Membesarkan Generasi Toleran, Orang Tua harus Pegang ... · sebagairahmatan lil ‘alamin, ......
Transcript of Membesarkan Generasi Toleran, Orang Tua harus Pegang ... · sebagairahmatan lil ‘alamin, ......
PENDIDIKAN
Sekarang ini konflik horizontal yang dipicu
oleh perbedaan makin meruncing.
Tahun lalu, bersama International NGO
Forum on Indonesia Development (INFID), kami
melakukan studi di 6 kota tentang sikap dan
persepsi anak muda terhadap radikalisme,
intoleransi, terorisme, dan keindonesiaan.
Rupanya, makin muda usia, persepsi negatif
terhadap orang yang berbeda makin
mengkristal sehingga melahirkan prasangka.
Melihat banyaknya ujaran kebencian karena
perbedaan ini sempat membuat putra sulung
saya, Aza (17), mengungkapkan kesedihan dan
kegelisahannya di media sosial. Katanya: “Para
pendiri bangsa ini jangan-jangan menangis
di alam kubur karena orang saling membenci.
Untuk apa memerdekakan Indonesia kalau
sekarang saling membenci.”
Sangat menyedihkan memang jika orang
hanya memakai satu identitas saja sebagai
ukuran, yaitu hanya dari agamanya. Kami
menyebutnya eksklusivisme beragama, yaitu
menganggap bahwa di luar agamanya bukan
teman atau saudara.
Padahal, dalam Islam banyak ayat yang
menyebutkan bahwa Allah menciptakan
masyarakat berbeda-beda, berkelompok, dan
bersuku-suku supaya kita saling mengenal.
Bahwa kita harus berlaku adil, bahkan pada
kelompok atau orang yang kita benci. Sebab,
mereka juga ciptaan Allah. Sayang, banyak
yang didoktrin oleh pandangan sempit
eksklusivisme beragama. Ini menjadi pekerjaan
rumah bagi para Gusdurian (baca boks:
Tentang Alissa Wahid) untuk menghilangkan
atau setidaknya mengurangi prasangka
dan menghidupkan kembali semangat
persaudaraan dan kebangsaan.
Saya dan adik-adik, sebagai anak ulama
sering mendapat stereotip ‘anak Gus Dur’,
yang mungkin tidak berlaku untuk anak ulama
lainnya. Bahwa sebagai anak Gus Dur, kami
Membesarkan Generasi Toleran, Orang Tua harus Pegang Tongkat Komando!
ALISSAQOTRUNNADAMUNAWAROH
WAHID
Ann18-ANN18-PENDIDIKAN AlisaWahid.indd 14 17-Jan-18 2:34:00 PM
F E M I N A . C O . I D 15
dinilai lebih dekat dengan orang yang tidak
seagama. Padahal, jika mau berhitung benar-
benar, dengan jumlah warga NU yang 80 juta
jiwa, tentu saja stereotip ini tidak valid.
Sejak kecil kami tidak diajar dan belajar
untuk memandang orang dari apakah dia
minoritas, mayoritas, atau berbeda kelompok.
Teman atau bukan teman itu ditentukan dari
keselarasan kita dengan seseorang, bukan
agamanya. Sangat sulit bagi kami untuk bisa
berkata, “Dia temanku. Itu musuhku.” Perilaku
buruknyalah yang kami tolak, bukan sosok
orang atau pribadinya. Boleh tidak setuju, tapi
tetap menghargai orang dan tetap bersaudara.
Sebab, semua orang pernah berbuat salah,
punya kelemahan, sekaligus keunggulan. Ini
yang menonjol dari Gus Dur. Beliau tidak pernah
mengajari kami untuk membenci orang lain.
Proses globalisasi ikut menjadi salah satu
faktor berkembangnya paham ekstrem.
Melalui pintu globalisasi dan teknologi internet
yang tanpa batas, pertukaran gagasan menjadi
sangat cair. Apa yang terjadi atau menjadi tren
di belahan dunia lain juga membawa pengaruh
pada kita yang ada di Indonesia.
Sebaran diaspora warga negara Indonesia
pun tersebar di seluruh dunia. Kondisi ini
mendorong adanya reaksi balik berupa paham
dan gerakan untuk menjaga kemurnian karena
merasa terancam.
Mereka terancam karena tidak siap dengan
perubahan, kesetaraan, dan perbedaan.
Tentang hal ini, Gus Dur pernah bicara, “Yang
berbeda jangan disama-samakan. Biarkan
berbeda karena itu kekayaan kita. Sebaliknya,
yang sama jangan dibeda-bedakan. Sudah
sama-sama orang Indonesia, kenapa harus
fokus pada perbedaan?”
Pada kenyataannya, memang lebih mudah
membenci daripada berdamai. Sebab, pada
saat membenci, sebenarnya kita sedang
merasa superior. Harga diri kita sebagai
manusia naik, karena kita menganggap orang
lain lebih rendah dari kita. Sementara, untuk
berdamai orang perlu berjiwa besar, kita perlu
saling memberi. Ini yang lebih berat. Namun,
seperti kata Gus Dur juga, perdamaian tanpa
keadilan hanyalah ilusi. Di dalam perdamaian,
tidak bisa salah satu pihak mengatakan saya
yang menang, karena saya mayoritas. Harus
ada keadilan. Kesadaran ini tidak bisa datang
secara otomatis, tapi harus diajarkan dan
dipraktikkan mulai dari dalam keluarga.
Gus Dur adalah orang yang sangat berpusat
pada prinsip hidup yang diyakininya. Tiga di
antaranya yang paling mendasar yaitu Islam
sebagai rahmatan lil ‘alamin, yaitu Islam yang
membawa rahmat untuk alam semesta.
