Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1]...

13
1 Mengenang Kembali Haji Misbach by Muhammad Nashirulhaq sumber gambar: historia.id Seiring dengan semakin santernya isu kebangkitan kembali komunisme di Indonesia, dan menganggap komunisme sebagai ancaman bagi Islam, saya kira, penting bagi kita untuk mengenang kembali Haji Misbach, di peringatan hari wafatnya yang ke-90 ini. Pada 24 Mei 1926, Haji Misbach wafat setelah mengidap penyakit malaria, menyusul istrinya yang sebelumnya meninggal karena TBC. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman Penindi, Manokwari, dengan diantar oleh sekelompok kecil anggota Sarekat Rakjat Manokwari, yang jumlahnya tak lebih dari 20 orang. Sebagai seorang mantan anggota organisasi pergerakan semacam Insulinde dan Sarekat Rakjat, dan sebagai mantan propagandis yang terbiasa berhubungan dengan ratusan bahkan ribuan orang, kematian dan penguburannya yang sunyi memang ironi. Namun, ini hanya pengulangan semata dari apa yang sudah menimpa pendahulunya, Tirto Adhi Soerjoyang oleh Pramoedya Ananta Toer didaulat sebagai “Sang Pemula” penyebaran kesadaran nasionalatau yang kelak menimpa rekannya, Marco Kartodikromoyang menurut Soe Hok Gie, adalah wartawan pembela rakyat tertindas yang berani nan “bandel”—, yang wafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, menggambarkan wafatnya Tirto dan peristiwa sesudahnya, Pada hari suram tanggal 7 Desember 1918 sebuah iring-iringan kecil, sangat kecil[2], mengantarkan jenasahnya ke peristirahatannya yang terakhir di Manggadua, Jakarta. Tak ada pidato-pidato sambutan.Tak ada yang memberitakan jasa-jasa dan amalnya dalam hidupnya yang tak begitu panjang…Itulah hari terakhir R.M. Tirto Adhi Soerjo. Bagi seorang jurnalis kenamaan, yang dalam dasawarsa pertama abad ini banyak disebut

Transcript of Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1]...

Page 1: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

1

Mengenang Kembali Haji Misbach

by Muhammad Nashirulhaq

sumber gambar: historia.id

Seiring dengan semakin santernya isu kebangkitan kembali komunisme di

Indonesia, dan menganggap komunisme sebagai ancaman bagi Islam, saya kira,

penting bagi kita untuk mengenang kembali Haji Misbach, di peringatan hari

wafatnya yang ke-90 ini.

Pada 24 Mei 1926, Haji Misbach wafat setelah mengidap penyakit malaria, menyusul

istrinya yang sebelumnya meninggal karena TBC. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman

Penindi, Manokwari, dengan diantar oleh sekelompok kecil anggota Sarekat

Rakjat Manokwari, yang jumlahnya tak lebih dari 20 orang. Sebagai seorang mantan

anggota organisasi pergerakan semacam Insulinde dan Sarekat Rakjat, dan sebagai

mantan propagandis yang terbiasa berhubungan dengan ratusan bahkan ribuan orang,

kematian dan penguburannya yang sunyi memang ironi. Namun, ini hanya pengulangan

semata dari apa yang sudah menimpa pendahulunya, Tirto Adhi Soerjo—yang oleh

Pramoedya Ananta Toer didaulat sebagai “Sang Pemula” penyebaran kesadaran

nasional— atau yang kelak menimpa rekannya, Marco Kartodikromo—yang menurut Soe

Hok Gie, adalah wartawan pembela rakyat tertindas yang berani nan “bandel”—, yang

wafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1]

Pram, misalnya, menggambarkan wafatnya Tirto dan peristiwa sesudahnya,

Pada hari suram tanggal 7 Desember 1918 sebuah iring-iringan kecil, sangat kecil[2],

mengantarkan jenasahnya ke peristirahatannya yang terakhir di Manggadua, Jakarta.

Tak ada pidato-pidato sambutan.Tak ada yang memberitakan jasa-jasa dan amalnya

dalam hidupnya yang tak begitu panjang…Itulah hari terakhir R.M. Tirto Adhi Soerjo.

Bagi seorang jurnalis kenamaan, yang dalam dasawarsa pertama abad ini banyak disebut

Page 2: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

2

oleh pers di Hindia maupun Nederland, memang terlalu sedikit tanggapan orang atas

kematiannya.[3]

Begitu pula yang menimpa Haji Misbach. Haji yang sebelumnya adalah seorang pedagang

batik dari Surakarta ini menjalani hari-hari terakhir hidupnya bersama keluarganya di

Manokwari, setelah diasingkan dari tempat asalnya karena dianggap sebagai salah satu

dalang dari kerusuhan yang terjadi pada Oktober 1923. Per tanggal 18 Juli 1924, ia

memulai perjalanan pengasingan ke Manokwari dari pelabuhan Surabaya.

