MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat...
Transcript of MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat...
MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH
DALAM BINGKAI HUKUM RESPONSIF
Disusun Oleh:
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum
Asri Agustiwi, S.H., M.H
i
MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM BINGKAI HUKUM
RESPONSIF
Penulis :
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum
Asri Agustiwi, S.H., M.H
Hak Cipta ©2019 pada penulis
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari
penulis.
Edisi Pertama, Nopember 2019
ISBN: 978 – 602 – 6585 – 61 - 5
Penerbit
UNIDA-PRESS
Jl. Tol Ciawi No. 1 Kotak Pos Ciawi 35 Bogor 16720
Telp. 0251-8240773, Fax. 0251-8240985
ii
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya yang telah memberikan
hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan buku ajar dengan judul “ Menelisik
Pengujian Peraturan Daerah Dalam Bingkai Hukum Responsif”. Penulis menyadari
bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, bahkan tanpa, bimbingan, arahan, motivasi dan
doa dari berbagai pihak, tidak mungkin untuk dapat menyusun buku ini dengan baik, serta
Kemenristek Dikti yang telah mendanai dalam penelitian tahun 2019, untuk itu penulis
ucapkan terimakasih sebesar-besarnya.
Buku ini merupakan ulasan tentang penelusuran Peraturan Daerah terkait bagaimana
sebenarnya sistem pengujian terhadap Peraturan Daerah yang diuji melalui lembaga Peradilan
yaitu Mahkamah Agung yang sudah tersentralistik setelah adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi, dimana sebelumnya ada Kementerian Dalam Negari yang juga memiliki peran
dalam melakukan pembatalan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah merupakan Produk hukum
di daerah yang mengatur segala proses dan prilaku masyarakat di daerah untuk itu dengan
adanya disentalisasi maka daerah berhak membuat Peraturan-peraturan Daerah sesuai
kebutuhan daerah masing-masing. Disamping juga tentu mengulas suatu pembaharuan
dengan cara merekontruksi sistem pengujian yang sesuai dengan kebutuhan bangsa agar
menjadi lebih baik dengan berpersefktif pada hukum responsif. Hukum responsif yang
mengedepankan pada proses yang transparan, akuntabel dan partisipasi masyarakat daerah.
Akhirnya penulis berharap buku ini bisa menjadi bahan bacaan bagi para dosen,
mahasiswa, dan masyarakat sehingga membantu pemahaman terhadap pengujian peraturan
daerah.
Surakarta, Nopember 2019
Asri Agustiwi, S.H., M.H
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii
Bagian 1: Bingkai Buku ...................................................................................................... 1
1.1. Pendahuluan .................................................................................................................. 2
Bagian 2: Mencari Pijakan Teoritis .................................................................................. 4
2.1. Teori Desentralisasi ....................................................................................................... 5
2.2. Teori Hukum Responsif ................................................................................................. 11
2.3. Teori Pengujian Norma .................................................................................................. 15
2.4. Teori Negara Hukum ..................................................................................................... 21
Bagian 3: Menopang Peraturan Daerah ........................................................................... 25
3.1. Pengertian Peraturan Daerah ........................................................................................ 26
3.2. Penyusunan Peraturan Daerah ....................................................................................... 26
3.3. Proses Pengusulan Usulan Rancangan Peraturan Daerah .............................................. 32
3.4. Proses Pembahasan Rancangan Praturan Daerah Dalam Rapat Paripurna
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ................................................................................ 34
3.5. Bentuk, Kerangka dan Rubrik-Rubrik Peraturan ........................................................... 35
Bagian 4: Pengujian Peraturan Daerah ............................................................................ 38
4.1. Sejarah Sistem Hak Menguji Di Negara Indonesia ...................................................... 39
4.2. Lembaga Penguji Peraturan Daerah .............................................................................. 61
4.3. Kebutuhan Bangsa dalam Hukum Responsif ............................................................... 71
4.4. Reformulasi Sistem Pengujian Peraturan Daerah .......................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 86
1
Bagian 1:
Bingkai Buku
2
1.1. Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara yang mana telah
menetapkan Peraturan yang dibentuk oleh daerah sebagai peraturan yang mengatur pada
tingkat daerah. Pembetukan Peraturan Daerah tentunya harus memuat muatan-muatan
materil sebagai mana yang diatur dalam undang-undang agar secara kohorensif dapat
diterima oleh daerah sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut. Peraturan Daerah tidak
dapat dipisahkan eksistensinya dari sistem hukum dan peraturan perundang-undangan
nasional. Dalam hal tersebut maka pengawasan Peraturan Daerah memiliki pengawasan
yang sangat penting. Pembatalan Peraturan Daerah adalah salah satu bentuk pengawasan
terhadap Peraturan Daerah, dalam hal pengawasan terhadap Peraturan Daerah,
pengawasan yang bersifat respresif.1 Pengawasan yang bersifat respresif ini pengawasan
yang dilakukan oleh Pemerintah.
Pembatalan Peraturan Daerah yang terjadi melalui Pemerintah (sebelum adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi) yang dalam hal ini adalah Kemendagri ataupun melalui
Mahkamah Agung, telah banyak dikaji dalam berbagai penelitian guna memberikan
penemuan-penemuan terkait sistem pengujian Peraturan Daerah itu sendiri, akan tetapi
masih saja terdapat kekosongan hukum pengujian peraturan daerah mengingat Peraturan
Daerah adalah kebutuhan daerah.
Produk hukum daerah yang kita kenal dengan Peraturan Daerah dibuat oleh
daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan
lokal dan prilaku masyarakat setempat, guna memenuhi hukum tersebut maka diperlukan
jenis tatanan hukum yang responsif, suatu produk hukum daerah yang mencerminkan
rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat setempat. Karena Peraturan Daerah
merupakan tatanan aturan yang mengatur pada masyarakat di setiap daerah dengan
kebutuhan daerah masing-masing yang berbeda-beda. Menurut mahfud MD2 hasilnya
bersifat responsif mengarah pada tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam
masyarakat apabila proses pembuatan memberikan peranan besar dan partisipasi
diberikan sepenuhnya kepada kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam
masyarakat. Maka dari itu suatu produk hukum itu masuk klasifikasi responsif jika
proses pembuatanya bersifat partisifasi jika proses pembuatanya bersifat partisifasi oleh
1 Sukardi, Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah, Yogyakarta, Genta Publishing, Cetakan
Pertama, 2016, hlm. 9 2 Sunaryo, Globalisasi Dan Pluralisme Hukum dalam Pembangunan Sistem Hukum Pancasila, artikel
pada Junal Masalah-masalah Hukum, Jilid 42 No. 4 Oktober 2013, hlm. 537
3
masyarakat, materi hukumnya yaitu sesuai dengan kehendak masyarakat, dan hanya
memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri.
Selaras dengan penelitian yang dilakukan bahwa “This regulation is believed to
have exceeded the capacity substantially because there is overlapping regulation
settings. The regulation of the judicial review right on legal material must be placed in
the legal product which formation involves the participation of the people”.3
Regulasi ini tidak lepas dari bentuk negara Indonesia sebagai negara hukum, yaitu
negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (machtsstaat).”4 Maka dari itu dalam menyelenggarakan pemerintahan dan setiap
warga negara dalam bertindak harus berdasarkan hukum baik secara tertulis maupun
tidak tertulis, yang menjamin warga negaranya akan kepastian hukum, ketertiban hukum,
dan perlindungan hukum, agar tercipta suatu stabilitas nasional yang mantap dan dinamis
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pembatalan yang dilakukan pengujian Peraturan Daerah setelah adanya ptusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dikembalikan pengujiannya di
Mahkamah Agung, padahal hampir ribuan Peraturan Daerah yang dibatalkan pada tahun
2016 dengan alasan menghambat investasi yang karena beberapa pasal bertentangan
dengan undang-undang yang lebih tinggi. Mahkamah Agung menjadi tempat satu-
satunya pengujian Peraturan Daerah, maka apakah Mahkamah Agung siap menampung
ribuan Peraturan Daerah yang nantinya mengajukan permohona uji materiil di
Mahkamah Agung, Permasalahan yang kembali timbul, terkait Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 tahun 2011 Tentang Hak Menguji Proses dan Tata Cara Pengujian di
Mahkamah Agung masih banyak yang harus direkonstruksi karena sudah tidak responsif.
Usulan Perbaikan Hukum Acara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di
Mahkamah Agung. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015
pengujian terhadap Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/Kota hanya bisa diuji melalui
pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung, maka perlu segera
menindaklanjuti Putusan tersebut dengan melakukan evaluasi menyeluruh terkait hukum
acara persidangan, sumber daya manusia dan sarana prasarana penunjang.
3 Retno Mawarini Sukmariningsih, Reconstruction Of setting Judicial Review Of Legal Material By
Indonesia Supremen Court” artikel pada International Journal of Civil Engineering and Technology (IJCIET),
Volume 9, Issue 2, February 2018, pp. 727–732, Article ID: IJCIET_09_02_069 4 Ni’Matul Huda. Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. FH UII
Press, Yogjakarta. 2011, hlm. 17
4
Bagian 2:
Mencari Pijakan Tentang Teori
Pengujian
5
2.1. Teori Desentralisasi
Negara kesatuan merupakan negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,
tetapi hanya terdiri atas satu negara, maka tidak ada negara di dalam negara. Begitupula
dengan pemerintahanya hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang
mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara,
menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik
dipusat maupun didaerah-daerah. 5 Dalam perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa
negara telah dilakasanakan azas disentralisasi (penyerahan urusan dari pemerintah pusat
ke arah otonom) untuk menjadi urusan rumah daerah otonom itu. Pelaksanaan azas
desentralisasi ini melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat mengatur
rumah tangganya sendiri sesuai dengan hukum positif.6
Maka dari itu membicarakan desentralisasi tentunya tidak dapat dipisahkan
mengenai bentuk negara kesatuan merupakan negara yang hanya ada satu negara, dan
tidak ada negara di dalam negara, dan didalamnya hanya ada satu pemerintahan, yaitu
pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala
lapangan pemerintahan. Pemerintah pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi
dapat memutuskan segala sesuatu dalam negara tersebut.7
Oleh sebab itu, negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: pertama,
segala sesuatu dalam negara itu langsung dan di urus oleh pemerintah pusat yang
disebut negara kesatuan dengan konsep sentralisasi, sedangkan daerah-daerah hanya
tinggal melaksanakannya saja. dan kedua, negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi, yaitu daerah diberi kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah
otonom.8
Sementara itu menurut Fred Iswara negara kesatuan yang dimaksud dengan konsep
sentralisasi adalah seluruh kekuasaan dipusatkan pada satu atau beberapa organ
pusat, tanpa adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang ada hanya bagian pemerintahan pusat
yang bertindak sebagai wakil-wakil dari pusat untuk menyelenggarakan administrasi
setempat.9
5 Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah Negara Kesatuan, Daerah Istimewa, dan Daerah Otonomi
Khusus, Ctk. Kedua, Bandung, PT. Refika Aditama, 2013, hlm. 10-11. 6 Ibid. 7 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hlm. 64.
8 Utang Rosidin, Otonomi Daerah Dan Desentralisasi, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 86.
9 Fred Iswara, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, Bandung, 1974, hlm. 188.
6
Desentralisasi berasal dari kata decentralization yang asal katanya dari bahasa
latin yaitu decentrum tetapi jika umum yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Menurut Irawan Soejito, desentralisasi merupakan
pelimpahan kewenangan dari pemerintah (pusat) kepada pihak lain untuk dilaksanakan
(pemerintah daerah). Sedangkan Joeniarto mengartikan desentralisasi sebagai
memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur
dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri. Adapun Amrah
Muslimin, mengatakan bahwa desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang pada
badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk
mengurus rumah tangganya sendiri.10
Sedangkan menurut Riwu Kaho, desentralisasi
adalah suatu istilah yang luas dan selalu menyangkut persoalan kekuatan (power),
biasanya dihubungkan dengan pendelegasian atau penyerahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pejabatnya di daerah atau kepada lembaga-lembaga pemerintah
di daerah untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan di daerah.11
Dengan dianutnya konsep desentralisasi dalam negara kesatuan, setidaknya
terdapat empat belas manfaat yang dapat diperoleh baik oleh pemerintah pusat maupun
daerah. Keempat belas manfaat tersebut menurut Shabbir Cheema dan Rondeinelli
sebagaimana dikutip oleh Ni’matul Huda adalah:
a. cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang
bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan terutama dalam
perencanaan pembangunan, kepada pejabat di daerah yang bekerja di lapangan dan
tahu betul masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan desentralisasi maka
perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah
yang bersifat heterogen;
b. Sistem yang memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat
terstruktur yang menjadi ciri khas perencanaan dan penyelenggaraan
(pembangunan) terpusat di negara-negara berkembang yang sebagiannya
mengakibatkan konsentrasi kekuasaan, kewenangan dan sumber daya yang
berlebihan di pusat pemerintahan di ibukota negara;
c. Fungsi dan penugasan kepada pejabat di daerah dengan desentralisasi, maka
tingkat pemahaman serta sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan
10
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Ctk. Kedua, Nusa Media, Bandung. 2010, hlm. 65. 11
Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
1990, hlm. 3.
7
meningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dengan masyarakat
setempat akan memungkinkan kedua belah pihak untuk memiliki informasi yang
lebih baik, sehingga dengan demikian akan mengakibatkan perumusan
kebijaksanaan yang lebih realistik dari pemerintah;
d. Mengakibatkan terjadinya penetrasi yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi
daerah-daerah terpencil atau sangat jauh dari pusat, dimana seringkali rencana
pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elit lokal,
dan dimana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas;
e. Memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis,
keagamaan dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas
kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah;
f. Meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga privat daerah, yang kemudian
dapat meingkatkan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama
ini dijalankan oleh departemen yang ada di pusat;
g. Meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di
pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat
daerah. Dengan demikian, pejabat di pusat dapat menggunakan waktu dan energi
mereka `untuk melakukan supervisi dan pengawasan terhadap implementasi
kebijakan;
h. Dapat menyediakan struktur dimana berbagai departemen di pusat dapat
dikoordinasikan secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah LSM
di berbagai daerah. Provinsi, Kabupaten, dan kota dapat menyediakan basis
wilayah koordinasi bagi program pemerintah, khususnya di dunia ke III dimana
banyak sekali program pedesaan yang dijalankan;
i. Dapat melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi
program melalui struktur pemerintahan yang di desentralisasikan. Struktur seperti
itu dapat merupakan wahan bagi pertukaran informasi yang menyangkut kebutuhan
masing-masing daerah kemudian secara bersama-sama menyampaikannya kepada
pemerintah;
j. Dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktivitas yang
dilakukan oleh elit lokal, yang seringkali tidak simpatik dengan program
pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di
pedesaan, melalui penyediaan modal alternatif cara pembuatan kebijakan;
8
k. Menghantarkan kepada administrasi pemerintah yang mudah disesuaikan, inovatif
dan kreatif. Pemerintah daerah dapat memiliki peluang untuk menguji inovasi,
serta bereksperimen dengan kebijakan yang baru di daerah-daerah tertentu tanpa
harus menjustifikasinya kepada seluruh wilayah negara. Kalau mereka berhasil
maka dapat dicontoh oleh daerah yang lainnya;
l. Perencanaan dan fungsi managemen dapat memungkinkan pemimpin di daerah
menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif di tengah-tengah masyarakat,
mengintegrasikan daerah-daerah terisolasi, memonitor dan mengevaluasi
implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik daripada yang dilakukan
oleh pejabat di pusat;
m. Memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang
kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk berpartisipasi secara
langsung dalam pembuatan kebijakan, sehingga dengan demikian akan
meningkatkan kepentingan mereka di dalam memelihara sistem politik;
n. Mengurangi pemborosan karena ukuran (yang besar) yang lekat dengan
konsentrasi pengambilan keputusan terlebih di ibukota negara, desentralisasi dapat
meningkatkan penyediaan pemerintah pusat dan daeerah ke tingkat lokal dengan
biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat
karena sudah diserahkan kepada daerah.12
Dengan adanya manfaat sebagaimana telah disebutkan diatas, maka desentralisasi
mempunyai dua tujuan, yaitu:
a. Bertujuan untuk menyalurkan partisipasi politik di tingkat daerah untuk terwujudnya
stabilitas politik nasional dimana disebut dengan tujuan politik;
b. Bertujuan untuk menjamin bahwa pembangunan akan dilaksanakan secara efektif dan
efisien di daerah-daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial yang
dinamakan tujuan ekonomis.13
Pada hakikatnya desentralisasi dipandang sebagai otonomisasi suatu masyarakat
yang berada dalam teori tertentu. Masyarakat berserta wilayahnya yang memiliki
otonomi di indonesia di sebut daerah otonom. Daerah otonom dalam tradisi
Indonesia merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasan wilayah
tertentu dan memiliki otonomi daerah, sedangakan otonomi daerah merupakan
wewenang untuk membuat kebijakan dan melaksanakan kebijakan berdasarkan
12
Ni’matul Huda, op. cit., hlm. 79-83. 13
Tjahya Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 21.
9
prakarsa sendiri. Mengingat terdapatnya variasi kondisi dan potensi masayarakat,
maka terjadi keanekaragaman kebijakan dan pelaksanaan.14
Diantutnya desentralisasi dalam organisasi negara tidak berarti ditanggalkannya
asas sentralisasi, karena kedua asas tersebut tidak bersifat dikotomis, melainkan
kontinum. Tidak mungkin diselenggarakan desentralisasi tanpa sentralisasi.
Desentralisasi tanpa sentralisasi akan mengakibatkan disintegrasi. Oleh karena itu
otonomi daerah yang pada hakekatnya mengandung kebebasan dan keleluasaan
berprakasa memerlukan bimbingan dan pengawasan Pemerintah, sehingga tidak
menjelma menjadi kedaulatan. Otonomi daerah dan daerah otonomi adalah ciptaan
pemerintah. Namun demikian, hubungan antara daerah otonom dan Pemerintah adalah
hubungan antara organisasi.15
Maka dari itu untuk mensukseskan pembangunan di daerah, diperlukan
kewengangan untuk menjalankan otonomi dengan penuh tanggujawab. Karena itu,
hubungan antara pusat dan daerah telah direformasi dengan diberlakukan sistem
pemerintah yang desentralistis yang kemudian dimanifestasikan dalam undang-undang
tentang Otonomi Daerah. 16
Dalam konteks Indonesia, desentralisasi selalu dikaitkan pembentukan daerah
otonom atau pemerintahan daerah dan penyerahan urusan pemerintahan dari pusat
kepada pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah mempunyai kewenangan
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut. Desentralisasi adalah
istilah penting dengan konotasi yang luas. Setiap penyerahan kewenangan dari
Pemerintah Pusat dapat tercakup dari pengertian tersebut. Konsep desentralisasi
selalu berkaitan dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kekuasaan yang
menjadi domain Pemerintah Pusat yang diserahkan ke daerah.17
Secara teoritik terdapat elemen-elemen dasar yang bersifat generik dalam institusi
pemerintahan daerah. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) elemen dasar yang membangun
entitas pemerintahan daerah yaitu Agar pemerintah daerah mampu melaksanakan
otonominya secara optimal yaitu sebagai instrumen menciptakan proses
demokratisasi dan instrumen menciptakan kesejahteraan ditingkat lokal, maka harus
14
Tim Redaksi Warta Gubernur, “Menuju Keseimabangan Format Otonomi Daerah”, Assosiasi
Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, artikel pada Jurnal Otonomi & Pembangunan Daerah Warta Gubernur,
Vol. 3, Tahun 1, Maret 2007, hlm. 25. 15 Ibid. 16
Yeremias T. Keban, “Membangun Kerjasama Antara Pemerintah Daerah Dalam Era Otonom”, artikel
pada Jurnal Otonomi & Pembangunan Daerah Warta Gubernur, Assosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh
Indonesia Vol. 1, Tahun 1, 2007, hlm 19. 17
Oksep Adhayanto, Yudhanto Satyagraha Adiputra, “Dampak Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah Terhadap Peraturan Daerah Di Kabupaten Bintan Tahin 2015 (Studi Peralihan
Kewenangan Dibidang Kelautan dan Pertambangan)”, Jurnal Selat, Vol. 2, No. 2, Edisi 4, hlm. 300.
10
dipahami secara filosofis elemen-elemen dasar yang membentuk pemerintahan
daerah sebagai suatu entitas pemerintahan, yaitu18
:
a. Urusan Pemerintahan yaitu “kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Desentralisasi pada hakekatnya
membagi urusan pemerintahan antar tingkatan pemerintahan; pusat mengerjakan
apa dan daerah mengerjakan apa.
b. Kelembagaan daerah diaman Kewenangan daerah tidak mungkin dapat
dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan dalam kelembagaan daerah. Untuk
konteks Indonesia, ada dua kelembagaan penting yang membentuk pemerintahan
daerah yaitu: kelembagaan untuk pejabat politik yaitu kelembagaan kepala daerah
dan DPRD; dan kelembagaan untuk pejabat karier yang terdiri dari perangkat
daerah (dinas, badan, kantor, sekretariat, kecamatan, kelurahan, dll)
c. Personil, elemen ini yang mengerakkan kelembagaan daerah untuk menjalankan
urusan pemerintahan yang menjadi domain pemerintahan daerah. Personil daerah
(PNS Daerah) tersebut yang pada gilirannya menjalankan kebijakan publik
strategis yang dihasilkan oleh pejabat (DPRD dan Kepala Daerah) untuk
menghasilkan barang dan jasa (goods and services) sebagai hasil akhir dari
pemerintahan daerah.
d. Keuangan Daerah adalah sebagai konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan
yang diserahkan kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip “money
follows function”. Daerah harus diberikan sumber-sumber keuangan baik yang
bersumber pada pajak dan retribusi daerah (desentralisasi fiskal) maupun
bersumber dari dana perimbangan (subsidi dan bagi hasil) yang diberikan ke
daerah. Adanya sumber keuangan yang memadai akan memungkinkan daerah
untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.
e. Perwakilan Daerah adalah “perwakilan daerah secara filosofis, rakyat yang
mempunyai otonomi daerah tersebut. Namun secara praktis adalah tidak mungkin
masyarakat untuk memerintah bersama. Untuk itu maka dilakukan pemilihan
wakil-wakil rakyat untuk menjalankan mandat rakyat dan mendapatkan legitimasi
untuk bertindak untuk dan atas nama rakyat daerah. Dalam sistem pemerintahan
di Indonesia, ada dua jenis institusi yang mewakili rakyat. Pertama, DPRD yang
dipilih melalui pemilihan umum, untuk menjalankan fungsi legislasi daerah.
Kedua, Kepala Daerah yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah.
f. Pelayanan Publik adalah hasil akhir dari pemerintahan daerah dimana tersedianya
“goods and services” tersebut dapat dibagi dalam dua klasifikasi sesuai dengan
hasil akhir yang dihasilkan pemerintahan daerah. Pertama, pemerintahan daerah
menghasilkan public goods yaitu barang-barang untuk kepentingan masyarakat
lokal seperti; jalan, jembatan, irigasi, gedung sekolah, pasar, terminal, rumah
sakit dan sebagainya. Kedua, pemerintahan daerah menghasilkan pelayanan yang
bersifat pengaturan publik, seperti; menerbitkan akte kelahiran, kartu tanda
penduduk, kartu keluarga, izin mendirikan bangunan, dan sebagainya. Pada
dasarnya public regulation dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman dan
ketertiban dalam masyarakat.
g. Pengawasan, “Argumen dari pengawasan adalah adanya kecenderungan
penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana adagium Lord Acton “Power tends to
corrupt and absolute power will corrupt absolutely”. Untuk mencegah hal
tersebut maka elemen pengawasan mempunyai posisi strategis untuk
menghasilkan pemerintahan yang bersih. Undang-Undang Dasar 1945 beserta
18
Ibid.
11
perubahannya telah memberikan landasan konstitusional mengenai
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.
2.2. Teori Hukum Responsif
Hukum responsip merupakan teori hukum yang sangat representatif dengan
tuntutan jaman dimana untuk menemukan suatu regulasi yang sesuai pada kondisi
masyarakat sekarang khususnya di Indonesia, dibutuhkan regulasi yang diciptakan
humanis terhadap masyarakat, apalagi kaitanya dengan suatu produk hukum daerah
yang memiliki karakteristik daerah yang berbeda-beda.
Hukum responsif itu sendiri merupakan pendapat yang dikeluarkan oleh Nonet
Selznick di tengah kritik pedas Neomarxis, terhadap liberal legalisme yaitu
mengandaikan hukum sebagai institusi mandiri dengan sistem peraturan dan prosedur
yang obyektif, tidak memihak dan benar-benar otonom. Hukum pada dasarnya adalah
sebuah alat bagi manusia, ia merupakan instrumen untuk melayani kebutuhan
manusia. Dalam makna ini, isolasi sistem hukum dari berbagai institusi sosial
sekitarnya justru berdampak buruk, dari sisi kebutuhan manusia itu sendiri, bukan lagi
melayani manusia.
Hukum dalam bingkai rasional liberalisme adalah sebagai benteng perlindungan
bagi si kaya dan si penguasa. Bingkai ini adalah sebagai pegangan kuat bagi rule
of law. Menurut neo arxis bahwa rule of law dianggap tidak mampu menguasai
isu-isu mendesak mengenai keadaan sosial, dan lebih parah lagi bahwa rule of
law adalah musuh bagi keadilan sosial. Di tengah rangkaian kritik atas realitas
kritis otoritas hukum ini, melahirkan Nonet Selznick yang mengajarkan model
hukum responsif.19
Teori Hukum responsif ini dikembangkan melalui bukunya yang berjudul Law
And Society In Transition: Toward Responsive Law yang diterbitkan oleh Harper
and Row pada tahun 1978. Dalam perspektif hukum responsif, hukum yang baik
merupakan hukum yang bukan hanya menawarkan keadilan prosedural, tetapi
juga lebih dari itu, sprti hukum berkompeten dan adil, serta mampu mengenali
keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.20
Hukum responsif merupakan respon terhadap tipe hukum represif dan teori
hukum otonom. Hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif dapat dipahami
sebagai respon terhadap dilema yang ada antara integritas dan keterbukaan. Hukum
19 Bernart L. Tanya, Teori Hukum Stategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV Kita,
Surabaya, 2007, hlm. 227-228. 20
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2015. hlm. 84.
