Menelusuri Jejak Kesusastraan Arab Kontemporer

39
* MENELUSURI JEJAK KESUSASTRAAN ARAB KONTEMPORER MENELUSURI JEJAK KESUSASTRAAN ARAB KONTEMPORER MENELUSURI JEJAK KESUSASTRAAN ARAB KONTEMPORER Yahya bin Baqqy, Abu Bakar bin zahr, Ibnu Sahl, dan Lisan al Din bin al Khatib. Oleh : Ridwan Universitas : Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Pendahuluan Sebagai salah satu produk budaya manusia, sastra dalam perkembangannya tentu senantiasa mengiringi perubahan dan perkembangan masyarakat pendukungnya. Kelahiran sastra di mana dan kapan pun berada tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pembacanya. Kebermaknaan sebuah karya sastra lahir akibat adanya resepsi dari pembaca. Masyarakat pembaca dalam hal ini akan bisa melakukan resepsi maupun apresiasi, bila karya sastra itu menampilkan sesuatu yang tidak jauh dan asing - untuk tidak mengatakan harus- dari kehidupan mereka.

description

p0-

Transcript of Menelusuri Jejak Kesusastraan Arab Kontemporer

* MENELUSURI JEJAK KESUSASTRAAN ARAB KONTEMPORER

MENELUSURI JEJAK KESUSASTRAAN ARAB KONTEMPORER

MENELUSURI JEJAK KESUSASTRAAN ARAB KONTEMPORER

Yahya bin Baqqy, Abu Bakar bin zahr, Ibnu Sahl, dan Lisan al Din bin al Khatib.

Oleh : Ridwan Universitas : Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pendahuluan

Sebagai salah satu produk budaya manusia, sastra dalam perkembangannya tentu senantiasa mengiringi perubahan dan perkembangan masyarakat pendukungnya. Kelahiran sastra di mana dan kapan pun berada tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pembacanya. Kebermaknaan sebuah karya sastra lahir akibat adanya resepsi dari pembaca. Masyarakat pembaca dalam hal ini akan bisa melakukan resepsi maupun apresiasi, bila karya sastra itu menampilkan sesuatu yang tidak jauh dan asing -untuk tidak mengatakan harus- dari kehidupan mereka. Bukankah medium sastra, baik lisan atau tulis, adalah bahasa dan bahasa itu sendiri merupakan produk sosial. Tidaklah berlebihan, bila ada yang menyatakan bahwa karya sastra adalah sebuah “dokumen,” kesaksian tentang suasana hati dan pikiran masyarakat dan zaman penciptaannya ( Taufik Abdullah, 1991: 45). Dengan demikian, bila masyarakat pendukungnya selalu dalam proses evolusinya maka tidaklah bisa diandaikan bahwa karya sastra yang dilahirkan atau yang mengawalnya tidak mengalami evolusi perkembangannya.

Atas dasar asumsi dan pemikiran di atas, berikut akan dilakukan deskripsi sekilas tentang Kesusastraan Arab Kontemporer. Pertama-tama akan dipaparkan mengenai periodisasi kesusastraan Arab untuk melihat sejauh mana kedudukan kesusastraan Arab kontemporer dalam area perkembangan sastra Arab sepanjang sejarahnya. Selanjutnya secara berturut-turut akan dilihat secara sepintas genre prosa Arab kontemporer, terutama novel, cerpen, dan drama.

Periodisasi Kesusatraan Arab

Secara konvensional, Para penelaah sejarah kesusastraan Arab memperiodisasikan perkembangan kesusastraan Arab sebagai berikut (Ahmad al Iskandary, tt: 10): I. Periode Pra-Islam atau Jahiliyah (500–622 M), II. Periode Awal Islam dan Umayyah (622–750 M), III. Periode Abbasiyah (750–1258 M), IV. Peiode Turki (1258–1800 M), dan V. Periode Kebangkitan dan Modern (1800–sekarang).

Pada masa Pra-Islam atau Jahiliyah, khazanah kesusastraan Arab diwarnai oleh dominasi genre puisi terhadap genre prosa. Hal ini bisa dimaklumi mengingat tradisi lisan saat itu yang jauh lebih kuat dan memasyarakat dari pada tradisi tulis. Genre karya sastra prosa yang ada pada waktu itu adalah al Khutbah (pidato), al Matsal (peribahasa), dan al Hikmah (pepatah). Genre prosa ini pun sangat bernuansa kelisanan daripada keberaksaraan. Oleh karena itu amatlah wajar bila karya sastra naratif jenis cerpen dan novel sebagaimana yang ada sekarang belum muncul.

Sementara itu genre puisi yang mewarnai khazanah kesusastraan Arab ketika itu adalah jenis Qasidah, yaitu sekumpulan larik puisi yang memiliki wazan (metre),

qafiyah (rima), dan rawiyy. Fase-fase yang dilalui genre ini sehingga bentuknya menjadi sempurna sebagaimana yang ditemukan pada awal abad VI M itu sulit dijelaskan karena keterbatasan dokumen sejarah. Genre puisi ini disebut Qasidah karena penyair dengan sengaja menggubah, mengumpulkan, dan membakukannya, atau karena puisi ini ingin menjelaskan makna yang ditujunya. Biasanya jumlah lariknya minimal tujuh (Majdi Wahbah, tt: 293) atau sembilan larik (Muhammad al Tunjy, 1993:710). Muhalhil bin Rabi’ah al Tagliby merupakan penyair yang disebut-sebut sebagai orang pertama menulis Qasidah (Ahmad al Iskandary: 44).

Hal penting yang kelak menjadi kriteria pembeda antara puisi klasik dan kontemporer adalah apa yang dinamakan dengan ‘amud al Syi’ry, art of versification. Kata ini mengacu pada cara penggubahan puisi yang diwariskan orang Arab secara turun-temurun yang meliputi wazan (metre), qafiyah (rima), dan uslub (style)nya. Hal lain yang menjadi trandmark puisi jahiliyah adalah adanya penyebutan atlal pada awal setiap jenis puisi, baik puisi Tasybib atau GazalHamasah atau Fakhr (Keberanian dan rasa kebanggaan), Madah (pujian), Rasa’elegi), Hija’ (ejekan/satire), I’tizar (minta maaf), maupun wasf (deskripsi). Atlal di sini berarti reruntuhan atau puing-puing rumah atau kampung halaman yang mengingatkan dan membuat rindu seseorang pada masa lalunya (Muhammad al Tunjy:107). (cinta), (ratapan/

Kehadiran Islam dan al Qur’an yang membawa berbagai gagasan reformatif dan revolusioner di segala bidang sehingga menyedot perhatian bangsa Arab sedikit banyak telah membawa implikasi pada kemunduran -lebih tepat disebut kemandegan- puisi Arab. Al Qur’an dalam banyak ayat disamping melontarkan satu tantangan pada para penyair terkemuka Arab saat itu untuk membuat kreasi karya yang setara dengannya meski hanya satu surat yang pada akhirnya tantangan itu tidak mampu mereka hadapi (al Quran, 2: 23), juga telah menyebut mereka sebagai “pihak yang diikuti oleh orang-orang yang sesat” (al Qur’an, 26:224). Terlepas dari apakah vonis al Qur’an itu memang berbicara tentang

kenyataan faktual atau hanya dimaksudkan untuk mengurangi dan menggerogoti kekuasaan hegemonik para penyair yang memiliki kedudukan sangat tinggi dalam strata sosial masyarakat Arab jahiliyah, tempat Islam dengan serangkaian ajaran agama, moral, dan sosial diturunkan, yang jelas puisi di awal Islam kehilangan gema dan daya tariknya yang semula sangat menyihir dan menghipnotis masyarakat jahiliyah.