Membaca penggambaran Takashi Shiraishi terhadap proses pengasingan yang mesti

dijalani Haji Misbach, mau tak mau dan lagi-lagi mengingatkan kita pada penggambaran

serupa dari Pram terhadap proses yang sama yang dialami Minke, nama yang digunakan

Pram untuk merujuk pada Tirtoadhisoerjo, dalam Rumah Kaca-nya.

“Penjagaan polisi sangat ketat.Ketika Misbach kembali sebentar ke Surakarta, hanya

Sjarief dan Haroenrasjid dari Medan Moeslimin, di samping kerabatnya, yang diizinkan

menjenguknya. Anggota-anggota PKI dan SR Surabaya pergi ke pelabuhan, tetapi usaha

ini sia-sia karena ia dikurung dalam kabin. Misbach meninggalkan Jawa dalam

keterpencilan”

Namun, pengasingan dan kesunyian pada hari-hari terakhir dan setelah wafat yang

dialami tokoh-tokoh tadi, hanya menjadi pendahuluan dari ironi yang lebih besar yang

menimpa mereka, yaitu suatu proses yang oleh Ben Anderson disebut sebagai “historical

erasure” alias penghapusan sejarah[4]. Jika Ben menjelaskan proses ini dalam konteks

negara Orde Baru, sosok-sosok dalam Zaman Bergerak tadi mengalami “penghapusan”

dalam narasi sejarah akibat politik penulisan sejarah rezim otoriter sebelumnya: rezim

kolonial. Soe Hok Gie menjelaskan proses ini, bahwa

…politik sejarah Belanda adalah menyembunyikan tiap tokoh, peristiwa dan lain-lainnya,

yang dapat menimbulkan inspirasi perjuangan bagi bangsa Indonesia. Pahlawan-pahlawan

Indonesia yang berhasil mengalahkan Belanda, yang berjuang sampai tetes darah

penghabisan, yang berjiwa nasional, dikaburkan oleh sejarawan-sejarawan kolonial dalam

tumpukan arsip-arsip tua. Tidak dikenalnya Marco, bukanlah kejadian yang kebetulan

saja, akan tetapi merupakan sebuah politik kolonial yang direncanakan, karena Marco

adalah tokoh yang inspiratif dan tokoh tokoh yang tidak penah mau berkompromi dengan

Belanda.[5]

Karenanya, meskipun nama-nama seperti Haji Misbach, Tirtoadhisoerjo, atau Marco

Kartodikromo sempat disebut dalam beberapa karya sejarah sebelum dasawarsa

1980-an atau 1990-an, mereka hanya disebut sambil lalu. Baru pada 1985, buku yang

Page 3: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

3

ditulis Pramoedya, yang mengulas secara komprehensif peran dan sosok Tirto

diterbitkan. Namun, Haji Misbach dan Marco Kartodikromo, karena sempat berkhidmat

dalam lapang pergerakan Sarekat Rakjat/PKI, tak pernah lagi disebut-sebut dalam

sejarah resmi yang disusun Orde Baru. Tak mengherankan bila Haji Misbach baru

diangkat kembali peran dan sosoknya oleh seorang peneliti asing.

Adalah Takashi Shiraishi, yang melalui disertasinya pada 1986[6], bisa dianggap sebagai

orang pertama yang menjelaskan secara mendalam dan detail, siapa dan apa peran yang

dimainkan Haji Misbach selama masa yang disebut “zaman bergerak”.[7] Meskipun dalam

karyanya, ia memaparkan radikalisme dalam zaman pergerakan secara umum, ia pun

mengakui peran penting Haji Misbach dan tulisan-tulisannya, bukan hanya dalam masa

hidupnya, namun juga dalam mengilhami dan memengaruhi karyanya ini. Dalam prakata

bukunya, misalnya, ia menulis,

Konsepsi buku ini berasal dari pertemuan saya dengan serial artikel Hadji Mohammad

Misbach dalam Medan Moeslimin, “Islamisme dan Komunisme”, yang saya temukan di

Perpustakaan Museum Nasional Jakarta, pada Desember 1977. Oleh karena tidak dapat

memahaminya, saya mencari dan coba merekonstruksi sebuah konteks historis yang

bermakna untuk menempatkan dan membaca artikel tersebut.Hal ini membuat saya

mempertanyakan historiografi ortodoks tentang pergerakan.

Yang dimaksud dengan historiografi ortodoks oleh Shiraishi adalah klasifikasi yang

diterapkan pada kelompok-kelompok dalam zaman pergerakan, dan

penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat pergerakan. Dalam

historiografi ortodoks, lapangan pergerakan dibagi secara kaku dan saklek menjadi tiga

golongan yang baku berdasar ideologi (nasionalisme, Islam, dan komunisme), tanpa

dimungkinkan adanya sintesa dan percampuran hibrida antar ketiganya. Karenanya, ia

akan gagap menjelaskan adanya fenomena orang-orang yang bergerak di lebih dari satu

lapang pergerakan (semisal orang yang aktif di Insulinde dan menjadi anggota SI, atau

anggota Budi Utomo yang juga aktif di SI, dst). Juga, ia kesulitan mengidentifikasi

adanya nuansa dan keberagaman dalam satu organisasi, yang tak bisa disederhanakan

dalam klasifikasi-klasifikasi tersebut. Shiraishi mengritik dengan menyatakan:

Sekali klasifikasi semacam ini dan pengamatan sekilas itu tertanam dalam bahasa

Indonesia, maka diubahlah bentuk dan akar sejarah generasi sebelumnya. Surat-surat

kabar, rapat-rapat umum, dan pemogokan tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang

betul-betul baru. Partai-partai dilihat sudah begitu adanya sejak mulanya. BO (Boedi

Oetomo), perkumpulan priyayi Jawa, menjadi nasionalis, dan hari berdirinya ditetapkan

sebagai hari kebangkitan nasional. SI menjadi perkumpulan Islam, sebagai nenek moyang

Page 4: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

4

PSI, bukan cikal bakal PKI maupun SR. Tirtoadhisoerjo dilupakan. Tjipto

(Mangoenkoesoemo) menjadi nasionalis bersama musuhnya, Dr. Radjiman, R.M.A.

Woerjaningrat, dan Pangeran Hadiwidjojo (orang-orang yang mendukung nasionalisme

Jawa, pen). Tjokroaminoto dan Soerjopranoto (tokoh SI, pen), para theosofis, menjadi

Islam, seislam KH.Ahmad Dahlan, H. Fahrodin, dan H. Agoes Salim (tokoh SI lain yang

tergolong kaoem poetihan, pen). Semaoen dan Darsono menjadi “komunis” yang menyusup

ke dalam SI. Dan meskipun menjadi anggota PKI hanya 3 tahun pada akhir hayatnya

sebagai pemimpin pergerakan, Marco menjadi komunis, sekomunis Sneevliet, Baars, dan

Semaon.

Dalam hal ini peran Haji Misbach begitu penting. Ia menyadarkan Shiraishi—dan kita

semua, tentu saja—akan kekeliruan-kekeliruan yang mungkin timbul dari pandangan

historiografi ortodoks, seperti dalam anggapan di atas. Setelah menyelesaikan paragraf

di atas, Shiraishi melanjutkan:

Tetapi seperti sudah kita lihat, ini semua pikiran yang keliru. Dalam klasifikasi ini,

Misbach tetap sosok yang membingungkan, karena Misbach tetap seorang muslim

putihan yang menjadi propagandis PKI/SR, idenya tentang Islamisme dan Komunisme

tidak dapat diklasifikasikan ke kategori apapun. Tetapi jika kita ikuti kata dan

perbuatannya yang dipakainya untuk menerangi dunia lingkungan hidupnya, ia bukanlah

sosok yang membingungkan lagi. Ia adalah muslim putihan Jawa yang mencoba

membuktikan kemurnian Islamnya dengan berjuang melawan semua fitnah, sebagaimana

diungkapkan padanya oleh toean Karl Marx. Misbachlah yang mengingatkan kita akan

kesalahan klasifikasi nasionalisme, Islam, dan komunisme itu dan memperingatkan kita

akan pandangan nasionalis yang serampangan itu. Jika kita membuang klasifikasi dan

pengamatan yang serampangan itu serta menghindarkan diri dari pandangan teleologis,

maka pergerakan di perempat pertama abad 19 akan muncul kembali dalam bentuknya

yang khas.

Memang, setelah membaca karya Shiraishi (dan karya-kary a lain yang ditulis

setelahnya) yang coba merekonstruksi sosok Haji Misbach, kesan pertama yang muncul

berkaitan dengan tokoh ini adalah bahwa ia sosok yang unik, khas, atau mungkin lebih

tepat disebut sebagaipribadi yang kuat pendirian dan keteguhannya dalam memegang

keyakinan akan kebenaran, meski itu berarti tak menjadi bagian dari arus utama.

“Keunikan” Haji Misbach ini terutama terlihat dari perjalanan “karir” organisasinya,

tulisan-tulisan sebagai pengungkapan dari ide-idenya, maupun dari kesaksian orang lain

terhadapnya.

Di lapangan pergerakan, misalnya, tak seperti kaoem poetihan (sebutan untuk kaum

Page 5: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

5

muslim taat saat itu, semacam “santri” dalam tipologi Geertz) kebanyakan waktu itu yang

memulai keaktifan berorganisasi dalam Sarekat Islam, Haji Misbach justru mulai aktif

sejak terlibat dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond), sebuah organisasi yang

diinisiasi Marco Kartodikromo, yang meskipun sepintas adalah organisasi “jurnalis”,

namun adalah wadah bagi pemimpin pergerakan tanpa basis organisasi. Pada awal

kemunculan SI, ia memang sempat menjadi anggota di Surakarta, namun tak begitu aktif

dan memegang jabatan apapun.[8]

Di kemudian hari, Marco mengenang sosok ini pada masa-masa ini dan menceritakan,

Pada waktoe itoe ia soerang Islam jang berniat menjiarken keislaman setjara djaman

sekarang: membikin soerat kabar Islam, sekolahan Islam, berkoempoel-koempoel

meremboek igama Islam dan hidoep bersama. Dalem tahoen 1915 H.M. Misbach

menerbitken soerat kabar boelanan Medan Moeslimin, nomer satoe tahoen pertama

soerat kabar itoe tertanggal 15 Djanoeari 1915.Pada saat itoelah langka jang permoelaan

H.M. Misbach masoek kedalem pergerakan dan memegangi bendera Islam.