12
yang represif ditandai dengan adaptasi yang pasif dan oportunistik dari institusi-
institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan politik. Sehingga, tipe hukum represif
merupakan suatu hukum yang mempunyai karakter sebagai berikut, yaitu:
a. Institusi hukum, secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum di
identifikasikan sama dengan negara dan ditempatkan dibawah tujuan negara
(raison d’etat) khususnya negara Indonesia;
b. Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam
administrasi hukum, dimana dalam perspektif resmi yang terbangun, manfaat dari
keraguan masuk kesistem, dan kenyamanan administratif menjadi titik berat
perhatian;
c. Lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, menjadi pusat-pusat
kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi
memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik;
d. Sebuah rezim hukum berganda (dual law) melembagakan keadilan berdasarkan
kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola subordinasi
sosial;
e. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai dominan, moralisme hukum yang akan
menang.21
Sedangkan hukum otonom merupakan suatu reaksi yang menentang
keterbukaan yang serampangan. Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana
menjaga integritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut hukum mengisolasi
dirinya, mempersempit tanggung jawabnya, dan menerima formalisme yang buta
demi mencapai sebuah integritas. Dengan demikian, karakter khas yang melekat
kepada hukum otonom yaitu:
a. Hukum terpisah dari politik. Secara khas, sistem hukum ini menyatakan
kemandirian kekuasaan peradilan, dan membuat garis tegas antara fungsi-fungsi
legislatif dan yudikatif;
b. Model peraturan (model of rules) mendukung tertib hukum. Fokus pada peraturan
membantu menerapkan ukuran bagi akuntabilitas para pejabat; pada saat yang
sama, dalam wilayah politik ia memberikan batasan terkait kreativitas institusi-
institusi hukum maupun resiko campur tangan kepada lembaga-lembaga hukum
itu;
21
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, Huma, Jakarta, 2003.
hlm. 26.
13
c. Jantung hukum adalah prosedur. Bukannya keadilan substantif yang terletak pada
keteraturan dan keadilan (fairness) dan, merupakan tujuan utama dan kompensasi
utama dari tertib hukum;
d. Tatat hukum dipahami sebagai kepatuhan yang sempurna terhadap peraturan-
perturan hukum positif. Kritik terhadap hukum yang berlaku harus disalurkan
melalui proses politik.22
Teori hukum responsif ini lahir pada tahun 1950-an dimana Amerika Serikat pada
saat itu dilanda masalah-masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan,
kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyagunaan
kekuasaan dan hukum saat itu tidak dapat mengatasi masalah-masalah tersebut,
maka Nonet-Selnick mengajukan model hukum responsif di tengah rangkaian
kritik atas realitas krisis otooritas hukum itu. Perubahan sosial dan keadilan sosial
membutuhkan tatanan hukum yang responsif. Kebutuhan ini sesungguhnya telah
menjadi tema utama dari tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan
semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposif berorientasikan tujuan,
sepertinya Roscou Pound, para penganut paham realisme hukum dan kritikus-
kritikus kontemporer.23
Hukum responsif merupakan tipe hukum yang berusaha untuk mengatasi
ketegangan atau permasalahan yang terdapat didalam tipe hukum represif maupun
hukum otonom. Dimana juga hukum responsif merupakan hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Partisipasi penuh
kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat merupakan peran besar
proses pembuatannya memberikan.24
Dengan kata lain, hukum responsif memberikan
perluasan bagi partisipasi hukum yang bukan hanya mengembangkan nilai demokratik
dan tatanan hukum.
Mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan
merupakan kekhas hukum responsif. Misalnya saja yang lazim untuk hal ini adalah
doktrin “due process”. Sebagai doktrin kontitusional “due process” mungkin hanya
dipahami sebagai nama untuk serangkaian peraturan, yang dipaparkan secara historis,
yang melindungi hak-hak atas atas pemberitahuan (right of notice), untuk didengar
dalam persidangan, peradilan dengan sistem juri, dan hal lain semacamnya. Dapat kita
22
Ibid, hlm. 44. 23
https://id.scribd.com/doc/241982471/Makalah-Teori-Hukum-Responsif-doc, diakses pada 19 Oktober
2019, jam 06.04 WIB. 24
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Edisi Revisi, Ctk. Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta,
2010, hlm. 31.
14
lihat hukum responsif mendorong dan mengembangkan kesopanan dalam dua cara
pokok yaitu:
a. Dalam moralitas komunal mengatasi kondisi sempitnya pandangan. Otoritas
tujuan yang tumbuh cenderung mengurangi preskripsi dan simbolisme. Kebiasaan
dan moralitas, sejauh moralitas dan kebiasaan ini mengklaim otoritas hukum,
harus dijustifikasi oleh suatu penilaian rasional mengenai pengorbanan dan
manfaat hal tersebut merupakan tuntutan dalam hukum responsif. Salah satu
akibatnya adalah tekanan untuk mendeskriminilisasi pelanggaran-pelanggaran
terhadap nilai-nilai moral yang berlaku. Tatanan hukum lalu lebih beradab, atau
tepatnya bahwa tatanan tersebut menjadi lebih santun, lebih menerima keragaman
budaya, tidak terlalu mudah menjadi kejam terhadap hal-hal yang menyimpang
dan eksentrik. Hal ini tidak lantas berarti bahwa hukum melepaskan diri dari
konsensus moral masyarakat. Ia hanya lebih menemukan konsensus di dalam
aspirasi-aspirasi yang umum daripada di dalam norma perilaku yang spesifik, ia
berusaha mengklarifikasi nilai-nilai yang dipertaruhkan dalam tatanan moral,
sehingga akan membebaskan budaya dan tafsiran-tafsiran sempitnya.
b. Suatu pendekatan yang berpusat pada masalah (problem centered) dan yang
integratif secara social yaitu mendorong suatu pendekatan baru terhadap krisis-
krisis ketertiban umum. Rekonstruksi hubungan sosial dianggap sebagai sumber
utama untuk mencapai ketertiban umum ini menurut hukum responsif. Dengan
kata lain, hukum responsif dapat lebih siap mengadopsi “paradigma politik”
dalam mengintrepetasikan ketidaktertiban dan ketidakpatuhan. Paradigma
tersebut menggunakan suatu model pluralistik dari struktur kelompok di dalam
masyarakat, dan karenanya menekankan realitas dan meneguhkan legitimasi
konflik sosial. Ketidakpatuhan mungkin dapat dilihat sebagai perbedaan
pendapat, dan penyimpangan sebagai munculnya suatu gaya hidup baru,
kerusuhan tidak dianggap sebagai aksi massa yang tidak masuk akal atau sekedar
merusak namun dipuji karena relevansinya sebagai proses sosial. Dengan jalan
ini, seni negosiasi, diskusi, dan kompromi secara politis dan juga sopan ikut
dilibatkan.25
Dengan menggunakan hukum responsif ini pengujian Perda dapat memenuhi
hukum yang mencerminkan rasa keadilan mungkin lebih dari sekedar keadilan dan
25
Philippe Nonet dan Philip Selznick, loc. cit.
15
memenuhi harapan masyarakat, apalagi kita dapat lihat Perda merupakan instrumen
daerah yang melekat pada masyarakat setempat, dengan mencari nilai-nilai yang
terdapat dalam peraturan dan kebijakan dimana sesuai kebutuhan masyarakat
setempat.
Jika kita melihat dalam tatanan hukum responsif, maka hukum responsif ini
menekankan pada:
a. Keadilan substantif;
b. Merupakan subordinasi dari prinsip kebajikan;
c. Tujuan hukum harus berorientasi pada kemaslahatan hukum;
d. Pengambilan keputusan hukum berorientasi pada tujuan;
e. Memupuk sistem kewajiban daripada paksaan;
f. Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum;
g. Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani
masyarakat26
.
2.3. Teori Pengujian Norma
Terhadap konflik norma hukum dapat dilakukan pengujian. Secara terminologi
pengujian dapat dipadankan dengan kata toetsingrecht yang dipergunakan di negara-
negara yang menganut sistem civil law. Sedangkan review digunakan di negara-
negara yang menganut sistem common law.
King Faisal Sulaeman berpendapat hak menguji (toetsingrecht) sering
dirancukan dengan istilah judicial review. Kedua istilah tersebut mempunyai
pengertian yang berbeda meskipun secara substansi memiliki kesamaan yaitu
perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Secara umum, hak menguji
(toetsingrecht) lebih luas dari judicial review dan constitutional review. Hak menguji
(toetsingrecht) merupakan hak menguji peraturan perundang-undangan yang
diberikan baik kepada kekuasaan yudikatif, legislatif maupun eksekutif. Hak menguji
tersebut didasarkan kepada organ pengujinya.27
Sedangkan judicial review merupakan
pengujian yang diberikan kepada lembaga yudisial (hakim).
Dengan demikian, maka dapat ditarik perbedaan antara toetsingrecht dengan
judicial review. Perbedaan tersebut adalah:
a. Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan untuk menguji peraturan
perundang-undangan terhadap UUD, sedangkan judicial review tidak hanya
26 Bernard L. Tanya, op. cit., hlm 240-241. 27
King Faisal Sulaeman, 2017, Teori Peraturan Perundang-Undangan Dan Aspek Pengujiannya,
Yogyakarta: Thafa Media, hlm. 104-105.
16
menguji peraturan perundang-undangan tetapi juga administrative action terhadap
UUD;
b. Hak menguji (toetsingrecht) terkait peraturan perundang-undangan tidak hanya
dipunyai hakim, tetapi juga lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut
berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan dalam kasus konkret di
Pengadilan, judicial review hanya merupakan kewenangan dari hakim
pengadilan.28
Pengujian terhadap norma hukum ini bisa dilaksanakan melalui cara biasa
yaitu dengan cara mengeluarkan norma hukum (peraturan perundang-undangan) baru
dan dengan cara luar biasa yaitu cara ini biasanya dilakukan dengan cara penunjukan
organ tersendiri melalui konstitusi seperti halnya melalui judicial review.29
Secara teoritis, pengujian terhadap norma hukum dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
a. Hak menguji formal (formal toetsingrecht) adalah wewenang menilai, apakah
seperti Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang merupakan suatu produk
legislatif, misalanya dalami prosedur sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan yang berlaku ataukah tidak. Jika dilihat dari pengertian hak menguji
formil diatas, maka terlihat jelas jika yang dinilai atau diuji adalah tata cara
(prosedur) pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, apakah sudah
sesuai atau tidak dengan apa yang telah ditentukan atau digariskan dalam
peraturan;
b. Hak menguji material (materiel toetsingrecht) yakni wewenang untuk menyelidiki
dan kemudian menilai, apakah peraturan perundang-undangan tersebut dalam hal
isi sudah sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya,
dan apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan.30
Jika
digaris bawahi hak menguji material ini berkenaan dengan suatu peraturan dalam
hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.31
Dengan mengacu kepada pengertian hak menguji (toetsingrecht) maka
pengujian terhadap norma hukum dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: (1)
28
Fatmawati., Hak Menguji (Toetsingrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia,
Rajagrafindo, Jakarta, 2006. 29
Ibid. hlm. 104. 30
Jazim Hamidi, dkk, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah: Menggagas Peraturan Daerah Yang
Responsif Dan Berkesinambungan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2011, hlm. 106. 31
Ibid, hlm. 97.
17
pengujian yang dilakukan oleh eksekutif (executive review); (2) pengujian yang
dilakukan oleh legislatif (legislative review); dan (3) pengujian yang dilakukan oleh
yudisial (judicial review). Jika pengujian terhadap norma hukum dilakukan oleh
pemerintah maka disebut dengan istilah executive review. Jika kewenangan menguji
diberikan kepada lembaga legislatif atau parlemen dapat dikatakan sebagai legislative
review. Sedangkan jika hak uji diberikan kepada hakim maka disebut dengan judicial
review.32
Ada tiga pengujian terhadap norma hukum, yaitu (1) pengujian yang dilakukan
badan peradilan (judicial review); (2) pengujian oleh badan yang sifatnya politik
(political review); dan (3) pengujian yang dilakukan pejabat atau badan administrasi
negara (administrative review).33
Makna “judicial review” Pengujian terhadap
Peraturan Daerah tersebut yang dilakukan terhadap Mahkamah Agung sebagaimana
yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dengan mengembalikan
pengujian terhadapat Peraturan Daerah, hanya pada tingkat uji normanya saja, padahal
kita ketahui banyak muatan-muatan materi perda yang bermasalah, untuk itu
pengujian ini tentunya tidak hanya pada formalnya saja, tetapi pada materinya.
Disebut sebagai judicial review jika pengujian itu dilakukan terhadap norma
hukum yang bersifat abstrak dan umum (general dan abstract norms) secara “a
posteriori”. Disebut judicial preview jika pengujian itu bersifat “a priori”, yaitu
terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi
belum diundangkan sebagaimana mestinya. Jika ukuran pengujian itu dilakukan
dengan menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur, maka kegiatan pengujian
semacam itu disebut sebagai “constitutional review”atau pengujian konstitusional
yaitu pengujian konstitisional yang dikaji dari norma hukumnya (judicial review
on the constituttionality of law).34
Namun, jika norma yang diuji itu menggunakan undang-undang sebagai batu
ujinya, misalnya Mahkamah Agung yang berwenang menguji peraturan
perundang-undang dibawah undang-undang terhadap undang-undang, maka
pengujian ini tidak dapat disebut sebagai constitutional review melainkan judicial
review on the legality of legulation‘. Itu itu harus dibedakan upaya pengujian
32
Menurut Jimly Asshidiqqie, pengujian norma hukum oleh hakim masih dibedakan menjadi dua, yaitu
judicial review dan judicial preview. Yang dimaksud dengan judicial review jika yang diuji adalah norma
hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norm) secara a priori. Sedangkan jika pengujian
itu bersifat a priori, yaitu terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen atau legistatif,
tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya, maka namanya adalah judicial preview. Lihat Jimly
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 6. 33
Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Genta Publishing, Yogyakarta, 2016.
hlm. 77. 34 Jimly Asshiddiqie, op. cit., hlm. 7
18
legalitas (legal review). Di samping itu harus normanya bersifat umum dan
abstrak (general and abstract), berarti normanya yang diuji adalah produk
regeling. Akan tetapi kalau norma hukum yang diuji itu bersifat kongkrit dan
indvidual, maka judicial review masuk kedalam ruang lingkup peradilan tata
usaha negara.35
Kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian perundang-
undangan baik secara materiil yaitu subtansi pengaturan maupun secara formil yaitu
terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan, selain itu uraian
tersebut juga menjelaskan tentang acuhan pengujian perundang-undangan yang dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf b hanya disebutkan pengujian terhadap peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, maka hak tersebut memperluas cangkupan pengujian. Hal
ini perlu karena terdapat beberapa bentuk perundang-undangan di bawah undang-
undang dan bisa jadi ketentuanya tidak selalu mengacu secara langsung atau
pertentanganya tidak pada undang-undang. 36
Hak uji materiil peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung ini
pernah dilakukan penelitian dalam tesis Franscisca Widiastuti memberikan saran:
a. Pelaksanaan hak uji materiil sebaiknya dibuat dalam bentuk undang-undang,
meskipun dalam UUD 1945 telah memuat secara jelas pembagian wewenang
kepada Mahkamah Agung, tetapi harus ada peraturan pelaksana berupa undang-
undang.
b. Pengujian yang dilakukan Mahkamah Agung haruslah sedemikian rupa ditunjang
dengan argumen ilmiah dan bukan sekedar argumen yang dilandaskan oleh
kepentingan praktis semata serta dihubungkan dengan teori-teori peraturan
perundang-undangan sehingga akan tercipta ketertiban hukum antara perundang-
undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lainya.37
Beberapa persoalan yang muncul akibat mekanisme pengujian oleh dua
institusi badan Judicial review (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung)
semacam itu, pertama tidak adanya visi dan konsep hukum atau peraturan perundang-
undangan yang hendak ditegakan. Karena ada dua lembaga yang berwenang untuk ini,
maka dapat dipastikan masing-masing lembaga memiliki standar/tolak ukur yang
35
Ibid. 36
M. Nur Solokin, “Perbaikan Prosedur Pengujian Peraturan Perundang-undangan Di Mahkamah
Agung”, Artikel pada Jurnal hukum dan peradilan, Vol. 3. No. 2, juli 2014. hlm 154. 37 Francisca Widiastuti, “Hak Uji materiil Peraturan Perundang-undangan Di Bawah Undang-undang
Oleh Makamah Agung”, artikel pada Tesis Fakulatas Hukum Universitas Gajah Mada, 2005, hlm 83-84.
19
berberdatentang visi dan konsepsi hukum yang harus ditegakan. Kedua model
pengujian tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan pelecehan hukum
suatu keputusan karena tidak adanya integritasi konsep hukum terhadap perundang-
undangan yang diuji. Bagaimana apabila suatu Peraturan Pemerintah dinyatakan tidak
bertentangan dengan suatu undang-undang oleh Mahkamah Agung, sementara
Mahkamah Konstitusi menyatakan undang-undang yang dijadikan payung Peraturan
Pemerintahan tersebut bertentangan dengan undang-undang.38
Mahkamah Agung dalam pengujiannya dilakukan oleh secara kasuistis yaitu,
melalui perkara yang diajukan, baik karena permohonan penijauan kembali perkara
yang telah memperoleh putusan yang berkekuatan tetap (herziening) dan berpendapat
bahwa ketentuan perundang-undangan (yang lebih rendah kedudukanya dari undang-
undang) tersebut bertentangan maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa ketentuan
tersebut adalah tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, dan karena itu pencabutan
ketentuan perundang-undangan tersebut harus segera dilakukan oleh instansi yang
bersangkutan (yang membuatnya).39
Tentang hak menguji perundang-undangan secara materiil tidaklah sama diberbagai
negara. Di Amerika Serikat misalnya, Supreme Court (Mahkamah Agung)
mempunyai hak menguji secara materiel terhadap undang-undang. Dan pengadilan
biasa (court) dapat menolak untuk menerapkan ketentuan-ketentuan dari suatu
perundang-undangan ke dalam suatu kasus, apabila ketentuan-ketentuan tersebut
bertentangan dengan sumbernya (peraturan yang lebih tinggi kedudukanya).40
Di Indonesia sendiri Pengaturan pengujian materiil lebih lanjut diantur dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1993 Tentang Hak Uji Materiil
merupakan hukum acara pengujian materiil pertama yang dikeluarkan Mahkamah
Agung. Untuk menyesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi Perma
Nomor 1 Tahun 1993 kemudian diganti dengan Perma Nomor 1 tahun 1999 yang
pada akhirnya juga diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun
2004.41
Kemudian diperbaiki lagi dengan Perma Nomor 1 tahun 2011.
38
Nurainun Mangunsong , “Tolak Ukur Judisial Review undang-undang Terhadap Undang-undang dasar
1945 Oleh mahakamah Konstitusi”, artikel pada Jurnal Konstitusi PKKKD-FH Universitas Muhammadiyah
Magelang, Vol. 1, No. 1, Agustus 2008, hlm 104. 39
Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Tehnik Membuatnya, Rineka Cipta,
Jakarta, 1997, hlm. 80. 40
Ibid. 41
Fatkhurohman, Sirajuddin, Zulkarnain, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipasif Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Malang Corruption Watch (MCW), Malang, 2008, hlm. 176.
20
Ketika Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1999 pengujian dapat dilakukan
melalui dua jalur, yakni gugatan dan permohonan keberatan. Gugatan adalah tuntutan
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara terhadap peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang untuk mendapatkan keputusan. Sementara dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2004 mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah
Agung hanya dapat dilakukan melalui permohonan.42
Permohonan keberatan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun
2011 tentang Hak Uji Materiil diajukan ke Mahkamah Agung dengan cara (a) langsung ke
Mahkamah Agung, atau (b) melalui pengadilan negeri yang membawahi wilayah hukum
setempat kedudukan pemohon. Permohonan diajukan terhadap suatu perundang-undangan
yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat tinggi.43
Permohonan keberatan diajukan ke Pengadilan Negeri yang mana prosesnya sama
saja tidak ada bedanya, hanya perbedaan tempat pengajuannya, ketika permohonan
gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri setempat, maka ketika berkas telah lengkap pada
hari berikut setelah pendaftaran diajukan ke Panitra Pengadilan Negeri, kemudian
diserahkan ke Panitra Mahkamah Agung yang akan disampaikan ke Ketua Mahkamah
Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung setelah lengkap berkas permohonan
tersebut. Penetatapan Majelis dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara
Atas nama Ketua Mahkamah Agung.
Kemudian dijelaskan pula putusan terhadap pengajuan hak uji materiil ke
Mahkamah Agung dibedakan menjadi 3 (tiga) macam : (1) jika Mahkamah Agung
berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan Perundang-
undangan tersebut bertentangan, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan
tersebut; (2) Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan jika peraturan perundang-
undangan yang dimohonkan keberatan tersebut tidak sah dan tidak berlaku umum, serta
memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya; (3) dalam hal
Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak beralasan,
Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.44
Putusan tersebut jangka
waktunya adalah 90 (sembilam puluh hari) setelah putusan Mahkamah Agung tersebut
dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan
42
Ibid. 43 Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. 44 Fatkhurohman, Sirajuddin, Zulkarnain. 2008. Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipasif
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Malang: Malang Corruption Watch (MCW), hlm. 177.
21
Perundang-undangan, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksakan kewajibanya,
demi hukum Peraturan Perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum.45
Menurut Von Staden, Andreas“judicial review by international courts must be
guided by the principle of “normative subsidiarity The ideal of self-government as
the core of democracy and argue that in order to be democratically legitimate.”
Normative subsidiarity recognizes the legitimate exercise of decision-making
authority by national governments in specific contexts as an appropriate
instantiation of self-government at that level and, as a result, requires international
courts to exercise some deference through appropriately defined judicial standards
of review. While a number of international courts have already adopted
appropriately deferential standards, I argue that all courts and tribunals engaged in
judicial review beyond the state need to address the demands of normative
subsidiarity if they want to enhance their specifically democratic legitimacy”.46
Melengkapi hal tersebut diatas menurut Lever, Annabelle judicial review do not
require judges to be better at protecting rights than legislators if that judicial review
has a democratic justification, although it is not necessary for democratic
government and its virtues are controversial and often speculative. Hence a
democratic justification for judicial review does not depend on complex and
inevitably controversial interpretations and evaluations of judicial as opposed to
legislative judgments. Democratic government does not demand special virtue,
competence or wisdom in its citizens or their leaders. From a democratic
perspective, therefore, the case for judicial review is that it enables individuals to
vindicate their rights against government in ways that parallel those they commonly
use against each other. This makes judicial review normatively attractive whether or
not it leads to better decisions than would be made by other means.47
2.4. Teori Negara Hukum
Peran pemerintah dalam mengatur warga negaranya harus memperhatikan
keseimbangan antara hak dan kewajibannya sehingga tercipta ketertiban dan
keamanan dalam masyarakat. Guna mewujudkan hal tersebut maka produk-produk
hukum yang dibuat pemerintah bersama-sama wakil rakyat tentunya harus bersih,
berwibawa dan bertanggungjawab yang mengarah kepada terciptanya aparatur
pemerintah yang memiliki kemampuan untuk mengayomi warga negara dan
mendukung pembangunan nasional, serta ditujukan kepada pemantapan kelembagaan
pemerintahan dan peningkatan professionalitas aparatur pemerintah itu sendiri yang
45
Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil. 46
Von Staden, Andreas, “The democratic legitimacy of judicial review beyond the state: Normative
subsidiarity and judicial standards of revie”, artikel pada International Journal of Constitutional Law, 2012. 47 Lever, Annabelle, “Democracy and judicial review: Are they really incompatible?”, artikel pada
Journal Perspectives on Politics, 2009.
22
nantinya digunakan sebagai pedoman didalam menyelenggarakan suatu pemerintahan
yang bersih, berwibawa dan bertanggung jawab.
Ricardo Miranda berpendapat “In modern legal theories see the law solely from
the viewpoint of the ruling class because of legal philosopher implicitly have
received the law as the exclusive domain of Governments and partisan politics.