Baru kemudian, setelah keterkejutan budaya mulai reda dan digantikan oleh pengaruh Islam yang kuat di semenanjung Arabia, Bizantium, Syiria, Mesir, Afrika Utara, dan Spanyol pada masa Nabi Muhammad SAW, Khulafaurrasyidin maupun Umayyah, Gema kesusastraan Arab mulai semarak lagi. Dalam hal ini interaksi bangsa Arab sebagai pemegang kendali kekuasaan dengan bangsa-bangsa setempat telah melahirkan satu kebudayaan baru yang bisa disebut sebagai kebudayaan campuran atau hibrida. Adanya corak budaya baru ini pada gilirannya juga ikut berperan dalam perkembangan kesusastraan Arab.

Genre sastra yang berkembang pada masa ini di samping puisi yang tetap menduduki tempat teratas adalah al khutbah, al hikmah, al matsal, dan al risalah (surat indah) terutama sebagai sebagai media dakwah Islam. Para orator yang terkenal pada masa ini selain empat khulafaurrasyidin adalah Sahban Wail, Ziyad bin Abihi, dan al Hajaj bin Yusuf.

Ada dua kelompok penyair yang menonjol pada masa ini, yaitu penyair gazal (cinta) dan penyair hija’ (satire). Kelompok pertama ada dua aliran, yaitu aliran hijaz yang puisi-puisinya bersifat realis dan penuh perasaan; dan aliran ‘uzri yang puisi-puisinya bersifat idealis, melankolis, sublim, dan murni. Aliran pertama dipelopori oleh Umar bin Abi Rabi’ah dan al Ahwas bin al ‘Arji sedangkan aliran kedua dimotori oleh Jamil dan Qais bin Darih. Kelompok kedua, para penyair satiris dipelopori oleh tiga orang penyair kenamaan dari Iraq, yakni al Akhtal, al Farazdaq, dan Jarir.

Daulah Abbasiyah kemudian muncul menggantikan Daulah Umayyah dengan serangkaian pola dan kebijakan baru sehingga mampu mengantarkan bangsa Arab (Islam) pada puncak peradabannya. Periode ini yang dikenal sebagai the golden age merupakan hasil logis dari kebebasan ilmiah yang diberikan para penguasa dan semangat keilmuan yang dihembuskan oleh ajaran Islam. Watak inklusivitas ajaran Islam telah mendorong masyarakat untuk tidak risih dan malu-malu dalam menyerap setiap produk pemikiran dan budaya asing bahkan kalau perlu dengan memakai jasa orang asing yang tentu saja berbeda agama dan bahasa, seperti nampak jelas dalam gerakan penerjemahan berbagai karya asing ke dalam bahasa Arab. Pada gilirannya kondisi semacam ini mampu mengantarkan masyarakat Islam pada kemajuan dalam berbagai bidang.

Kesusastraan Arab pun tidak luput dari laju gerbong kemajuan ini. Pada periode ini lahir bentuk baru dalam genre prosa, yaitu al maqmah. Kata ini bisa secara ethimologis bisa berarti tempat pertemuan atau khutbah dan perbincangan yang dilontarkan orang-orang dalam tempat-tempat pertemuan mereka. Badi’ al Zaman al Hamdany (w. 398 H), seorang pelopor jenis sastra ini memaknainya sebagai tempat pertemuan khusus untuk menyampaikan nasehat, pelajaran, dan kuliah. Dialah yang melekatkan pada kata ini satu arti figuratif artistik yang mengacu pada bahan pembicaraan yang disampaikan pada khalayak (Muhammad al Tunjy: 816). Banyak penelaah sastra yang meyakini bahwa bentuk al maqmah merupakan benih genre cerpen dalam kesusastraan Arab. Hanya saja, Syauqy Daif berbeda dengan pendapat ini menyatakan bahwa al maqmah adalah seni didaktis yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan seni naratif. Bentuk sastra ini berkembang pesat di Andalusia (Al Syanty, 1992: 272).

Para prosais kenamaan di era ini antara lain: Ibn al Muqaffa (106-142 H), penulis kallah wa dumnah dan al adab al sagr serta al adab al kabr, Badi’ Zaman al Hamdany, Ibnu Zaidun, Ahmad bin Abd Rabbah -pengarang al iqd al fard, al

Hariry, al Jahiz -penulis kitab al hayawn, dan Ibnu Qutaibah, penulis kitab al syi’r wa al syuar’ serta Ibnu Tufail dengan bukunya Hayybin Yaqzn.

Di masa ini ada perubahan mendasar dalam penulisan puisi. Bila di masa-masa sebelumnya penyebutan atau lebih tepatnya kerinduan pada kampung halaman dan puing-puing “ atll” selalu diletakkan pada awal puisi, maka pada periode ini meski penyebutan semacam itu masih ada akan tetapi tidak selalu berada di awal qasidah. Awal qasidah seringkali melukiskan istana, kesenangan hidup, perjalanan dengan kapal, khamer, dan bahkan terkadang mencela penyebutan atll dan penyair yang mempertahankannya (Iskandary: 245). Puisi “sabh” karya Abu Nuwas dapat dipakai contoh dari kecenderungan tidak menyebut atll di awal qasidah.

Para penyair kenamaan era ini antara lain : Basyar bin Burd (w. 167 H), Abu Nuwas (145-199 H), Muslim bin Walid (w. 208 H), Abu al Atahiyah (130-211 H), Abu Tamam (190-231 H), al Buhtury (206-284 H), Ibnu al Rumy (221-283 H), Abu al Tayyib al Mutanabby (303-354 H), Ibnu Hani’ al Andalusy (326-362 H), dan Abu al ‘Ala al Ma’arry (363-449 H) serta Rabi’ah al Adawiyah.

Di masa ini pula lahir satu bentuk puisi yang oleh ahli sastra dipandang juga sebagai benih lahirnya puisi Arab bebas, yaitu al muwasysyah. Bentuk puisi ini cukup popuper di Andalusia pada abad III H. Meskipun jenis puisi ini kemudian juga menyebar ke dunia Timur, orang-orang Andalusia dalam hal kreasi al muwasysyah ini lebih unggul dari pada orang-orang Timur.

Secara ethimologis, al muwasysyah merupakan derivasi dari kata al wusyah yang berarti sebuah kalung dari permata dan mutiara yang masing-masing dirangkai dan dihubungkan sedemikian rupa serta dipakai kalung oleh wanita. Ungkapan ‘saubun muwasysyahun’ berarti baju yang dibordir dan dihias. Secara

terminologis, al muwasysyah memiliki banyak definisi. Salah satunya adalah yang dinyatakan oleh Ibnu Sina’ al Malik al Misry dalam bukunya Dar al Tiraz. Menurutnya, al muwasysyah adalah ungkapan yang berwazan, metrik tertentu dengan qafiyah, rima yang berlainan; paling banyak terdiri dari enam qafl dan lima larik yang selanjutnya disebut al muwasysyah al taam dan minimal terdiri dari lima qafl dan lima larik yang kemudian disebut al muwasysyah al aqra’. Yang pertama diawali dengan qafl dan yang kedua dimulai dengan bait, larik (al Rabi’, 1989:217)

Bentuk al muwasysyah sendiri cukup beragam, tetapi yang paling populer adalah penyair menulis dua larik yang masing-masing sadrnya berima sama dan masing-masing ‘ajznya juga memiliki rima lain yang sama. Dua larik itu lalu dikuti oleh tiga larik yang masing-masing sadrnya sama dan masing-masing ‘ajznya juga berima sama. Kemudian diikuti dua larik yang kedua sadr dan ‘ajznya mempunyai rima yang sama dengan awal al muwasysyah. Selanjutnya penyair menulis lima larik lain yang susunannya sama. Bentuk lain al muwasysyah adalah penyair menulis satu larik yang sadr dan ‘ajznya berima sama, lalu tiga syatr dengan satu rima yang berlainan dengan larik, kemudian dua syatr yang rimanya sama dengan larik pertama, dan seterusnya (al Tunjy :838).