Pada beberapa tahun setelahnya, corak pergerakannya lebih terlihat kental bernuansa

agama. Setelah menerbitkan Medan Moeslimin, ia kembali menerbitkan media lain, Islam

Bergerak pada 1917, mendirikan Hotel Islam, toko buku, dan sekolah agama modern,

serta mengadakan pertemuan tablig. Karena corak kegiatannya ini, Shiraishi menyebut

bahwa pada tahun-tahun ini, Misbach memiliki banyak persamaan dengan KH. Ahmad

Dahlan, pendiri Muhammadiyyah yang memang dikenalnya.[9]

Selanjutnya, lagi-lagi tak seperti kaoem hadji pada umumnya, ia justru aktif dalam

Insulinde, sebuah organisasi dengan aspirasi nasionalis “Hindia untuk Hindia”,yang

identik dengan kelompok Indo (Eurasia), Tionghoa peranakan, serta priyayi

profesional[10] berpendidikan Barat, namun di Surakarta berhasil mengubah dirinya

menjadi perkumpulan bumiputra yang besar. Secara resmi, ia bergabung dengan

Insulinde pada Maret 1918. Dalam konteks ini, menurut Shiraishi, Misbach punya peran

penting dalam memasukkan orang-orang radikal SI ke Insulinde Surakarta. Keaktifannya

ini lah yang kemudian mengantarkannya pada pergerakan yang “sebenarnya”,dan

membawanya berkhidmat di jalur yang jarang digeluti kaum santri pada masa itu: isu

ekonomi politik, penindasan struktural, dan isu perburuhan serta agraria.

Pada Oktober tahun yang sama, misalnya, ia memulihkan PKBT (Perkoempolan Kaoem

Boeroeh dan Tani) di Surakarta, di mana sebelumnya pimpinan pusatnya di Demak

dilumpuhkan akibat pemimpin-pemimpinnya ditangkap. Bukan hanya berjuang dengan

tenaga dan pikiran, ia juga menyumbang banyak dana untuk kebutuhan organisasi ini dan

Page 6: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

6

menjadikan kantor Medan Moeslimin dan surat kabar Islam Bergerak sebagai kantor dan

organ PKBT.[11]

Tak jelas betul dari mana ketertarikan dan kesadaran Haji Misbah terhadap isu yang tak

begitu populer bagi kalangan agamawan ini muncul. Yang jelas, seperti tergambar dari

kesaksian Marco terhadap sosoknya, ia adalah seorang haji yang terbuka, eklektik, mau

menerima pengetahuan dari mana saja, dan tak canggung untuk bergaul dengan siapa saja

dari latar belakang apa saja. Hal-hal ini mungkin yang kemuadian memantik kesadarannya

dan membangkitkan perhatiannya terhadap persoalan masyarakat pinggiran. Kepedulian

Haji Misbach terhadap rakyat kecil pun bukan semata didasari empati dan rasa kasihan,

namun juga dilengkapi dengan pengetahuan sebagai perangkat untuk menganalisa dan

mengaitkannya dengan struktur ekonomi yang lebih luas pada masa itu.

Hal ini kemudian melahirkan sesuatu yang unik, yaitu sintesis pemikiran yang

diungkapkannya melalui tulisan-tulisannya. Dalam banyak tulisannya, terutama sejak

1918, ia sering mengombinasikan penguasaannya terhadap pengetahuan agama (patut

diingat, pada masa itu, gelar Hadji hampir pasti menunjukkan orang yang menyandangnya

adalah muslim taat dengan pengetahuan agama yang luas dan mendalam)[12], dengan

mengutip mashadir al-ahkam (sumber hukum) dan dalil-dalil agama, termasuk juga

cerita-cerita perjuangan Nabi, denganpemahamannya yang juga terbilang cukup baik

terhadap konsep ekonomi-politikyang diungkapkan dengan istilah sederhana pada masa

itu, seperti “kapitalisme”, “penghisapan”, “penindasan” ekonomi, dsb. Pada tahun 1919,

misalnya, ia menulis,

Ijoechikkol chakko wa joebtila’l batila walau karihal moedjrimoen.

ARTINJA: Benerkanlah barang jang benar, kliroekanlah barang jang kliroe, kendati

orang jang kliroe itoe membentji kepadamoe.

Terangnja kita manoesia diwadjibkan mendjaga soepaia djangan ada orang teroes

meneroes melakoekan perboeatan jang tidak benar.Djika kita beriman tentoelah tidak

sjak lagi mengindahkan firman Toehan itoe, maski kita dibentji olih orang jang berboeat

salah itoe…dengen tidak memandeng bangsa, pangkat besar ataoe ketjil, kendati radja

ataoe pemerentah negri, oelama ataoe kijaji.Tidak perdoeli siapa djoega djika dia poenja

perboeatan tidak dengan sebenarnja, kita wadjib membenerkan.

