxisme
yang dipariahkan sejak 17 tahun sebelumnya, dan perlu untuk “membersihkannya” dari
noda-noda, padahal—sebagaimana ditulikannya—ketika itu Uni Soviet yang dianggap
sebagai kekuatan utama Marxisme-Leninisme justru sedang menginvasi Afghanistan
yang berpenduduk mayoritas muslim?
Selain karena ia melihat “adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam
sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik”, saya
kira, karena ia juga menyadari betul bahwa Marxisme berpengaruh besar terhadap
bapak-bapak bangsa dan berperan besar di era perjuangan kemerdekaan, sebagai pisau
analisa terhadap kondisi kolonialisme yang dialami bangsa Indonesia ketika itu.
Soekarno, misalnya, pada 1940 mengakui bahwa “teori Marxismeadalah satu-satunya
teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, politik, dan
kemasyarakatan”. Bahkan Sjahrir, yang di kemudian hari pandangan ekonomi-politiknya
dianggap “kanan” (karenanya disebut soska alias sosialis kanan), “dengan tegas
mengatakan bahwa gerakan nasionalisme di Asia-Afrika tak dapat dilepaskan dari
ketertarikan mereka terhadap Marxisme.[21]
Mengenang Haji Misbach, karenanya, menyadarkan kembali bahwa kita tak perlu takut
terhadap Marxisme, atau menganggapnya sebagai ancaman. Alih-alih, harusnya kita
mengapresiasinya karena perannya yang besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa
ini, dan karena kesamaan tujuannya yang mulia dengan Islam: membebaskan masyarakat
tertindas. Wallahu a’lam.
Catatan Akhir
[1] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta:
Grafiti, 2005), hlm 468.
[2] Menurut esais dan sejarawan, Zen RS, jumlahnya tujuh orang. Yang memberitakan
kematiannya pun hanya dua surat kabar, itu pun selang lima hari setelah hari
wafatnya. Baca tulisannya, “Tiga Requiem dalam Satu Hari”, pejalanjauh.
blogspot.co.id/2007/12/tiga-requiem-pada-satu-hari.html?m=1
[3] Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985), hlm 4.
12
[4] Benedict Anderson, “Exit Soeharto: Obituary For a Mediocre Tyrant” dalam New
Left Review edisi 50 (Maret-April 2008).
[5] Gie membicarakan hal ini dalam konteks Marco Kartodikromo. Soe Hok Gie, “Mas
Marco Kartodikromo” dalam Zaman Peralihan (Jakarta: Gagas Media, 2005), hlm
102.
[6] Disertasinya di Cornell University berjudul, “Islam and Communism: an Illumination
of The People’s Movement in Java, 1912-1926”. Kemudian pada 1990 diterbitkan
menjadi buku dengan judul An Age in Motion, Popular Radicalism in Java,
1912-1926.Lalu diterjemahkan oleh Hilmar Farid ke dalam Bahas Indonesia dan
menjadi buku yang diterbitkan pada 1997, Zaman Begerak: Radikalisme Rakyat di
Jawa 1912-1926.
[7] Pemaparan singkat mengenai proses penulisan karya ini bisa dibaca dalam liputan
khusus “Republik di mata Indonesianis: Pasang-Surut Peran Peneliti Asing dalam
Sejarah Indonesia”, Tempo edisi 14-20 November 2011
[8] Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm 173.
[9] Ibid, hlm 175.
[10] Savitri Scherer membagi dua jenis priyayi, yaitu priyayi birokrat yang dipersiapkan
untuk memegang jabatan pemerintahan, dan priyayi profesional yang dididik dalam
sekolah-sekalah kejuruan berdasarkan profei, seperti sekolah kedokteran
(STOVIA), sekolah guru (Kweekschoo), sekolah hukum, teknik, dst. Baca Savitri
Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad
XX (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hlm 22.
[11] Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm 192.
[12] M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya
dari 1930 sampai Sekarang (Jakarta: Serambi, 2013)
[13] H.M. Misbach, “Orang bodo djoega machloek Toehan, maka fikiran jang tinggi
djoega bisa didalam otaknja” Islam Bergerak, 10 Maret 1919.Huruf besar sesuai
dengan aslinya.Dikutip dari Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm 202.
[14] Sastrosiswojo, “Sarekat Hindia Solo”, Persatoean Hindia, 10 April 1920. dari
Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm 259.
[15] Detail kemunculan gagasan ini bisa dibaca sendiri dalam Shiraishi, Zaman Bergerak,
hlm 295- 342, karena akan terlalu panjang jika dipaparkan di sini.
[16] Mengenai isu ini, silakan rujuk tulisan Muhammad Al-Fayyadl, ”Marxisme dan
Ateisme”, IndoProgress Online, 26 April 2013.
[17] PID adalah Politieke Inlichtingendienst, atau semacam intelijen dalam kepolisian
Hindia Belanda yang bertugas memata-matai kaum pergerakan.Agus Salim memang
cukup dekat dngan pejabat-pejabat Hindia Belanda, seperti D.A. Rinkes, pejabat
urusan Bumiputera, dll. Sebutan haji londo muncul karena ia pernah menjadi konsul
13
bagi pemerintah Hindia Belanda di Jeddah.
[18] Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm 335.
[19] Kitab hadis ini adalah salah satu kitab hadis yang dikenal luas di kalangan muslim,
terutama tradisionalis, di Indonesia. Meskipun tidak semua hadis dalam kitab ini
adalah hadis yang kuat, namun ia sering dibacakan di komunitas muslim karena
pengarangnya, Imam Jalaluddin as-Suyuthi, adalah seorang ulama besar yang diakui
hingga saat ini.
[20] Kritik ini bisa dibaca, misalnya, dalam tulisan Muhammad al-Fayyadl, “Islam and
Marxism: a Reappraisal” yang disampaikan dalam ICRS-CRCS WedForum,
Yogyakarta, 7 Oktober 2015.
[21] Wilson, “Kaum Pergerakan di Hindia Belanda 1930-an: Reaksi Terhadap Fasisme”
dalam jurnal Prisma No10/1994, hlm 46.
Muhammad Nashirulhaq | May 31, 2016 at 2:18 pm | Categories: Islam, Tarikh | URL:
http://wp.me/p4Cvrx-tJ