Al muwasysyah muncul karena corak kehidupan masyarakat Andalusia yang sarat kemewahan, kesenangan, dan hiburan. Al Muwasysyah merupakan bentuk ekspresi yang sesuai dengan kecenderungan itu. Bentuk ini merupakan satu pembaharuan dalam tipografi puisi Arab, bukan dalam isinya (Anis dawud, 1967:30-31).

Penyair pertama yang meretas jenis puisi ini menurut Ibnu Khaldun adalah Miqdam bin al Mu’afy al Qubry dan diikuti oleh Abu Umar Ashmad bin Abd Rabbah, pengarang buku al ‘Iqd. Sedangkan yang berhasil mempopulerkan al muwasysyah ke seluruh Andalusia adalah Ibadah bin Ma’ al Sama’ (w. 422 H).

Sepeninggalnya muncul beberapa penyair al muwasysyah Andalusia, antara lain yang populer adalah : Yahya bin Baqqy, Abu Bakar bin zahr, Ibnu Sahl, dan Lisan al Din bin al Khatib.

Sebagai sebuah pembaharuan dalam bentuk atau tipografi dan bukan dalam isi maka tema-tema yang diusung al muwasysyah tetap berkisar pada masalah-masalah seperti cinta, khamer, dan pemerian alam. Setelah itu baru masuk pada tema-tema madah (eulogi), hija’risa (elegi). Terkadang sebuah al muwasysyah memuat lebih dari satu tema. Ahli Tasawuf di masa kemunduran Islam bahkan pernah menjadikannya sebagai media untuk menyampaikan gagasan dan pemikirannya yang sarat nasehan dan pujian agama. (satire), dan

Biasanya, al muwasysyah terdiri dari beberapa bagian, yaitu :

# al Matla’ atau al mazhab, yaitu pembuka al muwasysyah. Matla’ ini disebut qafl pertama. Apabila qafl pertama ada maka disebut al muwasysyah al taam dan bila tidak ada maka disebut al muwasysyah al aqra’.

# Al Qafl, yaitu bagian al muwasysyah yang rimanya berulang enam kali dalam al muwasysyah al taam atau lima kali dalam al muwasysyah al aqra’. Qafl-qafl itu memiliki satu rima dalam keseluruhan al muwasysyah. Qafl terakhir disebut al kharjah.

# Al Daur, yaitu bagian yang terletak setelah al matla’ dalam al muwasysyah al taam. Dalam al muwasysyah al aqra,’ al daur ini terletak di permulaan al muwasysyah. Daur ini berulang-ulang setelah setiap qafl. Ia terdiri dari tiga bagian dan hanya sedikit yang lebih dari lima.

# Al Bait, yaitu daur itu sendiri atau daur dengan qafl yang mengiringinya.

# Al Kharjah, yaitu qafl terakhir. Metrik (wazan), rima (qafiyah), dan jumlah bagian al kharjah sama dengan matla’ dan qafl. Dalam kharjah dimungkinkan adanya

dialek, kata asing, atau ungkapan tidak baku “ammy,” dan terkadang melalui perantaraan bahasa hewan.

# Al Samt, yaitu satu istilah untuk menyebut setiap syatr dalam daur. Paling sedikit jumlah al samt dalam satu daur itu tiga. Terkadang samt ini terdiri dari satu, dua, tiga, atau empat fiqrah. Setiap fiqrah memiliki satu rima yang diulang-ulang dalam samt-samt sebuah daurdaurnya, rima itu berlainan. Kata “qultu,” “qalat,” “Gana,” dan “Syada” seringkali terdapat pada bagian terakhir al samt yang mempunyai kharjah. akan tetapi dalam setiap

# Al Gusn, yaitu sebutan untuk setiap syatr matla’, qafl, atau kharjah dalam al muwasysyah. Jumlah al gusn dalam matla,’ qafl, dan kharjah harus sama.

Cahaya keemasan yang dipantulkan oleh kemajuan dalam segala bidang di masa Abbasiyah pun mulai memudar dan akhirnya suram akibat runtuhnya daulah Abbasiyah oleh invasi bangsa Mongol, pimpinan Hulagu Khan ke Bagdad 1258 M. Kebebasan ilmiah dan semangat berkreasi berubah menjadi kejumudan dan taqlid buta. Pada akhirnya suasana demikian berdampak pada perkembangan kesusastraan.

Akibat penguasa baru yang kurang pengetahuan dan penguasaan bahasa Arabnya, maka perkembangan sastra di berbagai daerah kecuali di beberapa wilayah di Semenanjung, Iraq, Mesir, dan Syam mengalami masa surut. Bahasa komunikasi harian yang semula memakai bahasa Arab ‘mmiyah kini digantikan oleh bahasa Persia, Turki, dan bahasa Kurdi yang sedikit bercampur dengan bahasa Arab. Di masa ini hampir tidak ditemukan karya prosa fiksi yang mencapai masterpiece. Demikian pula dengan genre puisi yang sedikit bertahan dan berkembang di Iraq, Semenanjung, Syam, Mesir, Andalusia, dan Maroko. Puisi-puisi diarahkan untuk memuja Nabi SAW dan para wali atau bahkan kehidupan tasawuf dan zuhud, meninggalkan kesenangan duniawi (al Iskandary: 306-307). Beberapa penyair masa ini antara lain: al Busairy (608-695 H), Safiy al Din al Haliy (677-750 H), Ibnu Nabatah (676-768 H), dan Ibnu Ma’tuq al Mausawy.

Setelah hampir lima abad berada dalam masa surut bahkan keterpurukan di berbagai bidang, maka pada akhir abad ke-18 M bangsa Arab mulai memasuki fase sejarah “kesadaran dan kebangkitan.” Kesadaran ini semakin mendapat energinya setelah mereka bersentuhan dengan kebudayaan Barat melalui ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir pada tahun 1798. Kesadaran dan tambahan energi itu lantas diimplementasikan di masa Muhammad Ali dengan cara mengirimkan banyak sarjana ke Barat. Penerjemahan berbagai karya asing Barat, baik tentang kesusastraan atau ilmu pengetahuan lainnya digalakkan dengan motor Rifa’ah Rafi’ al Tahtawy (1801-1873 M). Banyak percetakan dan penerbitan majalah atau surat kabar muncul. Dalam kondisi penuh semangat pembaharuan ini, kesusastraan Arab merangkak bangkit. Era baru kesusastraan modern pun dimulai.