This approach, has been plagued by poststructuralist political development,
which serves as a powerful force for change concepts that apply”.48
Wirjono Projodikoro berpendapat bahwa negara hukum adalah suatu negara
dimana semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat
perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan-tindakannya, baik terhadap para
warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh
sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum
yang berlaku pada tempatnya serta hubungan kemasyarakatannya harus tunduk
pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku pada tempatnya dan ini berlaku
untuk semua orang-orang penduduk dalam berhubungan.49
Dicey membuat pengertian negara hukum sebagai berikut: “We mean, in the first
place, that no man is punishable or can be lawfully made to suffer in body or
goods except for a disnct breach of law established in the ordinary legal manner
before the ordinary Courts of the land.....50
“We mean in the second place . . . not only that with us no man is above the law,
but (what is a different thing) that here every man, whatever be his rank or
condition, is subject to the ordinary law of the realm and amenable to the
jurisdiction of the ordinary tribunals.....”51
“[Thirdly,] the constitution is pervaded by the rule of law on the ground that the
general principles of the constitution (as for example the right to personal liberty,
or the right of public meeting) are with us the result of judicial decisions
determining the rights of private persons in particular cases brought before the
Courts.52
Menjadi pertanyaan apakah negara lebih baik diatur oleh manusia atau hukum,
tentunya selama suatu pemerintahan menurut hukum, dimana adanya supermasi
hukum itu dapat diterima, oleh ariestoteles sebagai tanda negara yang baik bukan
semata-mata sebagai keperluan yang tidak layak, akan tetapi tentunya negara yang
48
Ricardo Miranda, The Becoming-Other Of Law: Preliminaries For A Citizen”s Conceptualization Of
law, Mexican Law Review Volume 8, Issue 2, January–June 2016, Pages 131-150 49
Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik. Cet. Kedua: PT. Eresco, Jakarta-Bandung,
1981. hlm. 37. 50
A.V. Dicey, Introduction to Constional Law, London: ELBS and MacMillan, 1971, hlm. 188 51
Ibid, hlm. 193 52
Ibid, hlm. 195
23
lebih baik lagi adalah negara yang diperintah oleh konstitusi dan berkedaulatan
hukum, dimana aturan konstitusional dalam negara berkaitan secara erat.53
Jimly Asshiddiqie menjelaskan asal usul dari negara hukum itu sendiri
awalnya dari zaman Yunani Kuno, dimana para filusuf mengembangkan ide negara
hukum, mereka menyatakan guna mencegah kemerosotan kekuasaan maka negara
hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the scond best). Sedangkan konsep
negara hukum moderen di Eropa Kontenental di kembangkan dengan menggunakan
istilah jerman yaitu rechtsstaat. Sedangkan konsep negara hukum yang disebutan
“The Lure of Law” dalam tradisi Anglo Amerika. Selain itu, konsep negara hukum
yang terkait dengan istilah nomokrasi yang berarti bahwa penentu dalam
penyelenggara kekuasaan negara adalah hukum.54
Indonesia itu sendiri konsep negara hukum ini mulai berkembang dimasyarakat,
dimana perkembangnya melihat pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era globalisasi, maka akan
semakin menuntut perkembangan prinsip-prinsip negara hukum. Masalah
pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM adalah dua isu pokok yang
senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum. Saat
ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu
peradilan tata usaha negara (administrative court), peradilan tata negara
(counstitutional court), perlindungan hak asasi manusia pembatasan kekuasaan
(limitation of power), organ pemerintah yang independen, peradilan yang bebas
dan tidak memihak (independent and imparatial judiciary), bersifat demokrasi
(democratische rechsstaats), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara
(welfare rechsstaats), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas
legalitas (due process of law), serta transparasi dan control social supermasi
konstitusi (suprememacy of law),”.55
Prinsip supermasi hukum itu sendiri dalam negara hukum merupakan pedoman
tertinggi dimana semua masalah diselesaikan dengan hukum yang mengharuskan
adanya pengakuan normatif dan empiric. Pengakuan normatif mengenai supermasi
hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarki yang berpuncak
pada supermasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam prilaku
masyarakat dan pemerintahan yang tentunya mendasarkan pada aturan hukum
53
Nukthoh Arfawie Kurde. Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Cetakan I, Pustaka Pelajar: Oktober
2005. Yogyakarta. 2005. hlm. 16. 54
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstisionalisme Indonesia. edisi revisi. Konstitusi Press, Jakarta.
2005. hlm. 152 55
Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945.
Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakimandan HAM, 2003. hlm. 154-162
24
positif.56
Aturan hukum ini yang kemudian dibuat mulai dari peraturan dari tingkat
pusat maupun tingkat daerah yang kita kenal dengan hirarki Peraturan Perundang-
undangan guna melindungi hak dan kewajiban bagi masyarakat Indonesia serta
memberikan jaminan terhadap hukum sebagaimana amanat pada konstitusi dalam
penyelenggaran pemerintahan suatu negara hukum.
Wujud dari negara hukum yang didasarkan hirarkri perundangan-undangan di
Indonesia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dari tingakt pang paling atas UUD
1945, turun kebawah Tap MPR, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Penganti
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah
Provinsi, dan yang terakhir adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selain itu
mencangkup juga peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratn rakyat
(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, Badan,
Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkatnya.57
56 A. Rachman Sulaiman. 2012. Desertasi Fungsi pengawasan DPRD terhadap Kebijakan Pemerintah
Daerah Guna Mewujudkan Pemerintahan yang Baik, Program Doktor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
hlm. 5 57
Tanto Lailam, Teori & Hukum Perundang-undangan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, 2017, hlm. 2-3
25
Bagian 3:
Menopang
Peraturan Daerah
26
3.1. Pengertian Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah instrumen dalam menyelenggarakan pemerintah di daerah
yang merupakan aturan secara sah yang diberikan kepada pemerintah daerah. Sejak
tahun 1945 hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa Undang-undang yang menjadi
dasar hukum penyelenggaran pemerintah daerah dengan menetapkan Perda sebagai salah
satu instrumen yuridisnya.58
Beberapa Undang-undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaran
pemerintahan daerah dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok pokok
Pemerintahan Daerah, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.
3.2. Penetapan Peraturan Daerah
Prakarsa pembentukan peraturan daerah dari DPRD merupakan hak sehingga
tidak ada kewajiban bagi anggota dewan untuk menggunakan haknya sehingga hak
tersebut lebih pasif. Berbeda dengan Kepala Daerah, selain memiliki wewenang legislatif
seperti mengajukan rancangan Perda berdasarkan “Pasal 25 huruf b Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah”, juga menyelenggarakan
pemerintahan yang secara hirarki bertanggung jawab kepada “Presiden”. Sebagai
penyelenggara pemerintah di Dearah maka Kepala Dearah lebih mempunyai kemampuan
dalam menyusun rancangan peraturan daerah karena sarana, bahan dan sumber daya
manusianya lebih menunjang sehingga Kepala Derahnya lebih aktif dalam memprakarasi
pembentukan peraturan daerah. Meskipun demikian, dalam kaitanya dengan proses
sebagai elemen sistem, secara normatif yakni berdasarkan Pasal 25 huruf c undang-
undang ini, persetujuan bersama dari DPRD tetap diperlukan. Peraturan daerah yang
telah disahkan ini merupakan keluaran dari proses atau kegiatan tranformasi yang terjadi
dalam sistem pembentukan peraturan daerah.”59
58
Dadang Suwanda. Peningkatan Fungsi DPRD dalam Penyusunan Perda Yang Responsif, PT Remaja
Rosdakarya, Ceatakan Pertama. Bandung, 2016, hlm. 225-226. 59
I Wayan Suwandi, “Pendekatan Sistem Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, artikel pada Jurnal
Kerta Patrika, Vol. 33, No. 1. Januari 2008, hlm. 6.
27
Dalam pembentukan peraturan daerah ada 3 (tiga) hal yang diperlukan, pertama,
peraturan daerah dibidang otonomi, kedua, peraturan daerah dibidang tugas pembantu.
Ketiga, Peraturan Daerah sebagai penjabaran peraturan perundang-undangan diatasnya.60
Pelaksanaan tugas pembantuan tersebut diatur/dituangkan dalam “Perda dan/atau
keputusan kepala daerah”, agar pemerintahan daerah dapat mengatur lebih rinci sesuai
dengan keadaan setempat, tetapi kewenangan yang diberikan bersifat terbatas. Sebab,
"Peraturan tidak boleh mengatur tugas pembantuan di luar dari yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan61
Peraturan perundang-undangan tersebut tentunya harus baik, dalam artian baik
melalui cara dan metode yang pasti, sebagaimana yang diataur atau ditetapkan oleh
undang-undang maka diperlukan pula ketentuan yang sesuai dengan apa yang ditetapkan
undang-undang tentang jenis dan materi muatan jika melihat pendapat A. Hamid S.
Attamimi maka pembentukan norma hukum yang berlaku keluar dan mengikat secara
umum yang dituangkan dalam jenis-jenis peraturan perundang-undangan sesuai
hierarkinya.62
Pembentukan norma hukum tersebut perlu dituangkan dalam berbagai jenis
peraturan perundang-undangan, penting memperhatikan materi muatannya. Pentingnya
pemahaman dan ketentuan tentang “jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan
perundang-undangan ditunjukkan pula dengan adanya salah satu asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, yakni asas “kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan yang dimaksud dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan.63
60
Isharyanto, Penegakan Hukum & Otonomi Daerah Praktisi Negara Hukum Menurut UUD 1945, UNS
Press, Surakarta, 2017, hlm.79-80. 61
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1999, hlm. 18. 62 A.Hamid S.Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam penyelenggaraaan
Pemerintahan Negara, Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam
kurun waktu Pelita I-Pelita IV,untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. 63
Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
28
Jika kita melihat materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan
makan sesuai jenis, fungsi dan hierarki peraturan perundang-undangan.64
Materi muatan
yang secara spesifik terkait dengan peraturan daerah, tertuang dalam “Pasal 14 Undang-
undang Nomor 12 tahun 2011 yang menyebutkan “materi muatan peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung
kondisi khusus daerah dan/ataupenjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi”. Pasal menjelaskan bahwa materi muatan Peraturan Daerah
dimaksudkan :
a. Bahwa Perundang-undangan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan;
b. Dapat Menampung kondisi daerah;
c. Merupakan Penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Muatan itu sendiri, tolak ukurnya hanya bisa dikonsepkan secara umum. Semakin
tinggi kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin abstrak dan mendasar
materi muatannya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu peraturan
perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya. Menurut Bagir
Manan,65
suatu peraturan perundang-undangan yang baik setidaknya didasari pada tiga
hal, yakni Dasar Yuridis (juridische gelding), Dasar Sosiologis (sociologische gelding),
Dasar Filosofis.
Penyusunan Peraturan Daerah juga seharusnya memenuhi tiga landasan
sebagaimana yang sudah disebut diatas, yakni “landasan filosofis”, “landasan sosiologis”
dan “landasan yuridis”, dikarenakan Peraturan Daerah merupakan hukum yang berlaku
dimasyarakat, dan karena tidak melihat potensi dan karakteristik masyarakat,
implementasi Perda banyak terganggu. Disamping itu, sebagaian Perda yang bermasalah
umumnya bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, juga tumpang tindih antara
kebijakan pusat dan daerah serta tumpang tindih antara pajak dan retribusi. Sebagian
besar pejabat di daerah yang tidak memahami Undang-undang memaksakan Peraturan
Daerah yang berorentasi kepada keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan jangka
64
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Poin 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 65
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hlm. 34.
29
panjangnya.66
Untuk itu didalam penyusunan Peraturan Daerah juga harus memenuhi
tiga aspek tersebut sbb :
a. Landasan Filosofis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan jika
peraturan yang dibentuk harus mem-pertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Perda haruslah dibuat dengan
berlandaskan pada kebenaran dan prinsip-prinsip keadilan.
b. Landasan Sosiologis merupakan landasan yang terdiri dari fakta-fakta yang
merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat untuk mendorong perlunya pembuatan
perundang-undangan (Perda), yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya
dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu pengaturan.67
Landasan sosiologis
merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut kenyataan empiris yang hidup dalam
masyarakat. Oleh karena itu, landasan sosiologis ini akan tercermin di dalam konsiden
menimbang yang didalamnya memuat fakta-fakta sosiologis yang melatar belakangi
dibentuknya peraturan perundang-undangan tersebut.
c. Landasan Yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum/dasar
hukum untuk pembuatan/perancangan suatu peraturan perundang-undangan.68
menurut
W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono Landasan yuridis dari penyusunan
peraturan perundang-undangan meliputi kewenangan dari pembuat peraturan
perundang-undangan dan kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan
dengan materi yang akan diatur serta keharusan mengikuti tata cara tertentu.69
Materi muatan Peraturan Daerah yaitu materi pengaturan yang terkandung yang
disusun sesuai dengan teknik legal drafting atau teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan.70
Dalam Pasal 14, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung
66 Ni’matul Huda, op. cit., hlm. 83-84. 67
Moh. Mahfud, MD, Politik Hukum di Indonesia, Ctk. ke-1, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 9. 68
Kresno Budi Darsono dan W. Riawan Tjandra. Legislative Drafting. Yogyakata: Atma Jaya 2009.,
hlm.81. 69
Ibid. 70
http://eprints.stainkudus.ac.id/218/6/6%20BAB%20II.pdf, diakese pada 23 Oktober 2019, jam 21.34
WIB.
30
kondisi khusus daerah dan atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Secara umum, materi muatan peraturan daerah dikelompokkan menjadi ketentuan
umum, materi pokok yang diatur, ketentuan pidana (jika memang diperlukan), dan
ketentuan peralihan (jika memang diperlukan) serta ketentuan penutup. Materi muatan
peraturan daerah dapat mengatur adanya ketentuan pidana. Namun, berdasarkan “Pasal
15, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, ketentuan pidana yang menjadi materi muatan peraturan daerah dibatasi,
yakni hanya dapat mengatur ketentuan pidana berupa ancaman pidana paling lama 6
bulan kurungan penjara dan denda maksimal Rp. 50.000.000”.71
Muatan peraturan daerah sebagaimana didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 80 tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah “Pasal 4 :
(1) “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri atas:
a. “Peraturan Daerah provinsi; dan
b. “Peraturan Daerah kabupaten/kota.
(2) Peraturan Daerah memuat materi muatan:
a. “Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
b. “Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
(3) “Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Peraturan Daerah dapat
memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”.
(4) “Peraturan Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki
hierarki lebih tinggi dari pada Perda kabupaten/kota”.
(5) “Peraturan Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat
materi muatan untuk mengatur” yaitu Kewenangan provinsi”, “Kewenangan yang
lokasinya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi”,“Kewenangan yang
penggunanya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi”, ”Kewenangan
yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu
provinsi; dan/atau “Kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh daerah provinsi”.
71
Ibid.
31
(6) “Peraturan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
memuat materi muatan untuk mengatur” yaitu “Kewenangan
kabupaten/kota”,“Kewenangan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota”,
“Kewenangan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota, “Kewenangan
yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam daerah kabupaten/kota;
dan/atau “Kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh daerah kabupaten/kota”.
Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Peraturan Daerah tidak boleh memuat
hal urusan Pemerintahan Pemerintah Pusat, dalam hal Politik luar negeri, Pertahanan,
Keamanan, Yustisi, Moneter dan fiskal nasional, serta Agama. Materi muatan Peraturan
Daerah dapat memuat asas sesuai dengan substansi peraturan daerah yang bersangkutan.
Peraturan Daerah dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang terdapat pada Pasal 237 (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa asas pembentukan dan materi
muatan Perda berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengacu kepada rumusan Pasal
237 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
tersebut, maka asas pembentukan Perda mengacu kepada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 6 ayat (1) Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa dalam membentuk peraturan
perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan adalah setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat yaitu setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk
Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara
atau pejabat yang tidak berwenang.
32
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan
yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
d. Dapat dilaksanakan adalah setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan;
f. Kejelasan rumusan adalah setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan
kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya, serta;
g. Keterbukaan adalah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
3.3. Proses Pengusulan Usulan Rancangan Peraturan Daerah
Dalam usulan berasal dari pihak eksekutif (Kepala Daerah)sulan rancangan
Peraturan Daerah.72
a. Unit kerja di jajaran pemerintah daerah dapat mengajukan usulan prakarsa
penyusunan (persiapan) rancangan Peraturan Daerah.
b. Pra-Rancangan Peraturan Daerah (pra-Rancangan Peraturan Daerah) disertai
dengan penjelasan pokok pikiran dilaporkan kepada Kepala Daerah melalui
Sekertaris Daerah cq. Biro/bagian hukum, untuk diadakan kajian awal (diadakan
penelitian, koreksi);
c. Setelah diadakan kajian awal atau koreksi, dan/atau penelitian oleh biro/bagian
hukum, usulan pra-Rancangan Peraturan Daerah diajukan kepada Kepala
Daerah, disertai pertimbangan, saran dan penjelasan seperlunya, untuk mohon
petunjuk atau putusan. Apabila Kepala Daerah telah menyetujui usulan pra-
72
Soenobo Wirjosoegito, 2004, Proses & Perencanaan Peraturan Perundangan, Ghalia Indonesia Jakarta,
hlm. 37
33
Rancangan Peraturan Daerah tersebut, maka seterusnnya dapat diproses lebih
lanjut. Sedangkan sebaliknya bilamana ditolak, maka pra-Rancangan Peraturan
Daerah dikembalikan kepada uni kerja yang bersangkutan.
d. Dari pra-Rancangan Peraturan Daerah yang telah menyetujui, maka Sekertaris
Daerah menugasi biro/bagian hukum untuk mengkaji ulang pra-Rancangan
Peraturan Daerah itu untuk diadakan penyempurnaan lebih lanjut. Apabila perlu
pembahasan dalam forum yang lebih luas, maka dapat dibentuk tim pengkaji
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dengan mengikut sertakan uni kerja
dan instansi yag terkait dengan koordinasi oleh biro/bagian hukum.
e. Apabila Rancangan Peraturan Daerah tersebut telah final (selesai) persiapannya,
yang disertai dengan penjelasan pokok, Rancangan Peraturan Daerah
disampaikan kepada Kepala Daerah, yang telah terlebih dahulu dikonsultasikan
kepada:
1) Instansi vertikal departemen keuangan setempat (untuk Rancangan Peraturan
Daerah Pajak);
2) Gubernur Kepala Daerah, untuk Rancangan Peraturan Daerah pajak/retribusi.
f. Selanjutnya Biro/Bagian Hukum menyiapkan nota pengantar penyampaian
Raperda dari Kepala Daerah kepada pimpinana DPRD, sekaligus menyiapkan
kata pengantar sebagai penjelasan Raperda pada rapat pembahasan DPRD
tersebut.
Usulan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari pihak Legislatif
(DPRD) dapat dilihat sebagai berikut:
a. Usulan prakarsa diajukan oleh anggota dewan kepada pimpinan DPRD,
sekurang-kurangnnya 5 (lima) orang anggota (tidak hanya satu fraksi).
b. Usulan prakarsa itu oleh Pimpinan Dewan disampaikan dalam rapat paripurna
dewan, setelah mendapatkan pertimbangan dari panitia musyawarah. Dalam
rapat paripurna tersebut, pemerkasa menyampaikan penjelasan atas usulannya
(inisiatif).
c. Dalam rapat paripurna itu anggota-anggota DPRD maupun pihak eksekutif
(Kepala Daerah) hadir dan memberikan tanggapan atas usulan tersebut.
d. Apabila usulan prakarsa tersebut diterima dalam sidang paripurna DPRD, maka
proses selanjutnya penyelesaian dilakukan melalui prosedur yang ada. Yang
dimaksud tentunya Rancangan Peraturan Daerah yang kini menjadi Peraturan
34
Daerah itu, oleh pimpinan dewan disampaikan kepada Kepala Daerah atau
pihak eksekutif Daerah.
3.4. Proses Pembahasan Rancangan Praturan Daerah Dalam Rapat Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Pembahasan Rancangan Peraturan daerah dilakukan melalui 4 (empat) tahapan
pembicaraan, yaitu:tahapan I, tahapan II, tahapan III dan tahapan IV, kecuali apabila
panitia musyawarah menentukan lain.73
a. Pembicaraan tahap I, meliputi:
1) Penjelasan Kepala Daerah dalam rapat paripurna terhadap Rancangan Peraturan
daerah yang diajukan;
2) Penjelasan dalam rapat paripurna oleh pimpinan komisi/gabungan komisi/panitia
khusus, atas nama DPRD terhadap rancangan Peraturan daerahyang berasal dari
usulan prakarsa DPRD.
b. Pembicaraan tahap II, meliputi:
1) Pandangan umum dalam rapat paripurna oleh para anggota DPRD yang
membawakan surat fraksinya terhadap Rancangan Peraturan Daerah, yang
diajukan oleh Kepala Daerah;
2) Jawaban Kepala Daerah dalam rapat paripurna terhadap pandangan umum para
anggota DPRD;
3) Pendapat Kepala Daerah dalam rapat paripurna terhadap Rancangan Peraturan
Daerah usul prakarsa DPRD;
4) Jawaban pimpinan komisi, pimpinan rapat gabungan komisi atau pimpinan panitia
khusus atas nama DPRD terhadap pendapat Kepala Daerah tersebut.
c. Pembicaraan tahap III adalah:
1) Pembahasan dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Panitia
Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus yang dilakukan bersama dengan Kepala
Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
d. Pembicaraan tahap IV meliputi:
1) Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan:
a) Laporan hasil pembicaraan tahap III,
73 Ibid, hlm. 38
35
b) Pendapatan akhir fraksi-fraksi yang disampaikan oleh anggotanya
(stemmotieveering);
2) Pemberian kesempatan kepada Kepala Daerah untuk menyampaikan sambutan
terhadap pengambilan keputusan tersebut.
Peraturan Daerah yang telah memperoleh persetujuan DPRD dalam rapat
paripurna dituangkan dalam keputusan DPRD. Setiap tahun menjelang berlakukanya
tahun anggaran baru, Kepala daerah wajib menyampaikan Rancangan Peraturan daerah
tentang APBD serta lampiran selengkapnya dengan nota keuangan kepada DPRD
termasuk juga nantinya tentang perubahan dan perhitungan APBD.
3.5. Bentuk, Kerangka dan Rubrik-Rubrik Peraturan
Dalam era reformasi dewasa iniatau pedoman tata cara pembuatan
Peraturan Perundang-undangan ditinggalkan dan diatur oleh Presiden. Meteri
Dalam Negeri tidak lagi mengeluarkan petunjuk atau pedoman untuk pembuatan
Peraturan daerah dan Keputusan Kepala Daerah seperti yang sudah-sudah.
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 menetapkan tehnik penyusunan
peraturan perundang-undangan dan bentuk rancangan undang-undang, rancangan
peraturan pemerintah, dan rancangan keputusan presiden. Ditegaskan, keputusan
Presiden ini berlaku untuk penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat
pusat dan tingkat daerah. ini berarti bahwa pembuat rancangan Peraturan Daerah
harus mengacu pada pembuat penyusunana rancangan undang-undang di tingkat
pusat, dan pembuatan rancangan keputusan kepala daerah harus mengacu pada
penyusunan rancangan keputusan presiden di tingkat pusat. Ditentukan dalam
keputusan presiden dan peraturan dibawahny, sama dengan bentuk rancangan
untuk masing-masing jenis peraturan perundang-undangan (Pasal 7).
Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 15 dan Nomor 16 tahun
2006, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 2006, jenis produk hukum daerah
terdiri atas, sebagai berikut:
a. “Peraturan Daerah”;
b. “Peraturan Kepala Daerah”;
c. “Peraturan Bersama Kepala Daerah”;
d. “Keputusan Kepala Daerah”;
e. “Intruksi Kepala Daerah”.74
74
Pipi Syarifin dan Dedah Jubaedah, Ilmu Perundang-undangan, CV Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm
253.
36
Semua produk hukum daerah tersebut dapat dibagi dua, yaitu produk hukum
bersifat pengaturan dan produk hukum yang bersifat penetapan. Produk hukum yang
bersifat mengatur adalah sebagai berikut:
a. “Peraturan Daerah atau sebutan lain”;
b. “Peraturan Kepala Daerah”;
c. “Peraturan Bersama Kepala Daerah”.
Produk hukum yang bersifat penetapan adalah sebagai berikut:
a. “Keputusan Kepala Daerah”;
b. “Intruksi Kepala Daerah”.75
Dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan terdapat 2 jenis Perda yaitu Peraturan Daerah Propinsi
adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Propinsi dengan
persetujuan bersama gubenur. Termasuk alam Perda Propinsi adalah Qanun yang
berlaku di Propinsi Aceh (NAD) dan Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) serta Perdasi
(Peraturan daerah Propinsi) yang berlaku di Propinsi Papua dan papua Barat”.76
Sedangkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah “peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan
bersama Bupati/Walikota”.77
Adapun fungsi/peran Peraturan Daerah termasuk Qanun adalah sebagai
pedoman/pegangan bagi Pemerintah daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam
menyelenggarakan tugas-tugas pemerintah dan pembangunan di daerah sesuai
karakteristik daerah-daerah di Indonesia. Selain itu Peraturan Daerah bersama Peraturan
Gubernur / Peraturan Bupati/walikota diharapkan dapat berfungsi mempercepat realisasi
tujuan/cita nasional khususnya untuk masyarakat daerah yang sejahtera, bersatu dan
benar-benar terangkat martabatnya. Tapi Peraturan Daerah-Peraturan Daerah itu tidak
boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya dan kepentingan umum. Tentu fungsi-
fungsi Peraturan Daerah tidak akan terlaksana sebagaimana mestinya kalau tidak
ditopang oleh partispasi rakyat daerah.78
Terbukti dengan Pelibatan/partisipasi masyarakat lokal (daerah) telah berhasil
membawa perubahan-perubahan mendasar dalam perbaikan kualitas hidup dan kesadaran
hukum masyarakat baik dalam perencanaan sehingga implementasi program
75
Ibid. hlm 254. 76
Nomensen Sinamo, Ilmu Perundang-undangan, Permata Aksara, Jakarta, 2016, hlm 88-89. 77
Ibid. 78
Ibid.
37
pembangunan di tingkat daerah (lokal).79
Agar Peraturan Daerah-Peraturan Daerah
berfungsi efektif dan menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat daerah perlu
keteladanan dari aparat/pejabat daerah sebagai cara menstimulus/merangsang partisipasi
masyarakat daerah baik ketertiban, keamanan, kesejahteraan termasuk untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 80
79
Ibid. 80
Ibid. hlm 88-89.
38
Bagian 4:
Pengujian
Peraturan Daerah
39
4.1. Sejarah Sistem Hak Menguji Di Negara Indonesia
Jika kita melihat sejarah sistem pengujian setelah kita merdeka yang ada dinegara
Indonesia dimana pada masa sebelum terbentuknya Rancangan Undang-undang Dasar
1945 sudah dipikirkan oleh para pendiri negara kita melalui rapat BPUPK, sidang Pertama
tepatnya tanggal 28 Mei sampai 1 Juni 1945 ketika perhentian sidang/waktu istirahat
sidang (reses) sebelum memasuki tahap kedua tanggal 10-17 Juli 1945, beberapa anggota
BPUPK menyampaikan dalam rapat besar mengenai usulanya terkait Rancangan Undang-
undang Dasar Sementara, dimana dalam Rumusan tersebut di Pasal 12 menekankan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh suatu Mahkamah Agung dan badan pengadilan lain.
Pada sidang kedua BPUPK, Muhammad Yamin dalam dalam pokok-pokok
pandanganya menyampaikan untuk dibentuk Balai Agung atau Mahkamah Tinggi, dimana
didalam Mahkamah Tinggi ini terdapat Mahkamah Islam, dan/atau Mahkamah Sipil dan
Kriminil. Mahkamah Agung ini yang nantinya, selaku pembanding undang-undang, yang
akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adat, syari’ah dan undang-undang Dasar.