Akan tetapi memang soesah boeat ini waktoe kita melakoeken hal itoe, karena jang ini

waktoe didoenia tanah Djawa hanjalah berisi TINDESAN jang ada pada kita…hanjalah

kekoeatan jang disadjikan kepada kita, kekoeatan mana djika kita tidak maoe di

LAKOE-LAKOEKAN, oedjoeng sendjatalah jang dihadepkan kepada kita.Djadi kaloe

Page 7: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

7

begitoe Hindia dini waktoe sebagai hanja orang-orang dinegeri MAKAH tempo djaman

poerbakala jang mana prikehidoepannja njelingkan tindesan jang ada padanja. Disitoelah

Toehan bersabda: Mengapa kamoe semoea tidak maoe berperang sabilillah, dan tidak

maoe menolong orang laki dan prempoean dan anak-anak jang sama apes jang sama mohon

pada Alloh…

Nah! Sekarang njatalah bahwa prentah Toehan kita orang diwadjibkan menoeloeng

kepada siapa jang dapet tindesan…[13]

Tak jauh beda dengan apa yang dituliskannya tadi, seorang yang menyaksikan pidato Haji

Misbach pada 1920 melaporkan,

Pembitjara memperingatkan kepada sekalian saoedara kaoem Islam akan

mengingat…pada zaman dahoeloe ditanah Arab banjak sekali tindesan oleh orang

Moesrik kepada sesama maoesia. Nabi kita jang menoendjoekan djalan kebenaran itoe

dimoesoehi dan akan diboenoeh serta dihalaoekan oleh kaoem Moesrik…Barangkali di

zaman sekarang Nabi kita itoe dikatakan “Penghasoet” sebagai halnja

pemimpin-pemimpin ra’jat di Hindia dizaman ini…Olih karena itoelah bagi

saoedara-saoedara Kaoem Islam jang bener-bener tjinta dan mendjalankan prentah

igamanja Islam, tentoe tiada takoet akan masoek kedalem kalangannja S.H (Sarekat

Hindia, pengganti Insulinde, pen) jang bermaksoed melawan segala tindesan, fitnahan,

dan penghisapan, karena maksoed S.H. itoelah bersetoedjoean dengan igama Islam,

hingga tiada lajak poela bila kaoem Islam tinggal diam sadja melihat tindesan-tindesan

jang menimpa kepada ra’jat Hindia sebagai jang ada di zaman ini.[14]

Pada bulan-bulan berikutnya, ia tetap aktif mengorganisir serikat-serikat buruh dan

tani, dan pemogokan-pemogokan ketika dianggap diperlukan untuk menyuarakan isu-isu

tertentu, seperti rendahnya upah, dsb, yang tak didengarkan ketika disampaikan secara

“baik-baik”. Sampai ketika pada pertengahan Mei 1920, ia diperintahkan untukditangkap,

dan melalui pengadilan landraad (pengadilan untuk pribumi) di Klaten, diputuskan untuk

dipenjara selama dua tahun atas tuduhan provokasi dan hasutan pemogokan melalui

rapat-rapat umum yang dihadirinya di desa-desa di sekitar Surakarta.

Misbah, Islam, dan Komunisme

Sekeluarnya ia dari penjara pada 1922, ia menghadapi adanya perpecahan dalam tubuh

SI akibat disiplin partai yang hendak diterapkan tokoh-tokoh CSI, sepeti Agus Salim

dan Tjokroaminoto, yang akan mengeluarkan tokoh-tokoh yang sebelumnya tergabung

dalam SI Merah dan ISDV yang sering menyuarakan gagasan komunisme, dari

keanggotaan SI. Kebijakan disiplin partai yang sebenarnya didasari motif politis untuk

Page 8: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

8

merebut pengaruh dalam SI dan mendepak kelompok-kelompok “pengganggu” kemapanan

kelompok elite dalam tubuh organisasi ini[15], lalu justru dilegitimasi dengan

retorika-retorika yang jelas tak sesuai realita.

Tjokro, misalnya, dalam pidatonya menyatakan bahwa SI didasarkan pada agama Islam,

dan karena komunis “tidak percaya pada Tuhan dan tidak mengakui agama Islam”, ia

menyatakan bahwa komunisme tidak sesuai dengan SI.Retorika-retorika pada masa inilah

yang sesungguhnya menjadi tonggak awaldari anggapan yang tersebar luas hingga saat

ini, bahwa Marxisme sinonim dengan ateisme dan anti-agama.[16] Haji Misbach,

yangmendalam pengetahuannyaakanIslam kontan membantah hal ini. ia justru

menyatakan bahwa SI Tjokro-lah yang “palsoe” dan “moenafik”.Kritik serupa datang dari