Kesusastraan Arab Kontemporer

Untuk lebih memudahkan deskripsi dan karena keterbatasan literarur, maka tulisan ini dalam membicarakan perkembangan kesusastraan Arab modern akan memisahkan antara puisi dan prosa, dalam arti bahwa kedua genre ini akan disorot dalam sub bahasan sendiri-sendiri. Hanya saja bahasan puisi didahulukan karena genre ini dikenal lebih mempunyai akar dalam sejarah kesusastraan Arab.

A. Puisi

Muhammad Salih al Santy mencoba memperiodisasikan dan mengelompokkan puisi arab modern menjadi empat aliran, yaitu : pertama, aliran klasik, al muhfidin atau al ihy’ wa alba’ts. Aliran terbagai dalam beberapa fase, yaitu fase awal, fase pendirian (al riydah), fase pematangan, dan fase pembaharuan; kedua, aliran

romantik yang terbagai dalam beberapa tahap, yaitu tahap kelompok al Diwan, aliran mahjar, kelompok Apollo, dan tahap romantik pascaperang dunia II; ketiga, aliran simbolis; dan keempat, aliran puisi bebas.

Sebutan aliran klasik ditujukan pada para penyair Arab yang muncul pada awal kebangkitan , yaitu pada pertengahan dan akhir abad ke-19 M. Aliran ini mencoba mengembalikan puisi pada masa-masa awal dan keemasannya (masa jahiliyah dan Abbasiyah). Pelopor aliran ini adalah Mahmud Samy al Barudy. Tulisannya, mukhtar al Barudy, menjadi acuan bagi para penyair aliran ini. Aliran ini mengalami empat fase perkembangan, yaitu :

# 1. Fase awal (al irhs) :

Sebagai sebuah fase awal, maka ia merujuk pada para penyair akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang beralih dari dari model puisi permulaan masa Usmany yang sangat dangkal dan artifisial dan antara masa kebangkitan. Fase ini muncul dalam dua gelombang. Para penyair gelombang pertama antara lain adalah Syeikh Hasan al ‘Atar, Syeikh Hasan Quwaidir, dan Sayyid Ali al Darwis dan Boutros Karamah (dari syiria) serta Syeikh Nasif al Yazijy dan Syihab al Din Mahmud al Alusy (dari Iraq). Sedangkan para penyair kenamaan gelombang kedua ini antara lain Mahmud Safwat al Sa’aty, ‘Aisyah al Taimuriyah, dan Abdullah Fikry.

# Fase pendirian (al riyadah) :

Mahmud Samy al Barudy (1838-1904 M) dapat disebut sebagai representasi fase ini karena beberapa alasan, yaitu : pertama, ia berhasil membangun bahasa puitika dari yang semula lemah menjadi kuat; kedua, ia memasukkan unsur baru yang dalam beberapa abad telah diabaikan, yaitu unsur subyektif dalam puisi. Upaya al Barudy untuk membawa kembali style, bentuk, dan musikalitas puisi

Arab pada masa-masa keemasannya tidak berarti bahwa ia melarutkan kepenyairannya dalam mengekor para penyair masa lampau akan tetapi upaya ini lebih berarti bahwa ia ingin mengembalikan kepercayaan para penyair sezamannya atau yang muncul kemudian, bahwa mereka mampu menandingi para pujangga lampau itu setelah sekian lama berada dalam kejumudan.

# Fase pematangan dan keemasan (al ta’shl wa al izdihar) :

Dalam fase ini muncul tiga tokoh penyair, yaitu Ahmad Syauqy (1969-1932 M), Hafid Ibrahim (1871-1932), dan Khalil Mutran (1872-1949 M). Ketika penyair ini mengikuti jalan yang ditempuh al Barudi dalam menoleh pada warisan puisi klasik. Hanya saja mereka juga concernal muhafidin”, tradisionil atau klasik akan tetapi mereka telah melakukan pembaharuan tema-tema puisi yang bersumberkan berbagai selera pribadi dan kelompok masyarakat. Namun yang disayangkan oleh para kritikus adalah bahwa persoalan zaman itu mereka usung secara apa adanya sehingga puisinya nampak sangat obyektif tanpa melibatkan emosi pribadinya. terhadap berbagai persoalan zamannya. Meski mereka oleh beberapa kritikus masih digolongkan pada kelompok penyair “

Khalil Mutran secara khusus dianggap sebagai representasi puncak aliran klasik, al muhafidin.romantik dengan mengekspresikan pengalaman-pengalaman pribadi di seputar cinta, kenangan masa kecil, impian-impian manusia dan sejarah, dan derita zaman. Diwan yang ditulisnya penuh qasidah-qasidah patriotik, politik, dan curahan hati. Untuk qasidah yang terakhir ini cukup dekat dengan

Secara lebih ringkas dan sederhana, ada beberapa karakteristik puisi aliran klasik ini, yaitu : pertama, para penyair mengangkat tema-tema puisi Arab klasik tetapi juga berusaha merespon tuntutan zamannya dengan mengusung tema-tema baru, seperti patriotism, masalah sosial, dan kemestian renaissance; kedua, ada penyair yang tetap mengikui pola qasidah klasik dengan meletakkan atlal dan

gazal di awal dan ada yang mengabaikan pembukaan semacam ini sehingga dalam puisinya nampak ada kesatuan tematik dan berjudul terutama puisi-puisi Syauqy, Hafid, Mutran, al Rasafy, dan al Zahawy; ketiga, larik tetap merupakan kesatuan makna dan seni dan qasidah aliran ini belum mampu mewujudkan kesatuan struktur; keempat, referensi qasidahnya adalah kamus puisi Arab klasik akan tetapi ada beberapa penyair yang berusaha menggali kata baru dari realitas kehidupan yang ada; kelima, aspek didaktis dan etis mendominasi; keenam, sejumlah penyair mencoba menandingi puisi-puisi populer klasik dan meniru metrik, rima, dan temanya; ketujuh, para penyar terpaku pada sejarah Arab dengan menjadikannya sumber tema qasidahnya; kedelapan, para penyair aliran ini tidak tunggal dan padu : ada yang meniru pola klasik tanpa penambahan sedikit pun, ada yang mencoba mengungkapkan pengalaman subyektif, ada yang membuat bentuk-bentuk baru, dan ada yang mendekati aliran romantik; kesembilan, ada penyair yang mengusung tema yang tak pernah disentuh para penyair klasik, seperti patriotism dan politik; kesepuluh, ada penyair yang mengangkat tema baru tapi dengan style lama.

Setelah kesusastraan Arab benar-benar menapaki fase modernnya melalui Khalil Mutran maka dalam perkembangan selanjutnya muncullah aliran romantik. Tahap-tahap yang dilalui aliran ini adalah sebagai berikut :

# 1. Kelompok Diwan :

Para penyair yang tergabung dalam kelompok Diwan ini adalah Abd al Rahman Syukry (1876-1958 M), Ibrahim Abd al Qadir al Maziny (1889/90-1949 M), dan Abbas Mahmud Aqqad (1889-1964 M). Dua penyair pertama adalah alumni sekolah tinggi Muallimin. Aqqad meski bukan alumni sekolah yang sama akan tetapi ia menguasai bahasa Inggris dan karya-karya para penyair dan kritikus berbakat. Terlepas dari polemik tentang karya siapa dari ketiga penyair ini yang menandai kelahiran kelompok dan aliran Diwan ini, mereka dianggap sebagai penghebus nafas baru dalam puisi Arab. Bila puisi al Maziny bernuansakan emosi

subyektif pesimistik yang dalam literarur Barat dan Perancis disebut “romantik” dan puisi Aqqad bernuansakan pemikiran maka puisi Syukry merupakan gabungan dari dua nuansa tersebut. Syukri dalam diwannya (1909) “dau’ al fajr”telah mengusung tema dan style baru. Dalam setiap dua larik puisinya, rimanya berubah. Ia pun berupaya menggunakan bentuk puisi baru yang dalam khazanah kesusastraan Barat disebut “blank verse,” puisi mursal, yaitu puisi yang hanya terikat pada metrik, bukan rima sehingga setiap lariknya mempunyai rima masing-masing.