Terhitung sejak masa persidangan dan pembahasan rumusan Undang-undang Dasar
1945 oleh BPUPKI, atau PPKI, keberadaan Mahkamah Konstitusi belum dikenal. Akan
tetapi, usulan agar dilaksanakannya wewenang uji matriil terhadap Undang-undang Dasar,
yang saat ini menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi, telah disuarakan pada rapat
tersebut.81
Mahkamah Agung yang menurut pendapat Yamin, agar melakukan kekuasaan
kehakiman dan juga membanding undang-undang dengan hukum adan dan hukum Islam
(syariah) serta dengan Undang-undang Dasar. Dan pendapat Balai Agung disampaikan
kepada Presiden, yang menggambarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan, dan
melakukan aturan pembatalan. Oleh karena itu, menurut yamin Balai Agung jangan hanya
melaksanakan bagian kehakiman. Akan tetapi, juga menjadi badan yang membandingkan
apakah undang-undang yang dibuat Dewan Perwakilan Rakyat, tidak melanggar Undang-
undang Dasar atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui atau tidak bertentangan
dengan syariah agama islam.
Masalah hak uji materiil terhadap undang-undang pernah diusulkan oleh
Muhammad Yamin, bahwa perlu dimasukan di dalam Undang-undang Dasar 1945
ketentuan Mahkamah Agung berhak menetapkan Undang-undang bertentangan Undang-
Undang Dasar, akan tetapi usul tersebut ditolak oleh Soepomo dengan alasan bahwa oleh
karena prinsipil Undang-Undang Dasar yang sedang dibahas dan akan diberlakukan di
81 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku VI
Kekuasaan Kehakiman ,Sekertariatan Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 15.
40
Indonesia tidak mengaut Trias Politica, sementara hak uji materiil terhadap Undang-
undang itu hanya dijumpai di negara-negara yang menganut teori Trias Politica. Alasan
lainya menurut soepomo adalah karena kita belum memiliki tenaga ahli dan
berpengalaman yang diperlukan untuk itu, dalam hal ini adalah tenaga ahli untuk menguji
suatu peraturan.82
Terhadap pendapat Soepomo ini Sri Soemantri berpendapat dan mengatakan
“............secara prinsipil alasan Soepomo ini tidak beralasan, sebab hak menguji itu tidak
hanya berada pada negara yang mangut Trias Politika, akan tetapi tergantung kepada
sistem hukum yang dianut suatu negara. Secara tidak prisipil pendapat Soepomo itu pun
tidak dapat diterima, sebab saat ini telah banyak sarjana hukum yang berpengalaman.83
Menurut Yamin, dalam Mahkamah Tinggi dibentuk badan sipil dan kriminal, juga
dibentuk Mahkamah Adat dan Mahkamah Islam Tinggi, yang pekerjaannya tidak hanya
menjalankan kehakiman tetapi juga membanding dan memberi laporan tentang
pendapatnya kepada Presiden tentang segala hal yang melanggar hukum dasar, hukum
adat dan hukum syariah.
Usulan Muhamad Yamin ditanggapi Soepomo selaku Ketua Panitia Kecil yang
bertugas membuat dan mempersiapkan rancangan Undang-undang Dasar. Soepomo tidak
sependapat dengan Yamin. Soepomo beralasan bahwa “hak untuk menguji undang-undang
lebih banyak dianut oleh negara-negara yang menganut Trias Politika, dengan prinsip
pemisahan secara tegas badan-badan penyelenggara negara”, maka dalam konsepsi
demikian relevan memberikan hak uji undang-undang kepada Mahkamah Agung. Namun,
dalam rancangan Undang-undang Dasar yang akan disusun tidak menganut pemisahan
kekuasaan/badan-badan penyelenggara negara secara tegas, yang kedua masih
beragamnya pandangan dikalangan ahli, tentang perlu tidaknya memberikan hak uji
kepada suatu lembaga. Hal itu disebabkan karena, Undang-Undang Dasar biasanya
mengatur hal-hal yang pokok dan dengan susunan kalimat yang panjang lebar, sehingga
memungkinkan adanya penafsiran.
Dalam praktek, perselisihan tentang apakah produk Undang-undang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, pada umumnya bukan soal yuridis tetapi politis,
sehingga tidak tepat buat negara Indonesia, dan yang ketiga Para ahli hukum Indonesia
82
Marojahan JS Panjaitan, Pembentukan & Perubahan Undang-undang Berdasarkan UUD 1945:
Sebagai Bahan Ajar Ilmu Perundang-undangan dan Perancangana Undang-undang, Pustaka Reka Cipta, Ctk.
Pertama, Bandung, 2017, hlm. 171. 83 Ibid.
41
belum memiliki pengalaman dalam hal hak uji peraturan perundang-undangan dan
meskipun ada jumlahnya masih sangat terbatas.
Mengkaji argumen penolakan Soepomo, sebetelunya Soepomo tidak sepenuhnya
menolak gagasan tentang pemberian hak uji peraturan perundang-undangan yang
diusulkan Muhamad Yamin. Penolakan Soepomo selain persoalan prinsip dalam
penyelenggaraan kekuasaan, yaitu pemisahan kekuasaan secara tegas karena adanya
pertimbangan kesiapan tenaga ahli dan posisi negara yang masih muda. Bahkan, Soepomo
dalam rapat BPUPKI tersebut juga sempat menyampaikan perlunya melihat sistem di
negara lain seperti di Austria, Ceko-Slowakia, dan Jerman yang tidak memberikan hak uji
peraturan perundang-undangan kepada Mahkamah Agung, melainkan hak tersebut
diberikan kepada pengadilan khusus yang menangani persoalan konstitusi. Selanjutnya
Yamin menyatakan, Mahkamah Agung dengan sendirinya harus bisa dan tentu saja
menyelidiki dan memutus apakah putusan pengadilan yang lebih rendah bertentangan
dengan hukum adat, hukum sipil atau tidak. Demikian juga apakah bertentangan dengan
hukum Islam atau tidak.
Walaupun telah dijelaskan secara panjang lebar, nampaknya Muhamad Yamin
belum menerima alasan yang disampaikan Soepomo, dan meminta untuk menunda
pembahasan tentang persoalan tersebut. Hingga akhirnya disetujuilah Undang-Undang
Dasar 1945, akan tetapi tanpa ada kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji
peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar. Maka dapat dikatakan
Undang-undang Dasar 1945 belum mengenal Mahkamah Agung yang berwenang menjadi
lembaga penguji Undang-undang hanya pada tingkatan Undang-undang di bawah Undang-
undang.
Pada salah satu rapat BPUPKI, M. Yamin menggagas lembaga yang berwenang
menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut
constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari
pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsengrecht (uji materil) terhadap
Undang-Undang.
Namun, gagasan itu disanggah oleh anggota BPUPKI yang lain Soepomo. Dalam
rapat besar BPUPKI pada 15 Juli 1945 ia mengatakan bahwa pembentukan sebuah
pengadilan spesial yang khusus menangani konstitusi belumlah diperlukan. Alasannya,
menurut Soepomo, Indonesia belum memiliki banyak ahli yang dapat mengisi jabatan itu
sebagaimana yang telah di sebutkan diatas. Akhir dari perdebatan itu adalah tidak
merumuskan konsep Judicial Review dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
42
Indonesia Tahun 1945 Negara Republik Indonesia 1945 dan BPUPKI memutuskan bahwa
isi dari Pasal 24 dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen
yaitu :
1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut Undang-undang;
2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-undang.
Dalam konteks keindonesiaan, perdebatan pemikiran tentang judicial review telah
muncul saat pembahasan Undang-Undang Dasar yang dilakukan oleh BPUPKI, dimana di
dalam pembahasan menjadi perdebatan yang menarik antara Muhamad Yamin dan
Soepomo. Rapat tersebut diselenggarakan pada tanggal 15 Juli 1945, dengan agenda untuk
membuat dan mempersiapkan naskah rancangan Undang-Undang Dasar, BPUPKI
membentuk panitia kecil yang diketuai oleh Soepomo. Panitia kecil berhasil menyusun
naskah rancangan Undang-Undang Dasar yang akan ditanggapi lebih lanjut dalam rapat
BPUPKI. Perihal kekuasaan kehakiman, panitia kecil sebagaimana tertera dalam “Pasal 24
mengusulkan, yang pertama pada ayat satu “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung, dan lain-lain badan kehakiman, dan yang kedua abad ayat dua
“Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang”.
Kemudian dilajutkan pada “Pasal 25” mengatur tentang syarat-syarat untuk menjadi hakim
yang ditetapkan dengan undang-undang.
Ketika negara Indonesia berubah menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
1950, sebagai hasil dari kesepakan Konfrensi Meja Bundar (KMB), diberlakukan pula
Konstitusi RIS 1949. Dalam Bab IV dengan Judul Mahkamah Agung pada Pasal 113-116.
Mahkamah Agung baru diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atau Judicial
Review pada saat masa konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dalam
konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 memberikan wewenang
kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan di bawah undang-undang saja.
Sedangkan untuk pengujian undang-undang tidak dapat dilakukan Judicial Review karena
menurut Pasal 95 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1950 ditegaskan bahwa undang-undang
tidak dapat diganggu gugat (de wet is onschenbaar).
Pada saat Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 diberlakukan juga
mengubah keberadaan Mahkamah Agung dan dibentuk Undang-undang Darurat Nomor 1
tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara, dari Undang-Undang Darurat tersebut
kemudian dapat diketahui bahwa berbagai macam pengadilan yang menjalankan
kekuasaan kehakiman sejak proklamasi kemerdekaan sebagai warisan kolonial sampai
43
dengan penyatuan dengan susunan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah
Agung. Antara lain pengapusan pengadilan adat dan diteruskannya pengadilan agama.
Dalam perkembangnya, negara Indonesia menetapkan untuk kembali ke Undang-
Undang Dasar 1945. Hal ini dikarenakan sesuai Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
tentang Kembali kepada Undang-undang Dasar 1945. Maka dengan demikian yang terkait
kekuasaan kehakiman kembali pada rumusan Bab IX dengan judul Kekuasaan
Kehakiman. Akan tetapi, dalam perkembangan kekuasaan kehakiman yang merupakan
kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari pengaruh kekusaan pemerintahan yang juga
mengalami penyimpangan.
Hal tersebut terjadi ketika dibentuknya “Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam penjelasaan Pasal 19
yang berbunyi “pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan
kekusaan pembuat Undang-undang”. Penyimpangan lainnya Ketua Mahkamah Agung
dimasukan sebagai salah satu Menteri dalam susunan kabinat (eksekutif). Maka pada
tanggal 6 Juni 1956 diterbitkan Undang-undang Undang-undang Noor 13 Tahun 1965
yang mengatur tentang pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah
Agung. Maka dengan adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tidak berlaku. Hal
tersebut menimbulkan persoalan mengenai akibat hukum yang timbul, yaitu adanya
kekosongan terkait hukum acara kasasi. Karena di Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950
memuat hukum acara tentang kakasi sedangkan di dalam Undang-undang yang baru tidak
demikian.
Pada zaman orde baru dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1964 tidak berlaku dan memuat campur tangan Presiden dalam peradilan untuk
kepentingan Revolusi tersebut. Dalam ketentuan Pasal 10 Ayat (2) disebutkan bahwa
Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung
sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan yang berasal dari peradilan yang
lain, yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang amsing-masing, terdiri dari:
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Hal tersebut tentunnya berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung diatur
dalam “Undang-Undang. Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 26” yaitu:
1. Mahkamah Agung berwenang untuk mengatakan tidak sah semua peraturan perundang-
undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi;
44
2. Putusan tentang pernyataan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan tersebut
dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari
peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh
instansi yang bersangkutan.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung dimasukan sebagai salah satu lembaga
tinggi negara setara dengan Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Badan Pemerikasaan Keuangan. Status struktur mengenai Mahkamah Agung
tertuang dalam Ketetapan MPR RI No. VI/MPR?1973 tentang Kedudukan dan Hubungan
Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antarlembaga Tinggi Negara. Sebagai
salah satu lembaga tinggi negara, MPR menghendaki agar Mahkamah Agung selaku
pelakasana kekuasaan kehakiman dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainya.
Ketetapan MPR tersebut juga mengatur kedudukan Mahkamah Agung sebagai
lembaga yang memberikan pertimbangan dalam hukum, baik diminta maupun tidak,
kepada lembaga tinggi negara dan dapat pula memberikan nasihat hukum kepada
Presiden/kepala negara untuk pemberian/penolakan grasi. Selain itu, Mahkamah Agung
berwewenang khusus menguji secara materiil hanya terhadap peraturan-peraturan
perundangan di bawah undang-undang.
Terhitung sejak tahun 1973 hingga tahun 1978, fungsi dan kewenangan Mahkamah
Agung tidak mengalami perubahan yang berarti karena pada fase tersebut tidak ada
perubahan ayat atau pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan itu sesuai
dengan Ketetapan MPR RI. No. I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR, Bab
XVII Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 15, yang menyatakan sebagai berikut:
“Majelis berketetapan untuk mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, tidak
berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan
melakasanakannya secara murni dan konsekuen”.
Kejadian penting pada masa pemerintahan Soeharto berkaitan dengan lembaga
peradilan dan Mahkamah Agung, adalah Sidang Umum MPR RI Tahun 1983 yang
melahirkan ketetapan penting berkaitan dengan ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya
ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum. Berdasarkan ketetapan itu
kemudian dibentuk UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung., Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
45
Ide tentang perlunya uji materiil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
dan perlunya dibentuk sebuah pengadilan konstitusional pada masa ini pernah disuarakan
oleh beberapa anggota Konstituante. Usulan dari anggota Konstituante disampaikan ketika
berlangsung Sidang Konstituante pascapemilu tahun 1955. Konstituante dalam konteks
ketatanegaraan Indonesia, merupakan periode pemerintahan konstitutional. Periode ini,
juga sebagai masa peralihan dari sitem parlementer yang pernah berlangsung di Indonesia,
sebelum akhirnya berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin. Setelah dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Konstituante kemudian dibubarkan sebelum tugasnya selesai.
Terkait dengan keperluanya kewenangan hak uji materiil atas undang-undang
terhadap Undang-undanf dasar, serta usulan perlunya pengadilan Konstitusional di
Indonesia, pada masa Sidang Konstitusional di Indonesia, pada masa Sidang Konstituante
periode 20 Mei-13 Juni 1957 usulan itu mulai menguat. Dalam sidang pleno dengan
agenda pengumpulan materi pokok yang perlu dimasukkan ke dalam Undang-undang
dasar dan mengenai struktur Undang-undang Dasar dan mengenai struktur Undang-
Undang Dasar, tercatat beberapa anggota Konstituantemenggulirkan usul tersebut.
Anggota Konstituante yang menyampaikan usulan, adalah Soeripto dari PNI, Oei
Tjoe Tat, Siauw Giok Tjohan dan Yap Thiam Hien dari Baperki, Hermanu Kartodiredjo
dari PKI, dan Penda Saroengalo dari Parkindo, serta dari Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI). Pada masa sidang tersebut, mereka secara umum telah mengusulkan agara
dimasukan ke dalam Undang-Undang Dasar sebuah Pasal yang menyatakan tidak
berlakuknya suatu Undang-Undang apabila Undang-Undang itu bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar.84
Hal tersebu, menurut mereka, perlu agar memudahkan
Mahkamah Agung di Indonesia menjadi lembaga negara dalam mengambil keputusan
yang menyangkut sifat konstitutional perundang-undangan. Selain itu, menurut mereka
juga perlu adanya kompetisi konstitusional yang secara aktif untuk memutuskan
berlawanan atau tidaknya sebuah undang-undang, peraturan, atau keputusan pemerintah
terhadap Undang-Undang Dasar. Pada masa pemerintahan soeharto, tidak diaturnya
Mahkamah Konstitusi dan Kewenangan judicial review dalam Undang-Undang Dasar
1945 menimbulkan penafsiran beragam. Sebagian ahli hukum mengatakan, bahwa tidak
diaturnya masalah tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak berati para hakim
tidak memiliki wewenang tersebut. Para hakim memiliki kewenangan tersebut secara
84 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, op.cit., hlm. 22.
46
otomatis sebagai konsekuensi logis dari kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman
kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan hak uji materiil terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang secara tegas diatur dalam
ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok
Kekuasan Kehakiman terutama pada pasal 26 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan-peraturan
dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut
dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok
Kekauasaan Kehakiman tahun 1986 bersama Rancangan Undang-Undang Mahkamah
Agung pada Tahun 1968 di usulkannya adanya majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH) muncul yang berfungsi memberikan perimbangan dalam mengambil keputusan
akhir mengenai saran-saran dan usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi,
kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukum jabatan para hakim. Namu ide tersebut
tidak berhasil dimasukan dalam Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Indonesia, dimana rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32
tahun, akhirnya digulingkan oleh rakyat karena telah bertindak secara otoriter. Rakyat
yang menginginkan nilai-nilai kedaulatan rakyat dijunjung tinggi, merasa hak-haknya
dilanggar oleh penguasa yang berlaku sewenang-wenang. Akhirnya muncullah gerakan-
gerakan perlawanan yang kemudian membesar dan mendorong terjadinya revolusi. Atas
dasar ini pula, rakyat menginginkan bahwa negara seharusnya berdasarkan atas hukum
(rechtstaat), dan bukan berdasar atas kekuasaan (machtstaat) semata. Dengan adanya
konsep negara hukum, maka tindakan penguasa dibatasi oleh hukum, dan hukum
seharusnya juga menjamin terpenuhi hak-hak masyarakat melalui prinsip kedaulatan
rakyat.85
Kedaulatan rakyat kemudian dijabarkan menjadi beragam domain kehidupan
berbangsa dan bernegara. Salah satunya adalah melalui mekanisme pengujian peraturan
perundang-undangan. Sebagai negara yang berlandaskan atas hukum dan menjunjung
tinggi pemenuhan atas hak bagi warga negaranya, maka Indonesia memberikan
85
Sholahuddin Al-Fatih, “Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Satu Atap melalui
Mahkamah Konstitusi”, artikel pada Jurnal Legality, Vol. 25, No. 2, September 2017- Februari 2018, hlm. 247-
260
47
kesempaan dan peluang bagi warga negaranya yang merasa hak-haknya tidak diakomodasi
dengan baik oleh produk hukum yang berlaku. Mekanisme tersebut seringkali dikenal
dengan istilah pengujian peraturan perundang-undangan atau judicial review.86
Kewenangan Mahkamah Agung selaku judicial review tidak dicantumkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen melainkan tercantum dalam Tap MPR
RI No. III/MPR/1978 dan Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung serta Perma Nomor 1 tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil. Di dalam Tap MPR RI
No. III/MPR/1978 tepatnya pada Pasal 11 ayat 4 disebutkan “Mahkamah Agung
mempunyai wewenang menguji secara material hanya terhadap peraturan-peraturan
perundangan di bawah Undang-undang dan Perma Nomor 1 tahun 1993 tentang Hak Uji
Materiil terkait pengajuan Permohonannya.
Seiring dengan perkembangan politik di Indonesia maka politik di Indonesia juga
mengalami perubahan perubahan tersebut ditandai dengan momentum perubahan Undang-
undang Dasar 1945 pada masa reformasi (1999-2004). Salah satu perubahan signifikan
dalalm amandemen Undang-undang Dasar 1945 itu adalah dicantumkannya kewenangan
hak uji materiil oleh Mahkamah Agung dalam Pasal 24A dan juga lahirnya Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi ini terbentuk karena kebutuhan akan adanya suatu yang
semakin mendesak. Dalam perkembangannya sejak masa reformasi masyarakat semakin
kritis terhadap pemerintah apalagi sejak hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai penguji
undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Kedudukan mahkamah agung tetap
menguji dengan batu uji yang berbeda, diatur dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
tahun 2004 menggantikan Perma Nomor 1 Tahun 1993 tentang Uji Materiil.87
Mahkamah Agung diberi kewenangan melakukan Judicial Review terhadap
peraturan di bawah Undang-undang. Sebagimana yang pernah dijelaskan dalam Undang-
undang Dasar 1945 setelah amandemen, bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang
untuk menguji apakah sesuatu undang-undang sesuai dengan Undang-Undang atau tidak,
dan untuk menolak melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang. Dan yang termasuk peraturan di bawah
undang-undang menurut Pasal 7 undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten atau Kota. Kewenangan melakukan pembatalan peraturan yang dianggap
86 Ibid. 87
Arie satio Rantjoko, “Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung Untuk Menguji Peraturan Perundang-
undangan Dibawah Undang-undang Di Indonesia”, artikel pada Jurnal Rechtens, Vol.3, No.1, 2014, hlm. 44-47.
48
bertentangan dengan undang-undang di atasnya dimiliki juga oleh pemerintah selain
Mahkamah Agung pembatalan tersebut dilakukan sebagi bentuk pengawasan dari
pemerintah.
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah ini berupa Pembatalan Peraturan
Daerah yang diatur dalam Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yaitu bahwa:
(1) Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan oleh Pemerintah.
(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).
(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan
selanjutnya DPRD bersama kepala daerah rnencabut Peraturan Daerah dimaksud.
(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada
Mahkamah Agung.
(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (5) dikabulkan; sebagian atau
seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden
menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan
berlaku Dari Pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah dapat
melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dan apabila
pemeritah provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima pembatalan Peraturan
Daerah tersebut maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung.
Disini sudah mulai terlihat bahwa telah terjadi dualisme kewenangan dalam
melakukan uji materiil terhadap peraturan di bawah undang-undang. Sepanjang 2010,
49
Mahkamah Agung sudah memutus 12 perkara uji materiil Peraturan Daerah tetapi
Kementerian Dalam Negeri sudah membatalkan tidak kurang dari 1.691 Peraturan Daerah
sepanjang periode 2004-2009. Secara praktek sejak 2004, telah terjadi dualisme
pembatalan Perda. Sebagian diputuskan melalui executive review di Kementerian Dalam
Negeri, sebagian lagi melalui uji materiil di Mahkamah Agung. Dualisme ini terjadi
karena inkonsistensi instrumen hukum yang mengatur Peraturan Daerah.88
Pengujian oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review) diatur baik
sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan mengenai
pengujian peraturan perundang-undangan pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar
1945, pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur pengujian terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang
merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar
1945, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang tetap merupakan kewenangan Mahkamah Agung, sedangkan
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan kewenangan
Mahkamah Konstitusi Pengujian Undang-Undang oleh lembaga legislatif (legislative
review) dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas serta
menyetujui Undang-Undang (bersama-sama Presiden).
Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar berada pada MPR berdasarkan Ketetapan MPR RI
Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan. Alasan mengapa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji hanya
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-
Undang pada masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, menurut Padmo
Wahjono didasarkan pada pemikiran bahwa Undang-Undang sebagai konstruksi yuridis
yang maksimal untuk mencerminkan kekuasaan tertinggi pada rakyat, sebaiknya
diuji/diganti/diubah oleh yang berwenang membuatnya, yaitu MPR berdasarkan praktik
kenegaraan yang pernah berlaku.89
Praktik ketatanegaraan yang dimaksud adalah dengan ditetapkannya Ketetapan
MPRS RI Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif
88 Ibid. 89 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ctk. 2, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986,
hlm. 15.
50
Negara di luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 1945.90
Sebagaimana pengujian oleh lembaga legislatif
(legislative review) yang dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk
dan membahas serta menyetujui Undang-Undang (bersama dengan Presiden), pengujian
oleh lembaga eksekutif (executive review) dilakukan terhadap peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif.
Salah satu contoh pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) adalah dalam
pengujian Peraturan Daerah. Untuk melaksanakan pemerintahan daerah, maka
penyelenggara pemerintahan daerah (pemerintah daerah dan DPRD) membentuk
Peraturan Daerah, yang akan ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan
bersama DPRD. Berdasarkan Pasal 136 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 145
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah dapat
membatalkan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, dan keputusan pembatalan Peraturan Daerah
ditetapkan dalam Peraturan Presiden.
Analisis mendalam diperlukan jika mengkaji pengujian peraturan dari segi
obyeknya, karena harus memperhatikan sistem hukum yang digunakan, sistem
pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan dari sebuah negara sehingga sangat mungkin
terdapat kekhasan pada negara tertentu. Dilihat dari obyek yang diuji, maka peraturan
perundang-undangan yang diuji terbagi atas:
(1) Bahwa seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan executive acts)
dan tindakan administratif (administrative action) terhadap Undang-Undang Dasar
diuji oleh hakim pada seluruh jenjang peradilan.
(2) Bahwa pengujian dengan obyek seperti ini dilakukan dalam kasus yang kongkrit, dan
secara umum dilakukan pada negara yang menggunakan common law system.91
90 Ibid. 91
Beberapa definisi judicial review dari negara yang menggunakan sistem hukum common law. Dalam
Black’s Law, judicial review diartikan sebagai: power of courts to review decisions of another department or
level of government.” Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary with Pronunciations. 6thed. (United
States of America: West Publishing Co, 1990), hlm. 849. Encyclopedia Americana mengemukakan pengertian
judicial review sebagai berikut: “Judicial review is the power of the courts of the country to determine if the acts
of the legislature and executive are constitutional. Acts that the courts declare to be contrary to the constitution
are considered null and void and therefore unenforceable.” The Encyclopedia Americana Vol. 16, Cet.7,
(Canada: Grolier Limited, 1977), hlm. 236. Sedangkan Erick Barendt mengemukakan pengertian judicial
51
Secara umum, istilah yang digunakan adalah judicial review, akan tetapi perlu
diperhatikan lagi penggunaan istilah itu pada negara-negara yang menggunakan sistem
hukum civil law system, Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar diuji oleh
hakim-hakim pada Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court), sedangkan peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang diuji oleh
hakim-hakim di Mahkamah Agung (Supreme Court). Pengujian dengan pembagian obyek
seperti ini secara umum tidak dilakukan dalam kasus yang kongkrit, dan secara umum
dilakukan pada negara yang menggunakan sistem hukum civil law. Jimly Asshiddiqie
membedakan jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak
dan umum (general and abstract norms) secara “a posteriori”, maka pengujian itu dapat
disebut sebagai “judicial review”, akan tetapi jika ukuran pengujian itu dilakukan dengan
menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur maka, maka kegiatan pengujian semacam
itu dapat disebut sebagai “constitutional review” atau pengujian konstitusional, yaitu
pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial
review on the constitutionality of law).92
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa definisi dari suatu istilah
sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan, sistem
pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan sebuah negara. Istilah judicial review selain
digunakan pada negara yang menggunakan sistem hukum common law juga digunakan
dalam membahas tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti
yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu: ‘Judicial Review’ merupakan upaya
pengujian oleh lembaga Judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun judikatif dalam rangka penerapan prinsip ‘checks
and balances’ berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara (separation of
power).93
Walaupun menggunakan istilah yang sama yaitu judicial review, akan tetapi
karena sistem hukum yang menjadi landasan berbeda, maka definisinya akan berbeda,
karena pada negara dengan common law system.94
tidak dikenal adanya suatu peradilan
review sebagai berikut: “Judicial review is a feature of a most modern liberal constitutions. It refers to the power
of the courts to control the compatibility of legislation and executive acts of the term of the constitutions.”