PKI/SI Merah, yang akibat disiplin partai, benar-benar terdepak dari SI. Shiraishi

menggambarkan,

PKI menyerang Tjokroaminoto karena meng-Tjokro-nya (penggelapan uang), dan Salim

sebagai mata-mata PID dan haji londo (haji Belanda)[17]. Di lain pihak, seruan PSI/CSI

(Partai Sarekat Islam, nama resmi SI setelah disiplin partai, pen) untuk persatuan Islam

dan kampanyenya melawan PKI/SI Merah (“komunis tidak percaya Allah dan tidak

mengakui agama Islam”) tidak terlalu berarti keberhasilannya. Kampanye ini hanya bisa

menarik kaum putihan.Sedangkan Islam yang militan bergabung dengan Misbach dalam

serangannya kepada “SI Tjokro” yang dianggapnya “palsoe” dan “moenafik”.[18]

Dalam persoalan disiplin partai ini, lagi-lagi kita bisa melihat “keunikan” Haji Misbach.

Jika kaum putihan kebanyakan pada masa itu lebih memihak PSI/CSI dalam konfliknya

dengan PKI/SI Merah, karena PSI menggunakan sentimen politik identitas, Misbach

justru berada dalam kubu yang sama dengan PKI dalam serangannya terhadap elit-elit

PSI/CSI. Tak sampai di situ, pada Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis

PKI/SI Merah dan banyak berbicara dan menulis soal keselarasan antara Islam dan

Komunisme.Jika sebelumnya Misbach memang sudah aktif dalam pergerakan dan banyak

menyerang kapitalisme dalam tulisan-tulisannya, namun bukan dalam garis ideologi

tertentu, pada masa ini, tulis Shiraishi, “Misbach umumnya diingat sebagai seorang

komunis Islam paling terkemuka. Cap komunis Islam ini tidak salah jika mengingat ia

adalah tokoh pergerakan terkemuka dengan tujuan “memajukan Islam” yang bergabung

dengan PKI.”.

Ketika kaum putihan lain “termakan” propaganda politik identitas oleh PSI/CSI tentang

komunisme, tanpa tahu apa itu komunisme, Misbah justru menyatakan:

Begitoe djoega sekalian kawan kita jang mengakoei dirinja sebagai seorang kommunist,

Page 9: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

9

akan tetapi misi soek mengeloewarkan fikiran jang bermaksoed akan melinjapkan igama

Islam, itoelah saja berani mengatakan bahoewa mereka bukannya kommunist jang

sedjati atau mereka beloem mengerti doedoeknja kommunist; poen sebaliknja, orang

jang soeka mengakoe dirinja Islam tetapi tidak setoedjoe adanja kommunisme, saja

berani mengatakan bahoewa ia boekan Islam jang sedjati, ataoe beloem

mengertibetoel2 tentang doedoeknja igama Islam.

Dalam tulisan lain, selaku perannya sebgai propagandis PKI/SR, Misbah juga menulis,

kami menerdjoenkan diri dalam lapang Communisme ini, hanja bermaksoed membela

igama kita. Begitoe djoega kami minta kepada sekalian saoedara2 jang telah jakin bahwa

Communisme itoe tida melanggar wet (aturan, pen) igama Islam, marilah kita bersiap

bersama-sama masoek kelapang pergerakan PKI dengan maksoed membela igama kita,

dan djoega menoeroet printah igama kita.

Pun ketika kebanyakan muslim begitu anti terhadap Marxisme dan pemikiran Karl Marx

(sampai hari ini), “hanya” karena anggapan bahwa ia mengajarkan ateisme, seperti

terbukti dari kata-katanya “agama adalah candu bagi masyarakat” (yang tak dipahami

sesuai konteksnya), Haji Misbach justru membela Karl Marx. Tak cukup membela, ia juga

memberi legitimasi agama terhadapnya, bukan sekadar dengan argumen-argumen, tetapi

juga dengan dalil agama. Simak pemaparannya:

…kami sebagai orang Islam wadjiblah dari djaoeh momboeka topi boeat tanda memberi

trima kasih kepada Karl Marx cs jang mereka itoe mendjadi penoendjoek djalan

sebagaimana kita orang akan melakoekan prentah Alloh. Meskipoen K. Marx itoe

dikatakan olih kebanjakan orang soeatoe orang kafir, tetapi toch mereka itoe jang

mendjadi sebabnja kami bisa mengetahoei tentang rintangan igama kita jang terbesar,

rintangan mana jang haroes kita melawannja dengan sekoeat-koeatnja, jalah peratoeran

kapitalisme jang mengisap kepada darah dan peloeh kita ra’jat jang terbanjak.Begitoe

djoega kami mendapat soeatoe chadis didalam kitab “Djami’oesoghir”[19] demikian

“innalloha joe’ajjidoel Islama bi ridjalin ma hoem min ahlih”. Artinja Toehan Alloh akan

menegoehkan igama Islam, lantaran dari orang jang boekan Islam”.djadi apabila K. Marx

cs itoe boekan orang Islam, tetapi kami jakin bahoea perlawanan jang diatoe olih K. Marx

cs itoe, tentoe akan menjebabkan gampangnja kita melakoekan printah oentoek

mendjalankan igama kita.