Kelompok atau aliran Diwan ini bertopang pada dua hal utama, yaitu kritik (teoritis dan praktis) dan puisi inventif. Dalam aspek kritik, mereka mengajukan pemikiran-pemikiran baru, antara lain yaitu : esensi dan hal-hal yang terkait dengan puisi kejujuran atau kebenaran artistik, dan lain-lain; struktur keindahan puisi dan beragam anasirnya seperti bahasa, imajinasi, musik, dan nada; dan pandangan dan tema-tema atau ide-ide yang terkait dengannya.

# Aliran Mahjar :

Sastra Mahjar lahir di Amerika Utara (New York) dan Amerika Selatan (Brazil) oleh para imigran Arab dari Syiria dan Libanon di akhir abad ke-19 karena berbagai faktor ekonomi dan politik. Masing-masing kelompok membentuk aliran. Mahjar Utara mengorganisasikan diri dalam “al Rabitah al Qalamiyah” yang didirikan pada tahun 1920 M di Amerika Serikat oleh Jibran Khalil Jibran dan Mikhail Nu’aimah dengan medianya “al Saih.” Para penyair kenamaannya antara lain: Jibran (1882-1931 M), Nu’aimah (1889-M), Illiya Abu Mady (1894-1957 M), Nasib Aridah (1887-1946 M), dan Abd al Masih Hadad (1890-1963 M). Namun, lembaga ini pada tahun 1931 M mulai tenggelam setelah para pendukungnya meninggal satu demi satu. Sementara Mahjar Selatan mengelompok dalam “al ‘Usbah al Andalusiyah” yang didirikan tahun 1932 M di Sao Paolo, Brazil oleh Michel Ma’luf dengan beberapa sastrawan antara lain : Dawud Syakur, Nadir Zaitun, Yusuf al Bu’ainy, Habib Mas’ud, Nasr Sam’an Husny Garab, Yusuf Ganim, Anton Salim Sa’ad, dan

Syukrullah al Jar. Media corong kelompok ini adalah “al ‘Usbah”. Kelompok Mahjar Utara nampak lebih populer dan berpengaruh dari pada Mahjar Selatan.

Ada beberapa karakteristik sastra Mahjar terutama puisi, yaitu antara lain: campuran dari unsur dinamis spiritualitas Timur dan romantisme Barat; penuh nada kerinduan pada tanah air; keluhan atas perasaan terasing di tempat baru; concern terhadap masalah-masalah politik dan sosial tanah air; reflektif terutama puisi-puisi kelompok al Rabitah al Qalamiyah; humanitarianisme yang tidak mengenal batas dan perbedaan makhluk; cinta alam; dan pengungkapannya sederhana.

Tampaknya ada beberapa sebab yang melatari corak puisi Mahjar di atas, yaitu antara lain : wilayah Syiria dan Libanon adalah tempat banyak kebudayaan, indah, dan pemandangan alamnya mempesona; wilayah itu berada dalam penjajahan Turki; Libanon menjadi ajang pergulatan antar faksi yang telah memakan banyak korban anak bangsa; rakyat menjadi korban eksploitasi para pemimpin Turki, kaum agamawan, kaum feodal, dan laju industri Barat yang mengancam industri lokal; sumber alam dan produksi dalam negeri Libanon yang tidak mampu lagi memberi peluang warganya mengais riski; di Libanon waktu itu, muncul kelompok borjuis rendah yang terdiri dari pedagang, pengrajin, petani, dan pegawai; adanya sekolah-sekolah missionaris yang menebarkan kesadaran terhadap kebudayaan Barat dan membawa semangat revolusi Perancis pada masyarakat; dan sekolah-sekolah itu mengajak seseorang pada semacam kesetiaan terhadap negara asing.

# 3. Kelompok Apollo :

Kelompok ini muncul pada bulan September atau Oktober 1932 M atas prakarsa Ahmad Zaky Abu Syady dan diketuai Ahmad Syauqy yang kemudian sepeninggalnya digantikan oleh Khalil Mutran. Kemunculannya dilatari oleh beberapa faktor. Faktor politik misalnya, saat itu kondisi politik sangat amburadul

sehingga membawa kecarutmarutan dunia sastra. Para penyair tercerai-berai dalam berbagai kelompok politik sehingga kelompok Diwan pun bubar : Abd al Rahman Syukry meninggalkan dunia sastra, al Maziny beralih ke prosa dan journalistik, dan Aqqad menoleh pada banyak seni dan terjebak dalam dunia politik. Oleh karena itu beberapa sastrawan mencoba mengisi kekosongan ini dengan menarik Khalil Mutran sebagai simbol gerakan sastra dan menjadikan Ahmad Syauqy, tokoh berpengaruh dalam dunia sastra sebagai pemimpin dengan harapan banyak sastrawan yang akan bergabung. Nama Apollo, dewa puisi dan musik dalam mitologi Yunani yang menjadi pilihan kelompok ini pun karena didasari keinginan mereka menarik banyak sastrawan. Nama itu adalah nama kosmopolit dan Apollo menurut orang Yunani adalah dewa yang tidak membeda-bedakan antara satu puisi dan puisi lain atau antara satu aliran dan aliran lain.

Terlepas dari adanya perdebatan, apakah kelompok ini merupakan aliran sastra seperti yang diyakini oleh Abd al ‘Aziz al Dasuqy atau tidak sebagaimana yang dikatakan oleh Syauqy Daif, yang pasti kelompok ini memiliki beberapa tujuan dari pembentukannya. Tujuan tersebut adalah : mengangkat derajat puisi dan memberi arahan pada para penyair; mengangkat nasib para penyair, baik dalam dunia sastra, sosial atau material dan membela kepentingan dan kehormatan mereka; dan mendukung kebangkitan seni dalam dunia puisi.

Beberapa ciri khas puisi hasil kreasi kelompok ini adalah : satu, puisi sentimentil atau curahan hati dengan kadar yang berlainan antar penyair sesuai dengan faktor milieu, kebudayaan, dan pembentukan kejiwaan masing-masing; dua, cinta alam sebagaimana kecintaan para penyair Mahjar dan Romantik dengan menjadikannya alat pengkonkritan kondisi kejiwaan dan sikap mereka pada kehidupan dan manusia; tiga, puisi mursal dengan mengabaikan rima; empat, beberapa penyair menyatakan emosi cinta dalam kerangka pengalaman subyektifnya; dan lima, beberapa penyair mengekspresikan kegagalannya menarik dan mendapatkan wanita lalu melukiskannya sebagai orang yang gegabah, kurang pertimbangan, dan suka berkhianat.

Penyair-penyair ternama kelompok ini antara lain : Ali Mahmud Taha, Ibrahim Najy, Abd al Latif al Najjar. Al Hamsyawy, Mahmud Hasan Ismail, Salihu George, Muhammad Abd al Gany Hasan, dan Mukhtar al Wakil.