Erick Barendt, An Introduction to ConstitutionalLaw, (Great Britain: Biddles Ltd, Guildford and King’s Lynn,
1998), hlm. 17 92
Ibid, hlm 6-7. 93 Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang ‘Judicial Review” atas PP No.
19/2000 yang bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999,” (tanpa tempat, tanpa tahun), loc cit., hal. 1. 94
Rene David dan John E.C. Brierley “The Common law,...was formed primarily by judges who had to
resolve specific disputes. The Common law legal rule is one which seeks to provide the solution to a trial rather
52
khusus yang mengadili pegawai administrasi negara sebagaimana dalam civil law
system,95
maka terhadap tindakan administrasi negara juga diadili di peradilan umum. Hal
itu menyebabkan pada negara yang menganut common law system hakim berwenang
menilai tidak hanya peraturan perundang-undangan, tapi juga tindakan administrasi negara
terhadap Undang-Undang Dasar.96
Pembagian lainnya adalah berdasarkan waktu pengujian, yaitu pengujian yang
dilakukan sesudah Undang-undang disahkan (judicial review) dan pengujian yang
dilakukan sebelum Undang-undang disahkan (judicial preview). Jimly Asshiddiqie
mengemukakan perbedaan judicial review dan judicial preview sebagai berikut:
Jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum
(general and abstract norms) secara “a posteriori”, maka pengujian itu dapat disebut
sebagai “judicial review”. Akan tetapi jika pengujian itu bersifat “a priori”, yaitu
terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi belum
diundangkan sebagaimana mestinya, maka namanya bukan “judicial review”,
melainkan “judicial preview”.97
Gagasan pemberian kekuasaan hak menguji undang-undang telah dimulai pada saat
rapat-rapat persiapan kemerdekaan Indonesia. Namun, ketiadaan atau keterbatasan ahli
hukum pada awal berdirinya negara Indonesia menjadi salah satu alasan pragmatis dari
Soepomo untuk menolak diberikannya kewenangan menguji undang-undang kepada
kekuasaan kehakiman dalam konstitusi Indonesia. Alasan keterbatasan ahli hukum itu
direkam oleh Wiryono Prodjodikoro98
dalam catatannya tentang urgensi peradilan
administrasi sbb : “Hak kekurangan keahlian inilah yang menimbulkan keragu-raguan
dalam hati sanubari segenap pembicara dalam pertemuan para ahli hukum tersebut.
Terutama Prof. Logemann adalah sangat tegas dalam kesimpulannya, bahwa menurut
than to formulate a general rule of conduct for the future.”, Major Legal Systems in the World Today:
Introduction to the Comparative Study of the Law, ed. 3rd, (London: Stevens and Sons Ltd., 1996), hlm. 24 95 James Mac Gregor Burns, J.W. Peltason, dan Thomas E. Cronin Dalam literatur, istilah Civil Lawjuga
dikenal dengan istilah The Romano-Germanic Family.”A first family may be called the Romano-Germanic
family. “This group includes those countries in which legal science has developed on the basis of Roman ius
civile.” Ibid., hal. 22. Dalam buku tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa: “In countries of the Romano-
Germanic family, the starting point for all legal reasoning is found in various form of “written law”. Ibid., hal.
125. Selain itu, juga terdapat istilah statutory law. “Statutory law: Formulated primarily by a legislature, but also
includes treaties and executive orders; law that come from authoritative and specific law-making sources.”,
Government by the People, 13th alternate ed., (New Jersey: Prentice Hall, 1989), hlm. 364 96 Untuk penjelasan lebih lanjut tentang sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi dalam pengujian
peraturan perundang-undangan, lihat Fatmawati, loc.cit. 97 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Ctk. Kedua,
Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 6-7. 98
Prodjodikoro, Wirjono. Bunga Rampai Hukum, Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta, 1974, hlm.
195.
53
pendapatnya hal yang pertama-tama harus diperhatikan di Indonesia ialah suatu usaha
memperbaiki berjalannya tata-usaha pemerintahan secara mengatur sebaik-baiknya
pemisahan Pengadilan dan Pamongpraja, menyempurnakan hukum tata usaha
pemerintahan, memperbaiki hal pengawasan di dalam tata usaha pemerintahan, dan
mengadakan pengawasan atas tindakan pemerintah oleh badan-badan perwakilan rakyat.
Pada akhirnya Ketua Pertemuan tersebut Mr. Van Dunne mengemukakan bahwa
sebagai hasil dari pembicaraan diantara semua pembicara ialah, bahwa belum dirasakan
keperluan untuk lekas lekas mengadakan pengadilan dalam soal-soal tata usaha secara
prinsipil dan luas”. Pada tanggal 27 Desember 1949 berdiri negara federal Republik
Indonesia Serikat (RIS) yang hanya berumur 7 bulan 21 hari, karena kemudian pada
tanggal 17 Agustus 1950, negara Indonesia kembali ke Negara Kesatuan. Dalam
pemerintahan RIS, pembuatan undang-undang dilakukan oleh Presiden dan Menteri-
Menteri bersama dengan DPR, kecuali kalau mengatur hal-hal khusus mengenai hal
tertentu, beberapa atau semua daerah bagian, maka bersama-sama juga dengan Senat
(Pasal 127 KRIS).
Berdasarkan ketentuan pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS disebutkan bahwa objek
hak uji materi di Mahkamah Agung adalah undang-undang negara bagian yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan konsitusi.99
Dalam Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950, hak uji menguji secara materil tidak dapat dilakukan. Artinya
tidak ada satu kekuasaan pun, termasuk Mahkamah Agung, yang mempunyai wewenang
untuk menguji, apakah isi suatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar atau tidak.100
Sedangkan menurut Henry P. Panggabean objek Hak Uji Materiil dalam periode
Undang-Undang Dasar Sementara adalah peraturan pemerintah dan peraturan daerah (vide
Pasal 95 ayat (2) UUDS).101
Praktek pengujian peraturan oleh para hakim di pengadilan
sebenarnya telah ada sejak zaman kolonial, terutama pada masa pendudukan Belanda-jauh
sebelum M. Yamin mengemukakan pemikiran itu dalam sidang pleno BPUPKI.102
Praktik hakim di pengadilan menilai dan menguji Undang-undang terhadap Undang-
undang Dasar semacam ini terus berlanjut pada masa Indonesia baru merdeka, sekalipun
99 Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 28
100 Ibid, hlm. 30.
101Panggabean, Henry Pandapotan, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, Upaya
Penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan Mahkamah Agung, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2001, hlm. 127. 102
Harman, Benny K, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pemikiran Pengujian UU
Terhadap UUD, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2013. hlm. 146.
54
secara tegas Undang-undang Dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak
memberikan kewenangan tersebut. Bahkan, secara tegas melarang praktik tersebut lewat
ketentuan Pasal 20 AbvW dari masa Hindia-Belanda yang dinyatakan masih tetap berlaku
(carry over). Dalam catatan Henry P. Panggabean103
terdapat satu yurisprudensi yang
sebenarnya telah menerapkan hak uji (toetsingsrecht)itu dalam sengketa yang berkaitan
dengan kewenangan Kantor Urusan Perumahan (KUP). Maksudnya, meskipun terdapat
PP. 49/1963 sebagaimana ditegaskan dengan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)
Nomor 5 Tahun 1964 yang isinya menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang
mengadili sengketa sewa-menyewa perumahan dan pengosongannya melainkan hanya
Kepala Kantor Urusan Perumahan yang berwenang pada tingkat pertama dan kepala
daerah pada tingkat banding namun dalam praktik tetap sengketa perumahan diadili oleh
Pengadilan Negeri.
Namun, istilah hak uji sebagaimana digunakan oleh Henry P. Panggabean dalam
persoalan di atas perlu dicermati lebih seksama karena yang terjadi kemungkinan
sebenarnya adalah ketidakjelasan yuridiksi dalam sengketa perumahan, artinya kendati
terdapat peraturan perundang-undangan yang memberi kewenangan kepada Kepala
Daerah dalam menyelesaikan sengketa perumahan namun kewenangan tersebut tetap
beririsan dengan kewenangan Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan soal-soal
keperdataan di bidang perumahan (vide SEMA No. 18/1964)104
. Namun harus diakui
praktik pengujian peraturan perundang-undangan senantiasa terjadi, meskipun sebelum
tahun 1993 para hakim tidak memiliki kewenangan tersebut. Hanya saja pengujian yang
dilakukan tidak mengakibatkan pembatalan karena yang dilakukan hanya
mengesampingkan suatu ketentuan atau aturan hukum tertulis.
103
Panggabean, Henry Pandapotan, Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan (Rule Making Power)
Tahun 1966-2003, Liberty, Yogjakarta, 2005, hlm. 90-91. 104
Selengkapnya lihat Junus, Anwar. Penuntun Praktis Perkara Perumahan di Jakarta. Penerbit dan Balai
Buku Ichtiar, Jakarta, 1979. Sehubungan dengan itu, Zainal Arifin Hoessein, dengan mengutip Sri Soemantri,
juga mencacat bahwa putusan MA No. 1631/K/Sip/1974 tanggal 21 Oktober 1975 merupakan sebuah
“pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang” yakni sebagai pelaksanaan pasal 26
UU. No. 14 Tahun 1970. Duduk permasalahan dalam putusan tersebut adalah keputusan yang dikeluarkan oleh
Gubernur DKI No. 229/Spb/T/T/1973 tanggal 29 Maret 1973 bertentangan dengan UU. No. 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya. Menurut undang-undang ini,
prosedur pencabutan hak atas tanah tersebut seharusnya dilakukan melalui permohonan yang berkepentingan
kepadaMenteri Agraria (sekarang BPN) dan selanjutnya Menteri Agraria meminta keputusan Presiden. Jadi
pencabutan hak-hak atas tanah tersebut harus melalui keputusan Presiden. Selengkapnya lihat, Hoessein, Zainal
Arifin. Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan ,
Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009, hlm.. 210-211.
55
Selain itu, penilaian yang dilakukan para hakim selalu berkaitan dengan kasus
kongkret yang mereka tangani di pengadilan. Pengesampingan suatu ketentuan merupakan
bagian dari proses penemuan hukum atau interpretasi. Kendati sebelum tahun 1993,
melalui ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung secara formal Mahkamah Agung sudah memiliki kewenangan
melakukan Hak Uji Materiil, namun kewenangan tersebut terhalang oleh TAP MPR No.
III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara
dengan atau Antar Lembaga Tinggi Negara105
.
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
(diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009) berbunyi sebagai berikut:
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah ini Undang-undang;
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-
undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada Undang-undang atas alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut
dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut,
dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan. Jika dibandingkan dengan ketentuan
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, nampak paling sedikit 3 perbedaan
subtansial, yaitu:
a. Alat uji yang digunakan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang adalah undang-undang, bukan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. Mahkamah Agung menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang “tidak berlaku”. Pernyataan tidak berlaku membawa konsekuensi
bahwa peraturan perundang-undangan tidak perlu dicabut. Menurut ketentuan Pasal
26 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan tidak sah
105
Lotulung, Paulus Effendi dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Mahkamah Agung
Dalam Melaksanakan Hak Uji Materil (Judicial Review), Badan Pembinaan HukumNasional, Departemen
Hukum dan Perundang-Undangan RI, Jakarta, 2001, hlm. 1-2.
56
itu diikuti satu klausul bahwa peraturan perundang-undangan tersebut masih perlu
dicabut oleh lembaga pembentuknya.
c. Putusan Mahkamah Agung tentang pernyataan tidak berlakunya peraturan perundang-
undangan dapat diambil dalam pemerikasaan tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.106
Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar RIS 1949
memberikan peran yang sangat penting bagi Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan
perundang-undangan. Undang-Undang Dasar RIS 1949 mengakomodir keberadaan
judicial review. Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk melakukan judicial
review terhadap peraturan perundang-undangan apabila bertentangan dengan Konstitusi.
Proses pengujian oleh Mahkamah Agung atau pengadilan lain dapat dilakukan melalui dua
cara, yaitu melalui perkara yang sedang diperiksa oleh hakim dalam perkara perdata
maupun perkara hukuman perdata dan melalui permohonan yang secara khusus diajukan
oleh dan atas nama Jaksa Agung untuk Pemerintah Republik Indonesia Serikat, dan untuk
pemerintah bagian oleh kejaksaan pada pengadilan tertinggi daerah bagian.107
Kewenangan Mahkamah Agung dalam bidang judicial review semestinya tidak
dipandang minor atau memiliki signifikansi yang inferior dibandingkan kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam melakukan constitutional review. Menurut Zainal Arifin
Hoessein108
pengaturan pengujian peraturan memiliki korelasi yang positif dengan
pelaksanaan pengujian peraturan. Hubungan ini dapat dijelaskan bahwa jika
pengaturannya jelas dan memberikan kebebasan dan kemandirian terhadap lembaga yang
diberikan wewenang untuk melakukannya maka pengujian peraturan perundang-undangan
sebagai bagian dalam membangun pemerintahan yang demokratis, dapat dijalankan
sebagaimana mestinya.109
Tetapi sebaliknya, jika pengaturan justru membatasi ruang gerak
106
Sukardi, op.cit., hlm. 69. 107 Pultoni, “Judicial Review Studi Perbandingan dan Pelaksanaannya di Indonesia”, artikel pada Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta, hlm. 33. 108
Hoessein, Zainal Arifin. Op.cit., hlm. 239-240. 109 Menurut Fajar Laksono Soeroso terkait dengan proses peradilan, terutama dalam perkara judicial
review, ada anggapan bahwa proses peradilan di MK lebih fair dan terbuka. Hal ini dapat dimengerti mengingat
seluruh proses persidangan di MK, terutama dalam perkara pengujian UU di MK ditentukan terbuka untuk
umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim. Dalam praktiknya, MK sejak awal menerapkan asas audi et
alteram partem. Di dalam hukum acara MK, asas ini tidak tegas dicantumkan. Namun pada dasarnya norma
yang dirumuskan pasal-pasal undang-undang merupakan penjabaran asas ini. Begitu pula dalam Peraturan MK,
seluruh ketentuannya mengarah pada pemberian kesempatan yang seimbang dalam memberikan keterangan
mulai dari pemberitahuan permohonan, kesempatan mengajukan jawaban dan bukti-bukti, masuknya pihak-
pihak berkepentingan dan lain sebagainya. Berbeda dengan di MK, proses peradilan di MA dalam perkara uji
materi peraturan perundang-undangan di bawah UU lebih bersifat tertutup dan sepi hak. Jika dicermati, PERMA
No. 01 Tahun 2011 tidak menyebutkan mengenai pentingnya proses persidangan yang terbuka dan
mengedepankan asas audi et alteram partem. Dalam Bab III Pemeriksaan dalam Persidangan Pasal 5 ayat (2)
57
lembaga yang diberikan wewenang untuk melaksanakannya, maka pelaksanaan pengujian
peraturan tersebut sulit bahkan tidak dapat dilaksanakan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian
disertasi Zainal Arifin Hoessein dalam hal kewenangan judicial review di Mahkamah
Agung selama periode tahun 1970 sampai dengan 1993 yang tidak ada atau tidak pernah
diajukan oleh kelompok masyarakat yang dirugikan oleh peraturan yang dikeluarkan
pemerintah. Setelah lebih dari dua dekade, kewenangan hak uji materil Mahkamah Agung
tidak terealisir, dalam sistem sistem politik hukum Orde Baru yang memiliki
kecenderungan membatasi kekuasaan kehakiman, maka pada tahun 1993 merupakan
babak bersejarah dalam aktualisasi kewenangan hak uji materil Mahkamah Agung karena
pada tahun tersebut untuk pertama kali diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung yang
mengatur tata cara pengajuan hak uji materil ke Mahkamah Agung.
Munculnya Peraturan Mahkamah Agung tersebut merupakan reaksi terhadap adanya
permohonan perkara hak uji materil oleh Surya Paloh sehubungan dengan pencabutan
SIUP Harian Prioritas oleh Menteri Penerangan berdasarkan Peraturan Menteri
Penerangan Nomor 01 Tahun 1984 yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang
Pokok Pers (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966).110
Permohonan Surya Paloh tersebut
langsung diajukan ke Mahkamah Agung, akan tetapi kemudian ditolak, karena absennya
aturan mengenai permohonan hak uji materi. Itulah sebabnya kemudian Mahkamah Agung
mengeluarkan Perma Nomor 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil.111
Pelaksanaan pengujian juga dinilai masih menjadi masalah. Selama ini ada
hambatan bagi masyarakat karena sidang pengujian yang cenderung ‘tertutup’.
Kedepannya, Perma harus memberikan jaminan bahwa sidang pengujian Perda bersifat
terbuka. Bahkan perlu menghadirkan para pihak ke dalam ruang sidang, mendengarkan
keterangan ahli, seperti halnya sidang pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
Perma tersebut hanya disebutkan bahwa Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan
tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan dalam
waktu yang sesingkat singkatnya sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam
memutuskan sengketa kepemilikan Pulau Berhala, dengan berdasarkan PERMA No. 01 Tahun 2011, MA
memutuskan secara sepihak dan tertutup oleh Majelis Hakim Agung tanpa melibatkan pihak-pihak yang terkait
khususnya pihak pihak yang bersengketa. Padahal, akan sangat baik apabila dalam proses persidangan uji materi
tersebut, selain sifatnya terbuka untuk umum, MA seharusnya juga mengundang pihak-pihak yang bersengketa,
pihak terkait, termasuk saksi atau ahli seperti halnya dalam persidangan di MK. Dengan demikian, salah paham
dan salah implementasi hukum dapat dihindari. Karena itulah, terutama pihak yang dirugikan oleh putusan MA
kemudian memandang perlu mengalihkan penyelesaiaan kasusnya ke MK mengingat proses peradilan di MK
dirasakan lebih fair dan terbuka. Soeroso, Fajar Laksono. Memaknai Kecenderungan Penyelesaian Konflik
Batas Wilayah Ke Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 3, September 2012. hlm. 30. 110
Lotulung, op.cit., hlm. 3. 111 Laoh, Arnold, “The Availability of International Judicial Review of Government Breaches of Human
Rights”, artikel pada Thesis submitted for award of the degree of Doctor of Philosophy (PhD) at Murdoch
University, Perth, Western Australia, July 2006. P. 72.
58
Perma belum mengakomodir kemungkinan itu. Apabila proses pengujian di Mahkamah
Agung harus terbuka, pengujian oleh Kementerian Dalam Negeri untuk Perda Pajak dan
Retribusi harus mendapat perlakuan sama. Undang-Undang Pemda juga belum
mengakomodir kemungkinan hukum acara yang demikian Hal ini ditanggapi oleh
Mahkamah Agung dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Dalam konsideran butir b menyebutkan
bahwa pada dasarnya penentuan tenggat waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji
Materiil adalah tidak tepat diterapkan bagi suatu aturan yang bersifat umum (Regelend)
karena sejalan dengan perkembangan hukum yang sedemikian rupa, dirasakan telah
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak lagi sesuai dengan “hukum
yang hidup (the living law) yang berlaku.” 112
Berdasarkan Pasal 12, Perma 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil ini mulai
berlaku pada tanggal 30 Mei 2011. Pada saat mulai berlakunya Perma tersebut,
permohonan hak uji materiil yang sudah diterima oleh Mahkamah Agung sebelum tanggal
tersebut masih didasarkan pada peraturan yang ada yakni Perma 1 Tahun 2004 tentang
Hak Uji Materiil. Sementara itu, dengan berlakunya Perma 01 Tahun 2011 tentang Hak
Uji Materiil, peraturan tentang hak uji materiil yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung,
yakni Perma 01 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil, Perma Nomor 01 Tahun 1999
tentang Hak Uji Materiil, dan Perma 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil dinyatakan
tidak berlaku.
Tata Cara Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil Perma Nomor 1 Tahun 2011
Tentang Hak Uji Materiil menguraikan bahwa pengajuan Hak Uji Materiil ke Mahkamah
Agung tersebut dilakukan dengan cara sbb :
a. Langsung ke Mahkamah Agung; dan
b. Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi tempat kedudukan pemohon.
Terhadap mekanisme Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil di Mahkamah Agung
tersebut timbul pertanyaan, jika Pendaftaran Hak Uji Materiil di Mahkamah Agung
dilakukan melalui Direktur Pranata dan Tata Laksana Tata Usaha Negara, dan diregister
melalui Panitera Muda Tata Usaha Negara, apalagi penetapan Majelis yang mengadili
Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil dilakukan oleh Ketua Kamar Peradilan Tata Usaha
Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung yang menetapkan Majelis Hakim yang
112
Abdul Aziz Nasihuddin, “Implementasi Hak Uji Materiil Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Oleh
Mahkamah Agung”, artikel pada Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 3 September 2013, hlm 436.
59
memeriksa dan memutus Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil (vide Pasal 3 ayat (6)
Perma No. 1 Tahun 2011), maka dapat disimpulkan bahwa penanganan dan penyelesaian
sengketa Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil berada di kamar Tata usaha Negara,
walaupun mengatas namakan Ketua Mahkamah Agung. Atas dasar tersebut, Abdul Aziz
Nasihuddin berpendapat bahwa ke depan perlu dipertimbangkan alternatif perubahan
mekanisme pengajuan Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil dari Pengadilan Negeri
sesuai domisili pemohon agar dapat langsung diajukan dari Pengadilan Tata Usaha Negara
sesuai domisili Pemohon Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil selain langsung diajukan
ke Mahkamah Agung.113
Dapat disimpulkan bahwa karakter persoalan Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil
menyangkut masalah hukum publik (dalam hal ini hukum tata negara dan hukum
administrasi) sehingga memang penanganannya dilakukan oleh Kamar Tata Usaha
Negara. Hal ini diperkuat dengan praktek peradilan administrasi di negara-negara lain
yang pada umumnya memberikan kewenangan kepada peradilan administrasi untuk
menguji keputusan/peraturan yang bersifat mengikat secara umum (general binding rules),
termasuk halnya peraturan kebijakan sepanjang menimbulkan akibat hukum, namun tidak
termasuk pengujian undang-undang,114
maka dalam konteks tersebut dapat dipahami
pendapat Prof. Paulus Effendie Lotulung yang pernah menyatakan bahwa kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia meliputi kewenangan Pengadilan Tata Usaha
Negara mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi termasuk dalam bidang pengujian hak
uji materil : “State Administration courts has the jurisdiction to resolve state
administration disputes at first instances, state administration high courts for second
instances and the supreme court for cassation and judicial reviews”.115
Pandangan Prof. Paulus Effendie Lotulung tersebut menjadi menarik untuk
dibandingkan dengan pandangan akhir pemerintah menyangkut kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara dalam risalah pembahasan Rancanngan Undang-undang Peradilan Tata
Usaha Negara tertanggal 20 Desember 1986, dimana Menteri Kehakiman, Ismail Saleh,
menyampaikan pandangan pemerintah sbb : “Negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan
tertib. Dalam usaha untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah sebagai salah satu organ
113
Enrico Simanjuntak, “Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI”, artikel pada Jurnal
Hukum dan Peradilan, Vol. 2 No. 3 November 2013, hlm. 343. 114 Ibid, hlm. 345. 115
Ibid.
60
negara diberi tugas untuk mengurus berbagai segi kehidupan dalam masyarakat. Untuk itu,
Pemerintah diberi wewenang untuk melakukan perbuatan tata usaha negara yang dapat
dikelompokan dalam 3 macam perbuatan, yaitu :
a. Mengeluarkan keputusan (beschikking);
b. Mengeluarkan peraturan (regeling);
c. Mengeluarkan perbuatan materil (materiele daad).
Dari ketiga macam perbuatan tersebut, yang menjadi kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara hanyalah terbatas mengenai perbuatan yang pertama, artinya keputusan
yang dikeluarkan oleh Badan Tata Usaha Negara dapat dinilai Peradilan Tata Usaha
Negara”.116
Selanjutnya, Ismail Saleh, sebagaimana halnya sosok Paulus Effendie
Lotulung, yang merupakan tokoh penting dan sentral mewakili pemerintah dalam
keseluruhan proses penyusunan dan pembahasan RUU Peratun selama dibahas di DPR
sejak bulan Mei 1986 sampai disahkannya RUU tersebut pada penghujung bulan
Desember 1986, menambahkan bahwa pada dasarnya semua perbuatan Badan Tata Usaha
Negara dapat dinilai oleh Pengadilan : perbuatan materil dinilai oleh Peradilan Umum
sedangkan perbuatan pemerintah mengeluarkan peraturan dinilai oleh Mahkamah Agung
(vide Undang-undang. Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985).117
Pengawasan terhadap perbuatan pemerintah mengeluarkan peraturan oleh kekuasaan
kehakiman tidak berjalan sebagaimana diharapkan pada zaman Orde Baru. Yahya
Harahap118
menyatakan penerapan hak uji materil (sebelum era reformasi) hanya dapat
dipergunakan pada saat menyelesaikan perkara dalam tingkat kasasi. Selama suatu
peraturan perundang undangan tidak tersangkut dalam suatu sengketa, Mahkamah Agung
tidak bisa berbuat apa-apa. Menurut Yahya Harahap kekuasaan hak uji materil Mahkamah
Agung pasif dan membisu meskipun suatu peraturan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Bahkan Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI 347 kekuasaan itu
tidak berperan, meskipun telah timbul sengketa apabila proses perkaranya tidak sampai
kasasi. Namun Purwoto S. Gandasubrata119
mengakui bahwa pelaksanaan hak uji materil
116
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses Pembahasan Rancangan
Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, 1996, hlm. 1610-1611. 117
Ibid. 118
Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,
Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997, hlm. 62. 119
Gandasubrata, H.R. Purwoto S, “Renungan Hukum”, Diterbitkan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)
Cabang Mahkamah Agung RI, artikel untuk kalangan sendiri, Jakarta, Maret 1998, hlm. 132-133.