Bagaimana Haji Misbach bisa sampai pada kesimpulan bahwa pisau analisa Marxisme bisa

membantu perhuangan agama? Ia mengungkapkan,

kaoem modal memeras kaom boeroehnja tida memandang bangsa dan agama dan tida

Page 10: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

10

ambil poesing wet-wet igama jang moesti didjalani orang-orang yang beragama…

kaoem-kaoem boeroeh di mana-mana sadja selain mereka soedah mengorbankan

tenaganja, fikirannja…poen mengoerbankan agamanja diroesak djoega olih kapitalisme…

Djaman kapitalisme oewang mendjadi pokok hidoep manoesia, dari itoe maka orang-orang

kebanjakan mendjadi terctjintanja kepada oewang sehingga bolih diseboet tjinta boeta,

maka jang diboetakan olih mata oewang sampai meloepakan kemanoesiaannja, badan dan

djiwanja diserahkan ke oewang sadja…

Memang! Kita tahoe bahoewa kapitalisme itoe tjerdik, beberapa daja oepaja dengan

tiori dan taktik jang loewas dan haloes sehingga bisa memoetar masing-masing igama

mendjadi perkakasnja.

Bahkan dalam tulisan terakhirnya sebelum wafatnya, yang berjudul “Nasehat” dan terbit

di Medan Moeslimin pada 1 April 1926, ia masih mengungkapkan kenapa kapitalisme

merusak agama.

hingga sekarang saja berani mengatakan djoega, bahoewa kaloetnja doenia ini, tida lain

hanja dari djahanam kapitalisme dan imperialisme berboedi boeas itoe sadja. Boekannja

keselametan dan kemerdikaan kita hidoep dalam doenia ini sadja, hingga kepertjajaan

kita hal igama poen diroesak djoega olihnja.

Epilog

Saya ingin menutup tulisan ini dengan kembali ke awal tulisan.Benarkah komunisme adalah

ancaman bagi Islam, sehingga kita umat Islam memang harus senantiasa mewaspadainya,

menyingkirkannya, dan kalau bisa juga memusuhinya?

Abdurrahman Wahid, sebagai orang yang bisa dianggap pertama kali mengangkat tema

ini pasca-1965, melalui tulisannya pada 1982, “Pandangan Islam Tentang

Marxisme-Leninisme”, sebenarnya sudah dengan baik menjelaskan bagaimana

seharusnya, atau sebaiknya, sikap dan pandangan muslim Indonesia terhadap komunisme

atau Marxisme-Leninisme—terlepas dari beberapa kritik terhadap pemahaman Gus Dur

sendiri terkait Marxisme.[20]

Ia menyadari, persepsi yang buruk di kalangan muslim Indonesia akan komunisme, tak

bisa dilepaskan dari memori kolektif dan kejadian tak mengenakkan di masa lalu terkait

hubungan keduanya. Contoh utama yang bisa disebut, misalnya, adalah pembunuhan yang

dilakukan kelompok-kelompok yang mengaku komunis terhadap umat Islam, bahkan

tokoh-tokohnya, dalam peristiwa Madiun 1948. Namun, alih-alih disebabkan perbedaan

Page 11: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

11

ideologis yang fundamental, menurut Gus Dur, konflik keduanya dalam berbagai

peristiwa lebih dikarenakan faktor politik kekuasaan yang dibarengi politik identitas.

Karenanya, baginya, sudah saatnya muslim Indonesia bisa memisahkan antara Marxisme

sebagai ide dengan kelompok-kelompok dan tindakan-tindakan yang mengatasnamakan

Marxisme-Leninisme.

Apa yang menyebabkan Gus Dur merasa tertarik untuk mengangkat kembali Marxisme

yang dipariahkan sejak 17 tahun sebelumnya, dan perlu untuk “membersihkannya” dari

noda-noda, padahal—sebagaimana ditulikannya—ketika itu Uni Soviet yang dianggap

sebagai kekuatan utama Marxisme-Leninisme justru sedang menginvasi Afghanistan

yang berpenduduk mayoritas muslim?

Selain karena ia melihat “adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam

sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik”, saya

kira, karena ia juga menyadari betul bahwa Marxisme berpengaruh besar terhadap

bapak-bapak bangsa dan berperan besar di era perjuangan kemerdekaan, sebagai pisau

analisa terhadap kondisi kolonialisme yang dialami bangsa Indonesia ketika itu.

Soekarno, misalnya, pada 1940 mengakui bahwa “teori Marxismeadalah satu-satunya

teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, politik, dan

kemasyarakatan”. Bahkan Sjahrir, yang di kemudian hari pandangan ekonomi-politiknya

dianggap “kanan” (karenanya disebut soska alias sosialis kanan), “dengan tegas

mengatakan bahwa gerakan nasionalisme di Asia-Afrika tak dapat dilepaskan dari

ketertarikan mereka terhadap Marxisme.[21]

Mengenang Haji Misbach, karenanya, menyadarkan kembali bahwa kita tak perlu takut

terhadap Marxisme, atau menganggapnya sebagai ancaman. Alih-alih, harusnya kita

mengapresiasinya karena perannya yang besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa

ini, dan karena kesamaan tujuannya yang mulia dengan Islam: membebaskan masyarakat

tertindas. Wallahu a’lam.