# 4. Romantisme Pascaperang Dunia II :

Aliran Romantisme dalam kesusastraan Arab Kontemporer lahir akibat aneka ragam situasi dan kondisi yang melatarinya karena sensibilitas puitis itu selalu berubah. Di Mesir, sensibilitas ini mulai nampak kentara setelah kekalahan telak yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan menggugah kepekaan para penyair. Revolusi 1919 dan berbagai peristiwa yang mengiringinya merupakan sebab kemunculan aliran Diwan. Kelahiran aliran Diwan ini tidak saja dilatari oleh faktor politis dan sosial tetapi juga faktor intelektual yang tercermin dalam kajian dan penelaahan para penyairnya terhadap puisi romantik Inggris. Sensibilitas ini juga telah berkembang dalam lingkaran kelompok Apollo. Semua ini menyebabkan matang dan meluasnya penyebaran romantisme. Di berbagai belahan wilayah muncul penyair romantik : Abu Risyah dan Basyarah al Khury (w. 1968) dari Syiria; Abd al Majid bin Jalun (1919-?) dari Magribi; Lutfi Ja’far Amman (1928-1972 M) dari Yaman; Pangeran Abdullah Faisal dan Tahir Zamakhsyary (Saudi Arabia); dan Munawwar Samadih dari Tunis.

Peran kelompok Apollo dalam memajukan puisi romantik Arab sangat jelas. Sejumlah penyair mengikuti kelompok ini, seperti Salih al Syarnuby (w. 1951). Pascaperang Dunia II, para penyair yang memproklamirkan diri sebagai penganut aliran puisi bebas merasa putus asa melihat bencana yang menimpa bangsa Palestina. Akibatnya corak puisi mereka (Nazik Malaikah, al Bayaty, al Sayyab, dan Salah Abd al Sabur) bernuansa romantisme dan realisme.

Ciri umum puisi romantik Arab dapat dilihat dari dua aspek, yaitu isi dan style atau bentuk. Aspek isi meliputi: satu, unsur subyektifitas sangat menonjol bahkan terkadang berlebihan; dua, wanita tidak dipandang sebagai sosok konkrit tetapi jiwa ideal yang tercermin dalam tubuh yang penuh kedinamisan dan kecantikan; tiga, alam merupakan sumber ilham, imajinasi, medan refleksi pengarang; dan empat, merasa prihatin dengan keadaan kaum papa dan tertindas. Sedangkan aspek style atau bentuk meliputi : satu, bentuk puisi telah menjadi unsur struktur puisi terpenting karena bentuk inilah yang mengkonkritkan dan menjelaskan gagasan atau isi puisi; dua, mereka menyerukan pembaharuan terhadap arud puisi sehingga muncul bentuk- bentuk puisi dari al muwasysyah yang membolehkan adanya banyak rima dan perbedaan jumlah taf’lah dalam syatr; tiga, kesatuan artistik, dalam arti bahwa puisi diikat secara struktural di mana ide berkembang secara wajar dalam struktur seni.

Selanjutnya aliran simbolisme Arab muncul sebagai reaksi terhadap kelemahan dan larutnya romantisme Arab dalam sentimentalisme dan pengungkapan subyek pribadi yang berlebihan atau sebagai protes terhadap kejumudan bahasa dan retorika aliran klasik. Puisi bagi para penyair aliran ini adalah proses pemahaman dan pengetahuan dunia yang sifatnya perkiraan. Puisi itu memberi isyarat, bukan memberitahu atau menetapkan. Musik merupakan materi puisi yang tidak akan membawa puisi pada realitas dan berbagai problematikanya akan tetapi hanya membawa pada puncak keindahan semata. Kelahiran romantisme Arab tidak lepas dari Jibran Khalil Jibran yang disebut oleh kritikus Libanon, Marun ‘Abud sebagai pendiri dua aliran : romantisme dan simbolisme. Gejala simbolisme dalam puisinya tercermin dalam style yang transparan, penggunakan banyak kriteria baru yang berdasar pada penyamaan yang abstrak dengan yang konkret. Konkritisasi adalah ciri aliran simbolisme yang sangat tipikal.

Para penyair simbolisme di antaranya adalah: Adib Mudhir yang oleh Muhammad Futuh Ahmad disebutnya sebagai penabur benih simbolisme, Sa’id ‘Aqil, Salah Labky, dan Ali Mahmud Taha.

Pascaperang Dunia II tepatnya tahun 1950 di Iraq muncul satu gerakan yang disebut gerakan puisi bebas Arab yang berupaya membebaskan diri dari bahar-bahar puisi lama dengan menjadikan satu taf’’lah sebagai kesatuan wazan sebagai ganti bahar yang memiliki banyak taf’ilah. Selain itu, style dan tema-tema yang diusungnya pun baru, bukan tema-tema klasik.

Awal kelahiran dan pemrakarsa puisi bebas masih menjadi perdebatan. (Lihat lebih jauh pada tulisan yang lalu mengenai beberapa gagasan Nazik Malaikah tentang puisi bebas Arab).

B. Prosa

Ada dua fase yang menandai sejarah perkembangan genre prosa dalam kesusastraan Arab, yaitu fase transmisi dan fase kemunculan aneka ragam prosa. Para penulis semacam Syeikh Hasan al ‘Atar, Hasan Quwaidir, al Khasysyab, al Darwis, dan Lafif yang hidup di masa Muhammad Ali Pasya merupakan representasi dari fase transmisi. Hanya saja, tulisan mereka sarat dengan al saj’ (prosa berima) dan al muhassinat al badi’iyah, embellishments. Kegiatan menonjol dalam fase ini adalah upaya penerjemahan berbagai karya asing yang dimotori Rifa’ah Rafi’ al Tahtawi ke dalam bahasa Arab.Corak prosa yang berima dan berembellishments yang dirasa sangat membelenggu dan kurang memberikan ruang kebebasan berekspresi itu membuat genre ini sampai pada pertengahan pertama abad ke-19 sangat elitis. Penikmat dan pembacanya hanya para aristokrat karena kalangan awam atau masyarakat luas sangat mengalami kesulitan memahaminya. Dengan demikian sastra dan sastrawan saat itu menjadi sastra dan sastrawan elitis dan aristokratis.

Fase kedua ditandai oleh ketidakterikatan prosa pada rima dan embellishments dan banyaknya jenis seni prosa muncul. Jenis-jenis prosa klasik seperti khutbah, risalah, maqamah dan biografi juga jenis-jenis prosa modern seperti makalah, cerita pendek, novel, dan cerita drama berkembang pesat. Tulisan singkat ini hanya akan membatasi pada dua jenis prosa, yaitu cerpen dan novel.

# 1. Cerita Pendek (Cerpen)

Cerita pendek (cerpen) merupakan salah satu bentuk cerita yang sebagai sebuah

seni baru lahir pada akhir abad ke-19. Benih-benih genre ini dalam dunia sastra Arab sebenarnya sudah ada semenjak lama. Cerita-cerita al Qur’an mengenai para Nabi dan ummat-ummat zaman lampau misalnya, dapat dianggap sebagai sebuah khazanah yang kaya dengan style cerita indah yang melebihi berbagai style seni yang baru lahir pada masa modern sekalipun. Demikian pula dengan seni maqamah dalam kesusastraan Arab dapat dipandang sebagai benih kelahiran cepen.