61
oleh Mahkamah Agung melalui prosedur kasasi adalah sangat sulit untuk dilaksanakan,
kecuali apabila dalam prosedur pemeriksaan kasasi diadakan ketentuan tambahan agar
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dapat masuk untuk memeriksa dan memutus
tuntutan tentang hak uji materil. Hal mana menurut Mantan Ketua Mahkamah Agung
tersebut prosedur semacam itu agak menyimpang dan diluar kelaziman, mengingat
pemeriksaan kasasi dimaksud hanya untuk meninjau putusan yang terhadapnya
dimohonkan kasasi, perkara yang sudah dimulai sejak tingkat pertama dan banding.
Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal ada dua macam hak
menguji, yaitu :
a. Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti
undang-undang, dalam proses pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah
ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
tidak.120
Pengujian formal terkait dengan masalah prosedural dan berkenaan dengan
legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
b. Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah
suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende
macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan
dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang
lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan
dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.121
4.2. Lembaga Penguji Peraturan Daerah
Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
yang telah diamandemen sebanyak 4 kali sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 oleh
120 Pasal 31 UU No. 03/09 Tentang Perubahan Kedua Atas UU 04/85 Tentang Mahkamah Agung:
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undangundang.
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang undang atas alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan
langsung pada Mahkamah Agung. Jadi selain bertentangan dengan peraturan per-UU-an yg berlaku juga
pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan yg berlaku. Istilah “pembentukan” ini bukankah mengacu
kepada proses pembuatan per-UU-an itu sendiri? Dengan kata lain bagian ini bermakna formalitas sebuah
per-UU-an yg seharusnya diuji secara formil, bukan materil. 121
Enrico Simanjuntak, op.cit., hlm. 348.
62
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), muncul beberapa lembaga Negara baru
termasuk di bidang kekuasaan kehakiman (yudisial). Ketentuan tersebut tercantum
dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya pasal 24 ayat (2) yang
berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”122
Berdasarkan ketentuan di atas, maka selain Mahkamah Agung, ada satu lembaga
baru di bidang kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi. Interprestasi yang ada adalah
pertama, bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi sejajar dengan kedudukan
Mahkamah Agung sekarang ini karena pernyataan pasal 24 ayat (2) UUD 1945 tersebut
menyatakan bahwa “…dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Ini berarti selain
Mahkamah Agung terdapat pula lembaga lain yang bernama Mahkamah Konstitusi.
Kedua, kedudukan Mahkamah Konstitusi seolah-olah lebih tinggi karena ia memakai
nama konstitusi serta memiliki kewenangan yang lebih tinggi seperti dalam hal judicial
review, sementara Mahkamah Agung hanya judicial review atas peraturan di bawah
undang-undang. Selain itu kewenangan Mahkamah Konstitusi juga mencakup wilayah
politik yaitu memutuskan permasalahan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden,
pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan umum.123
Antara Mahkamah Konstitusi diberi keluasan wewenang untuk menguji kembali
dua putusan Mahkamah Agung yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Ini
akan menimbulkan dampak yang besar terhadap masyarakat Indonesia. Dibuktikan
dengan adanya perencanaan penambahan wewenang bagi Mahkamah Konstitusi untuk
memutuskan kembali putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung terhadap dua putusan Mahkamah Agung pada perkara yang sama.
Misalnya sengketa tanah antara masyarakat di suatu daerah dengan badan
hukum/pemerintah, di satu sisi badan hukum menyelesaikan persoalan tanah ini melalui
Peradilan Tata Usaha Negara sampai ke Mahkamah Agung dan dimenangkan oleh
pihak badan hukum tersebut, namun di sisi lain masyarakat menyelesaikan persoalan
ini melalui Peradilan Negeri (perdata) sampai ke Mahkamah Agung juga, yang
kemudian dimenangkan oleh pihak masyarakat. Dalam perkara ini ada dua buah
122
Henni Muchtar, Paradigma Hukum Responsif (Suatu kajian tentang Makamah Konstitusi sebagai
Lembaga Penegak Hukum), artikel pada, Jurnal Humanus, Volume XI, Nomor 2, Tahun 2012, hlm. 160 123
Ibid
63
putusan Mahkamah Agung pada perkara yang sama dan mempunyai kekuatan hukum
tetap (inilah yang disebut dengan Konstitusional Komplain/pengaduan konstitusi).
Memang, akan lebih parah lagi apabila terdapat dua putusan Mahkamah Agung pada
perkara yang sama, tetapi tidak ada jalan yang ditempuh untuk penyelesaiannya,
putusan di-biarkan begitu saja. Dalam menyikapi permasalahan ini dibutuhkan suatu
pemikiran yang mampu untuk menyelesaikannya agar kepastian hukum dapat
diwujudkan secara jelas dan tepat.124
Secara teoritis tidak terdapat hubungan diantara kedua lembaga pelaksana
kekuasaan kehakiman itu. Tidak ditemukannya hubungan diantara kedua lembaga
pelaksana kekuasaan kehakiman itu dalam hal kewenangan judicial review adalah
dikarenakan objek yang menjadi kewenangan judicial review antara Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi tidaklah sama. Sehingga sepintas, kondisi ini menunjukkan
tidak adanya hubungan di antara kedua lembaga pemegang kewenangan judicial review
itu. Namun demikian harus dipahami bahwa seluruh objek judicial review yang
menjadi ranah kewenangan kedua lembaga dimaksud berada dalam satu jenjang
hierarki peraturan perundang-undangan. Jenjang hierarki dimaksud mewajibkan seluruh
peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah untuk tunduk dan
mempunyai kekuatan hukum dari peraturan tingkat atasnya.125
Baru-baru ini Pemerintah melalui kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
melakukan suatu terobosan, dimana pada tanggal 8 Desember 2017 Menteri Hukum
dan HAM mengundangkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun
2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-Undangan
Penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam
Permankumham 32 Tahun 2017 ialah penyelesaian melalui jalur nonlitigasi.
Dalam Permankumham ini mengatur ada pihak yang dirugikan baik Perorangan
atau sekelompok orang, badan/Lembaga/Kementrian/Lembaga Pemerintah Non
Kementerian/Pemerintah Daerah, swasta atau badan usaha yang dilakukan oleh badan
hukum privat/publik. Merasa ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan
baik secara vertikal maupun horizontal yang menyebabkan timbulkan konflik norma
124 Ibid, hlm. 162 125
Simamora, Analisa Yuridis terhadap Model Kewenangan Judicial Review di Indonesia artikel pada
Jurnal Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor 3, Oktober 2013, Hlm 389-401
64
hukum, konflik kewenangan antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang
menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat dan pelaku usaha serta menghambat iklim
investasi, usaha, dan kegiatan ekonomi nasional dan daerah dapat diajukan permohonan
penyelesaian sengketa melalui jalur Nonlitigasi dapat mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM.126
Langkah penyelesaian sengketa nonlitigasi ini dianggap dapat lebih memberikan
kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan yang merasa dirugikan oleh
berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, karena dilakukan secara terbuka,
dihadiri para pihak dan prosesnya hanya berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak tanggal penugasan yang diberikan dari menteri kepada Direktur Jenderal,
namun dalam keadaan tertentu, jangka waktu pemeriksaan permohonan tersebut dapat
diperpanjang. Tentunya sangat jauh berbeda jika kita bandingkan dengan proses uji
materil di Mahkamah Agung yang jauh dari prinsip “fairness” serta kepastian hukum
yang adil bagi para pihak karena tidak dilakukan secara terbuka dan tidak
menghadirkan para pihak untuk dimintai keterangan. Proses Persidangan Uji Materiil
yang terbuka serta dihadiri oleh para pihak tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah
Agung dengan alasan adanya keterbatasan waktu 14 hari yang dimiliki oleh Mahkamah
Agung untuk memeriksa dan memutus sejak permohonan di registrasi.127
Pemerintah melalui kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Permenkumham
Nomor 32 Tahun 2017 tersebut akan menjadi masalah baru karena secara aturan yang
dibuat bertententangan dengan peraturan yang berada diatasnya “Inkonstisional” dalam
hal ini Undang-Undang Dasar 1945. Munculnya lembaga-lembaga baru yang terbentuk
akan memberikan keleluas kepada masyarakat guna kepentingan yang dianggap
merugikan pribadi dan ini menjadi tidak sehat hukum, upaya penyelesaian sengketa
yang diatur dalam Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017 yang dianggap dapat
menjadi alternative mekanisme penyelesaian sengketa diamana lebih menjamin adanya
keterbukaan proses pemeriksaan atas adanya suatu pertentangan norma dalam peraturan
perundang-undangan jika dibandingkan dengan mekanisme uji materiil di Mahkamah
Agung.
Hak Uji Materiil pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011,
mengingat pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang
126
Ibid 127 Ibid
65
dilakukan oleh Mahkamah Agung, maka seharusnya dilakukan persidangan secara
terbuka dengan menghadirkan Pemohon dan/atau pihak-pihak lain yang dianggap perlu
didengar keterangannya, bahkan wajib memberikan nasihat kepada pemohon. Oleh
karena peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum yang mutatis
mutandis128
putusan yang dihasilkan dari pengujian tentu diperuntukkan untuk
kepentingan umum, sehingga hakim harus aktif menggali keterangan atau data-data
dalam memeriksa perkara, dengan jalan menggelar persidangan.129
Sampai pada titik ini, indikasi akan munculnya persoalan hukum belum terlihat
secara jelas. Namun demikian, bila dilakukan pengkajian lebih mendalam, potensi
lahirnya persoalan dalam perjalanan kewenangan judicial review akan terlihat dengan
terang benderang manakala perkara yang muncul adalah kebalikan dari kasus yang
telah diuraikan di atas. Deskripsi sederhananya adalah ketika suatu perkara judicial
review diawali dari proses judicial review di Mahkamah Agung, lalu kemudian tidak
lama setelah Mahkamah Agung menjatuhkan putusan atas perkara dimaksud, muncul
perkara judicial review di Mahkamah Konstitusi atas peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya serta yang menjadi objek perkara judicial review di
Mahkamah Konstitusi ternyata sebelumnya telah dijadikan Mahkamah Agung sebagai
dasar hukum dalam menjatuhkan putusannya, maka persoalan hukum pun dipastikan
akan muncul.
Terhadap kasus yang demikian, kalau putusan Mahkamah Konstitusi ternyata
menguatkan ketentuan undang-undang yang merupakan batu uji pada saat judicial
review di Mahkamah Agung, maka apaka hal tersebut tidak akan menimbulkan
persoalan. Persoalan kemudian akan muncul ketika terjadi perbedaan putusan antara
putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kalau dalam putusan
Mahkamah Konstitusi terkait dengan kewenangan judicial review yang dijalankan
justru menyatakan bahwa ketentuan undang-undang yang sebelumnya telah dijadikan
Mahkamah Agung sebagai batu uji dalam perkara judicial review di dalamranah
kewenangannya adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau
128
Berdasarkan wikipedia “Mutatis mutandis berasal dari bahasa Latin yang artinya kurang lebih adalah
"perubahan yang penting telah dilakukan". Istilah ini digunakan pada saat membandingkan dua situasi dengan
variabel yang berbeda”. 129 Viktor Santoso Tandiasa, Implikasi Dalam Persidangan Uji materiil Di Mahkamah Agung Yang
Tertutup Bagi Pelaku Usaha, artikel pada Makalah yang dipresntasikan dalam Diskusi Semiloka tentang
Transparasi Uji Materiil Dimahkamah Agung Guna Menunjang Dunia Usaha, Di fakultas Hukum Atma Jaya
Yogyakarta, pada Tanggal 08 September 2019, jam 09.00 WIB
66
inkonstitusional, lalu bagaimana dengan nasib putusan Mahkamah Agung
sebelumnya? Berdasarkan ketentuan Pasal 58 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Undang-undang yang diuji oleh
Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa
Undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian
dalam Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang disebutkan bahwa
Putusan Mahkamah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Bila mengacu pada dua ketentuan itu, maka semestinya putusan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara judicial review tidak dapat bersifat retroaktif (berlaku surut),
melainkan harus bersifat prospektif atau kedepan. Akan tetapi sebagaimana dikenal
dalam pengetahuan ilmu hukum pada umumnya, maka setiap asas mengenal adanya
pengecualian tertentu. Sehingga tidak mengherankan bila kemudian ditemukan
sejumlah putusan judicial review yang dinyatakan berlaku surut. Bahkan di Korea
Selatan, putusan judicial review diperbolehkan berlaku surut atau retroaktif sampai
sejak pembentukannya.130
Kemungkinan munculnya putusan yang bersifat retroaktif
dalam perkara judicial review bisa saja terjadi sepanjang memenuhi syarat-syarat
pemberlakuan asas retroaktif itu sendiri. Syarat-syarat dimaksud adalah:131
a. Besarnya kepentingan umum yang harus dilindungi undang-undang demikian;
b. Bobot hak-hak yang terlanggar akibat pemberlakuan undang-undang demikian lebih
kecil dari kepentingan umum yang terlanggar;
c. Sifat-Sifat hak yang terkena oleh undang-undang yang retroaktif. Selain itu,
berdasarkan Pasal 8 Bab VI Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2004
tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa dalam 90 (sembilan puluh) hari setelah
putusan Mahkamah Agung Tersebut dikirim kepada Badan Atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat
yang berangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Untuk itu Pasal 8 khususnya ayat 2, ini harus dicabut karena akan menimbulkan
ketidakpastian hukum. Ahli dari penggugat berpendapat bahwa keputusan telah
130 Simamora, Loc Cit 131
Ibid
67
dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Agung dan akibat hukumnya bersifat ex nunc,
peraturan itu dianggap absah sampai dinyatakan batal. Sedangkan ahli dari tergugat
berpendapat bahwa putusan itu dianggap absah karena sekalipun peraturan yang
menjadi dasar diterbitkanya keputusan telah dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah
Agung, namun peraturan tersebut belum dicabut dan belum melampui tenggang waktu
90 (sembilan puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Perma HUM
2011 dan karenanya masih mempunyai kekuatan hukum mengikat.132
Upaya untuk “memaksa” Mahkamah Agung untuk menggelar pemeriksaan
persidangan seperti pada pengujian undang-undang di Mahkmah Konstitusi sudah
pernah dilakukan, yaitu dengan upaya mengajukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi
terhadap Undang-Undang Mahkamah Agung, namun upaya tersebut kandas.
Mahkamah Konstitusi menolak dengan dalil:
a. Mahkamah Agung terikat jangka waktu 14 (empat belas) hari harus memutus
perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
sehingga jangka waktu tersebut menjadi kendala bagi Mahkamah Agung untuk
menggelar persidangan yang hadiri para pihak.
b. Apabila menginginkan Mahkamah Agung untuk menggelar persidangan yang hadiri
para pihak, maka Mahkamah Agung diberi waktu yang cukup serta sarana dan
prasarana yang memadai. Hal ini merupakan open legal policy.133
Dari perjalanan kasus ini begitu nyata terlihat bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi sangat berpotensi menggugurkan putusan Mahkamah Agung terkait perkara
judicial review dalam peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan. Prediksi
akan munculnya persoalan hukum sebagai konsekuensi dari pemisahan kewenangan
judicial review dibawah Undang-Undang dengan judicial review atas Undang-Undang
juga sudah pernah diungkapkan oleh Asshiddiqqie. Namun kemudian, mantan ketua
Mahkamah Konstitusi itu berusaha memberikan alasan pembenar. Pertama, bahwa
praktik judicial review diberbagai negara adalah berbeda-beda. Di Jerman, Austria dan
Afrika Selatan, kewenangan judicial review sepenuhnya dijalankan dengan sistem yang
terintegrasi di bawah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun ada pula negara yang
menjalankan kewenangan judicial review dengan tidak terintegrasi sebagaimana yang
dipraktekkan di Korea Selatan. Sistem yang dianut oleh Korea Selatan itulah yang
132 Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, Jakarta, Sinar Grafika, 2016, hlm 225 133
Viktor Santoso Tandiasa, Loc Cit
68
kemudian diadopsi di Indonesia. Kedua, bahwa berdasarkan catatan historis,
mekanisme kewenangan judicial review di bawah Undang-Undang selama ini memang
dianggap telah menjadi kewenangan Mahkamah Agung sejak semula. Oleh sebab itu,
maka dianggap sebagai suatu yang rasional bila kewenangan judicial review atas
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang
masih tetap melekat sebagai bagian dari dari kewenangan Mahkamah Agung.134
Penyerahan kewenangan judicial review dalam dua lembaga negara yang berbeda
juga menunjukkan ketidakkonsistenan pengaturannya dengan kesatuan sistem hukum
nasional (the integrity of the national legal system) yang terbentuk antara lain dalam
peraturan perundang- undangan yang paling rendah sampai yang paling tinggi, dengan
mana dipuncak susunan tersebut konstitusi sebagai hukum dasar merupakan hukum
tertinggi, terdapat kemungkinan tata hukum yang dibangun tidak tertata dalam wujud
yang serasi dengan nilai yang menjadi sumber utama legitimasinya. Sebagai
konsekuensinya, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu ketika, putusan
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu Undang-Undang, pasal, ayat atau bagian
dalam Undang-Undang tertentu tidak lagi berlaku, hanya akan mempunyai kekuatan
hukum mengikat terhadap undang-undang yang diuji tersebut, sedangkan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah sebagai pelaksana Undang-Undang yang telah
diuji dan dinyatakan tidak berlaku lagi justru masih mempunyai kekuatan hukum dan
tetap berlaku, meskipun sesungguhnya telah kehilangan legitimasi karena Undang-
Undang yang menjadi landasan hukumnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi.135
Alasan Kedua, penyerahan kewenangan judicial review kepada Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi juga akan menyisakan kerumitan lain dalam hal
perkara judicial review yang tidak bertentangan secara langsung terhadap peraturan
setingkat di atasnya, namun bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dengan
peraturan di tingkat atasnya. Konkritnya, bila suatu Peraturan Daerah (Perda) atau
Peraturan Pemerintah (PP) tidak bertentangan dengan Undang-Undang, namun justru
bertentangan langsung dengan Undang-Undang Dasar 1945, lalu lembaga manakah
yang memiliki kompetensi untuk melakukan judicial review terhadap persoalan
semacam ini? Kalau persoalan yang demikian diajukan ke Mahkamah Agung, maka
134 Janpatar Simamora, Analisa Yuridis terhadap Model Kewenangan Judicial Review di Indonesia,
artikel pada Hasil Penelitian Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nommensen Medan Tahun 2012, hlm. 396 135
Ibid,
69
sesuai dengan kewenangannya bahwa batu uji yang digunakan adalah Undang-Undang.
Sementara peraturan yang hendak diuji justru tidak bertentangan dengan Undang-
Undang terkait. Dengan demikian, maka dapat dipastikan bahwa Mahkamah Agung
tidak akan mengabulkan permohonan judicial review dimaksud. Kalaupun kemudian
diajukan ke Mahkamah Agung dan kemudian Mahkamah Agung menerimanya dengan
mengambil batu uji Undang-Undang sebagai peraturan tingkat atasnya, maka dapat
dipastikan bahwa Mahkamah Agung akan memberikan putusan dengan memberikan
pertimbangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang terkait. Padahal sejak awal
sudah jelas bahwa perkara yang hendak dilakukan upaya judicial review justru tidak
bertentangan dengan Undang-Undang, namun bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 Guna mengungkap lebih jauh ketidaksinkronan model kewenangan judicial
review yang dijalankan di Indonesia, kiranya perlu dipahami sejarah awal pengaturan
model kewenangan judicial review yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Sehingga dengan demikian, maka nantinya akan dapat digali
solusi yang lebih efektif dan relevan dalam rangka mewujudkan sinkronisasi
kewenangan judicial review di Indonesia.
Di samping itu, berbagai kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangan judicial review
selama ini harus dijadikan pertimbangan guna melakukan evaluasi dan menggali
konsep kewenangan judicial review yang lebih relevan. Pada awalnya, terdapat 3 (tiga)
alternatif 136
yang digagas untuk memegang kewenangan judicial review, khususnya
terkait dengan judicial review atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945. Gagasan pertama adalah memberikan kewenangan kepada MPR untuk
melakukan pengujian atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
namun kemudian gagasan ini dikesampingkan. Pengenyampingan gagasan ini tentu
dapat dipahami latar belakang pemikirannya, setidaknya ada beberapa alasan untuk
melakukan penolakan terhadap gagasan ini. Pertama, posisi MPR yang bukan lagi
merupakan lembaga tertinggi adalah salah satu faktor yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan guna melakukan penolakan terhadap gagasan dimaksud. MPR hanyalah
lembaga tinggi yang setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Oleh sebab itu maka menjadi tidak relevan bila kemudian MPR diberi kewenangan
136
Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 7
70
untuk itu. Kedua, keanggotaan MPR yang merupakan representasi dari partai politik
akan sarat dengan kepentingan politik. Dengan demikian, maka independensi dan
kualitas serta kadar keadilan dalam setiap keputusan yang akan diambil sudah barang
tentu tidak dapat dilepaskan dari berbagai kepentingan politik. Sehingga akan sulit
untuk mengharapkan tercapainya keadilan dalam setiap keputusannya. Bahkan tidak
tertutup kemungkinan bahwa nuansa politik akan lebih mendominasi setiap keputusan
yang diambil di MPR.
Gagasan kedua adalah memberikan kewenangan judicial review atas seluruh
peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 kepada
Mahkamah Agung. Namun kemudian gagasan ini juga mengalami nasib yang sama
dengan gagasan pertama. Adapun dasar utama penolakan gagasan ini adalah karena
Mahkamah Agung dipandang sudah terbebani dengan tugas dan kewenangan yang
terlalu banyak.137
Gagasan ketiga adalah membentuk lembaga baru yang diformat
untuk menangani dan memegang kewenangan judicial review atas Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.138
Gagasan inilah yang kemudian menjadi cikal
bakal kelahiran Mahkamah Konstitusi. Namun sayangnya, gagasan pembentukan
lembaga baru itu justru hanya dilakukan guna menjawab persoalan terkait dengan
konsep judicial review atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Kewenangan judicial review yang diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi hanyalah
untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan
kewenangan judicial review atas peraturan perundang-undangan terhadap Undang-
Undang tetap berada dibawah kendali Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangan
yang telah ada sebelumnya.
Lembaga mana yang ideal dalam kontek negara kesatuan Indonesia dalam
pemberian wewenang pengujian, dimana Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan undang-undang yang ada tidak memberikan celah bagi setiap
lembaga kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) untuk
melakukan pengujian, dalam artian terkait pengujian perundang-undngan dengan batu uji
masing-masing lembaga peradilan. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, dalam konteks judicial review, “hanya” berwenang untuk
melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Sedangkan
137 Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Ibid 138
Ibid
71
Mahkamah Agung juga “hanya” berwenang untuk melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Menurut arif hidayat139
, Undang-Undang Dasar 1945 itu seperti cambuk besar yang
kuat dimana terdiri dari berbagai Peraturan Perundang-undangan, jika cambuk-cambuk
itu bergoyang dan tarik menarik tetap ujungnya terikat kuat dan kokoh, dalam hal ini
Undang-Undang Dasar 1945 tidak mudah di amandemen hanya karena Peraturan
Perundang-undangan dibawahnya saling taling menarik atau beryogang mengikuti arus.
Hal tersebut juga ditegaskan dalam Penjelasan Romawi IV Undang-Undang Dasar
1945, yaitu “Maka telah cukup jikalau Undang-undang dasar hanya memuat aturan-
aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat
dan lain-lainya penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan
kesejahteraan sosial. Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum
dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang
menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih
mudah cara membuat, mengubah, dan mencabut.140
Pemerikasaan perkara Hak Uji Materiil oleh Mahkamah Agung disejajarkan
dengan pemeriksaan perkara-perkara kasasi. Sekalipun sidang dibuka dan terbuka untuk
umum, namun sejatinya dalam pemriksaan perkara HUM pihak-pihak tidak dihadirkan
dalam perkara persidangan. Demikian pula, pemeriksaan saksi mapun ahli. Keterangan
ahli diajukan dalam bentuk tertulis (bila ada). Padahal permohonan pengujian atas
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang oleh Mahkamah Agung. Tidak
hanya aspek menguji aspek hukumnya saja, akan tetapi juga menguji fakta, dan
putusannya bersifat final dan binding. Dan oleh karena obyek pengujiannya norma
hukum umum-abstrak, maka putusanya pun bedampak pada publik.
4.3. Kebutuhan Bangsa dalam Hukum Responsif
Dalam rangka mengatur dan menyelenggarakan otonomi daerah melalui
pembentuk Peraturan Daerah yang responsif merupakan suatu keharusan. Peraturan
daerah memiliki tujuan utama yaitu memperdayakan masyarakat dan mewujudkan
139 Arif Hidayat menyampaikan orasi, Dalam seminar di universitas Negeri Semarang, Tanggal 4
November 2018 140 Ida Zuraida, Tehnik Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hlm. 6
72
kemandirian daerah. Peraturan Daerah otonomi harus didasarkan pada asas-asas
pembentukan perundang-undangan pada umumnya yaitu:
a. Memihak kepada kepentingan rakyat,
b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan
c. Berwawasan lingkungan dan budaya.
Peneyelenggaraan otonomi daerah memerlukan peran masyarakat secara
keseluruhan agar upaya pembangunan daerah dapat dilaksanakan dengan baik.