Catatan Akhir

[1] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta:

Grafiti, 2005), hlm 468.

[2] Menurut esais dan sejarawan, Zen RS, jumlahnya tujuh orang. Yang memberitakan

kematiannya pun hanya dua surat kabar, itu pun selang lima hari setelah hari

wafatnya. Baca tulisannya, “Tiga Requiem dalam Satu Hari”, pejalanjauh.

blogspot.co.id/2007/12/tiga-requiem-pada-satu-hari.html?m=1

[3] Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985), hlm 4.

Page 12: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

12

[4] Benedict Anderson, “Exit Soeharto: Obituary For a Mediocre Tyrant” dalam New

Left Review edisi 50 (Maret-April 2008).

[5] Gie membicarakan hal ini dalam konteks Marco Kartodikromo. Soe Hok Gie, “Mas

Marco Kartodikromo” dalam Zaman Peralihan (Jakarta: Gagas Media, 2005), hlm

102.

[6] Disertasinya di Cornell University berjudul, “Islam and Communism: an Illumination

of The People’s Movement in Java, 1912-1926”. Kemudian pada 1990 diterbitkan

menjadi buku dengan judul An Age in Motion, Popular Radicalism in Java,

1912-1926.Lalu diterjemahkan oleh Hilmar Farid ke dalam Bahas Indonesia dan

menjadi buku yang diterbitkan pada 1997, Zaman Begerak: Radikalisme Rakyat di

Jawa 1912-1926.

[7] Pemaparan singkat mengenai proses penulisan karya ini bisa dibaca dalam liputan

khusus “Republik di mata Indonesianis: Pasang-Surut Peran Peneliti Asing dalam

Sejarah Indonesia”, Tempo edisi 14-20 November 2011

[8] Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm 173.

[9] Ibid, hlm 175.

[10] Savitri Scherer membagi dua jenis priyayi, yaitu priyayi birokrat yang dipersiapkan

untuk memegang jabatan pemerintahan, dan priyayi profesional yang dididik dalam

sekolah-sekalah kejuruan berdasarkan profei, seperti sekolah kedokteran

(STOVIA), sekolah guru (Kweekschoo), sekolah hukum, teknik, dst. Baca Savitri

Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad

XX (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hlm 22.

[11] Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm 192.

[12] M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya

dari 1930 sampai Sekarang (Jakarta: Serambi, 2013)

[13] H.M. Misbach, “Orang bodo djoega machloek Toehan, maka fikiran jang tinggi

djoega bisa didalam otaknja” Islam Bergerak, 10 Maret 1919.Huruf besar sesuai

dengan aslinya.Dikutip dari Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm 202.

[14] Sastrosiswojo, “Sarekat Hindia Solo”, Persatoean Hindia, 10 April 1920. dari

Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm 259.

[15] Detail kemunculan gagasan ini bisa dibaca sendiri dalam Shiraishi, Zaman Bergerak,

hlm 295- 342, karena akan terlalu panjang jika dipaparkan di sini.

[16] Mengenai isu ini, silakan rujuk tulisan Muhammad Al-Fayyadl, ”Marxisme dan

Ateisme”, IndoProgress Online, 26 April 2013.

[17] PID adalah Politieke Inlichtingendienst, atau semacam intelijen dalam kepolisian

Hindia Belanda yang bertugas memata-matai kaum pergerakan.Agus Salim memang

cukup dekat dngan pejabat-pejabat Hindia Belanda, seperti D.A. Rinkes, pejabat

urusan Bumiputera, dll. Sebutan haji londo muncul karena ia pernah menjadi konsul

Page 13: Mengenang Kembali Haji Misbach filewafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.[1] Pram, misalnya, ... penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat

13

bagi pemerintah Hindia Belanda di Jeddah.

[18] Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm 335.

[19] Kitab hadis ini adalah salah satu kitab hadis yang dikenal luas di kalangan muslim,

terutama tradisionalis, di Indonesia. Meskipun tidak semua hadis dalam kitab ini

adalah hadis yang kuat, namun ia sering dibacakan di komunitas muslim karena

pengarangnya, Imam Jalaluddin as-Suyuthi, adalah seorang ulama besar yang diakui

hingga saat ini.

[20] Kritik ini bisa dibaca, misalnya, dalam tulisan Muhammad al-Fayyadl, “Islam and

Marxism: a Reappraisal” yang disampaikan dalam ICRS-CRCS WedForum,

Yogyakarta, 7 Oktober 2015.

[21] Wilson, “Kaum Pergerakan di Hindia Belanda 1930-an: Reaksi Terhadap Fasisme”

dalam jurnal Prisma No10/1994, hlm 46.

Muhammad Nashirulhaq | May 31, 2016 at 2:18 pm | Categories: Islam, Tarikh | URL:

http://wp.me/p4Cvrx-tJ