Ada beberapa defnisi yang diberikan pada cerpen : ia adalah satu bentuk cerita yang tidak boleh lebih dari 10.000 kata bahkan untuk cerita yang sangat pendek tidak boleh lebih dari 1500 kata; ia adalah satu cerita yang menyorot momen tertentu sehingga cerpenis tidak perlu memperhatikan peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah momen itu; ia adalah cerita tentang salah satu sisi kehidupan yang maha luas dan penuh misteri; dan lain-lain. Enric Anderson, kritikus modern Argentina dan guru besar di Harvard University mendefinisikannya sebagai cerita yang bisa dibaca dalam satu kali kesempatan dengan tokoh yang relatif sedikit dan ada kesatuan nada. Apapun definisi dan penekanan yang diberikan, tampak bahwa unsur keringkasan dan kependekan dalam cerpen itu penting dan unsur inilah yang membuatnya tidak disebut novelette atau novel.

Cerpen dikenal di dunia Arab melalui penerjemahan berbagai karya sastra asing ke dalam bahasa Arab. Perkembangan cerpen di berbagai belahan dunia Arab hampir sama , yaitu pada seperempat pertama abad ke-20. Semua kawasan Arab menyambut genre ini dengan derajat yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang melingkupi, tingkat kemajuan kehidupan, dan persentuhan dengan kebudayaan asing dan kebudayaan bangsa-bangsa yang lebih dahulu mengenal genre ini. Namun, di samping perbedaan itu ada banyak kemiripan, yaitu tingkat pengetahuan masyarakat, problem yang sedang dihadapi, dan obsesinya di masa mendatang. Semua kawasan itu mengalami hidup dalam penjajahan dan terbelakang.

Secara garis besar, perkembangan cerpen Arab melalui tiga tahap, yaitu: pertama, tahap penerjemahan, seperti karya Mustafa Lutfi al Manfaluti (1876-1924 M) “al Abarat”, terjemahan dari cerita-cerita romantik Perancis setelah terlebih dahulu dialihbahasakan seseorang pada bahasa Arab karena ia tidak menguasai bahasa asing; kedua, tahap peniruan, dalam arti meniru teknik-teknik penulisan cerpen dari Barat terutama Perancis. Cerpen “al Qitar” karya Muhammad Taimur (1892-1921 M) menandai tahap ini; ketiga, tahap orisinalitas. Tahap ini dimulai dengan lahirnya cerpen Mahmud Taimur (1894-1973 M) “al Syeikh Jumu’ah” (1925). Ia dinggap sebagai seorang pelopor paling menonjol dari lima orang pelopor cerepen Arab modern, yaitu Mahammad Taimur, Isa Abid, Syahatah Abid, Madmud Taimur, dan Muhammad Tahir Lasyin. Orientasi cerpennya adalah realisme sehingga kebanyakan tokoh cerpennya diambil dari model-model masyarakat yang tak lazim. Ia ingin menganalisis tokoh-tokoh semacam ini dan menggambarkan milieu, tempat tokoh itu hidup.

Pascaperang Dunia II, banyak cerpenis yang beralih pada drama, politik, journalistik, atau berhenti berkreasi. Bahkan pada puncak kemajuan drama pada dekade 60-an, banyak cerpenis ternama-kecuali Najib Mahfud- yang beralih ke

drama. Dalam kondisi seperti ini dan diperparah dengan tiadanya perhatian media terhadap cerpen maka cerpen mengalami kemunduran.

Baru pada awal 80-an seiring dengan adanya kebebasan berbicara dan berekspresi, gerakan penulisan termasuk cerpen mulai semarak. Banyak cerpenis muncul, antara lain adalah : Muhammad Mustajab, Fuad Qandil, Muhammad al Munsy Qadil, Yahya Tahir Abdullah, Ibrahim Aslan, Jamal al Gaitany, Ahmad al Syiekh, Nabil Abd al Hamid, Yusu al Qa’id, Muhammad al Qasby, dan Abdullah al Tukhy.

Di Suriah, perkembangan cerpen telah melewati tiga fase, yaitu : fase pertama 1937-1949 M, fase kedua 1950-1958 M, dan fase ketiga 1959-1967. Setelah fase ketiga berarti dimulailah fase keempat dan kini masih berjalan. Fase pertama merupakan landasan bagi fase kedua yang tema-tema sentralnya seputar penegasan identitas nasional, masalah bangsa Arab, dan cinta. Cerpenis tahap ini antara lain: Abd al Salam al ‘ajily, Khalil Hindawy, dan Hana Minah. Sedangkan cerpenis ternama tahap ketiga, antara lain adalah Ali Budur, Adib Nahwy, Zakariya tamir, dan George Salim. Dewasa ini muncul beberapa cerpenis berbakat, seperti Abd al Naby Hijazy, Muhammad Kamil al Khatib, dan Zuhair Jabur.

Libanon dalam genre ini termasuk pelopor. Permulaan cerpen di sana ditandai oleh munculnya antologi “Asybah al Qaryah” (1938) dan “Atyaf min Lubnan” (1952) karya Karam Mulhim Karam. Cerpenis sezamannya antara lain : Yusuf ‘Iwad, Jibran Khalil Jibran, dan Khalil Taqy al Din.

Palestina setelah negeri Palestina jatuh ke tangan Zionis dan sisa wilayahnya masuk Yordan maka cerita-cerita Palestina menjadi cerita Yordan yang mengemban kepedihan bangsa Palestina. Ketika kalah perang tahun 1967 dan Tepi Barat lepas maka cerita Palestina menyebar mengikuti penyebaran warganya

di Beirut, Kairo, Damaskus, Amman, Palestina sendiri, dan Teluk. Ekspresi tentang keperihan dan kerinduhan warga Palestina untuk kembali pada tanah airnya pun beragam. Dalam hal ini ada dua jenis sastra, yaitu sastra dalam dan sastra rantauan. Yang pertama mengacu pada sastra yang dihasilkan orang palestina yang tetap bertahan di dalam negeri tanpa terpengaruh oleh situasi apapun, tidak juga situasi 1948 atau 1967 sedangkan yang kedua merujuk pada sastra hasil kreasi mereka yang keluar dari Palestina baik dengan sukarela atau dipaksa. Para cerpenis bangsa ini antara lain : 1. Para cerpenis dalam, yaitu Khalil Bais dengan antologinya “Masarih al Azhan” (1924), Kulsum ‘Audah, Jibran Matar, Muhammad Saif al Din al Irany, Jibran Ibrahim Jibran, Ishaq musa al Husainy, dan Abd al Hamid Yasin dengan antologinya “Aqasis” (1946); 2. Para cerpenis rantauan, yaitu Samirah ‘Azam, Isa al Na’ury, Gassan Kanafany, dan Ibrahim al Sa’afin.

Berbeda dengan daerah lain, populeritas para cerpenis Yordania kurang terdengar karena mereka mempublikasikannya pada media-media Yordania yang oplahnya sangat terbatas di samping banyak cerpenis Yordania yang mendapat tempat di luar negerinya, seperti Khalil Qandil, Yusuf Salih, dan ‘Isam Musa.

Di Iraq, cerpen mulai lahir pada tahun 30-an dengan keluarnya antologi “al Nakabat” karya Muhammad Ahmad al Sayyid tahun 1923 M. Setelah revolusi 1958 banyak bermunculan para cerpenis, yaitu antara lain : Abd al rahman al Rabi’iy, Fadil al Gazawy, Syakir al Sukry, dan juga para cerpenis wanita seperti Daizy al Amir, Salmah Salih, Latifah al Dailamy, Suhailah Dawud, an Basinah al Nasiry.