Upaya untuk membentuk peraturan peraturan daerah yang responsif dapat tercapai
jika melalui tahapan-tahapan yang baik dan perencanaan yang baik pula, proses
pengharmonisasian yang dilakukan secara teliti dan cermat, dan menyertakan
masyarakat untuk menjaring aspirasi masyakat sesuai dengan hukum yang
diinginkan. Peraturan Daerah adalah hukum otonom yang berorentasi pada
pengawasan kekuasaan represif. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada
kondisi sosial atas realitas-realitas dimasyarakat.141
Pemerintah daerah harus betul-betul menghindari adanya Peraturan Daerah yang
represif. Suatu kekuasaan pemerintahan dibilang represif jika kekuasaan tersebut tidak
memperhatikan kepentingan-kepentingan orang-orang yang diperintah, yaitu ketika suatu
kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka yang diperintah, atau mengikari
legitimasi mereka.142
Pembentukan Peraturan Daerah harus benar-benar sesuai dengan semangat
otonomi daerah, maka dari itu Peraturan Daerah harus benar-benar mampu
menjembatani kepentingan masyarakat di daerah. Tidak dapat dibenarkan jika Peraturan
Daerah dibentuk hanya sekedar kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, Peraturan
Daerah harus benar-benar merupakan produk hukum yang mampu mendukung
pemerintah di daerah. Sesuai dengan namanya “Peraturan Daerah” kalau peraturan
tersebut bersubtansikan kepentingan masyarakat di daerah.143
Peraturan Daerah yang bersubtansikan kepada kepentingan masyarakat di daerah
dapat dilakukan melaui evaluasi terkait lahirnya sebuah Peraturan Daerah dimana
penting dilakukan untuk mengetahui segala kekurangan dan kelemahannya. Peraturan
Daerah yang disinyalir bermasalah serta menghambat masuknya investasi ke daerah
dapat diketahui lebih awal, karena dampak negatif dari “Peraturan Daerah
bermasalah”dapat diimplikasikan pada penurunan minat investor yang hendak
menanamkan modalnya ke daerah-daerah baik secara langsung atau tidak langsung
141
Isharyanto, op.cit., hlm. 114. 142
Ibid. 143
Ibid.
73
sehingga lahirnya sebuah Peraturan Daerah harus benar-benar dapat mendukung
pelaksanaan Otonomi Daerah.144
Selain itu, akan semakin baik pula jika pemerintah pusat mau memahami sisi
sosiologis dan perkembangan situasi/kondisi aktual dari daerah yang bersangkutan untuk
menjadikan pertimbangan utama sebelum membatalkan sebuah Peraturan Daerah.
Pembatalan beberapa Peraturan Daerah yang bersangkutan untuk menjadikan
pertimbangan untama sebelum membatalkan sebuah Perda. Pembatalan beberapa
Peraturan Daerah yang dilakukan oleh pemerintah memang terkesan merepotkan daerah,
Peraturan Daerah yang dirancang sekian bulan lamanya dengan segenap pikiran, tenaga
dan biaya yang telah dikeluarkan ternyata harus dibatalkan karena dianggap
penyimpangan.145
Kemandirian dalam berotonomi tidak berarti daerah dapat membuat peraturan
perundang-undangan atau keputusan yang terlepas dari sistem perundang-undangan
secara nasional. Peraturan perundang-undangan tingkat daerah merupakan bagian tak
terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangan secara nasional. Karena itu tidak
boleh ada peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang bertentangan denngan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.146
Membentuk peraturan daerah yang responsif merupakan suatu keharusan dalam
rangka mengatur dan menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi
daerah memerlukan peran serta masyarakat secara keseluruhan agar upaya pembangunan
daerah dapat dilaksanakan dengan baik. Upaya untuk membentuk peraturan daerah yang
responsif akan dapat tercapai apabila dilaksanakan melalui tahapan-tahapan perencanaan
yang baik, proses pengharmonisasian yang dilakukan secara teliti dan cermat, dan
pelibatan masyarakat untuk menjaring aspirasi masyarakat sesuai dengan hukum yang
diinginkannya. Peraturan daerah adalah hukum otonom yang berorientasi kepada
pengawasan kekuasaan represif.147
Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial atas realitas-
realitas di masyarakat. hukum otonom juga memiliki penekanan kepada aturan-aturan
hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta. Sifat
responsif dalam peraturan daerah dapat diartikan untuk melayani kebutuhan
dankepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh
144
Ibid. 145
Ibid. 146 Ibid. 147
Ibid.
74
rakyat. Sebagaimana telah dikemukakan oleh teori hukum responsif bahwa hukum
responsif mengakomodir nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang berpihak pada kebutuhan
dan keadilan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
dikeluarkan penguasa.148
Dalam hal pembentukan Peraturan Daerah yang responsif, maka dapat diartikan
bahwa Peraturan Daerah tersebut harus mengakomodir kebutuhan dan kepentingan sosial
masyarakat, dan bukan cermin dari kemauan politik atau kemauan penguasa, melainkan
oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti atau makna bahwa hukum responsif
berguna bagi masyarakat. Tipe hukum responsif menurut A. Mukhtie Fadjar mempunyai
dua ciri yang menonjol, yakni: a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-
prinsip dan tujuan; dan b) pentingnya watak kerakyatan (populis), baik sebagai tujuan
hukum maupun cara untuk mencapainya.149
Pemerintah daerah harus betul-betul
menghindari adanya Perda yang represif. Suatu kekuasaan pemerintah dibilang represif
jika kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan kepentingan orang-orang yang
diperintah, yaitu ketika suatu kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka
yang diperintah, atau mengingkari legitimasi mereka.150
Dalam hal Peraturan Daerah
yang diinginkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, maka pendapat di atas kiranya
dapat dijadikan rujukan yang harus diperhatikan dalam perancangan dan penyusunan
Peraturan Daerah. Tentunya tidak mudah untuk dilakukan, sebab bagaimanapun juga
Perda merupakan produk kompromi politik yang tidak dapat dilepaskan dari berbagai
faktor yang mempengaruhi, bahkan mayoritas kekuatan di parlemen akan sangat
menentukan ke arah mana Peraturan Daerah tersebut bermuara. Produk hukum daerah
tersebut harus dapat menunjukkan adanya keberpihakan terhadap masyarakat dengan
tidak menimbulkan tekanan yang memberatkan masyarakat151
Perubahan paradigma bernegara dari sentralistik menuju desentralistik telah
melahirkan konsep otonomi daerah sebagai sarana untuk mewujudkan kemandirian dan
demokratisasi di daerah. Seiring dengan gelombang reformasi 1998, telah menyebabkan
terjadinya perubahan kondisi dan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia seperti
dewasa ini. Pada konteks tersebut, terbukalah peluang bagi bangsa Indonesia untuk
148
Ibid. 149
W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting, Atma Jaya, Yogyakata, 2009,
hlm 63. 150
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2015, hlm. 33 151
Muhammad Suharjono, “Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung
Otonomi Daerah”, artikel pada Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 19, Pebruari 2014, hlm. 21 – 37.
75
mengubah paradigma pembangunan nasional dan wawasan penyelenggaraan negara dari
berparadigma politik dan ekonomi pada masa sebelumnya menuju berparadigma hukum
yang demokratis bagi kesejahteraan segenap warga negara. 152
Jimly Asshiddiqie berpendapat153
bahwa dalam rangka reformasi ke arah
perwujudan cita-cita negara yang berparadigma atau berwawasan hukum, maka hukum
dan sistem hukum itu sendiri juga perlu direformasi terlebih dulu. Secara simultan diikuti
oleh reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi sosial budaya. Dalam
kenyataannya, reformasi hukum itulah yang bersifat instrumental dalam rangka
perwujudan gagasan reformasi politik, sosial, dan ekonomi sekaligus. Artinya, langkah-
langkah dan upaya-upaya reformasi yang dilakukan di bidang politik, sosial, dan
ekonomi itu pada pokoknya diwujudkan dalam bentuk-bentuk norma aturan hukum yang
baru, sehingga gagasan perbaikan yang dicita-citakan dituangkan secara resmi dalam
bentuk hukum yang dapat dijadikan pegangan normatif di masa depan.
Mengacu pada pendapat di atas, maka isu sentral reformasi itu dapat dibagi ke
dalam tiga agenda besar yaitu:154
Pertama dapat disebut dengan agenda reformasi
institusional (institutional reform) yang terus menerus perlu dilanjutkan penataannya
sampai terbentuknya institusi yang kuat dan fungsional dengan derajat pelembagaan
yang rasional dan impersonal. Agenda kedua reformasi instrumental (instrumental
reform) yang menyangkut upaya-upaya pembaruan mulai dari konstitusi sampai ke
peraturan-peraturan pada tingkatan terrendah seperti Peraturan Daerah Kabupaten dan
Peraturan Desa. Terakhir agenda ketiga yang dinamakan dengan reformasi budaya
(cultural reform), yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku, dan tradisi
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat luas yang perlu dikembangkan dalam
rangka mendukung proses pelembagaan sistem dan mekanisme kehidupan kenegaraan
yang diidealkan di masa mendatang.
152
Ria Casmi Arrsa, “Bargaining Politik Calon Kepala Daerah Independen”, artikel pada Hibah
Penelitian Mahasiswa (HPM) Fakultas, Hukum Universitas Brawijaya, tidak dipublikasikan, 2007, hlm 1. 153
Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum Indonesia: Paradigma Penyelenggaraan Negara Dan
Pembangunan Nasional Berwawasan Hukum”, artikel pada Makalah disampaikan pada Pertemuan Nasional
Ormas-Ormas Kristen di Jakarta, 10 November 2005, diakses pada http://www.jimly.com, diakses pada 04
november 2018, Jam 18.40 WIB. 154
Jimly Asshiddiqie, “Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara,
Pembaruan Hukum, Dan Keberdayaan Masyarakat Madani”, Makalah disampaikan dalam forum Seminar
International Permias I dan Pertemuan Mahasiswa Indonesia Sedunia di Luar Negeri I, di Northwestern
University, Chicago, Amerika Serikat, 28 Oktober 2000, hlm 1, diakses pada 4 November 2019, jam 18.58
WIB.
76
Reformasi secara gramatikal diartikan sebagai membentuk, menyusun, dan
mempersatukan kembali.155
Secara lebih sederhana reformasi berarti perubahan format,
baik pada struktur maupun aturan main (rule of the game) ke arah yang lebih baik. Pada
kata reformasi terkandung pula dimensi dinamik berupa upaya perombakandan penataan
yakni perombakan tatanan lama yang korup dan tidak efisien (dis-mantling the old
regime) dan penataan suatu tatanan baru yang lebih demokratik, efisien, dan berkeadilan
sosial (reconstructing the new regime). Selain itu, kata reformasi memuat nilai-nilai
utama yang menjadi landasan dan harapan proses bernegara dan bermasyarakat.
Reformasi hukum dalam konteks ini menjadi salah satu bagian penting dari
agenda penataan dan perombakan negeri ini. Reformasi hukum merupakan jawaban
terhadap bagaimana hukum di Indonesia diselenggarakan dalam kerangka pembentukan
negara hukum yang dicita-citakan. Hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu
mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan nilai keadilan. Selain itu
hukum mengembang fungsi instrumental yaitu sarana untuk menciptakan dan
memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan nilai-nilai
budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan serta pengadaban masyarakat dan
sarana pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengesahkan
perubahan masyarakat).156
Kompleksitas pembatalan terhadap produk hukum daerah yang berbentuk
Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah maupun bentuk yang lainnya
merupakan keniscayaan dalam mewujudkan peran dan fungsi hukum dalam menopang
proses pembangunan menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Sebagaimana
dikemukakan oleh Abdul Bari Azed157
bahwa Peraturan Daerah merupakan salah satu
sarana transformasi sosial dan demokrasi sebagai perwujudan kemampuan masyarakat
daerah untuk menjawab perubahan yang cepat dan tantangan pada era otonomi saat ini,
serta mewujudkan good local governance sebagai bagian dari pembangunan yang
berkesinambungan di daerah. Melalui mekanisme pembentukan Peraturan daerah yang
155 W.T.Cunningham, Nelson Contemporary English Dictionary, Thompson and Nelson Ltd, Canada,
1982, hlm.422. Lihat dalam Mahfud MD, “Keniscayaan Reformasi Hukum: Upaya Menjaga Jati Diri Dan
Martabat Bangsa”,Makalah dalam Konvensi Kampus VI dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia (FRI)
di Universitas TanjungpuraPontianak, 9 Januari 2010, hal 3-4, diakses dari http://www.mahfudmd.com, diakses
pada 4 November 2019, jam 18.50 WIB. 156
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.
189. 157
Abdul Bari Azed, Lihat dalam H.A.S, Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-
Undangan Indonesia (Jejak Langkah dan Pemikiran Hukum Prof. H.A.S, Natabaya), Sekretarian Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 363.
77
berencana, aspiratif dan berkualitas, maka Perda dapat menciptakan multiplier effect
yakni menjadi penggerak utama bagi perubahan-perubahan mendasar di berbagai bidang
kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang diperlukan oleh daerah yang
bersangkutan.
Sejumlah permasalahan ini layak untuk dikemukakan karena pemahaman
masyarakat terhadap otonomi daerah sangat beragam, sehingga perlu ditegaskan koridor
otonomi daerah dalam bingkai yang jelas agar tidak keluar jauh dari rel yang sudah
disepakati bersama dan membahayakan eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.158
Prinsip utama yang dianut oleh semua sistem hukum adalah hukum itu dapat
dikomunikasikan terhadap masyarakat. Apabila suatu aturan hukum dalam bentuk
Peraturan Daerah tersebut tidak dapat dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat,
berarti Peraturan Daerah tersebut tidak dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat.
Begitu pula halnya dengan ketentuan yang berisi larangan atau pembatasan terhadap
kebebasan masyarakat, apabila tidak bisa dikomunikasikan, maka Peraturan Daerah
tersebut tidak akan mungkin berlaku secara efektif.159
Komunikasi yang harus di jalin yaitu antara pemerintah daerah dan masyarakat
setempat atau publik, karena peran masyarakat dalam kebebasan memberikan pendapat
dapat mengurangi permasalahan terhadap berlakunya Perda yang di buat oleh
Pemerintah, yang mana Peraturan Daerah ini nanti akan dijadikan hukum bagi
masyarakat tersebut. Mochtar Kusumaatmadja, dalam bukunya Isharyanto bahwa
“Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu
masyarakat, bahkan hukum itu sendiri merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang sesuai pula atau
merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu
sendiri”.160
Alexander Abdullah mengatakan partisipasi publik harus diberikan tidak saja
dalam arti prosedural, tetapi juga harus dilembagakan sebagai hak-hak rakyat yang
dijamin secara normatif.161
158
Ibid. 159
Sirajuddin, Fatkhurohman, zulkarnain, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Press, Bandung, 2015, hlm. 200 160
Isharyanto, Hukum Kebijakan Ekonomi Publik, Thafa Media, Yogyakarta, 2016, hlm. 45-46. 161
Alexander Abdullah, “Desentralisasi dan Undang-undang Otonomi Daerah di Era Reformasi”,
artikel pada Jurnal Hukum Vol. 3, No. 1, Januari 2010, UII Yogyakarta, hlm. 25.
78
Maria Farida Indrati mengatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan
dalam Peraturan daerah untuk setiap propinsi, kabupaten dan kota secara berbeda-beda.
Hal ini di sebabkan karena adanya perbedaan sumber daya yang tidak dapat disamakan
dalam hal pengelolaannya, terutama berkaitan dengan materi.162
Hal ini senada dengan
pendapat yang disampaikan oleh I Made Dedy Priyanto yang mengatakan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan daerah haruslah disesuaikan dengan daerah masing-
masing melalui suatu kebijakan aturan yang disesuaikan dengan keadaan daerah
setempat, aturan inilah yang disebut dengan Perda.163
Peraturan daerah pada hakikatnya
adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan sistem hukum nasional.164
Hestu Cipto Handoyo memberikan catatan akhirnya bahwa Aktifitas pengujian
peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan kegiatan melakukan
penafsiran makna teks hukum. Dalam konstruksi yang demikian itulah, maka sang
penafsir tidak mengawali kegiatannya dari “ruang kosong”. Artinya sejak semula
penafsir sudah memiliki konsep, ide, gagasan, pengetahuan sebagai modal dasar untuk
melakukan penafsiran terhadap makna teks hukum. Oleh sebab itu tatkala seorang Hakim
melakukan penafsiran, dan agar penafsirannya lebih komprehensif, maka dia akan
membutuhkan orang lain yang memiliki pemahaman dan/atau pengetahuan spesifik
terkait dengan substansi peraturan perundang-undangan yang sedang dilakukan
pengujian .165
Contohnya seorang Hakim termasuk hakim Mahkamah Agung tentu kurang
memiliki pengetahuan tentang seluk beluk Kebudayaan dan/atau Cagar Budaya yang
sarat dengan pengetahuan antropologi dan arkeologi, ketika Hakim diminta melakukan
pengujian terhadap Perda Cagar Budaya. Oleh sebab itulah Hakim membutuhkan
“bantuan” pengetahuan tersebut kepada ahli atau pakarnya. Demikian pula seandainya
seorang Hakim termasuk hakim Mahkamah Agung tentu kurang memiliki
pemahaman/pengetahuan terkait Lanjut Usia ketika dia diminta untuk menguji Perda
Kesejahteraan Lansia. Oleh sebab itulah menjadi masuk akal dan logis jikalau Hakim
meminta pandangan dari para pihak, pakar atau ahli yang memiliki pengetahuan spesifik
di bidang Kesejahteraan Lansia. Disinilah keterbukaan atau transparansi dalam proses
162
Iza Rumesten R.S, “Model Ideal Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”,
artikel pada Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12, No. 1, Januari 2012, hlm. 1. 163
I Made Dedy Priyanto, “Kewenangan Gubernur dalam Pembatalan Perda Kabupaten Tabanan”,
artikel pada Jurnal Advokasi Vol. 1 No. 1 Tahun 2011, FH Univ. Mahasaraswati Denpasar, hlm. 14. 164
Didik Sukriono, “Pembentukan dan Pengawasan Produk Hukum Daerah”, artikel pada Jurnal
Hukum Adil Vol. 2, No. 2, Agustus 2011, Fakultas Hukum Yarsi Jakarta, hlm. 168. 165
Hestu Cipto Handoyo, loc.cit.
79
beracara dalam pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung menjadi
penting.166
4.4. Reformulasi Sistem Pengujian Peraturan Daerah
Kata ideal dalam kamus umum bahasa Indonesia memiliki makna sesuai dengan
yang dicita-citakan atau sesuai yang dikehendaki. Sistem pengujian Peraturan Daerah yang
ada di Indonesia diharapkan ideal, dapat sesuai dengan Prosedur dimana Prosedur yang
Pembentukan Peraturan Daerah itu sendiri dengan memperhatikan Perundang-undangan
yang berlaku dan Prosedur Penyusunan Partisipasi, adanya Ketersediaan mekanisme untuk
Evaluasi dan Pengujian Norma pada Peraturan Daerah, Materi Muatan, Asas-asas
pengujian Peraturan Daerah yang tepat, yang di tetapkan oleh peraturan berlaku sehingga
pembatalan Peraturan Daerah terkait Uji Materiil yang dilakukan oleh Lembaga yang
ditunjuk dapat memberikan kepastian hukum, sebagaiaman Undang-Undang Dasar 1945
menegaskan negara kita adalah negara hukum serta ketersediaan manajemen legislasi
dengan memperhatikan Karakteristik lokal.
Untuk itu hendaknya kita merekontruksi Pengujian Peraturan Perundang-undangan
dikembalikan ke Mahkamah Agung, yaitu terkait Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
tahun 2011 Tentang Hak Menguji:
a. Bahwa Proses dan Tata Cara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Mahkamah
Agung:
Pada pasal 31A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua
atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dimana proses
dan tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang
terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Pengajuan permohonan Judicial
Review di Mahkamah Agung hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap
haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang, yaitu
1) Warga negara Indonesia Perorangan;
2) Sepanjang masih hidup yang berada dalam kesatuan masyarakat hukum adat dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan yang
diatur dalam undang-undang atau
166 Ibid.
80
3) Badan hukum publik atau badan hukum privat.
4) Permohonan uji materi sekurang-kurangnya harus memuat: Nama dan alamat
pemohon;
5) Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan
jelas bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan
diatasnya; dan/atau tidak memenuhi ketentuan yang berlaku didalam pembentukan
peraturan perundang-undangan; dan
6) Berdasarkan ketentuan judicial review hal-hal yang diminta untuk diputus, maka
Pemerintah Pusat (Kemendagri) tidak dapat menjadi pemohon Judicial Review di
Mahkamah Agung. Mengingat masih banyaknya Peraturan Daerah yang dinilai
oleh Kemendagri masih “bermasalah” maka ketentuan hukum acara di Mahkamah
Agung harus dirubah dengan memperluas subyek hukum pemohon.
b. Usulan Perbaikan Hukum Acara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di
Mahkamah Agung.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 pengujian
terhadap Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/Kota hanya bisa diuji melalui pengujian
peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung perlu
segera menindaklanjuti Putusan tersebut dengan melakukan evaluasi menyeluruh
terkait hukum acara persidangan, sumber daya manusia dan sarana prasarana
penunjang. Pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung pengalaman
selama ini belum menunjukkan sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip peradilan yang
transparan, akuntabel, dan aksesebel, maka dari itu masih dibutuhkan perbaikan terkait
beberapa praktik beracara pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah
Agung.
c. Pengujian oleh Mahkamah Agung tidak Melalui Persidangan secara Terbuka.
Di Mahkamah Agung proses pengujiannya berbeda dengan praktik pengujian di
Mahkamah Konstitusi, ataupun persidangan perkara Tata Usaha Negara dan Pengadilan
Tata Usaha Negara. Proses pengujian oleh Mahkamah Agung dilaksanakan secara tidak
terbuka, dimana Pemohon tidak mengetahui secara pasti tahapan dan proses pengujian
yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan para pihak juga tidak dapat
memberikan argumentasi untuk memperkuat permohonan, ataupun membantah
permohonan, atau menghadirkan ahli atau saksi untuk diperdengarkan keterangannya
81
sehingga pemohon tidak dapat meyakinkan hakim tentang pentingnya permohonan
pengujian tersebut.
Prinsip keterbukaan pengadilan (open court principle) sebagai salah satu prinsip
utama dalam hukum acara dimana salah satu aspek penting bagi Mahkamah Agung
yang harus dipertimbangkan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman Beverly
McLachin memberikan pendapat bahwa dalam proses pengadilan harus prinsip
keterbukaan pengadilan, yang mana Pertama, dengan adanya pengadilan yang terbuka
maka menjamin pemenuhan kebebasan individu dalam hal berpendapat dan untuk
mengekpresikan sikapnya dan pikiran. Kedua, akuntabilitas pengadilan dimana
mendukung keterbukaan pengadilan. publik dapat mengawasi proses pengambilan
putusan sehingga mencegah hakim dari penyalahgunaan wewenang yang merupakan
jaminan atas hak publik untuk mengakses persidangan dan putusan pengadilan, maka
Sebagai wujud akuntabilitas dan penerapan prinsip keterbukaan pengadilan, untuk itu
Mahkamah Agung perlu membangun sistem dan mekanisme baru yang memungkinkan
diselenggarakannya persidangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang secara terbuka dan mudah diakses oleh publik.167
Perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung juga cukup banyak, seperti
perkara kasasi, perkara peninjauan kembali dan perkara upaya hukum lainnya.
Penanganan perkara tersebut juga menyita waktu dalam penyelesaiannya. Di sisi lain,
Abdullah menuturkan upaya menghadirkan pihak-pihak berperkara juga memerlukan
waktu yang lebih. "Alasan tersebut menjadi kendala dan hambatan bagi Mahkamah
Agung untuk melakukan persidangan yang dihadiri oleh pihak-pihak dan memberi
kesempatan menghadirkan saksi dan ahli dalam sidang terbuka untuk umum dalam
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang," Bagir Manan168
juga jelaskan, posisi Mahkamah Agung adalah pengadilan judex juris yaitu hanya
memeriksa berkas, tidak memeriksa prinsipal secara langsung. Maka apabila
Mahkamah Agung berupaya menghadirkan para pihak yang berperkara di sidang,
sementara itu tidak ada di dalam peraturan perundangan-undangan, karena sifatnya
hanya judex juris. Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, sidang pada saat putusan digelar terbuka. Hanya saja pada saat proses
pemeriksaan, karena prinsip judex juris, maka Mahkamah Agung hanya mengadili
berkas saja. Meski tidak ada tatap muka hakim dan pihak yang berperkara, namun
167 Ibid. 168 Wawancara dengan Bagir Manan, pakar hukum tata negara, Senin 29 April 2019.
82
menurut Abdullah, para pihak diberi keleluasaan untuk memberikan jawaban dan
tanggapan dengan menyertakan keterangan ahli atau pendapat ahli.
Berbagai lembaga swadaya masyarakat mendesak Mahkamah Agung untuk lebih
terbuka dalam menggelar sidang uji materi peraturan di bawah undang-undang.
Menurut Feri, bukan tidak mungkin akan terjadi kongkalikong di balik keputusan
Mahkamah Agung. Sebab, dengan sidang uji materi di Mahkamah Agung yang
tertutup, masyakarat tidak bisa memantau proses persidangan. Masyarakat hanya
mengatahui keputusan Mahkamah Agung setelah majelis hakim mengambil keputusan
atas suatu perkara. Padahal, proses persidangan sangat penting untuk mengetahui fakta-
fakta yang terungkap dalam persidangan. Aturan terkait uji materi di Mahkamah Agung
diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak
Uji Materiil. Menurut Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Bayu
Dwi Anggono, Perma Nomor 1 Tahun 2011 tidak mengatur suatu mekanisme yang
melibatkan banyak pihak dalam sidang uji materi di Mahkamah Agung. Akibatnya,
sidang uji materi peraturan di bawah undang-undang justru tertutup.169
d. Tidak ada Batas Waktu Proses Penyelesaian Perkara Pengujian.
Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan paling lama 14 hari kerja
sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung untuk diproses. Tetapi hukum
acaranya sampai dikeluarkannya putusan tidak membatasi waktu penyelesaian
permohonan. Penentuan batas waktu menjadi penting karena putusan pada suatu aturan
yang dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya membutuhkan kepastian dan
sebagai kepatian hukum.