Tidak hanya kepada sesama umat muslim,
tapi seluruh makhluk hidup, termasuk mereka
yang berbeda keyakinan dengan kita. Karena
segala sesuatu harus berporos pada misi Islam
sebagai rahmat alam semesta, maka prinsip
kemanusiaan dan keadilan harus dijunjung tinggi.
Nilai-nilai prinsip di atas juga yang disepakati
bersama dan diajarkan oleh kedua orang tua
kepada kami. Gus Dur bukan tipe orang tua
yang hobi memberikan wejangan. Namun,
kami tidak pernah kebingungan bagaimana
harus menerapkan nilai-nilai itu, karena dalam
keseharian kami melihatnya dalam ucapan,
sikap, dan tindakan orang tua yang selaras.
Untuk anak, teladan ini sangat penting.
Terutama ketika lingkungan di luar memiliki
prinsip, cara pandang, dan sikap yang berbeda.
Salah satu pekerjaan rumah terbesar orang
tua sekarang adalah memilih sekolah untuk
anaknya. Kami memilih menyekolahkan anak-
anak di sekolah inklusif. Di sini mereka juga
bisa mengenal dan berteman dengan anak-
anak yang berkebutuhan khusus. Dalam
keseharian ini mereka diajarkan bahwa kita
tidak berbeda dari orang lain.
Namun, orang tua tidak bisa sepenuhnya
menyerahkan seluruh tugas pengajaran ini
kepada sekolah. Sebagai psikolog keluarga,
tiap mengisi seminar atau workshop
parenting, saya selalu menekankan bahwa
jenderal pemegang tongkat komando adalah
orang tua, bukan guru dan sekolah.
Guru mendampingi anak selama dia
menjadi guru, ketika naik kelas, guru itu akan
mengurusi anak lain. Namun, yang punya
kepentingan jangka panjang adalah orang
tua, dan tidak hanya untuk masa depan anak,
tapi juga cucu-cucunya.
Sebagai orang tua, kita perlu sepakat,
nilai apa yang ingin kita tanamkan kepada
anak-anak. Kami memilih nilai keadilan
dan kemanusiaan yang terus diperkuat
kepada anak-anak sejak dari rumah. Rumah
didesain untuk mencerminkan nilai-nilai
itu. Bagaimana mereka bersosialisasi dan
memperlakukan teman-temannya, diukur
dari kedua nilai itu.
Di era komunikasi terbuka, dialog menjadi
pendekatan yang paling tepat dalam
mendidik anak. Gus Dur bukan orang tua
otoriter. Apa pun yang kami putuskan, beliau
mendukung, dan itu diucapkan beliau.
“Sebagai perempuan kamu punya pilihan,
mau menikah, berkarier. Apa pun itu yang
menjadi keputusanmu, Bapak akan dukung.
Tapi, keputusan itu harus datang dari kamu.
You own it dengan segala konsekuensinya,”
ujar Bapak, sebelum saya menikah.
Bagi beliau, semua orang teman, termasuk
kami, anak-anaknya. Dia membuka ruang
dialog, bahkan bersedia jika keputusan atau
tindakannya kami pertanyakan. Anak remaja
yang sejak kecil terbiasa dengan aturan-
aturan yang rigid belum tentu bisa survive
saat harus lepas dari orang tua.
Anak yang serba diatur tidak punya
kesempatan untuk belajar bahwa tiap tindakan
ada konsekuensinya. Sebab, dia selalu berada
dalam ruang kontrol yang menjauhkannya dari
kesalahan. Karena tidak terbiasa memiliki
kendali atas dirinya. Saat diberi kebebasan
anak justru akan lepas kendali.
Namun, anak yang sejak dini diajar untuk
membawa dirinya, dia akan bisa menjaga
diri karena tahu bahwa tiap tindakan ada
konsekuensinya, dan siap mengambil
risiko serta bertanggung jawab atas tiap
tindakannya. ■ ALISSA WAHID
Alissa adalah putri sulung dari empat bersaudara pasangan Abdurrahman Wahid,Presiden ke-4 Republik Indonesia, dan Sinta Nuriyah, pendiri Yayasan Puan Amal Hayati, yaitu Pesantren Untuk Pemberdayaan Perempuan. Istri dari Erman Royadi ini merupakan ibu dari empat anak, yaitu Aza(17), Arinka (15), Adjani (14), dan Aretta (11).
Psikolog keluarga lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ini lebih dikenal publik sebagai aktivis gerakan multikulturalisme, demokrasi, HAM, dan gerakan Muslim Moderat di Indonesia. Di organisasi Nahdlatul Ulama (NU), Alissa menjabat sebagai Sekretaris Umum Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU Pusat.
Pada tahun 2010, ia mendirikan sekolah PAUD Fastrack Funschool di Yogyakarta, di mana semangat Pancasila dan nilai-nilai kehidupan universal yang direferensikan oleh UNESCO diperkenalkan dan ditanamkan sejak dini melalui pendidikan karakter, aktivitas belajar, dan bermain. Dengan bekal ini ia berharap bisa menyiapkan anak menjadi manusia yang memiliki karakter dan siap menghadapi tantangan global.
Alissa adalah Direktur Nasional dari Jaringan Gusdurian Indonesia yang merupakan wadah sinergi bagi para Gusdurian, murid, pengagum, dan penerus pemikiran dan perjuangan Gus Dur. ■ NJL
TentangAlissa Wahid
DIT
ULI
SU
LAN
GD
AR
IWA
WA
NC
AR
AN
AO
MIJ
AYA
LAK
SAN
A F
OTO
: DA
CH
RI M
EG
AN
TAR
A
Ann18-ANN18-PENDIDIKAN AlisaWahid.indd 15 17-Jan-18 2:34:00 PM