Kelahiran cerpen di Arab Saudi baru dimulai setelah terbit media “Saud al Hijaz” (1932). Kemudian muncullah para cerpenis, yaitu antara lain : Abd al Gafur ‘Itar menulis “Uridu an Ara Allah” (1946), Ibrahim Falaly dengan antologinya “Ma’a al Syaitan” (1951), dan Hasan Abdullah Qurasyiy menulis “Anat al Saqiyah” (1956).

Tempat kemunculan cerpen Kuwait pertama kali adalah di Kairo ketika sekelompok sastrawan Kuwait yang sedang belajar di Mesir tahun 1946 menerbitkan majalah “al Bi’sah”. Cerpen pertama “Baina al Ma’ wa al Sama’” karya Khalid Khalaf pun terbit tahun 1947. Cerpenis ini pada tahuan 50-an mengeluarkan antologinya “Ahlam al Syabab”. Ia merupakan cerpenis generasi pertama bersama Ahmad al ‘Udwany, Yusuf al Syayijy, Khalid al Girbalaly, dan cerpenis lain. Tema-temanya berkisar pada realitas sosial di Kuwait dan bercorak romantik. Sedangkan cerpenis seperti Sulaiman al Syatty, Ismail Fahd, Walid al Rajab, Sarayah al Yakhsamy, dan Laila Usman dengan dua buah antaloginya “Imra’ah fi Ina’” dan “al Rahil” adalah mereka yang mewakili cerpenis generasi kedua dan ketiga.

Bahrain dapat dipandang sebagai negara Teluk yang paling awal bersentuhan dengan realitas intelektual di negara-negara Arab terutama di Mesir sehingga lebih cepat berkembang dari negara-negara Teluk lainnya. Kaum wanita di sana mengambil bagian dalam penulisan cerpen, seperti Fauziyah Rasyid. Hal yang sama menariknya juga terjadi di Qatar. Jumlah wanita yang ikut andil dalam penulisan cerpen-meski dalam kekangan tradisi- ternyata jauh lebih banyak. Di antara mereka adalah Fatimah Abdullah al Turky yang menngunakan nama samaran “Ummu Uksum” atau “Sarah” dan Kulsum Jabar yang cerita-ceritanya banyak mengenai hubungan laki-laki di Qatar khususnya dan di negara-negara Teluk umumnya dan faktor-faktor kegagalan hidup berumah tangga dari perbedaan usia, intervensi keluarga, sampai tekanan tradisi.

Potret cerpen di Uni Emirat Arab juga tidak jauh berbeda dengan yang ada di Qatar. Jumlah cerpen sangatlah sedikit bila dibandingkan dengan jumlah puisi. Cerpenis negara ini antara lain : Nasir Husain, Aminah Bousyhab, dan Abd al Hamid Ahmad. Negara Teluk lain yang kesadaran kebangkitannya muncul agak

belakangan adalah Oman. Awal kebangkitannya baru mulai tahun 1971 akan tetapi ada cerpenis yang layak disebut di sini,yaitu Hamad bin Rasyid.

Sejarah cerpen di Yaman adalah setua sejarah journalistik yang pada tahun 1938 telah terbit majalah “al Hikmah al Yamaniyah”. Berbagai media di sana memberikan ruang seluas-luasnya bagi sastra umumnya termasuk cerpen dengan mengadakan lomba cipta cerpen misalnya. Para cerpenis utamanya antara lain adalah : Muhammad Sa’id Miswat, Mahfud umar, Abdullah Salim Bawazir, dan Muhammad Abd al Maula.

Karena Sudan lebih memperhatikan puisi, maka cerpen pun tumbuh belakangan. Sastrawan yang hanya menekuni cerpen adalah Usman Ali Nur dengan antologinya “Gadah al Qaryah”, “al Bait al Maskun”, dan “al Wajh al Akhar li al Madinah”. Cerpenis lainnya adalah : al Tayyib Salih dengan antologinya “Daumatu wudd Hamid”, Muawiyah Muhammad Nur, Zubair Ali, dan Ali al Mak.

Di Libya, cerpen yang pertama kali muncul tahun 1935 adalah karya Wahba al Bury mengenai konflik antara idealisme dan realitas. Tahun 1951 muncul karya Muhammad Kamil al Hauny dan tahun 1957 Abd al Qadir A. B. menerbitkan antologinya “Nufus Hairah”. Kaum wanita juga ikut andil, seperti Syarifah al Qiyady, Latifah al Qabaily, Sabriyah al ‘Uwaity, Fatimah Mahmud, Zahiyah Muhammad, dan Asma’ Tarablisy. Tema cerpen mereka adalah dunia wanita dan kekerasan yang dialami masyarakat wanita.

Di Tunisia, kelahiran cerpen dipelopori oleh Ali al Dau’ajy yang antologinya “Sahirtu minhu Layali” baru ditebitkan sepeninggalnya tahun1969 yang berisi potret masyarakat Tunisia. Muhammad al Marzuqy dengan tiga antologinya “’Urqub al Khair”, “Baina Zaujaini”, dan “Ahadis al Samar” dan Basyir Khirrif dengan antologinya “Masymum al Full” adalah cerpenis jilid kedua. Sedangkan

cerpenis jilid ketiga yang muncul berbarengan dengan kemeredekaan tahun 1955 mengangkat tema-tema seputar berbagai persoalan pascakemerdekaan sampai patologi sosial. Mereka antara lain Ahmad Mamu dan Ridwan al Kauny.

Akibat terisolasinya dari dunia Arab lainnya, cerpen di Aljazair sangat terlambat muncul. Namun, cerpenis yang patut disebut adalah Ahmad Rida Huhu dan Muhammad Sa’id al Zahiry, Abd al Hamid bin Hadauqah, dan Tahir Witar. Cerpenis terakhir ini dalam beberapa tulisannya sangat nampak beriorientasi pada sosialisme.

Antologi cerpen pertama yang muncul di Magriby adalah “Afrah wa Dumu’” (1951) karya Muhammad Khadr al Raisuny yang disusul antologi berikutnya “Rabi’ al Hayat” (1957) dan kemudian antologi Ahmad Banafy “Fas fi Sab’i Qasas” (1968). Ada dua cerpenis yang menggunakan cerpen sebagai alat memerangi penjajah Perancis, yaitu Abd al Majid Jalun dengan antologinya “ al Dima’” dan Abd al Karim Gallab dengan dua antologinya “Mata Qarir al ‘Ain” dan “al Ard Habibati”.

Ada beberapa corak atau orientasi cerita pendek di dunia Arab. Orentasi tersebut adalah: satu, romantisme historis. Para cerpenis kelompok ini sangat menonjolkan individualitas dan mengagungkan imajinasi dan idealisme yang sulit terwujud dalam kenyataan; dua, romantisme historis. Metode yang digunakan kelompok ini beragam: ada yang menjadikan sejarah sebagai latar cerita dan memilih tokoh di luar wilayah sejarah dan ada yang sengaja melukiskan tokoh sejarah yang sudah populer. Temanya pun berbeda-beda : ada yang mengambil ilham dari sejarah Fir’aun dan ada yang mencari ilham dari sejarah Arab; tiga, realisme. Orientasi ini muncul sebagai reaksi terhadap romantisme yang sangat individualistik sehingga perhatian utamanya