Mahkamah Agung yang tidak jelas dalam memberikan kepastian penyelesaian
terhadap permohonan pengujian, dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarkat
kepada lembaga peradilan. Selain perlu membangun dan mengembangkan sistem acara
pengujian peraturan perundang-undangan yang terbuka, Mahkamah Agung juga perlu
memberikan kepastian waktu penyelesailan permohonan dan disertai dengan informasi
dan akses yang mudah terhadap perkembangan proses pengujian seperti melaui media
elektronik.
e. Putusan Mahkamah Agung tidak Bisa Langsung Berlaku.
169 Kompas.com dengan judul "Sidang Uji Materil Tertutup, MA Sebut karena Batasan Waktu",
https://nasional.kompas.com/read/2018/04/10/10161061/sidang-uji-materil-tertutup-ma sebut-karena-batasan-
waktu. diakses pada 4 November 2019, jam 19.50 WIB.
83
Suatu ketentuan yang dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Agung tidak
langsung berlaku sejak putusan itu dibacakan, dan itu tertuang dalam ketentuan Perma
yang mengatur hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan. Mahkamah
Agung berpendapat, bahwa permohonan pengujian peraturan perundang-undangan
beralasan oleh karena peraturan tersebut dinilai bertentangan dengan undang-undang
atau peraturan di atasnya, maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan tersebut.
Dalam putusannya, jika peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan
tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan kepada
instansi yang bersangkutan segera mencabutnya. Salinan putusan dikirim kepada para
pihak dalam waktu 90 hari setelah salinan Putusan dikirim kepada Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Namun, dalam praktik
terkadang Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum
peraturan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Mahkamah Agung dalam Skema pelaksanaan putusan hasil pengujian peraturan
perundang-undangan tidak menunjukkan asas kepastian, karena membutuhkan tindakan
dari Pejabat lain. Adanya jeda berlakunya Putusan Mahkamah Agung berpotensi
menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh Pejabat yang terkait, dan mengurangi
tingkat kepercayaan masyarakat kepada institusi peradilan Putusan pengadilan
seharusnya berlaku sejak diputuskan, dan mengikat para pihak sejak saat itu juga.
f. Beban Biaya untuk Proses Pengujian
Ketika permohonan pengujian di Mahkamah Agung maka beban biaya
ditanggung oleh pembohon. Masalah yang diajukan berupa peraturan perundang-
undangan dan terkait dengan kebijakan pemerintah yang dibuat oleh penyelenggara
negara, sehingga menjadi tidak relevan membebankan biaya perkara. Adanya beban
biaya juga tidak sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung yang sesuai
dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan serta dalam
pemeriksaannya Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan dengan menerapkan kententuan hukum yang
berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
g. Lemahnya Prosedural
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang tidak
mengatur secara rinci mengenai prosedur atau hukum acara pengujian. Padahal menurut
84
catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) sejak 2011 sampai
dengan 2014 pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
memiliki trend peningkatan jumlah. Secara berurutan judicial review pada kurun waktu
tersebut berjumlah 50, 52, 76 dan 83.170
Trend tersebut tentu akan semakin meningkat setelah Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undamg Dasar
1945. Dalam putusan itu Mahkamah Konstitusi menyampaikan pandangan bahwa
berdasarkan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan wewenang kepada Menteri dan
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk membatalkan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, selain menyimpangi logika dan bangunan negara hukum Indonesia sebagaimana
amanah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 juga menegasikan peran dan
fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang in case Perda
Kabupaten/Kota sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945.
Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mengatur
secara rinci hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, karena dalam Undang-Undang
tersebut hanya mengatur mengenai subyek pemohon, waktu dimulainya pemeriksaan,
amar putusan, dan pemuatan putusan dalam berita negara. Sementara itu menurut
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, prosedur
pengujian peraturan perundang-undangan yang diatur meliputi:
a. Pengajuan permohonan;
b. Pendaftaran permohonan;
c. Pengiriman salinan permohonan kepada termohon;
d. Pengiriman jawaban dari termohon;
e. Penunjukan majelis hakim;
170 Hestu Cipto Handoyo, Gagasan Transparasi Judicial Review Di Mahkamah Agung, artikel pada
Makalah yang dipresntasikan dalam Diskusi Semiloka tentang Transparasi Uji Materiil Dimahkamah Agung
Guna Menunjang Dunia Usaha, Di fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta, 08 September 2019.
85
f. Pemeriksaan perkara;
g. Putusan;
h. Pemberitahuan putusan; dan
i. Pelaksanaan putusan.
Jika diperhatikan prosedur ini, maka nampak jelas bahwa dalam penanganan
perkara pengujian peraturan perundang-undangan sebagian besar lebih menekankan
pada aspek administratif. Sementara dalam konteks hukum acara pemeriksaan
persidangan tidak banyak diatur.171
Keinginan mewujudkan negara yang berdasarkan hukum sudah tersurat dalam
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum, maka kekuasaan kehakiman merupakan posisi yang
sangat strategis guna menegakan keadilan melalui putusan-putusanya, karena akan
berdampak pada masyarakat pada umumnya apalagi ini kaitanya dengan Peraturan
Daerah.
Untuk mewujudkan dalam melaksanakan fungsi peradilan harus melaksanakan
prinsip-prinsip hukum yakni merdeka dalam penegakan hukum dan keadilan. Seperti
yang termaktub dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Negara 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.172
171 Ibid. 172
Retno Mawarini Sukmariningsih, “Implementasi Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung Dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011”, artikel pada Jurnal Konstitusi, FKK-FII universitas 17 agustus 1945
semarang, Vol. III, No. 2, November 2011, hlm. 1.
86
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.
Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Tehnik Membuatnya, Rineka
Cipta, Jakarta, 1997.
A.V. Dicey, Introduction to Constional Law, London: ELBS and MacMillan, 1971.
A.Hamid S.Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
penyelenggaraaan Pemerintahan Negara, Suatu studi analisis mengenai Keputusan
Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam kurun waktu Pelita I-Pelita IV,untuk
memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990.
Abdul Bari Azed, Lihat dalam H.A.S, Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia (Jejak Langkah dan Pemikiran Hukum Prof. H.A.S,
Natabaya), Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta,
2008.
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1999.
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992.
Bernart L. Tanya, Teori Hukum Stategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV Kita,
Surabaya, 2007.
Fred Iswara, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, Bandung, 1974.
Harman, Benny K, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pemikiran Pengujian
UU Terhadap UUD, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2013.
Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997.
Ida Zuraida, Tehnik Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, Jakarta, Sinar Grafika, 2014.
Isharyanto, Penegakan Hukum & Otonomi Daerah Praktisi Negara Hukum Menurut UUD
1945, UNS Press, Surakarta, 2017.
Isharyanto, Hukum Kebijakan Ekonomi Publik, Thafa Media, Yogyakarta, 2016.
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, Jakarta, Sinar Grafika, 2016.
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstisionalisme Indonesia. edisi revisi. Konstitusi Press,
Jakarta. 2005.
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Ctk. Kedua,
Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
87
Jazim Hamidi, dkk, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah: Menggagas Peraturan
Daerah Yang Responsif Dan Berkesinambungan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2011.
Junus, Anwar. Penuntun Praktis Perkara Perumahan di Jakarta. Penerbit dan Balai Buku
Ichtiar, Jakarta, 1979. Sehubungan dengan itu, Zainal Arifin Hoessein, dengan
mengutip Sri Soemantri, juga mencacat bahwa putusan MA No. 1631/K/Sip/1974
tanggal 21 Oktober 1975 merupakan sebuah “pengujian peraturan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang” yakni sebagai pelaksanaan pasal 26 UU. No. 14
Tahun 1970. Duduk permasalahan dalam putusan tersebut adalah keputusan yang
dikeluarkan oleh Gubernur DKI No. 229/Spb/T/T/1973 tanggal 29 Maret 1973
bertentangan dengan UU. No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
dan Benda-Benda yang ada di atasnya. Menurut undang-undang ini, prosedur
pencabutan hak atas tanah tersebut seharusnya dilakukan melalui permohonan yang
berkepentingan kepadaMenteri Agraria (sekarang BPN) dan selanjutnya Menteri
Agraria meminta keputusan Presiden. Jadi pencabutan hak-hak atas tanah tersebut harus
melalui keputusan Presiden. Selengkapnya lihat, Hoessein, Zainal Arifin. Judicial
Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan , Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009.
King Faisal Sulaeman, Teori Peraturan Perundang-Undangan Dan Aspek Pengujiannya,
Yogyakarta: Thafa Media, 2017.
Kresno Budi Darsono dan W. Riawan Tjandra. 2009. Legislative Drafting. Yogyakata: Atma
Jaya.
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Ctk. Kedua, Nusa Media, Bandung. 2010.
Nukthoh Arfawie Kurde. Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Cetakan I, Pustaka Pelajar:
Oktober 2005. Yogyakarta. 2005.
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ctk. 2, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1986.
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2015.
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, Huma,
Jakarta, 2003.
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2015.
Pipi Syarifin dan Dedah Jubaedah, Ilmu Perundang-undangan, CV Pustaka Setia, Bandung,
2012.
Prodjodikoro, Wirjono. Bunga Rampai Hukum, Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta,
1974.
Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, 1990.
Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah Negara Kesatuan, Daerah Istimewa, dan
Daerah Otonomi Khusus, Ctk. Kedua, Bandung, PT. Refika Aditama, 2013.
Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, 1997.
88
Soenobo Wirjosoegito, Proses & Perencanaan Peraturan Perundangan, Ghalia Indonesia
Jakarta, 2004.
Sukardi, Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah, Yogyakarta, Genta Publishing,
Cetakan Pertama, 2016.
Sirajuddin, Fatkhurohman, zulkarnain, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Press, Bandung, , 2015.
Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010.
Moh. Mahfud, MD, Politik Hukum di Indonesia, Ctk. ke-1, LP3ES, Jakarta, 1998.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Edisi Revisi, Ctk. Ketiga, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010.
Ni’Matul Huda. Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.
FH UII Press, Yogjakarta. 2011.
Nomensen Sinamo, Ilmu Perundang-undangan, Permata Aksara, Jakarta, 2016.
Tjahya Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.
Tanto Lailam, Teori & Hukum Perundang-undangan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan
Pertama, 2017.
Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2016.
Utang Rosidin, Otonomi Daerah Dan Desentralisasi, Pustaka Setia, Bandung, 2010.
Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik. Cet. Kedua: PT. Eresco, Jakarta-
Bandung, 1981.
W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting, Atma Jaya, Yogyakata,
2009.
Artikel
Alexander Abdullah, “Desentralisasi dan Undang-undang Otonomi Daerah di Era
Reformasi”, artikel pada Jurnal Hukum Vol. 3, No. 1, Januari 2010, UII Yogyakarta.
A Rachman Sulaiman. Desertasi Fungsi pengawasan DPRD terhadap Kebijakan Pemerintah
Daerah Guna Mewujudkan Pemerintahan yang Baik, Program Doktor Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya, 2012.
Arie satio Rantjoko,“Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung Untuk Menguji Peraturan
Perundang-undangan Dibawah Undang-undang Di Indonesia”, artikel pada Jurnal
Rechtens, Vol.3, No.1, 2014.
89
Abdul Aziz Nasihuddin, “Implementasi Hak Uji Materiil Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Oleh Mahkamah Agung”, artikel pada Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 3
September 2013.
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2000.
Arif Hidayat menyampaikan orasi, Dalam seminar di universitas Negeri Semarang, Tanggal 4
November 2019.
Didik Sukriono, “Pembentukan dan Pengawasan Produk Hukum Daerah”, artikel pada Jurnal
Hukum Adil Vol. 2, No. 2, Agustus 2011, Fakultas Hukum Yarsi Jakarta.
Didik Sukriono, “Pembentukan dan Pengawasan Produk Hukum Daerah”, artikel pada Jurnal
Hukum Adil Vol. 2, No. 2, Agustus 2011, Fakultas Hukum Yarsi Jakarta.
Enrico Simanjuntak, “Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI”, artikel pada
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2 No. 3 November 2013, hlm. 343.
Fajar Laksono Soeroso terkait dengan proses peradilan, terutama dalam perkara judicial
review, ada anggapan bahwa proses peradilan di MK lebih fair dan terbuka. Hal ini
dapat dimengerti mengingat seluruh proses persidangan di MK, terutama dalam perkara
pengujian UU di MK ditentukan terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan
Hakim. Dalam praktiknya, MK sejak awal menerapkan asas audi et alteram partem. Di
dalam hukum acara MK, asas ini tidak tegas dicantumkan. Namun pada dasarnya
norma yang dirumuskan pasal-pasal undang-undang merupakan penjabaran asas ini.
Begitu pula dalam Peraturan MK, seluruh ketentuannya mengarah pada pemberian
kesempatan yang seimbang dalam memberikan keterangan mulai dari pemberitahuan
permohonan, kesempatan mengajukan jawaban dan bukti-bukti, masuknya pihak-pihak
berkepentingan dan lain sebagainya. Berbeda dengan di MK, proses peradilan di MA
dalam perkara uji materi peraturan perundang-undangan di bawah UU lebih bersifat
tertutup dan sepi hak. Jika dicermati, PERMA No. 01 Tahun 2011 tidak menyebutkan
mengenai pentingnya proses persidangan yang terbuka dan mengedepankan asas audi et
alteram partem. Dalam Bab III Pemeriksaan dalam Persidangan Pasal 5 ayat (2) Perma
tersebut hanya disebutkan bahwa Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus
permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan hukum
yang berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat singkatnya sesuai
dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam memutuskan sengketa
kepemilikan Pulau Berhala, dengan berdasarkan PERMA No. 01 Tahun 2011, MA
memutuskan secara sepihak dan tertutup oleh Majelis Hakim Agung tanpa melibatkan
pihak-pihak yang terkait khususnya pihak pihak yang bersengketa. Padahal, akan
sangat baik apabila dalam proses persidangan uji materi tersebut, selain sifatnya
terbuka untuk umum, MA seharusnya juga mengundang pihak-pihak yang bersengketa,
pihak terkait, termasuk saksi atau ahli seperti halnya dalam persidangan di MK. Dengan
demikian, salah paham dan salah implementasi hukum dapat dihindari. Karena itulah,
terutama pihak yang dirugikan oleh putusan MA kemudian memandang perlu
mengalihkan penyelesaiaan kasusnya ke MK mengingat proses peradilan di MK
dirasakan lebih fair dan terbuka. Soeroso, Fajar Laksono. Memaknai Kecenderungan
Penyelesaian Konflik Batas Wilayah Ke Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol.
9, No. 3, September 2012.
90
Fatkhurohman, Sirajuddin, Zulkarnain, Legislative Drafting Pelembagaan Metode
Partisipasif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Malang Corruption
Watch (MCW), Malang, 2008.
Francisca Widiastuti, “Hak Uji materiil Peraturan Perundang-undangan Di Bawah Undang-
undang Oleh Makamah Agung”, artikel pada Tesis Fakulatas Hukum Universitas Gajah
Mada, 2005.
Fatkhurohman, Sirajuddin, Zulkarnain. 2008. Legislative Drafting Pelembagaan Metode
Partisipasif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Malang: Malang
Corruption Watch (MCW), Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil.
Gandasubrata, H.R. Purwoto S, “Renungan Hukum”, Diterbitkan Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI) Cabang Mahkamah Agung RI, artikel untuk kalangan sendiri, Jakarta, Maret
1998.
Hestu Cipto Handoyo, Gagasan Transparasi Judicial Review Di Mahkamah Agung, artikel
pada Makalah yang dipresntasikan dalam Diskusi Semiloka tentang Transparasi Uji
Materiil Dimahkamah Agung Guna Menunjang Dunia Usaha, Di fakultas Hukum Atma
Jaya Yogyakarta, 08 September 2019.
I Wayan Suwandi, “Pendekatan Sistem Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, artikel pada
Jurnal Kerta Patrika, Vol. 33, No. 1. Januari 2008.
Iza Rumesten R.S, “Model Ideal Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan
Daerah”, artikel pada Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12, No. 1, Januari 2012.
I Made Dedy Priyanto, “Kewenangan Gubernur dalam Pembatalan Perda Kabupaten
Tabanan”, artikel pada Jurnal Advokasi Vol. 1 No. 1 Tahun 2011, FH Univ.
Mahasaraswati Denpasar.
Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang ‘Judicial Review” atas PP
No. 19/2000 yang bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999,” (tanpa tempat,
tanpa tahun).
Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD
1945. Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Departemen Kehakimandan HAM, 2003.
James Mac Gregor Burns, J.W. Peltason, dan Thomas E. Cronin Dalam literatur, istilah Civil
Lawjuga dikenal dengan istilah The Romano-Germanic Family.”A first family may be
called the Romano-Germanic family. “This group includes those countries in which
legal science has developed on the basis of Roman ius civile.” Ibid., hal. 22. Dalam
buku tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa: “In countries of the Romano-Germanic
family, the starting point for all legal reasoning is found in various form of “written
law”. Ibid., hal. 125. Selain itu, juga terdapat istilah statutory law. “Statutory law:
Formulated primarily by a legislature, but also includes treaties and executive orders;
law that come from authoritative and specific law-making sources.”, Government by
the People, 13th alternate ed., (New Jersey: Prentice Hall, 1989).
91
Janpatar Simamora, Analisa Yuridis terhadap Model Kewenangan Judicial Review di
Indonesia, artikel pada Hasil Penelitian Lembaga Penelitian Universitas HKBP
Nommensen Medan Tahun 2012.
Laoh, Arnold, “The Availability of International Judicial Review of Government Breaches of
Human Rights”, artikel pada Thesis submitted for award of the degree of Doctor of
Philosophy (PhD) at Murdoch University, Perth, Western Australia, July 2006. P. 72.
Lever, Annabelle, “Democracy and judicial review: Are they really incompatible?”, artikel
pada Journal Perspectives on Politics, 2009.
Lotulung, Paulus Effendi dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Mahkamah
Agung Dalam Melaksanakan Hak Uji Materil (Judicial Review), Badan Pembinaan
HukumNasional, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI, Jakarta, 2001.
Muhammad Suharjono, “Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung
Otonomi Daerah”, artikel pada Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 19, Pebruari 2014.
M. Nur Solokin, “Perbaikan Prosedur Pengujian Peraturan Perundang-undangan Di
Mahkamah Agung”, Artikel pada Jurnal hukum dan peradilan, Vol. 3. No. 2, juli 2014.
Marojahan JS Panjaitan, Pembentukan & Perubahan Undang-undang Berdasarkan UUD
1945: Sebagai Bahan Ajar Ilmu Perundang-undangan dan Perancangana Undang-
undang, Pustaka Reka Cipta, Ctk. Pertama, Bandung, 2017.
Nurainun Mangunsong , “Tolak Ukur Judisial Review undang-undang Terhadap Undang-
undang dasar 1945 Oleh mahakamah Konstitusi”, artikel pada Jurnal Konstitusi
PKKKD-FH Universitas Muhammadiyah Magelang, Vol. 1, No. 1, Agustus 2008.
Oksep Adhayanto, Yudhanto Satyagraha Adiputra, “Dampak Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Terhadap Peraturan Daerah Di Kabupaten
Bintan Tahin 2015 (Studi Peralihan Kewenangan Dibidang Kelautan dan
Pertambangan)”, Jurnal Selat, Vol. 2, No. 2, Edisi 4.
Pultoni, “Judicial Review Studi Perbandingan dan Pelaksanaannya di Indonesia”, artikel pada
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta.
Panggabean, Henry Pandapotan, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari,
Upaya Penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan
Mahkamah Agung, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
Panggabean, Henry Pandapotan, Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan (Rule
Making Power) Tahun 1966-2003, Liberty, Yogjakarta, 2005.
Rene David dan John E.C. Brierley “The Common law,...was formed primarily by judges who
had to resolve specific disputes. The Common law legal rule is one which seeks to
provide the solution to a trial rather than to formulate a general rule of conduct for the
future.”, Major Legal Systems in the World Today: Introduction to the Comparative
Study of the Law, ed. 3rd, (London: Stevens and Sons Ltd., 1996).
Ricardo Miranda, The Becoming-Other Of Law: Preliminaries For A Citizen”s
Conceptualization Of law, Mexican Law Review Volume 8, Issue 2, January–June
2016.
92
Retno Mawarini Sukmariningsih, Reconstruction Of setting Judicial Review Of Legal Material By
Indonesia Supremen Court” artikel pada International Journal of Civil Engineering and
Technology (IJCIET), Volume 9, Issue 2, February 2018, pp. 727–732, Article ID:
IJCIET_09_02_069.
Retno Mawarini Sukmariningsih, “Implementasi Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung
Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011”, artikel pada Jurnal Konstitusi, FKK-
FII universitas 17 agustus 1945 semarang, Vol. III, No. 2, November 2011, hlm. 1.
Ria Casmi Arrsa, “Bargaining Politik Calon Kepala Daerah Independen”, artikel pada Hibah
Penelitian Mahasiswa (HPM) Fakultas, Hukum Universitas Brawijaya, tidak
dipublikasikan, 2007.
Sholahuddin Al-Fatih, “Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Satu Atap melalui
Mahkamah Konstitusi”, artikel pada Jurnal Legality, Vol. 25, No. 2, September 2017-
Februari 2018.
Simamora, Analisa Yuridis terhadap Model Kewenangan Judicial Review di Indonesia
artikel pada Jurnal Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor 3, Oktober 2013.
Sunaryo, Globalisasi Dan Pluralisme Hukum dalam Pembangunan Sistem Hukum Pancasila,
artikel pada Junal Masalah-masalah Hukum, Jilid 42 No. 4 Oktober 2013.
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses Pembahasan
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Jakarta, 1996.
Tim Redaksi Warta Gubernur, “Menuju Keseimabangan Format Otonomi Daerah”, Assosiasi
Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, artikel pada Jurnal Otonomi & Pembangunan
Daerah Warta Gubernur, Vol. 3, Tahun 1, Maret 2007.
Von Staden, Andreas, “The democratic legitimacy of judicial review beyond the state:
Normative subsidiarity and judicial standards of revie”, artikel pada International
Journal of Constitutional Law, 2012.
Yeremias T. Keban, “Membangun Kerjasama Antara Pemerintah Daerah Dalam Era
Otonom”, artikel pada Jurnal Otonomi & Pembangunan Daerah Warta Gubernur,
Assosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia Vol. 1, Tahun 1, 2007.
Beberapa definisi judicial review dari negara yang menggunakan sistem hukum common law.
Dalam Black’s Law, judicial review diartikan sebagai: power of courts to review
decisions of another department or level of government.” Henry Campbell Black,
Black’s Law Dictionary with Pronunciations. 6thed. (United States of America: West
Publishing Co, 1990), hlm. 849. Encyclopedia Americana mengemukakan pengertian
judicial review sebagai berikut: “Judicial review is the power of the courts of the
country to determine if the acts of the legislature and executive are constitutional. Acts
that the courts declare to be contrary to the constitution are considered null and void
and therefore unenforceable.” The Encyclopedia Americana Vol. 16, Cet.7, (Canada:
Grolier Limited, 1977), hlm. 236. Sedangkan Erick Barendt mengemukakan pengertian
judicial review sebagai berikut: “Judicial review is a feature of a most modern liberal
constitutions. It refers to the power of the courts to control the compatibility of
legislation and executive acts of the term of the constitutions.” Erick Barendt, An
93
Introduction to ConstitutionalLaw, (Great Britain: Biddles Ltd, Guildford and King’s
Lynn, 1998).
Perundang-undangan
Undang-undang Dasar 1945.
Undang-undag 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.
Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Poin 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 31 UU No. 03/09 Tentang Perubahan Kedua Atas UU 04/85 Tentang Mahkamah
Agung.
Peraturan Kementerian Nomor 32 Tahun 2017 tentang Tatacara Penyelesaian Sengketa
Melalui Jalur Nonlitigasi
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Menguji.
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV/2016.
wawancara
Wawancara dengan Bagir Manan, pakar hukum tata negara, Senin 29 April 2019.
Internet
Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum Indonesia: Paradigma Penyelenggaraan Negara Dan
Pembangunan Nasional Berwawasan Hukum”, artikel pada Makalah disampaikan pada
Pertemuan Nasional Ormas-Ormas Kristen di Jakarta, 10 November 2005, diakses pada
http://www.jimly.com, diakses pada 04 november 2019, Jam 18.40 WIB.
Jimly Asshiddiqie, “Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi
Negara, Pembaruan Hukum, Dan Keberdayaan Masyarakat Madani”, Makalah
disampaikan dalam forum Seminar International Permias I dan Pertemuan Mahasiswa
Indonesia Sedunia di Luar Negeri I, di Northwestern University, Chicago, Amerika
Serikat, 28 Oktober 2000, hlm 1, diakses pada 4 November 2019, jam 18.58 WIB.
94
Kompas.com dengan judul "Sidang Uji Materil Tertutup, MA Sebut karena Batasan Waktu",
https://nasional.kompas.com/read/2018/04/10/10161061/sidang-uji-materil-tertutup-ma
sebut-karena-batasan-waktu. diakses pada 4 November 2019, jam 19.50 WIB.
Viktor Santoso Tandiasa, Implikasi Dalam Persidangan Uji materiil Di Mahkamah Agung
Yang Tertutup Bagi Pelaku Usaha, artikel pada Makalah yang dipresntasikan dalam
Diskusi Semiloka tentang Transparasi Uji Materiil Dimahkamah Agung Guna
Menunjang Dunia Usaha, Di fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta, pada Tanggal 08
September 2019, jam 09.00 WIB.
W.T.Cunningham, Nelson Contemporary English Dictionary, Thompson and Nelson Ltd,
Canada, 1982, hlm.422. Lihat dalam Mahfud MD, “Keniscayaan Reformasi Hukum:
Upaya Menjaga Jati Diri Dan Martabat Bangsa”,Makalah dalam Konvensi Kampus VI
dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas
TanjungpuraPontianak, 9 Januari 2010, hal 3-4, diakses dari
http://www.mahfudmd.com, diakses pada 4 November 2019, jam 18.50 WIB.
https://id.scribd.com/doc/241982471/Makalah-Teori-Hukum-Responsif-doc, diakses pada 19
Oktober 2019, jam 06.04 WIB.